STUDI KARAKTERISTIK KIMIA

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Sumber Pencemaran Udara
Sumber pencemaran udara secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua
sumber utama yaitu (Depkes, 1994):
a. Sumber alamiah
Pencemaran udara yang berasal dari sumber alamiah ini berasal dari kejadiankejadian atau aktivitas alam yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti letusan
gunung berapi, keluarnya gas beracun akibat gempa bumi, dan lain-lain.
b.
Sumber antropogenik
Kegiatan manusia dapat mengubah lingkungan hidup yang antara lain disebabkan
oleh perkembangan budaya, penggunaan ilmu dan teknologi, serta diiringi oleh
pola konsumsi yang berlebihan. Beberapa aktifitas manusia yang dapat
menimbulkan pencemaran udara antara lain aktifitas transportasi, pembangikit
listrik, proses pembakaran tidak sempurna, pembakaran bahan bakar baik
kegiatan industri maupun domestik, serta kegiatan industri dan pertambangan
(Seinfield, 1986; Depkes, 1994).
II.2 Parameter Pencemaran Udara
Baku mutu udara ambien berdasarkan Keputusan Menteri Negara KLH No.
KEP.02/1988, menetapkan sembilan parameter pencemaran udara, yaitu SO2, CO,
NOx, O3, debu, Pb, H2S, dan HC (Depkes, 1994).
a. Sulfur dioksida (SO2)
SO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara atau minyak
bumi. SO2 di udara sebagian besar dapat mengalami oksidasi lanjut dalam proses
pembakaran, membentuk sulfur trioksida (SO3) dan akhirnya dapat bereaksi
dengan uap air di udara membentuk sulfat aerosol (Depkes, 1994).
b. Karbonmonoksida (CO)
Sumber utama gas CO adalah kendaraan bermotor yang menggunakan bensin
sebagai bahan bakar. Gas CO juga dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna
yang berasal dari berbagai proses industri. Sumber lain yang cukup berarti adalah
asap rokok dan pembakaran bahan bakar fosil (minyak tanah) di dalam rumah
tangga.
c. Nitrogen Oksida(NO)
Selain terdapat di alam, NO dan NO2 terutama berasal dari gas-gas yang
dihasilkan dari gas buangan kendaraan bermotor dan pusat-pusat tenaga listrik.
Berbeda dengan karbon dan sulfur, nitrogen oksida tidak terdapat dalam bahan
bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara di mana terjadi proses pembakaran
dari senyawa ini. Pengaruh nitrogen yang utama terhadap lingkungan adalah
pembentukan `smog`.
d. Ozon (O3)
Ozon (O3) adalah substansi yang lazim disebut oksidan karena biasanya
merupakan bagian terbanyak dari oksidan yang terukur dan merupakan hasil awal
dan reaksi smog fotokimia. Ozon tidak berwarna tetapi berbau tajam.
e. Debu (Suspended Particulate matter)
Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang
terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi.
Pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung senyawa
karbon akan menimbulkan asap yang hampir seluruhnya terdiri dari partikel
karbon murni atau bercampur dengan berbagai gas-gas organik (Depkes, 1994).
Partikel-partikel debu dapat juga dihasilkan dari destilasi destruktif akibat proses
pembakaran batu bara yang tidak sempurna sehingga terbentuk aerosol kompleks.
Proses-proses
industri
seperti
penggilingan
dan
penyemprotan
dapat
menyebabkan abu beterbangan di udara. Partikel udara juga dihasilkan dari
kendaraan bermotor (Depkes, 1994).
f. Timah hitam (Pb)
Logam Pb merupakan salah satu logam beracun yang dapat masuk ke dalam
sistem biologis dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Sumber utama Pb
di udara berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (bensin). Tetramethyl lead
yang ditambahkan pada bensin merupakan upaya ekonomis dalam meningkatkan
angka oktana. Senyawa tersebut sebagian besar diemisikan sebagai oksida dalam
gas buangan.
g. Hidrogen sulfida (H2S)
Senyawa H2S bersifat tidak berwarna dan menimbulkan bau yang merangsang
(busuk). Gas H2S mempunyai konsentrasi alamiah 0,002-0,02 ppm. Gas ini
ditemukan pada gas vulkanik dan gas alam. Golongan industri yang menghasilkan
gas H2S antara lain: pengilangan minyak, rayon, penyamakan kulit, pabrik kertas,
destilator, dan penambangan biji besi.
h. Ammonia (NH3)
Ammonia (NH3) menimbulkan bau yang merangsang dan tidak berwarna.
Konsentrasi alamiah dari gas ini berkisar antara 6-20 ppm. Gas ini dihasilkan dari
aktivitas bakteri pembusuk dan kegiatan industri kimia pupuk.
i. Hidrokarbon (HC)
Secara alamiah, alam menghasilkan sekitar 85% dari seluruh hidrokarbon yang
ada di udara. Berbagai jenis hidrokarbon dihasilkan dari proses-proses biologis
yang terjadi pada tumbuhan baik di hutan maupun di tempat-tempat lain. Sampah
organik yang terurai secara biologis pada umumnya menghasilkan gas metan.
Namun demikian, sumber hidrokarbon yang berasal dari aktifitas manusia
merupakan jumlah terbesar, terutama pada daerah perkotaan (Depkes, 1994).
II.3 Partikulat di Udara
Salah satu parameter pencemar udara adalah debu (suspended particulate matter).
Saat ini pembahasan tentang partikulat sebagai pencemar udara menjadi perhatian
di berbagai negara, mengingat terdapat bukti kuat mengenai korelasi antara polusi
udara dan dampaknya pada kesehatan manusia terutama yang disebabkan oleh
partikulat (World Bank, 2003).
II.3.1 Definisi Partikulat
Materi partikulat (particulate matter) didefinisikan sebagai material dalam bentuk
solid maupun liquid di udara dengan ukuran diameter partikel sekitar 0,005 μm
hingga 100 μm, meskipun yang dalam bentuk suspensi secara umum kurang dari
40μm (CEPA, 1999 dalam Health Canada, 2005).
Partikel mikroskopis yang melayang di udara terdiri atas bermacam-macam jenis
baik berdasarkan sumber, maupun berdasarkan wujudnya. Efek dari partikel itu
tidak hanya berpengaruh terhadap iklim dan visibility, namun juga terhadap
kesehatan dan kualitas hidup. Partikel di udara bebas berbentuk aerosol, yang
didefinisikan sebagai bentuk sederhana dari partikel padat ataupun cairan yang
tersuspensi dalam gas (Hinds, 1982). Tipe suspensi partikulat dan mediumnya
diperlihatkan pada Tabel II.1.
Tabel II.1 Tipe suspensi partikulat
Medium
Tipe partikel yang tersuspensi
Gas
Gas
Cairan
Padatan
Buih/ foam
Sponge
Cairan
Fog,
spray
Emulsi
Gel
Padatan
mist, Fume, Dust
Suspensi
Campuran/alloy
(Sumber: Hinds, 1982)
II.3.2 Ukuran Partikulat
Ukuran partikel partikulat adalah parameter yang penting dalam karakterisasi
perilaku fisik partikulat di atmosfer. Beberapa ukuran partikel menurut CEPA
(1999), yaitu:
1. Ultrafine particle (Extremely small/nuclei mode), yaitu partikel yang
berukuran kurang dari 0,1 μm (≤ 0,1 μm) Proses utama pembentukan
partikel ini biasanya melalui kondensasi uap panas selama proses
combustion dengan temperatur tinggi dan proses nukleasi material
atmosferik yang membentuk partikel baru. Ukuran ultrafine particle yang
sangat kecil dan pergerakannya yang acak menyebabkan partikel-partikel
ini bertabrakan satu dengan yang lain dan membentuk partikel baru yang
lebih besar.
2. Fine particle (Accumulation mode), yaitu partikel dengan ukuran 0,1 – 2,0
μm. Merupakan hasil koagulasi partikel-partikel nuclei mode, atau juga
berasal dari proses kondensasi. Partikel dengan ukuran ini dapat berada di
atmosfer dalam beberapa hari bahkan beberapa minggu. Proses deposisi
dan presipitasi adalah proses utama yang dapat membuat partikel ini
meninggalkan atmosfer.
