"Jangan Banyak Tanya Nak, Imani Saja" - 07-27-2016

advertisement
"Jangan Banyak Tanya Nak, Imani Saja" - 07-27-2016
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
"Jangan Banyak Tanya Nak, Imani Saja"
Wednesday, July 27, 2016
https://www.itsme.id/jangan-banyak-tanya-nak-imani-saja/
iT's Me- Sebagian orang tua membentuk anak sebagai pewaris sebuah dogma. Anak-anak pun tidak
diizinkan untuk mempertanyakannya secara kritis. Sebab, mempertanyakan doktrin agama dipandang
sebagai perbuatan dosa. Seharusnya kita bisa melihat, bagaimana pola berfikir bisa menjadi anugerah
terbesar bagi anak-anak. Alam pikiran mereka yang belum terisi banyak hal, memancing keingintahuan
yang luar biasa dalam diri mereka. Maka tak jarang kita menemukan anak-anak begitu asyik dengan
imajinasinya sendiri. Sebab melalui imajinasinya tersebut mereka berselancar dengan bebas, mencari
jawaban atas hal-hal yang ingin diketahuinya. Manakala imajinasi tersebut terus berkembang tanpa ada
upaya pembatasan dari orang tua, maka berbagai potensi luar biasa akan terlahir darinya.
Namun banyak orang tua yang masih mengabaikan fakta tersebut. Tak jarang kita menemukan mereka
yang bersikap antipati atau cuek dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak-anaknya. Apalagi
jika pertanyaan tersebut berkaitan dengan agama atau soal-soal keimanan. Kalaupun tidak melarang
bertanya, orang tua akan menjejalkan berbagai doktrin sebagai jawabannya. Agama telah dilekatkan
kepada diri anak-anak sejak ia lahir. Orang tualah yang memilihkan identitas tersebut kepada mereka.
Bukan hanya itu, anak-anak juga dijejali dengan doktrin: agama saya yang paling benar, dan agama lain
salah; kitab agama lain adalah buatan manusia; penganut agama lain tidak akan masuk surga. Seringkali,
anak-anak juga diajarkan untuk membenci penganut agama lain oleh orangtuanya. Misalnya tercermin
lewat doktrin: umat agama lain adalah penyebab kisruhnya agama kita; mereka bisa dan akan menjadi
ancaman buat kita; umat agama lain tidak akan puas jika kita tidak mengikuti agama mereka.
Belum lagi doktrin-doktrin kecenderungan mengkafirkan ajaran orang lain. Semua indoktrinasi ini masih
bisa kita dapati hingga sekarang. Segala hal yang dipandang bisa mengancam keimanannya, padahal
seringkali itu hanya perasaannya saja. Mereka takut ancaman tersebut akan menggoyahkan iman anakanaknya. Cara pendidikan seperti itu juga bisa mendorong anak-anak bersikap munafik. Mereka dijejali
doktrin yang menuntutnya untuk membenci kalangan tertentu di masyarakat, tetapi seringkali dengan
memanfaatkan produk yang dihasilkan oleh kalangan yang dibenci tersebut. Mereka diajarkan untuk
menyesatkan kepercayaan orang lain, tetapi juga melakukan perbuatan yang lebih tercela. Misalnya
dengan memperbolehkan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap kalangan yang dianggap sesat
tersebut.
Pendidikan seperti itu sama sekali tidak ada relevansinya dalam konteks kehidupan masa kini. Masa di
mana setiap orang mulai dituntut untuk menghargai dan menerima perbedaan. Sebab hanya dengan jalan
itu kehidupan bisa berlangsung aman dan tentram. Lalu, bagaimana caranya merawat benih pemikiran
pada anak? Ini bisa dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, dengan menanamkan ajaran filsafat.
Mengapa harus filsafat? Bukankah filsafat itu sesuatu yang rumit? Sebenarnya tergantung cara kita
membawakannya. Sebab filsafat menekankan dimensi keberagaman. Sehingga dengan mempelajarinya,
seorang anak akan tumbuh sebagai manusia beragama yang open minded. Selain itu, metode filsafat yang
mengutamakan pendekatan kritis sejalan dengan karakter dasar anak-anak yang serba ingin tahu.
1/2
"Jangan Banyak Tanya Nak, Imani Saja" - 07-27-2016
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Langkah kedua bisa ditempuh dengan mengenalkan anak-anak pada konsep yang semestinya, bukan
seharusnya. Ahmad Wahib pernah mengatakan tentang “Pergolakan Pemikiran Islam”, dia menjelaskan
bahwa "Islam seharusnya yang utama, tetapi pada kenyataannya dia bukan yang utama. Ada banyak
entitas kepercayaan yang berbeda. Keharusan Islam sebagai yang utama berasal dari keinginan manusia
yang mengimaninya. Tetapi keberagaman agama dan kepercayaan, sebagaimana keberagaman dalam
aspek lainnya, adalah sebuah kemestian. Sesuatu yang tak bisa kita hindarkan". Di sinilah kita perlu
menekankan kepada anak-anak bahwa keberagaman agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang
bersanding dengan kita. Ia sesuatu yang harus kita hargai, bukan dimusuhi.
Dalam hal ini, anak-anak perlu dibawa pada satu pemahaman: keberagaman adalah anugerah terbesar dari
Tuhan. Daripada menanamkan doktrin: “Bumi ini milik Allah,” lebih bagus jika kalimatnya tidak berhenti
sampai di sana, tapi dilanjutkan dengan, “milik Allah yang diperuntukkan bagi semua makhluk, baik itu
yang mempercayai ataupun tidak mempercayai-Nya". Juga bisa dilanjutkan dengan kata-kata seperti
ini: “Semua makhluk dianugerahi rahmat-Nya. Semoga dunia ini tetap beragam dan Allah menjaga
keberagaman itu. Karena keberagaman adalah mukjizat-Nya yang paling besar".
Ketiga, tanamkan kepada anak agar selalu belajar dari yang lain. Jadikan perbedaan sebagai pembelajaran
bukan sebagai pembeda. Dengan mempelajari ajaran agama lain, sikap kritis mereka akan terasah, dan
anak-anak tidak akan tumbuh sebagai penganut agama yang eksklusif dan fanatik. Tulisan ini tidak
bermaksut untuk mengajari para orang tua. Menurut saya, sudah waktunya mendidik anak dengan melihat
dari sudut pandang yang berbeda. Dalam hal ini, sudah teramat sering kita mendengar orang berkata soal
agama: "Imani saja, jangan banyak tanya Nak" (iT's NOT Me). ( Abadimansur-Epnk)
_______________________________________________
WWW.ITSME.ID
2/2
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download