BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang yang menikah biasanya mempunyai rencana untuk memiliki keturunan atau anak. Selain dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan dari suatu pernikahan, anak dianggap sebagai penerus garis keturunan orang tua. Rencana untuk memiliki anak dalam jumlah satu atau lebih pun biasanya sudah dimiliki oleh orang yang akan menikah ataupun telah menikah. Berdasarkan jumlah anak dalam sebuah keluarga, dibedakan menjadi keluarga yang memiliki anak lebih dari satu (bersaudara) dan keluarga dengan satu anak (tunggal). Anak tunggal merupakan anak satu-satunya, anak yang hanya seorang saja, tidak bersaudara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2009). Menjadi tumpuan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, harapan untuk meneruskan cita-cita, hingga harapan agar dapat meneruskan keturunan dilimpahkan oleh kedua orang tua (Corey and Corey, 2010). Perlindungan yang dilakukan oleh orang tua pun disertai dengan rasa khawatir yang berlebih, ketakutan akan kehilangan anak, berusaha melindungi dengan seaman-amannya, memenuhi dan menuruti keinginannya, hingga melarang untuk melakukan pekerjaan berat yang dikhawatirkan akan membahayakan diri anaknya (Corey and Corey, 2010). Anak tunggal tidak memiliki saudara lain sehingga cinta dan kasih sayang orang tuanya hanya dicurahkan kepada dirinya sendiri, berbeda dengan anak yang memiliki saudara, dimana orang tua harus berbagi perhatian dan cinta kasihnya kepada semua anak yang dimilikinya tanpa pilih kasih. Anak tunggal cenderung tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan anak bersaudara lainnya. Anak tunggal memang memiliki kecenderungan sifat egosentris dalam hal ini termasuk dalam ingin menang sendiri, cenderung terlihat kesepian dan suka memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan (Laybourn, 1994). Data yang didapatkan peneliti berdasarkan observasi pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tarakanita 3 adalah mengenai bahwa sebagian besar siswa-siswi Tarakanita 3 untuk mencapai sekolah maupun pulang ke rumah masing-masing 1 dengan menggunakan transportasi umum seperti angkutan umum, ojek, atau berjalan kaki sendiri. Data lain adalah yakni ketika siswa-siswi tersebut melaksanakan proses belajar lebih banyak menggunakan metode presentasi dikelas, dimana hal tersebut adalah sebagai tugas individu para siswa-siswi. Siswa-siswi SMP Tarakanita termasuk aktif dalam hal pelajaran, misalnya dengan mengacungkan diri sendiri untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, menyelesaikan tugas individu maupun kelompok tepat waktu. Dan dalam kegiatan sekolah seperti pemilihan anggota OSIS (Organisasi Siswa), sebagian besar siswa-siswi tersebut menggunakan kesempatan untuk mendaftar dalam pemilihan organsisasi tersebut walaupun tidak semuanya diterima, namun siswa-siswi tersebut terlihat antusias untuk mendapatkan tempat di organisasi tersebut. Dari data hasil observasi tersebut, peneliti melakukan tanya jawab dengan guru bimbingan konseling disekolah, didapatkan informasi bahwa disekolah SMP Tarakanita 3 terdapat 102 orang anak tunggal atau tidak memiliki saudara kandung dari 247 orang siswa-siswi SMP Tarakanita 3. Menurut hasil wawancara peneliti dengan 23 orang anak tunggal, anak tunggal mengakui bahwa mereka memiliki sifat egosentris yang tinggi melebihi teman-teman mereka yang dalam status keluarganya memiliki saudara. Sifat egois yang ditunjukkan dalam pertemanan itu terlihat dari anak tunggal yang lebih ingin dilindungi oleh teman-temannya, selalu ingin mendapatkan posisi atau keadaan yang paling nyaman dalam berteman, misalnya tidak dimusuhi, tidak dijahati dan selalu didahulukan atau dipentingkan kehendaknya dibandingkan dengan kehendak temantemannya. Dalam keluarga, mereka mengakui sifat egosentris mereka cukup tinggi, kasih sayang yang lebih besar dicurahkan oleh para orang tua mereka melalui pemenuhan kebutuhan mereka, dimulai dari kendaraan yang disediakan, jumlah