MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN MELALUI ALOKASI ANGGARAN Oleh: Siti Malaiha Dewi*) ABSTRACT: Discrimination against women in Indonesia is still a lot going on. In fact, the government has ratified the CEDAW (Convention On The Elimination of All Forms Dis crimination Against Women) through Law No. 7 of 1984. This paper attempts to explain that the budget could be used as one of the state media to solve the problem of discrimination against women, because one function of the budget is the distribution of resources resul ting in equalization of marginal groups. One model that could be a solution to budgeting is a gender budget because it permits gender-specific budget for women Keywords: Women, Discrimination, and Budget A. Pendahuluan Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan ditempat kan sebagai the second human being (manusia kelas dua), yang berada di bawah superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Akibat yang paling jelas dari situasi sosial seperti di atas adalah ter jadinya diskriminasi terhadap *Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus. PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 ISSN 1979-6056 perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus kan pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka, dan kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lainlain (JP, 2006: 150). Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Komitmen Indonesia untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan tampak setelah diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau yang disebut dengan Konvensi CEDAW (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Diratifikasinya konvensi di atas, maka prinsip non-diskriminasi menjadi landasan aksi pemerintah dalam merancang kebijakan, program dan pelayanan publik. Menjadi pertanyaan adalah apa saja yang telah terjadi paska ratifikasi yang hampir 30 tahun di negeri ini? Jika kita amati perkembangannya, maka ratifikasi CEDAW yang seharusnya menjadi landasan hukum dalam merumuskan kebijakan nasional, ternyata masih jauh dari kenyataan. Masih banyak ditemui produk kebijakan yang terwujud dalam UU (undang-undang) dan Peraturan Daerah (Perda) justru bertentangan dengan konvensi CEDAW. Produk hukum yang bertentangan tersebut misalnya UU Perkawi nan No 1 tahun 1974 yang menyebutkan batas nikah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, sementara Undang-Undang tentang perlindungan anak menyebutkan 18 tahun sebagai usia maksimal dikategorikan anak. Ambiguitas dalam produk kebijakan hukum ini merugikan posisi perempuan di masyarakat (Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni 2012). Sedangkan Perda yang bertentangan dengan konvesi CEDAW sebagaimana pernah dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, ada sekitar 140-an Perda yang memiliki atau memicu kegiatan diskriminatif terhadap kelompok perempuan. Misalnya, Perda Anti Prostitusi di Pemerintah Kota Tangerang yang berefek pada kecurigaan-kecurigaan pada kelompok perempuan yang memiliki aktivitas malam. Padahal aktivitas malam di seputaran wilayah Tangerang yang kota industri dan pabrik itu juga menjadi bagian buruh perempuan yang bekerja dengan sistem shift, pun kelompok perempuan lainnya yang harus mencari tambahan nafkah, MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) berbelanja memenuhi kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya (Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni 2012). Sayangnya, beberapa produk hukum diatas seringkali digunakan sebagai rujukan dan landasan dalam menetapkan peraturan dan menyelesaikan persoalan. Hasilnya? Tentu saja memiliki ‘aroma’ diskriminatif’. Selain produk hukum yang rentan ‘aroma’ diskriminatif, beberapa fakta situasi diskriminasi terhadap perempuan yang masih tinggi tingkat kasusnya adalah kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan perempuan (traficking), minimnya akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan serta keterwakilan perempuan dalam jabatan publik. Diskriminasi di dunia kesehatan ditunjukkan dengan tingginya angka kematian ibu. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia sebagaimana dikutip oleh Fatimah (JP, 2006: 20), jumlah kematian ibu di Indonesia sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, artinya secara merata terdapat dua ibu melahirkan yang meninggal dunia. Menurut survey ini pula, sebanyak 50% perempuan Indonesia mengalami anemia dan 18% mengalami kekurangan protein. Sedangkan diskriminasi di bidang ekonomi yang mengemuka adalah menyangkut ketimpangan upah. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), upah perempuan hanyalah 60 persen dari laki-laki. Bahkan, rendahnya remunerasi tersebut masih harus disertai dengan beban ganda yang harus ditanggung yaitu beban domestik (Fatimah dalam JP, 2006: 21) Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa persoalan diskriminasi masih banyak terjadi meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvesi CEDAW puluhan tahun yang lalu. Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana praktik penganggaran mampu menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan konsep alternatif yang mungkin untuk diusung. B. Pentingnya Respon Anggaran Sederet persoalan di atas tentu sangat mendesak untuk diselesaikan terutama oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya. Adapun ekspresi kebijakan yang paling konkrit dari sebuah negara adalah anggaran. Hal ini disebabkan, anggaran adalah muara akhir dari apapun konsep rumusan kebijakan dan jika dilihat dari salah satu fungsi anggaran, yaitu fungsi distribusi dimana melalui kebijakan anggaran pemerintah dapat menciptakan pemerataan dan mengurangi kesenjangan antar kelompok atau lapisan dalam masyarakat, maka anggaran adalah salah satu media yang ISSN 1979-6056 PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 sangat efektif bagi negara untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Di Indonesia, hierarki dokumen perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional yang tergambar pada bagan di bawah ini, menunjukkan bahwa anggaran adalah rumusan kebijakan di tingkat yang paling akhir. Artinya, disana ada komitmen-komitmen kunci dalam pembangunan, termasuk dalam penyelesaian persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Bagan 1 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Diacu Periode : 20 tahun diatur melalui Peraturan Daerah RPJP Nasional RPJP Daerah Pasal 11 (1) UU 25 tahun 2004 Pedoman Pedoman Periode : 5 tahun diatur melalui Surat Keputusan Bupati Periode : 1 tahun diatur melalui Surat Keputusan Bupati RPJM Daerah Diperhatikan Dijabarkan Pasal 16 (2) UU tahun 2004 Dijabarkan RKP Daerah Diserasikan dalam Musrenbag Pedoman Disahkan RKP Pusat Penjelasan pasal 22 UU No. 25 RAPBD Periode : 1 tahun diatur melalui Peraturan Daerah RPJM Nasional Pedoman RAPBN Disahkan APBD Dana Perimbangan APBN Melihat alur di atas, maka anggaran (APBN, APBD, APBDesa) menjadi harapan besar bagi terciptanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau kesetaraan gender. Namun, harapan akan tetap menjadi harapan kalau anggaran yang dimaksud justru tidak responsif terhadap kebutuhan perempuan. Temuan PATTIRO sebagaimana dikutip oleh Rostanti, dkk (JP, 2006: 36) di lapangan menunjukkan bahwa selama ini proses perencanaan maupun pelaksanaan anggaran memiliki problem yaitu minimnya representasi dan partisipasi perempuan. Dewi dalam Jurnal Studi Gender Palastren (2011: 355-383) pun memaparkan hasil riset yang senada, bahwa proses penganggaran (di sebuah desa yang dicanangkan menjadi desa ramah perempuan) masih sarat dengan ketimpangan terhadap perempuan baik dalam hal akses, kontrol, partisipasi, serta manfaat yang diterima atas proses penganggaran (Lebih jelas lihat tabel 1). MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) Tabel 1 Akses, Kontrol, Partisipasi, Manfaat, dan Kendala Perempuan dalam Penganggaran (studi Kasus di Desa Temulus, Kab. Kudus, tahun 2011) No 1 Peran Perempuan Akses Kesempatan perempuan untuk terlibat dalam formulasi APBdes 2 Partisipasi 3 Kontrol 4 Manfaat 5 Kendala 1 Kesempatan perempuan untuk terlibat pada Musrenbang Khusus Perempuan & penjaringan aspirasi scra informal sangat terbuka; Kesempatan perempuan untuk terlibat pada Musrenbangdes terbatas hanya mereka yang menjadi tim perumus. Kehadiran tinggi, dan tepat waktu Tingkat Kehadiran perempuan pada tiap tahapan Kuantitas Lebih banyak perempuan menggunakan cara dalam informal (aktif berpendapat maupun pasif) Pengaruh Pendapat & usulan pendapat perempuan cukup perempuan berpengaruh dalam dalam proses perumusan pengambilan masalah keputusan Manfaat yang Stakeholders diperoleh perempuan dapat perempuan mengusulkan atas proses kebutuhan dan aspirasi perempuan Kesempatan perempuan untuk terlibat dalam proses penjaringan aspirasi lebih sedikit dibanding laki-laki Minimnya partisipasi perempuan karena pemahaman yang kurang Tahapan Formulasi APBDesa 2 3 4 Kesempatan perempuan untuk terlibat pada tahap penetapan agenda terbatas pada mereka yang menjadi tim perumus APBDesa, jumlah perempuan sebesar 26%. Kesempatan perempuan untuk terlibat pada tahap pemilihan