BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya bentuk komunikasi yang dilakukan manusia dapat
dipilah menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Komunikasi
verbal
yaitu
cara
berkomunikasi
seseorang
dengan
menggunakan bahasa lisan, atau kata-kata dan atau kalimat secara lisan
(Echols, 1984:628; Kridalaksana, 1993:227). Sementara komunikasi
nonverbal yaitu cara berkomunikasi dengan tanpa menggunakan katakata, cukup dengan isyarat atau tanda-tanda tertentu.
Pemilihan cara berkomunikasi itu sangat tergantung pada banyak
faktor. Faktor yang dimaksud adalah hal-hal yang bersifat sosial. Misalnya,
usia, pekerjaan, tingkat sosial, latar, dan fungsi-fungsi sosial lainnya.
Banyaknya
faktor
sosial
yang
harus
diperhatikan
menyebabkan
munculnya berbagai bentuk variasi bahasa (secara sosiolinguistik) atau
beragamnya jenis wacana (secara pragmatik). Masyarakat pemakai
bahasa tampaknya tidak mengalami kesulitan untuk memilih dan
menentukan bentuk bahasa atau wacana apa yang semestinya digunakan
untuk komunikasi dalam situasi tertentu secara tepat. Masing-masing
komunitas dalam segala masyarakat, termasuk masyarakat Jawa, akan
dengan sendirinya menemukan konsensus sosial berkaitan dengan
wacana yang digunakan sesuai dengan situasinya.
2
Berkaitan dengan pemilihan wacana dalam situasi dan fungsi sosial
tertentu, masyarakat Jawa memiliki dan memelihara salah satu bentuk
komunikasi yang bersifat sosial dan kultural. Bentuk komunikasi itu
diungkapkan dengan cara melakukan aktivitas verbal sosio-kultural
berupa pidato dalam upacara-upacara tertentu yang langsung berkaitan
dengan aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam pandangan ilmu
linguistik, ungkapan verbal atau pidato yang disampaikan pada saat-saat
seremonial itu dapat digolongkan sebagai wacana seremonial.
Istilah
“wacana
seremonial”
tersebut
menunjuk
pada
hasil
pengembangan yang dikemukakan oleh Wedhawati (1979:42) terhadap
pemilahan atau klasifikasi jenis wacana yang diuraikan oleh Longacre
(1968) dalam tulisannya yang berjudul “Discourse, Paragraph, and
Sentence Structure in Selected Philippine Languages”. Jenis wacana
pada dasarnya dapat dipilah menjadi tujuh macam, yaitu wacana naratif,
wacana prosedural, wacana ekspositori, wacana hortatori, wacana
dramatik, wacana epistoleri, dan wacana seremonial. Wacana terakhir
dianggap sebagai salah satu kekhasan jenis dan bentuk wacana dalam
bahasa Jawa. Kekhasan itu menyangkut pemakaian ragam bahasa,
bentuk keutuhan wacana, dan fungsi pemakaian wacana. Berdasarkan
amatan yang telah dilakukan, pada umumnya wacana seremonial
menggunakan ragam bahasa Jawa Krama, dengan beberapa ciri lain
yang mengikutinya antara lain ragam bahasanya halus, bersopan santun,
dan cenderung formal. Sementara itu, khusus untuk pidato perkawinan, di
3
samping banyak menggunakan diksi literer (ragam halus dan terpilih),
bahasa yang disampaikan bernada suka cita. Hal itu misalnya tampak
pada bentuk wacana pidato perkawinan (PP)
pambagyaharja (pidato
penyambutan tamu) berikut ini.
(1) Kula ngaturaken
pasegahan
panakrama
sugeng
rawuh
panjenengan sedaya, winantu ing agenging sembah nuwun awit
saking keparenging rawuh. Wigatosipun, panjenengan sadaya sami
dipunsuwuni tambahing berkah saha pangestu konjuk dhumateng
putra pinanganten. (PP-1/DL: 2)
‘Saya mengucapkan selamat datang kepada anda sekalian, teriring
rasa terimakasih atas kesediaan anda untuk datang. Intinya, anda
sekalian dimohon doa restunya untuk kedua pengantin..’
