perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERAN N-ACETYLCYSTEINE TERHADAP HEPATOTOKSISITAS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERAPI OBAT ANTITUBERKULOSIS TESIS RUDI SATRIAWAN NIM : S6006003 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penelitian ini dilakukan di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta Pimpinan : Dr. Eddy Surjanto, dr. SpP(K) Pembimbing : Prof. Dr. Suradi, dr. SpP(K). MARS Dr. Reviono, dr. SpP(K) PENELITIAN INI MILIK BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UCAPAN TERIMA KASIH Syukur kepada Allah SWT atas ridlo, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan akhir pendidikan spesialis di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bantuan, bimbingan dan pengarahan dari para guru, keluarga, teman sejawat PPDS paru, karyawan medis dan non medis, serta para pasien yang berpartisipasi selama pendidikan dan penelitian ini sangat menentukan penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan tesis ini. Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada : Prof. Dr. Suradi, dr. SpP(K), MARS Ketua program studi PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret sebagai pembimbing utama penelitian ini yang telah memberikan bimbingan, dorongan, saran dan kritik yang positif. Penulis mengucapkan terimakasih sebesarbesarnya atas ilmu dan petunjuk yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Semoga Allah SWT memberikan banyak pahala dan karunia kepada beliau. Dr. Reviono, dr. SpP(K) Selaku pembimbing II penelitian yang telah banyak meluangkan waktu disela kesibukannya sebagai Pembantu Dekan II di Fakultas Kedokteran UNS, yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik sehingga tesis ini lebih baik. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan, saran dan kritik yang beliau berikan selama penulis menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT THE ROLE OF N-ACETYLCYSTEINE AGAINST HEPATOTOXICITY IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS WITH ANTITUBERCULOSIS DRUGS THERAPY Rudi Satriawan BACKGROUND: Isoniazid, rifampicin and pyrazinamide are essential components of the strategy directly observed treatment short-course (DOTS) for tuberculosis control adopted by the World Health Organization (WHO) and all three have the potential hepatotoxic. Some studies conclude N-acetylcysteine (NAC) protects against drug-induced hepatitis induced by combination treatment isoniazid, rifampicin and pyrazinamide. Hepatoprotection of NAC may be by acting as a glutathione synthesis. The purpose of this study was to determine the role of NAC against on hepatotoxicity antituberculosis drug therapy in patients with pulmonary tuberculosis. METHODS: This type of research is experimental study, with takes the subject of 60 patients with pulmonary tuberculosis of new cases that met inclusion and exclusion criteria in Dr. Moewardi hospital, BKPM Klaten, and health centers throughout the city of Surakarta in MayJune 2012. The subjects were divided into control group (n = 30) who received therapy for rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, and ethambutol, and the treatment group (n = 30) received the same therapy plus NAC. All the subjects conducted follow-up for 14 days. Examination of serum levels of aspartate aminotransferase (AST), serum alanine aminotransferase (ALT), and total glutathione were done before treatment and day 15 of therapy, also if the patient shows clinical symptoms of hepatotoxicity. RESULTS: Mean total glutathione levels in the control group before therapy increased from 118.64 ± 68.78 to 228.74 ± 179.01 after 14 days therapy. Mean total glutathione levels in the treatment group before treatment rose from 145.54 ± 90.46 to 418.98 ± 174.35 after 14 days therapy. Both were statistically significant in both treatment groups and control group (p = 0.000). Mean AST in the control group increased from 24.27 ± 8.88 to 39.70 ± 56.48 after 14 days therapy. Mean AST levels in the treatment group increased from 20.97 ± 5.09 to 21.50 ± 11.75 after 14 days therapy. Mean AST levels were not statistically significantly different both in the control group (p = 0.131), as well as the treatment group (p = 0.796). Mean ALT levels in the control group before therapy 19.67 ± 8.87 increased to 41,67 ± 58.87 after 14 days therapy. They were statistically differed significant (p = 0.042). Mean ALT levels in the treated group decreased from 19.73 ± 12.71 to 17.37 ± 14.89 after 14 days therapy. They were statistically differ not significant (p = 0.316). CONCLUSION: Administration of NAC contributed to the increase of total glutathione levels in patients with pulmonary tuberculosis who received antituberculosis drugs therapy. Key words: antituberculosis drugs, total glutathione, AST, ALT commit userDr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNSto / RSUD ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya penulis berikan untuk ayahanda Soehartono dan ibunda Siti Harmiati (almh) atas asuhan, didikan, pengorbanan dan doa untuk kesuksesan ananda. Terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Eddy Mulyono dan ibu Suharni atas semangat, arahan, himbauan dan tauladan yang telah diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga kepada istri tersayang Wahyu Nur Ambarwati yang senantiasa setia, dan mendukung segala upaya penulis menyelesaikan pendidikan. Kepada buah hati tersayang Ishmah Nur Faizah dan Muhammad Satrio Azi terimakasih penulis ucapkan karena telah menambah inspirasi dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Windu Prasetya, dr. SpP, Chrisrianto EN, dr. SpP, Yani Purnamasari, dr. SpP, Ni Nyoman Priantini, dr. SpP, Ikalius, dr. SpP, Kenyorini, dr. SpP, Allen Wydisanto, dr. SpP, I Wayan Agus Putra, dr. SpP, Joko Susilo, dr. SpP, Enny S Sarjono, dr. SpP, Rianasari, dr. SpP, Juli Purnomo, dr. SpP, Munawar Gani, dr. SpP, Niwan Tristanto Martika, dr. SpP, Sofyan Budi Raharjo, dr. SpP, Novita Tjahyaningsih, dr. SpP, Dyah Turunsih, dr. SpP, Rita Kesuma, dr. SpP, Slamet Nugroho, dr., Fadlia Yulistiana, dr. dan seluruh rekan PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada semua rekan perawat poliklinik (Mbak Krisni, Mbak Harti, Bu Pur, Pak Kuswanto) dan bangsal rawat paru di RS Dr M, RSP Ario Wirawan Salatiga, BKPM Klaten, BKPM Magelang, BKPM Pati, BKPM Semarang, BKPM Ambarawa serta rekan kerja di SMF paru (mas Waluyo, mbak Yamti, mas Arif, mbak Anita, mbak Ira dan mas Harnoko) atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Sebagai kata akhir penulis mohon maaf atas segala kesalahan, kelalaian dan kekurangan selama menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh dapat bermanfaat bagi agama, negara dan semua manusia. Surakarta, Juli 2012 Penulis Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id RINGKASAN PERAN N-ACETYLCYSTEINE TERHADAP HEPATOTOKSISITAS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERAPI OBAT ANTITUBERKULOSIS Rudi Satriawan LATAR BELAKANG: Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah komponen esensial strategi directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan ketiganya memiliki potensi hepatotoksik. Beberapa penelitian menyimpulkan N-acetylcysteine (NAC) melindungi terhadap drug induced hepatitis yang diinduksi oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Efek hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran NAC terhadap hepatotoksisitas OAT pada penderita TB paru. METODE: Jenis penelitian adalah eksperimental, dengan mengambil subyek sebanyak 60 orang penderita tuberkulosis paru (TB paru) kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di RSUD Dr. Moewardi, BKPM Klaten, dan Puskesmas di seluruh wilayah Kota Surakarta pada bulan Mei – Juni 2012. Subyek terbagi dalam kelompok kontrol (n = 30) yang mendapat terapi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, kelompok perlakuan (n = 30) mendapat terapi yang sama ditambah NAC. Dilakukan follow up selama 14 hari. Pemeriksaan kadar serum aspartate aminotransferase (AST), serum alanine aminotransferase (ALT), dan glutathione total dilakukan sebelum terapi dan hari ke 15 terapi, juga bila penderita menunjukkan gejala klinis hepatotoksisitas. HASIL: Kadar rerata glutathione total kelompok kontrol sebelum terapi 118,64 ± 68,78 naik menjadi 228,74 ± 179,01 setelah 14 hari terapi. Kadar rerata glutathione total pada kelompok perlakuan sebelum terapi 145,54 ± 90,46 naik menjadi 418,98 ± 174,35 setelah 14 hari terapi. Keduanya secara statistik bermakna baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan (p = 0,000). Kadar rerata AST kelompok kontrol 24,27 ± 8,88 naik menjadi 39,70 ± 56,48 setelah 14 hari terapi. Kadar rerata AST kelompok perlakuan 20,97 ± 5,09 naik menjadi 21,50 ± 11,75 setelah 14 hari terapi. Secara statistik tidak berbeda bermakna baik pada kelompok kontrol (p = 0,131), maupun kelompok perlakuan (p = 0,796). Kadar rerata ALT pada kelompok kontrol sebelum terapi 19,67 ± 8,87 naik menjadi 41,67 ± 58,87 setelah 14 hari terapi.Secara statistik berbeda bermakna (p = 0,042). Kadar rerata ALT kelompok perlakuan 19,73 ± 12,71 turun menjadi 17,37 ± 14,89 setelah 14 hari terapi.Secara statistik berbeda tidak bermakna (p = 0,316). KESIMPULAN: Pemberian NAC berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total pada penderita TB paru dengan terapi OAT. Kata kunci: obat antituberkulosis, glutathione total, AST, ALT commit userDr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNSto / RSUD viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM………………………………………………………………………….. i PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………... iii UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………………….. iv RINGKASAN……………………………………………………………………………… viii ABSTRACT………………………………………………………………………………… ix DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. x DAFTAR TABEL………………………………………………………………………… xiii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………… xiv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………… xv BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang………………………………………………………………………………. 1 Rumusan masalah…………………………………………………………………………….. 3 Tujuan penelitian…………………………………………………………………………….. 4 Manfaat penelitian…………………………………………………………………………... 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi hepatitis imbas obat antituberkulosis………………………………………….. 6 Definisi ………………………………………………………………………………………. 7 Metabolisme obat …………………………………………………………………………… 8 Mekanisme hepatotoksisitas …………………………………………………………………. 9 Faktor risiko kelainan hepatoselular imbas obat …………………………………………… 16 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user X perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Hepatotoksisitas imbas obat antituberkulosis ………………………………………………. 18 Manifestasi klinik hepatotoksisitas imbas obat antituberkulosis ……………………………. 24 Peran N-acetylcysteine mencegah hepatotoksisitas ………………………………………….. 25 N-acetylcysteine sebagai prekursor glutathione ……………………………………………… 26 Sintesis glutathione ………………………………………………………………………….. 29 Fungsi antioksidan glutathione …………………………………………………………….. 31 Fungsi detoksifikasi glutathione …………………………………………………………… 33 Kerangka konsep …………………………………………………………………………… 34 Hipotesis penelitian …………………………………………………………………………. 37 BAB III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian ……………………………………………………………………………. 38 Tempat dan waktu penelitian ……………………………………………………………… 38 Populasi …………………………………………………………………………………….. 38 Ciri-ciri sampel …………………………………………………………………………….. 38 Pemilihan sampel ……………………………………………………………………………. 39 Cara kerja penelitian ………………………………………………………………………… 40 Alur penelitian ………………………………………………………………………………. 41 Teknik pemeriksaan …………………………………………………………………………. 42 Analisis data …………………………………………………………………………………. 45 Definisi operasional ………………………………………………………………………….. 45 BAB IV. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik subyek penelitian …………………………………………………….. 2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total ……………………………. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user xi 47 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V. PEMBAHASAN 1. Karakteristik subyek penelitian ……………………………………………………. 51 2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total …………………………….. 52 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………. 56 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 57 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Definisi hepatotoksisitas menurut WHO………………………………. 8 Table 2. Karakteristik subyek ……………………………………………........ Table 3. Nilai mean ± SD dari AST, ALT, dan glutathione total ……………. 49 Table 4. Perbandingan mean ± SD sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi …..49 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user 48 xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Mekanisme hepatotoksisitas imbas obat ………………………………. 