1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sesuai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sesuai dengan yang dinyatakan dalam judul, penelitian ini ini bertujuan
untuk memahami penarasian mitos dalam karya sastra modern yang berbahasa
Inggris, khususnya The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Maggie Ann
Bower dalam bukunya Magic(al) Realism (2004:32) mengatakan “it must be
acknowledged that Latin America is an important location for magical realist
literary production” [perlu untuk diketahui bahwa Amerika Latin adalah lokasi
yang penting bagi produksi karya realisme magis]. Pernyataan ini mengacu pada
banyaknya karya-karya realisme magis, seperti karya-karya yang dihasilkan oleh
penulis realisme magis yang berasal dari Amerika Latin seperti Márquez,
Carpentier dan Isabel Allende. Akan tetapi keberadaan penulis-penulis diluar
Amerika Latin tidak pernah dilepaskan dari diskusi tentang realisme magis.
Penulis dari daerah-daerah lain, seperti Salman Rushdie, Toni Morrison dan
Gloria Naylor yang juga mengadopsi realisme magis kedalam karya-karyanya
tidak pernah dilepaskan dari pembicaraan dalam diskusi tentang realisme magis.
Salman Rushdie, dengan karyanya The Satanic Verses tidak pernah
dilepaskan sebagai topik diskusi dalam berbagai diskusi ilmiah maupun berbagai
buku yang membahas tentang realisme magis, seperti didalam Magic(al) Realism
karya Maggie Ann Bower, A Companion to Magic Realism yang dikompilasikan
1
oleh Hart dan Ouyang. Dalam berbagai diskusi The Satanic Verses menjadi ikon
pembanding dalam diskusi realisme magis bersama dengan karya-karya penulis
realisme magis lain seperti seperti Alejo Carpentier dengan The Kingdom of this
World (1949), Gabriel García Márquez dengan One Hundred Years of Solitude
(1967) dan pengarang lain yang juga mengikuti gaya penulisan ini kemudian
seperti Toni Morrison dengan Beloved (1988) dan masih banyak lagi yang
lainnya.
The Satanic Verses merupakan karya Rushdie yang keempat pada tahun
1989 yang menampilkan mitos-mitos yang berasal dari India-Pakistan. Rushdie
melihat dan menterjemahkan dunia Inggris dengan warna dari negara bekas
terjajah yang penuh dengan kepercayaan terhadap mitos dan takhyul ke dalam
sebuah teks sastranya, The Satanic Verse. Mitos-mitos dari dunia India-Pakistan
yang selama ini membangun cara pandang kultural terhadap kenyataan-kenyataan
yang ada, ia sisipkan bahkan ia aduk kedalam The Satanic Verses menjelma
menjadi alegori-alegori Jibril dan Setan.
Dengan demikian, Rushdie telah menciptakan sebuah rasa baru yang
berbeda dengan rasa yang dibangun oleh penulis-penulis realisme magis
sebelumnya yang banyak berasal dari negara-negara Amerika Selatan. Rushdie
menghadirkan ramuan khas yang berasal dari akar budaya India-Pakistan-nya, dan
menjadikan ramuan mitos-mitos tersebut sebagai suatu bentuk realisme magis
dengan cita rasa India.
Rushdie is simply pouring old Marquezian wine into new Indian
bottles.” (Hart, 2005:21)
2
[Rushdie hanya menuangkan anggur Marquezian yang lama
kedalam botol India yang baru]
Berdasarkan pengamatan selintas diatas maka penelitian akan dilakukan
terhadap pola relasi spesifik antara yang realistik dengan yang magis dalam novel
The Satanic Verses karya Salman Rushdie dengan kadar yang kurang atau lebih
dari apa yang disebut realisme magis. Dengan melihat pola relasi spesifik
tersebut, maka diharapkan kemudian gradasi realisme magis yang terdapat dalam
novel tersebut dapat teridentifikasi. Kemudian, sebagai sebuah karya sastra yang
menggunakan realisme magis sebagai strategi naratifnya, maka untuk melihat
karya sastra tersebut dalam kaitannya dengan pola relasi khusus terhadad dunia
mimesinya, maka konteks novel The Satanic Verses akan dilihat melalui dengan
fenomena-fenomena yang melatari kelahirannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada yang disampaikan dalam latar belakang penelitian
sebelumnya, maka penelitian ini akan memiliki tujuan untuk mengungkap gradasi
dan konteks The Satanic Verses sebagai sebuah karya Sastra realisme magis.
Untuk mengenali gradasi realisme magis yang terkandung di dalam The Satanic
Versesi maka perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana pola relasi spesifik antara
yang magis dan yang riil dalam narasi novel tersebut. Kemudian untuk melihat
fungsi dari penerapan strategi naratif realisme magis tersebut dalam The Satanic
Verses maka konteks karya sastra tersebut dengan latar fenomena mimesisnya
3
akan dibahas kemudian. Secara lebih spesifik maka rumusan masalah dapat
disimpulkan kedalam dua kelompok:
1. a.
