kata pengantar - Wahyu DiGilib`s

advertisement
Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD…
KATA PENGANTAR
Implementasi otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai
perubahan ke arah yang lebih baik di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun
dalam praktiknya, di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan sehingga menimbulkan
ketidakpuasan bagi masyarakat. Hal inilah yang menggugah para praktisi dan akademisi dalam bidang
Administrasi Publik untuk menyampaikan pemikirannya sehubungan dengan pokok-pokok masalah
yang dikritisi. Pemikiran ini dituangkan dalam bentuk artikel dan dihimpun dalam jurnal terbitan 2006
ini.
Alwi Hasyim Batubara membahas konsep good governance dalam otonomi daerah sebagai suatu
syarat mutlak untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dapat mengikuti tuntutan perubahan
sesuai dengan kondisi masyarakat. Beti Nasution melihat perlunya pelatihan sumber daya manusia
berbasis kompetensi, dilanjutkan tentang perlunya perhatian perdagangan ekspor dan impor oleh
Dahlia Hafni Lubis. Di sisi lain, Erika Revida melihat munculnya perilaku kekerasan sehingga
manajemen konflik perlu dikembangkan untuk menjawab persoalan tersebut. M. Arifin Nasution lebih
operasional dalam pengembangan otonomi daerah melalui konsep pemberdayaan kelurahan, diikuti
tulisan mengenai pentingnya pengembangan kawasan melalui paradigma perencanaan partisipatif oleh
Marlon Sihombing. Selanjutnya Antonius Sitepu mengkaji secara teoretis pendekatan realisme politik,
ditutup dengan paparan Rasudyn Ginting tentang struktur pemerintahan negara Republik Indonesia
pasca-amandemen UUD 1945.
Untuk memahami alur pikir mereka kami persilakan Anda membaca artikel-artikel mereka dalam
jurnal ini. Selamat membaca!
Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD…
Jurnal
ISSN 1412-7377
Volume 3, Nomor 1, Januari - April 2006
Halaman 1 – 66
ANALISIS
ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN
D
DA
AFFTTA
AR
R IISSII
KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH
Alwi Hashim Batubara............................................................................................................................ 1- 6
PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI
Beti Nasution ....................................................................................................................................... 7 - 14
SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC) DALAM
PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR
Dahlia Hafni Lubis............................................................................................................................ 15 - 22
PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK
DI ERA OTONOMI DAERAH
Erika Revida....................................................................................................................................... 23 - 28
KONSEP PEMBERDAYAAN KELURAHAN DI KOTA MEDAN
(Studi tentang Implementasi Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan)
M. Arifin Nasution.............................................................................................................................29 – 37
PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA
PERENCAAN PARTISIPATIF
Marlon Sihombing ............................................................................................................................. 38 - 47
TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU
DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
P. Anthonius Sitepu............................................................................................................................ 48 - 56
STRUKTUR PEMERINTAHAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA-AMANDEMEN
Rasudyn Ginting ................................................................................................................................57 – 66
Jurnal ANALISIS
Administrasi dan Kebijakan
2
Vol. 3
No. 1
Hlm. 1 – 66
Medan,
Januari – April 2006
ISSN
1412 – 7377
Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah
KONSEP GOOD GOVERNANCE
DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH
Alwi Hasyim Batubara
Abstract: Good governance is connection with local government implementation. Bureaucracy
development is one of a pact instrument to realize good governance concept in local government. But,
the concept is depend on political will from government, legislative, and society.
Keywords: good governance, local autonomy
1. PENDAHULUAN
Good governance dalam konteks
otonomi daerah merupakan bahasa strategi
karena, pertama, erat relevansinya dengan
berkembangnya operasionalisasi manajemen dan
administrasi publik, selaras dengan berbagai
perubahan kemasyarakatan, baik pada skala
domestik maupun skala internasional. Pertimbangan
kedua adalah relevansinya yang nyata dengan
upaya kita untuk membangun sistem nasional
yang berdaya saing tinggi dan adaptif dalam
memasuki era globalisasi dan liberalisasi
ekonomi. Pertimbangan ketiga adalah relevansinya
dengan organisasi sektor publik saat ini tengah
menghadapi tekanan untuk lebih efisien,
memperhitungkan biaya ekonomi dan biaya
sosial, serta dampak negatif atas aktivitas yang
dilakukan. Pertimbangan keempat relevansinya
dengan perubahan paradigma pembangunan,
yakni dari paradigma rule governance menjadi
paradigma good governance. Dalam good
governance peran serta aktif masyarakat sangat
mendominasi pembangunan. Pertimbangan kelima,
dalam revansinya dengan bentuk organisasi
birokrasi pada masa-masa sekarang sudah
saatnya untuk ditinjau kembali dan diarahkan
kepada bentuk organisasi yang terbuka atau
fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisien dan
rasional, serta terdesentralisasi. Atau dengan kata
lain, penyelenggaraan urusan pemerintahan
hendaknya lebih dititikberatkan kepada kapasitas
dan peran serta masyarakat di tingkat daerah atau
wilayah.
Kelima latar belakang tersebut terkait
erat dengan permasalahan pokok yang dihadapi
manajemen publik di antaranya:
1. Bagaimana mewujudkan good governance
dalam konteks otonomi daerah.
2. Bagaimana mengupayakan sistem pelayanan
publik yang berorientasi pada kebutuhan dan
kesejahteraan masyarakat.
2. PEMBAHASAN
Konsep Good Governance
Jika mengacu pada program World Bank
dan United Nation Development Program
(UNDP), orientasi pembangunan sektor publik
adalah untuk menciptakan good governance.
Pengertian good governance sering diartikan
sebagai kepemerintahan yang baik. Gunawan
Sumodiningrat (1999: 251) menyatakan good
governance adalah upaya pemerintahan yang
amanah dan untuk menciptakan good governance
pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan
dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Sementara itu, World Bank
mendefinisikan good governance sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan
dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan
pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi
tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002: 18).
Selanjutnya, UNDP memberikan beberapa
karakteristik pelaksanaan good governance,
meliputi:
a) Participation. Keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar
kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.
b) Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu.
c) Transparency. Tranparansi dibangun atas
dasar kebebasan memperoleh informasi.
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan
publik secara langsung dapat diperoleh oleh
mereka yang membutuhkan.
1
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
d) Responsiveness. Lembaga-lembaga publik
harus cepat tanggap dalam melayani
stakeholder.
e) Consensus orientation. Berorientasi pada
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
f) Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk memperoleh kesejahteraan
dan keadilan.
g) Efficiency and Effectiviness. Pengelolaan
sumber daya publik dilakukan secara berdaya
guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
h) Accountability. Pertanggungjawaban kepada
publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
i) Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan
dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke
depan.
Desentralisasi dan Otonomi
Desentralisasi dari sudut asal usul kata
berasal dari bahasa Latin, yaitu “de” atau lepas
dan ”centrum” atau pusat, jadi desentralisasi
dapat berarti lepas dari pusat. Handoko (2003:
229)
mengartikan
desentralisasi
sebagai
penyebaran atau pelimpahan secara meluas
kekuasaan dan pembuatan keputusan kepada
tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah.
Desentralisasi menurut Rondinelli (1981)
merupakan: “the transfer or delegation of legal
and authority to plan, make decisions and
manage public functions from the central
governmental its agencies to field organizations
of those agencies, subordinate units of
government, semi autonomous public corporation,
area wide or regional development authorities,
functional authorities, autonomous local
government, or non-governmental organizations”
(desentralisasi adalah pemindahan wewenang
perencanaan,
pembuatan
keputusan,
dan
administrasi dari pemerintah pusat kepada
organisasi-organisasi lapangannya, unit-unit
pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah
swantantra-otorita, pemerintah daerah, dan
nonpemerintah daerah (Koirudin, 2005: 3).
Sejalan dengan pengertian/definisi desentralisasi
di atas, dalam Undang-Undang No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa
desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Istilah otonomi berasal dari bahasa
Yunani autos dan nomos yang berarti
2
perundangan sendiri. Dengan diberikannya hak
kekuasaan dan pemerintahan kepada badan
otonomi, seperti provinsi, kabupaten, dan kota
maka dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus
rumah tangganya dengan membuat/mengadakan
peraturan-peraturan daerah yang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan peraturan pemerintah serta mampu
menjalankan kepentingan umum. Otonomi adalah
derivat dari desentralisasi. Dalam UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
Secara prinsipil terdapat dua hal yang
tercantum dalam otonomi yaitu hak dan
wewenang untuk memanajemeni daerah serta
tanggung jawab untuk kegagalan dalam
memanajemeni daerah. Sementara “daerah”
dalam arti local state government adalah
pemerintah di daerah yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Sumodiningrat (1999: 255) mengemukakan
bahwa hakikat otonomi adalah meletakkan
landasan pembangunan yang tumbuh berkembang
dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan
mandiri oleh rakyat. Dewasa ini isu otonomi
daerah dan demokratisasi menjadi salah satu
agenda reformasi yang utama. Tema sentral
kebijaksanaan pembangunan di era reformasi
adalah mengedepankan paradigma pembangunan
manusia yang menempatkan warga negara atau
rakyat sebagai pelaku pembangunan dan yang
menempatkan otonomi daerah sebagai wahana
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Banyak pendapat yang mengungkapkan
bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
saat ini diyakini bisa menjamin segera
terwujudnya good local governance. Apalagi jika
dibandingkan secara dikotomis dengan praktik
sentralistik di masa lalu yang meminggirkan
sebagian besar komponen masyarakat, pelaksanaan
otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi
politik dan moral yang sangat kuat.
Permasalahannya bukan terletak pada perlu atau
tidaknya otonomi, melainkan otonomi yang
bagaimanakah yang bisa kita andalkan untuk
mewujudkan good governance? (Wibawa, 2005).
Dengan adanya otonomi daerah yang landasan
berpikirnya mengacu pada good governance
maka pembangunan daerah dan strategi apapun
Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah
yang
ingin
ditempuh
daerah
untuk
mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung
jawab elite politik, elite birokrasi, dan eksponen
penting dari masyarakat daerah itu sendiri
(Koirudin, 2005: 181).
Manajemen Publik yang Bercirikan Good
Governance
Salah satu harapan terhadap reformasi
adalah menuntun kembali fungsi pemerintah dan
aparatnya untuk menjadi pelayan publik, dalam
arti tugas pemerintah adalah melayani
masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat
yang melayani pemerintah. Birokrasi merupakan
lembaga formal pemerintah dalam menjalankan
proses
pemerintahan
untuk
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
umum.
Pengembangan budaya baru yang sesuai dengan
visi dan misi birokrasi sebagai agen pelayanan
publik tentu harus dilakukan (Dwiyanto, 2005).
Dalam hal ini pemerintah memiliki kekuasaan,
fungsi, kewenangan, serta tugas yang harus
dijalankan
dalam
rangka
melaksanakan
penyelenggaraan negara. Kekuasaan pemerintah
ini dapat terbagi atas beberapa lembaga negara
dan pemerintah. Lembaga negara dan pemerintah
inilah yang selanjutnya dikatakan sebagai
birokrasi. Birokrasi memiliki sistem tersendiri
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sistem
pertama yang diciptakan adalah bagaimana
mengatur hubungan antarpemerintahan; kedua
jika telah tercipta sistem tersebut maka
pemerintah harus mengatur bagaimana hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah, katakanlah
desentralisasi dan otonomi. Organisasi birokrasi
merupakan salah satu konsep organisasi yang
cukup tua. Konsep organisasi birokrasi bukan
merupakan konsep yang buruk, oleh karena itu
organisasi birokrasi banyak dipakai oleh
pemerintahan di seluruh dunia, dan selalu
berkutat dengan berbagai peraturan. Dalam
perjalanan waktu pelaksanaannya menimbulkan
keruwetan dan perasaan enggan untuk berurusan
dengan birokrasi yang tercermin dari istilah
birokratis, yang identik dengan urusan berbelitbelit. Sebagai penguasa mereka sering kali justru
membutuhkan pelayanan dari warga. Karena itu,
upaya untuk mengembangkan orientasi dan
tradisi pelayanan kepada warga dalam birokrasi
pemerintah selalu mengalami kesulitan. Orientasi
pelayanan hanya akan dapat dikembangkan
apabila budaya kekuasaan yang selama ini
berkembang di dalam birokrasi digusur dengan
budaya pelayanan (Dwiyanto, 2005).
Tidak dapat dipungkiri, baik di negara
maju maupun di negara sedang berkembang,
birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan
oleh birokrasi pemerintah, mulai dari peran
mengatur kehidupan masyarakat (regulative),
melindungi masyarakat (protective), mendistribusikan
sumber daya yang terbatas dari kelompok yang
mampu ke kelompok yang kurang mampu
(redistributive), memberikan subsidi agar
masyarakat mau melakukan yang diinginkan
pemerintah (distributive), sampai pemberian
pelayanan publik (public service). Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika ada pameo
sebagaimana yang dikatakan oleh Stiglitz (1988)
dalam Purwanto (2005): “from birth to death,
our lives are affected in countless ways by the
activities of government” yang artinya kurang
lebih adalah sejak lahir sampai mati seorang
warga negara tidak akan dapat melepaskan diri dari
jangkauan birokrasi pemerintah.
Dari uraian sebelumnya jelas teridentifikasi
betapa pentingnya good governance dalam
penyelenggaraan negara. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa butir pendapat tentang
bagaimana membangun manajemen publik yang
bercirikan good governance, antara lain:
1. Organisasi sektor publik agar memperhatikan
value for money dalam menjalankan aktivitasnya.
Value for money merupakan konsep pengelolaan
organisasi sektor publik yang mendasarkan pada
tiga elemen utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas (Mardiasmo,2002: 4).
Value for money dapat tercapai apabila
organisasi telah menggunakan biaya input paling
kecil untuk mencapai output yang optimum
dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Kampanye implementasi konsep value for money
pada organisasi sektor publik gencar dilakukan
seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas
publik dan good governance. Implementasi
konsep value for money diyakini dapat
memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan
kinerja sektor publik. Manfaat implementasi
konsep value for money pada organisasi sektor
publik antara lain: a) Meningkatkan efektivitas
pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang
diberikan tepat sasaran; b) Meningkatkan mutu
pelayanan publik; c) Menurunkan biaya
3
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi
dan terjadinya penghematan dalam penggunaan
input; d) Alokasi belanja yang lebih berorientasi
pada kepentingan publik; e) Meningkatkan
kesadaran akan uang publik (publik costs
awareness)
sebagai
akar
pelaksanaan
akuntabilitas publik.
2. Mengadopsi pendekatan New Public Management
(NPM) dan Reinventing Government (Osborne &
Gaebler,1992). Di banyak negara terutama negara
Anglo-Saxon berbagai perubahan dilakukan
dengan mengadopsi pendekatan NPM dan
reinventing government.
NPM berakar dari teori manajemen yang
pada dasarnya beranggapan bahwa praktik bisnis
komersial dan manajemen sektor swasta adalah
lebih baik dibandingkan dengan praktik dan
manajemen sektor publik. Untuk memperbaiki
kinerja sektor publik, perlu diadopsi beberapa
praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di
sektor swasta ke dalam sektor publik, seperti
pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender
(Compulsory Competitive Tendering-CCT), dan
privatisasi perusahaan-perusahaan publik.
Keinginan
untuk
mewirausahakan
pemerintah bukan berarti mempertentangkan
antara administrasi publik dengan administrasi
privat, tetapi mengusahakan agar segala sesuatu
yang diwirausahakan tidak hanya dimonopoli
oleh pihak pengusaha tertentu yang dekat dengan
pemerintah, tetapi menumbuhkan persaingan
yang sehat antarpengusaha yang berkualitas
(Syafiie dkk., 1999: 117-118).
3. Enterprising the government; ketika kehidupan
tentang demokrasi makin merasuk dalam
kehidupan masyarakat, khalayak pun semakin
kritis dan punya daya tawar menawar dengan
birokrat. Di sinilah tuntutan terhadap layanan
publik semakin kencang, dan salah satu
pilihannya adalah swastanisasi lembaga-lembaga
pemerintahan dalam artian peningkatan kualitas
layanannya kepada publik sebagai konsumennya.
Enterprising the government pada intinya adalah
memompa efisiensi dan efektivitas organisasi
bisnis ke organisasi pemerintahan. Walaupun
terdapat beberapa perbedaan, tetapi layanan
publik dapat meniru layanan konsumen dalam
dunia bisnis. Tujuan akhir dari pegawai
pemerintah adalah membuat pelanggan merasa
puas, dengan memenuhi kebutuhan dan
harapannya terhadap layanan publik. Salah satu
4
cara adalah menerapkan konsep customer’s
oriented dalam masalah-masalah kepegawaian.
Customer’s oriented pada hakikatnya adalah
kepentingan pelayanan untuk masyarakat,
(Utomo, 2003: 42).
4. Gray dalam tulisannya menyimpulkan bahwa
institusi pasar adalah salah satu lembaga yang
dalam praktiknya membolehkan adanya otonomi
dan kebebasan individu. Salah satu klaim dari
pendapatnya adalah agar pemerintah mengendalikan
bahkan menghentikan kecenderungan sentralisasi
dan mengembalikan kekuasaan serta inisiatif
sosial-ekonomi kepada masyarakat. Meskipun
pemerintah telah begitu besar beban kerja dan
aktivitasnya,
yang
dibutuhkan
bukanlah
pemerintahan minimum, melainkan suatu kerangka
yang terbatas dengan agenda tanggung jawab
yang positif atau disebut dengan “a limited or
framework of government with significant
positive responsibilities” (Gray 1989) dalam
Kristiadi (1998).
Dari pendapat Gray tersebut, dapat
diringkas beberapa peranan administrasi publik
dalam masyarakat. Pertama, administrasi publik
berperan menjamin pemerataan distribusi
pendapatan nasional kepada kelompok masyarakat
miskin secara berkeadilan. Kedua, administrasi
publik berperan melindungi hak-hak pribadi
masyarakat atas pemilikan kekayaan, serta
menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk
melaksanakan tanggung jawab atas diri mereka
sendiri dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan
pelayanan bagi kelompok masyarakat lanjut usia.
Ketiga, administrasi publik berperan melestarikan
nilai-nilai tradisi masyarakat yang sangat
bervariasi itu dari satu generasi ke generasi
berikutnya, serta memberikan jaminan dan
dukungan sumber-sumber sehingga nilai-nilai
tersebut mampu tumbuh dan berkembang sesuai
tuntutan perubahan zaman, serta dapat terus
hidup secara damai, serasi dan selaras dengan
budaya lain di lingkungannya. Pemikiran Gray
ini tampaknya masih cukup relevan dengan
kondisi perkembangan paradigma pembangunan
di negara-negara dunia ketiga, tidak terkecuali
Indonesia.
5. Kebutuhan untuk mengoptimalkan peranan
mekanisme pasar dan peranan administrasi publik.
Atau dengan kata lain bagaimana mewujudkan
keseimbangan baru (newly and dynamic
equilibrium) antara peranan pemerintah yang
Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah
tepat dengan peranan masyarakat yang
partisipatif sekaligus mengindahkan kaidahkaidah internasional (Kristiadi, 1998). Meminjam
istilah Oliver Wiliamson (1975, 1980, 1992) dan
Barney and Oucky (1986): good governance
dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat
fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk
organisasi publik sehingga dicapai transaksitransaksi dengan biaya paling rendah. Pilihan
yang tepat transaksi baik melalui pasar,
organisasi atau campuran (mixed mode) akan
memungkinkan terwujudnya transaksi yang
berbiaya rendah (economizing). Hal ini dilakukan
agar:
a. Dapat mengembangkan berbagai macam
alternatif organisasi dan manajerial yang
semakin banyak memberikan kesempatan
kepada masyarakat dan swasta untuk berperan
dalam memproduksi dan distribusi barangbarang dan jasa-jasa. Kata kunci masalah ini
adalah
pengembangan
public-private
partnership.
b. Dapat mengembangkan administrasi keuangan
dan anggaran yang berorientasi pada visi dan
misi organisasi dan dapat menjamin
terlaksananya manajemen sumber daya
anggaran yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Kata kunci masalah ini adalah budgeting
reform.
c. Dapat membangun organisasi dan sistem
administrasi publik yang berorientasi pada
permintaan kebutuhan dan kepuasan costumer,
sekaligus dapat menjamin kompetisi antarindustri, antar-perusahaan, dan usahawan itu
sendiri.
d. Dapat mengembangkan daya saing nasional
(national competitiveness) yang tangguh
dalam menghadapi ekonomi global (global
economy). Daya saing nasional (national
competitiveness) adalah tingkat sampai sejauh
mana suatu negara dapat memenuhi
permintaan pasar internasional dalam
memproduksi barang dan jasa, sementara itu
juga mempertahankan atau meningkatkan
pendapatan riil penduduknya (Hiit dkk,1999:
8).
6. Mempersiapkan unsur-unsur organisasi yang
mendukung terwujudnya administrasi publik
yang memenuhi kriteria good governance dan
menjamin
keseimbangan
baru.
Refleksi
pemikiran McKinsey, unsur-unsur organisasi
yang harus dibangun adalah system, strategy,
structure, staff, skill, style, dan share value.
Unsur-unsur yang berkaitan dengan soft
structure, yakni staff, skill, style, dan share value
(Hampden and Turner, 1994; Gibson, 1977).
Untuk mewujudkan administrasi publik yang
berciri modern dapat ditempuh melalui sistem
pendidikan dan pelatihan pegawai negeri yang
sistematis.
3. KESIMPULAN
Untuk mewujudkan good governance
dalam konteks otonomi daerah sekaligus
bagaimana upaya sistem pelayanan publik yang
berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan serta
kesejahteraan masyarakat, diperlukan adanya
reformasi kelembagaan (institutional reform) dan
reformasi manajemen publik (public management
reform). Reformasi kelembagaan menyangkut
pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di
daerah baik struktur maupun infrastrukturnya dan
yang menyangkut reformasi manajemen publik,
organisasi sektor publik perlu mengadopsi
beberapa praktik dan teknik manajemen yang
diterapkan sektor swasta. Selain reformasi
kelembagaan dan reformasi manajemen publik,
untuk mendukung terciptanya good governance,
maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan
terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan
keuangan pemerintah daerah. Tuntutan pembaharuan
sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan
uang rakyat (public money) dilakukan secara
transparan dengan mendasarkan konsep value for
money sehingga tercipta akuntabilitas publik
(public accountability) yang pada akhirnya dapat
menciptakan kesejahteraan pada masyarakat.
5
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2005. Mengapa Pelayanan Publik? Yogyakarta: Gajah Mada university Press.
Gibson, Rowan et al. 1977. Rethinkng the Future. Niholas Brealey Publishing.
Hampden, Charles and Turner. 1994. Corporate Culture. Judy Piatkus Publishers.
Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA.
Hiit, Michael A, dkk. 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi
(terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Koirudin. 2005. Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju
Kemandirian Daerah. Malang: Averroes Press.
Kristiadi, J.B. 1998. Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Abad XXI. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Osborne, David, and Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government (How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector). Addison-Wesley Publishing Company Inc.
Purwanto, Erwan Agus. 2005. Pelayanan Publik Partisipatif. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Syafiie, Inu Kencana dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik Anlisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer
Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wibawa, Samodra. 2005. Good Governance Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
6
PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI
Beti Nasution
Abstract: There are three basic weakness on Indonesian labours, they are: lack of skill, narrow
minded, and low ability in handling the working problems. Besides, nowadays the job market is faced
the new trends which are caused by the advance of science and technology and globalization. The
trends that can be written in the job market are the tend of service jobs and human capital based on
knowledge. The problem and the trend of job market must be responsed well otherwise it will cause
our labours become the decayed/coarsed labours meanwhile the strategic positions are held by the
foreign countries’ labours, such as China, The Philipines, Kore, and Thailand.
One of the steps in order to develop through establishing the human resources based on competency.
The establishing efforts based on competency of a labour can be done by creating an integrated
system between the individual needs (in organizational interests) and the training programme. This
system is known as Competency-Based Training (CBT). CBT is an approach in training which is
based on Behavior Learning Theory which is directed to knowledge skill and working ability
improvement (SKA), flexibly, according to standard criteria creation and can be applied as soon as
the training over. There are five steps which are necessary to be done to implement the CBT Program,
they are: Organizational Scanning, Strategic Planning, and Competency Profiling, Competency Gap
Analysis, and Competency Development.
Keywords: human resources training, competency
1. PENDAHULUAN
Ada tiga kelemahan mendasar yang
melekat pada kemampuan pekerja Indonesia.
