BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Nosokomial 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pneumonia Nosokomial
2.1.1. Definisi Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi yang berkembang setelah 48 jam setelah
masuk rumah sakit dan tidak terjadi atau tidak terinkubasi pada saat masuk rumah sakit
(Tablan dkk., 2004).
Menurut pedoman American Thoracic Society (ATS), pneumonia nosokomial atau
Hospital Acquired Pneumonia (HAP) didefinisikan sebagai infeksi paru-paru yang dimulai
pada pasien yang belum di intubasi dalam waktu 48 jam setelah berada di ruang rawat
intensif . Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah bentuk pneumonia nosokomial
yang dimulai lebih dari 48 jam setelah pasien diintubasi. (ATS ,2014).
2.1.2. Klasifikasi Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Nosokomial dapat diklasifikasikan berdasarkan onsetnya, yaitu
dibedakan menjadi dua, pneumonia nosokomial onset awal dan pneumonia nosokomial
onset lanjut. (America Thoracic Society ,1995)
1. Pneumonia nosokomial onset awal
Pneumonia yang terjadi sebelum hari kelima rawat inap (ATS, 1995) Pneumonia
nosokomial onset awal dibagi menjadi dua yaitu tanpa pemberian antibiotik
sebelumnya
dan
dengan
pemberian
antibiotik
sebelumnya.
Pneumonia
nosokomial onset awal tanpa pemberian antibiotik sebelumnya kemungkinan
besar berasal dari mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komunitas dan
disebabkan
oleh
mikroorganisme
bukan
resisten
seperti
Streptococcus
pneumonia, Enterobacteraciea, Haemophilus influenzae, dan methicillin-sensitif
Staphyloccous aureus. Pada pneumonia nosokomial onset awal dengan pemberian
antibiotik jangka pendek sebelumnya umumnya juga disebabkan oleh
mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komuniti ditambah dengan sedikit
penyebab bakteri gram negative (Trouillet dkk., 1998).
2. Pneumonia nosokomial onset lanjut
Pneumonia nosokomial onset lanjut adalah pneumonia nosokomial yang terjadi
pada hari rawat kelima atau lebih. Pneumonia nosokomial onset lanjut dibagi
menjadi tanpa pemberian antibiotik sebelumnya dan dengan pemberian antibiotik
sebelumnya. Pneumonia nosokomial onset lanjut tanpa pemberian antibiotik
sebelumnya umumnya yang berasal dari mikroorganisme yang serupa dengan
mikroorganisme pada pneumonia nosokomial onset awal ditambah dengan bakteri
gram negatif yang resisten terhadap cephalosporin generasi pertama. Sedangkan
pneumonia nosokomial onset lanjut dengan pemberian antibiotik sebelumnya
sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik,
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, dan gram positif
seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Kieninger dan
Lipsett, 2009).
Pada sebelum ini , untuk membedakan pneumonia onset awal (4 hari pertama) dan
pneumonia onset akhir (setelah 4 hari) dari ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah
sangat
umum. Pneumonia onset awal diyakini bahawa penyebab terutama adalah
disebabkan oleh bakteri gram negatif, seperti Haemophilus influenzae, dan methicillin
(meticillin) sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan Streptococcus pneumoniae.
Manakala patogen penyebab pneumonia nosokomial onset lanjut yang paling umum ditemui
adalah bakteri gram negative dengan tingkat resistensi antibiotik yang lebih tinggi seperti,
Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp.atau methicillin-resistant S. aureus (MRSA).
(Antimicrobial Agents and Chemotheraphy,2009).
2.1.3. Patogenesis Pneumonia Nosokomial
Patogenesis pneumonia nosokomial terjadi apabila mikroorganisme memasuki ke
saluran napas bagian bawah. Sistem pernapasan manusia memiliki berbagai mekanisme
pertahanan tubuh seperti barier anatomi, refleks batuk, sistem imunitas humoral dan seluler
yang diperantarai oleh sel seperti fagosit, baik itu makrofag alveolar maupun neutrofil.
Interaksi antara faktor host dan faktor risiko akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen
di saluran napas bagian atas atau di lambung. Kolonisasi mikroorganisme pada saluran
napas bagian atas sebagai titik awal yang berperanan penting dalam terjadinya pneumonia
nosokomial. Apabila bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas
bagian bawah yang steril, maka pertahanan host yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia (Craven dan Steger,
1997).
Mikroorganisme yang berasal dari tubuh (endogen) maupun mikroorganisme yang
berasal dari luar tubuh (eksogen) merupakan penyebab utama pneumonia nosokomial.
