bab iv landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis

advertisement
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Filsafat yang mendasari penyususnan rancangan peraturan daerah
tentang penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren ini adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan
pemerintah daerah bersama masarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam diri
manusia terdapat “trisakti” jiwa, yakni : cipta, rasa, dan karsa.1 Dengan bercermin
pada pikiran filsafat Plato,2 Ki Hajar menjelaskan bahwa cipta merupakan daya
berpikir akal, terletak di kepala, dan mencita-citakan kebijaksanaan; rasa
merupakan kehendak hati, terletak di dada, dan mencita-citakan keberanian,
sedangkan karsa merupakan hasrat nafsu, terletak di perut, dan menghendaki
kendali kesopanan.
Dalam perspektif Islam, manusia adalah ruh yang berjalinkelindan dengan
jasad. Ia merupakan substansi yang mempunyai daya hidup, berpikir dan
mengetahui dengan akalnya. Manusia sejak lahir dihiasi naluri hidup, naluri
seksual, dorongan kepada prestise dan kesenangan dunia.3 Di sisi lain, dimensi
ruh menuntut manusia untuk berpuasa, menahan diri, dan mendengar suara hati
untuk bertindak sesuai panggilan jiwa: berkontribusi.4 Dalam perjalanan sejarah,
tarik menarik dimensi jasad dan ruh itu melibatkan akal yang mempertimbangkan
konteks, dalil, dan alasan sosial. Di sinilah peran manusia sebagai khalifatullah di
muka bumi. Berfungsinya “trisaskti” jiwa [jiwa-raga-akal] tersebut secara
bersama sebagai satu kesatuan menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan
manusia Indonesia yang [1] adil dan [2] beradab.
1Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
1977, cet-2., h. 451.
2Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung: Mizan, 2002, cet-XII., h. 111
3 QS. Alu Imran [3]: 14
4Qs. An-Nazi‟at [79]: 40-41
62
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Berani
Sopan
Bijaksana
Gambar 4.1
Karakter Utama Manusia Indonesia Seutuhnya
Pendidikan diselenggarakan untuk menyiapkan manusia Indonesia yang memiliki
tiga karakter di atas sesuai tahapan perkembangan anak, peserta didik. Pada
tahapan perkembangan anak usia dini dan sekolah dasar, karakter sopan
menjadi landasan pengembangan cipta, rasa, dan karsa peserta didik melalui
pendidikan akhlak dan budi pekerti. Pada ahapan perkembangan anak di
sekolah menengah, karakter berani menjadi landasan pengembangan cipta,
rasa, dan karsa peserta didik melalui pendidikan sejarah sosial perjuangan
bangsa. Dan pada tahap perkembangan pendidikan sarjana, karakter bijaksana
menjadi landasan pengembangan cipta, rasa, dan karsa peserta didik melalui
pendidikan keahlian sesuai minat dan bakat masing-masing peserta didik.
Lebih lanjut, rumusan manusia Indonesia seutuhnya dijabarkan sebagai tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tertulis dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, bahwa pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
63
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
• Berakhlak
mulia (SQ)
• Cakap (PQ)
Beriman dan
bertakwa
kepada Tuhan
YME (SQ)
Sehat (PQ)
Mandiri (EQ)
Berilmu (IQ)
• Bertanggung
jawab (EQ)
• Kreatif (IQ)
Gambar 4.1
Kriteria Manusia Indonesia Seutuhnya
Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya mengacu pada penanaman dan
pengembangan nilai-nilai ilahiah (keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME)
dan
nilai-nilai
insaniah
(kemandirian,
demokratis,
dan
tanggungjawab).
Sedangkan menempatkan nilai “demokratis” pada posisi sentral dalam gambar di
atas, memberi pesan bahwa secara teologis, tujuan pendidikan dalam konteks
ke-Indonesiaa adalah meneguhkan identitas setiap warga negara dalam taman
sari kemajemukan Indonesia. Setiap orang menghargai perbedaan keyakinan
