BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Demam Berdarah

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit febril akut
yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan
malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh
nyamuk Aedes aegypti dan Ae albopictus (Depkes RI, 2007).
2.1.1. Bionomik Vektor Penular DBD
Karakteristik Ae. aegypti dan Ae albopictus sebagai penular utama virus DBD
adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara
morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang
terdapat pada bagian skutumnya (Merrit & Cummins, 1978). Skutum Ae. aegypti
berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit
oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictus yang juga
berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Roche (2002)
melaporkan bahwa Ae.aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti
queenslandensis dan Ae. aegyptiformosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika
sementara subspecies kedua hidup didaerah tropis yang dikenal efektif menularkan
virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama
(Roche, 2002). Informasi tentang karakteristik tersebut sangat membantu mengenali
11
Universitas Sumatera Utara
jenis nyamuk tersebut terutama bagi petugas surveilen dan masyarakat dalam rangka
mengendalikan penyakit DBD yang ditularkan oleh kedua nyamuk tersebut.
Karakteristik telur Aedes adalah berbentuk bulat pancung yang mula-mula
berwarna putih kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara
terpisah di permukaan air untuk memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi
larva di dalam media air. Media air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah air
bersih yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya
(Mortimer, 1998). Sejauh ini, informasi mengenai pemilihan air bersih stagnant
sebagai habitat bertelur Ae. aegypti banyak dilaporkan oleh peneliti searangga
vekktor tersebut dari berbagai negeri. Demikian juga oleh peneliti Indonesia.
Informasi tersebut telah mengarahkan fokus perhatian para surveilen pada tipe-tipe
habitat seperti itu. Sementara Ae. albopictus meletakkan telurnya dipinggir kontener
atau lubang pohon di atas permukaan air (Lutz, 2000). Oleh karena itu, kegiatan
surveilen tidak terbatas pada media atau kontener yang berisi air atau air bersih.
Larva nyamuk semuanya hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar.
Keempat instar itu dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung
keadaan lingkungan seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin
perkembangan larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan
juga menghambat perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar ke empat
larva berubah menjadi pupa. Sebagaimana larva, pupa juga membutuhkan lingkungan
akuatik (air). Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap
membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan pernafasannya pupa berada
Universitas Sumatera Utara
di dekat permukaan air. Lama fase pupa tergantung dengan suhu air dan spesies
nyamuk yang lamanya dapat berkisar antara satu hari sampai beberapa minggu.
Setelah melelewati waktu itu maka pupa membuka dan melepaskan kulitnya
kemudian imago keluar ke permukaan air yang dalam waktu singkat siap terbang.
Imago yang lebih awal keluar adalah jantan yang sudah siap melakukan kopulasi bila
betinanya muncul belakangan. Imago Ae. albopictus biasanya melakukan kopulasi di
dekat inang imago betina dengan harapan memudahkan mendapatkan cairan darah
(Hawley, 1988 dalam Lutz, 2000). Imago betina membutuhkan cairan darah sebelum
meletakkan telurnya yang fertil. Cairan darah itu diperlukan oleh imago betina setiap
akan meletakkan sejumlah telurnya. Siklus pengisapan darah itu dilakukan setiap
akan meletakkan telur, sehingga pengisapan cairan darah itu dapat dilakukan berkalikali selama hidupnya (Lutz, 2000).
Lama hidup imago itu dapat berkisar antara 1 sampai 2 bulan. Selama
hidupnya, nyamuk tersebut menunjukkan preferernsi bervariasi terhadap sumber
darah yang dibutuhkan. Ae. albopictus cenderung memilih makan pada manusia atau
binatang peliharaan seperti burung bila inang utama tidak ada (Hawley, 1988 dalam
Lutz, 2000).
Kegiatan itu biasanya dilakukan pada siang hari atau kadang-kadang pada
pagi hari. Untuk menyelesaikan satu siklus hidupnya diperlukan waktu antara 9 – 12
hari atau rata-rata 10 hari dari telur sampai imago menghasilkan telur kembali (Borror
& Long, 1954). Untuk mengefektifkan usaha pencegahan penyakit DBD melalui
Universitas Sumatera Utara
penanganan vector itu diperlukan pelatihan intensif kepada petugas surveilen tentang
pengetahuan dasar ini.
2.1.2. Habitat Vektor Penyebab DBD
Habitat dan Kebiasaan Hidup. Secara bioekologis kedua spesies nyamuk
tersebut mempunyai dua habitat yaitu aquatic (perairan) untuk fase pradewasanya
(telur, larva dan pupa), dan daratan atau udara untuk serangga dewasa. Walaupun
habitat imago di daratan atau udara, namun juga mencari tempat di dekat permukaan
air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan
air atau kering masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun. Masa
hibernasi telur-telur itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan
lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas. Terlur itu akan menetas
antara 3 – 4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Habitat larva yang
keluar dari telur tersebut hidup mengapung di bawah permukaan air. Perilaku hidup
larva tersebut berhubungan dengan upayanya menjulurkan alat pernafasan yang
disebut sifon menjangkau permukaan air guna mendapatkan oksigen untuk bernafas.
