98 BAB V KESIMPULAN Situs-situs tradisi megalitik

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Situs-situs tradisi megalitik yang terdapat di Pegunungan Muria pertama
kali diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1988. Penelitian yang
bersifat eksploratif-deskriptif tersebut menghasilkan temuan berupa punden
berundak, batu pedupaan, menhir, meja batu, serta beberapa tumpukan batuan
yang diduga tinggalan tradisi megalitik yang pernah berkembang di wilayah ini.
Sebagian besar situs-situs yang ada, masih digunakan hingga saat ini oleh
masyarakat sekiar ataupun yang berdatangan dari luar wilayah Pegunungan
Muria untuk melakukan ritual.
Berdasarkan kajian artefaktual yang telah dilakukan, situs-situs yang
berada di wilayah penelitian termasuk kategori situs pemujaan. Hal ini ditandai
dengan ditemukannya benda-benda tradisi megalitik berupa menhir, punden
berundak, batu pedupaan, serta meja batu, meskipun dengan berbagai
perubahan yang terjadi pada masa kini. Meskipun banyak terjadi modifikasi pada
aspek bentuk, hal ini tidak menghapus akar religi sebenarnya, yakni pemujaan
tokoh nenek moyang atau leluhur.
Selama beberapa waktu, interaksi sosial yang dilakukan oleh antar pelaku
ritual, menyebabkan cara ritual dan lokasi ritual berkembang secara dinamis di
Pegunungan Muria. Pemujaan terhadap leluhur yang merupakan landasan yang
utama pada tradisi megalitik, dimodifikasi secara terus menerus oleh pelaku
ritual. Modifikasi yang berlangsung turun temurun dan dalam waktu yang lama,
membuat pemahaman tentang sarana simbol pemujaan leluhur mengalami
berbagai perkembangan. Masuknya ajaran Hindu-Budha dan Islam di Indonesia,
98
sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap tinggalan-tinggalan yang
ditemukan.
Pemujaan terhadap nenek moyang dapat dilihat dari penggunaan nama
eyang yang secara harafiah berarti ‘orang tua’, melekat pada hampir semua situs
yang ada. Penamaan tersebut diikuti dengan nama-nama tokoh pewayangan
dalam mitologi Hindu yang berasal dari kisah Mahabharata. Namun, dua
pengecualian terjadi pada Situs Pertapaan Begawan Eyang Sakri dan Situs Sang
Hyang Wenang. Begawan Eyang Sakri tidak terdapat pada tokoh mitologi
Mahabharata, sehingga kemungkinan merupakan penamaan lokal (asli)
masyarakat Jawa. Selain itu, pemujaan terhadap Sang Hyang Wenang yang
berada pada puncak tertinggi di Pegunungan Muria, menunjukkan bahwa
konsepsi ketuhanan masyarakat pelaku ritual yaitu kepada Hyang. Nama ini
sendiri terpengaruh oleh kepercayaan masyarakat yang berkembang pada masa
Hindu-Budha.
Para pelaku ritual menganggap bahwa para tokoh wayang tersebut bukan
berasal dari tanah di luar Jawa, namun merupakan bagian dari mereka juga.
Wayang dianggap para nenek moyang yang mengajarkan budi pekerti luhur
kepada orang Jawa, bagaimana menjadi seorang Jawa seutuhnya. Cerita
tentang epik dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, adalah latar
belakang para pelaku ritual untuk menjalankan ‘laku’ mereka. Jadi nama-nama
tokoh wayang yang melekat pada situs-situs di lokasi penelitian adalah
personifikasi dari nenek moyang orang Jawa. Mereka berdoa dan memohon
kepada para eyang atas tujuan yang dikehendaki, dengan berbagai cara, dan
menganggap tokoh-tokoh wayang tersebut adalah leluhur mereka di Pulau Jawa.
