Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD… KATA PENGANTAR Implementasi otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai perubahan ke arah yang lebih baik di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam praktiknya, di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat. Hal inilah yang menggugah para praktisi dan akademisi dalam bidang Administrasi Publik untuk menyampaikan pemikirannya sehubungan dengan pokok-pokok masalah yang dikritisi. Pemikiran ini dituangkan dalam bentuk artikel dan dihimpun dalam jurnal terbitan 2006 ini. Alwi Hasyim Batubara membahas konsep good governance dalam otonomi daerah sebagai suatu syarat mutlak untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dapat mengikuti tuntutan perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat. Beti Nasution melihat perlunya pelatihan sumber daya manusia berbasis kompetensi, dilanjutkan tentang perlunya perhatian perdagangan ekspor dan impor oleh Dahlia Hafni Lubis. Di sisi lain, Erika Revida melihat munculnya perilaku kekerasan sehingga manajemen konflik perlu dikembangkan untuk menjawab persoalan tersebut. M. Arifin Nasution lebih operasional dalam pengembangan otonomi daerah melalui konsep pemberdayaan kelurahan, diikuti tulisan mengenai pentingnya pengembangan kawasan melalui paradigma perencanaan partisipatif oleh Marlon Sihombing. Selanjutnya Antonius Sitepu mengkaji secara teoretis pendekatan realisme politik, ditutup dengan paparan Rasudyn Ginting tentang struktur pemerintahan negara Republik Indonesia pasca-amandemen UUD 1945. Untuk memahami alur pikir mereka kami persilakan Anda membaca artikel-artikel mereka dalam jurnal ini. Selamat membaca! Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD… Jurnal ISSN 1412-7377 Volume 3, Nomor 1, Januari - April 2006 Halaman 1 – 66 ANALISIS ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN D DA AFFTTA AR R IISSII KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH Alwi Hashim Batubara............................................................................................................................ 1- 6 PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI Beti Nasution ....................................................................................................................................... 7 - 14 SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC) DALAM PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR Dahlia Hafni Lubis............................................................................................................................ 15 - 22 PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Erika Revida....................................................................................................................................... 23 - 28 KONSEP PEMBERDAYAAN KELURAHAN DI KOTA MEDAN (Studi tentang Implementasi Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan) M. Arifin Nasution.............................................................................................................................29 – 37 PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA PERENCAAN PARTISIPATIF Marlon Sihombing ............................................................................................................................. 38 - 47 TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL P. Anthonius Sitepu............................................................................................................................ 48 - 56 STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA-AMANDEMEN Rasudyn Ginting ................................................................................................................................57 – 66 Jurnal ANALISIS Administrasi dan Kebijakan 2 Vol. 3 No. 1 Hlm. 1 – 66 Medan, Januari – April 2006 ISSN 1412 – 7377 Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH Alwi Hasyim Batubara Abstract: Good governance is connection with local government implementation. Bureaucracy development is one of a pact instrument to realize good governance concept in local government. But, the concept is depend on political will from government, legislative, and society. Keywords: good governance, local autonomy 1. PENDAHULUAN Good governance dalam konteks otonomi daerah merupakan bahasa strategi karena, pertama, erat relevansinya dengan berkembangnya operasionalisasi manajemen dan administrasi publik, selaras dengan berbagai perubahan kemasyarakatan, baik pada skala domestik maupun skala internasional. Pertimbangan kedua adalah relevansinya yang nyata dengan upaya kita untuk membangun sistem nasional yang berdaya saing tinggi dan adaptif dalam memasuki era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Pertimbangan ketiga adalah relevansinya dengan organisasi sektor publik saat ini tengah menghadapi tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan biaya ekonomi dan biaya sosial, serta dampak negatif atas aktivitas yang dilakukan. Pertimbangan keempat relevansinya dengan perubahan paradigma pembangunan, yakni dari paradigma rule governance menjadi paradigma good governance. Dalam good governance peran serta aktif masyarakat sangat mendominasi pembangunan. Pertimbangan kelima, dalam revansinya dengan bentuk organisasi birokrasi pada masa-masa sekarang sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan diarahkan kepada bentuk organisasi yang terbuka atau fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisien dan rasional, serta terdesentralisasi. Atau dengan kata lain, penyelenggaraan urusan pemerintahan hendaknya lebih dititikberatkan kepada kapasitas dan peran serta masyarakat di tingkat daerah atau wilayah. Kelima latar belakang tersebut terkait erat dengan permasalahan pokok yang dihadapi manajemen publik di antaranya: 1. Bagaimana mewujudkan good governance dalam konteks otonomi daerah. 2. Bagaimana mengupayakan sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. 2. PEMBAHASAN Konsep Good Governance Jika mengacu pada program World Bank dan United Nation Development Program (UNDP), orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Gunawan Sumodiningrat (1999: 251) menyatakan good governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptakan good governance pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002: 18). Selanjutnya, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, meliputi: a) Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. b) Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. c) Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. 1 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 d) Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder. e) Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. f) Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. g) Efficiency and Effectiviness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). h) Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. i) Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. Desentralisasi dan Otonomi Desentralisasi dari sudut asal usul kata berasal dari bahasa Latin, yaitu “de” atau lepas dan ”centrum” atau pusat, jadi desentralisasi dapat berarti lepas dari pusat. Handoko (2003: 229) mengartikan desentralisasi sebagai penyebaran atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan kepada tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah. Desentralisasi menurut Rondinelli (1981) merupakan: “the transfer or delegation of legal and authority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation, area wide or regional development authorities, functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizations” (desentralisasi adalah pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah swantantra-otorita, pemerintah daerah, dan nonpemerintah daerah (Koirudin, 2005: 3). Sejalan dengan pengertian/definisi desentralisasi di atas, dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos dan nomos yang berarti 2 perundangan sendiri. Dengan diberikannya hak kekuasaan dan pemerintahan kepada badan otonomi, seperti provinsi, kabupaten, dan kota maka dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan membuat/mengadakan peraturan-peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan pemerintah serta mampu menjalankan kepentingan umum. Otonomi adalah derivat dari desentralisasi. Dalam UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercantum dalam otonomi yaitu hak dan wewenang untuk memanajemeni daerah serta tanggung jawab untuk kegagalan dalam memanajemeni daerah. Sementara “daerah” dalam arti local state government adalah pemerintah di daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sumodiningrat (1999: 255) mengemukakan bahwa hakikat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat. Dewasa ini isu otonomi daerah dan demokratisasi menjadi salah satu agenda reformasi yang utama. Tema sentral kebijaksanaan pembangunan di era reformasi adalah mengedepankan paradigma pembangunan manusia yang menempatkan warga negara atau rakyat sebagai pelaku pembangunan dan yang menempatkan otonomi daerah sebagai wahana mewujudkan kesejahteraan rakyat. Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini diyakini bisa menjamin segera terwujudnya good local governance. Apalagi jika dibandingkan secara dikotomis dengan praktik sentralistik di masa lalu yang meminggirkan sebagian besar komponen masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi politik dan moral yang sangat kuat. Permasalahannya bukan terletak pada perlu atau tidaknya otonomi, melainkan otonomi yang bagaimanakah yang bisa kita andalkan untuk mewujudkan good governance? (Wibawa, 2005). Dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada good governance maka pembangunan daerah dan strategi apapun Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah yang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab elite politik, elite birokrasi, dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri (Koirudin, 2005: 181). Manajemen Publik yang Bercirikan Good Governance Salah satu harapan terhadap reformasi adalah menuntun kembali fungsi pemerintah dan aparatnya untuk menjadi pelayan publik, dalam arti tugas pemerintah adalah melayani masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang melayani pemerintah. Birokrasi merupakan lembaga formal pemerintah dalam menjalankan proses pemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Pengembangan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi sebagai agen pelayanan publik tentu harus dilakukan (Dwiyanto, 2005). Dalam hal ini pemerintah memiliki kekuasaan, fungsi, kewenangan, serta tugas yang harus dijalankan dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan negara. Kekuasaan pemerintah ini dapat terbagi atas beberapa lembaga negara dan pemerintah. Lembaga negara dan pemerintah inilah yang selanjutnya dikatakan sebagai birokrasi. Birokrasi memiliki sistem tersendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sistem pertama yang diciptakan adalah bagaimana mengatur hubungan antarpemerintahan; kedua jika telah tercipta sistem tersebut maka pemerintah harus mengatur bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, katakanlah desentralisasi dan otonomi. Organisasi birokrasi merupakan salah satu konsep organisasi yang cukup tua. Konsep organisasi birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk, oleh karena itu organisasi birokrasi banyak dipakai oleh pemerintahan di seluruh dunia, dan selalu berkutat dengan berbagai peraturan. Dalam perjalanan waktu pelaksanaannya menimbulkan keruwetan dan perasaan enggan untuk berurusan dengan birokrasi yang tercermin dari istilah birokratis, yang identik dengan urusan berbelitbelit. Sebagai penguasa mereka sering kali justru membutuhkan pelayanan dari warga. Karena itu, upaya untuk mengembangkan orientasi dan tradisi pelayanan kepada warga dalam birokrasi pemerintah selalu mengalami kesulitan. Orientasi pelayanan hanya akan dapat dikembangkan apabila budaya kekuasaan yang selama ini berkembang di dalam birokrasi digusur dengan budaya pelayanan (Dwiyanto, 2005). Tidak dapat dipungkiri, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang, birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah, mulai dari peran mengatur kehidupan masyarakat (regulative), melindungi masyarakat (protective), mendistribusikan sumber daya yang terbatas dari kelompok yang mampu ke kelompok yang kurang mampu (redistributive), memberikan subsidi agar masyarakat mau melakukan yang diinginkan pemerintah (distributive), sampai pemberian pelayanan publik (public service). Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada pameo sebagaimana yang dikatakan oleh Stiglitz (1988) dalam Purwanto (2005): “from birth to death, our lives are affected in countless ways by the activities of government” yang artinya kurang lebih adalah sejak lahir sampai mati seorang warga negara tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan birokrasi pemerintah. Dari uraian sebelumnya jelas teridentifikasi betapa pentingnya good governance dalam penyelenggaraan negara. Berikut ini akan dikemukakan beberapa butir pendapat tentang bagaimana membangun manajemen publik yang bercirikan good governance, antara lain: 1. Organisasi sektor publik agar memperhatikan value for money dalam menjalankan aktivitasnya. Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Mardiasmo,2002: 4). Value for money dapat tercapai apabila organisasi telah menggunakan biaya input paling kecil untuk mencapai output yang optimum dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan good governance. Implementasi konsep value for money diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan kinerja sektor publik. Manfaat implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik antara lain: a) Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; b) Meningkatkan mutu pelayanan publik; c) Menurunkan biaya 3 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan terjadinya penghematan dalam penggunaan input; d) Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; e) Meningkatkan kesadaran akan uang publik (publik costs awareness) sebagai akar pelaksanaan akuntabilitas publik. 2. Mengadopsi pendekatan New Public Management (NPM) dan Reinventing Government (Osborne & Gaebler,1992). Di banyak negara terutama negara Anglo-Saxon berbagai perubahan dilakukan dengan mengadopsi pendekatan NPM dan reinventing government. NPM berakar dari teori manajemen yang pada dasarnya beranggapan bahwa praktik bisnis komersial dan manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik dan manajemen sektor publik. Untuk memperbaiki kinerja sektor publik, perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender (Compulsory Competitive Tendering-CCT), dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik. Keinginan untuk mewirausahakan pemerintah bukan berarti mempertentangkan antara administrasi publik dengan administrasi privat, tetapi mengusahakan agar segala sesuatu yang diwirausahakan tidak hanya dimonopoli oleh pihak pengusaha tertentu yang dekat dengan pemerintah, tetapi menumbuhkan persaingan yang sehat antarpengusaha yang berkualitas (Syafiie dkk., 1999: 117-118). 3. Enterprising the government; ketika kehidupan tentang demokrasi makin merasuk dalam kehidupan masyarakat, khalayak pun semakin kritis dan punya daya tawar menawar dengan birokrat. Di sinilah tuntutan terhadap layanan publik semakin kencang, dan salah satu pilihannya adalah swastanisasi lembaga-lembaga pemerintahan dalam artian peningkatan kualitas layanannya kepada publik sebagai konsumennya. Enterprising the government pada intinya adalah memompa efisiensi dan efektivitas organisasi bisnis ke organisasi pemerintahan. Walaupun terdapat beberapa perbedaan, tetapi layanan publik dapat meniru layanan konsumen dalam dunia bisnis. Tujuan akhir dari pegawai pemerintah adalah membuat pelanggan merasa puas, dengan memenuhi kebutuhan dan harapannya terhadap layanan publik. Salah satu 4 cara adalah menerapkan konsep customer’s oriented dalam masalah-masalah kepegawaian. Customer’s oriented pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat, (Utomo, 2003: 42). 4. Gray dalam tulisannya menyimpulkan bahwa institusi pasar adalah salah satu lembaga yang dalam praktiknya membolehkan adanya otonomi dan kebebasan individu. Salah satu klaim dari pendapatnya adalah agar pemerintah mengendalikan bahkan menghentikan kecenderungan sentralisasi dan mengembalikan kekuasaan serta inisiatif sosial-ekonomi kepada masyarakat. Meskipun pemerintah telah begitu besar beban kerja dan aktivitasnya, yang dibutuhkan bukanlah pemerintahan minimum, melainkan suatu kerangka yang terbatas dengan agenda tanggung jawab yang positif atau disebut dengan “a limited or framework of government with significant positive responsibilities” (Gray 1989) dalam Kristiadi (1998). Dari pendapat Gray tersebut, dapat diringkas beberapa peranan administrasi publik dalam masyarakat. Pertama, administrasi publik berperan menjamin pemerataan distribusi pendapatan nasional kepada kelompok masyarakat miskin secara berkeadilan. Kedua, administrasi publik berperan melindungi hak-hak pribadi masyarakat atas pemilikan kekayaan, serta menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan tanggung jawab atas diri mereka sendiri dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan bagi kelompok masyarakat lanjut usia. Ketiga, administrasi publik berperan melestarikan nilai-nilai tradisi masyarakat yang sangat bervariasi itu dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta memberikan jaminan dan dukungan sumber-sumber sehingga nilai-nilai tersebut mampu tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan perubahan zaman, serta dapat terus hidup secara damai, serasi dan selaras dengan budaya lain di lingkungannya. Pemikiran Gray ini tampaknya masih cukup relevan dengan kondisi perkembangan paradigma pembangunan di negara-negara dunia ketiga, tidak terkecuali Indonesia. 5. Kebutuhan untuk mengoptimalkan peranan mekanisme pasar dan peranan administrasi publik. Atau dengan kata lain bagaimana mewujudkan keseimbangan baru (newly and dynamic equilibrium) antara peranan pemerintah yang Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah tepat dengan peranan masyarakat yang partisipatif sekaligus mengindahkan kaidahkaidah internasional (Kristiadi, 1998). Meminjam istilah Oliver Wiliamson (1975, 1980, 1992) dan Barney and Oucky (1986): good governance dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksitransaksi dengan biaya paling rendah. Pilihan yang tepat transaksi baik melalui pasar, organisasi atau campuran (mixed mode) akan memungkinkan terwujudnya transaksi yang berbiaya rendah (economizing). Hal ini dilakukan agar: a. Dapat mengembangkan berbagai macam alternatif organisasi dan manajerial yang semakin banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat dan swasta untuk berperan dalam memproduksi dan distribusi barangbarang dan jasa-jasa. Kata kunci masalah ini adalah pengembangan public-private partnership. b. Dapat mengembangkan administrasi keuangan dan anggaran yang berorientasi pada visi dan misi organisasi dan dapat menjamin terlaksananya manajemen sumber daya anggaran yang efektif, efisien, dan akuntabel. Kata kunci masalah ini adalah budgeting reform. c. Dapat membangun organisasi dan sistem administrasi publik yang berorientasi pada permintaan kebutuhan dan kepuasan costumer, sekaligus dapat menjamin kompetisi antarindustri, antar-perusahaan, dan usahawan itu sendiri. d. Dapat mengembangkan daya saing nasional (national competitiveness) yang tangguh dalam menghadapi ekonomi global (global economy). Daya saing nasional (national competitiveness) adalah tingkat sampai sejauh mana suatu negara dapat memenuhi permintaan pasar internasional dalam memproduksi barang dan jasa, sementara itu juga mempertahankan atau meningkatkan pendapatan riil penduduknya (Hiit dkk,1999: 8). 6. Mempersiapkan unsur-unsur organisasi yang mendukung terwujudnya administrasi publik yang memenuhi kriteria good governance dan menjamin keseimbangan baru. Refleksi pemikiran McKinsey, unsur-unsur organisasi yang harus dibangun adalah system, strategy, structure, staff, skill, style, dan share value. Unsur-unsur yang berkaitan dengan soft structure, yakni staff, skill, style, dan share value (Hampden and Turner, 1994; Gibson, 1977). Untuk mewujudkan administrasi publik yang berciri modern dapat ditempuh melalui sistem pendidikan dan pelatihan pegawai negeri yang sistematis. 3. KESIMPULAN Untuk mewujudkan good governance dalam konteks otonomi daerah sekaligus bagaimana upaya sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan serta kesejahteraan masyarakat, diperlukan adanya reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik struktur maupun infrastrukturnya dan yang menyangkut reformasi manajemen publik, organisasi sektor publik perlu mengadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan sektor swasta. Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability) yang pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan pada masyarakat. 5 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus. 2005. Mengapa Pelayanan Publik? Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Gibson, Rowan et al. 1977. Rethinkng the Future. Niholas Brealey Publishing. Hampden, Charles and Turner. 1994. Corporate Culture. Judy Piatkus Publishers. Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. Hiit, Michael A, dkk. 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Koirudin. 2005. Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah. Malang: Averroes Press. Kristiadi, J.B. 1998. Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Abad XXI. Jakarta: Penebar Swadaya. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi. Osborne, David, and Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government (How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector). Addison-Wesley Publishing Company Inc. Purwanto, Erwan Agus. 2005. Pelayanan Publik Partisipatif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Syafiie, Inu Kencana dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik Anlisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibawa, Samodra. 2005. Good Governance Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. UNDANG-UNDANG Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 6 PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI Beti Nasution Abstract: There are three basic weakness on Indonesian labours, they are: lack of skill, narrow minded, and low ability in handling the working problems. Besides, nowadays the job market is faced the new trends which are caused by the advance of science and technology and globalization. The trends that can be written in the job market are the tend of service jobs and human capital based on knowledge. The problem and the trend of job market must be responsed well otherwise it will cause our labours become the decayed/coarsed labours meanwhile the strategic positions are held by the foreign countries’ labours, such as China, The Philipines, Kore, and Thailand. One of the steps in order to develop through establishing the human resources based on competency. The establishing efforts based on competency of a labour can be done by creating an integrated system between the individual needs (in organizational interests) and the training programme. This system is known as Competency-Based Training (CBT). CBT is an approach in training which is based on Behavior Learning Theory which is directed to knowledge skill and working ability improvement (SKA), flexibly, according to standard criteria creation and can be applied as soon as the training over. There are five steps which are necessary to be done to implement the CBT Program, they are: Organizational Scanning, Strategic Planning, and Competency Profiling, Competency Gap Analysis, and Competency Development. Keywords: human resources training, competency 1. PENDAHULUAN Ada tiga kelemahan mendasar yang melekat pada kemampuan pekerja Indonesia. Pertama adalah skill atau penguasaan keahlian spesifik sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Kedua, sempitnya pengetahuan dan wawasan yang membuat para pekerja kurang adaptif dengan perubahan di tempat kerja. Ketiga adalah lemahnya tingkat kemampuan (ability) dalam mengatasi masalah pekerjaan. Di samping masalah-masalah di atas, dunia kerja saat ini dihadapkan pada suatu trend baru yang disebabkan oleh adanya kemajuan iptek dan globalisasi. Trend yang paling bisa dicatat dalam dunia kerja adalah adanya kecenderungan terhadap pekerjaan jasa dan pekerjaan dengan tekanan pada modal manusia yang berbasis pengetahuan. Permasalahan serta trend dunia kerja itu harus segera disikapi dengan cara yang tepat, karena kalau tidak akan menyebabkan tenaga kerja kita hanya menjadi tenaga kasar sedangkan posisi-posisi strategis diduduki oleh pekerja dari negara lain, seperti Cina, Filipina, Korea, dan Thailand. Pekerjaan jasa dan proses kerja berbasis pengetahuan memerlukan pengelolaan yang berbasis pengetahuan pula. Organisasi tidak lagi semata-mata mengejar pencapaian produktivitas yang tinggi, tetapi lebih memperhatikan kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja bagi setiap kegiatan dan individu adalah kunci pencapaian produktivitas. Kinerja adalah suatu hasil, di mana organisasi dan pekerja secara bersamasama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perusahaan atau organisasi yang ingin tetap sukses dalam kompetisi globalisasi harus mampu mengintegrasikan kebutuhan perusahaan dengan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan SDM serta mengaitkan tujuan perusahaan dengan perencanaan bisnis dan pembinaan SDM-nya. 2. PENGERTIAN KOMPETENSI Menurut Boyatzis (1982) dalam Mitrani (1995) kompetensi atau kemampuan adalah sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil (an underlying characteristics of an individual wich is causally related to criterion referenced effective and or superior performance in a job or situation). Berdasarkan definisi tersebut underlying characteristic mengandung makna kompetensi yaitu bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas 7 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 pekerjaan. Sedangkan kata causally related berarti kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dan kata criterion-referenced mengandung makna kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya volume penjualan yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja. Menurut Covey, Roger, dan Rebeca Merrill (1994) dalam Kirana (1997), kompetensi mencakup: a. kompetensi teknis yakni pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil-hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru; b. Kompetensi konseptual yakni kemampuan untuk melihat gambar besar, untuk menguji berbagai pengandaian, dan mengubah perspektif; c. kompetensi untuk hidup dalam kesalingtergantungan yakni kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, menciptakan kesepakatan menang-menang, dan kemampuan untuk melihat dan beroperasi secara efektif dalam organisasi atau sistem yang utuh. Dengan demikian kompetensi merupakan faktor mendasar yang dimiliki seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya berbeda dengan orang lain yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa-biasa. Oleh sebab itu di sini kita tidak menggunakan istilah kecakapan tetapi kompetensi karena kecakapan sering kali dipahami sebatas keterampilan dan pengetahuan seseorang, sedang kompetensi memiliki cakupan yang lebih komprehensif, yang terdiri dari: 1. Motif; adalah kebutuhan atau pola pemikiran dasar seseorang yang mendorong, mengarahkan, dan menentukan perilaku seseorang, misalnya kebutuhan untuk berprestasi, kekuasaan, sosialisasi, dll. 2. Sifat-sifat dasar (trait) atau perangai yakni yang menentukan cara seseorang bertindak/ bertingkah laku misalnya dengan rasa percaya diri, pengendalian diri, daya tahan terhadap ketegangan atau kebandelan. 