Bagaimana pola relasi spesifik penarasian unsur-unsur magis dan
riil dalam novel The Satanic Verses.
b. Bagaimana gradasi hubungan unsur magis dan riil dalam novel The
Satanic Verses secara keseluruhan.
2. Bagaimana konteks novel The Satanic Verses terhadap dunia
mimesisnya, baik konteks sosial, ideologis maupun diskursif, ditinjau
dari fungsi penggunaan strategi dan teknik naratif realisme magis.
3. Tujuan Penelitian
Secara umum, dengan dilaksanakannya penelitian ini, maka penulis
berharap untuk memperluas lebih jauh wawasan dalam dunia sastra dan agar
dapat berpartisipasi dalam dunia ilmiah kesusastraan Indonesia maupun
internasional. Secara khusus, diharapkan melalui penelitian ini peneliti akan
memperoleh pengetahuan lebih mendalam tentang teknik naratif realisme magis
sebagai salah satu model teknik naratif pascamodern, terutama penerapannya
dalam The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Secara Praktis, dengan
bertambahnya pengetahuan tentang teknik naratif realisme magis maupun tentang
Salman Rushdie dan karyanya tersebut, diharapkan penulis dapat memperoleh
4
manfaat dan dapat membagikan pengalaman tersebut dalam masyarakat umum
maupun akademik.
4. Tinjauan Pustaka
Sebagai sebuah karya sastra yang kontroversial karena dipandang sebagai
sebuah karya sastra dengan tema kritik yang keras terhadap nilai-nilai agama
Islam, tampaknya juga turut menjadikan The Satanic Verses karya Salman
Rushdie sebagai sebuah karya sastra yang minim kajian dalam dunia akademik.
Hal ini terlihat dari tidak adanya satupun penelitian baik yang berupa skripsi, tesis
maupun desertasi yang membahas tentang The Satanic Verses tersebut ditemukan
di UGM.
Akan tetapi, penelitian terhadap novel tersebut tampaknya cukup wajar
untuk dilakukan di kalangan Barat, yang tampak dari dijumpainya berbagai
penelitian tentang novel tersebut. Hal ini juga mungkin dikarenakan oleh kultur
akademis yang berbeda yang terdapat di komunitas akademis Barat, yang lebih
memandang sebuah karya sastra sebagai bentuk produk budaya yang sekuler.
Salah satu penelitian dalam bentuk jurnal yang berhasil ditemukan
membahas tentang The Satanic Verses karya Salman Rushdie tersebut adalah
sebuah penelitian yang berjudul Identity and Religion of the Status Quo:The
Rushdie Affair in the West karya Andrew Aghapour di School of Humanities and
Social Sciences, College of Charleston di Amerika Serikat. Penelitian ini dimuat
dalam Chrestomathy: Annual Review of Undergraduate Research, volume 4, pada
5
tahun 2005, halaman 1-18 . Dalam penelitiannya ini, seperti yang dikatakan oleh
Aghapour pada bagian pembukaan esainya, ia menelaah tentang permasalahan
transformasi identitas sebagai imigran Muslim di Inggris dilihat dari perspektif
Muslim.
In this essay I will explore themes of identity formation and
immigration in The Satanic Verses in order to evaluate the critical
Muslim perspective, and to demonstrate the link between the
British state’s reactionary stance and its ideological interests.
(2005: 2)
[Dalam esai ini saya akan mengeksplorasi tema-tema formasi
identitas dan imigrasi dalam The Satanic Verses dalam rangka
untuk mengevaluasi perspektif Muslim kritis dan
untuk
mendemonstrasikan hubungan antara pendirian reaktif negara
Britania dan kepentingan ideologinya.]
Langkah ironis pemerintahan Britania dalam menyikapi kekontroversialan
The Satanic Verses mendapatkan sorotan dalam kajian ini. Struktur internal
naratif novel ini sendiri tidak menjadi fokus dalam pembahasan penelitian
tersebut. Aghbour menggunakan pengalamannya untuk membangun perspektif
sebagai seseorang yang ia deskripsikan sebagai sekularis dan mantan Muslim
untuk melihat fenomena tersebut.