Pertama adalah skill atau penguasaan keahlian
spesifik sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Kedua, sempitnya pengetahuan dan wawasan
yang membuat para pekerja kurang adaptif
dengan perubahan di tempat kerja. Ketiga adalah
lemahnya tingkat kemampuan (ability) dalam
mengatasi masalah pekerjaan.
Di samping masalah-masalah di atas,
dunia kerja saat ini dihadapkan pada suatu trend
baru yang disebabkan oleh adanya kemajuan
iptek dan globalisasi. Trend yang paling bisa
dicatat dalam dunia kerja adalah adanya
kecenderungan terhadap pekerjaan jasa dan
pekerjaan dengan tekanan pada modal manusia
yang berbasis pengetahuan.
Permasalahan serta trend dunia kerja itu
harus segera disikapi dengan cara yang tepat,
karena kalau tidak akan menyebabkan tenaga
kerja kita hanya menjadi tenaga kasar sedangkan
posisi-posisi strategis diduduki oleh pekerja dari
negara lain, seperti Cina, Filipina, Korea, dan
Thailand.
Pekerjaan jasa dan proses kerja berbasis
pengetahuan memerlukan pengelolaan yang
berbasis pengetahuan pula. Organisasi tidak lagi
semata-mata mengejar pencapaian produktivitas
yang tinggi, tetapi lebih memperhatikan kinerja
dalam proses pencapaiannya. Kinerja bagi setiap
kegiatan dan individu adalah kunci pencapaian
produktivitas. Kinerja adalah suatu hasil, di
mana organisasi dan pekerja secara bersamasama membawa hasil akhir yang didasarkan pada
tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu perusahaan atau organisasi
yang ingin tetap sukses dalam kompetisi
globalisasi harus mampu mengintegrasikan
kebutuhan perusahaan dengan keterampilan,
pengetahuan, dan kemampuan SDM serta
mengaitkan tujuan perusahaan dengan perencanaan
bisnis dan pembinaan SDM-nya.
2. PENGERTIAN KOMPETENSI
Menurut Boyatzis (1982) dalam Mitrani
(1995) kompetensi atau kemampuan adalah sifat
dasar seseorang yang dengan sendirinya
berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan
secara efektif atau sangat berhasil (an underlying
characteristics of an individual wich is causally
related to criterion referenced effective and or
superior performance in a job or situation).
Berdasarkan definisi tersebut underlying
characteristic mengandung makna kompetensi
yaitu bagian kepribadian yang mendalam dan
melekat pada seseorang serta perilaku yang dapat
diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas
7
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
pekerjaan. Sedangkan kata causally related
berarti kompetensi adalah sesuatu yang
menyebabkan atau memprediksi perilaku dan
kinerja. Dan kata criterion-referenced mengandung
makna kompetensi sebenarnya memprediksi
siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria
atau standar yang digunakan. Misalnya volume
penjualan yang mampu dihasilkan oleh seorang
pekerja.
Menurut Covey, Roger, dan Rebeca
Merrill (1994) dalam Kirana (1997), kompetensi
mencakup:
a. kompetensi teknis yakni pengetahuan dan
keahlian untuk mencapai hasil-hasil yang
telah
disepakati,
kemampuan
untuk
memikirkan persoalan dan mencari alternatif
baru;
b. Kompetensi konseptual yakni kemampuan
untuk melihat gambar besar, untuk menguji
berbagai pengandaian, dan mengubah
perspektif;
c. kompetensi
untuk
hidup
dalam
kesalingtergantungan
yakni
kemampuan
untuk berinteraksi secara efektif dengan orang
lain, termasuk kemampuan untuk mendengar,
berkomunikasi, menciptakan kesepakatan
menang-menang, dan kemampuan untuk
melihat dan beroperasi secara efektif dalam
organisasi atau sistem yang utuh.
Dengan demikian kompetensi merupakan
faktor mendasar yang dimiliki seseorang yang
mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya
berbeda dengan orang lain yang mempunyai
kemampuan rata-rata atau biasa-biasa. Oleh
sebab itu di sini kita tidak menggunakan istilah
kecakapan tetapi kompetensi karena kecakapan
sering kali dipahami sebatas keterampilan dan
pengetahuan seseorang, sedang kompetensi
memiliki cakupan yang lebih komprehensif, yang
terdiri dari:
1. Motif; adalah kebutuhan atau pola pemikiran
dasar seseorang yang mendorong, mengarahkan,
dan menentukan perilaku seseorang, misalnya
kebutuhan untuk berprestasi, kekuasaan,
sosialisasi, dll.
2. Sifat-sifat dasar (trait) atau perangai yakni
yang menentukan cara seseorang bertindak/
bertingkah laku misalnya dengan rasa
percaya diri, pengendalian diri, daya tahan
terhadap ketegangan atau kebandelan.
8
3. Citra pribadi (self – image) yakni pandangan
seseorang terhadap identitas dan kepribadiannya
sendiri atau inner-self misalnya sebagai guru,
sebagai pebisnis, dan sebagainya.
4. Peran kemasyarakatan (sosial-role) yakni
bagaimana seseorang melihat dirinya dalam
interaksinya dengan orang lain atau outer-self
misalnya bapak-anak, pimpinan-bawahan,
dan lain-lain.
5. Pengetahuan (knowledge) yakni yang dapat
dimanfaatkan dalam tugas/pekerjaan tertentu
6. Keterampilan (skill) yakni kemampuan teknis
untuk melakukan sesuatu dengan baik.
Kompetensi
keterampilan
(skill
competencies) dan kompetensi pengetahuan
(knowledge competencies) cenderung lebih nyata
(visible) dan relatif berada di permukaan
sehingga kompetensi ini merupakan kompetensi
yang paling mudah diubah dan dikembangkan
melalui pelatihan. Sedangkan peran kemasyarakatan,
citra pribadi sifat-sifat dasar atau perangai dan
motif merupakan kompetensi yang lebih
mendasar dan lebih sukar dikenali tetapi lebih
berperan sebagai pengatur perilaku manusia.
Kompetensi-kompetensi ini merupakan kompetensi
yang sulit untuk diubah, memerlukan waktu yang
lama, dan mungkin dengan biaya yang mahal
pula. Oleh karena itu kriteria utama dalam proses
rekruitmen –seleksi pekerja (baik untuk
karyawan ataupun pejabat baru)– semestinya
diarahkan pada motif dan sifat seseorang.
3. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
Kompetensi-kompetensi tersebut dapat
dihubungkan dengan kinerja dalam sebuah model
aliran sebab – akibat. Bahwa motif, perangai,
konsep diri, dan kompetensi pengetahuan serta
keterampilan yang dibangkitkan oleh suatu
keadaan, dapat memperkirakan perilaku -perilaku
yang cakap kemudian memperkirakan kinerja.
Misalnya motivasi untuk berprestasi, keinginan
kuat untuk berbuat lebih baik daripada ukuran
baku yang berlaku, dan untuk mencapai hasil
yang istimewa. Hal tersebut menunjukkan adanya
kemungkinan perilaku kewiraswastaan; penentuan
tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir, dan
pengambilan risiko yang diperhitungkan.
Dalam
organisasi
perilaku-perilaku
pekerja yang menunjukkan adanya motivasi yang
tinggi akan menyebabkan peningkatan mutu yang
Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi
sinambung, kinerja, penjualan, dan hasil-hasil
ekonomi yang lain serta inovasi dalam
pengembangan produk atau jasa. Model di atas
dapat membantu manajer dalam memperkirakan
orang yang cocok dipekerjakan untuk suatu
pekerjaan. Bahaya mempekerjakan orang yang
tidak memiliki motivasi untuk berprestasi ialah
bahwa
mereka
kurang
memperlihatkan
peningkatan kinerja, kurang berjiwa wiraswasta,
dan tidak banyak memberikan gagasan untuk
produk atau jasa baru.
Oleh karena itu ditinjau dari sudut
efektivitas biaya sebaiknya dipilih orang yang
mempunyai motivasi utama dan karakteristik
perangai yang baik, baru kemudian meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan. Selama ini
kebanyakan organisasi perusahaan bertindak
sebaliknya, yakni mereka mengambil orang
berdasarkan mutu pendidikan (lulusan sekolah
dan universitas terkenal) dan menganggap bahwa
para calon mempunyai atau dapat dijejali dengan
motif dan perangai yang dikehendaki. Jadi agar
efektif pilihlah orang yang mempunyai
“kemampuan yang tepat” (kompetensi) dan
kemudian melengkapi mereka dengan pemgetahuan
dan keterampilan. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dilakukan dengan cara pemberian
pendidikan dan pelatihan. Secara kontemporer
proses ini didesain agar pesertanya mampu
meningkatkan skill dan perilaku yang dimilikinya
agar sesuai dengan tuntutan tugas masingmasing. Moto; kita dapat mengajarkan kalkun
untuk memanjat pohon, tetapi lebih mudah lagi
menyuruh tupai memanjat (Mitrani 1995).
4. ALASAN MENGGUNAKAN MODEL
KOMPETENSI
Mengapa kita menggunakan model
kompetensi dalam pembinaan sumber daya
manusia atau para pekerja ?
Dengan adanya perubahan atau trend
baru dunia kerja saat ini tentunya akan membawa
perubahan pada skill, knowledge, dan ability
(SKA) yang harus dimiliki oleh setiap individu
dalam organisasi baik itu para pekerja maupun
para manajer. Karena sifat pekerjaan saat ini
mengalami perubahan.
Sifat pekerjaan tradisional kurang
membutuhkan penguasaan skill khusus dan
umumnya semua proses pekerjaan dilakukan
secara repetitif, tidak perlu adanya kerjasama,
dan peran manajer sangat dominan sehingga
melemahkan peran pekerja. Sedangkan sifat
pekerjaan modern yang dipengaruhi oleh
kemajuan iptek dan globalisasi menuntut syarat
penguasaan pengetahuan karena kebanyakan
proses kerja berbasis pengetahuan (knowledge –
based work). Pekerja tidak dapat lagi
mengandalkan rutinitas karena yang dituntut
adalah imajinasi atas segala kemungkinan
perubahan yang akan terjadi dari pekerjaan dan
diperlukan kerja sama dalam kelompok atau team
work. Di samping itu ada juga perspektif lain
dalam pengembangan organisasi yakni pelayanan
yang memuaskan bagi konsumen.
Dengan adanya perubahan itu maka perlu
dipahami bahwa arah perubahan pekerjaan dalam
globalisasi adalah pekerja membutuhkan proses
pembelajaran (learning process) dengan bentuk
dan cara terbaru yakni pelatihan pekerja berbasis
kompetensi.
Selanjutnya dengan menggunakan model
kompetensi kita mudah menyesuaikan orang
dengan tuntutan atau persyaratan pekerjaan
sehingga penempatan pekerja menjadi tepat atau
sesuai dengan prinsip the right man on the right
place. Di samping itu mudah mengembangkan
jalur karir seorang pekerja. Contoh, peralihan
dari wiraniaga menjadi seorang manajer
pemasaran; apakah seorang wiraniaga langsung
bisa dipromosikan menjadi manajer pemasaran?
Belum tentu karena perilaku yang harus
ditampilkan seorang wiraniaga sama sekali
berbeda dengan perilaku yang harus ditampilkan
oleh seorang manajer pemasaran. Seorang
wiraniaga dapat sukses jika ia pandai
meyakinkan konsumen akan mutu barang, untuk
itu keterampilan yang dituntut darinya adalah
komunikasi dan pelayanan yang memuaskan
pelanggan. Tetapi seorang manajer pemasaran
harus punya konsep dalam strategi pemasaran
yang unggul, harus mampu merencanakan dan
mengorganisir, dan mempunyai pandangan bisnis
yang luas.
5. MODEL COMPETENCY – BASED TRAINING
Menurut Michel D. Tovey (1997) dalam
Irianto (2001) upaya membina kompetensi
seseorang dapat dilakukan melalui penciptaan
sebuah sistem yang mengintegrasikan antara
kebutuhan individu (dalam kerangka kepentingan
organisasional) dengan program pelatihan.
9
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Sistem ini dikenal dengan Competency–Based
Training (CBT). Menurut Tovey CBT is a system
of training wich is greated towards spesific
outcomes. Produk yang dihasilkan CBT
diarahkan pada peningkatan skill dan kinerja
sesuai dengan standar sistem yang telah
ditetapkan. Menurut Tovey CBT hanya sebuah
pendekatan dalam pelatihan namun mendasarkan
dirinya pada teori pembelajaran perilaku yang
menggunakan tujuan. Pelatihan itu sendiri
sebagai acuan serta dapat diukur hasilnya pada
saat pelatihan itu selesai.
Dari pendapat Tovey tersebut di atas
dapat dipahami bahwa program CBT adalah
sebuah program yang memiliki karakteristik dan
arah pokok yang tersendiri. Karakteristik CBT
adalah memfokuskan diri pada skill yang dapat
diaplikasikan, fleksibel, orientasi individual,
merujuk pada pencapaian kriteria standar, dapat
diaplikasikan ketika pelatihan selesai. Sedangkan
arah pokoknya diarahkan pada persoalanpersoalan pokok yang selama ini menjadi
perbincangan hangat dalam program pelatihan
yakni mengintegrasikan skill, knowledge, dan
ability (SKA) dengan kepentingan organisasi.
Makna skill di sini tidak hanya
dipandang sebagai sekadar keahlian kasat mata
dan bersifat fisik atau tidak hanya berkaitan
dengan keahlian seseorang untuk mengerjakan
sesuatu yang bersifat tangibel. Selain physical
makna skill pada program CBT juga mengacu
pada persoalan mental, manual, persepsual, dan
bahkan social abilities. Dengan demikian, skill
harus dipahami secara komprehensif sebagai
kombinasi dari beberapa kemampuan kerja fisik
dan non-fisik dalam kaitannya dengan aplikasi
perolehan pengetahuan baru.
Di samping karakteristik dan arah pokok
tersebut di atas, menurut Tovey
konsep
kompetensi meliputi tiga persoalan yaitu;
1. Sebuah kerangka acuan dasar di mana
kompetensi dikonstruksikan dengan melibatkan
pengukuran standar yang diakui oleh
kalangan industri yang relevan. Hal ini
mengindikasikan terjadinya kesepadanan
antara kemampuan individu dengan standar
kompetensi yang ditetapkan oleh kalangan
industri sebagai user.
2. Sebuah kompetensi tidak hanya sekadar dapat
ditunjukkan kepada pihak lainnya, namun
lebih dari itu juga harus dapat dibuktikan
10
dalam menjalankan fungsi-fungsi kerja yang
diberikan. Tidaklah cukup bagi pekerja untuk
menguasai pengetahuan tertentu yang
diperoleh lewat pelatihan tanpa dibuktikan
secara aktif. Mereka harus menyadari bahwa
pengetahuan tersebut adalah sebagai nilai
tambah untuk memperkuat organisasi lewat
peran-peran nyata dalam bekerja.
3. Kompetensi merupakan sebuah nilai yang
merujuk pada satisfactory performance of
individual. Dengan demikian, kompetensi
bukanlah lembaga yang memberikan sertifikat
sebagaimana suatu sekolah memberikan ijazah
kepada lulusannya tanpa tahu kelanjutannya;
apakah dapat digunakan atau tidak dalam
menunjang pekerjaan. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa kompetensi memiliki
kaitan erat dengan kemampuan melaksanakan
tugas-tugas yang merefleksikan adanya
persyaratan-persyaratan tertentu.
Dengan demikian kompetensi itu
mempunyai satandar kinerja yang harus dicapai,
dapat membantu mengembangkan keahlian
pengetahuan dan kemampuan pekerja sehingga
pekerja dapat meningkatkan kinerjanya setelah
memperoleh pelatihan yang berbasis kompetensi.
6. MODEL STRATEGIS CBT
Sebuah model strategis yang telah
diciptakan untuk mengimplementasikan CBT
bagi organisasi, Narkevis, Campton, Mc. Carthy
(1993) dalam Irianto (2001) menawarkan sebuah
model strategis yang dapat diadopsi organisasi
dalam melaksanakan program CBT. Model
strategis ini meliputi lima tahap yakni;
1. Organizational Scanning. Persoalan pokok
yang harus dikaji sebelum program pelatihan
disusun adalah bagaimana organisasi dapat
mencapai arah masa depannya. Analisis
strategis dapat menggunakan berbagai cara,
misalnya analisis SWOT atau metode lainnya
yang sesuai. Substansinya adalah situasi di
mana organisasi mampu memahami secara
sempurna tentang apa yang dapat dilakukan
dan ke mana arah tindakan yang akan diambil.
2. Strategic planning. Masalah selanjutnya
adalah upaya organisasi untuk mampu
menjawab pertanyaan tentang bagaimana
semua tujuan dapat dicapai dan strategi
manajerial apa yang dapat diaplikasikan.
Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi
3. Competency proviling. Setelah semua
pertanyaan tersebut terjawab, kini saatnya
organisasi menganalisis bagaimana sesungguhnya
situasi kinerja internal human resources yang
ada untuk dapat melaksanakan gagasan
pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Kompetensi apa yang sudah dipenuhi dan
yang belum? Kebutuhan apa yang terasa
mendesak bagi pekerja? Analisis ini akan
menuntun organisasi pada persoalan inti yang
dihadapi pekerja.
4. Competency gap analysis. Segera setelah
melewati competency proviling, organisasi
akan dapat memahami celah apa yang dapat
dilihat antara kompetensi aktual (yang ada
pada saat ini) dengan kompetensi ideal (yang
diharapkan)
untuk
mencapai
tujuan
organisasional.
5. Competency development. Kini saatnya
organisasi menutup setiap celah perbedaan
kompetensi aktual dengan kompetensi ideal
disertai upaya menjawab pertanyaan strategis,
misalnya apakah perlu organisasi merekrut
tenaga baru yang memiliki kompetensi ideal
dengan segala konsekuensinya, ataukah
menyusun program pelatihan bagi pekerja
yang ada. Jawaban terakhir inilah yang
memandu organisasi memasuki arena CBT.
8. KOMPETENSI-KOMPETENSI UNTUK MASA
DEPAN
Menurut Spenc dalam (Mitrani, 1995)
kita dapat memperoleh pemahaman-pemahaman
berikut mengenai ciri-ciri yang kita cari pada
orang-orang yang bekerja dalam organisasiorganisasi baru sebagai berikut:
Menurut Narkevis dan kawan-kawan,
setiap tahapan strategis tersebut harus berkaitan
dengan arah strategi organisasi secara keseluruhan.
Konsekuensinya, manajer yang bertanggung
jawab dalam manajemen SDM diminta untuk
menjustifikasi penyusunan setiap program
pelatihan dalam kaitannya dengan kontribusi riil
yang dapat diberikan kepada kepentingan
organisasi.
Para Eksekutif
1. Pemikiran strategis untuk memahami
kecenderungan (trend) lingkungan yang cepat
berubah, peluang pasar, ancaman persaingan,
dan kekuatan serta kelemahan organisasi
mereka sendiri, supaya dapat menemukan
tanggapan strategis yang terbaik.
2. Kepemimpinan perubahan (change leadership)
untuk
mengkomunikasikan
pandangan
mengenai strategi perusahaan yang akan
memaksa mengubah karyawan menjadi
pemegang saham, membangkitkan motivasi dan
komitmen mereka yang tulus, bertindak
sebagai
pendukung
inovasi
dan
kewiraswastaan, serta memanfaatkan sumbersumber daya perusahaan sebaik-baiknya untuk
melaksanakan perubahan-perubahan yang
sering terjadi.
3. Manajemen
hubungan
(relationship
management) untuk membina hubungan
dengan dan mempengaruhi jaringan–jaringan
baik pihak lain yang rumit di berbagai negara
yang kerja samanya diperlukan demi
keberhasilan organisasi, namun terhadapnya
kita tidak punya wewenang formal. Pihakpihak itu antara lain; pemilik produk unggul,
pelanggan, pemegang saham, perwakilan
karyawan, (lokal, wilayah, dan pusat),
pembuat undang-undang serta kelompok
kepentingan.
7. FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH
Untuk mencapai hasil yang optimal pada
program CBT perlu memperhatikan faktor- faktor
yang mempengaruhi keberhasilannya. Faktorfaktor ini antara lain; keselarasan tujuan program
dengan kebutuhan pekerja dan kebijakan
organisasi, dukungan dan anggaran dari
manajemen, kurikulum peserta didik, instruktur,
metode dan teknik penyampaian, sarana dan
prasarana, manajemen dan administrasi, litbang,
dan evaluasi program.
Para Manajer
1. Keluwesan untuk mengubah struktur dan
proses-proses manajerial bila diperlukan,
untuk melaksanakan strategi perubahan
organisasi.
2. Pelaksanaan perubahan untuk mengkomunikasikan
kebutuhan perubahan organisasi kepada
sesama karyawan, dan keterampilanketerampilan manajemen perubahan seperti
komunikasi, bantuan untuk pelatihan, dan
proses kelompok, ynag diperlukan untuk
11
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
3.
4.
5.
6.
melaksanakan perubahan di dalam kelompokkelompok kerjanya.
Saling
pengertian
antarpribadi
untuk
memahami dan menghargai masukanmasukan dari orang-orang yang berlainan.
Memberikan wewenang dengan saling
berbagi informasi, minta pendapat dari
sesama karyawan, mengupayakan pengembangan
karyawan, mendelegasikan tanggung jawab
yang berarti, memberikan umpan balik
pelatihan, mengungkapkan harapan-harapan
perbaikan dari bawahan (tanpa memandang
perbedaan), dan memberi imbalan atas
peningkatan kinerja. Semua hal ini akan
membuat karyawan termotivasi untuk
memikul tanggung jawab yang lebih besar.
Bantuan kelompok agar kelompok yang
berlainan dapat bekerja sama secara efektif
untuk mencapai tujuan bersama, misalnya
menjelaskan tujuan dan peran, memberi
kesempatan kepada semua orang untuk
berperan
serta
dalam
menyelesaikan
perselisihan.
Portabilitas agar cepat menyesuaikan diri dan
berfungsi secara efektif di lingkunganlingkungan asing -seorang manajer harus
mudah dipindahkan ke kedudukan manapun
dan di manapun di dunia.
Para Karyawan
1. Keluwesan untuk memandang perubahan
sebagai peluang yang menarik ketimbang
suatu
ancaman.
Misalnya
penerapan
teknologi baru harus dilihat sebagai bermain
dengan alat-alat baru, paling mutakhir, dan
paling baik.
2. Selalu mencari informasi, motivasi, dan
kemampuan belajar merupakan keinginan
yang tulus terhadap peluang-peluang untuk
mencari keterampilan-keterampilan teknis
dan hubungan antarpribadi baru. Misalnya
seorang sekretaris diminta untuk belajar
menggunakan program komputer yang
terbaru dan menangani akunting di suatu
bagian, hendaknya menerima baik dan tidak
menganggap hal baru tersebut sebagai beban
tambahan. Hal ini merupakan pendorong
untuk selalu menuntut ilmu dan mempelajari
setiap pengetahuan dan keterampilan baru
yang dituntut oleh persyaratan kerja yang
berubah-ubah.
12
3. Motivasi untuk berprestasi merupakan
pendorong bagi inovasi, yaitu peningkatan
mutu dan produktivitas terus menerus yang
membutuhkan untuk menghadapi (lebih baik,
memimpin) persaingan yang terus meningkat.
4. Motivasi kerja di bawah tekanan waktu
merupakan gabungan antara keluwesan,
motivasi untuk berprestasi, daya tahan
terhadap tekanan, dan komitmen terhadap
organisasi yang memungkinkan seseorang
bekerja di bawah tuntutan akan produk atau
jasa-jasa (baru) dalam jangka waktu yang
lebih singkat.
5. Kesediaan
untuk
bekerja
sama
(collaborativeness)
dalam
kelompokkelompok multidisipliner dengan rekan kerja
yang berbeda-beda: pengharapan yang positif
terhadap orang lain, saling pengertian
antarpribadi, dan komitmen terhadap
organisasi.
6. Orientasi pelayanan pelanggan (customer
service orientation) merupakan keinginan
yang tulus untuk membantu orang lain,
saling pengertian antarpribadi yang
memadai untuk mengetahui kebutuhan
dan suasana emosional pelanggan, dan
cukup inisiatif untuk mengatasi rintanganrintangan dalam organisasi sendiri guna
memecahkan masalah-masalah pelanggan.
9. KESIMPULAN
Dalam upaya meningkatkan keahlian,
pengetahuan dan kemampuan pekerja, serta
menghadapi trend baru dalam dunia kerja yang
disebabkan oleh adanya pengaruh kemajuan iptek
dan globalisasi perlu kiranya diadakan
pengembangan bagi pekerja. Pengembangan
yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar
meningkatkan keahlian kasat mata atau sekadar
memberi sertifikat pada para pekerja tapi lebih
dari itu yakni pengembangan kompetensi bagi
pekerja.
