BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan
dengan
pergaulan
manusia
dan
manusia
serta
lingkungannya
(http://kbbi.web.id/agama). Agama menjelaskan segala sesuatunya dengan kompleks,
antara Tuhan, manusia, dan lingkungan.
Baumaster (1991) menyatakan bahwa dalam kehidupan di dunia, agama merupakan
pusat petunjuk bagi kehidupan banyak orang, memberikan motivasi dan menjelaskan
tujuan dari sebuah kehidupan yang baik serta pedoman untuk mencapai tujuan dari
kehidupan yang dijelaskan oleh agama itu sendiri. Dilanjutkannya, bahwa agama
memberikan kerangka untuk kehidupan dalam menentukan apa yang benar dan baik dan
apa yang harus dicari, serta menentukan apa yang salah dan buruk dan harus dihindari
dengan petunjuk dari Tuhan melalui kitab agama atau sumber lainnya.
Selaras dengan pernyataan diatas, negara Indonesia yang memiliki ideologi
pancasila ini juga menerapkan sistem wajib percaya akan adanya Tuhan. Hal tersebut
tertuang pada pancasila sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh
dari itu, secara tidak langsung masyarakat Indonesia diwajibkan untuk memeluk agama
sesuai dengan keyakinannya masing-masing tanpa ada paksaan. Hal ini dijelaskan dalam
UUD 1945 pada pasal 29 ayat 2 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaan itu.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2010 sebanyak 237.641.326 jiwa ini memiliki 6 agama besar yang diakui oleh negara yaitu
agama Islam dengan dengan jumlah 207.176.162 jiwa (87,1 persen), kemudian agama
Kristen 16.528.513 jiwa (6,9 persen), lalu agama Khatolik 6.907.873 jiwa (2,9 persen),
Hindu 4.012.116 jiwa (1,6 persen), Buddha 1.703.254 jiwa (0,7 persen), dan Konghucu
117.091 jiwa (0,05 persen). Ada juga keyakinan lain di Indonesia seperti animisme,
kejawen, taoisme, Yahudi, dan lain sebagainya. Penganut aliran ini dibiarkan begitu saja,
asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan Keppres Nomor
1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ajaran agama-agama yang ada di Indonesia bertujuan agar masyarakat memiliki
kehidupan yang baik. Menurut Baumaster (1991) Agama menjanjikan ketenangan hidup
yang bisa diraih ketika manusia mengikuti ajaran-ajaran yang telah ditentukan oleh
masing-masing agama dengan caranya tersendiri. Sayangnya, sebagian besar masyarakat di
Indonesia, agama yang dianutnya bukan merupakan pilihan diri sendiri secara sadar.
Agama yang dianut ditentukan dari agama orang tuanya yang melahirkannya. Oleh karena
itu banyak orang memiliki agama tetapi masih banyak yang tidak merasakan ketenangan
karena perkembangan identitasnya tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Padahal
menurut Oppong (2013) agama memainkan peran penting dalam pembentukan identitas.
Dewasanya manusia, mereka menghadapi pelbagai permasalahan di kehidupan.
Tekanan demi tekanan datang dan menyebabkan stress dalam kehidupan, dan manusia
mencoba menghilangkan stress yang ada serta mencari kebermaknaan dari permasalahan
yang menghampiri. Menurut Baumester (1991) agama menawarkan kebermaknaan
kehidupan manusia yang tinggi. Memang agama tidak selalu menjadi cara terbaik untuk
membuat hidup bermakna, tetapi agama merupakan cara yang bisa diandalkan untuk
mendapatkan kebermaknaan hidup. Namun, bukan berarti orang yang memiliki agama
mendapatkan kebermaknaan hidup, menurut Park (2005) semua tergantung dari religiusitas
yang ada pada setiap individu karena religiusitas mempengaruhi proses penyelesaian dari
situasi stress berat atau peristiwa traumatis, dan makna religiusitas bisa memberikan
pengaruh positif maupun negatif pada saat mengatasinya tergantung proses kognitif dan
afektif serta ketaatan terhadap agamanya dari individu tersebut.