Mikroorganisme
endogen
merupakan
penyebab
tersering
pneumonia
nosokomial
dibandingkan dengan mikroorganisme eksogen. (Craven dan Steger, 1997).
Patogenesis
pneumonia
nosokomial
sering
diawali
dengan
kolonisasi
mikroorganisme terutama bakteri gram negatif di saluran pernapasan bagian atas yiatu
(orofaring, nasal, dan sinus) atau di lambung dan selanjutnya bakteri tersebut akan
teraspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah. Kolonisasi diawali dengan perlekatan
mikroorganisme pada sel-sel epitel kerana pengaruh virulensi bakteri (vili, silia, kapsul, atau
produksi elastase atau musinase), ataupun pengaruh faktor host (gangguan mekanisme
pembersihan mukosilier akibat gizi buruk, penurunan kesadaran, atau penyakit kritis), dan
juga akibat pengaruh faktor lingkungan (peningkatan pH lambung dan terdapat musin dalam
sekresi pernapasan) (Craven dan Steger, 1997).
Pada orang normal, dengan pertahanan tubuh yang baik juga dapat ditemukan
bakteri gram negatif dalam jumlah yang sedikit sehingga mekanisme tubuh dapat
mengeliminasi bakteri tersebut. Pada orang dengan penyakit kritis akibat disfungsi barrier
pertahanan lokal ataupun adanya penurunan kesadaran maka akan terjadi peningkatan
kolonisasi mikroorganisme tersebut .(Craven dan Steger, 1997).
Beberapa pathogenesis terjadinya pneumonia nosokomial ,yaitu dengan melalui
empat rute( Torres.dkk, 2006).
1. Aspirasi, dimana floranya berasal dari orofaring, nasal, sinus dan lambung.
2. Inhalasi, misalnya daripada perlengkapan alatan medik seperti alat bantu nafas
pada pasien ventilator, alat penghisap dan nebulizer ataupun bronkoskopi yang
terkontiminasi.
3. Hematogen, yaitu penyebaran melalui darah dari organ tubuh yang lebih jauh dari
paru.
4. Translokasi langsung dari sisi tubuh
2.1.3.1. Aspirasi
Aspirasi sekresi orofaring, nasal, sinus, dan lambung berperan besar dalam
terjadinya pneumonia nosokomial.Sekitar 45% orang yang sehat akan mengalami aspirasi
dalam keadaan normal pada saat tidur, akan tetapi
pada pasien dengan gangguan
pembersihan mukosilier dan penurunan kekebalan tubuh terjadinya pneumonia nosokomial
(Kieninger dan Lipsett, 2009).
Faktor resiko yang terpenting terjadinya pneumonia nosokomial adalah aspirasi,
pada pasien dalam keadaan terintubasi atau sedang mendapatkan ventilasi mekanik, oleh
kerana mekanisme pertahanan tubuh alami antara orofaring dan salran pernafasan bahagian
bawah yang tidak dapat berfungsi dengan baik dan diperberat oleh faktor prediposisi lain
seperti penurunan motiliyas saluran cerna, penurunan refleks , kemampuan menelan yang
abnormal dan keterlambatan pengosongan lambung (Celis dkk.1998).
Lambung berperanan sebagai reservoir mikroorganisme penyebab pneumonia
nosokomial, hal ini dapat diperhatikan pada pasien memakai nasogastric tube atau
penggunaan obat-obatan yang meningkatkan asam lambung. Pada orang sehat, lambungnya
akan diisi dengan asam klorida, hal ini menyebabkan bakteri yang memasuki lambung tidak
mampu pertahanan, akan tetapi penggunaan antasida maupun penghambat H2 reseptor yang
meningkat pH lambung menjadi ≥ 4 menyebabkan mikrooorganisme patogen dapat
berkembang baik dengan konsentrasi tinggi di lambung (Inglis dkk.1993).
2.1.3.2. Inhalasi
Sumber eksogen (diperoleh dari lingkungan rumah sakit) merupakan salah satu
mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial. Misalnya, apabila terjadi kontaminasi
pada peralatan bantu nafas yang digunakan oleh pasien meskipun hal ini jarang ditemui
pada pasien dan umumnya terjadi pada penumonia nosokomial onset lanjut atau sebelumnya
pernah mendapatkan perawatan di ruang rawat inap ICU (Inglis dkk..1993 ).
Petugas ataupun peralatan medis juga dapat menjadi salah satu rute penularan
mikroorganisme
oleh
kerana
kolonisasi
mikroorganisme
langsung
pada
paru.