dan agama; menghoramti perbedaan pemikaran dalam keragaman, dan
bersedia bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita bersama, yakni terwujudnya
dunia yang tertib, aman, damai, adil, dan sejahtera. Dengaan demikian,
pendidikan berkontribusi besar untuk menjadikan keragaman suku bangsa, etnis,
bahasa, dan budaya nusantara sebagai kekuatan dalam menciptakan sinergi
nasional mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, dan berdaya saing dalam
pergaulan dunia internasional.
Tujuan pendidikan sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional,
secara yuridis mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012, tanggal 17 Januari 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional
Indonesia (KKNI). Secara umum, tujuan pendidikan adalah membentuk
kepribadian bangsa Indonesia sesuai dengan nilai budaya luhur yang
64
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
bersendikan agama, sebagai berikut:
a. Bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
b. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam
menyelesaikan tugasnya.
c. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta
tanah air serta mendukung perdamaian dunia.
d. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan
kepedulian
yang
tinggi
terhadap
masyarakat
dan
lingkungannya.
e. Menghargai
keanekaragaman
budaya,
pandangan,
kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan original
orang lain.
f. Menjunjung
tinggi
penegakan
hukum
serta
memiliki
semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta
masyarakat luas.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan berkewajiban untuk mencapai visi pendidikan nasional, yakni
“terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah”. Sejalan dengan visi tersebut, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan berhasrat pada tahun 2025 menghasilkan: INSAN
INDONESIA CERDAS KOMPREHENSIF DAN KOMPETITIF.
Pembangunan manusia Indonesia sebagaimana dicita-citakan di atas,
menurut Ki Hajar Dewantoro, mengharuskan adanya sistem pendidikan nasional
yang bersendikan agama dan kebudayaan bangsa. Sistem pendidikan nasional
itu disebut “pawiyatan”, “asrama”, atau “pondok”.5Hal ini berlaku pada pendidikan
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
1977, cet-2., h. 370
5
65
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
rakyat yang berhaluan kebangsaan seperti Taman Siswa ataupun yang
berhaluan keagamaan seperti Pesantren (Islam), Pasraman (Hindu), dan
Pabbajja Samanera (Budha). Asas pendidikan nasional adalah rasa kebangsaan
yang digali dari tradisi dan nilai-nilai yang berurat akar dalam kebudayaan
bangsa Indonesia, yang berbeda dengan sistem sekolah di benua Eropa.
Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1937, telah mengkritik keberadaan
“industri kos-kosan” di lingkungan sekolah Belanda sebagai wahana yang
merusak perasaan kesucian, adat istiadat, dan rasa kebangsaan. Apalagi dalam
konteks sekarang, di mana sekolah tidak lepas dari incaran jaringan NARKOBA
dan terorisme. Keberadaan Masjid dan asrama dalam tradisi pendidikan pribumi
Indonesia memiliki nilai dan pesan religius, tidak terbatas hanya rumah tinggal,
tetapi juga sebagai tempat belajar ilmu, tempat berkontemplasi dan pembinaan
karakter berbasis agama dan kearifan budaya. Dalam sistem asrama rasa
kebersamaan dalam semangat kekeluargaan dan persatuan nasional dijunjung
tinggi.Hal ini berbeda dengan “industri kos-kosan” yang berada di luar sistem dan
tidak terkait dengan sekolah. Hal inilah, antara lain yang melandasi pemikiran
tentang perlunya “full day school” yang digagas kementerian pendidikaan dan
kebudayaan.
Pendidikan yang bersendikan agama mengajarkan kitab suci sebagai
