UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI HUKUM KESEMPATAN KERJA YANG SAMA (EEOL) PADA PEKERJA WANITA DI JEPANG MAKALAH NON SEMINAR FRITA HANDAYANI NPM 1006700596 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK DESEMBER, 2013 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Abstrak Makalah ini membahasa bagaimana implementasi Equal Employment Opportunity Law (EEOL) terhadap pekerja wanita di Jepang. Implementasi EEOL di Jepang berbeda dengan negara lain. Jepang dengan pola struktur masyarkat patriaki yang kuat yang lebih mendahulukan kedudukan pria dibandingkan dengan wanita membuat penerapan EEOL ini menemukan beberapa hambatan. Walaupun presentase pekerja wanita dalam angkatan kerja Jepang tidaklah sedikit, masih ditemukan beberapa bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh perusahaan terkait penempatan kerja dan promosi jabatan. Hasil analisis dalam makalah ini menunjukkan bahwa EEOL masih belum mampu mengatasi diskriminasi yang dialami oleh para pekerja wanita dikarenakan tidak adanya sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melakukan praktek diskriminasi. Kata kunci: Equal Employment Opportunity Law (EEOL), pekerja wanita, diskriminasi Abstract This paper discusses how implementation of the Equal Employment Opportunity Law (EEOL) against female workers in Japan. Implementation EEOL in Japan is different from other countries. Japan with the strong structure of patriarchal society culture which put the position of men above women making the application of this EEOL find some obstacles. Although the percentage of female workers in the Japanese labor force is quite large in the reality still found some form of discrimination by the company related work placements and promotions against female workers. The results of the analysis in this paper shows that EEOL still not able to overcome the discrimination experienced by women workers due to the lack of strict punishment for those who engage in discriminatory practices. Keywords: Equal Employment Opportunity Law (EEOL), female workers, discrimination Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Pendahuluan “Jepang masih menjadi negara berkembang dalam hal kesetaraan gender” begitulah pernyataan Mariko Brando di New York Times, 25 Juli 2003.1 Alasan mengapa wanita tidak dilibatkan dalam pekerjaan terletak pada struktur masyarakat tradisional Jepang yang merupakan masyarakat patriarki yang lebih memandang pria daripada wanita. Begitu juga dengan perlakuan terhadap wanita dalam sejarah masyarakat Jepang. Dahulu, wanita dipekerjakan untuk pekerjaan administrasi jangka pendek dan membuat teh. Wanita ini disebut sebagai “Office Ladies”. Posisi penting dalam karir hanya ditujukan untuk pria. Mengapa pria lebih dikhususkan karena didasari oleh pembawaan biologis yang membedakan antara pria dan wanita. Banyak orang Jepang yang percaya bahwa dikarenakan wanita yang mengandung, merekalah yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk merawat anak. Pria biasanya tidak memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam merawat anak. Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan wanita tidak mendapatkan posisi yang ‘nyaman’ dalam dunia kerja. Namun, dengan arus globalisasi yang telah membawa banyak ideologi yang berasal dari barat, Jepang mengalami perubahan dalam hal kesetaraan gender.. Ideologi tersebut tentunya ada yang bertentangan dengan struktur masyarakat sosial di negara yang terpengaruh oleh arus globalisasi (Appadurai, 1996). Globalisasi bisa dilihat sebagai aliran masuknya ideologi, kesan dan informasi dari belahan dunia lain dan menyebabkan adanya perubahan di bidang praktek institusi nasional. 