LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF DARI ORANG BIASA MENJADI TERORIS: TELAAH PSIKOLOGI ATAS PELAKU DAN PERILAKU TEROR Penelitian ini dibiayai oleh dana dari Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Anggaran 2011 Tim Peneliti Gazi, S.Psi, M.Si Ikhwan Lutfi, M.PsiT FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Terorisme menjadi ancaman global. Genderang perang global melawan terorisme telah ditalukan semua bangsa. Setiap negara dan kelompok merasa berkepentingan untuk mencegah dan memberantas terorisme karena mengancam peradaban dan kemanusiaan. Banyak pendekatan yang digunakan para akademisi dan pemegang kebijakan dalam memahami terorisme dan counter-terorisme. Selama ini, pendekatan psikologi telah banyak digunakan untuk melihat dan memahami masalah-masalah yang terkait terorisme dan bagaimana memberantasnya. Analisa dengan pendekatan psikologi terorisme relatif merupakan bidang yang baru yang muncul sebagai reaksi terhadap peristiwa-peristiwa teroris pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Pendekatan psikologi dianggap sebagai salah satu pendekatan yang penting untuk memahami terorisme, terutama berkaitan dengan bagaimana memahami proses psikologis dan psikososial hingga seseorang menjadi teroris. Kajian yang umumnya digunakan dalam pendekatan psikologi dalam memahami proses seseorang menjadi teroris lebih menitikberatkan pada motivasi atau proses psikologis. Kajian terorisme dengan menggunakan pendekatan terorisme dianggap sebagai bidang kajian dan penelitian yang rumit terutama karena kesulitan-kesulitan yang dialami peneliti dalam meneliti motivasi perilaku kaum teroris. Bahkan di awal berkembangnya kajian psikologi terorisme ada kesulitan tersendiri dalam menyepakati definisi terorisme. Namun, untuk kepentingan penelitian ini, diambil suatu definisi terorisme yang baku digunakan dan disepakati di kalangan para sarjana dan peneliti bidang terorisme, yaitu suatu varian khusus penggunaan ancaman kekerasan untuk melawan kekuasaan pemerintah (Crenshaw, 2007) Di Indonesia, kajian tentang proses menjadi teroris atau jalur menuju terorisme atau anak tangga menuju aksi terorisme tidak banyak dilakukan oleh akademisi karena dipandang sulit dan susah untuk dicapai, padahal sebenarnya hal sangat penting dan diperlukan. Kajian dan penelitian yang komprehensif tentang hal itu akan sangat berguna dan dapat membantu pemahaman kita tentang bagaimana mencegah dan memberantas terorisme. Harus diakui telah banyak ditulis buku-buku tentang terorisme atau yang berkaitan dengan terorisme dan para teroris, bahkan ada juga yang ditulis oleh para pelaku teror itu sendiri. Kendati demikian, tidak banyak orang yang mencoba melakukan analisa psikologis terhadap buku-buku tersebut, padahal kandungan yang terdapat di dalamnya dapat memberikan informasi dan data psikologis yang penting mengenai proses panjang keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme. Penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika. Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia. Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora “staircase to terrorism” (tangga menuju terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas. Kedua, lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika), Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas “the end justify the mean”. Kelima, lantai keempat, menganut gaya berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi terorismei. Dilema baru Amerika saat ini: Di satu sisi, Amerika menyatakan bahwa demokrasi dan kebebasan adalah semua manusia di semua kelompok masyarakat, lalu menginvasi Irak atas nama keingina memberikan demikrasi dan kebebasan kepada masyarakat Irak. Tetapi di sisi lain, Amerika terus mendukung diktator pro Amerika di sejumlah negara Islam termasuk di Saudi dan Mesir. Publik Muslim menyebut dilema tersebut dengan istilah kemunafikan Amerika. Spesialisasi terorisme menurut Moghadam, adalah pelaku bom bunuh diri, sumber inspirasi, ahli strategi, pembangun jaringan, ahli pembuat bom, manager sel, agitator dan guide lokal, anggota sel lokal, dan penyandang dana. Significance quest berbeda-beda untuk setiap level. Maka, atas dasar itulah, peneliti menganggap penting untuk melakukannya agar proses psikologis menjadi seorang teroris difahami banyak orang, sehingga pada gilirannya mereka akan dapat memberikan kontribusi penting dalam mencegah dan memberantas terorisme, terutama pada level individu dan kelompok kecil. Permasalahan Penelitian Buku-buku yang ditulis untuk membahas dan menguraikan tentang terrorisme, termasuk biografi, otobiografi atau novel berdasarkan kisah nyata tentang teroris telah banyak beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut cukup laris dibeli karena memiliki daya tarik tersendiri, kendati demikian, buku-buku tersebut lebih banyak ditempatkan sebagai informasi yang “common sense”, atau buku yang berfungsi sebagai kajian diluar kaidah ilmiah. Sehingga hal ini menyebabkan buku-buku tersebut belum banyak ditelaah dan diteliti oleh para akademisi dan peneliti terutama dalam konteks analisa psikologis mengenai motivasi dan proses menjadi teroris. Walaupun buku-buku biografi, otobiografi atau kisah nyata dipandang sebagai sumber sekunder, tetapi data dan informasi yang terkandung di dalamnya tergolong kaya. Terutama dalam menjelaskan proses psikologis seorang “biasa” bisa menjadi teroris yang melakukan perusakan dan pembunuhan atas nama ideologi agama tertentu. Buku-buku semacam itu banyak ditemukan di berbagai tempat seperti toko buku dan perpustakaan, tetapi masalahnya adalah tidak banyak, bahkan tidak ada satu penelitian yang berusaha mengkajinya dari perspektif ilmu psikologi. Pertanyaan Penelitian Untuk memudahkan kajian dalam penelitian ini, peneliti merasa perlu dirumuskan pertanyaan penelitian atau rumusan masalah penelitian, dalam hal penelitian ini rumusan masalahnya adalah: 1. Faktor apa sajakah yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi teroris? 2. Dari variable yang ada, bagaimanakah peran variable-variabel tersebut terhadap proses terbentuknya teroris? 3. Bagaimanakah interaksi antar variabael yang menyebabkan seseorang menjadi teroris? Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui: 1. Variable apa saja yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi teroris. 2. Pengaruh setiap variable yang ada terhadap proses terbentuknya teroris. 3. Interaksi antar variable yang menyebabkan seseorang menjadi teroris. Manfaat Dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini mengandung beberapa manfaat dan kegunaan, yaitu: 1. Memberikan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang proses menjadi teroris melalui pendekatan psikologi. 2. Memberikan insight dan pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini disusun secara sistematis berdasarkan susunan bab-bab yang diatur sedemikian rupa. Laporang ini terdiri dari beberapa bab, yaitu: Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latarbelakang masalah penelitian, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, dan manfaat serta kegunaan penelitian. Bab II berisi landasan teori dan kerangka konseptual. Dalam bab ini diuraikan teoriteori yang menjadi dasar teoritis dan analisis penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kerangka konseptual penelitian yang menjadi dasar paradigma penelitian dalam menguraikan tema dan variabel penelitian serta hubungan antar tema dan variabel. Bab III berisi metodologi penelitian. Dalam bab ini diuraikan metode yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data, tehnik analisa, dan juga penjelasan tentang subjek dan objek penelitian. Bab IV berisi pembahasan dan analisa data. Dalam bab ini diuraikan data dan temuan penelitian, kemudian analisa terhada data dan temuan penelitian serta kesimpulan. Bab V berisi diskusi dan rekomendasi penelitian. Dalam bab ini dibuka ruang diskusi mengenai hasil penelitian dan kesimpulannya, serta posisi hasil penelitian ini dalam konteks penelitian terdahulu. Kemudian bab ini diakhir dengan rekomendasi, baik yang bersifat teoritis-metodologis maupun praktis-pragmatis kepada stakeholder. BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL Pada bab ini peneliti menguraikan landasan teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen tentang teroris dan terorisme, sekaligus membuat kerangka konseptual atau paradigma yang digunakan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini. Landasan Teori Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang dijadikan pijakan teoritis dalam mengkaji psikologi teroris, tetapi sebelum membahas lebih lanjut tentang landasan teoritis atau penjelasan konseptual tentang proses seseorang menjadi teroris, akan dijelaskan lebih dahulu batasan dan pengertian tentang terorisme. Definisi Terorisme Kata teroris berasal dari kata terere yang berarti mengancam, atau membuat ketakutan. Sehingga secara harfiah, terorisme berarti adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptkan atau menimbulkan ketakutan atan ancaman. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Sedangkan pengertian atau batasan terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme adalah tindakan yang tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti, waktu pelaksanaan (yang selalu tiba-tiba) dan target /korban jiwa (yang acak serta seringkali merupakan warga sipil). Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: ―Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear”. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war. Dalam penelitian ini, batasan teroris merujuk pada aktifitas atau tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk membuat ketakutan kepada masyarakat. Terorisme mencerminkan pertemuan antara : Pertama, suatu identitas kultural yang berbasis kuat pada kolektivisme dan pemahaman fundamentalis tentang prinsip agama dan budaya.Kedua, suatu identitas sosial yang berbasis pertentangan yang tajam antara kelompok sendiri dan kelompok-kelompok yang dipersepsikan sebagai ancaman. Ketiga, identitas personal yang tertutup dan otoritarian atau identitas personal yang berlebihan dan tanpa tujuanii. Karakteristik Perilaku Teror Para ahli sepakat bahwa terdapat ciri-ciri perilaku terorisme yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan perilaku kekerasan lainnya, yaitu: Pertama, terorisme memiliki tujuan yang jelas dan terencana. Artinya, teror yang dilakukan bukan semata-mata untuk tujuan teror itu sendiri tetapi ada tujuan di balik perilaku teror yang dilakukan. Kedua, motivasi terorisme bisa bersifat patologis tetapi bisa juga bersifat politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah psikiater dan psikolog menyimpulkan bahwa para teroris umumnya adalah kumpulan orang-orang yang normal yang sama sekali jauh dari karakteristik abnormal atau patologis. Ketiga, selalu ditujukan kepada khalayak yang besar atau massa dalam jumlah yang banyak. Hal itu dsebabkan karena semakin banyak korban semakin cepat pesan teroris sampai ke target utama atau lawan utama. Keempat, terorisme dirancang untuk tujuan melakukan perubahan sosial dan politik. Kelima, terorisme melibatkan suatu kelompok yang terdiri dari para pemimpin dan para pengikut. Mozarth (2006) menyebutkan ada dua perspektif yang berkembang di kalangan komunitas pengkaji terorisme dalam melihat aksi teror, yaitu : Pertama, sudut pandang sindrome, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis. Menurut para penggagas dan pendukung perspektif ini, aktivitas teror yang dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam kelompok teror memenuhi syarat patologis, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok dengan tujuan untuk mencari penyebab. Kedua, sudut pandang alat, yaitu pandangan yang menyebutkan perilaku teror sebagai alat atau media untuk meraih tujuan yang lain sebagai solusi. Pandangan ini menegaskan bahwa para pelaku teror sangat jelas memiliki tujuan strategis dengan ciriciri yang dapat diidentifikasi, yaitu bila dilihat dari sisi psikologi alat dan tujuan, teror digunakan untuk meraih tujuan ketika alat lain tidak efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; serta trait individu dan kelompok sangat sulit untuk dikenali. Dalam konteks ini, psikologi agama berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan dan upaya pencegahannya. Tindakan teroris dan relijiusitas kaum fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial. Justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap anggota kelompok lain. Melihat Sisi Proses Psikologi Teroris Jika penelitian psikologi tentang terorisme pada tahap awal sebagian besar berpusat pada upaya untuk menjawab kenapa individu-individu menjadi teroris atau terlibat dalam terorisme? Maka pertanyaan yang diajukan para peneliti psikologi terorisme kontemporer lebih fokus dan lebih fungsional. Horgan dan lain-lain membantu membuat kerangka penelitian masa depan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik. Di dalam pertanyaan ―kenapa‖ terkandung asumsi bahwa menjadi teroris mencakup pilihan diskrit untuk mengubah status. Observasi sosial dan operasi terhadap sejumlah teroris dan kelompok teroris menyimpulkan bahwa rekrutmen dan keterlibatan dalam terorisme tidak terjadi seperti itu. Horgan dan Tylor (2001) mencatat,‖Apa yang kami ketahui tentang teroris aktual menyatakan bahwa tidak banyak keputusan sadar yang dibuat untuk menjadi teroris. Hampir sebagian besar keterlibatan dalam terorisme terjadi melalui paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim.‖ Sebagai upaya menjadi kerangka konseptual untuk menguji pertanyaan tentang kenapa seseorang menjadi teroris, Crenshaw menyatakan bahwa isu tentang kenapa teroris bertahan dalam terorisme walaupun penuh resiko dan tanpa balasan yang jelas merupakan satu pertanyaan yang penting. Kemudian lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu kenapa dan bagaimana seseorang keluar dari kelompok teroris? Psikolog John Horgan dan Max Tylor (2001) kemudian membahas terorisme dari sisi proses yaitu fase sebelum menjadi teroris, fase menjadi teroris (bisa dikonstruksi dengan : 1) tetap terlibat dan, 2) terlibat dan keluar dari terorisme. Mereka menyebutkan bahwa ada suatu distingsi mendasar yang dapat dibuat dalam menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada tahap-tahap yang berbeda-beda, yaitu tahap menjadi, tahap bertahan, dan tahap meninggalkan atau mengakhiri keterlibatan. Motif dan Vulnerabilitas. Di antara faktor psikologi utama dalam memahami bagaimana dan individu seperti apa dalam suatu lingkungan akan memasuki proses menjadi teroris adalah faktor motivasi dan vulnerabilitas. Secara definisi, yang dimaksudkan dengan motif adalah emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau impuls yang menjadi pendorong utama tindakan. Sedangkan vulnerabilitas adalah kecenderungan untuk terpengaruh oleh bujukan atau ajakan. Motivasi seseorang untuk terlibat dalam terorisme seringkali diduga adalah sebab kelompok atau ideologi kelompok. Kendati demikian, sebagaimana Crenshaw sebutkan bahwa kesan umum teroris sebagai individu yang termotivasi secara eksklusif oleh komitmen politik yang dalam dan kuat merupakan suatu realitas yang kompleks. Realitasnya adalah bahwa motif bergabung ke dalam suatu organisasi teroris dan motif terlibat dalam terorisme beragam sesuai dengan keragaman tipe kelompok dan keragaman di dalam kelompok serta berubah sesuai perubahan zaman. Marta Crenshaw (1985) sebagai contoh, menyebutkan paling tidak ada empat kategori motivasi di kalangan para teroris, yaitu : Pertama, peluang bertindak. Kedua, kebutuhan untuk diakui. Ketiga, hasrat terhadap status sosial, dan keempat, usaha mendapatkan balasan materi. Post (1990) lebih jauh menyebutkan bahwa terorisme akan berakhir dengan sendirinya, tanpa terikat oleh tujuan politik atau ideologi. Alasannya adalah penyebab terorisme bukanlah penyebab itu sendiri (the cause is not the cause). Penyebab sebagaimana dikodifikasi dalam ideologi kelompok, menurut jalur argumen tersebut, menjadi rationale bagi tindakan kaum teroris adalah didorong untuk bertindak. Dengan kata lain, sebenarnya argumen utama pendekatan ini adalah bahwa individu menjadi teroris karena bergabung ke dalam kelompok teroris dan melakukan tindakan terorisme. Ketiga faktor psikologis yaitu ketidakadilan, identitas dan kepemilikan ditemukan ada pada kaum teroris dan mempengaruhi pengambilan keputusan secara kuat untuk memasuki organisasi teroris dan terlibat dalam aksi terorisme. Sebagian analis terorisme berpendapat bahwa ketiga faktor tersebut saling bersinergi satu sama lain dan dinamika di antara ketiganya merupakan akar penyebab terorisme, di luar faktor ideologi. Luckabaugh dan kolega (1997) menyimpulkan bahwa penyebab riil atau motivasi psikologis untuk bergabung dalam terorisme adalah kebutuhan yang besar untuk diakui, suatu kebutuhan untuk mengkonsolidasi identitas. Kebutuhan untuk diakui sejalan dengan identitas personal yang tidak lengkap merupakan suatu faktor yang sama pada semua kelompok teroris. Dalam rumusan yang sama, Jerold Post (1984) berteori bahwa kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil, untuk mengatasi keterpecahan dan menyatu dengan diri sendiri dan dengan masyarakat merupakan konsep menjembatani yang penting dan membantu menjelaskan kesamaan perilaku para teroris yang berasal dari berbagai kelompok dengan motivasi dan komposisi yang berbeda satu sama lain. Bruce (1997) berpendapat bahwa untuk memahami proses menjadi seorang teroris dengan baik, motif tidak dapat dipisahkan dari peluang. Dalam pernyataan yang sederhana, orang-orang mengikuti jalur tertentu menuju radikalisasi, terorisme dan organisasi teroris. Jalur menuju terorisme mungkin berbeda antara satu orang dengan orang lain, dan semuanya sangat dipengaruhi oleh faktor yang beragam. Bandura (1990) melihat bahwa jalur menuju terorisme dapat terbentuk oleh faktor-faktor yang bersifat sengaja, pengaruh rasa suka personal yang terjadi secara bersamaan, dan dorongan sosial. Transisi menuju proses menjadi teroris tidak pernah terjadi secara tiba-tiba dan serta-merta. Horgan mengatakan bahwa proses menjadi teroris melalui proses yang panjang: paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Luckabaugh dan rekan-rakan yang menegaskan bahwa proses menjadi teroris tidak terjadi dalam waktu semalam. Mereka yang menjadi teroris mengikuti suatu progres umum, dari alineasi sosial sampai kejenuhan sosial, kemudian ketidaksetujuan dan protes, sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi teroris. McCormick (2003) menyebut proses tersebut dengan istilah pendekatan perkembangan. Terorisme dalam perspektif pendekatan perkembangan bukanlah produk dari suatu keputusan tunggal, tetapi hasil akhir dari suatu proses dialektis yang mendorong seseorang secara bertahap menuju komitmen terhadap kekerasan sepanjang waktu. Proses tersebut terjadi pada lingkungan politik yang lebih luas yang meliputi negara, kelompok teroris, dan konsituen politik. Interaksi di antara variabel-variabel tersebut dalam suatu seting kelompok digunakan untuk menjelaskan kenapa individu berubah menjadi pelaku kekerasan dan pada akhirnya dapat menjustifikasi tindakan kaum teroris. