KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERSPEKTIF HUKUM

advertisement
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PERSPEKTIF HUKUM, BUDAYA DAN GENDER.
Maya Hehanusa,SH.M.Hum
ABSTRAK
Kekerasan terhadap perempuan merupakan isue global, pada setiap tahunnya meningkat
secara kuantitatif. Dipengaruhi oleh berbagai faktor hukum budaya dan gender. secara
substansi hukum Ada peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap
kepentingan perempuan, dan masih banyak pula peraturan perundang-undangan yang
masih bias gender. misalnya UU perkawinan, UU kesehatan, UU imigrasi dll. Disampin
itu untuk pengurangan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan diperlukan
pula penegakan hukum yang optimal. Namun dalam kenyataan pelaksanaan penegakan
hukum tidak dapat berjalan secara optimah disebabakan karena keengganan perempuan
menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan melalui jalur hukum ,lebih banyak
perempuan menyelesaikan persoalan ini melalui perdamaian. Jika penegakan hukum
ditiadakan oleh karena alasan pribadi perempuan (psikologis) yakni ketergantungan
kepada suami secara ekonomi dan hukum, dan karena ketakutan kepada suami maka
penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Disamping itu keterikatan
budaya (culture sovereignity) patriarki yakni dominasi laki-laki menimbulkan adanya
kekerasan terhadap perempuan (kerentanan perempuan) dan minset masyarakat
memangdang kekerasan terhadap perempuan (khususnya kekerasan seksual) adalah
masalah tempat tidur yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah tangga
(sanctity of the home). ketidakharmonisan gender dalam wujud marginalisasi pada
perempuan yang dapat menimbulkan kemiskinan ekonomi perempuan, subordonansi
yang membatasi ruang gerak perempuan pemberian steriotip melalui pelabelan negatif
terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan (violance againts woman), beban
kerja yang panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran gender
yang bias gender sangat mempengaruhi hadirnya kekerasan terhadap perempuan. Oleh
sebab itu perlu adanya perubahan berkaitan dengan substansi hukum yang bias gender,
penegakan hukum yang optimal, merubah budaya dan minset masyarakat, dan
memberikan pemahaman makna gender yang sesungguhan dalam peran fungsi dan
tanggungjawab laki-laki dan perempuan secara harmonis. Dengan memberikan
sosialisasi hukum, budaya dan gender secara benar dan maksimal kepada semua pihak
yang berkompoten.
Kata kunci : Kekerasan terhadap Perempuan, Hukum , Budaya, Gender.
A. Pendahuluan
Perempuan dan kekerasan adalah dua kata yang saling kontadiktif dilihat dari
masing-masing sifat kata. Kata perempuan melambangakan kelembutan, keibuan,
keindahan, keasihan dan penuh kasih sayang yang bersifat konstruktif. Sedangkan
kata kekerasan melambangkan kesadisan, kekejaman , sesuatu yang kelam, gelap,
yang bersifat destruktif. Kedua kata ini saling kontradiksi. Namun demikian kedua
72
kata ini saling berhubungan dan mewujudkan fenomena kekerasan terhadap
perempuan, yang semakin marak menjadi bahan pembicaraan dikalangan
masyarakat.
Sesungguhnya kekerasan perempuan sudah ada sejak manusia dilahirkan, dan
lebih dominan kepada kejahatan internal /domestik keluarga. Kekerasan terhadap
perempuan tidak merupakan internal problema lagi tertapi sudah menjadi masalah
regional, nasional, internasional bahkan transnasional (apabila terjadi relevansi
perkawinan campuran antara negara atau hubungan pra perkawinan/ pasangan intim
antar negara).
Kekerasan terhadap perempuan khususnya Kekerasan dalam rumah tangga
pada setiap tahunnya meningkat secara kuantitas. Kekerasan dalam rumah tangga di
Kota Kupang meningkat secara kuantitas pada 2012 tercatat sebanyak 114 orang
isteri di wilayah provinsi kepulauan ini mengalami tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) dari suami masing-masing. Berdasarkan catatan Rumah Perempuan
Nusa Tenggara Timur, KDRT tertinggi terjadi di wilayah Kota Kupang dengan 77
kasus (70 persen), sedang sisanya 37 kasus terjadi merata di 20 kabupaten.
