insidensi interaksi obat pada pasien lansia dengan

advertisement
INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN
LANSIA DENGAN TERAPI POLIFARMASI
DI PUSKESMAS PAMULANG
PERIODE JANUARI 2011 - MARET 2011
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Disusun Oleh :
Santiko Restuadhi
NIM: 108103000064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 24 November 2011
Santiko Restuadhi
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN LANSIA DENGAN
TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS PAMULANG PERIODE
JANUARI 2011- MARET 2011
Laporan Penelitian
Diajukan Kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh :
Santiko Restuadhi
NIM: 108103000064
Pembimbing 1
Pembimbing 2
dr. Alyya Shiddiqa, Sp.FK
dr. Rahmania Diandini, MKK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA
PASIEN LANSIA DENGAN TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS
PAMULANG PERIODE JANUARI 2011- MARET 2011 yang diajukan oleh
Santiko Restuadhi (NIM:108103000064), telah diujikan dalam sidang di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 24 November 2011. Laporan penelitian ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
(S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.
Ciputat, 24 November 2011
DEWAN PENGUJI
Penguji I
Penguji II
Dr. Dede moeswir, SpPD
dr. Hadianti SpPD
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK UIN
Kaprodi PSPD FKIK UIN
Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, SpAnd
Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan
limpahan rahmat dan hidayahNya serta izin dan petunjukNya pula maka Penulis
dapat menyelesaikan laporan penelitian yang merupakan pelengkap dalam
rangkaian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran pada program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Jakarta.
Penulisan laporan penelitian ini tidak luput dari bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And,Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. H. Dr. dr. Syarief Hasan Lutfi selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter.
3. dr. Alyya Shidiqa Sp.FK. dan dr.Rachmania Diandini, MKK selaku Dosen
Pembimbing yang telah dengan sangat sangat sabar banyak menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
penelitian ini.
4. Bapak, Ibu, Enggar, Mbak warti dan keluarga besar penulis yang telah
mambantu, mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materil.
5. Sahara Effendy, yang selalu menjadi sahabat terbaik dan penyelamat dalam
terselesaikannya penelitian ini.
6. Arini Retno Palupi, Ning Widya, Akbar Andriansah, Anaytullah, Abdul Majid,
Roysam Azmal, Faris Elhaq, dan semua teman teman di PSPD yang telah
banyak membantu penulis dalam penyusunan penelitian ini.
7. Netadea Aprina, yang senantiasa berada disisi penulis dan selalu membuat
semua seakan akan terasa mudah bahkan ketika penulis menemui kesulitan.
8. Audria Gupitarini, Ananda Dwi Nur Apriliani, Gery Askamal, Putri Ratna,
Nurbaeti Baba, Lucky Persiana, Yosephinne Phytama, Meutia Adryana dan
v
semua sahabat penulis dimanapun berada, yang selalu menjadi inspirasi bagi
penulis.
Penulis berharap riset ini dapat bermanfaat terutama baik bagi penulis sendiri,
maupun pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait.
Jakarta, 25 November 2011
Penulis
vi
ABSTRAK
Santiko Restuadhi. INSIDENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN LANSIA
DENGAN TERAPI POLIFARMASI DI PUSKESMAS PAMULANG
PERIODE JANUARI 2011 - MARET 2011. Angka harapan hidup yang
semakin meningkat telah menyebabkan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia.
Hal ini pada umumnya diikuti dengan peningkatan kejadian polifarmasi karena
pada lanjut usia sering dijumpai penurunan kesehatan yang membutuhkan
penanganan yang kompleks dan pengobatan yang beragam. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui jumlah kejadian peresepan obat lebih dari 5
(polifarmasi) pada pasien lansia di Puskesmas Pamulang periode Januari 2011 –
Maret 2011 dan mengetahui berapa yang memiliki interaksi obat didalamnya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain deskriptif dengan variabel
penelitian ada tidaknya interaksi obat menurut literatur. Sampel adalah pasien
lansia yang mendapat resep 5 obat atau lebih dengan obat variasi 20 terbanyak
diberikan. Dalam penelitian ini digunakan jenis data sekunder, bersumber dari
data logbook harian puskesmas pamulang bulan janauari 2011 sampai maret 2011.
Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat. Ditemukan dari 860 pasien
lansia , 185 (21,5%) diantaranya mendapatkan terapi polifarmasi. Dan dari 103
pasien polifarmasi, ditemukan kejadian 26 jenis interaksi yang tersebar pada 67
pasien (65% sampel)
Santiko Restuadhi. INCIDENCE OF DRUG INTERACTION IN ELDERLY
PATIENTS WITH POLYPHARMACY AT PUSKESMAS PAMULANG
PERIOD JANUARY 2011 - MARCH 2011. The increase of life expectancy has
led to an increasing number of elderly people. This is generally followed by an
increase in the incidence of polypharmacy in the elderly patients, because in
elderly it is often to found a decline in health that requires a complex treatments
and diverse medications. The purpose of this study was to determine the number
of incidences of prescription with more than 5 medications (polypharmacy) in
elderly patients at Puskesmas Pamulang in period January 2011 – March 2011 and
the incidences of drug interaction among it. The study was conducted using a
descriptive design with a variable presence or absence of drug interaction
according to literature. Samples were elderly patients who have been prescribed
five medications or more with 20 variations of most drugs are given. This study
used secondary data types, derived from the daily logbook of Puskesmas
Pamulang period January 2011 – March 2011. The data is analyzed using the
univariate analysis. From 860 elderly patients, found that 185 (21.5%) of them get
polypharmacy therapy. And from 103 patients with polypharmacy, found that
there are 26 types of interactions that are distributed in 67 patients (65% sample)
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ...........................................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN .........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
ABSTRAK/ABSTRACT ...............................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN ..........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................
3
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................
3
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................................................
3
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................
3
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti ..........................................................................
3
1.4.2 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi ..........................................................
4
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat ....................................................................
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
5
2.1 Landasan teori ...........................................................................................
5
2.1.1 Lanjut usia dan penuaan ......................................................................
5
2.1.2 Perubahan Pada Lanjut Usia ................................................................
6
2.1.3 Masalah Pada Lanjut Usia ...................................................................
7
2.1.4 Penuaan ................................................................................................
8
viii
2.1.5 Teori Biologis ......................................................................................
8
2.1.6 Penuaan Dan Sensitifitas Obat .............................................................
9
2.1.7 Polifarmasi ...........................................................................................
10
2.1.8 Polifarmasi Dan Lanjut Usia ...............................................................
10
2.1.9 Polifarmasi Dan Interaksi Obat ...........................................................
10
2.1.10 Interaksi Obat .....................................................................................
11
2.1.11 Mekanisme Interaksi Obat .................................................................
11
2.1.11.1 Interaksi Farmakokinetik ..............................................................
11
2.1.11.2 Interaksi Farmakodinamik ............................................................
16
2.2 Definisi Operasional ..................................................................................
16
2.3 Kerangka Konsep ......................................................................................
17
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................
18
3.1 Desain Penelitian .......................................................................................
18
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ....................................................................
18
3.3 Populasi Dan Sampel ................................................................................
18
3. 3. 1 Populasi Target ..................................................................................
18
3. 3. 2 Populasi Terjangkau ..........................................................................