Dalam penelitian tersebut Aghbour membagi pembahasannya ke dalam
empat bagian yaitu Models of Identity Formation (Model-model Formasi
Identitas), Identity Formation in The Satanic Verses (Formasi Identitas dalam The
Satanic Verses), The Muslim Perspective (Perspektif Muslim), Memes and
Religion of the Status Quo (Memes dan Agama Status Quo) dan yang terakhir
adalah The Rushdie Affair in Britain(Affair Rushdie di Britania). Pada bagian
6
Model-model Formasi Identitas, Aghbour membahas tentang parameter-parameter
yang digunakan dalam mempersepsi identitas yang dimaksud dalam penelitiannya
tersebut, yang membawa pada kesimpulan bahwa Rushdie menggunakan identitas
posmodern sebagai model bagi formasi identitas dalam karyanya tersebut. Dalam
pembahasan tentan Formasi Identitas dalam The Satanic Verses, Aghbour
mengemukakan tentang penerapan dari model yang digunakan oleh Rushdie
tersebut dalam novelnya, yang berujung pada kesimpulan bahwa Rushdie melihat
formasi identitas melalui pengalaman imigrasi. Pada subjudul Perspektif Muslim,
bentuk-bentuk unsur mitologis yang digunakan Rushdie untuk melihat formasi
identitas dalam karyanya tersebut dijabarkan. Memes dan Agama Status Quo
merupakan bagian yang menjelaskan bagaimana interaksi interkultural internal di
dalam komunitas bangsa maupun agama tersebut terjadi, dan menurut Aghbour,
komunitas Muslim Britania tampak menjadi sebuah bangsa dengan identitas
kolektif yang unitarian. Di bagian terakhir yaitu, Affair Rushdie di Britania,
Aghobour menyajikan analisis yang melihat posisi negara dalam menyikapi
kekontroversian novel tersebut dan peranan kelompok masyarakat yang dominan
terhadap konflik tersebut. Dalam bagian ini Aghbour sampai pada kesimpulan
bahwa Britania sebagai sebuah negara memposisikan dirinya sebagai regulator
sebuah agama baru yang ia sebut sebagai “Britishness” atau dapat dipahami
sebagai keBritaniaan atau yang dijelaskan oleh Aghbour sebagai agama status quo
yang mendorong ideologi hegemoni nilai-nilai kenegaraan yang menjunjung
kesetiaan terhadap negara Britania dan bahwa peranan kelompok atau meme
7
kultural dominan adalah Britania sebagai institusi negara itu sendiri.
Penelitian selanjutnya yang menggunakan The Satanic Verses sebagai
objek kajiannya adalah penelitian yang berjudul The Satanic Verses: Towards a
Viable and Productive Ethics of Representing Otherness yang ditulis oleh Robyn
Bloch. Dalam desertasinya tersebut Bloch menggunakan teori pasca kolonial
Homi K Bhabha sebagai alat analisisnya. Bloch membagi desertasinya ke dalam
lima bagian yaitu Introduction (Pengenalan), Language (Bahasa), Structure
(Struktur), Otherness and Subjectivity(Otherness dan Subjektifitas), Postcolonial
Women (Wanita Pascakolonial). Melompati bagian Pengenalan yang hanya
mengantarkan alasan penelitian tersebut, pada bagian Bahasa fokus pembahasan
di arahkan kepada tatanan bahasa maupun diksi yang digunakan dalam The
Satanic Verses. Pada bab selanjutnya yaitu Struktur, pengkajian diarahkan kepada
bangunan cerita novel tersebut secara keseluruhan. Kemudian pada Otherness dan
Subjektifitas, permasalahan yang dikupas adalah bentuk-bentuk otherness dan
subjektifitas yang sesuai dengan format teori Bhabha. Dan pada bagian akhir yaitu
Wanita Pascakolonial, pengkajian berlanjut pada pengenalan masalah feminis
seperti yang terlihat pada tokoh-tokoh wanita dominan pada novel The Satanic
Verses.
5. Landasan Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penilitian ini ialah teori
naratif Wendy B. Faris sesuai dengan yang ia tuliskan dalam bukunya Ordinary
8
enchantments : magical realism and the remystification of narrative yang
mengkhususkan diri dalam menelaah tentang narasi karya fiksi bergenre realisme
magis. Menurut Faris fiksi realisme magis memiliki lima ciri yang terkandung
didalamnya yaitu The Irrudicble Elements, Phenomenal Worlds, Merging Realms,
Unsettling Doubts dan Disruptions of Time, Space and Identity.
Pertama ia menjelaskan elemen inti yang menjadikan realisme magis
sebagai sebuah genre fiksi yang memiliki unsur magis di dalamnya, yaitu unsur
yang ia sebut sebagai irreducible elements. Menurut Faris “Element Irreducible”,
dengan menggunakan pendapat David Young dan Keith Hollaman adalah sesuatu
yang tidak dapat kita jelaskan sesuai dengan hukum-hukum semesta empiris
sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Barat.
The ‘irreducible element’ is something we cannot explain
according to the laws of the universe as they have been formulated
in Western empirically based discourse, that is, according to
‘logic, familiar knowledge, or received belief,’ as David Young and
Keith Hollaman describe it. (2004: 7)
[‘Element Irreducible’ adalah sesuatu yang tidak dapat kita
jelaskan sesuai dengan hukum-hukum semesta sebagaimana yang
telah diformulasikan oleh narasi Barat yang berdasarkan secara
empiris, yaitu, menurut ‘logika, pengetahuan umum, atau
keyakinan yang dianut’, sebagaimana yang digambarkan oleh
David Young dan Keith Hollaman.]
