Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak

advertisement
Kesimpulan Pengamatan
Komite Hak Anak – PBB
terhadap Laporan Indonesia
Pelaksanaan KHA
Periode ke tiga (1997-2002) dan empat (2002-2007)
KPPPA
Langkah-langkah umum
pelaksanaan (Pasal 4, 42,
dan 44, para. 6, Konvensi)
Rekomendasi Komite
sebelumnya
7. Komite, menyambut
upaya Indonesia untuk
melaksanakan
rekomendasi Komite tahun
2004 tentang laporan
Indonesia periodik kedua
(CRC/C/15/Add.223),
disesalkan bahwa
beberapa rekomendasi
yang terkandung di
dalamnya belum ditangani
sepenuhnya
8. Komite mendesak:
(a) Terus meng-upgrade sistem pengumpulan data; memastikan
data digunakan untuk perumusan, pemantauan, dan evaluasi
kebijakan, program, dan proyek; dan kerja sama dengan
UNICEF;
(b) Penyebaran dan pelatihan Konvensi semua profesional
secara berkelanjutan dan sistematis; Konvensi dikenal
semua anak (etnis minoritas);
(c) Komentar Umum No. 8 (2006) amandemen UU melarang
hukuman fisik keluarga, sekolah, dan penitipan anak);
kampanye pendidikan publik tentang konsekuensi negatif dari
perlakuan buruk terhadap anak dan mempromosikan disiplin
positif sebagai bentuk alternatif hukuman fisik nonkekerasan;
(d) Mengubah UU tentang adopsi  pasal 2 dan 3 Konvensi;
memantau dan mengawasi secara efektif sistem adopsi anak
sesuai kepentingan terbaik bagi anak; menyetujui Konvensi
Den Haag tentang Perlindungan Anak dan Menghormati
Kerjasama Adopsi Intercountry; dan
(e) Bekerjasama  LSM dan organisasi internasional, sistem yang
komprehensif dukungan psikososial dan bantuan untuk anakanak yang terkena dampak konflik [bersenjata], dan
menjamin privasi mereka.
Definisi Anak
Definisi Anak
9. Komite usia sah
pernikahan untuk
anak perempuan tetap
pada usia 16 tahun,
undang-undang
anak-anak yang
sudah menikah
dianggap sudah
dewasa
10. Komite
merekomendasikan:
• Amandemen UU
• Menaikkan usia pernikahan
untuk anak perempuan
sampai 18 tahun
• Meninjau perbedaan batas
usia  prinsip dan
ketentuan  anak di bawah
usia 18 tahun dianggap
sebagai orang dewasa.
Perundang-undangan
11. Komite Konvensi yang
belum sepenuhnya
dimasukkan  perundangundangan.
Komite  proses
desentralisasi yang mengarah
ke pembentukan provinsi dan
kabupaten baru,
menempatkan tanggung
jawab untuk memberikan
pelayanan publik,
menghasilkan beberapa
peraturan daerah yang
berlaku di tingkat provinsi
atau kabupaten, namun tidak
konsisten dengan  konvensi
12. Komite mendesak:
(a) Ketentuan-ketentuan
Konvensi  hukum
nasional; dan
(b) Semua peraturan daerah
provinsi dan kabupaten
konsisten  Konvensi
pembentukan lembaga
pemerintah yang khusus
memantau proses
penyusunan dan penerapan
peraturan daerah
kabupaten dan provinsi dan
peraturan yang
menyangkut anak-anak.
Koordinasi
13. Komite prihatin KPPPA 
bertanggung jawab 
koordinasi dan pelaksanaan
Konvensi dan Rencana Aksi
Nasional untuk Anak  tidak
memiliki otoritas yang
diperlukan atas struktur
pemerintahan di provinsi dan
kabupaten agar secara benar
mengoordinasikan kegiatan di
bawah Konvensi di semua
tingkatan.
14. Komite mendesak
Indonesia:
• memberikan kewenangan 
KPPPA  mengoordinasikan
dan mengevaluasi 
kegiatan  berkaitan
dengan pelaksanaan
Konvensi di semua
tingkatan.
• menjamin kerja sama dari
otoritas nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota 
pemantauan dan
pelaksanaan  Konvensi.
Alokasi sumber daya
15Komite prihatin tentang
total pengeluaran kesehatan
Indonesia yang hanya 2,7
persen dari produk domestik
bruto pada tahun 2011, yang
dianggap menjadi rendah.
Selain itu, saat menyambut
peningkatan yang signifikan
dalam anggaran pendidikan
tahunan, Komite menyesalkan
bahwa anggaran tidak cukup
untuk menjamin pendidikan
untuk semua anak di
Indonesiai
16. Komite merekomendasikan:
(a) Secara signifikan
meningkatkan alokasi di
bidang kesehatan ke tingkat
yang memadai; dan
(b) Membangun mekanisme
untuk memantau dan
mengevaluasi kecukupan,
efektivitas, dan pemerataan
distribusi sumber daya yang
dialokasikan untuk
pelaksanaan Konvensi.
Pemantauan independen
17. Komite kapasitas
Komisi Perlindungan Anak
untuk menerima
pengaduan, Komite
menyesalkan bahwa
Komisi ini memiliki mandat
yang terbatas dan tidak
memiliki otoritas eksplisit
untuk menyelidiki keluhan
18. Komite (Komentar Umum No. 2 (2002)
merekomendasikan:
• Negara memperkuat mandat Komisi
Perlindungan Anak, dengan menyediakan
kapasitas untuk menyelidiki dan
menangani keluhan dari anak-anak
dengan cara-anak yang sensitif, menjamin
privasi dan perlindungan korban, dan
melakukan monitoring dan tindak lanjut.
• Negara menjamin independensi seperti
mekanisme pemantauan, termasuk
berkaitan dengan pendanaan, mandat,
dan kekebalan  memastikan kepatuhan
penuh dengan Prinsip Paris.
• Negara  bekerja sama teknis dari,
antara lain, Kantor Komisaris Tinggi PBB
untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR),
UNICEF, dan United Nations Development
Programme (UNDP) [sebagaimana
berlaku]
Prinsip-prinsip umum
(Pasal 2, 3, 6, dan 12
Konvensi)
Non-diskriminasi
19. Program pengarusutamaan gender,
Komite  prihatin ketentuan diskriminasi
yang masih tetap dalam legislasi nasional
dan prevalensi de facto diskriminasi,
termasuk:
(a) Diskriminasi terhadap perempuan
tentang hak waris dan sejumlah besar
perempuan masih tunduk pada
berbagai peraturan diskriminatif dan
diskriminasi sehari-hari;
(b) Khususnya diskriminasi terhadap Anakanak penyandang disabilitas akses ke
perawatan kesehatan dan pendidikan;
(c) Diskriminasi yang berlangsung terhadap
anak penganut agama minoritas dan
kegagalan Indonesia untuk mencegah
serangan terhadap mereka;
(d) Berbagai bentuk diskriminasi terhadap
anak-anak dari masyarakat adat, seperti
akses yang cukup ke pendidikan dan
perawatan kesehatan.
