BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi.Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia.Tidak hanya negara maju saja, namun negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakatnya masing-masing, sehingga teknologi informasi mendapat kedudukan yang penting bagi sebuah kemajuan bangsa.Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi (information technology) memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang.1 Perkembangan yang pesat dalam teknologi internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laundry, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai macam lainnya. Perbuatan melawan hukum cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, hal ini juga diakui oleh Kanit 1 Subdit 1 Dit Reskrimsus Polda Jateng, Kompol Iswanto SE yang mengaku kesulitan menangani tindak kriminalitas di dunia maya (cyber crime) melalui jejaring social Facebook dan 1 Agus Rahardjo, Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1. 1 2 handphone. Dalam kasus yang melibatkan dunia maya tadi membutuhkan waktu lama untuk mengungkap kasus tersebut karena menggunakan pendekatan memancing (fishing) untuk membutikan adanyasuatutindak kejahatan di dunia maya.2 Berbicara mengenai kejahatan itu sendiri, tidak dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling kait mengkait, yaitu pada pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum memang menjadi instrumen penting dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan, disamping instrumen-instrumen lain yang tidak kalah penting.3Pada Maret 2008 disahkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh pemerintah. Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai beberapa kriminalisasi perbuatan pidana yang sebelumnya bukanlah tindak pidana melalui terobosan dan perluasan dalam hal asas-asasnya beserta sanksi pidananya.Selain aturan pidana substanstif, dalam undang-undang ini diatur mengenai prosedur dan alat bukti yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkannya alat bukti baru yang berkaitan dengan media elektronik. Aparat penegak hukum pada saat menangani kasus cyber crime selalu kesulitan dalam upaya pembuktian cyber crime terlebih itu pembuktian selalu penting dan krusial.Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang sangat 2 Solopos.com, Sabtu, 3 November 2014, Polisi Akui Kesulitan Tangani Cyber Crime via Jejaring Sosial, dalam http//m.solopos.com/2014/11/03/polisi-akui-kesulitan-tangani-cyber-crime-viajejaring-soaial-344525, di unduh Rabu, 5 Oktober 2016 Pukul 20.58 WIB. 3 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 3. 3 penting. Pembuktian merupakan masalah yang mempunyai peranan penting dalam proses pemeriksaaan sidang pengadilan, dengan pembuktian ini ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat yang ditentukan oleh undangundang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, sebaliknya apabila terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat disebut dengan Pasal 184 KUHAP,terdakwa harus dinyakatan salah dan kepadanya dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Meneliti sampai batas minimum „‟kekuatan pembuktian‟‟ atau „‟bewijskaracht‟‟ dari setiap alat bukti Pasal 184 KUHAP. Pembuktian juga memberikan landasan dan argumen yang kuat kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutan.Pembuktian dipandang sebagai suatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan.Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil.4 Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas, menarik minat penulis untuk mengetahui lebih dalam mengenai upaya aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana cyber crime. Adapun judul penelitian ini adalah: “UPAYA PEMBUKTIAN OLEH APARAT PENEGAK HUKUM DALAM 4 Eddy Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, Erlangga, 2012) hlm. 96. 4 RANGKA MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM PERKARA PIDANA CYBER CRIME”. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1.Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi ini mengarah pada pembahasan yang diharapkan dan terfokus pada pokok permasalahan yang ditentukan, serta tidak terjadi pengertian yang kabur karena luang lingkupnya yang terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini akan dibatasi pada aspek hukum cyber crime dan upaya pembuktian oleh aparat penegak hukum dalam mencari kebenaran materiil dalam tindak pidana cyber crime. 2. Perumusan Masalah Bertolak dari latar belakang diatas, maka guna mendukung efektivitas penegakan hukum dalam bidang kasus-kasus kejahatan dunia maya (cyber crime), dengan demikian dapat dirumuskan masalahnya yaitu: a. Apa karakteristik pokok dari tindak pidana cyber crime? b. Bagaimana upaya pembuktian oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencari kebenaran materiil dalam perkara pidana cyber crime? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.Tujuan Penelitian Penelitian penulisan hukum ini memiliki beberapa tujuan seperti berikut: a. Mengetahui karakteristik pokok dari suatu tindak pidana cyber crime 5 b. Mengetahui upaya pembuktian yang dilakukan aparat penegak hukum dalam rangka mencari kebenaran materiil dalam perkara pidana cyber crime. 2. Manfaat penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat, baik manfaat objektif maupun subjektif, sebagai berikut: a. Manfaat Objektif Manfaat objektif dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik pokok dari suatu tindakan pidana cyber crime serta upaya-upaya penegak hukum dalam pembuktian perkara pidana cyber crime, sehingga diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan ilmu hukum bagi aparat penegak hukum serta masyarakat. b. Manfaat Subjektif Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. D. Kerangka Pemikiran Menurut Van Hamel memberikan definisi tindak pidana (strafbaar feit)yaitu kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam undang-undang 6 (wet), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.5 Kejahatan di bidang teknologi informasi atau dapat disebut cyber crime makin marak di Indonesia. Adapun pengertian dari cyber crime adalah aktivitas manusia di dunia maya yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan (misalnya akses ilegal, perusakan situs, intersepsi ilegal), dan aktivitas manusia yang menggunakan komputer sebagai sasaran kejahatan (misalnya pemalsuan kartu kredit, pornografi via internet).Ketentuan hukum pidana yang mengatur kejahatan di bidang teknologi informasi lazim disebut cybercrime law.6 Jika berbicara terkait hukum pidana pasti tidak bisa dilepaskan dari hukum pembuktian.Hukum pembuktian itu sendiri adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.Pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata maupun acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. Sistem pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan “system negative” (negatief wettelijk bewijsleer), artinya yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materil. Yangdimaksud dengan sistem negatif, yang 5 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Mata Kuliah Huku Pidana, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 112. 