Salah satu langkah yang diambil adalah
pengembangan melalui pembinaan SDM berbasis
kompetensi. Kompetensi adalah suatu sifat dasar
seseorang yang dengan sendirinya berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau
sangat berhasil sehingga membuat seorang
pekerja mempunyai kemampuan yang berbeda
Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi
dengan pekerja yang mempunyai kemampuan
rata-rata.
Salah satu upaya pembinaan berbasis
kompetensi seseorang dapat dilakukan dengan
menciptakan
sebuah
sistem
yang
mengintegrasikan antara kebutuhan individu
(dalam kerangka kepentingan organisasional)
dengan program pelatihan. Sistem ini dikenal
dengan Competency – Based Training (CBT).
CBT adalah sebuah pendekatan dalam pelatihan
yang
mendasarkan
dirinya
pada
teori
pembelajaran perilaku yang diarahkan pada
peningkatan skill pengetahuan dan kemampuan
pekerja (SKA), bersifat fleksibel, merujuk pada
penciptaan
kriteria
standar,
dan
dapat
diaplikasikan segera setelah pelatihan selesai.
Ada lima tahap yang perlu dilakukan
untuk melaksanakan program CBT yakni;
Organizational Scanning, Strategic Planning,
Competency Proviling, Competency Gap
Analysis, dan Competency Development.
13
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
Budi, W. Soetjipto dan kawan-kawan, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, editor:
A. Usmara, Penerbit Amara Books, 2002.
Baso, H.M.Moerad, Manajemen Usahawan Indonesia, 2003.
Dessler, Gary, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 1, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1997.
Irianto, Jusuf, Isu-Isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penerbit Insan Cendekia,
2001.
Kirana, Andi, Etika Manajemen: Ancangan Bisnis Abad 21, Penerbit Andi Yogyakarta, 1997
Mitrani, Alain, et al., Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi, Percetakan PT.
Intermasa, Jakarta, 1992
James, Stoner, AF, Manajemen, Jilid I, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1996.
14
SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC)
DALAM PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR
Dahlia Hafni Lubis
Abstract: Export and import trade which involve either domestic side or foreign side is not as simple
as local/domestic trading transaction because both sides do the transaction in which each side is in
the different rules/law and area, and each of them is limited by legal rules of law of their own
countries. In national development is needed the policies and steps which support the way of
Indonesian export and import payment transaction by publishing letter of credit (LC). Letter of credit
is the favorite way in Indonesian export and import payment transaction which is the standard
contract and valid internationally. Letter of credit is implemented separately from purchasing
contract. LC will be paid if the applied documents are appropriate with the LC requirement.
Keywords: letter of credit (LC), bank, export and import trade
1. PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui, setiap transaksi, seperti
juga halnya dengan jual beli atau perdagangan
dalam negeri, akan menimbulkan hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak yaitu pihak
pembeli dan pihak penjual. Hal tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 1457 KUH Perdata
yang berbunyi:
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain
untuk membayarnya dengan harga yang telah
diperjanjikan (R. Subekti, R. Tjitro Sudibyo,
1981).
Bila peristiwa jual beli itu dalam wujud
perdagangan dalam negeri, pelaksanaan prestasi
dari masing-masing pihak tidaklah sesulit jual
beli dengan pihak luar negeri (ekspor-impor),
sebab dalam perdagangan dalam negeri kedua
belah pihak yang mengadakan transaksi pada
umumnya berada dalam satu tempat dan sistem
hukum yang sama. Lain halnya dalam
perdagangan dengan pihak luar negeri, yang di
antara satu pihak dengan pihak lainnya dibatasi
oleh ketentuan undang-undang yang berbeda.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara
singkat mengenai kedudukan bank dan hubungan
tentang pembukaan letter of credit (LC). Dalam
perdagangan ekspor impor dikenal suatu jenis
transaksi letter of credit.
Pembukaan letter of credit yaitu suatu
perbuatan
perjanjian
pembayaran
dalam
perdagangan impor ekspor antara bank yang
membuka letter of credit dengan nasabahnya.
2. PEMBAHASAN
Tugas dan Fungsi Bank
Menurut
pendapat
beberapa
sarjana
pengertian bank antara lain adalah:
a. Bank adalah suatu perusahaan kredit (bank is
a shop for the sale of credit [Mac leod]).
b. Bankers are merely dealers in credit;
(Hawtrey).
c. Bank adalah suatu badan yang bertujuan
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
akan kredit, baik dengan alat pembayaran
sendiri dan dengan uang yang diperoleh dari
orang lain untuk maksud itu, maupun dengan
jalan memperedarkan alat-alat pertukaran
baru uang giral (GM Verrijn).
d. Undang-Undang No.14 tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan dalam Pasal 1 sub a
merumuskan “Bank adalah memberikan
kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang (CST.
Kansil, 1979).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa bank adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga
keuangan adalah semua badan yang melalui
kegiatannya di bidang keuangan, menarik uang
dari, dan mengeluarkan ke dalam masyarakat
Tugas Bank
Tugas bank antara lain adalah:
ƒ Memberi kredit (pinjaman) kepada orang
atau badan usaha yang membutuhkan uang.
15
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Pemberian kredit ini ditujukan pada kegiatankegiatan
produksi.
Pemberian
kredit
(pinjaman) oleh bank dapat berbentuk:
a. Kredit Jangka Pendek: kredit yang
berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit
ini untuk tanaman yang berjangka lebih
dari 1 (satu) tahun.
b. Kredit Jangka Menengah: Kredit yang
berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini
untuk tanaman yang berjangka lebih dari
1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.
c. Kredit Jangka Panjang: kredit yang
berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini
untuk tanaman yang berjangka lebih dari
3 (tiga) tahun.
ƒ
ƒ
ƒ
Menarik uang dari masyarakat, maksudnya
masyarakat dapat menyimpan uang yang
tidak atau belum dipergunakan misalnya
menabung: Tabanas, Taska, Deposito
berjangka.
Memberi jasa-jasa dalam bidang lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang.
Kegiatan lain-lain misalnya memberikan
pinjaman bank, menyewakan tempat untuk
menyimpan barang-barang berharga.
Fungsi Bank.
Antara tugas dan fungsi pokok perbankan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh
karena itu perbankan adalah suatu lembaga yang
berfungsi vital dalam kehidupan negara dan
bangsa (Achmad Anwari, 1980).
Fungsi vital itu tidak hanya berperan di
dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Perannya
di dalam negeri adalah untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, dalam arti semua kegiatan
yang dilakukan oleh bank itu menyangkut soal
uang.
Kegiatan-kegiatan itu meliputi administrasi
keuangan, penggunaan uang,
penampungan
(penyedotan) uang, perdagangan dan penukaran,
perkreditan, kiriman uang (transfer), dan
pengawasannya.
Peranannya di luar negeri adalah
merupakan jembatan antara dunia international
dalam lalu lintas devisa (uang), hubungan
moneter dan perdagangan, hubungan antara
bank-bank di dalam dan di luar negeri,
memungkinkan berlangsungnya ekspor impor,
kiriman uang, kepariwisataan, dll.
16
Kedudukan Bank dalam Pembukaan LC
Dalam praktiknya sehari-hari bank dalam
melakukan transaksi luar negeri yaitu hubungan
jual beli antara eksportir dan importir harus ada
suatu persetujuan bersama di antara mereka yang
dituangkan dalam suatu kontrak jual beli (sale
contract).
Berdasarkan sale contract atau kontrak jual
beli itu importir mengajukan permohonan
permintaan pembukaan LC kepada bank dan
bank tersebut menetapkan ketentuan-ketentuan
yang mengikat si importir untuk menaati semua
ketentuan yang dituangkan dalam syarat - syarat
umum pembukan LC.
Bank dalam pembukaan letter of credit (LC)
hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari
importir sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah di
bidang perdagangan.
Di dalam praktiknya, pembukaan LC di
bank-bank devisa, misalnya: Bank Dagang
Negara, Bank Export Import, di samping
ditentukan syarat-syarat umum pembukaan LC,
juga ditentukan jangka waktu berlakunya.
Jangka waktu berlakunya LC tergantung
pada lamanya waktu yang diperlukan eksportir
untuk menyiapkan pengiriman barang-barang dan
penyelesaian shipping documents, serta waktu
yang diperlukan menegotir (menguangkan)
shipping documents (dokumen pengapalan)
dengan negotiating bank (bank yang disepakati)
ditambah dengan waktu yang diperlukan
negotiating bank menyelesaikan administrasi
internalnya.
Importir perlu memperhatikan jangka waktu
berlakunya LC sehingga cukup aman untuk
menghindarkan kemungkinan perpanjangan
berlakunya LC atau extension LC, di mana
pengalaman menunjukan banyak kesulitan dalam
pelaksanaannya
bahkan
tidak
jarang
mengakibatkan tertundanya pengiriman barang
karena sulitnya prosedur yang harus ditempuh
untuk melakukan perpanjangan.
Jangka waktu berlakunya LC untuk negara
yang letaknya jauh dari negara kita misalnya:
Amerika Serikat dan Jepang memakan waktu 3
(tiga) bulan dan untuk negara yang dekat
misalnya Malaysia atau Singapura memakan
waktu 70 (tujuh puluh) hari dalam pengiriman
barang.
Apabila terjadi satu dan lain hal, eksportir di
luar negeri menemui halangan, misalnya: gudang
barangnya terbakar, shipping document-nya
Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan…
belum selesai, kapal pembawa barang-barang
yang dipesan tenggelam di laut, dll. yang
mengakibatkan tertundanya pengiriman barang
kepada importir sedangkan jangka waktu berlaku
LC sudah hampir berakhir, maka dapat diadakan
perpanjangan waktu yang dilakukan oleh bank
pembuka LC dengan syarat importir harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada
banknya. Ini dilakukan importir setelah ia
mendapat kabar dari pihak eksportir, bahwa ia
menemui halangan dalam pengiriman barangbarang yang dipesan si importir terikat, untuk
perpanjangan waktu LC nya.
Pembebasan Tanggung Jawab dalam LC
Bank di dalam dunia perdagangan baik
bank pemerintah maupun bank swasta,
sebagaimana layaknya badan usaha lainnya, tetap
mengejar keuntungan. Untuk itu bank selalu
menghindar dari segala risiko yang tidak
diinginkan yang dapat merugikannya dengan cara
membuat klausul-klausul pembebasan tanggung
jawab.
Di dalam pembukaan LC pembebasan
tanggung jawab ini disebut dengan “exemption
clauses”.
Seperti di dalam formulir permintaan
pembukaan LC dan formulir syarat-syarat umum,
pembukaan LC yang telah ditetapkan oleh bank
mengandung pembebasan tanggung jawab dan
hak-hak dari opening bank itu sendiri yang
sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila
memang dikehendaki oleh bank itu untuk
menghindari kerugian yang tidak diinginkan
terjadi.
Di dalam pasal 3 dari syarat-syarat umum
pembukaan LC dinyatakan bahwa bank tidak
akan bertanggung jawab atas segala risiko
kerugian dalam valuta asing. Misalnya devaluasi
dan sebagainya, atau kelalaian barang-barang
yang bersangkutan baik karena barang tersebut
tidak sampai, barang cacat, barang rusak, ataupun
karena sebab-sebab lain yang timbul karenanya.
Jadi jelas bahwa dalam pasal tersebut
mengandung exemption clauses atau pembebasan
tanggung jawab dari bank.
Kemudian dalam Pasal 2 jo Pasal 1
terdapat syarat-syarat umum pembukaan LC yang
mengatur tentang dokumen-dokumen dan
barang-barang yang bersangkutan menjadi
jaminan bagi bank agar importir memenuhinya,
maka sesuai dengan Pasal 1 jo Pasal 4, bank
selaku pemegang kuasa dan menurut Pasal 6
syarat-syarat umum pembukaan LC dapat
bertindak untuk dan atas nama importir untuk:
a. Meminta dan menerima penyerahan barangbarang dalam LC dari maskapai pelayaran dan
mengeluarkannya dari pelabuhan.
b. Melakukan
penyimpanan
barang-barang
sebelum barang tersebut terlaksana penjualannya.
c. Melakukan penjualan barang-barang yang
diimpor itu dengan cara yang ditentukan
sendiri oleh bank.
d. Melakukan
penandatanganan
KPP
(Keterangan Pemasukan Pabean) untuk dan
atas nama importir dan menghadap instansi
yang dianggap perlu serta mengadakan
perjanjian menurut hukum, menanda tangani
dokumen dan surat surat lainnya, dan
melakukan pembayaran atas barang-barang
yang diimpor tersebut demi terselenggaranya
dengan baik pelaksanaan kekuasaan tersebut.
e. Membebankan segala perongkosan yang
dikeluarkan oleh bank dalam rangka
pelaksanaan kekuasaan itu atas rekening si
importir yang ada pada bank tersebut dan
hasil
penjualan
barang-barang
itu
dipergunakan untuk pembayaran dari sisa
pembukaan LC pada bank yang harus
diselesaikan importir.
Ketentuan kuasa itu diberikan sebagai
sarana bagi bank agar dapat melaksanakan
haknya atas barang yang dipergunakan sebagai
jaminan utang yang pelaksanaanya tidak
diwajibkan sama sekali. Jadi jelas di sini bank
mempunyai hak fakultatif atau hak tidak mutlak.
Selain formulir yang disebutkan di atas,
masih ada formulir lain dalam pembukaan kredit
per dokumen LC yaitu formulir pemberitahuan
ekspor barang (PEB) dan formulir ini mempunyai
ruang yang selalu diisi oleh importir/konsinyalir,
diisi oleh bank untuk pabean.
Ketentuan pelaksanaan ekspor impor yang
dikeluarkan oleh Direksi Bank Bumi Daya dalam
surat edarannya No.006/82/Luar Negeri tanggal
15 Februari 1982 perihal Tata Cara Pelaksanaan
ekspor Impor berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.1 Tahun 1982 ditegaskan bahwa semua
transaksi ekspor baik atas dasar LC maupun
tanpa LC dimulai dengan mengajukan formulir
pemberitahuan barang ekspor oleh importir
kepada bank devisa. Keharusan ini berlaku pada
tanggal 1 April 1982 (Alferd Hutauruk, 1983).
Formulir PAB yang diisi oleh eksportir untuk
diajukan kepada bank adalah sbb.:
17
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
APE (S) angka pengenal ekspor (sementara).
Harga patokan barang (nilai FOB-nya)
dalam barang yang bersangkutan dibuktikan
dengan invoice penjualan.
Besar persentase (%) pajak ekspor (PET/
PES).
Pembatasan ekspor yang mengangkut barang
ataupun negara tujuan.
Cara pembayaran, apakah atas dasar LC atau
tanpa LC.
Pihak-pihak yang Terkait dalam Letter of
Credit
Dari tata cara pelaksanaan LC, maka pihakpihak yang bersangkutan dalam pembukaan LC
itu adalah:
− pihak importir (pembeli),
− pihak ekportir (penjual),
− pihak bank (dalam hal ini mungkin terlibat
lebih dari satu bank. Ini merupakan kerja
sama antarbank).
Formulir PEB yang diisi oleh eksportir dalam
rangkap 7 (tujuh) diteliti kebenarannya oleh bank
dan setelah benar diteruskan kepada Kantor Bea
Cukai untuk diperiksa kebenaran barang - barang
tersebut dan dicocokkan dengan isi PEB yang
diisi oleh eksportir dan 1 (satu) lembar PEB itu
oleh Kantor Bea Cukai diserahkan kepada bank
devisa (bank pembuka LC) dan formulir lainnya
dibagikan kepada:
− BPS (Biro Pusat Stastistik).
− Bank Indonesia bagian pengolah data.
− Kantor Wilayah Departeman Perdagangan.
− Eksportis yang bersangkutan.
− Arsip bank.
Jika salah satu pihak tidak melaksanakan
prestasinya pada waktu yang telah ditentukan
seperti yang tertera dalam LC, maka pada waktu
itulah pihak tersebut melakukan wanprestasi dan
pihak lawan dalam perjanjian dapat melakukan
penuntutan antara lain:
− dipenuhinya perjanjian,
− dibatalkannya ikatan yang bersangkutan
dan apabila ada alasan yang sah dapat
sekaligus dituntut ganti rugi, pembayaran
biaya, dan bunga.
−
−
−
−
−
Oleh
eksportir
formulir
PEB
itu
dipergunakan untuk melengkapi dokumen dalam
menarik wesel-wesel atas LC sebagai
pembayaran barang yang telah diekspor,
sedangkan bank dalam melakukan pembayaran
wesel yang ditarik atas LC importir hanya
melihat keaslian dan kebenaran dari dokumendokumen dan tidak perlu mencocokkan dengan
dokumen barang. Dapat dikatakan bahwa bank
berdagang dengan dokumen sedangkan importir
eksportir berdagang dengan barang. Untuk itu
importir
harus
berhati-hati
dalam
menyelenggarakan ekspor dan harus pula
mempunyai pengalaman yang luas guna
menentukan setiap surat yang diberikan
kepadanya, karena ketidakaslian dokumen dan
ketidakbenaran dapat dijadikan alasan oleh bank
untuk menolak mengakseptir wesel-wesel yang
ditarik atas importir dan begitu pula importir
harus mempunyai pengalaman seperti eksportir,
sebab bank tidak dapat melindungi importir dari
perbuatan eksportir yang tidak jujur.
18
Untuk menentukan pihak mana yang harus
bertanggung jawab atas wanprestasi yang
dilakukan oleh pihak yang mungkir janji tersebut
dapat dilihat dari kepentingan hukum mana yang
terganggu.
Dari pihak-pihak yang berhubungan dalam
persetujuan pembukaan LC, maka terciptalah
hubungan hukum para pihak dalam pembukaan
LC tersebut, sehingga tercapai perjanjian yang
diinginkan.
Hubungan Hukum Para Pihak dalam Letter of
Credit
Hubungan hukum adalah hubungan yang
diatur oleh hukum dan undang–undang. Suatu
perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau lebih. (R.Surbakti, R. Tjitro
Sudibyo, 1979).
Akibat dari suatu perikatan adalah salah
satu pihak menuntut suatu hal dari pihak lainnya
dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.
Pihak yang menuntut suatu prestasi dari
pihak lainnya dalam suatu persetujuan dinamakan
“kreditor“ sedangkan pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan “debitor” dan
perikatan adalah merupakan akibat dari suatu
perjanjian.
Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan…
Di dalam pembukaan LC telah terjalin
suatu perjanjian antara bank pembuka LC dengan
importir (si pemohon) sehingga di antara
keduanya terdapat suatu hubungan hukum. Ini
berarti hak importir sebagai debitor dijamin oleh
hukum dan undang - undang.
Dari pihak-pihak yang tersangkut dalam
pembukaan LC, maka terdapat hubungan hukum
yang mengikat yaitu:
a. Hubungan hukum yang mengatur antara
penjual dan pembeli yang ditentukan dalam
Contract of Sale
Contract of sale atau perjanjian jual beli
adalah hasil persetujuan antara importir dengan
eksportir yang isinya segala sesuatu mengenai
keadaan barang yang dipesan untuk dikirim dan
dibutuhkan oleh importir. Umpamanya mengenai
penentuan harga satuan, jumlah barang, waktu
pengiriman, merek, cap, pengepakan, quality, dan
sebagainya. Pokoknya memuat segala isi kontrak,
sehingga pada kontrak tersebut dapat ditentukan
apakah barang yang dikirim sesuai dengan yang
disepakati oleh importir dan eksportir. Pada
kontrak itu juga dapat dilihat apakah masingmasing pihak telah melaksanakan prestasi seperti
apa yang dibebankan oleh hukum jual beli
kepadanya dan apabila salah satu pihak tidak
berbuat seperti yang telah diwajibkan oleh
hukum jual beli sedangkan hal itu mengakibatkan
kerugian pada pihak lawannya, maka pihak yang
melakukan harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut dan pihak bank bukan
merupakan pihak dalam persetujuan.
Hubungan hukum antara bank pembuka LC
dengan importir
Bank yang membuka LC adalah bank devisa
di mana importir mengajukan permohonan
pembukaan LC. Bank pembuka LC haruslah
terpandang sebagai bank bonafide (bank yang
mempunyai nama baik) di kalangan pedagang
internasional dan bank itu dapat dipercaya
dengan disetujuinya permohonan/permintaan
pembukaan LC yang diajukan importir kepada
bank. Dengan demikian terbentuklah hubungan
hukum antara mereka yang terikat dengan suatu
persetujuan yang diberikan hak dan kewajiban
secara timbal balik dan apabila importir lalai
untuk memenuhi segala kewajibannya yang
tercantum dalam perjanjian LC, maka bank
berhak memberitahu kepada importir tentang
kelalaiannya untuk memenuhi segala perjanjian
yang telah dituangkan dalam LC tersebut.
Sebagai
pengusaha
yang
bonafide
(terpercaya) dan diakui biasanya importir
berusaha agar kredibilitasnya tetap diakui baik
oleh bank. Karena itu importir berusaha untuk
memenuhi segala kewajibannya dengan baik dan
menutup kontrak valuta pada waktunya.
Penutupan kontrak valuta ini pada dasarnya
sama dengan membayar kembali kepada bank
atas wesel yang ditarik oleh eksportir ditambah
dengan kewajiban yang timbul karenanya.
Bank pembayar adalah bank atas siapa wesel
ditarik. Bank pembayar ini adalah bank pembuka
LC itu sendiri dan biasanya dapat juga bank lain
yang ditunjuk oleh bank pembuka LC di kota
mana si eksportir berdomisili. Apabila bank
koresponden ditunjuk sebagai bank pembayar,
maka bank itu membayar kepada eksportir dan
segera mendebit rekening atas bank yang dibuka
LC-nya dan jika bank yang dibuka LC-nya tidak
mempunyai rekening atas bank yang dibayar,
maka apa yang telah dibayar kepada eksportir itu
pada waktunya akan diganti oleh bank pembuka
LC. Hal ini merupakan bagian administrasi antara
bank yaitu bank yang dibuka LC-nya dengan
bank korespondennya.
b. Hubungan antara bank di luar negeri dengan
importir
Hal ini ditentukan dalam LC itu sendiri
yang merupakan sumber hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak. Dalam LC dapat ditentukan
bahwa yang merupakan hak eksportir adalah
mendapatkan pembayaran atas wesel yang ditarik
atas bank yang ditunjuk dan merupakan tugas
terakhir dari eksportir itu adalah:
a. Menguangkan shipping document/dokumen
pengapalan kepada negotiating bank.
b. Memberitahukan importir dengan kawat atau
telepon bahwa barang telah dikirim dan
mengirimkan shipping document (dokumen
pengapalan) sebagai yang diisyaratkan dalam
pesanan (order) yang bersangkutan.
Menguangkan dokumen pengapalan
berarti eksportir menarik wesel atas bank yang
ditunjuk dalam LC atau bank koresponden.
Bank pembayar sebelum menghonorir
berhak memeriksa dan meneliti apakah dokumendokuman yang diajukan kepadanya sesuai dan
memenuhi syarat - syarat yang ditentukan dalam
19
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
LC dan bank tersebut berhak menolak
pembayaran jika shipping document (dokumen
pengapalan) yang diajukan kepadanya ternyata
tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat.
Sebaliknya, jika syarat-syarat yang tercantum
dalam LC dapat dipenuhi oleh eksportir sudah
tentu bank tersebut wajib membayar wesel yang
ditarik oleh eksportir.
Bank yang tersangkut dalam pembukuan
LC mungkin lebih dari satu bank, antara lain:
1. Bank yang membuka LC (opening bank)
Bank ini adalah bank devisa yang
terpandang di kalangan pedagang internasional,
karena tidak ada eksportir (supplier/penjual) di
luar negeri yang bersedia menjual barangbarangnya dengan pembayaran atas dasar LC
kalau tidak dibuka terlebih dahulu melalui bank
seperti yang tersebut di atas. Sebab pembayaran
dengan cara pembukaan LC pada suatu bank
yang kuat akan terjamin kepastian pembayaran
atas transaksi yang terjadi.
2. Bank yang membeli (men-discount) wesel
Dengan membeli wesel-wesel yang
ditarik oleh eksportir atau beneficiair atas Bank
yang membuka LC, maka pembeli tersebut
menjadi “endorser” dan “bonafide holder”
(pemegang yang dipercaya) dari wesel tersebut
dan oleh karena itu dilindungi oleh ketentuanketentuan yang tercantum dalam LC. Ia juga
dilindungi oleh tanda tangan yang menarik wesel
(the drawer). Karena menurut hukum tanggung
jawab penarik wesel baru berakhir pada saat
wesel itu dibayar oleh tertarik (the draawee),
dalam hal ini bank yang membuka LC. Hak
regres yang dimiliki oleh setiap pemegang wesel
yang sah.