3. Coarse particle (sedimentation atau coarse mode), yaitu partikel yang
berukuran lebih besar dari 2 μm. Ukuran partikel ini umumnya
berhubungan dengan proses mekanis seperti erosi yang terbawa angin,
pecahan gelombang laut, dan grinding (proses penghalusan). Grinding
merupakan pemecahan partikel besar menjadi lebih kecil seperti yang
terjadi pada windblown soil, penyebaran partikel garam laut, dan debudebu dari proses pertambangan. Pada umumnya partikel dengan ukuran
tersebut akan mudah tertarik oleh gravitasi bumi dan berada di atmosfer
relatif lebih cepat, yaitu sekitar beberapa jam atau beberapa hari.
Selain beberapa ukuran partikel di atas, ada pula yang menggolongkan ukuran
partikulat berdasarkan sifat aerodinamik, yaitu yang kurang atau sama dengan 10
μm (PM10). PM10 dibagi kembali ke dalam dua kelompok yaitu partikulat yang
ukuran partikelnya ≤ 2,5 μm (PM2,5) yang disebut fine particles dan coarse
particles yang berukuran lebih dari 2,5 μm (PM10-2,5) (Health Canada, 2005).
Materi partikulat pada ukuran diameter PM10 dan PM2,5 bersifat aerodinamik dan
dapat masuk ke dalam sistem respirasi manusia kemudian dapat terdeposit di
dalam paru-paru dan merusak alveoli sehingga menyebabkan gangguan pada
kesehatan. Partikulat dengan sifat demikian dikatakan sebagai respirable
particulates atau partikulat terespirasi (Chong, 2002).
The United States Environmental Protection Agency/ US EPA (1996) telah
membandingkan perbedaan antara partikulat halus dan kasar baik berdasarkan
wujud, proses pembentukan, komposisi, sumber, sifat kelarutan, durasi waktu di
udara, dan daya jangkau. Perbandingan tersebut diperlihatkan pada Tabel II.2.
Tabel II.2 Perbandingan antara partikel halus dan partikel kasar
Partikel Halus
Wujud asal
Gas
Proses
pembentukan
Reaksi
kimia,
nucleation,
kondensasi, koagulasi, evaporasi dari
fog dan cloud droplets dimana telah
terjadi reaksi
Sulfat, nitrat, ammonium, ion
hidrogen, elemen karbon, senyawa
organik, (PAH, PNA), logam (Pb,
Cd,V, Ni, Cu, Zn, Mn, Fe), partikel
dalam air
Komposisi
Kelarutan
Sebagian
besar
mudah
larut,
Higroskopis
Sumber
Proses combustion batubara, minyak
bumi, bensin, diesel, kayu; produk
dari proses trasnformasi di atmosfer
dari NOx, SO2, dan senyawa organik;
proses yang membutuhkan suhu
tinggi (peleburan baja, dsb)
Jangka waktu di Beberapa hari hingga beberapa
udara
minggu
Daya jangkau
± 100-1000 km
(Sumber:US EPA dalam Fierro, 2000)
Partikel Kasar
Padatan dengan ukuran besar atau
droplet
Proses
mekanikal
(crushing,
grinding, abrasi), penguapan dari
sprays, suspensi debu
Fly ash dari batubara, debu tanah,
debu jalan, oksida logam, hancuran
dari suatu material (Si, Al,Ti, Fe),
CaCO3, NaCl, spora jamur, serbuk
sari, serbuk dari hewan atau
tumbuhan
Sebagian besar tidak mudah larut,
non-higroskopis
Debu
dari
industri,
debu
jalan/tanah, suspensi dari hasil
pengolahan tanah (pembajakan,
penambangan); sumber biologi;
sprays air laut; combustion
batubara dan minyak bumi
Beberapa menit hingga beberapa
jam
± 1 hingga 10 km
II.3.3 Komposisi Kimiawi Partikulat
Sumber dan mekanisme aktivitas produksi yang beragam menghasilkan
partikulat-partikulat baik kasar maupun halus yang mempunyai komposisi kimia
masing-masing. Partikel kasar (coarse particles) terdiri atas partikel yang berasal
dari proses pemecahan lapisan dan batuan bumi, sehingga kaya akan oksida besi,
kalsium, silikon, dan alumunium alami. Partikel kasar di daerah pantai kaya akan
unsur natrium klorida dari garam laut. Partikel halus (fine particles) terdiri dari
sulfat, nitrat, ammonium, inorganik dan organik karbon, logam-logam berat
seperti timbal dan kadmium sebagai komposisi utama. Kandungan yang terdapat
dalam partikulat halus tersebut sebagian besar sebagai indikator proses yang
bersifat antropogenik (hasil aktifitas manusia) (Seinfield, 1986 dalam Health
Canada, 2005).
Studi mengenai komposisi kimia dari partikulat yang dilakukan di Mexico City
pada tahun 1997, menunjukkan bahwa sekitar 50% komposisi massa dari PM2,5
terdiri dari carbonaceous aerosol. Komposisi ini diperkirakan berasal dari proses
combustion. Sekitar 30% komposisi ini terdiri atas aerosol sekunder, dan 15%
terdiri atas materi geologi atau unsur tanah dan bebatuan. Sekitar 50% komposisi
PM10 terdiri atas materi geologi, 30% terdiri atas carbonaceous aerosol, dan
kurang dari 20 % terdiri atas aerosol sekunder (World Bank, 2003).
Komposisi kimia dari sebagian besar partikulat PM10 dan PM2,5 dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Chong, 2002):
1. Oksida logam
Oksida logam berasal dari batuan dan mineral yang terkandung dalam
bumi yang kemudian tersuspensi menjadi debu dan terbawa angin di
udara. Oksida logam yang paling banyak ditemukan adalah oksida
alumunium, silikon, kalsium, titanium, besi, dan logam lain dalam bentuk
oksida.
2. Sulfat dan nitrat
Sulfur/ belerang tersedia dalam bentuk ammonium sulfat, ammonium
bisulfat, dan asam sulfat. Senyawa ini mudah larut dalam air dan
umumnya termasuk ke dalam PM2,5, sedangkan nitrogen terutama berada
dalam bentuk senyawa ammonium nitrat.
3. Natrium klorida
Natrium klorida ditemukan sebagai partikulat terutama di daerah pantai
dan umumnya berupa partikel kasar (coarse particulate)
4. Natrium nitrat
Natrium nitrat lebih banyak ditemukan dalam ukuran PM10, dan
terdistribusi terutama di daerah pantai. Natrium nitrat terjadi akibat adanya
reaksi antara asam nitrat dengan garam laut (natrium klorida).
5. Partikulat karbon organik
Karbon organik terdiri dari ratusan bahkan ribuan senyawa yang berbeda.
Masing-masing senyawa tersebut tersusun atas lebih dari duapuluh atom
karbon. Salah satu dari senyawa karbon organik ini adalah senyawa PAHs
(Polycyclic aromatic hydrocrbons).
6. Polycyclic aromatic hydrocrbons (PAHs)
Kehadiran senyawa PAH di lingkungan berasal dari proses pirolisis
senyawa organik. Proses pengasapan dan pemanggangan pada makanan
dapat memicu pembentukan PAH dalam jumlah besar. Bahan bakar
bensin dan diesel pada kendaraan telah diketahui mempunyai kontribusi
yang cukup besar dalam meningkatkan konsentrasi PAH dalam partikulat
halus. Penelitian mengenai PAH dalam senyawa-senyawa organik
terutama berkaitan dengan sifat karsinogenik dan mutagenik PAH tersebut
(Chong, 2002).
II.3.4 Sumber Partikulat
Kehadiran partikulat sebagai polutan di udara dapat berasal dari berbagai sumber.
Sumber itu secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan
sumber antropogenik. Sumber alami yaitu partikulat yang berasal dari prosesproses kejadian alam seperti tanah dan mineral-mineralnya, debu vulkanik,
partikel garam laut, material biologi seperti serbuk sari, spora, dan bakteri, juga
serpihan-serpihan akibat kebakaran hutan. Partikulat yang berasal dari kejadian
alam ini biasanya lebih banyak menghasilkan partikel kasar namun ada juga yang
menghasilkan partikel halus akibat adanya proses combustion seperti yang terjadi
akibat kebakaran hutan (Health Canada, 2005).
Sumber partikulat yang menghasilkan partikulat dari sumber-sumber alamiah
tanpa ada proses reaksi yang melibatkan unsur-unsur di dalamnya disebut sumber
alami primer. Sumber alami sekunder yaitu sumber yang membebaskan partikulat
ke udara dengan melibatkan reaksi-reaksi kimiawi dari sumber alami primer.
