BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran a. Pengertian Pembelajaran Beberapa definisi pembelajaran yaitu: 1) Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 20 menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar, 2) Dewi Salma Prawiradilaga (2007: 4), menyatakan pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan belajar dapat dipermudah (facilitated) pencapaianya, 3) Syarifudin (2008: 96) berpendapat bahwa pembelajaran upaya mengorganisasikan lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. 4) Howard dalam Slameto (2010: 32), pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan keterampilan, sikap, cita-cita, penghargaan, dan pengetahuan. Berdasarkan teori di atas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa dalam rangka mendukung dan mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada siswa yang dapat terbentuk dari interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan lingkungan belajarnya. Dari pengertian tersebut tampak bahwa antara belajar dan pembelajaran satu sama lain memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Keterkaitan substantif belajar dan pembelajaran terletak pada simpul terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu. Keterkaitan fungsional pembelajaran dengan belajar adalah bahwa pembelajaran sengaja dilakukan untuk menghasilkan belajar atau dengan kata lain belajar merupakan parameter pembelajaran. Hal yang penting dalam mengajar adalah bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Usaha yang dilakukan guru hanya merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. 8 9 b. Belajar Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, belajar merupakan faktor yang menentukan hasil sebagaimana telah ditentukan dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi serta berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Para ahli psikologi menetapkan berbagai definisi karena definisi merupakan rangkaian kalimat untuk menyatakan suatu konsep. Oleh karena itu, ada banyak definisi sebanyak pencetusnya walaupun ada persamaan konsep. Beberapa ahli telah menyusun definisi belajar, yang perumusannya berbeda-beda. (1) Mulyati (2009: 5) mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu usaha sadar individu untuk mencapai tujuan peningkatan diri atau perubahan diri melalui latihan-latihan dan pengulangan-pengulangan dan perubahan yang terjadi bukan karena peristiwa kebetulan. (2) Slameto (2003: 2) berpendapat bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. (3) Sardiman (2007: 20) berpendapat bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. (4) Menurut Witherington dalam Nana Syaodih Sukmadinata (2003: 155) belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai polapola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan. (5) A. Suhaenah Suparno (2001: 2) berpendapat bahwa belajar merupakan hal yang sangat mendasar bagi manusia dan merupakan proses yang tidak ada henti-hentinya. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan peningkatan diri atau perubahan diri, dimanifestasikan sebagai pola respon baru yang berbentuk ketrampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan secara berkesinambungan atau pengalaman-pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan. 10 c. Teori-teori Belajar Teori-teori yang mendukung dan mendasari pembelajaran kooperatif yaitu teori belajar kontruktivisme, teori belajar Vygotsky, teori perkembangan Piaget, teori belajar Ausubel, dan teori belajar Gagne. 1) Teori Belajar Konstruktivis Vygotsky Teori nememukan konstruktivis Slavin sendiri menstransformasikan dan menyatakan bahwa siswa informasi harus kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuaru untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Vygotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka atau daerah tingkat perkembangan sedikit diatas daerah perkembangan seseorang saat ini. Ia meyakini bahwa fungsi mental lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Selain itu ide penting dari Vygotsky adalah pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya atau scaffolding (Trianto, 2009). Vygotsky menemukan hal penting berkaitan dengan pembelajaran pada anak diantaranya adalah mengkonstruksi pengetahuan dan perkembangan kognitif terkait erat dengan interaksi social yang dapat dihadirkan dalam bentuk kerja sama antar peserta didik. Implikasi 11 pandangan Vygotsky dalam pembelajaran kimia adalah pembentukan kelompok yang memungkinkan peserta didik dapat berinteraksi dalam pemecahan masalah. Melalui interaksi yang terjadi selama proses belajar, akan berpengaruh kepada keberhasilan peserta didik . Interaksi dapat mengubah kemampuan dan bakat alamiah menjadi pengalaman belajr yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sementara itu, interaksi dengan metode pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat mempelajari fenomena alam yang dihadirkan melalui metode pembelajaran. Berdasarkan cirri pembelajaran kontruktivisme dan perkembangan kognitif Piaget maka dapat disimpulkan bahwa teori belajar yang diacu dalam penelitian sesuai dengan pembelajaran dengan model Problem Posing dimana siswa dituntut aktif dalam membentuk pengetahuan mereka sendiri yaitu dengan belajar secara berkelompok. 