Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis Filsafat yang mendasari penyususnan rancangan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren ini adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah bersama masarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam diri manusia terdapat “trisakti” jiwa, yakni : cipta, rasa, dan karsa.1 Dengan bercermin pada pikiran filsafat Plato,2 Ki Hajar menjelaskan bahwa cipta merupakan daya berpikir akal, terletak di kepala, dan mencita-citakan kebijaksanaan; rasa merupakan kehendak hati, terletak di dada, dan mencita-citakan keberanian, sedangkan karsa merupakan hasrat nafsu, terletak di perut, dan menghendaki kendali kesopanan. Dalam perspektif Islam, manusia adalah ruh yang berjalinkelindan dengan jasad. Ia merupakan substansi yang mempunyai daya hidup, berpikir dan mengetahui dengan akalnya. Manusia sejak lahir dihiasi naluri hidup, naluri seksual, dorongan kepada prestise dan kesenangan dunia.3 Di sisi lain, dimensi ruh menuntut manusia untuk berpuasa, menahan diri, dan mendengar suara hati untuk bertindak sesuai panggilan jiwa: berkontribusi.4 Dalam perjalanan sejarah, tarik menarik dimensi jasad dan ruh itu melibatkan akal yang mempertimbangkan konteks, dalil, dan alasan sosial. Di sinilah peran manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Berfungsinya “trisaskti” jiwa [jiwa-raga-akal] tersebut secara bersama sebagai satu kesatuan menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan manusia Indonesia yang [1] adil dan [2] beradab. 1Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, cet-2., h. 451. 2Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung: Mizan, 2002, cet-XII., h. 111 3 QS. Alu Imran [3]: 14 4Qs. An-Nazi‟at [79]: 40-41 62 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Berani Sopan Bijaksana Gambar 4.1 Karakter Utama Manusia Indonesia Seutuhnya Pendidikan diselenggarakan untuk menyiapkan manusia Indonesia yang memiliki tiga karakter di atas sesuai tahapan perkembangan anak, peserta didik. Pada tahapan perkembangan anak usia dini dan sekolah dasar, karakter sopan menjadi landasan pengembangan cipta, rasa, dan karsa peserta didik melalui pendidikan akhlak dan budi pekerti. Pada ahapan perkembangan anak di sekolah menengah, karakter berani menjadi landasan pengembangan cipta, rasa, dan karsa peserta didik melalui pendidikan sejarah sosial perjuangan bangsa. Dan pada tahap perkembangan pendidikan sarjana, karakter bijaksana menjadi landasan pengembangan cipta, rasa, dan karsa peserta didik melalui pendidikan keahlian sesuai minat dan bakat masing-masing peserta didik. Lebih lanjut, rumusan manusia Indonesia seutuhnya dijabarkan sebagai tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 63 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang • Berakhlak mulia (SQ) • Cakap (PQ) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME (SQ) Sehat (PQ) Mandiri (EQ) Berilmu (IQ) • Bertanggung jawab (EQ) • Kreatif (IQ) Gambar 4.1 Kriteria Manusia Indonesia Seutuhnya Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya mengacu pada penanaman dan pengembangan nilai-nilai ilahiah (keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME) dan nilai-nilai insaniah (kemandirian, demokratis, dan tanggungjawab). Sedangkan menempatkan nilai “demokratis” pada posisi sentral dalam gambar di atas, memberi pesan bahwa secara teologis, tujuan pendidikan dalam konteks ke-Indonesiaa adalah meneguhkan identitas setiap warga negara dalam taman sari kemajemukan Indonesia. Setiap orang menghargai perbedaan keyakinan dan agama; menghoramti perbedaan pemikaran dalam keragaman, dan bersedia bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita bersama, yakni terwujudnya dunia yang tertib, aman, damai, adil, dan sejahtera. Dengaan demikian, pendidikan berkontribusi besar untuk menjadikan keragaman suku bangsa, etnis, bahasa, dan budaya nusantara sebagai kekuatan