11 Gambar 2. Tiga langkah umum DILI …………………………………………….. 14 Gambar 3. Metabolisme isoniazid ………………………………………………… 20 Gambar 4. Struktur glutathione …………………………………………………… 30 Gambar 5. Fungsi antioksidan glutathione ………………………………………... 31 Gambar 6. Jalur mercapturic ……………………………………………………... 33 Gambar 7. Kerangka konsep …………………………………………………….. 36 Gambar 8. Alur penelitian ………………………………………………………… 41 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lembar penjelasan kepada penderita…………………………….. I Lampiran 2. Lembar persetujuan mengikuti penelitian ……………………….. IV Lampiran 3. Lembar data penderita …………………………………………… V Lampiran 4. Lembar isian panitia Kelaikan Etik RSUD Dr. Moewardi ……… VII Lampiran 5. Lembar Kelaikan Etik …………………………………………… XI Lampiran 6. Lembar Data hasil penelitian …………………………………… XII Lampiran 7. Analisis data …………………………………………………….. 1 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 commit to user xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) merupakan pandemik global dan prevalensinya mengalami peningkatan. Jumlah terbesar kasus terjadi di daerah Asia Tenggara, sekitar sepertiga dari prevalensi global.1 Indonesia berada di urutan ke lima (0,35 – 0,52 juta) jumlah kasus paling banyak di tahun 2009 setelah India (1,6 – 2,4 juta), China (1,1 – 1,5 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta), dan Nigeria (0,37 – 0,55 juta).2 Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah komponen esensial dari strategi directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan ketiganya diketahui memiliki potensi hepatotoksik.3 Ketiganya sangat efektif, tetapi hepatotoksisitas adalah masalah penting. Hepatotoksisitas kadangkala dapat diprediksi dan dose dependent, tetapi kebanyakan idiosinkratik.1 Usia, jenis kelamin, alkoholisme, penyakit hati kronik, status hepatitis B carrier, status asetilator dan nutrisi diduga sebagai faktor predisposisi pada penelitian awal.4 Hepatotoksisitas adalah kemungkinan terjadi keadaan hepatotoksik karena zat atau obat. Peristiwa hepatotoksik karena obat antituberkulosis bervariasi. Insidensinya lebih sering di negara berkembang dengan range dari 8% - 39% dibanding negara maju yaitu 3% - 4%, dengan regimen yang sama.1,4 Sharifzadeh et al melaporkan insidensi 27,7% di Iran.5 Satu penelitian terbaru dari Singapura melaporkan insidensi 5,3% dan penelitian di Malaysia 9,7%.1 Penelitian oleh Prihatini D dan kawan-kawan di Indonesia pada April 2003 - September 2004, penelitian di Karachi, Pakistan pada Juli 2004 - Juli 2005, penelitian di Peshawar pada Juli 2007 - Juni 2008, dan penelitian di Jamshoro pada Juli 2007 - Agustus 2008 melaporkan mayoritas pasien terjadi hepatotoksisitas dalam waktu 14 hari setelah mulai terapi OAT.6-9 Hepatotoksisitas karena OAT lebih banyak terjadi pada pasien usia tua (41-73 tahun) dibanding usia to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id muda (13-40 tahun) yaitu 25,8 % dibanding 14,4 % pada penelitian di Karachi, Juli 2004 - Juli 2005.8 Hal ini juga didukung oleh penelitian – penelitian di Peshawar, Juli 2007 – Juni 2008, dan di Jamshoro, Juli 2007 – Agustus 2008 (usia ≥ 35 tahun dibanding ≤ 35 tahun).6,9 Peningkatan transaminase asimptomatik biasa terjadi selama terapi antituberkulosis, tetapi hepatotoksisitas menjadi fatal bila tidak diketahui dari awal dan terapi tidak dihentikan.11-14 Mekanisme hepatotoksik karena terapi antituberkulosis belum sepenuhnya dimengerti. Sodhi et aldikutip dari5 mengemukakan stress oksidatif sebagai kemungkinan mekanisme cidera hati imbas isoniazid (INH) dan rifampisin (R). Dikemukakan bahwa dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidatif selular, dalam hal ini glutathione, sel-sel menjadi terlindung dalam melawan cidera oksidatif yang dihasilkan berbagai macam obat dan bahan kimia.5,15 Hepatotoksik karena isoniazid bukan hipersensitivitas atau reaksi alergi, paling mungkin disebabkan oleh metabolit toksik dan dianggap idiosinkratik.14 Penelitian terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemungkinan besar penyebab hepatotoksik.14,16 Rifampisin adalah penginduksi kuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus, penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksisitas.14,17-19 Efek samping utama pirazinamid adalah hepatotoksisitas.18 Mekanisme toksisitas karena pirazinamid tidak diketahui. Apakah toksisitas disebabkan oleh pirazinamid atau metabolitnya juga tidak diketahui.14 Etambutol dan streptomisin dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik.16 Penanda dini hepatotoksisitas adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate aminotransferase (AST) yang disekresikan secara paralel dengan alanine aminotransferase (ALT) yang merupakan penanda lebih spesifik untuk mendeteksi kerusakan hati.7 World health organization (WHO) mengklasifikasikan hepatotoksisitas menjadi 4 gradasi. Grade I ditandai dengan peningkatan ALT 1,25 – 2,5 kali normal, grade II ALT meningkat 2,6 – 5 kali normal, to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 2 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id grade III ALT meningkat 5,1 – 10 kali normal, dan grade IV bila ALT meningkat > 10 kali normal.7,14 Glutathione (GSH) adalah antioksidan endogen utama dan N-acetylcysteine (NAC) adalah prekursor GSH. Efek paling menguntungkan pemberian NAC adalah kemampuannya sebagai sumber sulfhydryl sehingga dapat menstimulasi sintesis glutathione, meningkatkan aktivitas glutathione-S-transferase, meningkatkan detoksifikasi dan berperan sebagai pengikat radikal bebas serta berinteraksi dengan reactive oxygen species (ROS).15 Beberapa penelitian pada binatang dan manusia menyimpulkan bahwa NAC melindungi terhadap drug induced hepatitis yang diinduksi oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampicin dan pyrazinamid. Menurut mereka efek hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione.5,18 Penelitian mengenai efek protektif NAC terhadap hepatotoksisitas yang diinduksi oleh OAT pernah dilakukan oleh Baniasadi S et al di Iran pada tahun 2010. Penelitian tersebut membandingkan kadar serum AST dan ALT pada penderita TB paru yang diterapi OAT tanpa pemberian NAC dengan kadar serum AST dan ALT penderita TB paru dengan terapi OAT ditambah NAC. Penelitian tersebut tidak memeriksa kadar glutathione pada subyek penelitian. Memperhatikan keadaan tersebut berikut dilakukan penelitian membandingkan kadar serum AST, ALT dan glutathion total pada penderita TB paru terapi OAT ditambah pemberian NAC dengan kadar serum AST, ALT dan kadar glutathion pada penderita TB paru terapi OAT tanpa ditambah NAC. 1.2. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Adakah peran NAC terhadap kadar glutathione total pada penderita tuberkulosis paru terapi obat antituberkulosis? 2. Adakah peran NAC terhadap kadar serum AST pada penderita tuberkulosis paru terapi obat antituberkulosis? 3. Adakah peran NAC terhadap kadar serum ALT pada penderita tuberkulosis paru terapi obat antituberkulosis? to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 3 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum Mengetahui peran NAC terhadap hepatotoksisitas terapi obat antituberkulosis pada penderita TB paru. Tujuan khusus 1. Mengetahui peran NAC terhadap kadar glutathione total penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 2. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum AST penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 3. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum ALT penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat praktis: 1. Dapat diketahui peran NAC terhadap faktor risiko hepatotoksisitas pada penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 2. Dapat dipertimbangkan pemberian NAC pada penderita TB paru terapi obat antituberkulosis untuk membantu mencegah hepatitis imbas obat. Manfaat teoretis: Pemberian NAC diharapkan dapat meningkatkan kadar glutathione sehingga dapat berperan untuk mencegah hepatotoksisitas pada penderita TB paru dengan terapi obat antituberkulosis. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis (TB) adalah problem kesehatan yang penting di dunia. Pandemik TB terjadi di negara berkembang dan insiden ini meningkat karena ko-infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV).6 Kasus TB diperkirakan terjadi 9,4 juta ( range 8,9 – 9,9 juta) di seluruh dunia ( ekuivalen dengan 137 kasus per 100.000 populasi) pada tahun 2009. Jumlah kasus terbanyak di tahun 2009 terjadi di Asia (55%) dan Afrika (30%), proporsi kasus lebih kecil terjadi di wilayah Eastern Mediterranian (7%), wilayah Eropa (4%), dan wilayah Amerika (3%).2 Pengobatan TB saat ini menggunakan beberapa obat antituberkulosis dalam bentuk kombinasi. Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Obat TB lain (second line) adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, dan paraamino salisilat (PAS) digunakan jika terjadi multidrug resistance (MDR).21-24 Komponen esensial dari strategi directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan oleh World Health Organization (WHO) adalah isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, ketiganya diketahui memiliki potensi hepatotoksik.3 Mekanisme dasar hepatotoksisitas imbas obat antituberkulosis dan faktor predisposisi perkembangan hal tersebut belum sepenuhnya dimengerti. Usia, jenis kelamin, alkoholisme, penyakit hati kronik, status hepatitis B carrier, status asetilator dan nutrisi diduga sebagai faktor predisposisi pada penelitian awal.4 Prevalensi drug induced liver injury (DILI) pada TB diperkirakan meningkat, insidennya dilaporkan lebih rendah di negara maju yaitu 3 – 4% dibandingkan negara berkembang yaitu 8 – 39% dengan regimen yang sama. Para peneliti menduga diantara obat-obat anti-TB hepatotoksik, pirazinamid (Z) diduga paling toksik terutama pada pasien dengan penyakit hati kronik.6 Angka DILI yang lebih tinggi di negara berkembang mungkin karena perbedaan ras dan status nutrisi membuat mereka lebih rentan terhadap efek hepatotoksik obat-obat ini.4,6 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id N-acetylcysteine (NAC) sering digunakan jika keseimbangan oksidanantioksidan intraselular menjadi perhatian.25 Sodhi et aldikutip dari5 mengemukakan stress oksidatif sebagai kemungkinan mekanisme cidera hati imbas isoniazid (INH) dan rifampisin (R). Dikemukakan bahwa dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidatif selular, dalam hal ini glutathione, sel-sel menjadi terlindung dalam melawan cidera oksidatif yang dihasilkan berbagai macam obat dan bahan kimia.5,15 Mereka menyimpulkan bahwa pemberian NAC pada pasien TB bisa meningkatkan jumlah glutathione dan respons imun pasien. Hepatoproteksi oleh NAC mungkin karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione.5 1.1. EPIDEMIOLOGI HEPATITIS IMBAS OBAT ANTITUBERKULOSIS Efek buruk tersering terapi antituberkulosis adalah hepatotoksisitas, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan neurologis. Hepatotoksisitas karena obat antituberkulosis (OAT) menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang substansial dan mengurangi keefektifan terapi. Insidensi DILI selama pengobatan TB dilaporkan bervariasi antara 2% - 28%.11-14 Penelitian banyak dilakukan di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat, kejadiannya bervariasi diantara berbagai bagian dunia.14 Suatu penelitian meta-analisis penggunaan kombinasi regimen OAT pada dewasa menunjukkan tingkat kejadian toksisitas hati 2,6% dengan isoniazid dan rifampisin bersamaan, tetapi hanya 1,1% dengan rifampisin saja, dan 1,6% dengan isoniazid saja. Kontribusi pirazinamid terhadap perkembangan hepatitis imbas obat selama pengobatan TB tampak masih kontroversial pada laporan terdahulu. Penelitian terakhir telah lebih menyokong potensi hepatotoksisitas pirazinamid. Penelitian di India menemukan penambahan pirazinamid pada terapi isoniazid dan rifampisin prosentase hepatitis imbas obat signifikan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (70% vs 42%). Penelitian di Singapura, semua pasien dengan hepatitis imbas obat fatal didapatkan pirazinamid pada regimennya.26 Penelitian di Malaysia oleh Marzuki et aldikutip dari 1 melaporkan kejadian hepatotoksisitas 9,7% dan dari Sri Lanka oleh Senaratne et aldikutip dari 1 melaporkan to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kejadian 9,5%. Risiko hepatotoksisitas berdasarkan pada data empat penelitian di India yaitu 11,5% dibanding 4,3% di negara maju. Beberapa studi melaporkan bahwa risiko hepatitis imbas OAT meningkat sesuai pertambahan usia, insiden tertinggi terjadi pada orang usia lebih 50 tahun.4 Penelitian oleh Prihatini D dan kawan-kawan di Indonesia pada April 2003 sampai September 2004 melaporkan peningkatan alanine aminotransferase (ALT) serum terjadi pada minggu kedua akibat kombinasi OAT dengan rifampisin dosis tinggi terjadi dalam waktu yang sama dengan rifampisin dosis standar.7 Penelitian di Karachi, Pakistan pada Juli 2004 sampai Juli 2005 melaporkan mayoritas pasien terjadi hepatotoksisitas dalam waktu 14 hari setelah mulai terapi.8 Penelitian lain di Pakistan pada Agustus 2009 sampai Agustus 2010, prevalensi hepatitis imbas OAT adalah 14,38%. Pasien yang diteliti berjumlah total 1161 orang, terdiri dari 589 laki-laki dan 572 perempuan. Kejadian hepatotoksisitas lebih banyak pada perempuan (15,39%) dibanding laki-laki (13,58%).12 2.2. DEFINISI Definisi hepatotoksisitas berubah-ubah dan telah digunakan definisi berbedabeda. Definisi hepatitis imbas OAT adalah pengobatan yang menimbulkan peningkatan serum alanine aminotransferase (ALT) lebih dari tiga atau lima kali upper limit of normal (ULN), dalam empat minggu pengobatan tuberkulosis, dengan atau tanpa gejala hepatitis. Penghentian penggunaan obat menyebabkan penurunan ALT. Berat hepatotoksisitas digolongkan sesuai WHO Toxicity Classification Standarts sesuai tabel 1. 