2) Teori Perkembangan Piaget Jean Piaget merupakan seorang pakar yang banyak melakukan penelitian tentang perkembangan kognitif manusia. Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks susunan sel syarafnya, sehingga makin meningkat pula kemampuannya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Setiap anak akan melewati tahapan demi tahapan secara hierarki, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget dalam Saiful Sagala (2009: 13) membagi tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat, yaitu: a) tahap sensori-motor (0-2 tahun), b) tahap pra-operasional (2-7 tahun), c) tahap operasional konkret (7 – 11 tahun), dan d) tahap operasional formal (11 tahun – ke atas). 12 Teori perkembangan Piaget menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita. Dalam teori Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan yaitu pengetahuan fisik (physical knowledge), pengetahuan logika-matematik (logico-mathematical knowledge) dan pengetahuan sosial (social knowledge). Pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang ciri-ciri fisik dan obyek. Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam obyek itu sendiri, sehingga obyek menjadi sumber dari pengetahuan sebagai pengamatan. Pengetahuan logika-matematik bersifat abstrak, terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diintroduksikan pada obyek-obyek. Sedangkan pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang dibuat bersama oleh masyarakat, yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Jadi pengetahuan sosial membutuhkan manusia, tanpa interaksi dengan manusia, tidak mungkin bagi seorang anak untuk memperoleh pengetahuan sosial (Muhibbin Syah, 2009: 24-29). Walaupun terdapat perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungan. 3) Teori Belajar Ausubel David Ausubel menyatakan bahwa teori belajar merupakan titik berangkat untuk menemukan prinsip-prinsip umum tentang mengajar yang efektif. Belajar merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar. 13 Inti dari teori belajar Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Guna menekankan fenomena pengaitan ini, Ausubel mengemukakan istilah subsumer. Subsumer memegang peranan dalam proses memperoleh informasi baru. Dalam belajar bermakna, subsumer mempunyai peranan interaktif, memperlancar gerakan informasi yang relevan melalui penghalang-penghalang perceptual dan menyediakan suatu kaitan antara informasi yang baru diterima dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. 4) Teori Belajar Gagne Menurut Gagne, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Ada lima bentuk belajar yang diungkapkan oleh Gagne yaitu belajar responden, belajar kontiguitas, belajar operant, belajar observasional, dan belajar kognitif. Pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memperoleh kemampuan untuk mengeluarkan respon terkondisi. Bentuk belajar semacam ini disebut belajar responden dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi. Kedua, belajar kontiguitas yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini sering kita alami. Ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi perilaku mempengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangannya. Belajar semacam ini disebut belajar operant. Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadiankejadian. Kita belajar dari metode-metode, dan masing- masing kita mungkin menjadi suatu metode bagi orang lain dalam belajar observasional. 14 Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita (Syaiful Sagala, 2009: 17-28). 2. Model Pembelajaran Problem Posing a. Pengertian Problem posing Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata “problem” artinya masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya mengajukan. Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah. Model pembelajaran ini dikembangkan di tahun 1997 oleh Lynn, dan pada awalnya diterapkan pada mata pelajaran matematika. Selanjutnya, model pembelajaran ini dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Menurut Silver, sebagaimana dikutip oleh Irwan (2011: 4), mengatakan problem posing merupakan aktivitas yang meliputi merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut serta menentukan penyelesaiannya. Dari pendapat Silver tersebut dapat disimpulkan bahwa problem posing adalah kegiatan merumuskan soal baru dari memodifikasi kondisi soal lama sehingga mampu menentukan penyelesaiannya sendiri. Model problem posing adalah model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal, menyusunnya kembali menurut pemahaman siswa lalu menyusun solusi pemecahannya secara mandiri atau berlatih soal ( Pujiastuti, 2001: 3). Problem posing adalah perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat – syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang relevan. Pembelajaran dengan model problem posing dapat dimulai dari membaca lalu mencari soal, menyusunnya kembali sesuai dengan pemahaman dan menyelesaikannya. Soal yang dicari dapat berasal dari berbagai sumber buku yang ada kaitannya dengan materi pembelajaran. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini, tugas membaca yang diperintahkan kepada 15 siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca pertanyaan dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka mereka akan berusaha mencari jawaban dari pertanyaaan yang mereka baca. Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan ketrampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana siswa diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut. Model pembelajaran problem posing dapat dikembangkan dengan memberikan masalah yang belum terpecahkan dan meminta siswa untuk menyelesaikannya Dalam pelaksanaanya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain : 1) Problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas – luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa dapat menggunakan soal – soal yang terdapat pada buku sumber dan fenomena dalam kehidupan sehari – hari sebagai acuan untuk mengajukan soal. 2) Problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/ informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu. 3) Problem posing terstruktur, siswa diberikan soal untuk diselesaikan siswa, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru. b. Tujuan dan Manfaat Problem Posing Terdapat beberapa tujuan dan manfaat dari penggunaan pembelajaran Problem Posing. Menurut Sema Cildir & Nazan Sezen (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “A Study on the Evaluation of Problem Posing Skills in Terms of Academic Success. Science Direct”, menjelaskan bahwa Problem Posing dapat membuat peserta aktif dalam kelas dan memungkinkan berpikir lebih analisis. Kegiatan problem posing memerlukan penguasaan pada subyek dan mencari 16 hubungan antara komponen yang dapat meningkatkan pemahaman dan berdampak peningkatan prestasi akademik. Giving prospective teachers problem posing activities during classes would both make them active participants in class and enable them to think more analytically. Moreover, problem posing is an activity that requires mastery in the subject as well as an ability to draw relationships between situations. Thus, it is inevitable that prospective teachers with this skill will be more in command in their fields. Akay, H & Nihat Boz. (2010), dalam jurnalnya “The Effect of Problem Posing Oriented Analysis-II Cours on the Attitudes toward Mathematics and Mathematics Self-Efficacy of Elementary Prospective Mathematics Teachers”, menyatakan bahwa pembelajaran Problem Posing memberikan manfaat yaitu berupa pengaruh positif terhadap sikap terhadap matematika dan efikasi diri untuk calon guru matematika sekolah dasar. To sum up, problem posing oriented course has positive effects on mathematics selfefficacy beliefs and attitude toward mathematics. Therefore, we suggest that such a teaching approach could be used in mathematics courses of Primary Mathematics Teaching Programs. Terdapat tujuan dan manfaat selain yang dikemukakan diatas. Menurut Thobroni (2011: 349) menyatakan bahwa problem posing dapat : 1) Membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap pelajaran sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. 2) Membentuk siswa bersikap kritis dan kreatif. 3) Mempromosikan semangat inkuiri dan membentuk pikiran yang berkembang dan fleksibel. 4) Mendorong siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya. 5) Mempertinggi kemampuan pemecahan masalah sebab pengajuan soal member penguatan-penguatan dan memperkaya konsep-konsep dasar. 6) Menghilangkan kesan keseraman dan kekunoan dalam belajar. 7) Memudahkan siswa dalam mengingat materi pelajaran. 8) Memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran. 17 9) Membantu memusatkan perhatian pada pelajaran. 10) Mendorong siswa lebih banyak membaca materi pelajaran c. Penerapan Pembelajaran Problem Posing Problem posing dapat dilakukan secara individu atau klasikal, berpasangan, atau secara kelompok. Dalam penelitian ini menerapkan pembelajaran problem posing secara berkelompok. Pembelajaran dengan problem posing ini menekankan pada pembentukan atau perumusan soal oleh siswa secara berkelompok. Setiap selesai pemberian materi guru memberikan contoh tentang cara pembuatan soal dan memberikan informasi tentang materi pembelajaran dan bagaimana menerapkannya dalam problem posing secara berkelompok. Keuntungan belajar kelompok menurut Roestiyah (2001: 17) ada lima hal. 1) Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah. 2) Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi 3) Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai individu serta kebutuhan belajar 4) Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih aktif berpartisipasi dalam diskusi. 