1 Koshal, Rajindar K.; Yamada, Yuko; Miyazima, Sasuke; Kosha, Manjulika; and Gupta, Ashok K. (2004). Female Workers in Japan: Opportunities & Challenges. Journal of International Women's Studies, 6(1), 137-148. (http://vc.bridgew.edu/jiws/vol6/iss1/10) Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Dengan masukknya ideologi kesetaraan gender, telah muncul berbagai pro dan kontra, serta perubahan peraturan dan hukum yang mengatur tentang kesetaraan gender tersebut. perubahan peraturan dan hukum tentang kesetaraan gender di Jepang tidaklah sama dengan negara barat yang memperkenalkan ideologi tersebut. Bentuk kesetaraan gender pada makalah ini lebih difokuskan kepada kesempatan wanita di dalam dunia kerja. Sejak Jepang menyetujui ratifikasi Equal Employment Opportunity Law (EEOL) pada tahun 1997 dan Konvensi Internasional mengenai diskriminasi terhadap wanita (CEDAW). Apa sajakah implikasi EEOL kepada para pekerja wanita Jepang untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan pria. Sejarah Singkat EEOL di Jepang Equal Employment Opportunity Law yang disingkat menjadi EEOL bertujuan memberikan kesempatan yang sama bagi pria maupun wanita di tempat kerja dan melarang diskriminasi dalam perekrutan, penerimaan, penugasan, dan promosi kerja. Jepang menyatakan EEOL pada tahun 1985 untuk memenuhi persyaratan ratifikasi Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW), dokumen yang berisi pembukaan dan 30 artikel yang mendefinisaikan diskriminasi dan menetapkan agenda nasional untuk memperbaiki diskriminasi tersebut. Negara-negara uang menandatangai konvensi tersebut berkomitmen; menyertakan asas kesetaraan pria dan wanita dalam sistem hukum, menghapuskan semua hukum diskriminatif dan menerapkan hukum yang tepat yang melarang diskriminasi terhadap perempuan. membentuk pengadilan dan institusi publik lainnya untuk menjamin Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 perlindungan yang efektif bagi perempuan dari diskriminasi; dan memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh perorangan, organisasi atau perusahaan. (United Nations, 2001) Pemerintah Jepang menjadi negara ke 72 yang menandatangani CEDAW pada tahun 1980. Walaupun Jepang tidak bisa mengesahkan CEDAW tanpa memperkenalkan undang-undang baru tentang kesetaraan kerja, EEOL tidak mencapai parlemen sampai tahun 1984. EEOL disahkan pada 17 Mei 1985 daan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1986. Poin utama dari EEOL ini adalah: Perusahaan ‘berupaya’ dengan sukarela untuk memperlakukan wanita sejajar dalam perekrutan, penerimaan, penempatan pekerjaan, dan promosi jabatan. Dilarang memperlakukan wanita berbeda dari Pria dalam hal pelatihan keterampilan kerja, tunjangan, usia pensiun, dan pemberhentian kerja. Pada tahun 1997 EEOL diubah untuk memperkuat dan memperbaiki kelemahan daari EEOL tahun 1985. Hukum baru tersebut: Melarang diskriminasi dalam perekrutan, penerimaan, penempatan, dan promosi kerja; Memberikan kewenangan pemerintah untuk menengahi perselisihan berdasarkan pengaduan dari satu pihak; Mewajibkan kementerian tenaga kerja untuk mempublikasikan namanama perusahaan yang tidak mematuhi peringatan administratif; Perusahaan diminta untuk mengambil langkah-langkah untuk Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 mencegah pelecehan seksual. Sementara revisi EEOL dilaksanakan pada tanggal 1 April 1999, masih tidak ada sanksi pidana yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang melakukan diskriminasi terhadap pekerja wanita Jepang. Pekerja Wanita di Jepang Pekerja wanita memberikan peranan kepada perekonomian Jepang. Pada tahun 2007, sekitar 41,5 persen dari total pekerja adalah wanita. Tingkat partisipasi tenaga kerja wanita Jepang telah menunjukan dari sekitar setengah dari semua perempuan antara 15 sampai 65 tahun terlibat dalam pekerjaan. Sebagian dari mereka sudah menikah dan wanita paruh baya dari usia 40 sampai 