8 3. Citra pribadi (self – image) yakni pandangan seseorang terhadap identitas dan kepribadiannya sendiri atau inner-self misalnya sebagai guru, sebagai pebisnis, dan sebagainya. 4. Peran kemasyarakatan (sosial-role) yakni bagaimana seseorang melihat dirinya dalam interaksinya dengan orang lain atau outer-self misalnya bapak-anak, pimpinan-bawahan, dan lain-lain. 5. Pengetahuan (knowledge) yakni yang dapat dimanfaatkan dalam tugas/pekerjaan tertentu 6. Keterampilan (skill) yakni kemampuan teknis untuk melakukan sesuatu dengan baik. Kompetensi keterampilan (skill competencies) dan kompetensi pengetahuan (knowledge competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatif berada di permukaan sehingga kompetensi ini merupakan kompetensi yang paling mudah diubah dan dikembangkan melalui pelatihan. Sedangkan peran kemasyarakatan, citra pribadi sifat-sifat dasar atau perangai dan motif merupakan kompetensi yang lebih mendasar dan lebih sukar dikenali tetapi lebih berperan sebagai pengatur perilaku manusia. Kompetensi-kompetensi ini merupakan kompetensi yang sulit untuk diubah, memerlukan waktu yang lama, dan mungkin dengan biaya yang mahal pula. Oleh karena itu kriteria utama dalam proses rekruitmen –seleksi pekerja (baik untuk karyawan ataupun pejabat baru)– semestinya diarahkan pada motif dan sifat seseorang. 3. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dihubungkan dengan kinerja dalam sebuah model aliran sebab – akibat. Bahwa motif, perangai, konsep diri, dan kompetensi pengetahuan serta keterampilan yang dibangkitkan oleh suatu keadaan, dapat memperkirakan perilaku -perilaku yang cakap kemudian memperkirakan kinerja. Misalnya motivasi untuk berprestasi, keinginan kuat untuk berbuat lebih baik daripada ukuran baku yang berlaku, dan untuk mencapai hasil yang istimewa. Hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan perilaku kewiraswastaan; penentuan tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir, dan pengambilan risiko yang diperhitungkan. Dalam organisasi perilaku-perilaku pekerja yang menunjukkan adanya motivasi yang tinggi akan menyebabkan peningkatan mutu yang Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi sinambung, kinerja, penjualan, dan hasil-hasil ekonomi yang lain serta inovasi dalam pengembangan produk atau jasa. Model di atas dapat membantu manajer dalam memperkirakan orang yang cocok dipekerjakan untuk suatu pekerjaan. Bahaya mempekerjakan orang yang tidak memiliki motivasi untuk berprestasi ialah bahwa mereka kurang memperlihatkan peningkatan kinerja, kurang berjiwa wiraswasta, dan tidak banyak memberikan gagasan untuk produk atau jasa baru. Oleh karena itu ditinjau dari sudut efektivitas biaya sebaiknya dipilih orang yang mempunyai motivasi utama dan karakteristik perangai yang baik, baru kemudian meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Selama ini kebanyakan organisasi perusahaan bertindak sebaliknya, yakni mereka mengambil orang berdasarkan mutu pendidikan (lulusan sekolah dan universitas terkenal) dan menganggap bahwa para calon mempunyai atau dapat dijejali dengan motif dan perangai yang dikehendaki. Jadi agar efektif pilihlah orang yang mempunyai “kemampuan yang tepat” (kompetensi) dan kemudian melengkapi mereka dengan pemgetahuan dan keterampilan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dilakukan dengan cara pemberian pendidikan dan pelatihan. Secara kontemporer proses ini didesain agar pesertanya mampu meningkatkan skill dan perilaku yang dimilikinya agar sesuai dengan tuntutan tugas masingmasing. Moto; kita dapat mengajarkan kalkun untuk memanjat pohon, tetapi lebih mudah lagi menyuruh tupai memanjat (Mitrani 1995). 4. ALASAN MENGGUNAKAN MODEL KOMPETENSI Mengapa kita menggunakan model kompetensi dalam pembinaan sumber daya manusia atau para pekerja ? Dengan adanya perubahan atau trend baru dunia kerja saat ini tentunya akan membawa perubahan pada skill, knowledge, dan ability (SKA) yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam organisasi baik itu para pekerja maupun para manajer. Karena sifat pekerjaan saat ini mengalami perubahan. Sifat pekerjaan tradisional kurang membutuhkan penguasaan skill khusus dan umumnya semua proses pekerjaan dilakukan secara repetitif, tidak perlu adanya kerjasama, dan peran manajer sangat dominan sehingga melemahkan peran pekerja. Sedangkan sifat pekerjaan modern yang dipengaruhi oleh kemajuan iptek dan globalisasi menuntut syarat penguasaan pengetahuan karena kebanyakan proses kerja berbasis pengetahuan (knowledge – based work). Pekerja tidak dapat lagi mengandalkan rutinitas karena yang dituntut adalah imajinasi atas segala kemungkinan perubahan yang akan terjadi dari pekerjaan dan diperlukan kerja sama dalam kelompok atau team work. Di samping itu ada juga perspektif lain dalam pengembangan organisasi yakni pelayanan yang memuaskan bagi konsumen. Dengan adanya perubahan itu maka perlu dipahami bahwa arah perubahan pekerjaan dalam globalisasi adalah pekerja membutuhkan proses pembelajaran (learning process) dengan bentuk dan cara terbaru yakni pelatihan pekerja berbasis kompetensi. Selanjutnya dengan menggunakan model kompetensi kita mudah menyesuaikan orang dengan tuntutan atau persyaratan pekerjaan sehingga penempatan pekerja menjadi tepat atau sesuai dengan prinsip the right man on the right place. Di samping itu mudah mengembangkan jalur karir seorang pekerja. Contoh, peralihan dari wiraniaga menjadi seorang manajer pemasaran; apakah seorang wiraniaga langsung bisa dipromosikan menjadi manajer pemasaran? Belum tentu karena perilaku yang harus ditampilkan seorang wiraniaga sama sekali berbeda dengan perilaku yang harus ditampilkan oleh seorang manajer pemasaran. Seorang wiraniaga dapat sukses jika ia pandai meyakinkan konsumen akan mutu barang, untuk itu keterampilan yang dituntut darinya adalah komunikasi dan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Tetapi seorang manajer pemasaran harus punya konsep dalam strategi pemasaran yang unggul, harus mampu merencanakan dan mengorganisir, dan mempunyai pandangan bisnis yang luas. 5. MODEL COMPETENCY – BASED TRAINING Menurut Michel D. Tovey (1997) dalam Irianto (2001) upaya membina kompetensi seseorang dapat dilakukan melalui penciptaan sebuah sistem yang mengintegrasikan antara kebutuhan individu (dalam kerangka kepentingan organisasional) dengan program pelatihan. 9 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Sistem ini dikenal dengan Competency–Based Training (CBT). Menurut Tovey CBT is a system of training wich is greated towards spesific outcomes. Produk yang dihasilkan CBT diarahkan pada peningkatan skill dan kinerja sesuai dengan standar sistem yang telah ditetapkan. Menurut Tovey CBT hanya sebuah pendekatan dalam pelatihan namun mendasarkan dirinya pada teori pembelajaran perilaku yang menggunakan tujuan. Pelatihan itu sendiri sebagai acuan serta dapat diukur hasilnya pada saat pelatihan itu selesai. Dari pendapat Tovey tersebut di atas dapat dipahami bahwa program CBT adalah sebuah program yang memiliki karakteristik dan arah pokok yang tersendiri. Karakteristik CBT adalah memfokuskan diri pada skill yang dapat diaplikasikan, fleksibel, orientasi individual, merujuk pada pencapaian kriteria standar, dapat diaplikasikan ketika pelatihan selesai. Sedangkan arah pokoknya diarahkan pada persoalanpersoalan pokok yang selama ini menjadi perbincangan hangat dalam program pelatihan yakni mengintegrasikan skill, knowledge, dan ability (SKA) dengan kepentingan organisasi. Makna skill di sini tidak hanya dipandang sebagai sekadar keahlian kasat mata dan bersifat fisik atau tidak hanya berkaitan dengan keahlian seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bersifat tangibel. Selain physical makna skill pada program CBT juga mengacu pada persoalan mental, manual, persepsual, dan bahkan social abilities. Dengan demikian, skill harus dipahami secara komprehensif sebagai kombinasi dari beberapa kemampuan kerja fisik dan non-fisik dalam kaitannya dengan aplikasi perolehan pengetahuan baru. Di samping karakteristik dan arah pokok tersebut di atas, menurut Tovey konsep kompetensi meliputi tiga persoalan yaitu; 1. Sebuah kerangka acuan dasar di mana kompetensi dikonstruksikan dengan melibatkan pengukuran standar yang diakui oleh kalangan industri yang relevan. Hal ini mengindikasikan terjadinya kesepadanan antara kemampuan individu dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh kalangan industri sebagai user. 2. Sebuah kompetensi tidak hanya sekadar dapat ditunjukkan kepada pihak lainnya, namun lebih dari itu juga harus dapat dibuktikan 10 dalam menjalankan fungsi-fungsi kerja yang diberikan. Tidaklah cukup bagi pekerja untuk menguasai pengetahuan tertentu yang diperoleh lewat pelatihan tanpa dibuktikan secara aktif. Mereka harus menyadari bahwa pengetahuan tersebut adalah sebagai nilai tambah untuk memperkuat organisasi lewat peran-peran nyata dalam bekerja. 3. Kompetensi merupakan sebuah nilai yang merujuk pada satisfactory performance of individual. Dengan demikian, kompetensi bukanlah lembaga yang memberikan sertifikat sebagaimana suatu sekolah memberikan ijazah kepada lulusannya tanpa tahu kelanjutannya; apakah dapat digunakan atau tidak dalam menunjang pekerjaan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kompetensi memiliki kaitan erat dengan kemampuan melaksanakan tugas-tugas yang merefleksikan adanya persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan demikian kompetensi itu mempunyai satandar kinerja yang harus dicapai, dapat membantu mengembangkan keahlian pengetahuan dan kemampuan pekerja sehingga pekerja dapat meningkatkan kinerjanya setelah memperoleh pelatihan yang berbasis kompetensi. 6. MODEL STRATEGIS CBT Sebuah model strategis yang telah diciptakan untuk mengimplementasikan CBT bagi organisasi, Narkevis, Campton, Mc. Carthy (1993) dalam Irianto (2001) menawarkan sebuah model strategis yang dapat diadopsi organisasi dalam melaksanakan program CBT. Model strategis ini meliputi lima tahap yakni; 1. Organizational Scanning. Persoalan pokok yang harus dikaji sebelum program pelatihan disusun adalah bagaimana organisasi dapat mencapai arah masa depannya. Analisis strategis dapat menggunakan berbagai cara, misalnya analisis SWOT atau metode lainnya yang sesuai. Substansinya adalah situasi di mana organisasi mampu memahami secara sempurna tentang apa yang dapat dilakukan dan ke mana arah tindakan yang akan diambil. 2. Strategic planning. Masalah selanjutnya adalah upaya organisasi untuk mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana semua tujuan dapat dicapai dan strategi manajerial apa yang dapat diaplikasikan. Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi 3. Competency proviling. Setelah semua pertanyaan tersebut terjawab, kini saatnya organisasi menganalisis bagaimana sesungguhnya situasi kinerja internal human resources yang ada untuk dapat melaksanakan gagasan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Kompetensi apa yang sudah dipenuhi dan yang belum? Kebutuhan apa yang terasa mendesak bagi pekerja? Analisis ini akan menuntun organisasi pada persoalan inti yang dihadapi pekerja. 4. Competency gap analysis. Segera setelah melewati competency proviling, organisasi akan dapat memahami celah apa yang dapat dilihat antara kompetensi aktual (yang ada pada saat ini) dengan kompetensi ideal (yang diharapkan) untuk mencapai tujuan organisasional. 5. Competency development. Kini saatnya organisasi menutup setiap celah perbedaan kompetensi aktual dengan kompetensi ideal disertai upaya menjawab pertanyaan strategis, misalnya apakah perlu organisasi merekrut tenaga baru yang memiliki kompetensi ideal dengan segala konsekuensinya, ataukah menyusun program pelatihan bagi pekerja yang ada. Jawaban terakhir inilah yang memandu organisasi memasuki arena CBT. 8. KOMPETENSI-KOMPETENSI UNTUK MASA DEPAN Menurut Spenc dalam (Mitrani, 1995) kita dapat memperoleh pemahaman-pemahaman berikut mengenai ciri-ciri yang kita cari pada orang-orang yang bekerja dalam organisasiorganisasi baru sebagai berikut: Menurut Narkevis dan kawan-kawan, setiap tahapan strategis tersebut harus berkaitan dengan arah strategi organisasi secara keseluruhan. Konsekuensinya, manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen SDM diminta untuk menjustifikasi penyusunan setiap program pelatihan dalam kaitannya dengan kontribusi riil yang dapat diberikan kepada kepentingan organisasi. Para Eksekutif 1. Pemikiran strategis untuk memahami kecenderungan (trend) lingkungan yang cepat berubah, peluang pasar, ancaman persaingan, dan kekuatan serta kelemahan organisasi mereka sendiri, supaya dapat menemukan tanggapan strategis yang terbaik. 2. Kepemimpinan perubahan (change leadership) untuk mengkomunikasikan pandangan mengenai strategi perusahaan yang akan memaksa mengubah karyawan menjadi pemegang saham, membangkitkan motivasi dan komitmen mereka yang tulus, bertindak sebagai pendukung inovasi dan kewiraswastaan, serta memanfaatkan sumbersumber daya perusahaan sebaik-baiknya untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang sering terjadi. 3. Manajemen hubungan (relationship management) untuk membina hubungan dengan dan mempengaruhi jaringan–jaringan baik pihak lain yang rumit di berbagai negara yang kerja samanya diperlukan demi keberhasilan organisasi, namun terhadapnya kita tidak punya wewenang formal. Pihakpihak itu antara lain; pemilik produk unggul, pelanggan, pemegang saham, perwakilan karyawan, (lokal, wilayah, dan pusat), pembuat undang-undang serta kelompok kepentingan. 7. FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH Untuk mencapai hasil yang optimal pada program CBT perlu memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Faktorfaktor ini antara lain; keselarasan tujuan program dengan kebutuhan pekerja dan kebijakan organisasi, dukungan dan anggaran dari manajemen, kurikulum peserta didik, instruktur, metode dan teknik penyampaian, sarana dan prasarana, manajemen dan administrasi, litbang, dan evaluasi program. Para Manajer 1. Keluwesan untuk mengubah struktur dan proses-proses manajerial bila diperlukan, untuk melaksanakan strategi perubahan organisasi. 2. Pelaksanaan perubahan untuk mengkomunikasikan kebutuhan perubahan organisasi kepada sesama karyawan, dan keterampilanketerampilan manajemen perubahan seperti komunikasi, bantuan untuk pelatihan, dan proses kelompok, ynag diperlukan untuk 11 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 3. 4. 5. 6. melaksanakan perubahan di dalam kelompokkelompok kerjanya. Saling pengertian antarpribadi untuk memahami dan menghargai masukanmasukan dari orang-orang yang berlainan. Memberikan wewenang dengan saling berbagi informasi, minta pendapat dari sesama karyawan, mengupayakan pengembangan karyawan, mendelegasikan tanggung jawab yang berarti, memberikan umpan balik pelatihan, mengungkapkan harapan-harapan perbaikan dari bawahan (tanpa memandang perbedaan), dan memberi imbalan atas peningkatan kinerja. Semua hal ini akan membuat karyawan termotivasi untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Bantuan kelompok agar kelompok yang berlainan dapat bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan bersama, misalnya menjelaskan tujuan dan peran, memberi kesempatan kepada semua orang untuk berperan serta dalam menyelesaikan perselisihan. Portabilitas agar cepat menyesuaikan diri dan berfungsi secara efektif di lingkunganlingkungan asing -seorang manajer harus mudah dipindahkan ke kedudukan manapun dan di manapun di dunia. Para Karyawan 1. Keluwesan untuk memandang perubahan sebagai peluang yang menarik ketimbang suatu ancaman. Misalnya penerapan teknologi baru harus dilihat sebagai bermain dengan alat-alat baru, paling mutakhir, dan paling baik. 2. Selalu mencari informasi, motivasi, dan kemampuan belajar merupakan keinginan yang tulus terhadap peluang-peluang untuk mencari keterampilan-keterampilan teknis dan hubungan antarpribadi baru. Misalnya seorang sekretaris diminta untuk belajar menggunakan program komputer yang terbaru dan menangani akunting di suatu bagian, hendaknya menerima baik dan tidak menganggap hal baru tersebut sebagai beban tambahan. Hal ini merupakan pendorong untuk selalu menuntut ilmu dan mempelajari setiap pengetahuan dan keterampilan baru yang dituntut oleh persyaratan kerja yang berubah-ubah. 12 3. Motivasi untuk berprestasi merupakan pendorong bagi inovasi, yaitu peningkatan mutu dan produktivitas terus menerus yang membutuhkan untuk menghadapi (lebih baik, memimpin) persaingan yang terus meningkat. 4. Motivasi kerja di bawah tekanan waktu merupakan gabungan antara keluwesan, motivasi untuk berprestasi, daya tahan terhadap tekanan, dan komitmen terhadap organisasi yang memungkinkan seseorang bekerja di bawah tuntutan akan produk atau jasa-jasa (baru) dalam jangka waktu yang lebih singkat. 5. Kesediaan untuk bekerja sama (collaborativeness) dalam kelompokkelompok multidisipliner dengan rekan kerja yang berbeda-beda: pengharapan yang positif terhadap orang lain, saling pengertian antarpribadi, dan komitmen terhadap organisasi. 6. Orientasi pelayanan pelanggan (customer service orientation) merupakan keinginan yang tulus untuk membantu orang lain, saling pengertian antarpribadi yang memadai untuk mengetahui kebutuhan dan suasana emosional pelanggan, dan cukup inisiatif untuk mengatasi rintanganrintangan dalam organisasi sendiri guna memecahkan masalah-masalah pelanggan. 9. KESIMPULAN Dalam upaya meningkatkan keahlian, pengetahuan dan kemampuan pekerja, serta menghadapi trend baru dalam dunia kerja yang disebabkan oleh adanya pengaruh kemajuan iptek dan globalisasi perlu kiranya diadakan pengembangan bagi pekerja. Pengembangan yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar meningkatkan keahlian kasat mata atau sekadar memberi sertifikat pada para pekerja tapi lebih dari itu yakni pengembangan kompetensi bagi pekerja. Salah satu langkah yang diambil adalah pengembangan melalui pembinaan SDM berbasis kompetensi. Kompetensi adalah suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil sehingga membuat seorang pekerja mempunyai kemampuan yang berbeda Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi dengan pekerja yang mempunyai kemampuan rata-rata. Salah satu upaya pembinaan berbasis kompetensi seseorang dapat dilakukan dengan menciptakan sebuah sistem yang mengintegrasikan antara kebutuhan individu (dalam kerangka kepentingan organisasional) dengan program pelatihan. Sistem ini dikenal dengan Competency – Based Training (CBT). CBT adalah sebuah pendekatan dalam pelatihan yang mendasarkan dirinya pada teori pembelajaran perilaku yang diarahkan pada peningkatan skill pengetahuan dan kemampuan pekerja (SKA), bersifat fleksibel, merujuk pada penciptaan kriteria standar, dan dapat diaplikasikan segera setelah pelatihan selesai. Ada lima tahap yang perlu dilakukan untuk melaksanakan program CBT yakni; Organizational Scanning, Strategic Planning, Competency Proviling, Competency Gap Analysis, dan Competency Development. 13 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA Budi, W. Soetjipto dan kawan-kawan, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, editor: A. Usmara, Penerbit Amara Books, 2002. Baso, H.M.Moerad, Manajemen Usahawan Indonesia, 2003. Dessler, Gary, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 1, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1997. Irianto, Jusuf, Isu-Isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penerbit Insan Cendekia, 2001. Kirana, Andi, Etika Manajemen: Ancangan Bisnis Abad 21, Penerbit Andi Yogyakarta, 1997 Mitrani, Alain, et al., Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi, Percetakan PT. Intermasa, Jakarta, 1992 James, Stoner, AF, Manajemen, Jilid I, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1996. 14 SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC) DALAM PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR Dahlia Hafni Lubis Abstract: Export and import trade which involve either domestic side or foreign side is not as simple as local/domestic trading transaction because both sides do the transaction in which each side is in the different rules/law and area, and each of them is limited by legal rules of law of their own countries. In national development is needed the policies and steps which support the way of Indonesian export and import payment transaction by publishing letter of credit (LC). Letter of credit is the favorite way in Indonesian export and import payment transaction which is the standard contract and valid internationally. Letter of credit is implemented separately from purchasing contract. LC will be paid if the applied documents are appropriate with the LC requirement. Keywords: letter of credit (LC), bank, export and import trade 1. PENDAHULUAN Seperti kita ketahui, setiap transaksi, seperti juga halnya dengan jual beli atau perdagangan dalam negeri, akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yaitu pihak pembeli dan pihak penjual. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayarnya dengan harga yang telah diperjanjikan (R. Subekti, R. Tjitro Sudibyo, 1981). Bila peristiwa jual beli itu dalam wujud perdagangan dalam negeri, pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak tidaklah sesulit jual beli dengan pihak luar negeri (ekspor-impor), sebab dalam perdagangan dalam negeri kedua belah pihak yang mengadakan transaksi pada umumnya berada dalam satu tempat dan sistem hukum yang sama. Lain halnya dalam perdagangan dengan pihak luar negeri, yang di antara satu pihak dengan pihak lainnya dibatasi oleh ketentuan undang-undang yang berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat mengenai kedudukan bank dan hubungan tentang pembukaan letter of credit (LC). Dalam perdagangan ekspor impor dikenal suatu jenis transaksi letter of credit. Pembukaan letter of credit yaitu suatu perbuatan perjanjian pembayaran dalam perdagangan impor ekspor antara bank yang membuka letter of credit dengan nasabahnya. 2. PEMBAHASAN Tugas dan Fungsi Bank Menurut pendapat beberapa sarjana pengertian bank antara lain adalah: a. Bank adalah suatu perusahaan kredit (bank is a shop for the sale of credit [Mac leod]). b. Bankers are merely dealers in credit; (Hawtrey). c. Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan akan kredit, baik dengan alat pembayaran sendiri dan dengan uang yang diperoleh dari orang lain untuk maksud itu, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pertukaran baru uang giral (GM Verrijn). d. Undang-Undang No.14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dalam Pasal 1 sub a merumuskan “Bank adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (CST. Kansil, 1979). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah semua badan yang melalui kegiatannya di bidang keuangan, menarik uang dari, dan mengeluarkan ke dalam masyarakat Tugas Bank Tugas bank antara lain adalah: Memberi kredit (pinjaman) kepada orang atau badan usaha yang membutuhkan uang. 15 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Pemberian kredit ini ditujukan pada kegiatankegiatan produksi. Pemberian kredit (pinjaman) oleh bank dapat berbentuk: a. Kredit Jangka Pendek: kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 1 (satu) tahun. b. Kredit Jangka Menengah: Kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun. c. Kredit Jangka Panjang: kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 3 (tiga) tahun. Menarik uang dari masyarakat, maksudnya masyarakat dapat menyimpan uang yang tidak atau belum dipergunakan misalnya menabung: Tabanas, Taska, Deposito berjangka. Memberi jasa-jasa dalam bidang lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Kegiatan lain-lain misalnya memberikan pinjaman bank, menyewakan tempat untuk menyimpan barang-barang berharga. Fungsi Bank. Antara tugas dan fungsi pokok perbankan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu perbankan adalah suatu lembaga yang berfungsi vital dalam kehidupan negara dan bangsa (Achmad Anwari, 1980). Fungsi vital itu tidak hanya berperan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Perannya di dalam negeri adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dalam arti semua kegiatan yang dilakukan oleh bank itu menyangkut soal uang. Kegiatan-kegiatan itu meliputi administrasi keuangan, penggunaan uang, penampungan (penyedotan) uang, perdagangan dan penukaran, perkreditan, kiriman uang (transfer), dan pengawasannya. Peranannya di luar negeri adalah merupakan jembatan antara dunia international dalam lalu lintas devisa (uang), hubungan moneter dan perdagangan, hubungan antara bank-bank di dalam dan di luar negeri, memungkinkan berlangsungnya ekspor impor, kiriman uang, kepariwisataan, dll. 16 Kedudukan Bank dalam Pembukaan LC Dalam praktiknya sehari-hari bank dalam melakukan transaksi luar negeri yaitu hubungan jual beli antara eksportir dan importir harus ada suatu persetujuan bersama di antara mereka yang dituangkan dalam suatu kontrak jual beli (sale contract). Berdasarkan sale contract atau kontrak jual beli itu importir mengajukan permohonan permintaan pembukaan LC kepada bank dan bank tersebut menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat si importir untuk menaati semua ketentuan yang dituangkan dalam syarat - syarat umum pembukan LC. Bank dalam pembukaan letter of credit (LC) hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari importir sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah di bidang perdagangan. Di dalam praktiknya, pembukaan LC di bank-bank devisa, misalnya: Bank Dagang Negara, Bank Export Import, di samping ditentukan syarat-syarat umum pembukaan LC, juga ditentukan jangka waktu berlakunya. Jangka waktu berlakunya LC tergantung pada lamanya waktu yang diperlukan eksportir untuk menyiapkan pengiriman barang-barang dan penyelesaian shipping documents, serta waktu yang diperlukan menegotir (menguangkan) shipping documents (dokumen pengapalan) dengan negotiating bank (bank yang disepakati) ditambah dengan waktu yang diperlukan negotiating bank menyelesaikan administrasi internalnya. Importir perlu memperhatikan jangka waktu berlakunya LC sehingga cukup aman untuk menghindarkan kemungkinan perpanjangan berlakunya LC atau extension LC, di mana pengalaman menunjukan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya bahkan tidak jarang mengakibatkan tertundanya pengiriman barang karena sulitnya prosedur yang harus ditempuh untuk melakukan perpanjangan. Jangka waktu berlakunya LC untuk negara yang letaknya jauh dari negara kita misalnya: Amerika Serikat dan Jepang memakan waktu 3 (tiga) bulan dan untuk negara yang dekat misalnya Malaysia atau Singapura memakan waktu 70 (tujuh puluh) hari dalam pengiriman barang. Apabila terjadi satu dan lain hal, eksportir di luar negeri menemui halangan, misalnya: gudang barangnya terbakar, shipping document-nya Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan… belum selesai, kapal pembawa barang-barang yang dipesan tenggelam di laut, dll. yang mengakibatkan tertundanya pengiriman barang kepada importir sedangkan jangka waktu berlaku LC sudah hampir berakhir, maka dapat diadakan perpanjangan waktu yang dilakukan oleh bank pembuka LC dengan syarat importir harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada banknya. Ini dilakukan importir setelah ia mendapat kabar dari pihak eksportir, bahwa ia menemui halangan dalam pengiriman barangbarang yang dipesan si importir terikat, untuk perpanjangan waktu LC nya. Pembebasan Tanggung Jawab dalam LC Bank di dalam dunia perdagangan baik bank pemerintah maupun bank swasta, sebagaimana layaknya badan usaha lainnya, tetap mengejar keuntungan. Untuk itu bank selalu menghindar dari segala risiko yang tidak diinginkan yang dapat merugikannya dengan cara membuat klausul-klausul pembebasan tanggung jawab. Di dalam pembukaan LC pembebasan tanggung jawab ini disebut dengan “exemption clauses”. Seperti di dalam formulir permintaan pembukaan LC dan formulir syarat-syarat umum, pembukaan LC yang telah ditetapkan oleh bank mengandung pembebasan tanggung jawab dan hak-hak dari opening bank itu sendiri yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila memang dikehendaki oleh bank itu untuk menghindari kerugian yang tidak diinginkan terjadi. Di dalam pasal 3 dari syarat-syarat umum pembukaan LC dinyatakan bahwa bank tidak akan bertanggung jawab atas segala risiko kerugian dalam valuta asing. Misalnya devaluasi dan sebagainya, atau kelalaian barang-barang yang bersangkutan baik karena barang tersebut tidak sampai, barang cacat, barang rusak, ataupun karena sebab-sebab lain yang timbul karenanya. Jadi jelas bahwa dalam pasal tersebut mengandung exemption clauses atau pembebasan tanggung jawab dari bank. Kemudian dalam Pasal 2 jo Pasal 1 terdapat syarat-syarat umum pembukaan LC yang mengatur tentang dokumen-dokumen dan barang-barang yang bersangkutan menjadi jaminan bagi bank agar importir memenuhinya, maka sesuai dengan Pasal 1 jo Pasal 4, bank selaku pemegang kuasa dan menurut Pasal 6 syarat-syarat umum pembukaan LC dapat bertindak untuk dan atas nama importir untuk: a. Meminta dan menerima penyerahan barangbarang dalam LC dari maskapai pelayaran dan mengeluarkannya dari pelabuhan. b. Melakukan penyimpanan barang-barang sebelum barang tersebut terlaksana penjualannya. c. Melakukan penjualan barang-barang yang diimpor itu dengan cara yang ditentukan sendiri oleh bank. d. Melakukan penandatanganan KPP (Keterangan Pemasukan Pabean) untuk dan atas nama importir dan menghadap instansi yang dianggap perlu serta mengadakan perjanjian menurut hukum, menanda tangani dokumen dan surat surat lainnya, dan melakukan pembayaran atas barang-barang yang diimpor tersebut demi terselenggaranya dengan baik pelaksanaan kekuasaan tersebut. e. Membebankan segala perongkosan yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka pelaksanaan kekuasaan itu atas rekening si importir yang ada pada bank tersebut dan hasil penjualan barang-barang itu dipergunakan untuk pembayaran dari sisa pembukaan LC pada bank yang harus diselesaikan importir. Ketentuan kuasa itu diberikan sebagai sarana bagi bank agar dapat melaksanakan haknya atas barang yang dipergunakan sebagai jaminan utang yang pelaksanaanya tidak diwajibkan sama sekali. Jadi jelas di sini bank mempunyai hak fakultatif atau hak tidak mutlak. Selain formulir yang disebutkan di atas, masih ada formulir lain dalam pembukaan kredit per dokumen LC yaitu formulir pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan formulir ini mempunyai ruang yang selalu diisi oleh importir/konsinyalir, diisi oleh bank untuk pabean. Ketentuan pelaksanaan ekspor impor yang dikeluarkan oleh Direksi Bank Bumi Daya dalam surat edarannya No.006/82/Luar Negeri tanggal 15 Februari 1982 perihal Tata Cara Pelaksanaan ekspor Impor berdasarkan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1982 ditegaskan bahwa semua transaksi ekspor baik atas dasar LC maupun tanpa LC dimulai dengan mengajukan formulir pemberitahuan barang ekspor oleh importir kepada bank devisa. Keharusan ini berlaku pada tanggal 1 April 1982 (Alferd Hutauruk, 1983). Formulir PAB yang diisi oleh eksportir untuk diajukan kepada bank adalah sbb.: 17 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 APE (S) angka pengenal ekspor (sementara). Harga patokan barang (nilai FOB-nya) dalam barang yang bersangkutan dibuktikan dengan invoice penjualan. Besar persentase (%) pajak ekspor (PET/ PES). Pembatasan ekspor yang mengangkut barang ataupun negara tujuan. Cara pembayaran, apakah atas dasar LC atau tanpa LC. Pihak-pihak yang Terkait dalam Letter of Credit Dari tata cara pelaksanaan LC, maka pihakpihak yang bersangkutan dalam pembukaan LC itu adalah: − pihak importir (pembeli), − pihak ekportir (penjual), − pihak bank (dalam hal ini mungkin terlibat lebih dari satu bank. Ini merupakan kerja sama antarbank). Formulir PEB yang diisi oleh eksportir dalam rangkap 7 (tujuh) diteliti kebenarannya oleh bank dan setelah benar diteruskan kepada Kantor Bea Cukai untuk diperiksa kebenaran barang - barang tersebut dan dicocokkan dengan isi PEB yang diisi oleh eksportir dan 1 (satu) lembar PEB itu oleh Kantor Bea Cukai diserahkan kepada bank devisa (bank pembuka LC) dan formulir lainnya dibagikan kepada: − BPS (Biro Pusat Stastistik). − Bank Indonesia bagian pengolah data. − Kantor Wilayah Departeman Perdagangan. − Eksportis yang bersangkutan. − Arsip bank. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya pada waktu yang telah ditentukan seperti yang tertera dalam LC, maka pada waktu itulah pihak tersebut melakukan wanprestasi dan pihak lawan dalam perjanjian dapat melakukan penuntutan antara lain: − dipenuhinya perjanjian, − dibatalkannya ikatan yang bersangkutan dan apabila ada alasan yang sah dapat sekaligus dituntut ganti rugi, pembayaran biaya, dan bunga. − − − − − Oleh eksportir formulir PEB itu dipergunakan untuk melengkapi dokumen dalam menarik wesel-wesel atas LC sebagai pembayaran barang yang telah diekspor, sedangkan bank dalam melakukan pembayaran wesel yang ditarik atas LC importir hanya melihat keaslian dan kebenaran dari dokumendokumen dan tidak perlu mencocokkan dengan dokumen barang. Dapat dikatakan bahwa bank berdagang dengan dokumen sedangkan importir eksportir berdagang dengan barang. Untuk itu importir harus berhati-hati dalam menyelenggarakan ekspor dan harus pula mempunyai pengalaman yang luas guna menentukan setiap surat yang diberikan kepadanya, karena ketidakaslian dokumen dan ketidakbenaran dapat dijadikan alasan oleh bank untuk menolak mengakseptir wesel-wesel yang ditarik atas importir dan begitu pula importir harus mempunyai pengalaman seperti eksportir, sebab bank tidak dapat melindungi importir dari perbuatan eksportir yang tidak jujur. 18 Untuk menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab atas wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang mungkir janji tersebut dapat dilihat dari kepentingan hukum mana yang terganggu. Dari pihak-pihak yang berhubungan dalam persetujuan pembukaan LC, maka terciptalah hubungan hukum para pihak dalam pembukaan LC tersebut, sehingga tercapai perjanjian yang diinginkan. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Letter of Credit Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan undang–undang. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih. (R.Surbakti, R. Tjitro Sudibyo, 1979). Akibat dari suatu perikatan adalah salah satu pihak menuntut suatu hal dari pihak lainnya dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut suatu prestasi dari pihak lainnya dalam suatu persetujuan dinamakan “kreditor“ sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan “debitor” dan perikatan adalah merupakan akibat dari suatu perjanjian. Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan… Di dalam pembukaan LC telah terjalin suatu perjanjian antara bank pembuka LC dengan importir (si pemohon) sehingga di antara keduanya terdapat suatu hubungan hukum. Ini berarti hak importir sebagai debitor dijamin oleh hukum dan undang - undang. Dari pihak-pihak yang tersangkut dalam pembukaan LC, maka terdapat hubungan hukum yang mengikat yaitu: a. Hubungan hukum yang mengatur antara penjual dan pembeli yang ditentukan dalam Contract of Sale Contract of sale atau perjanjian jual beli adalah hasil persetujuan antara importir dengan eksportir yang isinya segala sesuatu mengenai keadaan barang yang dipesan untuk dikirim dan dibutuhkan oleh importir. Umpamanya mengenai penentuan harga satuan, jumlah barang, waktu pengiriman, merek, cap, pengepakan, quality, dan sebagainya. Pokoknya memuat segala isi kontrak, sehingga pada kontrak tersebut dapat ditentukan apakah barang yang dikirim sesuai dengan yang disepakati oleh importir dan eksportir. Pada kontrak itu juga dapat dilihat apakah masingmasing pihak telah melaksanakan prestasi seperti apa yang dibebankan oleh hukum jual beli kepadanya dan apabila salah satu pihak tidak berbuat seperti yang telah diwajibkan oleh hukum jual beli sedangkan hal itu mengakibatkan kerugian pada pihak lawannya, maka pihak yang melakukan harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut dan pihak bank bukan merupakan pihak dalam persetujuan. Hubungan hukum antara bank pembuka LC dengan importir Bank yang membuka LC adalah bank devisa di mana importir mengajukan permohonan pembukaan LC. Bank pembuka LC haruslah terpandang sebagai bank bonafide (bank yang mempunyai nama baik) di kalangan pedagang internasional dan bank itu dapat dipercaya dengan disetujuinya permohonan/permintaan pembukaan LC yang diajukan importir kepada bank. Dengan demikian terbentuklah hubungan hukum antara mereka yang terikat dengan suatu persetujuan yang diberikan hak dan kewajiban secara timbal balik dan apabila importir lalai untuk memenuhi segala kewajibannya yang tercantum dalam perjanjian LC, maka bank berhak memberitahu kepada importir tentang kelalaiannya untuk memenuhi segala perjanjian yang telah dituangkan dalam LC tersebut. Sebagai pengusaha yang bonafide (terpercaya) dan diakui biasanya importir berusaha agar kredibilitasnya tetap diakui baik oleh bank. Karena itu importir berusaha untuk memenuhi segala kewajibannya dengan baik dan menutup kontrak valuta pada waktunya. Penutupan kontrak valuta ini pada dasarnya sama dengan membayar kembali kepada bank atas wesel yang ditarik oleh eksportir ditambah dengan kewajiban yang timbul karenanya. Bank pembayar adalah bank atas siapa wesel ditarik. Bank pembayar ini adalah bank pembuka LC itu sendiri dan biasanya dapat juga bank lain yang ditunjuk oleh bank pembuka LC di kota mana si eksportir berdomisili. Apabila bank koresponden ditunjuk sebagai bank pembayar, maka bank itu membayar kepada eksportir dan segera mendebit rekening atas bank yang dibuka LC-nya dan jika bank yang dibuka LC-nya tidak mempunyai rekening atas bank yang dibayar, maka apa yang telah dibayar kepada eksportir itu pada waktunya akan diganti oleh bank pembuka LC. Hal ini merupakan bagian administrasi antara bank yaitu bank yang dibuka LC-nya dengan bank korespondennya. b. Hubungan antara bank di luar negeri dengan importir Hal ini ditentukan dalam LC itu sendiri yang merupakan sumber hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam LC dapat ditentukan bahwa yang merupakan hak eksportir adalah mendapatkan pembayaran atas wesel yang ditarik atas bank yang ditunjuk dan merupakan tugas terakhir dari eksportir itu adalah: a. Menguangkan shipping document/dokumen pengapalan kepada negotiating bank. b. Memberitahukan importir dengan kawat atau telepon bahwa barang telah dikirim dan mengirimkan shipping document (dokumen pengapalan) sebagai yang diisyaratkan dalam pesanan (order) yang bersangkutan. Menguangkan dokumen pengapalan berarti eksportir menarik wesel atas bank yang ditunjuk dalam LC atau bank koresponden. Bank pembayar sebelum menghonorir berhak memeriksa dan meneliti apakah dokumendokuman yang diajukan kepadanya sesuai dan memenuhi syarat - syarat yang ditentukan dalam 19 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 LC dan bank tersebut berhak menolak pembayaran jika shipping document (dokumen pengapalan) yang diajukan kepadanya ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, jika syarat-syarat yang tercantum dalam LC dapat dipenuhi oleh eksportir sudah tentu bank tersebut wajib membayar wesel yang ditarik oleh eksportir. Bank yang tersangkut dalam pembukuan LC mungkin lebih dari satu bank, antara lain: 1. Bank yang membuka LC (opening bank) Bank ini adalah bank devisa yang terpandang di kalangan pedagang internasional, karena tidak ada eksportir (supplier/penjual) di luar negeri yang bersedia menjual barangbarangnya dengan pembayaran atas dasar LC kalau tidak dibuka terlebih dahulu melalui bank seperti yang tersebut di atas. Sebab pembayaran dengan cara pembukaan LC pada suatu bank yang kuat akan terjamin kepastian pembayaran atas transaksi yang terjadi. 2. Bank yang membeli (men-discount) wesel Dengan membeli wesel-wesel yang ditarik oleh eksportir atau beneficiair atas Bank yang membuka LC, maka pembeli tersebut menjadi “endorser” dan “bonafide holder” (pemegang yang dipercaya) dari wesel tersebut dan oleh karena itu dilindungi oleh ketentuanketentuan yang tercantum dalam LC. Ia juga dilindungi oleh tanda tangan yang menarik wesel (the drawer). Karena menurut hukum tanggung jawab penarik wesel baru berakhir pada saat wesel itu dibayar oleh tertarik (the draawee), dalam hal ini bank yang membuka LC. Hak regres yang dimiliki oleh setiap pemegang wesel yang sah. 3. Bank pembayar (the paying bank) Bank pembayar adalah bank atas siapa wesel ditarik. Bank ini biasanya bank pembuka LC atau bank cabang ataupun bank koresponden di kota eksportir. Bank ini akan segera mendebit rekening bank yang membuka LC dengan jumlah seperti terarah dalam LC. Hal ini merupakan perintah atau instruksi kepada bank di luar negeri atau negotiating bank. Sehubungan masalah negoisasi ini, LC mengandung 3 (tiga) macam instruksi kepada negotiating bank : 20 a. Perintah untuk membayar (authorise to pay): bila negotiating bank diberi kuasa untuk membayar pada saat pengambilalihan dokumen ekspor. b. Perintah untuk negosiasi (authorise to negotiate): bila negotiating bank hanya dikuasakan untuk negotiate atau mengambil alih dokumen ekspor saja tanpa melaksanakan pembayaran. Pembayaran baru bisa dilaksanakan setelah diterimanya credit advance sebagai bukti bahwa dokumen yang dikirim telah dibayar oleh bank yang membuka LC atau opening bank. c. Perintah untuk mengaksep (authorise to accept): bila negotiating bank dikuasakan untuk mengaksep wesel berjangka yang ditarik dan mengirimkanya kepada opening bank. Dengan demikian jika negotiating bank hanya melaksanakan negosiasi, maka pada saat negosiasi itulah bank mengambil alih dokumen ekspor dan mengirimkannya kepada opening bank, dan selanjutnya menunggu credit advance dari koresponden sebagai dasar untuk melakukan pembayaran kepada ekspotir. Perintah seperti ini merupakan suatu kewajiban atas bank yang ditunjuk. Jika bank itu tidak melaksanakan perintah membayar tersebut, maka bank yang ditunjuk sebagai tertarik dapat diminta pertanggungjawabannya atau dapat digugat untuk membayar ganti kerugian ditambah dengan bunga, sesuai dengan bunyi Pasal 127 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang yang berbunyi: Barang siapa telah memegang dan secukupnya, khusus diperuntukkan guna membayar suatu surat wesel yang telah ditarik atasnya, iapun atas ancaman hukuman akan ganti biaya rugi dan bunga terhadap si penarik wajib melaksanakan akseptasinya (R.Subekti, R.Tjitro Sudibyo, 1983). Letter of credit (LC) merupakan primadona dalam pembayaran transaksi ekspor impor Indonesia. Pada hakikatnya letter of credit (LC) adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan hak dan kewajiban para pihak harus dipertimbangkan secara hakiki. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan LC merupakan suatu keharusan karena inti dari LC adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang (Ramlan Ginting, 2000). Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan… KESIMPULAN 1. Pembukaan letter of credit (LC) oleh importir hanya dapat dilakukan pada bank devisa. 2. Untuk menghindari segala risiko yang dapat merugikan bank, biasanya bank menetapkan klausul-klausul pembebasan tanggung jawab pembukaan letter of credit. 3. Bank menetapkan persyaratan yang mengikat para pihak dengan mengacu kepada peraturan pemerintah di bidang perdagangan. 4. Pembukaan letter of credit menciptakan hubungan hukum para pihak dan bila terjadi wanprestasi, maka untuk menentukan pihak mana yang bertanggung jawab ditinjau dari kepentingan hukum mana yang terganggu. 21 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA Achmad, Anwari, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Balai Aksara Bara, 1980. Alfred, Hutahuruk, Sistem dan Pelaksanaan Eskpor, Impor & Lalulintas Devisa di Indonesia, Erlangga, 1983. CST, Kansil, Pokok - Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Bara, 1983. R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Kitab Undang - Undang Hukum Dagang & Kepailitan, Pradnya Paramita, 1989. R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Perjanjian, PT Intermasa, 1979. Ramlan, Ginting, Letter of credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2000. 22 Jurnal Analisis Administrasi jakan, Volume 1, Nomor 1, Januari 2006 PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Erika Revida Abstract: Violence has been a symptom in social life especially in local autonomy era. When the people haven’t got the justice, when their rights are annoyed, spontaneously they can do the violence, physically and psychologically. The people can’t manage themselves to be able to receive the different argument/opinion. On the other side, the local government as if could not handle the violence. It is caused by the local government has lack of strong commitment in giving the good quality and humanity public service. To prevent the violence, the local government should apply the conflict management, either in general way and participative and also apply the win-win solutions in order to avoid the parties that felt they have lost or won so that it will grow the solidarity and social peace among the society. The Curative way which is necessary to be done by the government is by applying the strict “law enforcement” for the violence especially the physical violence. Besides, the improvement of education in the family, either religious education or moral need to be more intensive, in order to form the public attitude that want and can receive the different argument/opinion, and also has the solidarity and social peace among the society. Keywords: violence, conflict management, law enforcement 1. PENDAHULUAN Salah satu persoalan pembangunan yang mengemuka saat ini terutama sejak otonomi daerah digulirkan adalah menguatnya gejala konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik yang muncul mengakibatkan kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Banyak penyalahgunaan peralatan, sarana dan prasarana, bahkan senjata yang mengakibatkan cedera bahkan kehilangan nyawa di kalangan masyarakat. Ada banyak caci maki serta hujatan yang mewarnai kegiatan-kegiatan demonstrasi yang dilakukan masyarakat, sehingga mengarah pada tindakan kekerasan/kerusuhan. Kekerasan-kekerasan dan kerusuhan terjadi bak gelombang hampir tanpa jeda sepanjang tahun (Fatah, 1998). Salusu (2000) menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini paling tidak menikmati perdamaian. Selain itu Kleden (dalam CSIS No.2, 2002) menyatakan keadaan sosial politik di Indonesia semenjak reformasi ditandai oleh dua gejala yang sangat mencolok dalam tingkah laku politik yaitu kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak lainnya. Kekerasan itu memperlihatkan diri dalam berbagai ekspresi yang berbeda-beda, tapi pada dasarnya menyembunyikan suatu struktur yang kurang lebih sama. Kekerasan yang terjadi sejak kerusuhan Mei 1998 terkait dengan berbagai konteks politik yang gagal dikomunikasikan kepada masyarakat. Kekerasan dan kerusuhan telah merebak menjadi sebuah fenomena yang terjadi di mana-mana. Menurut catatan Litbang Republika sekurangkurangnya telah terjadi 64 kasus kekerasan dalam masyarakat. Di antaranya, yaitu 49 kasus (76%), terjadi di tengah suasana politik dan kampanye pemilu 1997, sisanya 14 kasus (21%) terjadi di luar prosesi pemilu. Apapun bentuknya, kekerasan adalah ”realitas multidemensi” yang tidak dapat dipisahkan antara kekerasan yang satu dengan kekerasan lainnya (Camara, 2000). Mengapa perilaku kekerasan semakin marak terjadi dalam masyarakat ketika pembangunan daerah semakin gencar dilakukan? Apakah kekerasan sudah membudaya di negara kita ini? 2. PEMBAHASAN Dampak Kekerasan Terhadap Pembangunan Kekerasan (violence) adalah salah satu bentuk perilaku agresif. Kekerasan merupakan tindakan, meskipun seringkali orang mengidentikkan kekerasan dengan kemarahan yang memuncak, sehingga frustrasi identik dengan agresi. Meskipun sebenarnya kemarahan tidak selalu diekspresikan dengan tindakan agresi. 23 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, ada beberapa teori yang mendasari pemikiran agresi, antara lain teori ”instinct”, teori ”survival”, dan teori ”learning”. Teori ”instinct” mengasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan instinct yang melekat dalam diri individu. Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct yang melekat dalam diri manusia. Untuk mempertahankan dirinya manusia secara instinct dapat bersifat agresif. Teori survival menyatakan untuk dapat mempertahankan hidupnya manusia berusaha agresif agar dapat menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya. Tanpa agresif kita akan punah atau dipunahkan orang lain. Sedangkan teori learning menyatakan bahwa agresi merupakan hasil perolehan belajar, agresi dipelajari sejak kecil, dan dijadikan sebagai pola respons. Dalam perkembangannya kemudian, teori learning ini mendapat tambahan bahwa kebiasaan atau pola respons agresi yang dimiliki seseorang apabila mendapat simultan barulah menjadi tindakan agresif. Dengan perkataan lain stimulus yang sama tidak selalu menimbulkan tindakan agresi yang sama pada setiap orang. Munculnya tindakan agresif tergantung dari potensial habitat agresif yang sudah ada lebih dulu dan telah tertanam sejak lama dalam diri individu tersebut. Jika seorang anak sejak kecil mendapatkan kekerasan dalam keluarga, maka akan terbentuk habitat kekerasan. Sebaliknya jika dalam keluarga ditumbuhkan iklim kemerdekaan, keterbukaan, keutuhan, serta mau menerima perbedaan maka akan terbentuk habitat yang demokratis dan terbuka. Hal ini dapat dipahami sesuai dengan pendapat bangsa Inggris yang menyatakan bahwa ”good manners begin at home”. Dengan demikian, secara holistik dapat dikatakan bahwa tingkah laku agresif didorong oleh sesuatu dari dalam individu dan dipicu oleh sesuatu yang berasal dari luar individu dalam konteks tertentu. Agresif dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu hostile aggression, instrumental aggression, dan mass aggression (Suryabrata, 1983). Agresi hostile merupakan tindakan tak terkendali akibat perasaan marah yang membludak keluar sebagai pengumbaran emosi. Instrumental aggression adalah tindakan agresif yang dipakai secara sengaja sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan yang bisa saja bukan merupakan suatu agresi (misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu). Sedangkan 24 mass aggression adalah tindakan agresif yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas dari orang-orang yang membentuk massa tersebut. Ketika massa telah solid, maka bila ada seseorang membawa kekerasan dan mulai melakukan kekerasan yang semakin meninggi dan saling membangkitkan, akan mengakibatkan tindakan kekerasan massa. Oleh karena itu, jika kita berbicara kekerasan, maka seyogyanya kita mencermati ketiga kategori kekerasan di atas. Hal ini penting untuk tindakan preventif. Tindakan kekerasan muncul diakibatkan konflik yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Konflik adalah suatu keadaan di mana terjadi ketidakharmonisan hubungan antara beberapa orang dalam suatu organisasi atau kehidupan masyarakat. Selain itu konflik juga dapat didefinisikan dengan adanya pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain: (1) terdapat perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih, (2) mempertahankan egonya masing-masing sehingga tidak terdapat kata sepakat, (3) ketidakpercayaan masingmasing pihak terhadap pihak lain, (4) terjadi kesalahpahaman antara kedua pihak, (5) penyelesaian masalah dilakukan secara sepihak tidak berdasarkan musyawarah mufakat. Kekerasan muncul diakibatkan ketidakmampuan melihat sisi yang lain dari masyarakat. Setiap masyarakat/kelompok harus menyadari bahwa perbedaan pendapat atau pandangan dengan masyarakat/kelompok lain adalah soal biasa, karena tidak ada seorang manusia/kelompok pun yang memiliki pendapat yang persis sama dengan orang/kelompok lain. Perbedaan pandangan/pendapat tidak perlu diakhiri dengan tindakan kekerasan. Setiap kelompok/masyarakat perlu menggeser sudut pandang, sehingga dapat saling diperkaya sebelum mengambil suatu keputusan/sikap tertentu. Kekerasan yang kita lihat akhir-akhir ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap pembangunan, baik dampak sosial budaya, psikologis, ekonomi, maupun bidang lainnya. Selain mengakibatkan kerugian di berbagai bidang pembangunan, juga merusak sarana dan prasarana fisik yang ada dan telah tertata dengan baik. Dampak psikologis dalam Erika Revida, Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah masyarakat akan mengakibatkan trauma yang berkepanjangan, ketakutan, dan sebagainya. Dampak di bidang ekonomi antara lain lumpuhnya untuk sementara waktu kegiatan ekonomi akibat ketakutan akan muncul kekerasan secara berulang. Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah Otonomi daerah yang diberikan kepada kabupaten/kota pada dasarnya adalah untuk lebih memberdayakan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, dan peningkatan peran serta masyarakat. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi daerah tidak serta merta diikuti peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, malah yang tampak di permukaan semakin banyaknya konflik yang muncul di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang tampak sebagai akibat konflik adalah perilaku kekerasan di dalam masyarakat baik itu kekerasan di dalam penyampaian pesan-pesan maupun kekerasan psikologis sampai pada kekerasan. Kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi jika setiap kelompok masyarakat dapat mengendalikan diri dan menyadari bahwa selalu saja ada perbedaan pendapat dan pandangan di dalam kelompok masyarakat yang dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat dan dengan ”kepala dingin”. Kekerasan muncul disebabkan pandangan bahwa dirinya dan pendapat/pandangannyalah yang paling benar sedangkan yang lain tidak benar. Kekerasan diawali dari adanya konflik dalam masyarakat. Konflik adalah adanya pertentangan pendapat/ pandangan dari satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lainnya. Sumber utama konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Perilaku kekerasan dalam masyarakat terjadi sebenarnya diakibatkan oleh tidak adanya keadilan dalam masyarakat. Camara (2000) menyatakan: Kasus-kasus ketidakadilan itu adalah sebentuk kekerasan. Dapat dan harus dikatakan bahwa, ketidakadilan adalah sebuah kekerasan mendasar yang merupakan kekerasan nomor satu: kekerasan memancing kekerasan, tanpa rasa takut dan tanpa henti-hentinya. Ketidakadilan menimbulkan pemberontakan, baik dari kaum tertindas maupun dari kaum muda yang bertekad untuk memenangkan dunia yang lebih adil dan lebih manusiawi...ketika konflik sampai ke jalan-jalan, ketika kekerasan mencoba melawan kekerasan para penguasa memandang mereka wajib menjaga ketertiban umum sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan. Ini berarti kekuatan lagi...kemudian penguasa bertindak lebih jauh lagi, menjadi semakin umum seolah untuk memperoleh informasi, menjaga keamanan publik. Logika kekerasan menyebabkan mereka memakai penyiksaan moral dan fisik dan ini kekerasan lagi. Kekerasan sesungguhnya merupakan ”any avoidable impediment to self realization” (Galtung, 1980). Perilaku kekerasan merupakan penghalang bagi orang/masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya terutama di era otonomi daerah yang seharusnya lebih memberdayakan masyarakat, meningkatkan potensi dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kehidupan. Oleh karena itu, mencermati maraknya perilaku kekerasan dalam masyarakat pemerintah daerah harus lebih cerdas dan intensif menanggapinya, karena masyarakat sudah tidak sabar menunggu keputusan atas ketidakadilan yang berlama-lama. Perilaku kekerasan tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam, politisi sekalipun melakukan kekerasan baik kekerasan psikologis maupun fisik. Jika dibandingkan dengan masa orde baru, maka sejak otonomi daerah digulirkan peran legislatif berubah dan memiliki kekuasaan yang lebih dari eksekutif. Kepala daerah dengan mudah dapat diberhentikan oleh legislatif. Bahkan pemberhentian Abdurrahman Wahid adalah sebuah contoh besarnya kekuasaan legislatif. Akibatnya, masyarakat pendukung Abdurrahman Wahid pun melakukan demo yang mengarah ke perilaku kekerasan. Dengan demikian terjadi konflik dalam masyarakat. Pada hakikatnya, konflik tidak dapat dihindari dan tidak perlu dihindari. Konflik adalah hal yang wajar dilakukan. Konflik dapat bersifat positif hasilnya jika dihadapi dengan pikiran yang jernih dan membangun kerja sama, saling pengertian, dan sebagainya. Konflik dapat meningkatkan kohesivitas kelompok, memunculkan 25 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam, mempertegas tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, konflik dapat bersifat negatif dan destruktif dan jika tidak ditangani dengan segera dan intensif akan menjurus pada perilaku kekekerasan. Perilaku kekerasan dalam masyarakat dapat ditanggulangi dengan melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah tata kelola konflik sedemikian rupa sehingga tercapai keharmonisan hubungan antara satu orang atau kelompok/masyarakat dengan orang atau kelompok/masyarakat lainnya. Solusi yang ideal dalam manajemen konflik adalah dengan mengedepankan keuntungan bersama (win-win solution). Artinya konflik dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat, duduk bersama di antara berbagai pihak sehingga tidak ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Hal ini dapat terlaksana jika kedua belah pihak yang berkonflik memiliki komitmen bersama, tujuan bersama, dan visi misi bersama sehingga hasilnya adalah keputusan bersama yang akan dilaksanakan secara bersama-sama. Selain perlunya win-win solution, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan yang anarkis dan menimbulkan korban perlu dilakukan. Setiap orang, kelompok masyarakat harus dapat mengembangkan keterampilan untuk menggeser paradigma/sudut pandang tentang orang lain, kelompok lain, sehingga dapat memperkaya sikap maupun tindakan yang akan dilakukannya. Sebagai makhluk sosial, setiap orang, kelompok masyarakat harus bersifat terbuka dan mau mendengar informasi, pendapat/pandangan orang lain sehingga dapat memutuskan pilihan mana yang terbaik dilakukan. Agar konflik tidak mengarah pada kekerasan, maka upaya pencegahan perlu dilakukan karena ”prevent rather than cure”. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya konflik yang negatif, yaitu dilakukan dengan cara (1) umum, (2) pasif, maupun (3) partisipasi. Cara umum dilakukan dengan cara mengkaji sumber konflik, diskusi, dan melakukan koordinasi dengan elemen terkait. Sedangkan cara pasif dilakukan dengan menghindari konflik, menerima konflik dengan acuh tak acuh, bersikap masa bodoh atau mengabaikan adanya konflik, dan melakukan penyelesaian secara individual. Cara partisipatif dilakukan dengan merencanakan program dan 26 kegiatan yang partisipatif, menyelesaikan masalah secara partisipatif, dan melakukan diskusi kelompok secara intensif dengan masyarakat. Jika kita perhatikan dengan seksama, bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik, merupakan kumpulan dari berbagai macam suku dan pemeluk agama yang berlainan satu dengan lainnya. Untuk itu, keanekaragaman (pluralitas) kultural dan religius ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna saling membantu, berlomba berbuat kebajikan, dan menciptakan kebaikan serta harmoni kehidupan. Oleh karenanya, model pendidikan agama di Indonesia yang perlu dikembangkan ke depan adalah model pluralis-multikultur. Pendidikan agama pluralis-multikultur adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta sesama, tolong menolong, toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat, dan sikap-sikap lain yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sikap empati perlu ditingkatkan. Weber (dalam Paul, 1986) menyatakan masyarakat perlu memiliki sikap empati -kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Konsep ini menunjuk pada konsep mengambil peran yang terdapat dalam interaksi simbolik. Jika upaya pencegahan terhadap perilaku kekerasan tidak dapat dilakukan, maka mau tidak mau pemerintah daerah harus melakukan tindakan represif yaitu dengan menerapkan ”law enforcement” yang tegas. Individu/masyarakat yang telah melakukan kekerasan diberi hukuman yang setimpal tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Dengan penerapan law enforcement ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan akan berpikir dengan cerdas dan pikiran jernih jika ingin melakukan ataupun terlibat dengan tindakan kekerasan. 3. KESIMPULAN Kekerasan sebagai tindak lanjut konflik seharusnya tidak perlu terjadi jika kita menyadari adanya perbedaan-perbedaan pendapat/ pandangan yang dimiliki setiap orang/kelompok masyarakat. Pencegahan konflik yang mengakibatkan kekerasan adalah lebih baik daripada mengobati (prevent rather than cure). Pencegahan dapat dilakukan dengan manajemen konflik yaitu dengan cara umum dan partisipasi. Selain itu, Erika Revida, Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah pencegahan perilaku kekerasan dimulai dari peranan keluarga. Keluarga sangat menentukan intensitas perilaku kekerasan dalam masyarakat. Bangsa Inggris menyatakan ”good manners begin at home”. Oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga baik pendidikan agama, moral, dan menanamkan nilai-nilai bahwa setiap orang memiliki perbedaan yang tidak harus dijadikan sumber konflik dalam masyarakat yang mengarah pada perilaku kekerasan sangat penting dilakukan. Selain itu, perilaku kekerasan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat, duduk bersama, dan win-win solution sehingga tidak ada pihak yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Hal ini dapat terlaksana jika kedua belah pihak yang berkonflik memiliki komitmen bersama, tujuan bersama, dan visi misi bersama terhadap daerahnya sehingga hasilnya adalah keputusan bersama yang akan dilaksanakan secara bersama-sama. Di samping win-win solution, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengarah pada tindakan anarkis perlu dilakukan. Jika upaya pencegahan terhadap perilaku kekerasan tidak dapat dilakukan, maka mau tidak mau pemerintah daerah harus melakukan tindakan represif yaitu dengan menerapkan ”law enforcement” yang tegas tanpa pandang bulu atau tebang pilih terhadap orang/masyarakat yang melanggar hukum. 27 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan Cendekia. Camara, Dom Hekder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. INSIS Press. CSIS No.2, Tahun 2002. Fatah, Saefuloh. 1998. Bangsa Saya Yang Menyebalkan. Bandung: Penerbit Rosdakarya. Paul, Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Alih Bahasa Robert Lawang. Jakarta: PT Gramedia. Salusu, Jonathan.2000. Stabilitas Nasional, Perdamaian dan Komunikasi Politik. Jakarta: The Go-East Institute. Suryabrata, Sumadi. 1983. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Penerbit CV Rajawali Press. 28 M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan … KONSEP PEMBERDAYAAN KELURAHAN DI KOTA MEDAN (Studi tentang Implementasi Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan) M. Arifin Nasution Abstract: The local autonomy implementation has changed the local development, among them are the change of centralization system into decentralization system. The local autonomy has given the authority to the autonom area to be more self sufficient and manage its own people’s interests. This condition also happens in Medan City as one of the autonom area. Therefore, in order to create the people’s wish to appply the Good and Clean Governance, and good quality public service, The City Government of Medan holds the programes, one of them is “sub district (kelurahan) empowerment”, because sub district (kelurahan) is the front line of governance, development and public service providerwhich directly faces the public. This research used the descriptive methodes which took place in 5 (five) sub districts (kelurahan) in Medan City and used the purpossive sampling technique. This research found that generally the only implementorin policy implementation, is the head of sub district (lurah) is succesful enough if we look at or judge in cleanness aspect, security, order, amd the public service in Medan City. However there are still some weakness that is necessary to be reevaluated. Keywords: implementation, subdistrict (kelurahan) empowerment , local autonomy 1. PENDAHULUAN Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka akan terjadi perubahan yang mendasar dalam pembangunan daerah, di mana terjadi perubahan sistem sentralistik menjadi desentralistik. Paradigma baru otonomi daerah yang dapat dicatat antara lain adalah terjadinya perubahan dalam beberapa hal: lebih ditingkatkannya proses demokrasi manajemen pembangunan daerah; peran serta masyarakat dalam manajemen pembangunan daerah; pemerataan dan keadilan pembangunan daerah; lebih diperhatikannya potensi daerah dalam proses pengelolaan pembangunan daerah serta keanekaragaman daerah dalam pengelolaan pembangunan daerah. Dengan perubahan paradigma di atas, dituntut juga terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) dengan sistem transparansi, akuntabilitas, efisien, dan efektif dari seluruh aparat dari berbagai tingkatan dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai abdi negara. Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah Kota Medan dituntut untuk mandiri dengan prinsip terciptanya pemerintahan yang kuat ke dalam dan memiliki kemampuan untuk berkembang dan dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga mau tidak mau daerah harus benar-benar memaksimalkan segala potensi yang ada di daerahnya, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Dalam hal ini termasuk daerah Kota Medan yang juga termasuk daerah otonom. Kota Medan sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara selain berperan sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan serta industri, juga merupakan pintu gerbang dan pusat pertumbuhan wilayah di bagian barat Indonesia. Perkembangannya yang pesat dan penduduknya yang dinamis kreatif menuntut setiap aparat pelaksana kota termasuk kelurahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Kelurahan sebagai organisasi pemerintahan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan kota khususnya otonomi daerah, di mana kelurahan akan terlibat langsung dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan serta pelayanan. Oleh karena itu kelurahan harus mampu menjadi tempat penampung aspirasi dan keluhan masyarakat untuk diselesaikan atau meneruskan aspirasi dan keinginan tersebut kepada pihak yang berkompeten untuk ditindaklanjuti. Di samping itu peran kelurahan juga menjembatani programprogram pemerintah untuk disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dan didukung oleh masyarakat. 29 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Besarnya aspirasi masyarakat dewasa ini terhadap pemerintah terutama dengan adanya tuntutan agar terwujudnya pemerintahan yang bersih, pelayanan yang baik, keterbukaan dan ketepatan waktu, maka diharapkan pemerintah dapat menyikapinya dengan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan aspirasi masyarakat tersebut melalui beberapa program kerja antara lain “pemberdayaan kelurahan”. Pemberdayaan kelurahan yang baik dan kuat akan dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan rencana program dan proyek melalui penciptaan langsung peran serta masyarakat di samping akan mewujudkan terciptanya kestabilan dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya akan dapat memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah kota guna merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Melihat hal di atas maka peranan kelurahan di masa sekarang dan di masa yang akan datang sangat diperlukan, tidak hanya sebagai administratur pemerintahan tetapi juga sektorsektor lain agar setiap aspirasi masyarakat dapat ditampung untuk diambil langkah-langkah lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas maka melalui penelitian ini penulis akan mendeskripsikan implementasi konsep pemberdayaan kelurahan serta menguraikan masalah atau kendala yang dihadapi dalam proses implementasi pemberdayaan kelurahan di Kota Medan. 2. METODE Bentuk penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif dengan menggambarkan dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya, dan mencoba menganalisis untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Hasil penelitian akan diklasifikasikan dan dibuat dalam bentuk tabel frekuensi kemudian diinterpretasikan dan dianalisa oleh penulis berdasarkan indikator di atas. Penelitian ini dilakukan berdasarkan tipologi pemberdayaan kelurahan, yang berlokasi di: 1. Kelurahan Pulo Brayan Darat II Kecamatan Medan Timur, dengan tipologi industri/ pergudangan. 2. Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun, dengan tipologi perdagangan/ pertokoan. 30 3. Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru, dengan tipologi pemukiman inti kota. 4. Kelurahan Tegalsari Mandala III Kecamatan Medan Denai, dengan tipologi pemukiman pinggiran. 5. Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan, dengan tipologi kawasan pantai. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lurah yang berada di kawasan Kota Medan, yang berjumlah sebanyak 151 lurah. Namun karena keseluruhan populasi tidak dapat dijangkau oleh penulis maka penulis memutuskan teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling dengan kriteria tipologi kelurahan kota Medan di mana masing-masing tipologi diwakili oleh satu kelurahan. Dengan begitu adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 5 lurah yang berdasarkan pada Tipologi Kelurahan. Sedangkan sekretaris Kota Medan atau Kepala Bagian Pemerintahan Kota Medan akan diwawancarai sebagai key informan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi lapangan serta wawancara dengan key informan terpilih, serta menyebarkan kuesioner yang berisi pertanyaanpertanyaan yang terbagi pada enam bagian yaitu identitas responden; kebersihan; keamanan; ketertiban; pembinaan masyarakat; dan pelayanan masyarakat. Untuk melengkapi data-data yang sudah didapat penulis juga melakukan library research terhadap literatur, buku-buku, serta dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Kemudian, tekhnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adaalah teknik analisa deskriptif kualitatif, dengan menggolongkan atau mengklasifikasikan dan menganalisa data yang diperoleh sehingga didapat gambaran yang jelas tentang obyek yang diteliti, dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan. 3. PEMBAHASAN Kota Medan adalah salah satu ibukota provinsi yang terbesar penduduknya di Indonesia. Saat ini Kota Medan terus berkembang menjadi pusat trans Sumatera, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu jalur transportasi yang strategis untuk menuju daerah lain bagi penduduk sekitarnya. Kota Medan telah menjadi daerah perkotaan yang berkembang pesat. Hal ini disebabkan antara lain: M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan … 1. Peranan kota ini sebagai pusat perniagaan yang mempunyai jaringan hubungan dengan daerah perindustrian dan pertanian di luar kota maupun di sekitar pusat kota. 2. Peranan kota ini sebagai tempat kedudukan kantor-kantor pemerintah dan swasta. 3. Peranan kota ini sebagai pusat pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. 4. Peranan kota ini sebagai pintu gerbang keluar masuk baik melalui daratan maupun melalui laut menuju daerah lain. 5. Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara. Penduduk kota Medan berdasarkan sensus tahun 2000 berjumlah 1.898.013 jiwa yang terbagi atas 939.039 jiwa laki-laki dan 958.977 perempuan. Penduduk kota Medan terkenal sangat majemuk terutama dari suku bangsa dan agama. Kemajemukan ini juga ditandai dengan penguasaan suatu okupasi dan terjadinya pengelompokan tempat tinggal berdasarkan suku bangsa walaupun tidak bersifat mutlak. Keanekaragaman suku bangsa di kota Medan dapat juga dilihat dari kelompok keagamaan mereka, yaitu organisasi keagamaan yang mengelola kehidupan sosial dan agama. Implementasi Dalam setiap perumusan suatu kebijaksanaan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kebijaksanaan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti. Sesuai dengan hal tersebut, Charles O’Jones (1991: 296) mengemukakan: “Implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi, dan pelaksanaan.” Selanjutnya pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (Drucker, 1975) yang merumuskan bahwa: “Implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu kebijaksanaan.” Menurut Edwards III dalam Winarno (2002: 125), implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Menurutnya (Winarno, 2002: 126) ada empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan, dan struktur birokrasi. Sumber daya layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya yang dimaksud mecakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Dan yang tidak kalah penting adalah untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ketepatan komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Karakteristik badan-badan pelaksana juga mempengaruhi pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002: 116) pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakterisrik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Menurut Edwards (Winarno, 2002: 126) persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan Dari beberapa pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa implementasi itu adalah aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta untuk mencapai tujuan yang telah digariskan terlebih dahulu dalam suatu kebijaksanaan. 31 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Pemerintahan Kelurahan “Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan” (UU No. 22 Tahun 1999 Bab I Pasal 1 Huruf n). Kemudian pemerintah kelurahan tersebut terdiri dari kepala kelurahan dan perangkat kelurahan. Perangkat kelurahan terdiri dari sekretariat kelurahan dan kepala-kepala lingkungan. Kesemua aparatur pemerintahan kelurahan inilah yang akan melaksanakan tugas-tugas pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka peningkatan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan maka ditetapkan susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan yang terdiri atas: 1. Kepala Kelurahan 2. Sekretariat Kelurahan 3. Kepala-Kepala Urusan 4. Kepala Lingkungan, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan kelurahan yang bersangkutan. Kemudian jumlah urusan sedikitnya 3 urusan: 1. urusan pemerintahan, 2. urusan perekonomian dan pembangunan, 3. urusan keuangan dan urusan umum, dan sebanyak-banyaknya 5 urusan yaitu: 1. urusan pemerintahan, 2. urusan perekonomian dan pembangunan, 3. urusan kesejahteraan rakyat, 4. urusan keuangan, 5. urusan umum. Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan Istilah pemberdayaan (empowerment) dan empower yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pemberdayaan” menurut Webster dan Oxford English Dictionary kata empower mengandung dua pengertian. Pertama to give power and authority to dan pengertian kedua to give ability to or anable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan (Priono, 1996). Natural Resources maupun human resources yang saling terkait dalam pembangunan merupakan titik sentral yang memicu munculya pemberdayaan dan yang merupakan target dari pemberdayaan. Karena itu 32 sumber daya manusia sangat erat hubungannya dengan skill, sementara kondisi skill berhubungan erat dengan kemampuan masyarakat untuk menjalankan tugas dan pekerjaannya sehingga perlu diberdayakan. Demikian halnya pemberdayaan kelurahan di Kota Medan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan bahwa kelurahan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota yang memikul tanggung jawab sebagai ujung tombak pembangunan terendah di daerah. Pemberdayaan kelurahan jika dilihat dari dasar pertimbangan produk hukum saat ini merupakan suatu keharusan karena menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, kelurahan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota. Perangkat daerah tanpa power adalah suatu kemustahilan. Sementara Perda Nomor 24 Tahun 1992 menggariskan bahwa pemerintah kelurahan dilibatkan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang. Melihat ketentuan di atas maka peranan kelurahan harus diperluas tidak hanya sebagai administratur pemerintahan tetapi juga sektor lain. Dengan fungsi dan peran yang sangat strategis tersebut maka Pemerintah Kota Medan harus menjadikan pemberdayaan kelurahan sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan dengan upaya antara lain: 1. Pelimpahan tanggung jawab dan wewenang atas beberapa fungsi pelayanan dan pengawasan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat. 2. Penataan terhadap kekuatan dan kemampuan pemerintah kelurahan dengan melakukan peningkatan sumber daya manusia, kelengkapan personel, dan penambahan dukungan dana. Dari uraian di atas maka dapat kita buat suatu definisi bahwa pemberdayaan kelurahan yang di maksud dalam program Pemerintah Kota Medan yaitu memberdayakan kelurahan dalam menerima wewenang, tugas, dan tanggung jawab dalam beberapa hal, yaitu (instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/inst/2001): A. Kebersihan 1. Mengawasi masyarakat untuk menjaga kebersihan, keindahan, dan kerapian di lingkungannya masing-masing dan menjaga agar tidak ada lagi sampah yang berserakan/bertumpuk-tumpuk. M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan … 2. Melaksanakan pengangkatan sampah dari rumah masyarakat dan yang berserakan ke TPS yang sudah ditentukan. 