14,16,17,27 British Thoracic Society (BTS) dan American Thoracic Society (ATS)/ Center of Disease Control and Prevention (CDCP)/ Infectious Disease Society of America (IDSA) telah merekomendasikan bahwa pengobatan yang potensial hepatotoksis harus dihentikan jika serum ALT melebihi lima kali ULN (dengan atau tanpa gejala) atau tiga kali ULN dengan jaundice dan/atau gejala hepatitis. Monitor ketat fungsi hati direkomendasikan bila ALT meningkat dua kali atau lebih dari normal.27 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 1: Definisi hepatotoksisitas menurut WHO Derajat hepatotoksisitas menurut WHO Grade 1 (ringan) <2,5 kali ULN (ALT 51 – 125 U/L) Grade 2 (ringan) 2,5 – 5 kali ULN (ALT 126 – 250 U/L) Grade 3 (sedang) 5 – 10 kali ULN (ALT 251 – 500 U/L) Grade 4 (berat) Keterangan: ALT: Alanine Aminotransferase; > 10 kali ULN ( ALT > 500 U/L) ULN: Upper Limit of Normal yaitu 50 U/L Dikutip dari (14) Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.10 2.3. METABOLISME OBAT Sebagian besar obat masuk melalui saluran cerna. Hati terletak diantara permukaan absorbtif saluran cerna dan organ target obat, hati berperan sentral dalam metabolisme obat. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh.28 Setelah pemberian obat secara oral banyak obat diserap secara utuh oleh usus kecil dan dibawa melalui sistem portal ke hati, tempat obat mengalami metabolisme ekstensif.29 Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui sistem enzim sitokrom P-450. Jalur klasik metabolisme obat terjadi dalam dua fase. Fase pertama biasanya melibatkan transfer molekular oksigen terjadi reaksi oksidasi, reduksi atau hidroksilasi, tidak semua obat menjalani langkah ini, dan beberapa obat dapat langsung menjalani fase kedua.28,30,31 Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma halus hati). Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dibanding substrat induk dan dapat mengakibatkan cidera pada hati. Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Sebagai contoh metabolit paracetamol yaitu N-acetyl-p-benzoquinone (NAPQI) adalah toksik terhadap hati. 28,30,31 Fase kedua meliputi jalur glukoronidasi, sulfasi, asetilasi, dan konjugasi glutathione sehingga akan meningkatkan kelarutan obat untuk membentuk senyawa/bahan yang siap dikeluarkan dari tubuh. Jalur protein transporter seluler memfasilitasi pengeluaran senyawa/bahan tersebut ke dalam empedu atau sistem sirkulasi. Obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu dan ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Aktivitas transporter dan enzim dipengaruhi oleh faktor-faktor endogen seperti irama sirkadian, hormon, sitokin, status penyakit, faktor genetik, jenis kelamin, etnis, umur, dan status nutrisi, begitu juga oleh obat-obatan atau bahan kimia eksogen.17,30,32 2.4. MEKANISME HEPATOTOKSISITAS Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi intrinsik atau reaksi obat yang dapat diperkirakan terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Cidera hati dapat disebabkan oleh obat itu sendiri atau metabolit obat.27,32 Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik. Idiosinkratik hipersensitivitas menyebabkan reaksi to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id hipersensitivitas, suatu respons yang ditandai dengan demam, kemerahan pada kulit, dan eosinofilia suatu respons imun yang ditandai dengan periode laten yang pendek satu sampai empat minggu. Obat atau metabolit obat yang berikatan kovalen dengan protein dapat mendatangkan produk antibodi spesifik atau sel T dikenal sebagai hapten obat atau epitop spesifik pada molekul carrier.33 Hal ini sesuai hapten hipotesis: molekul kecil tidak imunogenik, tetapi bila berikatan secara ireversibel pada protein maka protein termodifikasi dapat menginduksi respons imun berupa reaksi hipersensitivitas.34 Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung metabolit obat. Respons bervariasi dan dapat terjadi dalam seminggu atau lebih dari setahun kemudian. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).28,32 Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmic ke membran plasma, tempat reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Selain itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik ke sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolitmetabolit toksik yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cidera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotic menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi imunogen).28,32,35 Lebih jelas diterangkan pada gambar 1. Gambar 1: mekanisme hepatotoksisitas imbas obat Dikutip dari ( 34 ) Terdapat pula model DILI yang mengedepankan tiga langkah penting yang berurutan. Hal ini juga meliputi jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menekankan peran utama mitokondria dalam mekanisme yang menyebabkan apoptosis dan nekrosis. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tiga langkah umum model drug-induced liver injury seperti diterangkan pada gambar 2 meliputi:35 1. Mekanisme awal toksisitas: stress sel langsung, perusakan mitokondrial langsung, dan reaksi imun spesifik. Metabolit obat atau obat utama menyebabkan stress sel langsung, gangguan fungsi mitokondria atau memicu reaksi imun spesifik. Molekul obat relatif kecil seperti tidak mungkin menimbulkan respons imun, tetapi melalui reaksi biotransformasi dapat terbentuk molekul obat yang mengikat enzim sehingga cukup besar sebagai target imun. Ikatan tersebut bermigrasi ke permukaan hepatosit sehingga menginduksi pembentukan antibodi. Sistem enzim paling penting yang memetabolisme obat untuk membentuk metabolit reaktif hepatotoksik adalah famili polymorphic cytochrome P450 (CYP450) yang memediasi metabolisme obat fase 1(oksidasi). Metabolisme obat fase 2 (konjugasi) bisa juga menghasilkan metabolit hepatotoksik.34,35 Metabolit reaktif dapat menyebabkan stress sel awal melalui mekanisme luas termasuk deplesi glutathione atau dapat juga melekat pada enzim, lipid, asam nukleat, dan struktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau obat induk bisa secara spesifik menghambat fungsi hepatoseluler lain seperti apikal bile salt efflux pump (BSEP). Metabolit reaktif atau obat induk menghambat rantai respirasi mitokondria menyebabkan deplesi adenosine triphosphat (ATP) dan peningkatan konsentrasi reactive oxygen species (ROS), menghambat β- oksidasi menyebabkan steatosis, kerusakan DNA mitokondrial atau mengganggu replikasi, atau langsung menyebabkan mitochondrial permeability transition (MPT).35 Respons imun spesifik sel T cytotoxic dengan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi dapat ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang berikatan kovalen dengan protein dan kemudian membentuk neo-antigen (pembentukan hapten). Presentasi major histocompatibility complex (MHC) yang tergantung pada antigen presenting cell mengaktifkan pembentukan antibodi melawan hapten atau autoantibodi melawan struktur sel seperti enzim CYP450.35 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2. Direct and death receptor – mediated pathways leading to mitochondrial permeability transition Stress sel awal dan atau reaksi imun spesifik dapat menyebabkan MPT melalui dua jalur utama yaitu jalur intrinsik diinisiasi oleh stress sel berat, atau jalur ekstrinsik yaitu kematian tak langsung receptor-amplified yang dipicu oleh stress sel ringan dan atau reaksi imun spesifik. Stress intraseluler berat mengaktivasi jalur reticulum endoplasmic, permeabilisasi lysosomal, atau c-jun N-terminal kinase (JNK) dalam jalur intrinsik. Berikutnya terjadi aktivasi protein pro-apoptotik (misal: Bax, Bak, Bad) dan menghambat protein anti-apoptotik (misal: Bcl-2, Bcl-xl) dari famili Bcl-2 kemudian mengaktivasi MPT.34,35 Tumor necrosis factor dan FasL berikatan ke death receptors intraseluler, dan TNF/Fas receptor-associated death domain proteins (TRADD/FADD) akan mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi death-receptor complex juga disebut deathinducing signaling complex (DISC). Inisiator caspase 8 dapat memulai apoptosis melalui aktivasi langsung efektor caspase 3, 6 dan 7, tetapi jalur langsung ini terlalu lemah di dalam hepatosit untuk memediasi apoptosis. Oleh karena itu diperlukan mekanisme amplifikasi yaitu caspase 8 mengaktivasi protein pro-apoptotik Bcl-2 (misal Bid), hal ini menyebabkan MPT.34,35 3. Apoptosis dan nekrosis Apoptosis atau kematian sel yang terprogram merupakan suatu komponen yang normal pada perkembangan dan pemeliharaan kesehatan organisme multiselular. Kematian sel merupakan respons terhadap berbagai stimulus dan selama apoptosis sel dikontrol serta diregulasi, sel yang mati kemudian difagosit oleh makrofag. Apoptosis berbeda dengan nekrosis, pada nekrosis terjadi kematian sel tidak terkontrol. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi pada organisme hidup yang dapat disebabkan oleh cidera atau infeksi. Nekrosis terjadi perubahan pada inti yang akhirnya dapat menyebabkan inti menjadi lisis dan membran plasma menjadi ruptur, sedangkan pada apoptosis membran inti tidak ruptur dan inti mengalami fragmentasi.35,36 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2: tiga langkah umum DILI Dikutip dari (35 ) Mitochondrial permeability transition menyebabkan nekrosis atau apoptosis bergantung pada availabilitas ATP. Aktivasi hepatosit oleh aktivator caspase 8 melalui jalur ekstrinsik tidak cukup secara langsung mengaktivasi apoptosis, tetapi amplifikasi melalui faktor proapoptotik termasuk bid dan ceramid menyebabkan MPT yang to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kemudian mengarah ke jalur apoptotik yang diaktivasi oleh ATP yang masih cukup. Nekrosis terjadi jika tidak tersedia ATP yang diperlukan untuk energi jalur apoptotik. Beberapa mekanisme amplifikasi pokok (A) bisa memainkan peran penting pada tingkat berbeda untuk peristiwa idiosinkratik hepatotoksisitas.35 Kelemahan fungsi mitokondria dan produksi energi menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel. Mitochondrial permeability transition memberi influx masif proton melalui membran dalam mitokondria, sehingga menghentikan sintesis ATP mitokondria. Deplesi ATP mitokondria dihasilkan dari MPT (atau mekanisme langsung kerusakan mitokondria seperti disebut diatas) menyebabkan ekspansi matriks dan permeabilisasi membran luar mitokondria dan ruptur dengan pelepasan cytochrome c dan protein pro-apoptotik mitokondrial lain dari ruang intermembran ke dalam cytosol.34,35 Nekrosis berkembang jika cidera awal terlalu berat sehingga MPT cepat terjadi dalam semua mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan deplesi ATP mitokondria yang cepat, menghambat jalur apoptotik. Hal ini khas untuk hepatotoksin yang langsung menyebabkan stress sel awal yang parah. Nekrosis sel juga bisa disebabkan oleh aktivasi jalur ekstrinsik karena tidak adanya ATP. Penggelembungan sel dan lisis yang mengikuti kerusakan berat fungsi sel menandai nekrosis. Sel nekrotik menginduksi respons inflamasi termasuk pelepasan sitokin, penting karena bisa meningkatkan cidera awal melalui sensitisasi seputar hepatosit dan karena itu menyebabkan kerusakan kolateral lebih lanjut.34,35 Perbedaan antara apoptosis dan nekrosis tidak selalu jelas. Apoptosis dan nekrosis bisa dianggap sebagai spektrum yang berlanjut. Lebih lanjut beberapa kontroversi ada di seputar mekanisme pasti dan pencetus hepatotoksik apoptosis termasuk peran MPT.32 Disimpulkan bahwa mitokondria berada di pusat mati dan hidup dalam hepatotoksisitas. Mereka dapat menjadi target langsung toksisitas awal. Mitochondrial permeability transition memainkan peran kunci dalam sinyal selanjutnya dari jalur intrinsik dan ekstrinsik. Mitokondria membentuk suplai ATP sel paling banyak dan juga sumber utama radikal bebas oksigen dan nitrogen intraseluler, maka to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kerusakan mitokondria yang luas akhirnya menentukan apakah hepatosit