Habitat seluruh masa pradewasanya dari telur, larva dan pupa hidup di dalam air
walaupun kondisi airnya sangat terbatas.
Berbeda dengan habitat imagonya yaitu hidup bebas di daratan (terrestrial)
atau udara (aborial). Walaupun demikian masing-masing dari spesies itu mempunyai
kebiasaan hidup yang berbeda yaitu imago Ae. aegypti lebih menyukai tempat di
dalam rumah penduduk sementara Ae. albopictus lebih menyukai tempat di luar
rumah yaitu hidup di pohon atau kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
Ae. albopictus sering disebut nyamuk kebun. Sementara Ae. aegypti yang lebih
memilih habitat di dalam rumah sering hinggap pada pakaian yang digantung untuk
beristirahat dan bersembunyi menantikan saat tepat inang datang untuk mengisap
darah. Informasi tentang habitat dan kebiasaan hidup nyamuk tersebut sangat penting
untuk
mempelajari
dan
memetakan
keberadaan
populasinya
untuk
tujuan
pengendaliannya baik secara fisik-mekanik, biologis maupun kimiawi.
Dengan pola pemilihan habitat dan kebiasaan hidup imago tersebut Ae.
aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi,
tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang
sembarangan yang pada waktu hujan terisi air. Sementara Ae. albopictus dapat
berkembang biak di habitat perkebunan terutama pada lubang pohon atau pangkal
babu yang sudah dipotong yang biasanya jarang terpantau di lapangan. Kondisi itu
dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembang biak dengan volume
air minimum kira-kira 0.5 sentimeter setara atau dengan dengan satu sendok teh
(Judarwanto, 2007).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor
abiotik dan biotik. Menurut Barrera et al. (2006) faktor abiotik seperti curah hujan,
temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa
nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit,
kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontener sebagai habitat akuatiknya
pradewasa juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi imago.
Keberhasilan itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik,
Universitas Sumatera Utara
komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh
terhadap siklus hidup Ae. aegypti. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener (ada
atau tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar mata hari langsung)
juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk. Faktor curah hujan mempunyai pengaruh
nyata terhadap flukstuasi populasi Ae. aegypti (Irpis 1972). Suhu juga berpegaruh
terhadap aktifitas makan (Wu & Chang 1993), dan laju perkembangan telur menjadi
larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago (Rueda et al. 1990). Faktor suhu
dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer
(Barrera et al., 2006). Di Indonesia, faktor curah hujan itu mempunyai hubungan erat
dengan laju peningkatan populasi di lapang. Pada musim kemarau banyak barang
bekas seperti kaleng, gelas plastic, ban bekas, keler plastic, dan sejenisnya yang
dibuang atau ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Sasaran pembuangan atau
penaruhan barang-barang bekas tersebut biasanya di tempat terbuka seperti lahanlahan kosong atau lahan tidur yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah
perdesaan. Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar
permukaan dan barang bekas itu menjadi sarana penampung air hujan. Bila di antara
tempat atau barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan
menetas menjadi larva Aedes yang dalam waktu (9-12 hari) menjadi imago.
Fenomena lahan tidur dan lahan kosong sering menjadi tempat pembuangan sampah
rumah tangga termasuk barang kaleng yang potensial sebagai tempat pembiakan
nyamuk.
Universitas Sumatera Utara
Pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih yang sangat
luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan pohon atau bekas
potongan pakal pohon bambu juga potensial sebagai penampung air jernih yang dapat
dijadikan tempat peletakkan telur bagi serangga vector terutama Ae. albopictus yang
biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan mendung dapat
merangsang naluri bertelurnya nyamuk. Dengan demikian populasi nyamuk
meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus
DBD di daerah tersebut.
2.1.3. Penularan Penyakit DBD
Perilaku Makan dan Cara Penularan Penyakit. Imago Ae. aegypti dan
Ae.albopictus mempunyai perilaku makan yang sama yaitu mengisap nectar dan jus
tanaman sebagai sumber energinya. Selain energi, imago betina juga membutuhkan
pasokan protein untuk keperluan produksi (anautogenous) dan proses pematangan
telurnya. Pasokan protein tersebut diperoleh dari cairan darah inang (Merrit &
Cummins, 1978). Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk proses
pematangan telurnya ditentukan oleh frekuensi kontak antara vector dengan inang.
Frekuensi kontak tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis dan kepadatan inang. Ada
perbedaan perilaku makan darah antara imago yang belum dan sudah terinfeksi virus
DBD. Perbedaan itu berimpilkasi terhadap frekuensi kontak nyamuk dengan inang.
Imago betina terinfeksi lebih sering kontak dengan inang untuk mendapatkancairan
darah untuk produksi dan proses pematangan telurnya. Kejadian itu meningkatkan
frekuensi kontaknya dengan inang sehingga peluang penularan virus DBD semakin
Universitas Sumatera Utara
cepat dan singkat. Meningkatnya frekuensi kontak antara vektor dengan inang
tersebut dapat dipengaruhi juga oleh kisaran dan freferensinya terhadap inang.
