MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI

advertisement
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI
TERHADAP PEREMPUAN MELALUI ALOKASI ANGGARAN
Oleh:
Siti Malaiha Dewi*)
ABSTRACT: Discrimination against women in Indonesia is still
a lot going on. In fact, the government has ratified the CEDAW
(Convention On The Elimination of All Forms Dis crimination
Against Women) through Law No. 7 of 1984. This paper attempts
to explain that the budget could be used as one of the state media
to solve the problem of discrimination against women, because
one function of the budget is the distribution of resources resul
ting in equalization of marginal groups. One model that could
be a solution to budgeting is a gender budget because it permits
gender-specific budget for women
Keywords: Women, Discrimination, and Budget
A. Pendahuluan
Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki
atas kaum perempuan menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh
Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam
tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan ditempat
kan sebagai the second human being (manusia kelas dua), yang berada di
bawah superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk
penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk
kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada pembedaan peran antara laki-laki
dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak ditempatkan di ranah
domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Akibat yang paling
jelas dari situasi sosial seperti di atas adalah ter jadinya diskriminasi
terhadap
*Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus.
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
ISSN 1979-6056
perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala
bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan
atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus
kan pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa
mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka, dan kemerdekaan
mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lainlain (JP, 2006: 150).
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Komitmen Indonesia
untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan tampak setelah
diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan atau yang disebut dengan Konvensi CEDAW
(Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against
Women) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Diratifikasinya
konvensi di atas, maka prinsip non-diskriminasi menjadi landasan aksi
pemerintah dalam merancang kebijakan, program dan pelayanan publik.
Menjadi pertanyaan adalah apa saja yang telah terjadi paska ratifikasi
yang hampir 30 tahun di negeri ini? Jika kita amati perkembangannya,
maka ratifikasi CEDAW yang seharusnya menjadi landasan hukum dalam
merumuskan kebijakan nasional, ternyata masih jauh dari kenyataan.
Masih banyak ditemui produk kebijakan yang terwujud dalam UU
(undang-undang) dan Peraturan Daerah (Perda) justru bertentangan dengan
konvensi CEDAW.
Produk hukum yang bertentangan tersebut misalnya UU Perkawi
nan No 1 tahun 1974 yang menyebutkan batas nikah laki-laki 19 tahun dan
perempuan 16 tahun, sementara Undang-Undang tentang perlindungan
anak menyebutkan 18 tahun sebagai usia maksimal dikategorikan
anak. Ambiguitas dalam produk kebijakan hukum ini merugikan posisi
perempuan di masyarakat (Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni
2012).
Sedangkan Perda yang bertentangan dengan konvesi CEDAW
sebagaimana pernah dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, ada sekitar
140-an Perda yang memiliki atau memicu kegiatan diskriminatif terhadap
kelompok perempuan. Misalnya, Perda Anti Prostitusi di Pemerintah Kota
Tangerang yang berefek pada kecurigaan-kecurigaan pada kelompok
perempuan yang memiliki aktivitas malam. Padahal aktivitas malam
di seputaran wilayah Tangerang yang kota industri dan pabrik itu juga
menjadi bagian buruh perempuan yang bekerja dengan sistem shift, pun
kelompok perempuan lainnya yang harus mencari tambahan nafkah,
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
berbelanja memenuhi kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya
(Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni 2012). Sayangnya, beberapa
produk hukum diatas seringkali digunakan sebagai rujukan dan landasan
dalam menetapkan peraturan dan menyelesaikan persoalan. Hasilnya?
Tentu saja memiliki ‘aroma’ diskriminatif’.
Selain produk hukum yang rentan ‘aroma’ diskriminatif, beberapa
fakta situasi diskriminasi terhadap perempuan yang masih tinggi tingkat
kasusnya adalah kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan
perempuan (traficking), minimnya akses dan partisipasi perempuan dalam
pembangunan serta keterwakilan perempuan dalam jabatan publik.