20. Komite mendesak :
(a)Mencabut tanpa penundaan  semua perundangundangan yang mendiskriminasikan perempuan,
khususnya berkaitan dengan warisan, dan
menghilangkan sikap negatif, praktik, stereotip yang
mengakar tentang perempuan dengan merumuskan
strategi yang komprehensif promosi kesetaraan;
(b)Mengambil langkah  menjamin akses yang sama
anak-anak penyandang disabilitas  semua
layanan publik  perawatan kesehatan dan
pendidikan;
(c) Mengambil langkah  menghapus diskriminasi
terhadap anak-anak berdasarkan agama mereka
dan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan
yang dialami oleh kelompok minoritas agama
tertentu;
(d)Mengambil langkah  memperbaiki infrastruktur
 menyediakan akses yang sama ke pelayanan
publik oleh anak-anak dari masyarakat adat.
Kepentingan terbaik anak
21. Komite menyesalkan  ),
prinsip kepentingan terbaik anak
tidak diintegrasikan ke dalam
sebagian besar undang-undang
yang berkaitan dengan anak di
Indonesia.
Komite keputusan mengenai
adopsi dan tahanan sering diambil
atas dasar agama anak, bukan
kepentingan terbaiknya, dan
bahwa menurut hukum Syariah
berlaku untuk umat Islam, dalam
proses keputusan perceraian yang
berkaitan dengan hak asuh anak
berdasarkan usia mereka
(CRC/C/15/Add.223, paragraf 45).
22. Komite (Komentar Umum No. 14 (2013):
• Memastikan kepentingan terbaik
dipertimbangkan secara eksplisit  undangundang; diterapkan  proses legislatif,
administratif, dan hukum, serta dalam semua
kebijakan, program, dan proyek-proyek yang
relevan dan berdampak pada anak.
• mengembangkan prosedur dan kriteria 
memberikan bimbingan semua orang yang
berwenang menentukan kepentingan
terbaik anak di setiap daerah; untuk
memberikan bobot sebagai pertimbangan
utama.
• prosedur dan kriteria  disebarluaskan
kepada masyarakat luas, termasuk lembagalembaga kesejahteraan sosial publik dan
swasta, pengadilan hukum, badan legislatif,
dan pemimpin agama.
Hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan
perkembangan
23. Komite
memprihatinkan insiden
penggusuran paksa pada
keluarga-keluarga,
termasuk anak-anak, tanpa
menawarkan ganti rugi
yang memadai atau
perumahan alternatif.
Selain itu, Komite juga
menyayangkan undangundang Indonesia,
penggusuran paksa yang
mengarah kepada
munculnya tunawisma,
bisa dilakukan
24. Komite:
• mengambil langkahlangkah hukum 
diperlukan  memastikan
 penggusuran paksa
hanya digunakan sebagai
upaya terakhir  selalu
tunduk pada alternatif
yang memadai dan bahwa
dalam keadaan mungkin
penggusuran
menyebabkan tunawisma.
Menghormati
pandangan anak
25. Sementara menyambut
pembentukan Forum Nasional untuk
Partisipasi Anak, Parlemen Remaja,
Kongres Anak Indonesia, Dewan Anak,
Pemilihan Pemimpin Muda, dan
Konsultasi Anak Nasional, Komite
prihatin bahwa:
(a) Forum ini tidak sepenuhnya
inklusif;
(b) Pandangan anak yang disuarakan
dalam forum ini tidak cukup
dipertimbangkan dalam proses
pengambilan keputusan;
(c) Undang-Undang No. 23/2002
yang menetapkan hak anak untuk
didengar, membutuhkan hak ini
harus diterapkan sesuai dengan
"moral dan kesusilaan",
menghambat efektifitas, dan
pelaksanaan yang transparan.
26. Komentar Umum No. 12 (2009, Komite
merekomendasikan:
(a) Menjamin partisipasi anak dalam situasi rentan 
anak-anak penyandang disabilitas maupun anakanak dari agama atau etnis minoritas dalam
berbagai forum anak;
(b)Menyediakan sarana eksplisit 
mempertimbangkan pendapat  anak-anak
semua proses pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan mereka;
(c) Mengubah undang-undang  menghindari
pembatasan hak anak untuk didengar atau
mengungkapkan pandangannya; dan
(d)memastikan bahwa forum yang berbeda di mana
anak-anak dapat menyuarakan pendapat selalu
disediakan dengan semua sumber daya yang
diperlukan, dan dengan melakukan program dan
kegiatan peningkatan kesadaran untuk
mempromosikan partisipasi yang berarti dan
diberdayakan dari semua anak dalam keluarga,
masyarakat, dan sekolah
Hak sipil dan kebebasan
(pasal 7, 8, dan 13-17)
Pendaftaran
kelahiran/Nama dan
kebangsaan
27. Sehubungan dengan Undang-Undang
No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan dan perubahan atas
hukum memberikan hak anak dari ibu
Indonesia dan seorang ayah yang bukan
warga negara Indonesia, Komite prihatin
dengan tidak adanya mekanisme untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang
di semua tingkatan. Komite juga mencatat
bahwa agama anak ditunjukkan pada
kartu identitas, yang dapat menyebabkan
diskriminasi. Selain itu, saat menyambut
pencatatan kelahiran gratis yang di bawah
hukum nasional, Komite prihatin:
(a)Ketidakpastian mengenai pengawasan
di tingkat pusat untuk memastikan
bahwa pemerintah daerah tidak
memungut biaya pendaftaran
kelahiran meskipun undang-undang
baru;
(b)Anak-anak mempertaruhkan tanpa
kewarganegaraan jika kedua orang tua
warga negara asing dan tidak bisa
mewariskan kewarganegaraan mereka
ke anak karena hukum negara mereka
28. Komite merekomendasikan:
• memastikan semua anak yang lahir di
Indonesia didaftar dan diterbitkan
akta kelahiran, terlepas dari
kebangsaan, agama, dan status saat
lahir, dan pencatatan kelahiran
difasilitasi dan gratis dalam semua
keadaan.
• menghapus indikasi afiliasi agama
dalam kartu identitas dan menutup
kesenjangan dalam undang-undang
yang dapat meninggalkan beberapa
anak tanpa kewarganegaraan.
• menyetujui Konvensi 1954 mengenai
Status Tanpa Kewarganegaraan dan
Konvensi 1961 tentang Pengurangan
Tanpa Kewarganegaraan.
Kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan
beragama
29Komite sangat prihatin tentang tindakan
pemerintah yang represif terhadap
kebebasan beragama anak-anak dari
kelompok minoritas agama yang tidak
disebutkan dalam Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun
1965, khususnya:
(a) Kewajiban untuk menghadiri pelajaran
agama di sekolah di salah satu dari
enam agama yang tercantum dalam
Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1/PNPS Tahun 1965;
(b) Penggunaan peraturan terhadap
penghujatan dan dakwah untuk
menuntut orang-orang yang termasuk
kaum minoritas agama yang tidak
tercantum dalam Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1/PNPS
Tahun 1965, termasuk anak-anak
mereka, dan RUU tentang "kerukunan
beragama", yang membawa risiko
meningkatnya diskriminasi;
(c) Non-Muslim yang secara eksplisit
mengikuti hukum Syariah di Aceh atau
seperti yang ditunjukkan oleh
Indonesia, tekanan sosial pada siswa
non-Muslim untuk mengenakan busana
Muslim di sekolah.
30. Komite:
• mengamandemen UU  hak anak-anak
atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan
agama dari semua keyakinan dan
mengambil semua langkah yang diperlukan
peningkatan kesadaran dan kampanye
pendidikan publik  memerangi
intoleransi atas dasar agama atau
kepercayaan lain, mempromosikan dialog
agama dalam masyarakat, memastikan
ajaran agama mempromosikan toleransi
dan pemahaman antara anak-anak dari
semua komunitas dan latar belakang
agama atau non-agama dan memberantas
segala macam tekanan sosial terhadap
anak-anak untuk mematuhi aturan dari
agama yang bukan ia anut.
• mengambil langkah memastikan bahwa
non-Muslim secara eksklusif diatur oleh
hukum sekuler.
Kekerasan terhadap anak
(pasal 19, 24, para.3, 28,
para. 2, 34, 37 (a) dan 39)
Eksploitasi seksual dan
penganiayaan
31Komite menyesalkan
pencegahan, pemulihan, dan
reintegrasi bagi anak korban
tidak cukup efektif dan
mereka dihadapkan pada
beberapa hambatan dalam
mengakses keadilan.
Komite  prihatin  laporan
jumlah anak-anak korban
eksploitasi seksual meningkat
dan anak-anak yang telah
menjadi korban pelecehan
seksual dapat diperlakukan
sebagai penjahat bukan
sebagai korban.
32. Komite merekomendasikan melindungi
dan mencegah anak-anak dari pelecehan
seksual dan eksploitasi:
(a) Mengembangkan strategi  menanggapi
kebutuhan  anak-anak korban
eksploitasi seksual dan penganiayaan,
dan menjamin akses mereka ke tempat
penampungan, layanan kesehatan,
bantuan hukum, dan psikologis;
memberikan pelatihan  memadai
untuk profesional yang bekerja di layanan
tersebut; memastikan saluran
pelaporan ramah anak diakses, dan
rahasia, serta akses anak korban
difasilitasi untuk mendapatkan keadilan;
(b) Mengubah UU  memastikan segala
bentuk eksploitasi seksual pada semua
anak selalu diperlakukan sebagai korban
dan tidak dikenai sanksi pidana.
Praktik-praktik berbahaya
33. Komite mencatat
keputusan Indonesia untuk
mencabut Peraturan No. 1636
Tahun 2010 tentang sunat
perempuan oleh Peraturan
Menteri Kesehatan No. 6
Tahun 2014. Namun, Komite
mencatat FGM (female genital
mutilation), termasuk praktik
sunat perempuan, tidak
secara eksplisit dilarang.
Komite prihatin tentang
sejumlah besar perempuan
telah menjadi korban FGM.
34. Komite  mengadopsi UU untuk sepenuhnya melarang FGM
dalam segala bentuknya dan:
(a) Menyediakan program pemulihan fisik dan psikologis bagi
korban FGM, serta membentuk mekanisme pelaporan dan
pengaduan yang dapat diakses oleh anak-anak
perempuan yang telah menjadi korban, atau takut
menjadi korban;
(b) Dengan partisipasi penuh dari masyarakat sipil dan
korban perempuan dan gadis yang menjadi korban FGM,
mengatur kampanye peningkatan kesadaran dan program
pendidikan tentang dampak bahaya dari FGM pada
kesehatan fisik dan psikologis anak perempuan, dan
memastikan kampanye dan program yang sistematis dan
konsisten diarusutamakan, dan menargetkan pada semua
segmen masyarakat, baik perempuan dan laki-laki,
pejabat pemerintah, keluarga, dan semua pemimpin
agama dan masyarakat;
(c)
Sepenuhnya mengkriminalisasi praktik dan memastikan
para praktisi menyadari kriminalisasi; melibatkan praktisi
dalam upaya untuk mempromosikan untuk meninggalkan
praktik-praktik FGM; membantu mereka dalam mencari
alternatif sumber pendapatan dan mata pencaharian; dan
bila perlu, memberikan pelatihan kepada mereka.
Pernikahan Usia Anak
35. Komite
sangat
menyesalkan
tingginya jumlah
pernikahan usia
anak dan paksa
di Indonesia
36. Komite mendesak
Indonesia:
• mencari langkah 
mencegah dan memberantas
praktik pernikahan usia anak
atau kawin paksa
• langkah legislatif 
diperlukan peningkatan
kesadaran dan kampanye
informasi  kerugian dan
bahaya yang diakibatkan
pernikahan usia anak.
Anak bebas dari
semua bentuk
kekerasan
37Sehubungan dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta
Rencana Aksi Nasional tentang
Pencegahan dan Pemberantasan
Kekerasan terhadap Anak (2010-2014),
Komite sangat prihatin tentang:
(a) Banyak kasus kekerasan terhadap
anak dalam tahanan dan pada
semua tahap persidangan;
(b) Anak gadis paling sering mengalami
kekerasan dan menghadapi kesulitan
yang cukup besar untuk
mendapatkan perlindungan,
termasuk akses terhadap keadilan.
Komite mencatat dalam hal ini
sistem peradilan formal sering tidak
dapat diakses karena biaya mahal
dan perempuan dan anak
perempuan yang disebut dalam
mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa, dipengadilan agama,
sering mendapat diskriminasi dan
akhirnya mereka mendapat
pengecualian dalam proses
pengambilan keputusan.
38. Komentar Umum No. 13 (2011)
Komite untuk:
(a) Menetapkan mekanisme
pemantauan  memadai secara
efektif  menghilangkan
kekerasan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum;
(b) Memastikan anak perempuan
terlindungi  kekerasan, dan
didukung  program yang
memberikan bantuan keuangan
dan hukum  memungkinkan
akses penuh ke sistem peradilan
formal.
Helplines
39. Sehubungan dengan
pembentukan Child
Helpline, Indonesia
bekerjasama dengan LSM
nasional dan internasional,
Komite prihatin dengan
kurangnya cakupan di
semua provinsi, kurangnya
kesadaran masyarakat
tentang adanya layanan
helplines', dan konselor
yang kurang memadai.
