10 BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
Teori yang melandasi penelitian ini adalah Teori pertukaran sosial (Social
Exchange Theory) yang menggambarkan berbagai transaksi yang terjadi di
seluruh kehidupan sosial seseorang yang ditandai dengan hubungan emosional
yang kuat. Seseorang akan mengembangkan tingkat saling mendukung yang kuat
dengan organisasi atau pimpinan mereka, dan dapat menyebabkan perilaku kerja
yang efektif, seperti kinerja yang lebih baik dan memberikan lebih banyak
bantuan untuk rekan kerja (Cheung, 2013). Menggunakan teori ini untuk
berpendapat bahwa ketika seseorang merasa puas dalam organisasi, maka mereka
akan membalasnya. Pembahasan dari seseorang tersebut termasuk perasaan
memiliki yang kuat terhadap prganisasi dan perilaku seperti organizational
citizenship behavior.
Serim et al. (2014) menyatakan bahwa hubungan di tempat kerja memiliki
unsur-unsur dari teori pertukaran sosial. Seseorang percaya satu sama lain untuk
melaksanakan kewajiban bersama mereka. Teori pertukaran sosial mendominasi
ciri kepribadian dan sikap seseorang (Zeinabadi & Keyvan. 2011). Teori
pertukaran sosial menjelaskan hubungan antara seseorang dan organisasi,
seseorang melakukan OCB untuk mencapai reputasi yang baik bagi organisasi
mereka, ketika mereka merasa bahwa itu memberikan perhatian khusus terhadap
nilai-nilai dan kepentingan mereka (Chiang & Hsieh. 2012).
10
2.1.1 Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerjaan, yaitu (1)
berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan
suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh
organisasi; (3) melakukan aktifitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi
perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang yang sering disebut sebagai
perilaku extra peran atau organizational citizenship behavior.
Robbins dan Judge (2008:40) mendefinisikan OCB sebagai perilaku
individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance, tidak
diperintahkan secara formal. Shweta dan Srirang (2009) menyatakan bahwa OCB
ditandai dengan suatu usaha yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai
yang memberi manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan reward apapun.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku yang bersifat sukarela,
bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan
kepentingan perusahaan, OCB sangat mendukung bagi kelangsungan organisasi
secara efektif karena melalui OCB yang terjalin antara individu akan menigkatkan
efisiensi dan efektifitas organisasi dengan kontribusi terhadap transformasi
sumber daya, inovasi dan daya adaptasi. Perilaku individu sebagai wujud dari
kepuasan berdasarkan kinerja, dan tidak diperintah secara formal.
Dalam penelitian ini, komponen OCB yang digunakan merupakan komponen
yang dikemukakan oleh Organ (1995) yaitu :
11
1) Altruism, yaitu sifat anggota organisasi yang mementingkan orang lain.
2) Courtesy, yaitu memberi saran ketika rekan kerja akan melakukan sesuatu.
3) Sportsmanship, yaitu tidak mengeluh terhadap situasi dan kondisi tertentu
dalam organisasi.
4) Conscientiousness, yaitu berhati-hati dalam melakukan tindakan.
5) Civic virtue, yaitu pemberian perhatian tinggi terhadap organisasi.
2.1.2 Kepemimpinan Transformasional
Penggunaan
pendekatan
atau
persepektif
yang
beragam
atas
kepemimpinan, selain melahirkan definisi kepemimpinan yang beragam juga
melahirkan definisi teori kepemimpinan yang beragam pula. Luthans (2006:638)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai aktifitas mempengaruhi orang-orang agar
mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok yang mereka inginkan.
Luthans (2006:653) menyatakan bahwa pemimpin transformasional yang
efektif memiliki karakter sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi dirinya sebagai
alat perubahan, (2) Bersifat berani, (3) Mempercayai orang lain, (4) Penggerak
nilai, (5) Pembelajar sepanjang masa, (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi
kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian. Pemimpin transformasional
menginspirasi para bawahan untuk bisa bekerja dengan baik dan lebih
mementingkan kepentingan organisasi ketimbang kepentingan diri sendiri demi
keuntungan organisasi (Robbins & Judge, 2015:261).
Hughes
et
al.
(2012:542)
mengemukakan
bahwa
pemimpin
transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang
12
baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat
dengan pengikutnya. Pemimpin transformasional diyakini lebih berhasil
mendorong perubahan organisasi karena tergugahnya emosi pengikut serta
kesediaan mereka untuk bekerja mewujudkan visi sang pemimpin. Sementara itu,
pemimpin transaksional tidak memiliki sifat pemimpin tadi, maupun mampu
mengembangkan ikatan emosi yang kuat dengan pengikutnya ataupun
menginspirasi pengikut untuk melakukan lebih dari yang mereka pikir bisa.