mati karena apoptosis atau nekrosis.35 2.5. FAKTOR RISIKO KELAINAN HEPATOSELULAR IMBAS OBAT Terdapat beberapa faktor risiko kelainan hepatoselular imbas obat antara lain ras, usia tua, perempuan, malnutrisi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), penyakit hati yang mendasari, penyalahgunaan alkohol, penggunaan obat hepatotoksik lain.11,13 1. Ras dan genetik Beberapa obat memiliki toksisitas berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Ras dan genetik mungkin berperan penting. Beberapa polimorfisme genetik pada enzim-enzim metabolisme obat yang dihubungkan dengan hepatotoksisitas imbas obat antara lain status asetilator lambat, genotipe glutathione S-transferase M1 homozygote null dan genotipe cytochrome P4502E1 c1/c1 (CYP2E1 c1/c1).13 Status setilator lambat dan intermediate banyak terdapat pada populasi orang Afrika (Sabbagh et al. 2008; Matimba et al. 2009). Hampir 95% orang kulit hitam Afrika Selatan memiliki genotipe CYP2E1 c1/c1 (Chelule et al. 2006). Beberapa penelitian tersebut menduga bahwa ‘genotipe risiko tinggi’ yang berhubungan dengan hepatotoksisitas imbas obat banyak terdapat diantara bangsa Afrika.11 Penelitian di China oleh Shang P et al tahun 2007/2008 menjelaskan insidensi kelainan hati imbas obat anti tuberkulosis adalah 2,55% pada bangsa China.13 Prevalensi 9,7% terdapat pada bangsa Malaysia dari hasil penelitian oleh Marzuki et al.1 2. Umur Orang tua berisiko lebih tinggi cidera hati karena clearance menurun, interaksi antar obat, aliran darah ke hati berkurang, dan menurunnya volume hati.27 Penelitian oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien usia tua relatif lebih rentan dibanding kelompok usia lebih muda ( 41 dari 159 orang atau 25,8% to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dibanding 26 dari 180 orang atau 14,4%)21 Penelitian oleh Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT paling tinggi pada orang tua (> 50 tahun) yaitu 17,54%.12 3. Seks Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat pada hati lebih sering terjadi pada perempuan.7 Penelitian oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan perempuan lebih rentan dibanding laki-laki (41 dari 156 orang atau 26,3% dibanding 36 dari 183 orang atau 19,7%).8 Penelitian Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT pada lakilaki 13,58% dan 15,39% pada perempuan.12 4. Konsumsi alkohol Sering mengkonsumsi alkohol membuat rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cidera hati yang mengubah metabolisme obat.27 Penelitian Mahmood et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien dengan konsumsi alkohol lebih berisiko (25%) dibanding tanpa konsumsi alkohol (19,6%).24 5. Penyakit hati Pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cidera hati. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis berisiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.27 Penelitian Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010 menyebutkan pasien carrier hepatitis B atau C 100% berkembang hepatotoksisitas karena OAT.8 Penelitian oleh Anand AC di India tahun 2002 menghasilkan data kejadian disfungsi hati lebih tinggi pada pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B yang mendapat OAT (37,5%) dibanding pasien tidak terinfeksi virus hepatitis B 4 (10,2%) to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6. Komorbiditas lain Penderita acquired immune deficiency syndrome (AIDS), penderita kekurangan gizi rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutathione rendah.27 Penelitian Marzuki et al di Malaysia tahun 2005 menemukan bahwa penderita HIV positif merupakan faktor risiko signifikan berkembang hepatitis imbas OAT.1 2.6. HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTITUBERKULOSIS Penyebab TB diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasi, tetapi masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya multiple drug resistant tuberkulosis (TB-MDR).36 Efek samping dan toksisitas obat juga ancaman untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi.16 Efek Hepatotoksik Obat Antituberkulosis Kebanyakan obat antituberkulosis larut dalam lemak dan eliminasinya memerlukan biotransformasi menjadi senyawa larut dalam air. Biotransformasi tersebut sebagian besar terjadi pada fase hepatik I dan II yang memerlukan enzim biotransformasi. Reaksi fase I terjadi oksidasi atau demetilasi, dilakukan oleh enzim cytochrome P-450 (CYP-450). Hasil oksidasi obat tidak terlalu larut dalam air dan membutuhkan metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase I sering menghasilkan metabolit toksik. Sebagian besar senyawa larut dalam air diikat oleh glukoronidasi atau sulfat menghasilkan metabolit non-toksik yang mudah dieliminasi pada reaksi fase II. Tahap metabolik untuk detoksifikasi melibatkan glutathione, yang mengikat senyawa beracun oleh enzim glutathione S-transferase.14 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Isoniazid Isoniazid merupakan hidrazid dari isonicitinic acid, menghambat sintesis mycolic acid komponen penting dinding sel mikobakteri. Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian per oral. Isoniazid mengalami asetilasi di hati dan kecepatan metabolisme isoniazid dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruh.37,38 Tingkat asetilasi manusia ditentukan secara genetik dan dibagi menjadi asetilasi tipe lambat dan cepat.17 Keterlibatan arus asetilasi pada toksisitas isoniazid masih kontroversial. Penelitian awal menunjukkan bahwa asetilator cepat lebih rentan terhadap perkembangan antituberculosis drug-induced hepatotoxicity (ATDH). Penelitian terbaru menunjukkan pada asetilator lambat berkembang ATDH lebih sering dan juga lebih berat dibanding asetilator cepat. Asetilasi lambat lebih banyak isoniazid terhidrolisis langsung menjadi hidrazin dan asetilhidrazin yang dapat diubah menjadi hidrazin.14,17 Penggunaan isoniazid pada penderita yang menunjukkan kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. Umur merupakan faktor yang sangat penting untuk memperhitungkan risiko efek toksik isoniazid pada hati. Kerusakan hati jarang terjadi pada penderita yang berumur dibawah 35 tahun. Kelainan terbanyak adalah enzim transaminase yang meningkat. Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi 4-8 minggu setelah pengobatan dimulai.37,38 Hepatotoksisitas karena isoniazid bukan hasil dari hipersensitivitas atau reaksi alergi dan paling mungkin disebabkan oleh metabolit toksik. Hepatotoksisitas karena isoniazid dianggap idiosinkratik. Reaksi idiosinkratik dapat mempengaruhi setiap sistem organ dengan dimediasi Imunoglobulin E. Merupakan sindrom reaktif metabolit yaitu metabolit reaktif yang dihasilkan lebih berperan dibanding obat itu sendiri. Sindrom reaktif metabolit dapat pulih pada sebagian besar penderita.14 Jalur metabolik utama metabolisme INH adalah asetilasi oleh enzim hati Nacetyl transferase 2 (NAT2). Isoniazid terasetilasi menjadi asetilisoniazid dan kemudian terhidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam isonikotinat. Asetilhidrazin kemudian to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terasetilasi menjadi hidrazin, atau menjadi diasetilhidrazin, seperti terlihat pada gambar 3.14,17 Isoniazid sebagian kecil secara langsung dihidrolisis menjadi asam isonikotinat dan hidrazin. Sebagian besar penelitian sebelumnya telah difokuskan pada hipotesis bahwa asetilhidrazin adalah metabolit toksik isoniazid. Penelitian terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemungkinan besar menjadi penyebab hepatotoksisitas. Toksisitas hidrazin telah digambarkan sejak awal tahun 1908 dan diketahui menyebabkan kematian sel yang irreversible. Kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal pada beberapa pasien.14,16 Gambar 3. Metabolisme isoniazid Dikutip dari (14) Rifampisin menunjukkan peningkatan reaksi idiosinkratik metabolik hepatoselular pada pasien yang mendapat isoniazid, mungkin oleh peningkatan pembentukan metabolit toksik isoniazid. Secara histopatologi terlihat perubahan to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id nonspesifik menyerupai hepatitis virus dengan nekrosis nonzonal, dan masif pada lebih dari 10% kasus berat. Subacute hepatic necrosis dapat terlihat pada 30% kasus.17 Penelitian terhadap genetik manusia menunjukkan bahwa pasien dengan homozigot cytochrome P450 2E1 c1/c1(CYP2E1 c1/c1) host gene polymorphisme, yang memiliki peningkatan aktivitas cytochrome P450 2E1, memiliki risiko hepatotoksisitas lebih tinggi, khususnya asetilator lambat. Genetik CYP2E1 c1/c1 dikaitkan dengan aktivitas gen CYP2E1 yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan produksi hepatotoksin yang lebih tinggi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isoniazid dan hidrazin menginduksi aktivitas CYP2E1. Isoniazid memiliki efek inhibisi terhadap aktivitas CYP1A2, 2A6, 2C19, dan 3A4.57. Gen CYP1A2 diperkirakan terlibat dalam detoksifikasi hidrazin. Isoniazid dapat menginduksi toksisitasnya, kemungkinan disebabkan oleh induksi atau inhibisi enzim-enzim di atas.14,17 Rifampisin Rifampisin adalah antibiotik derivat rifamisin dihasilkan oleh Steptomyces mediterranei terutama digunakan sebagai obat anti tuberkulosis. Kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 2-4 jam pemberian rifampisin per oral. Rifampisin setelah diserap dari saluran cerna cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini cepat mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu enam jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk diasetil rifampisin yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Waktu paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5 – 5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Penderita tuberkulosis mengalami efek toksik kurang dari 4% dengan pemberian dosis biasa. Efek samping paling sering muncul adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.38 Jalur utama metabolisme rifampisin adalah deasetilasi menjadi deasetil rifampisin dan secara terpisah terhidrolisis menghasilkan rifampisin 3-formil. Rifampisin dapat menyebabkan disfungsi hepatoselular pada awal pengobatan yang sembuh tanpa penghentian obat. Mekanisme rifampisin-induced hepatotoxicity tidak diketahui dan tidak dapat diprediksi. Tidak ada bukti keberadaan metabolit toksik.14 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Rifampisin mengaktifkan hepatocyte pregnane X receptors, menyebabkan induksi sitokrom. Rifampisin juga menginduksi uridine diphosphate-glucuronosyltransferase dan transport P-glycoprotein yang terlibat dalam metabolisme obat lain. Rifampisin adalah penginduksi kuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus sehingga meningkatkan metabolisme banyak senyawa lain. Penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksisitas. Rifampisin menginduksi isoniazid hidrolase sehingga plasma half life acetyl isoniazid diperpendek dan cepat berubah menjadi metabolit aktif. Produksi hidrazin lebih cepat dan lebih banyak ketika rifampisin dikombinasikan dengan isoniazid (terutama pada asetilator lambat), maka terjadi toksisitas yang lebih tinggi. Pajanan hidrazin menyebabkan pengurangan adenosine triphosphate (ATP), menghambat enzim mitokondrial succinate dehydrogenase yang mengurangi fungsi mitokondria. Selanjutnya hidrazin menyebabkan toksisitas dengan terlibat dalam sejumlah proses metabolik seperti glukoneogenesis dan glutamine synthetase. Metabolisme hidrazin diperkirakan meliputi produksi radikal bebas yang menginduksi toksisitas selular baik oleh ikatan kovalen pada makromolekul jaringan atau dengan menginisiasi proses autooksidatif seperti peroksidasi lipid in vivo. Integritas sel dipengaruhi oleh stress oksidatif ketika produksi oksidan aktif melebihi mekanisme pertahanan antioksidan. Penambahan hidrazin menginduksi peningkatan pembentukan ROS kemudian disfungsi mitokondria dan atau menghambat sistem antioksidan. Rifampisin juga berinteraksi dengan obat anti retroviral dan mempengaruhi tingkat plasma obat-obatan serta risiko hepatotoksik.14,17-19 Pirazinamid Waktu paruh (t½) pirazinamid lebih panjang dibanding isoniazid atau rifampisin, mendekati 10 jam. Pasien dengan penyakit hepatik, t½ meningkat menjadi 15 jam. Pirazinamid sebagai turunan asam nikotinik, dideamidasi menjadi pyrazinoic acid di dalam hati dan sebagian dimetabolisme menjadi 5-hydroxy-pyrazinoic acid oleh xantine oxidase, aldehyde oxidase, dan xanthine dehydrogenase. 5-hydroxy-pyrazinamide to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mungkin dibentuk selama metabolisme pirazinamid. Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresi pirazinamid terutama melalui filtrasi glomerulus. Pyrazinoic acid aktif mengalami hidroksilasi menjadi hydroyirazinoic acid yang merupakan metabolit utama. Ginjal membersihkan metabolit pirazinamid, diperlukan intermittent dosing pada pasien insufisiensi renal.4,17 Efek samping utama pirazinamid adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi.16 Mekanisme toksisitas karena pirazinamid tidak diketahui. Enzim yang berperan dalam toksisitas pirazinamid, dan apakah toksisitas disebabkan oleh pirazinamid atau metabolitnya juga tidak diketahui. Pirazinamid menghambat aktivitas beberapa isoenzim sitokrom P-450 (2B, 2C, 2E1, 3A) pada tikus tetapi penelitian di mikrosom hati manusia menunjukkan bahwa pirazinamid tidak memiliki efek inhibisi terhadap isoenzim sitokrom P-450.14 Pirazinamid menurunkan kadar nicotinamide acetyl dehydrogenase pada hati tikus, hal ini mungkin menghasilkan spesies radikal bebas yang diperkirakan berperan dalam mekanisme cidera untuk isoniazid dan pirazinamid, sebab ada beberapa persamaan dalam struktur molekuler. Pasien yang sebelumnya mendapat reaksi hepatotoksik dengan isoniazid mendapat reaksi lebih berat dengan pemberian rifampisin dan pirazinamid.17 Etambutol Etambutol dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik, tetapi ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol dikombinasi dengan OAT lain. Kombinasi ini yang menyebabkan hepatotoksisitas.16 Etambutol diserap ke dalam saluran pencernaan sebanyak 70-80% pada pemberian secara oral. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi 3-4 jam. Lima puluh persen etambutol yang dikonsumsi, diekskresi dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat dalam waktu 24 jam. Etambutol jarang to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg BB/hari menimbulkan efek toksik yang minimal. Dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.38 Streptomisin Waktu paruh streptomisin pada orang dewasa normal 2-3 jam dan dapat sangat memanjang pada penderita gagal ginjal. Hampir semua streptomisin berada dalam plasma setelah diserap dari tempat suntikan. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Sekitar 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada penderita, streptomisin dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik. 6,14,19,24 2.7. MANIFESTASI KLINIS HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Cidera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu atau bulan. Cidera hati dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologis, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya.32 Presentasi klinis hepatitis akibat OAT mirip dengan hepatitis virus akut. Obat antituberkulosis bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimptomatik hingga simptomatik seperti keletihan, demam, hilang selera makan, mual, muntah, anoreksia, jaundice, sklera ikterik, pusing, kencing warna kecoklatan. Enzim transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 24 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akut.16 Pasien TB yang sedang dalam pengobatan OAT menunjukkan gejala hepatitis akut maka dapat dijadikan acuan diagnosis hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi.16,27,31 Cidera pada hati baik akut atau kronis akhirnya menghasilkan peningkatan konsentrasi serum aminotransferase. Aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) adalah enzim-enzim yang mengkatalisis transfer grup α-amino dari aspartate dan alanine ke grup α-keto dari ketoglutaric acid untuk membentuk oxaloacetic acid dan pyruvic acid, yang memberi kontribusi penting pada siklus citric acid.19 Kedua aminotransferase terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam hati. Aspartate aminotransferase (AST) juga secara difus digambarkan di dalam jantung, otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, ALT berada dalam konsentrasi rendah di dalam otot skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan hati. Alanine aminotransferase berlokasi hanya di dalam sitoplasma selular di hati, berada di cytosolic (20% dari aktivitas total) dan mitokondria (80% dari aktivitas total).19,35 Clearance aminotransferase dibawa keluar dari hati oleh sel sinusoidal. Waktu paruh ALT di dalam sirkulasi sekitar 47 jam dan untuk AST sekitar 17 jam.19 2.8. PERAN N-ACETYLCYSTEINE MENCEGAH HEPATOTOKSISITAS Penelitian pada binatang telah menunjukkan bahwa isoniazid dan rifampisin menginduksi cidera oksidatif dapat dicegah dengan N-acetylcysteine (NAC) yang membantu mekanisme pertahanan antioksidan selular.5 N-acetyl-cysteine bahan untuk sintesis glutathione, menghambat cidera hati karena isoniazid pada tikus, dengan hubungan yang tidak diketahui pada manusia.17 Observasi efek hepatoprotektif Nacetylcysteine pada tikus yang diobati dengan isoniazid dan rifampisin lebih mendukung keterlibatan stres oksidatif. Pasien TB dengan antituberculosis druginduced hepatitis (ATDH) memiliki penurunan kadar glutathione plasma dan kadar malondialdehid lebih tinggi, yang merupakan parameter dari sebuah stress oksidatif, mungkin sebagai akibat terapi antituberkulosis.14 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Satu penelitian telah melaporkan perbaikan histopatologi hati dan pengurangan stress oksidatif oleh NAC pada non-alcoholic fatty steatosis (NASH) pada tikus model. Penelitian baru telah melaporkan penurunan signifikan steatosis hati dan fibrosis pada pasien dengan NASH yang mendapat metformin dan NAC. Kemampuan NAC mengeblok perkembangan lipid peroksidase ditunjukkan dalam pencegahan onset nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dengan pemberian S-nitroso-N-acetylcysteine pada tikus dan perbaikan histologi hati pada tikus dengan NASH setelah terapi NAC.25 2.9. N-ACETYLCYSTEINE SEBAGAI PREKURSOR GLUTATHIONE N-acetylcysteine (NAC) dikenal sebagai antioksidan kimia nontoksik digunakan mengobati berbagai gangguan.15 N-acetylcysteine adalah bentuk modifikasi dari asam amino cysteine, dengan atom nitrogen dari grup amino ditempelkan ke grup acetyl. Rumus kimianya adalah C5H9NO3S, berat molekul 163,2 g/mol. Bentuk N-acetyl dari cysteine mempermudah penyerapan oleh tubuh. Obat bisa diberikan secara oral, intravena, dan melalui nebulizer respiratorik. N-acetylcysteine diserap cepat setelah pemberian secara oral baik pada binatang maupun manusia. Konsentrasi plasma maksimum dicapai 2-3 jam setelah pemberian dan waktu paruh 6,3 jam.39-41 Metabolisme ekstensif NAC terjadi di hati dan usus kecil tempat terjadi deasetilasi. Deasetilasi adalah proses enzimatik esensial untuk membentuk glutathione. Metabolisme pada manusia terutama dikatalisis oleh enzim acylase I (N-acylamino acid amidohydrolase) termasuk kelompok enzim acylase, yaitu enzim cytosolic yang mengkatalisis deasetilasi N-acyl-L-amino acids sehingga menghasilkan asam lemak dan asam amino.42 Setelah dideasetilasi, NAC menjadi L-cysteine, masuk ke dalam sel dan berperan sebagai prekursor sintesis glutathione. Cysteine yang terbentuk bergabung dengan glutamate membentuk glutamylcysteine dikatalisis oleh enzim glutamatecysteine ligase. Selanjutnya glutamylcysteine bergabung dengan glycine membentuk glutathione (GSH) dengan dikatalisis enzim glutathione synthase. N-acetylcysteine bermanfaat mencegah deplesi glutathione dan atau meningkatkan tingkat glutathione to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id hepatik. Deasetilasi sangat efisien, dalam sirkulasi vena porta, konsentrasi metabolit 300 - 500% lebih tinggi dibanding obat induk.42-46 Peran klinis utama NAC adalah pengobatan overdosis acetaminophen. Acetaminophen dimetabolisme oleh hati, menghasilkan N-acetylbenzoquinoneimine (NAPQI) yang menyebabkan deplesi glutathione hepatik. Pemberian NAC mengisi lagi persediaan glutathione dan mengurangi cidera hati. Pengobatan efektif terutama jika diberikan dalam 10 jam dari overdosis.41 Kecuali penggunaan NAC untuk keracunan acetaminophen tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat.31 Dosis besar NAC biasanya diberikan untuk merespons overdosis acetaminophen yaitu loading dose 140 mg/kg dilanjutkan dosis maintenance 70 mg/kg tiap 4 jam sampai acetaminophen serum tidak terdeteksi. Dosis tersebut dapat menyebabkan mual, muntah, gangguan gastrointestinal, rash, pruritus, angioedema, bronkospasme, takikardi, hipotensi atau hipertensi, tetapi kejadian-kejadian tersebut jarang.47,48 Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)] reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk menanggulangi efek buruk zat toksik.41,43 Glutathione memainkan peran kunci dalam pertahanan seluler melawan kerusakan oksidatif. Glutathione tidak dapat masuk sel hepatik, karena itu harus disintesis in situ dari prekursornya glycine, glutamate, dan cysteine. Komponen cysteine terbatas, dan kelompok sulfhidril cysteine memberikan glutathione kekuatan antioksidan.41 Ketersediaan asam amino untuk pengaturan sintesis glutathione adalah faktor fundamental. Glutamic acid dan glycine tersedia berlimpah-limpah dalam tingkat seluler, tetapi tidak demikian dengan cysteine, maka sintesis glutathione bergantung pada ketersediaan cysteine. Tidak mungkin memberikan cysteine dalam bentuk aktif to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yaitu L-cysteine, sebab absorbsi yang rendah di usus, daya larut dalam air yang buruk dan metabolisme hepatik yang cepat.42,43 Glutathione (γ-glutamylcysteinyl glycine) diklasifikasikan sebagai tripeptida yang ditemukan di setiap bagian tubuh, khususnya di paru, saluran intestinal, dan hati. Tubuh memproduksi dan menyimpan glutathione paling banyak di dalam hati. Glutathione tersebut digunakan untuk detoksifikasi komponen berbahaya sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh melalui empedu.49,50 Homeostasis glutathione intraseluler memainkan peran utama dalam memelihara lingkungan reduksi—oksidasi (redoks) intraselular dan mengatur sejumlah fungsi selular penting. Salah satu kejadian awal pada banyak respons inflamasi adalah penurunan glutathione intraselular.51 Glutathione berimplikasi dalam banyak fungsi selular, termasuk sintesis dan degradasi protein dan deoxyribo nucleic acid (DNA). Lingkungan redoks intraselular terutama dikontrol oleh glutathione-redox yang didefinisikan sebagai rasio glutathione tereduksi (GSH) terhadap glutathione teroksidasi (GSSG) dan memainkan peran penting dalam memelihara homeostasis selular dan berbagai fungsi fisiologis.51 Obat, infeksi, dan inflamasi di dalam hati dapat meningkatkan pembentukan ROS dan/atau menurunkan kadar GSH dan menyebabkan pergeseran status redoks selular hepatosit menjadi lebih teroksidasi. Perubahan keseimbangan redoks normal dapat mengganggu jalur signaling dalam hepatosit dan bisa menjadi mekanisme penting dalam memediasi patogenesis banyak penyakit hati.51,52 Sel-sel eukariotik mempunyai tiga reservoir utama GSH. Hampir 90% GSH selular berada di dalam sitosol, 10% di dalam mitokondria, dan presentase kecil di dalam retikulum endoplasma (RE). Glutathione tereduksi (GSH) diimplikasikan dalam bentuk ikatan protein disulfide di dalam RE, rasio GSH: GSSG adalah 3:1. Rasio melebihi 10:1 di dalam sitoplasma dan mitokondria.44-46 Keseimbangan redoks glutathione dalam makrofag penting untuk meningkatkan respons imun alamiah dan juga berimplikasi dalam banyak kondisi patologis, mengindikasikan kemungkinan potensi digunakan sebagai alat terapeutik.51 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 28 perpustakaan.uns.ac.id 2.10. digilib.uns.ac.id SINTESIS GLUTATHIONE Glutathione disintesis dari prekursor asam amino di dalam cytosol sel. Sintesis GSH dari unsur-unsur asam amino, L-glutamate, L-cysteine dan L-glycine, termasuk dua adenosine triphosphat (ATP) yang diperlukan tahap enzimatik: 1. L-glutamate + L-cysteine + ATP àγ-glutamyl-L-cysteine + ADP 2. γ-glutamyl-L-cysteine + L-glycine + ATP à GSH + ADP Langkah pertama biosintesis GSH dikatalisasi oleh γ-glutamylcysteine synthetase (GCS), membutuhkan Mg2+ dan Mn2+. Secara fisiologis GCS didalam tikus dan manusia diatur oleh inhibisi feedback kompetitif oleh GSH dan ketersediaan L-cysteine. Konsentrasi glutamate intraselular beberapa tingkat lebih tinggi dibanding nilai GCS, tetapi konsentrasi cysteine intraselular kira-kira sama dengan nilai GCS. Ketersediaan cysteine intraselular dan aktivitas GCS paling signifikan terlibat dalam laju sintesis GSH. Struktur glutathione seperti terlihat pada gambar 4.49 Langkah kedua sintesis GSH dikatalisasi oleh GSH synthetase. Satu studi terbaru dalam jamur Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa enzim ini disalurkan untuk tumbuh dibawah kondisi normal dan stress oksidatif akumulasi γ-glutamylcysteine sehingga mampu melindungi stress karena oksidatif. Overekspresi GSH synthetase tidak dapat meningkatkan tingkat GSH seperti overekspresi GCS meningkatkan tingkat GSH, sesuai dengan fakta bahwa GCS adalah enzim terbatas pada laju sintesis GSH.49 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4. struktur glutathione. Amino-terminal glutamate dan cysteine dihubungkan oleh kelompok γ-carboxyl dari glutamate. Dikutip dari (49) Penentu utama laju sintesis GSH adalah ketersediaan cysteine. Cysteine secara normal didapat dari diet dan pemecahan protein, dan di dalam hati dari methionine