40. Komite
merekomendasikan:
• meningkatkan sumber
daya manusia, keuangan,
dan teknis untuk Helpline
 memastikan anak-anak
di setiap provinsi sadar
dan memiliki akses 24-jam
ke helpline dan tindak
lanjut yang disediakan.
• pelatihan yang memadai
 konselor.
Lingkungan keluarga dan
pengasuhan alternatif
(Pasal 5, 9-11, 18 (ayat 1
dan 2), 20-21, 25 dan 27
(ayat 4))
Lingkungan keluarga
41. Komite sangat prihatin
bahwa poligami masih
diperbolehkan - situasi
yang bertentangan dengan
martabat perempuan dan
anak perempuan yang
memasuki pernikahan
tersebut dan yang negatif
mempengaruhi pada anakanak mereka.
42. Komite mendesak:
• memastikan semua
ketentuan dalam undangundang yang diskriminatif
 perempuan dan
berdampak negatif  anakanak mereka  seperti
ketentuan otorisasi
poligami, dicabut.
Anak-anak
kehilangan
lingkungan keluarga
43. Komite a memprihatinkan:
(a) Keluarga miskin yang mungkin masih
dapat memenuhi kebutuhan dasar
anak-anak mereka dan menemukan
mereka menyerahkan anak-anak
mereka (ke panti asuhan);
(b) Sedikit jumlah penempatan anakanak berbasis keluarga dan terus
meluasnya penggunaan
pelembagaan;
(c) Persyaratan sangat terbatas untuk
memperoleh izin untuk menjalankan
sebuah lembaga pengasuhan
alternatif;
(d) Kurangnya kepatuhan oleh sebagian
besar lembaga dengan standar yang
diperkenalkan oleh Standar Nasional
untuk Penitipan Anak; tidak adanya
pemantauan kepatuhan; insiden
kekerasan sering terjadi dalam
lembaga-lembaga; dan anak-anak
yang tinggal di lembaga
kemungkinan kurang kesempatan
untuk bertemu keluarga mereka;
(e) Kurangnya sistem pengumpulan
data terpilah yang memadai pada
anak-anak yang tinggal di lembaga.
44. Komite merekomendasikan Indonesia:
(a)Dukungan  diberikan  keluarga biologis dan
memberikan bantuan berbasis masyarakat 
keluarga dalam membesarkan anak, termasuk
pekerja sosial yang terlatih;
(b)Menyediakan tipe perawatan keluarga sedapat
mungkin  anak-anak yang tidak bisa tinggal
dengan keluarga mereka  mengurangi
pelembagaan anak;
(c) Memperkuat persyaratan  mendapatkan izin
 menjalankan sebuah lembaga pengasuhan
alternatif;
(d)Memastikan penelaahan berkala penempatan
anak-anak di lembaga-lembaga, dan memantau
kualitas pelayanan di dalamnya,  menyediakan
akses  memantau dan menanggulangi
penganiayaan anak-anak, dan memastikan
bahwa anak-anak diberi kesempatan  bertemu
dengan keluarga mereka;
(e)Membangun sistem pengumpulan data yang
terpusat pada anak yang tinggal di lembagalembaga, yang dipilah menurut umur, jenis
kelamin, dan latar belakang ekonomi.
Disabilitas, kesehatan
dasar, dan kesejahteraan
(pasal 6, 18 (ayat 3), 23,
24, 26, 27 (ayat 1-3) dan
33)
Anak-anak
penyandang
disabilitas
45. Sehubungan dengan Rencana Aksi
Nasional Penyandang Disabilitas 2013 2022, Komite prihatin tentang situasi
anak-anak penyandang disabilitas,
khususnya:
(a) Anak-anak penyandang disabilitas,
terutama anak perempuan, yang
menghadapi berbagai bentuk
diskriminasi dalam menjalankan
hak-hak mereka, termasuk hak
mereka untuk mendapatkan
pendidikan dan perawatan
kesehatan;
(b) Banyak anak-anak penyandang
disabilitas yang tersembunyi atau
ditempatkan di lembaga-lembaga
karena stigma sosial dari biaya
ekonomi membesarkan mereka;
(c) Sejumlah kecil anak-anak
penyandang disabilitas bersekolah
dan memiliki akses ke perawatan
kesehatan, layanan khusus, dan
pusat-pusat rehabilitasi;
(d) Tidak adanya pengumpulan data
secara sistematis terhadap anakanak penyandang disabilitas.
46. Komentar Umum No. 9 (2006) tentang hak-hak anak
disabilitas, Komite merekomendasikan agar Indonesia
melakukan segala upaya untuk melaksanakan Rencana Aksi
Nasional Penyandang Disabilitas 2013-2022, dan mendesak
Indonesia untuk:
(a) Mengamandemen undang-undang  memastikan 
diskriminasi atas dasar disabilitas secara tegas dilarang
memastikan bahwa semua ketentuan yang
mengakibatkan diskriminasi de facto para penyandang
disabilitas dicabut;
(b) Melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye
pendidikan bertujuan  menghilangkan segala macam
diskriminasi secara de facto, khususnya hambatan sikap
dan lingkungan, terhadap anak-anak penyandang
disabilitas, menginformasikan dan membuat masyarakat
tentang hak-hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas
dan memastikan anak-anak penyandang disabilitas
disediakan dengan dukungan keuangan yang memadai
dan memiliki akses penuh ke layanan sosial dan
kesehatan;
(c) Menjamin bahwa anak-anak penyandang disabilitas
dapat sepenuhnya menggunakan hak  pendidikan dan
mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
memasukkan mereka ke dalam sistem sekolah umum;
(d) Mengumpulkan data spesifik anak-anak penyandang
disabilitas dan terpilah sehingga dapat diadaptasi pada
kebijakan dan program untuk kebutuhan mereka.
Kesehatan dan
Pelayanan kesehatan
47. Komite prihatin akan:
(a) Tingginya persentase neonatal,
tingkat kematian bayi dan balita,
terutama akibat diare dan
pneumonia, dan sejumlah besar
anak-anak di bawah usia 5 tahun
yang menderita stunting dan di
bawah berat badan;
(b) Tingkat kematian ibu masih sangat
tinggi;
(c) Tingkat ketimpangan kematian bayi
dan ibu antar provinsi;
(d) Tidak adanya peraturan kesehatan
publik tertentu pada masalah
preventif kesehatan seperti
imunisasi, serta pelaksanaan
memuaskan dari program imunisasi;
(e) Melanjutkan defisit mengenai
infrastruktur dan dukungan untuk
fasilitas pelayanan kesehatan, serta
keterampilan petugas kesehatan dan
kehadiran di tempat kerja tidak
teratur.
