BAB III ASUMSI–ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN

advertisement
- 27 -
BAB III
ASUMSI–ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)
A. Asumsi Dasar yang Digunakan dalam APBN
Asumsi dasar ekonomi makro digunakan sebagai dasar
penghitungan dalam penyusunan postur APBN. Oleh karena itu, apabila
terjadi perubahan pada variabel asumsi dasar ekonomi makro dari yang
semula ditetapkan, akan memberi dampak positif maupun negatif pada
besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran
yang bermuara pada perubahan besaran defisit APBN. Dampak dari
perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap postur RAPBN tahun
2017 dapat ditransmisikan dalam bentuk analisis sensitivitas.
Beberapa variabel asumsi dasar ekonomi makro yang akan
berdampak positif terhadap postur RAPBN tahun 2017 adalah
peningkatan pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat, ICP, serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi.
Peningkatan pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan
berdampak langsung pada kenaikan pendapatan negara, terutama pada
penerimaan perpajakan dan PNBP, dan mempunyai dampak turunan
terhadap kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa,
terutama dana bagi hasil (DBH). Selanjutnya, kenaikan anggaran
Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa tersebut akan berdampak pada
peningkatan belanja negara yang harus diikuti dengan peningkatan
anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan untuk memenuhi alokasi
anggaran pendidikan minimum 20,0 persen dan anggaran kesehatan
sebesar 5,0 persen terhadap total belanja negara sesuai amanat
konstitusi. Sesuai perhitungan analisis sensitivitas, dampak realisasi
peningkatan asumsi dasar ekonomi makro tersebut terhadap kenaikan
pendapatan negara masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
dampak kenaikan belanja negara, sehingga secara total peningkatan
tersebut dapat berdampak positif terhadap postur APBN, yaitu ada
kelebihan pembiayaan anggaran yang selanjutnya dapat digunakan
untuk menambah belanja atau mengurangi defisit anggaran. Sebaliknya,
variabel asumsi dasar ekonomi makro yang akan berdampak negatif
terhadap postur APBN adalah kenaikan tingkat suku bunga SPN 3
bulan. Perubahan tingkat suku bunga SPN 3 bulan hanya akan
berdampak pada sisi belanja negara, terutama pembayaran bunga utang
sehingga akan ada kekurangan pembiayaan yang dapat ditutup melalui
penambahan defisit atau pemotongan belanja.
Perkembangan kondisi perekonomian menyebabkan asumsi dasar
ekonomi makro terus berubah. Untuk menangkap perubahan asumsi
dasar ekonomi makro yang terjadi, maka angka sensitivitas RAPBN
tahun 2017 digunakan untuk melakukan perhitungan cepat postur
APBN yang ditujukan untuk memberikan gambaran atas arah besaran
defisit RAPBN tahun 2017. Namun demikian, postur APBN yang
- 28 -
sesungguhnya belum bisa berpatokan pada hasil perhitungan angka
sensitivitas tersebut karena besaran dalam postur APBN selain
dipengaruhi oleh asumsi dasar ekonomi makro, juga menampung
berbagai kebijakan pemerintah. Perkembangan realisasi beberapa
indikator ekonomi makro yang dijadikan sebagai proyeksi asumsi dasar
ekonomi makro 2017 disajikan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2017
NO
INDIKATOR EKONOMI
RAPBN 2017
1
Pertumbuhan Ekonomi (%)
5,3
2
Inflasi (%)
4,0
3
Nilai Tukar (Rp/US$1)
4
Suku Bunga SPN 3 Bulan (%)
5,3
5
Harga Minyak Indonesian Crude Price (US$/barel)
45
6
Lifting Minyak (ribu barel/hari)
7
Lifting Gas (Million Barrel Oil Equivalent Per Day)
13.300
780
1.150
Sumber: Nota Keuangan RAPBN TA. 2017
B. Laju Inflasi
1. Nasional
Kondisi perekonomian global menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi laju inflasi di tahun 2017. Harga komoditas energi,
terutama minyak mentah dan dinamika pergerakan nilai tukar dolar
AS terhadap mata uang dunia, termasuk Rupiah, yang secara
keseluruhan diperkirakan masih memberikan kontribusi pada level
moderat terhadap pergerakan laju inflasi 2017. Sementara itu dari
sisi internal, beberapa faktor yang diperkirakan memberikan tekanan
terhadap laju inflasi, antara lain komponen administered price, faktor
iklim, dan pengaruh musiman seperti panen, tahun ajaran baru, dan
Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Tekanan pada komponen
administered price berasal dari penyesuaian terhadap pergerakan
harga komoditas energi, sedangkan faktor iklim berupa fenomena La
Nina atau iklim basah akan berpotensi gangguan pada produksi dan
pasokan pangan. Namun, dengan perkembangan ekonomi domestik
yang baik serta diikuti berlanjutnya peningkatan dukungan
infrastruktur akan memberikan dampak positif terhadap pergerakan
laju inflasi di tingkat yang relatif terjaga.