3. Mengontrol dan mengawasi penggunaan TPS agar sampah-sampah tidak melimpah dan berserakan di sekitar TPS. 4. Mengadakan penyapuan terhadap jalanjalan protokoler dan jalan-jalan lainnya yang berada di wilayah kerjanya dan memerintahkan petugas kebersihan agar mematuhi dan melaksanakan tugasnya sesuai wilayah kerja dan jam kerja yang telah ditentukan. 5. Mengawasi masyarakat agar tidak membuang sampah ke dalam parit dan mambersihkan sampah-sampah yang ada dalam parit agar air mengalir dengan lancar. 6. Menggerakkan masyarakat melaksanakan gotong royong pada hari Jumat dan Minggu untuk membersihkan parit yang tersumbat agar tidak terjadi banjir apabila hujan turun. 7. Melaksanakan pembersihan dan perawatan terhadap lokasi tanah kuburan yang berada di wilayah kerjanya. 8. Melaksanakan pembersihan saluran dan pengangkatan tumpukan-tumpukan tanah yang berada di brem atau badan jalan agar air yang berada di badan jalan dapat mengalir dengan lancar ke dalam parit. 9. Melaksanakan pengorekan parit-parit sampah ke boodem (dasar saluran) agar air dalam parit berjalan lancar. 10. Melakukan pengawasan terhadap petugas pengangkut sampah (Bestari) dan petugas penyapu jalan (Melati) yang ada di wilayah kerjanya dalam melaksanakan tugas kebersihan serta menyalurkan pembayaran gaji petugas dimaksud. 11. Memungut kontribusi sampah dari kepala keluarga, dan dalam pelaksanaannya harus mempedomani ketentuan peraturan yang berlaku. 12. Melaksanakan pemotongan runput di pinggir jalan dan pengecatan trotoar dengan cat minyak yang ada di wilayah kerjanya masing-masing. 13. Memelihara pohon-pohon penghijauan, taman-taman kota, dan fasilitas umum lainnya yang telah ditanam serta dibangun oleh pemerintah kota atau swadaya masyarakat. 14. Mengawasi pohon-pohon penghijauan, taman-taman kota, dan fasilitas umum lainnya yang dibangun pemerintah maupun swadaya masyarakat dari kerusakan yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 15. Menggerakkan peran serta masyarakat untuk menanam, memelihara, dan menjaga pohon-pohon penghijauan, taman-taman kota, serta fasilitas umum lainnya yang ada di wilayah kerjanya masing-masing. B. Keamanan 1) Menggerakkan masyarakat untuk membangun pos-pos siskamling di lingkungan masing-masing. 2) Mengaktifkan siskamling dan pengamanan swakarsa di wilayah kerjanya masing-masing. 3) Melaksanakan koordinasi dengan aparat keamanan agar gangguan keamanan dapat terkendali. 4) Memerintahkan masyarakat untuk melaksanakan pemasangan lampu-lampu neon (TL) di depan ruko atau rumah tempat tinggal masing-masing. 5) Memerintahkan masyarakat untuk menghidupkan lampu-lampu neon (TL) yang telah dipasang di depan ruko atau rumah tempat tinggal masing-masing mulai pukul 19.00 s.d. 05.00 WIB (pagi). 6) Mengawasi masyarakat dalam pengambilan/penyambungan aliran listrik untuk kebutuhan lampu neon (TL) harus melalui/meteran ruko atau rumah tempat tinggal masing-masing. 7) Mengawasi dan melaporkan lampu penerangan jalan (LPJ) yang mati maupun yang rusak (tidak hidup) ke Dinas Pemerintahan Kota Medan. C. Ketertiban 1) Menata pedagang-pedagang kaki lima agar berjualan pada tempat-tempat yang telah ditentukan atau jalan-jalan alternatif yang ada di wilayah kerjanya masing-masing. 2) Menertibkan pedagang-pedagang kaki lima yang berjalan di trotoar atau di atas parit pada jalan-jalan protokol dan haltehalte bus, bersama dengan camat. 33 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 3) Mengawasi masyarakat agar tidak membangun bangunan tanpa izin dari Pemerintah Kota Medan. 4) Menindak dan membongkar bangunan yang tidak memiliki izin maupun yang menyimpang dari izin yang diberikan bersama dengan camat. 5) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan galian-galian yang dilaksanakan oleh PLN, TELKOM, PN GAS, dan PDAM Tirtanadi serta jalanjalan yang berlubang/rusak, selanjutnya melaporkan ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Medan dengan tembusan ke Walikota Medan. 6) Memerintahkan masyarakat agar tidak menutup/membeton parit-parit yang ada di depan rumah tokonya. 7) Membongkar beton-beton parit di depan rumah toko masyarakat agar tidak terjadi penyumbatan dalam parit di wilayah kerjanya masing-masing. 8) Mengawasi dan menindak masyarakat yang memelihara hewan yang berkaki empat yang dipelihara di tempat-tempat yang dilarang Pemerintah Kota Medan bersama dengan camat. 9) Mengawasi dan menindak masyarakat yang memarkir kendaraannya tidak pada tempat parkir yang telah disediakan maupun yang dapat mengganggu arus lalu lintas bersama dengan camat. 10) Menjaga dan memelihara rambu-rambu lalu lintas agar tidak dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. D. Pembinaan Masyarakat 1) Melaksanakan tatap muka dengan masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat dengan menjelaskan program-program pemerintah yang belum, sedang, dan akan dilaksanakan di setiap kesempatan yang ada. 2) Menghadiri setiap undangan masyarakat dan mengimbau peran aktif warga untuk membangun wilayahnya masing-masing. 3) Memelihara dan meningkatkan taraf kesehatan serta gizi warga masyarakat serta membina dan meningkatkan akseptor KB yang mandiri serta membina dan meningkatkan pengetahuan dan 34 keterampilan untuk mendukung penghasilan tambahan keluarga. 4) Harus tampil di tengah-tengah masyarakat dalam situasi/keadaan tertentu dan mampu menyelesaikan masalah yang ada secara arif dan bijaksana. 5) Menyusun dan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi rakyat dan pemberian fasilitas-fasilitas kemudahan/ kelancaran administrasi, pelatihan, permodalan, pemasaran melalui kerja sama dengan instansi sektoral. E. Pelayanan Masyarakat 1) Melaksanakan pendataan terhadap masyarakat yang tidak memiliki KRT atau KTP dan memerintahkan untuk mengurusnya dengan berpedoman kepada ketentuan peraturan yang berlaku. 2) Melaksanakan pelayanan pengurusan KRT dan KTP kepada masyarakat sesuai prosedur yang berlaku dan tetap mempedomani tarif KRT dan KTP berdasarkan peraturan daerah yang ditetapkan. 3) Melaksanakan pengawasan dan sweeping terhadap penduduk yang masuk di wilayahnya dan wajib lapor 1x24 jam kepada kepala lingkungan masingmasing. 4) Melaksanakan pelayanan berupa pemberian surat-surat keterangan yang dibutuhkan masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku dan tidak mempersulit/membebani masyarakat yang bersangkutan. 5) Melaksanakan penyelesaian pengurusan surat-surat keterangan tanah dan melakukan pengecekan terhadap bidang tanah yang akan dimohonkan haknya kepada kantor BPN Medan, dengan tetap berpedoman kepada ketentuan peraturan yang berlaku. 6) Mempercepat semua urusan pelayanan masyarakat, tidak mempersulit dengan tidak membebani biaya yang tidak diatur oleh ketentuan peraturan yang berlaku. Secara umum pemerintah kelurahan dapat dinilai sudah melaksanakan instruksi tersebut di atas. Untuk masalah kebersihan kepala kelurahan sebagai penerima dan penangggungjawab langsung instruksi tersebut sudah menilai M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan … kebersihan di wilayah yang dipimpinnya baik. Tetapi masih ada jawaban responden yang menggantungkan sepenuhnya urusan kebersihan pada tim Bestari dan Melati. Sementara pelimpahan wewenang yang begitu besar ternyata tidak disertai dengan tanggung jawab konsekuensi pendanaan dari Pemerintah Kota Medan, karena masih ada kelurahan yang terpaksa menambah dana untuk pembiayaan kebersihan dari kas kelurahan bahkan mengutip retribusi dari masyarakat. Dan hanya sebagian kecil kelurahan yang memang murni menggantungkan anggaran untuk pengelolaan kebersihan pada kas pemerintah kota. Namun setelah menerima pelimpahan wewenang dari walikota ternyata kembali melimpahkannya pada pegawai kelurahan. Dalam hal keamanan masih ada beberapa jawaban responden yang tidak muncul sesuai dengan instruksi tersebut di atas. Ketidakjelasan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab serta dampak dan konsekuensi yang muncul juga masih terlihat dari adanya kelurahan yang memungut dana untuk keamanan dari masyarakat, walaupun ada yang memang mendapatkan dari Pemerintah Kota Medan. Bahkan ada kelurahan yang tidak mengalokasikan anggaran sama sekali untuk keamanan. Ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah kota dalam hal pelaksanaan instruksi ini juga dapat dilihat dari hasil penelitian, di mana hal ini mencerminkan betapa sulitnya pemerintah kelurahan mengambil keputusan. Maka untuk persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan oleh pemerintah kelurahan, karena merupakan bagian dari instruksi di atas, namun pemerintah kelurahan masih menyerahkannya pada institusi yang berbeda atau yang ada di atasnya. Sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Karena apabila para pelaksana kebijakan kekurangan sumber-sumber yang diperlukan maka implementasi tersebut akan menjadi cenderung tidak efektif walaupun perintahperintah implementasi sudah diteruskan secara cermat, jelas, dan konsisten. Sumber-sumber yang penting tersebut meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. Walaupun sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf, akan tetapi jumlah staf yang banyak ternyata tidak secara otomatis mendorong implemetasi yang berhasil. Hal ini disebabkan kurangnya kecapakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf. Kekurangan staf yang terjadi menyebabkan pemerintah kelurahan memberikan atau menerima tanggung jawab ganda atau bahkan mengosongkan posisi yang penting dalam implementasi instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/INST Posisi dan tanggung jawab ganda tersebut jika tidak diiringi dengan kecakapan yang memadai tentu saja akan menimbulkan masalah tersendiri. Sebagai abdi negara, aparatur pemerintahan kelurahan harus dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara baik. Pelayanan masyarakat adalah kegiatan organisasi yang dilakukan untuk mengamalkan dan mengabdikan diri kepada masyarakat (The Liang Gie, 1989:365). Namun dalam kenyataannya untuk pembinaan dan pelayanan masyarakat yang merupakan titik penting dan paling krusial dalam pelaksanaan pemerintahan ternyata tidak dapat terlaksana sepenuhnya. Ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Kota Medan masih terlihat. Dalam implemetasi sebuah kebijakan ada beberapa sumber yang penting selain yang telah disebutkan sebelumnya, meliputi staf, keahlian– keahlian, wewenang, dan fasilitas-fasilitas. Informasi juga merupakan sumber penting berikutnya. Dalam pelaksanaan kebijakan tentu saja diperlukan informasi bagaimana melaksanakan kebijakan tersebut. Wewenang juga merupakan sumber yang penting. Wewenang akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda misalnya perintah kepada para pejabat lain, menarik dana dari suatu program, menyediakan dana, atau memungut pajak. Mengutip Samodra Wibawa dkk. (1994:15) kebijakan selalu mengandung tiga komponen dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Di dalam cara tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan lainnya yaitu siapa implementatornya, berapa besar dana diperoleh, 35 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, serta bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Melihat implementasi instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/INST dengan beberapa cara di atas maka yang terdapat di dalamnya hanya implementator yaitu kepala kelurahan, ini pun belum disertai dengan juklak dan juknis (pelaksanaan program dan sistem manajemen) sebagai pegangan kepala kelurahan melaksanakan instruksi yang begitu banyak di lapangan. Sedangkan untuk perolehan dana sampai saat ini metode yang dipakai Pemerintah Kota Medan adalah menyamaratakan dana yang dialokasikan tanpa memperhatikan karakteristik dan kebutuhan masing–masing kelurahan. Sehingga terlihat jelas pada bagian penyajian di atas ada kelurahan yang menganggarkan secara khusus untuk satu program sementara kelurahan lain tidak. Padahal menurut anggaran pemberdayaan kelurahan –kecuali untuk bantuan honorarium kepala lingkungan yang disesuaikan dengan jumlah lingkungan– seluruh kelurahan mendapat bagian dana yang sama untuk pemberdayaan kelurahan. Tidak dibenarkannya kelurahan memungut dana pada masyarakat –karena sudah dipungut oleh Pemerintah Kota Medan– menyebabkan timbulnya retribusi– retribusi dari kelurahan yang cenderung bersifat ilegal. Walaupun secara umum instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/INST sudah diterjemahkan dengan baik oleh implementator di lapangan tetapi beberapa titik lemah yang sudah diuraikan di atas tentu perlu menjadi perhatian khusus Pemerintah Kota Medan selaku pembuat kebijakan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: - instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/INST sampai saat ini hanya merupakan perintah dari atasan pada 36 bawahan. Pola manajemen yang top-down terlihat sangat jelas. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang dilakukan Walikota Medan kepada kepala kelurahan di Kota Medan tidak disertai dengan petunjuk bagaimana program tersebut dilaksanakan dan sistem manajemen seperti apa yang dipergunakan untuk keberhasilan maksimal dari program tersebut. - Persoalan pendanaan yang merupakan bagian penting dari sebuah implementasi program tentu saja harus memperhatikan aspek kebutuhan dan karakteristik ke mana dana tersebut dialirkan. Hal ini sampai saat ini belum menjadi fokus dan perhatian Pemerintah Kota Medan selaku pembuat kebijakan. - Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa kepala kelurahan selaku implementator tunggal dalam pelaksanaan kebijakan ini –sesuai yang tercantum dalam instruksi Walikota Medan Nomor 141/079/INST– sudah cukup berhasil dalam melaksanakan instruksi ini. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari aspek kebersihan kota, penjagaan keamanan, ketertiban, pembinaan, dan pelayanan masyarakat di Kota Medan. 5. SARAN Pemerintah Kota Medan sebagai institusi yang menelurkan program pemberdayaan kelurahan diharapkan segera mereposisi ulang program tersebut baik dari aspek kebijakan maupun aspek pendukung lainnya seperti implementatornya, berapa besar dana diperoleh yang tentu saja memperhatikan karakteristik dan kebutuhan penerima dana, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, atau bagaimana sistem manajemennya, bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur sehingga kecenderungan untuk menilai program pemberdayaan kelurahan Pemerintah Kota Medan sebagai pemberdayaan setengah hati tidak terjadi. M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan … DAFTAR PUSTAKA Charles O’Jones, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Rajawali Press, 1991. Gie, The Liang, Ensiklopedia Administrasi, CV.Masagung, Jakarta, 1989. Instruksi Walikota Medan Nomor 141 Tahun 2001, Tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Kelurahan dalam Rangka Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah. Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002. 37 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA PERENCAAN PARTISIPATIF Marlon Sihombing Abstract: The conventional regional development depends on several asumptions: that the social welfare level will increase because of the economic growth. However, in fact, this macro economic hypothesis is not always trialed significantly. This condition requires the paradigm shifting, from the growth paradigm into people centred development which suppose the human as the main element in the development through each contribution an also the participation and the improvement of economic actor. Keywords: regional development, paricipative planning 1. PENDAHULUAN Asumsi pertumbuhan ekonomi, yang menjadi tumpuan konsep pengembangan kawasan yang konvensional, dapat tercapai dengan percepatan industri yang akan terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan (di perkotaan), yang kemudian akan menyebar ke sekitarnya. Proses globalisasi akan menghubungkan pusatpusat pertumbuhan tadi dengan pusat pertumbuhan global dan sekaligus akan mempercepat pertumbuhan itu. Oleh karena itu perlu rencana pengembangan kawasan yang tersentralisir untuk mendorong pertumbuhan dan industrialisasi (Moeljarto 2004). Namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Seperti dalam masa-masa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun 80-an, ternyata tetesan pembangunan itu tidak terasa bagi masyarakat miskin terutama di pedesaan. Justru yang terjadi adalah urbanisasi dan eksploitasi kota terhadap desa yang semakin mempersulit posisi masyarakat miskin dan pedesaan. Tuntutan pergeseran paradigma pembangunan menuju people centred development yang memperlakukan manusia sebagai yang utama dalam pembangunan, melalui kontribusi masing-masing serta partisipasi dan peningkatan setiap pelaku ekonomi, juga menuntut kerangka spasial bagi pengembangan kawasan, dalam hal ini harus dapat menjawab berbagai persoalan mendasar yang berkaitan dengan kontribusi, partisipasi, dan produktivitas penduduk dari lapisan sosial bawah. Hal ini mencakup: 1. Bagaimana masyarakat kecil dan miskin yang perlu mendapat perhatian dapat ikut serta dalam proses pembangunan. Hal ini mencakup tahap pengambilan keputusan, penetapan pelaksanaan, dan evaluasi. 38 2. Bagaimana agar keterkaitan antarsektor sampai di tingkat perdesaan dapat ditingkatkan dan disinergikan. 3. Bagaimana membangun unit-unit, potensipotensi perdesaan dalam meningkatkan dinamika ekonomi perdesaan yang lebih baik. 4. Bagaimana model perencanaan yang dapat mengorganisir potensi-potensi tadi khususnya dalam pengembangan teritorial pedesaan. Hal inilah pokok-pokok persoalan yang akan dibahas mengenai pengembangan kawasan melalui konsep paradigma perencanaan partisipasi yang mengutamakan manusia di dalam pembangunan dan lebih populer dikenal people centred development atau pembangunan yang berwawasan kemasyarakatan. 2. PEMBAHASAN Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidahkaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang banyak atau publik (Nugroho & Dahuri 2004). Karena berlandaskan ilmiah, maka perencanaan pembangunan haruslah tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan validitas keilmuan (scientific validity) dan relevansi kebijakannya. Didorong oleh motif ini, perencanaan pembangunan mengalami perkembangan yang cukup dinamis baik secara teoretik maupun paradigmatik. Perkembangan itu dapat ditelusuri sejak pembangunan telah dipandang sebagai proses perubahan sosial masyarakat terencana yang merupakan fenomena Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif pembangunan yang dapat dicatat sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini adopsi perencanaan ekonomi dalam upaya negara-negara sedang berkembang untuk membangun sangat mewarnai perencanaan pembangunan yang diterapkan. Ironisnya, proliferasi perencanaan ekonomi dengan menggunakan indikator-indikator ekonomi makro ini berlangsung dalam kenyataan lebih banyak negara-negara yang mengalami kegagalan daripada yang berhasil, walaupun telah dibarengi dengan sistem perencanaan, birokrasi yang ketat, dan otoriter. Apa yang dapat kita pahami dari pengalaman ini adalah bahwa "perencanaan pembangunan" tidak dapat bertahan pada satu sosok yang tunggal. Perencanaan pembangunan harus mengadaptasi tuntutan lingkungan serta variasi dinamika perubahan yang terjadi. Kompleksitas dan multidimensionalitas permasalahan pembangunan serta selaras dengan mempertahankan scientific validity dan relevance telah mendorong lahirnya berbagai paradigma pembangunan. Secara diakronik dapat dijajarkan mulai dari paradigma perencanaan ekonomi yang lebih kita kenal sebagai paradigma pertumbuhan (growth), paradigma pembangunan yang mengacu pada kebutuhan pokok (basic needs) dan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development). Ketiga kategori umum paradigma pembangunan ini tentu punya karakter yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan itu dapat digambarkan pada tabel di bawah. Karakter Pertumbuhan (growth) Industri Fokus Peran Pemerintah Enterpreneur Modal Sumber Utama Struktur Administrasi Vertikal (Birokrasi) Sentral Proses Perencanaan Objek Partisipasi Marjinalisasi Kendala Perbandingan karakter paradigma tersebut perlu dipahami untuk menganalisis "perencanaan partisipatif" sebagai tema utama tulisan ini. Kalau kita bandingkan terutama antara paradigma pertumbuhan dan kebutuhan pokok terhadap paradigma humanizing yang sudah cukup populer sejak tahun 1980-an hingga saat ini (GBHN 1993; pembangunan manusia seutuhnya) di Indonesia, sudah seharusnya memiliki atau berada pada suatu kondisi tata pemerintahan yang baik (good governance) yang menempatkan manusia benar sebagai yang utama dalam pembangunan (subjek) dengan implikasinya; pemerintah (birokrasi) lebih berperan sebagai fasilitator; membangkitkan kreativitas manusia dan masyarakat untuk mewujudkan self sustaining capacity dengan model perencanaan yang partisipatif. Sebenarnya telah lama secara retorik masyarakat ditempatkan sebagai subjek dalam pembangunan, tetapi dalam realitasnya mereka masih selalu menjadi objek dan bahkan marginal dalam pembangunan itu. Dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia pernah dikenal unit spasial supradesa yang dikenal dengan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Namun dalam praktiknya UDKP hanya diartikan sebagai wilayah pembangunan di mana segala proses pembangunan berada dalam komando camat. Konsep pembangunan kawasan hanya diartikan sebagai administratif belaka (Moeljarto 2004). Akhirnya masyarakat masih menjadi bulanbulanan elite yang ingin disebut sebagai pahlawan pembangunan. Paradigma Kebutuhan Pokok (basic needs) Pelayanan Service provider Anggaran/Administratif Vertikal Sentral/Desentral Objek Keterbatasan Anggaran Humanis (people centred dev.) Manusia Enabler/facilitator Kreativitas/komitmen Horizontal Desentral (Bottom- up) Partisipatif subjek Struktur dan prosedur attitude perlu diubah 39 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Bagi masyarakat kecil sering pembangunan tanpa arti atau bahkan menjadi petaka karena pembangunan yang menggusur mereka. Sehingga lebih lanjut dapat kita bertanya: Apakah ada perencanaan pembangunan? Atau kalau ada pembangunan itu untuk siapa? Pertanyaan seperti ini wajar dilontarkan sampai saat ini ketika kita memperhatikan tidak adanya perubahan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat tertentu secara signifikan dari tahun ke tahun. Kehidupan Ajo Sukaramai Medan, misalnya, dari dulu tidak berubah. Justru sebaliknya malah banyak menurun pendapatannya. Petani kita juga demikian, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa di tempat lain atau sektor lainnya ada juga yang berhasil serta menggembirakan anggota masyarakat. Seperti Kota Limpung, Jawa Tengah, dan Kota Majalaya di Bandung adalah contoh- contoh kota yang dapat dikatakan sukses membangun melalui kunci sukses pendekatan perencanaan partisipatif yang dinikmati masyarakat. Di dalam penerapan pendekatan pembangunan perencanaan partisipatif ini, perencanaan partisipatif telah dianggap menjadi sarana yang ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan pembangunan termasuk persoalan kemiskinan. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa pembangunan akan berhasil apabila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan, formulasi, implementasi, kemanfaatan, dan evaluasi. Perhatian partisipasi masyarakat ini lebih jauh dibahas oleh Cohen dan Up Off melalui kriteria kondisi jawaban setiap peserta terhadap berpartisipasi untuk: what, who, whom, how. Artinya partisipasi itu harus jelas: apa, siapa yang harus berpartisipasi, dengan siapa, serta bagaimana. Dalam pendekatan pembangunan seperti ini, penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi harus lebih baik agar kemampuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan, serta mengawasi jalannya pembangunan pun akan semakin meningkat. Karena semakin tinggi penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi akan semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi (Baswir:2003). Oleh sebab itu reinterpretasi dan refungsionalisasi UDKP dalam rangka pengembangan wilayah sesuai dengan konsep pembangunan kerakyatan itu sangat relevan dan tepat untuk dilakukan apalagi Undang-Undang 40 No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan perdesaan di Indonesia wajib memperhatikan; kepentingan masyarakat desa, kewenangan desa, kelancaran pelaksanaan investasi, pelestarian lingkungan hidup, keserasian kepentingan antarkawasan, dan kepentingan umum. Hal ini dimaksud harus mencakup: 1. Perhatian pada alokasi sumber yang cukup pada unit teritorial dalam skala ekonomi yang memungkinkan multiplier dalam agroindustri, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan lain-lain. 2. Mewujudkan keterkaitan antarsektor pada unit teritorial yang mewujudkan optimalisasi efek sinergi. 3. Investasi yang sinergi membuka peluang kerja bagi masyarakat miskin, dalam arti menyerap tenaga kerja. 