Walaupun Ae. Aegypti diketahui bersifat antropofilik (Harrington et al., 2001) namun
penelitian tentang pola makan terhadap inangnya selain manusia, banyak dilakuan
untuk mencari frekuensi kontak vektor tersebut dengan inang utama yaitu manusia.
Hasil penelitian Ponlawat & Harington (2005) yang dilakukan sekitar tahun
2003 dan 2004 di Thailand menunjukkan bahwa Ae. aegypti hampir sepenuhnya
(99%, 658/664) mengisap darah manusia. Sementara hasil penelitian di Afrika yang
dilakukan oleh Weitz (1960) dalam Ponlawat & Harington (2005) juga menyebutkan
inang nyamuk selain manusia adalah kucing, anjing, kambing, anak sapi jantan dan
kera. Sama dengan Ae. albopictus yang dikenal sebagai vector kedua virus DBD
tersebut diasumsikan sebagai pemakan yang lebih generalis dibandingkan dengan
Ae. aegypti. Anggapan tersebut diperkuat oleh penemuan Niebylski et al. dan Savage
et al. dalam Ponlawat & Harington (2005) bahwa inang nyamuk tersebut selain
manusia adalah kelinci, tikus, anjing, rusa, lembu, bajing tanah, penyu, tupai, sapi
jantan, kucing, dan burung. Walaupun demikian ada juga fakta yang menunjukkan
bahwa di daerah tertentu nyamuk Ae. albopictus hanya menjadikan manusia sebagai
inang tunggalnya seperti yang dilaporkan oleh Ponlawat & Harington (2005) dari
hasil penelitiannya di Sebelah Selatan Thailand pada tahun 2003 dan 2004. Oleh
karena itu, kisaran inang dan preferensi vector terhadap inang tersebut menentukan
status spesies tersebut sebagai vector utama virus DBD.
Universitas Sumatera Utara
Cara Menularkan Virus. Cara penularan virus DBD adalah melalui cucukan
stilet nyamuk Aedes betina terhadap inang penderita DBD. Nyamuk Aedes yang
bersifat “antropofilik” itu lebih menyukai mengisap darah manusia dibandingkan
dengan darah hewan. Darah yang diambil dari inang yang menderita sakit
mengandung virus DBD, kemudian berkembang biak di dalam tubuh nyamuk sekitar
8 -10 atau sekitar 9 hari. Setelah itu nyamuk sudah terinfeksi virus DBD dan efektif
menularkan virus. Apabila nyamuk terinfeksi itu mencucuk inang (manusia) untuk
mengisap cairan darah, maka virus yang berada di dalam air liurnya masuk ke dalam
sistem aliran darah manusia. Setelah mengalami masa inkubasi sekitar empat sampai
enam hari, penderita akan mulai mendapat demam yang tinggi. Untuk mendapatkan
inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan
sore hari antara pukul 15.00-17.00. Nyamuk yang aktif mengisap darah adalah yang
betina untuk mendapatkan protein. Tiga hari setelah menghisap darah, imago betina
menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap diletakkan pada media.
Setelah itu nyamuk dewasa, mencari inang luntuk menghisap darah untuk bertelur
selanjutnya.
Selain itu Ae. Aegypti mempunyai kemampuan untuk menularkan virus
terhadap keturunannya secara transovarial atau melalui telurnya (Yulfi, 2006).
Namun Roche (2002) melaporkan bahwa hanya A. albopictus yang mampu
menularkan virus melalui keturunanya sementara Ae. Aegypti tidak. Sementara Yulfi,
(2006) menyimpulkan pendapat dari Maurya et al., Joshi et al. dan Rohani et al. yang
menyatakan bahwa kedua spesies itu dapat menularkan virus pada keturunannya.
Universitas Sumatera Utara
Rohani et al. (2005) menemukan larva terinfeksi virus DBD tersebut di 16 lokasi
penelitiannya di Malaysia dengan laju infeksi virusnya lebih tinggi pada Ae. aegypti
(13,7%) dibandingkan pada Ae. albopictus (4,2%). Keturunan nyamuk yang menetas
dari telur nyamuk terinfeksi virus DBD secara outomatis menjadi nyamuk terinfeksi
yang dapat menularkan virus DBD kepada inangnya yaitu manusia.
2.1.4. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan
nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup
nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Sumber : Anggraeni, 2010
Universitas Sumatera Utara
a. Telur
Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100
butir. Nyamuk Ae. aegypti meletakkan telur pada permukaan air yang bersih atau
menempel pada dinding tempat penampung air secara individual. Telur berbentuk
elips berwarna hitam dengan panjang ± 0,80 mm. Telur Ae. aegypti tahan kekeringan
dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur
dapat menetas menjadi jentik dalam 1 sampai 2 hari.
b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan
jentik tersebut, yaitu: Instar I berukuran paling kecil, yaitu 1 – 2 mm; 2) Instar II
2,5 – 3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV
berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi
pupa dalam 5 sampai 7 hari.
c. Pupa / Kepompong
Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 1-2 hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk
dewasa (Anggraeni, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Pengaruh Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesakitan
akibat DBD, karena berkaitan dengantempat perindukan nyamuk penular DBD,
faktor lingkungan tersebut antara lain:
1. Lingkungan Biologik
Pertumbuhan larva dari instar ke instar dipengaruhi oleh air yang ada di dalam
kontainer, pada kontainer dengan air yang lama biasanya terdapat kuman patogen
atau parasit yang akan mempengaruhi pertumbuhan larva tersebut. Adanya infeksi
patogen dan parasit pada larva akan mengurangi jumlah larva yamg hidup untuk
menjadi nyamuk dewasa, masa pertumbuhan larva bias menjadi lebih lama dan umur
nyamuk dewasa yang berasal dari larva yang terinfeksi patogen atau parasit biasanya
lebih pendek.
2. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan nyamuk penular DBD
antara lain jarak antar rumah, macam kontainer, suhu udara, curah hujan, pengaruh
angin dan kelembaban.
a) Jarak Antar Rumah
Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah
kerumah yang lain. Semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk
menyebar ke rumah yang lain.
Universitas Sumatera Utara
b) Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
kehidupan Aedes aegypti. Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperature
udara sekitar 200C – 300C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas pada 1
sampai 3 hari pada suhu 300C, tetapi pada suhu udara 160C dibutuhkan waktu selama
7 hari. Nyamuk dapat hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismanya menurun
atau bahkan berhenti apabila suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu lebih
tinggi dari 350C juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses
fisiologi, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C.
Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu kurang dari 100C
atau lebih dari 400C. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan
proses metabolismanya yang sebagian diatur oleh suhu. Karenanya kejadian-kejadian
biologis tertentu seperti: lamanya pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang
dihisap dan pematangan indung telur dan frekensi mengambil makanan atau
menggigit berbeda-beda menurut suhu, demikian pula lamanya perjalanan virus di
dalam tubuh nyamuk.
c) Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
yang biasanya dinyatakan dalam persen. Dalam kehidupan nyamuk kelembaban
udara mempengaruhi kebiasaan meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan
nyamuk atau serangga pada umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor
kelembaban. Sistem pernafasan nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
pipa-pipa udara yang disebut trachea, dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk
yang disebut spiracle.
Adanya spirakel yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturnya, maka
pada kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dalam tubuh nyamuk, dan
salah satu musuh nyamuk dewasa adalah penguapan. Pada kelembaban kurang dari
60 % umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak
cukup waktu untuk perpidahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.
d) Intensitas Cahaya
Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat
pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi
merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor
terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk, nyamuk terbang apabila
intensitas cahaya rendah (<20 Ft-cd). Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat
bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan juga menarik nyamuk
betina untuk meletakkan telurnya. Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau
gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari bejana yang intensitas cahanya besar
atau terang.
e) Pengaruh Hujan
Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat
perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar rumah selain
sampah-sampah kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng, juga potongan bambu
sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk serta daun-daunan yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk
bertelurnya Aedes aeegypti.
f) Pengaruh Angin
Secara tidak langsung angina akan mempengaruhi evaporasi atau penguapan
air dan suhu udara atau konveksi. Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk.
Kecepatan angin kurang dari 8,05 km/jam tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk, dan
aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 km/jam
(2,2 meter/detik) atau lebih.
2.2. Penanggulangan DBD
2.2.1. Pengendalian Vektor Penyebab DBD
Saat ini hanya cara pengendalian yang tepat menanggulangi penyakit DB dan
DBD adalah menurunkan populasi vector untuk mengurangi kontak antara vector
dengan manusia dan mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi.
Cara ini memerlukan pengetahuan yang memadai untuk mengenali jenis dan
karakter, habitat dan perilaku hidup atau bioekologinya dan arti penting nyamuk
vector tersebut sebagai penular penyakit yang mematikan itu. Untuk itu diperlukan
pengembangan teknologi dan strategi berbasis masyarakat untuk menjamin
keberlanjutan usaha pengendalian tersebut (Depkes RI, 2005).
2.2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Penyebab DBD
Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara rutin oleh semua masyarakat
maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau
Universitas Sumatera Utara
dibatasi. Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk
memberantas nyamuk Ae aegypti, dilakukan dengan cara:
a. Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurangkurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk, sehingga
jentik-jentik tidak bias menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-rapat agar
nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut.
b. Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung seminggu
sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk.
c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah lainnya
yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk.
d. Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di kamar ruang
yang remang-remang atau gelap.
Pendekatan pemberantasan terpadu menurut Kalra dan Bang adalah suatu
strategi pemberantasan vektor penyakit yang dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian secara kimiawi,
perlindungan diri, pengelolaan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan secara terpadu.
Pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan upaya pemberantasan vektor dengan
metode pendekatan terpadu karena menggunakan beberapa cara yaitu secara kimia
dengan menggunakan larvasida, secara biologi dengan mengguanakan predator, dan
secara fisik yang dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, dan Mengubur).
Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-
Universitas Sumatera Utara
kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak ditempat itu.
Apabila PSN-DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk
Aedes aegypti dapat dibasmi. Untuk itu diperlukan upaya penyuluhan dan motivasi
kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, karena
keberadaan Aedes aegypti berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
2.2.3
Surveilans DBD
Surveilans DBD adalah bagain dari surveilans kesehatan masyarakat atau
surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan, analisis, dan
analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terusmenerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi
outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir.
