Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak – PBB terhadap Laporan Indonesia Pelaksanaan KHA Periode ke tiga (1997-2002) dan empat (2002-2007) KPPPA Langkah-langkah umum pelaksanaan (Pasal 4, 42, dan 44, para. 6, Konvensi) Rekomendasi Komite sebelumnya 7. Komite, menyambut upaya Indonesia untuk melaksanakan rekomendasi Komite tahun 2004 tentang laporan Indonesia periodik kedua (CRC/C/15/Add.223), disesalkan bahwa beberapa rekomendasi yang terkandung di dalamnya belum ditangani sepenuhnya 8. Komite mendesak: (a) Terus meng-upgrade sistem pengumpulan data; memastikan data digunakan untuk perumusan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan, program, dan proyek; dan kerja sama dengan UNICEF; (b) Penyebaran dan pelatihan Konvensi semua profesional secara berkelanjutan dan sistematis; Konvensi dikenal semua anak (etnis minoritas); (c) Komentar Umum No. 8 (2006) amandemen UU melarang hukuman fisik keluarga, sekolah, dan penitipan anak); kampanye pendidikan publik tentang konsekuensi negatif dari perlakuan buruk terhadap anak dan mempromosikan disiplin positif sebagai bentuk alternatif hukuman fisik nonkekerasan; (d) Mengubah UU tentang adopsi pasal 2 dan 3 Konvensi; memantau dan mengawasi secara efektif sistem adopsi anak sesuai kepentingan terbaik bagi anak; menyetujui Konvensi Den Haag tentang Perlindungan Anak dan Menghormati Kerjasama Adopsi Intercountry; dan (e) Bekerjasama LSM dan organisasi internasional, sistem yang komprehensif dukungan psikososial dan bantuan untuk anakanak yang terkena dampak konflik [bersenjata], dan menjamin privasi mereka. Definisi Anak Definisi Anak 9. Komite usia sah pernikahan untuk anak perempuan tetap pada usia 16 tahun, undang-undang anak-anak yang sudah menikah dianggap sudah dewasa 10. Komite merekomendasikan: • Amandemen UU • Menaikkan usia pernikahan untuk anak perempuan sampai 18 tahun • Meninjau perbedaan batas usia prinsip dan ketentuan anak di bawah usia 18 tahun dianggap sebagai orang dewasa. Perundang-undangan 11. Komite Konvensi yang belum sepenuhnya dimasukkan perundangundangan. Komite proses desentralisasi yang mengarah ke pembentukan provinsi dan kabupaten baru, menempatkan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik, menghasilkan beberapa peraturan daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau kabupaten, namun tidak konsisten dengan konvensi 12. Komite mendesak: (a) Ketentuan-ketentuan Konvensi hukum nasional; dan (b) Semua peraturan daerah provinsi dan kabupaten konsisten Konvensi pembentukan lembaga pemerintah yang khusus memantau proses penyusunan dan penerapan peraturan daerah kabupaten dan provinsi dan peraturan yang menyangkut anak-anak. Koordinasi 13. Komite prihatin KPPPA bertanggung jawab koordinasi dan pelaksanaan Konvensi dan Rencana Aksi Nasional untuk Anak tidak memiliki otoritas yang diperlukan atas struktur pemerintahan di provinsi dan kabupaten agar secara benar mengoordinasikan kegiatan di bawah Konvensi di semua tingkatan. 14. Komite mendesak Indonesia: • memberikan kewenangan KPPPA mengoordinasikan dan mengevaluasi kegiatan berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi di semua tingkatan. • menjamin kerja sama dari otoritas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota pemantauan dan pelaksanaan Konvensi. Alokasi sumber daya 15Komite prihatin tentang total pengeluaran kesehatan Indonesia yang hanya 2,7 persen dari produk domestik bruto pada tahun 2011, yang dianggap menjadi rendah. Selain itu, saat menyambut peningkatan yang signifikan dalam anggaran pendidikan tahunan, Komite menyesalkan bahwa anggaran tidak cukup untuk menjamin pendidikan untuk semua anak di Indonesiai 16. Komite merekomendasikan: (a) Secara signifikan meningkatkan alokasi di bidang kesehatan ke tingkat yang memadai; dan (b) Membangun mekanisme untuk memantau dan mengevaluasi kecukupan, efektivitas, dan pemerataan distribusi sumber daya yang dialokasikan untuk pelaksanaan Konvensi. Pemantauan independen 17. Komite kapasitas Komisi Perlindungan Anak untuk menerima pengaduan, Komite menyesalkan bahwa Komisi ini memiliki mandat yang terbatas dan tidak memiliki otoritas eksplisit untuk menyelidiki keluhan 18. Komite (Komentar Umum No. 2 (2002) merekomendasikan: • Negara memperkuat mandat Komisi Perlindungan Anak, dengan menyediakan kapasitas untuk menyelidiki dan menangani keluhan dari anak-anak dengan cara-anak yang sensitif, menjamin privasi dan perlindungan korban, dan melakukan monitoring dan tindak lanjut. • Negara menjamin independensi seperti mekanisme pemantauan, termasuk berkaitan dengan pendanaan, mandat, dan kekebalan memastikan kepatuhan penuh dengan Prinsip Paris. • Negara bekerja sama teknis dari, antara lain, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), UNICEF, dan United Nations Development Programme (UNDP) [sebagaimana berlaku] Prinsip-prinsip umum (Pasal 2, 3, 6, dan 12 Konvensi) Non-diskriminasi 19. Program pengarusutamaan gender, Komite prihatin ketentuan diskriminasi yang masih tetap dalam legislasi nasional dan prevalensi de facto diskriminasi, termasuk: (a) Diskriminasi terhadap perempuan tentang hak waris dan sejumlah besar perempuan masih tunduk pada berbagai peraturan diskriminatif dan diskriminasi sehari-hari; (b) Khususnya diskriminasi terhadap Anakanak penyandang disabilitas akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan; (c) Diskriminasi yang berlangsung terhadap anak penganut agama minoritas dan kegagalan Indonesia untuk mencegah serangan terhadap mereka; (d) Berbagai bentuk diskriminasi terhadap anak-anak dari masyarakat adat, seperti akses yang cukup ke pendidikan dan perawatan kesehatan. 