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menjaga
tingkat inflasi berupa kebijakan memitigasi adanya gejolak harga
pangan dan energi domestik yang dilaksanakan melalui strategi
pengendalian baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Selain itu, Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran guna
stabilisasi harga pangan serta dana cadangan beras pemerintah yang
dapat dimanfaatkan pada saat terjadi kelangkaan barang dan gejolak
- 29 -
harga melalui programprogram, seperti operasi pasar dan penyediaan
bahan pangan pokok dengan harga terjangkau.
Dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan, Pemerintah
senantiasa melakukan evaluasi serta melakukan koordinasi dengan
Bank Indonesia untuk menciptakan bauran kebijakan fiskal,
moneter, dan pengembangan sektor riil yang tepat dengan
mempertimbangkan dampak inflasi kepada perekonomian secara
menyeluruh. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh
dalam perkembangan inflasi serta kebijakan fiskal, moneter, dan
sektor riil, laju inflasi tahun 2017 diperkirakan mencapai 4,0 persen
atau berada pada pada kisaran rentang sasaran inflasi yang telah
ditetapkan sebesar 4,0±1,0 persen.
2. Provinsi Jawa Tengah
Inflasi di Jawa Tengah selama kurun waktu 2011-2014
menunjukkan tren meningkat dengan angka inflasi tertinggi terjadi
pada tahun 2014, yaitu sebesar 8,22% (yoy) dan mengalami
penurunan cukup tajam pada tahun 2015, yaitu 2,73% (yoy).
Beberapa komoditas yang memberikan sumbangan terbesar
terjadinya inflasi selama tahun 2015 adalah beras, rokok kretek filter,
bawang merah, bawang putih dan jasa pendidikan. Apabila dilihat
angka inflasi di 6 daerah di Jawa Tengah menunjukkan bahwa inflasi
tertinggi terjadi di Tegal sebesar 3,95%, kemudian diikuti Kudus
3,28%, Cilacap 2,63%, Semarang dan Surakarta masing-masing
2,56% dan Purwokerto 2,52%. Angka inflasi tahun 2015 tersebut
berada dibawah angka inflasi nasional sebesar 3,35%, hal demikian
mengindikasikan adanya kelancaran distribusi barang kebutuhan
pokok dan penting masyarakat di Jawa Tengah dengan
perkembangan harga yang cukup terkendali.
Berdasarkan kondisi perekonomian Jawa Tengah saat ini, serta
memperhatikan tantangan dan peluang ke depan, maka
perekonomian Jawa Tengah tahun 2017 sebesar 4,5 ± 1.
3. Kota Surakarta
Inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan
terus menerus. Dampak dari inflasi salah satunya adalah
menurunnya daya beli masyarakat, yang dapat diartikan bahwa
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
terganggu
karena
ketidakmampuan penduduk dalam mengkonsumsi barang ataupun
jasa. Laju inflasi tahun kalender 2015 (Januari–Desember 2015)
sebesar 2,56 persen, lebih rendah dari tahun 2014 sebesar 8,01%
dan tahun 2013 sebesar 8,32% Besarnya inflasi Kota Surakarta pada
tahun 2015 disebabkan semua indeks kelompok pengeluaran
mengalami kenaikan terutama kenaikan indeks kelompok bahan
makanan, seperti terlihat pada gambar berikut.