kurikulum inti. Kurikulum inti di Pesantren adalah Al-Qur‟an. Oleh karena itu,
Pesantren dikenal sebagai lembaga “Tafaqquh fi al-Din”, yang berfungsi
melaksanakan (1) transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam, (2) pemeliharaan
tradisi Islam, dan (3) kaderisasi ulama.6 Doktrin gerakan intelektual kaum santri
ini didasarkan pada firman ALLAH SWT surat At-Taubah [9], ayat 122 yang
artinya
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semua (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang
Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren,
(Jakarta: Paramadina, 1997), cet-I., h. xxi.
6
66
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga
diri.”
Untuk memahami, apa itu tafaqquh fid din, kita terlebih dahulu
menganalisis makna fiqh dan din. Dalam al-Qur‟an, kata “‫ ”فقه‬dengan segala
bentuknya disebutkan sebanyak 20 kali.7 Secara etimologis kata “‫ ”فقه‬berarti tahu
(‫)علم‬, paham (‫)فهم‬, dan cerdas (‫)فطن‬.8 Al-Jurjani memaknai arti “fiqh” dengan:
kemampuan menerima pesan dengan pemahaman yang tepat dari pembicaraan
sesuai maksud pembicara.9 Pemahaman fiqh dari segi kebahasaan ini berkaitan
dengan kecakapan komunikasi lisan, sebagaimana doa Nabi Musa yang
diabadikan dalam surat Taha [20]: 25-28.
Menurut Murtado Muthohari, arti kata “fiqh” mengacu pada pemahaman
persepsi
yang
benar
dan mendalam, yang
membutuhkan
pengerahan
kecerdasan dan penalaran logis dan sistematik.10 Menurut ar-Ragib al-Ishfahani,
kata “fiqh” secara filosofis berarti kemampuan memahami realitas empirik untuk
mengenal adanya relaitas transendent.11 Sedangkan menurut Ismail Raji alFaruqi, terminologi “fiqh” berarti pengetahuan mendalam tentang esensi ilmu dan
penjelasan.12 Menurut Naquib al-Attas, “fiqh” adalah wawasan dan kecermatan
keagamaan yang menghasilkan ketakwaan.13
Muhammad Fuad „Abd. al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)., h. 667.
Menurut Madj al-Din Muhammad bin Ya‟qub al-Fairuz Adaby dalam kitab Bahrul Muhit, kata Fiqh memiliki
makna yang sepadan dengan kata ‘Ilm. Menurut Ibn Munzir dalam Lisan al-‘Arabi kata Fiqh sinonim dengan kata
Fahm, Hadzf, dan Fatona. Sedangkan J. Milton Cown dalam Hans Wehr A Dictionary of Modern Written Arabic
menerjemahkan kata Fiqh dengan kata undrastanding, comprehension, dan knowladge.
9 Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Jiddah: al-Haramain, tt)., h. 168
10 Murtadho Muthohari, Islam dan Tantangan Zaman, (Bandung: Mizan, 1996)., h. 165
11 Abu Suja‟ Ahmad ar-Ragib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)., h.
384.
12 Ismail Raji al-Faruqi, Islam dan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 1984)., h. 43.
13 Sayyid Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. Dalam sejarah
pemikiran Islam, pengertian terma “fiqh” sebagai ilmu mengalami pergeseran. Menurut al-Gazali dan Hasan Basri,
pada masa awal Islam, terma “fiqh” menurujuk pada corak pemikiran dan gaya hidup sufistik, seperti pengetahuan
esoterik, penyakit hati, dan zuhud. Namun dalam perkembangannya, sampai abad ke II hijriyah, fiqh meliputi masalah
teologi dan hukum Islam. Lalu, setelah abad yang ke II hijriah, ruang lingkup kajian fiqh sebagai ilmu direduksi hanya
pada aspek hukum, bahkan halal haram saja.
Fiqh adalah pengenalan tentang hak dan kewajiban manusia (kepada Allah, dirinya sendiri, dan
lingkungannya).
7
8
67
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Menurut Abu Hazim asy-Syaibani,14 kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an yang
menunjukkan makna “kecermatan pemahaman dan ilmu yang mendalam”
tersebar dalam sembilan belas ayat dari dua puluh ayat. Lebih lanjut, menurut
Yusuf Qardhawi, kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an berhubungan dengan pemahaman
mendalam qalbu (baca: akal budi) manusia tentang esensi wahyu ilahi; hakikat
