II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga- harga secara umum dan terus menerus (kontinu). Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. BPS (2008) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga sekelompok komoditi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh komoditi barang dan jasa yang dijual di pasar. Dalam arti relatif, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu periode dimana kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga dari sebagian besar komoditi barang dan jasa secara terus menerus. Jika kenaikan komoditi hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi inflasi, begitu juga kenaikan harga yang bersifat musiman seperti pada hari raya keagamaan dan hari libur. Sementara itu dalam arti luas, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan memiliki porsi yang besar dalam tingkat harga umum. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang. 2.2 Inflasi Regional Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh permasalahan minimisasi biaya pengangkutan output atas beberapa lokasi alternatif dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi. Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan sejenis untuk 9 terintegrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi perusahaan baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies (Hoover dan Giarratani, 1989). Teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pasar yang lebih luas demi mendapatkan keuntungan maksimum. Meskipun tidak secara langsung, teori lokasi sesungguhnya secara implisit menjelaskan mengenai permasalahan mekanisme perbedaan tingkat pembentukan harga antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur perekonomian di masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah. 2.3 Teori Inflasi Atmadja (1999) menjelaskan, terdapat berbagai macam teori yang berusaha untuk menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut, antara lain Teori Kuantitas Uang, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural. Teori Kuantitas Uang adalah teori yang menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Teori ini juga dikenal sebagai teori kaum monetaris (monetarist theory). Inti dari teori ini adalah sebagai berkut: 1. Inflasi hanya dapat terjadi apabila terjadi penambahan volume pada jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. 2. Laju inflasi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga pada masa yang akan datang. Teori Keynesian Model, dasar dari terciptanya model inflasi Keynes ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan kehidupan diluar 10 batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa efektif (permintaan agregat) mengalami peningkatan melebihi jumlah komoditi yang tersedia (penawaran agregat) di pasar, akibatnya terjadi inflationary gap pada perekonomian tersebut. Ketidakmampuan pasar dalam mencukupi permintaan barang dan jasa oleh masyarakat terjadi karena dalam jangka pendek sangat sulit untuk memenuhi kenaikan permintaan agregat tersebut. Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan turunnya keuntungan yang didapat oleh perusahaan, yang berdampak kepada kenaikan harga jual komoditi di pasar. Teori Struktural, teori ini merupakan cerminan teori inflasi yang terjadi pada negara-negara berkembang. Teori struktural menganggap inflasi bukan semata-mata fenomena moneter saja, melainkan juga merupakan fenomena struktural. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian negara berkembang. Terkait dengan perekonomian regional hal ini murni disebabkan oleh struktur perekonomian dan kekakuan harga pada masing-masing wilayah. Oleh karenanya fenomena inflasi yang muncul akibat perbedaan struktur perekonomian wilayah sering menjadi suatu permasalahan jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Menurut teori ini penyebab terjadi kekauan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara berkembang adalah sebagai berikut: 1. Supply dari sektor pertanian tidak elsatis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2. Cadangan valuta saing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatsan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk 11 pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibat timbulnya defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman luar negeri. Apabila pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit anggaran dibiayai melalui percetakan uang (printing of money). 2.4 Jenis-Jenis Inflasi Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan pada: 1. Asal usulnya a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). 2. Tingkat keparahannya a. Inflasi ringan (creeping inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level dibawah 10 persen per tahun. b. Inflasi sedang (moderate inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun. c. Inflasi berat, jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai dengan 100 persen per tahun. d. Inflasi sangat berat (hyperinflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level diatas 100 persen per tahun. 3. Sebab awalnya Berdasarkan teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu demand pull inflation dan cost push inflation. 