48. Komite (Komentar Umum No. 15 (2013)  meningkatkan
anggaran kesehatan dan memperluas akses ke pelayanan perawatan
kesehatan primer di semua provinsi. Ini harus memastikan bahwa
layanan tersebut dapat diakses dan terjangkau bagi penduduk di
daerah perkotaan dan pedesaan, terlepas dari latar belakang ekonomi
mereka, dan khususnya:
(a) Menjamin penyediaan layanan-layanan kesehatan dasar bagi
semua perempuan hamil, termasuk akses ke perawatan antenatal,
perawatan persalinan yang aman, perawatan obstetrik darurat
serta perawatan pasca melahirkan, dan untuk anak-anak,
difokuskan pada intervensi untuk mengurangi penyakit yang dapat
dicegah, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan gizi,
dan mempromosikan praktik pemberian makanan yang baik untuk
bayi dan anak;
(b) Memperkuat dan memperluas akses ke perawatan kesehatan
preventif dan layanan terapi untuk semua perempuan hamil dan
anak-anak, terutama bayi dan balita, termasuk layanan imunisasi
universal, terapi rehidrasi oral, dan pengobatan untuk infeksi
saluran pernapasan akut;
(c) Memberikan bantuan profesional gratis yang cukup sebelum dan
selama persalinan, termasuk di daerah terpencil dan pedesaan,
dan membuat semua upaya yang diperlukan, termasuk intervensi
obstetrik darurat untuk menurunkan angka kematian ibu;
(d) Merekrut, melatih, dan memonitor penyedia layanan kesehatan,
meningkatkan infrastruktur kesehatan dan memastikan bahwa
pelayanan kesehatan termasuk akses ke sanitasi dan air minum
yang bersih.
Kesehatan remaja
49. keprihatinan selanjutnya adalah :
(a) Layanan tertentu yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi
memerlukan persetujuan dari orang
tua atau suami; pada remaja putri
khususnya menikah harus meminta
izin suami mereka untuk
mendapatkan beberapa jenis layanan
kontrasepsi dari fasilitas kesehatan
yang dikelola pemerintah;
(b) Gadis remaja yang belum menikah,
termasuk korban perkosaan, mungkin
tidak dapat mengakses layanan
kesehatan reproduksi karena mereka
tidak dapat menyadari bahwa mereka
berhak atau mereka takut
stigmatisasi, yang mengarah ke,
antara lain, penyakit menular seksual,
tingkat kehamilan remaja, resiko
aborsi yang tidak aman, kawin paksa
pada usia muda dan putus sekolah.
50. Komentar Umum No. 4 (2003), Komite
merekomendasikan Indonesia untuk :
(a) Mengamandemen undang-undang
memastikan remaja, terutama
perempuan, memiliki akses penuh
dan tanpa syarat terhadap informasi
dan layanan mengenai kesehatan
seksual dan reproduksi dan
kontrasepsi, tanpa perlu persetujuan
dari orang tua atau suami, dan
memastikan bahwa permintaan
mereka diperlakukan secara rahasia;
(b) Mengembangkan dan menerapkan
kebijakan yang ditujukkan 
melindungi hak-hak remaja hamil, ibu
remaja, dan anak-anak mereka dan
menghapus diskriminasi terhadap
mereka.
HIV/AIDS
51. Komite sangat prihatin
terus meningkatnya
prevalensi HIV/AIDS antara
tahun 2000-2009 dan
langkah-langkah cukup
diambil oleh Indonesia secara
efektif mengatasi pandemi.
Komite juga menggarisbawahi
peningkatan jumlah orang
dengan HIV/AIDS di Papua
dan peningkatan jumlah
perempuan dengan HIV/AIDS,
yang telah menyebabkan
kenaikan infeksi HIV pada
anak
52. Komite (Komentar Umum No. 3 (2003)
mendesak Indonesia:
• mengembangkan dan memperkuat
kebijakan dan program  mencegah
penyebaran HIV/AIDS dan untuk
memberikan perawatan dan dukungan
bagi anak-anak yang terinfeksi atau
terkena dampak HIV/AIDS.
• mempertahankan langkah-langkah
mencegah penularan HIV/AIDS dari
ibu-ke-bayi, menyediakan konseling
dan meningkatkan tindak lanjut
pengobatan  ibu dan bayi mereka
yang terinfeksi HIV/AIDS, sehingga
untuk memastikan diagnosis dini dan
memulai pengobatan.
54. Komite merekomendasikan:
Obat dan • mengalokasikan semua sumber
daya manusia, teknis, dan
penyalahgunaan zat
keuangan yang diperlukan 
53. Komite
mengatasi penggunaan narkoba
oleh anak-anak dan remaja,
menggarisbawahi
antara lain, memberikan mereka
konsumsi obat oleh
informasi yang akurat dan objektif
yang bertujuan  menghindari
remaja telah
dan mencegah penyalahgunaan
meningkat dalam
zat, termasuk tembakau dan
beberapa tahun
alkohol, dan mengembangkan
pengobatan ketergantungan obat
terakhir
dan pengurangan dampak buruk
dengan pelayanan yang dapat
diakses dan ramah remaja serta
pendidikan kecakapan hidup.
56. Komite merekomendasikan
untuk
Menyusui • memperkuat promosi
55. Komite prihatin
pemberian ASI, termasuk
dengan rendahnya
dengan membentuk sebuah
tingkat pemberian ASI
program untuk
di Indonesia, tercatat
mempromosikan manfaat
secara khusus hanya
menyusui dan
42 persen dari anakmemungkinkan semua ibu
anak Indonesia yang
 menyusui bayinya secara
mendapatkan ASI
eksklusif selama enam bulan
eksklusif selama enam
pertama kehidupan bayi.
bulan pertama
• mengadopsi Kode
kehidupan mereka.
Internasional Pemasaran
Pengganti ASI - WHO.
