BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku Stanley Hall mengenai remaja dipublikasikan di tahun 1904, buku ini sangat berperan dalam merestrukturisasi gagasan-gagasan mengenai remaja. Masa remaja disebut sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007). Masa remaja, menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, dalam Ali & Asrori, 2012). WHO (World Health Organization) mendefinisikan remaja secara konseptual, dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2012). Secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: 17 18 a. Remaja berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual. b. Remaja mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih mandiri. Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia ketika individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia saat anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah suatu usia ketika individu mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih mandiri, menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, serta individu tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (WHO, dalam Sarwono, 2012; Piaget, dalam Ali & Asrori, 2012). 2. Pembagian Usia Remaja Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan umur yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap fase memiliki keistimewaannya tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut antara lain: 19 1. Remaja Awal (early adolescence) Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya remaja tengah berada di masa sekolah menengah pertama (SMP). Keistimewaan yang terjadi pada fase ini adalah remaja tengah berubah fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. 2. Remaja Pertengahan (middle adolescence) Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah berada pada masa sekolah menengah atas (SMA). Keistimewaan dari fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan senang jika banyak teman yang menyukainya. 3. Remaja Akhir (late adolescence) Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap ini, remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini umumnya tengah berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi, atau bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bekerja dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga. Keistimewaan pada fase ini adalah seorang remaja selain dari segi fisik sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah menganut nilai-nilai orang dewasa. 20 3. Tugas Perkembangan Remaja Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) adalah berusaha: 1. Mampu menerima keadaan fisiknya. 2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. 4. Mencapai kemandirian emosional. 5. Mencapai kemandirian ekonomi. 6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. 7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua. 8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. 9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik. 21 B. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Ryan dan Deci (dalam Linley & Joseph, 2004) mendefinisikan kehidupan yang baik adalah kesejahteraan yang muncul ketika individu berfungsi secara optimal. Kesejahteraan tersebut ditandai dengan pengembangan dari pengembangan fungsi yang sederhana hingga yang kompleks atau optimal. Mengacu pada konsep Ryan dan Deci, kesejahteraan yang dimaksud mengarah pada konsep psychological well-being. Menurut Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) psychological well-being adalah sebuah konstruksi terkait dengan fungsi optimal dan positif seseorang. Huppert (2009) mendefinisikan psychological well-being sebagai kehidupan yang berjalan dengan baik, dan merupakan kombinasi dari perasaan baik dan keberfungsian diri secara efektif. Konsep berfungsi efektif secara psikologis melibatkan pengembangan potensi individu, memiliki kontrol terhadap kehidupannya, memiliki tujuan hidup serta memiliki hubungan positif. Huppert juga menambahkan bahwa keberfungsian individu secara efektif ini dalam kehidupan sehari-hari berkembang melalui kemampuan individu mengelola emosi negatif atau menyakitkan seperti kesedihan, kekecewaan, dan kegagalan. Carol Ryff dan rekan-rekan sejawatnya mendasari dari cakupan para ahli teori seperti Erikson sampai Maslow, telah mengembangkan sebuah model yang mencakup enam dimensi kesejahteraan untuk mengukur psychological well-being (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Ryff, orang-orang yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat 22 keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan berjuang menjelajahi dan mengembangkan diri selengkap mungkin (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan kehidupan yang berjalan baik, ditunjukkan dengan kesejahteraan yang muncul ketika individu berusaha untuk mengembangkan keberfungsian diri secara optimal dan positif seperti memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan mengembangkan diri selengkap mungkin (Huppert, 2009; Ryan & Deci, dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012; Ryff, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). 