- 30 -
Sumber: BPS Kota Surakarta, 2015
Gambar 3.1 Laju Inflasi di Kota Surakarta Tahun 2011-2015
Beberapa komoditas mengalami kenaikan harga selama tahun
2015 sehingga memicu terjadinya inflasi antara lain: beras, cabe
hijau, cabe rawit, cabe merah, rokok kretek filter, tukang bukan
mandor, tarif listrik, bahan bakar rumah tangga, angkutan
antarkota, angkutan umum dalam kota, angkutan udara, dan bensin.
Sebaliknya, komoditas yang menghambat tingginya inflasi, yaitu
daging ayam ras, petai, apel, bawang merah, kelapa, minyak goreng,
dan gula pasir.
C. Pertumbuhan PDRB
1. Nasional
Dari sisi domestik, perkiraan perbaikan kinerja ekonomi
nasional dalam tahun 2017 didukung oleh membaiknya konsumsi
rumah tangga sejalan dengan inflasi yang relatif stabil terutama
harga barang kebutuhan pokok. Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) juga diperkirakan tetap memiliki kinerja cukup baik yang
didorong oleh keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dan penguatan
konektivitas nasional. Selain itu, kebijakan amnesti pajak diharapkan
juga mampu mendorong investasi di sektor riil melalui penguatan
likuiditas dari hasil repatriasi dana yang ada di luar negeri. Seiring
membaiknya perekonomian global, kinerja perdagangan internasional
juga diharapkan mengalami perbaikan.
Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor industri pengolahan
sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian juga diperkirakan
menunjukkan penguatan yang salah satunya dipengaruhi oleh
perbaikan ekonomi dan arah kebijakan ekspor terhadap produk
bernilai tambah tinggi. Komitmen Pemerintah dalam pembangunan
infrastruktur
diperkirakan
juga
tetap
mendorong
kinerja
pertumbuhan sektor konstruksi, transportasi, dan pergudangan.
Selain itu, sektor keuangan juga diperkirakan meningkat sejalan
dengan peningkatan arus dana dari kebijakan amnesti pajak.
- 31 -
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perkembangan
terkini perekonomian global dan domestik, kebijakan yang diambil
pemerintah, serta potensi dan risiko ke depan, maka pertumbuhan
ekonomi tahun 2017 diperkirakan sebesar 5,3 persen. Perkiraan ini
lebih baikdibanding proyeksi realisasi pertumbuhan ekonomi tahun
2016 sebesar 5,2 persen.
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga diperkirakan
tumbuh relatif stabil dibanding tahun 2016 seiring dengan
membaiknya kinerja perekonomian domestik. Tingkat inflasi yang
diperkirakan stabil diharapkan mampu menjaga keyakinan
konsumen sehingga pertumbuhan konsumsi masyarakat tetap
terjaga seiring dengan peningkatan optimisme pasar. Tingkat
konsumsi masyarakat terutama yang berada di wilayah perdesaan
dan daerah tertinggal menjadi fokus utama kebijakan pembangunan
dalam rangka pemerataan antarkelompok pendapatan. Pemerataan
kesejahteraan masyarakat ditempuh melalui berbagai program
penyaluran perlindungan sosial yang komprehensif. Pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat juga menjadi prioritas dalam menjaga
tingkat konsumsi melalui pemenuhan kebutuhan pendidikan,
kesehatan, dan tempat tinggal. Pemerintah berkomitmen untuk
menjaga stabilitas harga dan aksesibilitas terhadap kebutuhan
barang pokok melalui peningkatan konektivitas nasional yang
diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi dan
mengurangi kesenjangan antarwilayah. Selain itu, tidak hanya
melalui kebijakan fiskal dan pembangunan yang ekspansif, kinerja
pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga akan didukung oleh
kebijakan moneter dan sektor keuangan yang kondusif seperti
kemudahan penyaluran kredit. Relatif tingginya kelompok
berpendapatan menengah dan usia muda juga diperkirakan
memberikan dukungan terhadap kinerja konsumsi rumah tangga.