6 Widodo, 2013, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Yogjakarta:Aswaja Pressindo, hlm. V. 7 merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana, adalah suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu: 1. Alat bukti yang cukup, 2. Keyakinan hakim Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana belum dapat dijatuhkan hakim.Sistem pembuktian negatif ini diakui berlakunya secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, melalui Pasal 183. Selengkapnya, Pasal 183 tersebut menyatakan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakian bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Sistem pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan karena yang dicari oleh hakim-hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid).7Perkembangan dalam sistem hukum pembuktian khususnya yang menyangkut dengan pembuktian elektronik, setelah keluarnya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik. Maka dengan keluarnya Undang–Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 7 Fuady Munir, 2012, Teori Hukum Pembuktian, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, hlm.151-152 8 tersebut, alat bukti elektronik berupa informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil cetaknya dengan tegas diakui sebagai diakui sebagai alat bukti yang sah dan penuh di pengadilan asalkan memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.8 Penggunaan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pembuktian didasari atas asas-asas sebagai berikut : 1. Asas kepastian hukum; 2. Asas manfaat; 3. Asas kehati-hatian; 4. Asas itikad baik; dan 5. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Selanjutnya, pengakuan hukum pembuktian terhadap penggunaan dan pemanfaatan alat bukti elektronik dari teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. 2. Meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional melalui bisnis dengan menggunakan e-commerce. 3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. 4. Memajukan pemikiran dan kemampuan pemanfaatan teknologi informasi. 8 Ibid., hlm.168. masyarakat di bidang 9 5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna jasa teknologi informasi. E. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:9 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu untuk memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya mengenai upaya pembuktian oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencari kebenaran materiil dalam perkara pidana cyber crime baik secara yuridis maupun empirisnya. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris.Pendekatan ini mengkaji konsep normatif atau yuridis mengenai upaya pembuktian oleh aparat penegak hukum dalam mencari kebenaran materiil dalam perkara pidana cyber crime sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan pelaksanaannya di masyarakat. 3. Jenis Data Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut: 9 Sutrisno Hadi, 1979, Metodolagi Riset, Yogyakarta: UGM Pres.hlm.23. “Metode adalah suatu cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Penelitian adalah suatu usaha menemukan, mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan metode-metode tertentu”. 10 a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data di lapangan dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan responden di lokasi penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, meliputi: a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana c) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi d) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia e) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik f) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait dengan pengaturan dunia maya (cyber space) 2. Bahan Hukum Sekunder, meliputi literatur-literatur yang terkait dengan tindak pidana dunia maya (cyber crime) 3. Bahan Hukum Tersier, meliputi bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Adapun petunjuk yang digunakan adalah kamus hukum. 11 4. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data yang berupa bahan-bahan pustaka. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan aparat penegak hukum yang berpengalaman dalam menangani kasus kejahatan dunia maya (cyber crime) atau setidaknya mengetahui tahapan dalam proses penyelesaian perkara pidana cyber crime. 5. Metode Analisis Data Berdasarkan data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari rekaman, wawancara, pengamatan, atau bahan tertulis (undang-undang, dokumen, buku dan sebagainya), maka teknik data yang digunakan oleh penulis berupa analisis kualitatif yaitu penyajian data yang dideskripsikan dalam berbentuk essay dimana sebelumnya data disusun sebagai hasil penelitian yang kemudian diadakan analisis. Data harus diproses terlebih dahulu seperti yang terkumpul dalam metode pengumpulan data. 12 F. Sistematika Skripsi Sistematika penulisan skripsi ini untuk memberikan gambaran agar memudahkan dalam mempelajari isinya. BAB I berisi pendahuluan yang di dalamnya berisikan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. BAB II berisi tinjauan pustaka yang di dalamnya berisi mengenai pengertian, tinjauan umum tentang tindak pidana, tinjauan umum tentang cyber crime, tinjauan umum tentang hukum pembuktian dalam tindak pidana cyber crime. BAB III berisi hasil penelitian dan analisis data, karakteristik pokok dari tindak pidana cyber crime, dan upaya pembuktian oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencari kebenaraan materiil dalam perkara pidana cyber crime. BAB IV berisi penutup yang di dalamnya berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran dari akhir penelitian.