BAB 2 DASAR TEORI

advertisement
BAB 2
DASAR TEORI
2.1 Struktur Bumi
Bumi yang kita tinggali ini memiliki jari-jari yang dihitung dari inti bumi ke
permukaan terluarnya yaitu sekitar 6.357 km [NASA]. Dengan jari-jari sebesar itu,
bumi ini tersusun atas lapisan-lapisan dengan tebal yang berbeda-beda. Untuk
mengetahui struktur lapisan bumi ini, tidak digunakan pengamatan secara langsung
melainkan dengan metode gelombang seismic [NASA]. Secara umum, bagian bumi
terbagi atas 4 lapisan besar yaitu kerak, mantel, inti bumi bagian luar, dan inti bumi
bagian dalam seperti yang digambarkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1 Struktur bumi [Brooks Cole – Thomson,, 2006].
a)
Kerak Bumi – terdiri atas daratan dan laut. Lapisan kerak bumi memiliki
ketebalan yang bervariasi yaitu antara 35-70 km untuk daratan dan 5-10 km
untuk lautan. Unsur penyusun yang dominan untuk lapisan kerak bumi ini
adalah alumino-silicate.
8
b)
Mantel – lapisan yang tersusun oleh sebagian besar senyawa ferromagnesium silicates, memiliki ketebalan hampir 2900 km. Lapisan ini
terpisah menjadi dua bagia, yaitu lapisan mantel bagian atas dan lapisan
mantel bagian bawah. Dalam lapisan mantel inilah sebagian besar panas bumi
tersimpan dan menjadi faktor terjadinya proses lempeng tektonik.
c)
Inti bagian luar – berupa cairan yang memiliki ketebalan sekitar 2300 km.
Sebagian besar lapisan ini tersusun oleh campuran antara nikel dan besi.
Medan magnet di bumi diyakini dikontrol oleh cairan dari inti bagian luar.
d)
Inti bagian dalam – berupa padatan dengan jari-jari sekitar 1200 km.
Sebagian besar, inti bagian dalam tersusun atas besi.
2.2 Tektonik Lempeng
Teori mengenai tektonik lempeng dimulai saat Alfred Wegener, 1912, mengajukan
teori “Continental Drift” atau “Benua yang Mengapung”. Wegener menyatakan
bahwa daratan berpindah di atas dasar laut, hal ini yang menjadi alasan mengapa
banyak garis pantai terluar suatu daerah (Amerika Selatan dan Afrika) seperti cocok
satu sama lain seperti sebuah puzzle.
Paleontologis pun menemukan bahwa terdapat kesamaan fosil antara yang ditemukan
di dua lokasi yang kini dipisahkan oleh jarak yang jauh. Penemuan ini sepertinya
menegaskan bahwa lithospehere bumi memang mengalami perpindahan dalam kurun
waktu yang lama [USGS, 2011].
Teori Wegener ini pada awal mulanya ditentang banyak pihak dikarenakan Wegener
tidak dapat menjelaskan teori yang ia kemukakan tentang benua yang mengapung.
Pada saat itu, para geologis masih meyakini bahwa rupa bumi terbentuk akibat dari
siklus pemanasan dan pendinginan yang mengakibatkan adanya peluasan dan
peregangan pada masa bumi. Akhirnya, setelah tahun demi tahun terlewati, buktibukti yang menunjukkan bahwa teori Wegener ada benarnya mulai terungkap. Pada
sekitar tahun 1950, pengamatan terhadap dasar laut menunjukkan bahwa dasar lautan
mengalami pengembangan sebanyak beberapa centimeter per tahunnya. Ini
menunjukkan bahwa memang terjadi suatu pergerakan dari suatu bagian kerak bumi
9
dengan jumlah yang sangat besar, yang saat ini dikenal dengan lempeng tektonik
[USGS, 1999].
Saat ini, para ilmuwan memiliki pemahaman yang sama mengenai pergerakan
lempeng dan bagaimana hubungan pergerakannya tersebut terhadap aktivitas bumi.
Kebanyakan pergerakan terjadi di sepanjang zona antar lempeng dimana banyak
terjadi aktivitas lempeng tektonik. Berdasarkan arah pergerakan dan deformasi
geologinya, terdapat empat jenis perbatasan antar lempeng tektonik, antara lain
[USGS, 2012] :
a.
Batas lempeng divergen, yaitu ketika lempeng-lempeng muda baru muncul ke
permukaan kemudian bergerak saling menjauhi satu sama lain;
b.
Batas lempeng konvergen, yaitu ketika suatu lempeng bergerak menyelam
kebawah lempeng yang lain;
c.
Batas lempeng transform, yaitu ketika lempeng bergerak secara horizontal
melewati lempeng yang lain;
d.
Zona batas lempeng, dimana arah pergerakan lempeng tidak dapat teridentifikasi
dengan baik dan efek dari interaksi antar lempengnya pun tidak jelas.