Contohnya adalah nitrogen oksida (NOx) yang dibebaskan dari tanah, VOCs
(Volatile Organic Compounds), ammonia, dan sulfur dioksida (SO2) yang
dibebaskan oleh tumbuhan (Health Canada, 2005) .
Sumber partikulat lain adalah sumber yang berasal dari kegiatan antropogenik
atau yang melibatkan aktifitas manusia. Sumber antropogenik ini juga dapat
menghasilkan partikulat primer dan sekunder, serta coarse maupun fine
particulates, misalnya gas-gas serta partikulat yang dihasilkan dari proses
pembakaran industri dan bahan bakar kendaraan bermotor (Health Canada, 2005).
Penjelasan mengenai sumber partikulat di udara dapat dilihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3 Pengelompokan partikulat berdasarkan sumber
Natural/ Alami
Primer
PM2.5
• Kebakaran
hutan (karbon
dan elemen
karbon)
Sekunder
• karbon dari proses
biogenic VOCs
• Nitrat dari NOx
alami
PM10
• windblown
dust
• sea salt spray
• Serbuk sari,
spora
Antropogenik
Primer
Sekunder
• Pembakaran bahan
bakar fosil
dari industri,
pemukiman,
kendaraan
(elemen karbon dan
karbon organik)
• karbon organik yang berasal dari
VOCs sumber antropogenik
(kendaraan, industri, pelarut)
• Sulfat dan nitrat dari sumber
antropogenik SOx dan NOx
(kendaraan, pabrik, PLN dll.)
• Debu mineral dari
proses penambangan
• windblown soil dari
lahan pertanian
• debu jalanan
• dust/ debu dari
proses konstruksi
(Sumber: Health Canada, 2005)
Partikulat dengan karakteristik komposisi kimia tertentu akan menunjukkan
sumber yang mengimisikan partikulat tersebut. Dalam proses identifikasi sumber
pencemar, perlu diketahui tentang unsur penanda dari sumber untuk mengetahui
pentingnya profil sumber dan kontribusi sumber. Senyawa-senyawa yang dapat
membedakan emisi-emisi sumber, baik karena jumlahnya yang berlimpah
ataupun karena proporsionalitasnya, sangat penting untuk diketahui sebagai unsur
penanda. Disamping itu perlu dipertimbangkan sumber-sumber apa yang ada di
wilayah yang diteliti, serta melihat faktor korelasi antar elemen (Mauliadi, 2005).
Elemen-elemen yang konsisten berkorelasi kuat cenderung berasal dari sumber
yang sama. Tabel II.4 menunjukkan beberapa unsur yang digunakan untuk
memperkirakan sumber pencemar pada studi tentang partikulat (Koistinen, 2002).
Unsur-unsur penanda sumber polutan tersebut dapat dikorelasikan sehingga dapat
merujuk kepada sumber polutan tertentu.
Tabel II.4 Unsur-Unsur Kimia Penanda Sumber Polutan
Kategori Sumber
Elemen/senyawa
Tanah
Al, Ce, Fe, Mn, Sc, Si, Sm
Transportasi jarak jauh, partikel sekunder
S
Asap rokok
Cd
Kendaraan
Br, C, Cu, Pb, Sb, Zn
Katalis mobil
Al
Kendaraan petroleum
Al, Ca, Cd, Cu, Fe, Mn, Ni
Kendaraan diesel
Al, Ba, Cu, Mg, Mn, Na, Pb, Sb, Zn
Kendaraan non katalis
Br, Pb
Debu/ Brake dust
Ba, Fe2O3, Mg2+, SiO2,
Serpihan ban
Zn
Jalan raya
Mn
Garam laut
Cl, Na
Industri baja/peleburan
Ca, Cd, Cr, Cu, Fe, ln, Mn, Pb, Sn, Zn
Peleburan seng
Cd, Pb, Zn, Sn
Peleburan tembaga
Cu, P, Se
Peleburan pyrite
As, Cu
Insinerator
Ag, Cl, Cu, ln, K, Pb, Sb, Zn
Pembakaran batubara
Ag, as, Cr, K, Mo, Pb, Sb, Se, S, Zn
Pembakaran minyak/ refinery
Cr, La, Ni, Sm, S, V
Pembakaran biomassa/ kayu
K, C volatil, elemental C
Kapur
Ca, Mg
(Sumber: Koistinen, 2002)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengaitkan unsur-unsur penanda
sumber dengan prediksi sumber. Hasil yang diperoleh, terdapat suatu korelasi
yang kuat antara sumber asal pencemar dan elemen utama yang terkandung di
dalamnya. Korelasi tersebut dapat diperlihatkan oleh besarnya konsentrasi unsur
tertentu yang seharusnya ada atau dari kemunculan unsur-unsur tertentu sebagai
unsur utama kandungan partikulat dibandingkan dengan unsur lainnya. Proses
pengambilan keputusan terhadap masalah yang dikaitkan dengan adanya korelasi
antar variabel tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satu
metode yang banyak digunakan adalah metode analisis faktor. Analisis faktor
merupakan suatu teknik reduksi data (Garson, 2007). Teknik ini merupakan
sekelompok prosedur untuk menyisihkan data yang melimpah dari suatu set
variabel-variabel yang berkorelasi dan merepresentasikan variabel-variabel
tersebut dengan variabel baru yang lebih kecil, yang disebut faktor (Mauliadi,
2005). Prinsip dasar analisis faktor didasarkan pada pengertian tentang variabel
dan faktor. Variabel adalah data atau kumpulan data yang bersifat independen dan
dapat memiliki korelasi baik antara data-data itu sendiri maupun antara kumpulan
data dengan faktor yang telah ditetapkan. Faktor adalah suatu kondisi ataupun
kesimpulan yang berisi beberapa variabel yang saling berhubungan dan muncul
secara bersamaan, untuk kemudian mendasari penetapannya (Mauliadi, 2005).
Penjelasan tentang analisis faktor ini dapat dilihat dalam Gambar II.1.
7 variabel
Faktor1
x1
x2
x3
Faktor2
x4
x5
x6
x7
Gambar II.1 Ilustrasi analisis faktor (Kachigan (1986) dalam Mauliadi , 2005)
Gambar II.1 tersebut menunjukkan tujuh variabel x1,x2,…,x7 yang kemudian
dikelompokkan ke dalam dua kelompok terpisah. Variabel x1, x2, dan x3
tergabung dalam kelompok yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel tersebut saling berhubungan erat dan merepresentasikan suatu
faktor. Begitu juga dengan variabel x4, x5, x6, dan x7 yang membentuk faktor
kedua. Sehingga analisis terhadap tujuh variabel tersebut menjadi lebih mudah
dan terarah.
II.3.5 Analisis Partikulat
Metode yang digunakan dalam proses identifikasi dan karakterisasi partikulat
udara cukup beragam. Penelitian ini menggunakan metode analisis elemental
dengan INAA (Instrumental Neutron Activation Analysis), metode analisis Pb dan
Hg dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), dan metode analisis
black carbon dengan Reflektometer.
INAA (Instrumental Neutron Activation Analysis)
Teknik INAA yang disebut juga APN (Analisis Pengaktifan Neutron) ditemukan
oleh George Hevesy pada tahun 1936 (Susetyo, 1984). Prinsip dasar APN yaitu
cuplikan (sampel) yang akan dianalisis, diiradiasi dengan menggunakan suatu
sumber neutron. Inti atom unsur-unsur dalam cuplikan tersebut akan menagkap
neutron dan menjadi radioaktif. Setelah paparan radiasi neutron dianggap cukup,
cuplikan tersebut dikeluarkan dari sumber neutron. Cuplikan yang telah diiradiasi
mengandung unsur-unsur dengan sifat radioaktif dan memancarkan sinar γ. Sinar
γ yang dipancarkan oleh berbagai unsur dalam cuplikan dapat dianalisis dengan
spektrometri γ. Analisis kualitatif dilakukan berdasarkan penentuan tenaga sinar
γ, sedang analisis kuantitatif dilakukan dengan menentukan intensitasnya
(Susetyo, 1984).