Mikroorganisme yang memasuki saluran pernfasan bawah secara langsung melalui inhalasi
aerosol akibat terkontaminasi peralatan medis, misalnya seperti peralatan nebulizer, alat
penghisap, ventilator ataupun peralatan anestesi. Saat cairan dalam reservoir nebulizer
terkontaminasi bakteri, maka aerosol yang dihasilkan akan mengandungi bakteri dengan
konsentrasi yang tinggi yang kemudian terdisturbsi ke saluran pernafasan bagian bawah
.Pasien yang terinhalasi aerosol amat berbahaya, terutama pada pasien yang diintubasi
kerana pipa endotrakeal , menyediakan akses langsung ke saluran pernafasan bagian bawah
(Kieninger dan Lipsett,2009).
2.1.3.3. Hematogen
Rute hematogen, yang merupakan salah satu penyebab pneumonia nosokomial
.Bakteri penyebabnya kebiasanya berasal dari bagian tubuh yang jauh dan menyebar secara
hematogen seperti akibat flebitis atau infeksi saluran kemih (Tablan dkk.,2004).
2.1.3.4. Translokasi
Pneumonia nosokomial, yang disebabkan oleh translokasi biasanya diperkirakan
terjadi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang lemah atau dengan imunosupresi, seperti
pada pasien dengan keganasan ataupun luka bakar, namun hipotesa tersebut belum
dibuktikan pada manusia. Translokasi bakteri mungkin berasal dari sisi tubuh yabg
berdekatan dengan paru, contohnya saluran percernaan, jantung maupun pleura melalui
epitel mukosa ke kelenjar getah bening mesenterika menuju ke paru (Tablan dkk,2004).
2.1.4. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan umunya dengan, secara klinis daripada
konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur darah. Diagnosis dengan
demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis CDC (Zul Dahlan, 1994).
2.1.4.1. Gambaran Klinik
Gambaran klinis berupa dengan gambaran pneumonia bakteril akut yang ditandai
dengan gejala misalnya demam tinggi, batuk produktif, dahak purulen yang produktif,
danjuga disertai sesak nafas. Tetapi pada pasien yang dirawat di rawat inap, hal ini tidak
dapat dikaitkan secara langsung karena berbagai keadaan penyakit yang gejalanya mirip
dengan pneumonia. Diagnosis pneumonia nosokomial sering tidak jelas, hal ini kerana
diagnosis pneumonia nosokomial adalah proses yang berhubungan dengan toksik dan alergi
obat atau inspirasi, atelektasis, emboli paru, ARDS gagal jantung kongestif, dan
trakheobronkitis. Pneumonia aspirasi bahan kimia bisa mirip dengan pneumonia bakteril.
2.1.4.2. Kriteria Diagnosis
Menurut kriteria dari Center for Disease Control and Prevention (CDC)
pneumonia dapat di diagnosis seperti berikut :
a) Onset pneumonia yang terjadi selepas 48 jam setelah pasien dirawat di rumah
sakit , dan menyingkirkan semua infeksi yang intubasinya terjadi pada waktu
pasien dimasukan ke rumah sakit.
b) Diagnosis pneumonia nosokomial juga dapat ditegakkan atas beberapa dasar :
 Foto toraks : ditemui infiltrat baru atau progresif
 Ditambah 2 diantara kriteria berikut : suhu tubuh > 38˚C
: secret purulen
: leukositosis
Gambaran 2.1: Foto Toraks Normal dan dengan Pneumonia Nosokomial
Menurut kriteria American Thoracic Society ( ATS ), pneumonia nosokomial berat
adalah seperti berikut :
a) Dirawat di rawat inap intensif
b) Gagal nafas, sehingga pasien memerlukan alat bantu nafas atau membutuhkan
oksigen untuk mepertahankan saturasi oksigen.
c) Ditemui perubahan pada gambaran radiologik secara progresif berupa pneumonia
multilobar atau kaviti dari infiltrat paru.
d) Terdapat bukti-bukti seperti sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan,
ataupun disfungsi organ misalnya :
 Syok , yaitu dimana tekanan sistolik < 90mmHg atau distolik <60mmHg.
 Pasien yang memerlukan vassopresor > 4jam.
 Jumlah urin yang dikeluarkan < 20ml/jam atau total jumlah urin yang
dikeluarkan 80ml/4jam.
 Pasien yang gagal ginjal akut dan harus dilakukan dialysis.