18
3. 3. 3 Subjek Penelitian ...............................................................................
18
3. 3. 4 Besar Sampel .....................................................................................
19
3. 3. 5 Kriteria Sampel ..................................................................................
19
3.3.5.1 Kriteria Inklusi ...............................................................................
19
3.3.5.2 Kriteria Ekslusi ...............................................................................
19
3.4 Cara kerja ..................................................................................................
20
3.4.1 Alur Penelitian .....................................................................................
20
3.5 Manajemen Data .......................................................................................
20
3.5.1 Pengumpulan Data ...............................................................................
20
3.5.2 Pengolahan Data ..................................................................................
21
3.5.3 Analisis Data ........................................................................................
21
3.5.4 Penyajian Data .....................................................................................
21
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
22
4.1 Karakteristik Penelitian .............................................................................
22
4.2 Analisis Univariat ......................................................................................
23
ix
4.2.1 Penilaian Penggunaan 20 jenis obat ....................................................
23
4.2.2 Interaksi Obat .......................................................................................
24
4.2.3 Pembahasan Efek Interaksi Obat .........................................................
26
4.3 Keterbatasan Peneletian ............................................................................
31
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
32
5.1 Simpulan ...................................................................................................
32
5.2 Saran ..........................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
33
x
DAFTAR TABEL
No. Tabel
Halaman
Tabel 3.1 Definisi opeasional ........................................................................
17
Tabel 4.1 Sebaran sampel terhadap populasi .................................................
22
Tabel 4.2 Sebaran kualitatif sampel ..............................................................
22
Tabel 4.3 Sebaran kualitatif sampel ...............................................................
22
Tabel 4.4 Persentase Penggunaan Obat .........................................................
23
Tabel 4.5 Sebaran interaksi obat ...................................................................
24
Tabel 4.6 Sebaran kejadian kombinasi 2 obat dengan efek interaksi ............
25
Tabel 4.2 Sebaran pasien dengan interaksi obat ............................................
25
xi
DAFTAR BAGAN
No.Bagan
Halaman
Bagan 2.1.
Kerangka Konsep.................................................................. 17
Bagan 3.1.
Alur Penelitian..................................................................... 20
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar seluruh jenis obat yang digunakan .......................................................
36
Daftar seluruh jenis kombinasi obat yang terjadi pada sampel ........................
37
Surat pengantar UIN ke Departemen Kesehatan Tangerang Selatan ..............
38
Surat pengantar Departemen Kesehatan Tangerang Selatan ke Puskesmas
Pamulang .........................................................................................................
39
Daftar riwayat hidup .......................................................................................
40
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia terutama di
bidang kesehatan dan ilmu kedokteran telah memberikan hasil positif yang salah
satunya ditandai dengan peningkatan angka harapan hidup. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik menunjukan
peningkatan yang signifikan dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Pada tahun
1968 angka harapan hidup adalah 45,7 tahun, angka ini terus meningkat tiap
tahunnya hingga menjadi 64.05 tahun pada tahun 2000.1 Seiring dengan
peningkatan angka harapan hidup tersebut, akan juga didapatkan penigkatan
jumlah penduduk lanjut usia. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru
berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah ini
terus meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau
7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan
menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk
lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. 1
Menurut
Darmojo,
akan
didapatkan
berbagai
konsekuensi
dari
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menyangkut masalah kesehatan,
ekonomi, serta sosial budaya yang cukup dari pola penyakit sehubungan dengan
proses penuaan, seperti penyakit degeneratif, penyakit metabolik, dan gangguan
psiko‐sosial. 2
Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan
kesehatan fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit , karena beragam
penurunan fungsi organ dan berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
pengaruh dari luar. Dalam penelitian Profil Penduduk Usia Lanjut Di Kodya
Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita berbagai penyakit yang
berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung
koroner, rematik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu.3
1
2
Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas
Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan
mengidap penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang
banyak diderita lanjut usia, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari.4
Masalah kesehatan yang beragam pada individu lanjut usia memerlukan
penanganan yang kompleks untuk mengatasinya, seperti dengan pemberian obat
yang juga beragam pada individu tersebut (polifarmasi). Menurut literatur
polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat. Walaupun tidak ada jumlah pasti
obat yang dikonsumsi untuk mendefinisikan polifarmasi, mayoritas menggunakan
3 sampai 5 obat per pasien.5 Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia
yang memiliki banyak masalah kesehatan , yang setiap masalahnya memerlukan
terapi obat obatan.6
Polifarmasi adalah masalah bagi pasien lanjut usia karena dapat
meningkatkan risiko efek samping. Sebuah studi di Belanda meneliti tentang
insiden dan prevalensi adverse drug reaction pada pasien praktek umum
menggunakan dua atau lebih obat secara bersamaan, ditemukan bahwa tingkat
kejadian menjadi 5,5 per 100 pasien usia lanjut (> 64 tahun), dan tingkat
prevalensi 6,1 per 100. Risiko adverse drug reaction sangat terkait dengan
meningkatnya jumlah obat yang diminum.7 Polifarmasi juga meningkatkan risiko
sindrom geriatrik (gangguan kognitif dan delirium, jatuh dan patah tulang pinggul,
inkontinensia urin), dan penurunan status fungsional.6
Tidak hanya resiko efek samping, polifarmasi juga meningkatkan resiko
terjadinya interaksi obat. Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori
masalah terkait obat yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat
yang dapat mempengaruhi kondisi klinis pada pasien. Suatu interaksi obat terjadi
ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh
kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi.8
Penelitian tentang interaksi obat pada polifarmasi di Indonesia masih
sangatlah minim sehinga peneliti tertarik untuk meneliti insidensi interaksi obat
yang terjadi pada pasien lansia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamluang
3
karena Puskesmas Pamulang merupakan Puskesmas yang sudah memiliki sistem
pendataan yang cukup baik.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Berapa prevalensi pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi di
Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011?
2. Berapa kejadian interaksi obat pada pasien lanjut usia dengan terapi
polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
1.
Diketahuinya prevalensi pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi
di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.
2.
Diketahuinya angka kejadian interaksi obat pada pasien lanjut usia
dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 –
Maret 2011.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Diketahuinya karakteristik usia dan jenis kelamin pasien lanjut usia
dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 Maret 2011.
2.
Diketahuinya jenis obat tersering yang diberikan pada pasien lanjut
usia dengan terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 Maret 2011.
1.4
Manfaat penelitian
1.4.1
Manfaat Bagi Peneliti
1.
Menambah keterampilan bagi peneliti dalam melakukan penelitian.
2.
Mengaplikasikan ilmu yang didapat selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
4
1.4.2
Manfaat bagi perguruan tinggi
1.
Mewujudkan Tri Dharma perguruan tinggi dalam melaksanakan
fungsi
dan
tugas
menyelenggarakan
perguruan
pendidikan,
tinggi
sebagiai
penelitian,
lembaga
dan
yang
pengabdian
masyarakat.
2.
Mewujudkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagai
universitas riset dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan.
3.
Meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara mahasiswa dan staf
pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
4.
Mendapatkan data awal tentang prevalensi pasien lanjut usia dengan
terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.
1.4.3
Manfaat bagi masyarakat
1.
Meningkatkan kewaspadaan bagi para sejawat dalam peresepan pasien
lansia.