Apabila unsur-unsur stabil dalam cuplikan diiradiasi dengan neutron ada
bermacam-macam reaksi inti yang dapat terjadi. Reaksi yang digunakan dalam
metode APN adalah reaksi neutron-gamma (n,γ), seperti yang dicontohkan pada
persamaan reaksi di bawah ini:
127
I + 1n →
128
I+γ
Persamaan reaksi di atas menunjukkan unsur stabil yang diiradiasi dengan sumber
neutron menghasilkan unsur radioaktif dan membebaskan sinar gamma (Susetyo,
1984).
Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam metode INAA dalam penelitian ini adalah
reaktor atom. Bahan bakar suatu reaktor atom umumnya adalah uranium. Dalam
uranium terdapat dua isotop uatama yaitu
235
U dan
238
U. Inti
235
U apabila
menyerap neutron akan mengalami pembelahan menjadi dua inti baru dan
melepaskan 2 atau 3 neutron, reaksi inti yang terjadi adalah sebagai berikut
(Susetyo, 1984):
U + 01n→ZA11X + ZA22Y + 2atau301n
235
92
Persamaan reaksi tersebut di atas menunjukkan bahwa reaktor atom dapat
menjadi sumber neutron yang dapat digunakan untuk proses iradiasi.
Teknik analisis unsur dengan INAA atau APN ini dapat digunakan untuk
menganalisis unsur-unsur dalam cuplikan tanpa merusak cuplikan tersebut.
Cuplikan ditimbang dalam jumlah tertentu yang kemudian dimasukkan ke dalam
botol polietilen. Cuplikan yang mempunyai kadar unsur-unsur yang sangat rendah
perlu dipekatkan terlebih dahulu. Misalnya unsur-unsur dalam air perlu ditangkap
dahulu oleh resin penukar ion, kemudian resin tersebut yang diiradiasi. Setelah
cuplikan diiradiasi dalam waktu tertentu, proses iradiasi dihentikan dan cuplikan
dikeluarkan dari tempat radiasi. Setelah itu dilakukan proses pencacahan atau
pembacaan unsur-unsur yang telah bersifat radioaktif dalam cuplikan tersebut.
Proses pencacahan dilakukan dengan memanfaatkan energi spektrometri-γ
dengan menggunakan perangkat khusus. Radionuklida hasil pengaktifan yang
berumur (mempunyai waktu paruh) pendek harus segera dicacah, dan untuk
radionuklida dengan umur panjang sebaiknya dilakukan cooling beberapa saat.
Hal tersebut dilakukan agar nuklida dengan umur pendek yang tidak diperlukan
telah meluruh sehingga tidak mengganggu analisis data. (Susetyo, 1984).
Proses analisis data dengan metode APN dapat dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis untuk mengetahui unsur-unsur yang
terkandung dalam cuplikan, sedangkan analisis kuantitatif dapat mengetahui
kadar/ berat unsur-unsur tersebut. Analisis kualitatif yang digunakan adalah
dengan cara melihat karakteristik puncak-puncak dari energi sinar gamma yang
dipancarkan. Puncak-puncak energi tersebut kemudian diidentifikasi dengan
menggunakan daftar tenaga sinar gamma yang merujuk kepada unsur-unsur
tertentu. Penentuan puncak-puncak tersebut didasarkan atas tiga kriteria, yaitu
(Susetyo, 1984):
1. Puncak yang dipilih adalah puncak dengan intensitas mutlak atau laju
cacah (cps) yang paling besar.
2. Puncak yang dipilih adalah puncak dengan tenaga sinar γ paling tinggi.
3. Puncak yang dipilih adalah puncak yang tidak terkena pengaruh puncak
nuklida lain yang tidak dapat dipisahkan oleh detektor.
Analisis kuantitatif dalam APN yang umum digunakan adalah penentuan secara
nisbi. Analisis kuantitatif secara nisbi menggunakan suatu zat standar dengan
matrix yang diperkirakan sama dengan matrix cuplikan. Kadar unsur-unsur
tertentu dalam standar itu telah diketahui dan kadar unsur yang ditentukan dalam
cuplikan kurang lebih sama dengan kadar unsur tersebut dalam standar. Standar
kemudian dipersiapkan dan diiradiasi bersama cuplikan. Dengan membandingkan
laju cacah cuplikan dan standar, maka dapat diperoleh kadar unsur dalam
cuplikan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam persamaan reaksi sederhana
sebagai berikut (Susetyo, 1984):
Wcuplikan =
Keterangan : W
(Cps)cuplikan
.Wstd (2.1)
(Cps) std
: Kadar unsur yang ingin diketahui (μg)
Cps
: Laju cacah
std
: standar
Seperti halnya metode pada umumnya, teknik INAA/ APN juga mempunyai
keunggulan dan kekurangan. Keunggulan dan kekurangan teknik INAA/ APN
dijabarkan sebagai berikut:
Keunggulan INAA:
1. Sensitif, analisis ini mempunyai kepekaan yang tinggi dan batas deteksi
yang rendah hingga mencapai nanogram.
2. Spesifik, dapat menganalisis unsur satu per satu.
3. Simultan, dapat menganalisis banyak unsur secara bersamaan.
4. Bebas kontaminasi laboratorium bila sudah diiradiasi
Kekurangan INAA:
1. Kontaminasi laboratorium sebelum proses iradiasi sangat berpengaruh
walaupun dalam jumlah kecil, sehingga harus dicegah seminimal
mungkin.
2. Memerlukan fasilitas reaktor nuklir.
3. Biaya yang mahal karena menggunakan teknologi tinggi.
4. Unsur dengan penampang lintang reaksi tinggi dapat menimbulkan efek
perisaian sendiri (self shilding) (Susetyo, 1984).
AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry)
Atomic
Absorption
Spectrophotometry
(AAS)
dikenal
juga
dengan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), adalah suatu teknik analisis untuk
penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang didasarkan pada penyerapan
(absorbsi) radiasi oleh atom-atom bebas unsur tersebut (LIPI, 2007). Analisis
yang dapat dilakukan dengan metode AAS adalah mulai dari analisis unsur-unsur
yang memiliki kadar kecil/ unsur runutan (trace analysis) juga analisis
komponen-komponen utama/ unsur dengan kadar tinggi (major elements).
Teknik AAS pertama kali dikembangkan oleh Sir Alan Walsh pada pertengahan
1950-an. Prinsip-prinsip dalam AAS ini terkait dengan atom-atom bebas yang
terbentuk. Atom bebas akan berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti
energi panas, elektromagnetik, kimia, dan energi listrik. Interaksi ini
menimbulkan proses-proses yang menghasilkan absorbsi dan emisi (pancaran)
radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan ini mempunyai panjang gelombang
dengan karakteristik tertentu untuk masing-masing atom bebas (LIPI, 2007).
Pembentukan atom bebas dalam metode AAS dapat menggunakan tiga cara, yaitu
dengan menggunakan nyala campuran gas (flame-AAS); pemanasan oleh listrik
(electrothermal-AAS atau graphite furnace-AAS); dan pembentukan senyawa
hidrida yang diikuti pemanasan.
a. Flame-AAS
Atom yang terbentuk berasal dari proses pemanasan senyawa logam pada
suhu sekitar 17000C atau lebih. Campuran gas yang umum digunakan
adalah udara-asetilen (suhu nyala 1900-22000C, optimum untuk unsurunsur transisi seperti Cu, Pb, Cd, Zn, Fe, Mn, dan lain-lain),
nitrousoksida-asetilen (suhu nyala 2700-30000C, optimum untuk logam
refractory), atau udara-propan (suhu nyala 1700-19000C, optimum untuk
atom-atom alkali ).
b. Elektrothermal-AAS
Larutan sampel diinjeksikan ke dalam tabung grafit yang dipasang
diantara dua elektrode. Arus listrik kemudian dialirkan sehingga terjadi
peningkatan suhu dalam tabung grafit. Arus listrik diatur hingga suhu
mencapai 30000C. Pemanasan larutan sampel dilakukan dalam tiga tahap
yaitu tahap pengeringan, pengabuan, dan pengatoman.
c. Pembentukan senyawa hidrida
Sejauh ini pembentukan atom dengan senyawa hidrida berlaku untuk
unsur-unsur As, Se, dan Sb yang mudah membentuk senyawa hidrida
dalam bentuk gas bila dipanaskan pada suhu 8000C. Merkuri (Hg), proses
pembentukan atom dapat dengan menggunakan cara ini melalui reduksi
NaBH4 atau SnCl2 (LIPI, 2007).