58. Komite merekomendasikan  mengembangkan strategi
anti-kemiskinan holistik dan mengambil semua langkah yang
diperlukan  memahami dan mengatasi akar penyebab, dan
Tingkat kehidupan menghilangkan kemiskinan anak. Komite juga
merekomendasikan agar Indonesia:
57. Komite prihatin :
(a) Membangun strategi dan program penanggulangan
(a) Diperkirakan 13,8 juta anak-anak yang
hidup di bawah garis kemiskinan
kemiskinan di semua tingkat, memberikan perhatian
nasional, dan 8,4 juta anak-anak yang
khusus pada daerah-daerah pedesaan dan terpencil, dan
hidup dalam kemiskinan yang ekstrim;
(b) Proses desentralisasi, yang
menjamin akses yang adil terhadap pelayanan dasar,
menyebabkan pembentukan banyak
khususnya gizi yang cukup, perumahan, air dan sanitasi,
provinsi dan kabupaten baru dan
dengan demikian menimbulkan
serta layanan pendidikan, sosial dan kesehatan, dan
kesenjangan antar daerah dalam akses
menyediakan bahan bantuan kepada keluarga tidak
terhadap pelayanan publik seperti
pencatatan kelahiran, pendidikan dasar,
mampu secara ekonomi;
dan air minum yang bersih;
(b) Adaptasi program bantuan sosial  pendidikan guna
(c) Kesenjangan perkotaan-pedesaan,
etnis, dan jenis kelamin tentang
memastikan akses oleh anak-anak yang berada di luar
kemiskinan, menjadikan anak-anak di
Papua menjadi sangat dirugikan;
sekolah;
(d) Program bantuan sosial untuk
(c) Menetapkan program dukungan yang memadai 
pendidikan tidak mencapai anak-anak
miskin yang putus sekolah dan karena
memperbaiki situasi perempuan pedesaan dan masyarakat
itu tidak dapat mengakses skema
adat  menjaga mereka dan anak-anak mereka keluar
perlindungan sosial;
(e) Perempuan pedesaan dan masyarakat
dari kemiskinan secara berkelanjutan;
adat berhadapan dengan kemiskinan
(d) Menyediakan pekerja sosial terlatih, memadai, mampu
tertentu, yang mengarah ke hasil yang
lebih buruk bagi anak-anak mereka.
mengidentifikasi keluarga dan anak-anak berisiko,
mengelola skema sosial secara efektif dan menindaklanjuti
pelaksanaannya.
Pendidikan, rekreasi, dan
kegiatan budaya (pasal 28,
29, 30 dan 31)
60. Komite mendesak  memastikan bahwa pendidikan yang
Pendidikan, termasuk berkualitas dapat diakses oleh semua anak di wilayah
pelatihan kejuruan dan Indonesia. Lebih lanjut Komite mendesak Indonesia:
bimbingan (a) Memastikan pendidikan  pencari suaka dan pengungsi
anak, anak-anak dari pekerja migran, dan anak-anak yang
59. Komite prihatin:
tidak memiliki akta kelahiran;
(a) Pendidikan dapat diakses oleh warga
saja, tidak termasuk anak-anak tidak
(b) Meningkatkan pendanaan  pendidikan, dengan fokus
memiliki akta kelahiran, anak-anak
pengungsi, dan anak-anak dari
khusus pada keluarga yang tinggal di daerah miskin dan
pekerja migran;
terpencil, dan mengambil tindakan nyata untuk secara
(b) Sejumlah besar anak-anak,
khususnya mereka yang berasal dari
efektif mengatasi alasan kegagalan untuk menyelesaikan
keluarga miskin, berhenti pergi ke
sekolah;
sekolah karena biaya pendidikan
yang tinggi atau biaya lain seperti
(c) Memastikan bahwa remaja yang sudah menikah, remaja
buku dan seragam;
hamil, dan ibu remaja yang didukung dan dibantu dalam
(c) Langkah-langkah untuk mencegah
remaja perempuan dari putus
melanjutkan pendidikan mereka di sekolah umum dan
sekolah dalam kasus kehamilan,
bahwa mereka dapat bergabung membesarkan anak dan
gadis hamil dikeluarkan dari sekolah
atau putus asa untuk melanjutkan
menyelesaikan pendidikan;
pendidikan mereka selama
kehamilan dan anak-anak yang
(d) Meningkatkan jumlah guru, memberikan pelatihan yang
sudah menikah sering tidak
memadai bagi guru dan memastikan bahwa menampilkan
melanjutkan pendidikan mereka;
(d) Ada kejadian yang tinggi kekerasan
diri untuk bekerja;
di sekolah, termasuk pada bagian
(e) Mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk
dari personil pengajar, sejumlah
besar guru tidak memiliki kualifikasi
mengembangkan rencana aksi sekolah khusus dan inspeksi
minimum yang diperlukan oleh
sekolah reguler, yang bertujuan untuk mengakhiri hukuman
Pemerintah dan guru sering tidak
masuk kerja.
fisik dan bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, termasuk
intimidasi.
Pengembangan
anak usia dini
61. Komite prihatin dengan
kesenjangan ekonomi dan
perkotaan-pedesaan
sehubungan dengan
kehadiran program
pendidikan prasekolah,
alokasi anggaran tidak
mencukupi untuk perawatan
dan pendidian anak usia dini,
infrastruktur yang tidak
memadai dan kurang
memadai personil dalam
perawatan dan pendidikan
anak usia dini di daerah
terpencil.
62. Komite merekomendasikan:
• memastikan perawatan dan
pendidikan anak usia dini gratis
dan lembaga-lembaga dapat
diakses, termasuk  anak-anak
yang tinggal di daerah terpencil,
dilengkapi staf yang memadai,
dan mampu memberikan
pelayanan pendidikan anak usia
dini secara holistik, termasuk
berkaitan dengan
perkembangan anak secara
keseluruhan dan memperkuat
kapasitas orang tua.
Istirahat, waktu luang,
rekreasi, dan kegiatan
seni dan budaya
63. Sambil mengingatkan
Pasal 11 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
menetapkan hak anak
untuk berlibur, rekreasi,
dan kegiatan seni dan
budaya, Komite prihatin
hak ini tidak diberikan
perhatian yang cukup dan
tidak cukup upaya
dilakukan terhadap
pelaksanaannya.
64. Komentar Umum No. 17
(2013), Komite
merekomendasikan:
• memperhatikan
perencanaan kegiatan
budaya dan rekreasi 
anak-anak
mempertimbangkan
perkembangan fisik dan
psikologis anak, serta
mempromosikan hak-hak 
di antara orang tua, guru,
dan tokoh masyarakat.
• meminta bantuan dari
UNESCO dan UNICEF.
Langkah-langkah
perlindungan khusus
(pasal. 22, 30, 32-33, 3536, 37 (b) - (d), 38, 39 dan
40)
Pencari suaka dan
pengungsi anak-anak
65. Komite sangat prihatin:
(a) Contoh kebrutalan berat oleh
petugas imigrasi dan penjaga
berpengalaman dan/atau
disaksikan oleh anak-anak;
(b) Fasilitas penahanan berada dalam
kondisi yang buruk, termasuk
kepadatan penghuni, fasilitas
sanitasi yang tidak memadai dan
tidak cukup dan buruk kualitas
makanan;
(c) Anak-anak yang tanpa
pendamping sering ditahan
bersama orang dewasa yang tidak
berhubungan dan kecil
kemungkinan untuk menghubungi
keluarga mereka;
(d) Kurangnya akses terhadap
pendidikan dan terbatas akses ke
rekreasi dan kesehatan.