Bentuk kekerasan yang diterima itu berupa, kekerasan fisik, psikis, seksual
,penelantaran, perzinahan dan pembunuhan."Rata-rata korban mendapat kekerasan
ganda yakni fisik dan psikis."rata-rata korban berpendidikan sekolah menengah atas
(SMA) berjumlah 61 orang, pendidikan sarjana (SI) 25 orang, SMP 13 orang dan
yang berpendidikan SD1 5 orang.
Tingkat pendidikan pelaku Krkrrasan Dalam Rumah Tangga, untuk SI
berjumlah 22 orang, SMA berjumlah 73 orang, berpendidikan SMP berjumlah tujuh
orang dan berpendidikan SD berjumlah 12 orang.
Pada tahun 2013 berjimlah 290 kasus terjadi peningkatan yang termasuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga 158 kasus selebihnaya kekerasan dalam masa
pacaran dll.
B. Persoalan Perempuan
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya adalah mayoritas
perempuan dibenarkan oleh Harkristuti Herkrinowo, nampaknya lebih kecil tulisan
73
mengenai perempuan dalam kaitannya dengan
kejahatan, dan sebagaian besar
mengulas perempuan sebagai korban.1
Sudah bertahun-tahun kekerasan perempuan
menjadi isue global di negara
Indonesia tidak mendapat perhatian, hadirnya ketidakperdulian pada masalah ini, dan
keprihatinan akan kesulitan
memberantas kekerasan dalam rumah tangga yang
semakin meningkat pada setiap tahunnya memerlukan pembahasan tersendiri.
Tiga hal pokok yang mendasar
bahwa struktur sosial, persepsi masyarakat
tentang perempuan (mindset), tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan nilai
dalam masyarakat yang ingin selalu harmonis dan sulit mengakui akan adanya
masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan inti dari tidak terkuaknya
masalah kekerasan terhadap perempuan.
Muladi berpendapat bahwa ada beberapa alasan kekerasan terhadap perempuan
tidak dianggap asalah besar karena beberapa alasan : pertama, ketiadaan statistik
yang akurat. Kedua menganggap kekerasan tersebut (khususnya kekerasan seksual)
adalah masalah tempat tidur yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian
rumah tangga (sanctity of the home). Ketiga, berkaitan dengan keterikatan budaya
(culture sovereignity). Keempat, karena ketakutan kepada suami. Faktor-faktor ini
terkait satu sama lainnya.2
Berdasarkan hasil survey Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, khusus
untuk kasus kekerasan fisik dalam keluarga terungkap bahwa keengganan perempuan
untuk menyelesaikan persoalannya (karena dianiaya suami) karena merasa kasihan
terhadap suaminya, mereka memilih untuk mengalah, menerima dan mengharapkan
adanya Perubahan. Memang dibutuhkan untuk mengatakan tidak. Namun perempuan
manapun takut untuk menjadi janda. 3
Faktor penyebabkan kekerasan dalam rumah tangga diatas merupakan faktor
“kerentanan perempuan” (psikologis) dengan kelaziman budaya patriarkhi atau
dominansi laki-laki dan “keengganan perempuan“ mengatasi masalahnya sendiri.
Jika persoalan perempuan tidak mendapat dukungan dari perempuan dalam
mengatasinya, tentu sulit untuk mengurangi dan memberantas persoalan perempuan
1
Harkristuti Harkrisnowo, Bahan Seminar Kriminologi Undip Semarang,1994,hlm 1
Muladi, Hak Asasi Manusia , Politik san Sistem Peradilan Pidana Universitas Diponegoro, Semarang,
1997, hlm.138.
3
Majalah Femina Tahun Edisi V, 1994, hlm.8.
