implikasi hukum pemilihan langsung kepala daerah terhadap

advertisement
IMPLIKASI HUKUM PEMILIHAN LANGSUNG KEPALA DAERAH
TERHADAP REKURITMEN PEJABAT STRUKTURAL DI KABUPATEN
MERAUKE PROPINSI PAPUA
LEGAL IMPLICATIONS OF DIRECT ELECTION OF REGIONAL HEAD
AGAINST STRUCTURAL OFFICER RECRUITMENT IN MERAUKE
REGENCY
Kusmanto,Irwansyah, Muhammad Ashri
Jurusan Imu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:
Kusmanto
Alamat. : Jl. Onggatwid No. 480 Merauke
Tlp : 08124820202
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Proses dan mekanisme rekuritmen pejabat struktural pemerintah di
Kabupaten Merauke; 2) Dampak langsung Pemilihan Kepala Daerah terhadap pejabat struktural di Kabupaten
Merauke. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Merauke. dengan studi utamanya dipusatkan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke. Populasi dan penentuan sampel dilakukan secara sengaja atau
purposive sampling, yaitu suatu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus yang sesuai dengan
tujuanpenelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif berdasarkan pendekatan hukum normatif.Hasil
penelitian menunjukkah bahwa: 1) Implikasi Hukum Pemilihan Langsung Kepala Daerah Terhadap Rekuritmen
Pejabat Struktural di Kabupaten Merauke yang beterkaitan dengan penguatan kelembagaan pemerintahan untuk
menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan kredibel karena isi oleh aparatur yang memiiliki kopentensi,
kapasitas dan kapabel di bidangnya karena proses rekuritmen mengacu pada aturan hukum yang berlaku. 2)
Faktor yang berperan dalam proses rekuritmen pejabat struktural di Kabupaten Merauke ini ditinjau dalam dua
aspek pedekatan yaitu dari hukum dan aspek politik. Aspek hukumnya berkaitan dengan mekanisme dan
prosedur rekuritmen pejabat struktural dan aspek politiknya kewenangan kepala daerah dalam menetukan
pejabat untuk menempati jabatan struktural tersebut.
Kata Kunci : Implikasi, rekuritmen. pejabat struktural
ABSTRACT
This study aims to determine 1) The process of recruitment and the mechanism of structural government officials
in Merauke District, 2) Direct Regional Head Election Impact on the structural in Merauke Regency. The
research was conducted in Merauke Regency. the study focused primarily on the Merauke regency
administration. Population and sample determination intentional or purposive sampling, a technique of
determining the sample with a special consideration in accordance with the objectives of the study. Data analysis
was conducted qualitatively based on a normative approach to law.The results menunjukkah that: 1) Legal
Implications of Direct Election of Regional Head Against Structural Officer recruitment in the Merauke Regency
entangled with institutional strengthening of government to create a credible and accountable government for the
contents of the apparatus that memiiliki kopentensi, capacity and capable in his field because recruitment process
reference the rule of law. 2) factors that play a role in the recruitment process of structural officials in Merauke
district is reviewed in two aspects, namely pedekatan of legal and political aspects. Legal aspects related to the
mechanisms and procedures for recruitment of structural and political aspects of the local authority chief officer
determine to occupy the structural position.
Key Word : Implications, recruitment, structural officer
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar merupakan dokumen hukum yang mewujudkan cita-cita
bersama setiap rakyat Indonesia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, dimana dalam
kehidupan bernegara diwujudkan dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) dan sekaligus
dalam paham kedaulatan hukum (nomocracy) yang saling berjalain antara satu sama yang
lain. Keduanya diwujudkan dalam pelembagaan sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (
constitusional al democracy) dan prinsip negara hukum yang demokratis (democratishe
rechstaat). Karena setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum
dan
kedaulatan mereka disalurkan secara kelembagaan melalui Pemilihan Umum.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Daerah diberikankesempatan dan keleluasaan
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah seluasluasnyasebagaimana dimaksud pada Pasal
18 ayat (5) UUD 1945. Implementasi dariketentuan ini, penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memberikankewenangan yang luas, nyata dan bertangggung jawab
kepada Daerah secaraproporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatansumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat
dandaerah.
Adapun alasan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung sebagaimana di kemukakan oleh Rozali Abdullah adalah upaya
mengsinkronkan Pemilihan Presiden, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat,
memberikan legitimasi yang sama antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dengan
DPRD, kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dengan
DPRD, dan mencegah terjadinya politik uang (Abdullah, 2007).
Di satu sisi Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung
memiliki kelebihan yaitu Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terpilih akan memiliki
mandat dan legitimasi yang kuat, Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terpilih tidak perlu
terikat pada konsepsi pada partai-partai politik yang mencalonkan, Pilkada langsung lebih
akuntabel, check and balances antara legislatif dengan eksekutif lebih seimbang, dan kriteria
Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan
memberikan suaranya (Prihatmoko, 2005).