manusia dan tujuan hidupnya; hukum sejarah dan hakikat perjuangan; serta
tanda-tanda kekuasaan ALLAH SWT yang beroperasi di alam jagat raya, yang
membawa ke arah hidayah ALLAH SWT. 15
Makna filosofis dari kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an digunakan dalam banyak
konteks. Ditinjau dari segi periode nuzul Al-Qur‟an terlihat ada perbedaan
konteks antara periode Makkah (Makiyah) dan periode Madinah (Madaniyah).
Pada ayat-ayat yang nuzul di Makkah, makna “fiqh” berhubungan dengan proses
penaman iman dan pendidikan akhlak mulia. Sedangkan pada ayat-ayat yang
nuzul di Madinah berhubungan dengan teologi perang dan jihad intelektual.
Munasabah makna “fiqh” pada ayat Al-Qur‟an yang nuzul di Makkah,
antara lain memahami bahasa komunikasi lisan(Qs. Al-Kahfi [18] : 92-93),
memahami sifat dan cara kerja alam(Qs. Al-Isra` [17]: 44), memahami wahyu
ilahi(Qs. Al-Isra` [17]: 45-46, Al-Kahfi: 57; Hud: 91; dan Al-An`am: 25),
memahami jati diri dan peran manusia (Qs. Al-An`am [6]: 98), dan memahami
hukum sejarah (Qs. Al-An`am [6]: 65). Sedangkan munasabah ayat dalam surat
Al-Qur‟an yang nuzul di Madinah berhubungan dengan teologi perjuangan(Qs.
Al-Anfal [8] : 65), memahami hakikat kontribusi dan pengorbanan(Qs. AlMunafiqun [63]: 7), dan menyemai gerakan intelektual (Qs. At-Taubah [9]: 122).
Makna tafaqquh fi al-din adalah usaha sadar dan terencana untuk memahami
makna
transendental
wahyu
[Al-Quran],
sunnah
dan
hudud
dengan
Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf
yang diistinbatkan dari dalil-dalil yang terperinci.
14 Abu Hazim asy-Syaibani, Yas’alunaka Fi al-Din wa al-Hayah, (Beirut: Dar al-Jail, 1980)., Juz I., cet.IV., h.
10
15 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani Pers,
1996)., cet-I., h. 213
68
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
penjelasannya yang rinci, secara bertahap,16 berjenjang, mulai dasar, menegah,
dan tinggi.
Asbab nuzul suart at-Taubah, ayat 122 di atas berpautan dengan
ekspedisi Tabuk. Perang terakhir yang terbesar pada zaman Rasulullah, dan
merupakan penggenap titah perang fisik, jihad bis-saif wal-qital.17 Dalam ayat ini,
umat Islam tidak diperkenankan berangkat perang seluruhnya, tetapi juga tidak
diperkenankan meninggalkan perang seluruhnya. Menurut Rasyid Ridho,
tafaqquh fi al-din merupakan bentuk jihad intelektual, yakni jihad bi al-hujjah wa
al-burhan.18 Menurut buya HAMKA, jihad intelektual dilakukan kaum terpelajar
yang berada di garis belakang untuk membangun opini, diplomasi dan
memperdalam pengertian agama,19pemahaman mendalam tentang esensi AlQur‟an. Rumusan ini selaras dengan doa Rasulullah SAW kepada Ibn „Abbas
sebagai berikut:
(‫اللّيم فقّيو يف ادلين و علّمو اتويهل (رواه مسمل‬
“Ya ALLAH berikanlah (kepada Ibn „Abbas) pemahaman tentang
agama.” (HR. Muslim).
Makna tafaqquh fi al-din dalam doa nabi di atas, menurut Ibn Mundzir
adalah memahami esensi kitab al-Qur‟an dan rahasia maknanya serta sunnah
(hadits) nabawi sebagai penjelasan Al-Qur‟an. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa al-Qur‟an sebagai kitab wahyu ALLAH SWT merupakan satu-satunya
sumber pengetahuan dan pedoman hidup.20 Sejarah juga mencatat bahwa Ibn
„Abbas merupakan tokoh yang paling paham al-Qur‟an pada masanya; dan
sampai sekarang dipandang sebagai “bapak tafsir pendekatan filologis.” 21
Syekh Muhammad Nawawi, Marah Labid, jilid I, h. 359
Imam Muhammad ar-Razi Fakhruddin, dalam Tafsir al-Fakh ar-Razi bi Tafsir al-Kabir Miftah al-Mughits,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Jilid XV., h. 231., mengemukakan bahwa ada perbedaaan pendapat di antara para mufassir
tentang sebab nuzul ayat ini, apakah ayat ini turun dalam konteks jihad atau dalam konteks hijrah? Dalam tulisan ini
cenderung pada konteks jihad.