2
74
tersebut. Tindakan yang demikian sangat merugikan kaum perempuan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Nursyahbani
Katjasungkana
bahwa
kekerasan terhadap
perempuan indikasi rendahnya status perempuan dalam masyarakat. 4
C. Perspektif Hukum
Pengangkatan
pembahasan kekerasan terhadap perempuan berawal dari
pengadopsian “convention on the elimination of all forms of discrimination angaint
womens” (konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan)
yang dikenal dengan singkatan CEDAW.5
Menurut CEDAW prinsip dasar kewajiban meliputi : pertama menjamin hakhak perempuan melalui hukum dan kebijakan serta menjamin hasilnya (obligation of
result).Kedua menjamin pelaksanaan praktis dari hak-hak melalui langkah-langkah
yang menciptakan kondisi
kondusif, untuk meningkatkan kemampuan akses
perempuan pada peluang dan kesempatan yang ada. Ketiga negara tidak saja
menjamin akan tetap juga merealisasi hak-hak perempuan. Kempat negara tidak saja
menjamin secara de jure tetapi juga de facto. Negara tidak hanya mengaturnya di
sektor publik, tetapi juga terhadap tindakan dari orang-orang dan lembaga-lembaga
disektor privat (keluarga) dan swasta.
Sedangkan langkah khusus yang harus dilaksanakan negara (Pasal 2
CEDAW) meliputi : pertama mengutuk diskriminasi, melarang segala
diskriminasi
bentuk
terhadap perempuan melalui peraturan perundang-undangan serta
realisasinya. Kedua, menegakan perlindungan hukum terhadap perempuan melalui
pengadilan nasional yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminatif. Ketiga
mencabut semua aturan dan kebijakan, kebiasaan dan praktek yang diskriminatif
terhadap perempuan. Keempat mencabut semua ketentuan pidana nasional yang
diskriminatif terhadap perempuan.
CEDAW menetapkan kewajiban negara untuk melakukan langkah-langkah
proaktif disemua bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Ratifikasi budaya
4
Nursyahbani Katjasungkana, 1994,hlm 14.
CEDAW adalah singkatan dari Comitee of the elimination of all forms of discrimination againt womwns
suatu komite PBB yang bertugas memantau implementasi konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan di negara-negara peserta (negara meratifikasi konvensi) dan
mengawasi kepatuhan negara-negara tersebut dalam melaksanakan konvensi perempuan.
5
75
serta menciptakan lingkungan dan kondisi yang menjamin pengembangan dan
kemajuan perempuan, sekaligus melakukan tindkan khusus untuk mempercepat
persamaan secara nyata (facto) atas perlakuan dan kesempatan bagi perempuan dan
laki-laki.
Negara Indonesia
meratifikasi
Konvensi Perempuan
dengan Undang-
undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan persyaratan
(reservation) terhadap Pasal 1 (1).
Makna dari retifikasi suatu konvensi internasional (trety) yang menciptakan
kewajiban dan akuntabilitas negara yang meratifikasi pemerintah dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi prinsip-prinsip dan ketentuan konvensi
sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional.
Pasal 7 (2) Undang-undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentng
Hak Asasi Manusia menentukan bahwa ketentuan hukum internasional yang telah
diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi
Hukum Nasional, demikian juga dengan ketentuan hukum lainnya yang telah
menerima ratifikasi dari hukum internasional.
Kemudian berdasarkan CEDAW pula Indonesia meratifikasi Undang-undang
Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Kekerasan terhadap perempuan yang digolongkan kedalam
kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
Kekerasan dalam rumah tangga6 merpakan bagian dari kekerasan terhadap
perempuan yang bersifat umum dan merupakan masalah global7 Kehasiran Undangundang Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan
dalam rumah tangga di negara Indonesia memberikan nilai lebih bagi kemajuan
bangsa ini, dan memberikan perlindungan kepada perempuan.
6
Definisi PBB Tahun 1993, tentang kekerasan terhadap perempuan (woman violance) adalah kekerasan
perempuan sebagai sikap bentuk tindakan kekerasan berdasarkan jenis kelamin (gender based
violance) yang bisa berakibat kesengsaraan penderitaan perempuan secara fisik, seksual danpsikologis,
termasuk ancaman tindakan tertntu, pemaksaan danperampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di ranah domestik (rumah tangga maupun umum publik).