dalam menciptakan sinergi nasional mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, dan berdaya saing dalam pergaulan dunia internasional. Tujuan pendidikan sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, secara yuridis mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tanggal 17 Januari 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). Secara umum, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian bangsa Indonesia sesuai dengan nilai budaya luhur yang 64 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang bersendikan agama, sebagai berikut: a. Bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. b. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan tugasnya. c. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia. d. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya. e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan original orang lain. f. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban untuk mencapai visi pendidikan nasional, yakni “terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Sejalan dengan visi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berhasrat pada tahun 2025 menghasilkan: INSAN INDONESIA CERDAS KOMPREHENSIF DAN KOMPETITIF. Pembangunan manusia Indonesia sebagaimana dicita-citakan di atas, menurut Ki Hajar Dewantoro, mengharuskan adanya sistem pendidikan nasional yang bersendikan agama dan kebudayaan bangsa. Sistem pendidikan nasional itu disebut “pawiyatan”, “asrama”, atau “pondok”.5Hal ini berlaku pada pendidikan Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, cet-2., h. 370 5 65 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang rakyat yang berhaluan kebangsaan seperti Taman Siswa ataupun yang berhaluan keagamaan seperti Pesantren (Islam), Pasraman (Hindu), dan Pabbajja Samanera (Budha). Asas pendidikan nasional adalah rasa kebangsaan yang digali dari tradisi dan nilai-nilai yang berurat akar dalam kebudayaan bangsa Indonesia, yang berbeda dengan sistem sekolah di benua Eropa. Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1937, telah mengkritik keberadaan “industri kos-kosan” di lingkungan sekolah Belanda sebagai wahana yang merusak perasaan kesucian, adat istiadat, dan rasa kebangsaan. Apalagi dalam konteks sekarang, di mana sekolah tidak lepas dari incaran jaringan NARKOBA dan terorisme. Keberadaan Masjid dan asrama dalam tradisi pendidikan pribumi Indonesia memiliki nilai dan pesan religius, tidak terbatas hanya rumah tinggal, tetapi juga sebagai tempat belajar ilmu, tempat berkontemplasi dan pembinaan karakter berbasis agama dan kearifan budaya. Dalam sistem asrama rasa kebersamaan dalam semangat kekeluargaan dan persatuan nasional dijunjung tinggi.Hal ini berbeda dengan “industri kos-kosan” yang berada di luar sistem dan tidak terkait dengan sekolah. Hal inilah, antara lain yang melandasi pemikiran tentang perlunya “full day school” yang digagas kementerian pendidikaan dan kebudayaan. Pendidikan yang bersendikan agama mengajarkan kitab suci sebagai kurikulum inti. Kurikulum inti di Pesantren adalah Al-Qur‟an. Oleh karena itu, Pesantren dikenal sebagai lembaga “Tafaqquh fi al-Din”, yang berfungsi melaksanakan (1) transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam, (2) pemeliharaan tradisi Islam, dan (3) kaderisasi ulama.6 Doktrin gerakan intelektual kaum santri ini didasarkan pada firman ALLAH SWT surat At-Taubah [9], ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semua (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet-I., h. xxi. 6 66 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri.” Untuk memahami, apa itu tafaqquh fid din, kita terlebih dahulu menganalisis makna fiqh dan din. Dalam al-Qur‟an, kata “ ”فقهdengan segala bentuknya disebutkan sebanyak 20 kali.7 Secara etimologis kata “ ”فقهberarti tahu ()علم, paham ()فهم, dan cerdas ()فطن.8 Al-Jurjani memaknai arti “fiqh” dengan: kemampuan menerima pesan