3. Bank pembayar (the paying bank)
Bank pembayar adalah bank atas siapa
wesel ditarik. Bank ini biasanya bank pembuka
LC atau bank cabang ataupun bank koresponden
di kota eksportir. Bank ini akan segera mendebit
rekening bank yang membuka LC dengan
jumlah seperti terarah dalam LC.
Hal ini merupakan perintah atau instruksi
kepada bank di luar negeri atau negotiating bank.
Sehubungan masalah negoisasi ini, LC
mengandung 3 (tiga) macam instruksi kepada
negotiating bank :
20
a. Perintah untuk membayar (authorise to pay):
bila negotiating bank diberi kuasa untuk
membayar pada saat pengambilalihan
dokumen ekspor.
b. Perintah untuk negosiasi (authorise to
negotiate): bila negotiating bank hanya
dikuasakan untuk negotiate atau mengambil
alih dokumen ekspor saja tanpa melaksanakan
pembayaran.
Pembayaran
baru
bisa
dilaksanakan setelah diterimanya credit
advance sebagai bukti bahwa dokumen yang
dikirim telah dibayar oleh bank yang
membuka LC atau opening bank.
c. Perintah untuk mengaksep (authorise to
accept): bila negotiating bank dikuasakan
untuk mengaksep wesel berjangka yang
ditarik dan mengirimkanya kepada opening
bank.
Dengan demikian jika negotiating bank
hanya melaksanakan negosiasi, maka pada saat
negosiasi itulah bank mengambil alih dokumen
ekspor dan mengirimkannya kepada opening
bank, dan selanjutnya menunggu credit advance
dari koresponden sebagai dasar untuk melakukan
pembayaran kepada ekspotir. Perintah seperti ini
merupakan suatu kewajiban atas bank yang
ditunjuk. Jika bank itu tidak melaksanakan
perintah membayar tersebut, maka bank yang
ditunjuk sebagai tertarik dapat diminta
pertanggungjawabannya atau dapat digugat untuk
membayar ganti kerugian ditambah dengan
bunga, sesuai dengan bunyi Pasal 127 Kitab
Undang- Undang Hukum Dagang yang berbunyi:
Barang siapa telah memegang dan secukupnya,
khusus diperuntukkan guna membayar suatu
surat wesel yang telah ditarik atasnya, iapun atas
ancaman hukuman akan ganti biaya rugi dan
bunga terhadap si penarik wajib melaksanakan
akseptasinya (R.Subekti, R.Tjitro Sudibyo, 1983).
Letter of credit (LC) merupakan
primadona dalam pembayaran transaksi ekspor
impor Indonesia. Pada hakikatnya letter of credit
(LC) adalah alat pembayaran dan oleh karena itu
keseimbangan hak dan kewajiban para pihak
harus dipertimbangkan secara hakiki. Keadilan
dan keterbukaan dalam pelaksanaan LC
merupakan suatu keharusan karena inti dari LC
adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang
(Ramlan Ginting, 2000).
Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan…
KESIMPULAN
1. Pembukaan letter of credit (LC) oleh importir
hanya dapat dilakukan pada bank devisa.
2. Untuk menghindari segala risiko yang
dapat merugikan bank, biasanya bank
menetapkan klausul-klausul pembebasan
tanggung jawab pembukaan letter of credit.
3. Bank menetapkan persyaratan yang mengikat
para pihak dengan mengacu kepada peraturan
pemerintah di bidang perdagangan.
4. Pembukaan letter of credit menciptakan
hubungan hukum para pihak dan bila terjadi
wanprestasi, maka untuk menentukan pihak
mana yang bertanggung jawab ditinjau dari
kepentingan hukum mana yang terganggu.
21
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Anwari, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Balai Aksara Bara, 1980.
Alfred, Hutahuruk, Sistem dan Pelaksanaan Eskpor, Impor & Lalulintas Devisa di Indonesia,
Erlangga, 1983.
CST, Kansil, Pokok - Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Bara, 1983.
R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Kitab Undang - Undang Hukum Dagang & Kepailitan, Pradnya
Paramita, 1989.
R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Perjanjian, PT Intermasa, 1979.
Ramlan, Ginting, Letter of credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2000.
22
Jurnal Analisis Administrasi jakan, Volume 1, Nomor 1, Januari 2006
PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK
DI ERA OTONOMI DAERAH
Erika Revida
Abstract: Violence has been a symptom in social life especially in local autonomy era. When the
people haven’t got the justice, when their rights are annoyed, spontaneously they can do the violence,
physically and psychologically. The people can’t manage themselves to be able to receive the different
argument/opinion.
On the other side, the local government as if could not handle the violence. It is caused by the local
government has lack of strong commitment in giving the good quality and humanity public service.
To prevent the violence, the local government should apply the conflict management, either in general
way and participative and also apply the win-win solutions in order to avoid the parties that felt they
have lost or won so that it will grow the solidarity and social peace among the society.
The Curative way which is necessary to be done by the government is by applying the strict “law
enforcement” for the violence especially the physical violence. Besides, the improvement of education
in the family, either religious education or moral need to be more intensive, in order to form the public
attitude that want and can receive the different argument/opinion, and also has the solidarity and
social peace among the society.
Keywords: violence, conflict management, law enforcement
1. PENDAHULUAN
Salah satu persoalan pembangunan yang
mengemuka saat ini terutama sejak otonomi
daerah digulirkan adalah menguatnya gejala
konflik, baik konflik yang bersifat horizontal
maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik
yang muncul mengakibatkan kekerasan di
berbagai tempat di Indonesia. Banyak
penyalahgunaan peralatan, sarana dan prasarana,
bahkan senjata yang mengakibatkan cedera
bahkan kehilangan nyawa di kalangan
masyarakat. Ada banyak caci maki serta hujatan
yang mewarnai kegiatan-kegiatan demonstrasi
yang dilakukan masyarakat, sehingga mengarah
pada tindakan kekerasan/kerusuhan.
Kekerasan-kekerasan dan kerusuhan
terjadi bak gelombang hampir tanpa jeda
sepanjang tahun (Fatah, 1998). Salusu (2000)
menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu
negara yang saat ini paling tidak menikmati
perdamaian. Selain itu Kleden (dalam CSIS No.2,
2002) menyatakan keadaan sosial politik di
Indonesia semenjak reformasi ditandai oleh dua
gejala yang sangat mencolok dalam tingkah laku
politik yaitu kebebasan di satu pihak dan
kekerasan di pihak lainnya. Kekerasan itu
memperlihatkan diri dalam berbagai ekspresi
yang berbeda-beda, tapi pada dasarnya
menyembunyikan suatu struktur yang kurang
lebih sama.
Kekerasan yang terjadi sejak kerusuhan
Mei 1998 terkait dengan berbagai konteks politik
yang gagal dikomunikasikan kepada masyarakat.
Kekerasan dan kerusuhan telah merebak menjadi
sebuah fenomena yang terjadi di mana-mana.
Menurut catatan Litbang Republika sekurangkurangnya telah terjadi 64 kasus kekerasan dalam
masyarakat. Di antaranya, yaitu 49 kasus (76%),
terjadi di tengah suasana politik dan kampanye
pemilu 1997, sisanya 14 kasus (21%) terjadi di
luar prosesi pemilu.
Apapun bentuknya, kekerasan adalah
”realitas multidemensi” yang tidak dapat
dipisahkan antara kekerasan yang satu dengan
kekerasan lainnya (Camara, 2000).
Mengapa perilaku kekerasan semakin
marak terjadi dalam masyarakat ketika
pembangunan daerah semakin gencar dilakukan?
Apakah kekerasan sudah membudaya di negara
kita ini?
2. PEMBAHASAN
Dampak Kekerasan Terhadap Pembangunan
Kekerasan (violence) adalah salah satu
bentuk perilaku agresif. Kekerasan merupakan
tindakan, meskipun seringkali orang mengidentikkan
kekerasan dengan kemarahan yang memuncak,
sehingga frustrasi identik dengan agresi.
Meskipun sebenarnya kemarahan tidak selalu
diekspresikan dengan tindakan agresi.
23
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Jika ditinjau dari sudut pandang
psikologi, ada beberapa teori yang mendasari
pemikiran agresi, antara lain teori ”instinct”,
teori ”survival”, dan teori ”learning”. Teori
”instinct” mengasumsikan bahwa perilaku
agresif merupakan instinct yang melekat dalam
diri individu. Freud memandang perilaku agresif
sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct
yang melekat dalam diri manusia. Untuk
mempertahankan dirinya manusia secara instinct
dapat bersifat agresif. Teori survival menyatakan
untuk dapat mempertahankan hidupnya manusia
berusaha agresif agar dapat menjaga dan
mengembangkan kemanusiawiannya. Tanpa
agresif kita akan punah atau dipunahkan orang
lain. Sedangkan teori learning menyatakan
bahwa agresi merupakan hasil perolehan belajar,
agresi dipelajari sejak kecil, dan dijadikan
sebagai pola respons. Dalam perkembangannya
kemudian, teori learning ini mendapat tambahan
bahwa kebiasaan atau pola respons agresi yang
dimiliki seseorang apabila mendapat simultan
barulah menjadi tindakan agresif. Dengan
perkataan lain stimulus yang sama tidak selalu
menimbulkan tindakan agresi yang sama pada
setiap orang. Munculnya tindakan agresif
tergantung dari potensial habitat agresif yang
sudah ada lebih dulu dan telah tertanam sejak
lama dalam diri individu tersebut. Jika seorang
anak sejak kecil mendapatkan kekerasan dalam
keluarga, maka akan terbentuk habitat kekerasan.
Sebaliknya jika dalam keluarga ditumbuhkan
iklim kemerdekaan, keterbukaan, keutuhan, serta
mau menerima perbedaan maka akan terbentuk
habitat yang demokratis dan terbuka. Hal ini
dapat dipahami sesuai dengan pendapat bangsa
Inggris yang menyatakan bahwa ”good manners
begin at home”. Dengan demikian, secara
holistik dapat dikatakan bahwa tingkah laku
agresif didorong oleh sesuatu dari dalam individu
dan dipicu oleh sesuatu yang berasal dari luar
individu dalam konteks tertentu.
Agresif dapat dibedakan dalam 3
kategori yaitu hostile aggression, instrumental
aggression, dan mass aggression (Suryabrata,
1983). Agresi hostile merupakan tindakan tak
terkendali akibat perasaan marah yang
membludak keluar sebagai pengumbaran emosi.
Instrumental aggression adalah tindakan agresif
yang dipakai secara sengaja sebagai cara untuk
mencapai suatu tujuan yang bisa saja bukan
merupakan suatu agresi (misalnya untuk
mencapai tujuan politik tertentu). Sedangkan
24
mass aggression adalah tindakan agresif yang
dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan
individualitas dari masing-masing individu. Pada
saat berkumpul, selalu terjadi kecenderungan
kehilangan individualitas dari orang-orang yang
membentuk massa tersebut. Ketika massa telah
solid, maka bila ada seseorang membawa
kekerasan dan mulai melakukan kekerasan yang
semakin meninggi dan saling membangkitkan,
akan mengakibatkan tindakan kekerasan massa.
Oleh karena itu, jika kita berbicara kekerasan,
maka seyogyanya kita mencermati ketiga
kategori kekerasan di atas. Hal ini penting untuk
tindakan preventif.
Tindakan kekerasan muncul diakibatkan
konflik yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Konflik adalah suatu keadaan di
mana terjadi ketidakharmonisan hubungan antara
beberapa orang dalam suatu organisasi atau
kehidupan masyarakat. Selain itu konflik juga
dapat didefinisikan dengan adanya pertentangan
pendapat antara orang-orang, kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik
antara lain: (1) terdapat perbedaan pendapat
antara dua orang atau lebih, (2) mempertahankan
egonya masing-masing sehingga tidak terdapat
kata sepakat, (3) ketidakpercayaan masingmasing pihak terhadap pihak lain, (4) terjadi
kesalahpahaman antara kedua pihak, (5)
penyelesaian masalah dilakukan secara sepihak
tidak berdasarkan musyawarah mufakat.
Kekerasan
muncul
diakibatkan
ketidakmampuan melihat sisi yang lain dari
masyarakat. Setiap masyarakat/kelompok harus
menyadari bahwa perbedaan pendapat atau
pandangan dengan masyarakat/kelompok lain
adalah soal biasa, karena tidak ada seorang
manusia/kelompok pun yang memiliki pendapat
yang persis sama dengan orang/kelompok lain.
Perbedaan pandangan/pendapat tidak perlu
diakhiri dengan tindakan kekerasan. Setiap
kelompok/masyarakat perlu menggeser sudut
pandang, sehingga dapat saling diperkaya sebelum
mengambil suatu keputusan/sikap tertentu.
Kekerasan yang kita lihat akhir-akhir ini
dapat menimbulkan dampak yang negatif
terhadap pembangunan, baik dampak sosial
budaya, psikologis, ekonomi, maupun bidang
lainnya. Selain mengakibatkan kerugian di
berbagai bidang pembangunan, juga merusak
sarana dan prasarana fisik yang ada dan telah
tertata dengan baik. Dampak psikologis dalam
Erika Revida, Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah
masyarakat akan mengakibatkan trauma yang
berkepanjangan, ketakutan, dan sebagainya.
Dampak di bidang ekonomi antara lain
lumpuhnya untuk sementara waktu kegiatan
ekonomi akibat ketakutan akan muncul kekerasan
secara berulang.
Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik
di Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah yang diberikan kepada
kabupaten/kota pada dasarnya adalah untuk lebih
memberdayakan masyarakat, pengembangan
prakarsa dan kreativitas, dan peningkatan peran
serta masyarakat.
Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan
otonomi daerah tidak serta merta diikuti
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat,
malah yang tampak di permukaan semakin
banyaknya konflik yang muncul di tengah
masyarakat. Salah satu masalah yang tampak
sebagai akibat konflik adalah perilaku kekerasan
di dalam masyarakat baik itu kekerasan di dalam
penyampaian pesan-pesan maupun kekerasan
psikologis sampai pada kekerasan.
Kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi
jika setiap kelompok masyarakat dapat
mengendalikan diri dan menyadari bahwa selalu
saja ada perbedaan pendapat dan pandangan di
dalam kelompok masyarakat yang dapat
diselesaikan dengan musyawarah mufakat dan
dengan ”kepala dingin”. Kekerasan muncul
disebabkan pandangan bahwa dirinya dan
pendapat/pandangannyalah yang paling benar
sedangkan yang lain tidak benar. Kekerasan
diawali dari adanya konflik dalam masyarakat.
Konflik adalah adanya pertentangan pendapat/
pandangan dari satu orang/kelompok dengan
orang/kelompok lainnya. Sumber utama konflik
dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan
sosial, diskriminasi terhadap hak-hak individu
dan kelompok, serta tidak adanya penghargaan
terhadap keberagaman.
Perilaku kekerasan dalam masyarakat
terjadi sebenarnya diakibatkan oleh tidak adanya
keadilan dalam masyarakat. Camara (2000)
menyatakan:
Kasus-kasus ketidakadilan itu adalah
sebentuk kekerasan. Dapat dan harus
dikatakan bahwa, ketidakadilan adalah
sebuah kekerasan mendasar yang
merupakan kekerasan nomor satu:
kekerasan memancing kekerasan, tanpa
rasa takut dan tanpa henti-hentinya.
Ketidakadilan menimbulkan pemberontakan,
baik dari kaum tertindas maupun dari
kaum muda yang bertekad untuk
memenangkan dunia yang lebih adil dan
lebih manusiawi...ketika konflik sampai
ke jalan-jalan, ketika kekerasan mencoba
melawan kekerasan para penguasa
memandang mereka wajib menjaga
ketertiban umum sekalipun itu berarti
dipakainya kekuatan. Ini berarti kekuatan
lagi...kemudian penguasa bertindak lebih
jauh lagi, menjadi semakin umum seolah
untuk memperoleh informasi, menjaga
keamanan publik. Logika kekerasan
menyebabkan
mereka
memakai
penyiksaan moral dan fisik dan ini
kekerasan lagi.
Kekerasan sesungguhnya merupakan
”any avoidable impediment to self realization”
(Galtung, 1980). Perilaku kekerasan merupakan
penghalang bagi orang/masyarakat untuk
mengaktualisasikan dirinya terutama di era
otonomi daerah yang seharusnya lebih
memberdayakan masyarakat, meningkatkan
potensi dan partisipasi masyarakat dalam
berbagai kehidupan. Oleh karena itu, mencermati
maraknya perilaku kekerasan dalam masyarakat
pemerintah daerah harus lebih cerdas dan intensif
menanggapinya, karena masyarakat sudah tidak
sabar menunggu keputusan atas ketidakadilan
yang berlama-lama.
Perilaku kekerasan tidak saja dilakukan
oleh masyarakat awam, politisi sekalipun
melakukan kekerasan baik kekerasan psikologis
maupun fisik. Jika dibandingkan dengan masa
orde baru, maka sejak otonomi daerah digulirkan
peran legislatif berubah dan memiliki kekuasaan
yang lebih dari eksekutif. Kepala daerah dengan
mudah dapat diberhentikan oleh legislatif.
Bahkan pemberhentian Abdurrahman Wahid
adalah sebuah contoh besarnya kekuasaan
legislatif. Akibatnya, masyarakat pendukung
Abdurrahman Wahid pun melakukan demo yang
mengarah ke perilaku kekerasan. Dengan
demikian terjadi konflik dalam masyarakat.
Pada hakikatnya, konflik tidak dapat
dihindari dan tidak perlu dihindari. Konflik
adalah hal yang wajar dilakukan. Konflik dapat
bersifat positif hasilnya jika dihadapi dengan
pikiran yang jernih dan membangun kerja sama,
saling pengertian, dan sebagainya. Konflik dapat
meningkatkan kohesivitas kelompok, memunculkan
25
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam,
mempertegas tujuan yang hendak dicapai.
Namun demikian, konflik dapat bersifat negatif
dan destruktif dan jika tidak ditangani dengan
segera dan intensif akan menjurus pada perilaku
kekekerasan.
Perilaku kekerasan dalam masyarakat
dapat
ditanggulangi
dengan
melakukan
manajemen konflik. Manajemen konflik adalah
tata kelola konflik sedemikian rupa sehingga
tercapai keharmonisan hubungan antara satu
orang atau kelompok/masyarakat dengan orang
atau kelompok/masyarakat lainnya.
Solusi yang ideal dalam manajemen
konflik
adalah
dengan
mengedepankan
keuntungan bersama (win-win solution). Artinya
konflik dapat diselesaikan dengan musyawarah
mufakat, duduk bersama di antara berbagai pihak
sehingga tidak ada pihak yang diuntungkan dan
dirugikan. Hal ini dapat terlaksana jika kedua
belah pihak yang berkonflik memiliki komitmen
bersama, tujuan bersama, dan visi misi bersama
sehingga hasilnya adalah keputusan bersama
yang akan dilaksanakan secara bersama-sama.
Selain perlunya win-win solution, penegakan
hukum terhadap pelaku kekerasan yang anarkis
dan menimbulkan korban perlu dilakukan.
Setiap orang, kelompok masyarakat
harus dapat mengembangkan keterampilan untuk
menggeser paradigma/sudut pandang tentang
orang lain, kelompok lain, sehingga dapat
memperkaya sikap maupun tindakan yang akan
dilakukannya. Sebagai makhluk sosial, setiap
orang, kelompok masyarakat harus bersifat
terbuka dan mau mendengar informasi,
pendapat/pandangan orang lain sehingga dapat
memutuskan pilihan mana yang terbaik
dilakukan.
Agar konflik tidak mengarah pada
kekerasan, maka upaya pencegahan perlu
dilakukan karena ”prevent rather than cure”.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
mencegah terjadinya konflik yang negatif, yaitu
dilakukan dengan cara (1) umum, (2) pasif,
maupun (3) partisipasi. Cara umum dilakukan
dengan cara mengkaji sumber konflik, diskusi,
dan melakukan koordinasi dengan elemen terkait.
Sedangkan cara pasif dilakukan dengan
menghindari konflik, menerima konflik dengan
acuh tak acuh, bersikap masa bodoh atau
mengabaikan adanya konflik, dan melakukan
penyelesaian secara individual. Cara partisipatif
dilakukan dengan merencanakan program dan
26
kegiatan yang partisipatif, menyelesaikan
masalah secara partisipatif, dan melakukan
diskusi kelompok secara intensif dengan
masyarakat.
Jika kita perhatikan dengan seksama,
bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang
unik, merupakan kumpulan dari berbagai macam
suku dan pemeluk agama yang berlainan satu
dengan lainnya. Untuk itu, keanekaragaman
(pluralitas) kultural dan religius ini harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna saling
membantu, berlomba berbuat kebajikan, dan
menciptakan kebaikan serta harmoni kehidupan.
Oleh karenanya, model pendidikan agama di
Indonesia yang perlu dikembangkan ke depan
adalah model pluralis-multikultur. Pendidikan
agama pluralis-multikultur adalah model
pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai
moral seperti kasih sayang, cinta sesama, tolong
menolong, toleransi, menghargai keragaman dan
perbedaan pendapat, dan sikap-sikap lain yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sikap
empati perlu ditingkatkan. Weber (dalam Paul,
1986) menyatakan masyarakat perlu memiliki
sikap empati -kemampuan untuk menempatkan
diri dalam kerangka berpikir orang lain yang
perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta
tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu.
Konsep ini menunjuk pada konsep mengambil
peran yang terdapat dalam interaksi simbolik.
Jika upaya pencegahan terhadap perilaku
kekerasan tidak dapat dilakukan, maka mau tidak
mau pemerintah daerah harus melakukan
tindakan represif yaitu dengan menerapkan ”law
enforcement” yang tegas. Individu/masyarakat
yang telah melakukan kekerasan diberi hukuman
yang setimpal tanpa pandang bulu atau tebang
pilih. Dengan penerapan law enforcement ini
diharapkan
menjadi
pembelajaran
bagi
masyarakat dan akan berpikir dengan cerdas dan
pikiran jernih jika ingin melakukan ataupun
terlibat dengan tindakan kekerasan.
3. KESIMPULAN
Kekerasan sebagai tindak lanjut konflik
seharusnya tidak perlu terjadi jika kita menyadari
adanya perbedaan-perbedaan pendapat/ pandangan
yang dimiliki setiap orang/kelompok masyarakat.
Pencegahan konflik yang mengakibatkan
kekerasan adalah lebih baik daripada mengobati
(prevent rather than cure). Pencegahan dapat
dilakukan dengan manajemen konflik yaitu
dengan cara umum dan partisipasi. Selain itu,
Erika Revida, Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah
pencegahan perilaku kekerasan dimulai dari
peranan keluarga. Keluarga sangat menentukan
intensitas perilaku kekerasan dalam masyarakat.
Bangsa Inggris menyatakan ”good manners
begin at home”. Oleh sebab itu pendidikan dalam
keluarga baik pendidikan agama, moral, dan
menanamkan nilai-nilai bahwa setiap orang
memiliki perbedaan yang tidak harus dijadikan
sumber konflik dalam masyarakat yang mengarah
pada perilaku kekerasan sangat penting
dilakukan.
Selain itu, perilaku kekerasan dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat,
duduk bersama, dan win-win solution sehingga
tidak ada pihak yang merasa diuntungkan dan
dirugikan. Hal ini dapat terlaksana jika kedua
belah pihak yang berkonflik memiliki komitmen
bersama, tujuan bersama, dan visi misi bersama
terhadap daerahnya sehingga hasilnya adalah
keputusan bersama yang akan dilaksanakan
secara bersama-sama. Di samping win-win
solution, penegakan hukum terhadap pelaku
kekerasan yang mengarah pada tindakan anarkis
perlu dilakukan.
Jika upaya pencegahan terhadap perilaku
kekerasan tidak dapat dilakukan, maka mau tidak
mau pemerintah daerah harus melakukan
tindakan represif yaitu dengan menerapkan ”law
enforcement” yang tegas tanpa pandang bulu
atau tebang pilih terhadap orang/masyarakat yang
melanggar hukum.
27
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan
Cendekia.
Camara, Dom Hekder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. INSIS Press.
CSIS No.2, Tahun 2002.
Fatah, Saefuloh. 1998. Bangsa Saya Yang Menyebalkan. Bandung: Penerbit Rosdakarya.
Paul, Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Alih Bahasa Robert Lawang. Jakarta: PT
Gramedia.
Salusu, Jonathan.2000. Stabilitas Nasional, Perdamaian dan Komunikasi Politik. Jakarta: The Go-East
Institute.