Park (2005) menjelaskan bahwa ketika individu mengalami peristiwa yang
traumatis atau mengalami stress yang berat, individu bisa secara tiba-tiba mengubah
keyakinan mereka tentang Tuhan, dirinya sendiri, dan dunia. Bisa jadi individu tersebut
menjadi tidak percaya akan adanya Tuhan, atau menjadi lebih taat pada agamanya, atau
pada kasus yang ekstrim, bisa membuat individu tersebut mengubah keyakinannya
(konversi agama) karena di agama barunya bisa memecahkan permasalahan kehidupan
yang dialami.
Mengubah keyakinan atau konversi agama merupakan sebuah proses yang berbeda
di mana seseorang beranjak dari mengimani, menaati, dan/atau mempraktekkan ajaranajaran suatu agama atau nilai-nilai spiritual menuju kepada proses mengimani, menaati,
dan mempratekkan ajaran-ajaran suatu agama lain (Paloutzian, 2005). Konversi agama
merupakan sebuah fenomena yang unik karena individu berani mengganti identitas yang
dahulu diberikan oleh orang tuanya. Seringnya, hal ini menjadikan sebuah permasalahan
yang rumit dan berbeda-beda penyelesaian masalahnya karena hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah suku/etnis.
Masyarakat di Indonesia sangat beragam dengan ras dan suku yang hidup saling
berdampingan. Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia pada tahun 2010,
menyatakan bahwa jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata sebanyak 1.128 suku
bangsa, dengan komposisi 1.072 etnik dan sub-etnik Indonesia, dan sisanya merupakan
suku non etnik atau suku etnis yang tidak asli dari Indonesia atau peranakan. Suku non
etnik tersebut berada ada di Indonesia sejak terjadinya penjajahan atau perdagangan dan
pada akhirnya menetap serta ada yang berasimilasi dengan orang Indonesia seperti etnis
Arab, India, Tionghoa dan lain sebagainya.
Mengenai etnis dan agama, Oppong (2013) menjelaskan bahwa agama yang
banyak dianut (mayoritas) oleh suatu etnis dapat memunculkan suatu budaya sesuai
dengan kondisi lingkungan. Di Indonesia, ada beberapa contoh etnis yang didominasi oleh
suatu agama sehingga memunculkan suatu budaya misalnya etnis Bali yang mayoritas
agama Hindu memunculkan budaya stratifikasi sosial (kasta) dalam masyarakatnya, etnis
Minangkabau yang mayoritas agama Islam dengan kebudayaan pengambilan keputusan
dirumah adalah seorang ibu, karena ibu (perempuan) sangat dihargai baik di etnis
minangkabau maupun di Islam, serta etnis tionghoa dengan tradisi imlek dan ziarah cheng
beng (ziarah kepada orang yang telah meninggal) yang dikaitkan dengan sembahyang
dengan agama Buddha atau Konghucu. Lee (2008) mengatakan bahwa budaya dan gender
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada saat pengambilan keputusan pada saat
konversi agama. Lalu, bagaimana jika orang dari etnis tersebut melakukan konversi agama
dan memilih memeluk agama yang minoritas dari etnisnya ?.
Permasalahan ini menjadi sangat menarik untuk di telaah lebih dalam lagi. Ada
sanksi sosial berdasarkan budaya yang harus diterima individu jika mengalami konversi
agama. Dari Aziz & Hidayat (2010) meneliti tentang etnis Bali yang mengalami konversi
ke agama Islam dan meninggalkan agama Hindu. Ada sanksi sosial dari keluarga, tidak
diakui oleh keluarganya dan dikeluarkan dari kasta keluarga. Dalam penelitian lain dari
Afif (2009) meneliti tentang etnis minangkabau yang mengalami konversi ke agama
Kristen dan meninggalkan agama Islam. Ada sanksinya seperti hak-hak adatnya dicabut
dan digantikan oleh saudaranya yang lain.