2.3 Analisis Deret Waktu
Deret waktu merupakan sederetan pengamatan yang dihubungkan dengan ruang
waktu [Box and Jenkins, 1970 dalam Wijaksana, 2009]. Jika suatu pengukuran
dilakukan dalam suatu selang waktu tertentu, maka akan diperoleh data ukuran deret
waktu yang diskrit (lead time - t). Semakin dekat jarak antar selang waktu titik-titik
pengamatan, maka deret waktu yang dihasilkan akan semakin mendekati kontinu.
Deret waktu digunakan untuk menggambarkan sifat dari suatu variabel pada waktu
yang lalu sebagai acuan untuk menentukan sifat variabel tersebut pada waktu
tertentu, baik interpolasi maupun ekstrapolasi.
Secara klasik, deret waktu terbagi atas empat kategori [Wijaksana, 2009], yaitu :
a. Kecenderungan (trend atau long term movement)
Kecenderungan merupakan gerak yang menunjukkan tren dari deret waktu
yang biasanya dalam jangka yang lama. Gerak ini menggambarkan sifat
10
kekontinuitasan dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut. Pola
kecenderungan ini bisa berbentuk garis lurus (linier) ataupun garis lengkung
(non-linier), tergantung pada keadaan data deret waktu itu sendiri setelah data
pengamatan (berupa titik-titik) diplot pada diagram tertentu.
Plot dari titik-titik ini sedapat mungkin dimodelkan dalam suatu persamaan
matematis dengan tujuan agar dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan. Sebagai contoh jika suatu data memiliki tren linier, maka model
matematis dari plot data tersebut yaitu memenuhi persamaan :
y(t) = ax + b ……………………………………………………………….... [1]
dimana x merupakan waktu pengamatan dan y(t) merupakan data pergerakan
berdasarkan suatu deret waktu, adapun a dan b merupakan parameter yang
nilainya ditentukan berdasarkan semua nilai data pengamatan. Gambar
berikut adalah contoh data yaitu data time series GPS yang memiliki tren
linier.
Gambar 2.2 Tren linier dalam suatu data pengamatan time series GPS [Nikolaidis, 2002].
Dalam pengamatan time series GPS, pola linier merupakan pola deformasi
yang diamati. Akan tetapi, pola deformasi yang diperoleh dalam setiap
pengamatan GPS tidak pernah lepas dari pengaruh pola musiman, pola naikturun, dan pola tak beraturan.
Untuk kecenderungan pola lengkung, model persamaan matematis yang
mungkin yaitu polinomial berderajat dua atau lebih. Secara umum, persamaan
matematis dari polinomial berderajat adalah :
y(t) = a + bx + cx2 + … +kxn ……………………………………………….. [2]
11
dengan nilai a, b, c, dst ditentukan berdasarkan atas seluruh data pengamatan
dari deret waktu. Kecenderungan pola lengkung ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya karena ketidaksempurnaan dalam proses
perhitungan model global ionosfer pada saat pengolahan data.
b. Gerak naik-turun (cylical movement)
Gerak naik-turun merupakan pola yang disebabkan oleh beberapa faktor
tertentu yang menyebabkan terdapatnya perubahan signifikan terhadap suatu
tren data. Contohnya pada suatu data time series berikut, dimana pola naikturun diakibatkan oleh adanya aktivitas koseismik di titik pengamatan
tersebut, yaitu gempa bumi Nias pada bulan Maret 2005.
Gambar 2.3 Pola naik-turun dalam suatu data time series GPS.
c. Gerak musiman (seasonal variation)
Gerak musiman merupakan pola yang teratur dan relatif serupa yang bersifat
periodik, yaitu gerakan yang memiliki periode berulang dalam selang waktu
tertentu. Berikut adalah contoh dari pola gerak musiman.
Gambar 2.4 Pola gerak musiman pada suatu data time series GPS [Nikolaidis, 2002].
12
d. Gerak tak beraturan (irregular movement)
Gerak ini berupa suatu pola yang tidak beraturan, yang hanya terjadi sesekali
dalam suatu waktu tertentu tanpa memiliki pola, sehingga gerak ini tidak
dapat diprediksi. Untuk dapat mendeteksi gerakan tak beraturan ini, lebih
dahulu dihilangkan pola musiman dan pola naik-turun, sehingga yang tersisa
hanya pola tak beraturan ini.
Dalam pengamatan GPS, pola tak beraturan ini merupakan indikasi adanya
data outlier atau data yang masih memiliki kesalahan besar. Data outlier ini
merupakan data yang seharusnya tidak digunakan dalam suatu data
pengamatan, sehingga keberadaannya harus dihilangkan. Berikut adalah
contoh data time series GPS yang dipengaruhi oleh outlier.
Gambar 2.5 Pola tak beraturan dalam suatu data time series GPS [Casimin, 2009].
13
2.4 Pengertian Analisis Spektral
Dalam studi deformasi secara geodetik, dilakukan pengamatan yang melibatkan
berbagai jenis instrumen. Analisis terhadap hasil pengamatan tersebut memerlukan
suatu data time series. Pengukuran secara fisik menunjukkan bahwa suatu data time
series terdiri atas gabungan beberapa jenis sinyal deformasi yang berbeda, termasuk
sinyal dari kesalahan acak (Gambar 2.6), sehingga dibutuhkan suatu metode untuk
memisahkan dan menganalisis sinyal-sinyal tersebut.