Suryabrata, Sumadi. 1983. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Penerbit CV Rajawali Press.
28
M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan …
KONSEP PEMBERDAYAAN KELURAHAN DI KOTA MEDAN
(Studi tentang Implementasi Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan)
M. Arifin Nasution
Abstract: The local autonomy implementation has changed the local development, among them are the
change of centralization system into decentralization system. The local autonomy has given the
authority to the autonom area to be more self sufficient and manage its own people’s interests. This
condition also happens in Medan City as one of the autonom area. Therefore, in order to create the
people’s wish to appply the Good and Clean Governance, and good quality public service, The City
Government of Medan holds the programes, one of them is “sub district (kelurahan) empowerment”,
because sub district (kelurahan) is the front line of governance, development and public service
providerwhich directly faces the public.
This research used the descriptive methodes which took place in 5 (five) sub districts (kelurahan) in
Medan City and used the purpossive sampling technique.
This research found that generally the only implementorin policy implementation, is the head of sub
district (lurah) is succesful enough if we look at or judge in cleanness aspect, security, order, amd the
public service in Medan City. However there are still some weakness that is necessary to be
reevaluated.
Keywords: implementation, subdistrict (kelurahan) empowerment , local autonomy
1. PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya otonomi daerah,
maka akan terjadi perubahan yang mendasar
dalam pembangunan daerah, di mana terjadi
perubahan
sistem
sentralistik
menjadi
desentralistik. Paradigma baru otonomi daerah
yang dapat dicatat antara lain adalah terjadinya
perubahan
dalam
beberapa
hal:
lebih
ditingkatkannya proses demokrasi manajemen
pembangunan daerah; peran serta masyarakat
dalam manajemen pembangunan daerah;
pemerataan dan keadilan pembangunan daerah;
lebih diperhatikannya potensi daerah dalam
proses pengelolaan pembangunan daerah serta
keanekaragaman daerah dalam pengelolaan
pembangunan daerah.
Dengan perubahan paradigma di atas,
dituntut juga terciptanya pemerintahan yang baik
(good governance) dan pemerintahan yang bersih
(clean government) dengan sistem transparansi,
akuntabilitas, efisien, dan efektif dari seluruh
aparat dari berbagai tingkatan dalam menjalankan
tugas dan perannya sebagai abdi negara.
Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka
pemerintah Kota Medan dituntut untuk mandiri
dengan prinsip terciptanya pemerintahan yang
kuat ke dalam dan memiliki kemampuan untuk
berkembang dan dituntut untuk dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, sehingga mau tidak mau
daerah harus benar-benar memaksimalkan segala
potensi yang ada di daerahnya, seperti sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini termasuk daerah Kota
Medan yang juga termasuk daerah otonom.
Kota Medan sebagai ibukota propinsi
Sumatera Utara selain berperan sebagai pusat
administrasi pemerintahan, pusat perdagangan
serta industri, juga merupakan pintu gerbang dan
pusat pertumbuhan wilayah di bagian barat
Indonesia. Perkembangannya yang pesat dan
penduduknya yang dinamis kreatif menuntut
setiap aparat pelaksana kota termasuk kelurahan
untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat.
Kelurahan sebagai organisasi pemerintahan
yang paling dekat dan berhubungan langsung
dengan masyarakat merupakan ujung tombak
keberhasilan pembangunan kota khususnya
otonomi daerah, di mana kelurahan akan terlibat
langsung dalam perencanaan dan pengendalian
pembangunan serta pelayanan. Oleh karena itu
kelurahan harus mampu menjadi tempat
penampung aspirasi dan keluhan masyarakat
untuk diselesaikan atau meneruskan aspirasi dan
keinginan tersebut kepada pihak yang
berkompeten untuk ditindaklanjuti. Di samping
itu peran kelurahan juga menjembatani programprogram pemerintah untuk disosialisasikan
kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dan
didukung oleh masyarakat.
29
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Besarnya aspirasi masyarakat dewasa ini
terhadap pemerintah terutama dengan adanya
tuntutan agar terwujudnya pemerintahan yang
bersih, pelayanan yang baik, keterbukaan dan
ketepatan waktu, maka diharapkan pemerintah
dapat
menyikapinya
dengan
berupaya
semaksimal mungkin untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat tersebut melalui beberapa program
kerja antara lain “pemberdayaan kelurahan”.
Pemberdayaan kelurahan yang baik dan
kuat akan dapat menentukan keberhasilan
pelaksanaan rencana program dan proyek melalui
penciptaan langsung peran serta masyarakat di
samping akan mewujudkan terciptanya kestabilan
dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat
yang pada gilirannya akan dapat memberikan
kesempatan yang luas bagi pemerintah kota guna
merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
Melihat hal di atas maka peranan kelurahan
di masa sekarang dan di masa yang akan datang
sangat diperlukan, tidak hanya sebagai
administratur pemerintahan tetapi juga sektorsektor lain agar setiap aspirasi masyarakat dapat
ditampung untuk diambil langkah-langkah lebih
lanjut.
Berdasarkan uraian di atas maka melalui
penelitian ini penulis akan mendeskripsikan
implementasi konsep pemberdayaan kelurahan
serta menguraikan masalah atau kendala yang
dihadapi
dalam
proses
implementasi
pemberdayaan kelurahan di Kota Medan.
2. METODE
Bentuk penelitian yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode deskriptif dengan menggambarkan dan
menjelaskan keadaan dari objek penelitian
berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya, dan
mencoba
menganalisis
untuk
mencari
kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.
Hasil penelitian akan diklasifikasikan dan dibuat
dalam bentuk tabel frekuensi kemudian
diinterpretasikan dan dianalisa oleh penulis
berdasarkan indikator di atas.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan
tipologi pemberdayaan kelurahan, yang berlokasi
di:
1. Kelurahan Pulo Brayan Darat II Kecamatan
Medan Timur, dengan tipologi industri/
pergudangan.
2. Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan
Maimun, dengan tipologi perdagangan/
pertokoan.
30
3. Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru,
dengan tipologi pemukiman inti kota.
4. Kelurahan Tegalsari Mandala III Kecamatan
Medan Denai, dengan tipologi pemukiman
pinggiran.
5. Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan
Marelan, dengan tipologi kawasan pantai.
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh lurah yang berada di kawasan
Kota Medan, yang berjumlah sebanyak 151
lurah. Namun karena keseluruhan populasi tidak
dapat dijangkau oleh penulis maka penulis
memutuskan teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah purposive
sampling dengan kriteria tipologi kelurahan kota
Medan di mana masing-masing tipologi diwakili
oleh satu kelurahan. Dengan begitu adapun yang
menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 5
lurah yang berdasarkan pada Tipologi Kelurahan.
Sedangkan sekretaris Kota Medan atau Kepala
Bagian Pemerintahan Kota Medan akan
diwawancarai sebagai key informan.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan melakukan observasi lapangan serta
wawancara dengan key informan terpilih, serta
menyebarkan kuesioner yang berisi pertanyaanpertanyaan yang terbagi pada enam bagian yaitu
identitas responden; kebersihan; keamanan;
ketertiban; pembinaan masyarakat; dan pelayanan
masyarakat.
Untuk melengkapi data-data yang sudah
didapat penulis juga melakukan library research
terhadap literatur, buku-buku, serta dokumen
yang berkaitan dengan objek yang diteliti.
Kemudian, tekhnik analisa data yang digunakan
dalam penelitian ini adaalah teknik analisa
deskriptif kualitatif, dengan menggolongkan atau
mengklasifikasikan dan menganalisa data yang
diperoleh sehingga didapat gambaran yang jelas
tentang obyek yang diteliti, dan selanjutnya
dilakukan penarikan kesimpulan.
3. PEMBAHASAN
Kota Medan adalah salah satu ibukota
provinsi yang terbesar penduduknya di Indonesia.
Saat ini Kota Medan terus berkembang menjadi
pusat trans Sumatera, bahkan dapat dikatakan
merupakan salah satu jalur transportasi yang
strategis untuk menuju daerah lain bagi penduduk
sekitarnya. Kota Medan telah menjadi daerah
perkotaan yang berkembang pesat. Hal ini
disebabkan antara lain:
M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan …
1. Peranan kota ini sebagai pusat perniagaan
yang mempunyai jaringan hubungan dengan
daerah perindustrian dan pertanian di luar
kota maupun di sekitar pusat kota.
2. Peranan kota ini sebagai tempat kedudukan
kantor-kantor pemerintah dan swasta.
3. Peranan kota ini sebagai pusat pendidikan
mulai dari TK sampai perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta.
4. Peranan kota ini sebagai pintu gerbang keluar
masuk baik melalui daratan maupun melalui
laut menuju daerah lain.
5. Kota Medan sebagai ibukota Provinsi
Sumatera Utara.
Penduduk kota Medan berdasarkan sensus
tahun 2000 berjumlah 1.898.013 jiwa yang
terbagi atas 939.039 jiwa laki-laki dan 958.977
perempuan. Penduduk kota Medan terkenal
sangat majemuk terutama dari suku bangsa dan
agama. Kemajemukan ini juga ditandai dengan
penguasaan suatu okupasi dan terjadinya
pengelompokan tempat tinggal berdasarkan suku
bangsa walaupun tidak bersifat mutlak.
Keanekaragaman suku bangsa di kota Medan
dapat juga dilihat dari kelompok keagamaan
mereka, yaitu organisasi keagamaan yang
mengelola kehidupan sosial dan agama.
Implementasi
Dalam
setiap
perumusan
suatu
kebijaksanaan apakah itu menyangkut program
maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan
suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi,
karena betapa pun baiknya suatu kebijaksanaan
tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak
berarti.
Sesuai dengan hal tersebut, Charles O’Jones
(1991: 296) mengemukakan: “Implementasi
adalah suatu proses interaktif antara suatu
perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat
interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan
yang mendahuluinya, dengan kata lain
implementasi
merupakan
kegiatan
yang
dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah
program
dengan
pilar-pilar
organisasi,
interpretasi, dan pelaksanaan.”
Selanjutnya pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn
(Drucker, 1975) yang merumuskan bahwa:
“Implementasi sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan baik oleh individu-individu atau
pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok
pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam suatu kebijaksanaan.”
Menurut Edwards III dalam Winarno
(2002: 125), implementasi kebijakan adalah
tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan
bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Menurutnya
(Winarno, 2002: 126) ada empat faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan
publik.
Faktor-faktor atau variabel-variabel
tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber,
kecenderungan-kecenderungan, dan struktur
birokrasi.
Sumber daya layak mendapat perhatian
karena menunjang keberhasilan implementasi
kebijakan. Sumber daya yang dimaksud mecakup
dana atau perangsang (incentive) lain yang
mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif. Dan yang tidak kalah penting adalah
untuk memberi perhatian yang besar kepada
kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
implementasi, ketepatan komunikasinya dengan
para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman
dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang
dikomunikasikan dengan berbagai sumber
informasi.
Karakteristik badan-badan pelaksana juga
mempengaruhi pencapaian kebijakan. Menurut
Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002: 116)
pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur
birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai
karakterisrik-karakteristik, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang
dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan
apa yang mereka miliki dengan menjalankan
kebijakan.
Menurut Edwards (Winarno, 2002: 126)
persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan
yang efektif adalah bahwa mereka yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa
yang harus mereka lakukan. Secara umum
Edwards membahas tiga hal penting dalam
proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi,
konsistensi, dan kejelasan
Dari beberapa pendapat di atas, dapat
penulis simpulkan bahwa implementasi itu adalah
aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat maupun
kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta
untuk mencapai tujuan yang telah digariskan
terlebih dahulu dalam suatu kebijaksanaan.
31
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Pemerintahan Kelurahan
“Kelurahan adalah wilayah kerja lurah
sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau
daerah kota di bawah kecamatan” (UU No. 22
Tahun 1999 Bab I Pasal 1 Huruf n).
Kemudian pemerintah kelurahan tersebut
terdiri dari kepala kelurahan dan perangkat
kelurahan. Perangkat kelurahan terdiri dari
sekretariat kelurahan dan kepala-kepala lingkungan.
Kesemua aparatur pemerintahan kelurahan inilah
yang akan melaksanakan tugas-tugas pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka peningkatan kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan maka ditetapkan
susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan
yang terdiri atas:
1. Kepala Kelurahan
2. Sekretariat Kelurahan
3. Kepala-Kepala Urusan
4. Kepala
Lingkungan,
yang
jumlahnya
disesuaikan dengan kebutuhan kelurahan yang
bersangkutan.
Kemudian jumlah urusan sedikitnya 3
urusan:
1. urusan pemerintahan,
2. urusan perekonomian dan pembangunan,
3. urusan keuangan dan urusan umum, dan
sebanyak-banyaknya 5 urusan yaitu:
1. urusan pemerintahan,
2. urusan perekonomian dan pembangunan,
3. urusan kesejahteraan rakyat,
4. urusan keuangan,
5. urusan umum.
Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan
Istilah pemberdayaan (empowerment) dan
empower yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “pemberdayaan” menurut
Webster dan Oxford English Dictionary kata
empower mengandung dua pengertian. Pertama
to give power and authority to dan pengertian
kedua to give ability to or anable. Dalam
pengertian pertama diartikan sebagai memberi
kekuasaan,
mengalihkan
kekuatan,
atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan
sebagai upaya untuk memberikan kemampuan
atau keberdayaan (Priono, 1996).
Natural Resources maupun human
resources
yang
saling
terkait
dalam
pembangunan merupakan titik sentral yang
memicu munculya pemberdayaan dan yang
merupakan target dari pemberdayaan. Karena itu
32
sumber daya manusia sangat erat hubungannya
dengan skill, sementara kondisi skill berhubungan
erat dengan kemampuan masyarakat untuk
menjalankan tugas dan pekerjaannya sehingga
perlu diberdayakan.
Demikian halnya pemberdayaan kelurahan
di Kota Medan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan bahwa kelurahan merupakan perangkat
daerah kabupaten/kota yang memikul tanggung
jawab sebagai ujung tombak pembangunan
terendah di daerah.
Pemberdayaan kelurahan jika dilihat dari
dasar pertimbangan produk hukum saat ini
merupakan suatu keharusan karena menurut
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Pemerintahan Daerah, kelurahan merupakan
perangkat daerah kabupaten/kota. Perangkat
daerah tanpa power adalah suatu kemustahilan.
Sementara Perda Nomor 24 Tahun 1992
menggariskan bahwa pemerintah kelurahan
dilibatkan dalam proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang.
Melihat ketentuan di atas maka peranan
kelurahan harus diperluas tidak hanya sebagai
administratur pemerintahan tetapi juga sektor
lain. Dengan fungsi dan peran yang sangat
strategis tersebut maka Pemerintah Kota Medan
harus menjadikan pemberdayaan kelurahan
sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan
dengan upaya antara lain:
1. Pelimpahan tanggung jawab dan wewenang
atas beberapa fungsi pelayanan dan pengawasan
yang langsung menyentuh kepentingan
masyarakat.
2. Penataan terhadap kekuatan dan kemampuan
pemerintah kelurahan dengan melakukan
peningkatan sumber daya manusia, kelengkapan
personel, dan penambahan dukungan dana.
Dari uraian di atas maka dapat kita buat
suatu definisi bahwa pemberdayaan kelurahan
yang di maksud dalam program Pemerintah Kota
Medan yaitu memberdayakan kelurahan dalam
menerima wewenang, tugas, dan tanggung jawab
dalam beberapa hal, yaitu (instruksi Walikota
Medan Nomor 141/079/inst/2001):
A. Kebersihan
1. Mengawasi masyarakat untuk menjaga
kebersihan, keindahan, dan kerapian di
lingkungannya
masing-masing
dan
menjaga agar tidak ada lagi sampah yang
berserakan/bertumpuk-tumpuk.
M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan …
2. Melaksanakan pengangkatan sampah dari
rumah masyarakat dan yang berserakan
ke TPS yang sudah ditentukan.
3. Mengontrol dan mengawasi penggunaan
TPS agar sampah-sampah tidak melimpah
dan berserakan di sekitar TPS.
4. Mengadakan penyapuan terhadap jalanjalan protokoler dan jalan-jalan lainnya
yang berada di wilayah kerjanya dan
memerintahkan petugas kebersihan agar
mematuhi dan melaksanakan tugasnya
sesuai wilayah kerja dan jam kerja yang
telah ditentukan.
5. Mengawasi masyarakat agar tidak
membuang sampah ke dalam parit dan
mambersihkan sampah-sampah yang ada
dalam parit agar air mengalir dengan
lancar.
6. Menggerakkan masyarakat melaksanakan
gotong royong pada hari Jumat dan
Minggu untuk membersihkan parit yang
tersumbat agar tidak terjadi banjir apabila
hujan turun.
7. Melaksanakan pembersihan dan perawatan
terhadap lokasi tanah kuburan yang
berada di wilayah kerjanya.
8. Melaksanakan pembersihan saluran dan
pengangkatan tumpukan-tumpukan tanah
yang berada di brem atau badan jalan
agar air yang berada di badan jalan dapat
mengalir dengan lancar ke dalam parit.
9. Melaksanakan pengorekan parit-parit
sampah ke boodem (dasar saluran) agar
air dalam parit berjalan lancar.
10. Melakukan pengawasan terhadap petugas
pengangkut sampah (Bestari) dan petugas
penyapu jalan (Melati) yang ada di
wilayah kerjanya dalam melaksanakan
tugas kebersihan serta menyalurkan
pembayaran gaji petugas dimaksud.
11. Memungut kontribusi sampah dari kepala
keluarga, dan dalam pelaksanaannya
harus mempedomani ketentuan peraturan
yang berlaku.
12. Melaksanakan pemotongan runput di
pinggir jalan dan pengecatan trotoar
dengan cat minyak yang ada di wilayah
kerjanya masing-masing.
13. Memelihara pohon-pohon penghijauan,
taman-taman kota, dan fasilitas umum
lainnya yang telah ditanam serta
dibangun oleh pemerintah kota atau
swadaya masyarakat.
14. Mengawasi pohon-pohon penghijauan,
taman-taman kota, dan fasilitas umum
lainnya yang dibangun pemerintah
maupun swadaya masyarakat dari
kerusakan yang dilakukan oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab.
15. Menggerakkan peran serta masyarakat
untuk menanam, memelihara, dan
menjaga pohon-pohon penghijauan,
taman-taman kota, serta fasilitas umum
lainnya yang ada di wilayah kerjanya
masing-masing.
B. Keamanan
1) Menggerakkan
masyarakat
untuk
membangun pos-pos siskamling di
lingkungan masing-masing.
2) Mengaktifkan
siskamling
dan
pengamanan swakarsa di wilayah
kerjanya masing-masing.
3) Melaksanakan koordinasi dengan aparat
keamanan agar gangguan keamanan dapat
terkendali.
4) Memerintahkan
masyarakat
untuk
melaksanakan pemasangan lampu-lampu
neon (TL) di depan ruko atau rumah
tempat tinggal masing-masing.
5) Memerintahkan
masyarakat
untuk
menghidupkan lampu-lampu neon (TL)
yang telah dipasang di depan ruko atau
rumah tempat tinggal masing-masing
mulai pukul 19.00 s.d. 05.00 WIB (pagi).
6) Mengawasi
masyarakat
dalam
pengambilan/penyambungan aliran listrik
untuk kebutuhan lampu neon (TL) harus
melalui/meteran ruko atau rumah tempat
tinggal masing-masing.
7) Mengawasi dan melaporkan lampu
penerangan jalan (LPJ) yang mati
maupun yang rusak (tidak hidup) ke
Dinas Pemerintahan Kota Medan.
C. Ketertiban
1) Menata pedagang-pedagang kaki lima
agar berjualan pada tempat-tempat yang
telah ditentukan atau jalan-jalan
alternatif yang ada di wilayah kerjanya
masing-masing.
2) Menertibkan pedagang-pedagang kaki
lima yang berjalan di trotoar atau di atas
parit pada jalan-jalan protokol dan haltehalte bus, bersama dengan camat.
33
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
3) Mengawasi masyarakat agar tidak
membangun bangunan tanpa izin dari
Pemerintah Kota Medan.
4) Menindak dan membongkar bangunan
yang tidak memiliki izin maupun yang
menyimpang dari izin yang diberikan
bersama dengan camat.
5) Melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
galian-galian
yang
dilaksanakan oleh PLN, TELKOM, PN
GAS, dan PDAM Tirtanadi serta jalanjalan yang berlubang/rusak, selanjutnya
melaporkan ke Dinas Pekerjaan Umum
(PU) Kota Medan dengan tembusan ke
Walikota Medan.
6) Memerintahkan masyarakat agar tidak
menutup/membeton parit-parit yang ada
di depan rumah tokonya.
7) Membongkar beton-beton parit di depan
rumah toko masyarakat agar tidak terjadi
penyumbatan dalam parit di wilayah
kerjanya masing-masing.
8) Mengawasi dan menindak masyarakat
yang memelihara hewan yang berkaki
empat yang dipelihara di tempat-tempat
yang dilarang Pemerintah Kota Medan
bersama dengan camat.
9) Mengawasi dan menindak masyarakat
yang memarkir kendaraannya tidak pada
tempat parkir yang telah disediakan
maupun yang dapat mengganggu arus
lalu lintas bersama dengan camat.
10) Menjaga dan memelihara rambu-rambu
lalu lintas agar tidak dirusak oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.
D. Pembinaan Masyarakat
1) Melaksanakan tatap muka dengan
masyarakat
maupun
tokoh-tokoh
masyarakat
dengan
menjelaskan
program-program
pemerintah
yang
belum, sedang, dan akan dilaksanakan di
setiap kesempatan yang ada.
2) Menghadiri setiap undangan masyarakat
dan mengimbau peran aktif warga untuk
membangun wilayahnya masing-masing.
3) Memelihara dan meningkatkan taraf
kesehatan serta gizi warga masyarakat
serta membina dan meningkatkan
akseptor KB yang mandiri serta membina
dan meningkatkan pengetahuan dan
34
keterampilan
untuk
mendukung
penghasilan tambahan keluarga.
4) Harus tampil di tengah-tengah masyarakat
dalam situasi/keadaan tertentu dan
mampu menyelesaikan masalah yang ada
secara arif dan bijaksana.
5) Menyusun dan melaksanakan program
pemberdayaan ekonomi rakyat dan
pemberian fasilitas-fasilitas kemudahan/
kelancaran
administrasi,
pelatihan,
permodalan, pemasaran melalui kerja
sama dengan instansi sektoral.
E. Pelayanan Masyarakat
1) Melaksanakan
pendataan
terhadap
masyarakat yang tidak memiliki KRT
atau KTP dan memerintahkan untuk
mengurusnya dengan berpedoman kepada
ketentuan peraturan yang berlaku.
2) Melaksanakan pelayanan pengurusan
KRT dan KTP kepada masyarakat sesuai
prosedur yang berlaku dan tetap
mempedomani tarif KRT dan KTP
berdasarkan peraturan daerah yang
ditetapkan.
3) Melaksanakan pengawasan dan sweeping
terhadap penduduk yang masuk di
wilayahnya dan wajib lapor 1x24 jam
kepada kepala lingkungan masingmasing.
4) Melaksanakan pelayanan berupa pemberian
surat-surat keterangan yang dibutuhkan
masyarakat
berdasarkan
ketentuan
peraturan yang berlaku dan tidak
mempersulit/membebani masyarakat yang
bersangkutan.
5) Melaksanakan penyelesaian pengurusan
surat-surat keterangan tanah dan
melakukan pengecekan terhadap bidang
tanah yang akan dimohonkan haknya
kepada kantor BPN Medan, dengan tetap
berpedoman kepada ketentuan peraturan
yang berlaku.
6) Mempercepat semua urusan pelayanan
masyarakat, tidak mempersulit dengan
tidak membebani biaya yang tidak diatur
oleh ketentuan peraturan yang berlaku.
Secara umum pemerintah kelurahan dapat
dinilai sudah melaksanakan instruksi tersebut di
atas. Untuk masalah kebersihan kepala kelurahan
sebagai penerima dan penangggungjawab
langsung instruksi tersebut sudah menilai
M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan …
kebersihan di wilayah yang dipimpinnya baik.
Tetapi masih ada jawaban responden yang
menggantungkan sepenuhnya urusan kebersihan
pada tim Bestari dan Melati.
Sementara pelimpahan wewenang yang
begitu besar ternyata tidak disertai dengan
tanggung jawab konsekuensi pendanaan dari
Pemerintah Kota Medan, karena masih ada
kelurahan yang terpaksa menambah dana untuk
pembiayaan kebersihan dari kas kelurahan
bahkan mengutip retribusi dari masyarakat. Dan
hanya sebagian kecil kelurahan yang memang
murni
menggantungkan
anggaran
untuk
pengelolaan kebersihan pada kas pemerintah
kota. Namun setelah menerima pelimpahan
wewenang dari walikota ternyata kembali
melimpahkannya pada pegawai kelurahan.