54 tahun memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja tertinggi di antara perempuan di berbagai kelompok usia. Terkait dengan klasifikasi dalam industri, wanita terkonsentrasi pada industri tersier, khususnya di sektor jasa, penjualan, restauran, keuangan, asuransi, dan lain sebagainya. Di industri manufaktur, perempuan menonjol di industri ringan, seperti produksi tekstil dan makanan, bukan di industri berat. Statistik ini menunjukkan bahwa perempuan tidak menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai satu-satunnya pilihan dan memainkan peran yang sangat signifikan dalam pasar tenaga kerja. Tidak seperti kebanyakan pria, sebagian besar wanita yang mencari kemungkinan untuk memasuki pasar kerja memenyelesaikan masalah mereka sendiri. Dari sudut pandang siklus kehidupan, perempuan secara umum harus membuat keputusan pada tiga waktu yang berbeda, yaitu, saat menikah, setelah melahirkan dan ketika anak mereka memulai sekolah. Sementara kebanyakan wanita bercita-cita untuk bekerja, pada kenyataanya karir mereka dibatasi. Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Kurva ’M’ disebut sebagai suatu gambaran tentang partisipasi wanita dalam angkatan kerja. Berikut adalah grafik yang menjelaskan mengenai kurva M. Gambar 1 Presentase pekerja wanita dalam angkatan kerja tahun 2007 Sumber:Kokuritsu Josei Kyouiku Kaikan 2009 Titik pertama dari kurva M berdasarkan persentasi partisipasi kerja yang sesungguhnya, pada kelompok usia 20-24 memiliki tingkat partisipasi sebesar 71.3% pada tahun 2007. Puncak ini dikarenakan wanita memasuki angkatan kerja setelah meyelesaikan pendidikan tinggi. Di bagian bawah adalah kategori usia 3034 dengan partisipasi angkatan kerja 64.2%. Kemiringan dalam kurva tersebut disebabkan para wanita meninggalkan pekerjaan mereka untuk membesarkan anakanak. Puncak kedua dalam kurva muncul ketika wanita kembali bekerja setelah membesarkan anak-anak mereka. Wanita dalam kelompok usia 45-49 memiliki tingkat partisipasi sebesar 72%. Kurva berpola M mulai terlihat di Jepang dengan gabungan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1960an dan dominasi pekerja paruh waktu menjadi alternatif bagi wanita yang ingin kembali bekerja setelah melahirkan. Istilah paruh waktu (part-timer) tidak hanya meliputi pekerja dengan waktu kerja Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 yang sedikit/terbatas, tetapi juga ditujukan kepada pekerja yang bekerja penuh (fulltime) tetapi dipekerjakan berdasarkan kontrak dan dibayar per jam tanpa mendapat keuntungan tunjagan seperti pekerja full-timer. Jumlah wanita yang telah menikah yang menjadi ibu rumah tangga dengan kerja paruh waktu melampaui jumlah ibu rumah tangga yang tidak bekerja paruh waktu pada tahun 1983. Ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu dapat dibagi menjadi dua kategori2. Kategori pertama, mendahulukan pekerjaan rumah tangga dibandingkan karir. Ibu rumah tangga dengan kategori ini cenderung menunda karir mereka untuk memfokuskan diri mereka untuk melahirkan dan merawat anak. Kategori kedua, adalah mereka yang memprioritaskan karir mereka di kantor. Terdapat empat jenis wanita yang menikah3, yaitu: (1) Ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu. Wanita yang memilih untuk bekerja paruh waktu melihat pekerjaan mereka untuk menambahkan penghasilan keluarga mereka. Mereka biasanya bekerja sebagai penjaga kasir, menjadi pelayan di snack bar4, dan menjadi asisten penjualan di pertokoan dan kios. Pilihan yang lain adalah di perusahaan sementara (hakken) yang mengirim pekerja professional yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kemudian mengirimkan kepada perusahaan yang meminta tenaga professional tersebut. Para pekerja ini terdiri dari berbagai macam cakupan seperti memprogram