alternatif terbatas pada mereka yang menjadi tim perumus APBDesa, jumlah perempuan sebesar 26%. Kesempatan perempuan untuk terlibat pada tahap penetapan kebijakan terbatas pada mereka yang menjadi anggota BPD, kemudian Kades, dan Sekdes. Kehadiran tinggi, tetapi terlambat Kehadiran tinggi, tetapi terlambat Kehadiran tinggi, tetapi terlambat Hanya sebagian Hanya sebagian Hanya sebagian stakeholders stakeholders stakeholders perempuan yang perempuan yang perempuan yang aktif aktif aktif Pendapat & usulan Pendapat & usulan Pendapat & usulan perempuan cukup perempuan perempuan berpengaruh berpengaruh dalam berpengaruh dalam dalam penetapan agenda pemilihan alternative menetapkankebijakan. kebijakan Aspirasi & kebutuhan perempuan dapat menjadi agenda yang ditetapkan Belum maksimal memberikan alternatif penyelesaian masalah Minimnya kompetensi yang dimiliki sebagian stakeholders perempuan Minimnya kompetensi yang dimiliki sebagian stakeholders perempuan Konflik peran Peran stakeholders perempuan Konflik peran Peran stakeholders perempuan akibat ganda akibat ganda Kebijakan yang dihasilkan belum maksimal mengakomodasi dalam kepentingan dan kebutuhan perempuan Minimnya kompetensi yang dimiliki sebagian stakeholders perempuan Representasi yang tidak seimbang dalam tim (BPD) Tabel di atas menunjukkan bahwa: pertama, meskipun posisi perempuan di pemerintahan desa dan dalam tim perumus APBDesa sangat strategis, namun akses perempuan pada beberapa tahap formu lasi APB Desa masih terbatas. Akses sangat terbuka hanya pada tahap penjaringan aspirasi perempuan dan Musyawarah Desa Khusus perempuan. Kedua, Partisipasi perempuan, dilihat dari tingkat kehadiran memang tinggi, namun sering terlambat. Sedangkan dilihat dari keaktifan pada rapat-rapat pembahasan, hanya sebagian stakeholders perempuan yang aktif. Ketiga, Terkait dengan kontrol, pendapat dan usulan perempuan cukup berpengaruh pada tahap-tahap formulasi kebijakan. Hanya saja, PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 ISSN 1979-6056 kurang berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di APBDesa. Keempat, Manfaat yang diperoleh stakeholders perempuan atas proses formulasi dirasakan cukup, contohnya kebijakaan yang dihasil kan bisa mengakomodasi kepentingan perempuan meski belum optimal. Hal tersebut di atas disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu kendala yang bersifat internal, dan eksternal. Kendala internal antara lain: minimnya pemahaman dan kompetensi perempuan akan proses formulasi APBDesa dan konflik peran yang dialami stakeholders perempuan akibat double burden. Sedangkan kendala eksternal antara lain: terbatasnya ke sempatan atau media bagi perempuan untuk terlibat pada formulasi APB Desa, dan minimnya representasi perempuan dalam tim perumus APB Desa. Contoh kasus di atas meneguhkan tesis Budlender, sebagaimana dikutip oleh Fatimah dalam JP (2006: 74) bahwa persoalan perempuan tidak akan mungkin diselesaikan hanya dengan mengalokasikan anggaran bagi perempuan tetapi yang juga penting adalah bagaimana pengarusutamaan gender muncul atau diterapkan di setiap program dan anggaran atau yang dikenal dengan istilah Anggaran Responsif Gender (ARG). C. Model Alternatif Anggaran Responsif Gender Anggaran Responsif Gender (ARG) yang merupakan terjemahan dari Gender budget adalah salah satu metodologi feminis dalam hal kebijakan anggaran yang diterapkan agar pemerintah di sebuah negara berkonsentrasi membantu kelompok yang kekurangan (kelompok perempuan) dan menyediakan tempat untuk mereka. Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 di South Australia dengan istilah women’s budget. Aktor intelektualnya adalah Prof. Rhonda Sharp. Model anggaran tersebut diketahui berhasil sebagai resep yang mujarab di beberapa negara untuk mengurangi kesenjangan gender yang terjadi, antara lain Mexico, Inggris, dan lainya (www.bap penas.go.id. Diakses tanggal 10 Juni 2012) Di Indonesia, inisiatif ARG mulai dikembangkan tahun 2000 yang dilakukan oleh kalangan NGO (Non Government Organization). Konsep dan model yang diterapkan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Rhonda Sharp dan Debbie Budlender, bahwa: Anggaran responsive gender bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, melainkan strategi untuk mengintegrasikan isu gender kedalam proses penganggaran, dan menerjemahkan komitmen MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran. Bahwa anggaran responsive gender terdiri atas seperangkat alat/ instrument dampak belanja dan penerimaan pemerin tah terhadap gender. (Mastuti, dalam JP, 2006: 9). Konsep di atas, di Indonesia