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka telah banyak terjadi perubahan dalam tatanan pemerintahan di negara ini. Salah
satu perubahan yang sangat mendasar adalah dengan dilaksanakannya pemilihan Kepala
Daerah secara langsung,tidak lagi melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat di
daerahsesuai pasal 24 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dapat dilaksanakan secara
berkualitas dan demokratis apabila berdasarkan pada asasnya, yakni : Langsung Umum Bebas,
Rahasia, Jujur dan adil (Pasal 1 UU No 22 Tahun 2007). Kualitas pemilihan Kepala Daerah dan
wakil Kepala Daerah juga ditentukan adanya kebebasan warga negara dalam mengekspresikan
hak-hak dasarnya, adanya kompetisi yang adil, menghasilkan derajat keterwakilan yang
berimbang, dan keterwakilan yang dapat dipertanggung jawabkan (Anonim; 2003).
Namun sistem sentralisasi birokrasi yang diwariskan oleh pemerintah Orde Baru telah
menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang berorientasi
vertikal dari pada kultur horisontal, sehingga norma dan nilai- nilai yang menjadi acuan
bertindak lebih berorientasi pada penguasa yang pada akhirnya berkembang fenomena suka
dan tidak suka dalam birokrasi.Fenomena ini telah merasuk ke dalam birokrasi pemerintahan
daerah, termasuk di dalamnya Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, khususnya dalam
menentukan atau memilih pejabat untuk menduduki jabatan strategis, sehingga dalam
prakteknya istilah manajemen “The right man on the right place “jauh dari kenyataan. Hal
demikian menjadi persoalan yang sangat krusial dalam proses rekruitmen pejabat struktural
pada pasca Pilkada Kabupaten Merauke tahun 2005.
Walaupun ada ketentuan tentang netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam partai politik,
namun dalam kenyataannya dilihat tingkat atau kecenderungannya ada beberapa Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan aksi untuk mendukung salah seorang calon Kepala Daerah
dalam Pilkada.Oleh karena itu untuk mendapatkan pejabat yang mampu dan professional
dalam bidang tugasnya, perlunya mempertimbangkan semua faktor-faktor determinan dalam
proses rekruitmen jabatan struktural tersebut dan selanjutnya perlu diketahui sejauhmana
proses rekruitmen tersebut diaplikasikan dengan aturan yang berlaku yaitu berdasarkan aspek
kualitas, senioritas dan aspek lainnya yang kondusif agar proses rekkruitmen pejabat
struktural menghasilkan pejabat yang mampu menjawab tantangan pelaksankaan otonomi
darah dan mampu menjalankannya dengan benar. Tujuan Penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejauhmana implikasi hukum pemelihan langsung kepala daerah terhadap
rekruritmen pejabat strukturaldi lingkup Pemerintah Kabupaten MeraukenPropinsi Papua dan
untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan terhadap rekruitmen pejabat structural tersebut
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Pendekatan ini dilakukan dalam dengan pengkajian secara yuridis melalui penelahan
literatur hukum, literatur politik dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan
kajian ini lalu kemudian dikombinasikan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian
hukum yang bertujuan untuk mencarai pemecahan atas isu hukum serta permasalahan yang
timbul didalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan
pemahaman mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.
Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dan memiliki relevansi dengan pokok
permasalahan diinvertarisasi, diidentifikasi dan diklasifikasi untuk dijadikan bahan dalam
menjawab permasalahan.Wawancara, dilakukan guna melengkapi bahan hukum kepustakaan.
Metode Analisis
Bahan hukum yang telah diperoleh dalam penelitian ini diseleksi
berdasarkan
validasinya yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan
berdasarkan tipe dalam penelitian ini yaitu tipe penelitian hukum normatif.Bahan hukum yang
sifatnya berupa dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, dianalisis secara
kualitatif, dengan menguangkapkan aspek-aspek hukum dan politik dalam pemilihan Kepala
Daerah dan wakil Kepala Daerah berdasarkan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan
undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, yang diubah menjadi undang-undang nomor 43 tahun 1999.
HASIL PENELITIAN
Implikasi Hukum Pemilihan Langsung Kepala Daerah Terhadap Rekuritmen Pejabat
Struktural DI Kabupaten Merauke Propinsi Papua
Pilkada menjadi kebutuhan mendesak guna mengoreksi secepat mungkin segala
kelemahan dalam Pilkada masa lalu. Pilkada bermanfaat untuk memperdalam dan
memperkuat demokrasi ditingkat lokal baik pada lingkungan pemerintahan maupun
lingkungan kemasyarakatan (civil society). Sukurannya terdapat empat implikasi penting dari
kehadiran Pilkada terhadap magement perintahan daerah kedapan. Pertama Pilkada berpotensi
untuk mengurangi arogansi lembaga DPRD yang slama ini seringkali mengkalim dirinya
sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representative. Kedua, Pilkada
berpotensi membatasi kekuasaan dan kewenangan DPRD yang terlalu besar seperti
memegang fungsi memilih, meminta pertanggug jawaban dan menghentikan kepala daerah.
Ketiga, Pilkada berpotensi menghasikan Kepala Daerah yang lebih bermutu. Keempat, pikada
berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah yang lebih stabil.