20. Komite mendesak : (a)Mencabut tanpa penundaan semua perundangundangan yang mendiskriminasikan perempuan, khususnya berkaitan dengan warisan, dan menghilangkan sikap negatif, praktik, stereotip yang mengakar tentang perempuan dengan merumuskan strategi yang komprehensif promosi kesetaraan; (b)Mengambil langkah menjamin akses yang sama anak-anak penyandang disabilitas semua layanan publik perawatan kesehatan dan pendidikan; (c) Mengambil langkah menghapus diskriminasi terhadap anak-anak berdasarkan agama mereka dan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas agama tertentu; (d)Mengambil langkah memperbaiki infrastruktur menyediakan akses yang sama ke pelayanan publik oleh anak-anak dari masyarakat adat. Kepentingan terbaik anak 21. Komite menyesalkan ), prinsip kepentingan terbaik anak tidak diintegrasikan ke dalam sebagian besar undang-undang yang berkaitan dengan anak di Indonesia. Komite keputusan mengenai adopsi dan tahanan sering diambil atas dasar agama anak, bukan kepentingan terbaiknya, dan bahwa menurut hukum Syariah berlaku untuk umat Islam, dalam proses keputusan perceraian yang berkaitan dengan hak asuh anak berdasarkan usia mereka (CRC/C/15/Add.223, paragraf 45). 22. Komite (Komentar Umum No. 14 (2013): • Memastikan kepentingan terbaik dipertimbangkan secara eksplisit undangundang; diterapkan proses legislatif, administratif, dan hukum, serta dalam semua kebijakan, program, dan proyek-proyek yang relevan dan berdampak pada anak. • mengembangkan prosedur dan kriteria memberikan bimbingan semua orang yang berwenang menentukan kepentingan terbaik anak di setiap daerah; untuk memberikan bobot sebagai pertimbangan utama. • prosedur dan kriteria disebarluaskan kepada masyarakat luas, termasuk lembagalembaga kesejahteraan sosial publik dan swasta, pengadilan hukum, badan legislatif, dan pemimpin agama. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan 23. Komite memprihatinkan insiden penggusuran paksa pada keluarga-keluarga, termasuk anak-anak, tanpa menawarkan ganti rugi yang memadai atau perumahan alternatif. Selain itu, Komite juga menyayangkan undangundang Indonesia, penggusuran paksa yang mengarah kepada munculnya tunawisma, bisa dilakukan 24. Komite: • mengambil langkahlangkah hukum diperlukan memastikan penggusuran paksa hanya digunakan sebagai upaya terakhir selalu tunduk pada alternatif yang memadai dan bahwa dalam keadaan mungkin penggusuran menyebabkan tunawisma. Menghormati pandangan anak 25. Sementara menyambut pembentukan Forum Nasional untuk Partisipasi Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Dewan Anak, Pemilihan Pemimpin Muda, dan Konsultasi Anak Nasional, Komite prihatin bahwa: (a) Forum ini tidak sepenuhnya inklusif; (b) Pandangan anak yang disuarakan dalam forum ini tidak cukup dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan; (c) Undang-Undang No. 23/2002 yang menetapkan hak anak untuk didengar, membutuhkan hak ini harus diterapkan sesuai dengan "moral dan kesusilaan", menghambat efektifitas, dan pelaksanaan yang transparan. 26. Komentar Umum No. 12 (2009, Komite merekomendasikan: (a) Menjamin partisipasi anak dalam situasi rentan anak-anak penyandang disabilitas maupun anakanak dari agama atau etnis minoritas dalam berbagai forum anak; (b)Menyediakan sarana eksplisit mempertimbangkan pendapat anak-anak semua proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan mereka; (c) Mengubah undang-undang menghindari pembatasan hak anak untuk didengar atau mengungkapkan pandangannya; dan (d)memastikan bahwa forum yang berbeda di mana anak-anak dapat menyuarakan pendapat selalu disediakan dengan semua sumber daya yang diperlukan, dan dengan melakukan program dan kegiatan peningkatan kesadaran untuk mempromosikan partisipasi yang berarti dan diberdayakan dari semua anak dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah Hak sipil dan kebebasan (pasal 7, 8, dan 13-17) Pendaftaran kelahiran/Nama dan kebangsaan 27. Sehubungan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan perubahan atas hukum memberikan hak anak dari ibu Indonesia dan seorang ayah yang bukan warga negara Indonesia, Komite prihatin dengan tidak adanya mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang di semua tingkatan. Komite juga mencatat bahwa agama anak ditunjukkan pada kartu identitas, yang dapat menyebabkan diskriminasi. Selain itu, saat menyambut pencatatan kelahiran gratis yang di bawah hukum nasional, Komite prihatin: (a)Ketidakpastian mengenai pengawasan di tingkat pusat untuk memastikan bahwa pemerintah daerah tidak memungut biaya pendaftaran kelahiran meskipun undang-undang baru; (b)Anak-anak mempertaruhkan tanpa kewarganegaraan jika kedua orang tua warga negara asing dan tidak bisa mewariskan kewarganegaraan mereka ke anak karena hukum negara mereka 28. Komite merekomendasikan: • memastikan semua anak yang lahir di Indonesia didaftar dan diterbitkan akta kelahiran, terlepas dari kebangsaan, agama, dan status saat lahir, dan pencatatan kelahiran difasilitasi dan gratis dalam semua keadaan. • menghapus indikasi afiliasi agama dalam kartu identitas dan menutup kesenjangan dalam undang-undang yang dapat meninggalkan beberapa anak tanpa kewarganegaraan. • menyetujui Konvensi 1954 mengenai Status Tanpa Kewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Tanpa Kewarganegaraan. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama 29Komite sangat prihatin tentang tindakan pemerintah yang represif terhadap kebebasan beragama anak-anak dari kelompok minoritas agama yang tidak disebutkan dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965, khususnya: (a) Kewajiban untuk menghadiri pelajaran agama di sekolah di salah satu dari enam agama yang tercantum dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965; (b) Penggunaan peraturan terhadap penghujatan dan dakwah untuk menuntut orang-orang yang termasuk kaum minoritas agama yang tidak tercantum dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965, termasuk anak-anak mereka, dan RUU tentang "kerukunan beragama", yang membawa risiko meningkatnya diskriminasi; (c) Non-Muslim yang secara eksplisit mengikuti hukum Syariah di Aceh atau seperti yang ditunjukkan oleh Indonesia, tekanan sosial pada siswa non-Muslim untuk mengenakan busana Muslim di sekolah. 