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ideologi ekstrim berkembang menjadi radikalisasi dan pada akhirnya diterjemahkan menjadi justifikasi atau imperatif untuk menggunakan kekerasan teroris? Frederick Hacker (1983) menjelaskan progresi tersebut dalam tiga tahap, yaitu : Tahap pertama meliputi kesadaran akan penindasan; kedua, pengakuan bahwa penindasan tersebut bersifat sosial dan karenanya tidak dapat dihindarkan; ketiga, impetus atau realisasi yang memungkinkan bertindak melawan penindasan. Erick Shaw (1986) menjelaskan eksistensi jalur perkembangan umum yang dilalui para teroris memasuki profesi mereka. Ada empat tahap proses menjadi teroris, yaitu: Pertama, proses sosialisasi dini; kedua, luka narsistik, misalnya, peristiwa hidup yang negatif dan secara negatif mempengaruhi citra diri atau harga diri; ketiga, peristiwaperistiwa yang bersifat eskalatif (seringkali konfrontasi dengan polisi yang menyebabkan provokasi yang dipersepsikan; dan keempat, koneksi personal dengan anggota kelompok teroris yang meningkatkan peluang, akses, dan insentif untuk memasuki kelompok teroris. Berdasarkan analisa terhadap kelompok ekstrimis militan yang beragam dengan ideologi yang juga beragam, Borum (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa tahap proses yang dialami individu anggota kelompok teroris dalam menganut ideologi ekstrim, baik luar negeri maupun domestik. Proses tersebut diawali dengan persepsi tentang peristiwa yang tidak memuaskan atau kondisi yang tidak adil. Ketidakadilan kemudian dicela dan dikaitkan dengan kebijakan target, person atau bangsa. Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi memiliki sejarah yang panjang dalam menjelaskan perilaku menyimpang sebagai suatu fungsi psikopatologi (misalnya penyakit mental, gangguan, atau disfungsi) atau sindrom kepribadian malasuai. Menurut Schmid dan Jongman (1988), asumsi umum yang mendasari banyak teori psikologi adalah bahwa para teroris dalam satu hal atau beberapa hal merupakan orang yang tidak normal, dan bahwa pemahaman dari psikologi dan psikiatri menjadi kunci yang memadai untuk memahaminya. Pada kenyataannya, psikopatologi terbukti hanyalah faktor penentu yang umum bagi kekerasan biasa, tetapi tidak relevan untuk memahami terorisme. Dalam realitasnya, ide tentang terorisme sebagai produk gangguan mental atau psikopati tidak tepat lagi. Penelitian tentang psikologi terorisme hampir seragam menyimpulkan bahwa penyakit mental dan abnormalitas secara tipikal bukanlah faktor penting dalam perilaku kaum teroris. Studi-studi yang dilakukan peneliti dari kalangan psikolog menemukan bahwa tingkat penyakit mental di kalangan sampel teroris yang tertangkap adalah rendah atau lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih lanjut, walaupun kaum teroris seringkali melakukan tindakan yang gila tetapi jarang sekali mereka dicap sebagai psikopat klasik. Secara tipikal kaum teroris memiliki keterkaitan dengan prinsip atau ideologi, termasuk teroris lain atau orang lain yang berbagi dengan mereka. Padahal, psikopat tidak memiliki bentuk hubungan seperti itu dan tidak pula mau mengorbankan diri termasuk bunuh diri atau mati untuk suatu sebab. Trait kepribadian secara konsisten telah gagal dalam menjelaskan sebagian besar tipe perilaku manusia, termasuk perilaku kekerasan. Pendekatan tidak dapat memberikan sumbangan yang lebih banyak dan lebih signifikan dibandingkan faktor situasi atau faktor konteks. Crenshaw (2001) misalnya menyebutkan bahwa komitmen ideologi bersama dan solidaritas kelompok merupakan determinan yang lebih penting bagi perilaku kaum teroris dibandingkan karakteristik individual. Bandura agaknya sepakat, sebagaimana tercermin dalam sejumlah tulisannya, bahwa diperlukan kondisi sosial yang kondusif dibandingkan orang-orang gila untuk melakukan tindakan yang gila. Oleh karena itu, metode yang paling efektif untuk menjelaskan perilaku adalah dengan mengkombinasikan antara faktor personal dan faktor situasi. Sejumlah literatur secara tegas menyebutkan bahwa tidak ada kepribadian teroris dan tidak ada pula profil psikologis atau profil lainnya tentang teroris. Bahkan, kepribadian sendiri cenderung tidak bisa menjadi prediktor yang sangat baik terhadap perilaku. Upaya memahami terorisme dengan mengkaji trait kepribadian teroris merupakan bidang yang tidak produktif untuk menghasilkan investigasi dan studi selanjutnya. Pengaruh Pengalaman Hidup Terhadap Terorisme Pengalaman hidup tertentu secara umum cenderung ditemukan pada kaum teroris. Sejarah pengalaman kekerasan dan trauma agaknya sesuatu yang umum pada mereka. Selain itu, tema-tema persepsi tentang ketidakadilan dan keterhinaan seringkali mengemuka dalam biografi kaum teroris dan sejarah personal mereka. Namun, tidak ada satupun dari semua itu yang memberikan kontribusi yang banyak terhadap penjelasan sebab-akibat mengenai terorisme, tetapi bisa terlihat sebagai penanda vulnarebilitas, sebagai sumber motivasi atau sebagai mekanisme untuk memperoleh atau menguatkan ideologi kaum militan. Peran Ideologi Dalam Terorisme Ideologi seringkali didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang umum dan disepakati secara luas serta menjadi patokan individu yang membantunya mengatur dan menentukan perilaku. Ideologi-ideologi yang mendukung terorisme yang sangat beragam agaknya mengandung tiga karakteristik struktural yang umum. Karakteristik- karakteristik tersebut mencakup: Satu, harus memberikan sehimpunan keyakinan yang membimbing dan menjustifikasi serangkaian mandat perilaku. Kedua, keyakinankeyakinan tersebut harus dihargai dan tidak boleh dipersoalkan atau dipertanyakan. Ketiga, perilaku-perilaku tersebut harus memiliki tujuan yang terarah dan terlihat memberikan sebab tertentu dan sasaran yang bermakna. Budaya merupakan faktor penting dalam perkembangan ideologi, tetapi dampaknya terhadap ideologi kaum teroris secara khusus belum dipelajari. Ideologi membimbing dan mengendalikan perilaku dengan memberikan satu himpunan penghantar perilaku yang menghubungan perilaku langsung dan aksi terhadap hasil dan ganjaran yang positif atau dilihat sebagai satu bentuk aturan perilaku yang berdasarkan aturan. Untuk menjelaskan tahapan-tahapan atau proses psikologis yang dialami seseorang dari seorang yang biasa atau bukan teroris menjadi seorang teroris, akan digunakan teori ―Staircases to terrorism‖ dari Fathali Moghaddam (2005). Tangga menuju terorisme adalah metafor yang digunakan Moghaddam untuk menggambarkan dan menjelaskan proses menjadi terorisme. Tangga-tangga menuju terorisme terdiri dari : 1. Ground floor: Search for meaning. Mencari makna diri dan sosial menjadi awal atau modal dasar menjadi terrorisme, walaupun tidak semua orang yang sedang mencari makna akan terjerumus ke dalam aktivitas terorisme. Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang dilakukan oleh kelompok lain. 2. First floor : Presenting the ideology. Pada saat ini, muncul semangat untuk mencari musuh dan melawan pihak (kambing hitam) yang dianggap melakukan ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melawan ketidakadilan tersebut? 3. Second floor: Cultivation stage. Pada tahap ini terjadi proses pengolahan ideologi untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang telah membuat ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Bentuk dasarnya adalah displacement aggression. Aktifitas yang sering muncul adalah dalam bentuk pencelaan dan pengutukan pihak-pihak yang telah dianggap menjadi penyebab ketidakadilan tersebut. 4. Third floor : yaitu aktifitas yang dilakukan dalam bentuk melihat dunia sebagai hal yang hitam dan putih. Hanya ada benar atau salah. Dimana penilaian benar dan salah didasarkan pada ―fatwa leader‖. Leader melakukan control, Control over member, dalam bentuk penanaman ide dan keyakinan moral yang bersifat benar vs salah. Pada tahap ini, semua cara dihalalkan asalkan bisa digunakan untuk mencapai tujuan. 5. Fourth floor : Moral engagement. Pada tahap ini terjadi proses polarisasi kelompok kawan dan lawan. ―Mereka adalah lawan yang hendak menyerang dan menghancurkan kita.‖ Identitas sosial terbentuk secara mantap, yaitu identitas sebagai mujahid, dan orang/kelompok yang tidak sejalan adalah musuh. 6. Fifth floor : Recruitment. Pada tahap ini seseorang mulai terlibat dalam aksi terorisme yang mencengangkan dunia. Keterlibatan secara aktif mulai dari perencanaan, penentuan target, penentuan tehnik, waktu dan tempat/lokasi sasaran, hingga yang aktifitas yang menentukan dalam rekrutmen pelaksana. Basis Dukungan Terorisme Selama ini persepsi publik selalu mengaitkan terorisme pada pelaku teror yang terlibat secara langsung dalam kegiatan destruktif, padahal terorisme tidak hanya melibatkan orang atau kelompok tertentu yang teridentifikasi oleh pihak intelijen atau aparat. Terorisme melibatkan suatu jaringan luas yang terdiri dari berbagai lapis. Bila merujuk kepada pendapat Mozarth M.A (2006), basis dukungan terorisme terdiri dari : Teroris aktual yaitu pelaku teror yang terlibat secara langsung di lapangan. Pendukung aktif, yaitu orang-orang yang menjadi perencana, mentor dan pengatur tenaga lapangan. Pendukung pasif yaitu orang-orang yang tidak terlihat atau tidak terdeteksi oleh aparat atau intelijen tetapi memiliki kontribusi yang besar atas terlaksananya aksi teror. Kelompok ini terdiri dari penyandang dana atau ideolog. Simpatisan, yaitu orang-orang yang sefaham dengan kelompok teroris tetapi tidak terlibat secara langsung dalam aksi teror. Mereka umumnya adalah kelompok radikal yang mengusung ideologi yang sama dengan para teroris. Islam dan Radikalisme Ada tiga prinsip kunci ideologi radikal, yaitu intoleransi relijius, sentralitas jihad militan terhadap penerapan Islam, dan upaya formalisasi syariat dalam hukum kenegaraan. Argumen teologis berbasis penafsiran radikal terhadap suatu keimanan melegitimasi, menjustifikasi dan mendorong tindakan terorisme. Walaupun kaum Muslim mainstream di seluruh dunia mengutuk ideologi radikal tersebut, satu sekte kecil kaum ekstrimis telah berusaha menggunakan agama sebagai senjata perang selama satu abad. Mereka bukan musuh dalam bentuk individu atau kelompok tetapi dalam bentuk jaringan organisasi transnasional yang kompleks. Ideologi tersebut membuat radikal individu dari berbagai macam ras, etnik, status sosial-ekonomi, dan tingkat pendidikan, serta mengubah menjadi kaum militant.iii Kerangka Konseptual Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka konseptual sebagai berikut: Perilaku teror dilakukan oleh para teroris yang memilih jalan ini sebagai alat untuk meraih tujuan jangka panjang. Para teroris memilih jalan teror karena mereka tidak menemukan jalan lain yang memungkinkan untuk dilakukan dalam melawan ―musuh‖ yang dianggap bertanggungjawab atas kesulitan, nestapa dan malapetaka yang menimpa kaumnya. Siapa saja bisa menjadi teroris. Artinya, orang biasa yang tidak berdosa sama sekali bisa terlibat dalam aksi teror, karena proses menjadi teroris merupakan rangkaian panjang dari sebuah proses sosial dan psikologis. Tahap awal kemungkinan seseorang menjadi teroris ketika ia mengalami semacam krisis identitas sosial yang ditandai oleh upaya pencarian jati diri dan kelompok. Pada tahap ini seseorang merasakan ketidakadilan telah dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap kaumnya, lalu ia akan mencari siapakah sesungguhnya yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang menimpa kaumnya? Setelah diperoleh informasi tentang siapa yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang ada di depan mata –biasanya informasi ini diperoleh dari seorang tokoh atau pemimpin kharismatik—maka terjadi proses pengolahan ideologi atau kaderisasi atau ideologisasi atau pencucian otak oleh sang ideolog atau pemimpin yang bertugas merekrut dan mengkader para pelaku teror. Pada saat itu, mentalitas lawan dan kawan atau ingroup dan outgroup yang sangat bernuansa hitam-putih dalam menilai segala hal. Proses penempaan terus berlangsung sampai tiba saatnya seseorang berkomitmen untuk menjadi bagian dari jaringan perilaku teror. Pada saat ini, seseorang sudah pantas dianggap sebagai teroris yang tunduk pada normal dan moral yang berlaku di kelompok teroris. Setelah itu, tentu saja ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu terus bertahan sebagai teroris atau berubah menjadi orang biasa melalui beragam cara. Bila digambarkan dalam bentuk bagan maka prosesnya sebagai berikut: Praradicalisation Radicalisation Pre-involvement searching Violent radicalisation Remaining involved and engaged Disengagem ent Deradicalisation Keterangan: Pra radikalisasi: orang biasa Radikalisasi : Orang biasa berubah menjadi radikal Pra pencarian keterlibatan : Orang yang radikal mencari cara dan kelompok untuk melakukan aksi teror. Radikalisasi kekerasan: Orang yang radikal memilih jalan teror, menemukan kelompok teroris dan mulai melakukan teror. Tetap terlibat dalam kelompok teroris : seorang teroris tetap bertahan dalam kelompok teroris dan konsisten memilih jalan teror. Disengagement: Seorang teroris mulai berubah menjadi bukan teroris atau orang biasa. Deradikalisasi: Seorang mantan teroris yang mulai mengubah ideologinya menjadi ideologi yang moderat dan tidak memilih jalan teror dan kekerasan. Penelitian ini akan menggunakan teori staircases to terrorism dari Moghaddam (2005). Teori ini dikembangkan setelah Moghaddam mengamati bahwa penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika. Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia. Artinya, mereka yang menganut kubu disposisi terlalu berlebihan dalam menganggap trait dan kepribadian sebagai satu-satunya faktor yang kuat dari perilaku teror. Sebaliknya, kubu situasi atau konteks terlalu berlebihan juga menganggap kekuatan situasi atau konteks tidak bisa dilawan oleh siapapun. Jalan tengah yang baik adalah melakukan sinergi atas kedua pandangan tersebut, yaitu membangun suatu asumsi teoritis yang mencakup kedua kubu, yaitu bahwa perilaku teror adalah sinergi antara kekuatan disposisi dan kekuatan situasi. Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora ―staircase to terrorism‖ (tangga menuju terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas. Kedua, lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika), Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas ―the end justify the mean‖. Kelima, lantai keempat, menganut gaya berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi terorismeiv BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menyesuaikan dengan objek penelitian, dimana objek penelitian ini adalah isi dari buku atau tulisan tentang biografi teroris. Pada mulanya, metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa disebut dengan istilah mixed methode (metode campuran). Metode campuran ini adalah sebuah pendekatan baru yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif baik dalam hal pengambilan data, pengolahan dan analisa. Tetapi karena keterbatasan peneliti dari sisi waktu, tenaga dan biaya maka pendekatan yang akhirnya digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif saja. Sedangkan untuk penelitian kuantitatifnya akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini. Dalam penelitian gabungan ini metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara bertahap. Metode pertama adalah pendekatan kualitatif, dan selanjutnya hasil dari penelitan pertama digunakan sebagai data untuk penelitian tahap ke-2 (kuantitatif). Metode pertama yang digunakan adalah metode kualitatif digunakan dengan pendekatan Analisa isi dari Tulisan (juga dikenal sebagai Documentary Hypothesis). Teknik yang digunakan adalah penelitian biografi. Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip.. Pendekatan ini menekankan pada analisa terhadap isi atau konten suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang Dimana analisa isi biografi dibatasi pada factor-faktor psikologis dan situasi/lingkungan yang secara teoritis dianggap memiliki pengaruh terhadap perilaku terorisme.. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri. Metode ini digunakan untuk menganalisa data-data yang dihasilkan dari metode analisa isi biografi. Hasil yang ditemukan dengan metode analisa isi, faktor-faktor tersebut kemudian di jadikan variabel yang akan dianalisa. Teknik analisa regresi digunakan dalam metode ini. Analisa digunakan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi antar variabel dan pengaruhnya terhadap terorisme. Teknik analisa ini menggunakan soft ware SPSS dan Lisrel. Objek penelitian Objek dalam penelitian ini adalah buku tentang pelaku terorisme, yang terdiri dari 3 buku, yaitu: 1. Temanku teroris oleh Noor Huda Ismail (2010), yang secara umum berisi tentang Apa sebenarnya yang terjadi ketika dua santri menerapkan ilmu agama pada jalan hidup masing-masing? Penulis buku mengangkat kisah dirinya dan pelaku teroris (Fadlullah Hasan) dengan empati dan simpati, menyisakan perenungan tentang terorisme, jihad Islam dan arti sebuah persahabatan. 2. Demi Allah aku seorang teroris oleh Damien Dematra adalah kisah tentang pencarian kebenaran yang dilakukan seorang anak manusia namun malah dipelintir oleh sejumlah oknum dengan mengatasnamakan agama. Dalam kerinduannya mencari Tuhan, seseorang bergabung dengan sebuah kelompok pengajian dan diminta mengucapkan janji setia pada sebuah organisasi dan mulai mempercayai pandangan bahwa negara yang benar adalah negara yang berlandaskan hukum syariat agama. Ia pun percaya bahwa perlakuan orang-orang non-Muslim di Indonesia adalah kafir, apalagi mereka yang berasal dari negara barat. 3. Aku melawan teroris ditulis oleh Imam Samudra. Berisi tentang proses dan ungkapan-ungkapan kesadaran mengenai jalan yang ia tempuh, dari sekian ragam jalan yang ditempuh oleh umat Islam. Agaknya ungkapan ini mewakili metode pemahaman yang ia anut. 4. Fuad Hussein Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon Kelompok Perlawanan Iraq Masa Kini/ Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad Syakirin; Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera, 2009 5. Noor Huda Ismail(2010). Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah 6. N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden (2010). Jakarta:Penerbit Literati 7. Ed Husain (2007). The Islamist. London: Penguin Book 8. Al-Maqdisi, Abu Muhammad Mereka Mujahid tapi Salah Langkah/Abu Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy – Solo: Jazeera, 2007 9. Damien Dematra (2009). Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama 10. Imam Samudra (2004). Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera 11. Ali Imron (2007). Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika Instrument Penelitian 1. Metode kualitatif Instrument dalam penelitian tahap pertama ini adalah panduan analisa isi buku, biografi. Teknik analisa Analisa dilakukan dengan mengumpulkan informasi atau data yang terkati deng hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi teroris, tentunya dalam ranah psikologi. Informasi yang didapatkan dari satu pelaku dengan pelaku yang lain kemudian dicari karakteristik yang mirip/sama. Kemudian dijadikan tabulasi factor psikologis yang dominan dari tokoh-tokoh tersebut. BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Pada bab ini tim penulis akan menguraikan profil singkat teroris, sejumlah data dan informasi terkait tema dan tujuan penelitian, serta temuan penting yang hendak dibahas berdasarkan pendekatan ilmu psikologi. Profil Singkat Teroris Profil singkat para teroris sengaja dikemukakan dalam laporan penelitian ini dengan tujuan agar penelitian memiliki kekuatan utama yang berpijak pada aspek kepribadian atau psikologi. Dengan mengemukakan profil singkat teroris ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang aspek psikologis dari para teroris. Ada dua tokoh yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu Abu Musab dan Utomo Pamungkas. Pemilihan kedua tokoh ini dasarkan atas argumentasi bahwa yang pertama mewakili profil teroris dari Timur Tengah dan yang kedua mewakili profil teroris dari Indonesia. Pemilihan teroris dari Timur Tengah dan teroris dari Indonesia dimaksudkan untuk melihat bagaimana pengaruh latarbelakang kondisi geografis dan corak keagamaan mempengaruh keterlibatan seseorang dalam terorisme. Argumen di atas didasarkan atas keinginan untuk menguji gagasan seorang peneliti psikologi sosial atau ahli psikologi lintas budaya dari negeri Belanda, yaitu Geert Hofsted yang sangat berpengaruh dalam hal pengujian konsep psikologi berdasarkan perbedaan budaya. Pada tahun 1960an sampai tahun 1970an, Hofsted terlibat dalam suatu penelitian besar dengan ruang lingkup penelitian yang sangat besar, yaitu melibatkan lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Proyek penelitian massif ini menghasilkan akumulasi respon sebanyak 116.000 respon sehingga memungkinkan bagi Hofstede untuk melakukan analisa data yang ekstensif yang kemudian ia publikasikan dalam bentuk buku yang berjudul ―Culture’s Consequence” pada tahun 1980. Penelitian Hofsted mendukung hasil penelitian dua peneliti dari Amerika, Alex Inkles, seorang sosiolog dan Daniel Levinson seorang psikolog, yaitu bahwa semua masyarakat menghadapi empat tantangan berikut ini: Ketidakadilan sosial, termasuk hubungan dengan penguasa. Hubungan antara individu dan kelompok Konsep maskulinitas dan feminitas : implikasi sosial dan emosional akibat terlahir sebagai laki-laki dan perempuan. Cara menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas dikaitkan dengan kontrol terhadap agresi dan ekspresi emosi. 1. Abu Mus’ab Al-Zarqawi Abu Musab al-Zarqawi (bahasa Arab: أبومصعب الزرقاوي) (± Oktober 1966 – 7 Juni 2006) adalah pemimpin kelompok militan Islam Al-Qaeda di Irak. Zarqawi termasuk daftar orang yang sangat dicari di Yordania dan Irak karena telibat dalam serangkaian serangan, termasuk pembunuhan tentara dan polisi, serta beberapa penduduk sipil. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hadiah 25 juta USD untuk penangangkapan Zarqawi, jumlah yang sama dengan yang ditawarkan untuk penangkapan Osama bin Laden sebelum Maret 2004. Zarqawi terbunuh di suatu serangan udara AS di Baquba pada 7 Juni 2006. Sebagai penggantinya, Al-Qaeda di Irak telah menunjuk Syeikh Abu Hamza al-Muhajir sebagai penggantinya. Dilahirkan di Zarqa, Yordania pada tanggal 20 Oktober 1966 dengan nama Ahmad Fadil Nazal Al Khalaylah dalam sebuah lingkungan pemukiman yang kumuh dan didominasi pemandangan kemiskinan. Zarqowi pernah mendekam di penjara selama beberapa waktu karena beberapa kasus kriminal ringan yang pernah ia lakukan. Setelah beberapa lama mendekam di sel, ia mengalami transformasi personal yang mengejukan banyak orang. Selanjutnya ia berubah menjadi seorang Islamis militan yang menganut ajaran Islam radikal dan garis keras. Zarqowi pernah ikut bergabung bersama mujahidin Afganistan untuk berperang melawan aneksasi Uni Sovyet. Pergaulannya bersama kaum mujahidin lainnya di Tanah Afganistan membentuk karakter dan kepribadian khas pada diri Zarqowi. Nilainilai jihad dan perlawanan terhadap kaum yang dipandang kafir, munafik dan sesat amat mendarah daging pada dirinya sehingga ia tampil sebagai sosok yang menonjol di antara kawan-kawannya. Abu Musa Al-Zarqawi, adalah salah seorang tokoh terkenal dalam deretan kelompok teroris kelas dunia dan cukup ditakuti karena sepak terjangnya dalam dunia teror yang mencemaskan banyak pihak. Untuk memudahkan penulisan tokoh ini selanjutnya disebut Al-Zarqawi saja. Ia dilahirkan di negeri Yordania, Timur Tengah. Bayi Al-Zarqawi dilahirkan di sebuah pemukiman miskin dan sangat kumuh di tengah padang pasir yang panas yang bernama Al-Zarqa. Masa kecil Al-Zarqawi sangat sarat dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan Kaum Badui yang dicirikan dengan watak yang baik, misalnya, gampang memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, termasuk gampang suka dan menyayangi orang lain. Al-Zarqawi juga dikenal sebagai pribadi yang berakhlak mulia, pemberani dan sangat ramah kepada siapa saja, kendati ia dikenal juga sebagai orang yang sangat pendendam. Ada beberapa faktor penting yang membentuk pribadi dan karakter AlZarqawi sehingga ia tumbuh menjadi sosok dengan karakter khas Badui yang melekat pada dirinya. Kekentalan karakter Badui pada diri Al-Zarqawi tercermin pada hal-hal berikut ini, yaitu : Pertama, nilai, pola dan gaya hidup Kaum Badui yang sangat kental dengan ketangguhan, keberanian dan ketegasan. Karakteristik umum yang melekat pada Kaum Arab Badui sangat melekat pada diri Al-Zarqawi sehingga ia dikatakan sebagai prototipe Arab Badui modern. Ketangguhannya tercermin dari resiliensinya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang mendera sejak masa kanak-kanak sampai ia dewasa. Selain itu, ia dikenal pula sebagai orang yang pemberani dalam menyampaikan sikap dan pandangannya terhadap suatu persoalan dan tegas dalam segala hal. Ia juga memiliki sifat mulia, berani, dan ramah layaknya seorang badui. Seorang badui juga di kenal dengan sikap balas dendam, sama sekali ia tidak melupakan perlakuan buruk musuhnya sampai kapanpun. Dan kebanyakan, seorang badui mempuyai tingkat kesabaran yang tinggi untuk membalaskan keinginan balas dendamnya (hal: 11). Kedua, didikan yang sangat ketat dan penuh disiplin dari kedua orang tuanya. Salah satu ciri khas para orang tua Kaum Badui adalah konsistensi mereka dalam menerapkan disiplin yang ketat kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini, Al-Zarqawi termasuk anak yang mendapatkan pola asuh yang sangat disiplin dan ketat dari orang tuanya sehingga hal itu mempengaruhi cara dia bersikap dan berperilaku di kemudian hari setelah ia beranjak dewasa. Ketiga, pengaruh Sosial terutama pengaruh rekan sebaya terasa kental pada diri Zarqawi. Teman-teman Zarqawi pada saat belajar di Perguruan tinggi, mayoritas berasal dari berbagai kelompok Islam garis keras yang secara umum selalu mendorong kaum muda untuk melakukan jihad di berbagai kawasan Islam yang menurut mereka dikuasai kaum kafir. Saat muda, ide jihad dan mati syahid tumbuh subur dalam sanubari Zarqawi. Kehidupan badui adalah pilar utama dalam pembentukan watak Zarqawi. Orang badui adalah orang yang berwatak baik, cepat melupakan masalah orang, cintanya kepada orang lain bersifat sepintas lalu, demikian juga ketika ia mau menerima bantuan dari orang lain sifatnya sepintas lalu (hal: 9). 2. Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok alias Amin Utomo Pamungkas lahir dari keluarga yang relijius dan cukup terpandang di masyarakat. Ayahnya yang bernama Harsono adalah seorang guru agama yang memiliki karakter yang keras dan tegas. Karenanya, pola asuh yang diterapkan di tengah keluarga adalah pola asuh yang sangat otoriter, keras, tegas dan kaku. Semenjak dimarahi sang ayah karena meminta sesuatu di kereta yang sedang berlalu cepat, Utomo kecil menjadi orang yang sangat serius dan kaku dalam pergaulan. Karakternya yang serius dan tegas justeru membuatnya kharismatik di depan teman-temannya sehingga ia dipilih menjadi pemimpin. Jiwa kepemimpinannya, orientasinya pada tindakan yang progresif, dan kemauannya yang keras menjadi ciri khas yang sangat menonjol pada diri Utomo, setidaknya dalam persepsi teman-teman terdekatnya saat di pondok pesantren.. Didikan yang kental dengan nilai-nilai Islam ia peroleh dari ayahnya, seorang guru agama di sekolah Muhammadiyah. Sang ayah mendidik Utomo Pamungkas dan saudara-saudaranya dengan nilai-nilai Islam yang sangat kuat. Itulah sebabnya kenapa Tomo kecil tumbuh menjadi pribadi yang memiliki minat kuat di bidang ilmu agama Islam (hal: 285). Utomo menjadi jihadis bermula ketika ia ditawari untuk belajar di Pakistan. Sesampai di pakistan, dia diberi dua pilihan: belajar mendalami ilmu agama Islam atau berjihad di medan jihad Afghanistan. Utomo memilih jihad setelah melihat kondisi Afghanistan yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan di matanya. Akhirnya Utomo mengikuti latihan militer atau tadrib di Akademi Militer Afghanistan di bawah pimpinan Abdul Rabbi Rasul Sayyaf. Jiwa pemberaninya muncul ketika harus ikut di medan perang. Tank, pesawat, dan suara morir menjadi familiar baginya. Cita-citanya sebagai syahid atau martir belum bisa tercapai di Afghanistan karena sampai perang berakhir, ia masih tetap sehat wal-afiat. Analisa Psikologis Menganalisa sisi psikologis para teroris adalah pekerjaan yang tidak mudah karena bidang ini relatif baru. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam terorisme tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor psikologis tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial dan politik. Kendati demikian, dapat dikatakan bahwa analisa psikologis terhadap para teroris, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, dapat membantu menjelaskan kenapa seseorang terlibat dalam terorisme dan bagaimana mengakhiri keterlibatan mereka. Sebagai suatu ilmu yang mempelajar perilaku, psikologi sangat tepat untuk digunakan dalam mengkaji terorisme karena ia berkaitan dengan perilaku teror. Mengkaji perilaku teror tanpa melibatkan ilmu psikologi sama dengan mendiagnosa suatu penyakit tanpa menggunakan alat yang tepat. Ilmu psikologi dengan segala variannya bisa memberikan perspektif yang menarik dalam mengkaji perilaku teror. Misalnya, psikologi klinis, psikologi sosial dan psikologi agama. Psikologi agama sebagai salah satu cabang psikologi berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan yang dilakukan oleh individuindividu yang menggunakan agama sebagai inspirasi, dan upaya pencegahannya, termasuk misalnya bagaimana mengubah seorang yang radikal atau teroris sekalipun menjadi tidak lagi terlibat dalam radikalisme dan perilaku teror. Tindakan teroris dan relijiusitas kaum fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial karena sejumlah penelitian membuktikan bahwa para teroris bukanlah kaum abnormal yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Bahkan, penelitian menegaskan bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang menyadari sepenuhnya tindakan mereka karena aksi teror mereka didasarkan atas ideologi dan keyakinan tertentu, serta digerakkan oleh tujuan tertentu. Menurut para ahli dan pakar di bidang psikologi, justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap anggota kelompok lain. Artinya, menyimpulkan para teroris sebagai kumpulan orang-orang yang tidak normal dan tidak waras adalah suatu kesalahan besar. Mungkin, ada satu atau dua kasus individu yang terlibat dalam tindak teror karena faktor abnormalitas atau psikopati tetapi tidak bisa kemudian dijadikan sebagai dasar penyimpulan bahwa semua teroris adalah orang gila. Pandangan ini pada mulanya dianut oleh sejumlah peneliti psikologi terorisme, tetapi mereka kemudian menarik pandangan tersebut karena data-data empirik dan fakta psikologis yang diperoleh melalui kajian trait dan pribadi teroris tidak mendukung pernyataan tersebut. Proses Menjadi Teroris Ibarat Menaiki Tangga Gedung Proses menjadi teroris ibarat menaiki anak tangga dalam sebuah bangunan yang tinggi. Anda bisa bayangkan bagaimana menaiki anak tangga dalam sebuah ruang bangunan tinggi. Prosesnya cukup panjang dan kadang-kadang agak melelahkan. Bagaimana menjelaskan hal itu? Fattali Mohammad Moghaddam (2007), seorang guru besar psikologi sosial keturunan Iran di University of Washington menyebutkan bahwa terdapat beberapa tahap atau anak tangga menuju terorisme. Tahapan-tahapan tersebut menggambarkan rentang proses psikologis keterlibatan seseorang dalam aktivitas teror yang destruktif, mematikan dan merugikan masyarakat, baik materil maupun psikologis. Tahapan-tahapan psikologis tersebut mencakup lima tangga atau tahapan, yaitu: Pertama, lantai dasar atau tahap pencarian makna yang ditandai dengan awal krisis identitas diri dan krisis identitas kelompok. Pada tahap ini, seseorang mengalami krisis identitas, baik pada level individu maupun kelompok sebagai akibat interpretasinya atas realitas materil terkait dirinya dan kelompoknya vis a vis orang lain dan kelompok lain. Oleh karena terorisme merupakan fenomena kelompok atau suatu proses pembentukan identitas yang terjadi dalam kelompok maka yang paling ditekankan dan diutamakan adalah identitas kelompok. Biasanya, pada tahap ini muncul kecenderungan deprivasi relatif, yaitu perasaan kecewa dengan kondisi kelompok ketika dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih maju atau lebih sukses. Ketika perbandingan antara kelompok sendiri yang lemah dan tidak berdaya dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih kuat dan lebih berdaya maka perasaan kecewa muncul, lalu seseorang akan mencaritahu penyebab semua perbedaan dan kesenjangan tersebut. Penyebab kesenjangan umumnya dikaitkan dengan ketidakadilan atau kezaliman yang dilakukan kelompok lain terhadap kelompok sendiri. Kedua, lantai pertama yaitu ketika seseorang mulai memasuki tahap psikologis tertentu yang ditandai dengan persepsi bahwa ketidakadilan telah menimpa dirinya dan kelompoknya sehingga ada dorongan psikologis untuk mencaritahu penyebab ketidakadilan atau kezaliman tersebut; Pertanyaan yang muncul pada tahap ini adalah seputar pertanyaan apa bentuk ketikadilan yang dialami kelompok? Kenapa kelompok lain melakukan kezaliman kepada kelompok sendiri? Ketiga, lantai kedua, yaitu tahap berikutnya yang ditandai dengan tindakan agresi yang biasanya dilakukan dengan mencari kambing hitam penyebab terjadinya kezaliman dan ketidakadilan. Biasanya pada tahap ini terjadi mekanisme pengalihan target agresi dari pihak yang dipersepsikan bertanggungjawab ke pihak yang berkaitan dengan pihak yang dipersepsikan bertanggungjawab; Keempat, keterlibatan moral seseorang dalam menilai kebaikan dan keburukan dari tindakan yang dia lakukan dalam kelompok teroris. Penilai moral dalam tahap ini tentu saja bertentangan dengan penilaian moral yang dianut mainstream