I. PENDAHULUAN Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan strukur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen komponennya (Soegianto, 1994) Keanekaragaman suatu komunitas ditandai oleh banyaknya spesies organisme yang membentuk komunitas tersebut. Semakin banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragamannya. Indeks keanekaragaman menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas sedangkan untuk membandingkan kesamaan spesies organisme yang ditemukan pada suatu habitat dengan habitat yang lain atau membandingkan kesamaan spesies pada suatu musim dengan musim yang lain digunakan indeks kesamaan Sorensen (Heddy & Kurniati, 1994). Menurut Laporan Museum Geologi (1999), zaman kuarter terdiri dari Kala Pleistosen dan Kala Holosen. Kala Pleistosen mulai sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, saat iklim puncak terdingin dan berakhir pada 10.000 tahun yang lalu, kemudian diikuti kala Holosen yang berlangsung sampai sekarang. Kala Holosen dicirikan dengan kejadian sebagian besar es di kutub lenyap dan permukaan air laut naik serta daerah-daerah dataran rendah tergenang air dan menjadi laut transgresi dan munculah pulau-pulau di Nusantara. Sesaat menjelang holosen suhu bumi mengalami penurunan. Periode ini merupakan periode glasial maksimum terakhir. Hasil penelitian palinologi di beberapa lokasi juga mengkonfirmasikan peristiwa tersebut. Pada penelitian palinologi sedimen Kuarter Samudra Indonesia, peristiwa glasial terakhir ini ditandai oleh melimpahnya proporsi polen Poaceae dan Cyperaceae. Berdasarkan hasil bio.unsoed.ac.id penelitian tersebut Poaceae memiliki proporsi yang dominan sejak kurang lebih 35.000 tahun yang lalu hingga kurang lebih 16.000 tahun yang lalu. Hal tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan terjadinya iklim kering dan meluasnya Tanah Sunda. Perluasan ini sebagai akibat turunya muka air laut sehingga Paparan Sunda muncul sebagai daratan (Yulianto, 2005). Perubahan muka laut di masa lampau diduga merupakan interaksi kompleks berbagai faktor diantaranya perubahan suhu secara global (pembekuan massa air dan 1 pencairan es), perubahan sifat massa air, perubahan sirkulasi perairan samudera, perubahan posisi daratan atau dasar perairan baik oleh beban es atau massa air (Lisitzin,1974; Woodroffe & Horton,2005). Tjia (1996) mengemukakan bahwa pengaruh pemanasan global dan efek rumah kaca yang terjadi sejak beberapa dekade terakhir tentu berperan dalam memacu mencairnya es di kawasan kutub yang mengakibatkan peningkatan muka laut, namun demikian dikatakan juga bahwa tendensi penurunan muka laut jauh lebih besar dibanding peningkatannya. Telah diketahui bahwa 6000 tahun lalu muka laut di dunia pernah berada pada ketinggian 4 hingga 5 m di atas muka laut sekarang (Tjia,1996; Horton et al.,2005; Tornqvist et al., 2004; Yokoyama et al., 2001 dan Peltier, 2002). Muka laut tersebut kemudian berangsur-angsur menyusut hingga mencapai pada kedudukannya yang sekarang. Palinologi adalah ilmu tentang palinomorf termasuk polen, spora, dinoflagelata, acritarch, chitinozoa, dan scolecodont bersama dengan material organik dan kerogen yang ditemukan dalam batuan sedimen. Bukti palinomorf merupakan bahan yang baik sekali untuk rekontruksi komunitas darat yang telah ada sejak periode Pleistosen (Odum, 1993). Analisis polen dan atau spora yang terendapkan pada suatu sedimen dapat mengungkapkan latar belakang perubahan flora dan vegetasi pada periode tertentu. Analisis polen dan spora secara vertikal terhadap urutan lapisan sedimen merupakan cara untuk menelusuri sejarah flora dan vegetasi serta perubahan yang terjadi selama proses sedimentasi berlangsung (Faegri & Iversen, 1989; Moore & Webb, 1978). Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana keanekaragaman tumbuhan penyusun vegetasi hutan mangrove di bagian hilir Sungai Bengawan Kecamatan Karang Benda Kabupaten Cilacap Jawa Tengah dan bagaimana perubahan muka laut pada masa holosen berdasarkan bukti palinomorf di bagian hilir Sungai Bengawan Kecamatan Karang Benda Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah bio.unsoed.ac.id mengetahui keanekaragaman tumbuhan penyusun hutan mangrove dengan bukti palinomorf di bagian hilir Sungai Bengawan, Cilacap, Jawa Tengah dan mengetahui perubahan muka laut pada masa holosen berdasarkan bukti palinomorf di bagian hilir Sungai Bengawan, Cilacap, Jawa Tengah. Objek yang diteliti adalah sampel polen yang telah terendapkan dalam sedimen yang diambil dari bagian hilir sungai Bengawan, Cilacap, Jawa Tengah. 2 Penelitian ini dilakukan di Cilacap karena Cilacap memiliki wilayah hutan mangrove yang cukup luas dan merupakan daerah ekoton atau transisi antara lautan dan daratan sehingga lokasi ini tepat digunakan untuk melihat perubahan muka laut yang pernah terjadi. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk memperoleh inventaris data tumbuhan di bagian hilir sungai Bengawan dan memperoleh data mengenai perubahan muka laut pada masa holosen. bio.unsoed.ac.id 3