Gambar 2.6 Bentuk data time series biasanya rumit dan tidak cukup dengan hanya dimodelkan secara
sederhana. Seperti dilihat pada gambar bahwa analisis time series tidak hanya terdiri dari satu buah
sinyal (a), tetapi merupakan gabungan dari 3 buah sinyal yaitu trend linier (b), dua buah sinyal
sinusoidal (c) dan (d), dan juga noise (e) [Pytharouli, et.al, 2004].
Untuk beberapa kasus, suatu sinyal yang dominan dapat dengan mudah ditemukan
dengan menggunakan teknik sederhana seperti fitting polinomial atau fitting dengan
menggunakan pergerakan rata-rata. Tapi terdapat juga kasus dengan rasio noise-tosignal-nya tinggi, dan ini sering ditemukan dalam kasus pengamatan GPS, dimana
data pengamatannya tidak terdistribusi secara merata terhadap waktu. Dalam kasus
ini, tidak dapat diselesaikan dengan hanya dengan teknik analisis sinyal yang
sederhana. Dibutuhkan teknik analisis spektral untuk menyelesaikan permasalahan
ini. Adapun tahap-tahap dalam analisis spektral adalah sebagai berikut [Pytharouli,
et.al, 2004].
14
1) Analisis Sinyal
Ketika suatu time series akan dianalisis, maka tahap pertama yang dilakukan ialah
mengindentifikasi trend yang mungkin ada dan membuangnya. Sebagai contoh yaitu
pada Gambar 2.6, setelah membuang linier trend yang ada (a), maka yang tersisa
dalam sinyal tersebut adalah gabungan sinyal pada Gambar 2.6 bagian (c), (d), dan
(e).
2) Autokorelasi
Tahap selanjutnya yaitu untuk mengidentifikasi terdapatnya sinyal periodik atau
tidak, yaitu dengan menggunakan fungsi Autokorelasi [Box and Jenkins, 1976].
Fungsi ini didefinisikan sebagai koefisien dari korelasi linier (koefisien autokorelasi)
antara titik-titik yang merupakan bagian dari time series f(t) dengan yang lain
f(t+lag) untuk semua nilai lag.
Bukti adanya
periodisitas
atau
Tidak
terdapat
periodisitas
Gambar 2.7 Analisis korelasi. Korelasi antara data time series f(t) dan f(t+lag) yang dihitung dalam
berbagai nilai lag. Jika plot antara koefisien autokorelasi dan lag-nya berbentuk osilasi, maka dapat
dikatakan bahwa terdapat periodisitas dalam time series f(t) [Pytharouli, et.al, 2004].
3) Korelasi Silang
Hal yang biasa menjadi permasalahan adalah ketika muncul pertanyaan apakah
terdapat hubungan antara dua buah variabel yang diwakilkan oleh fase antar dua time
series f(t) dan g(t) yang muncul akibat perhitungan dua buah variabel. Korelasi
silang merupakan metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi hubungan
antara dua buah variabel. Metode ini hampir serupa dengan metode autokorelasi,
15
hanya saja perbedaannya yaitu korelasi silang yaitu hubungan antara dua buah time
series [Box and Jenkins, 1976 dalam Pytharouli, et.al, 2004].
Lokasi yang
paling cocok
Gambar 2.8 Korelasi silang antara dua buah time series f(t) dan g(t). Tiap nilainya dihubungkan oleh
f(t+lag). Nilai paling besar yang ada di plot mengindikasikan keterlambatan waktu a, dimana korelasi
maksimum didapat.
4) Analisis Spektral
Setelah periodisitas dapat dideteksi, maka langkah selanjutnya adalah adalah
menganalisis time series yang memiliki unsur sinyal periodik dan menghitung
periode dan amplitudonya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode
Fourier transforms (biasanya DFT/Discrete Fourier Transform), atau dalam kasus
ini, jika data time series yang ada bersifat non-ekuidistant maka digunakan metode
algoritma periodogram Lomb atau dengan menggunakan fitting polinomial.
a. Fourier Transform
Suatu spektrum yang berupa sinyal diskrit biasanya berdasarkan pada proses
FFT/DFT (Fast Fourier Transform/Discrete Fourier Transform). Kelebihan dari
analisis spektrum menggunakan FFT/DFT yaitu dapat menghitung secara efisien
dengan hasil yang baik dengan jarak jangkauan sinyal luas. Dengan kelebihan
tersebut, ternyata metode FFT/DFT memiliki beberapa kekurangan diantaranya yaitu
dalam menganalisis data dalam waktu pendek [Kay and Marple, 1981 dalam
Pytharouli,et.al, 2004] sebagai syarat untuk data yang bersifat ekuidistant. Untuk hal
yang terakhir, terdapat dua cara untuk mengatasi masalah tersebut, menggunakan
interpolasi atau dengan memberi nilai 0 pada data yang kosong.