30. Komite: • mengamandemen UU hak anak-anak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama dari semua keyakinan dan mengambil semua langkah yang diperlukan peningkatan kesadaran dan kampanye pendidikan publik memerangi intoleransi atas dasar agama atau kepercayaan lain, mempromosikan dialog agama dalam masyarakat, memastikan ajaran agama mempromosikan toleransi dan pemahaman antara anak-anak dari semua komunitas dan latar belakang agama atau non-agama dan memberantas segala macam tekanan sosial terhadap anak-anak untuk mematuhi aturan dari agama yang bukan ia anut. • mengambil langkah memastikan bahwa non-Muslim secara eksklusif diatur oleh hukum sekuler. Kekerasan terhadap anak (pasal 19, 24, para.3, 28, para. 2, 34, 37 (a) dan 39) Eksploitasi seksual dan penganiayaan 31Komite menyesalkan pencegahan, pemulihan, dan reintegrasi bagi anak korban tidak cukup efektif dan mereka dihadapkan pada beberapa hambatan dalam mengakses keadilan. Komite prihatin laporan jumlah anak-anak korban eksploitasi seksual meningkat dan anak-anak yang telah menjadi korban pelecehan seksual dapat diperlakukan sebagai penjahat bukan sebagai korban. 32. Komite merekomendasikan melindungi dan mencegah anak-anak dari pelecehan seksual dan eksploitasi: (a) Mengembangkan strategi menanggapi kebutuhan anak-anak korban eksploitasi seksual dan penganiayaan, dan menjamin akses mereka ke tempat penampungan, layanan kesehatan, bantuan hukum, dan psikologis; memberikan pelatihan memadai untuk profesional yang bekerja di layanan tersebut; memastikan saluran pelaporan ramah anak diakses, dan rahasia, serta akses anak korban difasilitasi untuk mendapatkan keadilan; (b) Mengubah UU memastikan segala bentuk eksploitasi seksual pada semua anak selalu diperlakukan sebagai korban dan tidak dikenai sanksi pidana. Praktik-praktik berbahaya 33. Komite mencatat keputusan Indonesia untuk mencabut Peraturan No. 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014. Namun, Komite mencatat FGM (female genital mutilation), termasuk praktik sunat perempuan, tidak secara eksplisit dilarang. Komite prihatin tentang sejumlah besar perempuan telah menjadi korban FGM. 34. Komite mengadopsi UU untuk sepenuhnya melarang FGM dalam segala bentuknya dan: (a) Menyediakan program pemulihan fisik dan psikologis bagi korban FGM, serta membentuk mekanisme pelaporan dan pengaduan yang dapat diakses oleh anak-anak perempuan yang telah menjadi korban, atau takut menjadi korban; (b) Dengan partisipasi penuh dari masyarakat sipil dan korban perempuan dan gadis yang menjadi korban FGM, mengatur kampanye peningkatan kesadaran dan program pendidikan tentang dampak bahaya dari FGM pada kesehatan fisik dan psikologis anak perempuan, dan memastikan kampanye dan program yang sistematis dan konsisten diarusutamakan, dan menargetkan pada semua segmen masyarakat, baik perempuan dan laki-laki, pejabat pemerintah, keluarga, dan semua pemimpin agama dan masyarakat; (c) Sepenuhnya mengkriminalisasi praktik dan memastikan para praktisi menyadari kriminalisasi; melibatkan praktisi dalam upaya untuk mempromosikan untuk meninggalkan praktik-praktik FGM; membantu mereka dalam mencari alternatif sumber pendapatan dan mata pencaharian; dan bila perlu, memberikan pelatihan kepada mereka. Pernikahan Usia Anak 35. Komite sangat menyesalkan tingginya jumlah pernikahan usia anak dan paksa di Indonesia 36. Komite mendesak Indonesia: • mencari langkah mencegah dan memberantas praktik pernikahan usia anak atau kawin paksa • langkah legislatif diperlukan peningkatan kesadaran dan kampanye informasi kerugian dan bahaya yang diakibatkan pernikahan usia anak. Anak bebas dari semua bentuk kekerasan 37Sehubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan terhadap Anak (2010-2014), Komite sangat prihatin tentang: (a) Banyak kasus kekerasan terhadap anak dalam tahanan dan pada semua tahap persidangan; (b) Anak gadis paling sering mengalami kekerasan dan menghadapi kesulitan yang cukup besar untuk mendapatkan perlindungan, termasuk akses terhadap keadilan. Komite mencatat dalam hal ini sistem peradilan formal sering tidak dapat diakses karena biaya mahal dan perempuan dan anak perempuan yang disebut dalam mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, dipengadilan agama, sering mendapat diskriminasi dan akhirnya mereka mendapat pengecualian dalam proses pengambilan keputusan. 38. Komentar Umum No. 13 (2011) Komite untuk: (a) Menetapkan mekanisme pemantauan memadai secara efektif menghilangkan kekerasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum; (b) Memastikan anak perempuan terlindungi kekerasan, dan didukung program yang memberikan bantuan keuangan dan hukum memungkinkan akses penuh ke sistem peradilan formal. Helplines 39. Sehubungan dengan pembentukan Child Helpline, Indonesia bekerjasama dengan LSM nasional dan internasional, Komite prihatin dengan kurangnya cakupan di semua provinsi, kurangnya kesadaran masyarakat tentang adanya layanan helplines', dan konselor yang kurang memadai. 40. Komite merekomendasikan: • meningkatkan sumber daya manusia, keuangan, dan teknis untuk Helpline memastikan anak-anak di setiap provinsi sadar dan memiliki akses 24-jam ke helpline dan tindak lanjut yang disediakan. • pelatihan yang memadai konselor. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (Pasal 5, 9-11, 18 (ayat 1 dan 2), 20-21, 25 dan 27 (ayat 4)) Lingkungan keluarga 41. Komite sangat prihatin bahwa poligami masih diperbolehkan - situasi yang bertentangan dengan martabat perempuan dan anak perempuan yang memasuki pernikahan tersebut dan yang negatif mempengaruhi pada anakanak mereka. 42. Komite mendesak: • memastikan semua ketentuan dalam undangundang yang diskriminatif perempuan dan berdampak negatif anakanak mereka seperti ketentuan otorisasi poligami, dicabut. Anak-anak kehilangan lingkungan keluarga 43. Komite a memprihatinkan: (a) Keluarga miskin yang mungkin masih dapat memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menemukan mereka menyerahkan anak-anak mereka (ke panti asuhan); (b) Sedikit jumlah penempatan anakanak berbasis keluarga dan terus meluasnya penggunaan pelembagaan; (c) Persyaratan sangat terbatas untuk memperoleh izin untuk menjalankan sebuah lembaga pengasuhan alternatif; (d) Kurangnya kepatuhan oleh sebagian besar lembaga dengan standar yang diperkenalkan oleh Standar Nasional untuk Penitipan Anak; tidak adanya pemantauan kepatuhan; insiden kekerasan sering terjadi dalam lembaga-lembaga; dan anak-anak yang tinggal di lembaga kemungkinan kurang kesempatan untuk bertemu keluarga mereka; (e) Kurangnya sistem pengumpulan data terpilah yang memadai pada anak-anak yang tinggal di lembaga. 44. Komite merekomendasikan Indonesia: (a)Dukungan diberikan keluarga biologis dan memberikan bantuan berbasis masyarakat keluarga dalam membesarkan anak, termasuk pekerja sosial yang terlatih; (b)Menyediakan tipe perawatan keluarga sedapat mungkin anak-anak yang tidak bisa tinggal dengan keluarga mereka mengurangi pelembagaan anak; (c) Memperkuat persyaratan mendapatkan izin menjalankan sebuah lembaga pengasuhan alternatif; (d)Memastikan penelaahan berkala penempatan anak-anak di lembaga-lembaga, dan memantau kualitas pelayanan di dalamnya, menyediakan akses memantau dan menanggulangi penganiayaan anak-anak, dan memastikan bahwa anak-anak diberi kesempatan bertemu dengan keluarga mereka; (e)Membangun sistem pengumpulan data yang terpusat pada anak yang tinggal di lembagalembaga, yang dipilah menurut umur, jenis kelamin, dan latar belakang ekonomi. Disabilitas, kesehatan dasar, dan kesejahteraan (pasal 6, 18 (ayat 3), 23, 24, 26, 27 (ayat 1-3) dan 33) Anak-anak penyandang disabilitas 45. Sehubungan dengan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas 2013 2022, Komite prihatin tentang situasi anak-anak penyandang disabilitas, khususnya: (a) Anak-anak penyandang disabilitas, terutama anak perempuan, yang menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan; (b) Banyak anak-anak penyandang disabilitas yang tersembunyi atau ditempatkan di lembaga-lembaga karena stigma sosial dari biaya ekonomi membesarkan mereka; (c) Sejumlah kecil anak-anak penyandang disabilitas bersekolah dan memiliki akses ke perawatan kesehatan, layanan khusus, dan pusat-pusat rehabilitasi; (d) Tidak adanya pengumpulan data secara sistematis terhadap anakanak penyandang disabilitas. 46. Komentar Umum No. 9 (2006) tentang hak-hak anak disabilitas, Komite merekomendasikan agar Indonesia melakukan segala upaya untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas 2013-2022, dan mendesak Indonesia untuk: (a) Mengamandemen undang-undang memastikan diskriminasi atas dasar disabilitas secara tegas dilarang memastikan bahwa semua ketentuan yang mengakibatkan diskriminasi de facto para penyandang disabilitas dicabut; (b) Melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye pendidikan bertujuan menghilangkan segala macam diskriminasi secara de facto, khususnya hambatan sikap dan lingkungan, terhadap anak-anak penyandang disabilitas, menginformasikan dan membuat masyarakat tentang hak-hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas dan memastikan anak-anak penyandang disabilitas disediakan dengan dukungan keuangan yang memadai dan memiliki akses penuh ke layanan sosial dan kesehatan; (c) Menjamin bahwa anak-anak penyandang disabilitas dapat sepenuhnya menggunakan hak pendidikan dan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memasukkan mereka ke dalam sistem sekolah umum; (d) Mengumpulkan data spesifik anak-anak penyandang disabilitas dan terpilah sehingga dapat diadaptasi pada kebijakan dan program untuk kebutuhan mereka. Kesehatan dan Pelayanan kesehatan 47. Komite prihatin akan: (a) Tingginya persentase neonatal, tingkat kematian bayi dan balita, terutama akibat diare dan pneumonia, dan sejumlah besar anak-anak di bawah usia 5 tahun yang menderita stunting dan di bawah berat badan; (b) Tingkat kematian ibu masih sangat tinggi; (c) Tingkat ketimpangan kematian bayi dan ibu antar provinsi; (d) Tidak adanya peraturan kesehatan publik tertentu pada masalah preventif kesehatan seperti imunisasi, serta pelaksanaan memuaskan dari program imunisasi; (e) Melanjutkan defisit mengenai infrastruktur dan dukungan untuk fasilitas pelayanan kesehatan, serta keterampilan petugas kesehatan dan kehadiran di tempat kerja tidak teratur. 