2.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang resiko terdapatnya
efek interaksi obat pada terapi polifarmasi
3.
Memberikan informasi kepada puskesmas tentang resiko terdapatnya
kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan efek interaksi obat yang
berbahaya untuk pasien pada pengobatan polifarmasi terutama pasien
lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Lanjut Usia dan Penuaan
Definisi lanjut usia
Pengertian dan Pengelompokkan Lanjut Usia Usia lanjut dikatakan
sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Ada beberapa
pengertian yang menjadi batasan kelompok lansia. Pada pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.9 Jika mengacu pada usia
pensiun, lansia adalah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun. 10
Sedangkan, Munro dkk., (1987) mengelompokkan older elderly ke dalam
2 bagian, yaitu 75-84 tahun dan 85 tahun.10
Sementara itu, WHO membagi lansia atas tiga kelompok:
1. Kelompok middle age (45-59 tahun)
2. Kelompok elderly age (60-74 tahun)
3. Kelompok old age (75-90 tahun) 11
Maryam dkk. (2008), dalam bukunya Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya, menyebutkan ada 5 klasifiksi pada lansia, yakni:
1. Pralansia (prasenilis), adalah seseorang yang berusia 45-59 tahun.
2. Lansia, adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi, adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
4. Lansia potensial, adalah lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial, adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.9
5
6
2.1.2
Perubahan-perubahan pada lanjut usia
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita.12 Proses menua merupakan proses yang
terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya pada
semua mahkluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun dari luar tubuh. 13
Bagi sebagian orang besar, proses manua adalah suatu proses perubahan
klinikal yang didasarkan pada pengalaman dan observasi yang di defenisikan
dengan ; (1) penuaan pada kemikal dengan manifestasi perubahan struktur kristal
atau pada makromolekular, (2) penuaan ekstraseluler dengan manifestasi progresif
pada jaringan kolagen dan jaringan elastis atau kekurangan amiloid, (3) penuaan
intraseluler dengan menifestasi perubahan komponen sel normal atau akumulasi
substansi dan (4) penuaan pada organisme.13
Pada lansia sering terjadi komplikasi penyakit atau multiple penyakit. Hal
ini di pengaruhi berbagai faktor, terutama oleh perubahan-perubahan dalam diri
lansia tersebut secara fisiologis. Lansia akan lebih sensitif terhadap penyakit
seperti terhadap nyeri, temperatur, dan penyakit berkemih.14
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia :
a.
Perubahan – perubahan fisik meliputi perubahan sel, sistem
pernafasan,
sistem
pendengaran,
sistem
penglihatan,
sistem
cardiovaskuler, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem respirasi,
sistem pencernaan, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem kulit
dan sistem muskuloskletal. Perubahan yang terjadi pada bentuk dan
fungsi masing – masing.
b.
Perubahan –perubahan mental: perubahan- perubahan mental pada
lansia berkaitan dengan 2 hal yaitu kenangan dan intelegensia. Lansia
akan mengingat kenangan masa terdahulu namun sering lupa pada
masa yang baru, sedangkan intelegensia tidak berubah.13
7
c.
Perubahan – perubahan psikososial: Pensiun dimana lansia mengalami
kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman, dan
kehilangan pekerjaan , kemudian akan merasakan atau sadar terhadap
kematian,
perubahan
cara
hidup,
penyakit
kronik
dan
ketidakmampuan, gangguan gizi akibat kehilangan jabatan dan
hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik yaitu perubahan terdapat
konsep diri dan gambaran diri.13
d.
Perkembangan spiritual: Agama dan kepercayaan makin terintegrasi
dalam kehidupannya.13
e.
Perubahan minat: Terdapat hubungan yang erat antar jumlah
keinginan dan minat orang pada seluruh tingkat usia dan keberhasilan
penyesuaian mereka.13 Keinginan tertentu mungkin di anggap sebagai
tipe keinginan dan minat pribadi, minat untuk berekreasi keinginan
sosial, keinginan yang bersifat keagamaan dan keinginan untuk mati.15
2.1.3
Masalah - masalah pada lanjut usia
Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai
masalah fisik baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial ekonomis. Dengan
semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di
bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada perananperanan sosialnya. Hal ini mengkibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal
mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantunga
yang memerlukan bantuan orang lain.
Lanjut usia tidak saja di tandai dengan kenunduran fisik, tetapi dapat pula
berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan
sosialnya akan semakin berkurang hal mana akan dapat mengakibatkan
berkurangnya integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat memberikan dampak
pada kebahagiaan seseorang 16
Masalah – masalah pada lanjut usia di kategorikan ke dalam empat besar
penderitaan lanjut usia yaitu imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan
inkontinensia. 17
8
2.1.4
Penuaan
Teori – teori penuaan ada 2 jenis yaitu teori biologis dan teori psikologis.
Teori biologis meliputi teori seluler, sintesis protein, sintesis imun, teori
pelepasan, teori aktivitas, dan teori berkelanjutan.17
2.1.5
Teori biologis
Teori seluler mengemukakan bahwa sel di program hanya untuk
membelah pada waktu yang terbatas serta kemampuan sel yang hanya dapat
membelah dalam jumlah yang tertentu dan kebanyakan diprogram membelah
sekitar 50 kali. Jika sebuah sel pada lanjut usia dilepas dari tubuh dan di biakkan
dari laboratorium, lalu diobservasi, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat
sedikit, pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan sesuai dengan berkurangnya umur. 17
Teori sintesis protein mengemukakan bahwa proses penuaan terjadi ketika
protein tubuh terutama kolagen dan elastin menjadi kurang fleksibel dan kurang
elastis. Pada lanjut usia, beberapa protein di buat oleh tubuh dengan bentuk dan
struktur yang berbeda dari pritein tubuh orang yang lebih muda. Banyak kolagen
pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta
menjadi tebal, seiring dengan bertambahnya usia.17
Teori sistem imun mengemukakan bahwa kamampuan sistem imun
mengalami kemunduran pada masa penuaan dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan infeksi, penyakit autoimun, dan kanker. Terdapat juga perubahan
yang progresif dalam kemampuan tubuh untuk berespon secara adaptif
(Homeostasis), seiring dengan pengunduran fungsi dan penurunan kapasitas untuk
beradaptasi terhadap stres biologis dehidrasi, hipotermi, dan proses penyakit akut
dan kronik. 17
Teori Pelepasan. Teori ini memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri
lanjut usia merupakan suatu proses yang secara berangsur – angsur sengaja di
lakukan mereka dengan mengurangi aktivitasnya untuk bersama – sama
melepaska diri atau menarik diri dari masyarakat. 17
Teori Aktivitas. Teori ini berlawanan dengan teori pelepasan dimana teori
ini berpandangan bahwa walaupun lanjut usia pasti terbebas dari aktivitas, tetapi
9
mereka secara bertahap mengisi waktu luangnya dengan melakukan aktivitas lain
sebagai kompensasi dan penyesuaian. dengan kata lain sebagai orang yang telah
berumur,
mereka
meninggalkan
bentuk
aktivitas
yang
pasti
dan
mengkompensasikan dengan melakukan banyak aktivitas yang baru untuk
mempertahankan hubungan antara sitem sosial dan individu daru usia pertengahan
kelanjut usia. 17
Teori Berkelanjutan. Teori ini menjelaskan bahwa sebagaimana dengan
bertambahnya usia, masyarakat berupaya secara terus menerus mempertahankan
kebiasaan, pernyataan, dan pilihan yang tepat sesuai dengan dnegan
kepribadiannya.17
2.1.6
Penuaan dan sensitifitas obat
Pasien lansia lebih beresiko terhadap kejadian efek samping obat (Adverse
Drug Event), karena penuaan menyebabkan perubahan fisiologis yang membuat
tubuh lebih sensitif terhadap efek obat. Perubahan ini mempengaruhi baik
farmakokinetik dan farmakodinamik.18
Penuan dapat mempengaruhi farmakokinetik, yakni absorbsi, disttribusi,
metabolisme, dan eksresi. Absorbsi , pada obat oral sedikit terpengaruh . Pada
pasien lansia, absorbsi secara umum lebih lambat namun tetaop terabsorbsi
seluruhnya. Makin banyak obat yang dikonsumsi , makin banyak pula
kemungkinan satu obat dapat mempengaruhi obat yang lain. 18
Distribusi obat juga dipengaruhi oleh penuaan. Obat di dalam tubuh dapat
didistribusikan melalui lemak atau air, tergantung dari unsur kimiawinya. Seiring
dengan pasien yang semakin menua, presentasi lemak didalam tubuh akan
semakin meningkat, maka obat obat yang larut lemak, seperti diazepam, akan
menetap didalam tubuh lebih lama karena didalam tubuh terdapat lebih banyak
cadangan lemak yang dapat didistribusikan. Dan , karena pasien lansia memiliki
proporsi air yang lebih sedikit dibanding pasien yang lebih muda, kadar obat yang
larut air di dalam darah akan menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.