Jika dilihat dari contoh yang sebelumnya dipaparkan, etnis yang mayoritas
memeluk suatu agama tertentu, kemudian ada individu yang melakukan konversi (dengan
alasan apapun) ke agama yang minoritas di etnis/sukunya, maka akan ada sanksi yang
diberikan kepada individu tersebut. Lalu, bagaimana dengan individu etnis Tionghoa yang
mayoritas memeluk agama Kristen dan Buddha pindah ke agama Islam yang merupakan
minoritas di etnisnya? Hal ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, karena agama Islam
merupakan agama yang dihindari oleh etnis Tionghoa. Sudut pandang etnis Tionghoa
terhadap agama Islam yang belum paham seutuhnya, melihat bahwa agama Islam yang
membuat orang menjadi miskin dan terbelakang (Dyayadi, 2008). Menurut Ancok (2004)
Stereotipe ini muncul akibat dari sikap bangsa penjajah yang mengkategorikan orang
inlander atau penduduk pribumi (yang notabene beragama Islam) adalah kelas kambing.
Sekolah
orang
Tionghoa
juga
dibedakan
dengan
orang
inlander
dan
status
kewarganegaraan pun dipisahkan. Akibat kurangnya interaksi antara etnis Tionghoa
terhadap penduduk pribumi yang beragama Islam, sehingga pemahanan tentang agama
Islam masih sangat sedikit.
Etnis Tionghoa sangat beragam dalam memilih agama, kebanyakan memilih
Kristen, Katholik, Buddha dan Konghucu, tetapi tidak untuk agama Islam. jika seseorang
etnis Tionghoa dari keluarga non-muslim pindah agama ke agama Islam, ada sanksi khusus
yang diberikan pada keluarganya, mulai dari mengucilkannya, diusir dari rumah, bahkan
disiksa (Dyayadi, 2008). Hal ini senada ketika peneliti melakukan penelitian pendahuluan
yang dilakukan pada bulan November 2014 kepada pak B yang merupakan salah satu
pengurus Organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Yogyakarta. Beliau
menjelaskan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia kebanyakan memiliki masalah pada
keluarga ketika memilih konversi agama ke Islam.
“Muallaf Tionghoa itu kasian mas, dengan keluarganya biasanya ada masalah.
Bahkan yang lebih kejamnya, mereka di coret dari daftar keluarganya, tidak diakui
lagi sebagai keluarga mereka, dihilangkan warisannya.” (B, 2014)
Individu yang mengalami konversi agama akan memilih lingkungan yang baru,
yang sesuai dengan agama barunya karena proses konversi agama umumnya lebih banyak
berlangsung secara gradual, sebelum menjadi muallaf mereka telah terlibat atau memiliki
hubungan dengan orang Islam atau komunitas muslim (Aziz dan Hidayat, 2010). Namun
muncul sebuah permasalahan di lingkungan ketika individu melakukan konversi agama.
Seperti apa yang dipaparkan oleh Pak B pada saat wawancara yang dilakukan di kediaman
beliau.
“Mereka termasuk minoritas dalam minoritas mas. Sudahlah mereka dari etnis
minoritas di Indonesia, memilih agama Islam yang di etnisnya merupakan agama
yang minoritas, jadi mereka tidak terlalu menunjukkan identitas yang dimilikinya.