5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa menghargai dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat orang lain, hal mana mereka telah saling membantu kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama. Adapun langkah-langkah penerapan model pembelajaran problem posing menurut Thobroni & Mustofa (Thobroni, 2011:351) adalah sebagai berikut : 1) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan. 2) Guru memberikan latihan soal secukupnya. 18 3) Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok. 4) Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa. 5) Guru memberikan tugas rumah secara individual. Jadi langkah-langkah pembelajaran problem posing dalam penelitian ini mengacu pada langkah – langkah model pembelajaran problem posing menurut Thobroni & Mustofa, yaitu : 1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. 2) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada siswa secara singkat.(Tahap 1) 3) Guru memberikan latihan soal secukupnya dengan melibatkan siswa dalam pemecahannya. (Tahap 2) 4) Guru membentuk kelompok belajar secara acak dengan anggota 6 siswa tiap kelompok. 5) Guru memberikan tugas tiap kelompok untuk mengajukan soal yang sesuai materi sekaligus dituntut untuk mampu menyelesaikan soal yang bersangkutan. (Tahap 3) 6) Guru meminta soal yang telah dibuat oleh masing-masing kelompok dan soal tersebut kemudian diberikan kepada kelompok lain. 7) Siswa secara berkelompok mencari penyelesain dari soal tersebut dan mempersentasikan jawaban atau penemuannya. (Tahap 4) 8) Guru memberikan tugas rumah secara individual. (Tahap 5) 3. Prestasi belajar Kata prestasi berasal dari bahasa belanda “prestatie” yang berarti hasil atau usaha yang telah dicapai. Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa dari usaha belajarnya. Adanya perubahan dalam pola perilaku 19 menandakan telah terjadi belajar. Perubahan yang diperoleh tersebut dinamakan hasil belajar. Keberhasilan siswa dalam belajar ditandai dari prestasi yang dicapai siswa. Prestasi belajar diperoleh setelah siswa mengikuti proses belajar mengajar atau dengan kata lain prestasi belajar merupakan pencerminan proses belajar yang telah berlangsung. Dengan prestasi belajar dapat diketahui tingkat penguasaan materi pelajaran selama proses belajar mengajar berlangsung atau seberapa jauh pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Menurut Adeyemi dan Merry (2009: 24-25) untuk mengetahui perkembangan anak secara utuh maka ketiga ranah tersebut harus dinilai. a. Ranah kognitif Ranah kognitif berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan berpikir dan pemecahan masalah. Sudjana (2010: 40) berpendapat bahwa ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual. Yamin (2008) tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan berpikir, mencakup kemampuan intelektual yang sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya telah dipelajari. kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan (mengingat), memahami dan menerapkan hanya membutuhkan proses berfikir rendah (lower level of thinking process), sedangkan menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan membutuhkan proses berfikir tingkat tinggi (higher level of thinking process). Anderson melakukan revisi pada taksonomi Bloom tingkatan pada ranah kognitif (cognitive). Ranah kognitif (C) menurut Anderson terdiri dari enam tingkatan. Tingkatan yang pertama (C1) adalah mengingat, peserta 20 didik diharapkan dapat menjelaskan jawaban faktual, menguji ingatan dan pengenalan. Tingkatan kedua (C2) adalah memahami, peserta didik diharapkan mampu menerjemahkan, menjabarkan, menafsirkan, menyederhanakan, dan membuat perhitungan. Tingkatan ketiga ( C3) adalah menerapkan, peserta didik diharapkan mampu memahami kapan menerapkan, mengapa menerapkan dan mengenali pola penerapan ke dalam situasi yang baru, tidak biasa, dan agak berbeda atai berlainan. Tingkatan keempat (C4) adalah menganalisis, peserta didik diharapkan mampu memecahkan ke dalam bagian, bentuk, dan pola. Tingkatan kelima (C5) adalah menilai, peserta didik diharapkan mampu menilai berdasarkan kriteria dan menyatakan alasannya. Tingkatan yang keenam (C6) adalah menciptakan, peserta didik diharapkan mampu menggabungkan unsur-unsur ke dalam bentuk atau pola yang sebelumnya kurang jelas. b. Ranah afektif Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Terdapat lima tipe karakteristik afektif yang penting antara lain: 1) Sikap merupakan perasaan positif atau negative terhadap suatu objek 2) Minat merupakan keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek. 3) Konsep diri merupakan suatu pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata pelajaran. 4) Nilai merupakan suatu keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek. 5) Moral merupakan suatu tindakan yang dianggap baik dan tidak baik (Depdiknas. 