Dalam buku pertama telah dibahas perjalanan

advertisement
Dalam buku pertama telah dibahas perjalanan menuju
Islam kaffah melalui tiga pilar keimanan yaitu aqidah
ibadah dan ihsaan.
Di sini akan kita temui bahwa hal-hal yang sudah
mentradisi sangat mewarnai kehidupan sehari-hari,
bahkan terjalin berkelindan, merambah ranah agama.
Banyak dijumpai adanya pembiaran, pembenaran,
penambahan serta pengabaian yang bila tidak disadari dapat mengakibatkan hadirnya tuhan baru di
dalam kehidupan, yaitu nafsu.
Akan kita lihat bagaimana selera berperan di dalam
peribadatan sehari-hari, yang pada akhirnya mengakibatkan banyaknya pembenaran atas amaliyah yang
tidak berdasar pada sumber otentik yaitu al-Qur‘an
dan Hadits Shahih.
Misalnya salah satu manfaat dari dibolehkannya
berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian.
Bila kematian terjadi, maka hanya ada dua pilihan
saja yang tinggal yaitu surga atau neraka. Kalau
tujuannya adalah yang pertama, sudah yakinkah kita
akan masuk surga sedang kita tidak bersungguhsungguh ingin menggapainya?
Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum jelas bagi Allah orang-orang yang
bersungguh-sungguh diantaramu dan belum jelas
orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran: 142)
2
Ayat tersebut menegaskan bahwa surga merupakan
barang mewah yang tidak akan pernah diobral dengan harga murah dan yang tidak akan mungkin dicapai
dengan senda gurau dan acuh tak acuh melainkan
dengan sungguh-sungguh dan kesabaran. Oleh karenanya Allah swt. mengingatkan:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. AtTahriim: 6)
Ayat tersebut sudah sering kita dengar, namun biasanya hanya disampaikan sepenggal saja (yaitu yang
tercetak tebal), padahal bila dilanjutkan, akan menginspirasi kita kepada pemahaman yang lebih luas;
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Mengapa Allah swt. memadankan manusia dengan
batu bukan dengan tanah, padahal logika padanan
manusia dengan tanah lebih mudah untuk dincerna,
bukankah manusia diciptakan dari tanah, dan akan
kembali menjadi tanah lagi? Bukankah lava gunung
berapi, magma bumi itu sebenarnya adalah tanah
yang meleleh? Memang ada juga batuannya, tetapi
bebatuan yang terjadi sebenarnya merupakan tanah
jua yang menggumpal. Perhatikan ayat berikut:
Maka ketika keputusan Kami datang, Kami jungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani
JUDUL BUKU
mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang
terbakar. (QS. Huud: 82)
Lalu apa maksud Allah memadankan manusia dengan batu? Insyaallah jawabnya ada di ayat berikut.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS. Al-A’raaf: 179)
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras
seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal
diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan diantaranya
sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata
air darinya dan diantaranya sungguh ada yang
meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 74)
Hati yang tidak digunakan untuk memahami ayatayat Allah inilah yang diqiaskan bagai batu, yang
sulit memahami maksud Allah swt., lebih sulit
Henk Kusumawardana
4
ketimbang memahami baik dan buruk, sebab baik
dan buruk itu relatif tergantung dari sudut pandang
masing-masing.
Namun memahami maksud Allah memerlukan usaha
yang sungguh-sungguh, yang tidak akan mungkin
terujud oleh hati yang membatu. Batu saja meluncur
jatuh karena takut kepada Allah, namun manusia
yang berhati lebih keras ketimbang batu tidak takut
kepada Allah. Kita takut kepada sesama tapi tidak
takut kepada Allah, kita segan kepada sesama tapi
tidak segan kepada Allah, kita menghormati orang
lain tetapi tidak menghormati Allah karena kita
mempunyai banyak dalih untuk itu, apakah demi
ukhuwah, karena kebiasaan, sudah tradisi, menghargai, menghormati orang lain, dsb. Dan oleh karenanya kita menjadi berani kepada Allah swt. Tentu
kita akan merugi bila mengatakan bahwa kita adalah
orang yang beriman namun Allah mengatakan tidak.
Dan di antara manusia ada yang mengatakan:
“Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 8)
Takutlah kepada-Nya dengan takut yang benar yang
tidak hanya keluar dari bibir, namun hendaknya
keluar dari hati (qalbu). Hanya kepada-Nya sajalah
kita berserah diri.
JUDUL BUKU
Download