computer, penterjemah, sekretaris, pembukuan, menyusun dan membersihkan bangunan. Opsi lain di luar pasar kerja adalah membangun usaha sendiri. Seperti membangun toko sendiri yang Bishop, Beverly (2004) Globalization and Women in the Japanese Workforce. Routledge hlm 166 3 Sugimoto, Yoshio. (1997) An Introduction to Japanese Society. Cambridge : Cambridge University Press. hlm 171 4 tempat umum di mana makanan kecil dan makanan ringan disajikan biasanya di counter 2 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 menjual berbagai jenis barang seperti pakaian, aksesoris, makanana dan lain sebagainya. Alasan utama mereka memilih untuk bekerja paruh waktu karena dianggap lebih fleksibel dari segi waktu maupun memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Kategori umur yang masuk dalam jenis ini adalah mereka yang sudah mencapai pertengahan umur 30 dan anak-anak mereka sudah masuk masa sekolah. (2) Wanita karir yang bersaing dengan pria di tempat kerja dan sebagian besar memiliki kebebasan dalam mengatur kehidupan keluarga mereka. Kebanyakan dari jenis ini masuk ke dalam kategori pekerja di jalur eksekutif yang ingin mengincar jabatan atau posisi penting di dalam pekerjaaan mereka atau yang dikenal dengan istilah sogo shoku. Wanita dalam grup inilah yang banyak berkontribusi dalam memberikan dororongan untuk kesetaraan gender dalam perekrutan dan promosi di tempat kerja. (3) Ibu rumah tangga purna waktu yang harus tunduk pada permintaan suami mereka. Ibu rumah tangga purna waktu dianggap memiliki peranan penting dalam mengatur keuangan rumah tangga. Mereka yang mengatur pengeluaran kebutuhan sehari-hari seperti makanan sehari-hari, membayar tagihan bulanan dan lain sebagainya. Namun ternyata, suami lah yang menjadi pemimpin dalam membuat keputusan besar di dalam keluarga. 5 Sebuah survei nasional menunjukkan bahwa hanya dalam jumlah kecil ibu rumah tangga yang mebuat keputusan tentang pembelian barang-barang yang besar dan penting seperti tanah, rumah, mobil, dan furnitur. Sebagian besar orang merasa bahwa seluruh kekuatan dalam pengambilan keputusan terletak pada suami, bukan istri. Hal ini Sugimoto, Yoshio (1997) An Introduction to Japanese Society.Cambridge University Press. Hlm 174 5 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 menunjukkan bahwa kekuatan istri dalam urusan rumah tangga di Jepang mungkin dibesar-besarkan, meskipun tren saat ini lebih ke arah kesetaraan diantara pasangan suami istri. (4) Networkers yang terdiri dari wanita yang tidak ingin bekerja di dunia bisnis tetapi ingin memperoleh kesetaraan gender di dalam rumah tangga. Beberapa wanita memilih untuk bekerja di organisasi komunitas di lingkungan mereka. Termasuk di dalamnya para perkumpulan pekerja yang bertujuan untuk membangun stuktur kerja alternatif yang mana karyawan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Perkumpulan ini tidak mengharapkan keuntungan sebagai tujuan utama mereka dan berusaha membangun sebuah networking antara anggota. Para wanita yang masuk dalam kategori ini mengatur organisasi di perguruan tinggi, pusat pendidikan budaya untuk orang dewasa, medirikan toko daur ulang, berkerja sebagai penghubung dari rantai koperasi yang besar. Terdapat pula sebuah perkumpulan pelayanan keluarga, yang mana para anggotanya saling membantu dalam tugas-tugas rumah tangga seperti membersihkan rumah, belanja, mencuci dan merawat bayi dengan biaya nominal. Organisasi ini memiliki stuktur masyarakat yang horizontal. Wanita yang berumur 40 sampai 50 tahun lebih yang memiliki banyak waktu luang dan biaya untuk memiliki anak dan pendidikan anak memiliki peranan penting dalam aktifitas organisasi mereka. Di dukung pula dengan suami mereka yang masih bekerja dan memiliki banyak waktu dan sumber penghasilan yang memadai. Jalur Pekerjaan Untuk Wanita