16
b. Metode Normalisasi Periodogram Lomb
Spektrum dari data yang bersifat non-uniform jauh lebih rumit dibandingkan dengan
data yang bersifat uniform, selain itu tidak dapat terdefinisi dalam region frekuensi.
Adapun pada data yang tersebar merata, kita dapat menganalisis spektrumnya karena
periodenya dapat terdefinisi secara baik. Metode yang sering digunakan dalam
menghitung spektrum dari data yang tidak tersebar merata yaitu menggunakan
analisis periodogram. Metode ini memungkinkan kita untuk mengabaikan data yang
tidak merata dan perhitungannya tetap menggunakan metode Fourier seperti
digunakan dalam data yang tersebar merata, hanya saja dengan memodifikasi
algoritma dari FFT. Teknik ini dikembangkan oleh Lomb (1976) yang didasari oleh
apa yang telah dilakukan oleh Vanicek (1969) sebelumnya.
Rumus pada normalisasi Periodogram Lomb sama dengan rumus yang diperoleh jika
unsur harmonik terdapat pada data, untuk suatu frekuensi dengan nilai ω diperoleh
dengan fitting linear kuadrat terkecil dengan model berikut [Press et al., 1988]:
h(t) = Acos ω t + Bsin ω t………………………………………………………….. [3]
Metode ini terbukti dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
metode FFT, ditambah lagi bahwa metode Lomb ini menggunakan data pengamatan,
bukan data interval sampling [Phytharouli, et.al, 2004].
2.5 Peran Teknologi GPS dalam Memantau Pergerakan Lempeng Bumi
2.5.1 Definisi dan Komponen Utama GPS
Global Positioning System (GPS) merupakan sistem satelit radio navigasi berbasis
spasial milik Amerika Serikat yang dapat digunakan dalam penentuan posisi objek di
muka bumi dengan akurat dan cepat (tiga dimensi koordinat x, y, z), navigasi, dan
memberikan informasi waktu serta kecepatan bergerak secara kontinu untuk
pengguna pada umumnya di seluruh dunia secara cuma-cuma. Bagi pengguna yang
memiliki receiver GPS, maka dengan sistem ini pengguna akan memperoleh lokasi
dan waktu. GPS memberikan informasi lokasi dan waktu yang akurat bagi pengguna
17
dalam jumlah yang tak terbatas dalam segala cuaca, baik siang maupun malam,
dimanapun di berbagai belahan bumi [Abidin, 2007].
Pada dasarnya, GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu [Abidin, 2007]:
Gambar 2.9 Segmen Sistem GPS [Abidin, 2007].
a. Segmen angkasa, yang terdiri atas satelit-satelit GPS serta roket-roket Delta
peluncur satelit dari Cape Canaveral di Florida, Amerika Serikat.
b. Segmen kontrol, yang terdiri atas monitor yang memonitor secara global, dan
stasiun kontrol yang mengawasi semua satelit agar semua satelit tersebut berada
dalam jalur orbitnya dan juga mengawasi waktu pada jam satelit.
Gambar 2.10 Lokasi stasiun pemonitor dan pengontrol GPS [Abidin, 2007].
Disamping memonitor dan mengontrol kesehatan seluruh satelit berserta
komponennya, segmen kontrol tersebut juga berfungsi menentukan orbit dari
seluruh satelit GPS yang merupakan informasi vital untuk penentuan posisi
dengan satelit. Berikut adalah ilustrasi dari skema kerja segmen kontrol,
18
Gambar 2.11 Skema kerja sistem kontrol GPS [Abidin, 2007].
c. Segmen pengguna, terdiri atas perlengkapan receiver GPS yang menerima sinyalsinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS dan menggunakan informasi yang
didapat untuk menghitung waktu dan posisi dari pengguna dalam 3 dimensi.
Berikut skema dari komponen-komponen yang ada pada receiver,
Gambar 2.12 Komponen utama dari receiver GPS [Abidin, 2007].
Satelit GPS beroperasi dengan menggunakan sistem waktunya sendiri, yaitu sistem
waktu satelit. Sistem waktu satelit GPS ini didefinisikan oleh jam-jam atom yang
terdapat pada masing-masing satelit GPS. Jumlah dari jam atom pada tiap satelit
berbeda-beda tergantung jenis satelitnya.
2.5.2 Dasar Penentuan Posisi dengan Menggunakan GPS
Penentuan posisi dengan menggunakan GPS memiliki konsep dasar yaitu pengikatan
kebelakang (reseksi) jarak. Reseksi jarak ini dilakukan dengan melakukan
pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya sudah
19
diketahui. Secara vektor, prinsip dasar dari penentuan posisi dengan GPS ini
digambarkan oleh gambar berikut ini [Abidin, 2007].
R=r-
Gambar 2.13 Prinsip dasar penentuan posisi GPS (pendekatan vektor) [Abidin, 2007].