99
Selain itu, temuan pada dua situs yakni Situs Pertapaan Begawan Eyang
Sakri dan Situs Pertapaan Eyang Madha menunjukkan bahwa telah terjadi
pergeseran pada konsepsi religi atau teori-teori tentang pemujaan nenek moyang
tinggalan tradisi megalitik. Pada kedua situs tersebut, tidak dijumpai sebuah
tinggalan batu besar, tetapi sudah berganti dengan masing-masing bangunan
permanen. Keduanya memiliki sebuah ruang utama sebagai tempat untuk
meletakkan sesaji, pedupaan, dan melakukan ritual. Meskipun begitu, kedua
situs ini dianggap situs yang penting di wilayah Pegunungan Muria, terlebih pada
Situs Petilasan Begawan Eyang Sakri. Dari fenomena tersebut dapat dilihat
bahwa penggunaan media pemujaan berupa ‘batu besar’ dianggap tidak menjadi
sebuah hal yang utama dan signifikan, di mana tempat atau lokasi sebenarnya
adalah hal yang paling sakral dalam melakukan ritual.
Pemaknaan pelaku ritual terhadap ‘tilas’ atau jejak masa lampau yang
ditinggalkan nenek moyang, masih diresapi sampai sekarang di lokasi penelitian.
Bahwa tempat atau lokasi dari ‘tilas’ merupakan hal yang penting, dibandingkan
dengan media pemujaan yang ada pada sebuah petilasan. Batu besar yang
selama ini dilihat oleh para peneliti sudah memberikan arti yang banyak pada
aspek religi, ternyata hanya sebuah bagian kecil dari keseluruhan konsep dan
prosesi kepercayaan yang ditunjukkan oleh para pelaku ritual di Pegunungan
Muria. Adanya media berupa batu besar ataupun tidak dan digantikan dengan
media lainnya, tidak mengurangi pemaknaan terhadap lokasi atau petilasan yang
ditinggalkan oleh nenek moyang.
Hal ini berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh beberapa ahli
megalitik, seperti pengertian tentang menhir yang dipahami sebagai batu tegak
tempat pemujaan dan penghormatan roh, tahta kedatangan roh leluhur, dan
100
sekaligus berfungsi sebagai lambang orang-orang yang meninggal. Temuan di
lokasi penelitian menunjukkan bahwa batu besar, seperti menhir atau artefak
lainnya, hanya sebuah media pemujaan yang berfungsi sebagai ‘pertanda’,
sedangkan tempat diletakkannya media tersebut menjadi hal yang utama, atau
menjadi sebuah ‘tanda’. Untuk mengenal, memahami, menghormati, dan
mensucikan tanda tersebut, muncul istilah ‘tilas’ yang telah diungkapkan di atas.
Terkait dengan pola pemujaan yang ada pada situs-situs tradisi megalitik di
Pegunungan Muria, nampaknya tidak terdapat suatu pola yang baku dalam
melakukan ritual. Pada umumnya, situs yang menjadi beberapa tujuan utama
dari pelaku ritual yaitu Situs Petilasan Begawan Eyang Sakri, Situs Petilasan
Eyang Abiyoso, Situs Petilasan Sang Hyang Wenang, dan Situs Petilasan Eyang
Semar. Meskipun begitu, situs-situs lainnya juga sering dikunjungi oleh para
pelaku ritual, tergantung dari tujuan masing-masing serta wangsit yang
diperintahkan kepada mereka. Oleh karena itu, pemujaan yang dilakukan pada
situs-situs tersebut lebih bersifat individual, bukan komunal.
Pengamatan pada tanggal 1 Suro yang jatuh pada tangggal 15 November
2012 menunjukkan bahwa situs-situs di Pegunungan Muria ramai dikunjungi oleh
para pelaku ritual yang datang dari berbagai daerah di sekitar lokasi, bahkan ada
yang datang dari luar Pulau Jawa. Kebanyakan dari mereka memang selalu
datang ke situs-situs tersebut setiap tahunnya, dengan berbagai maksud dan
tujuan. Ada yang meminta kesejahteraan hidup, kelancaran rejeki, kesehatan,
kesuburan tanah, dan sebagainya. Situs-situs yang mereka kunjungi terutama
Situs Petilasan Begawan Eyang Sakri, Situs Petilasan Eyang Abiyoso, Situs
Petilasan Sang Hyang Wenang, serta Situs Sendang Bunton. Ramainya pelaku
ritual yang datang membuat jalur-jalur pendakian menuju situs-situs tersebut
101
dipenuhi pengunjung. Meskipun begitu, ritual yang dilakukan juga masih
merupakan ritual yang bersifat individual, dalam pengertian masing-masing
individu bebas melakukan ritual di lokasi manapun sesuai dengan tujuan yang
mereka kehendaki.
