1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat, dewasa, tidak merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada tingkat yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Menurut tradisi, masa remaja adalah periode dari meningginya emosi, saat “badai dan tekanan” (Piagiet dalam Hurlock, 1996). Pada masa ini remaja mengalami perkembangan secara pesat baik secara fisik mupun psikis. Remaja juga sering didefinisikan sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa atau masa belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaanya dan sebagainya (Sarwono, 1994). Sebagaimana juga yang dikatakan Monks, dkk (2001) remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas, remaja tidak termasuk golongan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak. Dalam masa remaja, remaja cenderung memilih berteman jika dikaitkan dengan pembentukan perilaku (Bandura dalam Walgito, 2002) maka remaja membentuk perilakunya dengan membentuk contoh atau model. Remaja lebih memilih model yang sesuai dengan latar belakang sosial, 2 agama, atau sosial ekonominya sehingga bila seorang remaja salah dalam memilih model yang dijadikan sebagai panutannya, maka akan berpengaruh negatif terhadap remaja, serta bersifat menghambat dan merugikan proses-proses perkembangan (Gunarsa, 1991). Terhambatnya proses perkembangan remaja menimbulkan ketidakseimbangan bagi remaja, untuk menjaga ketidak seimbangan karena proses globalisasi yang cepat serta banyaknya tantangan dan rintangan pada remaja perlu diadakan peningkatan potensi dan sumber daya generasi muda, agar remaja bisa dituntut kesiapan fisik dan psikis serta berkualitas karena remaja merupakan generasi muda bangsa yang banyak berpartisipasi dalam pembangunan, baik secara formal maupun informal. Di sisi lain dari peningkatan kualitas sumber daya generasi muda tersebut, sebagian remaja nampak belum siap secara mental dalam menghadapi kemajuan yang serba cepat, banyak kasus perilaku menyimpang yang diperlihatkan remaja justru menurunkan potensi dan kebesaran bangsa dan menjadi sebuah masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang dapat merusak kebesaran bangsa adalah perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang menyimpang pada remaja di Indonesia saat ini tidak hanya menonjol tetapi juga semakin terbuka. Salah satu bentuk perilaku seksual menyimpang adalah pelacuran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pelacuran diartikan sebagai perihal menjual diri. Berdasarkan maknanya, mereka yang melacurkan diri akan lebih jelas apabila disebut sebagai pelacur. Pandangan Islam sendiri menyatakan 3 bahwa yang dimaksud pelacur adalah perempuan-perempuan nakal yang pekerjaanya berzina (Qordhawi, 1993). Pengertian pelacur menurut Mukhreji dan Hantrakul (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) adalah perempuan yang menjual diri kepada banyak laki-laki dengan sedikit atau tidak ada kesempatan untuk memilih pelanggannya. Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung No 6 tahun 2001, dalam bab I pasal 1 menyatakan bahwa pelacuran adalah sikap tindakan yang dilakukan seseorang baik perempuan atau laki-laki yang dengan sengaja menjajakan dirinya maupun menyediakan dirinya pada orang lain untuk mengadakan hubungan kelamin seksual diluar nikah atau perbuatan cabul lainnya dan tidak memilih lawannya, sebagai mata pencaharian dan dalih apapun juga (http://www.bandung.go.id). Menurut koentjoro dan Sugihastuti (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) pelacur adalah orang yang melacurkan diri atau menjual diri. Istilah pelacur dianggapnya lebih tepat dibandingkan dengan wanita tuna susila (WTS) dan pekerja seks komersil (PSK), karena (1) istilah pelacur sudah bias gender, sehingga dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan yang melacurkan diri; (2) arti pelacur baik secara denotatif dan konotatif lebih lengkap dan spesifik dan dapat memberikan makna ganda; (4) tidak semua pelacur adalah pekerja seks; (5) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan. Penyebab pelacuran sebenarnya bukan tunggal tetapi cenderung kompleks seperti hubungan dalam keluarga yang tidak baik, pendidikan rendah, kemiskinan, masa depan tidak jelas, tekanan penguasa, hubungan seksual terlalu dini, 4 pergaulan bebas, kurang penanaman nilai-nilai agama serta perasaan dendam dan benci kepada laki-laki (Sa’abah, 2001). Selanjutnya menurut Lestari dan Koentjoro (2002) dalam penelitiannya juga menemukan kecenderungan perempuan untuk menjual diri adalah karena pengaruh teman, aspirasi material, tren, mencari perhatian karena dirumah kurang merasa diperhatikan dan kompensasi dari kekecewaan. Adams (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) juga menyatakan bahwa pelacuran disebabkan karena adanya penolakan dan tidak dihargai oleh lingkungan, kemiskinan serta mudahnya mendapat uang ketika melacur. Kemiskinan memang selalu dituding sebagai penyebab utama pelacuran. Hal ini tampaknya belum tentu benar karena ada masyarakat miskin yang tidak selalu menjadi pelacur, tetapi bisa menjadi tenaga kerja wanita (TKW), pembantu rumah tangga ataupun buruh pabrik. Berdasarkan hasil pengujian analisis diskriminan oleh Nitimiharjo (2000) membuktikan bahwa sistem kepribadian dan lingkungan mempunyai peranan dalam perilaku melacurkan diri. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa aspek-aspek pada sistem kepribadian memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan pada sistem lingkungan dalam memunculkan perilaku melacurkan diri. Menurut Lestari dan Koentjoro (2002) faktor utama membentuk perilaku melacurkan diri adalah faktor kemiskinan dan kepribadian. Faktor kepribadian yang dimaksudkan di sini adalah harga diri. Salah satu masalah kepribadian yang perlu mendapatkan perhatian adalah kondisi harga diri yang rendah. 5 Harga diri merupakan kunci keberhasilan dan kegagalan. Juga merupakan kunci dalam memahami diri kita sendiri dan diri orang lain. Individu yang mempunyai harga diri yang rendah sering menunjukkan perilaku yang kurang aktif, atau bersikap pasif, kurang percaya diri, tidak mampu mengekspresikan dan mempertahan diri, terlalu lemah untuk mengatasi dan menghadapi kekurangannya, sering dihadapkan oleh persoalan-persoalan dari dalam dirinya, serta cenderung menolak dirinya, menunjukkan sifat tergantung, dan biasanya mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi. Individu yang mempunyai harga diri yang kokoh berarti merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sedangkan individu dengan harga diri yang rapuh berarti merasa tidak cocok dengan kehidupan, merasa bersalah, bukan terhadap masalah-masalah kehidupan atau lainnya, tetapi merasa bersalah terhadap diri sendiri. Semakin kokoh harga diri seseorang, semakin hormat dan bijak dia dalam memperlakukan orang lain (Branden, 2001). Masih menurut Branden (2001), harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self-confidance) dengan penghormatan diri (self-respect). Harga diri menggambarkan keputusan seseorang secara implisit atas kemampuan dalam mengatasi tantangan-tantangan kehidupan dan hak seseorang untuk menikmati kebahagiaan. Harga diri memungkinkan manusia mampu menikmati dan menghayati kehidupan, sehingga seseorang yang gagal memilikinya akan cenderung mengembangkan gambaran harga diri yang semu untuk menutupi kegagalannya itu. 6 Sementara itu Chaplin (2002) memberikan pengertian tentang harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan, orang lain. Selanjutnya Lestari dan Koentjoro (2002) menyimpulkan bahwa harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang mengarah pada kebahagiaan diri yang dirancang dan dilaksanakan oleh individu yang sebagian berasal interaksinya dengan lingkungan, penerimaan dan perlakuan orang lain yang ditujukan pada dirinya serta didalamnya terkandung adanya perasaan menyukai dirinya sendiri. Coopersmith, dkk., (dalam Lestari, 2002) menyatakan bahwa harga diri bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, dengan sendirinya ataupun dibawa sejak lahir, tetapi melalui suatu proses dan pembentukannya dimulai dari masa kanak-kanak serta perkembangannya terjadi sepanjang hidup. Harga diri ini terbentuk dan berkembang melalui interkasi dengan lingkungan, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Upaya untuk menjaga harga diri masih cukup kuat, karena tidak ada orangtua yang bangga mengetahui anaknya menjadi pelacur, atau tidak ada keluarga yang merasa senang mengetahui salah satu anggota keluarganya menjadi pelacur. Mereka hanya mampu berharap suatu saat jalan itu akan terbuka lebar, agar mereka bisa menghilangkan beban tersebut, sehingga mereka mampu melihat dirinya sebagai orang yang berharga dan menghargai diri mereka sendiri. Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan diatas maka peneliti bermaksud mengajukan permasalahan “bagaimana harga diri pada pelacur remaja Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Harga Diri Pada Pelacur Remaja “. 7 B. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi remaja menjadi pelacur dan pemahaman harga diri pada pelacur remaja. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis adalah bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu psikologi khususnya psikologi sosial. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut: a. Bagi para pelacur remaja agar dapat memahami lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya cara menghargai diri sendiri agar menjadi individu yang lebih berharga dalam kehidupannya. b. Bagi orangtua, untuk lebih melakukan pengawasan yang ketat pada remaja, sehingga dapat meminimalisasi kegiatan remaja yang mengarah pada tindakan negatif. c. Bagi peneliti lain agar penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.