Berdasarkan Gambar 2.13, parameter yang akan ditentukan yaitu vektor posisi
geosentrik pengamat R. Dikarenakan vektor posisi geosentrik dari satelit GPS telah
diketahui yaitu r, maka yang akan ditentukan selanjutnya adalah vektor posisi
toposentris satelit terhadap pengamat .
Pada pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak dari pengamat
terhadap satelit dan bukan vektornya. Oleh sebab itu, maka rumus pada Gambar
2.13 tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal itu, maka dilakukan pengamatan
jarak terhadap beberapa satelit secara simultan, tidak hanya satu satelit seperti pada
Gambar 2.13.
Posisi yang diberikan oleh GPS merupakan posisi 3 dimensi (X, Y, Z) yang
dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984. Titik yang ditentukan
posisinya oleh GPS dapat dalam keadaan diam (static positioning) ataupun dalam
keadaan bergerak (kinematic positioning).
Posisi titik dapat ditentukan dengan
menggunakan satu receiver GPS terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode
absolute positioning, ataupun relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui
koordinatnya
dengan
menggunakan
metode
differential
positioning
yang
menggunakan minimal dua receiver GPS. Selain itu, GPS dapat memberikan posisi
secara instan (real time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya
diproses secara lebih lanjut (post processing) yang biasanya dilakukan agar diperoleh
ketelitian yang lebih baik.
20
2.5.3 Metode-metode Penentuan Posisi dengan Menggunakan GPS
Metode penentuan posisi dengan menggunakan GPS pada dasarnya tergantung pada
mekanisme pengaplikasiannya, dan dapat dikelompokkan menjadi beberapa metode,
yaitu absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go.
Berdasarkan aplikasinya, metode-metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi
menjadi dua kriteria utama, yaitu survey dan navigasi, seperti yang ada pada
Gambar 2.14 [Abidin, 2007].
Gambar 2.14 Metode Penentuan Posisi dengan GPS [Abidin, 2007].
Metode penentuan posisi GPS yang terbaru adalah metode Precise Point Positioning
(PPP) yang pada dasarnya berupa metode penentuan posisi GPS secara absolute yang
menggunakan data one-way fase dan pseudorange dalam bentuk kombinasi bebas
ionosfer. Metode ini umumnya dioperasionalkan dalam metode statik dan
memerlukan data GPS dua frekuensi yang menggunakan receiver GPS tipe geodetik.
Penentuan tinggi dengan menggunakan GPS memerlukan perhatian khusus karena
tinggi yang diperoleh pada saat pengukuran GPS adalah tinggi pada bidang ellipsoid,
yaitu ellipsoid WGS84. Pada pemakaian praktis, tinggi yang biasa digunakan adalah
tinggi orthometrik yang diperoleh dari pengukuran sipat datar. Karena tinggi
ellipsoid dan tinggi orthometrik tidaklah sama, maka nantinya dilakukan konversi
dari tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik. Untuk melakukan konversi tersebut,
diperlukan data undulasi geoid di titik tersebut. Ketelitian dari komponen tinggi yang
diperoleh dari pengukuran GPS umumnya 2-3 kali lebih rendah dibandingkan
21
ketelitian komponen horizontalnya. Kadangkala hingga 4-5 kali lebih rendah.
Terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu [Abidin, 2007] :
a. Satelit-satelit GPS yang bisa diamati hanya yang berada di atas horizon.
Karena tidak ada satelit yang berada di bawah pengamat, maka tidak akan ada
efek pengeliminasian kesalahan seperti pada halnya komponen horizontal,
b. Efek kesalahan dan bias (ionosfer, troposfer, dan orbit) umumnya dialami
pada jarak, yaitu memanjang-memendekkan ukuran. Dalam hal ini, yang akan
paling terpengaruh yaitu komponen tinggi.
2.5.4 Ketelitian Pengukuran GPS
2.5.4.1 Definisi Akurasi dan Presisi
Dalam setiap pengukuran yang dilakukan, khususnya pengukuran GPS, kesalahan
merupakan hal yang selalu akan ada dalam hasil yang diperoleh. Kesalahan ini pada
umumnya diakibatkan oleh 3 unsur, yaitu kesalahan akibat alat, akibat manusia, dan
akibat alam. Adapun jenis-jenis kesalahannya yaitu kesalahan besar (blunder/gross
error), kesalahan sistematik, dan kesalahan acak. Kesalahan-kesalahan ini
berpengaruh terhadap akurasi dan kepresisian data pengamatan. Maka dari itu, perlu
dilakukan koreksi untuk
mereduksi kesalahan-kesalahan tersebut
sehingga
diharapkan kita dapat memperoleh data yang akurat dan presisi.
Akurasi yaitu tingkat kedekatan nilai hasil ukuran/pengamatan yang diperoleh
terhadap nilai yang sebenarnya. Adapun presisi merupakan tingkat kedekatan antar
nilai hasil ukuran/pengamatan yang satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya
mengenai akurasi dan presisi akan dijelaskan gambar berikut.
Gambar 2.15 Ilustrasi akurasi dan presisi. Nilai yang sebenarnya dianalogikan oleh pusat sasaran
tembak.