Walaupun demikian, perubahan efek obat karena perubahan cadangan lemak dan
cairan tubuh tetap merupakan hal yang sulit untuk diantisipasi karena fungsi tubuh
10
yang lain seperti protein pengikat obat, juga berpengaruh terhadap distribusi
obat.18
2.1.7
Polifarmasi
Menurut literatur polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat. Walaupun
tidak ada jumlah pasti obat yang dikonsumsi untuk mendefinisikan polifarmasi,
mayoritas menggunakan 3 sampai 5 obat per pasien.5 Polifarmasi biasanya terjadi
pada pasien lanjut usia yang memiliki banyak masalah kesehatan, yang
memerlukan terapi obat obatan yang beragam.6
2.1.8
Polifarmasi dan Usia lanjut
Polifarmasi biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memiliki banyak
masalah kesehatan, yang memerlukan terapi obat obatan yang beragam.6 Dalam
penelitian yang dilakukan di Quebec, menunjukkan bahwa individu-individu
diatas usia 75 tahun rata rata mengonsumsi enam obat yang berbeda.19
2.1.9
Polifarmasi dan interaksi obat
Semakin banyaknya obat yang dikonsumsi sering kali dikaitkan dengan
potensi yang lebih besar untuk terjadinya interaksi obat dan efek samping.
Interaksi obat merupakan penyebab dari 15% sampai 20% insidensi adverse drug
reaction.20 Menurut beberapa peneliti, insidensi adverse drug reaction meningkat
sebanding dengan jumlah obat yang digunakan oleh seorang individu.21 Sebagai
contoh, 4% dari efek samping per tahun dilaporkan ketika kurang dari lima obat
yang dikonsumsi, namun hal ini meningkat menjadi 54% ketika lebih dari lima
obat yang diresepkan.20
11
2.1.10 Interaksi obat
Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi keadaan klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi ketika
farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran
satu atau lebih zat yang berinteraksi.8
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya
beberapa efek lainnya.23
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat
bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir
bersama satu dengan yang lainnya.22
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang
rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.24
2.1.11 Mekanisme Interaksi Obat
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
2.1.11.1 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau
mengurangi
jumlah
farmakologisnya.23
obat
yang
tersedia
untuk
menghasilkan
efek
12
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat
i. Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung
pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak
terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam
lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi
obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih
besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi.22
ii. Absorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di
dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan
bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang
diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah
besar
obat-obatan.
Sebagai
contoh,
antibakteri
tetrasiklin
dapat
membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti
kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang
diserap dan mengurangi efek antibakteri.22
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus
kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan
lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),
sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya.22
iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik
adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obatobatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi
ketersediaan hayati digoksin.22
13
v. Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin
menyebabkan
sindrom
malabsorpsi
dan
dapat
mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan
metotreksat.22
b. Interaksi pada distribusi obat
i. Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh
tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan
plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul
dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama
albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel,
kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang
tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara
farmakologi.22
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis,
dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein
ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi
secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan
penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek
samping CNS.22
c. Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.
Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan
terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini
disebut
metabolisme,
biotransformasi,
degradasi
biokimia,
atau
detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal,
14
kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis
reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih
polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat
lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)untuk
membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I
dilakukan oleh enzim sitokrom P450. 22
ii. Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu
terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek
hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas
enzim
mikrosom
sehingga
meningkatkan
laju
metabolisme
dan
ekskresinya.22
iii. Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat,
sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi
enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan
minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam
waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang
cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I
oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak
interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan
serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi
tidak penting secara klinis.22
iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa
beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang
berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang
berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang
sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal
15
sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat
atau
metabolisme
ekstensif.
Kemampuan
yang
berbeda
dalam
metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa
pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara
yang lain bebas dari gejala.22
v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi
isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak
mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara
ketokonazol meningkatkannya.22
d. Interaksi pada ekskresi obat
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 37,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang
tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam
urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa
7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan
jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat.22
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di
tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai
contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya.
Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada
ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal
banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs).22
iii. Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang.22
16
2.1.11.2 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat
obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi.23
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol
menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal
sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat
menyebabkan
mengantuk
berlebihan.
Kadang-kadang
efek
aditif
menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi
sumsum tulang dan perpanjangan interval QT).22
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan
kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif
menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari
antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal,
sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan. 22
2.2 Definisi Operasional
Untuk melihat dan menilai variabel-variabel yang akan diukur, digunakan
definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu :
17
Tabel 2.1 Definisi Operasional
No Variabel
1.
2.
3.
Lansia
Definisi
Operasional
Seseorang
berusia 60 tahun
atau lebih
Polifarmasi
Seseorang yang
sedang
menjalani
pengobatan
dengan 5 jenis
obat atau lebih
Interaksi obat Peristiwa
berubahnya efek
obat karena
pemberian
bersamaan atau
hampir
bersamaan
dengan obat lain
Cara Ukur
Alat Ukur
Skala
Hasil Ukur
Hitung
Logbook
kunjungan
harian
pasien
puskesmas
Logbook
kunjungan
harian
pasien
puskesmas
kategorik
(-) < 60 tahun
Hitung
Studi pustaka literatur
(+) > 60 tahun
kategorik
(-) < 5 obat
(+) > 5 obat
Deskripsi
efek interaksi
yang terjadi
2.3 Kerangka Konsep
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui prevalensi terapi
polifarmasi pada lansia di Puskesmas Pamulang Januari 2011 sampai Maret 2011,
maka peneliti akan lebih difokuskan pada beberapa faktor sesuai dengan kerangka
konsep berikut ini.