dengan pemahaman yang tepat dari pembicaraan sesuai maksud pembicara.9 Pemahaman fiqh dari segi kebahasaan ini berkaitan dengan kecakapan komunikasi lisan, sebagaimana doa Nabi Musa yang diabadikan dalam surat Taha [20]: 25-28. Menurut Murtado Muthohari, arti kata “fiqh” mengacu pada pemahaman persepsi yang benar dan mendalam, yang membutuhkan pengerahan kecerdasan dan penalaran logis dan sistematik.10 Menurut ar-Ragib al-Ishfahani, kata “fiqh” secara filosofis berarti kemampuan memahami realitas empirik untuk mengenal adanya relaitas transendent.11 Sedangkan menurut Ismail Raji alFaruqi, terminologi “fiqh” berarti pengetahuan mendalam tentang esensi ilmu dan penjelasan.12 Menurut Naquib al-Attas, “fiqh” adalah wawasan dan kecermatan keagamaan yang menghasilkan ketakwaan.13 Muhammad Fuad „Abd. al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)., h. 667. Menurut Madj al-Din Muhammad bin Ya‟qub al-Fairuz Adaby dalam kitab Bahrul Muhit, kata Fiqh memiliki makna yang sepadan dengan kata ‘Ilm. Menurut Ibn Munzir dalam Lisan al-‘Arabi kata Fiqh sinonim dengan kata Fahm, Hadzf, dan Fatona. Sedangkan J. Milton Cown dalam Hans Wehr A Dictionary of Modern Written Arabic menerjemahkan kata Fiqh dengan kata undrastanding, comprehension, dan knowladge. 9 Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Jiddah: al-Haramain, tt)., h. 168 10 Murtadho Muthohari, Islam dan Tantangan Zaman, (Bandung: Mizan, 1996)., h. 165 11 Abu Suja‟ Ahmad ar-Ragib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)., h. 384. 12 Ismail Raji al-Faruqi, Islam dan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 1984)., h. 43. 13 Sayyid Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. Dalam sejarah pemikiran Islam, pengertian terma “fiqh” sebagai ilmu mengalami pergeseran. Menurut al-Gazali dan Hasan Basri, pada masa awal Islam, terma “fiqh” menurujuk pada corak pemikiran dan gaya hidup sufistik, seperti pengetahuan esoterik, penyakit hati, dan zuhud. Namun dalam perkembangannya, sampai abad ke II hijriyah, fiqh meliputi masalah teologi dan hukum Islam. Lalu, setelah abad yang ke II hijriah, ruang lingkup kajian fiqh sebagai ilmu direduksi hanya pada aspek hukum, bahkan halal haram saja. Fiqh adalah pengenalan tentang hak dan kewajiban manusia (kepada Allah, dirinya sendiri, dan lingkungannya). 7 8 67 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Menurut Abu Hazim asy-Syaibani,14 kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an yang menunjukkan makna “kecermatan pemahaman dan ilmu yang mendalam” tersebar dalam sembilan belas ayat dari dua puluh ayat. Lebih lanjut, menurut Yusuf Qardhawi, kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an berhubungan dengan pemahaman mendalam qalbu (baca: akal budi) manusia tentang esensi wahyu ilahi; hakikat manusia dan tujuan hidupnya; hukum sejarah dan hakikat perjuangan; serta tanda-tanda kekuasaan ALLAH SWT yang beroperasi di alam jagat raya, yang membawa ke arah hidayah ALLAH SWT. 15 Makna filosofis dari kata “fiqh” dalam Al-Qur‟an digunakan dalam banyak konteks. Ditinjau dari segi periode nuzul Al-Qur‟an terlihat ada perbedaan konteks antara periode Makkah (Makiyah) dan periode Madinah (Madaniyah). Pada ayat-ayat yang nuzul di Makkah, makna “fiqh” berhubungan dengan proses penaman iman dan pendidikan akhlak mulia. Sedangkan pada ayat-ayat yang nuzul di Madinah berhubungan dengan teologi perang dan jihad intelektual. Munasabah makna “fiqh” pada ayat Al-Qur‟an yang nuzul di Makkah, antara lain memahami bahasa komunikasi lisan(Qs. Al-Kahfi [18] : 92-93), memahami sifat dan cara kerja alam(Qs. Al-Isra` [17]: 44), memahami wahyu ilahi(Qs. Al-Isra` [17]: 45-46, Al-Kahfi: 57; Hud: 91; dan Al-An`am: 25), memahami jati diri dan peran manusia (Qs. Al-An`am [6]: 98), dan memahami hukum sejarah (Qs. Al-An`am [6]: 65). Sedangkan munasabah ayat dalam surat Al-Qur‟an yang nuzul di Madinah berhubungan dengan teologi perjuangan(Qs. Al-Anfal [8] : 65), memahami hakikat kontribusi dan pengorbanan(Qs. AlMunafiqun [63]: 7), dan menyemai gerakan intelektual (Qs. At-Taubah [9]: 122). Makna tafaqquh fi al-din adalah usaha sadar dan terencana untuk memahami makna transendental wahyu [Al-Quran], sunnah dan hudud dengan Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf yang diistinbatkan dari dalil-dalil yang terperinci. 