EEOL memberikan peluang kepada perusahaan untuk memperkenalkan sistem dual tracks-dua jalur sistem penerimaan pegawai. Sebuah sistem yang Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 menggeser proposi pekerja wanita menjadi pekerja non-reguler pada angkatan kerja. Sistem dua jalur ini terbagi dua, kategori pertama adalah mereka yang memegang jabatan dengan kesempatan promosi jabatan untuk posisi manajerial dan eksekutif (sogoshoku), kategori kedua adalah mereka yang diposisi dimana peluang dan promosi jabatan terbatas (ippanshoku). (a) Pekerja Wanita di Jalur Eksekutif Bagi wanita yang bersungguh-sungguh dengan karirnya, EEOL telah memberikam efek positif yaitu membuka kesempatan untuk masuk berbagai macam jenis pekerjaan. Namun terkadang banyak perusahaan yang membuat suatu syarat tersirat yang menyulitkan bagi para wanita untuk masuk ke dalam sogoshoku maupun bagi para wanita yang ingin mendapatkan promosi jabatan di tempat kerja. Salah satu syarat tersebut adalah latar belakang pendidikan yang menjadi hambatan wanita untuk masuk ke jalur sogoshoku. Ada suatu pemahaman dalam masyarakat Jepang bahwa biasanya wanita jarang yang mampu menyelesaikan studinya sampai jenjang sarjana, karena membutuhkan biaya serta finansial keluarga yang cukup. Sering terjadi overqualifikasi bagi wanita yang telah menyelesaikan studinya di jenjang sarjana (4 tahun). Diantara tahun 1982 hingga 1992 pekerjaan yang paling banyak dipilih bagi wanita yang lulus dari program 4 tahun berganti dari pekerjaan yang professional menjadi pekerjaan kantor dan sejenisnya. Beberapa wanita harus memberikan komitmen lebih bila mereka berada di bagian pekerjaan umum. Perusahaan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menlanjutkan ke sogoshoku, tetapi hal tersebut tidak berlaku selama masih ada peraturan yang mengikat. Sebagai contoh, hanya pegawai yang diberikan pelatihanlah yang diberi kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan. Jarang Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 sekali wanita yang dipilih untuk mengikuti pelatihan tersebut. Menurut artikel yang ditulis oleh Japan’s Woman-Working Problem bahwa “Hampir setengah dari wanita Jepang adalah lulusan universitas. Namun sayangnya kurang dimanfaatkan. Hanya 67% perempuan berpendidikan perguruan tinggi yang saat ini bekerja, dan banyak dari mereka dibawar dengan upah rendah atau ditutup jalur karirnya sebagai ‘office lady’ yang hanya berperan untuk menyiapkan teh bagi manajer pria dan membersihkan meja kantor mereka di akhir hari.” 6 Artikel ini menunjukkan dengan jelas bahwa belum tentu wanita yang sudah memiliki kualifikasi dapat dengan mudah mendapatkan posisi yang ideal dan setara dengan pekerja pria di jalur eksekutif Wanita yang berhasil masuk ke jalur eksekutif tidak begitu menyukai waktu lamanya bekerja berlebih yang harus dia lakukan. Sulit bagi wanita untuk mengambil keputusan apakah dia bisa melanjutkan untuk bekerja dengan menganggu beban yang sama seperti salaryman7. Pekerja sogoshoku wanita, pada beberapa instansi, memiliki pekerjaan yang lebih berat dari pada rekan salaryman yang lain. Walaupun pekerjaan mereka setara dengan pegawai pria, wanita masih tidak mendapatkan kesempatan untuk naik jabatan. Wanita pun dituntut untuk melakukan pekerjaan domestic sambil bekerja di perusahaan. Masyarkat partriaki Jepang lebih setuju bila wanita dirumah saja dan mengurusi rumah tangga. Tidak ada kompenisasi bagi wanita yang ingin melambungkan karirnya. Tidak seperti di Amerika ataupun Indonesia yang memiliki pembantu rumah tangga atau babysitters, di Jepang semua pekerjaan domestik dilakukan secara mandiri oleh wanita. Inilah yang menyebabkan wanita Sylvia Ann Hewlett (2011). Japan’s Working-Woman Problem. (http://ideas.time.com/2011/12/11/japans-working-woman-problem/) 