Untuk pertama kalinya tata pemerintahan di era reformasi kabupaten Merauke telah
diselenggarakan suatu pest demokrasi yang melibatkan seluruh unsur lapisan masayarakat
untuk memilih secara langsung dengan bebas dan rahasia tampa ada tekanan dari pihak
manapun untuk memilih kepala daerahnya sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, dimana
terpilih kepala daerah yaitu bapak Drs Romanus Mbaraka, MT dan pasanganya Sunardjo,
S,Sos
Sebagai seorang kepala pemerintahan yang terpilih akan melaksanakan amanat seperti
yang diharapkan masyarakat bahkan itu menjadi janji kanye pada saat mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Untuk itu sebagai pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat dalam
menjalankan roda pemerintahan dengan membutuhkan mitra kerja sebagai stakeholder dalam
pemerintahan. Untuk memenuhi itu sebagai pemilik kewenangan berdasarkan hasil aspirasi
masyarakat melalui pemilukada maka dilakukan rekrutmen pejabat structural di berbagai
bidang menjalan apa yang menjadi tujuan dari visi dan misi dari kepala daerah tersebut.
Untuk mengisi dan menjalankan amanat tersebut, maka seorang kepala diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penataan dan proses rekrutmen pejabat
structural pada Eselon II, III dan Eselon IV. Dalam kajian ini penulis membatasi diri hanya
melihat pada proses rekrutmen pejabatan structural eselon II, berdasarkan pertimbangan
bahwa struktur tersebut merupkan jabatan tertinggi/puncak bagi seorang birokrat di daerah
tentu prosesnya sudah dapat terujih karena melewati berbagai tahapan-tahapan dalam proses
karir seorang birokrat.
Rekrutmen pejabat structural tersebut merupakan bagian dari penyegaran dalam
pemerintahan daerah di kabupaten Merauke, dan ini merupakan rekrutmen awal yang
dilakukan setalah pemilukada tahun 2010 di Kabupaten Merauke. Menurut Bupati Merauke
Romanus Mbaraka, MT. dan juga berdasarkan pengamatan penulis secara langsung bahwa
dalam proses rekrutmen ini tetap mengacu pada aturan-aturan hokum yang berlaku terutama
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2003 dan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 10
tahun 2008.
Penentuan orang-orang tersebut lebih menekankan pada profesionalisme dan
kemampuan dalam menguasai pekerjaan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kerja
yang ada, ketimbang dalam mengakomodasi dalam berbagai kepentingan politik jangka
pendek.Dalam proses rekrutmen untuk menuju pada jabatan puncak tersebut harus dituntut
memiliki kapasitas dan kompotensi berdasarkan aturan yang berlaku, namun hal ini sering
dikesampingkan atau diabaikan karena adanya kepentingan dalam proses pilkada tersebut.
Pengisian jabatan tersebut menjadi domain dari seorang kepala daerah yang terpilih dengan
otoritasnya untuk menentukan siapa yang berhak menduduki dan mengisi jabatan atau posisi
tersebut. Dalam konteks yang seperti maka akan memberikan implikasi baik secara politik
maupun hukum, hal ini tergantung
dari sudut pandang penelianya bagi seorang kepala
daerah.
Era otonomi daerah sarat dengan tantangan untuk menggali potensi daerahdan
mengelola potensi sumber daya aparatur untuk mencapai fektifitas danefisiensi dalam
penyelenggaraan tugas pemerintah. Tidak ada alternatif lainkecuali peningkatan kualitas
profesionalisme Pegawai Negeri Sipil yang memilikikeunggulan kompetitif dan memegang
teguh etika birokrasi dalam memberikanpelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan
keinginan masyarakat.
Untuk menciptakan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud diatas maka
perlu diatur norma pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatanstruktural secara
sistematik dan teratur mampu menampilkan sosok pejabatstruktural yang profesional
sekaligus berfungsi sebagai pemersatu serta perekatNegara Kesatuan Republik Indonesia
dengan
tetap
memperhatikan
perkembangandan
intensitas
tuntutan
keterbukaan,
demokratisasi, perlindungan hak asasi manusiadan lingkungan hidup. Disamping itu juga
harus diterapkan nilai-nilai impersonal,keterbukaan, dan penetapan persyaratan jabatan yang
terukur bagi Pegawai NegeriSipil.
Yang dimaksud dengan Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yangmenunjukkan
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai NegeriSipil dalam rangka
memimpin suatu satuan organisasi negara.43 Untuk menentukaneselon dalam jabatan
struktural suatu perangkat daerah atau unit kerja, misalnyaeselon untuk jabatan Kepala Dinas,
hal tersebut berpedoman pada PeraturanPemerintah yang mengatur tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja yangberlaku, dan ketentuan yang terakhir adalah sebagaimana
diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan
OrganisasiPerangkat
Daerah.
Sebagai
contoh
eselon
Kepala
Dinas
dan
Kepala
BadanKabupaten/ Kota adalah Eselon II/A.