Dalam hal keamanan masih ada beberapa
jawaban responden yang tidak muncul sesuai
dengan instruksi tersebut di atas. Ketidakjelasan
pelimpahan wewenang dan tanggungjawab serta
dampak dan konsekuensi yang muncul juga
masih terlihat dari adanya kelurahan yang
memungut dana untuk keamanan dari
masyarakat, walaupun ada yang memang
mendapatkan dari Pemerintah Kota Medan.
Bahkan
ada
kelurahan
yang
tidak
mengalokasikan anggaran sama sekali untuk
keamanan.
Ketergantungan yang tinggi terhadap
pemerintah kota dalam hal pelaksanaan instruksi
ini juga dapat dilihat dari hasil penelitian, di
mana hal ini mencerminkan betapa sulitnya
pemerintah kelurahan mengambil keputusan.
Maka untuk persoalan yang sebetulnya bisa
diselesaikan oleh pemerintah kelurahan, karena
merupakan bagian dari instruksi di atas, namun
pemerintah kelurahan masih menyerahkannya
pada institusi yang berbeda atau yang ada di
atasnya.
Sumber-sumber dapat merupakan faktor
yang penting dalam melaksanakan kebijakan
publik. Karena apabila para pelaksana kebijakan
kekurangan sumber-sumber yang diperlukan
maka implementasi tersebut akan menjadi
cenderung tidak efektif walaupun perintahperintah implementasi sudah diteruskan secara
cermat, jelas, dan konsisten. Sumber-sumber
yang penting tersebut meliputi staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang,
dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
Walaupun sumber yang paling penting
dalam melaksanakan kebijakan adalah staf, akan
tetapi jumlah staf yang banyak ternyata tidak
secara otomatis mendorong implemetasi yang
berhasil. Hal ini disebabkan kurangnya
kecapakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf. Kekurangan staf yang
terjadi menyebabkan pemerintah kelurahan
memberikan atau menerima tanggung jawab
ganda atau bahkan mengosongkan posisi yang
penting dalam implementasi instruksi Walikota
Medan Nomor 141/079/INST Posisi dan
tanggung jawab ganda tersebut jika tidak diiringi
dengan kecakapan yang memadai tentu saja akan
menimbulkan masalah tersendiri.
Sebagai
abdi
negara,
aparatur
pemerintahan kelurahan harus dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara baik.
Pelayanan masyarakat adalah kegiatan organisasi
yang dilakukan untuk mengamalkan dan
mengabdikan diri kepada masyarakat (The Liang
Gie, 1989:365).
Namun dalam kenyataannya untuk
pembinaan dan pelayanan masyarakat yang
merupakan titik penting dan paling krusial dalam
pelaksanaan pemerintahan ternyata tidak dapat
terlaksana sepenuhnya. Ketergantungan yang
tinggi terhadap Pemerintah Kota Medan masih
terlihat.
Dalam implemetasi sebuah kebijakan ada
beberapa sumber yang penting selain yang telah
disebutkan sebelumnya, meliputi staf, keahlian–
keahlian, wewenang, dan fasilitas-fasilitas.
Informasi juga merupakan sumber penting
berikutnya. Dalam pelaksanaan kebijakan tentu
saja
diperlukan
informasi
bagaimana
melaksanakan kebijakan tersebut. Wewenang
juga merupakan sumber yang penting.
Wewenang akan berbeda-beda dari satu program
ke program lainnya serta mempunyai banyak
bentuk yang berbeda misalnya perintah kepada
para pejabat lain, menarik dana dari suatu
program, menyediakan dana, atau memungut
pajak.
Mengutip Samodra Wibawa dkk.
(1994:15) kebijakan selalu mengandung tiga
komponen dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran
yang spesifik, dan cara mencapai sasaran
tersebut. Di dalam cara tersebut terkandung
beberapa komponen kebijakan lainnya yaitu siapa
implementatornya, berapa besar dana diperoleh,
35
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
siapa kelompok sasarannya, bagaimana program
dilaksanakan
atau
bagaimana
sistem
manajemennya, serta bagaimana keberhasilan
atau kinerja kebijakan diukur.
Melihat implementasi instruksi Walikota
Medan Nomor 141/079/INST dengan beberapa
cara di atas maka yang terdapat di dalamnya
hanya implementator yaitu kepala kelurahan, ini
pun belum disertai dengan juklak dan juknis
(pelaksanaan program dan sistem manajemen)
sebagai pegangan kepala kelurahan melaksanakan
instruksi yang begitu banyak di lapangan.
Sedangkan untuk perolehan dana sampai
saat ini metode yang dipakai Pemerintah Kota
Medan adalah menyamaratakan dana yang
dialokasikan tanpa memperhatikan karakteristik
dan kebutuhan masing–masing kelurahan.
Sehingga terlihat jelas pada bagian penyajian di
atas ada kelurahan yang menganggarkan secara
khusus untuk satu program sementara kelurahan
lain
tidak.
Padahal
menurut
anggaran
pemberdayaan kelurahan –kecuali untuk bantuan
honorarium kepala lingkungan yang disesuaikan
dengan jumlah lingkungan– seluruh kelurahan
mendapat bagian dana yang sama untuk
pemberdayaan kelurahan. Tidak dibenarkannya
kelurahan memungut dana pada masyarakat
–karena sudah dipungut oleh Pemerintah Kota
Medan– menyebabkan timbulnya retribusi–
retribusi dari kelurahan yang cenderung bersifat
ilegal. Walaupun secara umum instruksi
Walikota Medan Nomor 141/079/INST sudah
diterjemahkan dengan baik oleh implementator di
lapangan tetapi beberapa titik lemah yang sudah
diuraikan di atas tentu perlu menjadi perhatian
khusus Pemerintah Kota Medan selaku pembuat
kebijakan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
- instruksi
Walikota
Medan
Nomor
141/079/INST sampai saat ini hanya
merupakan perintah dari atasan pada
36
bawahan. Pola manajemen yang top-down
terlihat sangat jelas. Pembagian tugas dan
tanggung jawab yang dilakukan Walikota
Medan kepada kepala kelurahan di Kota
Medan tidak disertai dengan petunjuk
bagaimana program tersebut dilaksanakan dan
sistem manajemen seperti apa yang
dipergunakan untuk keberhasilan maksimal
dari program tersebut.
- Persoalan pendanaan yang merupakan bagian
penting dari sebuah implementasi program
tentu saja harus memperhatikan aspek
kebutuhan dan karakteristik ke mana dana
tersebut dialirkan. Hal ini sampai saat ini
belum menjadi fokus dan perhatian
Pemerintah Kota Medan selaku pembuat
kebijakan.
- Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan
bahwa kepala kelurahan selaku implementator
tunggal dalam pelaksanaan kebijakan ini
–sesuai yang tercantum dalam instruksi
Walikota Medan Nomor 141/079/INST–
sudah cukup berhasil dalam melaksanakan
instruksi ini. Hal ini dapat dilihat secara nyata
dari aspek kebersihan kota, penjagaan
keamanan, ketertiban, pembinaan, dan
pelayanan masyarakat di Kota Medan.
5. SARAN
Pemerintah Kota Medan sebagai institusi
yang menelurkan program pemberdayaan
kelurahan diharapkan segera mereposisi ulang
program tersebut baik dari aspek kebijakan
maupun aspek pendukung lainnya seperti
implementatornya, berapa besar dana diperoleh
yang tentu saja memperhatikan karakteristik dan
kebutuhan penerima dana, siapa kelompok
sasarannya, bagaimana program dilaksanakan,
atau
bagaimana
sistem
manajemennya,
bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan
diukur sehingga kecenderungan untuk menilai
program pemberdayaan kelurahan Pemerintah
Kota Medan sebagai pemberdayaan setengah hati
tidak terjadi.
M. Arifin Nasution, Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan …
DAFTAR PUSTAKA
Charles O’Jones, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Rajawali Press, 1991.
Gie, The Liang, Ensiklopedia Administrasi, CV.Masagung, Jakarta, 1989.
Instruksi Walikota Medan Nomor 141 Tahun 2001, Tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala
Kelurahan dalam Rangka Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah.
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002.
37
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA PERENCAAN PARTISIPATIF
Marlon Sihombing
Abstract: The conventional regional development depends on several asumptions: that the social
welfare level will increase because of the economic growth. However, in fact, this macro economic
hypothesis is not always trialed significantly. This condition requires the paradigm shifting, from the
growth paradigm into people centred development which suppose the human as the main element in
the development through each contribution an also the participation and the improvement of economic
actor.
Keywords: regional development, paricipative planning
1. PENDAHULUAN
Asumsi pertumbuhan ekonomi, yang
menjadi tumpuan konsep pengembangan
kawasan yang konvensional, dapat tercapai
dengan percepatan industri yang akan terjadi
pada pusat-pusat pertumbuhan (di perkotaan),
yang kemudian akan menyebar ke sekitarnya.
Proses globalisasi akan menghubungkan pusatpusat
pertumbuhan
tadi
dengan
pusat
pertumbuhan global dan sekaligus akan
mempercepat pertumbuhan itu. Oleh karena itu
perlu rencana pengembangan kawasan yang
tersentralisir untuk mendorong pertumbuhan dan
industrialisasi (Moeljarto 2004).
Namun dalam kenyataannya tidak selalu
demikian. Seperti dalam masa-masa pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi pada tahun 80-an,
ternyata tetesan pembangunan itu tidak terasa
bagi masyarakat miskin terutama di pedesaan.
Justru yang terjadi adalah urbanisasi dan
eksploitasi kota terhadap desa yang semakin
mempersulit posisi masyarakat miskin dan
pedesaan.
Tuntutan
pergeseran
paradigma
pembangunan menuju people centred development
yang memperlakukan manusia sebagai yang
utama dalam pembangunan, melalui kontribusi
masing-masing serta partisipasi dan peningkatan
setiap pelaku ekonomi, juga menuntut kerangka
spasial bagi pengembangan kawasan, dalam hal
ini harus dapat menjawab berbagai persoalan
mendasar yang berkaitan dengan kontribusi,
partisipasi, dan produktivitas penduduk dari
lapisan sosial bawah. Hal ini mencakup:
1. Bagaimana masyarakat kecil dan miskin yang
perlu mendapat perhatian dapat ikut serta
dalam proses pembangunan. Hal ini mencakup
tahap pengambilan keputusan, penetapan
pelaksanaan, dan evaluasi.
38
2. Bagaimana agar keterkaitan antarsektor sampai
di tingkat perdesaan dapat ditingkatkan dan
disinergikan.
3. Bagaimana membangun unit-unit, potensipotensi perdesaan dalam meningkatkan
dinamika ekonomi perdesaan yang lebih baik.
4. Bagaimana model perencanaan yang dapat
mengorganisir potensi-potensi tadi khususnya
dalam pengembangan teritorial pedesaan.
Hal inilah pokok-pokok persoalan yang
akan dibahas mengenai pengembangan kawasan
melalui konsep paradigma perencanaan partisipasi
yang mengutamakan manusia di dalam
pembangunan dan lebih populer dikenal people
centred development atau pembangunan yang
berwawasan kemasyarakatan.
2. PEMBAHASAN
Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan
Perencanaan
pembangunan
dapat
diartikan sebagai upaya menghubungkan
pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidahkaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik
yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif
kepentingan orang banyak atau publik (Nugroho
& Dahuri 2004). Karena berlandaskan ilmiah,
maka perencanaan pembangunan haruslah tetap
mempertahankan dan bahkan meningkatkan
validitas keilmuan (scientific validity) dan
relevansi kebijakannya. Didorong oleh motif ini,
perencanaan
pembangunan
mengalami
perkembangan yang cukup dinamis baik secara
teoretik maupun paradigmatik. Perkembangan itu
dapat ditelusuri sejak pembangunan telah
dipandang sebagai proses perubahan sosial
masyarakat terencana yang merupakan fenomena
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
pembangunan yang dapat dicatat sesudah Perang
Dunia II.
Pada masa ini adopsi perencanaan
ekonomi dalam upaya negara-negara sedang
berkembang untuk membangun sangat mewarnai
perencanaan pembangunan yang diterapkan.
Ironisnya, proliferasi perencanaan ekonomi
dengan
menggunakan
indikator-indikator
ekonomi makro ini berlangsung dalam kenyataan
lebih banyak negara-negara yang mengalami
kegagalan daripada yang berhasil, walaupun telah
dibarengi dengan sistem perencanaan, birokrasi
yang ketat, dan otoriter. Apa yang dapat kita
pahami dari pengalaman ini adalah bahwa
"perencanaan pembangunan" tidak dapat
bertahan pada satu sosok yang tunggal.
Perencanaan pembangunan harus mengadaptasi
tuntutan lingkungan serta variasi dinamika
perubahan yang terjadi. Kompleksitas dan
multidimensionalitas permasalahan pembangunan
serta selaras dengan mempertahankan scientific
validity dan relevance telah mendorong lahirnya
berbagai paradigma pembangunan. Secara
diakronik dapat dijajarkan mulai dari paradigma
perencanaan ekonomi yang lebih kita kenal
sebagai paradigma pertumbuhan (growth),
paradigma pembangunan yang mengacu pada
kebutuhan pokok (basic needs) dan paradigma
pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centred development). Ketiga kategori
umum paradigma pembangunan ini tentu punya
karakter yang berbeda-beda satu sama lain.
Perbedaan itu dapat digambarkan pada tabel di
bawah.
Karakter
Pertumbuhan
(growth)
Industri
Fokus
Peran Pemerintah
Enterpreneur
Modal
Sumber Utama
Struktur Administrasi Vertikal
(Birokrasi)
Sentral
Proses Perencanaan
Objek
Partisipasi
Marjinalisasi
Kendala
Perbandingan karakter paradigma tersebut
perlu dipahami untuk menganalisis "perencanaan
partisipatif" sebagai tema utama tulisan ini.
Kalau kita bandingkan terutama antara paradigma
pertumbuhan dan kebutuhan pokok terhadap
paradigma humanizing yang sudah cukup populer
sejak tahun 1980-an hingga saat ini (GBHN
1993; pembangunan manusia seutuhnya) di
Indonesia, sudah seharusnya memiliki atau
berada pada suatu kondisi tata pemerintahan yang
baik (good governance) yang menempatkan
manusia benar sebagai yang utama dalam
pembangunan (subjek) dengan implikasinya;
pemerintah (birokrasi) lebih berperan sebagai
fasilitator; membangkitkan kreativitas manusia
dan masyarakat untuk mewujudkan self
sustaining capacity dengan model perencanaan
yang partisipatif.
Sebenarnya telah lama secara retorik
masyarakat ditempatkan sebagai subjek dalam
pembangunan, tetapi dalam realitasnya mereka
masih selalu menjadi objek dan bahkan marginal
dalam pembangunan itu. Dalam sejarah
pembangunan nasional Indonesia pernah dikenal
unit spasial supradesa yang dikenal dengan Unit
Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Namun
dalam praktiknya UDKP hanya diartikan sebagai
wilayah pembangunan di mana segala proses
pembangunan berada dalam komando camat.
Konsep pembangunan kawasan hanya diartikan
sebagai administratif belaka (Moeljarto 2004).
Akhirnya masyarakat masih menjadi bulanbulanan elite yang ingin disebut sebagai
pahlawan pembangunan.
Paradigma
Kebutuhan Pokok
(basic needs)
Pelayanan
Service provider
Anggaran/Administratif
Vertikal
Sentral/Desentral
Objek
Keterbatasan Anggaran
Humanis
(people centred dev.)
Manusia
Enabler/facilitator
Kreativitas/komitmen
Horizontal
Desentral (Bottom- up)
Partisipatif subjek
Struktur dan prosedur
attitude perlu diubah
39
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Bagi
masyarakat
kecil
sering
pembangunan tanpa arti atau bahkan menjadi
petaka karena pembangunan yang menggusur
mereka. Sehingga lebih lanjut dapat kita
bertanya: Apakah ada perencanaan pembangunan?
Atau kalau ada pembangunan itu untuk siapa?
Pertanyaan seperti ini wajar dilontarkan sampai
saat ini ketika kita memperhatikan tidak adanya
perubahan
kesejahteraan
bagi
kelompok
masyarakat tertentu secara signifikan dari tahun
ke tahun. Kehidupan Ajo Sukaramai Medan,
misalnya, dari dulu tidak berubah. Justru
sebaliknya malah banyak menurun pendapatannya.
Petani kita juga demikian, pedagang kaki lima,
dan lain-lain. Walaupun kita tidak menutup mata
bahwa di tempat lain atau sektor lainnya ada juga
yang berhasil serta menggembirakan anggota
masyarakat. Seperti Kota Limpung, Jawa
Tengah, dan Kota Majalaya di Bandung adalah
contoh- contoh kota yang dapat dikatakan sukses
membangun melalui kunci sukses pendekatan
perencanaan
partisipatif
yang
dinikmati
masyarakat.
Di
dalam
penerapan
pendekatan
pembangunan perencanaan partisipatif ini,
perencanaan partisipatif telah dianggap menjadi
sarana yang ampuh untuk menanggulangi
persoalan-persoalan pembangunan termasuk
persoalan kemiskinan. Asumsi pendekatan ini
adalah bahwa pembangunan akan berhasil
apabila masyarakat dilibatkan dalam proses
pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan,
formulasi, implementasi, kemanfaatan, dan
evaluasi. Perhatian partisipasi masyarakat ini
lebih jauh dibahas oleh Cohen dan Up Off
melalui kriteria kondisi jawaban setiap peserta
terhadap berpartisipasi untuk: what, who, whom,
how. Artinya partisipasi itu harus jelas: apa, siapa
yang harus berpartisipasi, dengan siapa, serta
bagaimana. Dalam pendekatan pembangunan
seperti ini, penguasaan masyarakat terhadap
faktor-faktor produksi harus lebih baik agar
kemampuan mereka untuk merencanakan,
melaksanakan, serta mengawasi jalannya
pembangunan pun akan semakin meningkat.
Karena semakin tinggi penguasaan masyarakat
terhadap faktor-faktor produksi akan semakin
tinggi pula kemampuan masyarakat dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi
(Baswir:2003). Oleh sebab itu reinterpretasi dan
refungsionalisasi
UDKP
dalam
rangka
pengembangan wilayah sesuai dengan konsep
pembangunan kerakyatan itu sangat relevan dan
tepat untuk dilakukan apalagi Undang-Undang
40
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan
perdesaan di Indonesia wajib memperhatikan;
kepentingan masyarakat desa, kewenangan desa,
kelancaran pelaksanaan investasi, pelestarian
lingkungan hidup, keserasian kepentingan
antarkawasan, dan kepentingan umum. Hal ini
dimaksud harus mencakup:
1. Perhatian pada alokasi sumber yang cukup
pada unit teritorial dalam skala ekonomi yang
memungkinkan multiplier dalam agroindustri,
konstruksi, transportasi, perdagangan, dan
lain-lain.
2. Mewujudkan keterkaitan antarsektor pada unit
teritorial yang mewujudkan optimalisasi efek
sinergi.
3. Investasi yang sinergi membuka peluang kerja
bagi masyarakat miskin, dalam arti menyerap
tenaga kerja.
4. Pembangunan kawasan harus diartikan untuk
meningkatkan produktivitas masyarakat secara
optimal dapat memanfaatkan sumber daya
alam.
5. Pengembangan industri yang resources-based
yang menjadi komoditi unggulan.
6. Dalam menggalakkan pengembangan kawasan
ini perlu kebijakan-kebijakan dualisme, dalam
arti ada kebijakan yang ditujukan untuk
melindungi masyarakat selain mendorong
industri perdesaan.
Untuk menerapkan hal ini berbagai
prakarsa untuk menciptakan ruang-ruang publik
perlu didukung. Upaya pembukaan ruang publik
diyakini
dapat
meningkatkan
kualitas
keikutsertaan warga dalam proses pengambilan
keputusan, mengendalikan dan memperoleh
sumber daya bersama yang tadinya hanya
dikuasai oleh negara. Saat ini pembukaan ruangruang publik dapat dilihat sebagai demokratisasi,
partisipasi, dan good governance. Pada akhirakhir ini upaya ini bahkan telah mendorong
lahirnya LSM, forum-forum warga, asosiasi dan
lain-lain tempat berembuk, berkomunikasi,
mengambil keputusan, merumuskan, dan
menyelesaikan persoalan-persoalan bersama
secara mandiri. Walaupun di sisi lain harus
diakui banyak kendala, keterbatasan, dan
menuntut kesabaran lebih untuk melalui jalur
pilihan perencanaan partisipatif ini. Akan tetapi
bagi Kota Majalaya yang telah menerapkan
model perencanaan ini dengan baik, persoalan
pemindahan pedagang kaki lima, revisi rencana
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
detail tata ruang, menangani masalah perkotaan
dan lain-lain terasa menjadi lebih ringan ketika
ruang-ruang publik seperti forum warga telah
fungsional. Demikian halnya yang dialami oleh
BAPPEDA Padang Pariaman, tidak lagi
direpotkan oleh pesanan dan tekanan proyek.
Selama ini BAPPEDA menjadi pasar pesanan
proyek tapi dengan bekerjanya perencanaan
partisipatif ini, BAPPEDA Padang Pariaman
telah bebas proyek pesanan (Perform, 2003).
Dengan ringkas Bupati Padang Pariaman
mengatakan perencanaan partisipatif akan
berjalan apabila mempercayai masyarakat agar
dipercayai oleh rakyat.
Oleh sebab itu apabila kita ingin
menumbuhkembangkan sense of belonging dan
sense of accountability yang diperlukan, maka
perlulah kiranya kita juga mengubah manajemen
pembangunan yang mengacu pada structural
efficiency (birokrasi Weber), menjadi manajemen
pembangunan yang lebih berbasis partisipasi
masyarakat
(community
based
resource
management) yang didukung oleh kepemimpinan
(leadership) yang komit dengan masyarakat,
perubahan sikap, dan juga fleksibilitas
administrasi keuangan pemerintah yang memacu
kinerja agar dapat mengikuti tuntutan perubahan
dalam proses pembangunan.
Dalam konsep manajemen berbasis
partisipasi masyarakat ini juga tersirat bahwa
perlakuan terhadap partisipasi masyarakat bukan
hanya dalam arti kontributif dan sebagai alat.
Akan tetapi lebih dari itu yaitu menjadi tujuan
yang akan memberdayakan masyarakat itu
sendiri (empowerment). Sehingga melalui
partisipasi ini proses demokratisasi akan terwujud
dan melembaga dengan sendirinya karena:
1) masyarakat turut serta dalam proses
pengambilan keputusan tentang masalah mereka,
2) memperluas peluang pendidikan politik sebab
dengan kesempatan ini mereka akan semakin
terlatih dalam menyusun skala prioritas dan
menentukan kompromi di antara kepentingankepentingan yang berbeda-beda, 3) partisipasi ini
akan semakin memperkuat solidaritas masyarakat
lokal (Islamy, 2001).
Sebenarnya
metode
pembangunan
partisipatif ini telah lama diperkenalkan oleh
seorang tokoh gerakan pembangunan masyarakat
Cina dengan sederhana oleh Y.C. Yen pada 1920,
di mana menurut pandangannya dalam
pembangunan yang memberdayakan masyarakat
itu haruslah menerapkan (Moeljarto M, 1987):
1) Go to the people -pergi mendatangi
masyarakat yang hendak diberdayakan;
2)
Live among the people -hidup dan tinggallah
dengan mereka supaya kita mengenal
dengan baik kepentingan dan kebutuhannya;
3). Learn from the people -belajarlah dari mereka
supaya dapat dipahami apa yang ada di
benak mereka dan potensi apa yang mereka
miliki;
4). Plan with the people -ajak dan ikutkan
masyarakat dalam proses perencanaan
5). Work with the people - ajak dan libatkan
mereka dalam proses pelaksanaan rencana;
6). Start with what the people know -mulailah
dari apa yang masyarakat telah tahu dan
pahami;
7). Build on what the people have -bangunlah
sesuatu dari modal apa yang masyarakat
punyai;
8). Teach by showing, learn by doing -ajarilah
masyarakat dengan contoh konkret/nyata;
9). Not a showcase, but a pattern -jangan
dipameri mereka dengan sesuatu yang
menyilaukan, tetapi berikanlah kepada
mereka suatu pola;
10) Not odds and ends, but a system -jangan
tunujukkan kepada mereka sesuatu yang
aneh dan akhir dari segalanya, tetapi
berikanlah kepada mereka suatu sistem yang
baik dan benar;
11) Not piecemeal, but integrated approach jangan menggunakan pendekatan yang
sepotong-sepotong,
tetapi
pendekatan
menyeluruh dan terpadu;
12) Not to conform, but to transform - bukan
penyesuaian cara/model, tetapi transformasi
model;
13) Not relief, but release -jangan berikan
penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi
beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk
menyelesaikan masalahnya.