7
Global karena menyangkut Hak Asasi Manusia yang diartikan sebagai hal-hal yang melekat (inhern)
secara alamiah sejak manusia dilahirkan tanpa itu menusia tidak dapat hidup sebagai manusia scara
wajar. Hak-hak itu meliputi: hak sipil, politik,sosial,ekonomi, dan budaya serta hak-hak untuk
berkembang.
76
Sesungguhnya tidak sedikit perundang-undangan nasional yang belum
responsif terhadap kepentingan perempuan antara lain : pertama Undang-undang
Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, beberapa pasal cebderung
bersifat maskulin, dengan adanya poligami dan monogami. Kedua Undang-undang
Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. menyangkut reproduksi
perempuan sebagai penghalang bagi perempuan untuk bekerja seperti laki-laki
digunakan sebagai alasan mutlak untuk tidak mensejajarkan perempuan dengan lakilaki. selain itu undang-undang migrasi dan kebijakan lain
yang cenderung
mengenyampingkan kepentingan perempuan dengan membatasi kinerja perempuan
dalam masyarakat
Namun tidak dapat diungkiri bahwa banyak kebijakan hukum yang telah
menjamin kesetaraan
antara perempauan dan laki-laki serta keadilan bagi
perempuan. Meskipun terkadang disparitas perlakuan terhadap perempuan masih
ada, antara das sollen dan das sein tidak sejalan, mebuat hukum sebagai “payung
fantasi” .8
Roscoe Pound berpandangan hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa
sosial (law as a tool social engeenering).9 Undang-undang dibuat untuk dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, namun undang-undang tidak dapat berjalan
dengan baik, jika aparat penegak hukum tidak melaksanakan kewajibannya dengan
baik. Seharusnya dengan kehadiran Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di negara Indonesia dapat
mengurangi atau memberantas kekerasan dalam rumah tangga, namun kenyataan
kehadiran Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang
penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga belum dapat menjamin kekerasan
dalam rumah tangga dapat dihilangkan atau dikurangi keberadaannya. Substansi
hukum yang ada tidak dapat diterapkan pada masyarakat jika tidak dilaksanakan
penegakan hukum (law enforcement).10
8
Ghandi dan Lapian LM, Hukum fantasi Payung Pajangan, Sebuah Hasil Penelitian mengenai Seberapa
Jauh Konvensi Wanita Pasal 11 Diadopsi dalam Peraturan Perundang-undangan Perburuhan Indonesia
Konvensi Watch.
9
A Dragon Millonovie, Primer in the Sosilogy of Law, New York; Herrow and Heston Publiser,
1994,hlm.89.
10
Soejono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi,Remaja Karya, Bandung, 1988,hlm.277..
77
Semakin tingginya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga semakin
menunjukkan bahwa penegakan hukum semakin rendah. Namun hal tersebut
bukanlah hal utama yang menjadi penyebab tingginya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, karena didalam pelaksanaan penegakkan hukum ada unsur/ elemen lain
yang menjadi permasalahan penegakkan hukum . Ada beberapa akar permasalahan
menjadi penyebab penegakan hukum yakni Pertama, berkaitan dengan hukum itu
senidiri substansi hukumnya, Kedua,
penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum .Ketiga,
mendukung penegakan hukum. Kempat,
sarana atau fasilitas yang
masyarakat, yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan Kelima, kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Hukum tidak dapat berjalan dengan baik memenuhi tujuan dan harapan,
jika hukum tidak diterapkan dalam interaksi sosial (social interaction).Untuk
menerapkan hukum dibutuhkan kondisi “sine qua non” mengingat pluralitas sosial
(keragaman masyarakat) dalam struktur masyarakat, budaya , ekonomi, kepentingan,
pendidikan, mengantar kepada kesulitan penerapan hukum sesuai prinsip “eguality
before the law”. Sangat diragukan hukum dapat memebrikan keadilan yang sama,
jika masyarakat didalamnya menyimpan berbagai persoalan ketidakadilan, yakni
orang-orang
yang berasal dari ras,golongan,kelas,agama minoritas, dan jenis
kelamin tidak mendapat akses perlakuan yang sama.