Berdasarkan Pasal 130 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan
Daerah disebutkan bahwa Pengangkatan, pemindahan, danpemberhentian dari dan dalam
jabatan Eselon II pada pemerintah daerahkabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
setelah
berkonsultasi
kepadaGubernur.Sebelum
Bupati
menyampaikan
usulan
atau
mengangkat pejabat strukturaldilingkungan Pemerintah Kabupaten Merauke, maka dibentuk
suatu tim yangbertugas memberikan saran dan pertimbangan dalam pengangkatan jabatan.
Dalamrangka melaksanakan ketentuan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara
nomor 13 tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor100 tahun
2002 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam jabatanStruktural Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13tahun 2002. dilingkungan Pemerintah
Kabupaten Merauke telah dibentuk BadanPertimbangan Jabatan dan Kepangkatan. dan
Kepangkatan (Baperjakat) Pemerintah Kabupaten Merauke.
Khusus
untuk
Calon
Sekretaris
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
(DPRD)Kabupaten/Kota yang akan dikonsultasikan untuk diangkat dalam jabatan
SekretarisDPRD
Kabupaten/Kota,
jabatanstruktural.
Konsultasi
harus
memenuhi
pengangkatan
syarat
Sekretaris
untuk
DPRD
diangkat
dilakukan
dalam
sebelum
PejabatPembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota mengajukan permintaanpersetujuan
kepada
pimpinan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota.Konsultasi
pengangkatan Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dan pengangkatan dan pemberhentian dalam
dan dari jabatan struktural eselon II, dilakukan secara tertulisdengan mengajukan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang calon dari Pegawai NegeriSipil yang memenuhi syarat. Hasil
konsultasi disampaikan secara tertulis olehPejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi.
Di kalangan sebagian pegawai negeri sipil, ada yang beranggapan bahwajabatan
struktural adalah suatu kehormatan dan punya status yang cukup tinggi dimasyarakat, karena
akan banyak mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan,sehingga banyak yang
meingingkan dengan berbagai cara. Adanya sebagianpegawai negeri sispil yang memiliki
pemikiran demikian, maka kadang-kadangmekanisme atau prosedur yang ditempuh untuk
mendapatkan jabatan strukturaltersebut diabaikan.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,pengangkatan Kepala
Daerah adalah dari unsur partai politik, maka kebijakanpengangkatan jabatan struktural pun
tidak lepas dan penuh dengan nuansa politis.
Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Merauke. Jabatan – jabatan yangstrategis diisi
oleh pegawai yang dianggap mendukung atau satu visi dan misidengan Bupati terpilih pada
saat pencalonan Pilkada. Pegawai ketika pemilihanKepala Daerah dianggap tidak mendukung
atau berseberangan, maka secarabertahap disingkirkan. Sebagai gambaran adalah diangkatnya
seorang pegawaidalam jabatan struktural yang strategis, meskipun pegawai tersebut tidak
memilikikompetensi
untuk
menduduki
jabatan
tersebut,
sehingga
pada
akhirnya
kinerjanyatidak profesional lagi tetapi hanya untuk mendukung kepentingan golongantertentu.
Sehingga pada akhirnya banyak Pegawai Negeri Sipil berurusan denganpihak penegak hukum
karena harus menjalankan kebijakan pimpinan semata-mata.
Prinsip The right man on right place dalam penempatan seseorang dalamjabatan sudah
tidak dipakai lagi. Rasa tidak nyaman dan was-was para pegawaiterutama yang menduduki
jabatan struktural sangat dirasakan sehinggamenimbulkan suasana yang tidak kondusif yang
pada akhirnya akan mengganggupelayanan kepada masyarakat.Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2002 dipersyartkan bahwauntuk menduduki jabatan struktutal harus
memiliki pangkat tertentu, memilikkualifikasi tiingkat pendidikan yang diperlukan serta
memiliki kompetensi jabatanyang diperlukan. Akan tetapi secara faktual banyak yang
dipaksakan untukmenduduki jabatan, meskipun statusnya adalah pelaksana tugas (Plt)
walaupun adayang lebih senior dan secara obyektif memiliki kompetensi untuk
mendudukijabatan
struktutal
tersebut,
sehingga
berdampak
pula
pada
proses
kenaikkanpangkat pejabat yang memiliki eselon di bawahnya.
Baperjakat Kabupaten Merauke yang dibentuk berdasarkan Keputusan BupatiMerauke
Nomor : 821.2/8611/2005 tanggal 1 September 2005 yang kemudian diubahdengan
Keputusan Bupati Merauke Nomor : 821.2/112/2006 tanggal 4 Juli 2006 yangmempunyai
tugas pokok memberikan pertimbangan sudah kurang berfungsi lagi.Justru orang-orang di
luar sistem yang diperhatikan yang di kalangan pegawaisering diselorohkan dengan
Baperjakat swasta.
Dalam hal pengangkatan jabatan struktural Sekretaris Baperjakat belumsepenuhnya
menempuh mekanisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Terhadap jabatan struktural
tertentu seperti eselon II sebagai pimpinan unit kerja,prosedur pengangkatannya cenderung
bersifat “Top Down“atau langsungdiarahkan atau ditunjuk oleh Kepala Daerah, sehingga
peran dan fungsi Baperjakattinggal meyesuaikan atau tinggal “mengamini saja” untuk
diproses lebih lanjut.
