BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hemodialisis Hemodialisis adalah

advertisement
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas, et al., 2007).
Pasien hemodialisis dirawat di rumah sakit atau unit hemodialisis dimana
mereka menjadi pasien rawat jalan. Pasien membutuhkan waktu 12-15 jam
hemodialisis setiap minggunya yang terbagi dalam dua atau tiga sesi dimana
setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam. Hemodialisis akan berlangsung terus
menerus seumur hidup kecuali pasien tersebut melakukan transplantasi ginjal
(Brunner & Suddart, 2001).
2.1.1. Indikasi hemodialisis
Menurut pedoman NKF K/DOQI, hemodialisis dialakukan jika GFR <15
ml/menit atau dijumpai salah satu atau lebih dari hal berikut: 1) Gejala klinis
uremia yang nyata, meliputi: letargi, anoreksia, nausea, mual dan muntah; 2)
Kalium serum < 6 mEq/L; 3) Ureum darah >200mg/dL; 3) pH darah <7,1 ; 4)
Anuria berkepanjangan (>5hari), 5) Fluid overloaded .
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2. Prinsip Kerja Hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah; 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daugirdas,
et al., 2007).
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodilaisis, yaitu: difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara berpindah dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat berisi
elekterolit dengan konsetrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat
dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat
(Brunner & Suddart, 2001).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan dengan menciptakan gradien tekanan.
Air berpindah dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin
dialisis. Tekanan negatif pada mesin dialisis merupakan kekuatan pengisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
10
mengekskresikan air, tekanan negative diperlukan untuk mengeluarkan cairan
hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan) (Brunner & Suddart, 2001).
Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan
asetat yang akan berdifusi cariran dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami
metabolism untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan
kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembulu vena pasien (Brunner &
Suddart, 2001).
Gambar 1. Proses hemodialisis dalam Treatment Methods for Kidney
Failure; Hemodialysis. NIH-Publication (2006)
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.3. Komplikasi selama hemodialisis
Tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak pasien mengalami masalah medis saat menjalani
hemodialisis, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang konstan untuk
mendeteksi berbagai komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang sering terjadi pada
pasien saat menjalani hemodilaisis adalah gangguan hemodinamik (Landry &
Oliver, 2006). Indikator klinis terjadinya gangguan hemodinamik adalah tekanan
darah pasien. Gangguan hemodinamik yang terjadi dapat berupa hipertensi
intradialisis dan hipotensi intradialisis (Grange et al., 2013).
Table 1. Komplikasi Selama Hemodialisis (Daugirdas et al., 2007)
Sering
Jarang
Hipotensi intradialisis
Hipertensi Intradialisis
Kram otot
Dialysis Disequilibrium Syndrome
Mual dan muntah
Aritmia
Sakit kepala
Temponade jantung
Nyeri dada
Perdarahan intrakranial
Nyeri punggung
Kejang
Gatal
Hemolisis
Demam
Emboli udara
Menggigil
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.
Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan kekuatan pada dinding arteri ketika darah
didorong dengan tekanan dari jantung. Kontraksi jantung mendorong darah
dengan tekanan tinggi ke aorta disebut tekanan darah sistolik. Tekanan saat
ventrikel rileks, disebut tekanan darah diastolik (Potter & Perry, 2005).
2.2.1. Tekanan Darah Normal
The Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure (JNC-VII) tahun 2003 menyebutkan batas normal tekanan
darah adalah tekanan darah sistolik <120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80
mmHg.
2.2.2. Tekanan Darah Rendah (Hipotensi)
Hipotensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah sistolik turun
sampai 90 mmHg atau lebih rendah. Gejala klinis yang bisa dilihat akibat
hipotensi adalah sering pusing, cepat lelah, penglihatan kurang jelas apabila
merubah posisi, dan berkeringat dingin (Potter & Perry, 2005).
2.2.3. Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar
dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali atau
lebih pengukuran pada waktu yang berbeda (Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
13
The Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure (JNC-VII) tahun 2003 menyebutkan hipertensi dibedakan
berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik yaitu sebagai
berikut: a) Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik <80
mmHg; b) Prehipertensi bila tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan diastolik
80-89 mmHg; c) Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140-159 mmHg
dan diastolik 90-99 mmHg; d) Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik
≥160 mmHg dan diastolik ≥100 mmHg.
2.3.
Tekanan Darah Saat Menjalani Hemodialisis
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien saat menjalani hemodialisis
adalah gangguan hemodinamik (Landry & Oliver, 2006). Indikator klinis
terjadinya gangguan hemodinamik adalah tekanan darah pasien. Gangguan
hemodinamik yang terjadi dapat berupa hipertensi intradialisis dan hipotensi
intradialisis (Grange et al., 2013).
Tekanan darah pasien bisa normal saat memulai hemodialisis, kemudian
meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir hemodialisis.