18 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar-al-Fikr, tt)., Jilid XI., h. 77
19 Prof. Dr. HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Panjimas, 1985, Juz XI., cet-I, h. 87.
20 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997)., h. 305
21 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1986)., h. 90
16
17
69
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Tafaqquh fi al-Din berarti usaha sungguh-sungguh dan bertahap
mengungkapkan makna transendental wahyu: abstraksi-abstraksi filosofis,
teologis, dan saintifik dalam Al-Quran. Pada saat yang sama berusaha
menafsirkan realitas sosial dengan pandangan dunia Al-Qur‟an. Makna tafaqquh
fi al-Din tidak cukup dengan memahami nash Al-Qur‟an secara tekstual. Fiqh
tidak berhenti pada ideologi dan pemikiran normatif. Tapi harus memberi arah
dan panduan dalam menjawab pertanyaan praksis: how to do it?
Dalam bidang ekonomi, seorang disebut “faqih” dengan keahlian
manajemen yang diperlukan untuk mengoperasikan bisnis; memiliki penilaian,
ketekunan, dan pengetahuan tentang dunia; melakukan estimasi dengan akurasi
yang bisa diterima, memahami arti penting dari produk spesifik, perkiraan jumlah
permintaan, dan alat-alat produksi; membeli dan memesan bahan baku,
mengumpulkan pekerja, mencari konsumen, dan memberi perhatian penuh
kepada disiplin waktu, perencanaan, dan kendali mutu,
serta kondisi
perekonomian.
Medan jihad intelektual secara intensif terjadi terutaama utama pada saat
Islam bersentuhan dengan peradaban Romawi dan Persia serta masuk pada
peradaban Yunani. Intelektual muslim berusaha memahami dan menafsirkan
makna Al-Qur‟an secara cermat ke dalam situasi baru kepada mereka yang baru
masuk Islam, dan bukan berasal dari latar belakang budaya Arab. 22 Para ahli
hadits berusaha mencari jawaban tentang makna ayat Al-Qur‟an langsung dari
keterangan hadits nabi, kemudian mencari jawaban melalui ra‟yu (nalar). Hal ini
didasarkan pada argumen bahwa nabi sebagai pembawa risalah merupakan
sumber interpretasi yang paling utama terhadap kebenaran-kebenaran yang
direfleksikan dan dikandung dalam lambang-lambang wahyu Al-Qur‟an.
Dalam menjalankan peran jihad intelektual, seorang cendekiawan
memerlukan senjata dan keahlian, sebagaimana tentara Mujahidin memerlukan
kekuatan mental, fisik dan perlengkapan perang, seperti kuda, pedang, prisai,
dan penguasaan medan dalam jihad bil qital. Di medan jihad intelektual, seorang
22
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994) cet-I., h. 11
70
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Mujtahid
memerlukan
perlengkapan,
berupa
keterampilan
akademik.
Keterampilan akademik dimaksud, antara lain:
1. Ilmu-ilmu pengantar atau ilmu-ilmu alat, antara lain ilmu tulis-menulis
dan berbagai cabang ilmu kebahasaan dan satra Arab
2. Ilmu-ilmu Qur‟an termasuk, di dalamnya ilmu tafsir (interpretasi) AlQuran, yakni pengetahuan tentang: nasikh mansukh, asbab an-nuzul,
ta‟wil, dan seterusnya.
3. Ilmu-ilmu tentang Hadis Nabawiyah (tradisi nabi) seperti ilmu penukilan
(periwayatan) hadis.
4. Pengetahuan tentang ijma‟ (konsensus) dan asar as-sahabah (tradisi
para sahabat)
5. Logika dan ilmu tentang pokok-pokok yurisprudensi (usul al-fiqh),
6. Filsafat. Pengajaran filsafat ini hanya sah jika berakar dalam-dalam
pada tradisi wahyu dan tidak diceraikan darinya.
Perlengkapan akademik di atas diperlukan para santri untuk menggali
makna dan hukum Islam yang ada dalam Al-Qur‟andan hadits. Pada umumna
kajian Islam di Pesantrenmengambil tema fikih. Di lihat dari substansi materi,
tema fikih meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungaannya
dang ALLAH (ubudiyah) maupun kehidupan muamalah dengan sesama. Secara
umum isi substansi tema fikih yang dipelajari di Pesantren, meliputi:

Kitab at-Thaharah (Bab bersuci)

Kitab ash-Shalat (Bab Shalat)

Kitab az-Zakat (Bab Zakat)

Kitab ash-Shiyam (Bab Puasa)

Kitab al-Hajj (Bab Haji)

Kitab al-Buyu‟ (Bab Transaksi Komersial)

Kitab al-Faraid wal-Washaya (Bab Pembagian Harta Pustaka)

Kitab an-Nikah (Bab Perkawinan)

Kitab al-Jinayat (Bab Pidana Islam)

Kitab al-Jihad (Bab Etika Perang)
71
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang

Kitab ash-Shaid wadz-Dzabaih wadh-Dhahaya wal-Ath‟imah (Bab
Perburuan, Penyembelihan dan Makanan)

Kitab as-Sabqi war-Ramyi (Bab Kompetisi Olahraga)

Kitab al-Aqdhiyah (Bab Peradilan Islam)

Kitab al-„Itqi (Bab Pembebasan Budak)
Kajian fikih yang dikembangkan Pesantren meliputi bidang ilmu-ilmu
sosial dan humaniora ang luas. Meliputi kitab keluarga dan kemasyarakatan,
ekonomi dan bisnis, politik dan pemerintahan, hukum dan perundang-undangan
dan seterusnya. Fikih sebagai induk ilmu pengetahuan meliputi cabang-cabang
ilmu sosial humaniora yang dikenal dalam sain modrn.Lebih lanjut kajian AlQur‟an dan sunnah relevansinya dengan teori penciptaan semesta: penciptaan
unta, langit, gunung, bumi dan seterusunya. Achmad Baiquni seorang guru besar
fisika terkemuka di Indonesia menegaskan demikian:
“Di dalam ayat-ayat al-Qur‟an dinyatakan gejala-gejala alam sebagai ayatayat Allah yang memperlihatkan kekuasaan-Nya. Tidaklah cukup kita
membaca ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Qur‟an untuk meyakini kebesaran
dan kekasaan Allah; mengapa kita diperintahkan untukmemeriksa alam di
sekeliling kita? Pertama, karena memang ciptaan Allah yang dinamakan
alam semesta ini berisikan tanda bukti dan pameran dari kebesaran-Nya.
Kedua, karena menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur‟an tidaklah
mudah… Tidaklah mudah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an – terutama
tentang gejala alam raya – tanpa intidzar/pengamatan… Seseorang yang
mengharapkan dapat menciptakan sains dari membaca ayat suci, tanpa
melakukan intidzar, akan dikatakan bermimpi di siang bolong. Sebab apa
yang dicetuskan adalah konsepsi-nya sendiri dan bukan arti ayat-ayat
tersebut yang didukung oleh ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta.23
Dalam merespon perintah ALLAH mengembangkan ilmu dan mengamati
semesta, para ilmuan pada zaman keemasan Islam, sangat bergairah menerima
pengaruh dan mempelajari ilmu dari peradaban “luar”. Intelektual muslim aktif
23
A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Bandung: Pustaka, 1983), cet-1., h. 16-21
72
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
mempelajari, menerjemah, menyadur, dan memberi komentar terhadap karyakarya filosof Yunani (terutama dalam bidang logika atau mantiq), India (terutama
dalam bidang matematika dan kedokteran), Romawi (terutama dalam bidang
hukum), Cina (terutama dalam strategi perang), dan lain-lain.Mereka dengan
terbuka, berani, dan percaya diri menerima pemikiran dan hikmah dari “luar
Islam”; mempelajari, menaklukan, dan memberi arah baru sesuai dengan jiwa
ajaran Islam. Mereka juga melakukan apa yang kini kita sebut “islamisasi ilmu”,
yakni mengkritisi dan mempertanyakan kerangka kerja serta menolak pemikiran
(ilmu) yang sekularistik.
Para ilmuan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu dalam pangkuan
agama. Menafsirkan makna simbolik wahyu ilahi yang tertulis (Al-Qur‟an) dengan
ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan hukum ALLAH yang berlaku di alam jagad
raya. Usaha ini bernilai sama dengan jihad bi al-qital. Rasulullah bersabda:
ُّ ‫يوز ُن يو َم القيامة مدا ُد العلامء بِدام‬
(‫الشيدا ِء (رواه أبو عبد الرب عن أيب ادلرداء‬
َ
Pada hari kiamat, tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada
(HR. Abu `Abd al-Bari dari Abi Darda`).
Jadi tafaqquh fid din berarti belajar dengan menggunakan telinga, mata
dan hati, serta panca indara secara umum untuk mengamati, mendengar, dan
merasakan seluruh ayat-ayat ALLAH. Baik ayat-ayat tertulis dalam Al-Qur‟an
maupun
ayat-ayat
yang
terbentang
luas
di
jagad
raya.
Kemudian
merenungkannya secara mendalam, rasional, sistematis, dan menyeluruh,
sehingga dapat menemukan kebenaran sejati. Pada tahap ini ilmuan muslim
akan sampai pada pernyataan:
‫ربّنا ما خلقت ىٰذا ابطال س ٰبحنك فقنا عذاب النّار‬
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Alu Imran
[3]: 191)
73
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
B. Landasan Sosiologis
Dalam UU Nomoor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pnedidikan Nasional
Pasal 1 point 2 dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.INDONESIA memiliki warisan sejarah dan budaya yang