7 Pekerja kerah putih di Jepang 6 Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 kelelahan pada pekerjaan kantor yang menuntut mereka untuk bekerja multi-tasking dengan jam kerja yang lama. Tidak heran mengapa tingginya angka wanita yang keluar dari sogoshoku. (b) Pekerja Wanita di Jalur Umum (Ippanshoku) Ippanshoku tidak memiliki tanggung jawab dan peran yang sama dengan pekerja umumnya. Ippanshoku diartikan secara harfiah adalah ‘pekerja biasa’ yang berbeda dengan sogoshoku yang menuntut pekerjaan multi-tasking. Sebagian besar wanita lebih memilih ippanshoku karena mereka sangat paham dengan tuntuan pekerjaan sogoshoku, dan mengetahui bahwa pindah dari satu jalur ke jalur yang lain tidaklah mudah. Berikut ini adalah contoh diskriminasi yang dilakukan di tempat kerja. Sebagian kecil pekerja wanita diberikan kesempatan untuk berpindah jalur pekerjaannya melalui tes promosi jabatan yang diberikan oleh perusahaan. Tetapi untuk bisa mengikuti tes tersebut para pekerja harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan dan biasanya hanya pria yang dapat mengikuti pelatihan tersebut. Tampak dari contoh diatas diskriminasi masih kerap terjadi di perusahaan. Perusahaan memang memberikan hak yang sama dalam penerimaan pekerjaan tetapi para pekerja wanita tidak leluasa untuk memilih jalur pekerjaan yang mereka inginkan. Contoh lainnya adalah pekerja wanita telah dibujuk atau ditempatkan di bawah tekanan untuk tidak mengambil jalur sogoshoku. Pekerja wanita yang ingin masuk ke jalur sogoshoku harus siap melakukan pekerjaan yang sama dengan pegawai pria, salah satunya adalah siap untuk dipindahkan dimana saja di dalam negeri setiap saat, dan ini merupakan sesuatu hal yang tidak menarik bagi kebanyakan wanita Jepang, yang biasanya lebih memilih tinggal bersama orang tua bila belum menikah dan setelah menikah tidak ingin hidup terpisah dari suami Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 mereka. Kegagalan EEOL dalam Memperbaiki Diskirminasi Pekerja Wanita EEOL memainkan ide yang memaksakan bagi Jepang dari luar, dan menganggap hukum tersebut sebagai bentuk dan impelialisasi kebudayaan Barat. Terdapat oposisi dari para boss perusahaan. Pria dan wanita secara biologis berbeda dan sudah sewajarnya diperlakukan berbeda, dan Undang-undang perlindungan Jepanglah yang menurunkan derajat wanita di posisi pekerjaannya dan penyebab terjadinya diskriminasi terhadap wanita. Di tahun 1990an sebelum hukum persamaan kesempatan kerja ini benarbenar memiliki pengaruh yang kuat di Jepang, terdapat banyak pengaduan mengenai diskriminasi terhadap wanita. Salah satu pengaduan diajukan oleh wanita yang baru lulus dari kuliah adalah mereka tidak mendapatkan respon untuk meminta brosur perusahaan; tidak diijinkan untuk mengikuti ujian masuk, dibatasi oleh kondisi yang hanya menerima pelajar yang tinggal dengan keluarganya atau belum menikah. Pada prakteknya di lapangan, wanita memang diberi kesempatan yang sama untuk bekerja dengan pria, tetapi hal ini tidak berlaku bila wanita ingin menekuni bidang karirnya. Wanita masih sulit untuk bisa mendapatkan posisi eksekutif di perusahaan, walaupun mereka mempunyai dikatakan memiliki kesempatan yang sama dengan pria. Dapat dilihat makna ‘kesempatan yang sama’ hanya berlaku untuk perekrutan pekerjaan di perusahaan. Diibaratkan wanita dan pria masuk dalam pintu masuk yang sama tetapi belum tentu memiliki posisi dan jabatan yang sama. Berdasarkan artikel pada New York Times tertulis “Sejak Undang – Undang Kesempatan Kerja yang Sama pada tahun 1985, wanita telah Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 menjadi pemandangan umum di pabrik, di lokasi konstruksi, dan di belakang roda taksi. Tetapi mereka sudah jauh kurang berhasil mencapai posisi otoritas, yang tetap memegang wewenang adalah