2. Aspek-Aspek Psychological Well-Being Ryff (1989) mengusulkan aspek-aspek psychological well-being yang terdiri dari 6 dimensi yang berbeda, yaitu: penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Keenam dimensi psychological well-being tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut: 23 a. Penerimaan diri (self acceptance) Merupakan sikap memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, mampu menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, perasaan positif terhadap kehidupan di masa lalu, dan merupakan fitur utama dari kesehatan mental, fungsi optimal, serta kematangan. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Psychological wellbeing seseorang dikatakan tinggi apabila mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi kepada sesama manusia, mampu memberi kasih yang lebih besar, persahabatan yang dalam, serta keintiman yang kuat dalam suatu hubungan. c. Kemandirian (autonomy) Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, tidak mencari penerimaan dari orang lain, mengevaluasi diri sendiri berdasarkan standar personal. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Adalah kemampuan seseorang untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis individu, kemampuan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, mampu mengambil keuntungan 24 dari peluang yang ada di lingkungan, serta partisipasi yang aktif dalam penguasaan lingkungan. e. Tujuan hidup (purpose in life) Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan-kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Termasuk keyakinan bahwa memberikan satu perasaan ada tujuan dan arti hidup. Berbagai perubahan seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosional di kemudian hari, memiliki tujuan, niat, dan rasa arah, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup ini bermakna. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Fungsi psikologis yang optimal membutuhkan tidak hanya untuk mencapai satu karakteristik, tetapi juga salah satu yang terus mengembangkan potensi seseorang untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari satu potensi seseorang merupakan pusat perspektif pada pertumbuhan pribadi. Keterbukaan terhadap pengalaman, merupakan karakteristik kunci dari orang yang berfungsi sepenuhnya. Memberikan penekanan untuk terus bertumbuh dan konfrontatif terhadap tantangan baru atau tugas pada periode yang berbeda dari kehidupan. 25 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam bukunya, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological-well being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain: a. Usia (age) Semakin tua usia seseorang, pertumbuhan pribadi yang dialami individu juga juga akan berkurang. Individu di usia tua menunjukkan bahwa penguasaan lingkungan serta otonomi justru meningkat. Penguasaan lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia dari pada usia muda, tetapi tampak lebih stabil dari usia menengah ke usia yang lebih tua. Individu yang berusia muda menganggap diri mereka telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja. Individu yang berusia muda memiliki harapan besar untuk masa depan, sehingga nilai dalam aspek tujuan hidup (purpose of life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth) lebih tinggi. Individu di usia dewasa akhir konsisten menganggap diri mereka berhubungan dengan masa lalu dan tidak berkembang menuju masa depan. Bagi individu yang bertambah usia pada dewasa akhir, pandangan antara cita-cita mereka dan persepsi mereka tentang realitas tampaknya berkurang. Dari perspektif positif, kelompok usia dewasa akhir cenderung menguasai lingkungan lebih baik daripada kelompok usia lain. b. Jenis kelamin (gender) Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) peserta mulai dari remaja sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being antara jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, self-esteem dan psychological well-being 26 ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria daripada wanita. Penjelasan lain yang mungkin untuk perbedaan antara jenis kelamin dalam sumber psychological well-being menurut Whitbourne & Power (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) adalah wanita lebih berhubungan dekat dengan peristiwa di dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan profesional mereka. Penelitian lain yang dilakukan di Australia, menilai tingkat kepuasan dan variabel lainnya selama satu periode kehidupan, mereka menemukan bahwa psychological well-being perempuan meningkat ketika memasuki tahap akhir transisi menopause. c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level) Penelitian oleh Ryff (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) tentang dampak tingkat ekonomi pada psychological well-being menunjukkan hubungan yang jelas antara tingkat sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological wellbeing, seperti penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, juga ditemukan secara jelas terkait dengan tujuan individu dan tujuan hidup. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan tingkat sosial ekonomi rendah, ditentukan baik oleh karakteristik pendidikan (tingkat studi) dan dengan aktivitas kerja seseorang, memiliki tingkat yang lebih rendah dalam psychological well-being. Tingkat yang lebih rendah dari segi psikologis, dikaitkan dengan status yang lebih rendah. Hasil ini juga tampak konsisten apabila dilihat dari situasi keuangan. Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, serta diwakili oleh keseimbangan ekonomi yang positif, psychological well-being juga akan tampak meningkat. Ketika situasi keuangan menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah pendapatan juga menurun, 27 tingkat psychological well-being juga menjadi lebih buruk. Faktor lain dengan dampak penting pada tingkat sosial ekonomi adalah rumah seseorang atau tempat tinggal. Dampak dari daerah perumahan seseorang, pada psychological well-being semakin diakui. Kepuasan daripada perumahan yang dimiliki individu, menentukan psychological well-being seseorang. Psychological wellbeing tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal akomodasi (karakteristik kamar, kelayakhunian, kenyamanan) dan juga dengan kondisi eksternal seperti lingkungan. d. Relasi sosial (social relations) Salah satu dimensi psychological well-being adalah kemampuan untuk mempertahankan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995). Individu harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang dapat mereka percayai. Kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal. Menurut Bianco dan Diaz (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) hal tersebut juga telah terbukti berhubungan dengan kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Ada hubungan antara kesejahteraan, dan hubungan positif dengan orang lain. Singkatnya, kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat interaksi yang ada antara faktor sosial dan psikologis mempengaruhi psychological well-being seseorang. Demikian pula, penelitian oleh Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012), menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang pada wellbeing nya. Tingkat individualisme dan kolektivisme masyarakat adalah variabel budaya yang dapat mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel sosiologis. Meskipun ada beberapa data yang jelas tentang hal ini, kemungkinan 28 dalam budaya kolektivis terdapat rasa yang lebih baik dalam hal kohesi kelompok dan dukungan sosial, sehingga dapat meningkatkan psychological well-being seseorang. e. Faktor kepribadian (personality factors) Secara keseluruhan, konsep psychological well-being terkait dengan persepsi subjektif seseorang yang memiliki prestasi sendiri dan sejauh mana ia puas dengan masa lalunya, masa sekarang dan masa depannya. Dalam hal ini, mengacu pada pendapat serta konstruktif pikiran positif yang dimiliki seseorang terhadap dirinya. Costa dan McCrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa ada bukti selama beberapa dekade terakhir bahwa variabel kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Umumnya, orangorang dengan kecenderungan neurotik akan cenderung lebih tertekan. Sebaliknya, ekstroversi mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, individu yang sering mengungkapkan perasaan kesejahteraan akan cenderung ditandai dengan stabilitas emosional dan ekstroversi. Penjelasan umum telah diusulkan dan mengasumsikan bahwa ekstrovert lebih sensitif daripada introvert terhadap sinyal reward. Ekstrovert belajar untuk menjadi bahagia lebih cepat, tapi tidak begitu mudah menjadi sedih, sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik mereka akan cepat menjadi sedih tapi merasa lebih sulit untuk bahagia. Individu dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi memiliki penguasaan yang lebih baik akan tugas-tugas dan memiliki pengalaman hasil dengan tingkat yang lebih tinggi untuk psychological wellbeing. Kemampuan untuk mengelola emosi yang memadai, dikaitkan dengan 29 penyesuaian yang lebih baik secara psikologis terhadap lingkungan. Sehingga, individu dengan kemampuan mengelola emosi yang memadai, dapat berpotensi memperoleh psychological well-being yang lebih tinggi. C. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Dibandingkan dengan perilaku prososial, ilmuwan sosial telah menginvestasikan lebih banyak waktu dan usaha ke dalam studi perilaku antisosial (Bierhoff, 2002). Bierhoff juga menambahkan bahwa berdasarkan dari periode sejarah, jumlah publikasi dalam kategori antisosial adalah sekitar sepuluh kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan kategori prososial. Hal tersebut dapat digunakan sebagai indikasi bahwa topik perilaku prososial kurang diminati untuk diteliti di masa lalu, meskipun “Bapak” yang berpengaruh dalam ilmu sosial seperti Durkheim dan Smith sangat menyadari pentingnya perilaku prososial dalam kehidupan manusia. Menurut Watson (1984) perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain. Sejalan dengan Watson, menurut Eisenberg dan Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial didefinisikan dalam suatu hal yang mereka maksudkan memiliki konsekuensi untuk orang lain dan melakukannya secara sukarela dan bukan di bawah paksaan. Eisenberg dan Mussen juga menambahkan bahwa perilaku prososial mengacu tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu lain atau kelompok individu. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku 30 prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Batson (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menjelaskan perilaku prososial dalam kategori yang lebih luas, yakni mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi. Lebih tandas, Hinde dan Groebel (1991) menjelaskan bahwa perilaku prososial mungkin melibatkan dua atau lebih individu yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, kemudian perilaku membantu terjadi dalam interaksi dengan jangka waktu yang relatif pendek. Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menambahkan bahwa ada tiga indikator yang menjadi tindakan perilaku prososial, yaitu: 1) Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku 2) Tindakan itu dilahirkan secara sukarela 3) Tindakan itu menghasilkan kebaikan Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang dapat membantu, menguntungkan, dan memberikan konsekuensi positif bagi individu atau kelompok yang menerima bantuan, baik itu bantuan dalam bentuk materi, fisik, maupun psikologis (Watson, 1984; Mussen & Eisenberg, 1989; William, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). 31 2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial Perilaku prososial yang dimiliki oleh seorang individu terdiri dari beberapa aspek. Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006), aspek-aspek perilaku prososial adalah: a. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka. b. Menolong (helping),yaitu kesediaan untuk memberikan bantuan kepada orang lain, baik berupa moril maupun materiil. c. Berderma (donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. d. Kerjasama (cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. e. Jujur (honesty), yaitu kesediaan untuk melakukan seperti apa adanya dan tidak berbuat curang terhadap orang lain. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Ketika seseorang diminta untuk memberikan pertolongan, keadaan psikologis mereka memegang peranan penting dalam menentukan apakah mereka akan menolong atau tidak. Meskipun dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang sama, dua orang individu dapat memberikan respon dengan cara yang berbeda dalam suatu situasi. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Beberapa faktor tersebut, antara lain: 32 1. Karakteristik Situasi, meliputi: a. Kehadiran Orang Lain Kehadiran banyak orang mungkin menyebabkan kurangnya pertolongan. Latane dan Darley (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menyebut ini sebagai by stander effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu akan memberikan bantuan, dan semakin lama jeda sebelum bantuan diberikan. b. Kondisi Lingkungan Setting fisik juga mempengaruhi tindakan menolong. Studi menunjukkan bahwa ukuran kota dimana orang tinggal tidak terkait dengan tindakan membantu, yang berpengaruh adalah setting lingkungan dimana kebutuhan itu muncul. Cuaca memengaruhi tindakan seseorang untuk menolong. Ahmed (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) menunjukkan bahwa orang lebih mungkin membantu pengendara motor yang jaruh pada cuaca cerah ketimbang pada cuaca hujan dan pada siang hari ketimbang pada malam hari. Tindakan menolong juga lebih sering terjadi di kota dengan kepadatan penduduk rendah (lebih sedikit orang per mil persegi) dan dengan tingkat kejahatan yang rendah. c. Tekanan Waktu Eksperimen yang dilakukan oleh Darle dan Batson (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) menunjukkan bahwa terkadang orang merasa terlalu terburu-buru untuk menolong. Tampaknya subyek juga mempertimbangkan untung dan rugi dalam menolong korban sebelum mengambil keputusan. 