2003: 7-18). c. Ranah psikomotorik Ranah psikomotorik merupakan perilaku yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh manusia. Hasil psikomotor tampak dalam bentuk 21 keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik meliputi peniruan imitasi, memanipulasi, ketepatan, artikulasi dan pengalamiahan. Anita harrow dalam Yulaelawati (2004: 63) mengelola taksonomi ranah psikomotor menurut derajad koordinasi yang meliputi koordinasi ketidak sengajaan dan kemampuan yang dilatihkan. Taksonomi ini dimulai dengan gerak refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke gerakan otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi. Hirarki ranah psikomotor dapat digolongkan meliputi: (1) gerakan refleks, merupakan tindakan yang ditunjukkan tanpa belajar dalam menanggapi stimulus, (2) gerakan dasar, merupakan pola gerakan yang di vaariasi yang terbentuk berdasarkan campuran gerakan refleks daan gerakan yang lebih kompleks, (3) gerakan tanggap (perceptual), merupakan penafsiran terhadap segala rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan, (4) kegiatan fisik, merupakan kegiatan yang memerlukan kekuatan otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan, kegesitan dan kekuatan suara, (5) komunikasi tidak berwacana, merupakan komunikasi melalui gerakan tubuh, gerakan tubuh ini merentang dari ekspresi mimik muka sampai dengan gerakan koreografi. Arifin (2009: 12) menyebutkan prestasi belajar memiliki beberapa fungsi antara lain : 1) Prestasi belajar sebagai indikator kuantitas dan kualitas pengetahuan yang telah dikuasai siswa. 2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. 4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari institusi pendidikan. 5) Prestasi belajar dijadikan indikator daya serap (kecerdasan). Prestasi belajar siswa dapat digunakan untuk memotivasi siswa, memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran oleh guru. Selain itu, pemanfaatan hasil belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran harus didukung oleh siswa, guru, kepala sekolah, serta orang tua 22 siswa (Depdiknas, 2003: 21). Sedangkan fungsi prestasi belajar bagi siswa adalah sebagai indikator pencapaian tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai umpan balik bagi guru dalam rangka peningkatan kualitas proses pembelajaran agar dapat menentukan langkah apa yang perlu dilakukan untuk diagnosa, memberi bimbingan dan penempatan anak didik untuk meningkatkan prestasinya. Sehingga prestasi siswa sangat berperan dalam proses pendidikan. mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. a. Faktor intern 1) Faktor jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh. 2) Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3) Faktor kelelahan. b. Faktor ekstern 1) Faktor keluarga, meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan. 2) Faktor sekolah, meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa atau interaksi sosial antarsiswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran yang di atas ukuran, keadaan gedung sekolah, metode belajar, dan tugas rumah. 3) Faktor masyarakat, meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat. (Slameto, 2003: 54-72) Dalam penelitian ini prestasi belajar yang diukur adalah aspek kognitif dan afektif siswa. 23 4. Kemampuan pemahaman membaca Membaca merupakan proses pengolahan bacaan secara kritis–kreatif dengan tujuan memperolah pemahaman secara menyeluruh tentang suatu bacaan. Menurut Harris (2011: 57), kegiatan membaca merupakan aktivitas mental memahami apa yang disampaikan penulis melalui bacaan. Pemahaman terhadap suatu bacaan melibatkan aspek: pemahaman bahasa dan lambang tertulis, gagasan, serta nada dan gaya. Untuk dapat memahami sebuah teks dengan baik, seseorang harus memiliki kemampuan pemahaman yang baik pula. Kemampuan pemahaman membaca merupakan sesuatu yang sangat penting untuk meraih kesuksesan di zaman modern keterampilan ini. Kemampuan pemerolehan pemahaman pengetahuan yang merupakan seperangkat digeneralisasi, yang memungkinkan orang memeroleh dan mewujudkan informasi yang diperoleh sebagai hasil membaca bahasa tertulis (Bormouth dalam Zuchdi, 2008:22). Lebih singkat, Nurgiyantoro mengartikan kemampuan pemahaman membaca sebagai kemampuan untuk memahami informasi yang disampaikan pihak lain melalui sarana tulisan (2010: 371). Kemampuan pemahaman membaca berkaitan dengan kemampuan kognitif (ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca. Kemampuankemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan dalam menemukan dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan secara tepat dan kritis (Harras, 2011b:78). Yap melaporkan bahwa kemampuan pemahaman membaca seseorang sangat ditentukan oleh faktor kuantitas membacanya. Tegasnya, kemampuan berbahasa seseorang itu sangat ditentukan oleh pengaruh sejauh mana (lamanya) seseorang melakukan aktivitas membaca. Berbeda dengan Yap, Burmenister mengatakan bahwa kemampuan pemahaman membaca seseorang itu ditentukan oleh faktor intelegensinya (dalam Harras, 2011a:25-26). Berbeda dengan pendapat di atas, Ebel berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan pemahaman bacaan yang dapat dicapai oleh siswa dan perkembangan minat bacaannya tergantung pada faktor- 24 faktor berikut: (1) siswa yang bersangkutan,(2) keluarganya, (3) kebudayaannya, dan (4) situasi sekolah (Harras, 2011a:27). Begitu pula Omagio melalui Harras, ia berpendapat bahwa pemahaman bacaan bergantung pada gabungan pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca. Pemahaman bacaan tidak lepas dari komponen-komponen yang membentuknya. Golinkoff menyebutkan adanya tiga komponen utama pemahaman bacaan, yaitu pengodean kembali (decoding), pemerolehan makna leksikal (memaknai kata tertulis), dan organisasi teks, yang berupa pemerolehan makna dari unit yang lebih luas dari kata-kata lepas (Zuchdi, 2008:22). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman membaca adalah kemampuan untuk memahami dan menyarikan informasi yang ada dalam suatu bacaan seefisien mungkin. Seseorang dapat mewujudkan informasi yang diperolehnya melalui membaca tersebut. Kemampuan pemahaman membaca berkaitan dengan kemampuan kognitif (ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca. Kemampuan-kemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan dalam menemukan dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan secara tepat dan kritis. Kegiatan memahami wacana sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dibuat jenjang sesuai taksonomi Barret. Taksonomi Barrett adalah taksonomi membaca yang mengandung dimensi kognitif dan afektif yang dikembangkan oleh Thomas C. Barrett pada tahun 1968. Taksonomi ini dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan pemahaman membaca dan meningkatkan kecerdasan siswa (Supriyono, 2009:1). Taksonomi Barret ini memiliki 5 kategori yang terdiri dari: a. Pemahaman literal Pemahaman literal adalah pemahaman terhadap apa yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks, pemahaman informasi secara eksplisit didalam teks. Pemahaman literal atau harfiah adalah kemampuan memahami ide-ide yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Pemahaman leteral lazim juga disebut dengan pemahaman tersurat. Dalam taksonomi Barret, pemahaman 25 literal merupakan tingkat pemahaman yang paling rendah tetapi penting sebelum menginjak ke tingkat pemahaman selanjutnya. b. Reorganisasi Pemahaman reorganisasi adalah pemahaman yang merupakan kemampuan untuk menganalisis, menyintesis, atau menggorganisasikan informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan menggorganisasikan kembali meliputi kemampuan mengklasifikasikan, merangkum, mengikhtisarkan, dan menyintesiskan. c. Pemahaman inferensial Pemahaman inferensial adalah kemampuan memahami informasi yang dinyatakan secara tidak langsung dalam teks (tersirat). Memahami teks secara inferensial berarti memahami apa yang diimpilkasikan oleh informasi-informasi yang dinyatakan secara eksplisit d. Evaluasi, penilaian dan pendapat tentang isi wacana Pemahaman evaluasi adalah kemampuan mengevaluasi materi teks. Pemahaman evaluasi pada dasarnya sama dengan pemahaman membaca kritis. Dalam pemahaman ini, pembaca membandingkan informasi yang ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu, dan dengan pengetahuaan serta latar belakang pengalaman pembaca sendiri untuk membuat penilaiaan berbagai hal yang berkaitan dengan materi teks. Pemahaman evaluasi bisa dikatakan penilaian dan pendapat tentang isi bacaan / wacana. e. Apresiasi, penghargaan terhadap isi wacana. Pemahaman apresiasi merupakan kemampuan untuk mengungkapkan respon emosional dan estetis terhadap teks sesuai dengan standar pribadi dan standar profesional mengenai, bentuk sastra, gaya, jenis, dan teori sastra. Pemahaman apresiasi melibatkan seluruh dimensi kognetif yang terlibat dalam tingkatan pemahaman sebelumnya karena apresiasi berkaitan dengan impak psikologi dan estetis terhadap teks. Pemahaman apresiasi bisa dikatakan penghargaan terhadap isi wacana. 26 Dalam penelitian ini pengukuran tes pemahaman membaca didasarkan pada taksonomi Barret tetapi dibatasi pada kategori pemahaman literal, reorganisasi,dan evaluasi. 5. Materi hukum – hukum dasar kimia Berdasarkan pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum KTSP, materi hukum dasar kimia merupakan salah satu materi subpokok bidang studi ilmu kimia yang diajarkan pada siswa kelas X semester gasal. Materi ini merupakan materi dasar dalam ilmu kimia yang harus dipahami oleh siswa karena materi tersebut diperlukan sebagai dasar dalam mempelajari ilmu kimia selanjutnya. Dalam bab ini terdapat beberapa poin yang akan dibahas, diantaranya mengenai Hukum Lavoisier, Hukum Proust, Hukum Dalton, Hukum Gay-Lussac, dan Hukum Avogadro. a. Hukum Lavoisier Pernahkah Anda melihat kayu atau kertas terbakar ? Hasil yang diperoleh berupa sejumlah sisa pembakaran yaitu abu. Jika Anda menimbang abu tersebut maka massa abu lebih ringan dari massa kayu atau kertas sebelum dibakar. Benarkah demikian? Dari kejadian tersebut, kita mendapatkan gambaran bahwa