salayman berbaju abu-abu.” 8 . Setelah penguatan EEOL memiliki efek di tahun 1999, beberapa pekerja regular wanita menjadi di klasifikasikan kembali menjadi pekerja non-reguler. Di dalam artikel yang sama dipaparkan pula walaupun kasus diskriminasi yang demikian nyata di Jepang, tuntutan hukum tetap langka karena adanya budaya yang enggan untuk menuntut sampai proses pengadilan. Masalah besar yang lain adalah bahwa hukum kesempatan yang sama pada dasarnya ‘tidak bergigi’. Meskipun telah dilakukan revisi untuk memperkuat hukum tersebut, tidak ada hukuman nyata bagi perusahaan yang terus menerus melakukan pelanggaran. Kesimpulan Globalisasi telah membawa ideologi baru ke Jepang, salah satunya adalah tentang kesetaraan gender. Jepang perlu menyesuaikan diri dengan ideology tersebut mengingat struktur dominan pada masyarakat Jepang adalah patriarki. Salah satu poin dalam ide kesetaraan gender tersebut adalah tentang persamaan kesempatan bekerja baik pria maupun wanita. Sejak Hukum Kesempatan Kerja Yang Sama atau yang lebih dikenal dengan Equal Employment Opportunity Law mulai di implementasikan di Jepang pada tahun 1989, banyak terjadi perubahan pada regulasi yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Terbukan kesempatan bagi wanita untuk berkarir dan bekerja di perusahaan yang sama dengan pria. Namun pada praktek lapangannya, masih terdapat diskriminasi terhadap wanita. Akibat dari 8 Martin Fackler (2007) Career Women in Japan Find (http://www.nytimes.com/2007/08/06/world/asia/06equal.html?_r=2&) Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 a Blocked Path. implementasi EEOL ada dua jalur yang bisa dipilih oleh wanita bila ingin bekerja di kantor. Mereka harus memilih antara jalur eksekutif (sogoshoku) yang memiliki banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi, atau jalur pekerja biasa (ippanshoku) yang tidak memiliki tanggung jawab besar dan tidak memiliki akses untuk promosi jabatan. Walaupun seorang wanita sudah masuk di dalam jalur eksekutif, tidak dapat dipastikan bahwa wanita tersebut akan mendapatkan hak promosi yang sama seperti pegawai pria. Walaupun perubahan kesetaraan gender secara legal telah tercapai namun praktik dilapangan, kultur dan sosial norma di masyarakat belum menunjukkan dampak yang signifikan. 9 Implementasi EEOL untuk mengatasi diskriminasi dikalangan pekerja wanita kurang efektif karena tidak adanya perubahan yang signifikan terhadap nasib pekerja wanita. Pekerja wanita dalam dunia pekerjaan masih mendapatkan diskriminasi. Keberadaan EEOL tidak begitu kuat perannya di Jepang karena tidak adanya sanksi yang tegas kepada perusahaan yang melakukan diskriminasi terhadap wanita. 9 Barret, Kelly. Women in the Workplace: Sexual Discrimination in Japan Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013 Daftar Referensi Appadurai, A (1996) Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press. Barret, Kelly. Women in the Workplace: Sexual Discrimination in Japan. Bishop, Beverly (2004) Globalization and Women in the Japanese Workforce. Routledge Koshal, Rajindar K.; Yamada, Yuko; Miyazima, Sasuke; Kosha, Manjulika; and Gupta, Ashok K. (2004). Female Workers in Japan: Opportunities & Challenges. Journal of International Women's Studies. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol6/iss1/10 Martin Fackler (2007) Career Women in Japan Find a Blocked Path. http://www.nytimes.com/2007/08/06/world/asia/06equal.html?_r=2& Sugimoto, Yoshio (1997) An Introduction to Japanese Society.Cambridge: University Press. Sylvia Ann Hewlett (2011) Japan’s Working-Woman Problem. http://ideas.time.com/2011/12/11/japans-working-woman-problem/ Working Condition and Labour Market http://www.jil.go.jp/jil/bulletin/year/1994/vol33-06/02.htm Implementasi hukum ..., Frita Handayani, FIB UI, 2013