Suara Naratif melaporkan peristiwa-peristiwa – magis – yang luar biasa,
dengan cara yang biasa, sehingga ia terasa menjadi sesuatu yang seperti (juga)
nyata.Elemen irreducible ini, di dalam fiksi tersebut ditempatkan dalam posisi
yang terkesan tidak istimewa, ia menjadi sesuatu yang seolah-olah merupakan
9
bagian dari fenomena biasa dalam kehidupan. Keganjilan yang disuarakan oleh
narator sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan bagian dari kehidupan yang
biasa tersebut kemudian menjadi model bagi pembaca untuk juga melakukan
tindakan penerimaan yang sama pula. Yang magis itu sendiri, walaupun tampak
mustahil untuk menjadi bagian dari fenomena kehidupan riil, secara paradox tetap
terlihat sebagai sesuatu yang nyata dan benar-benar terjadi cara penggambaran
yang jelas, mendetail dan kongkrit yang merupakan teknik penarasian realisme.
Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh Faris, kehadiran yang magis
tersebut tidak terlahir secara semena-mena mengingkari kenyataan sehingga
membuat pembacanya menjadi terpukau karena keanehan itu, namun ia juga
mempertahankan ciri khasnya sebagai suatu fenomena yang berbeda dan janggal
bagi kehidupan yang riil. Dengan kata lain, ia menjadi sesuatu yang tidak masuk
akal di satu sisi, namun mutlak kehadirannya dalam fenomena riil.
In short, the magic in these texts refuses to be entirely assimilated
into their realism; it does not brutally shock but neither does it
melt away, so that it is like a grain of sand in the oyster of that
realism. (2004: 9-10)
[Pendek kata, yang magis di dalam teks seperti ini mengelak untuk
secara keseluruhan terasimilasi kedalam realisme mereka; yang
magis tidak secara brutal mengejutkan namun juga tidak juga larut
ke dalamnya, jadi dapat dikatakan seperti butiran pasir di dalam
(daging) kerang realisme.]
Sebagai imbas dari keganjilan yang tidak dapat dibantahkan tersebut,
maka konsep-konsep logika empiris yang familiar dalam sudut pandang pembaca
pada umumnya mengalami gangguan. Selama masa gangguan ini kemudian, maka
pembaca kemudian mencoba mengisi kembali ruang logika yang terganggu
10
tersebut dan mencoba menterjemahkan dan menyesuaikan bentuk logika yang
baru tersebut dengan alam logika yang selama ini menghegemoninya. Dengan
demikian maka pembaca memiliki peran yang aktif dalam penciptaan writerly
text.
And because it disrupts reading habits, that irreducible grain
increases the participation of readers, contributing to the
postmodern proliferation of writerly texts, texts co-created by their
readers. (2004: 9-10)
[Dan karena ia mengganggu kebiasaan membaca, maka butir
irreducible meningkatkan partisipasi pembaca, sehingga
berkontribusi terhadap penyuburan posmodern atas writerly text,
teks yang di ko-kreasikan oleh pembacanya.]
Faris mengatakan bahwa elemen-elemen magis yang digunakan dalam
fiksi realisme magis biasanya menyoroti isu sentral dalam teks. Isu sentral yang
menjadi sorotan dapat terlihat dalam konteks-konteks fenomena yang terjadi di
luar teks karya sastra itu sendiri. Ia berkaitan dengan semangat kritik
dekonstruktif yang seringkali menjadi misi fiksi-fiksi realisme magis.
In the course of highlighting such issues, irreducible magic
frequently disrupts the ordinary logic of cause and effect. (2004:
10)
[Sehubungan dengan pensorotan isu-isu tersebut, magis irreducible
seringkali mengganggu logika tentang (hubungan) sebab akibat.]
Dalam menyoroti isu sentral, sering kali mengganggu logika sebab-akibat.
Untuk mengacaukan mengacaukan logika sebab akibat tersebut, maka unsurunsur magis yang terkait tampak diabaikan sehingga hubungan sebab-akibat
tersebutpun seolah-olah memiliki derajat yang sama dengan fenomena yang magis
pula. Sebaliknya, fenomena nyata justru tampak menjadi menakjubkan dan
11
konyol karena ketakjuban narator maupun tokoh-tokohnya atas fenomena
tersebut.
Menurut Faris salah satu sisi dalam realisme magis adalah sisi realismenya
yang ia sebut sebagai Phenomenal Worlds. Dunia ini adalah bagian yang riil
(aliran realisme) dari realisme magis yang mencegah fiksi tersebut agar tidak
menjadi bentuk fiksi fantasi yang melambung meninggalkan alam riil secara total.
Hal inilah yang membedakan realisme magis dari karya-karya sastra prosa dalam
bentuk fantasi dan alegori yang lain. Menurut Faris, dalam bagian phenomenal
worlds ini, penggambaran terhadap dunia diegenesis diadopsi dengan cara meniru
dunia real secara detail yang luas.