48. Komite (Komentar Umum No. 15 (2013) meningkatkan anggaran kesehatan dan memperluas akses ke pelayanan perawatan kesehatan primer di semua provinsi. Ini harus memastikan bahwa layanan tersebut dapat diakses dan terjangkau bagi penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka, dan khususnya: (a) Menjamin penyediaan layanan-layanan kesehatan dasar bagi semua perempuan hamil, termasuk akses ke perawatan antenatal, perawatan persalinan yang aman, perawatan obstetrik darurat serta perawatan pasca melahirkan, dan untuk anak-anak, difokuskan pada intervensi untuk mengurangi penyakit yang dapat dicegah, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan gizi, dan mempromosikan praktik pemberian makanan yang baik untuk bayi dan anak; (b) Memperkuat dan memperluas akses ke perawatan kesehatan preventif dan layanan terapi untuk semua perempuan hamil dan anak-anak, terutama bayi dan balita, termasuk layanan imunisasi universal, terapi rehidrasi oral, dan pengobatan untuk infeksi saluran pernapasan akut; (c) Memberikan bantuan profesional gratis yang cukup sebelum dan selama persalinan, termasuk di daerah terpencil dan pedesaan, dan membuat semua upaya yang diperlukan, termasuk intervensi obstetrik darurat untuk menurunkan angka kematian ibu; (d) Merekrut, melatih, dan memonitor penyedia layanan kesehatan, meningkatkan infrastruktur kesehatan dan memastikan bahwa pelayanan kesehatan termasuk akses ke sanitasi dan air minum yang bersih. Kesehatan remaja 49. keprihatinan selanjutnya adalah : (a) Layanan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi memerlukan persetujuan dari orang tua atau suami; pada remaja putri khususnya menikah harus meminta izin suami mereka untuk mendapatkan beberapa jenis layanan kontrasepsi dari fasilitas kesehatan yang dikelola pemerintah; (b) Gadis remaja yang belum menikah, termasuk korban perkosaan, mungkin tidak dapat mengakses layanan kesehatan reproduksi karena mereka tidak dapat menyadari bahwa mereka berhak atau mereka takut stigmatisasi, yang mengarah ke, antara lain, penyakit menular seksual, tingkat kehamilan remaja, resiko aborsi yang tidak aman, kawin paksa pada usia muda dan putus sekolah. 50. Komentar Umum No. 4 (2003), Komite merekomendasikan Indonesia untuk : (a) Mengamandemen undang-undang memastikan remaja, terutama perempuan, memiliki akses penuh dan tanpa syarat terhadap informasi dan layanan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dan kontrasepsi, tanpa perlu persetujuan dari orang tua atau suami, dan memastikan bahwa permintaan mereka diperlakukan secara rahasia; (b) Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang ditujukkan melindungi hak-hak remaja hamil, ibu remaja, dan anak-anak mereka dan menghapus diskriminasi terhadap mereka. HIV/AIDS 51. Komite sangat prihatin terus meningkatnya prevalensi HIV/AIDS antara tahun 2000-2009 dan langkah-langkah cukup diambil oleh Indonesia secara efektif mengatasi pandemi. Komite juga menggarisbawahi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS di Papua dan peningkatan jumlah perempuan dengan HIV/AIDS, yang telah menyebabkan kenaikan infeksi HIV pada anak 52. Komite (Komentar Umum No. 3 (2003) mendesak Indonesia: • mengembangkan dan memperkuat kebijakan dan program mencegah penyebaran HIV/AIDS dan untuk memberikan perawatan dan dukungan bagi anak-anak yang terinfeksi atau terkena dampak HIV/AIDS. • mempertahankan langkah-langkah mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi, menyediakan konseling dan meningkatkan tindak lanjut pengobatan ibu dan bayi mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, sehingga untuk memastikan diagnosis dini dan memulai pengobatan. 54. Komite merekomendasikan: Obat dan • mengalokasikan semua sumber daya manusia, teknis, dan penyalahgunaan zat keuangan yang diperlukan 53. Komite mengatasi penggunaan narkoba oleh anak-anak dan remaja, menggarisbawahi antara lain, memberikan mereka konsumsi obat oleh informasi yang akurat dan objektif yang bertujuan menghindari remaja telah dan mencegah penyalahgunaan meningkat dalam zat, termasuk tembakau dan beberapa tahun alkohol, dan mengembangkan pengobatan ketergantungan obat terakhir dan pengurangan dampak buruk dengan pelayanan yang dapat diakses dan ramah remaja serta pendidikan kecakapan hidup. 56. Komite merekomendasikan untuk Menyusui • memperkuat promosi 55. Komite prihatin pemberian ASI, termasuk dengan rendahnya dengan membentuk sebuah tingkat pemberian ASI program untuk di Indonesia, tercatat mempromosikan manfaat secara khusus hanya menyusui dan 42 persen dari anakmemungkinkan semua ibu anak Indonesia yang menyusui bayinya secara mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan eksklusif selama enam pertama kehidupan bayi. bulan pertama • mengadopsi Kode kehidupan mereka. Internasional Pemasaran Pengganti ASI - WHO. 58. Komite merekomendasikan mengembangkan strategi anti-kemiskinan holistik dan mengambil semua langkah yang diperlukan memahami dan mengatasi akar penyebab, dan Tingkat kehidupan menghilangkan kemiskinan anak. Komite juga merekomendasikan agar Indonesia: 57. Komite prihatin : (a) Membangun strategi dan program penanggulangan (a) Diperkirakan 13,8 juta anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan kemiskinan di semua tingkat, memberikan perhatian nasional, dan 8,4 juta anak-anak yang khusus pada daerah-daerah pedesaan dan terpencil, dan hidup dalam kemiskinan yang ekstrim; (b) Proses desentralisasi, yang menjamin akses yang adil terhadap pelayanan dasar, menyebabkan pembentukan banyak khususnya gizi yang cukup, perumahan, air dan sanitasi, provinsi dan kabupaten baru dan dengan demikian menimbulkan serta layanan pendidikan, sosial dan kesehatan, dan kesenjangan antar daerah dalam akses menyediakan bahan bantuan kepada keluarga tidak terhadap pelayanan publik seperti pencatatan kelahiran, pendidikan dasar, mampu secara ekonomi; dan air minum yang bersih; (b) Adaptasi program bantuan sosial pendidikan guna (c) Kesenjangan perkotaan-pedesaan, etnis, dan jenis kelamin tentang memastikan akses oleh anak-anak yang berada di luar kemiskinan, menjadikan anak-anak di Papua menjadi sangat dirugikan; sekolah; (d) Program bantuan sosial untuk (c) Menetapkan program dukungan yang memadai pendidikan tidak mencapai anak-anak miskin yang putus sekolah dan karena memperbaiki situasi perempuan pedesaan