Diskriminasi di dunia kesehatan ditunjukkan dengan tingginya
angka kematian ibu. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
sebagaimana dikutip oleh Fatimah (JP, 2006: 20), jumlah kematian ibu
di Indonesia sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, artinya secara merata
terdapat dua ibu melahirkan yang meninggal dunia. Menurut survey ini
pula, sebanyak 50% perempuan Indonesia mengalami anemia dan 18%
mengalami kekurangan protein. Sedangkan diskriminasi di bidang ekonomi
yang mengemuka adalah menyangkut ketimpangan upah. Menurut Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), upah perempuan hanyalah 60 persen
dari laki-laki. Bahkan, rendahnya remunerasi tersebut masih harus disertai
dengan beban ganda yang harus ditanggung yaitu beban domestik (Fatimah
dalam JP, 2006: 21)
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa persoalan diskriminasi masih
banyak terjadi meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvesi CEDAW
puluhan tahun yang lalu. Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana praktik
penganggaran mampu menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan
persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan konsep alternatif yang
mungkin untuk diusung.
B. Pentingnya Respon Anggaran
Sederet persoalan di atas tentu sangat mendesak untuk diselesaikan
terutama oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya. Adapun ekspresi
kebijakan yang paling konkrit dari sebuah negara adalah anggaran.
Hal ini disebabkan, anggaran adalah muara akhir dari apapun konsep
rumusan kebijakan dan jika dilihat dari salah satu fungsi anggaran, yaitu
fungsi distribusi dimana melalui kebijakan anggaran pemerintah dapat
menciptakan pemerataan dan mengurangi kesenjangan antar kelompok atau
lapisan dalam masyarakat, maka anggaran adalah salah satu media yang
ISSN 1979-6056
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
sangat efektif bagi negara untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi
terhadap perempuan.
Di Indonesia, hierarki dokumen perencanaan pembangunan yang diatur
dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan
Nasional yang tergambar pada bagan di bawah ini, menunjukkan bahwa
anggaran adalah rumusan kebijakan di tingkat yang paling akhir. Artinya,
disana ada komitmen-komitmen kunci dalam pembangunan, termasuk
dalam penyelesaian persoalan diskriminasi terhadap perempuan.
Bagan 1
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Diacu
Periode : 20 tahun diatur
melalui Peraturan Daerah
RPJP Nasional
RPJP Daerah
Pasal 11 (1) UU 25 tahun 2004
Pedoman
Pedoman
Periode : 5 tahun diatur
melalui Surat Keputusan
Bupati
Periode : 1 tahun diatur
melalui Surat Keputusan
Bupati
RPJM Daerah
Diperhatikan
Dijabarkan
Pasal 16 (2) UU tahun 2004
Dijabarkan
RKP Daerah
Diserasikan dalam Musrenbag
Pedoman
Disahkan
RKP Pusat
Penjelasan pasal 22 UU No. 25
RAPBD
Periode : 1 tahun diatur
melalui Peraturan Daerah
RPJM Nasional
Pedoman
RAPBN
Disahkan
APBD
Dana Perimbangan
APBN
Melihat alur di atas, maka anggaran (APBN, APBD, APBDesa)
menjadi harapan besar bagi terciptanya kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan atau kesetaraan gender. Namun, harapan akan tetap menjadi
harapan kalau anggaran yang dimaksud justru tidak responsif terhadap
kebutuhan perempuan. Temuan PATTIRO sebagaimana dikutip oleh
Rostanti, dkk (JP, 2006: 36) di lapangan menunjukkan bahwa selama ini
proses perencanaan maupun pelaksanaan anggaran memiliki problem yaitu
minimnya representasi dan partisipasi perempuan. Dewi dalam Jurnal
Studi Gender Palastren (2011: 355-383) pun memaparkan hasil riset yang
senada, bahwa proses penganggaran (di sebuah desa yang dicanangkan
menjadi desa ramah perempuan) masih sarat dengan ketimpangan terhadap
perempuan baik dalam hal akses, kontrol, partisipasi, serta manfaat yang
diterima atas proses penganggaran (Lebih jelas lihat tabel 1).
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
Tabel 1
Akses, Kontrol, Partisipasi, Manfaat, dan Kendala Perempuan dalam
Penganggaran (studi Kasus di Desa Temulus, Kab. Kudus, tahun 2011)
No
1
Peran Perempuan
Akses
Kesempatan
perempuan
untuk terlibat
dalam
formulasi
APBdes


2
Partisipasi
3
Kontrol
4
Manfaat
5
Kendala
1
Kesempatan
perempuan untuk
terlibat pada
Musrenbang
Khusus
Perempuan &
penjaringan
aspirasi scra
informal sangat
terbuka;
Kesempatan
perempuan untuk
terlibat pada
Musrenbangdes
terbatas hanya
mereka yang
menjadi tim
perumus.