Konsep religi yang melatarbelakangi situs-situs di Pegunungan Muria
adalah konsep religi yang telah mendapatkan pengaruh dari berbagai konsep
tentang kepercayaan yang pernah berkembang di Indonesia. Hal ini dapat
terlihat dari bentuk sinkretisme dari beberapa konsep kepercayaan masa
prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan Kejawen. Bentuk kepercayaan pada masa
prasejarah berwujud pada tinggalan tradisi megalitik. Tinggalan-tinggalan seperti
punden berundak, menhir, meja batu, dan lain lain, adalah tinggalan material
yang berfungsi sebagai media pemujaan.
Hadir pula nuansa Hindu yang melekat pada nama-nama situs yang
merupakan
tokoh
dalam
kisah
mitologi
Mahabharata,
seperti
Prabu
Pandhudewanata, Begawan Abiyoso, kembar Pandawa Lima Nakulo-Sadewo,
Manik Manonmanuyowoso, dll. Selain itu di Situs Sang Hyang Wenang yang
merupakan situs dengan kedudukan paling tinggi terdapat empat buah arca
dewa-dewi Hindu. Unsur Islam muncul dalam konsep keesaan Tuhan yang
diejawantahkan dalam bentuk Allah SWT atau Sang Hyang Wenang, serta
kentalnya tradisi tokoh pewayangan Jawa asli seperti Semar yang merupakan
tokoh punokawan. Hingga kemudian pada masa kini dijumpailah suatu bentuk
campur aduk beranekaragam kepercayaan yang dibalut dalam konsep religi
masyarakat Jawa atau disebut Kejawen.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pelaku ritual yang diamati pada
masa kini setidaknya melanjutkan sebuah tradisi yang telah secara turun
102
temurun mereka lakukan dalam sebuah keberlanjutan dengan berbagai imbuhan
yang berasal dari berbagai kepercayaan. Namun, kronologi situs secara absolut
tidak dapat diketahui karena tidak digunakan metode pengukuran pertanggalan
pada situs-situs tersebut. Pertanggalan pada situs-situs di Pegunungan Muria
tidak terlalu penting dan menjadi persoalan yang berarti, sebab situs-situs
tersebut adalah kesinambungan tradisi megalitik yang terus hidup dan sangat
dinamis.
Tinggalan tradisi megalitik yang terdapat di Pegunungan Muria memiliki
potensi lebih untuk dikaji secara lebih mendalam dalam ilmu arkeologi,
khususnya tradisi protohistori yang tidak banyak jumlahnya di Indonesia. Situssitus di kawasan ini telah berkembang dalam bentuk kemasan maupun konsep
religi
yang
melekat
pada
tinggalan
tradisi
megalitik
tersebut
seiring
bertambahnya waktu serta banyaknya budaya yang masuk dan mempengaruhi
kepercayaan masyarakatnya. Hingga bisa kita lihat pada masa kini, kepercayaan
mengenai tempat-tempat yang memiliki kekuatan supranatural melekat pada
situs-situs disana.
Namun, meningkatnya animo masyarakat yang ingin melakukan ritual di
lokasi-lokasi yang memiliki tuah tersebut membuat adanya perubahan fisik pada
tinggalan. Sisa-sisa batu kuno tersebut hilang, diganti bata dan semen masa kini.
Karenanya penulis sangat kesulitan untuk melacak mana tinggalan yang asli dari
masa prasejarah. Datangnya manusia berarti juga mendatangkan keuntungan
bagi orang-orang yang berjualan di dekat situs-situs tersebut, sampai mereka
mendirikan warung-warung dan tempat bermalam. Meskipun penambahanpenambahan bentuk fisik yang dilakukan merupakan proses untuk kemudahan
ritual, hal ini dapat membuat kabur makna sebenarnya dari situs-situs tersebut.
103
Oleh karena itu, penelitian ini memang sangat dibutuhkan untuk memotret dan
menafsirkan dinamika budaya, dalam hal ini objek/tinggalan arkeologi dengan
para pelaku ritual yang berasal dari masyarakat sekitar dan masyarakat luar, di
kawasan Pegunungan Muria.
104
Download