Bagan 2.1 Kerangka konsep
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian
Berdasarkan data statistik yang digunakan, desain penelitian yang
dilakukan adalah penelitian deskriptif untuk mendapat data sekunder dan
menilainya sehingga didapat data interaksi obat pada usia lanjut dengan terapi
polifarmasi. Adapun berdasarkan waktu penelitian, desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain penelitian potong lintang (cross-sectional) dimana
data yang diambil adalah data aktual atau langsung dilakukan pada saat sekarang.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Pamulang pada bulan Agustus –
November 2011.
3.3
Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien lansia di
Puskesmas Pamulang tahun 2011.
3.3.2
Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien lansia yang
mendapat terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.
3.3.3
Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah pasien lansia yang mendapat
terapi polifarmasi di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011 yang
ditentukan oleh peneliti berdasarkan variasi 20 jenis obat tersering
18
19
3.3.4. Besar Sampel
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kategorik dimana penilaian akan
dilakukan dengan cara pengelompokan apakah terdapat efek interaksi atau tidak.
Maka dari itu untuk menentukan besarnya sampel dalam penelitian ini digunakan
rumus besar sampel untuk penelitian deskriptif kategorik sebagai berikut :
(zα)2 P.Q
n =2
d
28
Keterangan:
n : jumlah sampel
P : Proporsi : prevalensi dari penelitian 0,411 23
d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0.1
α : tingkat kemaknaan = 1.96
Q : 1 – P = 1 – 0.5 = 0.5
1.962 x 0.411 (1 - 0.411) = 92,99
(0.1)2
n = 93
Maka, diperoleh jumlah sampel yang diperlukan adalah 93 subjek. Untuk
menjaga kemungkinan adanya drop out (DO), maka jumlah subjek ditambah
sebanyak 10%. Jadi jumlah subjek adalah 93 + 9,3 = 102,3 dibulatkan menjadi
102 subjek
3.3.5
Kriteria Sampel Penelitian
3.3.5.1 Kriteria Inklusi
Pasien usia diatas 60 tahun yang mendapatkan terapi 5 obat oral atau lebih
dan terdaftar sebagai pasien di Puskesmas Pamulang Januari 2011 - Maret 2011.
3.3.5.2 Kriteria Eksklusi
Pasien dengan terapi diluar 20 variasi obat yang paling sering digunakan
dalam terapi polifarmasi pada pasien usia lanjut
20
3.4
Cara Kerja
3.4.1
Alur Penelitian
Bagan 3.1 Alur Penelitian
Literatur
3.5.
Managemen Data
3.5.1. Pengumpulan Data
1.
Data dikumpulkan dengan melihat logbook kunjungan harian pasien
di Puskesmas Pamulang periode Januari 2011 - Maret 2011.
Kemudian dari data tersebut diseleksi yang memenuhi kriteria yakni
berusia 60 tahun atau lebih dan menjalani terapi polifarmasi.
2.
Data kemudian diurutkan untuk mendapat 20 jenis obat yang paling
sering digunakan pada pasien usia lanjut yang mendapat
polifarmasi
terapi
21
3.
Sehingga data yang digunakan adalah sejumlah pasien yang mendapat
terapi polifarmasi dalam 20 variasi jenis obat yang sudah ditentukan,
yaitu 103 orang.
3.5.2. Pengolahan Data
Data dimasukkan ke dalam komputer melalui data entry pada program
Microsoft Excell untuk diolah dan dilihat jumlah dan jenis kombinasi 2 obat yang
terjadi pada seluruh sampel. Lalu kombinasi obat tersebut dimasukan kedalam
program yang tersedia dari situs www.drugs.com/drug_interactions untuk
mempermudah mengetahui kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan efek
interaksi. Kombinasi 2 obat yang memiliki potensi efek interaksi selanjutnya di
cari penjelasannya lebih lanjut di literatur.
3.5.3. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
prevalensi. Data yang didapat kemudian dinilai, dan diteliti untuk mendapat
jumlah interaksi obat yang terjadi dan dianalisa bentuk interaksi yang terjadi
melalui studi pustaka.
3.5.4. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi, teks, dan tabel. Hasil
penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian yang dipresentasikan
di hadapan staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Karakteristik Penelitian
Tabel 4.1 Sebaran Sampel Terhadap Populasi
Jumlah
Total pasien lansia
860
Pasien polifarmasi
Pasien dengan pengobatan
5 obat atau lebih dengan
variasi obat 20 tersering
(sampel)
185
Persentase (%)
21,5
12
103
Tabel 4.1 menunjukkan jumlah dan persentase sampel sebanyak 103
orang dari total populasi sebanyak 860 orang. Jumlah yang termasuk kriteria
inklusi sebanyak 185 orang, tereksklusi sebanyak 82 orang karena menggunakan
obat diluar 20 jenis obat tersering pada pasien lansia di puskesmas Pamulang
dengan terapi polifarmasi.
Tabel 4.2 Sebaran Kualitatif Sampel
Jenis Kelamin Pasien
Laki laki
Perempuan
Jumlah
38
65
Presentase
37%
63%
Pada tabel 4.2 dapat kita lihat sampel penelitian didominasi oleh
perempuan
Tabel 4.3 Sebaran Kuantitatif Sampel
Umur
Nilai Mean
67,17
Min-Maks
60-86
SD
5,893
Tabel 4.3 menunjukkan rata rata usia subjek penelitian yang diikutsertakan
adalah 67,17 tahun dengan usia paling muda 60 tahun dan usia paling tua 86
22
23
tahun. Secara keseluruhan hasil analisis simpang baku menunjukkan nilai > 0
yang berarti data yang diujikan memiliki variasi (heterogen).
4.2
Analisis Univariat
4.2.1
Penilaian Penggunaan 20 Jenis Obat
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan 42 jenis obat yang dipakai pada
pasien lanjut usia dengan terapi polifarmasi. Untuk memudahkan fokus penelitian
dalam mencari kemungkinan efek interaksi obat dalam terapi polfarmasi, peneliti
hanya menggunakan pasien dengan penggunaan 20 jenis obat tersering sebagai
sampel penelitian.
Tabel 4.4 Persentase Penggunaan Obat
Jumlah
kejadian
Persentase
B Kompleks
C
Parasetamol
Kaptopril
Antasid
Klorfeniramin
Maleat
Guaifenesin
Guaicolat
OBH
Piroksikam
Amoksisilin
Ranitidin
Diazepam
Nifedipin
Allopurinol
Kalsium
89
10
87
57
49
17,28%
1,94%
16,89%
11,07%
9,51%
40
7,77%
25
4,85%
20
18
16
15
14
13
13
12
3,88%
3,50%
3,11%
2,91%
2,72%
2,52%
2,52%
2,33%
Glibenklamid
12
2,33%
Metformin
Prednison
Deksametason
8
7
6
1,55%
1,36%
1,17%
Kotrimoksazole
4
0,78%
Golongan obat
Nama Obat
Vitamin
Antipiretik
Antihipertensi Ace-Inhibitor
Antasida
Antihistamin H1
Ekspektoran
Antitusif
NSAID
Antibiotik Penicilin
Antagonis Resepto H2
Obat SSP, Benzodiazepin
Anti Hipertensi Ca+ channel blocker
Antiurisemia
Mineral
Anti Diabetik Oral Insulin Sekretagog,
Sulfonilurea
Antidiabetik Oral
Kortikosteroid
Antibiotirimetoprimk Kombinasi Sulfonamid Dan
Trimetopim
Tabel 4.4 menjelaskan jumlah dan persentase penggunaan 20 jenis obat
oleh sampel. Obat tersebut terdiri dari vitamin, analgetik, antipiretik,
24
antihipertensi, antasida dan sebagainya. Obat dengan persentase pengguaan
tertinggi adalah Vitamin B-Kompleks dan Parasetamol.