12 a. Demand Pull Inflation Inflasi jenis ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi berada pada keadaan yang hampir mendekati atau pada kondisi full employment. Dalam keadaan mendekati full employment, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan output. Dalam keadaan full employment, kenaikan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan kondisi keseimbangan output berada di atas atau melebihi output full employment maka akan menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap inilah yang menyebabkan munculnya inflasi (Nophirin, 2009). Inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 dibawah ini: P Inflationary Gap AS P4 P3 AD4 AD3 P2 P1 AD2 AD1 Q1 QFE Sumber : Nophirin, 2009 Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b. Cost Push Inflation Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation biasanya ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul akibat adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai konsekuensi kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi. Kenaikan biaya produksi ini dapat timbul karena beberapa faktor diantaranya: 13 1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk menuntut kenaikan upah. 2. Suatu industri yang bersifat monopolistis, memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi. 3. Kenaikan bahan baku industri. 4. Pemerintah yang terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta. 5. Adanya kebijakan pemerintah, baik bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga (administred prices). 6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang berakibat pada gagal panen. 7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia. Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh: 1. Wage cost push inflation Wage cost push inflation menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. 2. Price push inflation Price push inflation atau juga dikenal dengan istilah administred price inflation menyatakan bahwa para produsen mempunyai kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tetapi karena mereka mengkhawatirkan terjadinya ketidakpercayaan dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi yang dapat dijadikan alasan untuk membenarkan terjadinya kenaikan harga. 3. Import cost push inflation Import cosh push inflation terjadi karena dorongan biaya impor yang merupakan barang yang penting, umumnya bahan baku untuk produksi. 14 4. Structural rigidity inflation Menekankan kekauan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan adalah mudah untuk menaikkan upah dan harga barang daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektorsektor yang potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga di dalam sebuah perekonomain dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi. Nophirin (2009) menyatakan inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 dibawah ini: AS3 AS2 AS1 P P4 P3 P2 P1 AD Q2 Q1 QFE Q Sumber : Nophirin, 2009 Gambar 2.2 Cost Push Inflation 2.5 Perhitungan Inflasi Menurut Mankiw (2007) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh 15 konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen disuatu negara, termasuk Indonesia. Perhitungan IHK dapat dirumuskan sebagai berikut: ……………………………………………………………(2.1) dimana: = Indeks Harga Konsumen pada tahun ke-t = Harga pada tahun ke-t = Harga pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun dasar Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui, perhitungan inflasi dengan laju inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut: ……………………………………………………(2.2) dimana: = Inflasi pada tahun ke-t = Indeks harga konsumen pada tahun ke-t = Indeks harga konsumen pada tahun sebelumnya 2.6 Sumber-Sumber Inflasi 2.6.1 Jumlah Uang Beredar Fisher (1930) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah faktor yang mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya inflasi. Menurut teori tersebut dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal tersebut berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu. Apabila terjadi kelebihan jumlah uang yang ditawarkan oleh bank sentral maka akan 16 berakibat kepada peningkatan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga memacu hasrat masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Jika peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik. Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation). 2.6.2 Pengeluaran Pemerintah Keynes dalam Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi bukan hanya disebabkan oleh ekspansi moneter Bank Sentral saja melainkan juga melalui pengeluaran pemerintah. Menurut Keynes, apabila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga atau akan memicu terjadi inflasi. Dengan kata lain, peningkatan pengeluaran pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perekonomian sektor riil untuk tumbuh. Produktivitas perekonomian tersebut kemudian akan berdampak baik pada peningktan permintaan akan barang input produksi maupun barang konsumsi sehingga menaikkan tingkat harga. Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation). 2.6.3 Pertumbuhan Ekonomi Mekanisme transmisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi dijelaskan oleh Mishkin (2001). Pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di negara tersebut. Semakin tinggi produktivitas menandakan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan 17 ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik. 2.6.4 Harga Minyak Dunia Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga. 2.6.5 Harga Pangan Dunia Kenaikan harga pangan di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang yang melihat kaitannya dengan perkembangan makroekonomi dan hubungannya dengan inflasi. Disadari atau tidak, peningkatan harga pangan secara logika dasar makroekonomi dapat menyebabkan peningkatan inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal tersebut terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari dari tingkat konsumsi masyarakat. Rahardja dalam Wahyuni (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga pangan dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikkan ratarata harga komoditas pangan dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga pangan domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Kecepatan transmisi 18 terhadap guncangan harga pangan internasional juga berbeda-beda diantara provinsi di Indonesia. 