Kehadiran tinggi,
dan tepat waktu
Tingkat

Kehadiran
perempuan
pada
tiap
tahapan
Kuantitas
 Lebih banyak
perempuan
menggunakan cara
dalam
informal (aktif
berpendapat
maupun pasif)
Pengaruh
Pendapat & usulan
pendapat
perempuan cukup
perempuan
berpengaruh dalam
dalam
proses perumusan
pengambilan
masalah
keputusan
Manfaat yang Stakeholders
diperoleh
perempuan dapat
perempuan
mengusulkan
atas proses
kebutuhan dan aspirasi
perempuan
Kesempatan
perempuan untuk
terlibat dalam proses
penjaringan aspirasi
lebih sedikit
dibanding laki-laki
Minimnya partisipasi
perempuan
karena
pemahaman
yang
kurang
Tahapan Formulasi APBDesa
2
3
4

Kesempatan

perempuan untuk
terlibat pada tahap
penetapan agenda
terbatas
pada
mereka
yang
menjadi
tim
perumus APBDesa,
jumlah perempuan
sebesar 26%.
Kesempatan
perempuan
untuk
terlibat pada tahap
pemilihan alternatif
terbatas
pada
mereka
yang
menjadi
tim
perumus APBDesa,
jumlah perempuan
sebesar 26%.

Kesempatan
perempuan
untuk
terlibat pada tahap
penetapan kebijakan
terbatas
pada
mereka yang menjadi
anggota
BPD,
kemudian
Kades,
dan Sekdes.

Kehadiran tinggi, 
tetapi terlambat
Kehadiran tinggi, 
tetapi terlambat
Kehadiran
tinggi,
tetapi terlambat

Hanya
sebagian  Hanya
sebagian  Hanya
sebagian
stakeholders
stakeholders
stakeholders
perempuan
yang
perempuan
yang
perempuan yang aktif
aktif
aktif
Pendapat & usulan
Pendapat & usulan
Pendapat & usulan
perempuan cukup
perempuan
perempuan berpengaruh
berpengaruh dalam
berpengaruh dalam
dalam
penetapan agenda
pemilihan alternative
menetapkankebijakan.
kebijakan
Aspirasi & kebutuhan
perempuan
dapat
menjadi agenda yang
ditetapkan
Belum
maksimal
memberikan alternatif
penyelesaian masalah
Minimnya kompetensi
yang dimiliki sebagian
stakeholders
perempuan
Minimnya kompetensi
yang dimiliki sebagian
stakeholders
perempuan
Konflik peran
Peran
stakeholders
perempuan
Konflik peran
Peran
stakeholders
perempuan
akibat
ganda
akibat
ganda
Kebijakan
yang
dihasilkan
belum
maksimal
mengakomodasi
dalam
kepentingan
dan
kebutuhan perempuan
Minimnya
kompetensi
yang dimiliki sebagian
stakeholders perempuan
Representasi yang tidak
seimbang dalam
tim
(BPD)
Tabel di atas menunjukkan bahwa: pertama, meskipun posisi
perempuan di pemerintahan desa dan dalam tim perumus APBDesa sangat
strategis, namun akses perempuan pada beberapa tahap formu lasi APB
Desa masih terbatas. Akses sangat terbuka hanya pada tahap penjaringan
aspirasi perempuan dan Musyawarah Desa Khusus perempuan.
Kedua, Partisipasi perempuan, dilihat dari tingkat kehadiran memang
tinggi, namun sering terlambat. Sedangkan dilihat dari keaktifan pada
rapat-rapat pembahasan, hanya sebagian stakeholders perempuan yang
aktif.
Ketiga, Terkait dengan kontrol, pendapat dan usulan perempuan
cukup berpengaruh pada tahap-tahap formulasi kebijakan. Hanya saja,
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
ISSN 1979-6056
kurang berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di
APBDesa. Keempat, Manfaat yang diperoleh stakeholders perempuan
atas proses formulasi dirasakan cukup, contohnya kebijakaan yang dihasil
kan bisa mengakomodasi kepentingan perempuan meski belum optimal.