Pembentukan atom bebas yang menggunakan flame-AAS dapat dicontohkan pada
pembentukan atom bebas unsur Pb dengan persamaan reaksi sebagai berikut
(LIPI, 2007):
Pb ( NO 3 ) 2 ( aq ) ⎯+⎯
⎯→ PbO ( s ) + NOx + O 2
panas
PbO ( s ) ⎯+⎯
⎯→ PbO ( l ) ⎯+⎯
⎯→ Pb ( g ) + Ox
panas
panas
Pb ( g ) ⎯+⎯
⎯→ Pb ( o )
panas
Reaksi pengatoman dengan pembentukan senyawa hidrid dapat dicontohkan pada
pembentukan atom bebas pada unsur Hg. Reaksi pengatoman ditunjukkan dengan
persamaan reaksi sebagai berikut (LIPI, 2007):
NaBH 4 + HCl → BH 4− + NaCl
BH 4− + Hg (Cl ) 2 → HgH 2 + HCl
HgH 2 ⎯dipanaskan
⎯ ⎯ ⎯20⎯
0 → Hg ( o ) + H 2
C
EEL Smokestain Reflectometer
Analisa black carbon menggunakan EEL smokestain reflectometer. Prinsip dasar
dari pengukuran black carbon dengan EEL smokestain reflectometer adalah
absorpsi, dan refleksi cahaya (Cohen, 2000). Konsentrasi massa partikulat dalam
suatu filter dapat dihubungkan dengan tingkat kerapatan partikulat tersebut.
Rumus dasar kerapatan massa black carbon (D (μg/cm2)) adalah sebagai berikut
(Cohen, 2002):
D = M.
V
A
(2.2)
M adalah konsentrasi massa (μg/m3), V adalah volume udara (m3), dan A adalah
luas area (cm2). Jika konsentrasi black carbon belum diketahui maka untuk
mengetahui kerapatan sampel dalam filter dapat dilihat dari transmisi cahaya yang
melewati filter. Edward (1983) dalam Cohen (2000), mengemukakan bahwa
transmisi cahaya yang melewati filter dapat dihitung dengan persamaan berikut:
I = I 0 exp[− εD / 100]
(2.3)
Transmisi cahaya yang melewati filter kosong dilambangkan dengan I0, I adalah
transmisi cahaya pada filter yang mengandung black carbon, ε adalah koefisien
absorpsi dari panjang gelombang cahaya (m2/g). Black Carbon atau disebut juga
Elemental Carbon (EC) merupakan hasil terbanyak dari proses refraksi dan
polimerasi aerosol. Menurut Horvarth (1993) dalam Cohen (2000) black carbon
adalah komponen yang mempunyai kemampuan mengabsorbsi cahaya yang
tinggi di atmosfer. Jika diasumsikan bahwa semua cahaya diserap oleh black
carbon, maka persamaan (2.3) dapat di inversi sehingga diperoleh persamaan
kerapatan transimisi cahaya (T) pada elemental carbon (ECT) atau black carbon
dalam filter sebagai berikut (Cohen, 2000):
⎧100 ⎫ ⎡ I ⎤
ECT (μg / cm2 ) = ⎨ )⎬ ln⎢ 0 ⎥
⎩ Fε ⎭ ⎣ I ⎦
(2.4)
Faktor koreksi F biasa diasumsikan sebesar 1,00, dan ε adalah koefisien absorpsi
massa dari EC (m2/g). Refleksi (R) cahaya adalah dua kali transmisi cahaya,
sehingga dapat diperoleh persamaan kerapatan refleksi cahaya pada elemental
carbon (ECR) sebagai berikut (Cohen, 2000):
⎧ 100 ⎫ ⎡ Ro ⎤
EC R ( μg / cm 2 ) = ⎨
⎬ ln
⎩ 2 Fε ⎭ ⎢⎣ R ⎥⎦
(2.5)
Refleksi cahaya pada filter kosong dilambangkan sebagai R0 dan pada filter yang
mengandung sampel adalah R. Dengan demikian untuk mencari M (konsentrasi
black carbon) persamaan ECr dapat dimasukkan ke dalam persamaan dasar (2.2)
sehingga diperoleh persamaan konsentrasi black carbon sebagai berikut (Cohen,
2000):
EC ( μg / m 3 ) =
A ⎧100 ⎫ ⎡ Ro ⎤
⎬ ln
⎨
V ⎩ 2ε ⎭ ⎢⎣ R ⎥⎦
(2.6)
Pengukuran black carbon yang dilakukan di Australia oleh Cohen dari tahun
1995 hingga 1999 dan Ayers et al 1998 dalam Cohen (2000) menunjukkan bahwa
massa black carbon adalah sekitar 10-40% massa dari fine particles (PM 2,5).
II.4 Sistem Pernafasan Manusia
Sistem respirasi/pernafasan manusia tersusun atas beberapa organ, yaitu hidung,
mulut, tenggorokan, laring, trakea, bronki, dan paru-paru. Bagian hidung hingga
bronchi merupakan bagian saluran yang terlewati oleh udara, sedangkan bagian
paru-paru merupakan tempat pertukaran O2 yang terkandung dalam udara bersih
dengan CO2 hasil metabolisme tubuh untuk dikeluarkan bersama udara yang
dihembuskan. Paru-paru dapat dikatakan sebagai jalur tercepat yang digunakan
sebagai pintu masuk material toksik ke dalam tubuh mengingat eratnya hubungan
paru-paru dengan sistem sirkulasi. Dalam menjalankan fungsinya sistem respirasi
didukung oleh diafragma dan otot dada. Secara fisiologis, ketika bernafas dalam
keadaan normal volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi oleh rata-rata
orang dewasa muda adalah 500 ml udara. Volume tersebut disebut sebagai
volume alun nafas (tidal) (Guyton et. al, 1997). Frekuensi pernafasan normal kirakira sebanyak 12 kali per menit, sehingga rata-rata volume udara yang masuk ke
dalam paru-paru dalam keadaan normal adalah sekitar 6 liter/menit (Guyton et.al,
1997). Gambar II.2 memperlihatkan sistem pernafasan manusia.
Gambar II.2. Sistem pernafasan manusia (Hall et al., 1997)
Hidung
hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal terdiri atas
bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas berfungsi untuk membentuk hidung
secara keseluruhan karena bagian ini tersusun atas tulang hidung., sedangkan
bagian bawah tersusun atas tulang rawan. Bagian dalam terletak pada tulang
wajah meliputi bagian dasar tulang tengkorak hingga langit-langit mulut.
Udara masuk melalui lubang hidung, kemudian melewati rambut-rambut hidung,
lalu mengalir ke bagian posterior menuju nasofaring. Pada bagian ini udara diatur
suhu dan kelembabannya dan sebagian partikel yang terbawa oleh udara
dijatuhkan. Mekanisme pengurangan jumlah partikel yang masuk melalui udara
inspirasi telah dimulai dari penyaringan oleh rambut-rambut hidung, adanya
tumbukan dengan tikungan-tikungan dalam saluran respirasi, dan proses
sedimentasi. Permukaan dinding bagian dalam hidung dilapisi oleh membaran
mukosa. Membran tersebut mensekresi cairan yang disebut mukus. Mukus
berfungsi sebagai ’perangkap’ bakteri dan debu yang terkandung dalam udara.
Selain mukus, membran tersebut juga dilapisi oleh silia atau jaringan yang
berbentuk filamen. Silia seperti halnya mukus juga berperan dalam membersihkan
udara yang dihirup. Jika bernafas melalui mulut maka tidak ada mekanisme
perlindungan dari mukus maupun silia (Hall et al., 1997).
Faring
Setelah melewati hidung dan rongga hidung, udara bergerak melewati faring.
Faring merupakan suatu rongga berbentuk pipa yang terletak pada bagian
belakang tulang tengkorak wajah, merupakan saluran menurun di belakang
rongga hidung, mulut, dan laring yang kemudian berhubungan dengan esofagus.
Faring tersusun atas tulang rangka dan dilapisi oleh membran mukosa. Fungsi
membran mukosa pada faring adalah melanjutkan proses pembersihan udara yang
telah dilakukan di rongga hidung (Hall et al., 1997).
Pada bagian bawah tenggorokan terdapat dua percabangan yaitu esofagus
(kerongkongan) di bagian belakang dan trakea di bagian depan. Makanan dari
mulut akan masuk ke dalam faring dan diteruskan ke esofagus, sedangkan udara
dan gas akan masuk ke dalam faring dari rongga hidung dan diteruskan menuju
trakea dan paru-paru. Pada bagian pangkal trakea terdapat katup epiglotis yang
berfungsi untuk mengatur agar makanan tidak masuk ke dalam trakea (Hall et al.,
1997).