Kalo lagi ngumpul dengan sesama tionghoa, mereka tidak menunjukkan identitas
Islamnya dan kalo lagi ngumpul sama orang pribumi, mereka tidak menunjukkan
etnisnya. Mereka begitu karena ga mau berkonflik mas, soalnya ini masalah
sensitif kan.” (B, 2014)
Agama merupakan sebuah identitas dasar yang dimiliki oleh manusia, khususnya di
Indonesia. dan konversi agama atau perpindahan kepercayaan merupakan hal yang cukup
sensitif karena perpindahan agama sangat berhubungan dengan kepercayaannya terhadap
Tuhan, diri sendiri, keluarga dan lingkungannya. Konflik yang sangat hebat terjadi pada
diri individu yang melakukan konversi agama sebab individu tersebut melakukan
perubahan yang sangat dasar pada dirinya dan menurut Paloutzian (2005) konversi agama
dilakukan secara sadar. Sejauh ini literatur dan penelitian tentang Tionghoa muslim banyak
berfokus tentang perubahan identitas barunya, masih sedikit sekali ditemukan adanya
penelitian yang menggambarkan dinamika psikologi secara keseluruhan yang dirasakan
oleh individu etnis Tionghoa yang mengalami konversi agama. Berdasarkan permasalahan
tersebut, penelitian ini berjudul Dinamika Psikologi Individu Etnis Tionghoa Yang
Mengalami Konversi Agama.
B. Rumusan masalah
Konversi agama merupakan persoalan yang sangat sensitif di Indonesia. Beberapa
etnis di Indonesia memiliki caranya sendiri untuk menanggapi persoalan konversi agama
ini, Ditambah lagi individu tersebut berpindah ke agama yang merupakan agama minoritas
di etnis nya, tak terkecuali etnis Tionghoa yang merupakan suku non etnik yang ada di
Indonesia berpindah agama ke Islam. Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan
konversi agama yaitu pengaruh lingkungan sosial dan perkembangan kognitif (Paloutzian,
1996). Perkembangan kognitif terjadi karena individu muncul rasa ingin tahu yang lebih
tentang agama yang dianutnya. Namun semakin mencari tahu tentang agama yang
dianutnya, individu merasakan kekecewaan karena hal yang diinginkannya tidak ada di
ajaran agama yang dianutnya. Oleh karena itu, individu mencari opsi agama lain yang
dapat memuaskan rasa ingin tahu yang dimiliki. Lingkungan sosial juga mempengaruhi
tentang opsi agama lain. Kemudian individu merasa opsi agama lain dapat menjawab
pertanyaan yang dimilikinya dan mungkin bisa menghindarkan dari permasalahan hidup
yang dimilikinya. Dan akhirnya individu tersebut berpikir untuk melakukan konversi
agama.
Konversi agama tidak semudah yang dikira, karena konversi agama seperti
merubah dasaran diri untuk menjalani kehidupan selanjutnya, sehingga akan ada
permasalahan dari lingkungan sekitar serta perubahan-perubahan yang dialami oleh
individu setelah melakukan konversi agama. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti
ingin mengetahui dan memahami bagaimana dinamika psikologis individu etnis Tionghoa
yang mengalami konversi agama ke Islam dan penyesuaian dengan identitas barunya di
keluarga dan di lingkungannya serta perubahan yang dialami setelah mengalami konversi
agama.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui serta mengungkap lebih dalam tentang dinamika psikologis etnis
Tionghoa mulai dari sebelum mengalami konversi agama hingga sesudah mengalami
konversi agama ke Islam. Selain itu juga melihat perilaku individu etnis Tionghoa dalam
penyesuaian diri pada keluarga dan lingkungan setelah mengalami konversi agama ke
Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan ilmu di bidang psikologi
agama dan psikologi sosial, terutama tentang dinamika psikologi pada individu yang
mengalami konversi agama ke Islam dan penyesuaian diri pada etnis Tionghoa yang
mengalami perubahan identitas agama , sehingga dapat digunakan sebagai referensi
untuk penelitian berikutnya
2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada etnis
Tionghoa dalam menghadapi keberagaman yang berhubungan dengan perbedaan agama
serta memberikan pemahaman pada masyarakat luas tentang perbedaan ras dan agama
pada etnis Tionghoa di Indonesia.
Download