Realistic descriptions create a fictional world that resembles the
one we live in, often by extensive use of detail. (2004: 14)
[Penggambaran realistik menciptakan dunia fiksi yang menyerupai
dunia yang kita tinggali, sering kali dengan menggunakan detail
yang ekstensif.]
Selain itu, kehadiran dunia fenomenal adalah demi menjaga agar rasa
yang magis tumbuh dari dalam yang real, bukan sebagai sesuatu yang betul-betul
fantastis seperti halnya yang terjadi dalam karya-karya fiksi fantastis dan alegoris
yang mengalihkan dunia pembaca dari tataran dunia riil menuju dunia yang
dipenuhi dengan fantasi semata. Magis yang hadir dalam dunia riil bukanlah
sesuatu yang fantastis yang muncul entah darimana, namun ia adalah unsur
misterius yang bergetar dibalik dunia fenomenal. Dunia fenomenal yang menjadi
latar bagi unsur-unsur magis tersebut terbagi kedalam dua jenis, yaitu: {1}
12
kenyataan (yang real) didalam teks dan {2} kenyataan yang berlandaskan pada
sejarah. Bila mengacu pada referensi, kenyataan (sejarah) menjadi unik, kadang
menawarkan kenyataan alternatif. Kenyataan, baik jenis yang pertama maupun
yang kedua, menjadi menjadi jangkar bagi yang magis agar tidak terbang menjadi
cerita fantastis.
Bagian selanjutnya adalah interaksi antar kedua unsur tersebut, yang
menciptakan ruang liminal antar yang magis dan riil yang disebut oleh Faris
sebagai Unsettling Doubts. Dunia liminal ini mengundang keraguan yang hadir
ketika pembaca mengalami dua pemahaman yang kontradiktif (magis dan real)
atas peristiwa.
A third quality of magical realism is that before categorizing the
irreducible element as irreducible, the reader may hesitate
between two contradictory understandings of events, and hence
experience some unsettling doubts. (2004: 17)
Kualitas ke tiga realisme magis ialah bahwa sebelum menuju pada
pengkatagorisasian pada irreducible element sebagai irreducible,
sang pembaca mungkin saja mengalami keraguan diantara dua
pemahaman kontradiktif atas peristiwa-peristiwa, dan lantas
mengalami unsettling doubts (keraguan yang menggoyahkan)
Keraguan yang hadir ini terikat pada konteks budaya pembaca, apakah ia
akrab dengan budaya logis yang empirik yang mengasingkannya dengan logika
magis, atau sebaliknya, bila ia lebih dekat dengan budaya logika magis dan mitis,
maka ia juga tidak akan merasa janggal dengan kehadiran magis yang hadir dalam
fiksi tersebut. Terutama bagi para pembaca yang akrab dengan dunia empirik,
maka keraguan hadir karena yang magis (tradisional) dinarasikan dengan
13
perspektif (empirik) dan model realisme. Menurut Faris, keraguan yang terjadi
sering kali dipicu oleh sistem kepercayaan yang berbeda yang dipertemukan
dalam realisme magis.
The question of belief is central here, this hesitation frequently
stemming from the implicit clash of cultural systems within the
narrative, which moves toward belief in extrasensory phenomena
but narrates from the post-Enlightenment perspective and in the
realistic mode that traditionally exclude them.(2004: 17)
Pertanyaan mengenai keyakinan sangatlah utama di sini, keraguan
ini sering kali berdasar dari benturan implisit antar sistem budaya
di dalam narasi tersebut, yang membawa kepada keyakinan
terhadap fenomena ekstra-sensori namun dinarasikan dari
perspektif post-Enlightment dan dalam model realistik yang
biasanya memisahkan mereka.
Keraguan
dapat
mengaburkan
irreducible
element,
sehingga
menjadikannya tidak selalu mudah untuk dilihat sebagaimana demikian. Teks
sering mengacaukan sifat magis atau riil suatu fenomena dengan cara memancing
pembaca untuk mengkooptasinya sebagai sebuah ilusi dan kemudian mencegah
kooptasi tersebut dengan narasi-narasi argumentatif yang seakan-akan menyokong
kemagisan tersebut. Hal ini dapat berlangsung secara silih berganti sehingga
pembaca terlempar kesana-kemari antara mengkooptasi fenomena tersebut
sebagai bagian dari dunia riil atau menerimanya sebagai elemen magis.
Magical realist scenes may seem dreamlike, but they are not
dreams, and the text may both tempt us to co-opt them by
categorizing them as dreams and forbid that co-option. (2004: 17)
Adegan realisme magis dapat terlihat seperti mimpi, namun bukan
mimpi, dan teks dapat menggoda kita untuk mengko-optasinya
dengan cara mengkatagorikannya sebagai mimpi dan melarang kooptasi tersebut
14
Keraguan dapat mengaburkan irreducible element, seperti halnya dalam
adegan mimpi. Adegan realisme magis dapat tampak seperti sebuah adegan
mimpi, namun juga meragukan sebagai sebuah mimpi karena properti mimpimimpi tersebut yang luar biasa. Seperti yang diketahui bahwa pada sistem budaya
tertentu, mimpi sering dianggap sebagai bagian dari fenomena magis, entah itu
pewahyuan, firasat atau sebuah peramalan terhadap suatu peristiwa yang akan
terjadi. Kita sering digiring oleh teks untuk ragu, namun kita juga bisa ragu karena
propertinya yang mengagumkan dan jenis even tersebut apakah suatu unsur yang
magis atau fenomena riil.