Konsep perencanaan partisipatif ini akan
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengenali dan menyelesaikan permasalahannya.
Karena dengan model partisipatif ini kemampuan:
a) antisipasi dan mempengaruhi perubahan, b)
membuat kebijakan/keputusan, c) memanfaatkan
sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan
akan meningkat. Hal ini sesuai dengan
pandangan David Korten dengan teori
kesesuaiannya yang mengatakan: kekuatan
program akan dicapai dengan adanya hubungan
yang sinergis antara program yang dirumuskan
dengan organisasi pelaksana serta target group
(1980).
41
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Program
Task requirements
Program
Output
Distinctive
Competence
Beneficiary
Target Group Expression
DecitionMaking
Making
Decision
Melalui
pendekatan
seperti
inilah
kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut
serta dalam pembangunan. Demikian dengan
masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola
seperti ini harus dipahami bahwa yang memahami
masalahnya itu adalah masyarakat (individu yang
bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/
pemerintah). Selanjutnya dengan pengikutsertaan
masyarakat dalam pembangunan ini sekaligus akan
mensinergikan kekuatan melalui penyusunan
program-program yang berbasis pada potensi yang
dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli di
bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan
yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan
spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat
akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan
pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu
pada model-model pembangunan tertentu (Sutyastie;
hand out 2005). Dengan kepercayaan untuk
memberi kesempatan pada masyarakat ini sekaligus
juga akan melahirkan self sustaining dan capacity
masyarakat yang semakin kokoh dan dapat bersaing
dalam dinamika ekonomi masyarakat yang
berkembang.
Tantangan dalam Implementasi Perencanaan
Pembangunan Daerah pada Era Otonomi
Daerah
Dalam pembangunan kewilayahan di
Indonesia, di mana Indonesia memiliki latar
belakang keanekaragaman kondisi, sangatlah
dibutuhkan perencanaan yang lebih spesifik
supaya pembangunan yang dilaksanakan dapat
bertumpu pada spesifikasi sosial dan wilayahnya
masing-masing. Dalam praktik dilakukan dengan
42
Organization
sistem perencanaan pembangunan nasional
Indonesia, yang meliputi pendekatan top-down
dan bottom-up. Proses top-down dimulai dari
pembahasan GBHN oleh MPR diikuti dengan
penyusunan propenas oleh pemerintah pusat
untuk memberikan arahan untuk tujuan,
kebijakan, dan program pembangunan nasional.
Rencana strategis pembangunan (renstra) disusun
berdasarkan propenas diikuti dengan penyusunan
rencana pembangunan nasional tahunan (repeta)
yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan
nasional. Renstra menekankan program untuk
mencapai misi yang telah dinyatakan dalam
propenas, sedangkan repeta memberikan program
dan kegiatan yang lebih terperinci untuk
menghubungkan rencana pembangunan pemerintah
dengan anggaran pembangunan pusat untuk
tahun yang akan datang. Berbagai dokumen
kunci dalam perencanaan dan anggaran
dirangkum dalam Tabel.
Semua pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) diharuskan menyusun pola dasar
pembangunan (poldas), sebagai rencana induk
yang menggabungkan visi, misi, arah, dan
strategi pembangunan daerah dalam jangka
menengah dan panjang. Berdasarkan poldas,
pemerintah daerah juga menyiapkan program
pembangunan daerah (propeda) untuk lima tahun
ke depan, rencana pembangunan strategis daerah
(renstrada), dan rencana pembangunan tahunan
daerah (repetada) yang sesuai dengan propenas,
renstra, dan repeta di tingkat nasional.
Diharapkan
pemerintah
daerah
mempertimbangkan strategi pembangunan nasional
dalam proses perencanaan daerahnya. Secara
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
prinsip, koordinasi antartingkatan pemerintah
yang berbeda dilakukan melalui konsultasi dalam
pertemuan koordinasi perencanaan pembangunan.
Proses top-down perencanaan pembangunan
tahunan
dimulai
ketika
setiap
tingkat
pemerintahan memberikan acuan dan keputusan
anggaran tahunan kepada tingkat pemerintahan di
bawahnya.
Proses
bottom-up,
seperti
yang
dianjurkan dalam kerangka prosedural yang
disebut peraturan K5D merupakan proses
konsultasi di mana setiap tingkat pemerintahan
menyusun draft proposal pembangunan tahunan
berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat
pemerintahan di bawahnya. Proses ini mulai dari
musyawarah pembangunan dusun (musbangdus),
musyawarah pembangunan desa (musbangdes),
yang dipimpin oleh kepala desa dan dihadiri oleh
Badan Perwakilan Desa (BPD), LKMD, LSM,
dan perwakilan kecamatan. Tujuan utama dari
pertemuan ini adalah untuk menyusun proposal
proyek yang akan diajukan ke tingkat yang lebih
atas (kecamatan). Pertemuan ini diadakan antara
bulan Mei dan Juli.
Beberapa Dokumen Kunci dalam Perencanaan dan Anggaran Daerah
Dokumen
Kebijakan
Bentuk Hukum
GBHN
TAP MPR
Propenas
(Program
Pembangunan
Nasional)
Undang-Undang
Repeta
(Rencana
Pembangunan
Tahunan)
Renstra
(Rencana Strategis)
UU Tahun 2000
Poldas
(Pola
Dasar
Pembangunan Daerah)
Propeda
(Program
Pembangunan
Daerah)
Renstra Daerah
Peraturan
(Perda)
Repetada
(Rencana
Pembangunan
Tahunan Daerah)
APBD
Fungsi
Setiap lima tahun sekali, MPR menyiapkan garis
besar kebijakan secara langsung kepada presiden
sekaligus pemilihan presiden
Propenas mencakup kebijakan lintas sektor dan
prioritas di mana pemerintah wajib memenuhi
amanat GBHN tersebut. Ini merupakan masukan
bagi menteri-menteri dan daerah untuk
membangun dan mengintegrasikan dokumen
kebijakan dan program.
Rencana pembangunan tahunan menjelaskan
prioritas anggaran pembangunan yang merupakan
bagian dari anggaran tahunan.
Keputusan Menteri
Rencana strategis pusat dan agen daerah,
berdasarkan INPRES 7/1999 terhadap manajemen
kinerja sektor publik.
Daerah Secara luas menjelaskan kebijakan pembangunan
untuk daerah.
Peraturan
(Perda)
Daerah Kebijakan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan dan kapasitas daerah yang memenuhi
undang-undang nasional, termasuk Propenas
Keputusan
Daerah dan
Dinas
Kepala Perencanaan strategis dari Kepala Daerah dan
Kepala agen, menjelaskan visi, misi dan program. PP 108
merekomendasikan instrumen ini kepada Kepala
Daerah. Ini merupakan dasar pidato akuntabilitas
Kepala Daerah.
Daerah Tiap
daerah
mengembangkan
rencana
pembangunan tahunan berdasarkan Renstra dan
bahan kajian terkait.
Peraturan
(Perda)
Peraturan
Daerah Kinerja
Anggaran
(Perda)
Pemerintah 105/2000
Sumber: Berbagai sumber; World Bank (2003)
Berdasarkan
Peraturan
43
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Proposal dari tingkat desa ditinjau dalam
pertemuan tingkat kecamatan (UDKP = Unit
Daerah Kerja Pembangunan), yang umumnya
dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli. Dalam
pertemuan ini akan disaring proyek-proyek yang
tidak efektif, tumpang tindih dan bukan prioritas,
dan menambah proyek dari tingkat kecamatan.
Selanjutnya, proposal tersebut kembali dibahas
dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang
kabupaten/kota) dengan tujuan untuk menyeleksi
proposal yang diajukan oleh kecamatan.
Pertemuan ini dipimpin oleh bupati untuk
kabupaten dan walikota untuk kota dan dihadiri
oleh semua pejabat yang terkait dan juga
perwakilan dari provinsi. Proposal langsung dari
biro
teknis
pemerintah
kabupaten/kota
ditambahkan dalam tahap ini untuk diajukan ke
tingkat provinsi.
Proses yang sama diulangi pada tingkat
provinsi (rakorbang provinsi), yang dilaksanakan
antara bulan Juli dan September. Peserta
pertemuan ini meliputi perwakilan dari
pemerintah pusat, pejabat provinsi dan
kabupaten/kota yang terkait. Pada tahap ini
proposal langsung dari biro teknis provinsi dapat
ditambahkan. Akhirnya seluruh proposal dari
provinsi dibahas dalam rapat koordinasi
pembangunan nasional (rakorbangnas) di
Bappenas yang dihadiri oleh gubernur,
bupati/walikota, kepala Bappeda, dan perwakilan
dari Departemen Dalam Negeri dan menterimenteri lain yang terkait. Pertemuan ini
dilaksanakan pada bulan Oktober atau November
di Jakarta. Berdasarkan pembahasan dalam
rakorbangnas, pemerintah pusat memutuskan
proposal proyek yang akan dibiayai dengan
APBN untuk tahun berikutnya.
- Di Provinsi:
Bappeda Provinsi, Biro Pembangunan Daerah,
Biro Keuangan dan Dinas Daerah Provinsi,
DPRD Provinsi.
- Daerah Kabupaten:
Bappeda Kabupaten, Bagian Pembangunan,
Bagian Keuangan dan Dinas Daerah
Kabupaten, DPRD Kabupaten.
Untuk menampung keinginan masyarakat
dalam
pembangunan
ditempuh
sistem
perencanaan dari bawah ke atas. Inilah yang
sebenarnya merupakan perencanaan partisipatif.
Tahap yang paling bawah dalam rapat koordinasi
pembangunan daerah yang akan diusulkan pada
44
tingkat yang lebih tinggi dimulai dengan
(Kunarjo, 2002):
1. Musyawarah Pembangunan (musbang)
Tingkat Desa/Kelurahan
Musbang desa dipimpin oleh kepala desa
atau lurah yang dibimbing oleh camat dan
dibantu oleh kepala urusan pembangunan
desa. Musyawarah desa ini menginventarisasi
potensi desa, permasalahan-permasalahan
desa, serta menyusun usulan program dan
proyek yang dibiayai dari swadaya desa,
bantuan
pembangunan
desa,
APBD
Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN.
2. Temu
Karya
Pembangunan
Tingkat
Kecamatan
Temu karya dipimpin oleh camat dan
dibimbing oleh Bappeda kabupaten/kota dan
dibantu oleh kepala kantor pembangunan
desa kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Tujuannya membahas kembali rencana
program yang telah dihasilkan musbang
desa.
3. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang)
Kabupaten
Rapat koordinasi ini membahas hasil temu
karya pembangunan tingkat kecamatan yang
dipimpin oleh ketua Bappeda kabupaten.
Dalam rapat ini usulan-usulan program dan
proyek dilengkapi dengan sumber-sumber
dana yang berasal dari APBD kabupaten,
APBD provinsi, APBN, program bantuan
pembangunan, maupun bantuan luar negeri
dan sumber dana dari perbankan. Usulan
dari Bappeda kabupaten/kota disampaikan
kepada gubernur, ketua Bappenas, dan
menteri dalam negeri.
4. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang)
Provinsi
Hasil rumusan dari rakorbang kabupaten/
kota
dan
usulan
proyek-proyek
pembangunan dibahas bersama-sama dengan
Biro Pembangunan dan Biro Bina
Keuangan, sekretariat wilayah atau provinsi,
serta Direktorat Pembangunan Desa Provinsi.
Ketua Bappeda provinsi mengkoordinasikan
usulan rencana program dan proyek untuk
dibahas dalam rakorbang provinsi yang
dihadiri lembaga vertikal dan Bappeda
kabupaten/kota.
5. Konsultasi Nasional Pembangunan
Hasil rakorbang provinsi diusulkan ke
pemerintah pusat melalui Forum Konsultasi
Nasional. Forum ini dipimpin oleh Bappenas
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
dan dihadiri oleh wakil-wakil Bappeda
provinsi serta wakil Depdagri dan
departemen teknis tertentu. Hasil dari forum
ini dibahas Bappenas sebagai masukan untuk
penyusunan proyek-proyek yang dibiayai
APBN. Daftar proyek yang telah dipadukan
antara kebijakan sektoral dan keinginan
daerah disusun dalam buku Satuan Tiga
untuk disampaikan kepada DPR sebagai
lampiran nota keuangan.
Di atas kertas nampaknya akan menjamin
adanya keseimbangan antara prioritas nasional
dengan aspirasi lokal dalam perencanaan
pembangunan daerah. Namun, kenyataannya
banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi
aspirasi lokal, karena sebagian besar proposal
proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal
telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang
menempatkan proposal yang diajukan tingkatan
pemerintahan
yang
lebih
tinggi
tanpa
memperhatikan proposal yang diajukan oleh
tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke
pusat biasanya didominasi oleh proyek yang
diajukan oleh level pemerintahan yang lebih
tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat.
Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal
(proses bottom-up), sebagaimana dirangkum
dalam
gambar,
namun
perencanaan
pembangunan daerah sebenarnya berada dalam
kontrol pemerintah pusat.
APBD
Rakorbang
Tingkat Nasional
Top
Rakorbang
Tingkat Provinsi
Rakorbang
Tingkat
Bottom
Proposal Anggaran
Kabupaten/Kota
(RAPBD)
Parlemen
DPRD
Anggaran
Kab./
Kota (RAPBD)
UDKP
Tingkat
Musbangdes
Tingkat Desa
45
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Dalam
implementasi
perencanaan
daerah, ternyata banyak masalah yang muncul.
Permasalahan lain yang sering kali muncul di
lapangan adalah sebagai berikut:
1. Propenas dan propeda bukanlah rencana yang
kontinu sebab hanya dipersiapkan lima tahun
sekali. Seperti halnya dengan poldas,
perencanaan tersebut tidak menjelaskan
output dan hasil serta tidak berhubungan
dengan anggaran, kendati definisinya secara
umum sebagai program pembangunan.
2. Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan
perencanaan top-down dan bottom-up
terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung
jawab untuk memastikan integrasi atau apa
yang terjadi jika daerah otonom memutuskan
untuk mengabaikan propenas.
3. Perencanaan di lapangan menunjukkan
kesenjangan
yang
besar
dalam
memperhitungkan kemampuan finansial.
Hanya perencanaan daerah tahunan yang
memasukkan kemampuan fiskal tersebut.
4. Bahwa
perencanaan
tersebut
terlalu
memfokuskan diri pada anggaran dan proyek
pembangunan daripada memandang anggaran
secara keseluruhan.
3. PENUTUP
Sangat wajar apabila masyarakat
mempertanyakan hasil pembangunan yang
terjadi, terutama apabila hasil-hasil pembangunan
46
itu tidak menjangkau dan bahkan apabila
menimbulkan malapetaka ataupun ancaman bagi
mereka. Perencanaan partisipatif adalah satu cara
terbaik untuk menjawab hal tersebut. Dalam
perencanaan partisipatif masyarakat dilibatkan
dalam proses pembangunan sejak dini. Namun
dalam penerapannya perlu dilakukan secara
cerdas, karena pertanyaan berikut seperti: untuk
apa mereka berpartisipasi, bagaimana cara
berpartisipasi kembali akan muncul. Dalam hal
ini pemahaman kondisi masyarakat, potensi,
lingkungan, tantangan, hambatan perlu dipahami.
Demikian pendekatan persuasif dan pemberdayaan,
kemandirian perlu dikembangkan dengan
kemauan yang ikhlas, leadership yang kuat,
administrasi keuangan yang dapat mengikuti
proses pembangunan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian apabila hal ini dapat diterapkan
dalam pembangunan pengembangan kawasan,
maka persoalan-persoalan yang terjadi dapat
diminimalisir, sebab masyarakat telah memahami
pembangunan yang dicanangkan demikian
dengan permasalahan-permasalahannya. Di sisi
lain dalam perencanaan pembangunan ini
keanekaragaman kondisi wilayah dan spesifikasi
sosial harus mendapat perhatian karena
sinergisitas potensi wilayah (SDA) dan potensi
sumber daya manusia akan teraktualisasi dengan
lebih kuat (melembaga).
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
DAFTAR BACAAN
Eka, Chandra, dkk, 2003, Membangun Forum Warga, AKATIGA.
Islamy, M.I. 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan dan
Pembangunan di Daerah, Makalah.
Nugroho, Iwan & Roehim Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan, LP3ES.
Moeljarto, Tjokrowinoto, in. 1987, Politik Pembangunan, Tiara Wacana.
Moeljarto, Tjokrowinoto, Pembangunan Dilemma dan Tantangan, Pustaka Pelajar, 2003.
Mudrajad, Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, PT. Gelora Aksara 2004.
Perform, PDPP, Edisi 2/4, 2003.
Revrison, Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam 2003.
Remi, S. Sutyastie, Hand Out 2005.
Sihombing, Marlon, 1991, Implementasi Pembangunan Masyarakat Desa Melalui PIRBUN, Tessis
UGM.
47
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU
DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
P. Anthonius Sitepu
Abstract: This study is made according to the research result about International Political Realism
Theory by Hans J. Morgenthau. The main purpose of this research is to analyze deeply the theory by
identifying that theory and from the identification step, then it is made the assessment as the validity
test of the realism theory either in factual or in conceptual aspects.
This research used the descriptive method of which the data sources are from the articles and books
written by Hans J. Morgenthau. It is concluded that Hans J. Morgenthau’s idea about the
International Political Realism Theory is the explanation for the analysis to whom that will be the
actor? In the international politic stage, how is the interaction among the actors . And it is a method
to solve the problem, how are the international phenomena described, explained into the causality
analysis systematically.
Keywords: realism theory, national interest, power, balance of power, international politics
1. PENDAHULUAN
Di antara para ilmuwan politik,
khususnya hubungan internasional, Hans J.
Morgenthau (17 Februari 1904 – 19 Juli 1980),
merupakan tokoh ilmuwan yang sangat populer.
Semasa hidupnya ia pernah menjabat sebagai
Guru Besar Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi
Politik Luar Negeri Amerika pada Universitas
Chicago,
dan
semua
mahasiswa
yang
mempelajari hubungan internasional pasti
mengenalnya.
Terhadap studi hubungan internasional
yang mulai berkembang di universitas-universitas
di Amerika Serikat tahun 1920-an yakni setelah
berakhirnya Perang Dunia I yang telah
memunculkan Amerika Serikat sebagai kekuatan
besar dengan tanggung jawab yang bersifat
global, berkenaan dengan itulah kiranya
sumbangan pikiran Hans J. Morgenthau cukup
besar. Beliau bahkan telah tercatat sebagai salah
satu ilmuwan populer yang berjuang untuk
menjadikan studi hubungan internasional sebagai
suatu disiplin ilmu sendiri, sejajar dengan
disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu hukum,
ekonomi, sejarah, filsafat, dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui, sebelum meletus
Perang Dunia I fakultas-fakultas sejarah, hukum,
dan filsafat telah berbagi tanggung jawab dalam
pengajaran hubungan internasional. Para ahli
sejarah mencatat substansi diplomasi dan strategi,
para ahli hukum menginterpretasikan perjanjianperjanjian dan praktik-praktik hukum nasional,
dan pada saat yang sama pula para ahli filsafat
berspekulasi mengenai sifat manusia, perang,
perdamaian, dan keadilan. Usaha-usaha untuk
48
mempelajari masalah-masalah dunia (world
affair) secara lebih khusus baru timbul setelah
Perang Dunia II. Pengalaman pahit yang
ditimbulkan oleh kedua perang tersebut telah
mendorong para ilmuwan untuk mendalami lebih
jauh masalah-masalah perang dan damai dengan
satu kehendak untuk menciptakan tata dunia yang
lebih tertib dan stabil.
Sebagai seorang ilmuwan politik,
khususnya politik internasional, Hans J.
Morgenthau telah menempatkan dirinya sebagai
seorang pengamat mashab (school of thought)
realis, sejajar dengan ilmuwan realis lainnya
seperti Reinhold Nierbuhr, Nicholas J. Spykman,
E.H. Carr, Frederick Schuman, Arnold Wolfets,
Raymond Aron, Stranlay H. Hoffmann, Kenneth
W.Thompson, dan sebagainya.
Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang
telah menempatkan dirinya sebagai seorang
penganut aliran pemikiran realis berkenaan
dengan konsepnya tentang “power” sebagai yang
dominan dalam politik internasional. Dalam hal
ini Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa
“…selama periode sejarah apapun hubungan
yang terjadi di antara unit-unit merdeka dan
berdaulat, seperti dalam masa-masa negara kota
Yunani dan dalam sistem negara Eropa Modern,
perimbangan power adalah bersifat dominan”.
(Mc.Chelland, 1966: 17). Lebih lanjut dikatakan
“…keadaan ini tidak dapat dipisahkan dari
sejarah dan refleksi hukum politik (an iron law of
politics)” (Mc Chelland, 1966: 17).
Sistem gagasannya tentang power ini
telah dipaparkan ke dalam berbagai tulisannya
baik yang berupa buku esai maupun artikelnya.
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
Berkat tulisan-tulisannya tentang teori realisme
politik inilah maka Hans J. Morgenthau tidak
hanya berhasil tampil sebagai seorang tokoh
realis akan tetapi juga tampil agak menonjol di
antara
tokoh-tokoh
realis
lainnya.
Kemenonjolannya antara lain dapat dilihat dari
besarnya pengaruh hasil karyanya terutama
dalam pengajaran-pengajaran studi bukunya yang
berjudul Politics Among Nations: The Strunggle
For Power And Peace, 1945, 1960, 1967, dan
1973 dipandang sebagai refleksi dari kebangkitan
kembali realisme politik (Maghroori, 1984: 11).
Di samping banyak tulisan-tulisan yang
dimuat di dalam berbagai majalah dan jurnaljurnal ilmiah Hans J. Morgenthau juga
menyumbangkan buku karyanya yang lain seperti
Scientific Man vs Power Politics (1964), In
Difference of The National Interest (1951),
Dilemnas of Politics (1958), The Purpose of
American Politics (1960), Politics In The
Twentieth Century (1962), Vietnam And The
United States (1965), Truth And Power (1970),
dan Science: Master Of Servant.
Bukti-bukti lainnya yang dapat dijadikan
sebagai sumber legalitas atas kemasyhuran Hans
J. Morgenthau dalam pengembangan studi
hubungan internasional diambil dari berbagai
versi pernyataan para ilmuwan lainnya. Seperti
dikatakan oleh Stanley H. Hoffmann dalam
bukunya International Relations: The Long Road
to Theory (1959). Katanya:
“…the theory which has occupied the
center of the soene in this country during
the last ten years is Professor
Morgenthau’s realist theory of power
politics. It tries to give us a realiable map
of the landscape of world affairs, to catch
the easece of world politics” (World
Politics, 1967: 39).
Kenneth W. Thompson dalam artikelnya
yang
berjudul
American
Approach
to
International Politics (1959) menyatakan bahwa
“…much of the literature of international politics
is a dialogue, explicits or not, between
Morgenthau and his critics…” (Mc Clelland,
1999: 17).
Dengan bertitik tolak dari kenyataan dan
pernyataan sebagaimana telah disebutkan di atas,
maka semakin jelaslah peranan Hans J.
Morgenthau
dalam
kerangka
bangunan
perkembangan studi politik dan hubungan
internasional terutama perkembangan teori
realisme (power). Namun, yang menjadi
pertanyaan dalam kaitan ini adalah: apa
sebenarnya yang menjadi inti (substansi) teori
realisme politik Hans J. Morgenthau dalam
kerangka bangunan studi politik dan hubungan
internasional? Mengapa dan bagaimana teori
tersebut mampu menempatkan dirinya sebagai
teori yang cukup andal dalam studi politik dan
hubungan internasional? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang hendak dijawab penelitian ini.
Dari latar belakang di atas dapatlah
kiranya diturunkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana penjelasan lengkap dan
akurat tentang inti teori realisme politik
internasional Hans J. Morgenthau?
2. Bagaimana format identifikasi teori realisme
politik Hans J. Morgenthau tentang politik
internasional?
3. Bagaimana kritik-kritik terhadap teori
realisme politik Hans J. Morgenthau tentang
studi politik dan hubungan internasional?