dan masyarakat itu tidak dapat mengakses skema adat menjaga mereka dan anak-anak mereka keluar perlindungan sosial; (e) Perempuan pedesaan dan masyarakat dari kemiskinan secara berkelanjutan; adat berhadapan dengan kemiskinan (d) Menyediakan pekerja sosial terlatih, memadai, mampu tertentu, yang mengarah ke hasil yang lebih buruk bagi anak-anak mereka. mengidentifikasi keluarga dan anak-anak berisiko, mengelola skema sosial secara efektif dan menindaklanjuti pelaksanaannya. Pendidikan, rekreasi, dan kegiatan budaya (pasal 28, 29, 30 dan 31) 60. Komite mendesak memastikan bahwa pendidikan yang Pendidikan, termasuk berkualitas dapat diakses oleh semua anak di wilayah pelatihan kejuruan dan Indonesia. Lebih lanjut Komite mendesak Indonesia: bimbingan (a) Memastikan pendidikan pencari suaka dan pengungsi anak, anak-anak dari pekerja migran, dan anak-anak yang 59. Komite prihatin: tidak memiliki akta kelahiran; (a) Pendidikan dapat diakses oleh warga saja, tidak termasuk anak-anak tidak (b) Meningkatkan pendanaan pendidikan, dengan fokus memiliki akta kelahiran, anak-anak pengungsi, dan anak-anak dari khusus pada keluarga yang tinggal di daerah miskin dan pekerja migran; terpencil, dan mengambil tindakan nyata untuk secara (b) Sejumlah besar anak-anak, khususnya mereka yang berasal dari efektif mengatasi alasan kegagalan untuk menyelesaikan keluarga miskin, berhenti pergi ke sekolah; sekolah karena biaya pendidikan yang tinggi atau biaya lain seperti (c) Memastikan bahwa remaja yang sudah menikah, remaja buku dan seragam; hamil, dan ibu remaja yang didukung dan dibantu dalam (c) Langkah-langkah untuk mencegah remaja perempuan dari putus melanjutkan pendidikan mereka di sekolah umum dan sekolah dalam kasus kehamilan, bahwa mereka dapat bergabung membesarkan anak dan gadis hamil dikeluarkan dari sekolah atau putus asa untuk melanjutkan menyelesaikan pendidikan; pendidikan mereka selama kehamilan dan anak-anak yang (d) Meningkatkan jumlah guru, memberikan pelatihan yang sudah menikah sering tidak memadai bagi guru dan memastikan bahwa menampilkan melanjutkan pendidikan mereka; (d) Ada kejadian yang tinggi kekerasan diri untuk bekerja; di sekolah, termasuk pada bagian (e) Mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk dari personil pengajar, sejumlah besar guru tidak memiliki kualifikasi mengembangkan rencana aksi sekolah khusus dan inspeksi minimum yang diperlukan oleh sekolah reguler, yang bertujuan untuk mengakhiri hukuman Pemerintah dan guru sering tidak masuk kerja. fisik dan bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, termasuk intimidasi. Pengembangan anak usia dini 61. Komite prihatin dengan kesenjangan ekonomi dan perkotaan-pedesaan sehubungan dengan kehadiran program pendidikan prasekolah, alokasi anggaran tidak mencukupi untuk perawatan dan pendidian anak usia dini, infrastruktur yang tidak memadai dan kurang memadai personil dalam perawatan dan pendidikan anak usia dini di daerah terpencil. 62. Komite merekomendasikan: • memastikan perawatan dan pendidikan anak usia dini gratis dan lembaga-lembaga dapat diakses, termasuk anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, dilengkapi staf yang memadai, dan mampu memberikan pelayanan pendidikan anak usia dini secara holistik, termasuk berkaitan dengan perkembangan anak secara keseluruhan dan memperkuat kapasitas orang tua. Istirahat, waktu luang, rekreasi, dan kegiatan seni dan budaya 63. Sambil mengingatkan Pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menetapkan hak anak untuk berlibur, rekreasi, dan kegiatan seni dan budaya, Komite prihatin hak ini tidak diberikan perhatian yang cukup dan tidak cukup upaya dilakukan terhadap pelaksanaannya. 64. Komentar Umum No. 17 (2013), Komite merekomendasikan: • memperhatikan perencanaan kegiatan budaya dan rekreasi anak-anak mempertimbangkan perkembangan fisik dan psikologis anak, serta mempromosikan hak-hak di antara orang tua, guru, dan tokoh masyarakat. • meminta bantuan dari UNESCO dan UNICEF. Langkah-langkah perlindungan khusus (pasal. 22, 30, 32-33, 3536, 37 (b) - (d), 38, 39 dan 40) Pencari suaka dan pengungsi anak-anak 65. Komite sangat prihatin: (a) Contoh kebrutalan berat oleh petugas imigrasi dan penjaga berpengalaman dan/atau disaksikan oleh anak-anak; (b) Fasilitas penahanan berada dalam kondisi yang buruk, termasuk kepadatan penghuni, fasilitas sanitasi yang tidak memadai dan tidak cukup dan buruk kualitas makanan; (c) Anak-anak yang tanpa pendamping sering ditahan bersama orang dewasa yang tidak berhubungan dan kecil kemungkinan untuk menghubungi keluarga mereka; (d) Kurangnya akses terhadap pendidikan dan terbatas akses ke rekreasi dan kesehatan. 66. Komite (Komentar Umum No. 6 (2005) mendesak Indonesia untuk: (a) Menjamin bahwa kepentingan terbaik anak selalu dipertimbangkan dalam semua proses imigrasi dan suaka dan anak-anak pencari suaka tanpa pendamping disediakan dengan perwalian memadai dan perwakilan hukum gratis; (b) Menghentikan praktik administrasi menahan pencari suaka dan anak-anak pengungsi; (c) Menetapkan aturan perilaku yang ketat penjaga dan petugas di fasilitas penahanan dan memastikan fasilitas secara teratur dinilai oleh badan pemantau independen; (d) Pastikan, dalam segala situasi, anak-anak dipisahkan dari orang dewasa yang tidak berhubungan, memiliki akses ke makanan yang cukup, air minum dan sanitasi yang bersih, serta perawatan kesehatan, pendidikan, dan rekreasi; (e) Mengaksesi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Anak-anak yang termasuk dalam kelompok minoritas 67. Komite sangat prihatin tentang kesulitan yang dihadapi oleh kelompok agama minoritas, khususnya: (a) Perlindungan memadai dari penyelidikan dan serangan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, termasuk anakanak; (b) Bantuan cukup untuk korban, banyak di antaranya telah kehilangan rumah mereka dalam serangan dan harus tinggal di tempat penampungan sementara selama beberapa tahun, tanpa akses yang memadai terhadap air bersih dan sanitasi, makanan atau perawatan kesehatan; (c) Anak-anak yang termasuk kelompok agama minoritas yang tidak tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965, dokumen hukum sering ditolak, seperti identifikasi, perkawinan atau akta kelahiran, serta akses ke layanan publik yang berbeda. 