disederhanakan sebagai berikut: ARG adalah anggaran yang responsif terhadap kebutuhan perempuan dan lakilaki dan memberikan dampak / manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki . Berdasarkan konsep tersebut, maka yang disebut dengan ARG adalah anggaran yang memberi / mengakomodasi terhadap dua hal: Pertama, Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran dan hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya; Kedua, Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam kesempatan / peluang dalam memilih dan dalam menikmati hasil pembangunan. Jadi, selain kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil penganggaran, ARG juga menekankan pada kesetaraan antara laki - laki dan perempuan pada pro sesnya, yaitu sebuah proses penganggaran yang melibatkan perempuan dan laki-laki secara bersama serta kesempatan yang sejalan untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pe nganggaran. Proses penganggaran sebagaimana proses kebijakan publik lainnya terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Sedangkan tahap perencanaan sendiri sebagaimana ditulis oleh Winarno (2008: 119-123) terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: Pertama, tahap perumusan masalah; Kedua, Penetapan Agenda Kebijakan; Ketiga, Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah; dan Keempat, Penetapan Kebijakan. Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa digunakan sebagai alat analisis apakah proses penganggaran sudah responsif gender atau belum. PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 ISSN 1979-6056 Tabel 2 Analisis Penganggaran yang Responsif Gender Proses Penganggaran Aspek-aspek yang dimonitor dan yang dievaluasi Tahap Penyusunan Anggaran 1) Bagaimana tingkat keterlibatan perempuan dan laki2 di setiap tingkatan Musrenbang; 2) Bagaimana peran laki2 dan perempuan (keaktifan, jumlah usulan program, masalah yang dihadapi); 3) Bagaimana bentuk program yang dihasilkan (kebutuhan, masalah yang dihadapi, keberpihakan pada yang termarjinalisasi); 4) Bagaimana tingkat keterbukaan dan keterjangkauan informasi bagi perempuan dan laki2. Tahap Pembahasan Anggaran 1) Bagaimana keterwakilan laki2 dan perempuan dari setiap elemen-elemen masyarakat; 2) Bagaimana peran elemen masyarakat baik laki-laki maupun perempuan; 3) Bagaimana program yang dihasilkan untuk masyarakat; 4) Bagaimana keterbukaan proses pembahasan (Ada akses, pengumuman jadwal dan hasil pembahasan). Tahap Pelaksanaan Anggaran 1) Bagaimana keterlibatan masyarakat laki2 dan perempuan dalam pelaksanaan tender proyek; 2) Bagaimana keterbukaan pelaksanaan tender; 3) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam proyek pembangunan; 4) Bagaimana dampak dilaksanakannya proyek-proyek pembangunan bagi laki2 dan perempuan. Tahap Pengawasan & Evaluasi Anggaran 1) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam pengawasan dan evaluasi; 2) Bagaimana efektifitas dan efisiensi pelaksanaan proyek. Selain analisis pada proses penganggaran, yang juga sangat penting untuk dilihat berikutnya adalah hasilnya yaitu berupa draft APBN, APBD, dan APBDesa yang terdiri dari sisi pendapatan dan belanja. Pada sisi pendapatan, perlu dianalisis berdasarkan pemberi kontribusi utama dan nilai pengorbananya untuk dapat memberi (membayar pajak dan retribusi). Pertanyaan yang bisa dibangun misalnya siapa yang mau memberikan kontribusi utama kepada Pendapatan Asli Daerah? Berapa persentase PAD yang disumbangkan dari perempuan miskin?. MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) Pada sisi belanja, ada beberapa model belanja responsif gender yang ditawarkan. Lebih jelas lihat bagan di bawah ini (Mastuti, dalam JP, 2006: 9): Bagan 2 Kategorisasi Anggaran Responsif Gender Anggaran Rensponsif Gender Model yang ditawarkan di atas, ketika diterapkan di Indonesia terjadi banyak salah pengertian. ARG sering diidentikkan dengan alokasi anggaran untuk perempuan, bukan untuk perwujudan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya para penentu kebijakan merasa anggaran sudah responsif gender bila sudah dialokasikan un tuk kegiatan pemberdayaan perempuan. Padahal, alokasi belanja un tuk kegiatan pemberdayaan perempuan diberikan jika memang kondisi perempuan termarginalkan. Jika laki-laki yang termarginalkan, maka anggaran spesifik harusnya diberikan kepada laki-laki. 10 ISSN 1979-6056 PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 Berikut beberapa item yang akan membantu pemetaan atas kategorikategori di atas (Mastuti, dalam JP, 2006: 9): Kategori anggaran khusus (contoh: bagi perempuan) - Persentase alokasi anggaran