Dalam karakteristik realisme magis yang selanjutnya, pembaca dapat
merasakan kedekatan dan nyaris bersatunya dua dunia. Dari sudut pandang
sejarah kultural, sering menyatukan dunia tradisional dan modern. Secara
ontologi, Merging Realms dalam realisme magis menyatukan dunia magis dan
material. Dan dilihat dari pemaduan kata realisme dan magis dalam genre ini,
maka teknik naratif ini dapat dilihat sebagai teknik yang mempertemukan dunia
sisi dunia yang berlawanan, yaitu menggabungkan elemen kenyataan dan
fantastis.
From a metafictional perspective, if fiction is exhausted in this
world, then perhaps these texts create another contiguous one into
which it spills over, so that it continues life beyond the grave, so to
speak. (2004: 22)
Dari perspektif metafiksional, jika fiksi menipis di dunia ini, maka
mungkin teks ini menciptakan singgungan yang lain, yang ke
tempat tersebut ia menumpahkan dirinya, sehingga ia dapat
berlanjut hidup di balik kubur.
15
Dalam proses penyatuan ke dua dunia tersebut, maka visi realisme magis
terlihat berada pada ruang antara dua dunia yang diperluas dan bukan lagi
merupakan masalah mana yang real maupun imajiner namun lebih kepada sisi lain
dari realitas yang tampak. Dari segi metafiksional, hal ini dapat dipahami sebagai
wujud fiksi mengalir dari dunia ini menuju ke dunia yang lain dan berlanjut
kemudian berlanjut disana. Dalam proses penyatuan atau pemindahan antar dunia
tersebut, realisme magis memburamkan batas antara yang fakta dan fiksi dengan
cara menghilangkan mediasi antara kenyataan yang berbeda.
Bagian terakhir yang merupakan ciri realisme magis menurut Faris adalah
Disruptions of Time, Space, and Identity. Dalam bahasa Indonesia konsep ini bisa
diterjemahkan sebagai Gangguan terhadap Waktu, Ruang dan Identitas. Pada
bagian ini, Faris membuka argumennya dengan mengutip Jameson yang
mengatakan bahwa bentuk-bentuk spasial dan temporal tradisional tererosi oleh
homogenitas yang dibawa oleh realisme.
As Fredric Jameson sets out the project of realism, one thing it
achieves is “the emergence of a new space and a new temporality”
because realism’s spatial homogeneity abolishes the older forms of
sacred space. Likewise the newly measuring clock and measurable
routine replace “older forms of ritual, sacred, or cyclical time.”
Even as we read Jameson’s description, we sense the erosion of
this program by magical realist texts—and by other modern and
postmodern ones as well. (2004: 24)
Seiring dicetuskannya proyek realisme oleh Fredric Jameson, satu
hal yang diperoleh ialah “kemunculan ruang yang baru dan waktu
yang baru” karena homogenitas spasial realisme menghapuskan
bentuk-bentuk ruang sakral lawas. Begitu juga jam penghitung
yang baru dan rutinitas yang baru mengganti “bentuk-bentuk lawas
dari ritual, sakral atau perputaran waktu”. Bahkan saat kita
16
membaca penjelasan Jameson, kita merasakan erosi terhadap
program ini oleh teks realisme magis – dan juga oleh teks modern
maupun posmodern.
Dan bila hitungan-hitungan temporal modern yang menjadi sasaran bagi
visi realisme magis untuk menghadirkan kembali bentuk-bentuk hitungan
temporal yang magis yang dibuang oleh paham modern seperti tersebut diatas,
maka bentuk-bentuk spasial yang juga diasingkan oleh konsep tata ruang modern
juga kembali dihadirkan melalui teknik naratif ini. Dalam realisme magis, batasbatas spasial magis yang semestinya terbuang terpisah dari spasial riil, mengalami
kebocoran ke seluruh bagian teks dan sebaliknya.
Like their nineteenth-century Gothic predecessors, many magical
realist fictions delineate near-sacred or ritual enclosures, but these
sacred spaces are not watertight; they leak their magical narrative
waters over the rest of the texts and the worlds they describe, just
as that exterior reality permeates them. (2004: 24)
Seperti pendahulu Gotik abad ke-sembilan-belasnya, banyak fiksi
realisme magis menggaris bawahi tindakan-tindakan ritual atau
nyaris-sakral, namun ruang sakral ini enggak keukeuh, ia
membocorkan cairan narasi magisnya ke seluruh teks dan dunia
yang ia gambarkan, yah macam kayak realitas luar yang
merembesinya.
