Politik Berparas Dinasti SURYA, Kamis, 29 April 2010 | 08:27 WIB Ahan Syahrul Peneliti pada Center for Public Policy Studies Surabaya Kemeriahan politik negeri ini yang memungkinkan semua orang dapat berpartisipasi dalam arena politik praktis, membuat hingar-bingar pertarungan politik menjadi riuh. Perang meraih dukungan yang paling nyata terlihat pada banyaknya spanduk, baliho, dan segala foto diri para calon pemimpin di sepanjang jalan. Selain fenomena artis yang hendak menjadi kepala daerah dalam pilkada 2010 nanti muncul fenomena politik dinasti, yaitu banyak muncul kandidat yang berasal dari kalangan keluarga sendiri. Di tahun 2010 ini, panggung pilkada langsung kedua dilakukan di 244 daerah. Rinciannya, tujuh pilkada provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota. Sebuah panggung pertunjukan yang menarik untuk diperebutkan. Keseksiannya terbukti membuat banyak orang tergiur untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin politik. Bahkan, di beberapa daerah aroma pertarungan keluarga mewarnai sejumlah pilkada. Yang cukup mencolok perhatian antara lain di Kabupaten Bone Bolango, Indramayu, Jembrana, Bantul, dan Kediri. Para kandidat yang maju bertarung sejatinya memiliki ikatan darah, entah hubungan suami istri, anak, kakak, atau adik (Kompas, 19/4). Di Bone Bolango, istri Bupati Ismet Mile, Ruwaida Mile maju menantang suaminya yang kembali akan maju berpasangan dengan Ibrahim Dau. Sedangkan sang istri yang dicalonkan PKNU akan maju berpasangan dengan Haris Hadju. Di tempat yang sama, Wakil Bupati Kilat Wartabone juga berhadapan dengan adik kandungnya, Mohammad Kris Wartabone yang berpasangan dengan Irwan Mamesah dan diusung PDIP. Di Indramayu, giliran ibu dan anak akan bertarung dalam pilkada untuk melanjutkan tradisi kepemimpinan keluarga. Anna Sophana adalah istri Bupati Irianto MS Syaifuddin dan Daniel Mutaqien anak dari Irianto MS Syaifuddin. Yang cukup unik dan menarik dari fenomena kandidat dari kalangan keluarga muncul dari Kabupaten Kediri. Kandidat yang muncul adalah istri bupati incumbent Soetrisno, yaitu Haryanti Soetrisno yang diusung Golkar, PDIP, PKNU, dan PPP akan bersaing dengan madunya Nurlaila yang akan diusung PAN, Gerindra, PDP, Partai Patriot, PKPI, dan PPRN. Gema dinasti politik juga merambah Ngawi. Keinginan untuk meneruskan dinasti politik membuat Ony Anwar Harsono, memantapkan langkahnya maju menggantikan ayahnya, Harsono yang menjadi Bupati Ngawi, setelah juga memperoleh dukungan dari PDIP, Golkar, PKS, dan PAN. Walaupun harus menggunakan jalur perseorangan istri Bupati Sujud, Martiani Setyaningtyas, yang akrab dipanggil Bu Tyas merupakan salah satu figur yang juga masuk bursa pencalonan bupati di Kabupaten Malang. Implikasi Politik Dinasti Konstelasi dinasti politik yang mulai menjadi tren dalam alam demokrasi kita membawa implikasi-implikasi politik. Semoga saja dinasti politik yang mulai terbangun bukan merupakan bencana politik sebab implikasi dari dinasti politik akan muncul otoriterianisme gaya baru. Hal ini karena politik dinasti yang membawa acuan berdasarkan darah dan keturunan akan membuat petak kekuasaan hanya untuk segelintir orang. Dengan mereproduksi kuasa bersama suami, istri, dan anak serta kerabat maka kekuasaan akan diwariskan secara tunggal dengan demikian seorang penguasa menciptakan tirani kekuasaan. Praktik politik yang berkembang adalah naluri politik Machiavelli, artinya yang paling penting bagi penguasa adalah mencapai stabilitas yang kukuh, kemudian mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, dan meningkatkan kekuasaanya pada setiap sendi kehidupan. Dalam paradigma politik, Machiavelli adalah halal dan sah-sah saja menggunakan berbagai cara dalam mempertahankan kekuasaan atas nama stabilitas politik. Karena itu, monopoli kekuasaan via politik dinasti adalah cara yang paling mudah untuk mempertahankan kuasa politik. Efek berikut dari lahirnya dinasti politik tentunya selain merusak sistem politik dan substansi demokrasi juga berpretensi melahirkan invasi kepentingan pribadi penguasa untuk kemudian melakukan tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itu sebuah keadaan yang membuat bangsa ini pernah terjerembab dalam kubungan kesengsaraan ketika runtuhnya Orde Baru. Parpol Kehilangan Taji Paras cantik politik dinasti secara substansial juga cerminan dari rapuhnya parpol dalam melahirkan politisi ulung dalam arena kepemimpinan politik. Sebagaimana diutarakan Alfan Alfian dalam bukunya Menjadi Pemimpin Politik, mendefinisikan politisi adalah orang yang terpanggil untuk berpolitik, dan politiknya adalah demi kesejahteraan umat. Akan tetapi, melihat realitas politik yang seakan diturunkan sebagai warisan, kita bisa melihat politik tidak lebih sebagai profesi, bukan menempatkan politik sebagai jalan untuk mengabdi. Bahkan yang terjadi kini adalah terancamnya demokratisasi dan kesetaraan oleh feodalisasi politik dinasti. Gejala-gejala yang tampak, memberikan kabar yang mengkhawatirkan bagi masa depan politik ketika parpol juga gagal memainkan tugas utamanya menghasilkan kader potensial untuk menjadi pejabat publik. Apalagi bila parpol juga turut berusaha melanggengkan tradisi dinasti politik demi kekuasaan semata. Menurut Alfan efek bola salju bagi parpol adalah kehilangan aktor sesungguhnya sebagai pemain inti yang menggerakkan aktivitas partai. Bukankah partai sudah menjadi partai keluarga yang tujuannya bukan lagi pengabdian melainkan memperkaya diri dan kroni-kroninya. Politisi artifisial alias aktor figuran yang ditampilkan partai akan menganggap partai sebagai kapal keruk kapital. Kendaraan yang paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya. Partai hanya dijadikan tempat numpang lewat dan sarang para oportunis untuk tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatisme. Dan pada akhirnya, partai akan ditinggalkan oleh konstituennya. Jika ini yang akan terjadi, selamat tinggal politik yang menyejahterakan seluruh komponen masyarakat. Partai tidak lagi punya daya tajinya. Masyarakat menjadi muak dengan politik dan para politisi karbitan itu akan merayakan kemenangannya. Politik dinasti, paras cantiknya menyimpan bara api yang menghancurkan.n