66. Komite (Komentar Umum No. 6 (2005) mendesak
Indonesia untuk:
(a) Menjamin bahwa kepentingan terbaik anak selalu
dipertimbangkan dalam semua proses imigrasi dan
suaka dan anak-anak pencari suaka tanpa
pendamping disediakan dengan perwalian memadai
dan perwakilan hukum gratis;
(b) Menghentikan praktik administrasi menahan pencari
suaka dan anak-anak pengungsi;
(c) Menetapkan aturan perilaku yang ketat  penjaga
dan petugas di fasilitas penahanan dan memastikan
fasilitas secara teratur dinilai oleh badan pemantau
independen;
(d) Pastikan, dalam segala situasi, anak-anak dipisahkan
dari orang dewasa yang tidak berhubungan, memiliki
akses ke makanan yang cukup, air minum dan sanitasi
yang bersih, serta perawatan kesehatan, pendidikan,
dan rekreasi;
(e) Mengaksesi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
dan Protokol 1967.
Anak-anak yang
termasuk dalam
kelompok minoritas
67. Komite sangat prihatin tentang
kesulitan yang dihadapi oleh kelompok
agama minoritas, khususnya:
(a) Perlindungan memadai dari
penyelidikan dan serangan
kekerasan terhadap kelompok
agama minoritas, termasuk anakanak;
(b) Bantuan cukup untuk korban,
banyak di antaranya telah
kehilangan rumah mereka dalam
serangan dan harus tinggal di
tempat penampungan sementara
selama beberapa tahun, tanpa akses
yang memadai terhadap air bersih
dan sanitasi, makanan atau
perawatan kesehatan;
(c) Anak-anak yang termasuk kelompok
agama minoritas yang tidak
tercantum dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1965, dokumen hukum
sering ditolak, seperti identifikasi,
perkawinan atau akta kelahiran,
serta akses ke layanan publik yang
berbeda.
68. Komite mendesak:
• memerangi dan menghilangkan
segala bentuk kekerasan terhadap
kelompok agama minoritas,
menyediakan mereka dengan
semua perlindungan yang efektif
diperlukan dan pemulihan, dan
membawa pelaku ke pengadilan.
• mengamandemen undang-undang
dan memastikan  semua anak
yang termasuk kaum agama
minoritas yang tidak tercantum
dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1965memiliki akses ke
semua layanan publik dan
dokumen hukum yang mereka
miliki sebelumnya telah ditolak.
Anak-anak yang
termasuk dalam
masyarakat adat
69. Komite selanjutnya
prihatin dengan situasi
anak-anak dari masyarakat
adat, di Papua khususnya,
yang mengalami
kemiskinan, militerisasi,
ekstraksi sumber daya
alam di tanah mereka,
serta kurangnya akses
terhadap pendidikan dan
pelayanan kesehatan.
70. Komite (Komentar Umum No.
11 (2009), mendesak Indonesia
untuk:
• mengambil langkah 
menghilangkan kemiskinan di
antara masyarakat adat dan
memonitor kemajuan
• menyediakan akses yang sama
 semua layanan publik,
mengupayakan demiliterisasi
dan memastikan informed
consent sebelumnya dari
masyarakat adat yang berkaitan
dengan eksploitasi sumber daya
alam di wilayah tradisional
mereka.
Eksploitasi ekonomi,
termasuk pekerja anak
71. Komite prihatin:
(a) Banyaknya anak-anak yang terkena kondisi
berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk anak yang bekerja di pertambangan,
perikanan lepas pantai, lokasi konstruksi dan
pertambangan, dan sebagai pekerja rumah
tangga anak atau pekerja seks;
(b) Tidak adanya ketentuan mengenai kerja paksa
dan hukum yang mengatur pekerja anak antara
16 - 18 tahun;
(c) Banyaknya pekerja rumah tangga anak,
beberapa di antaranya berusia 11 tahun, angka
putus sekolah dan kerentanan mereka terhadap
kekerasan dan eksploitasi, termasuk fisik,
psikologis, dan seksual, perdagangan anak dan
kerja paksa, dan pengucilan mereka dari
Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang
menjamin hak-hak dasar buruh; dan
(d) Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Anak terhambat oleh persepsi umum
bahwa pekerjaan sebagai bagian dari proses
pendidikan, mempersiapkan anak untuk
kehidupan dewasa, layanan kepada orang tua,
dan anak menjadi "aset keluarga", serta
kesulitan koordinasi setelah pengenalan
otonomi daerah.
72. Komite mendesak Indonesia untuk:
(a) Pastikan tidak ada anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk anak, dan keterlibatan anak-anak dalam kerja didasarkan
pada pilihan bebas murni, sesuai dengan peraturan internasional, tunduk pada
batas waktu yang wajar, dan tidak dengan cara apapun menghambat
pendidikan mereka;
(b) Mengamandemen undang-undang untuk mengkriminalisasi kerja paksa dan
mengatur tenaga kerja anak antara 16 dan 18 tahun; dan penuh semangat
mengejar penegakan semua menegakkan semua standar usia minimum;
menunjuk pengawas ketenagakerjaan yang memadai dan menyediakan mereka
dengan semua sumber daya yang diperlukan, termasuk keahlian pekerja anak,
untuk memantau pelaksanaan standar hukum perburuhan di semua tingkatan,
di semua bagian negara, dan di setiap jenis pekerjaan informal;
(c) Mengamandemen undang-undang untuk memastikan pekerja rumah tangga
bisa mendapatkan keuntungan dari semua hak-hak pekerja yang ada dan
mendapat perlindungan khusus, termasuk bantuan hukum gratis, berkaitan
dengan kondisi tertentu dan bahaya bahwa mereka tunduk, pada, seperti
pelecehan seksual;
(d) Memastikan ada penyelidikan dan penuntutan yang menyeluruh dari orangorang yang melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan dan sanksi
yang cukup efektif dan beralasan dikenakan dalam praktik;
(e) Aktif menyebarkan informasi tentang hak-hak anak dalam kaitannya dengan
bekerja di bawah Konvensi di tingkat nasional, regional, dan lokal, menjamin
partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan dan para pemimpinan, serta
keterlibatan media;
(f) Membangun sistem pengumpulan data terpusat untuk memperoleh data secara
independen untuk memverifikasi anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan.
Data harus dipisahkan berdasarkan jenis tenaga kerja, usia, jenis kelamin, lokasi
geografis, etnis, dan latar belakang sosial ekonomi;
(g) Meratifikasi dan menerapkan Konvensi ILO No. 189 mengenai Pekerjaan yang
Layak untuk Pekerja Rumah Tangga;
(h) Mencari bantuan teknis dari Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak,
Organisasi Buruh Internasional (ILO-IPEC).
Anak-anak dalam
situasi jalanan
73. Sementara menyambut program
pencegahan dan pemulihan yang
dilakukan Indonesia, Komite prihatin
sejumlah besar anak-anak yang
bekerja dan tinggal di jalanan dan
kerentanan mereka terhadap berbagai
risiko yang lazim, termasuk
penggunaan narkoba, pelecehan
seksual dan eksploitasi ekonomi.