Prinsip netralitas dan obyektivitas benar adanya sebagai “the law is ought to
be”, namun untuk dapat menegakannya dibutuhkan kondisi “sine qua non”11
Adapun prinsip equality before the law , sulit diterapkan pada masyarakat yang
prular atau ber-Bhineka Tunggal Ika dengan aspek budaya, struktur sosial, starta
sosial, pendidikan dll. Apabila hukum nasional tidak mengandung nilai-nilai, normanorma dan kaidah-kaidah yang lahir dari kebudayaan yang hidup dan berkembangan
dalam masyarakat, maka efektivitas dan efisiensi hukum tidak dapat berjalan dengan
baik. Hukum sebagai “pedang bermata dua” pada satu sisi dapat sebagai acuan yang
paling adil dan mengayomi, dan pada sisi lain hukum juga digunakan sebagai alat
11
Carol Smart, Feminism and the power of law, USA Routladge, a devinision of routledge,Chamman and
Hall,Inc, 1990,hlm.22
78
untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan tertentu. Hukum pun dapat
mengklaim kebenaran-kebenaran sampai pada ranah yang tidak terbatas.12
D. Perspektif Budaya
Penyebab kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh
ketimpangan hukum13 akan tetapi juga dipengaruhi oleh budaya lokal.14 mengacu
pada tahapan sosial tentang apa yang harus dilakukan , dipikirkan dan dirasakan
oleh seorang individu laki-laki dan perempuan.
Dalam budaya, karakteristik masyarakat lokal mendukung ketidak-adilan dan
berbeda dari aspirasi hukum nasional. Oleh karena itu kekerasan teradap
perempuan masih dirasakan keberadaannya dan berkembang setiap tahunnya.
Budaya adalah konstruksi manusia, ia tidak jatuh begitu saja dari langit
ataukah merupakan kodrat Ilahi. Budaya hadir disaat manusia hidup berkelompok,
berpikir, menulai konsep yang baik bagi kehidupan bersama, sesuai dengan adat
istiadat atau kebiasaan . Sesungguhnya sesuatu yang menjadi konstruksi manusia
dapat saja berubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan
masyarakat, namun terkadang budaya sangat diangungkan sehingga sulit untuk
dirubah dalam masyarakat berkembang.
Budaya yang sangat kental dengan hubungan laki-laki dan perempuan adalah
budaya patriarchi yang mendominasi kekuasaan pada kaum laki-laki. (shape by
12
Sulistyowati Irianto, Prempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan,
NZAID bekerjasama dengan The Convention Watch, Universitas Indonesia,dan Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta,2006,hlm.29
13
Obyek ilmu hukum adalah test otoritatif bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk
perundang-undangan (UU dalam artiluas, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis, karya ilmuwan
hukum yang berwibawa dalam bidangnya) . Ilmu hukum mengacu praktek dan penerapan praktis yang
menyandang sifat normatif/mengkaidahi. Visser Hooft dalam Bernard Arier Sidharta, refleksi tentang
truktur Ilmu Hukum, Mandar Maju , Bandung, 1996,hlm.11.
14
Wissier , mengartikan budaya (culture) sebagai cara hidup yang diikuti oleh kominitas termasuk
didalamnya semua prosedur kemasyarakatan yang sudagh berpola. Koentjaraningrat mengartikan
kebudayaan yang dilihat nya sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat. Koentjaraningrat , Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta , Gramedia,
1981,hlm.5. Kebudayaanlah yang merubah suatu khaos menjadi kosmos suatu kekacauan menjadi
suatu keteraturan dari suatu keadaan yang tanpa makna menjadi jaringan makna dan arti.Itulah
sebabnya kebudayaan menjadi referensi bersama yang memungkinkan tingkah laku kelompok sosial
dapat dipahami. Inas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta LP3ES, 1987, hlm.xix. Bekker,
berpendapat kebudayaan merupakan produk (daya) budi manusia untuk menertibkan ontologis
dengan budi manusia mentransformasikan data , fakta situasi dan peristiwa alam tercerai berai
menjadi sebuah sistem nilai manusiawi seperti : kejujuran, kebenaran, kebaikan , keadilan dan
keindahan. Semua ini berperan sebagai nilai kolektif, JMW Bekker, Filsafat Kebudayaan Sebuah
Pengantar,Kanisius, Yogyakarta,1994,hlm2.