Laring
Laring berfungsi untuk melanjutkan aliran udara dari faring menuju trakea.
Laring diliputi oleh membran mukosa dan silia yang dapat mengembalikan
partikel kembali ke faring. Fungsi lain dari laring dapat diibaratkan sebagai
’penjaga’ trakea, yaitu mengontrol aliran udara dan mencegah material dan
bahan-bahan lain masuk ke dalam trakea kecuali udara (Hall et al., 1997).
Trakea
Trakea terletak pada bagian bawah laring, tepatnya pada bagian leher hingga
rongga dada. Bagian ujung bawah trakea terbagi menjadi dua cabang, yang
disebut bagian kiri dan kanan bronki.Trakea tersusun atas tulang-tulang rawan
yang berbentuk cincin. Dinding trakea dilapisi oleh membran mukosa dan silia
mencegah partikel yang dapat melewati mekanisme penyaringan dari bagian
rongga hidung hingga laring masuk ke dalam paru-paru (Hall et al., 1997) .
Bronki
Bronki merupakan percabangan dari trakea ke arah kiri dan kanan. Masingmasing bronki disebut bronkus, yang merupakan pintu masuk menuju paru-paru
bagian kiri atau bagian kanan. Bronkus kanan lebih lebar dan pendek
dibandingkan bronkus kiri. Hal inilah yang menyebabkan material yang masuk
bersama udara lebih banyak ditemukan di paru-paru kanan. Masing-masing
bronkus dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil hingga membentuk
cabang-cabang halus. Pada bagian yang lebih besar dari cabang-cabang bronkus
tersusun atas tulang rawan dan semakin menghilang pada ukuran cabang yang
paling kecil (Hall et al., 1997).
Paru-paru
Paru-paru manusia berjumlah dua buah, yaitu satu bagian kiri dan satu bagian
kanan rongga dada. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dan tersusun atas tiga
lobus dibandingkan dengan paru-paru kiri yang tersusun atas dua lobus. Di dalam
paru-paru, bronkeolus bercabang-cabang membentuk saluran-saluran halus yang
disebut bronkiolus. Bronkiolus ini bercabang-cabang lagi membentuk cabang
yang paling halus yang disebut alveoli (Hall et al., 1997).
Zona pernafasan
Zona pernafasan bukan merupakan bagian dari organ sistem pernafasan. Zona
pernafasan atau breathing zone dapat didefinisikan sebagai lokasi terjadinya
interaksi antara udara inspirasi, udara ekspirasi, serta udara ambien pada arah
horizontal maupun vertikal (Marr, 2004). Ilustrasi mengenai zona pernafasan
ditampilkan pada Gambar II.3.
.
Gambar II.3 Zona Pernafasan (http://www.airduct.info)
Gambar II.3 menunjukkan bahwa pada zona pernafasan, terjadi interaksi antara
udara ambien dengan udara yang dihirup, serta udara yang dilepaskan dengan
udara ambien. Udara pada zona pernafasan adalah udara ambien yang dihirup dan
dapat mengandung berbagai macam material baik organik maupun anorganik,
atau mikroorganisme.
II.5 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Manusia
Efek suatu polutan terhadap fungsi organ terkadang tidak dapat langsung dilihat,
tergantung pada konsentrasi, lamanya paparan, dan frekuensi paparan. Faktorfaktor lain dapat menjadi pendukung terjadinya efek, namun dapat juga menjadi
faktor yang memperlambat terjadinya efek. Faktor-faktor tersebut dapat berupa
kondisi kesehatan seseorang, pola hidup, keadaan lingkungan dan lain sebagainya
(Soemirat, 2003).
Paparan pencemaran udara terhadap manusia akan mempengaruhi sistem
pernafasan dan selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Hal ini
terjadi karena manusia menghirup dan menghembuskan udara dari paru-paru
sekitar 10-20m3 setiap hari (Hinds, 1982). Ketika manusia bernafas maka akan
terjadi translokasi bahan pencemar yang berada dalam udara ke dalam pembuluh
darah alveoli. Darah membawa bahan pencemar kembali ke jantung dan dari
jantung beredar ke seluruh tubuh melalui aorta.
Bahan pencemar yang paling mempengaruhi kesehatan manusia adalah SO2, NOx,
ozon, CO, dan debu. Kelembaban relatif dalam saluran pernafasan biasanya
sekitar 100%. Sifat kelarutan SO2 dan H2SO4 dalam air tinggi, maka bahan ini
dapat meresap hampir ke seluruh dinding saluran pernafasan bagian atas, yaitu
rongga hidung, tenggorokan, dan laring. Sehingga efek paling sering terjadi pada
saluran pernafasan bagian atas. NOx dan O3 larut dalam air dengan kecepatan
lebih rendah, karena itu akan meresap pada saluran pernafasan bagian bawah
yaitu broncheoli dan alveoli (Depkes, 1994).
Penyakit pada sistem saluran pernafasan yang umum dikenal adalah Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ISPA adalah penyakit yang menyerang saluran
pernafasan, mulai dari hidung sampai paru-paru. Penyebaran penyakit ini melalui
sistem inhalasi dan tidak bersifat genetis (Sudarwati, 2006). ISPA dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu ISPA atas dan ISPA bawah. Saluran pernafasan atas
dan saluran pernafasan bawah dipisahkan oleh epiglotis. Penyakit yang termasuk
ke dalam ISPA atas antara lain rhinitis, tonsilitis, faringitis, tonsilofaringitis, dan
difteri. Pneumonia dan broncopneumonia termasuk ke dalam golongan ISPA
bawah. Gejala yang ditimbulkan ISPA atas antara lain batuk, pilek, demam, sakit
menelan, dan lain sebagainya, sedangkan ISPA bawah umumnya ditandai dengan
sesak nafas (Sudarwati, 2006).
ISPA umumnya disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan
jamur. Polusi udara dapat berkontribusi menyebabkan ISPA karena dapat
memperburuk mekanisme pertahanan tubuh sehingga dapat mempermudah
mikroorganisme mengiritasi saluran pernafasan atas maupun bawah. ISPA bawah
terjadi setelah didahului oleh ISPA atas (Sudarwati, 2006).
Beberapa gangguan kesehatan sebagai akibat dari pencemaran udara menurut
klasifikasi Departemen Kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Keracunan oleh sulfur dioksida (SO2)
SO2 ini dapat menganggu pernafasan sehingga mengakibatkan penderita
bronchitis, emphysema, dan lain-lain penderita penyakit saluran pernafasan
menjadi lebih parah keadaannya. Eratnya hubungan antara kadar SO2 di udara
dengan gejala-gejala penyakit pernafasan inilah maka WHO menyatakan SO2
sebagai salah satu pencemar udara yang paling berbahaya. Hal yang perlu
mendapat perhatian mengenai SO2 adalah terjadinya perubahan kimia di udara.
SO2 membentuk asam sulfat aerosol dan dapat membentuk partikel ammonium
sulfat sebagai hasil reaksi dengan amoniak. Partikel ini dapat terbawa jauh masuk
ke dalam paru-paru. Keadaan ini mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih
parah bagi penderita. Sifat ini disebut efek sinergis yaitu pengaruh total dari dua
komponen pencemar (dalam hal ini SO2 dan partikel) menjadi lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh dari masing-masing komponen apabila berdiri
sendiri (Depkes, 1994).
Gangguan kesehatan yang ditimbulkan adalah iritasi mukosa yang dapat
menyebabkan faringitis, bronchitis, asma, dan gangguan nafas lain, serta
gangguan bau. Gejala keracunan akut dapat dilihat dari adanya sesak nafas dan
iritasi mata (Depkes, 1994).
2. Keracunan oleh karbonmonoksida
Karbonmonoksida mempunyai sifat berbeda dengan gas pencemar udara lain.