22
2.5.4.2 Kesalahan dan Bias Pada Pengukuran GPS
Sinyal GPS dari satelit dalam perjalanannya untuk sampai ke receiver di bumi akan
mengalami beberapa kesalahan dan bias. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu faktor dari satelit itu sendiri, faktor human error yang
berasal dari surveyor yang melakukan pengamatan GPS, dan faktor-faktor lainnya.
Kesalahan dan bias pada pengukuran GPS harus diperhitungkan karena akan
berpengaruh terhadap ketelitian informasi (posisi, kecepatan, percepatan, dan waktu
yang diperoleh) dan proses penentuan ambiguitas fase dari sinyal GPS [Abidin,
2007].
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam menghadapi kesalahan dan bias
pada GPS, antara lain [Abidin, 2007]:
a. Terapkan mekanisme differencing antar data
b. Estimasi parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan
c. Hitung besarnya kesalahan/bias berdasarkan data ukuran langsung
d. Hitung besarnya kesalahan/bias berdasarkan model
e. Gunakan strategi pengamatan yang tepat
f. Gunakan strategi pengolahan data yang tepat
g. Abaikan
Kesalahan dan bias yang biasa terjadi dalam pengamatan GPS antara lain kesalahan
yang berasal dari orbit satelit, bias ionosfer, bias troposfer, multipath, ambiguitas
fase, cycle slips, kesalahan jam satelit, kesalahan receiver dan antenna GPS,
kesalahan jam receiver, pergerakan pusat fase antenna, dan imaging.
23
Kesalahan orbit satelit pada dasarnya diakibatkan oleh faktor-faktor berikut, yaitu
kekurang-telitian pada proses perhitungan orbit satelit, kesalahan dalam prediksi
orbit untuk periode waktu setelah uploading, dan penerapan Selective Availability.
Kesalahan orbit satelit berpengaruh terhadap pengamatan jarak, seperti yang
terambar pada Gambar 2.16 berikut.
Gambar 2.16 Pengaruh Kesalahan Orbit [Abidin, 2007].
Efek dari kesalahan orbit pada pengamatan jarak yaitu
dr = ρ – ρ‟
dimana
ρ
= jarak satelit yang dilaporkan
ρ‟
= jarak satelit yang sebenarnya
rad
= komponen radial
alt
= komponen along-track
crt
= komponen cross-track
Secara tipikal, besar dari kesalahan tiap komponen kesalahan orbit satelit GPS (tanpa
adanya SA) yaitu radial sebesar 2 m, along-track sebesar 5 m, dan cross-track
sebesar 3 m. kesalahan dari orbit satelit ini akan mempengaruhi ketelitian dari
koordinat titik-titik yang ditentukan, baik secara absolute maupun relatif. Adapun
untuk penentuan posisi secara relatif, semakin panjang baseline yang diamati maka
24
semakin besar efek kesalahan orbit satelit. Adapun untuk mereduksi efek dari
kesalahan orbit adalah dengan menerapkan metode differential positioning,
memperpendek panjang baseline, memperpanjang interval waktu pengamatan,
menentukan parameter kesalahan orbit dalam proses estimasi, dan dengan
menggunakan precise ephemeris atau rapid ephemeris [Abidin, 2007].
Bias ionosfer terjadi akibat adanya konsentrasi ion-ion bebas (elektron) yang terdapat
lapisan ionosfer yang mengambat propagasi sinyal GPS. Efek ionosfer ini
berpengaruh terhadap kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal, dimana akan
mempengaruhi jarak ukuran yang diperoleh. Cara mereduksi efek dari bias ionosfer
adalah dengan menggunakan data GPS dual frekuensi (L1 dan L2), melakukan
differencing hasil pengamatan, memperpendek panjang baseline, melakukan
pengamatan pada pagi atau malam hari, menggunakan model prediksi global ionosfer
(untuk daya GPS satu frekuensi) seperti model Bent dan Klobuchar, dan
menggunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential
GPS (WADGPS) [Abidin, 2007].
Troposfer adalah lapisan atmosfer terendah yang ada di permukaan bumi dengan
ketinggian dari 0-16 km, dengan tebal lapisan ini bervariasi tergantung dari tempat
dan waktu. Lapisan troposfer ini memiliki persentase terbesar dari total massa
atmosfer keseluruhan, yaitu lebih dari 75%. Refraksi sinyal yang terjadi di lapisan ini
mengakibatkan apa yang disebut sebagai bias troposfer. Akibat dari bias troposfer ini
adalah memperlambat dan merubah arah dari laju pseudorange dan fase, sehingga
akan berpengaruh terhadap ketelitian dan hasil ukuran jarak. Bias troposfer ini
biasanya terbagi atas dua komponen, yaitu komponen kering dan komponen basah.