khusus bagi perempuan dibandingkan dengan total anggaran - Persentase alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan prioritas perempuan dalam pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan kesra) - Pembagian alokasi anggaran untuk peningkatan keadaan ekonomi perempuan miskin. Kategori alokasi anggaran untuk affirmative action bagi kelompok marginal - Persentase alokasi anggaran untuk kelompok-kelompok marginal disbanding total anggaran - Ada alokasi anggaran untuk program - program pelatihan pemerintah yang mengutamakan keseimbangan gender. - Ada alokasi anggaran untuk mewujudkan keseimbangan gender dalam sector - sektor kepegawaian public. - Ada alokasi anggaran untuk penyediaan payung hukum untuk pelaksanaan affirmative action atau upaya mewujudkan kesetaraan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan di sector-sektor public. Kategori alokasi anggaran untuk PUG - Persentase alokasi anggaran untuk dibandingkan dengan total anggaran. program-program PUG - Adanya alokasi anggaran untuk keperluan analisis gender termasuk penyediaan data terpilah. - Adanya alokasi anggaran untuk pelaksanaan pelatihan gender dan penyediaan modul - modul untuk PUG sesuai dengan sector. - Adanya alokasi anggaran untuk penelitian dan evaluasi terhadap dampak program terhadap laki-laki dan perempuan. Indikator-indikator di atas semakin memperjelas bahwa anggaran responsif gender tidak hanya berpihak kepada kepentingan laki-laki mau pun perempuan semata, namun memperhatikan keadilan kepentingan di antara gender tersebut. Sungguh suatu konsep yang ideal dan realistis MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) untuk dijadikan pilihan. Menurut United Nation Development Fund For Women (UNI FEM) (dalam israsafril.wordpress.com, diakses tanggal 20 Juni 2012) untuk dapat disebut sebagai anggaran responsif gender, harus memiliki beberapa karakteristik yaitu : 1. Bukan merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki atau perempuan, 2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran baik di tingkat nasional maupun lokal, 3. Meningkatkan perempuan, keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder 4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan responsif gender, 5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber - sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan SDM, 6. Menekankan pada prioritas daripada meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah, 7. Melakukan reorientasi dari program-program dalam sektor - sektor daripada menambah angka pada sektor-sektor khusus. D. Simpulan Akhir dari seluruh proses di atas sebenarnya menuju pada satu tujuan yang ideal, yaitu: terciptanya keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi pada salah satu jenis kelamin yaitu kaum perempuan. Namun, untuk menuju terwujudnya anggaran yang responsif gender bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan adanya komitmen dan pemahaman dari berbagai pihak seperti eksekutif, legislatif, dan seluruh kelompok masyarakat yang peduli terhadap masalah ini. Jika hal tersebut bisa terjadi, maka cita-cita bangsa Indonesia sebagai good Government dan good governance pasti akan terwujud. Semoga!!! 11 12 ISSN 1979-6056 PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012 SUMBER RUJUKAN De Beauvoir, Simone. 2003. The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono, dkk, Pustaka Prometea, Jakarta. Dwiyanto, Agus, dkk., 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otono mi Daerah. Pusat Studi kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta. Fakih, Mansour, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Megawangi, Ratna, 1999. Membiarkan Berbeda, Mizan, Bandung. Nugroho, Riant, 2002. Reinventing Pembangunan, ELEX Media Kom putindo, Jakarta. ------------------, 2003. Kebijakan Publik, ELEX Media Komputindo, Jakarta. ------------------, 2006. Kebijakan Publik untuk Negara – negara Berkembang, ELEX Media Komputindo, Jakarta. ------------------, 2008, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Putra, Fadilah, 2005, Book,Yogyakarta. Kebijakan Tidak untuk Publik, Resist Suwitri, Sri, 2008, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Undip, Semarang. Winarno, Budi, 2008, Kebijakan Publik Teori dan Proses, Media Pressindo,Yogyakarta. MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP_ ( Siti Malaiha Dewi ) Sumber lain: Israsafril.wordpress.com Inpres No. 9 Tahun 2000 Jurnal Studi Gender Palastren, Vol 4 No. 2, Desember 2011 Jurnal Perempuan, No. 46, 2006 Jurnal Perempuan, No. 48, 2006 UU No. 25 Tahun 2004 www.menegpp.go.id 13