Hal tersebut di atas disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu kendala
yang bersifat internal, dan eksternal. Kendala internal antara lain: minimnya
pemahaman dan kompetensi perempuan akan proses formulasi APBDesa
dan konflik peran yang dialami stakeholders perempuan akibat double
burden. Sedangkan kendala eksternal antara lain: terbatasnya ke sempatan
atau media bagi perempuan untuk terlibat pada formulasi APB Desa, dan
minimnya representasi perempuan dalam tim perumus APB Desa.
Contoh kasus di atas meneguhkan tesis Budlender, sebagaimana
dikutip oleh Fatimah dalam JP (2006: 74) bahwa persoalan perempuan tidak
akan mungkin diselesaikan hanya dengan mengalokasikan anggaran bagi
perempuan tetapi yang juga penting adalah bagaimana pengarusutamaan
gender muncul atau diterapkan di setiap program dan anggaran atau yang
dikenal dengan istilah Anggaran Responsif Gender (ARG).
C. Model Alternatif Anggaran Responsif Gender
Anggaran Responsif Gender (ARG) yang merupakan terjemahan
dari Gender budget adalah salah satu metodologi feminis dalam hal
kebijakan anggaran yang diterapkan agar pemerintah di sebuah negara
berkonsentrasi membantu kelompok yang kekurangan (kelompok
perempuan) dan menyediakan tempat untuk mereka.
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 di South Australia
dengan istilah women’s budget. Aktor intelektualnya adalah Prof. Rhonda
Sharp. Model anggaran tersebut diketahui berhasil sebagai resep yang
mujarab di beberapa negara untuk mengurangi kesenjangan gender yang
terjadi, antara lain Mexico, Inggris, dan lainya (www.bap penas.go.id.
Diakses tanggal 10 Juni 2012)
Di Indonesia, inisiatif ARG mulai dikembangkan tahun 2000 yang
dilakukan oleh kalangan NGO (Non Government Organization). Konsep
dan model yang diterapkan mengacu pada model yang dikembangkan oleh
Rhonda Sharp dan Debbie Budlender, bahwa:
Anggaran responsive gender bukanlah anggaran yang terpisah bagi
laki-laki dan perempuan, melainkan strategi untuk mengintegrasikan isu
gender kedalam proses penganggaran, dan menerjemahkan komitmen
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen
anggaran. Bahwa anggaran responsive gender terdiri atas seperangkat alat/
instrument dampak belanja dan penerimaan pemerin tah terhadap gender.
(Mastuti, dalam JP, 2006: 9).
Konsep di atas, di Indonesia disederhanakan sebagai berikut: ARG
adalah anggaran yang responsif terhadap kebutuhan perempuan dan lakilaki dan memberikan dampak / manfaat yang setara bagi perempuan dan
laki-laki .
Berdasarkan konsep tersebut, maka yang disebut dengan ARG adalah
anggaran yang memberi / mengakomodasi terhadap dua hal: Pertama,
Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran
dan hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program
pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya; Kedua, Kesetaraan
bagi perempuan dan laki-laki dalam kesempatan / peluang dalam memilih
dan dalam menikmati hasil pembangunan. Jadi, selain kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil penganggaran, ARG juga
menekankan pada kesetaraan antara laki - laki dan perempuan pada pro
sesnya, yaitu sebuah proses penganggaran yang melibatkan perempuan dan
laki-laki secara bersama serta kesempatan yang sejalan untuk berpartisipasi
aktif dalam setiap tahapan pe nganggaran.
Proses penganggaran sebagaimana proses kebijakan publik lainnya
terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi. Sedangkan tahap perencanaan sendiri sebagaimana
ditulis oleh Winarno (2008: 119-123) terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
Pertama, tahap perumusan masalah; Kedua, Penetapan Agenda Kebijakan;
Ketiga, Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah; dan
Keempat, Penetapan Kebijakan.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa digunakan sebagai alat
analisis apakah proses penganggaran sudah responsif gender atau belum.