14 Abu Hazim asy-Syaibani, Yas’alunaka Fi al-Din wa al-Hayah, (Beirut: Dar al-Jail, 1980)., Juz I., cet.IV., h. 10 15 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996)., cet-I., h. 213 68 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang penjelasannya yang rinci, secara bertahap,16 berjenjang, mulai dasar, menegah, dan tinggi. Asbab nuzul suart at-Taubah, ayat 122 di atas berpautan dengan ekspedisi Tabuk. Perang terakhir yang terbesar pada zaman Rasulullah, dan merupakan penggenap titah perang fisik, jihad bis-saif wal-qital.17 Dalam ayat ini, umat Islam tidak diperkenankan berangkat perang seluruhnya, tetapi juga tidak diperkenankan meninggalkan perang seluruhnya. Menurut Rasyid Ridho, tafaqquh fi al-din merupakan bentuk jihad intelektual, yakni jihad bi al-hujjah wa al-burhan.18 Menurut buya HAMKA, jihad intelektual dilakukan kaum terpelajar yang berada di garis belakang untuk membangun opini, diplomasi dan memperdalam pengertian agama,19pemahaman mendalam tentang esensi AlQur‟an. Rumusan ini selaras dengan doa Rasulullah SAW kepada Ibn „Abbas sebagai berikut: (اللّيم فقّيو يف ادلين و علّمو اتويهل (رواه مسمل “Ya ALLAH berikanlah (kepada Ibn „Abbas) pemahaman tentang agama.” (HR. Muslim). Makna tafaqquh fi al-din dalam doa nabi di atas, menurut Ibn Mundzir adalah memahami esensi kitab al-Qur‟an dan rahasia maknanya serta sunnah (hadits) nabawi sebagai penjelasan Al-Qur‟an. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa al-Qur‟an sebagai kitab wahyu ALLAH SWT merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan pedoman hidup.20 Sejarah juga mencatat bahwa Ibn „Abbas merupakan tokoh yang paling paham al-Qur‟an pada masanya; dan sampai sekarang dipandang sebagai “bapak tafsir pendekatan filologis.” 21 Syekh Muhammad Nawawi, Marah Labid, jilid I, h. 359 Imam Muhammad ar-Razi Fakhruddin, dalam Tafsir al-Fakh ar-Razi bi Tafsir al-Kabir Miftah al-Mughits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Jilid XV., h. 231., mengemukakan bahwa ada perbedaaan pendapat di antara para mufassir tentang sebab nuzul ayat ini, apakah ayat ini turun dalam konteks jihad atau dalam konteks hijrah? Dalam tulisan ini cenderung pada konteks jihad. 18 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar-al-Fikr, tt)., Jilid XI., h. 77 19 Prof. Dr. HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Panjimas, 1985, Juz XI., cet-I, h. 87. 20 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997)., h. 305 21 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1986)., h. 90 16 17 69 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Tafaqquh fi al-Din berarti usaha sungguh-sungguh dan bertahap mengungkapkan makna transendental wahyu: abstraksi-abstraksi filosofis, teologis, dan saintifik dalam Al-Quran. Pada saat yang sama berusaha menafsirkan realitas sosial dengan pandangan dunia Al-Qur‟an. Makna tafaqquh fi al-Din tidak cukup dengan memahami nash Al-Qur‟an secara tekstual. Fiqh tidak berhenti pada ideologi dan pemikiran normatif. Tapi harus memberi arah dan panduan dalam menjawab pertanyaan praksis: how to do it? Dalam bidang ekonomi, seorang disebut “faqih” dengan keahlian manajemen yang diperlukan untuk mengoperasikan bisnis; memiliki penilaian, ketekunan, dan pengetahuan tentang dunia; melakukan estimasi dengan akurasi yang bisa diterima, memahami arti penting dari produk spesifik, perkiraan jumlah permintaan, dan alat-alat produksi; membeli dan memesan bahan baku, mengumpulkan pekerja, mencari konsumen, dan memberi perhatian penuh kepada