Pemimpin transaksional diyakini memotivasi pengikut dengan cara menetapkan
tujuan dan menjanjikan imbalan bagi kinerja yang baik. Kepemimpinan
transaksional hanya melanggengkan status quo, penggunaan imbalan oleh
pemimpin tidak menghasilkan perubahan jangka panjang seperti pada
kepemimpinan transformasional. Luthans (2006:654) mengemukakan bahwa
pemimpin transformasional lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan
tingkat identifikasi dan internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih
baik, dan mengembangkan pengikutnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang menginspirasi para
pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi
kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada
diri
para
pengikutnya.Mereka
menaruh
perhatian
terhadap
kebutuhan
pengembangan diri para pengikutnya, mengubah kesadaran para pengikutnya, dan
mampu menyenangkan hati pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai
tujuan bersama.
13
Menurut
Bass
et
al.
(1999)
terdapat
empat
dimensi
kepemimpinan
transformasional, yaitu:
1) Idealized influence (pengaruh ideal), yaitu jenis kepemimpinan yang
menekankan pada kepercayaan dan kekaguman terhadap pemimpin.
2) Inspirational
motivation
(motivasi
inspirational),
yaitu
jenis
kepemimpinan yang menekankan pada pemberian motivasi terhadap
bawahan.
3) Intellectual stimulation (stimulasi intelektual), yaitu jenis kepemimpinan
yang menekankan pada pemberian stimulasi pada bawahan umtuk menjadi
lebih kreatif.
4) Individualized consideration (pertimbangan individual), yaitu jenis
kepemimpinan yang menekankan pada pemberian perhatian kepada
kebutuhan bawahan.
2.1.3 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi yang positif
yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan
kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan
mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan
Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari
pekerjaan tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan
kebutuhannya. Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan
14
kerja adalah menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman
kerjanya.
Robbins (dalam Achmad Sani 2013) menyatakan bahwa kepuasan kerja
mengacu pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang
dengan tingkat kepuasan yang tinggi, menunjukkan sikap positif terhadap
pekerjaan. Sebaliknya, seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya
menunjukkan sikap negative terhadap pekerjaan. Kepuasan kerja adalah emosi
positif yang dihasilkan dari perasaan nyaman setiap karyawan pada saat
melaksanakan pekerjaan. Menurut Tranggono dan Kartika (2008) menyatakan
bahwa kegembiraan yang dirasakan karyawan akan berdampak positif kepada
organisasi. Apabila karyawan merasa puas akan pekerjaan yang dijalaninya, maka
rasa senang pun akan datang, sehingga akan menimbulkan rasa aman dan nyaman
untuk selalu bekerja di lingkungan kerjanya. Menurut Wicker (2011) kepuasan
kerja adalah rasa bangga dan kepuasan batin yang dicapai ketika seseorang dapat
melakukan suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan menurut Hamermesh (dalam
Westover, J.H., 2012) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap
multidimensi terhadap pekerjaan mereka.
Robbins dan Judge (2008:107) mendefinisikan kepuasan kerja adalah
sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil
dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Kepuasan kerja menggambarkan perasaan
karyawan terhadap pekerjaannya terlihat pada perilaku dan sikap karyawan,
biasanya ditunjukkan dengan tanggapan positif dalam bekerja. Kepuasan kerja
merupakan faktor yang mendorong karyawan untuk lebih giat dalam bekerja
15
(Suwardi dan Utomo, 2011). Menurut Tranggono dan Kartika (2008) kegembiraan
yang dirasakan karyawan akan berdampak positif pada organisasi. Apabila
karyawan merasa puas akan pekerjaan yang dijalaninya, maka rasa senang pun
akan datang, sehingga akan menimbulkan rasa aman dan nyaman untuk selalu
bekerja di lingkungan kerjanya.
Di lain pihak, karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi diharapkan
membuatnya menjadi semakin setia kepada organisasi, termotivasi, merasa senang
dalam bekerja, dan pada akhirnya akan tercapai tujuan perusahaan. Karyawan
yang tidak puas cenderung menghindar dari tugas dan tanggung jawab, sehingga
dapat mengganggu proses pencapaian tujuan perusahaan (Indrawan dan Dewi,
2014). Diaksa dan Dewi (2014) berpandangan sebaiknya perusahaan lebih
meningkatkan perhatian terhadap jumlah bonus yang diberikan kepada karyawan
sesuai dengan keahlian dari masing-masing karyawan sehingga tidak ada keluhan
yang bisa mengakibatkan penurunan kepuasan kerja.
Menurut Robbins dan Judge (2008:112) ada dampak dari ketidakpuasan
karyawan, yaitu:
1) Keluar
(exit): perilaku
yang ditunjukan untuk meninggalkan
organisasi, termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.