68. Komite mendesak: • memerangi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, menyediakan mereka dengan semua perlindungan yang efektif diperlukan dan pemulihan, dan membawa pelaku ke pengadilan. • mengamandemen undang-undang dan memastikan semua anak yang termasuk kaum agama minoritas yang tidak tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965memiliki akses ke semua layanan publik dan dokumen hukum yang mereka miliki sebelumnya telah ditolak. Anak-anak yang termasuk dalam masyarakat adat 69. Komite selanjutnya prihatin dengan situasi anak-anak dari masyarakat adat, di Papua khususnya, yang mengalami kemiskinan, militerisasi, ekstraksi sumber daya alam di tanah mereka, serta kurangnya akses terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. 70. Komite (Komentar Umum No. 11 (2009), mendesak Indonesia untuk: • mengambil langkah menghilangkan kemiskinan di antara masyarakat adat dan memonitor kemajuan • menyediakan akses yang sama semua layanan publik, mengupayakan demiliterisasi dan memastikan informed consent sebelumnya dari masyarakat adat yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam di wilayah tradisional mereka. Eksploitasi ekonomi, termasuk pekerja anak 71. Komite prihatin: (a) Banyaknya anak-anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang bekerja di pertambangan, perikanan lepas pantai, lokasi konstruksi dan pertambangan, dan sebagai pekerja rumah tangga anak atau pekerja seks; (b) Tidak adanya ketentuan mengenai kerja paksa dan hukum yang mengatur pekerja anak antara 16 - 18 tahun; (c) Banyaknya pekerja rumah tangga anak, beberapa di antaranya berusia 11 tahun, angka putus sekolah dan kerentanan mereka terhadap kekerasan dan eksploitasi, termasuk fisik, psikologis, dan seksual, perdagangan anak dan kerja paksa, dan pengucilan mereka dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang menjamin hak-hak dasar buruh; dan (d) Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak terhambat oleh persepsi umum bahwa pekerjaan sebagai bagian dari proses pendidikan, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, layanan kepada orang tua, dan anak menjadi "aset keluarga", serta kesulitan koordinasi setelah pengenalan otonomi daerah. 72. Komite mendesak Indonesia untuk: (a) Pastikan tidak ada anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, dan keterlibatan anak-anak dalam kerja didasarkan pada pilihan bebas murni, sesuai dengan peraturan internasional, tunduk pada batas waktu yang wajar, dan tidak dengan cara apapun menghambat pendidikan mereka; (b) Mengamandemen undang-undang untuk mengkriminalisasi kerja paksa dan mengatur tenaga kerja anak antara 16 dan 18 tahun; dan penuh semangat mengejar penegakan semua menegakkan semua standar usia minimum; menunjuk pengawas ketenagakerjaan yang memadai dan menyediakan mereka dengan semua sumber daya yang diperlukan, termasuk keahlian pekerja anak, untuk memantau pelaksanaan standar hukum perburuhan di semua tingkatan, di semua bagian negara, dan di setiap jenis pekerjaan informal; (c) Mengamandemen undang-undang untuk memastikan pekerja rumah tangga bisa mendapatkan keuntungan dari semua hak-hak pekerja yang ada dan mendapat perlindungan khusus, termasuk bantuan hukum gratis, berkaitan dengan kondisi tertentu dan bahaya bahwa mereka tunduk, pada, seperti pelecehan seksual; (d) Memastikan ada penyelidikan dan penuntutan yang menyeluruh dari orangorang yang melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan dan sanksi yang cukup efektif dan beralasan dikenakan dalam praktik; (e) Aktif menyebarkan informasi tentang hak-hak anak dalam kaitannya dengan bekerja di bawah Konvensi di tingkat nasional, regional, dan lokal, menjamin partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan dan para pemimpinan, serta keterlibatan media; (f) Membangun sistem pengumpulan data terpusat untuk memperoleh data secara independen untuk memverifikasi anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan. Data harus dipisahkan berdasarkan jenis tenaga kerja, usia, jenis kelamin, lokasi geografis, etnis, dan latar belakang sosial ekonomi; (g) Meratifikasi dan menerapkan Konvensi ILO No. 189 mengenai Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga; (h) Mencari bantuan teknis dari Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak, Organisasi Buruh Internasional (ILO-IPEC). Anak-anak dalam situasi jalanan 73. Sementara menyambut program pencegahan dan pemulihan yang dilakukan Indonesia, Komite prihatin sejumlah besar anak-anak yang bekerja dan tinggal di jalanan dan kerentanan mereka terhadap berbagai risiko yang lazim, termasuk penggunaan narkoba, pelecehan seksual dan eksploitasi ekonomi. Komite juga sangat prihatin tentang pendekatan hukum yang berlaku yang terkandung dalam peraturan daerah yang memperlakukan anak-anak dalam situasi jalanan sebagai penjahat bukan sebagai korban, dan kekerasan yang parah yang mereka dikenakan oleh agen penegak hukum, terutama selama operasii. 