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat
keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit (Last, 2001).
Menurut Depkes RI (2003), surveilans epidemiologi adalah kegiatan secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
Universitas Sumatera Utara
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Sedang sistem surveilans epidemiologi adalah merupakan tatanan prosedur
penyelenggaraan
surveilans
epidemiologi
yang terintegrasi
antara
unit-unit
penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian,
pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans
epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, propinsi dan pusat.
Ada banyak definisi surveilans yang dijabarkan oleh para ahli, namun pada
dasarnya mareka setuju bahwa kata “surveilans” mengandung empat unsur yaitu:
koleksi, analisis, interpretasi dan diseminasi data. WHO mendefiniskan surveilans
sebagai
suatu
kegiatan
sistematis
berkesinambungan,
mulai
dari
kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya
dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi
suatu kebijakan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, di dalam suatu sistem surveilans, hal yang perlu digaris
bawahi adalah:
1. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan,
bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu waktu.
2. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data, namun
yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis, interpretasi data serta
pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut, sampai kepada evaluasinya.
Universitas Sumatera Utara
3. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas yang
baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam menghasilkan
kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien.
1) Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
(5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi
kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
Menurut Depkes RI (2003),
surveilans juga penting untuk mengamati
kecenderungan dan memperkirakan besar masalah kesehatan, mendeteksi serta
memprediksi adanya KLB, mengamati kemajuan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit yang akan dilakukan, memperkirakan dampak program
intervensi, mengevaluasi program intervensi dan mempermudah perencanaan
program pemberantasan penyakit.
2) Kegiatan-kegiatan Surveilans
Berdasarkan pemahaman terhadap surveilans, konsep dasarnya meliputi:
Universitas Sumatera Utara
(1) Pengumpulan data
Pengumpulan data surveilans dapat dilakukan secara aktif maupun pasif.
Surveilans aktif dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi
unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber lain sedang surveilans pasif
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari
laporan unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber lain.
(2) Pengolahan data, analisis dan interpretasi data
Aspek kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam pengolahan data dan
analisis data surveilans yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data. Ketepatan waktu
pengolahan data sangat berkaitan dengan waktu penerimaan data.
(3) Umpan balik dan diseminasi informasi yang baik serta respon yang tepat
Kunci keberhasilan surveilans adalah umpan balik dan diseminasi kepada
sumber-sumber data dan pengguna informasi tentang pentingnya proses pengumpulan
data. Bentuk umpat balik biasanya berupa ringkasan informasi dari analisis data serta
tindakan korektif kepada sumber laporan
3) Uraian Tugas Petugas Surveilans
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petugas
Surveilans
DBD Puskesmas mempunyai uraian tugas sesuai dengan kegiatan-kegiatan surveilans
epidemiologi penyakit menular, yaitu:
1) Menyusun rencana kegiatan surveilans DBD
Petugas merencanaan kegiatan surveilans DBD dengan menyiapkan sumber
daya manusia yang terlibat, fasilitas yang dibutuhkan serta bentuk kegiatan
Universitas Sumatera Utara
operasional lainnya yang berkaitan dengan kegiatan surveilans DBD di
lapangan.
2) Pengumpulan data / Pencarian Kasus
Pengumpulan data dapat dilakukan secara aktif yaitu melakukan kajian-kajian
epidemiologi DBD dengan menggunakan form atau lembar ceklist yang telah
dipersiapkan. Data yang dikumpulkan berupa data morbiditas DBD
berdasarkan karakteristik penduduk, dan berdasarkan wilayah. pengumpulan
data dapat dilakukan di dalam dan diluar gedung puskesmas. Pengumpulan
data secara tidak aktif biasanya dilakukan didalam gedung puskesmas dengan
merekaptulasi seluruh kunjungan penderita DBD di Puskesmas, serta data dari
catatan laboratorium. Umumnya di Indonesia, pencarian kasus DBD
menggunakan teknik Passive Case Finding (PCD). Pada teknik PCD si
penderita dengan gejala DBD datang ke di rumah sakit, Puskesmas,
Puskesmas Pembantu dan Poliklinik untuk berobat, kemudian dilakukan
pemeriksaan hingga didiagnosa penyakit DBD. PCD biasanya diperuntukkan
di daerah endemis termasuk Kota Pematangsiantar.
Apabila ada laporan dari RS mengenai kasus DBD dan dicurigai akan adanya
wabah, maka akan dilakukan penelitian ke lapangan.