hebat. Dalam masyarakat Indonesia yang dijiwai semangat gotong royong,
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan rakyat dalam sejarah bangsa Indonesia diselenggarakan berbasis
komunitas dan menggunakan sistem asrama.
Secara sosiologis keberadaan sistem pendidikan asrama itu dapat
ditelusiri melalui sejarah sistem pendidikan pribumi Indonesia mulai dari dua
emperium besar yang berjaya di Nusantara, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Kita
mengenal Sriwijaya tidak hanya negara maritim yang fokus pada urusan politik
dan ekonomi. Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan agama Budha
yang memiliki hubungan baik dengan Hindustan dan Tiongkok. Agama Budha di
Sriwijaya telah dikembangkan oleh Dharmapala dan mahaguru Widjrabodhi serta
kurang lebih 1000 pendeta Buddha. Sriwijaya mencapai puncak kekuasaannya
pada masa dinasti Syailendra yang bertahta di tanah Jawa.
Pada tahun 767 M Samaratungga – raja dari dinasti Syailendra
memerintah di Jawa Tengah – membangun Candi Borobudur. Candi ini
merupakan salah satu candi Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu tujuh
74
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
keajaiban dunia. Candi Borobudur terletak di desa Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah. Meskipun Sriwijaya menganut agama Budha sebagai agama resmi,
masyarakat Jawa yang berada dalam kekuasaan Sriwijaya tetap menganut
agama Hindu. Pada tahun 850 pun dibangun candi-candi Loro Jonggrang pada
Komplek Candi Prambanan yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara.
Berbeda dengan Sriwijaya yang sejak semua tubuh dari tradisi laut,
Kerajaan Majapahit pada mulanya adalah negara agraris sebagaimana wajah
kekuasaan kerajaan Hindu Jawa sebelumnya – Kalingga, Mataram, dan
Singosari. Seiring dengan melimpahnya hasil produksi pertanian, Majapahit
melakukan ekspansi ke pantai-pantai strategis di Nusantara. Majapahit mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Patih
yang terkenal Gajah Mada. Majapahit pun menguasai wilayah Sriwijaya, bahkan
meluas ke Barat hingga bagian tertentu di Vietnam Selatan dan ke arah Timur
sampai dengan bagian barat Papua.
Pada abad ke 13 pengaruh Kerajaan Hindu dan Budha digantikan dengan
pengaruh Islam tanpa membuang warisan budaya Hindu dan Budha. Di awal
berdirinya kerajaan Banten, di Kampung Pecinan dibangun Masjid Pecinan dan
Kelenteng Cina dengan nama Vihara Avalokitesvara secara harmonis, sekitar
abad ke-16.24 Vihara ini disebut juga Klenteng Tri Darma, karena vihara ini
melayani tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan
Buddha.
24
h. 61
Halwani Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Jakarta: Yayasan Baluwarti, 1993,
75
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Kejayaan kerajaan Hindu-Budha dan dilanjutkan kerajaan Islam telah
mengundang bangsa-bangsa di dunia datang ke Indonesia, bukan hanya dari
Asia dan Afrika, juga Eropa. Pengaruh Eropa ditandai dengan kehadiran Portugis
pada abad ke-16, disusul Belanda dan Inggris. Pada tahun 1603, Belanda
berhasil mendirikan kantor dagang “Verenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC)
di Banten dan merupakan kantor dagang Belanda yang pertama di seluruh
kepulauan Indonesia. Dalam bidang sosial budaya dan agama, kehadiran Eropa
menancapkan pengaruh dengan misi Gereja dan Sekolah Kristen/ Katolik
beserta program pelayanan yang dilaksanakannya.
Kota
Serang
sebagai
suatu
wilayah
telah
menghimpun
semua
kebudayaan besar dunia – India, Arab, Persia, Cina, dan Eropa. Semua
kebudayaan itu hidup berdampingan, dan saling mengisi. Dalam konteks sistem
pendidikan, dari zaman Budha, Hindu, hingga ke zaman Islam, komponen
pendidikan pribumi meliputi 5 (lima) unsur utama, yakni : [1] santri, cantrik atau
sebutan lain, [2] kiyai, resi, atau sebutan lain, [3] padepokan, asrama, atau
pondok, [4] rumah ibadah –Candi, Pure, Masjid, atau Gereja, dan [5] Al-Kitab
serta buku-buku lain yang menjelaskan makna Al-Kitab.25
Di antara lima komponen dalam sistem sistem pendidikan pribumi yang
bersifat khas adalah Masjid dan asrama yang dalam tradisi sufi abad ke-13 M
dikenal dengan sebutan zawiyah.26Zawiyah adalah suatu tempat pemondokan
pengikut tarekat, guna menampung para faqir (sebutan bagi pengikut tarekat)
yang melakoni pola hidup zuhud (sederhana); senantiasa berharap dan
membutuhkan rahmat serta pertolongan Allah Ta‟ala, yang hendak melakukan
wirid atau suluk. Zawiyah ini dalam perkembangannya lebih lanjut berubah