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
ISSN 1979-6056
Tabel 2
Analisis Penganggaran yang Responsif Gender
Proses
Penganggaran
Aspek-aspek yang dimonitor dan yang dievaluasi
Tahap
Penyusunan
Anggaran
1) Bagaimana tingkat keterlibatan perempuan dan laki2 di
setiap tingkatan Musrenbang;
2) Bagaimana peran laki2 dan perempuan (keaktifan, jumlah
usulan program, masalah yang dihadapi);
3) Bagaimana bentuk program yang dihasilkan (kebutuhan,
masalah yang dihadapi, keberpihakan pada yang
termarjinalisasi);
4) Bagaimana tingkat keterbukaan dan keterjangkauan
informasi bagi perempuan dan laki2.
Tahap
Pembahasan
Anggaran
1) Bagaimana keterwakilan laki2 dan perempuan dari
setiap elemen-elemen masyarakat;
2) Bagaimana peran elemen masyarakat baik laki-laki
maupun perempuan;
3) Bagaimana program yang dihasilkan untuk masyarakat;
4) Bagaimana keterbukaan proses pembahasan (Ada akses,
pengumuman jadwal dan hasil pembahasan).
Tahap
Pelaksanaan
Anggaran
1) Bagaimana keterlibatan masyarakat laki2 dan
perempuan dalam pelaksanaan tender proyek;
2) Bagaimana keterbukaan pelaksanaan tender;
3) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam
proyek pembangunan;
4) Bagaimana dampak dilaksanakannya proyek-proyek
pembangunan bagi laki2 dan perempuan.
Tahap
Pengawasan
&
Evaluasi
Anggaran
1) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam
pengawasan dan evaluasi;
2) Bagaimana efektifitas dan efisiensi pelaksanaan proyek.
Selain analisis pada proses penganggaran, yang juga sangat penting untuk dilihat berikutnya adalah hasilnya yaitu berupa draft APBN,
APBD, dan APBDesa yang terdiri dari sisi pendapatan dan belanja. Pada
sisi pendapatan, perlu dianalisis berdasarkan pemberi kontribusi utama dan
nilai pengorbananya untuk dapat memberi (membayar pajak dan retribusi).
Pertanyaan yang bisa dibangun misalnya siapa yang mau memberikan
kontribusi utama kepada Pendapatan Asli Daerah? Berapa persentase PAD
yang disumbangkan dari perempuan miskin?.
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
Pada sisi belanja, ada beberapa model belanja responsif gender yang
ditawarkan. Lebih jelas lihat bagan di bawah ini (Mastuti, dalam JP, 2006:
9):
Bagan 2
Kategorisasi Anggaran Responsif Gender
Anggaran Rensponsif Gender
Model yang ditawarkan di atas, ketika diterapkan di Indonesia terjadi
banyak salah pengertian. ARG sering diidentikkan dengan alokasi anggaran
untuk perempuan, bukan untuk perwujudan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki. Akibatnya para penentu kebijakan merasa anggaran sudah
responsif gender bila sudah dialokasikan un tuk kegiatan pemberdayaan
perempuan. Padahal, alokasi belanja un tuk kegiatan pemberdayaan
perempuan diberikan jika memang kondisi perempuan termarginalkan.
Jika laki-laki yang termarginalkan, maka anggaran spesifik harusnya
diberikan kepada laki-laki.
10
ISSN 1979-6056
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
Berikut beberapa item yang akan membantu pemetaan atas kategorikategori di atas (Mastuti, dalam JP, 2006: 9):
Kategori anggaran khusus (contoh: bagi perempuan)
- Persentase alokasi anggaran khusus bagi perempuan dibandingkan
dengan total anggaran
- Persentase alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
prioritas perempuan dalam pelayanan publik (kesehatan, pendidikan,
dan kesra)
- Pembagian alokasi anggaran untuk peningkatan keadaan ekonomi
perempuan miskin.
Kategori alokasi anggaran untuk affirmative action bagi kelompok
marginal
- Persentase alokasi anggaran untuk kelompok-kelompok marginal
disbanding total anggaran
- Ada alokasi anggaran untuk program - program pelatihan pemerintah
yang mengutamakan keseimbangan gender.
- Ada alokasi anggaran untuk mewujudkan keseimbangan gender
dalam sector - sektor kepegawaian public.