79
patriarchy/male domination culture) dalam akses publik. Praktek budaya ini
merugikan perempuan (Culture –bound practices harmful to women) dalam segala
bidang, keluarga , pekerjaan, dan hubungan sosial. Budaya patriakhi dapat disebut
sebagai “tatanan spontan” yang pada awalnya lahir dari spontanitas perilaku yang
berulang-ulangan menjadi kebiasaan. Tatanan spontan terjadi dalam kondisi yang
terdefinisikan dengan baik, dan bahkan dalam banyak situasi. Dalm banyak situasi
ia gagal menmatrialisasikan mengarah kepada berbagai situasi yang tidak dari susut
pandang masyarakat secara keseluruhan15
Ciri khas patriarkhi selalu ada dalam berbagai daerah berbhineka tunggal
ika, dan perubahannya sepanjang sejarah. Patriarkhi menempatkan perempuan
sebagai the secondary cityzen , secara hukum perempuan yang bersuami tidak dapat
mengambil keputusan (making decition) bagi keluarga dan dirinya. Jadi faktor
kultural dan dan struktur masyarakat
memberikan kontribusi pada kekerasan
terhadap perempuan.
Salah satu contoh budaya patriarkhi dalam masyarakat Jawa. Sejak Abab 18
sistem pstriarkhi sudah dikenal masayarakat Jawa dengan melahirkan ungkapanungkapan yang dipandang sebagai siratan dari interioritas perempuan jawa. 16
Ungkapan seperti; Kanca Wingking, Swarga Nunut bergantung pada suami,
menegaskan perempuan jawa menduduki struktur bawah. Kuatnya konsepsi ini
dalam budaya Jawa menimbulkan perlakuan yang membatasi ruang gerak
perempuan, demikian pula dengan konsep pingitan yaitu melarang perempuan
untuk bebas beraktivitas dengan kata lain harus “nrimo” , pasrah, halus, setia, dan
berbakti.
Digambarkan oleh imajinasi jawa bahwa sosok laki-laki ideal adalah
“lelananging jagad yang sakti, tampan dan banyak istri” seperti Arjono (tokoh
pendawa dalam pewayangan yang selalu menang pada setiap medan perang dan
selalu memenangkan hati setiap dewi). Laki-laki ideal memiliki bengol (uang) dan
bonggol (kejahatan) seksual. Perempuan adalah milik laki-laki mepunyai nilai yang
sejajar dengan bondo (harta), antara lain: griyo (istana).turonggo (kendaraan),
kukilo (burung/binatang piaraan), dan pusoko (senjata kesaktian).
15
16
Penguasaan
Sylvia Walby, Theorising Patriarchy, Badic Blackwell, Oxford, 1989, hlm.24
Z Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MNI, Suurakarta Muhamadiyah University
Press,2000,hlm.28
80
perempuan
adalah
simbol
kejantanan
laki-laki,
sebaliknya
ketundudkan,
ketergantungan, dan kepasrahan kepada laki-laki adalah gambaran kemuliaan hati
seoramg perempuan jawa. Gambaran ini meskipun hanya sebagai imajinasi, namun
sering dijadikan falsafah bagi orang jawa dalam memandang perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirjo dan Tukiran pada Tahun 2005
telah menggali kebudayaan Priyayi Surakarta bahwa laki-laki priyayi dipandang
sebagai pengayom (pelindung dalam arti luas) bagi perempuan keluarga priyayi,
sehingga dominasi laki-laki terhadap perempuan sangat kuat, perempuan priyayi
dituntut untuk menjadi perempuan ideal dalam keluarga priyayi yakni dengan
ertingkah laku sopan, memelihara kesehatan dan kecantikan tubuh dengan minum
jamu tradisional, mengenakan busana jawa yang menarik gairah suami.17
Dominasi laki-laki juga tergambar dalam sepenggal syair lagi karangan
Ismail Marzuki :.... ditakdirkan bahwa pria berkuasa, adapun wanita lemah lembut
manja, wajita dijajah pria sejak dulu dijadikan perhiasan sangkar madu....” Dengan
demikian budaya patriarki di Indonesia sudah berakar sejak lama.