Bisa juga pada saat memulai hemodialisis tekanan darah pasien sudah tinggi dan
meningkat pada saat hemodialisis, hingga akhir dari hemodialisis. Peningkatan
tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi krisis hipertensi (Chazot & Jean, 2010).
Perawat perlu memantau tekanan darah pasien selama menjalani
hemodialisis untuk mengetahui perubahan tekanan darah dari jam ke jam,
sehingga dapat mengantisipasi sedini mungkin kejadian komplikasi (Armiyati,
Universitas Sumatera Utara
14
2012). Pengukuran tekanan darah pada pasien hemodialisis dilakukan sebelum
menjalani hemodialisis (predialysis), saat atau selama menjalani hemodialisis
(intradialysis), dan setelah hemodialisis (postdialysis).
Pedoman dari NKF K/DOQI menyebutkan tekanan darah yang diharapkan
pada predialysis adalah lebih rendah dari 140/90 mmHg dan tekanan darah pada
postdialysis lebih rendah dari 130/80 mmHg.
Tekanan darah saat menjalani hemodialisis (intradialysis) yang bisa
terjadi:
2.3.1. Normal
Berdasarkan JNC VII batas normal tekanan darah adalah tekanan darah
sistolik <120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg. Pedoman dari NKF
K/DOQI menyebutkan target tekanan darah pada predialysis adalah lebih rendah
dari 140/90 mmHg dan diharapkan tetap stabil saat pasien menjalani hemodialisis
(intradialysis).
2.3.2. Hipotensi Intradialisis
2.3.2.1. Defenisi dan Prevalensi
Pedoman dari NKF KDOQI, mendefenisikan hipotensi intradialisis
sebagai penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau penurunan Mean
Arterial Pressure (MAP) >10 mmHg yang menyebabkan munculnya gejala
seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap
(yawning); sighing; mual; muntah; kram otot; gelisah; pusing dan kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
15
Hipotensi intradialisis adalah komplikasi yang paling sering terjadi selama
hemodialisis yaitu dialami 20-30% pasien hemodialisis (Daugirdas et al, 2007).
Hasil penelitian Armiyati (2012) 26% pasien mengalami hipotensi intradialisis
saat menjalani hemodialisis.
Hipotensi intradialisis merupakan komplikasi yang perlu mendapatkan
perhatian serius karena akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan (serebral,
renal, miokard, perifer). Hipotensi intradialisis yang tidak diatasi akan
membahayakan pasien, karena menyebabkan pengiriman nutrisi dan oksigen ke
organ vital seperti otak, jantung, ginjal dan organ lain akan berkurang bahkan
dapat mengakibatkan kerusakan (Armiyati 2012). Hasil penelitian Shoji,
Tsubakihara, Fujii, Imai (2004) menunjukkan hipotensi intradialisis meningkatkan
mortalitas pasien hemodialisis.
2.3.2.2. Etiologi
Faktor penyebab hipotensi intradialisis adalah: 1) kecepatan ultrafiltrasi
yang tinggi; 2) waktu dialisis yang pendek dengan kecepatan ultrafiltrasi yang
tinggi; 3) Disfungsi jantung (disfungsi diastolik, aritmia, iskemik, temponade,
infark); 4) Disfungsi otonom (diabetes, uremia); 5) Terapi antihipertensi; 5)
Tingginya substansi vasoaktif endogen; 6) Makan selama hemodialisis; 7) Tidak
akurat dalam penentuan berat badan kering; 8) Luasnya permukaan membran
dialiser; 9) Kelebihan cairan dan Penarikan cairan yang berlebihan; 10)
hipokalsemia dan hipokalemia; 11) Dialisat yang tidat tepat diantaranya suhu
Universitas Sumatera Utara
16
dialisat yang tinggi, kadar natrium rendah dialisat asetat; 12) Perdarahan, anemia,
sepsis dan hemolisis (Daugirdas et al,. 2007)
Pedoman NKF KDOQI (2005) menyebutkan pasien-pasien hemodialisis
yang perlu dievalusi dengan hati-hati karena beresiko mengalami hipotensi
intradialisis adalah : 1) Pasien dengan diabetes CKD (chronic kidney disease)
stadium 5; 2)Pasien dengan penyakit kardiovaskuler: LVH dan disfungsi distolik
dengan atau tanpa CHF: pasien dengan penyakit katup jantung: pasien dengan
penyakit pericardium; 3) Pasien dengan status nutrisi yang buruk; dan
hipoalbuminemia; 4) Pasien dengan uremic neuripathy; 5) Pasien dengan anemia
berat; 6) Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal
pada pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain; 7) Pasien
dengan usia ≥ 65 tahun, dan 8) Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis <
100 mmHg.