4.2.2
Interaksi Obat
Secara matematis bila ada 2 obat atau lebih dikombinasikan, maka
kemungkinan kombinasi 2 obat yang terjadi adalah :
[1/2n(n-1)] kombinasi, n = jumlah obat
(matematika dasar)
Dalam penelitian ini terdapat 20 jenis obat, maka :
[1/2(20)(20-1)] kombinasi = 190 kemungkinan kombinasi 2 obat
Pada penelitian ini dari 190 jenis kemungkinan terjadinya kombinasi 2
obat, ditemukan 140 jenis kombinasi. Untuk memudahkan peneliti dalam
menentukan adanya potensi interaksi atau tidak, 140 jenis kombinasi tersebut
dimasukan ke situs www.drugs.com. Menurut situs www.drugs.com dari 140 jenis
kombinasi obat yang ditemukan, didapat 26 jenis kombinasi yang memiliki efek
interaksi obat. Selanjutnya 26 jenis kombinasi obat tersebut dicari penjelasan efek
interaksi di literatur farmakologi.
Tabel 4.5 Sebaran Interaksi Obat
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Interaksi
Parasetmol – Ranitidin
Piroksikam – Glibenklamid
Piroksikam – Kaptopril
Piroksikam – Nifedpin
Piroksikam – Ranitidin
Piroksikam – Deksametason
Kalsium – Nifedipin
Glibenklamid – Kaptopril
Glibenklamid – Antasid
Glibenklamid – Ranitidin
Glibenklamid – Metformin
Glibenklamid – Deksametason
Kaptopril – Allopurinol
Kaptopril – Antasid
Kaptopril – Diazepam
Kaptopril – Metformin
Kaptopril – Deksametason
Kaptopril – Prednison
Jumlah Pasien
13
3
10
1
3
2
1
2
3
1
2
2
7
30
10
2
3
2
Persentase dari sampel (%)
12,6
2,9
9,7
1,0
2,9
1,9
1,0
1,9
2,9
1,0
1,9
1,9
6,8
29,1
9,7
1,9
2,9
1,9
25
19
20
21
22
23
24
25
26
Kaptopril – Kotrimoksazol
Nifedipin – Metformin
Nifedipin – Dexamtason
Antasid – Ranitidin
Antasid – Allopurinol
Antasid – Diazepam
Antasid – Deksametasom
Antasid – Prednison
1
1
1
14
4
10
3
3
1,0
1,0
1,0
13,6
3,9
9,7
2,9
2,9
Tabel 4.5 menunjukkan jenis kombinasi 2 obat yang dinyatakan memiliki
interaksi oleh www.drugs.com dan sebaran pasien yang mengalaminya. Dari 26
jenis interaksi didapatkan 1 jenis interaksi obat yang sifatnya berbahaya dengan 7
kejadian, yaitu interaksi Kaptopril dengan Allupurinol. Tabel 4.5 juga
menunjukan interaksi obat yang paling sering terjadi, yakni Kaptopril dengan
Antasid, menurut literatur pemberian Kaptopril bersamaan dengan Antasid dapat
menurunkan absorbsi dan bioavailabilitas oral Kaptopril dan ACE-inhibitor
lainnya. Sebenarnya efek interaksi ini dapat dicegah dengan memisahkan
penggunaan kedua obat tersebut selama 1 sampai 2 Jam.
Tabel 4.6 Sebaran kejadian kombinasi 2 obat dengan efek interaksi
Seluruh jenis pertemuan obat
140 kombinasi
1030 kejadian
Jenis kombinasi 2 obat yang memiliki interaksi
26 kombinasi
134 kejadian
Persentase (%)
18,57
13,07
Tabel 4.6 menjelaskan sebaran kejadian 26 jenis kombinasi obat yang
memiliki efek interaksi , yaitu sejumlah 134 kasus atau sekitar 13% dari total
kejadian keseluruhan jenis kombinasi yang terjadi. Tiap masing-masing
kombinasi yang berpotensi menimbulkan efek interaksi akan dibahas pada poin
4.2.3.
Tabel 4.7 Sebaran pasien dengan interaksi obat
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah pasien tanpa interaksi obat
36
35
Jumlah pasien dengan interaksi obat
67
65
Jumlah pasien polifarmasi
103
100
26
Tabel 4.7 menunjukan bahwa 134 kejadian kombinasi 2 obat dengan efek
interaksi tersebar pada 65% sampel (67 orang). Tingginya angka kejadian
interaksi obat pada pasien dengan terapi polifarmasi ini mengemukakan
kemungkinan bahwa interaksi obat mendasari fakta yang ditemukan pada
penelitian sebelumnya, bahwa 4% dari adverse drug reaction per tahun
dilaporkan ketika kurang dari lima obat yang dikonsumsi, namun hal ini
meningkat menjadi 54% ketika lebih dari lima obat yang diresepkan.19
4.2.3
Pembahasan Efek Interaksi Obat
Dalam penelitian ini didapatkan 26 jenis kombinasi obat yang memiliki
efek interaksi, namun ada beberapa efek interaksi yang sama yang ditimbulkan
oleh 2 kombinasi obat berbeda. Hal ini disebabkan obat tersebut masih dalam
golongan yang sama, misalkan interaksi antara Kaptopril – Prednison dan
Kaptopril – Deksametason. Selain itu, didapatkan beberapa kombinasi yang
dinyatakan berpotensi
memiliki
efek interaksi
oleh program
di
situs
www.drugs.com namun tidak dapat dikonfirmasi lebih lanjut dari literatur, hal ini
mungkin disebabkan hal tersebut masih sebatas penelitian dan laporan dari
beberapa kasus. Berikut adalah kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan
efek interaksi menurut literatur :
a. Piroksikam – Glibenklamid
Piroksikam dapat meningkatkan efek hipoglikemi dari Glibenklamid.22
Namun NSAID lain dari golongan salisilat seperti aspirin dapat meningkatkan
efek hipoglikemi dari antidiabetik oral lebih signifikan. Hal ini disebabkan
salisilat diketahui juga memiliki efek hipoglikemi sehingga efek dari kedua obat
itu saling bertambah. Penurunan dosis dari obat antidiabetik diperlukan jika
digunakan bersamaan dengan dosis salisilat yang tinggi.22
b. Piroksikam – Kaptopril
Piroksikam tidak memilik efek dengan ACE-inhibitor, namun NSAID lain
seperti indometasin dan aspirin dapat menurunkan efek antihipertensi dari ACEinhibitor. Hal ini diduga terjadi melalui mekanisme penghambatan sintesis
prostaglandin ginjal oleh NSAID, yang akhirnya menyebabkan hipertensi. Selain
27
itu, NSAID dapat menyebabkan retensi cairan, yang juga mempengaruhi tekanan
darah. Beberapa NSAID juga dapat mengubah farmakokinetik dari beberapa obat
ACE-inhibitor tertentu.22
c. Piroksikam – Ranitidin
Konsentrasi piroksikam dapat meningkat oleh pemberian H-2 reseptor
antagonis khususnya simetidin. Hal ini mungkin disebabkan oleh penghambatan
metabolisme oleh simetidin. Tidak ada dampak klinis yang signifikan, pemberian