4. Pembangunan kawasan harus diartikan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat secara optimal dapat memanfaatkan sumber daya alam. 5. Pengembangan industri yang resources-based yang menjadi komoditi unggulan. 6. Dalam menggalakkan pengembangan kawasan ini perlu kebijakan-kebijakan dualisme, dalam arti ada kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat selain mendorong industri perdesaan. Untuk menerapkan hal ini berbagai prakarsa untuk menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Upaya pembukaan ruang publik diyakini dapat meningkatkan kualitas keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan, mengendalikan dan memperoleh sumber daya bersama yang tadinya hanya dikuasai oleh negara. Saat ini pembukaan ruangruang publik dapat dilihat sebagai demokratisasi, partisipasi, dan good governance. Pada akhirakhir ini upaya ini bahkan telah mendorong lahirnya LSM, forum-forum warga, asosiasi dan lain-lain tempat berembuk, berkomunikasi, mengambil keputusan, merumuskan, dan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama secara mandiri. Walaupun di sisi lain harus diakui banyak kendala, keterbatasan, dan menuntut kesabaran lebih untuk melalui jalur pilihan perencanaan partisipatif ini. Akan tetapi bagi Kota Majalaya yang telah menerapkan model perencanaan ini dengan baik, persoalan pemindahan pedagang kaki lima, revisi rencana Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif detail tata ruang, menangani masalah perkotaan dan lain-lain terasa menjadi lebih ringan ketika ruang-ruang publik seperti forum warga telah fungsional. Demikian halnya yang dialami oleh BAPPEDA Padang Pariaman, tidak lagi direpotkan oleh pesanan dan tekanan proyek. Selama ini BAPPEDA menjadi pasar pesanan proyek tapi dengan bekerjanya perencanaan partisipatif ini, BAPPEDA Padang Pariaman telah bebas proyek pesanan (Perform, 2003). Dengan ringkas Bupati Padang Pariaman mengatakan perencanaan partisipatif akan berjalan apabila mempercayai masyarakat agar dipercayai oleh rakyat. Oleh sebab itu apabila kita ingin menumbuhkembangkan sense of belonging dan sense of accountability yang diperlukan, maka perlulah kiranya kita juga mengubah manajemen pembangunan yang mengacu pada structural efficiency (birokrasi Weber), menjadi manajemen pembangunan yang lebih berbasis partisipasi masyarakat (community based resource management) yang didukung oleh kepemimpinan (leadership) yang komit dengan masyarakat, perubahan sikap, dan juga fleksibilitas administrasi keuangan pemerintah yang memacu kinerja agar dapat mengikuti tuntutan perubahan dalam proses pembangunan. Dalam konsep manajemen berbasis partisipasi masyarakat ini juga tersirat bahwa perlakuan terhadap partisipasi masyarakat bukan hanya dalam arti kontributif dan sebagai alat. Akan tetapi lebih dari itu yaitu menjadi tujuan yang akan memberdayakan masyarakat itu sendiri (empowerment). Sehingga melalui partisipasi ini proses demokratisasi akan terwujud dan melembaga dengan sendirinya karena: 1) masyarakat turut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang masalah mereka, 2) memperluas peluang pendidikan politik sebab dengan kesempatan ini mereka akan semakin terlatih dalam menyusun skala prioritas dan menentukan kompromi di antara kepentingankepentingan yang berbeda-beda, 3) partisipasi ini akan semakin memperkuat solidaritas masyarakat lokal (Islamy, 2001). Sebenarnya metode pembangunan partisipatif ini telah lama diperkenalkan oleh seorang tokoh gerakan pembangunan masyarakat Cina dengan sederhana oleh Y.C. Yen pada 1920, di mana menurut pandangannya dalam pembangunan yang memberdayakan masyarakat itu haruslah menerapkan (Moeljarto M, 1987): 1) Go to the people -pergi mendatangi masyarakat yang hendak diberdayakan; 2) Live among the people -hidup dan tinggallah dengan mereka supaya kita mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhannya; 3). Learn from the people -belajarlah dari mereka supaya dapat dipahami apa yang ada di benak mereka dan potensi apa yang mereka miliki; 4). Plan with the people -ajak dan ikutkan masyarakat dalam proses perencanaan 5). Work with the people - ajak dan libatkan mereka dalam proses pelaksanaan rencana; 6). Start with what the people know -mulailah dari apa yang masyarakat telah tahu dan pahami; 7). Build on what the people have -bangunlah sesuatu dari modal apa yang masyarakat punyai; 8). Teach by showing, learn by doing -ajarilah masyarakat dengan contoh konkret/nyata; 9). Not a showcase, but a pattern -jangan dipameri mereka dengan sesuatu yang menyilaukan, tetapi berikanlah kepada mereka suatu pola; 10) Not odds and ends, but a system -jangan tunujukkan kepada mereka sesuatu yang aneh dan akhir dari segalanya, tetapi berikanlah kepada mereka suatu sistem yang baik dan benar; 11) Not piecemeal, but integrated approach jangan menggunakan pendekatan yang sepotong-sepotong, tetapi pendekatan menyeluruh dan terpadu; 12) Not to conform, but to transform - bukan penyesuaian cara/model, tetapi transformasi model; 13) Not relief, but release -jangan berikan penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Konsep perencanaan partisipatif ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali dan menyelesaikan permasalahannya. Karena dengan model partisipatif ini kemampuan: a) antisipasi dan mempengaruhi perubahan, b) membuat kebijakan/keputusan, c) memanfaatkan sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pandangan David Korten dengan teori kesesuaiannya yang mengatakan: kekuatan program akan dicapai dengan adanya hubungan yang sinergis antara program yang dirumuskan dengan organisasi pelaksana serta target group (1980). 41 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Program Task requirements Program Output Distinctive Competence Beneficiary Target Group Expression DecitionMaking Making Decision Melalui pendekatan seperti inilah kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut serta dalam pembangunan. Demikian dengan masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola seperti ini harus dipahami bahwa yang memahami masalahnya itu adalah masyarakat (individu yang bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/ pemerintah). Selanjutnya dengan pengikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ini sekaligus akan mensinergikan kekuatan melalui penyusunan program-program yang berbasis pada potensi yang dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli di bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu pada model-model pembangunan tertentu (Sutyastie; hand out 2005). Dengan kepercayaan untuk memberi kesempatan pada masyarakat ini sekaligus juga akan melahirkan self sustaining dan capacity masyarakat yang semakin kokoh dan dapat bersaing dalam dinamika ekonomi masyarakat yang berkembang. Tantangan dalam Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah pada Era Otonomi Daerah Dalam pembangunan kewilayahan di Indonesia, di mana Indonesia memiliki latar belakang keanekaragaman kondisi, sangatlah dibutuhkan perencanaan yang lebih spesifik supaya pembangunan yang dilaksanakan dapat bertumpu pada spesifikasi sosial dan wilayahnya masing-masing. Dalam praktik dilakukan dengan 42 Organization sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia, yang meliputi pendekatan top-down dan bottom-up. Proses top-down dimulai dari pembahasan GBHN oleh MPR diikuti dengan penyusunan propenas oleh pemerintah pusat untuk memberikan arahan untuk tujuan, kebijakan, dan program pembangunan nasional. Rencana strategis pembangunan (renstra) disusun berdasarkan propenas diikuti dengan penyusunan rencana pembangunan nasional tahunan (repeta) yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan nasional. Renstra menekankan program untuk mencapai misi yang telah dinyatakan dalam propenas, sedangkan repeta memberikan program dan kegiatan yang lebih terperinci untuk menghubungkan rencana pembangunan pemerintah dengan anggaran pembangunan pusat untuk tahun yang akan datang. Berbagai dokumen kunci dalam perencanaan dan anggaran dirangkum dalam Tabel. Semua pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharuskan menyusun pola dasar pembangunan (poldas), sebagai rencana induk yang menggabungkan visi, misi, arah, dan strategi pembangunan daerah dalam jangka menengah dan panjang. Berdasarkan poldas, pemerintah daerah juga menyiapkan program pembangunan daerah (propeda) untuk lima tahun ke depan, rencana pembangunan strategis daerah (renstrada), dan rencana pembangunan tahunan daerah (repetada) yang sesuai dengan propenas, renstra, dan repeta di tingkat nasional. Diharapkan pemerintah daerah mempertimbangkan strategi pembangunan nasional dalam proses perencanaan daerahnya. Secara Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif prinsip, koordinasi antartingkatan pemerintah yang berbeda dilakukan melalui konsultasi dalam pertemuan koordinasi perencanaan pembangunan. Proses top-down perencanaan pembangunan tahunan dimulai ketika setiap tingkat pemerintahan memberikan acuan dan keputusan anggaran tahunan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Proses bottom-up, seperti yang dianjurkan dalam kerangka prosedural yang disebut peraturan K5D merupakan proses konsultasi di mana setiap tingkat pemerintahan menyusun draft proposal pembangunan tahunan berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan di bawahnya. Proses ini mulai dari musyawarah pembangunan dusun (musbangdus), musyawarah pembangunan desa (musbangdes), yang dipimpin oleh kepala desa dan dihadiri oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), LKMD, LSM, dan perwakilan kecamatan. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk menyusun proposal proyek yang akan diajukan ke tingkat yang lebih atas (kecamatan). Pertemuan ini diadakan antara bulan Mei dan Juli. Beberapa Dokumen Kunci dalam Perencanaan dan Anggaran Daerah Dokumen Kebijakan Bentuk Hukum GBHN TAP MPR Propenas (Program Pembangunan Nasional) Undang-Undang Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan) Renstra (Rencana Strategis) UU Tahun 2000 Poldas (Pola Dasar Pembangunan Daerah) Propeda (Program Pembangunan Daerah) Renstra Daerah Peraturan (Perda) Repetada (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) APBD Fungsi Setiap lima tahun sekali, MPR menyiapkan garis besar kebijakan secara langsung kepada presiden sekaligus pemilihan presiden Propenas mencakup kebijakan lintas sektor dan prioritas di mana pemerintah wajib memenuhi amanat GBHN tersebut. Ini merupakan masukan bagi menteri-menteri dan daerah untuk membangun dan mengintegrasikan dokumen kebijakan dan program. Rencana pembangunan tahunan menjelaskan prioritas anggaran pembangunan yang merupakan bagian dari anggaran tahunan. Keputusan Menteri Rencana strategis pusat dan agen daerah, berdasarkan INPRES 7/1999 terhadap manajemen kinerja sektor publik. Daerah Secara luas menjelaskan kebijakan pembangunan untuk daerah. Peraturan (Perda) Daerah Kebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan kapasitas daerah yang memenuhi undang-undang nasional, termasuk Propenas Keputusan Daerah dan Dinas Kepala Perencanaan strategis dari Kepala Daerah dan Kepala agen, menjelaskan visi, misi dan program. PP 108 merekomendasikan instrumen ini kepada Kepala Daerah. Ini merupakan dasar pidato akuntabilitas Kepala Daerah. Daerah Tiap daerah mengembangkan rencana pembangunan tahunan berdasarkan Renstra dan bahan kajian terkait. Peraturan (Perda) Peraturan Daerah Kinerja Anggaran (Perda) Pemerintah 105/2000 Sumber: Berbagai sumber; World Bank (2003) Berdasarkan Peraturan 43 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Proposal dari tingkat desa ditinjau dalam pertemuan tingkat kecamatan (UDKP = Unit Daerah Kerja Pembangunan), yang umumnya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli. Dalam pertemuan ini akan disaring proyek-proyek yang tidak efektif, tumpang tindih dan bukan prioritas, dan menambah proyek dari tingkat kecamatan. Selanjutnya, proposal tersebut kembali dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang kabupaten/kota) dengan tujuan untuk menyeleksi proposal yang diajukan oleh kecamatan. Pertemuan ini dipimpin oleh bupati untuk kabupaten dan walikota untuk kota dan dihadiri oleh semua pejabat yang terkait dan juga perwakilan dari provinsi. Proposal langsung dari biro teknis pemerintah kabupaten/kota ditambahkan dalam tahap ini untuk diajukan ke tingkat provinsi. Proses yang sama diulangi pada tingkat provinsi (rakorbang provinsi), yang dilaksanakan antara bulan Juli dan September. Peserta pertemuan ini meliputi perwakilan dari pemerintah pusat, pejabat provinsi dan kabupaten/kota yang terkait. Pada tahap ini proposal langsung dari biro teknis provinsi dapat ditambahkan. Akhirnya seluruh proposal dari provinsi dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan nasional (rakorbangnas) di Bappenas yang dihadiri oleh gubernur, bupati/walikota, kepala Bappeda, dan perwakilan dari Departemen Dalam Negeri dan menterimenteri lain yang terkait. Pertemuan ini dilaksanakan pada bulan Oktober atau November di Jakarta. Berdasarkan pembahasan dalam rakorbangnas, pemerintah pusat memutuskan proposal proyek yang akan dibiayai dengan APBN untuk tahun berikutnya. - Di Provinsi: Bappeda Provinsi, Biro Pembangunan Daerah, Biro Keuangan dan Dinas Daerah Provinsi, DPRD Provinsi. - Daerah Kabupaten: Bappeda Kabupaten, Bagian Pembangunan, Bagian Keuangan dan Dinas Daerah Kabupaten, DPRD Kabupaten. Untuk menampung keinginan masyarakat dalam pembangunan ditempuh sistem perencanaan dari bawah ke atas. Inilah yang sebenarnya merupakan perencanaan partisipatif. Tahap yang paling bawah dalam rapat koordinasi pembangunan daerah yang akan diusulkan pada 44 tingkat yang lebih tinggi dimulai dengan (Kunarjo, 2002): 1. Musyawarah Pembangunan (musbang) Tingkat Desa/Kelurahan Musbang desa dipimpin oleh kepala desa atau lurah yang dibimbing oleh camat dan dibantu oleh kepala urusan pembangunan desa. Musyawarah desa ini menginventarisasi potensi desa, permasalahan-permasalahan desa, serta menyusun usulan program dan proyek yang dibiayai dari swadaya desa, bantuan pembangunan desa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN. 2. Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan Temu karya dipimpin oleh camat dan dibimbing oleh Bappeda kabupaten/kota dan dibantu oleh kepala kantor pembangunan desa kabupaten atau kota yang bersangkutan. Tujuannya membahas kembali rencana program yang telah dihasilkan musbang desa. 3. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten Rapat koordinasi ini membahas hasil temu karya pembangunan tingkat kecamatan yang dipimpin oleh ketua Bappeda kabupaten. Dalam rapat ini usulan-usulan program dan proyek dilengkapi dengan sumber-sumber dana yang berasal dari APBD kabupaten, APBD provinsi, APBN, program bantuan pembangunan, maupun bantuan luar negeri dan sumber dana dari perbankan. Usulan dari Bappeda kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur, ketua Bappenas, dan menteri dalam negeri. 4. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Provinsi Hasil rumusan dari rakorbang kabupaten/ kota dan usulan proyek-proyek pembangunan dibahas bersama-sama dengan Biro Pembangunan dan Biro Bina Keuangan, sekretariat wilayah atau provinsi, serta Direktorat Pembangunan Desa Provinsi. Ketua Bappeda provinsi mengkoordinasikan usulan rencana program dan proyek untuk dibahas dalam rakorbang provinsi yang dihadiri lembaga vertikal dan Bappeda kabupaten/kota. 5. Konsultasi Nasional Pembangunan Hasil rakorbang provinsi diusulkan ke pemerintah pusat melalui Forum Konsultasi Nasional. Forum ini dipimpin oleh Bappenas Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif dan dihadiri oleh wakil-wakil Bappeda provinsi serta wakil Depdagri dan departemen teknis tertentu. Hasil dari forum ini dibahas Bappenas sebagai masukan untuk penyusunan proyek-proyek yang dibiayai APBN. Daftar proyek yang telah dipadukan antara kebijakan sektoral dan keinginan daerah disusun dalam buku Satuan Tiga untuk disampaikan kepada DPR sebagai lampiran nota keuangan. Di atas kertas nampaknya akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal, karena sebagian besar proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat. Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal (proses bottom-up), sebagaimana dirangkum dalam gambar, namun perencanaan pembangunan daerah sebenarnya berada dalam kontrol pemerintah pusat. APBD Rakorbang Tingkat Nasional Top Rakorbang Tingkat Provinsi Rakorbang Tingkat Bottom Proposal Anggaran Kabupaten/Kota (RAPBD) Parlemen DPRD Anggaran Kab./ Kota (RAPBD) UDKP Tingkat Musbangdes Tingkat Desa 45 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Dalam implementasi perencanaan daerah, ternyata banyak masalah yang muncul. Permasalahan lain yang sering kali muncul di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Propenas dan propeda bukanlah rencana yang kontinu sebab hanya dipersiapkan lima tahun sekali. Seperti halnya dengan poldas, perencanaan tersebut tidak menjelaskan output dan hasil serta tidak berhubungan dengan anggaran, kendati definisinya secara umum sebagai program pembangunan. 2. Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down dan bottom-up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan propenas. 3. Perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. Hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut. 4. Bahwa perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan daripada memandang anggaran secara keseluruhan. 3. PENUTUP Sangat wajar apabila masyarakat mempertanyakan hasil pembangunan yang terjadi, terutama apabila hasil-hasil pembangunan 46 itu tidak menjangkau dan bahkan apabila menimbulkan malapetaka ataupun ancaman bagi mereka. Perencanaan partisipatif adalah satu cara terbaik untuk menjawab hal tersebut. Dalam perencanaan partisipatif masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan sejak dini. Namun dalam penerapannya perlu dilakukan secara cerdas, karena pertanyaan berikut seperti: untuk apa mereka berpartisipasi, bagaimana cara berpartisipasi kembali akan muncul. Dalam hal ini pemahaman kondisi masyarakat, potensi, lingkungan, tantangan, hambatan perlu dipahami. Demikian pendekatan persuasif dan pemberdayaan, kemandirian perlu dikembangkan dengan kemauan yang ikhlas, leadership yang kuat, administrasi keuangan yang dapat mengikuti proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dengan demikian apabila hal ini dapat diterapkan dalam pembangunan pengembangan kawasan, maka persoalan-persoalan yang terjadi dapat diminimalisir, sebab masyarakat telah memahami pembangunan yang dicanangkan demikian dengan permasalahan-permasalahannya. Di sisi lain dalam perencanaan pembangunan ini keanekaragaman kondisi wilayah dan spesifikasi sosial harus mendapat perhatian karena sinergisitas potensi wilayah (SDA) dan potensi sumber daya manusia akan teraktualisasi dengan lebih kuat (melembaga). Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif DAFTAR BACAAN Eka, Chandra, dkk, 2003, Membangun Forum Warga, AKATIGA. Islamy, M.I. 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah, Makalah. Nugroho, Iwan & Roehim Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES. Moeljarto, Tjokrowinoto, in. 1987, Politik Pembangunan, Tiara Wacana. Moeljarto, Tjokrowinoto, Pembangunan Dilemma dan Tantangan, Pustaka Pelajar, 2003. Mudrajad, Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, PT. Gelora Aksara 2004. Perform, PDPP, Edisi 2/4, 2003. Revrison, Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam 2003. Remi, S. Sutyastie, Hand Out 2005. Sihombing, Marlon, 1991, Implementasi Pembangunan Masyarakat Desa Melalui PIRBUN, Tessis UGM. 47 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL P. Anthonius Sitepu Abstract: This study is made according to the research result about International Political Realism Theory by Hans J. Morgenthau. The main purpose of this research is to analyze deeply the theory by identifying that theory and from the identification step, then it is made the assessment as the validity test of the realism theory either in factual or in conceptual aspects. This research used the descriptive method of which the data sources are from the articles and books written by Hans J. Morgenthau. It is concluded that Hans J. Morgenthau’s idea about the International Political Realism Theory is the explanation for the analysis to whom that will be the actor? In the international politic stage, how is the interaction among the actors . And it is a method to solve the problem, how are the international phenomena described, explained into the causality analysis systematically. Keywords: realism theory, national interest, power, balance of power, international politics 1. PENDAHULUAN Di antara para ilmuwan politik, khususnya hubungan internasional, Hans J. Morgenthau (17 Februari 1904 – 19 Juli 1980), merupakan tokoh ilmuwan yang sangat populer. Semasa hidupnya ia pernah menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Politik Luar Negeri Amerika pada Universitas Chicago, dan semua mahasiswa yang mempelajari hubungan internasional pasti mengenalnya. Terhadap studi hubungan internasional yang mulai berkembang di universitas-universitas di Amerika Serikat tahun 1920-an yakni setelah berakhirnya Perang Dunia I yang telah memunculkan Amerika Serikat sebagai kekuatan besar dengan tanggung jawab yang bersifat global, berkenaan dengan itulah kiranya sumbangan pikiran Hans J. Morgenthau cukup besar. Beliau bahkan telah tercatat sebagai salah satu ilmuwan populer yang berjuang untuk menjadikan studi hubungan internasional sebagai suatu disiplin ilmu sendiri, sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, sebelum meletus Perang Dunia I fakultas-fakultas sejarah, hukum, dan filsafat telah berbagi tanggung jawab dalam pengajaran hubungan internasional. Para ahli sejarah mencatat substansi diplomasi dan strategi, para ahli hukum menginterpretasikan perjanjianperjanjian dan praktik-praktik hukum nasional, dan pada saat yang sama pula para ahli filsafat berspekulasi mengenai sifat manusia, perang, perdamaian, dan keadilan. Usaha-usaha untuk 48 mempelajari masalah-masalah dunia (world affair) secara lebih khusus baru timbul setelah Perang Dunia II. Pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh kedua perang tersebut telah mendorong para ilmuwan untuk mendalami lebih jauh masalah-masalah perang dan damai dengan satu kehendak untuk menciptakan tata dunia yang lebih tertib dan stabil. Sebagai seorang ilmuwan politik, khususnya politik internasional, Hans J. Morgenthau telah menempatkan dirinya sebagai seorang pengamat mashab (school of thought) realis, sejajar dengan ilmuwan realis lainnya seperti Reinhold Nierbuhr, Nicholas J. Spykman, E.H. Carr, Frederick Schuman, Arnold Wolfets, Raymond Aron, Stranlay H. Hoffmann, Kenneth W.Thompson, dan sebagainya. Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang telah menempatkan dirinya sebagai seorang penganut aliran pemikiran realis berkenaan dengan konsepnya tentang “power” sebagai yang dominan dalam politik internasional. Dalam hal ini Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa “…selama periode sejarah apapun hubungan yang terjadi di antara unit-unit merdeka dan berdaulat, seperti dalam masa-masa negara kota Yunani dan dalam sistem negara Eropa Modern, perimbangan power adalah bersifat dominan”. (Mc.Chelland, 1966: 17). Lebih lanjut dikatakan “…keadaan ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan refleksi hukum politik (an iron law of politics)” (Mc Chelland, 1966: 17). Sistem gagasannya tentang power ini telah dipaparkan ke dalam berbagai tulisannya baik yang berupa buku esai maupun artikelnya. P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik … Berkat tulisan-tulisannya tentang teori realisme politik inilah maka Hans J. Morgenthau tidak hanya berhasil tampil sebagai seorang tokoh realis akan tetapi juga tampil agak menonjol di antara tokoh-tokoh realis lainnya. Kemenonjolannya antara lain dapat dilihat dari besarnya pengaruh hasil karyanya terutama dalam pengajaran-pengajaran studi bukunya yang berjudul Politics Among Nations: The Strunggle For Power And Peace, 1945, 1960, 1967, dan 1973 dipandang sebagai refleksi dari kebangkitan kembali realisme politik (Maghroori, 1984: 11). Di samping banyak tulisan-tulisan yang dimuat di dalam berbagai majalah dan jurnaljurnal ilmiah Hans J. Morgenthau juga menyumbangkan buku karyanya yang lain seperti Scientific Man vs Power Politics (1964), In Difference of The National Interest (1951), Dilemnas of Politics (1958), The Purpose of American Politics (1960), Politics In The Twentieth Century (1962), Vietnam And The United States (1965), Truth And Power (1970), dan Science: Master Of Servant. Bukti-bukti lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber legalitas atas kemasyhuran Hans J. Morgenthau dalam pengembangan studi hubungan internasional diambil dari berbagai versi pernyataan para ilmuwan lainnya. Seperti dikatakan oleh Stanley H. Hoffmann dalam bukunya International Relations: The Long Road to Theory (1959). Katanya: “…the theory which has occupied the center of the soene in this country during the last ten years is Professor Morgenthau’s realist theory of power politics. It tries to give us a realiable map of the landscape of world affairs, to catch the easece of world politics” (World Politics, 1967: 39). Kenneth W. Thompson dalam artikelnya yang berjudul American Approach to International Politics (1959) menyatakan bahwa “…much of the literature of international politics is a dialogue, explicits or not, between Morgenthau and his critics…” (Mc Clelland, 1999: 17). Dengan bertitik tolak dari kenyataan dan pernyataan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka semakin jelaslah peranan Hans J. Morgenthau dalam kerangka bangunan perkembangan studi politik dan hubungan internasional terutama perkembangan teori realisme (power). Namun, yang menjadi pertanyaan dalam kaitan ini adalah: apa sebenarnya yang menjadi inti (substansi) teori realisme politik Hans J. Morgenthau dalam kerangka bangunan studi politik dan hubungan internasional? Mengapa dan bagaimana teori tersebut mampu menempatkan dirinya sebagai teori yang cukup andal dalam studi politik dan hubungan internasional? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dijawab penelitian ini. Dari latar belakang di atas dapatlah kiranya diturunkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa dan bagaimana penjelasan lengkap dan akurat tentang inti teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau? 2. Bagaimana format identifikasi teori realisme politik Hans J. Morgenthau tentang politik internasional? 3. Bagaimana kritik-kritik terhadap teori realisme politik Hans J. Morgenthau tentang studi politik dan hubungan internasional? K. J. Holsti dalam bukunya yang berjudul, The Concept of Power and The Study of International Relations (1964) yang mengatakan bahwa: “Hans J. Morgenthau is the foremed advocate of th concept of power as the theoritical core of international politics” (Sander & Durbin, 1971: 89). Demikian juga Charles Mc Clelland dalam bukunya yang berjudul “Power an Influence (1966)”yang mengatakan bahwa: “…there is broad agreement that the most comprehensive and sucsessful characterization of international relations in the frame of reference of political 2. ARAH DAN LINGKUP PEMAHAMAN TEORI REALISME POLITIK INTERNASIONAL HANS J. MORGENTHAU Teori, seperti yang dikemukakan pakar ilmu politik dan hubungan internasional senantiasa merujuk kepada “semua sistem generalisasi atas dasar penemuan empiris yang dapat diuji secara empirik”, sejumlah pernyataanpernyataan disebut sebagai hukum, yang satu dengan yang lainnya akan diekspresikan dalam variabel-variabel dari berbagai sebutan dari sistem itu (H. Ronald Chicote, 1981:15). Namun, dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa power is to be found in the writing of Hans J. Morgenthau” (Mc Clelland, 1999: 17). 49 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 teori seperti suatu cara (jalan) untuk mengorganisasikan pengetahuan untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan, dijadikan sebagai pedoman penelitian (James N. Rosenau/Robert L. Pfaltagraff, 1977: 25). Sesuai dengan luas cakupannya, teori senantiasa akan menunjukkan kepada proposisiproposisi yang saling ada keterkaitan dan dengan secara logis dirancang untuk mensintesiskan data yang banyak jumlahnya. Ia juga merupakan usaha yang sistematik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan kita mengorganisasikan serta menafsirkannya. Teori membantu kita untuk menata data yang telah dikumpulkan (Stanley H. Hoffmann, 1960: 7-8) Teori merupakan suatu kerangka konseptual yang akan diketahui sebagai serangkaian pertanyaan-pertanyaan, demi membimbing kita ke arah penelitian. Dan ia terdiri atas suatu sistem hipotesa kerja di mana ada kait-mengkait antara proposisi-proposisi untuk menjelaskan prilaku (Stanley H. Hoffmann, 1980: 8). Sehubungan dengan penelitian teori dan fungsinya, sebenarnya teori merupakan suat produk kegiatan ilmiah. Sebagai suatu kegiatan ilmiah maka teori dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda satu sama lain namun tetap inereo. Pertama, teori sebagai: “…a body of knowledge” (bangunan atau tubuh pengetahuan) yang berisi hukum-hukum atau fakta-fakta. Sedangkan yang kedua, teori sebagai suatu “methode of obtaining the body of knowledge” atau metode untuk memperoleh tubuh/bangunan pengetahuan tersebut (Alan C. Isaak, 1975: 26). Pengertian kita mengenai dan fungsinya, dihadapkan dengan pemahaman kita tentang teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau dilakukan dengan memproyeksikannya dengan dimensi bahwa teori sebagai tubuh pengetahuan maupun teori sebagai metode. Maka dalam tataran yang pertama dilaksanakan dengan melihat penjelasan-penjelasan apa yang telah diberikan oleh Hans J. Morgenthau tentang politik internasional; konsep-konsep yang digunakan untuk membuat penjelasan-penjelasan tersebut, serta apakah penjelasan-penjelasan dan konsep-konsep yang digunakan itu telah didasarkan pada metode yang dipilih. Sementara dalam tataran yang kedua, pemahaman terhadap teori tersebut dilakukan dengan memperhatikan metode apa yang dipilih 50 dan ditentukan Hans J. Morgenthau untuk sampai kepada dasar konseptual baik metode yang dipilih dan dikembangkan untuk memahami fenomena-fenomena politik pada umumnya dan politik internasional khususnya. Maka dalam konteks ini kritik yang ditujukan kepada teori realisme politik yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau akan dititikberatkan pada persoalan kecukupan ilmiah (the scientific adequancy) atas penjelasan teorinya tentang politik internasional. Dalam tahap ini, sebagaimana telah disinggung Allan Isaak, menyebutnya sebagai: the scientific knowledge. Selanjutnya untuk kecukupan ilmiah dari pemilihan metode yang dipergunakan dalam karya Hans J. Morgenthau sampai kepada penjelasan disebut sebagai: the scientific method. Oleh karena itu, teori yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah adalah yang hanya terdiri dari metode ilmu pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dalam rangka melihat teori sebagai suatu penjelasan, maka kita ditekankan pada persoalan: apakah teori yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau telah didasarkan kepada dua batu uji yakni batu uji logis dan batu uji empirikal. Sehubungan dengan ini, menurut Allan Isaak bahwa: “…a science of politics begins with the assumption that not political phenomenon just happens” dan “…to be scientific is to objective… that objective is in many ways a synonim of empirical”. Untuk melihat masalah “kecukupan ilmiah” dari penjelasan Hans J. Morgenthau tentang politik dan hubungan internasional maka yang diproyeksikan adalah berkenaan dengan: (1) penjelasan tersebut telah didasarkan kepada “law of universal caution” atau juga sebagai konsep-konsep yang digunakan dan telah didasarkan kepada hukum sebab akibat yang tepat dan logis, (2) penjelasan yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau apakah bersifat objektif atau empirik, ataupun juga konsep-konsep yang dikemukakannya itu telah dirumuskan atas dasar pengamatan empirikal? 3. HANS J. MORGENTHAU DAN TEORI REALISME POLITIK INTERNASIONAL Di dalam buku Hans J. Morgenthau, politik internasional secara gamblang mendapat porsi sangat dominan dan masalah ini dapat dijumpai di bukunya yang berjudul: Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Di sini Hans J. Morgenthau banyak berbicara mengenai teori realisme politik P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik … internasional dalam kerangka analisis politik internasional mencakup sifat dan kecenderungannya. Lebih jauh Hans J. Morgenthau terus mengembangkannya, selain di dalam berbagai tulisan artikelnya, dimaksudkan sebagai cara untuk melengkapi sistem gagasannya. Sedangkan pandangannya yang lebih bersifat filofosis terutama jka dilihat dari segi ilmu pengetahuan dan ini menjadi dasar kuat penentuan dalam memilih metode dalam melakukan pengamatan atas fenomena politik internasional, menjelaskan hubungan antara fenomena-fenomena itu, pemikiran ini dijumpai dalam bukunya Scientific of Man vs Power Politics. Dalam mengkaji lebih jauh tentang teori realisme politik internasional, Hans J. Morgenthau tampak akan berangkat dari konsep yang mendasari teorisasi hubungan internasional. Teori itu merupakan: “…a systematic study of observable phenomena that tries to discover the principles variables, to explain behaviour and to reveal the characteristic type of relations among national units” (Theodore A, Coloumbis/J.H wolfe, 1978: 25). Hubungan internasional juga merupakan: “…Study of interaction between certain kind of social entity, including the study of relevant circumstance surrounding the interaction. Facts of international relations can beselecter and organized according to the two references of actors and interactions” (Sanders & Durbin, 1971: 40-41). Dalam rangka eksplanasi teori rasisme politik internasional, Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa ini merupakan suatu teori yang memiliki keterkaitan dengan sifat manusia (human nature) seperti yang sesungguhnya ada dan dengan suatu proses sejarah. Teori ini dibangun berdasarkan keyakinan yang berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh aliran pemikiran (mashab) idealis. Oleh karena itu, kata Hans J. Morgenthau, sejarah pemikiran politik modern merupakan cerita tentang persaingan antara aliran pemikiran tadi yang secara mendasar berbeda dengan konsep mengenai manusia, masyarakat, dan politik (Hans J. Morgenthau, 1973: 3-4). Bilamana teori politik idealis dibangun dengan asas keyakinan bahwa (1) universal dapat diwujudkan di sini dan sekarang; (2) manusia pada hakikatnya memiliki kebaikan esensial dan didik; (3) kurangnya pengetahuan dan pengertian, adanya lembaga-lembaga yang sedang usang, kejahatan individu ataupun kelompok individu tertentu yang terisolasi merupakan sebab kegagalan tertib sosial; (4) pendidikan, reformasi, dan penggunaan kekuatan aporadis dapat menimbulkan kerusakan atau kegagalan (Hans J. Morgenthau, 1979: 3). Namun pada pandangan teori realisme politik sebagaimana yang dikembangkan justru kebalikan dari yang dianut oleh aliran pemikiran idealis. Adalah pemikiran dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa: “…the world, inperfect as it from the rational point of view, is result of forces inherent in human fordes, not againts the. This being … of opposing interests and of conflict among them, moral principles can never be fully realized, but must as best be apporximated through the ever temporarry balancing of interest and the ever precrious settlement of universal principles for abstract principles, and aims at realization of the lesser evil rather than of the absolute good (Hans J. Morgenthau, 1974: 4) Dalam kaitannya dengan kejelasan metodologis terhadap pandangan teoretisnya, Hans J. Morgenthau berusaha menjelaskan dua hal pokok, yakni: (1) bagaimana menetapkan fakta-fakta itu dan selanjutnya memberi arti, dan (2) apa konsep-konsep dasar keunikan-keunikan atas fakta-fakta yang ditemui sesuai dengan bidang yang diselidiki serta menjelaskan hubungan antara fakta-fakta itu ke dalam pengertian-pengertian yang bulat, sistematis, dan dapat dipahami. Dalam kehidupan manusia memang terdapat keajekan-keajekan (regularitas) terutama dalam kehidupan politik, bisa dipahami sebagai suatu fakta. Keajekan-keajekan tersebut dipengaruhi oleh hukum-hukum objektivitas yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri dan dapat dilakukan verifikasi, diuji kebenarannya dengan menggunakan akal dan pengalaman agar dengan demikian kita dapat memahami faktafakta yang kemudian memberikan arti yang tepat kepada fakta-fakta itu. Jika hal ini dikaitkan dengan politik internasional, maka fakta-fakta yang dimaksudkan adalah berupa kebijakan-kebijakan 51 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 luar negeri. Hal ini dapat dipahami secara pasti yang ditimbulkan oleh adanya: tindakan-tindakan politik tersebut dapat memberikan paling tidak harus mendekatinya dari segi realitas politik yakni dengan membuat peta (ikhtisar) yang dapat menunjukkan makna politik luar negeri. Politik luar negeri yang bersumber dari suatu fakta yang ditangkap sebagai fenomena politik internasional, tentunya harus diuji dan pemberitaan makna. Oleh karena itu dijelaskan suatu langkah penting yakni dengan menetapkan/ membangun konsep dasar. Konsep dasar dijadikan sebagai alat bantu untuk mengeksplorasi atau mendeskripsikan ke dalam suatu format (lampiran pemandangan) bagi suatu politik internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan oleh Hans J. Morgenthau adalah apa yang disebut dengan terminologi: “…the concept of interest defined in terms of power” (Hans J. Morgenthau, 1973: 5). Konsep kepentingan (interest) yang dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha memahami politik internasional dengan fakta-fakta yang merupakan arah memilah-milah antara faktafakta politik dan bukan fakta politik, arah mana akan memberikan suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup ini akan membedakan lingkup kegiatan lainnya. Konseptualisasi kepentingan (interest) dalam formulasi “power” dimanifestasikan ke dalam tataran politik internasional, mendasari pemikiran teori realisme politik akan memberikan kerangka bangunan teoretis terhadap politik luar negeri. Karena pada dasarnya realisme politik ditandai oleh pemikiran kepada sesuatu “…pluralistic conception of human nature Real man is a composite of economic man., political man, moral man, religious man”. (Hans J. Morgenthau, 1973: 14). Konsep dasar yang diilhami dari kenyataan makna dasar manusia, yang pada gilirannya diproyeksikan secara makro dalam realisme politik internasional. Realisme politik internasional pada hakekatnya merupakan: “…struggle for power as like all politics, is a struggle for power. Whatever the ultimate aims of politics power is always the immediate air man’s control over the minds and actions of other man. Political 52 power is the mutual relations of control among the holders of public authority and between the latter and the people at large” (Hans J. Morgenthau, 1973: 28) Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dalam tataran politik internasional senantiasa terwujud dalam hubungan internasional. Mekanisme dan dinamika hubungan internasional ini dimanifestasikan oleh aktor. Aktor dalam kerangka hubungan dan politik internasional adalah negara. Kendati demikian, tidak semuanya tindakan negara yang ditujukan kepada negara lain adalah berdimensi politik dan juga tidak semua negara pada setiap waktu memiliki keterlibatan yang sama luasnya dalam percaturan politik internasional. Meskipun demikian, aspirasi setiap negara untuk memperoleh power, merupakan unsur yang paling mencolok dalam politik internasional. Dan bahkan jika dalam kondisi terpaksa, maka politik internasional merupakan politik kekuatan (internasional politics is power politics). Argumentasi ini akan dapat tercermin dalam politik luar negeri masing-masing negara. Namun power dalam politik luar negeri bukan power yang berasal dari individu-individu anggota negara bersangkutan melainkan power yang berasal dari orang-orang yang mengadministrasikan power dari negara bersangkutan. Atau dalam pengertian yang lebih khusus, orang-orang yang mengatasnamakan negara di atas panggung politik internasional (Hans J. Morgenthau, 1973: 103-104). Orangorang yang mengorganisasikan dirinya ke dalam apa yang disebut dengan negara-bangsa, mengejar politik luar negeri sebagai organisasi yang bersifat legal. Negara bertindak sebagai wakil dari bangsa itu. Mereka berbicara atas nama negara, mendefinisikan tujuan, memelihara, meningkatkan, serta mendemonstrasikan powernya. Mereka ini adalah individu-individu yang apabila muncul sebagai wakil dari bangsanya di panggung politik internasional memperluas power dan mengejar kebijaksanaan bangsanya. Inilah arti dari konsep power atau politik luar negeri suatu bangsa. Sebagai suatu interaksi yang terjadi di antara negara-negara dalam kerangka berjuang untuk memelihara, meningkatkan, atau bahkan untuk mendemonstrasikan power, maka dalam kondisi yang demikian akan terjadi situasi interaktif yang mana akan terbentuk kondisi P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik … policy interaction, di samping interaction system. Manakala terjadi “balance of power”, kondisi yang demikian akan terjadi bilamana aspirasi untuk memperoleh power di pihak beberapa negara yang masing-masing berusaha untuk memelihara bahkan meruntuhkan status quo, maka dengan terpaksa membawa ke arah kondisi figuratif (balance of power) dan ke arah kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memelihara pertimbangan kekuatan. Pertimbangan kekuatan, sebagai suatu situasi interaktif yang terkadang bisa bersifat ‘equilibrium’ (suatu keadaan di mana kekuatan benar-benar seimbang). Dan bahkan terkadang bisa terbentuk dalam kondisi yang bersifat ‘disequilibrium’. Jika hal ini terjadi maka konsep perimbangan kekuatan sama dengan ‘distribution power’. Inilah yang dikatakan oleh Imts Claude (1962: 16), “…as temperature refers the thermal situations, wether it be hot or cold, so balance or power refens to the power situation, wether it be balanced or unbalanced”. Pandangan filosofis Hans J. Morgenthau tentang ilmu politik kerangka bangunan metode ilmiah yang ia kembangkan mengacu kepada bagaimana kita dapat memahami fenomenafenomena politik khususnya mengenai politik internasional, tercermin dalam perdebatan yang berkepanjangan antara pendekatan tradisional dengan pendekatan ilmiah. Hal ini merupakan debat realis dan kaum idealis sejak tahun 1950an. Persoalan utamanya dalam sifat dari sistem internasional serta pendekatan yang paling baik terhadap tingkah laku internasional mengalami kemunduran. Ada semacam tuntutan agar muncul suatu generasi baru (ilmuwan baru) yang menghendaki mengembangkan studi tentang fenomena-fenomena politik lebih sistematis dan ilmiah. Gejala ini mulai dilihat sebagai sikap menggugat metode yang telah dikembangkan oleh Hans J. Morgenthau. Gugatan semacam ini merupakan babak baru dalam kerangka perdebatan antara kelompok tradisionalist melawan kelompok behavioralis, dalam melihat dan membangun suatu paradigma dan mempelajari hubungan internasional. Kelompok pendekatan ilmiah telah mengecam pendekatan tradisional (klasik) sebagaimana yang dikembangkan oleh E. H. Carr atau juga oleh Hans J. Morgenthau. Kelompok ini dalam pandangannya yang kemudian mengintrodusir suatu pendekatan baru yang dianggapnya lebih mampu dan memiliki kecukupan ilmiah (scientific adequacy) yang mereka sebut pendekatan “behavioralism” atau sebut saja sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan ini oleh para pendukungnya dirumuskan sebagai “…the sistematic search for political and the terchical analysis and verification there (Maghroori, 1983: 16). Hedley Bull menyebutnya sebagai “…a theory of internasional relations whose propositions are based either upon ligocal pr mathematical proof, or upon strixt, emprial procedues of verification” (Sanders & Durbin, 1971: 16). Pendekatan yang bersifat ilmiah menekankan pada 2 prinsip pokok yakni (1) formulasi konsep-konsep hipotesa-hipotesa, dan penjelasan-penjelasannya tercermin di dalam ukurannya yang sistematik; dan (2) metode penelitiannya bersifat empirik (Maghoori, 1983: 16). Kerangka empiriknya antara lain meliputi game theory, penggunaan model probabilitas sistematik, analisa transnasional, penggunaan indeks-indeks interaksi antarnegara serta linkage theory yang difokuskan pada hubungan yang dapat diamati di antara variabel-variabel antarnegara dan tingkah laku negara. Dan sebagai kontribusi yang dianggap paling penting dari pemikiran ini adalah implementasinya dalam analisis statistikan fenomena-fenomena internasional (Maghoori, 1983: 16). Sikap umum yang diambil oleh aliran ilmiah sangat dipengaruhi oleh keinginannya untuk mengimplementasikan metode ilmu pengetahuan alam untuk memahami fenomenafenomena sosial termasuk di dalamnya ilmu politik. Sikap ini dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme abad 17 adan 18 yang gaungnya masih berpengaruh pada abad 19 dan awal 20-an. Suatu filsafat yang sudah seharusnya mendapat revisi itulah maka dalam memberikan tanggapannya Hans J. Morgenthau terutama pandangan filosofinya mengenai ilmu politik yang mengatakan: “…that may theoretical approach to international politics differs from those which are at present fashionable in academis circles behaviorism, system anaysis, game theory, simulation methodology in general –I am being appears to be at present the prevaling trend in the fields. I do not intend to do this; for I have learned both from historic and personal experience that the academic polemics generally do not 53 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 advance the cause of truth but leave things very much as they found the what is deceiver for the succes of failure of a theory is the contribution it makes to our knowledge and understanding very much as they found the. What is deceiver for the succes understanding of phenomena which are worth knoring and understanding. It is by its result that a theory just be judged, not by its epistonological pretences and methodological invation …that the theoretical understanding of international politics is possible only worth relatovely narrow limits and that the present attempts at a through rationalization of international theory are likely to be as futile as those which have preceeded them since secenteenth century (Hans J. Morgenthau, 1966). Filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad 17 dan 18 tidak lagi dapat memberikan makna terhadap pengalaman pertengahan abad ke 20. Karena rasionalisme pada zaman itu masih mendominasi. Abad 19 dan 20 memiliki dua asumsi yaitu (1) konsepsi dunia sosial dan fisikal sebagai yang dapat dimengerti dengan melalui proses rasional yang sama, betapapun proses rasional ini didefinisikan; (2) keyakinan bagi pemahaman dengan melalui proses rasional ini semua dibutuhkan kontrol rasional dunia sosial dan fisikal (Hans J. Morgenthau, 1946: 3). Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan merupakan manifestasi penting dari filsafat rasionalisme. Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan ini merupakan ciri intelektual yang menempatkan kita terpisah dari periode sejarah yang mendahuluinya. Dalam pandangan rasional abad 17 persoalan-persoalan masyarakat dan alam secara esensial sama dan pemecahan persoalan tergantung kepada perluasan kualitatif metode ilmu alam dan lingkungan sosial. Demikian juga halnya bidang politik. Maka sebagai suatu filsafat politik, rasionalisme telah salah menerangkan sifat politik dan tindakan politik yang secara bersamaan. Periode di antara dua Perang Dunia juga melihat kemenangan dalam teori dan praktik, dan memperlihatkan bagaimana kebangkrutan intelektual moral dan politik. Sebab dalam hal ini manusia tidak dapat hidup tanpa filsafat yang akan memberikan makna terhadap eksistensinya dengan jalan 54 menjelaskan dalam ukuran kausalitas, merasionalisasikannya dalam ukuran filsafat perlu direvisi kembali, merevisi asumsi-asumsi serta merasionalisasikannya dengan tradisi atas pengalaman dan kebutuhan yang mendesak alam kehidupan modern (Hans J. Morgenthau, 1946: 9). Dikarenakan filsafat rasionalisme ditinjau kembali bagi pandangan Hans J. Morgenthau paling tidak harus dimulai dengan membangun asumsi-asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut dihadapkan kepada kenyataan bahwa: “power politics-rooted in the lust power in common to all men is for this reason inseparable political sosial life itself. In order to eliminate from the political sphere not power politics –which is beyond the ability of any political philosophy or system but the destructiveness of power, rational faculties are needed which are different form and superior to reason of the scientific age” (Hans J. Morgenthau, 1946: 9-10). Sejajar dengan penolakannya terhadap filsafat radionaisme sekaligus ia menolak pendekatan ilmiah (behavioralisme). Hal ini dikatakannya dengan didasarkan pada argumentasi bahwa: “politics must be understanstood through reason, yet it is not inreason that it find its model. The principles of scientific reason are always simple, consistent, and abstract, the social world is always compliated, incongrous and concrete. Politics in art and not a rationality of the engineer but the wisdom and the moral pure and simple, yields only to that intricate combination of moralan material pressure which the art of the statement dreated and aintains (Hans J. Morgenthau, 1946: 10). Hans J. Morgenthau mengembangkan suatu pendekatan terhadap teorisasi dalam rangka suatu permasalahan yang bersumber dari filsafat sejarah sehingga untuk bisa mencapai suatu derajat teoretis berisikan pada sifatnya yang ‘scientific adequacy’, tinggi, akan tergantung pada kekuatan penilaian dan intuisi dan bukan kepada prosedur-prosedur verifikasi yang senantiasa didasarkan pada batu uji matematika. P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik … Baginya yang penting adalah bahwa yang menentukan keberhasilan ataupun kegagalan suatu teori, adalah sejauh mana kontribusi yang diberikannya kepada ilmu pengetahuan serta pemahaman terhadap fenomena-fenomena yang perlu diketahui dan dipahami. Sebuah teori bisa menata dan memberi makna terhadap sekumpulan fenomena, tanpa teori akan tetap tercerai-berai dan tidak dapat dimengerti. Oleh karena itu teori tersebut harus dihadapkan pada dua batu-yakni: batu uji empirikal dan batu uji logikal. Batu uji yang berisi empiris, menunjuk kepada fakta-fakta seperti apa yang sesungguhnya menjamin dirinya sendiri untuk interpretasi yang telah diambil tentang fakta-fakta itu? Sedangkan batu uji logika menunjuk pada apakah kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh teori tersebut mengikuti kebutuhan logik dari premis-premisnya? Atau dengan singkat dikatakan, apakah teori konsisten dengan faktafakta? Uji menangkap fakta-fakta, serta memahaminya terhadap fakta tersebut, perlunya menetapkan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut disusun atas dasar pengalaman pribadi dan pengalaman sejarah. Dari konsep-konsep yang telah ditetapkan itu barulah kemudian dapat memahami fenomena yang dijumpai, mencocokkan antara konsep dengan fakta-fakta, dan selanjutnya membuat generalisasi tentang fakta tersebut sehingga kemudian diperoleh sebuah teori. Cara pengamatan deduktif: cara pengamatan yang berbeda dengan cara pengamatan induktif yang lebih menekankan pada observasi baru kemudian memprosesnya serta membuat generalisasi-generalisasi. Oleh karena itu bagi penganut paham pendekatan seperti ini (induktivitas) politik dirumuskan dalam ukuran rangkaian tindakan tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan bukan dalam ukuran-ukuran konsep-konsep dan impresi-impresi (Columbis and Wolfe, 1978: 22). Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep balance of power: 1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan pada negara-negara sebagai aktor utama dalam panggung politik internasional. Pengamatan terhadap tingkah laku negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya. 2. Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara di panggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya. 3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan, dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power). 4. KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh satu benang yang menghubungkan gagsan teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau dengan eksplanasi mengenai siapa aktor di panggung politik internasional dan bagaimanakah interaksi antara aktor-aktor tersebut. Di samping itu, suatu metode yang menjelaskan bagaimana fenomenafenomena politik internasional harus dipahami dan selanjutnya dijelaskan ke dalam suatu hubungan kausalitas (sebab akibat) yang sistematis agar dapat dengan mudah dipahami. Sebagai suatu eksplanasi mengenai siapa “aktor” dan bagaimana “interaksi” di antara para aktor di panggung politik internasional maka teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau terdiri dari muatan yang mengandung elemen beberapa tesis bahwa negara, atau national state dijadikan sebagai aktor utama di dalam formulasi kesatuan politik yang merdeka, berdaulat. Selanjutnya di dalam mekanisme interaksinya masing-masing negara (aktor) akan berupaya untuk mengejar kepentingan nasionalnya. Kepentingan inilah yang akhirnya diformulasikan ke dalam konsep “power” kepentingan (interest) didefinisikan ke alam terminologi power. Sebagai suatu metode, berusaha menunjukkan tentang bagaimana memberikan tatanan dan makna kepada sejumlah fenomena yang tanpa dua pokok pikiran yakni (1) menetapkan fakta-fakta, menguji faktanya, selanjutnya memberi arti terhadap fakta tersebut dan siap serta orientasi/persepsi menjadikan dasar filosofis bagi penyusunan teori realisme politik internasional. 55 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA Chilcote H. Ronald, 1981. Theories of Comparative Politics the Search for a Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado hal 15. Claude, Inis L. Jr 1962. Power and International Relations, Rasdon House, New York, Hal 16. Coulumbis, Theodore A and James H. Wolfes, 1978. Introduction To International Relations, Prentice Hall, Inc, New Jersey, hal 25. Doungherty, James B & Robert L. Pfalgraff, 1977, Contending Theories of International Relations, J. B. Lipopoco at, New York, hal 25. Haffann, Stanley H. 1960. Contemporary Theory in International Relations, Prentice-hall, Inc, New Jersey, 7-8. Isaak, Alan C. 1975., Scope and Methods of Political Science, the Dorsey Pressm Illinois. Lijphart, Arend, 1967, World Politics, Allyn and Bacon, Boston, hal 39. Mc Clelland, Charles. A. 1966. Theory And Internasional System, The Macmillan Company, New York. Maghroori, Ray & Tamberg, Bennet; 1982. Globalism Vs Realism: International Third Debate, Westview Inc. Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Justice Alfred, A & Knopt, New York hal 3-4. Morgenthau, Hans J, 1946. Scientific Man Versus Power Politics, The University Of Chicago Press, Chicago, hal 3. Sanders, Bruce L & Alan Durbin C., 1971. Contemporary International Relations Inroductory Reasings. John Willey and Sons Inc, New York, hal 89. Wasby, Stephen L. 1970. Political Science: The Dicipline and Its Dimension an in Introduction, Charles Scribner & Sons Inc, New York, hal 89. 56 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 1, Nomor 1, Januari 2006 STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA-AMANDEMEN Rasudyn Ginting Abstract: The essence of constitution is as the highest legal order which contain the state administration, it is often hoped that the constitution has the stronger character than the other law products. Even the soul and spirit of the state administration is also managed in constitution so that the change (amendment) of constitution can cause the great change of the state aministration system. In the process of its amendment, usually there are two kinds of systems which are common in state administration practice. The first system is if the constitution is amendmented, so it will be valid in the whole (change of constitution). This system is done by all countries in the world. The second system is if the constitution is changed (amendmented) the original constitution is still valid. The amendment of the constitution is the amendment of the original one. In the other words, the amendment is the part of the constitution. This system is done and held by the United States of America. Keywords: governance structure, constitution amendment 1. PENDAHULUAN Perubahan UUD 1945 Permasalahan dalam menjawab kebutuhan perubahan UUD 1945 pada awalnya adalah bagaimana bentuk perubahan tersebut harus dilakukan. Sebagian pihak menginginkan agar dibentuk suatu konstitusi baru yang akan menggantikan UUD 1945 secara keseluruhan. Argumentasi utama kelompok ini adalah karena UUD 1945 dipandang perlu dirombak secara total sehingga perubahan haruslah dalam bentuk penggantian UUD 1945 dengan konstitusi baru. Sebagian pihak lainnya memandang bahwa UUD 1945 masih perlu dipertahankan mengingat adanya Pembukaan UUD 1945. Hal ini didasarkan pada pertimbangan pengalaman sejarah di konstituante maupun berdasarkan pertimbangan praktis bahwa mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti juga mengubah konsensus politik tertinggi di tengah keadaaan politik yang tidak menentu dan justru akan memperburuk keadaan. Pihak lainnya yang berpandangan sama menyatakan bahwa apabila pembukaan UUD 1945 diubah, maka kita telah membubarkan negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan pandangan-pandangan demikian, langkah yang paling bijaksana adalah dengan melakukan perubahan model amandemen seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Dalam kenyataannya maka pilihan kedualah yang dijatuhkan oleh para tokoh yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Pilihan ini didasarkan pada dua argumentasi. Pertama, dari hasil studi yang dilakukan terlihat bahwa UUD 1945 pada dasarnya sudah mengandung konsep-konsep yang bersifat demokratis. Permasalahan sebenarnya terletak pada inkonsistensi dari UUD 1945 sendiri yang kemudian tidak memberikan pengaturan yang bersifat lengkap dan justru menyerahkan kekuasaan pengaturan tersebut kepada undangundang. Dengan demikian, sebagian besar UUD 1945 relevan untuk dipertahankan dengan melakukan penambahan-penambahan yang dibutuhkan, termasuk penambahan yang dibutuhkan dalam rangka mengubah semangat UUD 1945 yang memberikan keleluasaan pengaturan lebih lanjut kepada UUD 1945. Argumentasi kedua adalah adanya kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 merupakan faktor penting yang selama ini telah berhasil mengikat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan semangat yang ditimbulkannya pada saat UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Apabila kemudian UUD 1945 digantikan oleh konstitusi baru, dikhawatirkan semangat persatuan yang ditimbulkan dari sejarah penetapan UUD 1945 dan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 -yang merupakan hasil dari perjuangan panjang para pendiri bangsa- menjadi berkurang. Penambahan substansi melalui amandemen akan tetap menempatkan UUD 1945 yang bernilai historis tinggi sebagai pijakan, dengan penambahanpenambahan yang dirasakan perlu sesuai dengan perkembangan di masyarakat agar UUD 1945 57 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 dapat terus masyarakat. menerus efektif mengikat tanggung jawab adalah di tangan presiden (consentration of power and responsibility upon the president). 2. PEMBAHASAN Tujuh Kunci Pokok sebagai Dasar Penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara RI Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-undang Dasar tetap dipertahankan, yakni: 1. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 2. Sistem konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). 3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die gezamte Staatsgewalt liegt allein beider Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat indonesia (Vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes). Mejelis ini menetapkan undang-undang dasar dan menetapkan garisgaris besar haluan negara. Majelis ini mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang presiden harus menjalankan haluan negara menurut garisgaris besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah "mandataris" dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben" akan tetapi "untergeordnet" kepada Majelis. 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawahnya Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara kekuasaan dan 58 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang (gesetzgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (staatsbegroting). Oleh karena itu presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan. 6. Menteri negara ialah pembantu presiden; menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tergantung pada Presiden. Mereka ialah pembantu presiden. 7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat Fungsi MPR MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara (Pasal 2 ayat 2). Majelis memperhatikan segala yang terjadi memperhatikan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai di kemudian hari (Pasal 3). Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak (Pasal 2 ayat 3). Tugas Pokok MPR: (1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD; (2) MPR melantik presiden dan wakil presiden; (3) MPR hanya dapat memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3). Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen Kedudukan MPR Sebagai lembaga legislatif, sejajar dengan DPR, BPK, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, DPD yang bertanggung jawab kepada UUD 1945 yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari 2 calon yang diusulkan oleh presiden dalam hal terjadi kekosongan wapres, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari (Pasal 8 ayat 2). MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden dan wakil presidennya yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya (Pasal 8 ayat 3). Alat-Alat Kelengkapan Majelis Alat-alat kelengkapan Majelis disusun menurut pengelompokan kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas Majelis. Majelis mempunyai alat-alat kelengkapan sebagai berikut: a. Pimpinan Majelis; b. Badan Pekerja Majelis; c. Komisi Majelis; d. Panitia Ad Hoc Majelis. 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tugas Pimpinan DPR: a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua; c. menjadi juru bicara DPR; d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPR; e. mengadakan konsultasi dengan presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan putusan DPR; f. mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan; g. melaksanakan putusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h. menetapkan arah, kebijakan umum, dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan i. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPR. DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undangundang; c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan; d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD; f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah; g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; j. memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. DPR mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. 3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. 59 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji. Tugas pokok DPD adalah: a. Mengajukan usulan kepada DPR rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah; b. Membahas rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan DPR maupun pemerintah; c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, beserta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Hasil pengawasan disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti. DPD mempunyai fungsi: a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; b. pengawasan atas pelaksanaan undangundang tertentu. DPD mempunyai hak: a. mengajukan rancangan undang-undang; b. ikut membahas rancangan undang-undang. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD Provinsi mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama; 60 b. menetapkan APBD bersama gubernur; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri; e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi. DPRD Provinsi mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan bupati/walikota untuk mendapat persetujuan bersama; b. menetapkan APBD kabupaten/kota bersamasama dengan bupati/walikota; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan bupati/walikota, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur; Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi. DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan d. menyatakan pendapat. 6. Presiden dan Wakil Presiden Harus seorang WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wapres (Pasal 6). Fungsi Presiden dan Wakil Presiden: (1) Wapres dapat menggantikan presiden sampai dengan habis masa jabatannya, jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dalam masa jabatannya (Pasal 8). (2) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17). (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) Tugas Pokok Presiden dan Wakil Presiden: (1) Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR (Pasal 5). (2) Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya (Pasal 5). (3) Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR (Pasal 7C). (4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat 1). (5) Presiden dalam perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan dan pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR (ayat 2). (6) Presiden menyatakan keadaan bahaya ditetapkan dengan UU (Pasal 12). (18) Presiden mengangkat duta dan konsul dengan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 1 dan 2). Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR (ayat 3). Presiden memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan MA (Pasal 14 ayat 1). Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15). Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan DPR (Pasal 14 ayat 2). Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden, diatur dalam UU (Pasal 16). Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri negara (Pasal ). Presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU (Pasal 19 ayat 1). Mengajukan rancangan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 23 ayat 2). Menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu, apabila usulnya tidak disetujui mengenai rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 23 ayat 2). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan PP sebagai pengganti UU harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut, jika tidak mendapat persetujuan, maka PP itu dicabut (Pasal 22 ayat 1-3). Menetapkan seorang hakim agung (Pasal 24A ayat 3). 7. Menteri Negara Tugas Pokok Menteri Negara: • Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 17 ayat 3). • Secara bersamaan pelaksanaan tugas kepresidenan dapat dilaksanakan oleh menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan secara bersamaan. Jika presiden dan wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan 61 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 • • • kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat 3). Memimpin departemennya serta melakukan pembinaan aparatur di departemennya. Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan bidang pemerintahan yang secara fungsional menjadi tugasnya. Membina dan malaksanakan kerja sama dengan lembaga lain. Kedudukan Menteri Negara: • Sebagai pembantu presiden. • Kedudukannya dibawahi langsung oleh presiden karena diangkat dan diberhentikan oleh presiden (Pasal 17 ayat 1 dan 2). • Kedudukannya tergantung kepada presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. • Menteri negara bukan pegawai tinggi biasa karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktik. • Sebagai pemimpin departemen mempunyai pengaruh besar terhadap presiden dalam menentukan politik negara di departemennya. • Untuk menetapkan politik negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan presiden. Pejabat-Pejabat Setingkat Menteri Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Keppres No.55 tahun 1991 kejaksaan agung memiliki kedudukan setingkat dengan menteri-menteri negara. Jaksa agung dibantu oleh jaksa agung muda yang terdapat: a. jaksa agung muda pembinaan; b. jaksa agung muda intelijen; c. jaksa agung muda tindak pidana umum; d. jaksa agung muda tindak pidana khusus; e. jaksa agung muda tindak perdata dan tata usaha negara; f. jaksa agung muda pengawasan; Bila dipandang jaksa agung dapat membentuk satuan tugas di pusat maupun di daerah yang terdapat di dalamnya unsur-unsur Polri, Bakostarsus, POM, ABRI, dan instansi lain menurut undang-undang kebutuhan penanggulangan pencegahan pemberantasan tindak pidana khusus, instansi vertikal. • Di tingkat provinsi adalah kejaksaan tinggi. • Di tingkat kabupaten/kotamadaya adalah kejaksaan negeri. 62 Keputusan Presiden No. 60 tahun 1984 menetapkan kedudukan TNI setingkat dengan menteri. Panglima TNI adalah pembantu presiden dalam melaksanakan kewenangannya sebagai alat pertahanan negara. 8. Mahkamah Agung Kedudukan: (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. (2) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tugas: (1) Mahkamah Agung (MA) bertugas untuk mengadili perkara di tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalanakan kekuasaan kehakiman. (4) Menguji secara material hanya terhadap peraturan perundangan di bawah undangundang. (5) Memberikan nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara dalam pemberian atau penolakan grasi. (6) Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Wewenang: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen 9. Mahkamah Konstitusi Sejarah Pembentukan Lembaran sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) adalah diadopsinya ide mahkamah konstitusi (constitutional court) dalam amendemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan mahkamah konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini. Sambil menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara waktu, yakni sejak disahkannya Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat, pada 10 Agustus 2002. Untuk mempersiapkan pengaturan secara rinci mengenai MK, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah ntenyetujui secara bersama pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh presiden pada hari itu juga (Lembaran Negara Tahun 2003, Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat 9 (sembilan) hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandai berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 kewajiban sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. Menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Memutus pembubaran partai politik, dan 4. Memutus perselisihan tentang basil pemilihan umum. Kewajiban Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: (1) telah melakukan pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara korupsi penyuapan tindak pidana berat lainnya (2) atau perbuatan tercela, dan/ atau (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi dan Misi Visi Mahkamah Konstitusi adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. 63 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 Misi Mahkamah Konstitusi adalah: a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya. b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Susunan Organisasi Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR, presiden, dan Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan organisasinya terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) anggota hakim kostitusi. Untuk kelancaran tugas dan wewenangnya Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah sekretariat jenderal dan kepaniteraan, yang susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenangnya diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara. 10. Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk dewan yang terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan setiap kali untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan, maka masa jabatan anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan diperpanjang sampai terselenggaranya pengangkatan atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk menjamin kontinuitas kerja Badan Pemeriksa Keuangan dan tanpa mengabaikan kebutuhan akan penyegaran, maka untuk setiap pergantian keanggotaan Badan 64 Pemeriksa Keuangan sedapat-dapatnya 3 (tiga) orang anggota lama diangkat kembali. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan berhenti/diberhentikan oleh presiden karena: meninggal dunia, atas permintaan sendiri, karena masa jabatannya berakhir, karena mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun, karena tidak dapat lagi secara aktif menjalankan tugasnya, karena sedang menjalani hukuman penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, dan karena tindak pidana yang dikenakan ancaman hukuman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai suatu sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal. Sekretaris jenderal diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Badan Pemeriksa Keuangan. Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat jenderal diatur oleh Badan Pemeriksa Keuangan, terakhir dengan SK No. 13/SK/K/1996, di mana selain dibantu seorang sekretaris jenderal, badan ini dibantu pula oleh 5 (lima) orang auditor utama dan 2 (dua) orang inspektorat utama. BPK mempunyai tugas pokok untuk mememeriksa: a. tanggung jawab pemerintah tentang keuangan atau kekayaan negara, b. semua pelaksanaan APBN, APBD, anggaran BUMN, dan anggaran BUMD berdasarkan atas ketentuan undang-undang. 11. Komisi Yudisial Dalam dua tahun ke depan, sebuah lembaga baru diintrodusir oleh pemerintahan transisi pasca-Orde Baru. Lembaga itu diberi nama Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang mempunyai tugas pokok mengusulkan nama calon hakim agung dan ikut memantau perilaku para hakim. RUU Komisi Yudisial telah disepakati DPR dan pemerintah, 15 Juli 2004. Lahirnya Komisi Yudisial yang banyak disuarakan aktivis organisasi nonpemerintah itu makin menambah panjang komisi-komisi yang lahir sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto. Menurut catatan Kompas, paling tidak tercatat sudah tiga belas komisi dilahirkan. Kehadiran komisi-komisi tersebut telah menambah lembaga negara konservatif seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang digagas Montesquieu. Perubahan UUD 1945 memang telah mengubah sistem kekuasaan kehakiman dengan Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen menempatkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lalu di mana posisi Komisi Yudisial yang dinobatkan sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain? Ide Komisi Yudisial kembali mendapatkan momentum menyusul adanya desakan penyatuatapan kekuasaan kehakiman yang didasarkan pada Tap. MPR No X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional. Munculnya desakan agar lembaga peradilan satu atap, makin memunculkan desakan agar Komisi Yudisial segera direalisir. Desakan masyarakat itu diakomodasi dengan selesainya pembahasan RUU Komisi Yudisial, pada 15 Juli 2004. Secara yuridis posisi Komisi Yudisial tinggi karena ia tercantum dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan tahun 2001. Dalam Pasal 24B Perubahan UUD 1945 disebutkan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial ini beranggotakan tujuh orang yang semuanya berstatus pejabat negara. Mereka bisa diambil dari mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh presiden atas usulan DPR. Sesuai dengan Pasal 13 RUU Komisi Yudisial, komisi ini mempunyai wewenang untuk: (a) mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan (b) menetapkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Berkaitan dengan pengusulan calon hakim agung, Komisi Yudisial bertugas: (a) mendaftarkan calon hakim agung; (b) menyeleksi calon hakim agung: (c) menetapkan calon hakim agung; (d) mengajukan calon hakim agung ke DPR. Dalam Pasal 18 RUU Komisi Yudisial, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung dengan tembusan kepada presiden. RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan soal proses seleksi calon hakim agung di DPR. Dalam Pasal 19 hanya disebutkan, "DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 30 hari hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud Pasal 18". RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan apakah usulan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial bisa dikurangi oleh DPR atau DPR hanya sekadar menjadi tukang pos untuk meneruskan ke presiden. Namun, menurut Akil Mochtar, anggota Komisi II DPR, DPR mempunyai kewenangan untuk menyeleksi lagi usulan Komisi Yudisial. Sedang mengenai pengawasan hakim, Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan menerima laporan masyarakat, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, memeriksa hakim, dan memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, dan selanjutnya laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta ditembuskan kepada presiden. Terlepas dari berbagai problematika yang mungkin akan muncul, kehadiran Komisi Yudisial pada tataran ide merupakan langkah maju untuk ikut mengawasi kekuasaan kehakiman yang sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung dan juga Mahkamah Konstitusi. Tapi pada tingkat praksis, masih harus ditunggu. 65 Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006 DAFTAR PUSTAKA LANRI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Jilid I/Edisi Ketiga), PT Toko Gunung Agumg, Jakarta, 1997 LANRI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Jilid II/Edisi Ketiga), PT Toko Gunung Agumg, Jakarta, 1997 Suara Merdeka Senin, 27 September 2004 KOMPAS Selasa, 21 Oktober 2004 Pikiran Rakyat Selasa, 21 Oktober 2004 Suara Merdeka Selasa, 26 Oktober 2004 www.hukumonline.com www.google.com 66