Berdasarkan pasal 130
tentangPemerintahan
danpemberhentian
Daerah
dari
PemerintahKabupaten/Kota
dan
ayat
(2)
Undang-undang
disebutkan
dalam
ditetapkan
bahwa
jabatan
oleh
nomor
32
“Pengangkatan,
struktural
Bupati/Walikota
eselon
setelah
tahun
2004
pemindahan
II
pada
berkonsltasi
kepadaGubernur”. Terhadap ketentuan ini maka usulan pengangkatan jabatan strukturaleselon
II dari Kabupaten Kepada Gubernur dilampiri berita acara hasil sidangBaperjakat. Selanjutnya
Gubernur akan membahas usulan pengangkatan jabatanstruktural Eselon II tersebut untuk
diberikan rekomendasi yang memenuhipersyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan hasil rekomendasiGubernur,
kemudian Bupati menetapkan Keputusan
pengangkatan dalam jabatanStruktural dan melantiknya.Terhadap pengangkatan jabatan
struktural eselon III sebagai pimpinanunit kerja Bupati memberikan petunjuk langsung (Top
Down) kepada salahseorang anggota Baperjakat. Anggota Baperjakat tinggal membahasnya
dalamsidang Baperjakat yang keputusannya tidak berbeda dengan petunjuk dari Bupatiatau
Baperjakat tinggal “mengamini” saja dan mencarikan calon pendampingpejabat eselon III
dimaksud untuk kelengkapan administrasi kepegawaian.
Terhadap jabatan struktural Eselon III yang bukan pimpinan unit kerja kadangkadangjuga bersifat “Top Down”, dan hanya sebagian kecil yang berasal dari hasilkajian
sidang Tim Baperjakat. Sedangkan untuk pengangkatan pejabat strukturaleselon IV sebelum
Pilkada Kabupaten Merauke banyak di putuskan oleh pejabat.pembina kepegawaian dengan
mempertimbangkan hasil sidang Baperjakat.
Dalam hal mutasi atau perpindahan jabatan struktural dilingkunganPemerintah
Kabupaten Merauke tidak berbeda jauh dengan mekanisme atauprosedur yang terjadi dalam
pengangkatan pejabat struktural yang banyak bersifat“Top Down “. Fungsi Baperjakat
kadang-kadang harus mengakomodasikan pejabatyang terkena dampak mutasi untuk
menempatkan dalam jabatan baru sebagaikonsekwensi dampak mutuasi yang bersifat “ efek
domino”. Terhadap hal ini aspekprofesionalisme, kapabilitas dan kompetensi pejabat
struktural kadang-kadangterabaikan, misalnya perpindahan dari pejabat struktural ke jabatan
fungsional yang dialami oleh seorang pegawai negeri sipil yang tidak memiliki kompetensi
jabatanuntuk menduduki jabatan fungsional yang bukan bidangnya.
Berdasarkan aspek-aspek normative tersebut diatas dalam proses rekrutmen pejabat
struktur di kabupaten Merauke pasca pemilihan langsung kepala daerah, hasil pengamatan
dan wawancara dari berbagai sumber menunjukkan bahwa implikasi hukumnya terhadap
pemillhan langsung kepala daerahdapat memberikan pengaruh terhadap keputusan yang
diambil dan ditetapkan oleh bupati, karena dapat dikontrol dan diawasi secara langsung oleh
masyarakat berdasarkan ketentuan dan aturan-aturan hukum yang berlaku.
Dalam proses rekrutmen yang selama ini dilaksanakan oleh bupati selalu mengacu
pada aturan-aturan yang telah ditetapkan berdasrkan criteria-kriteria yang telah ditetapkan,
namun dalam kontek tertentu sebagai bupati memiliki kewenangan-kewenangan utuk
menentukan dan menetapkan pejabat structural sebagai bawahan untuk menggerakkan roda
pemerintahan dalam masa kerjanya. Hal ini di benarkan oleh undang-undang no 32 tahun
2004 maupun undang-undang pokok kepegawaian nomor 43 tahun 1999.
Proses perekrutmen seorang pejabat structural yang dilakukan oleh bupati dalam
konteks pemilihan langsung kepala daerah harus dimaknai sebagai bagian dari proses
demokratisasi yang kedaulatannya di tangan rakyat yang dilaksanaka oleh seorang pemimpin
untuk menentukan arah kebijakan pembangunan yang dilaksanakan yang bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat yang telah memberikan amanah kepadanya melalui pemilihan kepala
daerah langsung. Dalam konteks ini maka implikasi hukum yang timbulkan tentunya dapat
bermuara kepada kemaslahan bersama antara pemimpin yang mendapat amanah dan rakyat
sebagai pemberih amanah.