masyarakat. Penilaian moral didasarkan atas justifikasi moral tertentu yang mendukung perasaan ketidakadilan yang menimpa kelompok. Kelima, berpikir kategoris yang ditandai dengan upaya identifikasi siapa lawan dan siapa kawan. Pada tahap ini, seseorang mulai memasuki kelompok teroris yang telah memiliki persepsi dan pandangan tersendiri tentang siapa kawan yang harus dibela dan siapa lawan yang harus dilawan. Permusuhan dan perlawanan akan menjadi semakin kuat manakala kelompok lain atau representasi kelompok lain yang dipersepsikan sebagai penyebab ketidakadilan yang menimpa kelompok sendiri juga melakukan kategorisasi yang sama. Keenam, tahap tindak teroris. Pada tahap ini seseorang melakukan tindakan teroris atas dasar keyakinan yang sangat kuat bahwa apa yang dia lakukan merupakan misi penting dan suci bagi penyelamatan kelompoknya (Moghaddam, 2003) Mencari Makna dan Identitas Diri Bagi Fathali Moghaddam (2007), pencarian makna dan identitas diri dan identitas kolektif di tengah dominasi budaya Barat terutama Amerika dalam berbagai bidang kehidupan, merupakan salah satu dasar psikologis keterlibatan kaum muda dalam tindak teror, terutama yang berasal dari kelompok garis keras dan kelompok teroris yang dipengaruhi oleh ideologi salafi-jihadis. Gambaran tersebut nampak jelas dari sekian banyak tokoh teror dari kelompok Islam garis keras, seperti Az-Zarqawi maupun Utomo Pamungkas yang menjadi sampel penelitian ini. Sebagai salah satu tokoh teroris terkenal dan paling dicari oleh berbagai pihak termasuk Amerika Serikat, latarbelakang kehidupan dan dinamika psikologis yang dia alami sebagai seorang pemuda Muslim patut dilihat dan dikaji. Dalam perspektif psikologi secara umum, perilaku seseorang dalam hidupnya sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor lingkungan dan kepribadian. Faktor lingkungan mencakup banyak hal seperti lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan sebaya, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dinamika kaum dan umat, serta kondisi ekonomi, sosial, politik dan keagamaan seseorang. Sedangkan faktor kepribadian mencakup seperti tipe kepribadian, keyakinan ideologi, dan dimensi-dimensi psikologi internal lainnya. Az-Zarqowi lahir di tengah Distrik Ramzi yang seperti ―tidak bertuan‖ alias tak terurus. Oleh karena itu, kota ini tidak memiliki pelayanan umum yang memadai dan memicu banyak persoalan yang melanda masyarakat kota. Salah satu masalah sosial yang muncul akibat tidak terurusnya kota adalah banyak kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi. Fenomena kejahatan dan kemaksiatan dapat disaksikan secara nyata oleh siapapun yang ada di masa itu, termasuk AlZarqowi. Patut dicatat pula, di tengah merajalelanya keburukan dan kemaksiatan ada juga orang-orang yang berusaha bertahan dalam kebaikan dan kesalehan. Dalam suasana pertarungan antara kemaksiatan dan kesalehan; serta antara kebaikan dan keburukan, Zarqawi menikmati masa remaja yang penuh dengan pencarian jati diri. (Hussein, 2008). Dalam perspektif psikologi, pencarian jati diri berkaitan dengan pertanyaan siapakah saya? Dari kelompok manakah saya berasal? Kenapa kondisi saya seperti ini sedangkan kondisi orang lain lebih baik dari kondisi saya? Kelompok kelompok saya bernasib seperti ini sedangkan kelompok lain bernasib lebih baik? Kenapa bangsa saya lebih buruk kondisinya dibandingkan nasib bangsa lain? Dalam kaitannya dengan para teroris dari kalangan kelompok garis keras Islam, pertanyaan kejatidirian umumnya berkisar pada kondisi umat (bangsa, peradaban, atau budaya) Islam yang lebih buruk dibandingkan kondisi umat yang lain. Beruntung, ketika memasuki usia sekolah menengah atas, Zarqowi diminta orang tuanya untuk bersekolah di pusat Kota Zarqo yang banyak memiliki masjidmasjid yang megah. Akhirnya, ia memilih Masjid Abdullah bin Abbas sebagai pusat kegiatan pencarian jati dirinya. Masjid tersebut memang terletak berdekatan dengan rumahnya sehingga ia tidak kesulitan untuk pulang-pergi dari rumah ke masjid atau sebaliknya. Dalam pandangan ahli psikologi sosial, dinamika antara dimensi kepribadian dan dimensi lingkungan selalu dimenangkan oleh dimensi lingkungan. Sebaliknya, menurut para ahli psikologi kepribadian, dimensi lingkungan tidak akan berarti apa-apa di hadapan seseorang yang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat. Penulis sendiri mengambil pandangan jalan tengah yang mengkombinasikan antara keduanya, yaitu bahwa perilaku seseorang, termasuk para teroris adalah perpaduan pengaruh dan kontribusi antara dimensi kepribadian dan dimensi lingkungan. Semua anasir kepribadian dan anasir psikologi lingkungan bersinergi membentuk dan mendorong seseorang dalam mewujudkan perilaku. Artinya, seorang teroris yang melakukan aksi teror, bukanlah gambaran patologis yang dia alami tetapi bukan pula semata-mata tindakan normal yang tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat abnormalitas. Bila merujuk kepada teori-teori psikologi pada umumnya dan ―teori staircases to terrorism‖ yang digagas Fathali Moghaddam (2003), pencarian identitas dan makna diri yang bersifat sosial adalah pintu masuk pertama keterlibatan seseorang dalam dunia teror yang sangat panjang. Hal yang sama juga dialami oleh Utomo Pamungkas, seorang pelaku teror dari Tanah Jawa yang pernah menimba ilmu di Ngruki dan Afganistan. Banyak peristiwa masa kecil dan masa remaja yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang keras, tegas dan amat rentan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam garis keras. Hal itulah yang kemudian mendorongnya bergabung dalam kelompok teror paling ditakuti di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Kelompok Jamaah Islamiyah yang mengusung ajaran salafi jihadis dan bercita-cita hendak mendirikan khilafah Islamiyah yang membentang dan mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, keterlibatan seseorang dalam suatu perilaku atau aksi sesungguhnya ditumbuhkembangkan oleh modalitas kepribadian yang khas pada diri seseorang. Modalitas kepribadian tersebut kemudian dipicu oleh pengalaman-pengalaman tidak mengenakkan yang dialami seseorang. Pengalaman secara psikologis tidak selalu merujuk kepada sesuatu yang pernah dialami seseorang, tetapi juga sesuatu yang pernah disaksikan dan dirasakan dalam hidup. Apa yang dilihat, dirasakan dan dialami seseorang itulah yang membentuk struktur pengalamannya yang kemudian mempengaruhi kepribadian dan cara pandangnya dalam melihat persoalan-persoalan sosial yang ada di sekitarnya. Hal yang demikian juga tergambar dengan jelas pada diri Utomo Pamungkas sebagaiman diceritakan oleh Nurhuda, ―Pengalaman demi pengalaman yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan kepribadiannya yang keras. Kemiskinan di depan mata yang menimpa orang-orang sekitarnya yang umumnya beragama Islam adalah persoalan yang harus segera dituntaskan menurutnya.‖ (hal: 284). Pengalaman nestapa, tertekan dan tidak mengenakkan yang menimpa orang-orang di sekitar Utomo membentuknya mejadi pribadi unik dengan identitas sosial yang diidentifikasi secara kuat oleh dirinya. Ia berubah menjadi pribadi yang merasa mewakili kenestapaan umat yang ada di sekitarnya. Mekanisme psikologis yang seperti ini adalah ciri khas yang terjadi pada inividu-individu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat yang sangat kolektivis, jika kita merujuk kepada konsep nilai individualiskolektivis yang dikembangkan oleh Hofstede. Individu yang hidup dan mengalami tumbuh-kembang di tengah masyarakat dengan nilai-nilai yang didominasi semangat kolektivis cenderung memiliki empati yang tinggi terhadap apa yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada titik tertentu ia merasa berhak menjadi wakil bagi masyarakatnya yang tertindas dan terzolimi. Krisis identitas jati diri yang terjadi akibat kemiskinan dan keterzaliman yang dipersepsikan menimpa umat Islam semakin menguat manakala Utomo Pamungkas memasuki Pesantren Ngruki yang sebagian tokohnya menggelorakan perlawanan terhadap pihak lain terutama dalam hal ini adalah Amerika dan Israel yang dipersepsi sebagai biang keladi kehancuran umat Islam terutama di berbagai belahan dunia Islam. Hal itu tampak jelas dari pernyataan Utomo Pamungkas sebagaimana diceritakan oleh Nurhuda dalam buku ―Temanku teroris?‖ seperti berikut ini: “Barangkali saya termasuk beruntung, saat masuk Ngruki masih sempat bertemu langsung dengan Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir” tutur akhi Fadlul kepadaku. “Saya masih sempat mendapat pengajaran dari Ustaz Dullah dan Ustaz Abu.” (hal: 289) Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir adalah dua tokoh pendiri Jamaah Islamiyah yang sangat membenci Amerika dan Israel karena dianggap sebagai penyebab berbagai bentuk kezaliman dan penindasan yang dialami umat Islam di berbagai belahan dunia terutama di Afganistan dan Palestina. Ideologi Islam garis keras yang tertanam pada diri Utomo Pamungkas sebagai hasil indoktrinasi Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir selama berada di pesantren dan masa panjang pengkaderan di Malaysia dan Afganistan telah membentuk cara pandangnya tentang Islam dan bagaimana ajaran Islam ditegakkan. Cara pandang Islam garis keras tersebut kemudian menjadi semacam ideologi dan keyakinan yang berharga mati, sebagaimana diungkapkan Nurhuda mengenai teman masa kecilnya di pesantren. ―Doktrin “Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan” sangat terpatri dalam kesadarannya. Baginya, musuh Islam ada di mana-mana sehingga setiap muslim harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi panggilan untuk membela kebenaran” (hal: 134). Kekuatan ideologi tampak jelas pada diri Utomo. Ideologi Islam garis keras yang diajarkan para gurunya betul-betul menggerakkan pikiran, perasaan dan perilakunya. Memang, ideologi bukan penarik utama keterlibatan seseorang dalam dunia teror, tetapi ketika seseorang telah memasuki kelompok teror maka ideologi menjadi bahan bakar yang menggerakkan aksi teror seseorang. Hal itu diperkuat juga oleh pandangan Grugklanski dkk (2009) ketika menjelaskan tentang motivasi bom bunuh diri, salah satu bentuk aksi teror yang mulai marak digunakan di Indonesia. Krukglanski dkk mengatakan bahwa motivasi bom bunuh diri adalah mencari kebermaknaan. Ada beberapa faktor penyebab bom bunuh diri yaitu faktor personal (trauma, perasaan terhina, isolasi sosial dan lain-lain) yang kemudian mendapatkan pembenaran dari berbagai alasan ideologis seperti melakukan pembebasan dari pendudukan bangsa asing, membela agama dan bangsa, serta didorong kuat oleh faktor tekanan sosial. Terorisme bunuh diri merupakan cermin dari restorasi makna, pencapaian makna, dan usaha mempertahankan diri dari kehilangan maknav. Deprivasi Relatif dan Persepsi Tentang Kezaliman Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga bisa menjadi lokus pertukaran ide dan gagasan. Oleh karena itu, masjid bisa juga menjadi lahan subur tumbuhnya ideologi garis keras. Pandangan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta (2011) yang menyimpulkan bahwa masjid-masjid yang ada di Bekasi, Bogor dan Pandeglang, --terutama untuk dua wilayah yang pertama—adalah tempat konsolidasi kaum radikalis dalam menghimpun ide, kekuatan dan dana untuk menggerakkan aksi, misi dan visi mereka dalam menyebarkan faham yang radikal dan keras. Masjid Abdullah bin Abbas banyak menghimpun para pemuda dari berbagai mazhab dan kelompok yang ada di Yordania. Mereka umumnya kelompok pemuda Islam yang menganut faham wahabi dan aliran Islam garis keras lainnya. Oleh karenanya, Zarqowi seperti menemukan dunia baru, yaitu dunia anak muda yang sama-sama mencari makna dan jati diri dalam hidup. Menurut Hussein (2008), hampir semua pemuda yang ada di masjid ini sangat terpengaruh dengan ide jihad dan kesyahidan yang didengungkan oleh para guru dan mentor. Maka, tidak heran jika ide jihad dan kesyahidan menjadi sistem kedirian Zarqawi yang paling dalam dan paling kokoh. Saat itu, Zarqowi berpikir bahwa jihad memberikan makna yang besar bagi dirinya dan kehidupannya. Ideologi jihad dalam pengertian perang melawan kaum kafir, murtad dan munafik berkecamuk dalam diri Zarqowi. Terjadi pertarungan batin di dalam dirinya antara memilih berjihad di tanah Palestina atau di tanah Afganistan. Di satu sisi, Palestina adalah asal-usul nenek moyangnya sehingga pantas untuk dibela dan diperjuangkan, sedangkan di sisi lain, tanah Afganistan sedang dianeksasi Uni Soviet yang komunis. Pertarungan batin tersebut berakhir ketika ia memilih Afganistan sebagai medan jihad atas pengaruh sejumlah tokoh seperti Abdullah Azzam dan Usamah bin Ladin. Gambaran pergolakan batin yang menimpanya tercermin dalam sebuah surat yang ditujukan kepada saudara-saudaranya. Bunyi surat yang dimaksudkan adalah demikian: “Wahai saudara-saudaraku, kembalilah kepada Islam yang tidak lain adalah kejayaan dan kehormatan kalian. Islam adalah kejayaan nenek moyang yang pernah berjuang bersama Salahuddin Al-Ayyubi dalam merebut dan membebaskan Jerussalem.... Wahai saudara-saudaraku, nenek moyang kita pada masa itu telah menjaga dan melindungi tanah Jerussalem. Sekarang, giliran kita yang harus merebut dan menjaganya.”vi Suasana psikologis yang sama juga dialami oleh Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan, terdakwa Bom Bali I, 2002, yang dijatuhi hukum penjara seumur hidup. Dalam catatan yang ditulis oleh Noor Huda Ismail, Utomo Pamungkas menceritakan perasaannya yang tercabik-cabik saat mengetahui kondisi umat Islam di Afganistan. “Ketika di hadapanmu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan yang tak pernah berpikir dan bertindak untuk keadilan, apa yang akan kamu lakukan? Ketika di hadapanmu terpapar pemandangan rumah-rumah dihancurkan bom, anak-anak tewas bersimbah darah dengan peluru kaum penjajah bersarang di perutnya, para ibu dan gadis-gadis mereka dirampas kehormatannya, ayah-ayah mereka dibunuh tanpa kesalahan dan dipenjarakan tanpa pengadilan, apa yang menjalari perasaanmu? Jika dirimu menyaksikan suatu bangsa dipecah-belah oleh kepentingan kaum imperialis dan kolonialis, relakah kamu menyaksikan kehancurannya?”vii Nurhuda, seorang aktivis LSM yang bergerak dalam kegiatan dan program deradikalisasi sekaligus sahabat Utomo Pamungkas saat nyantri di Ngruki Solo, menggambarkan bagaimana Utomo Pamungkas mengalami kecamuk pikiran dan perasaan tentang kondisi generasi muda Islam di Indonesia. Katanya: “Bagi akhi Fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral. Kalau dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan Islam. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu agama. Akidah Islam tengah menghadapi tantangan besar. Modernisasi di segala bidang, perkembangan teknologi informasi, dan berbagai perubahan tengah melanda dunia. Maka, umat Islam saat ini berhadapan dengan zaman yang cepat berubah. Anak-anak muda progresif seperti akhi fadlul diperlukan untuk menyambut panggilan jihad Islam (hal: 298). Cara pandang Utomo yang cenderung keras dan tegas tidak terlepas dari pola asuh dan gaya pendidikan yang diterapkan orang tuanya terhadap Utomo kecil sebelum masuk ke dunia pesantren. Hal itu misalnya, diceritakan Utomo kepada sahabatnya, Nurhuda. Lalu Nurhuda menceritakan kembali apa yang pernah dialami sahabatnya di waktu masa kanak-kanak. Tomo kecil menjalani kehidupan seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Namun, anak seorang guru tentu tidak sebebas anak-anak lain dalam menentukan pergaulan. Tomo kecil dididik ayahnya dengan keras. Kendati hidupnya sederhana, Tomo dan keluarganya termasuk cukup terpandang, orang kampung memanggil ayahnya dengan sebutan pak Guru (hal: 280). Figur-figur yang menjadi sorotan dalam dunia terorisme umumnya menganut suatu pandangan bahwa dunia tidak adil terutama terhadap kelompoknya. Pandangan ini mencerminkan bahwa para teroris menganut suatu keyakinan yang disebut dengan istilah BIUW atau Belief in Unjust World. Keyakinan psikologis ini begitu terpatri sehingga mengendalikan hampir semua perilaku dalam kehidupan sehari-hari para teroris. Setiap fenomena dan peristiwa buruk yang menimpa umat Islam dilihat oleh mereka sebagai suatu bentuk ketidakadilan dunia yang sengaja diciptakan dan ditujukan kepada kelompok identitasnya. Mereka cenderung merepresentasikan diri mereka sebagai pembela kaum mereka yang tertindas sehingga seluruh jiwa dan raga mereka sepenuhnya dimaksudkan untuk membela umat. Menghadirkan Ideologi Ideologi seringkali menjadi sumber justifikasi untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi pada diri seseorang. Konsekuensi dari ketidakadilan tersebut adalah mencari penyebab ketidakadilan dan diskriminasi, atau mencaritahu aktor yang menyebabkan berbagai ketidaknyamanan yang dialami seseorang atau komunitasnya. Pada saat itulah akan ada batas demarkasi antara siapa yang pantas disebut kawan dan siapa yang pantas disebut lawan. Hal itu umumnya terjadi tidak lama setelah seseorang mengalami masa-masa krisis pencarian makna diri (Moghaddam, 2004). Hal seperti itu misalnya tercermin pada suasana psikologis yang dialami oleh Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan. “ Saya masih muda waktu itu, menjelang usia dua puluhan. Kedatangan ke Malaysia bagi saya adalah awal dari pelajaran hijrah. Perjalanan yang kami tempuh dengan jalur darat dari Solo merupakan perjalanan yang mengesankan. Dari Jawa ke Sumatera, berhari-hari saya habiskan di dalam bus dan berhenti di berbagai persinggahan. Sempat saat itu saya teringat rumah di Kulon Progo. Terbayang Stasiun Kedundang di desa saya. Kereta api yang datang dan pergi di stasiun itu tak pernah mengajak saya hijrah sejauh tempat ini. Bagaimanapun, jauh dari Ibu, Bapak, dan keluarga adalah hal yang