Komponen kering merupakan komponen penyusun bias yang paling besar, yaitu
sebesar 90% dari total bias yang ada. Komponen kering ini besarnya dapat diestimasi
dengan baik berdasarkan data meteorologi permukaan bumi, seperti temperatur,
tekanan, dan kelembaban. Tidak seperti komponen kering, komponen basah,
terutama yang mengandung uap air sepanjang lintasan sinyal, sulit untuk diestimasi
secara teliti dari data meteorologi di permukaan bumi. Dengan menggunakan data
meteorologi di permukaan bumi, besarnya magnitude komponen kering dapat
diestimasi hingga ketelitian sekitar 1%, sedangkan untuk komponen basah hanya
25
sampai ketelitian 3-4 cm [Abidin, 1995]. Untuk mendapatkan ketelitian yang lebih
baik lagi untuk komponen basah digunakan peralatan WVR (Water Vapour
Radiometer) yang dapat mengukur kandungan uap air sepanjang lintasan sinyal, akan
tetapi instrumen ini cukup mahal harganya, dengan ukuran yang besar dan juga berat.
Cara mereduksi besarnya efek troposfer adalah diantaranya dengan melakukan
differencing hasil pengamatan, memperpendek panjang baseline, mengusahakan agar
kedua stasiun pengamatan berada pada ketinggian serta kondisi meteorologis yang
sama, menggunakan model koreksi standar troposfer seperti Hopfield, Sastamoinen,
dan Marini, menggunakan model koreksi lokal troposfer, menggunakan parameter
WVR seperti yang telah diutarakan sebelumnya untuk mengestimasi magnitude
komponen basah, mengestimasi besarnya parameter bias troposfer yang biasanya
dalam bentuk zenith scale factor untuk setiap lintasan satelit, dan menggunakan
parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS
(WADGPS). Metode-metode dalam mereduksi bias troposfer ini beberapa dapat
dilakukan secara simultan [Abidin, 2007].
Multipath adalah suatu fenomena yang terjadi ketika sinyal satelit tiba di antenna
GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda. Perbedaan jarak tempuh yang
terjadi mengakibatkan sinyal-sinyal tersebut berinterferensi ketika tiba di antenna.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya multipath adalah bidang reflektor yang
terdapat di sekitar antenna.
Gambar 2.17 Efek multipath [Abidin, 1995].
Besarnya efek multipath ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis dan posisi
reflektor, posissi relatif satelit, jarak reflektor ke antenna, panjang gelombang sinyal,
kekuatan sinyal, dan lain-lain. Sinyal yang berasal dari satelit berelevasi rendah lebih
26
berpotensi untuk mengalami multipath. Efek dari multipath ini biasanya memiliki
trend sinusoidal.
Gambar 2.18 Pola Sinusoidal dari efek multipath
[http://www.gmat.unsw.edu.au/snap/gps/gps_survey/chap6/6212.htm].
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mereduksi efek dari multipath, diantaranya
menghindari lingkungan pengamatan yang reflektif, menggunakan antenna GPS
yang baik dan tepat, menggunakan bidang dasar antenna sebagai penghalang dan
pengabsorpsi sinyal pantul, menggunakan receiver yang secara internal memiliki
kemampuan untuk mereduksi multipath, menghindari menggunakan satelit dengan
elevasi rendah, merata-ratakan data pengamatan [Abidin, 2007].
Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal GPS adalah jumlah gelombang penuh
yang tidak terukur oleh receiver GPS [Abidin, 2006]. Nilainya berupa bilangan bulat
dan berupa kelipatan dari panjang gelombang. Setiap satelit memiliki nilai
ambiguitas fase yang berbeda-beda satu sama lainnya, jika receiver yang mengamati
sinyal GPS tersebut bersifat kontinu (tidak terjadi cycle slips), maka nilai dari
ambiguitas fase akan selalu sama untuk setiap epok pengamatan. Pada pengamatan
one-way dan single-difference, ambiguitas fase sulit dipisahkan dengan efek
kesalahan jam receiver dan jam satelit, maka sifat kebulatan harganya sulit untuk
ditentukan. Maka untuk menghindari hal tersebut, dilakukan pengamatan GPS secara
double-difference agar efek dari jam receiver dan jam satelit tereliminir, sehingga
kebulatan nilai dari ambiguitas fase dapat ditentukan. Ada beberapa aspek yang
harus diperhitungkan secara baik saat menghitung ambiguitas fase, diantaranya
eliminasi kesalahan dan bias, geometri satelit-pengamat, dan teknik resolusi
ambiguitas [Abidin, 2007].
27
Cycle slips merupakan fenomena yang terjadi ketika receiver GPS terputus dalam
menerima sinyal GPS dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya yaitu akibat
mematikan dan menghidupkan receiver; obstruksi dari sinyal GPS yang disebabkan
oleh bangunan, pohon, jembatan, dll; dinamika receiver yang tinggi; rendahnya rasio
signal-to-noise yang bisa disebabkan oleh aktivitas ionosfer yang tinggi, multipath,
dll; dan terakhir akibat kegagalan receiver menerima sinyal (receiver failure). Akibat
dari cycle slips ini adalah ketidak-kontinuan dalam jumlah gelombang penuh dari
fase gelombang pembawa yang diamati. Pada data dua-frekuensi, keberadaan cycle
slip lebih mudah untuk ditangani dibandingkan pada data satu-frekuensi. Dalam
metode mendeteksi cycle slips, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
a.
menggunakan polynomial berorde rendah yang dicocokkan (fitting) ke time
series dari variabel yang di uji. Metode ini adalah metode yang paling umum
digunakan,
b.
penggunaan
model dinamik
untuk
memprediksi data
ukuran dengan
menggunakan Kalman filtering. Perbandingan antara data ukuran hasil prediksi
dengan hasil ukuran sebenarnya digunakan sebagai basis pendeteksian cycle
slips,
c.
penggunaan skema differencing data ukuran antar epok berorde satu, dua, tiga,
dan empat. Terjadinya cycle slips akan nampak pada harga differencing dengan
orde tinggi yang relatif besar.