Dalam penggambaran tentang identitas individu, sifat multivokal naratif
dan hibriditas kultural merasuk kedalam identitas karakter-karakter. Sifat-sifat ini
bahkan dapat mewujud kedalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang
dipahami dalam dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam
diri seseorang dan membedakan dirinya dengan entitas lainnya, mengalami
disrupsi sehingga tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang
individu.Dengan demikian ciri akhir ini merusak tatanan yang dikenal dalam
17
dunia modern dan menampilkan bentuk-bentuk lain yang termarjinalkan dalam
modernisme, sesuai dengan yang dikatakan Faris:
The multivocal nature of the narrative and the cultural hybridity
that characterize magical realism extends to its characters, which
tend toward a radical multiplicity. (2004: 25)
Sifat multivokal naratif dan hibriditas kultural yang menjadi ciri
realisme magis berlanjut menuju kepada tokoh-tokohnya, yang
cenderung mengarah kepada multiplisitas yang radikal.
Secara keseluruhan kelima karakteristik yang mendefinisikan karya fiksi
realisme magis tersebut memberikan gambaran bagaimana struktur naratif
realisme magis sebagai sebuah teknik naratif mempertemukan unsur-unsur magis
dan teknik naratif realisme di dalam dirinya. Melalui ke lima karakteristik itu juga
kemudian dapat terlihat bagaimana hubungan relasional di antara keduanya seperti
ketumpang tindihan antar unsur, bentuk liminal dari pertemuan dua unsur-unsur
tersebut dan disrupsi sebagai akibat interaksi unsur-unsur magis terhadap konsepkonsep realisme, yang dari situ dapat disimpulkan pula kemudian hubungan
hierarkis yang berupa gradasi antar unsur-unsur magis dan riil secara keseluruhan
di dalam karya fiksi realisme magis tersebut.
6. Hipotesis Penelitian
Melihat pada latar belakang, rumusan masalah dan landasan teori, maka
hipotesis yang dapat diambil dalam pengamatan sekilas terhadap fenomena naratif
realisme magis dalam novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie adalah
18
bahwa teknik realisme magis mempertemukan unsur-unsur magis dan unsur-unsur
riil. Unsur-unsur magis dihadirkan tetap dalam kerangka realisme sebagai jangkar
yang mengikatnya, sehingga ia tidak terbang menjauh menjadi suatu bentuk narasi
fantastis dan asing bagi kehidupan dunia riil. Secara kontekstual, realisme magis
dengan cara membawa kembali hal-hal yang termarjinalkan, digunakan sebagai
alat untuk menyampaikan kritik secara dekonstruktif terhadap fenomenafenomena sosial, wawasan ideologis maupun tatanan diskursif yang hegemonik
baik dalam ranah lokal maupun global. Dengan demikian, maka The Satanic
Verses karya Salman Ruhdie memiliki akar keterkaitan yang kuat dengan
fenomena-fenomena sosial yang dialami Rushie, latar belakang ideologisnya yang
mempertemukan
konsep-konsep
magis
dan
mitis
yang
berasal
dari
pengetahuannya dalam agama Islam dan Hindu yang berasal dari India dan
pengetahuannya empirisnya yang ia peroleh dari pendidikan sekulernya di Inggris
maupun dari agama Kristen yang merupakan agama yang dikenal lebih baik
dalam masyarakat Inggris, maupun konteks diskursif berdasarkan lokasi
geokultural yang menjadi latar bagi kehidupan Rushdie yang hidup dalam dunia
multikutural sebagai imigran India-Pakistan dengan latar agama Islam di Inggris.
7. Metode Penelitian
7.1. Data Primer dan Data Sekunder
Data Primer yang dijadikan acuan dalam penelitian ini ialah satuan-satuan tekstual
19
yang berasal dari novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie yang terkait
dengan tujuan penelitian dan teori Naratif Realisme Magis
Wendy Faris sesuai
dalam bukunya Ordinary Enchantments Magical Realism and Remystifiction of
Narratives. Data-data tekstual tersebut dapat berupa satuan-satuan kata, tanda
baca, frase, kalimat, paragraf ataupun rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam
novel tersebut.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah data yang berasal dari
teks-teks yang berada diluar The Satanic Verses karya Salman Rushdie, yang
dianggap terkait dan mendukung rumusan masalah dan asumsi kedua, tentang
konteks dan fungsi novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Secara
khusus, teks-teks yang dimaksudkan adalah teks-teks yang berasal dari sumbersumber penelitian ilmiah yang lain, baik berupa jurnal, buku maupun artikel serta
berita-berita yang ditulis oleh media-media baik online maupun cetak yang
dianggap mampu menjelaskan kondisi dan situasi sosial, ideologis maupun
diskursif yang menjadi konteks novel tersebut.