2.1.4.3. Pewarnaan gram dan kultur darah
Pewarnaan gram sputum dan kultur darah rutin dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pneumonia nosokomial. Namun demikian kontaminasi dapat terjadi dari koloni
bakteri di orofaring (Griffin dkk,1994 ).Kultur darah yang positif sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis pneumonia nosokomial ,tetapi hasil kultur darah yang positif jarang
sekali ditemui , dan hanya terjadi pada 6% pada kasus (Scheld dkk,1991 ). Pewarnaan Gram
dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang
endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan
≥ 106 colony-forming units/ml dari sputum, ≥ 105-106 colony-forming units/ml dari aspirasi
endotrracheal tube, ≥ 104-105 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL),
≥ 103 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat
yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri
patogen pada >20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk
menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus
dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN >25/lapangan
pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/lpk. Analisis gas darah untuk membantu menentukan
berat penyakit. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan
bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan
bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.(CDC,1994)
2.1.4.1. Penggunaan Protected Brush Specimen , dan Bronchoalveolor Lavage
Penegakkan diagnosis melalui cara ini, telah diteliti di Perancis, dan memberikan
hasil yang lebih dalam mendiagnosis pneumonia nosokomial yang lebih berkaitan dengan
ventilator mekanik (Fagon dkk,2000).
2.1.5
Penatalaksanaan
Berdasarkan panduan dari WHO pada tahun 2001 bahwa penatalaksanaan
pneumonia nosokomial tergantung dari mikroorganisme yang terdapat di negara serta rumah
sakit masung-masing. Rekomendasi untuk terapi empiris tergantung dari data epidemiologis
dan kepekaan mikroorganisme di daerah tersebut. Song dan Asian HAP Working Group
(2008) menyatakan bahwa kejadian pneumonia nosokomial lebih sering ditemukan di
negara-negara Asia dibandingkan di negara maju, hal ini berkaitan dengan prevalensi
mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, sehingga strategi penatalaksanaan
pneumonia nosokomial dengan pendekatan sebagai berikut :
2.1.5.1. Terapi Empiris Pada Pneumonia Nosokomial
Pendekatan terhadap terapi empiris dibahagi pasien ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal dan kelompok dengan pneumonia
nosokomial onset lanjut. Kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal tidak
berisiko terhadap mikroorganisme resisten berbagai antibiotik sehingga tidak memerlukan
terapi antibiotik spektrum luas, sedangkan kelompok dengan pneumonia nosokomial onset
lanjut berisiko terinfeksi mikroorganisme yang resisten terhadap berbagai antibiotik dan
berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Terapi antibiotik empiris
dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pola kepekaan kuman, ketersediaan
antibiotik dan biaya yang dikeluarkan (Song dan Asian HAP Working Group, 2008).
2.1.5.2. Pneumonia Nosokomial Onset Awal
Pengobatan terhadap pneumonia nosokomial onset awal menggunakan satu macam
antibiotik. Antibiotik tunggal yang direkomendasikan adalah cephalosporin generasi ke tiga,
fluoroquinolon, kombinasi inhibitor β-laktam/-laktamase, dan ertapenem. Tabel 2.5
menunjukkan terapi empiris antibiotik pada pneumonia nosokomial onset awal (Song dan
Asian HAP Working Group, 2008).
Tabel 2.1 Terapi Antibiotik Empiris Pada Pneumonia Nosokomial Onset Awal
Mikroorganisme penyebab
Terapi yang direkomendasikan
Streptococcus pneumonia
Cephalosporin generasi ke tiga (ceftriaxone,
Haemophilus influenzae
cefotaxime)
Staphylococcus aureus
Fluoroquinolon (moxifloxacin, levofloxacin)
Escherichia coli
Inhibitor β – laktam/ β – lactamase
Klebsiella pneumonia
(amoxicillin/clavulanic acid, ampicillin/sulbaktam)
Proteus species
Atau Carbapenem (ertapenem)
Seratia marcences
Cephalosporin generasi ke tiga ditambah makrolid
Monobactam dan clindamycin ( untuk pasien alergi
β –lactam)
(Song dan Asian HAP Working Group, 2008)
2.1.5.3. Pneumonia Nosokomial Onset Lanjut
Pengobatan pada pneumonia nosokomial onset lanjut menggunakan golongan
cephalosporin generasi ke tiga atau ke empat, golongan carbapenem anti pseudomonas, atau
piperacillin/ tazobactam dikombinasikan dengan fluoroquinolon atau aminoglikosida saja
atau ditambah dengan glikopeptid seperti vancomycin atau teicoplanin atau linezolid.