Sebagai sebuah bentuk wacana seremonial, pidato perkawinan
(PP) memperlihatkan adanya aspek-aspek pengutuh wacana. Aspekaspek itu antara lain adalah keutuhan struktur, keutuhan makna, dan
keutuhan informasi. Secara struktural, teks pada PP merupakan satu
keutuhan yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: bagian awal
(pendahuluan), bagian isi (utama), dan bagian akhir (penutup). Aristoteles,
dalam bukunya yang berjudu Poetics juga menjelaskan bahwa sebuah
karangan yang utuh, termasuk di dalamnya pidato, pada umumnya terdiri
dari tiga bagian utama, yaitu bagian awal, tengah dan akhir (Syafe’ie,
1988:85). Bagian-bagian tersebut dihubungkan dan disatukan oleh
berbagai aspek pengutuh wacana yang bersifat internal dan eksternal
secara komprehensif. Aspek-aspek inilah yang sangat perlu dideskripsikan
dan atau dijabarkan secara lengkap dan jelas untuk mendapatkan
gambaran utuh tentang teks dan konteks PP dalam bahasa Jawa secara
4
lengkap. Kajian tentang PP dalam bahasa Jawa tidak saja berkaitan
langsung dengan gejala bahasa, melainkan juga berhubungan dengan
masalah sosial dan budaya masyarakat pemiliknya. Artinya, kajian teks
dan konteks tentang PP dalam bahasa Jawa diharapkan menghasilkan
temuan-temuan penelitian yang bermanfaat, baik dari segi kebahasaan
(teks) maupun segi sosio-kulturalnya (konteks).
Berdasarkan amatan yang telah dilakukan, ditemukan adanya
beberapa gejala menarik berkaitan dengan keberadaan PP dalam
masyarakat Jawa, terutama di Yogyakarta. Gejala tersebut antara lain
berhubungan dengan masalah bentuk, ciri seremonial teks pidato, dan
kenyataan adanya perubahan yang terus terjadi dalam PP itu sendiri.
Bentuk teks PP dalam bahasa Jawa memperlihatkan adanya
pemakaian ragam bahasa Jawa krama yang halus, khas dan formal.
Pemilihan ragam bahasa ini sangat mungkin berkaitan dengan pemakaian
teks itu dalam sebuah acara seremonial resmi. Sebagaimana yang terjadi
dalam masyarakat Jawa, pemakaian atau pemilihan ragam Krama pada
umumnya terjadi apabila orang yang berbicara merasa perlu menghormati
orang lain yang diajak berbicara. Upacara perkawinan, dapat dikatakan
sebagai wahana komunikasi antarorang yang saling menghormati. Dalam
situasi tersebut, sangat wajar apabila ragam bahasa yang digunakan
bersifat formal. Keformalan itu pada gilirannya menjadi salah satu faktor
terbentuknya teks PP menjadi sebuah wacana yang utuh dan lengkap.
Pengucap pidato tidak akan mengucapkan kata atau kalimat-kalimat yang
5
tidak runtut, atau asal bicara. Semua kalimat yang terucap diusahakan
keluar dengan baik, runtut, dan saling berhubungan. Itulah sebabnya teks
PP menunjukkan adanya keutuhan struktur. Keutuhan ini perlu dikaji lebih
mendalam untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif
tentang bentuk teks PP.
Bentuk formal teks PP menunjukkan ciri-ciri pemakaian bahasa
yang indah, tatabahasanya relatif benar, struktur kalimat yang digunakan
panjang-panjang, dan dilihat segi kewacanaannya, bentuk PP memiliki
kelengkapan unsur-unsur wacana. Keindahan bahasa antara lain terletak
pada diksi (pilihan kata), misalnya masih digunakannya kosakata Kawi
(bahasa Jawa lama), permainan bunyi (purwakanthi), dan gaya bahasa.
Dalam pidato perkawinan, selalu ada keinginan atau kecenderungan
orang yang berpidato menyelipkan diksi bahasa indah, misalnya dengan
banyaknya pilihan kata Kawi (Jawa Kuno/Tengahan). Meskipun banyak
kosakata literer dan arkais yang sudah tidak dimengerti dan tidak
diperhatikan lagi oleh orang (tamu lain)
yang mendengarkan pidato
tersebut, namun cara seperti itu tampaknya tetap dipertahankan. Alasan
utamanya ialah pidato mereka bersifat resmi, diperhatikan banyak orang,
dan
disampaikan
dalam
suasana
keagungan
sebuah
upacara.
Singkatnya, aspek-aspek keindahan bahasa dalam teks PP muncul
karena teks tersebut disampaikan dalam konteks seremonial.
Sekarang ini, seiring dengan perjalanan waktu, perubahan zaman,
dan berbagai kondisi lain yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat
6
Jawa pada umumnya, bentuk teks PP dan jalannya (tatacara) upacara
perkawinan adat Jawa telah banyak mengalami perubahan. Perubahan itu
dapat dilihat terutama sekali pada sifat upacara (seremoni) itu sendiri.
upacara perkawinan yang dulu dianggap sakral, sekarang ini mengalami
perubahan. Sifat sakral semakin menipis. Akibatnya, berbagai aspek lain
dalam upacara perkawinan
itupun juga ikut mengalami perubahan.