PEMBAHASAN
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat
dilepaskan dari konsep hukum, khususnya hukum administrasi negara yang salah satunya
kajiannya membahas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hukum administrasi negara
menjadi dasar pijakan utama dan legitimasi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sehingga format hukum sangat menentukan nuansa dan dialektika otonomi daerah yang
ditetapkan pemerintah pusat. Di sisi lain, berbicara mengenai otonomi daerah tidak dapat
dilepaskan dari dasar hukum hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Hukum tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintahan
daerah karena melalui hukum dapat diperoleh arah tujuan negara dalam membagi
kewenangan antar-tingkatan pemerintahan. Di samping itu, dengan ditetapkannya kebijakan
pemerintahan daerah dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka mulailah kajian
hukum harus dilakukan terhadap kebijakan tersebut.Dalam perkembangan sejarah
konstitusionalnya, Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pra-perubahan menjadi
landasan
pertama
yang
mengatur
konsep
pemerintahan
daerah
dengan
menyatakan,”Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa.”Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 pra-perubahan tersebut secara
ringkas menyatakan pembentukan daerah di Indonesia dimungkinkan sebagai wujud
prularistis bangsa Indonesia yang eka dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Sebagai
konsekuensi yuridis bentuk negara kesatuan, hubungan formalistis antar-daerah dilakukan
oleh pemerintah pusat melalui undang-undang yang harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat
(DPR).
Perlunya pembagian daerah melalui undang-undang secara
yuridis mengandung empat alasan, yaitu (1) pembentukan daerah harus merupakan wujud
kemauan pemerintah dan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR; (2) konstruksi pembagian
daerah harus diselaraskan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dilegitimasi oleh
hukum; (3) pembentukan daerah merupakan perjanjian publik yang mengakui suatu wilayah
sebagai daerah otonom yang akan memiliki hak dan kewajiban sebagai subyek hukum; (4)
jaminan penyerahan hak otonomi akan disertai dengan jaminan pengakuan hak mengatur
rumah tangganya sendiri yang diserahkan dari pemerintah pusat.
Dalam perkembangan sejarahnya, realibilitas konstitusional dalam menata hubungan
negara dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan politik hukum negara
pada saat itu. Ketika Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949), hubungan
negara dan daerah terjalin dalam bentuk negara dan daerah bagian dalam lingkungan bentuk
negara federal. Pasal 46 ayat (1) KRIS 1949 menyatakan, ”negara-negara yang baru dibentuk
membutuhkan pengakuan undang-undang federal.” Dalam ketentuan tersebut jelas
mengadopsi Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki pembentukan daerah negara baru dalam
format hukum undang-undang.
Perubahan liberal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai terjadi pada saat
berlakunya Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), di mana dalam Pasal 131
selain menyatakan pembagian daerah ditetapkan dengan undang-undang, juga ditegaskan
daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Konsepsi otonomi yang seluas-luasnya
menimbulkan penafsiran daerah memiliki hak yang leluasa dalam mengembangkan daerah
serta menciptakan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Adanya konsep ini pada dasarnya
dipengaruhi sistem demokrasi liberal (1950-1959) yang mencitrakan kepentingan yang bebas
untuk mengembangkan kreativitas dan kemerdekaan dalam berekspresi dan berdemokrasi.
Pada saat demokrasi liberal ini, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berada
pada posisi yang dinamis, meskipun kadangkala disertai adanya gerakan separatis yang
menafsirkan otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagai kesempatan untuk menjadi negara
baru yang terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, sejarah kembali berulang dengan ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Hubungan
pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kembali berada pada posisi kuat negara berhadapan dengan daerah.
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 pra-perubahan menjadi dasar hukum negara untuk meletakkan
kembali hubungan negara dan daerah dalam hubungan subordinasi
yang tidak dapat
dipisahkan. Pengaruh Demokrasi Terpimpin (1959-1965) terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi sangat besar, sehingga menyebabkan
kontekstualisasi pembentukan daerah sangat didominasi kepentingan pemerintah pusat
dibandingkan sebagai kepentingan masyarakat daerah atas dasar permusyawaratan yang
dinamis.
Perubahan politik dan hukum sebagai akibat pergantian presiden pada 1966 telah
mengubah peta politik hukum negara terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelaksanaan otonomi daerah. Ditetapkannya UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah menjadi dasar pedoman penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelaksanaan otonomi yang terkendali. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, kendali pemerintah
pusat sangat signifikan pula dalam penetapan daerah baru yang lebih didominasi kepentingan
politik pemerintah pada saat itu untuk melakukan pembenahan administrasi pemerintahan.
Oleh sebab itu, UU Nomor 5 Tahun 1974 merefleksikan kepentingan dan kehendak
pemerintah pusat dalam melakukan hubungan dengan pemerintah daerah. Prinsip ini terus
dijalankan selama 25 tahun, hingga ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR tersebut kemudian ditetapkanlah Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pada Mei 1999 yang diikuti
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Namun, instrumen hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelaksanaan otonomi kembali mengalami perubahan seiring dengan keinginan memantapkan
maksud otonomi daerah sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Upaya
tersebut dilakukan pemerintah dengan mengubah UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 diubah
menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Pemerintah Daerah. Pembentukan undang-undang tersebut pada dasarnya mengatasi dan
mengeliminasi kekurangan sistem hubungan pusat dan pemerintah daerah serta mewujudkan
hubungan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab.