biasa saya alami sejak mengenyam pendidikan di pesantren. Lagi pula, di tempat itu, saya tidak merasa sendiri. Faturrahman Al-Ghozi, Ustad Dullah, dan ikhwan-ikhwan yang saya jumpai adalah keluarga baru yang menyatu dalam persaudaraan Islam yang kokoh. Kami sering bersamasama dalam berbagai kegiatan pengajian dan dakwah Islam. Di Malaysia, saya merasa tengah mempersiapkan diri saya untuk berjihad, tetapi jihad yang saya pikirkan saat itu adalah mencari sekolah dan mendalami ilmu Islam di negeri-negeri jauh.” Tahap ini juga ditandai dengan munculnya dorongan untuk melawan penindasan dan kezaliman yang terjadi di depan mata. Pada tahap ini, emosi seseorang akan terpancing untuk terlibat dalam berbagai kondisi, dan kemudian menggerakkannya untuk bertindak, sebagaimana yang dinyatakan Utomo Pamungkas: “Tetapi saya tidak mau menjadi Muslim yang hanya duduk-duduk menyaksikan saudara seiman ditindas, tak mau hanya berteori dan berwacana, sementara bayi-bayi dan perempuan, masjid dan rumah-rumah kaum Muslim Afghanistan dihancurkan oleh mesin-mesin pembunuh Rusia” (hal: 19). Ketika emosi tergerak, lalu seseorang yang sudah memasuki tahap ini akan mencari justifikasi dari berbagai sumber untuk membenarkan tindakan dan ideologi yang dianut. Dalam kasus para teroris yang mengatasnamakan agama, justifikasi jihad sebagai alat untuk berjuang melawan kezaliman dan penindasan mendapatkan energi dari berbagai inspirasi para tokoh pemikir keagamaan atau tokoh ulama terkemuka yang kharismatik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Utomo Pamungkas: “Siapa bilang Islam tidak mengajarkan revolusi? Siapa bilang Islam tidak melahirkan anak-anak revolusioner? Dalam buku catatan pemikiran jihad, ulaam As-Suri mencatat Al-Maududi sebagai bagian dari pemikir jihad yang cukup berpengaruh pada masa kini. Al-Maududi mendefinisikan jihad sebagai perjuangan revolusioner untuk mencapai kekuasaan, demi kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Jihad dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk: melalui karya tulis, dakwah, bekerja, belajar, tetapi setiap muslim harus siap memasuki perjuangan senjata” (hal: 41). Pernyataan Utomo Pamungkas di atas mewakili radikalisme Islam modern. Menurut sejumlah ahli, seperti Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. (2010), radikalisme Islam modern berpijak pada suatu ideologi yang digagas oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) yang menyeru kepada pemurnian Islam dan ingin mencipakan suatu masyarakat yang berdasarkan penafsiran ulang yang radikal tentang Islam. Penafsiran ekstrim tentang Islam menurut doktrin Muhammad bin Abdul Wahhab saat ini dikenal dengan sebutan Wahhabisme yang sangat mempengaruhi organisasi-organisasi radikal seperti Taliban, Al-Qaida dan lain-lainviii. Yang menarik untuk ditelaah, menghadirkan ideologi dalam perjuangan tidak semata-mata dilandasi oleh emosi dan krisis identitas, tetapi –pada kasus teroris tertentu—juga dilandasi oleh argumen yang terkesan sangat cerdas dan intelektual, sebagaimana yang diungkapkan Utomo Pamungkas berikut ini. “Pasca perang dunia II, ketika banyak Negara mencari identitas kebangsaan dan sibuk merumuskan ideology perjuangan, jihad dalam pandangan saya adalah solusi dari kebuntuan teori-teori gerakan social. Terutama di timur tengah, yang merupakan pusat dari peadaban Islam. Jihad merupakan inspirasi kebangkitan perlawanan terhadap hegemoni barat yang telah lama menanamkan paham imperialism dan kolonialisme” (hal : 42). Intinya, ideologi menjadi kekuatan penting bagi seorang teroris, walaupun ideologi bukan faktor pendorong pertama yang menarik seseorang ke dalam dunia teror. Memang, sejumlah penelitian seperti Crenshaw (2001) menyatakan bahwa ideologi bukanlah anasir pertama yang menarik seseorang menjadi bagian dari jaringan teror, tetapi ideologi menjadi bahan bakar utama yang memantik keberanian seseorang melakukan teror dan pengrusakan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Untuk konteks terorisme yang menggunakan Islam sebagai baju dan sumber inspirasi gerakan, dapat dikatakan bahwa salafisme, suatu aliran yang diusung oleh tokoh-tokoh Islam konservatif yang ingin mengembalikan pola dan gaya hidup di zaman Rasulullah. Tetapi tentu saja, harus dikatakan bahwa salafisme itu beragam dan mengalami perubahan dan kontekstualisasi yang luar biasa. Salafisme yang menjadi sumber ideologi kaum Islam garis keras adalah salafisme yang menekankan ajaran jihad sebagai bentuk perlawanan dan cara untuk meraih kejayaan Islam. Gerakan kaum salafi (seringkali disebut Kaum Wahabi) merupakan gerakan keagamaan yang berisi banyak figur dan faksi, mulai dari Osamah bin Laden sampai para mufti di Saudi Arabia serta mencerminkan banyak posisi terkait isu-isu politik dan kekerasan. Terdapat sumber kesatuan yang menghubungkan antara kaum salafi ekstrimis garis keras dan kaum puritan non kekerasan. Walaupun menganut ajaran yang sama, tetapi mereka berbeda dalam melihat masalah kontemporer dan bagaimana ajaran Salafi diterapkan. Perbedaan dalam hal penafsiran konteks atau situasi menciptakan tiga faksi dalam gerakan salafi, yaitu purits (kaum pemurni), politicos (pengusung Islam politik) dan jihadis (pengusung jihad)ix. Dalam rentetan proses menjalankan aksi teror, seorang teroris kerapkali mengalami kegundahan atau mungkin kekecewaan akibat banyak hal yang dipandang tidak jelas atau abu-abu dalam menjalankan amaliah jihad (aksi teror), misalnya seperti sumber pendanaan yang tidak jelas sehingga menimbulkan perbedaan pendapat atau membuat korban yang tidak sepantasnya menjadi korban. Hal itu tergambar misalnya dari pernyataan Utomo Pamungkas dalam salah satu dialog dengan Nurhuda: ―Faktor pendanaan aksi pengeboman ini juga membuat saya berpikir ulang. Rasanya ada yang salah dalam aksi itu sebab sebagaian uang operasionalnya berasal dari hal yang masih abu-abu, yaitu hasil rampokan sebuah toko emas. Mungkin karena kekurangbersihan dalam masalah dana ini, banyak madharat (kerusakan) yang kita terima setelah aksi. Banyak ikhwan yang sebenarnya tidak setuju dan tidak tahu menahu soal aksi ini tetapi kena pulutnya. Saya sering mengalami pergulatan batin tentang dampak yang mesti mereka tanggung. Mereka sesungguhnya juga korban dari perbuatan kami ini” (hal: 258). Mencari Kambing Hitam ―Ini adalah jihad kami, untuk memberi pelajaran kepada Amerika, Negara Koran tempat antum bekerja itu agar mereka tidak menzalimi Islam”, jawab Utomo (hal: 261). Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana dan kepada siapa Utomo mengarahkan kesalahan dan penyebab kezaliman yang dirasakan umat Islam di berbagai belahan dunia. Dalam pernyataannya, Utomo secara tegas menunjuk Amerika sebagai biang keladi berbagai kondisi buruk yang menimpa umat Islam terutama di Timur Tengah. Pertanyaan yang patut diajukan dalam hal ini adalah kenapa tindak teroris tidak dilakukan langsung kepada Amerika secara langsung, tetapi ditujukan kepada pihak lain yang dipersepsikan berkaitan dengan Amerika, misalnya seperti yang terlihat dari sasaran tindak teroris yang dipilih? Hal itu dijawab secara terang-benderang oleh teori kambing hitam atau scapegoat theory yang diambil dari kalangan ahli psikologi sosial atau sosiologi, dan mekanisme displacement yang dikemukakan oleh para penganut psikoanalisa terutama Sigmund Freud. Dalam perspektif teori kambing hitam, ketika seseorang mengalami suasana krisis yang menimpa dirinya atau kelompoknya, mekanisme psikologis yang biasa dilakukan adalah mencari pihak lain sebagai penyebab berbagai krisis yang terjadi. Hal itu terjadi karena seseorang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol diri, dan biasanya ada pihak lain yang dipilih untuk dijadikan sebagai penyebab berbagai krisis dan kekecewaan yang dirasakan. Namun karena ia tidak mampu melakukan perlawanan secara langsung kepada target yang dipersepsi sebagai pihak yang bertanggungjawab maka mekanisme psikologis displacement of aggression dilakukan, yaitu dengan memilih target lain yang memiliki ikatan atau hubungan nyata atau simbolik terhadap target utama. Mulai Berpikir Kategoris dan Cenderung Kaku Salah satu ciri seseorang yang sudah memasuki dunia yang radikal dan teroris adalah kecenderungan bermental ―kami‖ versus ―mereka‖ serta kaku dalam memahami dan teks agama dan kehidupan. Hal itu tidak lepas dari pengaruh doktrin atau ajaran kaku yang diperoleh dari seorang guru yang dipandang kharismatik sebagaimana gambaran Utomo tentang para mentor dan guru yang telah menggembelengnya. ―Ustaz Abu bukan seorang orator seperti Ustaz Dullah. Retorika beliau cenderung seperti mengajar guru kepada muridnya. Tenang, datar, dan dogmatis. Beliau lebih banyak bicara masalah syariah atau hokum-hukum dalam islam. Beliau sering berkata: “Ini kata Al-Quran –nya begini, ya, kita harus mengikutinya. Tidak ada jalan tengah. Karena di dunia ini hanya dua, hizbullah, golongan Allah, atau hizbusy syaithan, golongan setan. Tinggal kita mau pilih yang mana. Orang islam tidak bisa abu-abu‖ (hal: 292). Pada tahap ini tergambar dengan jelas bahwa berfikir fundamentalis dan radikalis yang dipengaruhi oleh ajaran tertentu adalah ciri khas seorang yang potensial melakukan tindak terorisme, walaupun radikalisme dan fundamentalisme tidak otomatis akan mengarah kepada terorisme. Pandangan yang cenderung memilah antara lawan dan kawan, atau antara ingroup dan outgroup, yang disertai dengan kecenderungan lebih bersikap positif kepada kawan dan lebih bersikap negatif kepada lawan atau pengutamaan terhadap anggota kelompok sendiri dan pengakhiran atau pengabaian terhadap anggota kelompok lain berkaitan erat dengan seberapa besar tingkat identifikasi seseorang terhadap kelompoknya. Dalam hal ini, terlihat juga bagaimana mekanisme dehumanisasi orang lain atau kelompok lain sangat dominan pada diri seorang yang penganut ideologi radikal dan garis keras. Mekanisme dehumanisasi mencakup anggapan bahwa orang lain atau kelompok lain bukanlah manusia atau kumpulan manusia, tetapi iblis atau kumpulan iblis yang harus dienyahkan dari muka bumi. Pembatasan garis demarkasi yang memilah antara kemanusiaan dan ketidakmanusiaan menjadi ciri khas yang menonjol pada penganut ajaran radikal, atau dalam bahasa psikologi sosial, ingroup (kelompok sendiri) adalah kumpulan orang baik, sedangkan outgroup (kelompok lain) adalah kumpulan orang jahat. Mentalitas ingroup dan outgroup akan semakin kuat bila dipengaruh oleh faktor orientasi budaya sebagaimana dikatakan oleh Hofstede, seorang ahli psikologi sosial lintas budaya yang berasal dari negeri Belanda. Menurutnya, ada dua orientasi budaya yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam konteks interaksinya sebagai individu dan sebagai kelompok, yaitu orientasi kolektivis dan orientasi individualis. Masyarakat dapat dianggap berorientasi kolektivis jika anak-anak mereka menumbuhkan dan mengembangkan belajar untuk mengkonsepsi diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok ―kami‖, yaitu suatu hubungan yang tidak sukarela tetapi muncul secara alamiah. Individu-individu yang lahir dari masyarakat yang berorientasi kolektivis cenderung dengan mudah melakukan kategorisasi antara kita dan mereka; antara kawan dan lawan; antara baik dan buruk. Pandangan Hofstede tersebut dapat menjelaskan kenapa para teroris yang berasal dari kelompok masyarkat kolektivis cenderung membuat garis demarkasi yang tajam antara kebaikan dan keburukan, kesalehan dan kemaksiatan, manusia dan setan, serta musuh dan lawan. Dalam beberapa sesi wawancara, Merari (2007) dan Crenshaw (2005) menemukan bahwa para teroris umumnya mengkategorikan musuh-musuh mereka sebagai setan yang harus dihancurkan atau golongan kafir yang harus dimusnahkan. Melakukan tindakan teroris dengan Keyakinan Penuh Ketika seseorang telah memasuki tangga terakhir proses menjadi teroris, setiap tindakan teror yang dilakukan dilandaskan atas keyakinan tertentu dan kesetiaan penuh terhadap organisasi, sebagaimana yang dikatakan oleh Utomo dalam suatu sesi wawancara dengan Nurhuda Ismail: “Apapun keputusan organisasi harus ditaati dan dijalankan sebaik-baiknya. Itu adalah syarat mutlak seorang anggota jamaah. Ketika jamaah menetapkan bahwa saya harus bergerak maka saya harus bergerak. Tidak ada kata’ tidak’ dalam hidup berjamaah” (hal: 65). Pada titik ini, kesatuan seorang teroris dengan organisasinya tidak bisa dipisahkan lagi kecuali oleh kematian. Tetapi sudah barang tentu bahwa pernyataan ini tidak menegasikan kemungkinan seorang teroris untuk berubah menjadi ―bukan teroris‖ atau mengalami deradikalisasi dan disengagement dari tindak teroris atau keluar dari organisasi teroris. Satu hal yang patut ditegaskan bahwa moral atau pandangan tentang kebaikan dan keburukan yang ada di benak kebanyakan orang tidak lagi menjadi pegangan bagi kaum teroris. Mereka mengalami apa yang disebut dengan mekanisme ―moral disengagement” yaitu lepasnya nilai-nilai moral mainstream dalam berpikir dan bertindak. Sebaliknya, mereka menganut moral sendiri yang berbeda dengan nilai moral yang dianut kebanyakan orang. Bila merujuk kepada konsep ―disengagement moral” yang dikembangkan oleh Albert Bandura, seorang ahli psikologi sosial terkemuka dari Benua Amerika, maka ada beberapa mekanisme disengagement moral yang dilakukan para teroris dalam melakukan teror dan dalam melihat kerusakan dan korban. Cerdas dan Menjadi Teladan Penelitian para ahli terorisme dan kekerasan politik menemukan data yang cukup mencengangkan yaitu bahwa hampir semua pelaku teror bom di berbagai belahan dunia adalah kumpulan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Misalnya, Dr. Azahari adalah seorang dosen bidang sains yang sangat cerdas di sebuah perguruan tinggi di Malaysia atau Yaonis Tsaoli, seorang anak muda Muslim dari Inggris yang dikenal dalam dunia maya dengan kode ―Irhabi 007‖ adalah seorang ahli komputer yang sangat cerdas dan brilian. Dalam rentang waktu dua tahun ia dikenal di dunia maya sebagai pendekar teroris internet yang tak tertandingi. Tsaoli kemudian berhasil ditangkap oleh kepolisian Inggris dengan tuduhan yang tidak berkaitan sama sekali dengan dunia maya. Bagaimana dengan para tertuduh teroris di Indonesia? Apakah mereka tergolong orang-orang yang berpendidikan dan cukup cerdas? Bagaimana pula dengan Utomo Pamungkas yang menjadi subjek penelitian ini? Apakah ia tergolong berpendidikan dan cerdas? Apakah ia memiliki wawasan dan pengetahuan yang tinggi? Utomo adalah figur seseorang yang cerdas dan bahkan menjadi contoh atau inspirasi bagi yunior-yuniornya semasa belajar Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo. Ia terbilang anak yang istimewa dari segi prestasi dan keterampilan. Dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil menghafal Al-Quran, memiliki pengetahuan dan pemahaman hadis Nabi yang luas serta menguasai dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal itu setidaknya seperti tergambar oleh cerita Nurhuda tentang seniornya semasa di pesantren dulu. Katanya: “Untuk anak seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah. Lebih-lebih, kudengar, akhi fadlul terbilang anak yang sangat cerdas. Hafal Al-Quran, fasih menafsirkan hadis, lancer berbahasa arab dan inggris, juara kelas pula. Pengamatanku itu sudah cukup memberi alasan untuk menyematkan label “senior yang karismatik dan patut dicontoh” kepadanya” (hal: 135). Gambaran karakteristik psikologis Utomo di atas setidaknya menguatkan pandangan bahwa para teroris bukanlah kumpulan orang-orang yang bermasalah di masa lalu atau dalam bahasa psikologi, bukanlah orang yang mengalami psikopatologis. Utomo adalah orang yang sangat normal, bahkan pada konteks tertentu sangat cerdas dan menonjol dari segi kepemimpinan. Oleh karena itu, temuan di atas menolak kesimpulan penelitian sebelumnya bahwa para teroris adalah kumpulan orang gila, dan sekaligus memperkuat kesimpulan penelitian yang lain bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang sangat sadar akan tindakan dan tujuan yang ingin mereka raih di balik tindakan teror tersebut. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dalam penelitian ini berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dikemukakan pada bab sebelumnya, sedangkan saran dalam penelitian lebih banyak berkaitan dengan saran teoritis, metodologis atau kebijakan yang diambil dari hasil telaah, ekstraksi dan pemahamaman atas temuan-temuan penelitian yang dikemukakan pada bab terdahulu. Kesimpulan Penelitian ini akan menyimpulkan atau menjawab beberapa pertanyaan yang dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu: 4. Variable apa sajakah yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi teroris? 5. Dari variable yang ada, bagaimanakah peran variable-variabel tersebut terhadap proses terbentuknya teroris? 6. Bagaimanakah interaksi antar variabael yang menyebabkan seseorang menjadi teroris? Dari paparan dan analisa teori beserta data empirik yang telah dikemukakan peneliti maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut, yaitu: 1. Pada umumnya, ada dua variabel penting yang membentuk seseorang menjadi teroris, yaitu variabel disposisi atau kepribadian dan variabel situasi atau lingkungan. Kedua variabel ini bersinergi membentuk kekuatan psikologis yang mendorong individu bergabung ke dalam kelompok teroris dan melakukan teror. 2. Kedua variabel tersebut sangat kuat mempengaruhi terbentuknya seseorang menjadi teroris melalui tahapan-tahapan psikologis atau tanggatangga menjadi teroris sebagaimana disampaikan oleh Fathali Moghaddam (2005). 