disiplin waktu, perencanaan, dan kendali mutu, serta kondisi perekonomian. Medan jihad intelektual secara intensif terjadi terutaama utama pada saat Islam bersentuhan dengan peradaban Romawi dan Persia serta masuk pada peradaban Yunani. Intelektual muslim berusaha memahami dan menafsirkan makna Al-Qur‟an secara cermat ke dalam situasi baru kepada mereka yang baru masuk Islam, dan bukan berasal dari latar belakang budaya Arab. 22 Para ahli hadits berusaha mencari jawaban tentang makna ayat Al-Qur‟an langsung dari keterangan hadits nabi, kemudian mencari jawaban melalui ra‟yu (nalar). Hal ini didasarkan pada argumen bahwa nabi sebagai pembawa risalah merupakan sumber interpretasi yang paling utama terhadap kebenaran-kebenaran yang direfleksikan dan dikandung dalam lambang-lambang wahyu Al-Qur‟an. Dalam menjalankan peran jihad intelektual, seorang cendekiawan memerlukan senjata dan keahlian, sebagaimana tentara Mujahidin memerlukan kekuatan mental, fisik dan perlengkapan perang, seperti kuda, pedang, prisai, dan penguasaan medan dalam jihad bil qital. Di medan jihad intelektual, seorang 22 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994) cet-I., h. 11 70 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Mujtahid memerlukan perlengkapan, berupa keterampilan akademik. Keterampilan akademik dimaksud, antara lain: 1. Ilmu-ilmu pengantar atau ilmu-ilmu alat, antara lain ilmu tulis-menulis dan berbagai cabang ilmu kebahasaan dan satra Arab 2. Ilmu-ilmu Qur‟an termasuk, di dalamnya ilmu tafsir (interpretasi) AlQuran, yakni pengetahuan tentang: nasikh mansukh, asbab an-nuzul, ta‟wil, dan seterusnya. 3. Ilmu-ilmu tentang Hadis Nabawiyah (tradisi nabi) seperti ilmu penukilan (periwayatan) hadis. 4. Pengetahuan tentang ijma‟ (konsensus) dan asar as-sahabah (tradisi para sahabat) 5. Logika dan ilmu tentang pokok-pokok yurisprudensi (usul al-fiqh), 6. Filsafat. Pengajaran filsafat ini hanya sah jika berakar dalam-dalam pada tradisi wahyu dan tidak diceraikan darinya. Perlengkapan akademik di atas diperlukan para santri untuk menggali makna dan hukum Islam yang ada dalam Al-Qur‟andan hadits. Pada umumna kajian Islam di Pesantrenmengambil tema fikih. Di lihat dari substansi materi, tema fikih meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungaannya dang ALLAH (ubudiyah) maupun kehidupan muamalah dengan sesama. Secara umum isi substansi tema fikih yang dipelajari di Pesantren, meliputi: Kitab at-Thaharah (Bab bersuci) Kitab ash-Shalat (Bab Shalat) Kitab az-Zakat (Bab Zakat) Kitab ash-Shiyam (Bab Puasa) Kitab al-Hajj (Bab Haji) Kitab al-Buyu‟ (Bab Transaksi Komersial) Kitab al-Faraid wal-Washaya (Bab Pembagian Harta Pustaka) Kitab an-Nikah (Bab Perkawinan) Kitab al-Jinayat (Bab Pidana Islam) Kitab al-Jihad (Bab Etika Perang) 71 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Kitab ash-Shaid wadz-Dzabaih wadh-Dhahaya wal-Ath‟imah (Bab Perburuan, Penyembelihan dan Makanan) Kitab as-Sabqi war-Ramyi (Bab Kompetisi Olahraga) Kitab al-Aqdhiyah (Bab Peradilan Islam) Kitab al-„Itqi (Bab Pembebasan Budak) Kajian fikih yang dikembangkan Pesantren meliputi bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora ang luas. Meliputi kitab keluarga dan kemasyarakatan, ekonomi dan bisnis, politik dan pemerintahan, hukum dan perundang-undangan dan seterusnya. Fikih sebagai induk ilmu pengetahuan meliputi cabang-cabang ilmu sosial humaniora yang dikenal dalam sain modrn.Lebih lanjut kajian AlQur‟an dan sunnah relevansinya dengan teori penciptaan semesta: penciptaan unta, langit, gunung, bumi dan seterusunya. Achmad Baiquni seorang guru besar fisika terkemuka di Indonesia menegaskan demikian: “Di dalam ayat-ayat al-Qur‟an dinyatakan gejala-gejala alam sebagai ayatayat Allah yang memperlihatkan kekuasaan-Nya. Tidaklah cukup kita membaca ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Qur‟an untuk meyakini kebesaran dan kekasaan Allah; mengapa kita diperintahkan