Umumnya gas pencemar lain akan mengganggu saluran pernafasan dan masuk ke
dalam aliran darah setelah melewati paru-paru dan bereaksi dengan haemoglobin
dalam
darah
membentuk
Carboksihaemoglobin
(CoHb)
sehingga
akan
menghambat fungsi normal Hb dalam membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Hal tersebut diakibatkan afinitas pembentukan CoHb adalah 240
kali lebih cepat dibandingkan dengan afinitas oksigen. Gejala keracunan CO
adalah sesak nafas karena kekurangan oksigen. Gejala awal penderita akan
terlihat pucat yang kemudian dapat berakibat kematian jika tidak segera
mendapatkan oksigen. Hb dalam darah akan segera melepaskan CO apabila
penderita telah mendapatkan udara yang kaya akan oksigen. Kehadiran CO dalam
tubuh akan mengganggu proses oksigenasi (Depkes, 1994).
Gejala keracunan akut akibat karbonmonoksida ini seperti sakit kepala, mual dan
pusing, serta sesak nafas/ nafas tidak teratur, suhu badan turun, shock, peredaran
darah tepi tidak lancar dan bisa terjadi oedema paru-paru. Keracunan CO ini
sifatnya reversibel akan tetapi jika tidak segera ditangani dapat berakibat fatal.
Jantung dan otak adalah organ-organ yang paling peka terhadap kurangnya
oksigen di dalam tubuh, sehingga organ-organ tersebut paling parah ketika
keracunan gas CO. Kadar COHb dalam darah akan bergantung dari CO di udara
yang dihirup melalui pernafasan, lama terpapar, dan kapasitas paru-paru untuk
menampung udara. Gejala pembentukan CoHb akan lebih cepat terjadi pada
perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok (Depkes, 1994).
3. Keracunan oleh nitrogen oksida (NOx)
Pengaruh langsung dari NO2 terhadap kesehatan tidak diketahui dengan jelas,
namun nitrogen monoksida (NO) dalam kadar yang cukup tinggi dapat bereaksi
dengan haemoglobin dan mempunyai sifat yang serupa dengan CO serta dapat
menghalangi fungsi normal Hb dalam darah. NO2 dapat menyebabkan iritasi mata
dan saluran pernafasan. Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh
nitrogen oksida ini diantaranya pada kadar 13 ppm dapat menimbulkan iritasi
selaput lendir saluran pernafasan. Keracunan nitrogen oksida pada kadar 100-150
ppm dalam 60 menit dapat menimbulkan kematian.
Gejala akut yang diperlihatkan dari keracunan nitrogen oksida diantaranya sakit
kepala, tenggorokan kering, batuk-batuk, nafas pendek, suhu badan naik, dan
nyeri dada kanan hingga terjadinya oedema paru-paru. Gejala klinis yang
diperlihatkan dapat berupa iritasi ringan, rasa terbakar dan nyeri pada
tenggorokan dan dada, batuk, dan nafas pendek (Depkes, 1994).
4. Oksidan (Ozon)
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh keracunan ozon diantaranya
gangguan keseimbangan otot mata, gangguan penglihatan, gangguan adaptasi
ruang gelap, mulut kering, perubahan pada alat pengecap, gangguan konsentrasi/
berfikir, nyeri dada, lemah kaki dan tangan, susah tidur, dan batuk. Gangguan
kronis dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan tumor paru.
5. Keracunan oleh debu
Pengaruh partikel padat maupun cair yang berada di udara sangat bergantung
kepada ukuran, konsentrasi, dan komposisi/ komponen kimiawi. Partikulat yang
terhirup bersama udara inspirasi ke dalam sistem pernafasan akan terdeposisi
dalam tiga bagian sistem respirasi berdasarkan anatominya. Bagian pertama yaitu
bagian extrathoracic (hidung dan mulut). Partikel yang berukuran >10μm akan
terdeposit di rongga hidung karena tersaring oleh rambut-rambut halus di dalam
rongga hidung ini. Partikel, pada bagian ini dapat dikeluarkan kembali melalui
hembusan udara ekspirasi atau ketika bersin. Jika bernafas melalui mulut maka
kemungkinan partikulat akan terbawa hingga 65% dan masuk ke dalam sistem
gastrointestinal. Bagian kedua adalah bagian tracheobronchial. Partikulat yang
dapat masuk ke dalam bagian ini adalah yang berukuran ≤ 10μm. Proses
pengeluaran partikulat di bagian ini dapat dilakukan oleh mekanisme tubuh
melalui pengeluaran dahak. Makin kecil diameter partikel maka makin jauh
masuk ke dalam saluran pernafasan. Partikel yang tertangkap oleh saluran yang
memiliki silia akan dilempar kembali ke tenggorokan dan akan dikeluarkan
bersama dahak (Depkes, 1994., Health Canada, 2005).
Partikel berukuran 2,5 μm dapat terdeposit hingga paru-paru dan merusak
jaringan di dalamnya. Partikulat yang mudah terlarut akan menembus alveoli dan
ikut tersirkulasi ke seluruh tubuh bersama aliran darah. Alveoli tidak memiliki
silia, sehingga partikel yang mengendap pada alveoli akan menyerang jaringan
paru-paru. Partikel padatan seperti silika akan menyebabkan luka dan akhirnya
mengakibatkan fibrosis pada alveolar sehingga mengganggu pertukaran gas dan
elastisitas jaringan. (Hinds, 1982; Health Canada, 2005).
Partikel debu yang melayang dan terbawa angin akan menyebabkan iritasi pada
mata dan dapat menghalangi pandangan mata. Adanya serpihan logam beracun
yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya terbesar bagi kesehatan.
Umumnya udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar
0.01% sampai 3% dari seluruh partikel di udara, namun logam tersebut bersifat
akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh.
Logam yang terkandung di udara dan masuk ke dalam tubuh lewat udara inspirasi
mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan dosis yang sama jika
berasal dari makanan atau air minum (Depkes, 1994).
Selain gangguan pada fungsi penglihatan, gangguan lainnya adalah dapat
menimbulkan peradangan pada saluran pernafasan, iritasi kulit, radang paru-paru,
bahkan hingga kanker paru-paru. Salah satu kerusakan paru-paru akibat
menghirup udara yang mengandung respirable partikulat dapat mengakibatkan
penyakit pneumoconiosis (paru-paru berdebu) yaitu kerusakan pada sel-sel alveoli
dan bronkus yang kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat (fibrosis)
(Soemirat, 2003). Pengerasan pada jaringan paru-paru mengakibatkan paru-paru
tidak lagi dapat menjalankan fungsinya dalam pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang seterusnya akan disalurkan ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme agar tubuh dapat berfungsi dengan baik. Jika
pasokan oksigen yang cukup tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerusakankerusakan jaringan dan organ-organ yang lain dan berujung pada kematian
(Soemirat, 2003).
6. Keracunan oleh timah hitam (Pb)
Timah hitam (Pb) dapat bereaksi dengan grup sulfihidril dari protein dan
menyebabkan presipitasi protein sehingga menghambat pembuatan haemoglobin.
Paparan timah hitam yang melampaui nilai ambang dapat menimbulkan gangguan
seperti anemia, keracunan pada susunan saraf, kerusakan otak, kelemahan mental
dan encephalopathy. Menurut WHO kandungan normal timah hitam dalam darah
sebesar 10-25 mg/dl. Gejala keracunan akut yang diperlihatkan dari keracunan Pb
diantaranya hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia
arthralgia, kelumpuhan anggota badan, kejang, serta gangguan penglihatan
(Depkes, 1994).
7. Keracunan oleh hidrogen sulfida (H2S)
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh keracunan hidrogen sulfida
antara lain asphixia, merusak sistem saraf penciuman, merusak ginjal dan hati,
iritasi mata, kerongkongan, dan mabuk (Depkes, 1994).
8. Keracunan oleh amoniak (NH3)
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan dari keracunan amoniak antara lain
radang saluran pernafasan bagian atas. Konsentrasi NH3 sebesar 280-490 mg/m3
menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, dan nasal. Konsentrasi sebesar 17004500 mg/m3 dapat menyebabkan oedema paru-paru. Efek lain gas ammonia
adalah menimbulkan bau yang merangsang sehingga mengganggu kenyamanan
dan konsentrasi (Depkes, 1994).
9. Keracunan hidrokarbon (HC)
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat keracunan hidrokarbon antara
lain efek kelelahan, leucopenia, anemia, serta menimbulkan efek karsinogenik.
Adanya berbagai jenis hidrokarbon yang dihasilkan di udara mengakibatkan sukar
dicari pengaruh spesifiknya terhadap lingkungan. Hidrokarbon yang reaktif
memegang peranan penting dalam pembentukan `smog` yang dapat menyebabkan
kematian seperti yang pernah terjadi di London pada tahun 1952.