menjadi pusat pendidikan dan gilda ekonomi, bahkan tidak jarang merupakan
cikal bakal kekuatan politik yang besar.27Term zawiyah di Kota Serang Banten,
lebih dikenal dengan kasunyatan dan pondok rombeng. Istilah pondok berasal
dari bahasa Arab funduk yang berarti asrama, lalu disertai kata rombeng untuk
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet-6., h. 21
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994)., cet-1., h.98
27 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, cet-I, 1997 h.104.
25
26
76
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
menggambarkan kondisi bangunan asrama yang sangat sederhana. Pondok
rombeng adalah tempat tinggal para santri yang dibuat dari bilik-bilik bambu dan
beratapkan wlet (anyaman dari dahan kelapa) sebagai pengejawantahan dari
pola hidup zuhud.
Kewajiban moral kita adalah menggali dan mengembangkan sistem
pendidikan asrama sesuai jati diri bangsa kita sehingga mampu menjalankan
fungsi pendidikan, baik fungsi laten maupun fungsi menifestasi yang secara
objektif dapat langsung dirasakan oleh peserta didik dan masyarakat. Fungsi
menifestasi itu menurut Frank J. Mifflen & Sydney C. Mifflen meliputi [1] belajar
kognitif, [2] reproduksi kultural, [3] seleksi atau alokasi dalam jabatan
pemerintahan, dunia usaha dan industri, [4] produksi kultural, [5] penyebaran
kultural, dan [6] mobilisasi sosial.28 Sedangkan fungsi laten pendidikan meliputi
peningkatan kontrol sosial dan kesadaran publik dalam membangun peradaban
Indonesia di tengah peradaban global sesuai visi Islam rahmatan lil „alamin. Di
sinilah falsafah dari fungsi legislasi sistem pendidikan pesantren diperjuangkan.
C. Landasan Yuridis
UUD 1945 pasal 31 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan
tersedianya layanan pendidikan yang berkualitas dan dibiayai pemerintah,
sehingga dapat dijangkau oleh seluruh warga negara Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, perbatasan, dan pedalaman. Pada era reformasi, UUD 1945
pasal 31 yang semula hanya terdiri dari dua ayat diamandemen menjadi lima
ayat, sebagai berikut:
28
Frank J. Mifflen & Sydney C. Mifflen, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986), h. 441
77
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
(1)
Setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan.
(2)
Setiap
warganegara
wajib
mengikuti
pendidikan
dasar
dan
pemerintah wajib membiayainya.
(3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dalam undang-undang.
(4)
Negara memperioritaskan anggaran pendidikan nasional sekuarngkurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Atas berbagai pertimbangan sejarah, Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKNIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945
menganjurkan, bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar
sistem pondok, langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan
ditingkatkan. Kemudian, pada tanggal 27 Desember 1945 BPKNIP menyarankan
agar pondok pesantren dan madrasah mendapatkan perhatian dan bantuan
materiil dari pemerintah, karena pesantren dan madrasah adalah satuan
pendidikan yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia.
Perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan terkait
pesantren tidak berlanjut dan masuk dalam perangkap sistem persekolahan ala
Kolonial Belanda. Hal ini tampak ketika UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12
Tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran diundangkan,
pesantren tidak dimasukkan sama sekali. Undang-undang hanya mengatur
masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di
madrasah (sekolah agama) yang telah mendapat pengakuan dari Menteri
Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Lihat pasal 2 ayat (1) dan
(2) dan pasal 10 ayat (2).
78
Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang
Dalam UU sisdiknas no 20 tahun 2013, pada pasal 30 ayat 4 Pesantren
disebutkan sebagai bentuk pendidikan keagamaan. Lebih lanjut tentang
pendidikan keagamaan ini diatur pada PP No 55 tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan keagamaan. Menurut PP tersebut pasal 14 ayat 1, pendidikan
keagamaan Islam berbentuk diniyah dan pesantren. Meskipun PP ini menyebut
Pesantren tetapi tidak mengatur tentang pesantren secara menyeluruh. Pada
paragraf 3 pasal 26 ayat 2 dinyatakan: “Pesantren menyelenggarakan diniyah
atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang PAUD, dasar,
menengah dan pendidikan tinggi”. Dalam PP ini pesantren diakui sebagai
penyelenggara bukan sebagai satuan pendidikan.***
79
Download