74. Komite merekomendasikan : (a) Melakukan penilaian yang sistematis dari kondisi anak-anak dalam situasi jalanan mendapatkan gambaran yang akurat tentang akar penyebab dan besarannya; (b) Mengubah semua undang-undang tentang penanganan anak-anak dalam situasi jalanan sebagai penjahat dan mengambil semua langkah yang diperlukan melindungi mereka dari kekerasan, khususnya kekerasan oleh penegak hukum; (c) Mengembangkan dan menerapkan, dengan keterlibatan aktif dari anak-anak sendiri, kebijakan yang komprehensif yang membahas akar penyebab dalam rangka mencegah dan mengurangi fenomena ini; (d) Koordinasi dengan LSM memberikan perlindungan yang diperlukan anak-anak dalam situasi jalanan akses ke nutrisi dan tempat tinggal, lingkungan keluarga, pelayanan kesehatan yang memadai, kemungkinan menghadiri sekolah, dan akses ke layanan sosial lainnya; (e) Mendukung program reunifikasi keluarga, dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak. Penjualan, perdagangan, dan penculikan 75. Komite menyambut baik ratifikasi terbaru oleh Indonesia terhadap Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Namun, Komite sangat prihatin dengan tingginya prevalensi perdagangan orang di dalam Indonesia, termasuk sejumlah besar anak-anak di bawah umur yang terlibat sebagai pekerja seks. Sementara menyambut adopsi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Komite prihatin bahwa undang-undang gagal untuk mendefinisikan perdagangan anak secara komprehensif, bahwa banyak kasus perdagangan anak tidak dianggap seperti itu oleh undang-undang. Selain itu, Komite menggarisbawahi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dibentuk oleh pemerintah tidak cukup efektif dan masih banyak daerah yang belum memiliki gugus tugas. 76. Komite mendesak Indonesia untuk mengambil langkah-langkah secara efektif menghapus perdagangan anak. Secara khusus, ia mendesak Indonesia untuk: (a) Mengamandemen undang-undang untuk memastikan perdagangan anak dalam segala bentuknya secara komprehensif didefinisikan dan dikriminalisasi, mengembangkan kebijakan dan program mencegah perdagangan orang dan memastikan bahwa langkah-langkah penegakan hukum yang memadai ditargetkan diambil membawa pelaku penjualan, perdagangan, dan penculikan anak ke pengadilan; (b) Melakukan penelitian tentang akar penyebab perdagangan anak dengan tujuan menghilangan, mengidentifikasi anak-anak yang beresiko diperdagangkan dan/atau menjadi korban kejahatan di bawah Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak, dan pornografi anak, dan memberikan layanan reintegrasi dan rehabilitasi yang cukup dan memadai bagi anak korban. Administrasi peradilan anak 77. Komite menyambut penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban pidana dan memprioritaskan penggunaan keadilan restoratif. Namun, Komite menggarisbawahi penetapan usia minimum pertanggungjawaban pidana yang masih rendah yaitu usia 12 tahun. Selain itu, Komite prihatin pada sejumlah anak-anak dihukum dan dipenjara bahkan untuk kejahatan kecil sekalipun, dan bahwa mereka sering ditahan dengan orang dewasa dalam kondisi yang buruk. Komite juga prihatin dengan kurangnya tindakan reintegrasi sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum. 78. Komentar Umum No. 10 (2007), merekomendasikan Indonesia: (a) Pertimbangkan menaikkan usia minimum pertanggungjawaban pidana minimal 14 tahun; (b) Memastikan semua profesional yang bertanggung jawab atas pelaksanaan undang-undang peradilan anak, menerima pelatihan yang diperlukan; (c) Memastikan alokasi semua sumber daya manusia, teknis, dan keuangan yang diperlukan memungkinkan pelaksanaan yang efektif dari undang-undang; (d) Memastikan bahwa perampasan kebebasan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan jumlah waktu terpendek, anak-anak tidak ditahan dengan orang dewasa dan kondisi penahanan dengan standar internasional, termasuk yang berkaitan dengan akses ke nutrisi, air bersih, dan sanitasi serta layanan pendidikan dan kesehatan (e) Selanjutnya mempromosikan langkah-langkah alternatif penahanan, seperti layanan pengalihan, masa percobaan, mediasi, konseling, atau masyarakat, dan memberikan akses ke program rehabilitasi dan reintegrasi yang memadai. Ratifikasi instrumen HAM internasional 79. Komite merekomendasikan Negara untuk meratifikasi: 1. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang prosedur komunikasi, 2. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa 3. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 5. Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk penghapusan hukuman mati 6. Protokol Opsional konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan 7. Protokol Opsional Konvensi menentang Penyiksaan dan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman lain dan 8. Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas. Kerjasama dengan badan-badan regional dan internasional 80. Komite merekomendasikan agar Indonesia bekerja sama dengan, antara lain, Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hakhak Perempuan dan Anak. Tindak lanjut dan diseminasi 81. Komite merekomendasikan memastikan rekomendasi ini sepenuhnya diimplementasikan, antara lain, dengan mengirimkan kepada Kepala Negara, Parlemen, kementerian terkait, Mahkamah Agung, dan otoritas setempat, untuk mempertimbangkan dengan tepat dan menindaklanjuti. 82. Laporan gabungan periodik ketiga dan keempat dan jawaban yang ditulis oleh Indonesia dan rekomendasi terkait (kesimpulan pengamatan) dibuat secara luas, tersedia dalam bahasa Indonesia, termasuk (namun tidak eksklusif) melalui Internet, kepada masyarakat luas, organisasi masyarakat sipil, media, kelompok pemuda, kelompok profesional dan anak-anak. Laporan berikutnya 83. Indonesia melaporkan laporan kelima dan keenam diserahkan pada tanggal 7 Oktober 2019 (tidak melebihi 21.200 kata). 84. Indonesia memperbaharui Dokumen inti (batas kata adalah 42.400). terimakasih