- Ada alokasi anggaran untuk penyediaan payung hukum untuk
pelaksanaan affirmative action atau upaya mewujudkan kesetaraan
kesempatan bagi laki-laki dan perempuan di sector-sektor public.
Kategori alokasi anggaran untuk PUG
- Persentase alokasi anggaran untuk
dibandingkan dengan total anggaran.
program-program
PUG
- Adanya alokasi anggaran untuk keperluan analisis gender termasuk
penyediaan data terpilah.
- Adanya alokasi anggaran untuk pelaksanaan pelatihan gender dan
penyediaan modul - modul untuk PUG sesuai dengan sector.
- Adanya alokasi anggaran untuk penelitian dan evaluasi terhadap
dampak program terhadap laki-laki dan perempuan.
Indikator-indikator di atas semakin memperjelas bahwa anggaran
responsif gender tidak hanya berpihak kepada kepentingan laki-laki mau
pun perempuan semata, namun memperhatikan keadilan kepentingan di
antara gender tersebut. Sungguh suatu konsep yang ideal dan realistis
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
untuk dijadikan pilihan.
Menurut United Nation Development Fund For Women (UNI FEM)
(dalam israsafril.wordpress.com, diakses tanggal 20 Juni 2012) untuk
dapat disebut sebagai anggaran responsif gender, harus memiliki beberapa
karakteristik yaitu :
1. Bukan merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki atau
perempuan,
2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek
penganggaran baik di tingkat nasional maupun lokal,
3. Meningkatkan
perempuan,
keterlibatan
aktif
dan
partisipasi
stakeholder
4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan
dengan responsif gender,
5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber - sumber untuk
mencapai kesetaraan gender dan pengembangan SDM,
6. Menekankan pada prioritas daripada meningkatkan keseluruhan
belanja pemerintah,
7. Melakukan reorientasi dari program-program dalam sektor - sektor
daripada menambah angka pada sektor-sektor khusus.
D. Simpulan
Akhir dari seluruh proses di atas sebenarnya menuju pada satu
tujuan yang ideal, yaitu: terciptanya keadilan dan kesetaraan gender.
Keadilan dan kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
pada salah satu jenis kelamin yaitu kaum perempuan. Namun, untuk
menuju terwujudnya anggaran yang responsif gender bukanlah pekerjaan
yang mudah. Dibutuhkan adanya komitmen dan pemahaman dari berbagai
pihak seperti eksekutif, legislatif, dan seluruh kelompok masyarakat yang
peduli terhadap masalah ini. Jika hal tersebut bisa terjadi, maka cita-cita
bangsa Indonesia sebagai good Government dan good governance pasti
akan terwujud. Semoga!!!
11
12
ISSN 1979-6056
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
SUMBER RUJUKAN
De Beauvoir, Simone. 2003. The Second Sex Kehidupan Perempuan,
diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono, dkk, Pustaka Prometea,
Jakarta.
Dwiyanto, Agus, dkk., 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otono
mi Daerah. Pusat Studi kependudukan dan Kebijakan UGM,
Yogyakarta.
Fakih, Mansour, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Megawangi, Ratna, 1999. Membiarkan Berbeda, Mizan, Bandung.
Nugroho, Riant, 2002. Reinventing Pembangunan, ELEX Media Kom
putindo, Jakarta.
------------------, 2003. Kebijakan Publik, ELEX Media Komputindo,
Jakarta.
------------------, 2006. Kebijakan Publik untuk Negara – negara
Berkembang, ELEX Media Komputindo, Jakarta.
------------------, 2008, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Putra,
Fadilah, 2005,
Book,Yogyakarta.
Kebijakan
Tidak
untuk
Publik,
Resist
Suwitri, Sri, 2008, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Undip,
Semarang.
Winarno, Budi, 2008, Kebijakan Publik Teori dan Proses, Media
Pressindo,Yogyakarta.
MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_
( Siti Malaiha Dewi )
Sumber lain:
Israsafril.wordpress.com
Inpres No. 9 Tahun 2000
Jurnal Studi Gender Palastren, Vol 4 No. 2, Desember 2011
Jurnal Perempuan, No. 46, 2006
Jurnal Perempuan, No. 48, 2006
UU No. 25 Tahun 2004
www.menegpp.go.id
13
Download