Ini gunanya untuk
mengetahui adanya penderita lain ataupun tersangka DBD yang perlu
dikonfirmasi laboratorium, menentukan luas daerah yang terkena dan luas
daerah yang perlu ditanggulangi, menilai sumber-sumber (inventory)
mengenai keadaan umum setempat, mengenai fasilitas dan faktor-faktor yang
Universitas Sumatera Utara
berperanan penting pada timbulnya wabah serta setiap kasus demam
berdarah/tersangka demam berdarah perlu dilakukan kunjungan rumah oleh
petugas untuk penyuluhan dan pemeriksaan jentik di rumah kasus tersebut dan
20 rumah di sekelilingnya (radius 100 meter). Bila terdapat jentik, masyarakat
diminta melakukan pemberantasan sarang
nyamuk
(Pada umumnya
penyemprotan/fogging, dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan . Prioritas fogging
adalah pada areal dengan kasus-kasus demam berdarah yang mengelompok,
dan yang meninggal).
3) Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan terhadap seluruh data yang telah dikumpulkan
dengan pendekatan Epidemiologi, dan mendistribusikan dalam bentuk tabel
dan grafik serta narasi yang sesuai sebagai bentuk dalam penyajian informasi
4) Penyebarluasan Informasi (diseminasi informasi)
Upaya ini adalah menyampaikan seluruh informasi yang berkaitan dengan
epidemiologi DBD dan langkah strategis penanggulangan DBD dalam bentuk
laporan rutin, laporan mingguan, maupun jenis bentuk laporan lain sesuai
pedoman surveilans DBD.
2.3. Kinerja
2.3.1. Pengertian Kinerja
Kata kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang dalam bahasa
Indonesia seringkali juga diterjemahkan dengan unjuk kerja, hasil karya, pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
kerja maupun hasil pelaksanaan kerja. Beach (Putti, 1990) menyebutkan kinerja
adalah: “a systematic evaluation on an individual employee regarding his/her
performance on his/her job and his/her potentials for development.” Jadi, kinerja
adalah penilaian sistematis atas diri pegawai terkait dengan prestasinya dan
potensinya yang dapat dikembangkan. Belows (Putti, 1990) mengemukakan definisi
senada, dengan menambahkan bahwa penilaian tersebut dilakukan oleh pihak atasan
atau pihak lain yang diberi tugas melakukan penilaian. Dikemukakannya, kinerja
adalah : “evaluation on the value of an individual employee for his/her organization
conducted by his/her superior or by someone in position to evaluate his/her
performance.”
Menurut Amstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
berhubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan
memberikan kontribusi ekonomi. Menurut Bernadin dan Russell (Sulistiyani dan
Rosidah, 2003), kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi
pegawai atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan
(2001) menyatakan, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Gibson, et al., (1996) menyebutkan
kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu adalah dasar
kinerja organisasi. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja
adalah tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam penelitian ini, kinerja petugas surveilans DBD adalah tingkat keberhasilan
Universitas Sumatera Utara
mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan DBD sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan.
2.3.2. Penilaian Kinerja
Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa, penilaian prestasi kerja
atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap
pekerjaannya. Esensinya, supervisor dan karyawan secara formal melakukan evaluasi
terus menerus. Kebanyakan mereka mengacu pada prestasi kerja sebelumnya dan
mengevaluasi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika kinerja
atau prestasi kerja tidak memenuhi syarat, maka manajer atau supervisor harus
mengambil tindakan, demikian juga apabila prestasi kerjanya bagus maka
perilakunya perlu dipertahankan.
Penilaian kinerja dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Menurut Ruky
(2006), tujuannya adalah: (1) meningkatkan prestasi kerja seseorang dengan
memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka
pencapaian tujuan, (2) merangsang minat dalam pengembangan pribadi agar
meningkatkan hasil karya dan prestasi serta potensi laten dengan cara memberikan
umpan balik tentang prestasi yang bersangkutan, (3) membantu menyusun program
pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, dan (4) sebagai pertimbangan
obyektif dalam sistem penghargaan (reward -punishment).
Melakukan penilaian kinerja akan bemanfaat untuk memperoleh umpan balik
atas kinerja, identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, penghargaan, dan evaluasi
pencapaian tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2001), memberikan informasi sebagai
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan untuk promosi dan penetapan gaji dan memberikan peluang bagi atasan
dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan, dan
membantu menilai perkembangan seorang dalam melaksanakan tugasnya (Mckirchy,
2004). Penilaian kinerja juga bermanfaat untuk: (1) penyesuaian dalam kompensasi,
(2) perbaikan kinerja, (3) kebutuhan latihan dan pengembangan, (4) pengambilan
keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian, dan
perencanaan tenaga kerja, dan (5) membantu diagnosis terhadap kesalahan dalam
disain pegawai (Sulistiyani dan Rosidah, 2003).
Dalam konteks organisasi, penilaian kinerja juga sangat membantu pimpinan
mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat
maupun program-program organisasi secara menyeluruh (Ruky, 2006).
Dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia, menurut Ruky (2006)
beberapa manfaat penilaian kinerja terutama dalam: (1) penyusunan program
pelatihan dan pengembangan karyawan; karena dengan penilaian kinerja akan
teridentifikasi pelatihan tambahan yang masih diperlukan untuk membantu tercapai
standar prestasi yang ditetapkan, (2) penyusunan program suksesi dan kaderisasi;
karena
dengan
catatan
(record)
kinerja
dapat
mengetahui
potensi
untuk
dikembangkan kariernya, dan (3) pembinaan karyawan; karena dengan penilaian
kinerja dapat diketahui hambatan-hambatan untuk meningkatkan prestasinya.