Dengan
mempertimbangkan
hal-hal
tersebut,
pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada tahun 2017 diperkirakan mencapai 5,1
persen.
2. Provinsi Jawa Tengah
Nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Harga Dasar Berlaku
(ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) selama tahun 20112014 mengalami peningkatan positif. Nilai PDRB ADHB pada tahun
2011 sebesar Rp692,561 triliun, meningkat menjadi Rp925,662
triliun pada tahun 2014. Sedangkan nilai PDRB ADHK pada tahun
2011 sebesar Rp656,268 triliun meningkat menjadi Rp235,298 triliun
pada tahun 2014.
Perkembangan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah baik ADHB
maupun ADHK berdasarkan lapangan usaha pada kurun waktu
2011-2014 menunjukan bahwa nilai PDRB tertinggi terjadi pada
tahun 2014, yaitu industri pengolahan sebesar Rp336,070 triliun
(ADHB) dan Rp274,971 triliun (ADHK). Sedangkan laju pertumbuhan
- 32 -
tertinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu jasa pendidikan sebesar
34,19% (ADHB) dan 18,41% (ADHK).
Kontribusi lapangan usaha yang paling dominan terhadap
pembentukan PDRB Provinsi Jawa Tengah pada periode 2011-2014
adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, reparasi
mobil serta pertanian, kehutanan dan perikanan. Pada tahun 2011
kontribusi lapangan usaha industri pengolahan berdasarkan ADHK
sebesar 34,49% dan meningkat menjadi 35,88% pada tahun 2014.
Sedangkan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, reparasi
mobil pada periode yang sama sebesar 15,22% dan menjadi 14,44%,
selanjutnya untuk lapangan usaha pertanian, kehutanan dan
perikanan sebesar 15,75% dan menjadi 13,84%.
Dilihat dari sisi penggunaan PDRB Jawa Tengah tahun 20112014, menunjukan bahwa komponen penggunaan konsumsi rumah
tangga masih menjadi penyumbang tertinggi, yaitu sebesar 62,08%
pada tahun 2011 meningkat menjadi 64,03% pada tahun 2014.
Nilai PDRB per kapita Jawa Tengah pada kurun waktu 20112014 berdasarkan ADHB dan ADHK menunjukan peningkatan yang
signifikan. Pada tahun 2011 nilai PDRB per kapita Jawa Tengah
ADHB sebesar Rp19.245.629,58 dan pada tahun 2014 meningkat
menjadi Rp25.040.436,82. Sedangkan PDRB per kapita Jawa Tengah
ADHK pada tahun 2011 sebesar Rp19.245.629,58 dan pada tahun
2014 meningkat menjadi Rp21.852.221,58.
3. Kota Surakarta
Nilai PDRB Kota Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. PDRB ADHB tahun
2015 tercatat sebesar 34,98 triliun rupiah, meningkat dari tahun
2014 sebesar 32,06 triliun rupiah. Peningkatan juga terjadi pada
PDRB per kapita ADHB. Pendapatan per kapita pada tahun 2015
mencapai Rp 68,16 juta, sedangkan pada tahun 2014 hanya Rp
62,72 juta. Kontribusi terbesar terhadap total PDRB ADHB berasal
dari kategori konstruksi sebesar 26,90% dan perdagangan besar dan
eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 22,56%. Sementara
itu kontribusi paling kecil berasal dari kategori pertambangan dan
penggalian sebesar 0,00%.
Nilai PDRB Kota Surakarta berdasarkan harga konstan 2010
(ADHK 2010) menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. PDRB
ADHK pada tahun 2015 tercatat sebesar 28,45 triliun rupiah,
meningkat dari tahun 2014 sebesar 26,98 triliun rupiah. Peningkatan
juga terjadi pada PDRB per kapita ADHK 2010 di Kota Surakarta.