33 2. Karakteristik Penolong, meliputi: a. Mood dan Menolong Perasaan positif akan menaikkan kesediaan untuk bertindak secara prososial. Kemungkinan lainnya adalah keadaan mood positif mungkin menyebabkan kita punya pikiran yang lebih positif. Robert Cialdini, dkk (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) mengemukakan negative-state relief model (model peredaan keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam keadaan mood buruk lebih termotivasi untuk meredakan ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan untuk membantu dan kita menganggap itu sebagai cara untuk memperbaiki mood kita, maka kita lebih mungkin untuk menawarkan bantuan. Meskipun demikian, mood negatif tidak selalu membuat orang mau membantu orang lain. b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal Personal distress (kesedihan personal) adalah reaksi emosional kita terhadap penderitaan orang lain. Kesedihan personal terjadi ketika seseorang yang menyaksikan suatu kejadian menjadi tenggelam dalam reaksi emosionalnya sendiri. Sebaliknya, empathy (empati) berarti perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang menderita. Empati terjadi ketika pengamat berfokus pada kebutuhan dan emosi dari korban. Kesedihan personal menyebabkan kita cemas dan prihatin, empati menyebabkan kita merasa simpati dan sayang. 34 c. Karakteristik Personal Tampaknya ada ciri tertentu dari personalitas orang dalam membantu pada situasi spesifik. Misalnya. satu studi menemukan bahwa orang dewasa dengan kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial lebih mungkin untuk menyumbangkan uang ketimbang individu dengan kebutuhan persetujuan sosial yang rendah. Tetapi mereka ini menyumbang hanya jika ada orang lain yang melihatnya. Orang yang berkebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial mungkin termotivasi oleh keinginan mendapat pujian dari orang lain dan karenanya bertindak prososial hanya ketika tindakan baik itu dilihat oleh orang lain. d. Gender dan Tindakan Menolong Kekuatan fisik dan training olahraga mungkin memengaruhi perbedaan jenis kelamin ini. Dalam setting yang lebih umum, lelaki juga lebih mungkin ketimbang perempuan untuk membantu orang asing yang sedih atau tertekan. Lelaki lebih senang membantu korban perempuan, apalagi jika ada yang melihat aksinya. Tetapi dalam hal lain, pria dan wanita samasama menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain. Shumaker & Hill (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) juga menambahkan bahwa secara umum wanita lebih mungkin ketimbang pria untuk memberikan dukungan sosial. Dengan kata lain, meski ada banyak pengecualian, pria dan wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda. 35 Watson (1984) juga menambahkan bahwa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku prososial adalah sebagai berikut: a. Karakteristik Orang yang Terlibat Karakteristik pribadi orang yang membutuhkan bantuan memang penting, tetapi mereka juga akan berinteraksi dengan sifat situasi dan karakteristik pribadi dari penolong. b. Kesamaan Korban dan Penolong Semakin mirip orang yang membutuhkan pertolongan dengan penolong, maka pertolongan tersebut akan semakin diberikan. c. Daya Tarik Korban Orang yang menarik lebih cenderung dibantu daripada orang yang tidak menarik. Dengan demikian, kita bisa berteori bahwa kita lebih cenderung untuk membantu orang yang kita sukai. d. Orang yang Meminta Bantuan Orang tersebut hams memutuskan apakah ia harus meminta bantuan atau tidak. Beberapa variabel yang sama yang mengenai keputusan penolong juga mempengaruhi keputusan orang yang membutuhkan pertolongan apakah ia akan meminta bantuan atau tidak D. Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan. Kematangan disini tidak 36 hanya berarti kematangan fisik dan kognitif, tetapi terutama kematangan sosial dan psikologis (Ali & Asrori, 2004). WHO (World Health Organization) menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja (Sarwono, 2012). Ada yang menyatakan masa remaja usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun (Hall, dalam Santrock, 2007). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional (Sanderowitz & Paxman, dalam Sarwono, 2012). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 15-24 tahun (Sarwono, 2012). Proses kematangan yang dialami remaja ini, merupakan wujud transisi individu dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses transisinya tersebut, remaja dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang sesuai dengan usianya. Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa (Ali & Asrori, 2012). Tugas-tugas perkembangan tersebut harus diselesaikan oleh remaja, agar remaja siap untuk menghadapi tugas-tugas serta peran barunya sebagai orang dewasa (Agustiani, 2006). Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menjelaskan bahwa jika remaja berhasil menuntaskan tugas-tugas perkembangan, maka akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan bagi remaja dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Remaja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan di periode remaja diharapkan akan mampu mencapai kesejahteraan secara psikologis. Kesejahteraan psikologis atau yang lebih dikenal dengan istilah psychological wellbeing dapat diperoleh apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan 37 hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup (Muslihati, 2014; Ryff, dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008). Psychological well-being digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif (Ryff, 1995). Psychological well-being yang dapat dicapai individu juga dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya individu itu sendiri. Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang terhadap well-being nya. Budaya individualisme atau kolektivisme pada masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel sosiologis. Remaja yang mampu mencapai psychological well-being diharapkan untuk dapat menunjukkan kemampuan-kemampuan seperti menerima keadaan diri, mengembangkan otonomi, mampu mengembangkan hubungan yang positif terhadap orang lain, dapat menguasai lingkungan sesuai dengan kebutuhan remaja, mengembangkan tujuan hidup, serta merealisasikan pertumbuhan diri. Kemampuankemampuan tersebut sesuai dengan keenam aspek-aspek dari psychological well-being yang diungkapkan oleh Ryff (1995) antara lain yaitu: penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Psychological well-being dapat dicapai oleh remaja apabila remaja mengembangkan perilaku-perilaku yang positif selama transisi menuju masa dewasa. Marheni (dalam Soetjiningsih, 2004) menegaskan bahwa di dalam perjalanan menuju kedewasaan, remaja harus berusaha untuk mengisi masa remajanya dengan hal-hal 38 yang positif yang dapat mengembangkan dirinya. Salah satu perilaku positif yang penting untuk dikembangkan selama masa remaja yakni perilaku prososial. Perilaku prososial lebih banyak dilakukan di masa remaja dibandingkan di masa kanak-kanak (Santrock, 2007). Perilaku prososial lebih banyak dilakukan pada remaja, karena pada masa remaja perkembangan moral pada remaja sedang terbentuk (Ali & Asrori, 2012). Perilaku prososial merupakan segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya (Dayakisni & Hudaniah, 2006). Perilaku prososial banyak melibatkan altruisme, yaitu suatu minat untuk menolong orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri (Santrock, 2007). Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Hudaniah & Dayakisni, 2006) perilaku prososial memiliki lima aspek-aspek yaitu sebagai berikut: berbagi (sharing), menolong (helping), berderma (donating), kerjasama (cooperating), dan jujur (honesty). Kelima aspek perilaku prososial yang telah dijabarkan oleh Eisenberg dan Mussen tersebut, apabila dikembangkan oleh remaja diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan remaja menuju kedewasaan. Lebih dari itu, dengan mengembangkan perilaku positif seperti berperilaku prososial diharapkan remaja juga akan mampu untuk mencapai psychological well-being secara lebih optimal di usianya. Berikut disajikan bagan yang menunjukkan hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being: 39 - berbagi (sharing) - menolong (helping) - berderma (donating), - kerjasama (cooperating) - jujur (honesty) Psychological Well-Being Perilaku Prososial - penerimaan diri (self acceptance) - hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) - kemandirian (autonomy)hhgh - penguasaan lingkungan (environmental mastery) - tujuan hidup (purpose in life) - pertumbuhan pribadi (personal growth) Gambar 1. Bagan Hubungan Antar Variabel Keterangan Gambar: : garis hubungan variabel yang akan diteliti : garis aspek variabel yang diteliti : variabel yang akan diteliti : aspek variabel yang diteliti 40 E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan maka hipotesis yang diajukan peneliti pada penelitian ini sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang diajukan adalah: Ha : Ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja. Ho : Tidak ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.