Dengan mengacu pada semangat UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33
Tahun 2004,
pedoman penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi
diselaraskan dan ditekankan pada hal-hal yang bersifat prinsip, norma, asas dan landasan
umum yang pokok kepada tujuan mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat daerah dengan supervisi
pemerintah pusat. Hal ini terlihat misalnya dalam prosedur pembentukan daerah berupa
penggabungan atau pemekaran daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan. Dalam ketiga syarat tersebut, kepentingan dan kemauan masyarakat
disinergikan pula dengan penilaian pemerintah pusat terhadap faktor teknis dan fisik yang
memadai.
Dalam kontektualisasi adanya persyaratan dalam perekrutmen pejabatan structural
pada suatu daerah diharapkan muncul sebagi proses kreasi masyarakat dan aparatur
pemerintahnya untuk dapat lebih tanggap, kreatif, inovatif serta mampu mengambil inisiatif
dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, proses kreasi tersebut harus
pula diikuti dengan kemampuan obyektif daerah tersebut untuk mengelola dan membiayai
daerahnya itu sendiri. Dalam konteks yang demikian maka seorang kepala daerah dalam
menempatkan orang-orang yang mengisi jabatan tersebut tidak hanya mempertimbangkan
syarat-syarat formal yang terdapat di dalam undang-undang maupun kedekatan terhadap
sesorang atau kelompok tetapi harus pada ukuran dan criteria professional dan kemampuan
yang dimiliki oleh seorang yang akan menduduki jabatatan strukturak tersebut.
Sementara itu, sebagai hukum, pedoman pembentukan daerah dapat dikatakan
mengikat secara tegas penyelenggara pemerintahan daerah dan masyarakat hasil pembentukan
daerah. Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut, sifat memaksa pedoman pembentukan
daerah sebagai hukum akan menyebabkan aparatur pemerintahan daerah senantiasa cermat
dalam menjalankan tugasnya untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian,
aparatur pemerintahan daerah akan memiliki kesadaran moral dan menempatkan
kewajibannya
sebagai
aparat
pemerintah
daerah
(incumbency
obligation)
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang barui dibentuk di atas kepentingannya sendiri
atau pihak lainnya.
Jika pedoman pembentukan daerah tidak berfungsi sebagai hukum,
kondisi tersebut akan menyulitkan pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan dan
pemantauan terhadapnya.
Pendekatan Politikdilakukan sebagai suatu kegiatan informal yang dilakukan
seseorang
untukmelakukan
kompromi
dalam
rangka
mencari,
memperoleh
dan
mempertahankankekuasaan dalam sebuah organisasi, meskipun tidak bisa diperbolehkan
secaraformal
oleh
organisasi
karena
dimungkinkan
dapat
dimanfaatkan
untuk
keuntunganpegawai atau pejabat dalam suatu organisasi.Dengan demikian ada pengelolaan
pengaruh untuk mencapai hasiltanpa melalui metode-metode yang sekalipun dilihat dari aspek
etika kurangmemberikan kelaziman, namun hal ini adalah suatu kenyataan yang tidak
bisadiingkari sebagai kelaziman dari perilaku manusai pada sebuah organisasi.Selanjutnya
pada sisi lainperilaku pihak-pihak tertentu dalam suatu organisasi yang secara realita
seringdijumpai dan dianggap formal serta diakui dalam suatu organisasi, sementara dipihak
lain kurang memiliki landasan etika yang kuat. Perilaku semacam inimenghendaki perhatian
akan hak-hak keadilan dengan cara yang dipakai untukmenyenangkan kelompoknya.
Hambatan-hambatan dalam pencapaian tujuan.
Hambatan semacam ini akan menciptakan persoalan tersendiri dan semakinmembuat
peramsalahan dalam jangka panjang bagi sebuah organisasi terutamadalam pencapaian tujuan
organisasi itu sendiri. Persoalan-persoalan yangmenghamabat proses pencapaian tujuan
organisasi tersebut pada gilirannyaakan memberi peluang terhadap munculnya perilaku
politik. Perilaku politiktersebut cenderung mendorong seorang aparatur untuk mengambil
kebijakan(jalan
tengah)
yang
diperlukan
untuk
mencapai
tujuan
organisasi
denganmengesampingkan proses yang telah digariskan oleh visi dan misi organisasidan apa
yang terjadi jika permasalahan menjadi semakin rumit, makapenyesuaian, kompromi dan
konsekuensi-konsekuensi politis merupakan carayang paling menguntungkan.
Kelangkaan Sumber Daya.
Terbatasnya sumber daya dalam organisasi seringkali memicu perilakuseseorang
secara kompetetif atau berperilaku tidak fair untuk merebut aksesdalam mendapatkan sumber
daya yang langka tersebut, sehingga pada titiktertentu menciptakan disharmoni dalam sebuah
hubungan antara sesamaanggota organisasi. Kondisi semacam ini lambat laun menuntut
perilakuseseorang secara inovatif melakukan transaksi-transaksi kepentingan yangbenar
secara formal namun bisa disangsikan dari segi etis, guna mendapatkandistribusi kelangkaan
sumber daya tanpa mengorbankan harmonisasi organisasi.
Teknologi dan perubahan lingkungan.