rantidin justru ditujukan untuk memproteksi mukosa lambung karena efek iritan
dari NSAID.22
d. Piroksikam – Dexametason
Penggunaan kombinasi antara kortikosteroid dengan NSAID dapat
meningkatkan
toksisitas terhadap gastrointestinal, termasuk resiko terjadinya
inflamasi, pendarahan, ulserasi dan perforasi. 22
e. Kaptopril – Diazepam
Banyak obat psikoterapi dan obat yang mempengaruhi SSP seperti
misalnya, anti ansietas, sedatif, hipnotik,antidepresan, antipsikotik, opioid,
alkohol, relaksan otot, menunjukkan efek hipotensi, terutama selama inisiasi
terapi dan peningkatan dosis. Pemberian bersamaan dengan obat antihipertensi
khususnya vasodilator dan alpha-blocker, dapat mengakibatkan efek aditif pada
tekanan darah.22
f. Kaptopril – Allopurinol
Kombinasi antara allopurinol dengan ACE-inhibitor sering dihubungkan
dengan resiko reaksi hipersensitifitas yang hebat, neutropenia, agranulositosis,
dan infeksi yang serius. Mekanisme interaksinya masih belum diketahui karena
pemberian alopurinol atau Kaptopril sendiri juga bisa menimbulkan reaksi
hipersensitifitas. Akan tetapi gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik
dapat menjadi faktor predisposisi. Demam, nyeri sendi, nyeri otot, dermatitis, dan
28
stephen-johnson sindrom sudah pernah dilaporkan, setelah 3 sampai 5 minggu
penggunaan allopurinol bersamaan dengan Kaptopril.22
g. Kaptopril – Prednison , Kaptopril – Dexametason, Nifedipine –
Dexametason
Kortikosteroid dapat menghambat efek dari obat antihipertensi dengan
meningkatkan retensi cairan dan natrium. Efek ini lebih sering ditemui pada
kortikosteroid alami seperti kortison dan hidrokortison karena memiliki efek
mineralo kortikoid yang lebih besar. Sebaliknya beberapa jenis obat penyekat
kanal kalsium seperti diltiazem dan verapamil dapat meningkatkan jumlah
kortikosteroid dalam plasma sehingga efeknya meningkat . Hal ini terjadi akibat
penghambatan pemnbersihan kortikosteroid oleh metabolisme enzim CYP 3A4. 27
h. Kaptopril – Antasid
Antasida ditemukan dapat menurunkan absorbsi dari Kaptopril sebanyak
40%. Mekanismenya masih belum jelas, namun diperkirakan bukan karena
penurunan pH lambung karena simetidin tidak mempunyai efek yang sama.
Signifikansi klinis dari interaksi ini tampaknya kecil karena ditemukan tidak
mempengaruhi efek penurunan tekanan darah oleh Kaptopril. Sebagai tindakan
pencegahan, pasien mungkin memisahkan penggunaan ACE-inhibitor dan
antasida dengan 1 sampai 2 jam. 22
i. Glibenklamid – Kaptopril, Kaptopril – Metformin
Kejadian hipoglikemia pernah ditemukan pada penggunaan bersamaan
antara antidiabetik oral dengan ACE-inhibitor meskipun hanya dalam beberapa
kasus. Mekanisme yang pasti masih belum dimengerti, tetapi terdapat dugaan hal
ini terjadi akibat peningkatan sensitifitas insulin oleh Kaptopril. Interaksi ini
belum sepenuhnya terbukti dan mekanismenya yang masih diperdebatkan, namun
kejadian hipoglikemia yang parah dapat ditemukan pada beberapa kasus. Hal ini
berarti pada praktiknya, penggunaan bersamaan Glibenklamid dengan Kaptopril
sebenarnya tidak harus dihindari, namun perlu diedukasikan pada pasien yang
menggunakan antidiabetik oral bersaman dengan ACE-inhibitor bahwa efek
29
hipoglikemia yang berlebihan dapat terjadi sewaktu waktu dan tidak dapat
diprediksi.22
j. Glibenklamid – Antasid
Antasid dapat meningkatkan rasio absorbsi dari sulfonilurea secara
signifikan. Namun tidak ada bukti bahwa terjadi pengaruh klinis pada pasien
diabetes akibat dari interaksi tersebut. Pemberian Glibenklamid 30 menit sampai 1
jam lebih awal dari antasid disarankan untuk mencegah interaksi.22
k. Glibenklamid – Ranitidin
Antagonis
reseptor
H2
seperti
Simetidin
dan
Ranitidin
dapat
meningkatkan efek hipoglikemi. Mekanismenya diduga berhubungan dengan
inhibisi metabolisme sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga meningkatkan
efeknya.22
l. Glibenklamid – Deksametason
Efektifitas dari obat antidiabetik oral dan insulin dapat terganggu oleh obat
obatan kortikosteroid karena kortikosteroid memiliki efek hiperglikemi, sehingga
dosis obat antidiabetik oral mungkin dperlu ditingkatkan dengan tepat untuk
mencapai efek terapi yang diinginkan.22
m. Piroksikam - Nifedipine
Data yang terbatas mengindikasikan bahwa inhibitor siklooksigenase
dapat meningkatkan efek anti hipertensif dari calsium channel blocker.
Mekanismenya diduga berhubungan dengan perubahan tonus vaskular yang
dipengaruhi oleh prostasiklin dan vasodilator prostanoid lainnya. Ketika NSAID
diberikan pada pasien yang sudah mendapakan terapi Ca2+ channel blocker,
sering dijumpai peningkatan tekanan darah. Dokter juga harus memperhatikan
resiko terjadinya hipotensi ketika pemberian NSAID dihentikan pada pasien
dengan terapi obat antihipertensi golongan Ca2+ channel blocker.22
30
n. Kalsium - Nifedipine
Obat yang mengandung kalsium termasuk suplemen kalsium dapat
mengurangi efek antihipertensif dari obat antihipertensi golongan Ca2+ channel
blocker dengan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam kanal. Salah satu
buktinya, kalsium klorida digunakan untuk mengatasi keracunan verapamil 22
o. Nifedipine – Metformin
Efek hipoglikemi dari obat antidiabetik oral dapat terganggu akibat
pemberian bersamaan dengan obat obatan Ca2+ channel blocker .Beberapa
mekanisme yang diduga adalah penghambatan sekresi insulin oleh Ca2+ channel
blocker , perubahan uptake glukosa oleh sel hati dan sel lain, peningkatan kadar
glukosa darah setelah sekresi katekolamin pada keadaan vasodilatasi, dan
perubahan metabolisme glukosa akibat obat Ca2+ channel blocker.