Misalnya bentuk teks PP, ragam bahasa, pilihan kosakata, dan tatacara
seremoni perkawinan itu sendiri. Sebuah pertanyaan tentang bagaimana
perubahan konteks dapat mempengaruhi perubahan bentuk teks PP
merupakan persoalan yang sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji
secara mendalam. Oleh karena itu kajian tentang teks dan konteks PP
dalam bahasa Jawa diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan dan
jawaban terhadap masalah tersebut.
Menurut Halliday dan Hasan (1992:6), bahasa dapat dipahami
melalui kajian teks.
Pengertian teks
dalam
persoalan
ini,
yang
dimaksudkan adalah representasi bentuk wacana seremonial yang tidak
terlepas dari situasi dan kondisi (konteks) yang melatarbelakangi
munculnya teks tersebut. Sehubungan dengan hal itu, Malinowski (dalam
Halliday dan Hasan, 1992:9) menegaskan bahwa konteks situasi menjadi
bagian tak terpisahkan dari teks, dan untuk sampai pada pemahaman teks
secara menyeluruh, lingkungan teks tersebut tidak boleh ditinggalkan.
Salah satu cara untuk memerikan teks adalah dengan penafsiran yang
terinci, atau explication de texte, yaitu sejenis laporan langsung mengenai
7
hasil suatu peristiwa sebagai proses. Masalah dalam pendekatan ini ialah
bagaimana menghubungkan teks tersebut dengan situasi kebahasaannya
sebagai satu keutuhan.
Teks PP terjadi dalam situasi kebahasaan yang bersifat sosiokultural. Artinya, teks tersebut dihasilkan dalam situasi yang berkaitan erat
dengan masalah sosial dan kultural. Secara spesifik, teks PP hadir karena
situasi seremonial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Jawa. Oleh
karena itu, keberadaan PP sebagai sarana komunikasi yang bersifat
sosio-kultural dalam repertoar kebahasaan masyarakat Jawa, merupakan
objek kajian analisis wacana yang sangat penting. Sebagaimana disadari,
bahasa adalah kegiatan sosial. Suatu perilaku yang berhubungan erat
dengan jenis tingkah laku sosial dan budaya. Oleh karena itu bahasa
harus dipelajari dalam konteks sosial dan budaya (Nivens, 1996:2).
Jelasnya, teks dan konteks PP perlu diungkap untuk mendapatkan
gambaran utuh mengenai bentuk komunikasi verbal masyarakat Jawa
yang bersifat seremonial ini. Dasarnya, sebagai sebuah bentuk wacana
yang khas dan khusus, penelitian terhadap PP memberi kontribusi pada
pengembangan ilmu linguistik dan penelusuran aspek sosio-kultural
masyarakat pemilik wacana itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa merupakan perilaku
sosial budaya yang masih dipelihara dengan baik. Pada umumnya,
8
upacara perkawinan yang bersifat seremonial tersebut, disampaikan
dengan bahasa Jawa formal. Rangkaian dan perpindahan setiap acara
dibacakan oleh seorang pranatacara (pembawa acara atau master of
ceremony). Sementara itu beberapa orang yang ditunjuk oleh pranatacara
diminta tampil membawakan pidato-pidato dalam rangkaian upacara
perkawinan tersebut. Bahasa atau bentuk wacana yang digunakan
mereka umumnya juga dijaga keformalannya. Beberapa pilihan kata atau
istilah yang digunakan banyak yang termasuk kategori literer, arkais dan
indah. Ini menguatkan anggapan bahwa bahasa atau wacana dalam
upacara perkawinan untuk sebagian besar tidak digunakan dalam
komunikasi
sehari-hari.