Sulit untuk merubah budaya yang telah berakar bagaikan membolak balikan
telapak tang, butuh waktu yang cukup lama untuk dapat merubah mindset
masyarakat tentang kedudukan, peran dan fungsi perempuan dan laki-laki.
E. Perspektif Gender
Gender mewujudkan perbedaan perilaku (behavior deference) antara laki-laki
dan perempuan dan merupakan konstruksi sosial (social contruction) bukan kodrat
melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial
dan kultur yang panjang.18
Perbedaan laki-laki dan perempuan berawal dari sek atau alat reproduksi. Seks
adalah jenis kelamin secara biologis sesuai dengan kodrat Tuhan. Seks pemberian
Tuhan (secara kodrati) maka seks tidak dapat dirubah, misalnya seorang laki-laki
secara biologis memiliki penis, sperma, dan jakun yang tidak dimiliki oleh
perempuan. Sedangkan perempuan memiliki rahim, buah dada (berfungsi untuk
menyusui anaknya) dan dapat melahirkan anak yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
17
18
Kartodirjo dan Tukiran dalam Darwin , Menggugah Budaya Jawa, 2005, hlm.34.
Ann Oakley, Sex Gender and Society, Yale University Press, Brighamton New York, 1972,hlm.19.
81
Gender yang merupakan kontruksi manusia adalah ditunjukkan pada peran,
fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan
bermasyarakat. Contoh laki-laki sosok mahluk ciptaan Tuhan
yang memiiki
kekuatan fisik melebihi perempuan, mengadalkan rasionalitas dalam cara berpikir.
Sedangkan perempuan adalah mahluk yang lemah lembut, halus , emosional dan
dalam berpikir lebih dominan mengandalkan perasaannya.
Pandangan gender yang merupakan kontruksi manusia sebenarnya tidak
menjadi persoalan, sepanjang dapat melahirkan kesetaraan dalam arti keharmonisan
dalam peran, fungsi dan tanggung jawab. Munculnya ketidakharmonisan gender
dalam wujud marginalisasi pada perempuan yang dapat menimbulkan kemiskinan
ekonomi perempuan, subordonansi yang membatasi ruang gerak perempuan
menimbulkan pemahaman perempuan tidak penting dalam mengambil keputusan
atau dalam ruang politik, pemberian steriotip melalui pelabelan negatif terhadap
perempuan, kekerasan terhadap perempuan (violance againts woman), beban kerja
yang panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran gender.
Manifestasi ketidakharmonisan peran dan fungsi gender ini saling
berhubungan dan berpengaruh satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan
misalnya marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena steriotip
tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbangkan
pemikiran pada
subordonansi, kekerasan terhadap perempuan yang pada akhirnya tersosialisasikan
dalamkeyakinan, ideologi, dan visi kaum perempuan itu sendiri, dan tidak dapat
dikatakan marginalisasi terpenting dalam isue gender lainnya.
Kekerasan oleh karena bias gender disebut sebagai gerder-related violancer
disebabkan ketidak-setaraan atau ketidak-harmonisan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Bentuk kekerasan yang dikaitkan dengan kekerasan gender antara lain:
perkosaan, pemukulan, penyiksaan, yang mengarah kepada organ kelamin, kekerasan
dalam bentuk pelacuran, pornografi, pemaksaa sterialisasi. Dan kekerasan
terselubung misalnya memegang dan menyentuh bagian vital perempuan, pelecehan
seksual
F. Kesimpulan
82
Kekerasan terhadap perempuan berpangkal pada kerentanan dan keenganan
perempuan mengatasi persoalan secara tegas melalui jalur hukum dengan alasankasih
dan kesetiaaan kepada suami, bergantung kepada suami secara ekonomi, dan hukum.
Sepanjang pemikiran perempuan seperti tersebut diatas maka persoalan kekerasan
terhadap perempuan sulit untuk diberantas.