Dalam konteks perilaku, penilaian kinerja membantu mengidentifikasi faktor
yang membentuk pola perilaku yang menjadi ciri individu, sehingga berguna untuk
Universitas Sumatera Utara
mengomunikasikan ikhwal mengapa individu berperilaku dan bertindak dengan caracara tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sangat
dibutuhkan tidak saja bagi pengembangan organisasi, melainkan juga bagi individu
yang bersangkutan. Bagi organisasi publik, kinerja pegawai yang tinggi di samping
meningkatkan kinerja organisasi, juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Jadi, penilaian terhadap kinerja petugas Surveilans DBD diharapkan
akan mendorong peningkatan upaya penyelidikan epidemiologi kasus DBD,
pencatatan dan pelaporan serta upaya peningkatan daerah bebas jentik.
2.3.3. Cara Menilai Kinerja
Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau kriteria.
Memilah metode penilaian kinerja berdasarkan konsep Input–Process–Output.
Metode penilaian berorientasi input disebut person centered approach. Metode ini
bersifat individual yang menekankan pada penilaian ciri-ciri atau karakteristik
kepribadian seperti; kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas,
adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut bukanlah sebagai prestasi, tetapi lebih tepat disebut persyaratan atau
karakteristik yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mereka mampu atau akan
melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga akhirnya
mempunyai prestasi yang bagus.
Pada metode yang memfokuskan penilaiannya pada proses (disebut job
centered approach), yang menjadi tolok ukurnya adalah tanggung jawab dan
Universitas Sumatera Utara
persyaratan. Prestasi diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku serta tanggung
jawabnya. Dengan kata lain, penilaian masih tetap difokuskan langsung pada
kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya. Jadi cara ini merupakan pergeseran
fokus penilaian dari input ke proses. Adapun cara yang ketiga yaitu yang berbasis
pencapaian hasil individu (result oriented performance), yang memfokuskan pada
hasil yang diperoleh atau dicapai (output).
Menurut Ainsworth et al., (2002) pengukuran kinerja menggunakan skala dua
faktor, yakni skala hasil dan skala usaha, di mana ukuran ini memfokuskan pada: (1)
produktivitas; yang mempertimbangkan ukuran seperti volume dan hasil kerja, (2)
biaya; yang diperlukan bagi manusia, pemrosesan, dan bahan mentah, (3) mutu; yaitu
hasil yang dapat diterima, kedekatan dengan spesifikasi, tingkat apkiran (produk yang
tidak mendekati standar), dan standar yang terpenuhi, (4) kepuasan pelanggan,
apakah ditemukan keluhan atau pujian, dan tingkat kepuasan, dan (5) tenggat waktu,
mencapai tenggat waktu dan jadwal yang disepakati.
Menurut Klinger dan Nalbandian dalam Ilyas (2006), fokus penilaian kinerja
dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: (1) penilaian berdasarkan hasil akhir
(resultbased performance), yakni penilaian yang didasarkan pada pencapaian tujuan
atau hasil akhir (end result); (2) penilaian berdasarkan perilaku (behavior-based
performance), yang memfokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals), bukan
pada hasil akhir; dan (3) penilaian berdasarkan pendapat (judgment based
performance), yang melakukan penilaian dengan menggunakan peringkat penilaian:
Universitas Sumatera Utara
sangat bagus – sangat tidak bagus (rating method) dan pengurutan: dari paling baik –
paling buruk (ranking method).
Menurut K-State Cooperative Extension Service (Khalil et al., 2008), ukuran
kinerja dapat dicapai melalui dimensi: (1) kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3)
keterikatan pada jadwal kerja, (4) alokasi kerja, (5) sikap dan ketenangan, dan (6)
kepuasan organisasi dan pelanggan. Terziovski dan Dean (Khalil et al,. 2008)
menyatakan bahwa peningkatan/pengembangan kualitas kerja mengacu pada dimensi
yang paling efektif dalam memengaruhi kinerja pegawai. Dari uraian di atas dapat
dirangkum bahwa penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek input-proses-output
ataupun dari aspek hasil dan usaha..
Tujuan Pengukuran Kinerja antara lain:a).Membantu memperbaiki kinerja
pemerintahan agar kegiatan pemerintah terfokus pada tujuan dan sasaran program
unit kerja. b). Pengalokasian sumber daya dan pembuatankeputusan. c).Mewujudkan
pertanggungjawaban public dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Manfaat Pengukuran Kinerja: a). Membawa organisasi dekat pada
pelanggannya dan seluruh anggota organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan
kepada pelanggan. b).Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan kepada para
pelanggan secara maksimal. c).Menidentifikasi berbagai factor untuk mempengaruhi
hasil kinerja organisasi yang dapat dicapai. d). Membuat tujuan strategis untuk
mempertinggi kepuasan pelanggan. e).Membangun konsensus bagi intervensi
terencana bagi pengembangan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4.