Beberapa jenis hidrokarbon dinyatakan mempunyai implikasi terhadap masalah
kesehatan seperti adanya hubungan antara benzene-(a)-pyerene dengan
pertumbuhan kanker. Jenis hidrokarbon aromatik juga dicurigai mempunyai sifat
yang serupa (Depkes, 1994). Tabel II.5 menunjukkan contoh beberapa toksikan
yang berbahaya bagi paru-paru beserta sumber dan efeknya.
Tabel II.5 Beberapa toksikan paru-paru, sumber, serta efeknya
Toksikan
Sumber Industri
Efek
Debu Alumunium
Keramik, cat, elektrik, api
Fibrosis
Asbestos
Tambang, konstruksi, perkapalan
Asbestosis, kanker paru-paru
Debu
Senyawa kromium, pigmen cat
Kanker paru-paru
Silika
Tambang,
Silicosis
quarry,
pertanian,
konstruksi
Sulfur-oksida
Pembakaran, bleaching, fumigasi,
Iritasi
refrifgerasi
Talcum
Kosmetika, pabrik karet
Fibrosis
Ammonia
Pupuk ammonia, peledak
Iritasi
(Sumber: Hodgson dan Levi, 1997 dalam Soemirat, 2003)
II.6 Baku Mutu Kualitas Udara
Tahun 1971 US EPA menetapkan standar pertama untuk materi partikulat dalam
National Ambient Air Quality Standard (NAAQS) dalam bentuk Total Suspended
Particulate (TSP). Tahun 1987 standar tersebut diganti dengan PM10 mengingat
sifat aerodinamiknya, yaitu sebesar 50 μg/m3 untuk rata-rata tahunan dan sebesar
150 μg/m3 untuk rata-rata 24 jam. Tahun 1997, setelah banyak penelitian
mengenai sifat aerodinamik PM2,5 yang berkaitan erat dengan angka mortalitas
dan morbiditas, maka ditetapkan standar untuk PM2,5 adalah sebesar 15 μg/m3
untuk rata-rata tahunan, dan 65 μg/m3 untuk rata-rata 24 jam (Fierro (2000), PPRI
No 41 Tahun 1999).
OSHA (The Occupational Safety and Health Administration) menetapkan baku
mutu yang berlaku di lingkungan kerja. Batas aman untuk total partikulat yang
bersifat umum (tidak diidentifikasikan khusus) selama 8 jam TWA (Time
Weighed Average) PEL (Permissible Exposure Limit) adalah 15 mg/m3 dan 5
mg/m3 untuk ukuran yang terespirasi. Partikulat dengan ketetapan khusus
(terdapat keterangan toksikologis) ditetapkan TWA PEL sebesar 10 mg/m3 untuk
total partikulat, dan 5 mg/m3 untuk ukuran terespirasi (OSHA, 1989). Indonesia
telah mengatur baku mutu konsentrasi pencemar di udara ambien berdasarkan
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 seperti yang diperlihatkan dalam Tabel
II.6.
Tabel II.6 Baku mutu udara ambien
No.
1
Parameter
SO2
(Sulfur Dioksida)
2
CO
(Karbon Monoksida)
3
NO2
(Nitrogen Dioksida)
4
O3 (Oksidan)
5
HC (Hidrokarbon)
6
PM10 (Partikel < 10 um )
PM2,5 ((Partikel < 2,5 um )
7
TSP (Debu)
8
Pb (Timah Hitam)
9.
Dustfall (Debu Jatuh )
10
Total Fluorides (F)
11.
Fluor Indeks
12.
Khlorine & Khlorine
Dioksida
Sulphat Indeks
13.
Waktu Pengukuran
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
1 Thn
3 Jam
Baku Mutu
900 μg/m3
365 μg/m3
60 μg/m3
30.000 μg/m3
10.000 μg/m3
400 μg/m3
150 μg/m3
100 μg/m3
235 μg/m3
50 μg/m3
160 μg/m3
24 Jam
24 Jam
1 Thn
24 Jam
1 Thn
24 Jam
1 Thn
30 hari
150 μg/m3
65 μg/m3
15 μg/m3
230 μg/m3
90 μg/m3
2 μg/m3
1 μg/m3
10 Ton/km2/Bulan
(Pemukiman)
20 Ton/km2/Bulan (Industri)
3 μg/m3
0,5 μg/m3
40 μg/100 cm2
dari kertas limed filter
150 μg/m3
24 Jam
90 hari
30 hari
24 Jam
30 hari
1 mg SO3/100
cm3 Dari Lead
Peroksida
(Sumber : PPRI No 41/1999)
Penentuan baku mutu kualitas udara didasarkan pada efek dari parameter
pencemar terhadap kesehatan (Seinfield, 1986). Pengukuran parameter oksidaoksida sulfur menggunakan variabel utama rata-rata tahunan aritmatik dari rata-
rata harian (24 jam). Dalam menentukan nilai ambang batas oksida-oksida sulfur
(SOx) didasarkan pada hasil penelitian dan literatur yang menyebutkan bahwa
pada konsentrasi 0,2 ppm peningkatan angka kematian telah diamati (Soedomo,
1999).
Variabel yang diukur dalam penentuan konsentrasi CO di atmosfer adalah
konsentrasi rata-rata selama 8 jam, yang kemudian dirata-ratakan dalam satu
tahun. Efek yang membahayakan pada manusia telah diamati pada paparan CO
dengan konsentrasi 12 hingga 17 mg/m3 (10-15 ppm) selama 8 jam. Pengaruh
kesehatan ini terdiri atas tekanan fisiologikal, keracunan darah dan lain-lain. Pada
konsentrasi 8-14 ppm telah terbukti adanya kaitan paparan CO dengan
meningkatnya kematian penderita penyakit jantung (Soedomo, 1999).
Konsentrasi oksida nitrogen di udara diukur dalam variabel rata-rata tahunan dari
rata-rata konsentrasi harian (24 Jam). Pada konsentrasi di bawah 0,05 ppm, oksida
nitrogen tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Paparan NOx di
atas konsentrasi 0,05 ppm akan menyebabkan kejadian gangguan pernafasan akut
(Soedomo, 1999).
Ozon merupakan senyawa paling dominan dari oksidan fotokimia. Variabel yang
digunakan untuk mengukur dampak oksidan ini adalah konsentrasi puncak harian
1 jam yang tidak boleh dilampaui satu kali dalam satu tahun. Konsentrasi
maksimum oksidan umumnya terjadi selepas tengah hari setelah kulminasi
matahari. Konsentrasi puncak harian ini mencerminkan efek akumulasi konversi
dan transformasi serta transport oksidan yang terjadi selama reaksi HC dan NOx.
Setelah mencapai puncaknya, konsentrasi oksidan akan menurun akibat transport
dan proses penyisihan atmosfer. Pada malam hari, konsentrasi oksidan mencapai
tingkat minimum harian. Karena itu konsentrasi oksidan dinyatakan dalam ratarata 1 jam. Konsentrasi alami ozon berkisar antara 30-45 ppb (Soedomo, 1999).
Variabel yang diukur dalam penentuan baku mutu partikulat/debu adalah
konsentrasi rata-rata harian (24 jam). Partikulat yang terukur merupakan
gabungan dari semua jenis partikel, padat dan cair yang dirata-ratakan dalam 24
jam. Masalah gangguan visibilitas dan kesehatan manusia akan mulai terlihat jika
konsentrasi partikulat di atmosfer telah mencapai 26 μg/m3 (Soedomo, 1999).
Hidrokarbon dinyatakan sebagai hidrokarbon total (THC), dengan variabel
pengukuran adalah konsentrasi rata-rata tahunan dari rata-rata 3 jam harian (pukul
06.00 – 09.00). Dasar pengukuran tiga jam pada pagi hari adalah berkaitan
dengan pembentukan oksida fotokimia. Dalam periode tersebut, sumber utama
hidrokarbon yaitu kendaraan bermotor memberikan konsentrasi HC puncak di
atmosfer. Kehadiran sinar ultra violet merupakan salah satu faktor yang
menginisiasi reaksi konversi hidrokarbon dengan oksida-oksida nitrogen menjadi
ozon fotooksidan. Konsentrasi HC sebesar 0,15-0,25 ppm merupakan konsentrasi
yang memicu awal terbentuknya smog oksidan. Terbentuknya smog oksidan akan
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan (Soedomo, 1999).
Download