lewat jalur transsulfurasi. Cysteine dibedakan dari asam amino lain karena bentuk sulfhydryl-nya. Cysteine predominan di dalam sel, dan bentuk disulfidnya yaitu cystine, predominan diluar sel. Cysteine siap diautooksidasi menjadi cystine di dalam cairan ekstraselular, sekali masuk ke dalam sel, cystine secara cepat direduksi menjadi cysteine.49 Hati adalah organ paling banyak berisi GSH dan khas dalam 2 aspek biosintesis GSH, yaitu hepatosit memiliki kemampuan unik untuk merubah methionine menjadi cysteine melalui jalur transulfurasi dan kecepatan biosintesis GSH di dalam hepatosit diimbangi oleh kecepatan pengiriman ke dalam plasma, empedu dan mitokondria melalui sistem transport GSH. GSH hepatik penting pada homeostasis GSH interorgan, didasari oleh kenyataan bahwa kadar GSH dan cysteine plasma secara luas ditentukan oleh efflux sinusoidal dari GSH hepatik. Regulasi sintesis GSH hepatik adalah kunci homeostasis GSH interorgan pada kondisi normal dan patologis.49 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 30 perpustakaan.uns.ac.id 2.11. digilib.uns.ac.id FUNGSI ANTIOKSIDAN GLUTATHIONE Sebagai konsekuensi metabolisme aerob, semua organisme aerob adalah subyek pada tingkat tertentu stress oksidatif secara fisiologis. Bahan intermediate terbentuk seperti superoksid (O2-) dan Hidrogen peroksida, dapat menyebabkan produksi lebih lanjut radikal oksigen toksis yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan cidera sel. Produksi hidrogen peroksida secara endogen direduksi oleh GSH dalam bentuk selenium dependent GSH peroxidase. (gambar 5) Sebagai hasilnya GSH dioksidasi menjadi GSSG, dimana pada gilirannya direduksi kembali menjadi GSH oleh GSSG reductase pada pengeluaran nicotinamide adenine dinucleotide phosphat tereduksi (NADPH), membentuk siklus redoks. Baik GSH peroxidase atau GSH S-transferase dapat mereduksi peroksida organik. Hidrogen peroksida dapat juga direduksi oleh katalase, dimana hanya berada di dalam peroxisome.49 Gambar 5. Fungsi antioksidan glutathione Dikutip dari (49) Stress oksidatif berat bisa melebihi kemampuan sel mereduksi GSSG menjadi GSH, menyebabkan akumulasi GSSG di dalam sitosol. Untuk melindungi sel dari pergeseran keseimbangan redoks, GSSG dapat secara aktif dikeluarkan dari sel atau bereaksi dengan kelompok protein sulfhydryl, menyebabkan pembentukan disulfida campuran. Jadi, stres oksidatif berat mengurangi GSH selular.49 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Stress oksidatif dapat diperkirakan dengan mengukur GSH dan GSSG, keduanya dinyatakan dalam rasio. Rasio ini dianjurkan sebagai petanda klinis penyakit yang terutama disebabkan stress oksidatif. Penurunan rasio antara GSH dan GSSG dihubungkan dengan progresi tumor, dan penurunan konsentrasi glutathione total ditemukan diantara pasien-pasien dengan penyakit kronik, termasuk urogenital, gastrointestinal, kardiovaskuler, dan muskuloskeletal. Stress oksidatif secara umum, khususnya konsentrasi glutathione juga dihubungkan dengan gangguan neurodegeneratif dan HIV. Glutathione juga penting di dalam paru, perubahan konsentrasinya dihubungkan dengan penyakit pulmoner seperti acute respiratory distress syndrome dan penyakit paru obstruktiv kronik (PPOK).53 Rasio GSH/GSSG dipertahankan oleh enzim GSSG reduktase dengan menggunakan energi reduksi dari NADPH untuk merubah GSSG menjadi GSH.49 Faktor transkripsi seperti NF-κB dan activator protein (AP)-1 adalah sensitive-redox, menjadi teraktifasi dalam sel-sel epitelial dan sel-sel inflamasi selama stress oksidatif atau inflamasi, menyebabkan upregulation sejumlah gen proinflamasi. Mempertahankan rasio GSH/GSSG intraselular tetap tinggi (> 90%) meminimalkan akumulasi disulfida dan menyediakan lingkungan reduksi di dalam sel. Oksidan atau stress lingkungan dapat mengganggu rasio ini, pergeseran rasio GSH/GSSG mempengaruhi berbagai proses signalling selular, seperti aktivasi faktor transkripsi AP1 dan NF-κB. Stress oksidatif atau penurunan GSH dan peningkatan GSSG di dalam cytosol sebagai respons terhadap stress oksidatif menyebabkan ubiquination dan fosforilasi cepat yang kemudian diikuti degradasi inhibitor NF-κB yaitu IκB, hal ini adalah langkah penting aktivasi NF-κB. Ekspresi banyak gen yang terlibat dalam inflamasi diregulasi oleh NF-κB yang menghasilkan mediator respons inflamasi seperti inducible nitric oxide synthase (iNOS), sitokin proinflamasi interleukin (IL)-1β, TNF-α, dan IL-6, kemokin IL-8, E-selectin, vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), intercelluler adhesion melecule-1 (ICAM-1) dan granulocyte-macrophage collonystimulating factor (GMCSF).54 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 32 perpustakaan.uns.ac.id 2.12. digilib.uns.ac.id FUNGSI DETOKSIFIKASI GLUTATHIONE Detoksifikasi dari benda asing atau metabolitnya adalah satu dari fungsi utama GSH. Senyawa electrophiles berkonjugasi dengan GSH secara spontan atau enzimatik dalam reaksi yang dikatalisasi oleh GSH S-transferase. Bentuk konjugat diekskresikan dari hepatosit ke dalam empedu. Metabolisme GSH terkonjugasi dimulai dari pemecahan γ-glutamyl oleh γ-glutamyltranspeptidase (GGT), meninggalkan konjugat cysteinyl-glicyne. Ikatan cysteinyl-glicyne dipecah oleh dipeptidase menghasilkan konjugat cysteine diikuti oleh N-acetylasi konjugat cysteine membentuk mercapturic acid yang kemudian diekskresikan ke urine atau empedu. Konjugasi dari senyawa electrophilic yang potensial toksis dengan glutathione adalah jalur detoksifikasi penting (gambar 6).46,49,52 Banyak konjugat GSH menjalani modifikasi enzimatik lanjut oleh hidrolisis dari konjugasi glutathione-S pada ikatan γ-glutamyl. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim γ-glutamyl transferase (γGT).52-56 Gambar 6. jalur mercapturic Dikutip dari (49) Biosintesis mercapturic acid awalnya meliputi konjugasi xenobiotic electrophilic dengan GSH. Langkah metabolik selanjutnya adalah hidrolisis konjugat glutathione (GSR) pada ikatan γ-glutamyl oleh γGT. Untuk mencapai tempat aktif dari γGT, GSR harus diekskresikan dari sel hepatik atau renal. Mercapturic acid kemudian to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 33 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dibentuk oleh pelepasan glysine oleh hidrolisis dan penambahan asetat. Mercapturic kemudian diekskresikan ke urine oleh filtrasi dan sekresi.49,51,.52 Reaksi kedua dalam pembentukan mercapturic acid setelah penghilangan γglutamyl GSH adalah hidrolisis cysteinylglycine atau S-derivative-nya. Hal ini dilengkapi oleh peptidase yang berlokasi di intraseluler atau berikatan dengan membran plasma. Langkah akhir meliputi asetilasi dari S-substituted cysteines. Mercapturic acid dibentuk di hati dan di ginjal.49,51,52 2.13. KERANGKA KONSEP Berdasar tinjauan pustaka di atas dapat diketahui bahwa reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi intrinsik dapat terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Cidera hati dapat disebabkan oleh obat itu sendiri atau metabolit obat. Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung metabolit obat. Toksisitas isoniazid dan antituberkulosis lainnya dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini.27,32 N-acetylcysteine adalah bentuk modifikasi dari asam amino cysteine, dengan atom nitrogen dari grup amino ditempelkan ke grup acetyl.40,41 Metabolisme ekstensif NAC terjadi di hati dan usus kecil tempat terjadi deasetilasi. Deasetilasi adalah proses enzimatik esensial untuk membentuk glutathione. Metabolisme pada manusia terutama dikatalisis oleh enzim acylase I. Setelah dideasetilasi, NAC menjadi L-cysteine, masuk ke dalam sel dan berperan sebagai prekursor sintesis glutathione. Cysteine yang terbentuk bergabung dengan glutamate membentuk glutamylcysteine dikatalisis oleh enzim glutamate-cysteine ligase. Selanjutnya glutamylcysteine bergabung dengan glycine membentuk glutathione (GSH) dengan dikatalisis enzim glutathione synthase.42-45 Glutathione tersebut digunakan untuk detoksifikasi komponen berbahaya sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh melalui empedu.46,49 Homeostasis glutathione intraseluler memainkan peran utama dalam memelihara lingkungan reduksi—oksidasi (redoks) intraselular dan mengatur sejumlah fungsi selular penting.51 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pergeseran rasio GSH/GSSG mempengaruhi aktivasi faktor transkripsi NF-κB. Stress oksidatif atau penurunan GSH dan peningkatan GSSG sebagai respons terhadap stress oksidatif menyebabkan ubiquination dan fosforilasi cepat yang kemudian diikuti degradasi inhibitor NF-κB yaitu IκB, hal ini adalah langkah penting aktivasi NF-κB. Ekspresi banyak gen yang terlibat dalam inflamasi diregulasi oleh NF-κB yang menghasilkan mediator respons inflamasi seperti inducible nitric oxide synthase (iNOS), sitokin proinflamasi interleukin (IL)-1β, TNF-α, dan IL-6, kemokin IL-8.54 Tumor necrosis factor dan FasL berikatan ke death receptors intraseluler, dan TNF/Fas receptor-associated death domain proteins (TRADD/FADD) akan mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi death-receptor complex juga disebut deathinducing signaling complex (DISC). Inisiator caspase 8 dapat memulai apoptosis melalui aktivasi langsung efektor caspase 3, 6 dan 7, tetapi jalur langsung ini terlalu lemah di dalam hepatosit untuk memediasi apoptosis. Oleh karena itu diperlukan mekanisme amplifikasi yaitu caspase 8 mengaktivasi protein pro-apoptotik Bcl-2 (misal Bid), hal ini menyebabkan MPT.35 Mitochondrial permeability transition menyebabkan nekrosis atau apoptosis bergantung pada availabilitas ATP.35 Cidera hati baik akut atau kronis menghasilkan peningkatan konsentrasi serum aminotransferase, aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT). Kedua aminotransferase terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam hati.39 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tanpa penambahan NAC hepatosit GSH(glutathione) netralisasi/detoksifikasi Hydrazine NFκB GSH Rifampisin/deasetil rifampisin? /GSSG (rasio) aktivasi GSH << Pyrazinamide/pyrazinoic acid? Gen proinflamasi IL-1β, IL-8, iNOS, TNFα TRADD/FADD Aktivasi Caspase8 Amplifikasi Bid, ceramide MPT Deplesi ATP masif Deplesi ATP tdk masif ATP citochrome C apaf 1 Apoptosome nekrosis sel hati ALT & AST aktivasi Caspase 9 efektor caspase 3,6,7 apoptosis sel hati Keterangan: MPT: mitochondrial permeability transition; TRADD/FADD: TNF, Fas receptor-associated death domain Dengan penambahan NAC Enzim Acylase I NAC L-cysteine hepatosit L-glutamate + L-cysteine + ATP ƴ glutamyl-L-cysteine + ADP enzimGlutamyl CyseineSynthase Ƴ-glutamyl-L-cysteine + glycine + ATP Enzim GSH synthetase GSH(glutathione) GSH >> + ADP netralisasi/detoksifikasi Hydrazine Rifampisin/deasetil rifampisin? GSH tetap >> GSH /GSSG (rasio) aktivasi NFκB Pyrazinamide/pyrazinoic acid? Keterangan: tidak terjadi aktivasi NFκB, tidak terjadi nekrosis sel hati to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 36 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.14. HIPOTESIS PENELITIAN 1. Terdapat peran NAC terhadap kadar glutathione total penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 2. Terdapat peran NAC terhadap kadar serum AST penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. 3. Terdapat peran NAC terhadap kadar serum ALT penderita TB paru terapi obat antituberkulosis. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1. DESAIN PENELITIAN Penelitian dilakukan secara studi klinik eksperimental. 3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di RS Dr Moewardi Surakarta dan pelayanan kesehatan jejaring pada bulan Mei sampai Juni 2012. 3.3. POPULASI Pasien yang datang ke RS Dr. Moewardi Surakarta dan pelayanan kesehatan jejaring dengan TB paru, belum pernah mendapat terapi obat antituberkulosis. 3.4. CIRI – CIRI SAMPEL Kriteria inklusi · Penderita terdiagnosis TB paru kasus baru dan belum mendapat terapi obat antituberkulosis. · Kadar serum ALT dan AST dalam batas normal. · Bersedia ikut dalam penelitian dan menadatangani lembar persetujuan. Kriteria eksklusi · Konsumsi alkohol. · Hepatitis virus. · Penyakit kronik · Infeksi HIV · Menggunakan obat hepatotoksik. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kriteria diskontinyu · Responden tidak terlacak lagi dalam follow up penelitian. · Responden mengundurkan diri dari penelitian. · Timbul efek samping terhadap pemakaian N-acetylcystein. 3.5. PEMILIHAN SAMPEL Sampel adalah pasien TB paru yang datang ke Poli Paru dan bangsal rawat inap paru RS Dr Moewardi Surakarta dan pelayanan kesehatan jejaring. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu pengumpulan sampel dilakukan secara berurutan sampai jumlah sampel terpenuhi. Perkiraan besar sampel Jika dihitung menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik numerik berpasangan adalah:57 N1 = N2 = (Zα + Zβ)S X1 – X2 2 Zα = deviat baku alfa Zβ = deviat baku beta S = simpang baku gabungan X1-X2 = selisih rerata minimal yang dianggap bermakna N1 = N2 = (1,64 + 1,44) 14,86 10 = 45,77 10 2 2 = ( 4,57)2 = 20,88 = 21 Jumlah subyek tiap kelompok adalah 21. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menurut Gay dan Diehl (1992;146) dalam Suhardi Sigit (1999;70)dikutip dari 58 menyatakan bahwa besar sampel harus besar , pada umumnya semakin besar sampel cenderung semakin representatif, hasil penelitian dapat lebih digeneralisasikan. Besar sampel menurut Gay dan Diehl juga tergantung dari jenis penelitian. Jenis penelitian dan sampel minimum yang disarankan sebagai berikut. Penelitian deskriptif 100 subyek Penelitian korelasional 50 subyek Penelitian kausal-perbandingan 30 subyek per grup Penelitian eksperimen 30 subyek per grup Berdasar pernyataan di atas maka penelitian ini mengambil sampel 30 subyek tiap kelompok. 3.6. CARA KERJA PENELITIAN Subyek penelitian adalah pasien yang terdiagnosis TB paru kasus baru dan belum mendapat terapi obat antituberkulosis di RS Dr Moewardi Surakarta dan pelayanan kesehatan jejaring diminta persetujuan penelitian. Sebelum mendapatkan terapi obat antituberkulosis pasien diambill darah venanya untuk diperiksa kadar glutathione total, serum AST, dan ALT. Setelah mendapatkan hasil pemeriksaan tersebut dan pasien memenuhi syarat untuk mendapat terapi obat antituberkulosis, pasien dipisahkan secara acak menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol mendapatkan regimen obat antituberkulosis rifampisin 10 mg/kgBB/hari, isoniazid 5 mg/kgBB/hari, pirazinamid 25 mg/kgBB/hari, etambutol 15 mg/kgBB/hari dan kelompok perlakuan mendapatkan regimen dan dosis yang sama ditambah NAC oral 600 mg dua kali sehari. Obat antituberkulosis pada kelompok perlakuan diminum bersamaan dengan NAC. Dua minggu (14 hari) kemudian pasien kembali diperiksa kadar glutathione total, serum AST, dan ALT. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3.7. ALUR PENELITIAN Penderita TB Kriteria inklusi/eksklusi Anamnesis Pemeriksaan fisik Foto toraks, sputum TB paru BTA +/- Penjelasan Penawaran Persetujuan(inform consent) Tidak setuju Setuju Memenuhi kriteria inklusi eksklusi Cek glutathione AST, ALT analisis statistik TB paru + OAT ktgr I TB paru + OAT ktgr I+ NAC 14 hari Cek glutathione AST, ALT analisis statistik 14 hari Analisis statistik Cek glutathione AST, ALT to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3.8. TEKNIK PEMERIKSAAN Berikut ini adalah teknik pemeriksaan kadar glutathione total, serum AST, dan serum ALT. Pemeriksaan kadar glutathione59 Prinsip kerja: Metoda yang berdasarkan pada pembentukan chromophoric thione. Penyerapan diukur pada 420 nm dibandingkan langsung dengan konsentrasi GSH. Terdapat tiga tingkat reaksi. Pertama larutan buffer dan pereduksi, tris (2-carboxyethyl)phosphine (TCEP), ditambahkan ke sejumlah glutathione teroksidasi (GSSG) menjadi keadaan tereduksi (GSH). Chromogen, 4-chloro-1-methyl-7-trifluoromethylquinolinium methylsulfate, ditambahkan membentuk thioethers dengan semua thiol yang ada di dalam sampel, adalah reaksi ke dua. Penambahan basa untuk mencapai pH diatas 13, suatu β-eliminasi spesifik untuk GSH-thioether yang dihasilkan di dalam chromophoric thione, adalah reaksi ke tiga. Bahan reagen: · Chromogen : 1-methyl-4-chloro-7-trifluoromethylquinolinium methylsulfate dalam 20 mL HCl · Pengembang warna : NaOH dalam 20 mL air · Agen pereduksi : Tris(2-carboxyethyl)phosphine (TCEP) dalam 20 mL HCl · Reagen presipitasi : Trichloroacetic acid (TCA) dalam 25 mL air · Buffer : potassium phosphate, diethylenetriaminepentaacetic acid (DTPA), Lubrol pH 7,8, 20 mL Tahap-tahap pemeriksaan: 1. Masukkan darah (0,5 mL) ke dalam tabung berisi antikoagulan dan campur dengan dibolak-balik 2. Tambahkan 100µL lysate ke dalam tabung microcentrifuge 3. Tambahkan 300µL reagen presipitasi ke dalam tabung 4. Putar-putar sekitar 15 menit to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5. Centrifuge pada 10.000 ɡ dalam 5 menit pada suhu ruangan 6. Kumpulkan supernatant untuk pengukuran. Pemeriksaan serum AST60 Prinsip kerja: AST Α-ketoglutarat + L-aspartat L-glutamat + oksaloasetat Enzim AST mengkatalisis keseimbangan reaksi tersebut. Peningkatan oksaloasetat diukur dengan reaksi indikator yang dikatalisis oleh malate dehidrogenase. MDH + Oksaloasetat + NADH + H L-malate + NAD+ Nicotinamide adenine dinucleotide tereduksi (NADH) dioksidasi menjadi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+). Kecepatan secara fotometri yang mengukur penurunan NADH sebanding dengan kecepatan pembentukan oksaloasetat dan juga aktivitas AST. Metode : spectrophotometry Jenis sampel : plasma heparin Volume : 50-100 µL Bahan reagen: Botol 1: · Tris buffer, pH 7,8 · L-aspartate 300 mmol/L · NADH (ragi) 0,23 mmol/L · MDH ≥ 0,53 U/mL (8,83 µkat/L) · LDH (mikroorganisme) ≥ 0,75 U/mL (12,5 µkat/L) 100 mmol/L Botol 2: Α-ketoglutarat 75 mmol/L to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tahap pemeriksaan: Pertama dilakukan proses quality control dengan menggunakan larutan pengontrol. Spektrofotometer digunaklan bila hasil AST berada pada interval 25,3 – 40,5 U/L, selanjutnya dilakukan pemeriksaan AST. Larutan reagen 1000 µL ditambah plasma heparin sebanyak 100 µL. Dilakukan inkubasi pada suhu 37˚C selama satu menit. Kemudian campuran plasma dan reagen dimasukkan ke alat penghisap di spektrofotometer yang telah diprogram untuk pemeriksaan AST. Pemeriksaan serum ALT61 Prinsip kerja: ALT α-ketoglutarat + L-alanin L-glutamat + piruvat Enzim ALT mengkatalisis keseimbangan reaksi. Peningkatan piruvat diukurkan dengan reaksi indikator yang dikatalisis oleh laktat dehidrogenase. LDH + Piruvat + NADH + H L-laktat + NAD Oksidasi NADH menjadi NAD+ terjadi pada reaksi kedua. Kecepatan penurunan NADH yang diukur secara fotometri sebanding dengan kecepatan pembentukan piruvat dan aktivitas ALT. Metode : spectrophotometry Jenis sampel : plasma heparin Volume : 50-100 µL Bahan reagen: Botol 1: · Tris buffer pH 7,3 125 mmol/L · L-alanin 625 mmol/L · NADH (ragi) 0,23 mmol/L · LDH (mikroorganisme) ≥ 1,5 U/mL (25 µkat/L) to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Botol 2: α-ketoglutarat 94 mmol/L Tahap pemeriksaan: Pertama kali dilakukan quality control dengan larutan pengontrol. Spektrofotometer digunakan bila ALT berada di interval 17,6 – 28,2 U/L. Kemudian dilakukan pemeriksaan ALT. Larutan reagen sebanyak 1000 µL ditambah plasma heparin sebanyak 100 µL. Dilakukan inkubasi pada suhu 37˚C selama satu menit. Kemudian campuran plasma dan reagen dimasukkan ke alat penghisap di spektrofotometer yang telah diprogram untuk pemeriksaan ALT. 3.9. ANALISIS DATA Analisis data menggunakan SPSS 17 untuk melihat perbedaan antar variabel menggunakan uji t maupun alternatifnya. Ukuran nilai statistik: Batas kemaknaan : - p > 0,05 : tidak bermakna - p < 0,05 : berbeda bermakna 3.10. DEFINISI OPERASIONAL 1. Umur: selisih hari kelahiran dengan ulang tahun terakhir pada saat penelitian dimulai 2. Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan 3. Tuberkulosis: penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex4 4. Tuberkulosis paru: kasus tuberkulosis yang mengenai parenkim paru22 5. Tuberkulosis paru BTA positif: gejala klinis TB paru dengan dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB paru yang ditetapkan klinisi.22 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 45 perpustakaan.uns.ac.id 6. digilib.uns.ac.id Tuberkulosis paru BTA negatif: klinis TB paru, didukung hasil foto toraks sesuai gambaran TB paru, dan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif.22 7. Obat anti tuberkulosis: obat anti tuberkulosis lini pertama yaitu isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, etambutol, streptomisin22 8. Penyakit kronis: diabetes mellitus, decompensatio cordis, penyakit paru obstruktif kronik, gagal ginjal kronik 9. Infeksi HIV: memenuhi tanda-tanda klinis kriteria mayor dan minor infeksi HIV 10. Gizi kurang (< 18,5 kg/m2), Gizi normal (18,5-23,5 kg/m2), gizi lebih (IMT >23,5 kg/m2), obese (IMT >30 kg/m2). BB Rumus : IMT = TB(m)2 11. N-acetylcysteine: antioksidan kimia bentuk modifikasi dari asam amino cysteine dengan atom nitrogen dari grup amino ditempelkan ke grup acetyl41 12. Glutathione: antioksidan endogen utama diklasifikasikan sebagai tripeptida yang ditemukan di setiap bagian tubuh.15,43 13. Enzim transaminase: enzim-enzim hati meliputi aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) 14. Hepatitis virus: inflamasi sel-sel hati disebabkan oleh infeksi virus 15. Obat hepatotoksik: obat yang menimbulkan efek toksik pada hati to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian ini melibatkan 62 penderita TB paru kasus baru di RSUD Dr. Moewardi, BKPM Klaten, dan Puskesmas seluruh wilayah Kota Surakarta. Dua penderita tidak menyelesaikan penelitian karena keduanya tidak terlacak pada hari terakhir penelitian. Jumlah akhir subyek yang mengikuti penelitian dan dianalisis sampai selesai penelitian adalah 60 orang yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok kontrol (n = 30) adalah subyek penderita TB paru kasus baru yang mendapat terapi regimen obat antituberkulosis rifampisin 10 mg/kgBB/hari, isoniazid 5 mg/kgBB/hari, pirazinamid 25 mg/kgBB/hari, etambutol 15 mg/kgBB/hari dan kelompok perlakuan (n = 30) mendapatkan regimen dan dosis yang sama ditambah NAC oral 600 mg dua kali sehari. Keluhan karena efek samping pemberian NAC seperti mual, muntah atau gangguan gastrointestinal lain tidak ditemukan pada kelompok perlakuan selama penelitian. 1.Karakteristik subyek penelitian Keseluruhan subyek penelitian sejumlah 60 orang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol terdiri dari laki-laki 16 orang (45,7%), perempuan 14 orang (56,0%), kelompok perlakuan terdiri dari laki-laki 19 orang (54,3%), perempuan 11 orang (44,0%). Hasil pemeriksaan BTA sputum kelompok kontrol BTA (+) 23 orang (51,2%), BTA (-) 7 orang (46,7%), kelompok perlakuan BTA (+) 22 orang (48,8%), BTA (-) 8 orang (53,3%). Berdasarkan karakteristik umur, rerata umur kelompok kontrol adalah 41,13 dengan standar deviasi 17,71. Rerata umur kelompok perlakuan 41,27 dengan standar deviasi 14,70. Berdasarkan karakteristik indeks masa tubuh (IMT), rerata IMT kelompok kontrol adalah 17,23 dengan standar deviasi 2,45. Rerata IMT kelompok perlakuan adalah 17,61 dengan standar deviasi 2,29. Tabel 2 memperlihatkan karakteristik subyek penelitian yang menunjukkan bahwa tidak to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 47 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dalam hal karakteristik jenis kelamin, umur, status BTA, dan IMT. Tabel 2. Karakteristik subyek Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status BTA Positif Negatif Umur (tahun) IMT (kg/m2) 2. Frekuensi Mean±SD K.kontrol Kel.Perlk K.kontrol K.perlk n = 30 n = 30 n = 30 n = 30 16(45,7%) 19(54,3%) 14(56,0%) 11(44,0%) Chisquare t p 0,43 23(51,2%) 22(48,8%) 0,77 7(46,7%) 8(53,3%) 41,13±17,71 41,27±14,70 17,23±2,45 17,61±2,29 - 0,03 0,97 - 0,61 0,55 Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total Pemeriksaan kadar serum AST, ALT, dan glutathione total dilakukan sebelum terapi OAT pada kelompok kontrol. Pemeriksaan kadar serum AST, ALT, dan glutathione total juga dilakukan pada kelompok perlakuan sebelum mendapat terapi OAT ditambah NAC. Pemeriksaan AST, ALT, dan glutathione total dilakukan kembali setelah 14 hari terapi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Perbandingan rerata kadar AST, ALT, dan glutathione total serta standar deviasi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum terapi maupun setelah 14 hari terapi dapat dilihat di tabel 3. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 3. Nilai mean ± SD dari AST, ALT, dan glutathione total Hasil laboratorium Kelompok kontrol (mean±SD) Kelompok perlakuan (mean±SD) p Sebelum terapi AST (U/L) ALT (U/L) Glutathione total (µM) 24,27 ± 8,88 19,67 ± 8,87 118,64 ± 68,78 20,97 ± 5,09 19,73 ± 12,71 145,54 ± 90,46 0,08 0,98 0,20 Setelah 14 hari terapi AST (U/L) ALT (U/L) Glutathione total (µM) 39,70 ± 56,48 41,67 ± 58,87 228,74 ± 179,01 21,50 ± 11,75 17,37 ± 14,89 418,98 ± 174,35 0,09 0,04 0,00 Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebelum terapi kadar rerata AST, ALT, dan glutathione total kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan tidak berbeda signifikan (p > 0,05). Kadar rerata AST kelompok kontrol berbeda tidak signifikan bila dibanding kelompok perlakuan (p = 0,09) pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi. Kadar rerata ALT dan glutathione total kelompok kontrol berbeda signifikan bila dibanding kelompok perlakuan pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi (p = 0,04 dan p = 0,00). Tabel 4. Perbandingan mean±SD sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi Variabel Sebelum terapi Setelah 14 hari terapi Kelompok kontrol AST (U/L) ALT (U/L) Glutathione total (µM) p 24,27±8,88 19,67±8,87 118,64±68,78 39,70±56,48 41,67±58,87 228,74±179,01 0,13 0,04 0,00 Kelompok perlakuan AST (U/L) ALT (U/L) Glutahione total (µM) 20,97±5,09 19,73±12,71 145,54±90,46 21,50±11,75 17,37±14,89 418,98±174,35 0,79 0,32 0,00 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kadar rerata AST sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi pada kelompok kontrol terdapat kenaikan tetapi menurut analisis statistik tidak berbeda signifikan (p = 0,13). Sementara itu kadar ALT pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan rerata sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi dan setelah dianalisis statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,04). Kadar glutathione total pada kelompok kontrol mengalami peningkatan saat sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi dan menurut analisis statistik terdapat perbedaan signifikan (p = 0,00). Kadar rerata AST pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat kenaikan rerata tetapi menurut analisis statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p = 0,79). Kadar rerata ALT pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat penurunan, tetapi menurut analisis statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,32). Kadar rerata glutathione total pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat peningkatan yang menurut analisis statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,00). Kadar glutathione total baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan terdapat peningkatan rerata tetapi peningkatan rerata kelompok perlakuan lebih tinggi. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 50 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)] reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk 41,43 menanggulangi efek buruk zat toksik. Analisis hasil penelitian ini bermaksud untuk mengetahui perbedaan kadar AST, ALT, dan glutathione total pasien TB paru terapi OAT tanpa pemberian NAC dibandingkan pasien TB paru terapi OAT ditambah NAC. 1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan penderita TB paru laki-laki lebih banyak dibanding penderita perempuan baik pada kelompok kontrol (54,3%) maupun kelompok perlakuan (45,7%) sesuai penelitian Arsyad Z di Padang (1996) yaitu 43% dan Zaman R di Pakistan (2011)12,62 Status BTA positif pada kelompok kontrol terdapat 22 orang (48,8%) dan pada kelompok perlakuan 23 orang (51,2%). Status BTA negatif pada kelompok kontrol sebanyak 8 orang (53,5%) dan pada kelompok perlakuan 7 orang (46,7%). Hasil ini lebih rendah bila dibanding penelitian Mahmood K et al di Karachi tahun 2005, yaitu BTA positif 59,7% dan BTA negatif 40,3%.8 Rerata umur subyek penelitian ini adalah 41,13 pada kelompok kontrol dan 41,27 pada kelompok perlakuan hal ini hampir sama dengan penelitian Khan H di Pakistan (2009) yaitu 42,10.6 Indeks masa tubuh (IMT) rerata pada penelitian ini adalah 17,23 pada kelompok kontrol dan 17,61 pada kelompok perlakuan, lebih rendah dibanding penelitian Anand C di India (2006) yaitu 18,02.4 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 51 perpustakaan.uns.ac.id 2. digilib.uns.ac.id Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total Serum aminotransferase AST dan ALT terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam hati. Aspartate aminotransferase juga secara difus digambarkan di dalam jantung, otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, berada di dalam sitosol dan isoenzim mitokondria, serum AST kurang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi kelainan hati. Alanine aminotransferase berada dalam jumlah banyak di dalam sitoplasma selular hati. Serum ALT berada dalam konsentrasi rendah di dalam otot skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan hati.19,35 Data dari tabel 3 memperlihatkan kadar rerata AST kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan signifikan baik sebelum terapi (p = 0,08) maupun setelah 14 hari terapi (p = 0,09). Berdasarkan data tabel 4 bahwa kadar rerata AST penderita TB paru kasus baru kelompok kontrol sebelum diterapi adalah 24,27±8,88, dan mengalami peningkatan setelah 14 hari terapi OAT (39,70±56,48) tetapi pada analisis statistik didapatkan hasil perbedaan tidak signifikan (p = 0,13) hal tersebut karena peningkatan tidak begitu besar dan masih dalam batas normal (< 40 U/L). Kadar rerata serum AST sebelum terapi OAT dan penambahan NAC 2 X 600 mg pada kelompok perlakuan mengalami sedikit peningkatan dibanding setelah 14 hari terapi OAT dan NAC yaitu dari 20,97±5,09 menjadi 21,50±11,75 tetapi dalam analisis statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,79). Berbeda dengan penelitian Baniasadi S et al menunjukkan peningkatan signifikan kadar serum AST kelompok kontrol, tetapi pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan yang tidak signifikan kadar serum AST. Peningkatan kadar serum AST tidak spesifik menunjukkan kelainan fungsi hati, banyak faktor dari organ lain yang mempengaruhi peningkatan kadar serum AST, sehingga dalam hal ini tidak memerlukan pembahasan tersendiri. Kadar ALT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang pada awalnya (sebelum terapi) berbeda tidak signifikan (p = 0,98) setelah 14 hari terapi terjadi selisih kadar rerata ALT yang signifikan (p = 0,04) (tabel 3). Tabel 4 menunjukkan peningkatan signifikan (p = 0,04) kadar ALT pada kelompok kontrol yaitu dari rerata 19,67±8,87 menjadi 41,67±58,87. Hal tersebut karena dari kelompok kontrol terdapat 6 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 52 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penderita yang mengalami peningkatan enzim transaminase diantaranya dengan ALT mencapai 213 U/L dan 219 U/L. Pada penderita tersebut OAT telah dihentikan dan disarankan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Kadar serum ALT pada kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi lebih rendah dibanding sebelum terapi, yaitu 19,73±12,71 dibanding 17,37±14,89. Secara analisis statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p = 0,32). Hasil penelitian Baniasadi S et al juga menunjukkan peningkatan signifikan kadar serum ALT kelompok kontrol sebelum terapi dibanding setelah 2 minggu terapi, tetapi pada kelompok perlakuan tidak terjadi peningkatan signifikan. Mencermati tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa penambahan NAC 600 mg dua kali sehari efektif mencegah kenaikan kadar ALT, walaupun bila dibandingkan kadar ALT awal dengan setelah 14 hari terapi pada kelompok perlakuan tidak terdapat selisih signifikan (p = 0,32), tetapi bila dibandingkan dengan kadar ALT kelompok kontrol yang mengalami kenaikan signifikan kemungkinan besar penurunan tersebut karena pengaruh pemberian NAC, mengingat kadar serum ALT adalah petanda spesifik untuk kelainan fungsi hati.5 Glutathione tersebar luas di seluruh sel tubuh binatang dan manusia. Dalam kondisi normal berada dalam konsentrasi tinggi (0,1 – 10 mM = 100 – 10.000µM ).55 Banyak penyakit kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), rheumatoid arthritis, infeksi, atau pajanan polutan yang berat dapat menyebabkan defisiensi glutathione. Hal ini karena tubuh menggunakan lebih banyak glutathione untuk menanggulangi infeksi dan membersihkan tubuh dari toksin.46,63 Venketaraman et al mengindikasikan bahwa kadar glutathione menurun pada pasien TB, dan penurunan ini berhubungan dengan imunitas protektif. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian NAC pada pasien TB mungkin meningkatkan jumlah glutathione dan respons imun host.5 Menariknya banyak studi juga mengindikasikan bahwa pasien dengan TB memiliki keseimbangan glutathione terganggu.50 Tabel 3 memperlihatkan kadar rerata glutathione total kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang pada awalnya berbeda tidak signifikan (p = 0,20) menjadi to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 53 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berbeda signifikan setelah 14 hari terapi (p = 0,00). Kadar rerata glutahione total kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi mengalami peningkatan dibanding sebelum terapi, yaitu dari 145,54 ± 90,46 menjadi 418,98 ± 174,35. Secara analisis statistik perbedaan tersebut signifikan, hal ini karena penambahan NAC sebagai penyedia cysteine sebagai bahan utama sintesis glutahione.5,15,49 Kadar rerata glutathione total pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan bila dibandingkan antara sebelum terapi (118,64±68,78) dengan setelah 14 hari terapi (228,74±179,01), dengan analisis statistik menunjukkan perbedaan signifikan (p = 0,00). Hal ini karena sumber cystein sebagai prekursor glutathione bisa didapatkan dari bahan-bahan makanan yang mengandung methionine yang akan dimetabolisme di hati menjadi glutathione melalui jalur transsulfurasi.49 Beberapa makanan dapat menjadi sumber cysteine dan atau methionine seperti kuning telur, cabe, brokoli, bawang merah, bawang putih dan sebagainya.63 Faktor tersebut menjadi variabel perancu pertama yang tidak dapat dikontrol. Kenaikan kadar rerata glutathione kelompok kontrol masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan dalam jangka waktu yang sama (14 hari), hal ini menunjukkan tersedianya cysteine mempercepat pembentukan glutathione oleh hati.53 Ketersediaan cysteine menjadi salah satu penentu utama laju pembentukan glutathione. Cysteine secara normal didapatkan dari diet dan pemecahan protein, dan di dalam hati dari methionine melalui jalur transsulfurasi. Kemampuan sel hati mengkonversi methionine menjadi cysteine penting karena hati menjadi tempat utama dari katabolisme methionine dan tempat penyimpanan utama glutathione. Jalur ini aktif dan khas untuk sel hati. Aktifitas jalur ini di dalam hati secara nyata rusak atau tidak ada pada fetus atau bayi baru lahir dan pasien sirosis.49 Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan tidak dapat diduga (idiosinkratik).27,32 Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik.34 Hepatotoksisitas kadangkala dapat diprediksi dan dose dependent, tetapi kebanyakan idiosinkratik.1 to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 54 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung metabolit obat. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini. Hepatotoksisitas pirazinamid termasuk dose dependent dan idiosinkratik. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).16,28,32 Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak setiap penderita TB paru yang diterapi OAT pasti terjadi hepatotoksisitas. Faktor idiosinkrasi tersebut dapat menjadi variabel perancu kedua yang juga tidak dapat dikontrol. Penderita TB paru di kelompok kontrol yang mengalami peningkatan enzim transaminase berjumlah 6 orang, 24 orang tidak terjadi peningkatan enzim transaminase. Penderita yang sel-sel hatinya tidak terpengaruh oleh OAT tetap dapat mensintesis glutathione secara baik melalui jalur transsulfurasi. Didukung oleh perbaikan klinik setelah mendapatkan terapi OAT maka asupan makanan lebih baik, sehingga glutathione dapat disintesis dari makanan sumber cysteine dan atau methionine. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kadar rerata glutathione total kelompok kontrol tetap mengalami kenaikan signifikan. Penderita TB paru pada kelompok kontrol terdapat 6 orang (20%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase (AST dan ALT), dua diantaranya disertai keluhan gastrointestinal, hal ini sesuai prevalensi hepatitis imbas obat antituberkulosis di negara berkembang yaitu 8% - 39%.1 Penderita TB paru di kelompok perlakuan terdapat hanya 1 orang (0,03%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian NAC memperkecil risiko hepatitis imbas obat walaupun masih perlu dievaluasi lebih lanjut faktor apakah penyebab kenaikan enzim transaminase tersebut. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. N-acetylcysteine berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total penderita TB paru terapi OAT. 2. N-acetylcysteine tidak berperan terhadap peningkatan kadar serum AST penderita TB paru terapi OAT. 3. Pemberian NAC menurunkan kadar serum ALT penderita TB paru terapi OAT. B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peran NAC dalam mencegah hepatitis imbas obat antituberkulosis dengan jumlah sampel pasien yang lebih banyak dan waktu follow up yang lebih lama agar generalisasi hasil penelitian dapat lebih baik. 2. Penelitian sebaiknya dilakukan pada penderita yang memiliki risiko tinggi hepatitis imbas obat seperti penderita dengan status asetilator lambat, penyakit hati kronik dan sebagainya, sehingga dapat diketahui efektifitas NAC dalam mencegah hepatitis imbas obat. 3. N-acetylcysteine dapat dipertimbangkan diberikan sebagai terapi tambahan pada penderita TB paru terapi OAT untuk mencegah hepatotoksisitas. to UNS user/ RSUD Dr.Moewardi, 2012 Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran commit Respirasi FK 56