Substansi hukum dan penegakan hukum belum maksimal pertama
karena
kurang ketegasan perempuan dalam penyelesaikan permasalahan kekerasan
perempuan melalui jalur hukum, maka hukum tidak dapat diberlakukan dengan
maksimal melaksanakan penegakan hukum. Kedua, persoalan kekerasan terhadap
perempuan lebih dominan diselesaikan secara damai karena keinginan korban dan itu
adalah hak korban. Arinya korban tidak mendung
untuk mengurangi dan
memberantas kekerasan terhadap perempuan. Ketiga kurangnya inisiatif pendamping
dan penegak hukum mengarahkan bahwa kekerasan terhadap perempuan perlu
diakhiri melalui jalur hukum.
Budaya patriarkhi yang sundah mendasar atau kental dalam pemikiran
(mindset) masyarakat sulit untuk dirubah, menempatkan perempuan sebagai the
secondary cityzen marginalisasi pada perempuan yang dapat menimbulkan
kemiskinan ekonomi perempuan, subordonansi yang membatasi ruang gerak
perempuan menimbulkan pemahaman perempuan tidak penting dalam mengambil
keputusan atau dalam ruang politik, pemberian steriotip melalui pelabelan negatif
terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan (violance againts woman),
beban kerja yang panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran
gender.
Manifestasi ketidakharmonisan peran dan fungsi gender dan ketimpangan
pemahaman makna gender dalam masyarakat menyebabkan sebagian besar
masyarakat tidak memahami dengan benar tentang keharmonisan gender, membuat
semakin jauh pemikiran masyarakat kaum perempuan tentang kesetaraan yang tidak
memiliki arti kesamaan antara laki-laki dan perempuan mebuat kekacauan dalam
menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kurangnya sosialisasi
persepsi perempuan tentang hukum, budaya dan gender menjati titik pangkal
ketidakharmonisan gender.
G. Saran
83
1. Sosialisasi substansi hukum yang berkaitan dengan kekerasan terhadap
perempuan pada semua lapisan masyarakat , penegak hukum dan pihak lain yang
berkompoten menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap perempuan.
2. Merubah minset masyarakat berkaitan dengan budaya, gender dan pemahaman
masyarakat tentang perempuan .
3. Dukungan perempuan untuk menyelesaikan persoalan perempuan yakni
kekerasan terhadap perempuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harkristuti Harkrisnowo, Bahan Seminar Kriminologi Undip Semarang,1994.
Muladi, Hak Asasi Manusia , Politik san Sistem Peradilan Pidana Universitas
Diponegoro, Semarang, 1997.
Ghandi dan Lapian LM, Hukum fantasi Payung Pajangan, Sebuah Hasil Penelitian
mengenai
Seberapa Jauh Konvensi Wanita Pasal 11
Diadopsi dalam Peraturan Perundang-undangan Perburuhan
Indonesia Konvensi Watch.
A Dragon Millonovie, Primer in the Sosilogy of Law, New York; Herrow and Heston
Publiser, 1994.
Soejono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi,Remaja Karya, Bandung,
1988.
Carol Smart, Feminism and the power of law, USA Routladge, a devinision of
routledge,Chamman and Hall,Inc, 1990.
Sulistyowati Irianto, Prempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan
dan Keadilan, NZAID bekerjasama dengan The Convention
Watch, Universitas Indonesia,dan Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta,2006,hlm.29
Visser Hooft dalam Bernard Arier Sidharta, refleksi tentang truktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju , Bandung, 1996..
Koentjaraningrat , Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta , Gramedia,
1981..
84
Inas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta LP3ES, 1987.
JMW Bekker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,Kanisius, Yogyakarta,1994.
Sylvia Walby, Theorising Patriarchy, Badic Blackwell, Oxford, 1989.
Z Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MNI, Suurakarta
Muhamadiyah University Press,2000.
Kartodirjo dan Tukiran dalam Darwin , Menggugah Budaya Jawa, 2005.
Ann Oakley, Sex Gender and Society, Yale University Press, Brighamton New York,
1972.
Convention
on
the
Elimination
of
all
forms
of
Discrimination
Angaint
Womens”CEDAW
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi
penghapusan
segala
bentuk
diskriminasi
terhadap
perempuan
Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
(Majalah Femina Tahun Edisi V, 1994.
85
86
Download