untukmemeriksa alam di sekeliling kita? Pertama, karena memang ciptaan Allah yang dinamakan alam semesta ini berisikan tanda bukti dan pameran dari kebesaran-Nya. Kedua, karena menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur‟an tidaklah mudah… Tidaklah mudah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an – terutama tentang gejala alam raya – tanpa intidzar/pengamatan… Seseorang yang mengharapkan dapat menciptakan sains dari membaca ayat suci, tanpa melakukan intidzar, akan dikatakan bermimpi di siang bolong. Sebab apa yang dicetuskan adalah konsepsi-nya sendiri dan bukan arti ayat-ayat tersebut yang didukung oleh ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta.23 Dalam merespon perintah ALLAH mengembangkan ilmu dan mengamati semesta, para ilmuan pada zaman keemasan Islam, sangat bergairah menerima pengaruh dan mempelajari ilmu dari peradaban “luar”. Intelektual muslim aktif 23 A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Bandung: Pustaka, 1983), cet-1., h. 16-21 72 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang mempelajari, menerjemah, menyadur, dan memberi komentar terhadap karyakarya filosof Yunani (terutama dalam bidang logika atau mantiq), India (terutama dalam bidang matematika dan kedokteran), Romawi (terutama dalam bidang hukum), Cina (terutama dalam strategi perang), dan lain-lain.Mereka dengan terbuka, berani, dan percaya diri menerima pemikiran dan hikmah dari “luar Islam”; mempelajari, menaklukan, dan memberi arah baru sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Mereka juga melakukan apa yang kini kita sebut “islamisasi ilmu”, yakni mengkritisi dan mempertanyakan kerangka kerja serta menolak pemikiran (ilmu) yang sekularistik. Para ilmuan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu dalam pangkuan agama. Menafsirkan makna simbolik wahyu ilahi yang tertulis (Al-Qur‟an) dengan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan hukum ALLAH yang berlaku di alam jagad raya. Usaha ini bernilai sama dengan jihad bi al-qital. Rasulullah bersabda: ُّ يوز ُن يو َم القيامة مدا ُد العلامء بِدام (الشيدا ِء (رواه أبو عبد الرب عن أيب ادلرداء َ Pada hari kiamat, tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada (HR. Abu `Abd al-Bari dari Abi Darda`). Jadi tafaqquh fid din berarti belajar dengan menggunakan telinga, mata dan hati, serta panca indara secara umum untuk mengamati, mendengar, dan merasakan seluruh ayat-ayat ALLAH. Baik ayat-ayat tertulis dalam Al-Qur‟an maupun ayat-ayat yang terbentang luas di jagad raya. Kemudian merenungkannya secara mendalam, rasional, sistematis, dan menyeluruh, sehingga dapat menemukan kebenaran sejati. Pada tahap ini ilmuan muslim akan sampai pada pernyataan: ربّنا ما خلقت ىٰذا ابطال س ٰبحنك فقنا عذاب النّار “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Alu Imran [3]: 191) 73 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang B. Landasan Sosiologis Dalam UU Nomoor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pnedidikan Nasional Pasal 1 point 2 dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.INDONESIA memiliki warisan sejarah dan budaya yang hebat. Dalam masyarakat Indonesia yang dijiwai semangat gotong royong, pendidikan merupakan tanggungjawab bersama, keluarga dan masyarakat. Pendidikan rakyat dalam sejarah bangsa Indonesia diselenggarakan berbasis komunitas dan menggunakan sistem asrama. Secara sosiologis keberadaan sistem pendidikan asrama itu dapat ditelusiri melalui sejarah sistem pendidikan pribumi Indonesia mulai dari dua emperium besar yang berjaya di Nusantara, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Kita mengenal Sriwijaya tidak hanya negara maritim yang fokus pada urusan politik dan ekonomi. Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan agama Budha yang memiliki hubungan baik dengan Hindustan dan Tiongkok. Agama Budha di Sriwijaya telah dikembangkan oleh Dharmapala dan mahaguru Widjrabodhi serta kurang lebih 1000 pendeta Buddha. Sriwijaya mencapai puncak kekuasaannya pada masa dinasti Syailendra yang bertahta di tanah Jawa. Pada tahun 767 M Samaratungga – raja dari dinasti Syailendra memerintah di Jawa Tengah – membangun Candi Borobudur. Candi ini merupakan salah satu candi Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu tujuh 74 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang keajaiban dunia. Candi Borobudur terletak di desa Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun Sriwijaya menganut agama Budha sebagai agama resmi, masyarakat Jawa yang berada dalam kekuasaan Sriwijaya tetap menganut agama Hindu. Pada tahun 850 pun dibangun candi-candi Loro Jonggrang pada Komplek Candi Prambanan yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Berbeda dengan Sriwijaya yang sejak semua tubuh dari tradisi laut, Kerajaan Majapahit pada mulanya adalah negara agraris sebagaimana wajah kekuasaan kerajaan Hindu Jawa sebelumnya – Kalingga, Mataram, dan Singosari. Seiring dengan melimpahnya hasil produksi pertanian, Majapahit melakukan ekspansi ke pantai-pantai strategis di Nusantara. Majapahit mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Patih yang terkenal Gajah Mada. Majapahit pun menguasai wilayah Sriwijaya, bahkan meluas ke Barat hingga bagian tertentu di Vietnam Selatan dan ke arah Timur sampai dengan bagian barat Papua. Pada abad ke 13 pengaruh Kerajaan Hindu dan Budha digantikan dengan pengaruh Islam tanpa membuang warisan budaya Hindu dan Budha. Di awal berdirinya kerajaan Banten, di Kampung Pecinan dibangun Masjid Pecinan dan Kelenteng Cina dengan nama Vihara Avalokitesvara secara harmonis, sekitar abad ke-16.24 Vihara ini disebut juga Klenteng Tri Darma, karena vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. 24 h. 61 Halwani Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Jakarta: Yayasan Baluwarti, 1993, 75 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Kejayaan kerajaan Hindu-Budha dan dilanjutkan kerajaan Islam telah mengundang bangsa-bangsa di dunia datang ke Indonesia, bukan hanya dari Asia dan Afrika, juga Eropa. Pengaruh Eropa ditandai dengan kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul Belanda dan Inggris. Pada tahun 1603, Belanda berhasil mendirikan kantor dagang “Verenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC) di Banten dan merupakan kantor dagang Belanda yang pertama di seluruh kepulauan Indonesia. Dalam bidang sosial budaya dan agama, kehadiran Eropa menancapkan pengaruh dengan misi Gereja dan Sekolah Kristen/ Katolik beserta program pelayanan yang dilaksanakannya. Kota Serang sebagai suatu wilayah telah menghimpun semua kebudayaan besar dunia – India, Arab, Persia, Cina, dan Eropa. Semua kebudayaan itu hidup berdampingan, dan saling mengisi. Dalam konteks sistem pendidikan, dari zaman Budha, Hindu, hingga ke zaman Islam, komponen pendidikan pribumi meliputi 5 (lima) unsur utama, yakni : [1] santri, cantrik atau sebutan lain, [2] kiyai, resi, atau sebutan lain, [3] padepokan, asrama, atau pondok, [4] rumah ibadah –Candi, Pure, Masjid, atau Gereja, dan [5] Al-Kitab serta buku-buku lain yang menjelaskan makna Al-Kitab.25 Di antara lima komponen dalam sistem sistem pendidikan pribumi yang bersifat khas adalah Masjid dan asrama yang dalam tradisi sufi abad ke-13 M dikenal dengan sebutan zawiyah.26Zawiyah adalah suatu tempat pemondokan pengikut tarekat, guna menampung para faqir (sebutan bagi pengikut tarekat) yang melakoni pola hidup zuhud (sederhana); senantiasa berharap dan membutuhkan rahmat serta pertolongan Allah Ta‟ala, yang hendak melakukan wirid atau suluk. Zawiyah ini dalam perkembangannya lebih lanjut berubah menjadi pusat pendidikan dan gilda ekonomi, bahkan tidak jarang merupakan cikal bakal kekuatan politik yang besar.27Term zawiyah di Kota Serang Banten, lebih dikenal dengan kasunyatan dan pondok rombeng. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti asrama, lalu disertai kata rombeng untuk Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet-6., h. 21 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994)., cet-1., h.98 27 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, cet-I, 1997 h.104. 25 26 76 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang menggambarkan kondisi bangunan asrama yang sangat sederhana. Pondok rombeng adalah tempat tinggal para santri yang dibuat dari bilik-bilik bambu dan beratapkan wlet (anyaman dari dahan kelapa) sebagai pengejawantahan dari pola hidup zuhud. Kewajiban moral kita adalah menggali dan mengembangkan sistem pendidikan asrama sesuai jati diri bangsa kita sehingga mampu menjalankan fungsi pendidikan, baik fungsi laten maupun fungsi menifestasi yang secara objektif dapat langsung dirasakan oleh peserta didik dan masyarakat. Fungsi menifestasi itu menurut Frank J. Mifflen & Sydney C. Mifflen meliputi [1] belajar kognitif, [2] reproduksi kultural, [3] seleksi atau alokasi dalam jabatan pemerintahan, dunia usaha dan industri, [4] produksi kultural, [5] penyebaran kultural, dan [6] mobilisasi sosial.28 Sedangkan fungsi laten pendidikan meliputi peningkatan kontrol sosial dan kesadaran publik dalam membangun peradaban Indonesia di tengah peradaban global sesuai visi Islam rahmatan lil „alamin. Di sinilah falsafah dari fungsi legislasi sistem pendidikan pesantren diperjuangkan. C. Landasan Yuridis UUD 1945 pasal 31 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan tersedianya layanan pendidikan yang berkualitas dan dibiayai pemerintah, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh warga negara Indonesia, terutama di daerah pedesaan, perbatasan, dan pedalaman. Pada era reformasi, UUD 1945 pasal 31 yang semula hanya terdiri dari dua ayat diamandemen menjadi lima ayat, sebagai berikut: 28 Frank J. Mifflen & Sydney C. Mifflen, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986), h. 441 77 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang (1) Setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. (4) Negara memperioritaskan anggaran pendidikan nasional sekuarngkurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Atas berbagai pertimbangan sejarah, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 menganjurkan, bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar sistem pondok, langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. Kemudian, pada tanggal 27 Desember 1945 BPKNIP menyarankan agar pondok pesantren dan madrasah mendapatkan perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena pesantren dan madrasah adalah satuan pendidikan yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan terkait pesantren tidak berlanjut dan masuk dalam perangkap sistem persekolahan ala Kolonial Belanda. Hal ini tampak ketika UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran diundangkan, pesantren tidak dimasukkan sama sekali. Undang-undang hanya mengatur masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di madrasah (sekolah agama) yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Lihat pasal 2 ayat (1) dan (2) dan pasal 10 ayat (2). 78 Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Kota Serang Dalam UU sisdiknas no 20 tahun 2013, pada pasal 30 ayat 4 Pesantren disebutkan sebagai bentuk pendidikan keagamaan. Lebih lanjut tentang pendidikan keagamaan ini diatur pada PP No 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan. Menurut PP tersebut pasal 14 ayat 1, pendidikan keagamaan Islam berbentuk diniyah dan pesantren. Meskipun PP ini menyebut Pesantren tetapi tidak mengatur tentang pesantren secara menyeluruh. Pada paragraf 3 pasal 26 ayat 2 dinyatakan: “Pesantren menyelenggarakan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang PAUD, dasar, menengah dan pendidikan tinggi”. Dalam PP ini pesantren diakui sebagai penyelenggara bukan sebagai satuan pendidikan.*** 79