2) Aspirasi (voice): secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki
kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah
dengan atasan dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.
3) Kesetiaan (loyalty): secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya
kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan
16
kecam eksternal dan mencapai organisasi dan manajemennya untuk
melakukan hal yang benar.
4) Pengabaian (neglect): secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih
buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus
menerus, kurangnya usaha dan meningkatnya angka kesalahan.
Tobing (2009) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau
respons emosional karyawan terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi tersebut
menjelaskan bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal yang berarti
pengukuran kepuasan kerja tidak hanya diukur melalui satu aspek melainkan
berbagai aspek. Mengacu pada penelitian Robbins and Judge (2008:171) indikator
yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja meliputi:
1) Upah, yaitu hak yang diterima oleh karyawan yang berupa uang.
2) Pengawasan, yaitu perhatian yang diberikan oleh pemimpin terhadap
pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan.
3) Pekerjaan, yaitu materi pekerjaan yang dibebankan oleh perusahaan.
Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai pekerjaan yang
dibebankan pada mereka.
4) Rekan kerja, yaitu orang-orang dalam perusahaan yang bekerjasama dalam
mewujudkan tujuan organisasi.
5) Promosi, yaitu suatu program perusahaan yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi karyawan dapat meraih posisi yang lebih tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kepuasan kerja merupakan suatu penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh
17
pekerjaanya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya dan kepuasan kerja
merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari
penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
2.1.4 Komitmen Organisasional
Porter (dalam Bola Adekola, 2012) menyatakan bahwa komitmen
organisasional adalah keyakinan dalam diri anggota organiasasi dalam mencapai
tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha yang
dilakukan atas nama organisasi, dan keinginan yang pasti untuk mempertahankan
keanggotaan organisasi. Komitmen organisasional dapat dilihat dari sikap
penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan suatu
organisasi.
Komitmen
merupakan
faktor
pendorong
yang
kuat
untuk
mempertahankan kenggotaan dalam organisasi demi tercapainya tujuan organisasi
(Suwardi dan Utomo, 2011).
Luthans (dalam Achmad Sani, 2013) mendefinisikan komitmen sebagai
sikap yang memiliki berbagai definisi dan pengukuran luas. Komitmen sebagian
besar didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota
organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha mencapai tujuan yang sama dengan
tujuan organisasi. Meyer dan Allen (dalam Yenenet al.,2014) mendefinisikan
komitmen organisasional sebagai rasa memiliki seorang karyawan terhadap suatu
organisasi sehingga memiliki tujuan yang sama dengan organisasi dan keinginan
seorang karyawan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Menurut
Barllet
(dalam
Yenen
et
al.,2014) mendefinisikan komitmen
organisasional sebagai tingkat keterikatan karyawan terhadap organisasi.
18
Komitmen organisasional dianggap sebagai indikator yang penting dalam
keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan organisasi dapat
dicapai apabila karyawan dapat berprilaku positif terhadap diri mereka sendiri dan
organisasi, melalui kejelasan tujuan, menentukan peran karyawan, pemberdayaan
karyawan, otonomi di tempat kerja, kepuasan kerja dan iklim kerja yang positif
akan dapat mendorong prestasi, kreativitas dan kemampuan karyawan sehingga
karyawan dapat bersikap positif terhadap organisasi (Arabiyat et al., 2011).
Kartika, dkk. (2014) menambahkan bahwa komitmen organisasional merupakan
suatu ikatan dan sikap loyalitas yang dimiliki karyawan untuk melibatkan diri
secara aktif dalam organisasi demi kemajuan organisasi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasional sebagai perasaan yang kuat dan erat dari seseorang
terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran
mereka terhadap upaya pencapaian tujuan serta nilai-nilai tersebut. Dan komitmen
organisasional merupakan suatu keterikatan psikologis yang dirasakan oleh
karyawan terhadap organisasi tempat mereka bernaung.
Allen et al, dalam Lamidi (2008) mengatakan bahwa komitmen organisasional
merupakan suatu keterikatan psikologis yang di dasarkan pada tiga indikator
meliputi:
1) Affective commitment, yaitu komitmen yang timbul berdasarkan pada
ikatan emosional yang dimiliki karyawan terhadap organisasi.
2) Continuance commitment, yaitu komitmen yang timbul karena keuntungan
yang diterima dari perusahaan.
19
3) Normative Commitment, yaitu komitmen yang timbul berdasarkan pada
nilai yang dimiliki oleh individu terhadap organisasinya.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Organizational
Citizenship Behavior Guru SMAN 1 Kuta.