Seperti pada pneumonia onset awal, pengobatan pada pneumonia onset lanjut harus
disesuaikan dengan pola kepekaan kuman di daerah masing-masing. Tabel 2.5 menunjukkan
terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset lanjut.
Tabel 2.2 Terapi Antibiotik Empiris Pada Pneumonia Nosokomial Onset Lanjut
Mikroorganisme penyebab
Terapi yang direkomendasikan
Mirkoorganisme seperti pada tabel 2.5
Cefepime
ditambah mikroorganisme resisten
Carbepenem antipseudomonas
berbagai antibiotik seperti Pseudomonas
Inhibitor β-laktam/-laktamase (piperacillin-
aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL)
tazobactam)
MRSA Legionella pneumophila
+/- Fluoroquinolon (cipro/levofloxacin)
Atau
aminoglikosida (amikacin, gentamicin/
tobramycin) Atau linezolid
atau vancomycin
(Song dan Asian HAP Working Group, 2008)
Terapi empiris dengan linezolid atau glycopeptide tidak direkomendasikan sebab
pada sekitar 20% pasien pneumonia nosokomial onset lanjut disebabkan oleh Acinetobacter
spp. sehingga penggunaan antibiotik yang secara langsung melawan mikroorganisme ini
akan meningkatkan munculnya Staphylococcus aureus atau Enterococcus spp. yang resisten
terhadap vancomycin. Jika mikroorganisme penyebab adalah Acinetobacter spp. maka
pemilihan antibiotik yang dianjurkan adalah levofloxacin, moxifloxacin, atau gatifloxacin
dibandingkan ciprofloxacin (Song dan Asian HAP Working Group, 2008).
2.2.
Pola Kuman Pada Pasien Pneumonia
2.2.1. Jenis-Jenis Kuman Penyebab Pneumonia Nosokomial
Jenis kuman yang sering ditemukan adalah gram negatif dan gram positif. Bakteri
gram negatif lebih banyak ditemukan dengan urutan Pseudomonas sp, Klebsiella sp,
Escherichia coli, sedangkan gram positif yaitu Staphylococcus epidermidis, Streptococcus β
haemoliticus dan Staphylococcus aureus yang ditemukan dalam jumlah kecil. Hal ini
disebabkan kuman gram positif merupakan penyebab infeksi nosokomial terbanyak pada
era sebelum penggunaan antibiotika tahun 1940, tetapi setelah antibiotika digunakan maka
penyebab infeksi mengalami perubahan sehingga kuman gram positif jarang ditemukan.
(Refdinata, 2004 ).
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas.
Pneumonia nosokomial seringkali disebabkan oleh bakteri gram negatif dan sedikit
disebabkan oleh bakteri gram positif. Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial
bervariasi tergantung pada onset terjadinya. Pada pneumonia nosokomial onset awal
biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif terhadap berbagai antibiotik dan
serupa dengan mikroorganisme penyebab pada pneumonia komunitas, sedangkan pada
pneumonia nosokomial onset lanjut, seringkali disebabkan oleh mikroorganisme yang
resisten terhadap berbagai antibiotik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur,
bakteri anaerob dan virus jarang terjadi (American Thoracic Society, 1995).
Tabel 2.3 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Nosokomial
Pneumonia onset awal (pasien tanpa
Pneumonia onset lanjut (pasien dengan faktor
faktor risiko untuk mikroorganisme
risiko untuk mikroorganisme resisten berbagai
resisten berbagai antibiotik)
antibiotik)
Streptococcus pneumonia
Seperti pada kelompok pneumonia onset awal
Haemophilus influenza
ditambah:
Methicillin-sensitif Staphylococcus
Pseudomonas aeruginosa
aureus (MSSA)
Klebsiella pneumonia (extended spektrum b-
Bakteri gram negatif enteral: .
lactamase/ESBL)
Escherichia coli
Acinetobacter spp
Klebsiella pneumonia
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
Enterbacter spp.
(MRSA)
Proteus spp
Legionella pneumophila
Serratia marcescens
(Torres dkk., 2006)
Persentase bakteri yang resisten berbagai antibiotik lebih banyak ditemukan pada
pneumonia nosokomial onset lanjut seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) ditemukan sebesar 12%-60% pada onset lanjut, sedangkan pada onset awal sebesar
6%-30%, sedangkan Pseudomonas aeruginosa ditemukan pada pneumonia nosokomial
onset lanjut sebesar 1,5%-30% sementara pada onset awal sebesar 0-10% (Lagamayo,
2008).
Download