Dengan
demikian
dapat
dipahami
bahwa
penggunaan bahasa Jawa dalam upacara perkawinan berbeda dengan
penggunaan bahasa Jawa di luar upacara perkawinan. Jadi, sebagai
sebuah bentuk wacana yang utuh, bahasa yang digunakan dalam upacara
perkawinan benar-benar bersifat khas dan khusus.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, terdapat
beberapa hal penting menyangkut kajian PP, yaitu persoalan bentuk dan
bahasa yang digunakan dalam pidato, masalah aspek-aspek keutuhan
teks secara internal maupun ekstenal, dan masalah konteks sosial dan
budaya yang menjadi latar belakang munculnya PP. Oleh karena itu
permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Bagaimana penggunaan bahasa dan bentuk teks wacana pidato dalam
upacara perkawinan. Permasalahan ini akan membahas pemakaian
9
bahasa, ragam bahasa, tingkat tutur dan keutuhan struktur (bentuk)
wacana pidato perkawinan. Pembahasan terhadap permasalahan ini
akan menjelaskan aspek kohesi dan koherensi sebagai sarana
keutuhan wacana pidato perkawinan.
b. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pidato perkawinan bersifat
estetik dan seremonial. Kajian permasalahan ini akan mengungkap
aspek estetika bahasa. Aspek-aspek estetika tersebut sangat relevan
diuraikan karena keberadaan wacana ini justru menjadi sangat penting
karena aspek ini pula yang menentukan kekhususan bentuk wacana
PP sebagai wacana estetik-seremonial.
c. Bagaimana kesesuaian segi-segi dan perubahan bahasa dalam pidato
perkawinan dengan konteks yang melatarbelakangi munculnya teks
seremonial tersebut. Kajian ini terutama membahas bentuk teks PP
yang menyesuaikan konteks, dan bagaimana perubahan-perubahan
yang terjadi. Pembahasan juga diarahkan untuk menjelaskan kondisi
konteks seperti apa yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
teks PP tersebut.
Ketiga
permasalahan
tersebut
pada
dasarnya
menyangkut
eksistensi PP yang hidup dan masih terus dipelihara dengan baik oleh
masyarakat Jawa. Fenomena kultural itu kiranya menyediakan sejumlah
permasalahan pokok yang perlu dikaji dan dianalisis secara mendalam
untuk mendapatkan jawaban dan hasil penelitian yang jelas dan
komprehensif.
10
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dan
menjelaskan berbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan
keberadaan wacana seremonial pidato perkawinan dalam khasanah
komunikasi sosio-kultural masyarakat Jawa. Secara lebih jelas tujuan
penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.
a. Menjelaskan penggunaan bahasa dan bentuk wacana PP secara
komprehensif, meliputi pemakaian bahasa, ragam bahasa, tingkat
tutur, dan keutuhan struktur wacana PP. Menjelaskan aspek-aspek
atau faktor-faktor kebahasaan yang menyebabkan wacana pidato
dalam upacara perkawinan memiliki sifat seremonial.
b. Menjelaskan aspek estetika pidato perkawinan. Dalam kajian ini
dijelaskan aspek-aspek estetika susastra Jawa yang ditemukan dalam
wacana PP, dan bagaimana aspek-aspek tersebut menjadikan wacana
pidato perkawinan Jawa menjadi indah.
c. Menjelaskan perubahan bentuk pidato dalam upacara perkawinan
karena perubahan konteksnya. Bagian ini terutama menjelaskan
faktor-faktor kontekstual yang melatarbelakangi terjadinya perubahan
bentuk pidato perkawinan Jawa, dan bagaimana perubahan tersebut
berpengaruh dalam konteks seremonial perkawinan masyarakat Jawa.
11
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang
signifikan baik secara teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis terutama
berkaitan dengan pengembangan linguistik bidang analisis wacana.
Analisis tersebut mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa bentuk teks
sangat tergantung pada komponen tutur yang melingkupinya. Dengan
dasar teori Hymes (1968:99), keberadaan dan kondisi bentuk kebahasaan
tertentu perlu dilihat dengan cara merunut hubungan yang terjadi antara
bentuk dan komponen wacana/tutur yang menjadi latarbelakangnya.
Secara praktis, penelitian ini diharapakan bermanfaat bagi berbagai
pihak dan bidang; antara lain: (1) pembinaan dan pelestarian bahasa
Jawa, terutama kenyataan adanya bentuk teks PP yang masih digunakan
masyarakat; (2)
penyusunan wacana seremonial (pidato, ceramah,
diskusi) secara kontekstual. Artinya, diperlukan kemampuan untuk
melakukan pemilihan dan pemakaian bentuk wacana secara tepat dan
sesuai dengan tujuan diadakannya upacara perkawinan; (3) kajian tentang
wacana PP juga memungkinkan ditemukannya nilai-nilai kearifan lokal
(local wisdom) yang dianut masyarakat Jawa, dan (4) Hasil akhir
penelitian ini diharapkan juga dapat memberi wawasan atau usulanusulan yang bersifat terbuka tentang bagaimana cara melaksanakan
upacara perkawinan yang sesuai dengan kondisi jaman dan keadaan
masyarakat Jawa sekarang ini.
Download