7.2. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data primer, maka satuan-satuan data yang disebutkan
sebelumnya tadi dikumpulkan dan dikelompokkan ke dalam dua kutub katagori
utama yaitu katagori data magis dan katagori data riil, yang kemudian dinamai
menurut teori Faris sebagai Irreducible Elements untuk katagori yang pertama dan
Phenomenal Worlds untuk katagori yang selanjutnya. Kemudian data-data yang
20
berada dalam dua kutub katagori tersebut dirangkai kembali hubungannya
interaksi diantara keduanya untuk melihat pola relasinya yang kemudian
dikelompokkan lagi menjadi dua katagori selanjutnya. Bentuk yang pertama yaitu
elemen magis yang saling bertumpang tindih dengan elemen riil, dan menciptakan
sebuah dunia hibrid atau nyaris hibrid yang kemudian dinamai menurut teori Faris
sebagai Merging Realms. Katagori yang selanjutnya menggunakan ciri yang
disebut Faris sebagai Unsettling Doubts yang merupakan suatu bentuk liminal atas
interaksi antara data-data magis dan riil yang disebutkan sebelumnya.
Selanjutnya, sesuai dengan ciri-ciri realisme magis yang dikemukakan Faris
dalam bukunya, katagori dibangun berdasarkan fungsi khusus dekonstruktif
unsur-unsur magis tersebut terhadap nilai-nilai modern tentang waktu, ruang dan
identitas yang kemudian diberikan nama Disruptions of Time, Space, and Identity.
Pada bagian konteks, pengumpulan data disesuaikan menurut latar belakang,
rumusan masalah dan hipotesis yang berkaitan dengan konteks novel The Satanic
Verses tersebut. Data-data tersebut kemudian dirangkum dan dikelompokkan
kedalam tiga katagori, yaitu konteks sosiologis, ideologis dan diskursif. Dalam
katagori sosiologis maka data-data yang terkait adalah data-data yang menjelaskan
secara spesifik tentang fenomena-fenomena sosial yang berkaitan baik secara
temporal maupun spasial dengan proses penciptaan novel The Satanic Verses.
Data-data yang berkaitan dengan penjelasan tentang wawasan ideologis –
terutama wawasan ideologis Salman Rushdie – yang berhubungan dengan
penulisan novel tersebut kemudian dikelompokkan dalam katagori Konteks
21
Ideologis. Terakhir, kelompok katagori diberikan nama Konteks Diskursif yang
berisikan data-data yang menampilkan fenomena-fenomena diskursus yang
tampak berkaitan dengan diskursus-diskursus yang menjadi konteks dalam novel
tersebut.
7.3. Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis terhadap data-data tersebut. Sesuai dengan konsep teoritik
yang digunakan, setelah data-data terklasifikasi ke dalam lima karakteristik
tersebut, maka perlu adanya verifikasi dan telaah untuk memastikan bahwa
masing-masing data berada pada elemen yang benar. Setelah data terletak pada
masing-masing elemen, maka harus dicari hubungan antara data-data realisme dan
magis. Hubungan itu ditentukan berdasarkan pada kaidah-kaidah logika yaitu
kemungkinan adanya kontradiksi, ketumpang-tindihan, atau hierarki antara
realisme dan magis. Ini diperlukan untuk mengukur dan melihat gradasi realisme
magis.
Langkah selanjutnya, terkait pertanyaan tentang konteks adanya pencarian
hubungan antara teks dengan konteks. Ini dilakukan dengan cara melihat
kesejajaran persoalan yang ada di dalam teks, maupun persoalan yang ada di luar
teks, yang berhubungan dengan konteks sosial, ideologis, maupun diskursif.
22
8. Sistematika Penyajian
Tesis ini tersusun atas empat Bab. Dalam Bab 1 Pendahuluan, dimulai
dengan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Landasan Teori, Hipotesis, Metode Penelitian yang terdiri atas Data Primer dan
Data Sekunder, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data, kemudian
ditutup dengan Sistematika Penyajian.
Bab 2 berjudul Analisis dan terdiri atas kelima karakteristik realisme
magis, yaitu Irreducible Elements, Phenomenal Worlds, Unsettling Doubts,
Merging Realms, dan terakhir Disruption of Time, Space and Identity. Pada setiap
bagian karakteristik, analisis dibagi kedalam pembahasan tentang Benda, Tempat,
Peristiwa dan Karakter yang berkaitan dengan ciri tersebut dan disesuaikan
dengan keterkaitan data yang diperlukan dalam pembahasannya. Pada bagian
penutup, diberikan judul Gradasi Antar Elemen.
Bab 3 merupakan pembahasan mengenai konteks novel The Satanic
Verses. Dalam bab ini struktur penyajiannya tersusun atas Konteks Sosial,
Konteks Ideologis dan Konteks Diskursif. Kemudian dibagian akhir terdapat
bagian Penutup.
Bab 4 adalah Kesimpulan yang berisikan kesimpulan dari seluruh analisis
sebelumnya.
23
Download