3. Interaksi antar-variabel terjalin cukup kuat dalam sebuah proses yang panjang dengan melibatkan berbagai anasir seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan psikologi. Saran Berdasarkan temuan dan kesimpulan penelitian yang telah diperoleh peneliti maka disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Penelitian ini sebaiknya ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian kuantitatif karena penelitian ini baru sampai pada tingkat membangun dan meperkuat teori yang dikembangkan oleh Fathali Moghaddam. Penelitian berikutnya diharapkan dapat membuktikan secara kuantitatif kebenaran teori yang dikemukakan oleh Moghaddam. 2. Bila pendekatan penelitian yang sama dilakukan di masa yang akan datang maka sebaiknya jumlah subjek diperbanyak agar data dan temuan penelitian semakin memperkaya teori yang telah ada. 3. Perlu dilakukan penelitian profil tentang para teroris Indonesia sebagai sumber data penting untuk mengkaji lebih dalam dan lebih jauh tentang psikologi terorisme di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ali Imron (2007). Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika Al-Maqdisi, Abu Muhammad. Mereka Mujahid tapi Salah Langkah/Abu Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy – Solo: Jazeera, 2007 Damien Dematra (2009). Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama Ed Husain (2007). The Islamist. London: Penguin Book Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009 Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009 Fuad Hussein. 2008. Generasi Kedua Al-Qaidah: Apa dan Siapa Zarqawi; Apa Rencana Mereka Ke Depan?. Solo: Penerbit Jazeera. Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World Organization for Resource Development and Education. Hussein. F. 2009. Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon Kelompok Perlawanan Iraq Masa Kini/ Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad Syakirin; Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera. Imam Samudra (2004). Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera Ismail. N.H., 2010. Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah Kruglanski A.W & Chen X & Dechesne M & Fishman S & Orehek E, 2009. Fully Committed: Suicide Bombers’ Motivation and the Quest for Personal Significance. Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 2009 N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden (2010). Jakarta:Penerbit Literati Noor Huda Ismail. 2010. Temanku, Teroris? : Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Jakarta : Penerbit Hikmah Schwartz, S.J & Dunkel, C.S. & Waterman, A.S. (2009). Terorism: An identity theory perspective. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 32:537– 559, Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomi of the salafi movement. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 29:207–239 Lampiran 1 GENERASI KEDUA AL-QAIDAH Kehidupan badui adalah pilar utama dalam pembentukan watak Zarqawi. Anda akan mendapati orang badui sebagai orang yang berwatak baik, cepat melupakan masalah orang, cintanya kepada orang lain bersifat sepintas lalu, demikian juga ketika ia mau menerima bantuan dari orang lain sifatnya sepintas lalu (hal: 9). Ia juga memiliki sifat mulia, berani, dan ramah layaknya seorang badui. Seorang badui juga di kenal dengan sikap balas dendam, sama sekali ia tidak melupakan perlakuan buruk musuhnya sampai kapanpun. Dan kebanyakan, seorang badui mempuyai tingkat kesabaran yang tinggi untuk membalaskan keinginan balas dendamnya (hal: 11). Zarqawi kecil, sedari dini, telah tumbuh kesadaran tentang hidup bersama kejahatan dan kebaikan sekaligus. Ia bisa hidup dengan dua hal yang kontradiktif ini. Selain masa kecil yang lama dia habiskan diantara kuburan-kuburan itu, menumbuhkkan perasaan “berdamai” dengan nilai-nilai kontradiktif antara kematian dan kehidupan (hal: 11). Namun sebagaimana pada pemuda Yordania muslim yang lain, Zarqawi mempunyai semangat pergi ke Afghanistan di akhir tahun 1980-an. Di sanalah para pemimpin seperti Abdullah Azzam dan Usamah bin Ladin berada. Di kalangan mujahidin Afghan, ia dipandang sebagai pemimpin. Ia juga dipandang sebagai pemberi ilham bagi setiap sukarelawan Arab dan Muslimin. Abdullah Azzam merupakan pemimpin bersejarah utama jamaah Ikhwan Muslimin di Yordania (hal: 13). Saat berada di Afgahanistan, Zarqawi tak lupa membuat hubungan yang erat dengan masyarakat Afghan – Arab. Seorang saudari kandungnya dinikahi salah seorang mereka, sebagai bentuk penghargaan Zarqawi atas keberanian lelaki itu yang kehilangan salah satu kaki dalam perang melawan Soviet (hal: 14). Ia mendirikan organisasi dan mengembangkan pandangan-pandangannya. Ia bersepakat dengan Al-Maqdisi. Tujuannnya mendirikan organisasi keagamaanyang secara pemikiran ia maksudkan, pertama-tama, untuk menggalang para pemuda dan mendoktrinnya dengan pemikiran yang selama ini ia yakini. Selanjutnya diikuti dengan langkah mengumpulkan senjata dan bom untuk latihan terlebih dahulu, lalu melakukan operasi militer terhadap Israel (hal: 15). Abu Muhammad Al-Maqdisi sang arsitek utama organisasi ini – yang mereka namakan sebagai Jamaah At-Tauhid – mulai memberikan pelajaran dan kuliah di masjid-masjid dan tempat-tempat perkumpulan pemuda. Tujuannya menarik mereka menjadi anggota organisasi baru itu (hal: 15). Didirikannya Jamaah At-Tauhid bersama Al-Maqdisi yang menggiringnya ke penjara selama lima tahun,merupakan langkah praktis pertama dalam perjalanan Zarqawi berikutnya. Demikian pula, penjara menjadi terminal terpenting dalam pembentukan kepribadiannya (hal: 16). Mayoritas kelompok Al-Maqdisi dan Zarqawi tidak rampung kuliah, kecuali AlMaqdisi yang selesai kuliah di salah satu universitas Saudi Arabia pada jurusan ilmuilmu agama dan Abu Muntashir yang memperoleh gelar sarjana sastra (hal: 18). Selama tiga tahun pertama usianya hidup di penjara, Zarqawi di bawah bimbingan Al-Maqdisi. Semua buku-buku dan pemikiran Al-Maqdisi dia lalap. Ia kuping seluruh dialog antara Al-Maqdisi dengan tokoh-tokoh pemikir Islam Yordania lainnya yang sama-sama mendekam di penjara. Pada saat inilah, Zarqawi mengembangkan pengetahuan agamanya. Di penjara tersebut, ia bahkan mampu menghafal seluruh Al-Quran di luar kepala (hal: 19). Di dalam penjara, Zarqawi adalah seorang yang sederhana, kalem dan banyak diam. Jika diajak bicara dia akan bicara, jika tidak diajak bicara tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia menghabiskan waktu-waktu luangnya untuk menghafal Al-Quran dan membaca buku-buku agama yang lain. Ia penuh perhatian dengan shalat fardhu dan qiyamullail, dan segala hal yang berkaitan dengan nutrisi spiritual. Tiada tempat di hatinya bagi bacaan sastra, politik atau bacaan yang jauh dari masalah agama. Ia juga sangat memperhatikan latihan fisik. Ia begitu menjaga vitalitas badan (hal: 23). Di dalam penjara, Zarqawi berperilaku sebagai dua karakter. Pertama adalah karakter yang ia pakai dalam berinteraksi dengan jamaahnya. Dalam hal ini, ia dianggap sebagai ayah yang kasih, pemurah, sayang, lagi lembut. Zarqawi adalah tokoh yang mempunyai sifat leadership cukup kuat. Sifat-sifat seperti itulah yang kemudian memungkinkan dirinya membangun jaringan yang terkuat di kawasan timur tengah (hal: 24). Kepribadian Zarqawi yang kedua adalah kepribadian yang dilakukan ketika berinteraksi dengan pihak berwenang di dalam penjara. Ia orang yang sangat serius, bertampang menyeramkan. Membatasi interaksi dengan mereka hanya pada hal-hal resmi (hal: 24). Ibunda Zarqawi adalah pilar kedua dalam pembentukan karakternya. Ayahanda dan ibunda, keduanya dalam satu waktu banyak berpengaruh dalam masa kecilnya, keduanya telah mendidik Zarqawi dengan cara konservatif (hal: 24). Dalam membangun jaringannya, Zarqawi mengandalkan unsur-unsur sumber daya manusia yang berbeda dengan unsure yang diandalkan Bin Ladin dan Adh-Dhawahiri – yang memfokuskan pada para sukarelawan dari Jazirah Arab dan Mesir secara khusus dan pendanaan keduanya yang mengandalkan aliran dana dari Jazirah Arabia. Dalam membangun jaringannya, Zarqawi mengandalkan unsure dari negeri Syam (Yordania, Palestina dan Suria) sehingga anggota jaringan ini dinamakan Jund AsySyam (tentara Syam ) (hal: 34). Zarqawi dalam membangun jaringannya bertumpu pada asa hubungan family (hal: 35). Sikap keras Zarqawi tidak saja terbataas dengan Syiah saja, tetapi juga terhadap muslimin Sunni baik Arab maupun Kurdi, dengan alasan ketakutan perang antar faksi atau kelompok tiada lain merupakan seruan untuk diam terhadap penjajahan (hal: 43). Zarqawi berkata kepada sang hakim bahwa dirinya tidak mengakui Musyarri’ (legislator) selain Allah. Meskipun musyarri’ itu seorang alim, penguasa, parlemen atau sesepuh klan. Ia menganggap semua yang menghukumi dengan selain syariat Allah dan bekerja sesuai undang-undang konvensional di mana pemerintah melaksanakannya, telah musrik kepada Allah (hal: 51). Zarqawi tidak mengakui hukum konvensional dan tetap komitmen dengan syariat Allah (hal: 51). Dari sini kita pahami, dari balik suratnya kepada anggota klannya, Zarqawi bermaksud menasehati agar orang-orang yang menyimpang kembali ke jalan yang benar dan lurus (hal: 54). Banyak berdalil dengan teks-teks agama, Zarqawi bermaksud ingin menunjuk akan kepastian berdirinya Negara Islam atau khilafah Islamiyah (hal: 64). Meski demikian, menurut Zarqawi, tidak mungkin menentukan waktu yang pasti berdirinya khilafah atau Negara islam – karena hal itu bukanlah tugasnya. Tugas yang ia emban adalah bekerja untuk agama dan menegakkan syariat, dan berusaha sekuat tenaga untuk hal itu. Sedangkan hasilnya, “Kita serahkan kepada Allah SWT” (hal: 65). Zarqawi mengingatkan mujahidin, bahwa mereka harus bersyukur kepada Allah atas cobaan (mihnah) yang pada hakikatnya adalah karunia (minhah) besar lagi mulia dari Allah. Inilah fitnah yang di dalamnya terkandung nikmat besar. Ia juga berkata, “seandainya pada pendahulu pertama dari Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lainnya hadir pada zaman ini, tentu sebaik-baik amal yang mereka kerjakan adalah jihad melawan kaum yang berbuat jahat itu” (hal: 71). Zarqawi menertawakn sikap sebagian ulama yang menganggap aksi penyembelihan sandera Amerika Berg – yang dilakukan sendiri dengan tangan Zarqawi – sebagai aksi yang mencoreng citra islam di Barat. Ia berkata, “sebagian mediator berusaha untuk menolong keledai keras kepala ini – maksudnya Nicholas Berg, sndera Amerika itu. Meski akan berikan semua uang yang kami minta. Meski kami sangat membutuhkan uang untuk menjalankan roda jihad, namun kami lebih memilih untuk membalas dendam demi ikhwan dan umat kami” (hal: 74). Problem yang saya hadapi adalah tergesa-gesanya akhi Zarqawi. Ia ingin segala sesuatu engan cepat. Seolah-olah ia ingin mewujudkan semua yang diinginkannya dalam beberapa bulan saja, bahkan kalau bisa dalam hitungan jam. Ketergesagesaan ini merupakan factor ancaman yang mengintai dakwah kami (hal: 87). Allah SWT telah menjadikan penjara sebagai terminal untuk belajar dan mengajar ikhwan saya di dalam dan luar penjara. Di sana, Dia bukakan kepada kami futuhat (kemenangan-kemenangan) yang seandainya musuh-mush Allah mengetahuinya, tentu mereka sejenak pun mereka tidak akan memenjadrakan kami. Alhamdulillah atas karunia dan nikmatNya (hal : 112). Sedangkan Zarqawi, ia selalu berkata kepada orang-yang mengingatkan kepergiannya meninggalkan negeri: bahwa ia adalah seorang yang mencintai jihad, ia tak sabar untuk menuntut ilmu, mengajarkannya, dan berdakwah kepada Allah (hal: 113). Zarqawi, menurut yang kami yakini, adalah pengikut akidah Ahlusunnah wal Jamaah. Sesuai dengan manhaj kami dalam dakwah menuju tauhid, yaitu menampakkan dan menyatakan agama Ibrahim dan bara’ah dari thaghut dan para pendukung mereka, dan mengkafirkan mereka (hal: 119). Poin –poin perbedaan dengan Zarqawi bukanlah hal baru bagi kami dan bukan satusatunya. Ratusan ikhwan yang dating kepada kami dari berbagai tempat di dunia sebelumnya, juga berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal. Semua itu ujung pangkalnya pada pemahaman yang beragam akan beberapa sisi akidah yang berkaitan dengan masalah Al-Wala’ wal Bara yang nantinya akan terkait dengan masalah At- Takfir dan Al- Irja. Masalah kedua adalah soal metode amal dan interaksi dengan realita yang melingkupi. Masing-masing sesuai ruang lingkup dan tanah airnya (hal: 135). Kini pola pikirnya bersifat global, mencakup seluruh realita umat islam secara umum; Gigih, teliti dan berupaya untuk segera mewujudkan suatu tujuan menjadi salah satu dari cirri sifatnya; Gemar membaca dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia kini selalu menjadi perhatiannya; Zarqawi sangat mengagumi Nuruddin Zanki, sosok pemimpin Islam yang cerdas yang memimpin proses pembebasan dan perubahan yang kemudian diteruskan oleh pahlawan Salahuddin Al- Ayyubi; Perhatian Zarqawi dengan orang-orang di sekelilingnya bertambah. Ia selalu berdiskusi denganku tentang metode-metode yang bisa memperkokoh hubungan social dan psikologis di antara mereka. Lalu ia mengambil sampel Rasulullah SAW yang menikahi putri dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar; Aisyah dan Hafsha sebagai tauladan yang seharusnya diikuti. Maka ia pun menikahi putri salah satu temannya dari Palestina yang bergabung dengannya dari Yordania. Ia juga menghimbau temantemannya untuk menikahi putri teman-teman mereka yang lain dan sebaliknya, padahal umur-umur putrid-putri mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan umur perempuan sebaya lain ketika menikah di dunia Arab. Dengan demikian, Zarqawi dan ikhwannya menjadi satu keluarga yang saling asih dan asuh, dari semua segi; akidah, social, dan ekonomi; Dua tahun setelah bekerja dan membangun di Heart, Zarqawi mulai berpikir untuk mengirimkan teman-teman terbaik yang dipercayanya ke luar Afghanistan untuk berusaha di bidang penggalangan massa dan pengumpulan dana. Upaya ini, seingat saya, dimulai dengan mengirim kader ke Turki dan Jerman. Karena ikhwan dari Suriah yang bergabung dengannya mempunyai jangkauan yang baik di dua Negara ini; Zarqawi termasih salah satu ikhwan yang pernah saya temui, yang paling mempunyai ghirah (sensifitas pembelaan) dengan kehormatan,darah, dan nama baik muslimin (hal: 149). Lampiran 2 Sekilas Profil Abu Mus’ab Al-Zarqawi Zarqawi lahir di Yordania, di sebuah tempat kumuh bernama Zarqa. Kehidupan kecilnya merupakan kehidupan badui, yang terkenal dengan watak baik, cepat melupakan kesalahan, cintanya kepada orang sepintas lalu. Selain itu dia memiliki sifat mulia, berani, ramah dan pendendam. Ada beberapa pilar yang membentuk wataknya. Diantaranya adalah kehidupan baduinya, ibundanya, dan Abu Muhamad Al-Maqdisi. Zarqawi kecil merupakan anak yang moderat, hidup dalam kesadaran tentang hidup bersama kejahatan dan kebaikan sekaligus. Didikan yang diberikan oleh orang tuanya dengan cara konservatif. Setelah melakukan jihad di afghanistan, ia mendirikan jamaah Tauhid yang isinya berupa doktrin jihad di masjidmasjid dan tempat perkumpulan pemuda. Karena kegiatan tersebut, ia dan al-Maqdisi dimasukkan ke penjara oleh keamanan Yordania. Dan dari penjaralah dia banyak belajar. Konstruk Deskripsi Moderat - Konformitas kelompok - Religius - Pengambil keputusan Agresif - Radikal - Leadership - Ambisius - Konservatif - Pada masa kecil, Zarqawi merupakan orang yang moderat, karena ia tumbuh dengan kes hidup bersama kejahatan dan kebaikan sekaligus Teman-teman baru Zarqawi pada masa sekolah tingkat atas mayoritas berasal dari berbag islam, dengan berbagai ijtihad yang berbeda, sama-sama mendorong kaum muda untuk b sehingga ide jihad dan mati syahid tumbuh berkembang. Belajar agama di penjara dan menghafal Al-quran di penjara. Zarqawi adalah orang yang sederhana, kalem, banyak diam, ia menghabiskan waktu luan menghafal Alquran, penuh perhatian kepada shalat fardu dan qiyamullail. Mencintai ibunya dan menempatkan ibunya di tempat yang Agung (Taat orang tua) Sikap tegas dan kharismatik mampu menarik anggota organisasi penjara untuk tunduk da menyerahkan tongkat kepemimpinan sehingga ia menjadi pengambil keputusan Membunuh seorang tahanan Amerika, Nicholas Berg, dengan cara menggorok lehernya. Zarqawi tidak puas dengan Al-Qaidah dan Taliban. Keduanya kurang keras dalam memu musuh Allah. Baginya, aksi-aksi harus lebih berdarah dan menyakitkan. Melakukan serangan bom mobil thd Izzudin Salim Menyerang kantor-kantor polisi dan tentara Iraq dan menyatakan siap membunuh Iyad A Iraq) dengan menyiapkan racun yang mematikan dan pedang yang tajam Menganggap kafir orang-orang yang mengambil selain Allah sebagai legislator, baik itu parlemen, ketua suku dll. Zarqawi tidak mengakui hukum konvensional dan tetap komitmen dengan syariat Allah. Menganggap kepastian berdirinya negara islam atau khilafah Islamiyah Menganggap bahwa tugas yang ia emban adalah bekerja untuk agama dan menegakkan s berusaha sekuat tenaga untuk hal itu. Zarqawi bermaksud menasihati agar orang-orang yang menyimpang, kembali ke jalan ya lurus Memimpin kelompok di penjara Zarqawi ingin segala sesuatu dengan cepat, seolah-olah ia ingin mewujudkan semua yan diinginkannya dalam beberapa bulan saja Orang tua Zarqawi mendidiknya dengan cara konservatif, di tengah-tengah situasi ekono sempit dengan jumlah keluarga besar. Sekilas tentang Buku Abu Muhammad Al-Maqdisi (Mereka Mujahid, Tapi Salah Langkah) Rentetan kejadian bom bunuh diri sempat mewarnai headline koran ibu kota. Setelah beberapa hari, diketahui pelakuknya memiliki nama islam. Mereka menyebut diri mereka sebagai jihadis. Cara mereka seperti itu dianggap salah oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi, penulis buku “waqafaat ma’a tsamrati jihad”. Isi buku tersebut adalah kekeliruan-kekeliruan para mujahid muda yang bermodalkan semangat, tidak punya taktik dan strategi untuk melakukan jihad. Mereka tidak memikirkan jihad itu sendiri secara mendalam. Karena yang ada hanya memperburuk citra jihad dan umat. Isi buku tersebut adalah nasehat dan renungan bagi mereka yang ingin berjihad, bahwa berjihad tidak selalu menggunakan bom jika targetnya 1 atau 2 orang. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pistol. Selain itu, jihad mestinya dilakukan dengan target yang lebih besar, yang bisa melumpuhkan orang kafir, thaghut, dan salibis. Selain itu, ancaman-ancaman teror yang nyatanya tidak terbukti hanya membuat orang kafir malah tidak takut. Seharusnya teror diumumkan sesuai dengan kekuatan yang ada, sehingga para thaghut takut dan memperhitungkan ancamannya. Hal yang saat ini menjadi fokus jihadis adalah nikayah atau melukai, menyerang, dan melumpuhkan orang kafir. Padahal yang paling penting adalah tamkin yaitu menguasai sebuah wilayah dengan pemimpin yang paham ilmu syar’i dan fiqhul waqi’. Para teroris dalam buku ini dijelaskan memiliki semangat yang tinggi dan tidak memiliki strategi. Seharusnya mereka mengisi terlebih dahulu keilmuwan mereka sehingga serangan-serangan yang dilancarkan bisa efektif. Al-Maqdisi merupakan orang yang memiliki keyakinan radikal, bahwa membunuh muslim yang dijadikan tameng oleh musuh, jika mafsadat lebih besar lebih besar ketika mereka hidup daripada mati (dhawabith Al-Maqdisi). Al-Maqdisi juga merupakan orang yang tegas, mempunyai jiwa leadership yang tinggi, serta mempunyai pemikiran yang agresif. Sekilas Profil Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok alias Amin (Temanku, Teroris?) Lahir dari keluarga yang relijius, Bapaknya seorang guru agama yang memiliki karakter keras dan tegas. Karena keras dan tegas itulah, maka pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh yang otoriter. Semenjak dimarahi ayahnya karena telah meminta sesuatu di kereta yang sedang lewat, Utomo kecil menjadi orang yang serius. Ketika sudah di pondok menjadi orang yang karismatik, mempunyai jiwa leadership, berorientasi pada tindakan progresif, dan punya kemauan yang keras. Awal mula menjadi mujahid adalah ketika ditawari belajar di pakistan. Sesampai di pakistan, dia diberi dua pilihan, mau belajar atau berjihad di afghanistan. Melihat kondisiAfghanistan yang menyedihkan dan memprihatinkan, akhirnya fadhlul terpanggil untuk ikut latihan di Akademi Militer Afghanistan di bawah pimpinan Abdul Rabbi Rasul Sayyaf. Jiwa pemberaninya muncul ketika harus ikut di medan perang dan menjadikan tank, pesawat, dan suara morir familiar baginya. Cita-citanya sebagai syuhada belum bisa tercapai di Afghanistan karena Allah belum memanggil dia. Prinsip dan doktrin serta bai’at organisasi “sami’na wa atha’na membuat dia rela menjadi supir untuk melakukan perjalanan teror Bom Bali I bersama Amrozi Cs. Padahal diketahui bahwa uang yang digunakan untuk mendanai kejahatan tersebut berasal dari harta rampokan. Konstruk Deskripsi Konformitas kelompok - Paham agama Leadership - Peduli - Radikal - Akademis - Ambisius - Keras - Dari seluruh jamaah yang berangkat dari Indonesia, tak ada satupun yang berminat mas jamiah, sehingga memutuskan untuk ikut ke kamp pelatihan militer Afghanistan ....Sulit rasanya menolak permintaan seorang teman apalagi rumah kami bersebelahan. Sesungguhnya niat awal keberangkatan saya ke pakistan adalah untuk memperdalam ilm agama. Namun setelah di Peshawar, keinginan untuk menimba ilmu tak menarik lagi. Saya lebih memilih untuk menuju kamp militer berjihad Sebagai mujahidin yang taat kepada atasan dan setia pada perintah organisasi.... Belajar agama di pesantren, sering ceramah Mengajar di almamater Sering memberikan arahan kepada juniornya Akhi Fadlul banyak mengajarkan pada kami perihal teknis bagaimana menjalani kehidupan sebagai santri Akhi fadhlul bisa memahami persoalan yang kami hadapi dan mencarikan solusi Aura seorang pemimpin tidak pernah surut Laa islaama illa bil quwwah, tidak ada islam kecuali dengan kekuatan Deraan terhadap saudara seumat itu serasa mengiris-iris hati saya, maka tidak lain menyambut panggilan jihad Jihad adalah jalan satu-satunya untuk membaktikan dirinya untuk umat dalam arti yang sesungguhnya Dahaga untuk mempelajari ilmu islam semakin hari semakin mengental dalam diri saya Ingin rasanya saya melakukan hijrah ke mersir atau Madinah sebab disanalah letak mat air ilmu-ilmu islam Setiap kali usai shalat saya selalu memanjatkan permohonan kepada Allah, semoga dimudahkan setiap jalan bagi diri saya untuk menuju Pakistan secepatnya Setiap kali menjalankan ibadah sholat, saya memanjatkan doa memohon syahid. Tidak ada kerinduan dengan keluarga, yang ada hanyalah kerinduan akan menjadi syuhada Sebelum Jadi Teroris Bersahabat Bijaksana Leadership - - Tegas - Sikapnya yang bersahabat membuatnya seperti telah lama mengenalku Sebagai ketua kamar sekaligus senior kami, dia cukup bijaksana Sebagai ketua kamar sekaligus senior kami, dia cukup bijaksana Dia adalah kakak kelas yang dapat memberikan motivasi bagi adik-adiknya. Kami serin memanggilnya dengan akhi. Bagiku panggilan itu tidak hanya menempatkannya sebaga kakak yang layang dihormati, tetapi sekaligus menempatkannya sebagai guru muda dan pemimpin kami. Sebagai santri senior aku harus memberikan arahan kepada junior. Tidak ada yang lebih atau kurang, semua berlaku sama. Membantu junior dan membantu memahami kehidup pesantren itu kewajibanku. Itu sudah panggilan jiwa Akhi fadlul selalu bisa memahami persoalan yang kami hadapi Dengan nada tegas, akhi Fadlul menyampaikan amanat pondok kepada kami Menegaskan peraturan pesantren Kuat - Jika mengajar, maka sikapnya menjadi tegas, suaranya keras Dalam masalah beladiri, kemampuannya tak diragukan lagi. Beberapa kali aku melihat akhi fadlul melatih pukulan, tendangan, dan tangkisan Doktrin Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan sangat terpatri dalam kesadaranny Baginya musuh islam ada di mana-mana sehingga setiap muslim harus membekali dirin dengan fisik yang kuat dan ilmu bela diri yang baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memenuhi panggilan untuk membela kebenaran Untuk orang seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah Dia betul-betul konsisten dengan pilihan dan niatnya yaitu ingi menjadi ahli agama, dia semata ingin mengabdikan dirinya untuk mushola di desanya. - Relijius Konsisten - Sekilas profil Ali imron (Ali Imron sang Pengebom) Konstruk Deskripsi Religius - Konformitas kelompok - Berani - Agresif - Radikal - - Tidak kerasan - Mulai saat itu saya berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Mulai berusaha rajin belajar, memperbaiki pemikiran, memperbaiki amala sehari Sebagai orang yang pernah belajar ilmu perang, sebenarnya saya tidak menghendaki bertugas di pondok, karena latar belakang bukan dari pesantren. Namun karena hal itu adalah tugas, maka saya harus menaati dan melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan kemampuan saya Menanyakan kepada Ali Ghufron terkait rencana bom bali, apakah disetujui oleh anggota Menanyakan kembali apakah Bom Bali akan benar-benar dilakukan karena diberitakan bahwa AS mencurigai di Indonesia ada teroris Melawan aparat dengan pistol Menempatkan Amerika sebagai musuh utama yang harus diperangi pasca runtuhnya uni soviet Terlibat dalam pengeboman Kedubes Filipina, Membalas kaum kafir Merakit bom dengan pupuk dan bahan kimia lainnya Mendambakan medan jihad dengan menjadikan peristiwa Ambon sebagai lahan berjihad Membalas kaum kafir Ingin sekali berjihad di Ambon dengan mencari-cari kerusuhan antaragama Merencanakan bom manado ketika akan ada pertemuan Kristen Mengebom Gereja pada malam Natal Persiapan melawan aparat ketika hendak dikejar Tidak ada cara yang efektif untuk mengubah semua kerusakan di Indonesia kecuali dengan adanya medan Jihad yaitu terjadinya peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Adanya jihad akan mudah menyelesaikan masalah krisis multidimensi yang menimpa negara ini. Saya senang mengajarkan kepada anak-anak murid tentang jihad dan selalu mengobarkan jihad kepada mereka Dalam keyakinan saya, apabila dalam hati seorang muslim tidak ada keinginan untuk berperang lalu ia meninggal, maka dalam dirinya ada sifat kemunafikan Syariat Allah harus diberlakukan secara menyeluruh Pindah-pindah sekolah walaupun baru sebentar Peduli - Keinginan kuat Patuh - - - Tekun - Pintar - Aktif - Saya juga mempunyai keinginan untuk ikut andil dalam berjuang membela agama islam dan kaum muslimin dari musuh-musuhnya seperti yang terjadi di Palestina dan Afghanistan Berusaha untuk berangkat ke Afghanistan untuk menjadi Mujahid Karena sudah menjadi keinginan diri saya sendiri untuk terjun di tempat seperti itu (kamp militer.pen), maka konsekuensinya sya harus menaati semua peraturan yang ada dan harus menaati semua peraturan yang ada dan harus mengikuti semua program sekalipun terasa berat Sebagai lulusan akademi perang, sebenarnya saya tidak ingin mengajar di pesantren, tapi karena itu tugas, maka saya harus menaati dan melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan kemampuan saya Sebenarnya saya hanya ingin bertugas di tempat yang memungkinkan bisa memegang senjata dan menggunakan bom, bukan di pondok pesantren. Namun karena itu tugas dari atasan, maka mau tidak mau saya harus taat dan melaksanakan tugas yang diperintahkan Beban berat tersebut selalu tidak kami hiraukan karena meyakini bahwa itu semua adalah ujian di medan I’dad (pelatihan) Saya menjadi tempat untuk bertanya terkait masalah jihad Berkali-kali lolos dari pengejaran polisi Pintar melobi orang-orang yang membantunya untuk melakukan pelarian dan persembunyian Sejak akhir 1996 saya sudah aktif ikut membantu mengurusi dan mengajar di pondol pesantren Al-Islam, selain itu mengikuti kegiatan di Jamaah Islamaiyah Sekilas Profil Ed Husain (The Islamist) Ed Husain merupakan penganut islam radikal kurang lebih selama lima tahun. Setelah menolak faham ekstrimis, dia sekarang tinggal di London bersama dengan istrinya dan sedang menjalani Doktornya. Konstruk Deskripsi Kesepian/dikucilkan - Moderat - Tertutup Sederhana Relijius - Puritan Pemberontak - We grew up oblivious of the fact that large numbers of us were somehow d Pakis! Pakis! F___ off back home! I continued to be a loner at school, occasionally bullied, frequently sworn regularly ignored in most classes My mother would take us to see santa Clauss every year after the christmast party We are extremely close family We were not particularly wealthy, nor especially poor I had attended Koran classes at weekends, studied with my mother at ho not with any pasticular intention to recite in public I now wanted everything to do with islam Membaca buku-buku islam ideologis Mengidam-idamkan negara islam Diracuni pemikiran bahwa orang yang tidak mengikuti Mawdudi bukan sesungguhnya Kabur dari rumah Merasa bebas ketika orang tua melepas kepergiannya Sekilas Profil Imam Samudera (Aku Melawan Teroris.Pdf) Konstruk Deskripsi Fanatisme - Sedari awal telah kukatakan kepada segenap Tim Pengacara Muslim (TPM) bahwa, tidaklah layak aku menulis autobiografi, karena memang tidak layak. Orang-orang yang ditakdirkan telah ditinggikan dan diharumkan namanya oleh Allah semisal Syaikh Usamah bin Ladin, at Syaikh Maulawi Mullah Umar, dan tokoh-tokoh mujahidin lainnya –hafizhahumullah– itulah yang patut ditulis dan dikenang biografi mereka - Pertama kali beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun. - Masih tetap datang ke masjid meskipun kakek sudah meninggal. - Sekolah di madrasah sepulang dari SD - Sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Ingin sekali sekolah meskipun belum cukup umur - Menjadi bintang pelajar - Menjuarai cerdas cermat SD tingkat kecamatan - Tidak ada teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota yang terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan di kota lain? - Membenci para wanita - Semangat membacaku menggila Relijius (sebelum jadi teroris) Pintar Puritan Membaca buku jihadis Tertutup - Kebanyakan membaca buku membuatku kuper Sekilas tentang Kemala (Demi Allah, Aku jadi Teroris) Kemala merupakan seorang teroris yang ingin melakukan bom bunuh diri di salah satu kafe di Jakarta. Masa kecilnya memang kurang bahagia. Ia lahir dari hubungan gelap. Ibunya meninggal saat dia berumur 3 tahun. Setelah itu ayahnya meninggal karena kecelakaan sesaat setelah menengok Kemala di rumahnya. Dia merupakan orang yang tertutup, namun banyak teman, pintar menari. Awal mula perkenalan dia dengan dunia teror adalah saat ia mengikuti pengajian bersama temannya saat kuliah dulu. Dalam pengajian tersebut, ia didoktrin dengan hukum Allah, negara Islam dan keindahan surga. Dia ikut menjadi jamaah dan membayar beberapa jumlah uang untuk pembaiatan. Awalnya Kemala curiga dengan mekanisme pembaiatan. Karena dia menolak, dia lalu diperkosa oleh anggota jamaah. Setelah diperkosa kemudian harapannya untuk hidup layak pudar, tidak bersemangat hidup. Tapi pada saat itu ada nggota Jamaah perempuan yang menyemangati, mengajari agama, diberikan tayangan-tayangan jihad, sehingga setelah setengah tahun menjadi wanita militan. Dia ingin mati syahid, akhirnya, gurunya menawarkan untuk melakukan bom bunuh diri untuk menghancurkan orang kafir. Dia awalnya, menyamar menjadi penari striptease kafe. Untung saja ada pria yang menggagalkan aksi terornya itu, seorang polisi yang jatuh cinta kepadanya. Akhirnya Kemala dipenjara dan hidup tenang dengan polisi terserah setelah kemala bebas dari penjara. Konstruk Deskripsi Kesepian dan butuh kasih sayang - Sejak kecil sudah piatu karena ditinggal ibunya karena sakit. Kemudian ditinggal oleh Ayahnya. Madewi tidak pernah memberikan cukup baginya (kemala), menemani putrinya, dan jug tidak sebuah figur ayah Sensitif - Tidak ingin dikasihani Pintar - Relijius - Kemala merindukan figur seorang ayah Kemala: “Tante, aku mohon. Jangan tinggalkan aku sendiri, “tangisnya waktu “oom boleh dateng lebih sering ke sini,” kata Kemala perlahan, mulai melangkah pelan. merasa yakin bahwa pria ini memiliki hubungan dengan ibunya. Sekarang, semua orang menatapnya dengan pandangan kasiha – sebuah pandangan yang disukai kemala, dan ia merasa menjadi merasa terasing di rumahnya sendiri. Kemala merupakan mahasiswa kedokteran yang mendapatkan beasiswa, yang haus akan siraman keagamaan. Sering mengikuti pengajian di kampungnya. Kemauannya untuk mengaji sangat tinggi pada saat kuliah. Sehingga dia mencari ustaz u ikut pengajian bersama temannya Sholat adalah salah satu ibadah rutin yang dilakukannya, dan kemala sangat menyukai sa saat itu, ketika ia berkomunikasi dengan Allah. Ia memiliki banyak teman dan kepribadiannya tertutup, dia sangat tertutup kuhusunya ke laki-laki. Didoktrin tentang negara Islam dan pembaiatan, mendambakan satu hukum Allah (purita setelah melihat film perang di Afghanistan, setelah satu tahun menjadi wanita militan. Ia yakin ia mengenal dirinya. Dirinya telah ia selimuti dengan sebuah keyakinan kuat bahw yang dilakukan adalah suci... Didoktrin mengenai kehidupan ideal surga Konsep hijrah Kemala semakin aktif membaca buku-buku yang diberikan Fatima. Semakin lama, pemikirannya semakin mengarah pada sebuah paham. Kebencian yang semula dirasakan mulai dapat dikendalikannya. Ia telah menjadi pribadi yang baru Setelah satu bulan dijejali film-film peperangan. Saat film-film itu kembali diputar dan kesakitan itu dieksploitasi dalam satu sisi, kemala pun akhirnya bangkit berdiri. “kita har memerangi ketidakadilan ini Tidak mau menanggapi laki-laki sekalipun laki-laki itu sangat hebat - Introvert - mudah terdoktrin - - - Assertif Leadership Traumatis diperkosa Militan - Mengajar tari anak-anak SD Kemala tersenyum dan bertepuk tangan untuk memberikan apresiasi pada upaya kerja ke mereka dan mengangguk Kemala diperkosa oleh tiga orang dari aliran sesat tersebut - Setelah lebih dari setengah tahun, Kemala telah menjadi wanita militan Kemala: “Saya siap melakukan apaun (termasuk bom bunuh diri) demi Allah” Sekilas tentang Biografi Osama bin Laden (Growing Up bin Laden) Awal mula keterlibatan Osama dengan dunia jihadis ketika pada tahun 1979, Uni Soviet memerangi Afghanistan. Melihat kondisi semacam itu, Osama hatinya terenyuh dan memulai untuk membantu saudara-saudaranya di sana. Dimulai dari pengumpulan dana untuk membeli persediaan makanan dan obat. Terpengaruh oleh pemikiran Abdullah Azzam, mereka bertemu di peshawar, memikirkan metode pengiriman makanan, obat-obatan dan senjata. Konstruk Deskripsi Kurang kasih sayang - Yatim dalam usia 10 tahun Osama: kakekmu tewas pada saat aku berusia 10 tahun Percaya diri, lembut, serius - Kuat, tegas dan keras - Pendiam dan pemalu - Konservatif - Berani - Menghargai istri Relijius - Tenang - Penyayang Dan aku tak punya kesempatan kedua untuk bertemu secara pribadi dengannya ... bahwa dia pemuda yang percaya diri, tapi tak arogan. Dia lembut, tapi tak lemah. Di tapi tak bengis, Akhirnya, suamiku menatap ke arahku. Dia tidak berteriak, tapi berbicara dengan lebih dari biasany, suaranya selembut sutra. “Najwa, Omar itu anak lelaki. Pakaikan pakaian laki-laki padanya. Potong rambut panjang ini. ...dikenal sebagai anak bin Laden yang serius.. Tak pernah aku mendengar ayahku menaikkan suaranya karena marah pada ibuku. Dia sangat jarang tertawa.. Ayah begitu serius sehingga jarang sekali membicarakan tentang peristiwa kehidupan pribadinya Meskipun sikapnya tenang, tak ada yang pernah menganggap osama lemah, karena kar kuat dan tegas, osama selalu menyukai jalan kaki. Ayahku yang keras kepala menampik dengan kasar ajakan mereka untuk dialog yang ra memperbesar keluhannya sampai luka kecil akhirnya bernanah menjadi borok yang me ..Aku percaya bahwa begitu dia tahu putra-putranya berada dekat dengan anak-anak pe yang dekat dengan anak perempuan yang bukan dari keluarga kami, kami akan segera d dari sekolah Menolak keinginan raja Fahd Ayah begitu keras........ Menghadapi gangguan dua orang yang sedang marah kepadanya Siap secara mental untuk merespons invasi soviet di Afghanistan Sikap dia osama membuatku gusar...” ia lebih pemalu daripada “perawan di balik cada Ayah punya kebiasaan mengalihkan pandangannya kapanpun dia berada di tempat umu Apakah ini karena sifat pemalunya atau karena dia berhati-hati untuk tidak memandang yang bukan keluarganya Osama begitu konservatif sehingga aku juga akan tinggal di Purdah, atau pengasingan, meninggalkan rumah baruku Kami tidak punya televisi karena suamiku tidak ingin keluarganya dirusak dengan taya tayangan dalam televisi..... Osama: Ajaran islam dikorupsi oleh modernisasi. Tidak ada AC, kulkas, pemanas ruang Suamiku tak percaya pada mainan moderen untuk anak-anak kami Ayah kami melarang minuman ringan dari Amerika Ayah tetap yakin sebagai muslim, kami harus hidup sesederhana mungkin, mencela keh modern Ayah tampak menikmati melihat kami menderita, mengingatkan kami bahwa hal yang bagi kami untuk mengetahui rasanya lapar atau haus., tak punya apa-apa saat yang lain banyak. Ayah melarang kami untuk bergaul dengan orang kristen Ayah menyuruhku berobat dengan pengobatan tradisional Ayah menolak modernisasi kompleks itu, menegaskan prinsipnya bahwa keluarganya d pejuangnya harus hidup dengan sederhana Kata Osama: “ bagiku kau adalah mutiara yang berharga yang harus dilindungi ... aku tahu suamiku adalah seorang ahli agama Ayahku dikenal oleh semua orang di dalam dan di luar keluarga sebagai anak bin Laden serius, yang semakin tenggelam dalam pelajaran agama Aku mengenal ayahku sebagai orang yang sangat tenang, tak peduli apapun yang terjad Tetap tenang walaupun dihina oleh Mullah Umar Menyayangi binatang Menyayangi anak-anaknya.. Galak Leadership - - Loyal Kitis - Pintar loby - Kreatif - Egois - Tepat janji - Agresif - - Introvert - Tidak membunuh kuda walaupun kuda tersebut ingin membunuhnya Menjadi galak dan kejam terhadap anak-anaknya Ayah kami selalu mencela segala sesuatu yang mewah jika menyangkut keluarganya, s menyatakan bahwa kami tak boleh manja, dan kami memang tidak. Dia sangat mudah marah dan mencapai titik kekerasan dalam seketika Marah kepada Omar ketika Omar bersikap kritis Setelah Osama menjadi pemimpin gerakan ini, ada ketegangan diantara sebagian pengikutnya...... Para pegawai dan veteran perang mengikuti instruksi ayahku untuk dengan tenang ....... Mengajari anak-anaknya untuk berani menghadapi dunia yang begitu liar Aku perhatikan bahwa para lelaki yang menemani ayahku adalah para pejuang Mujahid hari-harinya di Afghanistan, sementara yang lain adalah pengikut setia keyakinan ayahk sehingga semuanya bersikap hormat padanya. Banyak tentara yang mengeras hatinya menjadi penjaga keamanan ayah, dengan tekun melindungi ayah dan keluarganya,.. mereka memperlakukan ayah dengan kekaguman d hormat, berdiri merendah di belakang Zawahiri akan meminta izin pada ayah saat hendak bicara Kesetiaan ayah pada kerajaan.... (pada awalnya) Aku kini tahu bahwa ayahku yang memulai pertikaian dengan keluarga kerajaan Ayahku bahkan mengaku bahwa keluarga kerajaan menawarinya beberapa posisi pentin pemerintahan dengan syarat hanya agar ayah menghentikan kritik pedasnya kepada keu kerajaan Ayahku meyakinkan salah seorang pangeran untuk membolehkannya meninggalkan Sa dalam rangka keperluan bisnis yang penting di Pakistan, berjanji pada pangeran yang b itu bahwa dia akan kembali ke saudi sebelum orang-orang menyadari kepergiannya Melobi ayahnya untuk mendapatkan mobil Dapat memohon kepada Mullah Omar untuk tinggal satu setengah tahun lebih lama lag diusir oleh Mullah Umar Dia benar-benar memeras otaknya untuk menemukan cara baru memproduksi bunga m terbesar dunia ...Entah karena alasan apa suamiku berubah pikiran dan memutuskan ladin harus digan namanya menjadi Bakr. Para veteran Mujahidin itu memberi tahu kakak dan aku bahwa ayah adalah salah satun tak pernah melupakan mereka dan tak pernah mengingkari janjinya. Dunia islam harus menyerang dulu sebelum diserang... untuk pertama kalinya aku mera bahwa ayah kecanduan pola berpikir yang agresif sehingga bisa membahayakan kami s Marah karena harus meninggalkan Saudi selamanya, dia menyalahkan Amerika dan ke kerajaan Saudi. Kemarahan ini meningkatkan tekadnya untuk melakukan serangan tero Amerika Serikat dan Arab Saudi Sangat membenci Amerika Ingin memusnahkan Amerika Osama terbiasa dengan semangat para prajuritnya, orang-orang yang berpegang pada se kata-katanya, yang tidur, makan, dan minum hanya untuk menghancurkan orang lain Osama: Muslim harus menyerang sebelum diserang Ayahku tak menyesali perbuatannya, bahkan tidak dengan kematian muslim, Kita seda berperang. Jika musuh membuat dinding dari warga sipil di depan kantor militer, merek dibunuh lebih dulu Ayahku tak pernah terbuka tentang perenungannya Ayahku tidak pernah mengenalkan aku pada teman-temannya Peduli - Ayahku sangat tertutup Ayah sedih dengan kenyataan bahwa bangsa Afghan tidak bersatu untuk menyatukan k kepingan negara mereka menjadi satu kembali Osama menganggap misinya mengubah dunia lebih penting daripada tugasnya sebagai dan ayah Lampiran 3 TEMANKU TERORIS? Tetapi saya tidak mau menjadi Muslim yang hanya duduk-duduk menyaksikan saudara seiman ditindas, tak mau hanya berteori dan berwacana, sementara bayibayi dan perempuan, masjid dan rumah-rumah kaum Muslim Afghanistan dihancurkan oleh mesin-mesin pembunuh Rusia (hal: 19). Siapa bilang islam tidak mengajarkan revolusi? Siapa bilang islam tidak melahirkan anak-anak revolusioner? Dalam buku catatan pemikiran jihad, ulaam As-Suri mencatat Al-Maududi sebagai bagian dari pemikir jihad yang cukup berpengaruh pada masa kini. Al-Maududi mendefinisikan jihad sebagai perjuangan revolusioner untuk mencapai kekuasaan, demi kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Jihad dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk: melalui karya tulis, dakwah, bekerja, belajar, tetapi setiap muslim harus siap memasuki perjuangan senjata (hal: 41). Pasca perang dunia II, ketika banyak Negara mencari identitas kebangsaan dan sibuk merumuskan ideology perjuangan, jihad dalam pandangan saya adalah solusi dari kebuntuan teori-teori gerakan social. Terutama di timur tengah, yang merupakan pusat dari peadaban islam. Jihad merupakan inspirasi kebangkitan perlawanan terhadap hegemoni barat yang telah lama menanamkan paham imperialism dan kolonialisme (hal : 42). Apapun keputusan organisasi harus ditaati dan dijalankan sebaik-baiknya. Itu ada syarat mutlak seorang anggota jamaah (hal: 65). Kenyataan yang sedemikian menggembirakan itu tidak didapat secara tiba-tiba. Allah membukakan ilmu bagi umat yang belajar. Kedisiplinan juga merupakan factor penting untuk mendukung keberhasilan proses belajar mengajar. Mendidik orang biasa menjadi paramiliter sesungguhnya cukup sulit. Sebagai kadet-kadet, mereka harus mengenal dan menerapkan disiplin militer. Latar belakang sebagai masyarakat sipil menjadikan mereka terbiasa tidak menjaga kewaspadaan dan keamanan. Padahal untuk menggunakan senjata, perilaku disiplin harus diterapakan. Kalau tidak, bisa saja mereka baku tembak dan mencederai ikhwan yang ada di sekitarnya. (hal: 71). Akhi fadlul banyak mengajarkan kepada kami perhal teknis bagaimana menjalani kehidupan sebagai santri. Sikap kepemimpinannya menciptakan rasa segan pada diri kami. Di antara kami, tak ada yang berani menyangkal atau memprotes akhi fadlul. Tanpa harus dipaksa, kami merasa perlu menaati dan menjadikannya pemimpin yang harus senantiasa dihormati segala keputusannya (hal: 125). Doktrin “Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan” sangat terpatri dalam kesadarannya. Baginya, musiuh islam ada di mana-mana sehingag setiap muslim harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi panggilan untuk membela kebenaran (hal: 134). Untuk anak seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah. Lebih-lebih, kudengar, akhi fadlul terbilang anak yang sangat cerdas. Hafal Al-Quran, fasih menafsirkan hadis, lancer berbahasa arab dan inggris, juara kelas pula. Pengamatanku itu sudah cukup memberi alasan untuk menyematkan label “senior yang karismatik dan patut dicontoh” kepadanya (hal: 135). Di pondok, kami betul-betul dididik untuk disiplin, menghargai waktu dengan berlatih dan bekerja tanpa melupakan ibadah dan kewajiban sebagai muslim. (hal: 138). Kerap dalam kesendirian yang pekat ini, saya juga mengingat kembali keterlibatan saya dalam aksi jihad bom bali. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung, hanya rekening bank saya yang dipakai lewat untuk transfer dana. Disamping itu, karena kuat menyetir ajrak jauh, saya diajak mengantar mobil yang akan dipakai dalam aksi sampai ke Bali. Sulit rasanya menolak permintaan seorang teman, apalagi jika rumah kami bersebelahan. Barangkali Amrozi juga senang mengajak saya karena saya jarang bertanya-tanya, terutama menngenai hal yang bukan urusan saya. Itu adalah bagian dari doktrin yang saya terima selama saya di organisasi JI (hal: 257-268). Saya memang tahu teman-teman Amrozi cs akan melakukan aksi jihad di Bali. Tetapi saya tidak tahu secara detail aksi mereka akan seperti apa. Karena saya “diam” dan “tidak melapor” kepada polisi inilah, saya diputuskan bersalah dan dimasukan dalam kategori pelaku penting. Apalagi polisi melihat background saya sebagai veteran afghan dan pelatih militer di Mindanao, Filipina (hal: 258). Factor pendanaan aksi pengeboman ini juga membuat saya berpikir ulang. Rasanya ada yang salah dalam aksi itu sebab sebagaian uang operasionalnya berasal dari hal yang masih aabu-abu, yaitu hasil rampokan sebuah took emas. Mungkin karena kekurangbersihan dalam masalah dana ini, banyak madharat (kerusakan) yang kita terima setelah aksi. Banyak ikhwan yang sebenarnya tidak setuju dan tidak tahu menahu soal aksi ini tetapi kena pulutnya. Saya sering mengalami pergulatan batin tentang dampak yang mesti mereka tanggung. Mereka sesungguhnya juga korban dari perbuatan kami ini (hal: 258). “Ini adalah jihad kami, untuk member pelajaran kepada Amerika, Negara Koran tempat antum bekerja itu agar mereka tidak menzalimi islam”, jawabnya (hal: 261). Tomo kecil menjalani kehidupan seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Namun, anak seorang guru tentu tidak sebebas anak-anak lain dalam menentukan pergaulan. Tomo kecil dididik ayahnya dengan keras. Kendati hidupnya sederhana, Tomo dan keluarganya termasuk cukup terpandang, orang kampung memanggil ayahnya dengan sebutan pak Guru (hal: 280). Sebagai seorang guru, Pak Suharsono mendidik anaknya dengan keras dan tegas. Beliau tidak ingin anak-anaknya mempunyai mental sebagai pengemis. Kejadian itu tentu saja membuat beliau marah bukan kepalang (hal: 282). Pengalaman demi pengalaman yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan kepribadiannya yang keras. Kemiskinan di depan mata adalah persoalan yang harus segera dituntaskan. Maka pendidikan adalah jalan keluar (hal: 284). Sebagai guru di sekolah Muhammadiyah, Pak Harsono mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai islam yang kental. Tak heran jika Tomo kecil kemudian memiliki minat kuat pada ilmu agama Islam (hal: 285). “Barangkali saya termasuk beruntung, saat masuk Ngruki masih sempat bertemu langsung dengan Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir” tutur akhi Fadlul kepadaku. “Saya masih sempat mendapat pengajaran dari Ustaz Dullah dan Ustaz Abu.” (hal: 289) Kedua tokoh penting Ngruki ini mempunyai hubungan yang mirip dengan hubungan Soekarno dan Hatta. Keduanya mempunyai karakter yang sangat berbeda, namun mereka akur dan saling melengkapi. Perbedaan pendapat pasti terjadi. Tapi kesamaan fikroh (pola pikir) membuat hubungan mereka sangat solid (hal : 289). Ustaz Abdullah Sungkar adalah seorang orator ulung. Khotbahnya selalu memotivasi para santri untuk bersemangat. Pesan-pesan yang beliau sampaikan kepada para santri seingkali sangat berkesan. Akhi fadlul selalu mengingat pesan Ustaz Dullah yang mengajak santri untuk belajar sungguh-sungguh karean diharapkan menjadi pemimpin umat atau al ulama amilina fi sabililah: ‘seorang ulama yang menjalankan misinya di jalan Allah’ (hal : 290). Ustaz Abu bukan seorang orator seperti Ustaz Dullah. Retorika beliau cenderung seperti mengajar guru kepada muridnya. Tenang, datar, dan dogmatis. Beliau lebih banyak bicara masalah syariah atau hokum-hukum dalam islam. Beliau sering berkata: “Ini kata Al-Quran –nya begini, ya, kita harus mengikutinya. Tidak ada jalan tengah. Karena di dunia ini hanya dua, hizbullah, golongan Allah, atau hizbusy syaithan, golongan setan. Tinggal kita mau pilih yang mana. Orang islam tidak bisa abu-abu” (hal: 292). Sebagai santri muda yang haus akan ilmu agama, akhi Fadlul semakin tekun menggali ilmu Islam. Ngruki bagaikan ladang ilmu yang subur untuknya. Pemahaman akan jihad islam di tuainya dari pondok pesantren yang dimusuhi orde baru ini. Ustazustaz Ngruki sering menyampaikan pembahasan jihan kepada para santri, tak terkecuali akhi fadlul. “La islama illa bil quwwah, tidak ada islam tanpa kekuatan,” pesan ustaz. “Pandai ilmu saja tidak cukup. Kita harus kuat secara fisik.” Kalimat itulah yang membentuk akhi Fadlul menajdi remaja pemberani. Mulailah dirinya mengikuti latihan beladiri di pondok. “Menguasai ilmu beladiri itu penting untuk menjaga diri sendiri dan kehormatan islam. Kita para santri tidk akan gentar menghadapi preman dan musuh-musuh islam.” Tegas akhi Fadlul kepadaku (hal: 296-297). bagi akhi fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral. Kalau dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan islam. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu agama. Akidah islam tengah menghadapi tantangan besar. Modernisasi di segala bidang, perkembangan teknologi informasi, dan berbagai perubahan tengah melanda dunia. Maka, umat islam saat ini berhadapan dengan zaman yang cepat berubah. Anak-anak muda progresif seperti akhi fadlul diperlukan untuk menyambut panggilan jihad islam (hal: 298). Sebagai santri, dirinya hanya mampu sami’na wa atha’na: ‘mendenga dan taat’ (hal: 299). Anak-anak yatim yang ayahnya tewas karena serangan bom bunuh diri mengatakan bahwa ayahnya dibunuh teroris. Sedangkan anak-anak yang ayahnya tertangkap sebagai pelaku peledakan mengatakan ayahnya adalah jihadis, bukan teroris. Anakanak itu sama-sama beragama islam. Mereka membaca kitab yang sama, menjalankan sholat yang sama, mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang tiada berbeda, mereka berkiblat ke arah sama. Tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal keislaman (hal: 329). Islam mengajarkan perdamaian kepada umat manusia dengan berbagai cara. Persoalan jihan atau bukan jihad telah memicu perseteruan pendapat dan perang dalil antar-alaim ulama dan merembes ke kalangan umat secara luas. Perdamaian akan membawa suasana tenang untuk membuka lembaran penyelesaian. Bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia tidak hanya melahirkan anak-anak yatim. Mereka yang direkrut telah meninggalkan rumah dan orangtua yang mencintai mereka, tindakan para pelaku telah melahirkan stigma public terhadap suatu keluarga, bahkan persoalan baru muncul manakala sebagian anggota jaringan pelaku kemudian berhadapan dengan realitas hidup tanpa pekerjaan saat keluar penjara. Sebagian mereka yang dihukum mati meninggalkan persoalan-persoalan yang tidak sepele bagi anak-anak mereka yang masih kecil dalam mengarungi kehidupan mereka yang panjang kemudian waktu nanti (hal: 330). Kemenangan jihad adalah kemenangan semangat pembebasan umat manusia untuk membangun perdamaian seluas-luasnya. Perdamaian diperlakukan untuk menata kembali dunia yang telah porak poranda akibat peperangan (hal: 330). “Para pelaku bom bunuh diri itu, kok , nggak pernah mencerna apa yang menjadi keinginan mereka. Selama ini kami hidup dalam kedamaian dengan saudara kami yang beragama Hindu”(hal: 340). “Apakah manfaat aksi peledakan bom itu bagi islam? Bukankah kami ini muslim yang kemudian menjadi korban dari satu pihak yang mengatasnamakan islam?” cecar Mbak Laksmi. “Sebaiknya mereka tidak melakukan itu, sebab islam kemudian dituding sebagai agama yang mengizinkan setiap orang untuk membinasakan satu sama lain” (hal: 342). Anak-anak itu menjadi “pengungsi” di negeri sendiri. Mereka harus menjalani kehidupan yang asing. Ibu-ibu mereka menghadapi stigma miring sebagai janda atau istri teroris di dalam lingkungan social mereka. Sementara, dengan segenap kemampuan, mereka harus mengawal masa depan anak-anaknya (hal: 373). Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009 i ii Schwartz, S.J & Dunkel, C.S. & Waterman, A.S. (2009). Terorism: An identity theory perspective. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 32:537–559, iii Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World Organization for Resource Development and Education. Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009 iv v Kruglanski A.W & Chen X & Dechesne M & Fishman S & Orehek E, 2009. Fully Committed: Suicide Bombers’ Motivation and the Quest for Personal Significance. Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 2009 vi Fuad Hussein. 2008. Generasi Kedua Al-Qaidah: Apa dan Siapa Zarqawi; Apa Rencana Mereka Ke Depan?. Solo: Penerbit Jazeera. vii Noor Huda Ismail. 2010. Temanku, Teroris? : Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Jakarta : Penerbit Hikmah viii Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World Organization for Resource Development and Education. ix Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomi of the salafi movement. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 29:207–239