Lian dan Tui (2012) melakukan penelitian pada 347 responden yang
mewakili industri seperti perusahaan jasa, manufaktur, pertambangan dan
konstruksi.Hasil
transformasional
penelitiannya
memiliki
menunjukkan
hubungan
positif
bahwa
yang
kepemimpinan
signifikan
terhadap
Organizational Citizenship Behavior. Lamidi (2008) menemukan bahwa
kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh langsung yang signifikan
dan positif terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB). Penelitian yang
dilakukan oleh Nguni (2005) di sekolah dasar dan sekolah menengah di Tazania
juga menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)
dari para Guru. Barbuto (2005) menyatakan bahwa pengikut pemimpin
transformasional memiliki rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan rasa
hormat terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan perilaku extra peran
atau OCB.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :
20
H1 :
Kepemimpinan
Transformasional
Berpengaruh
Positif
Terhadap Organizational Citizenship Behavior Guru SMAN 1
Kuta.
2.2.2 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Organizational Citizenship
Behavior Guru SMAN 1 Kuta.
Robbins dan Judge (2008:113) meyatakan bahwa kepuasan kerja
seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku extra peran atau OCB
seorang karyawan.Karyawan yang puas cenderung berbicara hal positif tentang
organisasi, selain itu karyawan yang puas juga lebih mudah berbuat lebih dalam
pekerjaan karena mereka ingin merespon pengalaman positif mereka. Hasil studi
yang dilakukan Mohammad et al. (2011) juga menunjukkan bahwa kepuasan
kerja memiliki hubungan yang positif dengan OCB.
Penelitian yang dilakukan oleh Murphy et al. (2002) menemukan bahwa
kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap OCB.
Krishnan et al. (2009) melakukan penelitian pada 85 orang administrasi dari
lembaga pendidikan tinggi Malaysia, yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :
H2 :
Kepuasan Kerja Berpengaruh Positif Terhadap Organizational
Citizenship Behavior Guru SMAN 1 Kuta.
2.2.3 Pengaruh
Komitmen
Organisasional
Citizenship Behavior Guru SMAN 1 Kuta.
21
Terhadap
Organizational
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ratnaningsih pada tahun 2013
ditemukan bahwa komitmen memberikan pengaruh yang positif terhadap OCB.
Hal ini dipengaruhi oleh indikasi bahwa karyawan yang memiliki loyalitas dan
komitmen akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan dan
bertanggung jawab atas segala pekerjaan dan aktif mencari informasi-informasi
penting yang berguna bagi organisasi. Selain itu karyawan telah memiliki
keterikatan emosional sehingga dengan rela dan ikhlas melakukan perilaku ekstra
seperti membantu rekan kerja lain yang membutuhkan tanpa mengharapkan
imbalan. Namun komitmen diperoleh tidak signifikan disebabkan responden tidak
didominasi oleh karyawan yang telah memiliki loyalitas dan komitmen yang
tinggi, karena komitmen tidak dapat muncul dengan setahun atau dua tahun
bekerja tetapi butuh proses dan waktu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ratnaningsih pada tahun 2013
ditemukan bahwa variabel komitmen memiliki nilai koefisien sebesar 0,389.Hal
ini juga menunjukkan hubungan positif komitmen terhadap OCB. Dapat
disimpulkan bahwa jika terjadi kenaikan komitmen maka nilai OCB akan
mengalami peningkatan sebesar koefisien penyalinya 0,389 dengan asumsi
variabel independen yang lain dianggap konstan.
Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2004) yang melibatkan 222
karyawan dari pabrik industri yang mendapatkan hasil bahwa komitmen
organisasional
berpengaruh
positif
terhadap
Organizational
Citizenship
Behavior.Penilitian - penelitian tersebut juga didukung oleh penetian yang
dilakukan oleh Achmad Sani pada tahun 2013 yang melibatkan 74 karyawan PT
Bank Syariah Malang menemukan bahwa komitmen organisasional berpengaruh
22
positif terhadap Organizational Citizenship Behavior.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :
H3 :
Komitmen Organisasional Berpengaruh Positif Terhadap
Organizational Citizenship Behavior Guru SMAN 1 Kuta.
2.3
Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasarkan penjelasan hipotesis, maka dapat dibuat model konseptual
yang menggambarkan secara ringkas hubungan antara masing-masing variabel
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pemikiran
Kepemimpinan
Transformasional
(X1)
H1
H2
Kepuasan Kerja
(X2)
Komitmen
Organisasi (X3)
Sumber
Organizational
Citizenship
Behavior (Y)
H3
:
H1: Lian dan Tui (2012), Lamidi (2008), Nguni (2005), Barbuto (2005).
H2: Mohammad et al. (2011), Murphy et al. (2002), Krishnan et al. (2009).
H3: Ratnaningsih (2013), Purba (2004), Achmad Sani (2013).
23
Download