Pengkoreksian cycle slips dapat dilakukan sebagai suatu proses yang tersendiri
sebelum
proses
estimasi
posisi,
ataupun
secara
terpadu
dengan
proses
pengestimasian posisi. Keberhasilan proses pengkoreksian cycle slips sangat
tergantung pada level kesalahan dan bias dari data ukuran, geometri satelit dan
kecanggihan dari algoritma yang digunakan [Abidin, 2007].
Selective Availability (SA) merupakan metode yang diaplikasikan oleh Department
of Deffense (DoD) pemerintah Amerika Serikat untuk memproteksi ketelititan posisi
relatif yang tinggi dari GPS. Data-data yang terbebas dari SA hanya diperuntukkan
untuk pihak militer Amerila Serikat dan juga untuk pihak-pihak yang memiliki izin.
SA diimplementasikan dengan memanipulasi data ephemeris satelit dan frekuensi
jam satelit. Sebagai akibat dari manipulasi data ephemeris ini yaitu kesalahan pada
28
hasil hitungan posisi satelit, sedangkan akibat dari manipulasi frekuensi jam satelit
adalah kesalahan jarak pseudorange (kode-C/A maupun kode P) dan kesalahan data
fase. SA merupakan sumber kesalahan terbesar untuk pengamatan GPS metode
absolute positioning. Dengan menggunakan metode differential positioning, maka
efek dari SA dapat direduksi dengan syarat bahwa panjang baseline yang relatif tidak
terlalu panjang. Efek SA ini mulai diaktifkan untuk seluruh satelit Blok-II pada
Maret 1990, tetapi telah dinon-aktifkan pada Mei 2000 [Abidin, 2007].
Pada setiap satelit yang beroperasi, terdapat beberapa buah jam atom yang digunakan
untuk mendefinisikan sistem waktu satelit. Jam-jam atom tersebut dalam perjalanan
waktunya akan mengalami penyimpangan (offset, drift, dan drift rate) dari sistem
waktu GPS. Dalam pesan navigasi GPS, terdapat parameter-parameter koreksi
penyimpangan jam satelit yaitu ao, a1, dan a2, dimana masing-masing parameter
merepresentasikan offset waktu, offset frekuensi, dan frequency drift dari jam satelit
[Abidin, 2007].
Receiver dan antenna merupakan sistem penerima sinyal GPS yang tentunya tidak
luput dari kesalahan-kesalahan yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh.
Adapun sumber-sumber kesalahan utama yang dimiliki oleh sistem penerima sinyal
GPS ini antara lain dikarenakan oleh ketidakstabilan osilator, bias antarkanal
(interchannel bias), variasi delay fase (phase delay variations), dan variasi pusat
antenna, derau (noise) receiver [Abidin, 2007].
Imaging merupakan suatu fenomena yang melibatkan suatu benda konduktif
(konduktor) yang berada dekat dengan antenna GPS. Radiasi dari antenna yang
sebenarnya akan menimbulkan arus induksi pada benda konduktif yang bersifat
rekletfi tersebut. Akibatnya, benda tersebut akan membangkitkan pola radiasi
tertentu sehingga ia seolah-olah menjadi antenna tersendiri, atau ia menjadi
„bayangan‟ (image) dari antenna yang sebenarnya. Selanjutnya, pola radiasi dari
„kedua‟ antenna ini akan berinteraksi (coupling) sehingga menghasilkan resultan dari
pola fase antenna GPS yang berbeda dari yang seharusnya. Akibat dari fenomena
imaging ini adalah distorsi dari pola fase antenna yang seharusnya. Imaging juga
menyebabkan perubahan pada titik pusat fase antenna yang menyebakan terjadinya
kesalahan pada ukuran jarak [Abidin, 2007].
29
Permasalahan di dalam menghitung total pergeseran dan mengestimasi kecepatan
pergeseran posisi titik akibat deformasi gempa adalah karena rendahnya rasio signalto-noise yang tersebar per harinya dalam data pengamatan GPS. Kesalahan dalam
pengamatan posisi akibat tingginya bias pada suatu wilayah dapat dilihat dari
tingginya nilai RMS (root mean square) yang tersebar pada time series pergeseran
titik tersebut, seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.19 Series pengamatan stasiun BAKO yang dipengaruhi oleh bias yang tersebar perharinya.
30
Download