2.6.6 Upah Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh konsep cost push inflation. Konsep tersebut menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Disamping itu kekakuan struktural menyebabkan harga-harga dan upah menjadi lebih mudah untuk naik daripada turun. Dengan menganggap bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Mengingat buruh merupakan salah satu komponen penting produksi, maka suatu perusahaan akan bertindak rasional dengan menaikkan markup sehingga menyebabkan munculnya inflasi. 2.6.7 Kondisi Infrastruktur Menurut teori pertumbuhan export base dan growth poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment dari infrastruktur yang sudah terbangun. Infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta api dan pembangkit tenaga listrik, karena berhubungan secara langsung terhadap produktivitas suatu perusahaan (Cappelo dalam Subekti, 2011). Mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi regional tersebut, maka diprediksikan bahwa peningkatan dalam kualitas infrastruktur dalam distribusi produk akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan mempengaruhi permintaan terhadap produk berupa input antara serta tingkat konsumsi. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian 19 suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003). 2.7 Penelitian Terdahulu Novi Lestari (2003) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di dua puluh enam provinsi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil regresi menunjukkan bahwa dari sisi permintaan agregat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar (berpengaruh negatif), pendapatan perkapita (berpengaruh positif), sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran agregat inflasi dipengaruhi oleh upah (berpengaruh negatif), impor (berpengaruh positif), sedangkan investasi tahun lalu tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini menemukan bahwa inflasi regional juga dipicu oleh sisi penawaran agregat. Hal tersebut sesuai dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi pada negara berkembang juga disebabkan oleh naiknya biaya-biaya produksi. Bambang P.S Brodjonegoro, Telissa Falianty dan Beta Y Gitaharie (2005) dalam Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional pada perekonomian yang ter-desentralisasi. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Auto Regression (VAR) dalam menentukan determinan (moneter atau non-moneter) yang memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi pada perekonomian regional. Kemudian dilakukan estimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan FEM terhadap determinan yang paling dominan memengaruhi inflasi pada 20 perekonomian regional. Hasil yang didapat ternyata inflasi lebih dipengaruhi determinan non-moneter dengan faktor-faktor yang memengaruhi antara lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran rutin pemerintah daerah dan biaya transportasi yang semuanya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi regional. Rizki E Wimanda (2006) dalam Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants melakukan penelitian mengenai karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Granger Causality dan koefisien korelasi untuk menganalisis karakteristik inflasi, metode koefisien konvergensi β untuk menganalisis konvergensi tingkat harga dan metode OLS untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional. Hasilnya adalah banyak wilayah di Indonesia yang memiliki keterkaitan inflasi yang tinggi terutama regional pulau Jawa terhadap wilayah lainnya, inflasi regional di Indonesia cenderung divergen dan determinan yang paling memengaruhi inflasi pada perekonomian regional adalah ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar. Muhammad Z Hamzah dan Eleonora Solfida (2006) dalam Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) meneliti tentang seberapa besar pengaruh yang diberikan jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini diestimasi dengan metode Error Correction Model (ECM). Hasil estimasi model dalam jangka pendek menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap laju inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, hasil estimasi menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap laju inflasi. Reza Satrya Arjakusuma (2009) dalam Analisis Inflasi Regional di Indonesia melakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya inflasi regional di Indonesia, terutama terkait apakah berasal dari demand-pull 21 inflation ataukah cost-push inflation. Penelitian ini diestimasi dengan metode VAR dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi menyimpulkan bahwa varaibel harga beras dunia paling mempengaruhi tingkat inflasi regional di Indonesia disusul dengan harga minyak dunia akibatnya hampir seluruh regional di Indonesia mengalami incomplete passthrough akibat guncangan harga beras dan minyak dunia. John Beirne (2009) dalam Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-Specific and Global Factors melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada sepuluh negara anggota baru dari Uni Eropa. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis SystemGeneralized Method of Moment (SYS-GMM). Hasil regresi menyimpulkan bahwa inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defist fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari faktor global (harga minyak, harga pangan, shock nilai tukar dan aksesi uni eropa) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti. Jun Nagayasu (2009) dalam Regional Inflation in China melakukan penelitian mengenai perkembangan dalam tingkat harga dan inflasi di dua puluh tujuh region di China. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah uang beredar M1&M2 (berpengaruh positif), kredit (berpengaruh positif), produktivitas (berpengaruh negatif) dan nilai tukar (berpengaruh positif). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa semua parameter pada penelitian ini bersesuaian dengan teori ekonomi. Dwi Wahyuni (2011) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di Indonesia bila dilihat dari gangguan sisi penawaran. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode VAR dan VECM. Hasilnya adalah dalam jangka pendek variabel yang 22 berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah, sedangkan dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh expected inflation, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, harga pangan dunia dan upah buruh riil. Adji Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel kebijakan dan nonkebijakan terhadap inflasi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis First Difference-Generalized Method of Moment (FD-GMM) dan Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB). Hasil yang didapat adalah dinamika inflasi Indonesia di pengaruhi oleh variabel kebijakan: inersia inflasi, fluktuasi nilai tukar, perubahan kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Dinamika inflasi Indonesia juga dipengaruhi oleh variabel non kebijakan antara lain: penyesuaian upah, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dan BI rate. Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Penulis Judul Lestari (2003) Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence and Determinants Brodjonegoro et al (2005) Wimanda (2006) Variabel Ekonomi Observasi IHK, Pendapatan Perkapita, Jumlah Uang Beredar, Investasi, Investasi Tahun Lalu, Impor dan Upah 26 Provinsi di Indonesia Rentang Waktu 19912001 IHK, PAD, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Biaya Transportasi 43 Kota di Indonesia 19902002 CPI, Nilai Tukar, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Pengeluaran Pembangunan 26 Provinsi di Indonesia 1991M92004M12 23 Hamzah dan Solfida (2006) Arjakusuma (2009) Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) Analisis Inflasi Regional di Indonesia Beirne (2009) Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to CountrySpecific and Global Factors Nagasayu (2009) Regional Inflation in China Wahyuni (2011) Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran IHK, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar Indonesia 19902005 Harga Minyak Dunia, Harga Beras Dunia, Output Gap, CPI dan Wholesale Price Inflation HICP, NEER, Current Account Deficit, GDP Riil Perkapita, Pengeluaran Pemerintah, Harga Relatif, Tingkat Penganguran, Kapitalisasi Pasar Modal, Kredit Swasta Domestik, Rezim Nilai Tukar, Indeks Kebebasan Ekonomi, Indeks Reformasi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan Retail Price Index (RPI), jumlah uang beredar (M1&M2), Kredit perbankan, produktivitas, pertumbuhan populasi dan Renminbi (RMB) exchange rate IHK, Harga Minyak Dunia, Harga Pangan Dunia, Nilai Tukar dan Upah 48 Kota di Indonesia 2005M12008M12 Bulgaria, Rep.Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Slovenia dan Rumania 1998Q12007Q4 26 Provinsi di China 19912005 Indonesia 1998M12010M12 24 Subekti (2011) Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi IHK, Output Gap, 26 Provinsi Nilai Tukar, Suku di Indonesia Bunga Nominal, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah, Indeks Harga BBM, Upah Minimum Nominal, Kondisi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan 19992009 25 2.8 Kerangka Pemikiran Sebagai konsekuensi dari era otonomi daerah pada tahun 2001 menyebabkan semakin meluasnya faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Dalam hal ini akan membuat proses pengendalian inflasi akan menjadi semakin rumit karena inflasi nasional pada dasarnya merupakan angka agregasi dari inflasi di masing-masing wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, pengidentifikasian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa penting untuk dipahami untuk merumuskan kebijakan pengendalian inflasi yang tepat. Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini: Indonesia Otonomi Daerah Inflasi Regional Demand Pull Inflation Pulau Jawa Cost Push Inflation Implikasi Kebijakan Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode regresi data panel. 26 2.9 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu maka disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu: 1. Jumlah uang beredar memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 2. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 3. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 4. Upah minimum memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 5. Kondisi infrastruktur memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 6. Harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 7. Harga pangan dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.