22
p. Antasid – Diazepam
Antasid
dapat
menurunkan
rasio
absorbsi
dari
obat
golongan
benzodiazepine seperti Clorazepate, Chlordiazepoxide dan Diazepam. Mekanisme
pastinya belum diketahui namun diduga berhubungan dengan keterlambatan
pengosongan lambung dan mengganggu pengikatan benzodiazepine. Akhirnya
onset obat benzodiazepine tertunda dan efek terapi menjadi tidak sesuai dengan
yang diharapkan jika penggunaan pada kondisi akut.22
q. Antasid – Ranitidin
Antasida oral yang mengandung beberapa jenis mineral seperti aluminium,
kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma dari
obat
antagonis reseptor H2. Mekanisme yang mungkin terkait adalah penurunan
absorbsi pada lambung dan penurunan bioavailabilitas yang diakibat oleh efek
penetralan asam lambung. Data yang didapatkan dari studi sebelumnya bervariasi
dan signifikansi klinis belum jelas. Disarankan bahwa H2 blocker diberikan 1-2
jam sebelum pemberian antasid.22
31
r. Antasid - Allopurinol .
Obat-obatan yang mengandung alumunium dapat menghambat absorbsi
dari allopurinol yang akan menurunkan efek terapinya.22
s. Antasid – Deksametason, Antasid – Prednison
Penggunaan antasida dosis tinggi dapat mempengaruhi absorbsi dari
Deksametason, Prednison, Prednisolon dan kortikosteroid lainnya. Mekanisme
interaksi dan perbedaan klinisnya masih belum diketahui karena data dari
penelitian yang masih terbatas.22
4.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah variasi jenis obat yang diteliti dipilih
berdasarkan 20 jenis obat tersering yang digunakan oleh usia lanjut dengan terapi
polifarmasi. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat menjalankan penelitian lebih
fokus dan tepat sasaran.
Selain itu peneliti juga menemukan kesulitan dalam membaca logbook
harian kunjungan pasien milik puskesmas karena tulisan yang sulit dibaca dan
pembukuan yang kurang begitu baik. Sehingga peneliti harus mengkonfirmasi
ulang ke petugas rekam medik.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Dari 860 pasien lansia di Puskesmas Pamulang periode januari 2011
sampai maret 2011 ditemukan insidensi peresepan 5 obat atau lebih
pada 185 pasien (21,5 %).
b. Dari 185 pasien dengan resep obat lebih dari 5 ditemukan 103 pasien
mendapatkan variasi 20 obat terbanyak.
c. Dari 103 pasien polifarmasi ditemukan kemungkinan terjadi interaksi
sebanyak 140 kombinasi. Dari 140 kombinasi didapatkan 26 jenis
kombinasi yang memiliki interaksi obat. Interaksi obat terjadi
sebanyak 134 kali dan tersebar pada 67 pasien (65%).
d. Dari 26 jenis efek interaksi 1 interaksi dinyatakan literatur sebagai
interaksi yang berbahaya yakni Kaptopril dengan allopurinol.
Didapatkan jenis interaksi yang tersering adalah antasid dengan
Kaptopril
dimana
pemberian
antasid
dapat
menurunkan
bioavailabilitas oral dari Kaptopril.
5.2 Saran
1. Dokter disarankan untuk tidak berlebihan dan lebih rasional dalam
peresepan obat untuk pasien lansia, mengingat lebih sedikit obat dapat
memperkecil timbulnya interaksi obat yang tidak diharapkan.
2. Dokter sebaiknya lebih teliti memperhatikan adanya kemungkinan
interaksi obat dalam peresepan obat pasien lanjut usia.
3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih dalam
tentang dampak yang dialami pasien akan interaksi obat yang terjadi.
Dapat juga meneliti rasionalitas atas resep yang diberikan dokter.
32
DAFTAR PUSTAKA
1.
Badan Pusat Statistik (BPS). Data Statistik Indonesia.2000
Diakses dari http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_search/Itemid,132 , pada 10 Agustus
2011
2.
Darmojo, R. Boedhi. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ),
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta. 1999
3.
Wirakartakusumah. For Elderly Welfare. Dokumen RAN Lansia. Jakarta.
2000
4.
Ilyas, Baharudin,, Profil Penduduk lanjut Usia di Kotamadya Ujung
Pandang. Warta Demografi. Th-27, No. 4. 1997
5.
MeReC Bulletin. Prescribing for the older person. No.10.Vol.11 . The
National Prescribing Centre. Liverpool. 2000
6.
Hanlon JT, Handler S, Maher R, Schmader KE, Geriatric Pharmacotherapy
and Polypharmacy.In: Fillit H, Rockwood K, Woodhouse K, eds.
Bracklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine 7th Ed. Churchil
Livingstone. 2008
7.
Veehof LJ, Stewart RE, Meyboom-de JB, Haaijer-Ruskamp FM. Adverse
drug reactions and polypharmacy in the elderly in general practice. Eur J
Clin Pharmacol.1999
8.
Piscitelli S.C., Rodvold K.A., ed. Drug Interactions in Infectious Diseases,
2nd ed.Humana Press.Tottowa. 2005
9.
Maryam, dkk. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba
Medika.Jakarta.2008
10.
Arisman, DR. Gizi dalam daur kehidupan, EGC. Jakarta .2004
11.
Bustan. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. RINEKA CIPTA.
Jakarta.2000
12.
Constantinides, P,. General Pathobiology. Appleton & lange. Norwalk,
Connecticut. 1994
33
34
13.
Nugroho, wahyudi. Keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta. 2000
14.
Hodkinson, F. Teori dan praktek keperawatan. EGC. Jakarta. 1982
15.
Hurlock, E. B. Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Erlangga.Surabaya. 2002
16.
Stanley, M. Buku ajar keperawatan gerontik, edisi dua. EGC. Jakarta. 2007
17.
Watson, R. Perawatan pada lansia. EGC. Jakarta. 2003
18.
Brazeau,S. Polypharmacy in Elderly. The Canadian Journal of
CME.Quebec. 2001
19.
Allard J, Hebert R, Rioux M, et al: Efficacy of a clinical medication review
on the number of potentially inappropriate prescriptions prescribed for
community-dwelling elderly people. Can Med Assoc J 2001; 164(9):1291-6.
20.
Doucet J, Capet C, Jégo A, et al: Les effets indésirables des médicaments
chez le sujet âgé; épidémiologie et prévention. La Presse Médicale 1999;
28(32):1789-93.
21.
Nolan L, O’Malley K: Prescribing for the elderly, Part 1: Sensitivity of the
elderly to adverse drug reactions. JAGS 1988; 36(2):142-9.
22.
Stockley, I.H. Drug Interactions, 8th edition, University of Nottigham
Medical School, Pharmaceutical Press. London. 2008
23.
Martin, J. (Managing Editor). British National Formulary 58.BMJ Group
and RPS Publishing.London. 2009
24.
Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta. 2007
26.
Akkawi, Faten : Prevalence and Risk Factors affecting polypharmacy
among elderly patients in the North of West Bank. An-Najah National
University.Nablus.2008:4:40
27.
www.drugs.com/drug_interactions.php
28.
Dahlan, M.Sopiyudin : Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 2. Penerbit salemba medika.
Jakarta, 2009.
29.
Katzung, B.G, Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed., McGraw Hill,
2007
35
30.
Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th
ed.. McGraw Hill, 2006
Download