seolah-olah dalam suatu reaksi kimia, ada perbedaan massa zat, sebelum dan sesudah reaksi. Antoine Laurent Lavoisier (1743–1794) seorang ahli kimia berkebangsaan Prancis telah menyelidiki hubungan massa zat sebelum dan sesudah reaksi. Lavoisier menimbang zat-zat sebelum bereaksi kemudian menimbang hasil-hasil reaksinya. Ternyata massa zat sebelum dan sesudah bereaksi selalu sama. Akan tetapi, perubahan-perubahan materi umumnya berlangsung dalam sistem terbuka sehingga apabila hasil reaksi ada yang meninggalkan sistem (seperti pembakaran lilin) atau apabila sesuatu zat dari lingkungan diikat (seperti proses perkaratan besi yang mengikat oksigen dari udara) maka seolah-olah massa zat sebelum dan sesudah reaksi menjadi tidak sama. Sedangkan bila kita membakar kayu, maka hasil pembakaran hanya tersisa abu yang massanya lebih ringan dari kayu. Hal ini bukan berarti ada 27 massa yang hilang. Akan tetapi, pada proses ini kayu bereaksi dengan gas oksigen menghasilkan abu, gas karbon dioksida, dan uap air. Jika massa gas karbon dioksida dan uap air yang menguap diperhitungkan, maka hasilnya akan sama. Lavoisier menyimpulkan hasil penemuannya dalam suatu hukum yang disebut hukum kekekalan massa: “Dalam sistem tertutup, massa zat sebelum dan sesudah reaksi adalah sama“. Misalnya, reaksi perkaratan besi (besi mengikat oksigen dari udara) sebagai berikut. Besi yang mempunyai massa tertentu akan bereaksi dengan sejumlah oksigen di udara membentuk senyawa baru besi oksida (Fe2O3(s)) yang massanya sama dengan massa besi dan oksigen mulamula. 4 Fe(s) + 3 O2(g) 2 Fe2O3(s) b. Hukum Proust Ada berbagai senyawa yang dibentuk oleh dua unsur atau lebih, sebagai contoh air (H2O). Air dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur hidrogen dan oksigen. Materi mempunyai massa, termasuk hidrogen dan oksigen. Bagaimana kita mengetahui massa unsur hidrogen dan oksigen yang terdapat dalam air? Seorang ahli kimia Prancis yang bernama Joseph Louis Proust (1754–1826) mencoba menggabungkan hidrogen dan oksigen untuk membentuk air. Tabel 2.1. Hasil Percobaan Proust Massa Hidrogen yang Direaksikan (gram) 1 2 1 2 Massa Oksigen yang Direaksikan (gram) 8 8 9 16 Massa Air yang Terbentuk (gram) 9 9 9 18 Sisa Hidrogen atau Oksigen (gram) 1 g hidrogen 1 g oksigen - Dari gambar di atas terlihat, bahwa setiap 1 g gas hidrogen bereaksi dengan 8 g oksigen menghasilkan 9 g air. Hal ini membuktikan bahwa massa 28 hidrogen dan massa oksigen yang terkandung dalam air memiliki perbandingan yang tetap yaitu 1 : 8, berapapun banyaknya air yang terbentuk. Dari percobaan yang dilakukannya, Proust mengemukakan teorinya yang terkenal dengan sebutan hukum perbandingan tetap, yang berbunyi: "Perbandingan massa unsur-unsur penyusun suatu senyawa selalu tetap". c. Hukum Dalton Komposisi kimia ditunjukkan oleh rumus kimianya. Dalam senyawa, seperti air, dua unsur bergabung dan masing-masing menyumbangkan sejumlah atom tertentu untuk membentuk suatu senyawa. Dari dua unsur dapat dibentuk beberapa senyawa dengan perbandingan berbeda-beda. Misalnya, belerang dengan oksigen dapat membentuk senyawa SO2 dan SO3. Dari unsur hidrogen dan oksigen dapat dibentuk senyawa H2O dan H2O2. Dalton menyelidiki perbandingan unsur-unsur tersebut pada setiap senyawa dan mendapatkan suatu pola keteraturan. Pola tersebut dinyatakan sebagai hukum perbandingan berganda yang bunyinya: “Apabila dua unsur dapat membentuk lebih dari satu senyawa, massa salah satu unsur tersebut tetap (sama) maka perbandingan massa unsur yang lain dalam senyawa-senyawa tersebut merupakan bilangan bulat dan sederhana". Contohnya nitrogen dan oksigen dapat membentuk senyawa-senyawa N2O, NO, N2O3, dan N2O4 dengan komposisi massa terlihat dalam tabel berikut. Tabel 2.2. Data Percobaan Dalton Senyawa N2O NO N2O3 N2O4 Massa Nitrogen (gram) 28 14 28 28 Massa Oksigen (gram) 16 16 48 64 Perbandingan (gram) 7: 4 7: 8 7 : 14 7 : 16 Dari tabel tersebut, terlihat bahwa apabila massa N dibuat tetap (sama) sebanyak 7 g maka perbandingan massa oksigen dalam: N2O : NO : N2O3 : N2O4 = 4 : 8 : 12 : 16 atau 1 : 2 : 3 : 4, ini merupakan bilangan bulat dan sederhana. 29 d. Hukum Gay-Lussac Pada Pada awalnya para ilmuwan menemukan bahwa gas hidrogen dapat bereaksi dengan gas oksigen membentuk air. Perbandingan volume gas hidrogen dan oksigen dalam reaksi tersebut adalah tetap, yaitu 2 : 1. Pada tahun 1808, Joseph Louis Gay Lussac melakukan percobaan serupa dengan menggunakan berbagai macam gas. 2 satuan volume gas hidrogen + 1 satuan volume gas oksigen → 2 satuan volume uap air 1 satuan volume gas hidrogen + 1 satuan volume gas klorin → 2 satuan volume gas hidrogen klorida Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa: Volume gas hidrogen : oksigen : uap air = 2 : 1 : 2 Volume gas hidrogen : klorin : hydrogen klorida = 1 : 1 : 2 Hukum tersebut hanya berlaku untuk reaksi-reaksi dalam wujud gas, dan pada kenyataannya untuk reaksi yang bukan gasmassa zat dan volume zat cair tidak berlaku. Bila dihubungkan dengan teori atom