Pendapatan per kapita pada tahun 2015 mencapai Rp55,44 juta,
sedangkan pada tahun 2014 hanya Rp52,79 juta. Kontribusi terbesar
terhadap total PDRB (ADHK) berasal dari kategori perdagangan besar
dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 22,56%.
- 33 -
Sementara itu kontribusi paling kecil berasal
pertambangan dan penggalian sebesar 0,00%.
dari
kategori
Pendapatan per kapita Kota Surakarta sejak tahun 2011-2015
menunjukkan tren yang meningkat. Rata-rata pendapatan per-kapita
Kota Surakarta sejak tahun 2011-2015 sebesar Rp50.306.814,81
lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendapatan per kapita Provinsi
Jawa Tengah sebesar Rp23.796.150,50. Meningkatnya pendapatan
per kapita, menjadi indikasi meningkatnya daya beli/purchasing
power dari masyarakat Kota Surakarta yang semakin meningkat.
Variabel ini berpengaruh terhadap komposisi dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM).
Sektor unggulan di kota Surakarta secara umum dapat dilihat
pada masing-masing cluster di setiap kecamatan. Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kecamatan Laweyan, berupa kampung batik Laweyan,
mencakup batik, garmen maupun olah tekstil, mebel, dengan
kegiatan pendukungnya adalah pendidikan, biro travel,
perhotelan, maupun tempat wisata.
b. Kecamatan Serengan, berupa industri pengolahan makanan dan
minuman, pakaian tradisional, industri kreatif, baik kerajinan
batik, maupun pembuatan letter.
c.
Kecamatan Pasarkliwon, berupa Wisata Religi, Kampung Wisata
Batik Kauman, kerajinan dan batik kayu, biro perjalanan,
kesenian tradisional, tempat wisata, maupun jasa sablon.
d. Kecamatan Jebres, berupa kerajinan sangkar burung, meubel,
batik tekstil dan garmen, serta jasa pendukung berupa hotel,
jasa kursus, jasa pendidikan maupun pelatihan, dan gedung
olah raga.
e.
Kecamatan Banjarsari berupa minuman tradisional (jamu),
krupuk, sangkar burung, meubel, dan jasa pendukungnya
berupa pendidikan, biro perjalanan dan penginapan/hotel.
D. Lain-Lain Asumsi
1. Pendapatan yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor,
termasuk yang dibagihasilkan pada kota, dialokasikan paling sedikit
10% untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan
serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2. Pendapatan yang bersumber dari pajak rokok dialokasikan paling
sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. Pendapatan yang bersumber dari Pajak Penerangan Jalan sebagian
dilakokasikan untuk penyediaan penerangan jalan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
- 34 -
4. Penganggaran Pendapatan dan Belanja yang bersumber dari dana
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah Daerah menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
pada Puskesmas;
5. Dalam rangka peningkatan bidang pendidikan, alokasi anggaran
fungsi pendidikan diupayakan sekurang-kurangnya 20% dari belanja
daerah, termasuk dana Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota
Surakarta (BPMKS);
6. Dalam rangka peningkatan bidang kesehatan, alokasi anggaran
urusan kesehatan sekurang-kurangnya 10% dari total belanja APBD
di luar gaji sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk Jaminan Kesehatan
Nasional bagi Penduduk Miskin yang belum dibiayai oleh
APBN/APBD Provinsi Jawa Tengah dan kebijakan pelaksanaan
Sistem Jaminan Kesehatan Daerah, dalam hal ini program
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS);
7. Program dan Kegiatan yang dibiayai dari dana transfer dan sudah
jelas peruntukannya seperti Dana Darurat, Dana Bencana Alam, DAK
dan bantuan keuangan yang bersifat khusus serta pelaksanaan
kegiatan dalam keadaan darurat dan/atau mendesak lainnya, yang
belum cukup tersedia dan/atau belum dianggarkan dalam APBD,
dapat dilaksanakan mendahului Penetapan Peraturan Daerah
tentang Perubahan APBD, dengan persetujuan Pimpinan DPRD.
Download