2.3.2.3. Penanganan
Penanganan hipotensi intradialisis adalah dengan cara: menempatkan
pasien dalam posisi trendelenburg, memberikan infus NaCl 0,9% bolus,
menurunkan ultrafiltrsion Rate (UFR) dan kecepatan aliran darah (quick of blood)
serta menghitung ulang cairan yang keluar. Hipotensi intradialisis dapat dicegah
oleh perawat dengan cara: melakukan pengkajian berat badan kering secara
regular, menghitung UFR secara tepat dan menggunakan kontrol UFR,
menggunakan dialisat bikarbonat dengan kadar natrium yang tepat, mengatur suhu
dialisat secara tepat, monitoring tekanan darah serta observasi volume darah dan
Universitas Sumatera Utara
17
hematokrit selama proses hemodialisis. Memberikan edukasi tentang pentingnya
menghindari konsumsi antihipertensi dan makan saat dialisis juga dapat mencegah
hipotensi intradialisis (Daugirdas et al,. 2007)
2.3.3. Hipertensi Intradialisis
2.3.3.1. Defenisi dan Prevalensi
Hipertensi intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis ≥140/90
mmHg atau terjadi peningkatan tekanan pada pasien yang sudah mengalami
hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan mengalami hipertensi intradialisis
jika nilai Mean Arterial Pressure (MAP) selama hemodialisis 107 mmHg atau
terjadi peningkatan MAP pada pasien yang nilai MAP pradialisis diatas normal.
Hipertensi intradialisis bukan common complication saat pasien menjalani
hemodialisis (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007)
Hipertensi Intradialisis merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada
pasien hemodialisis. Hasil penelitian Chazot & Jean (2010) menunjukkan 10%
pasien mengalami hipertensi intradialisis saat menjalani hemodialisis. Hasil
penelitian Armiyati (2012) di Yogyakarta menunjukkan hipertensi intradialisis
dialami oleh 80% pasien. Tingginya hipertensi intradialisis dalam penelitian
Armiyati cukup berbeda dari penelitian lain yang menyebutkan bahwa kejadian
hipertensi intradialisis tidak banyak dialami pasien. Armiyati menyebutkan
tingginya hipertensi intradialisis dalam penelitiannya kemungkinan karena
sebagian besar pasien (92%) memiliki rata-rata tekanan darah sistolik dan
diastolik pradialisis diatas normal.
Universitas Sumatera Utara
18
Stephen et al., (2003) menyebutkan hipertensi intradialisis berkontribusi
terhadap peningkatan kejadian gagal jantung dan kematian pasien. Studi yang
dilakukan oleh Inrig et al., (2009) menunjukkan bahwa setiap peningkatan
tekanan darah >10 mmHg selama hemodialisis meningkatkan resiko mortalitas
dan rawat inap di rumah sakit.
2.3.3.2. Etiologi
Chazot & Jean, (2010) menyebutkan hal yang diduga sebagai penyebab
hipertensi intradialisis sebagai berikut: 1) Fluid overload; 2) Aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan
ultrafiltrasi; 3) Sympathetic overactivity; 4)Variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat
hemodialisis; 4) Vikositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi
eritropoeitin; 5) Obat antihipertensi terekskresikan saat hemodialisis; 7) Disfungsi
endotel.
2.3.3.3. Penanganan
Penanganan pertama terhadap hipertensi intradialisis adalah membatasi
peningkatan berat badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat
badan kering. Hal ini bisa dicapai melalui konseling diet, pembatasan konsumsi
garam dan ultrafiltrasi yang agresif saat hemodialisis. Penentuan cairan yang akan
ditarik saat hemodialisis memerlukan panduan dengan alat yang non invasif
seperti bioimpedance, inferior vena cava ultrasonography, atau monitor volume
darah.
Penarikan
cairan
harus hati-hati
untuk
menghindari
instabilitas
hemodinamik. Diperlukan hemodialisis yang lebih lama dan sering untuk untuk
Universitas Sumatera Utara
19
menghindari komplikasi dari ultrafiltrasi yang berlebihan saat hemodialisis.
Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan ultrafiltration rate
(UFR) yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan hipertensi intradialisis
(Chazot & Jean, 2010).
Penanganan hipertensi Intradialisis pada pasien hemodialisis berdasarkan
pedoman NKF K/DOQI adalah sebagai berikut: 1) Pendidikan kesehatan dan
konseling yang yang teratur oleh ahli gizi; 2)Asupan natrium yang rendah (23g/hari); 3)Peningkatan Ultrafiltrasi 4) Memperpanjang lama hemodialisis; 5)
Hemodialisis dilakukan lebih dari 3 kali/minggu; 6) Pemberian obat-obatan yang
dapat mengurangi nafsu makan garam (salt appetite), dan 6) pemberian obat
antihipertensi.
Universitas Sumatera Utara
Download