Dalton terdapat ketidaksesuaian, karena Dalton menganggap bahwa atom merupakan partikel terkecil dari suatu zat. Jadi, apabila satuan volume diperkecil akan didapat : 1 volume gas hidrogen + 1 volume gas oksigen → 2 satuan volume uap air Jika dianggap bahwa gas-gas dalam keadaan sebagai atom, maka: 1 atom hidrogen + 1 atom klorin → 2 atom hidrogen klorida Bila konsep ini diterapkan pada gas hidrogen dan oksigen, maka didapat: 1 atom hidrogen + atom oksigen → 1 atom air Konsep setengah atom bertentangan dengan teori atom Dalton, sebab tidak ada atom yang separo. Untuk menghindari hal tersebut Amadeo Avogadro mengusulkan hipotesis yang dikenal sebagai “Hipotesis Avogadro”. (Sudarmo, 2004:69-70) 30 e. Hipotesis Avogadro Mengapa perbandingan volume gas-gas dalam suatu reaksi merupakan bilangan sederhana? Banyak ahli termasuk Dalton dan Gay Lussac gagal menjelaskan hukum perbandingan volume yang ditemukan oleh Gay Lussac. Ketidakmampuan Dalton karena ia menganggap partikel unsur selalu berupa atom tunggal (monoatomik). Pada tahun 1811, Amedeo Avogadro menjelaskan percobaan Gay Lussac. Menurut Avogadro, satuan terkecil dari suatu zat tidaklah harus atom tetapi dapat merupakan gabungan atom yang disebut molekul. Dengan konsep ini maka teori atom Daltontetap benar dan fakta percobaan Gay Lussac dapat dijelaskan, sehingga pernyataan tentang reaksi antara hydrogen dengan oksigen menjadi : 1 molekul gas hidrogen + (konsep molekul gas oksigen 1 molekul air molekul ini dapat dibenarkan jika gas oksigen sebagai molekul diatomik/ molekul gas oksigen terdiri dari dua atom O) Berdasarkan hal tersebut, maka Avogadro membuat hipotesis yang dikenal dengan “Hipotesis Avogadro” yang menyatakan bahwa: “Pada suhu dan tekanan yang sama semua gas yang volumenya sama akan mengandung jumlah molekul yang sama.” Menurut hipotesis Avogadro unsure yang berwujud gas umumnya merupakan molekul dwi-atom atau diatomic. Bila demikian maka dalam persamaan reaksinya, dua reaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: 2 H2(g) + 1 molekul gas hidrogen H2(g) 1 molekul gas hidrogen O2(g) molekul gas oksigen + Cl2(g) 1 molekul gas klorin ⎯⎯→ 2 H2O(g) 1 molekul air ⎯⎯→ 2 HCl(g) 2 molekul gas hidrogen klorida Avogadro juga menemukan pola hubungan antara perbandingan volume gas-gas yang bereaksi, yaitu: 31 “Pada suhu dan tekanan yang sama, volume gas-gas yang bereaksi dan volume gas-gas hasil reaksi berbanding sebagai bilangan bulat sederhana.“ Jika diperhatikan ternyata perbandingan volume tersebut sesuai dengan perbandingan koefisien persamaan reaksinya. Dengan dasar itulah beberapa rumus molekul gas dapat diramalkan. (Sudarmo, 2004:70-71) B. Kerangka Berfikir Dalam KTSP guru berperan dan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Menyebabkan seorang guru dituntut agar memiliki kreativitas yang dapat membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi dan kebenaran secara ilmiah. Pembelajaran yang melibatkan peserta didik atau dikenal dengan istilah student centered learning Pada kenyataan di sekolah masih banyak guru yang menggunakan teacher centered pada proses pembelajaran sehingga siswa hanya menerima, mendengar materi dari apa yang disampaikan oleh guru. Siswa tidak terlibat aktif dalam pembelajaran, siswa hanya mendengar dan mencatat dari apa yang disampaikan oleh guru. Pemahaman membaca materi yang bersifat abstrak pun berkurang dikarenakan siswa jarang membaca buku pedoman dan hanya bersumber pada guru. Pada akhirnya prestasi belajar siswa menjadi menurun. Prestasi belajar siswa salah satunya sangat ditentukan oleh pemilihan model pembelajaran guru. Model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi pelajaran sangat mendukung keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini diterapkan pembelajaran problem posing yang menekankan siswa untuk aktif dalam mencari, merumuskan hingga memecahkan masalah secara mandiri yang menuntut siswa untuk dapat memahami materi dengan baik. Sehingga kemampuan pemahaman membaca siswa menjadi meningkat dan juga prestasi belajarnya pun meningkat. 32 Problem posing merupakan salah satu pendekatan yang mencoba mengajak siswa mengerjakan soal dimana soal tersebut disusun dan dibuat sendiri oleh siswa. Dengan demikian penerapan pendekatan ini diharapkan mampu mengatasi rasa takut dan ketidaksiapan siswa dalam menjawab soal. Secara sederhana kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut : Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir C. Hipotesis Tindakan Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Jika penerapan model pembelajaran problem posing dilaksanakan sesuai dengan rencana, maka akan terjadi peningkatan prestasi belajar siswa pada 33 materi pokok hukum – hukum dasar kimia kelas X2 Madrasah Aliyah Negeri Wonogiri. 2. Jika penerapan model pembelajaran problem posing dilaksanakan sesuai dengan rencana, maka akan terjadi peningkatan kemampuan pemahaman membaca siswa pada materi pokok hukum – hukum dasar kimia kelas X2 Madrasah Aliyah Negeri Wonogiri.