Determinan Kinerja Petugas DBD
Keberhasilan pelaksanaan tugas pegawai sangat ditentukan oleh banyak
faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Menurut Ainswort et al., (2002),
kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi. Artinya, kinerja adalah hasil
akhir dari kemampuan dan keinginan seseorang. Jadi, model kinerja adalah:
P(performance) = f (A(ability), M(otivation)).
Menurut Robbins (1996), kinerja tidak saja ditentukan oleh kedua faktor
tersebut, melainkan juga oleh kesempatan (opportunity). Jadi, kinerja adalah fungsi
interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan
kesempatan atau opportunity (O), atau kinerja = ƒ (A, M, O). Kesempatan merujuk
pada tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun
seorang mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menghambat.
Untuk itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan
sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan.
Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003) menyebutkan bahwa kinerja adalah
kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.
Lorsch dan Laurence
dalam Wibowo (2007) menyatakan bahwa kinerja adalah
fungsi dari atribut individu, organisasi dan lingkungan, sehingga dirumuskan sebagai:
kinerja = f(atribut individu,organisasi, lingkungan). Hersey dan Blanchard (1982)
dalam Simamora (2006) merumuskan tujuh faktor yang memengaruhi kinerja yang
dirumuskan dengan akronim ”ACHIEVE”, yakni: pengetahuan dan keterampilan
Universitas Sumatera Utara
(Ability), pemahaman atau persepsi (Clarity), dukungan organisasi (Help), motivasi
atau kemauan (Incentive), bimbingan dan umpan balik kinerja (Evaluation), validitas
(legal personal practice), dan dukungan lingkungan (environment fit).
Atmosoeprapto (2001) merinci beberapa aspek yang berhubungan dengan
kinerja, antara lain: kemampuan (competence) merupakan fungsi dari pengetahuan
dan keterampilan. Commitment adalah pengaruh atas confidence dan motivation.
Confidence ialah rasa keyakinan diri seseorang mampu melakukan tugas dengan baik
tanpa banyak diawasi. Adapun motivation adalah minat atau antusias seseorang untuk
melakukan suatu tugas dengan baik.
Gibson et al., (1996) menyebutkan bahwa faktor pengaruh kinerja individu:
(1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman
kerja, tingkat sosial dan demografi, (2) faktor psikologis: persepsi, peran, sikap,
kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja, dan (3) faktor organisasi: struktur
organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem penghargaan. Ketiga variabel
tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja
pegawai. Kinerja atau penampilan kerja adalah perilaku yang berkaitan langsung
dengan tugas pekerjaan dan yang perlu diselesaikan untuk mencapai sasaran
pekerjaan. Bagi seorang manajer hubungan perilaku dan kinerja mencakup beberapa
kegiatan
seperti
identifikasi
masalah,
perencanaan,
pengorganisasian
dan
pengendalian karyawan.
Model teori kerja melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang
menjelaskan perilaku dan kinerja individu. Variabel individu dikelompokkan pada
Universitas Sumatera Utara
sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, sedangkan variabel demografi
mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.
Variabel Psikologik dikelompokkan pada sub variabel sikap, persepsi,
kepribadian, belajar dan motivasi, variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga,
tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan varibel demografi. sub variabel
sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur, karena
seorang individu masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis latar
belakang budaya, ketrampilan berbeda satu dengan yang lainnya.
Variabel
Organisasi dikelompokkan pada sub variabel sumberdaya,
kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Sub variabel imbalan atau
kompensasi akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada
akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja individu.
2.4. Landasan Teori
Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Menurut
Gibson yang dikutip Illyas (2001) kinerja merupakan proses yang dilakukan dan
hasil yang dicapai dari seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan
tugas-tugas organisasi. Kinerja dalam surveilans DBD merupakan bentuk hasil kerja
yang dicapai petugas surveilans dalam menjalankan serangkaian tugas-tugas sebagai
petugas surveilans. Adapun kerangka teori determinan kinerja petugas DBD dapat
merujuk pada beberapa pendapat Gibson (1996), berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Determinan Kinerja Sumber Daya Manusia Gibson (1996)
Menurut Gibson dalam Ilyas (2001) ada tiga faktor yang mempengaruhi
kinerja seseorang, yaitu :
1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan
demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek
tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.
2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel
ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian
dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu
terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
WHO
mendefiniskan
berkesinambungan,
mulai
surveilans
dari
kegiatan
sebagai
suatu
kegiatan
mengumpulkan,
sistematis
menganalisis
dan
menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial
dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan
masyarakat. Surveilans DBD adalah tindakan terus-menerus dan berkesinambungan
dalam menganalisis seluruh upaya pendataan kasus DBD, analisis, penyusunan
laporan, dan umpan balik. Kinerja petugas surveilans adalah keseluruhan dari hasil
kerja petugas surveilans sesuai dengan uraian tugasnya.
2.5. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Faktor Intrinsik Petugas Surveilans
1. Pendidikan
2. Pelatihan
3. Pengetahuan
4. Sikap
5. Masa Kerja
6. Motivasi Kerja
Kinerja Petugas
Surveilans DBD
Faktor Ekstrinsik Petugas Surveilans
1. Beban Kerja
2. Dukungan Pimpinan
3. Imbalan
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download