Komite juga sangat prihatin tentang
pendekatan hukum yang berlaku yang
terkandung dalam peraturan daerah
yang memperlakukan anak-anak
dalam situasi jalanan sebagai penjahat
bukan sebagai korban, dan kekerasan
yang parah yang mereka dikenakan
oleh agen penegak hukum, terutama
selama operasii.
74. Komite merekomendasikan :
(a) Melakukan penilaian yang sistematis dari kondisi
anak-anak dalam situasi jalanan  mendapatkan
gambaran yang akurat tentang akar penyebab dan
besarannya;
(b) Mengubah semua undang-undang tentang
penanganan anak-anak dalam situasi jalanan sebagai
penjahat dan mengambil semua langkah yang
diperlukan  melindungi mereka dari kekerasan,
khususnya kekerasan oleh penegak hukum;
(c) Mengembangkan dan menerapkan, dengan
keterlibatan aktif dari anak-anak sendiri, kebijakan
yang komprehensif yang membahas akar penyebab
dalam rangka mencegah dan mengurangi fenomena
ini;
(d) Koordinasi dengan LSM  memberikan perlindungan
yang diperlukan anak-anak dalam situasi jalanan 
akses ke nutrisi dan tempat tinggal, lingkungan
keluarga, pelayanan kesehatan yang memadai,
kemungkinan menghadiri sekolah, dan akses ke
layanan sosial lainnya;
(e) Mendukung program reunifikasi keluarga, dengan
memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Penjualan,
perdagangan, dan
penculikan
75. Komite menyambut baik ratifikasi
terbaru oleh Indonesia terhadap Protokol
Opsional Konvensi Hak Anak tentang
Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak. Namun, Komite sangat
prihatin dengan tingginya prevalensi
perdagangan orang di dalam Indonesia,
termasuk sejumlah besar anak-anak di
bawah umur yang terlibat sebagai pekerja
seks. Sementara menyambut adopsi
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Komite prihatin
bahwa undang-undang gagal untuk
mendefinisikan perdagangan anak secara
komprehensif, bahwa banyak kasus
perdagangan anak tidak dianggap seperti
itu oleh undang-undang. Selain itu,
Komite menggarisbawahi Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang dibentuk
oleh pemerintah tidak cukup efektif dan
masih banyak daerah yang belum
memiliki gugus tugas.
76. Komite mendesak Indonesia untuk mengambil
langkah-langkah secara efektif menghapus
perdagangan anak. Secara khusus, ia mendesak
Indonesia untuk:
(a) Mengamandemen undang-undang untuk
memastikan perdagangan anak dalam segala
bentuknya secara komprehensif didefinisikan
dan dikriminalisasi, mengembangkan kebijakan
dan program  mencegah perdagangan orang
dan memastikan bahwa langkah-langkah
penegakan hukum yang memadai ditargetkan
diambil  membawa pelaku penjualan,
perdagangan, dan penculikan anak ke
pengadilan;
(b) Melakukan penelitian tentang akar penyebab
perdagangan anak dengan tujuan 
menghilangan, mengidentifikasi anak-anak yang
beresiko  diperdagangkan dan/atau menjadi
korban kejahatan di bawah Protokol Opsional
Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak,
pelacuran anak, dan pornografi anak, dan
memberikan layanan reintegrasi dan rehabilitasi
yang cukup dan memadai bagi anak korban.
Administrasi
peradilan anak
77. Komite menyambut penerapan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
meningkatkan usia minimum
pertanggungjawaban pidana dan
memprioritaskan penggunaan keadilan
restoratif. Namun, Komite
menggarisbawahi penetapan usia
minimum pertanggungjawaban pidana
yang masih rendah yaitu usia 12
tahun. Selain itu, Komite prihatin pada
sejumlah anak-anak dihukum dan
dipenjara bahkan untuk kejahatan kecil
sekalipun, dan bahwa mereka sering
ditahan dengan orang dewasa dalam
kondisi yang buruk. Komite juga
prihatin dengan kurangnya tindakan
reintegrasi sosial bagi anak yang
berkonflik dengan hukum.
78. Komentar Umum No. 10 (2007), merekomendasikan
Indonesia:
(a) Pertimbangkan menaikkan usia minimum
pertanggungjawaban pidana minimal 14 tahun;
(b) Memastikan semua profesional yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan undang-undang peradilan
anak, menerima pelatihan yang diperlukan;
(c)
Memastikan alokasi semua sumber daya manusia,
teknis, dan keuangan yang diperlukan 
memungkinkan pelaksanaan yang efektif dari
undang-undang;
(d) Memastikan bahwa perampasan kebebasan hanya
digunakan sebagai upaya terakhir dan  jumlah
waktu terpendek, anak-anak tidak ditahan dengan
orang dewasa dan kondisi penahanan dengan
standar internasional, termasuk yang berkaitan
dengan akses ke nutrisi, air bersih, dan sanitasi
serta layanan pendidikan dan kesehatan
(e) Selanjutnya mempromosikan langkah-langkah
alternatif  penahanan, seperti layanan
pengalihan, masa percobaan, mediasi, konseling,
atau masyarakat, dan memberikan akses ke
program rehabilitasi dan reintegrasi yang memadai.
Ratifikasi instrumen HAM internasional
79. Komite merekomendasikan Negara untuk meratifikasi:
1. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang prosedur komunikasi,
2. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa
3. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya
4. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik
5. Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, yang bertujuan untuk penghapusan hukuman mati
6. Protokol Opsional konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan
7. Protokol Opsional Konvensi menentang Penyiksaan dan Kejam, Tidak
Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman lain dan
8. Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas.
Kerjasama dengan badan-badan
regional dan internasional
80. Komite merekomendasikan agar Indonesia
bekerja sama dengan, antara lain, Komisi
ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hakhak Perempuan dan Anak.
Tindak lanjut dan diseminasi
81. Komite merekomendasikan memastikan
rekomendasi ini sepenuhnya diimplementasikan, antara
lain, dengan mengirimkan kepada Kepala Negara,
Parlemen, kementerian terkait, Mahkamah Agung, dan
otoritas setempat, untuk mempertimbangkan dengan
tepat dan menindaklanjuti.
82. Laporan gabungan periodik ketiga dan keempat dan
jawaban yang ditulis oleh Indonesia dan rekomendasi
terkait (kesimpulan pengamatan) dibuat secara luas,
tersedia dalam bahasa Indonesia, termasuk (namun
tidak eksklusif) melalui Internet, kepada masyarakat
luas, organisasi masyarakat sipil, media, kelompok
pemuda, kelompok profesional dan anak-anak.
Laporan berikutnya
83. Indonesia melaporkan laporan kelima dan
keenam diserahkan pada tanggal 7 Oktober
2019 (tidak melebihi 21.200 kata).
84. Indonesia memperbaharui Dokumen inti
(batas kata adalah 42.400).
terimakasih
Download