Modifikasi pelayananoleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat juga dilakukan
untuk
kepentinganorganisasi
agar
tidak
ketinggalan
jaman.
Berbagai
keunggulan
teknologimenuntut setiap orang belajar untuk menguasai apa yang terjadi sebagaikemajuan
suatu teknologi. Sedangkan rekruitmen diartikan sebagai sebuah proses untukmencari,
menemukan dan menarik para pelamar untuk dipekerjakan dalam danoleh organisasi.
Pengertian rekruitmen seperti ini ditujukan pada prosespencarian pegawai baru untuk
menduduki pekerjaan dalam suatu organisasi.Namun bila didasarkan pada pengertian
mengapa rekruitmen itu diperlukan,maka pengertian rekruitmen tidak sebatas mencari
pegawai baru, sesuai apayang dikatakan Faustino Cardoso Gomes, yang menyebutkan bahwa
alasanmendasar diperlukannya rekruitmen tidak lain adalah “…adanya perluasankegiatan
organisasi, terciptanya pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan baru, adanyapekerja yang pindah ke organisasi lain….”
Dalam pengertian birokrasi pemerintah yaitu manajemen PegawaiNegeri Sipil,
rekruitmen pejabat lebih dikenal sebagai kegiatan penempatanseseorang baik pegawai ( staf)
yang telah memenuhi syarat minimal secaraadministratif, maupun pejabat pada posisi jabatan
yang baru sesuai dengankemampuan, azas senioritas serta ketentuan yang berlaku
(Caroso,2009).Aspek-aspek tersebut diatas baik itu pendekatan hokum maupun politik
dimana dapat berimpilikasi langsung dalam badan-badan penyelenggara dan itu sangat
terkaitlangsung dengan posisi seorang kepala daerah sebagai pemimpin maka salah satu hal
yang harus juga menjadi tolak ukur adalah independensi dari kepala daerah tersebut dan
hanya keberpihakanya pada aturan-aturan hokum yang disepakali dan kepentingan politik
untuk kemanfaatan orang banyak, dan itu dapat dihasilkan melalui pemilukada yang adil dan
jujur. Produk hukum peraturan pemerintah semata-mata hanya ditentukan oleh pemerintah
sehingga pemerintah berpotensi ikut campur terlalu jauh dalam urusan penyelenggaraan
Pilkada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kajian penulis tersebut diatas maka implikasi hukum pemilihan
langsung kepala daerah terhadap rekrutmen pejabat structural di kabupaten Merauke Propinsi
Papua berkaitan dengan penguatan kelembagaan pemerintahan dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang akuntebel dan kridebel, karena diisi oleh aparat yang memiliki kompotensi
dan kapasitas dan kapabel dibidangnya, melalui proses rekrutmen yang mengacu pada aturan
hokum dan perundang-undangan yang berlaku.Faktor-faktor yang berperan dalam rekrutmen
pejabat structural di Kabupaten Merauke pasca pemilukada langsung pada tahun 2010 dilihat
pada dua aspek yaitu aspek hokum dan aspek politik. Aspek hokum berkaitan dengan proses
dan mikanisme dalam melakukan rekrutmen pejabat structural tersebut sedangkan aspek
politiknya menekankan pada kewenangan yang dimiliki untuk menentukan pejabat dalam
menempati atau menduduki jabatan structural tersebut.Hasil penelitian ini menjadi bahan
masukan kepada pihak-pihak yang terlibat agar dalam merekrut pejabat structural
mengedepankan kemampuan dan kompotensi yang dimiliki oleh pejabat tersebut yang
disesuaikan dengan aturan-aturan hokum
yang berlaku
ketimbang mengutamakan
kepentingan politik atau kelompok tertentu. Maka implikasi hokum dalam pemilukada
tersebut harus dimaknai dengan penguatan terhadap aturan-aturan yang menjadi acuan dalam
perekrutmen pejabat tersebut.Dalam menentukan pejabat structural setidaknya aturan-aturan
hokum yang menjadi acuan ketimbang politik, dengan demikian maka keberpihakan pegawai
negari sipil (PNS) selalu pada aturan hokum yang berlaku dan itu diatur oleh system
ketimbang berpihak kepada orang atau kelompok tertentu dengan kepentingan atau target
tertentu dan itu targetnya pada kepentingan politik praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Rozali.(2003).“Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu
Alternatif “. Jakarta:Rajawali PressAnonim, (2003).Menjadi Pemilih yang Baik
dalam Pemilu 2004. Yogyakarta: Program S2 politik lokal dan otonomi Daerah
Program Studi Ilmu Politik PPS universitas Gadjah Mada.
Cardoso Faustino, Games.(2000)., Manejemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Andi
Offset,
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2003
Keputusan Bupati Merauke Nomor : 821.2/112/2006 tanggal 4 Juli 2006
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 10
tahun 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 13tahun 2002
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
Prihatmoko, Joko J. (2005), Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Undang-undang nomor 43 tahun 1999, pada Bab I Pasal 1, ayat 8
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian,
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua
Undang-undang no 32 tahun 2004
Undang-undang pokok kepegawaian nomor 43 tahun 1999
UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Download