uang yang melebihi teman-temannya, karena orang tua hanya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dia sendiri. Berbagai cara untuk menunjukkan kemarahan mereka terhadap orang tua pun sering dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi keinginan mereka, dimulai dengan mendiamkan orang tua, menunjukkan perilaku emosi dengan cara marah tanpa sebab, bahkan sampai pergi dari rumah. Orang tua mengakui bahwa mereka berjuang lebih keras untuk mencari nafkah hanya untuk pemenuhan kebutuhan anak tunggal, dengan alasan mereka takut anak mereka menjadi marah atau mendiamkan mereka. Orang tua juga memberikan larangan dan perintah kepada anak tunggal mereka dengan harapan keinginan mereka dapat 2 dituruti. Pemberian larangan dan perintah juga disertai dengan adanya penjelasan dari orang tua yang kebutuhan mana yang dapat diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Anak tunggal atau subyek mengakui bahwa mereka memiliki sifat egosentris yang tinggi melebihi teman-teman mereka yang dalam status keluarganya memiliki saudara. Sifat egois yang ditunjukkan dalam pertemanan itu terlihat dari anak tunggal yang lebih ingin dilindungi oleh teman-temannya, selalu ingin mendapatkan posisi atau keadaan yang paling nyaman dalam berteman, misalnya tidak dimusuhi, tidak dijahati dan selalu didahulukan atau dipentingkan kehendaknya dibandingkan dengan kehendak teman-temannya (Laybourn dalam Newman, 2001). Dalam keluarga, mereka mengakui sifat egosentris mereka cukup tinggi, kasih sayang yang lebih besar dicurahkan oleh para orang tua mereka melalui pemenuhan kebutuhan mereka, dimulai dari kendaraan yang disediakan, jumlah uang yang melebihi temantemannya, karena orang tua hanya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dia sendiri (Corey and Corey, 2010). Berbagai cara untuk menunjukkan kemarahan mereka terhadap orang tua pun sering dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi keinginan mereka, dimulai dengan mendiamkan orang tua, menunjukkan perilaku emosi dengan cara marah tanpa sebab, bahkan sampai pergi dari rumah. Orang tua mengakui bahwa mereka berjuang lebih keras untuk mencari nafkah hanya untuk pemenuhan kebutuhan anak tunggal, dengan alasan mereka takut anak mereka menjadi marah atau mendiamkan mereka. Orang tua juga memberikan larangan dan perintah kepada anak tunggal mereka dengan harapan keinginan mereka dapat dituruti. Pemberian larangan dan perintah juga disertai dengan adanya penjelasan dari orang tua untuk menmprioritaskan kebutuhan penting terlebih dahulu (Lie & Prasasti, 2004). Menurut hasil wawancara peneliti dengan 13 orang siswa-siswi yang memiliki hubungan pertemanan dengan anak tunggal, secara umum orang-orang tersebut menganggap anak tunggal tidak mempunyai perbedaan yang mencolok dengan anak yang mempunyai saudara. Namun memang memiliki kecenderungan sifat egosentris dalam hal ini termasuk dalam ingin menang sendiri, cenderung terlihat kesepian dan suka memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebagai teman, mereka terkadang mengikuti apa yang diinginkan oleh anak tunggal tersebut, dikarenakan mereka juga mendapatkan rewards dalam 3 pencapaian keinginan anak tunggal tersebut, misalnya berupa traktiran makan bahkan sampai memberikan uang. Namun terdapat pula beberapa anak tunggal yang cenderung pendiam, tidak banyak menuntut dalam hal pertemanan, sehingga terkadang mereka tidak menunjukkan perilaku yang mencolok. Bagi kebanyakan remaja, membangun rasa kemandirian sama pentingnya dengan tahap membangun identitas diri, menjadi seorang yang mandiri merupakan salah satu tugas mendasar dari tahun ke tahun remaja. Dalam pengertiannya, mandiri menurut Steinberg (2002) berarti kemampuan untuk melakukan tindakan, mampu membuat keputusan tentang baik buruk, penting dan tidak pentingnya dalam hidup, tidak bergantung kepada orang lain dan mampu menjalin hubungan yang sportif dengan orang lain. Sebaliknya menurut Steinberg (2002), anak yang tidak mandiri adalah anak yang tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri dan tidak bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya. Jika anak masih bergantung dengan orang lain dan belum memiliki kemandirian sesuai dengan proses perkembangan yang seharusnya, maka ia akan sulit mendapatkan identitas diri yang jelas, mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang dewasa. Hurlock (2006) menjelaskan bahwa tumbuh kembang yang optimal bertujuan untuk menjadikan anak menjadi manusia yang berkualitas dengan tidak hanya sekedar tumbuh secara fisik, namun juga berkemampuan untuk berdaya guna dan berhasil guna baik bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa serta umat manusia. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dapat menyebabkan masalah pada anak usia sekolah yang muncul antara lain gangguan perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan belajar yang dapat menghambat pencapaian prestasi pada peserta didik (Suyanto, 2010). Ketergantungan pada anak ada dua jenis yaitu ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan ketergantungan mengurus dirinya sendiri, dan ketergantungan psikologis ditandai dengan kemampuan dalam mengambil keputusan. Ketergantungan fisik bisa berakibat pada ketergantungan psikologis. Anak yang selalu dibantu akan selalu bergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, ia akan mengharapkan bantuan orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan memecahkan masalahnya (Lie & Prasasti, 2004). Ada dua alasan anak tidak mandiri, orang tua yang cenderung memberikan bantuan dan perlindungan berlebihan, yaitu 4 orang tua yang selalu khawatir akan membatasi anak untuk mandiri, serta orang tua yang cenderung lekas membantu agar cepat selesai. Akibatnya, anak tidak memperoleh kesempatan untuk mencoba. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak, yaitu faktor bawaan, pola asuh, kondisi fisik anak, dan urutan kelahiran (Hurlock, 2003). Efek ketergantungan pada anak dapat menimbulkan kerugian, yaitu anak tidak mampu secara optimal mengembangkan kepribadian, kemampuan sosialisasi dan keadaan emosionalnya akan terlambat (Handayani, 2006). Anak tunggal dikhawatirkan akan mengalami kesulitan karena mereka akan berada dalam lingkungan sosial dan pola kehidupan yang baru. Perilaku ketergantungan yang masih ada didalam diri anak tunggal merupakan pembentukan dari orang tua dimana mereka memiliki fokus yang lebih besar terhadap anaknya. Anak tunggal tidak lagi harus membagikan fokus perhatian dan kasih sayangnya seperti orang tua yang memiliki anak yang memiliki saudara (bukan tunggal) (Steinberg, 2002). Dari fenomena observasi dan data yang didapatkan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran kemandirian anak tunggal di SMP Tarakanita 3. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran kemandirian anak tunggal pada masa remaja awal di SMP Tarakanita 3 Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk gambaran kemandirian anak tunggal pada masa remaja awal di SMP Tarakanita 3 Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis diadakannya penelitian ini, dimana hasil dari penelitian ini merupakan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi perkembangan khususnya untuk pembahasan mengenai kemandirian dan anak tunggal remaja. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut untuk para peneliti yang berminat. 5 b. Manfaat Praktis Manfaat praktis diadakannya penelitian ini adalah: 1) Dapat menjadi sumber informasi kepada pembaca mengenai keadaan anak tunggal dan kaitannya dengan perkembangan anak remaja, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua dalam menerapkan pola asuh yang tepat, sehingga anak tunggal dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri. 2) Untuk anak tunggal, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu proses kemandirian mereka 3) Untuk konselor, diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu dalam memberikan saran dalam penanganan masalah perkembangan 6 anak khususnya remaja awal 7