K. J. Holsti dalam bukunya yang
berjudul, The Concept of Power and The Study of
International Relations (1964) yang mengatakan
bahwa: “Hans J. Morgenthau is the foremed
advocate of th concept of power as the theoritical
core of international politics” (Sander & Durbin,
1971: 89). Demikian juga Charles Mc Clelland
dalam bukunya yang berjudul “Power an
Influence (1966)”yang mengatakan bahwa:
“…there is broad agreement that the
most comprehensive and sucsessful
characterization of international relations
in the frame of reference of political
2. ARAH DAN LINGKUP PEMAHAMAN TEORI
REALISME POLITIK INTERNASIONAL HANS
J. MORGENTHAU
Teori, seperti yang dikemukakan pakar
ilmu politik dan hubungan internasional
senantiasa merujuk kepada “semua sistem
generalisasi atas dasar penemuan empiris yang
dapat diuji secara empirik”, sejumlah pernyataanpernyataan disebut sebagai hukum, yang satu
dengan yang lainnya akan diekspresikan dalam
variabel-variabel dari berbagai sebutan dari
sistem itu (H. Ronald Chicote, 1981:15). Namun,
dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa
power is to be found in the writing of
Hans J. Morgenthau” (Mc Clelland,
1999: 17).
49
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
teori seperti suatu cara (jalan) untuk
mengorganisasikan
pengetahuan
untuk
memberikan jawaban atas berbagai persoalan,
dijadikan sebagai pedoman penelitian (James N.
Rosenau/Robert L. Pfaltagraff, 1977: 25).
Sesuai dengan luas cakupannya, teori
senantiasa akan menunjukkan kepada proposisiproposisi yang saling ada keterkaitan dan dengan
secara logis dirancang untuk mensintesiskan data
yang banyak jumlahnya. Ia juga merupakan
usaha yang sistematik untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan kita
mengorganisasikan serta menafsirkannya. Teori
membantu kita untuk menata data yang telah
dikumpulkan (Stanley H. Hoffmann, 1960: 7-8)
Teori merupakan suatu kerangka
konseptual yang akan diketahui sebagai
serangkaian
pertanyaan-pertanyaan,
demi
membimbing kita ke arah penelitian. Dan ia
terdiri atas suatu sistem hipotesa kerja di mana
ada kait-mengkait antara proposisi-proposisi
untuk menjelaskan prilaku (Stanley H.
Hoffmann, 1980: 8).
Sehubungan dengan penelitian teori dan
fungsinya, sebenarnya teori merupakan suat
produk kegiatan ilmiah. Sebagai suatu kegiatan
ilmiah maka teori dapat dilihat dari dua
perspektif yang berbeda satu sama lain namun
tetap inereo.
Pertama, teori sebagai: “…a body of
knowledge” (bangunan atau tubuh pengetahuan)
yang berisi hukum-hukum atau fakta-fakta.
Sedangkan yang kedua, teori sebagai suatu
“methode of obtaining the body of knowledge”
atau metode untuk memperoleh tubuh/bangunan
pengetahuan tersebut (Alan C. Isaak, 1975: 26).
Pengertian kita mengenai dan fungsinya,
dihadapkan dengan pemahaman kita tentang teori
realisme politik internasional Hans J. Morgenthau
dilakukan dengan memproyeksikannya dengan
dimensi bahwa teori sebagai tubuh pengetahuan
maupun teori sebagai metode. Maka dalam
tataran yang pertama dilaksanakan dengan
melihat penjelasan-penjelasan apa yang telah
diberikan oleh Hans J. Morgenthau tentang
politik internasional; konsep-konsep
yang
digunakan untuk membuat penjelasan-penjelasan
tersebut, serta apakah penjelasan-penjelasan dan
konsep-konsep yang digunakan itu telah
didasarkan pada metode yang dipilih.
Sementara dalam tataran yang kedua,
pemahaman terhadap teori tersebut dilakukan
dengan memperhatikan metode apa yang dipilih
50
dan ditentukan Hans J. Morgenthau untuk sampai
kepada dasar konseptual baik metode yang
dipilih dan dikembangkan untuk memahami
fenomena-fenomena politik pada umumnya dan
politik internasional khususnya.
Maka dalam konteks ini kritik yang
ditujukan kepada teori realisme politik yang
dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau akan
dititikberatkan pada persoalan kecukupan ilmiah
(the scientific adequancy) atas penjelasan
teorinya tentang politik internasional. Dalam
tahap ini, sebagaimana telah disinggung Allan
Isaak, menyebutnya sebagai: the scientific
knowledge. Selanjutnya untuk kecukupan ilmiah
dari pemilihan metode yang dipergunakan dalam
karya Hans J. Morgenthau sampai kepada
penjelasan disebut sebagai: the scientific method.
Oleh karena itu, teori yang dilandasi oleh
pemikiran ilmiah adalah yang hanya terdiri dari
metode ilmu pengetahuan ilmiah itu sendiri.
Dalam rangka melihat teori sebagai suatu
penjelasan, maka kita ditekankan pada persoalan:
apakah teori yang dikemukakan oleh Hans J.
Morgenthau telah didasarkan kepada dua batu uji
yakni batu uji logis dan batu uji empirikal.
Sehubungan dengan ini, menurut Allan Isaak
bahwa: “…a science of politics begins with the
assumption that not political phenomenon just
happens” dan “…to be scientific is to objective…
that objective is in many ways a synonim of
empirical”. Untuk melihat masalah “kecukupan
ilmiah” dari penjelasan Hans J. Morgenthau
tentang politik dan hubungan internasional maka
yang diproyeksikan adalah berkenaan dengan:
(1) penjelasan tersebut telah didasarkan kepada
“law of universal caution” atau juga sebagai
konsep-konsep yang digunakan dan telah
didasarkan kepada hukum sebab akibat yang
tepat dan logis, (2) penjelasan yang dikemukakan
oleh Hans J. Morgenthau apakah bersifat objektif
atau empirik, ataupun juga konsep-konsep yang
dikemukakannya itu telah dirumuskan atas dasar
pengamatan empirikal?
3. HANS J. MORGENTHAU DAN TEORI
REALISME POLITIK INTERNASIONAL
Di dalam buku Hans J. Morgenthau,
politik internasional secara gamblang mendapat
porsi sangat dominan dan masalah ini dapat
dijumpai di bukunya yang berjudul: Politics
Among Nations: The Struggle for Power and
Peace. Di sini Hans J. Morgenthau banyak
berbicara mengenai teori realisme politik
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
internasional dalam kerangka analisis politik
internasional mencakup sifat dan kecenderungannya.
Lebih jauh Hans J. Morgenthau terus
mengembangkannya, selain di dalam berbagai
tulisan artikelnya, dimaksudkan sebagai cara
untuk melengkapi sistem gagasannya. Sedangkan
pandangannya yang lebih bersifat filofosis
terutama jka dilihat dari segi ilmu pengetahuan
dan ini menjadi dasar kuat penentuan dalam
memilih metode dalam melakukan pengamatan
atas fenomena politik internasional, menjelaskan
hubungan antara fenomena-fenomena itu,
pemikiran ini dijumpai dalam bukunya Scientific
of Man vs Power Politics.
Dalam mengkaji lebih jauh tentang teori
realisme politik internasional, Hans J.
Morgenthau tampak akan berangkat dari konsep
yang mendasari teorisasi hubungan internasional.
Teori itu merupakan:
“…a systematic study of observable
phenomena that tries to discover the
principles variables, to explain behaviour
and to reveal the characteristic type of
relations
among
national
units”
(Theodore A, Coloumbis/J.H wolfe,
1978: 25).
Hubungan internasional juga merupakan:
“…Study of interaction between certain
kind of social entity, including the study
of relevant circumstance surrounding the
interaction. Facts of international
relations can beselecter and organized
according to the two references of actors
and interactions” (Sanders & Durbin,
1971: 40-41).
Dalam rangka eksplanasi teori rasisme
politik internasional, Hans J. Morgenthau
mengatakan bahwa ini merupakan suatu teori
yang memiliki keterkaitan dengan sifat manusia
(human nature) seperti yang sesungguhnya ada
dan dengan suatu proses sejarah. Teori ini
dibangun berdasarkan keyakinan yang berbeda
dengan teori yang dikembangkan oleh aliran
pemikiran (mashab) idealis. Oleh karena itu, kata
Hans J. Morgenthau, sejarah pemikiran politik
modern merupakan cerita tentang persaingan
antara aliran pemikiran tadi yang secara
mendasar berbeda dengan konsep mengenai
manusia, masyarakat, dan politik (Hans J.
Morgenthau, 1973: 3-4).
Bilamana teori politik idealis dibangun
dengan asas keyakinan bahwa (1) universal dapat
diwujudkan di sini dan sekarang; (2) manusia
pada hakikatnya memiliki kebaikan esensial dan
didik; (3) kurangnya pengetahuan dan pengertian,
adanya lembaga-lembaga yang sedang usang,
kejahatan individu ataupun kelompok individu
tertentu yang terisolasi merupakan sebab
kegagalan tertib sosial; (4) pendidikan, reformasi,
dan penggunaan kekuatan aporadis dapat
menimbulkan kerusakan atau kegagalan (Hans J.
Morgenthau, 1979: 3). Namun pada pandangan
teori realisme politik sebagaimana yang
dikembangkan justru kebalikan dari yang dianut
oleh aliran pemikiran idealis. Adalah pemikiran
dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa:
“…the world, inperfect as it from the
rational point of view, is result of forces
inherent in human fordes, not againts the.
This being … of opposing interests and of
conflict among them, moral principles
can never be fully realized, but must as
best be apporximated through the ever
temporarry balancing of interest and the
ever precrious settlement of universal
principles for abstract principles, and
aims at realization of the lesser evil
rather than of the absolute good (Hans J.
Morgenthau, 1974: 4)
Dalam kaitannya dengan kejelasan
metodologis terhadap pandangan teoretisnya,
Hans J. Morgenthau berusaha menjelaskan dua
hal pokok, yakni: (1) bagaimana menetapkan
fakta-fakta itu dan selanjutnya memberi arti, dan
(2) apa konsep-konsep dasar keunikan-keunikan
atas fakta-fakta yang ditemui sesuai dengan
bidang yang diselidiki serta menjelaskan
hubungan antara fakta-fakta itu ke dalam
pengertian-pengertian yang bulat, sistematis, dan
dapat dipahami.
Dalam kehidupan manusia memang
terdapat keajekan-keajekan (regularitas) terutama
dalam kehidupan politik, bisa dipahami sebagai
suatu
fakta.
Keajekan-keajekan
tersebut
dipengaruhi oleh hukum-hukum objektivitas
yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri dan
dapat dilakukan verifikasi, diuji kebenarannya
dengan menggunakan akal dan pengalaman agar
dengan demikian kita dapat memahami faktafakta yang kemudian memberikan arti yang tepat
kepada fakta-fakta itu.
Jika hal ini dikaitkan dengan politik
internasional,
maka
fakta-fakta
yang
dimaksudkan adalah berupa kebijakan-kebijakan
51
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
luar negeri. Hal ini dapat dipahami secara pasti
yang ditimbulkan oleh adanya: tindakan-tindakan
politik tersebut dapat memberikan paling tidak
harus mendekatinya dari segi realitas politik
yakni dengan membuat peta (ikhtisar) yang dapat
menunjukkan makna politik luar negeri.
Politik luar negeri yang bersumber dari
suatu fakta yang ditangkap sebagai fenomena
politik internasional, tentunya harus diuji dan
pemberitaan makna. Oleh karena itu dijelaskan
suatu langkah penting yakni dengan menetapkan/
membangun konsep dasar. Konsep dasar dijadikan
sebagai alat bantu untuk mengeksplorasi atau
mendeskripsikan ke dalam suatu format
(lampiran pemandangan) bagi suatu politik
internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan
oleh Hans J. Morgenthau adalah apa yang disebut
dengan terminologi: “…the concept of interest
defined in terms of power” (Hans J. Morgenthau,
1973: 5).
Konsep kepentingan (interest) yang
dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power”
antara nalar (reason) yang berusaha memahami
politik internasional dengan fakta-fakta yang
merupakan arah memilah-milah antara faktafakta politik dan bukan fakta politik, arah mana
akan memberikan suatu tertib sistematis terhadap
lingkup politik, yang sekaligus pula akan
menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan
dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup
ini akan membedakan lingkup kegiatan lainnya.
Konseptualisasi kepentingan (interest)
dalam formulasi “power” dimanifestasikan ke
dalam tataran politik internasional, mendasari
pemikiran
teori
realisme
politik
akan
memberikan kerangka bangunan teoretis terhadap
politik luar negeri. Karena pada dasarnya
realisme politik ditandai oleh pemikiran kepada
sesuatu “…pluralistic conception of human
nature Real man is a composite of economic
man., political man, moral man, religious man”.
(Hans J. Morgenthau, 1973: 14). Konsep dasar
yang diilhami dari kenyataan makna dasar
manusia, yang pada gilirannya diproyeksikan
secara
makro
dalam
realisme
politik
internasional.
Realisme politik internasional pada
hakekatnya merupakan:
“…struggle for power as like all politics,
is a struggle for power. Whatever the
ultimate aims of politics power is always
the immediate air man’s control over the
minds and actions of other man. Political
52
power is the mutual relations of control
among the holders of public authority
and between the latter and the people at
large” (Hans J. Morgenthau, 1973: 28)
Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan
dalam tataran politik internasional senantiasa
terwujud
dalam
hubungan
internasional.
Mekanisme dan dinamika hubungan internasional
ini dimanifestasikan oleh aktor. Aktor dalam
kerangka hubungan dan politik internasional
adalah negara. Kendati demikian, tidak semuanya
tindakan negara yang ditujukan kepada negara
lain adalah berdimensi politik dan juga tidak
semua negara pada setiap waktu memiliki
keterlibatan yang sama luasnya dalam percaturan
politik internasional. Meskipun demikian,
aspirasi setiap negara untuk memperoleh power,
merupakan unsur yang paling mencolok dalam
politik internasional. Dan bahkan jika dalam
kondisi terpaksa, maka politik internasional
merupakan politik kekuatan (internasional
politics is power politics).
Argumentasi ini akan dapat tercermin
dalam politik luar negeri masing-masing negara.
Namun power dalam politik luar negeri bukan
power yang berasal dari individu-individu
anggota negara bersangkutan melainkan power
yang
berasal
dari
orang-orang
yang
mengadministrasikan
power
dari
negara
bersangkutan. Atau dalam pengertian yang lebih
khusus, orang-orang yang mengatasnamakan
negara di atas panggung politik internasional
(Hans J. Morgenthau, 1973: 103-104). Orangorang yang mengorganisasikan dirinya ke dalam
apa yang disebut dengan negara-bangsa,
mengejar politik luar negeri sebagai organisasi
yang bersifat legal. Negara bertindak sebagai
wakil dari bangsa itu. Mereka berbicara atas
nama negara, mendefinisikan tujuan, memelihara,
meningkatkan, serta mendemonstrasikan powernya. Mereka ini adalah individu-individu yang
apabila muncul sebagai wakil dari bangsanya di
panggung politik internasional memperluas
power dan mengejar kebijaksanaan bangsanya.
Inilah arti dari konsep power atau politik luar
negeri suatu bangsa.
Sebagai suatu interaksi yang terjadi di
antara negara-negara dalam kerangka berjuang
untuk memelihara, meningkatkan, atau bahkan
untuk mendemonstrasikan power, maka dalam
kondisi yang demikian akan terjadi situasi
interaktif yang mana akan terbentuk kondisi
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
policy interaction, di samping interaction system.
Manakala terjadi “balance of power”, kondisi
yang demikian akan terjadi bilamana aspirasi
untuk memperoleh power di pihak beberapa
negara yang masing-masing berusaha untuk
memelihara bahkan meruntuhkan status quo,
maka dengan terpaksa membawa ke arah kondisi
figuratif (balance of power) dan ke arah
kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk
memelihara pertimbangan kekuatan.
Pertimbangan kekuatan, sebagai suatu
situasi interaktif yang terkadang bisa bersifat
‘equilibrium’ (suatu keadaan di mana kekuatan
benar-benar seimbang). Dan bahkan terkadang
bisa terbentuk dalam kondisi yang bersifat
‘disequilibrium’. Jika hal ini terjadi maka konsep
perimbangan kekuatan sama dengan ‘distribution
power’. Inilah yang dikatakan oleh Imts Claude
(1962: 16), “…as temperature refers the thermal
situations, wether it be hot or cold, so balance or
power refens to the power situation, wether it be
balanced or unbalanced”.
Pandangan filosofis Hans J. Morgenthau
tentang ilmu politik kerangka bangunan metode
ilmiah yang ia kembangkan mengacu kepada
bagaimana kita dapat memahami fenomenafenomena politik khususnya mengenai politik
internasional, tercermin dalam perdebatan yang
berkepanjangan antara pendekatan tradisional
dengan pendekatan ilmiah. Hal ini merupakan
debat realis dan kaum idealis sejak tahun 1950an. Persoalan utamanya dalam sifat dari sistem
internasional serta pendekatan yang paling baik
terhadap tingkah laku internasional mengalami
kemunduran. Ada semacam tuntutan agar muncul
suatu generasi baru (ilmuwan baru) yang
menghendaki mengembangkan studi tentang
fenomena-fenomena politik lebih sistematis dan
ilmiah. Gejala ini mulai dilihat sebagai sikap
menggugat metode yang telah dikembangkan
oleh Hans J. Morgenthau. Gugatan semacam ini
merupakan babak baru dalam kerangka
perdebatan antara kelompok tradisionalist
melawan kelompok behavioralis, dalam melihat
dan membangun suatu paradigma dan
mempelajari hubungan internasional.
Kelompok pendekatan ilmiah telah
mengecam pendekatan tradisional (klasik)
sebagaimana yang dikembangkan oleh E. H. Carr
atau juga oleh Hans J. Morgenthau. Kelompok
ini dalam pandangannya yang kemudian
mengintrodusir suatu pendekatan baru yang
dianggapnya lebih mampu dan memiliki
kecukupan ilmiah (scientific adequacy) yang
mereka sebut pendekatan “behavioralism” atau
sebut saja sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan
ini oleh para pendukungnya dirumuskan sebagai
“…the sistematic search for political and the
terchical analysis and verification there
(Maghroori, 1983: 16). Hedley Bull menyebutnya
sebagai “…a theory of internasional relations
whose propositions are based either upon ligocal
pr mathematical proof, or upon strixt, emprial
procedues of verification” (Sanders & Durbin,
1971: 16).
Pendekatan
yang
bersifat
ilmiah
menekankan pada 2 prinsip pokok yakni (1)
formulasi konsep-konsep hipotesa-hipotesa, dan
penjelasan-penjelasannya tercermin di dalam
ukurannya yang sistematik; dan (2) metode
penelitiannya bersifat empirik (Maghoori, 1983:
16). Kerangka empiriknya antara lain meliputi
game theory, penggunaan model probabilitas
sistematik, analisa transnasional, penggunaan
indeks-indeks interaksi antarnegara serta linkage
theory yang difokuskan pada hubungan yang
dapat diamati di antara variabel-variabel
antarnegara dan tingkah laku negara. Dan sebagai
kontribusi yang dianggap paling penting dari
pemikiran ini adalah implementasinya dalam
analisis
statistikan
fenomena-fenomena
internasional (Maghoori, 1983: 16).
Sikap umum yang diambil oleh aliran
ilmiah sangat dipengaruhi oleh keinginannya
untuk mengimplementasikan metode ilmu
pengetahuan alam untuk memahami fenomenafenomena sosial termasuk di dalamnya ilmu
politik. Sikap ini dipengaruhi oleh filsafat
rasionalisme abad 17 adan 18 yang gaungnya
masih berpengaruh pada abad 19 dan awal 20-an.
Suatu filsafat yang sudah seharusnya mendapat
revisi itulah maka dalam memberikan
tanggapannya Hans J. Morgenthau terutama
pandangan filosofinya mengenai ilmu politik
yang mengatakan:
“…that may theoretical approach to
international politics differs from those
which are at present fashionable in
academis circles behaviorism, system
anaysis, game theory, simulation
methodology in general –I am being
appears to be at present the prevaling
trend in the fields. I do not intend to do
this; for I have learned both from historic
and personal experience that the
academic polemics generally do not
53
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
advance the cause of truth but leave
things very much as they found the what
is deceiver for the succes of failure of a
theory is the contribution it makes to our
knowledge and understanding very much
as they found the. What is deceiver for
the succes understanding of phenomena
which
are
worth
knoring
and
understanding. It is by its result that a
theory just be judged, not by its
epistonological
pretences
and
methodological invation
…that
the
theoretical understanding of international
politics is possible only worth relatovely
narrow limits and that the present
attempts at a through rationalization of
international theory are likely to be as
futile as those which have preceeded
them since secenteenth century (Hans J.
Morgenthau, 1966).
Filsafat rasionalisme yang berkembang
pada abad 17 dan 18 tidak lagi dapat memberikan
makna terhadap pengalaman pertengahan abad ke
20. Karena rasionalisme pada zaman itu masih
mendominasi. Abad 19 dan 20 memiliki dua
asumsi yaitu (1) konsepsi dunia sosial dan fisikal
sebagai yang dapat dimengerti dengan melalui
proses rasional yang sama, betapapun proses
rasional ini didefinisikan; (2) keyakinan bagi
pemahaman dengan melalui proses rasional ini
semua dibutuhkan kontrol rasional dunia sosial
dan fisikal (Hans J. Morgenthau, 1946: 3).
Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan
merupakan manifestasi penting dari filsafat
rasionalisme. Kepercayaan terhadap ilmu
pengetahuan ini merupakan ciri intelektual yang
menempatkan kita terpisah dari periode sejarah
yang mendahuluinya. Dalam pandangan rasional
abad 17 persoalan-persoalan masyarakat dan
alam secara esensial sama dan pemecahan
persoalan tergantung kepada perluasan kualitatif
metode ilmu alam dan lingkungan sosial.
Demikian juga halnya bidang politik. Maka
sebagai suatu filsafat politik, rasionalisme telah
salah menerangkan sifat politik dan tindakan
politik yang secara bersamaan. Periode di antara
dua Perang Dunia juga melihat kemenangan
dalam teori dan praktik, dan memperlihatkan
bagaimana kebangkrutan intelektual moral dan
politik. Sebab dalam hal ini manusia tidak dapat
hidup tanpa filsafat yang akan memberikan
makna terhadap eksistensinya dengan jalan
54
menjelaskan
dalam
ukuran
kausalitas,
merasionalisasikannya dalam ukuran filsafat
perlu direvisi kembali, merevisi asumsi-asumsi
serta merasionalisasikannya dengan tradisi atas
pengalaman dan kebutuhan yang mendesak alam
kehidupan modern (Hans J. Morgenthau, 1946:
9).
Dikarenakan filsafat rasionalisme ditinjau
kembali bagi pandangan Hans J. Morgenthau
paling tidak harus dimulai dengan membangun
asumsi-asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut
dihadapkan kepada kenyataan bahwa:
“power politics-rooted in the lust power
in common to all men is for this reason
inseparable political sosial life itself. In
order to eliminate from the political
sphere not power politics –which is
beyond the ability of any political
philosophy
or
system
but
the
destructiveness of power, rational
faculties are needed which are different
form and superior to reason of the
scientific age” (Hans J. Morgenthau,
1946: 9-10).
Sejajar dengan penolakannya terhadap
filsafat radionaisme sekaligus ia menolak
pendekatan ilmiah (behavioralisme). Hal ini
dikatakannya dengan didasarkan pada argumentasi
bahwa:
“politics must be understanstood through
reason, yet it is not inreason that it find
its model. The principles of scientific
reason are always simple, consistent, and
abstract, the social world is always
compliated, incongrous and concrete.
Politics in art and not a rationality of the
engineer but the wisdom and the moral
pure and simple, yields only to that
intricate combination of moralan
material pressure which the art of the
statement dreated and aintains (Hans J.
Morgenthau, 1946: 10).
Hans J. Morgenthau mengembangkan
suatu pendekatan terhadap teorisasi dalam rangka
suatu permasalahan yang bersumber dari filsafat
sejarah sehingga untuk bisa mencapai suatu
derajat teoretis berisikan pada sifatnya yang
‘scientific adequacy’, tinggi, akan tergantung
pada kekuatan penilaian dan intuisi dan bukan
kepada prosedur-prosedur verifikasi yang
senantiasa didasarkan pada batu uji matematika.
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
Baginya yang penting adalah bahwa yang
menentukan keberhasilan ataupun kegagalan
suatu teori, adalah sejauh mana kontribusi yang
diberikannya kepada ilmu pengetahuan serta
pemahaman terhadap fenomena-fenomena yang
perlu diketahui dan dipahami. Sebuah teori bisa
menata dan memberi makna terhadap
sekumpulan fenomena, tanpa teori akan tetap
tercerai-berai dan tidak dapat dimengerti. Oleh
karena itu teori tersebut harus dihadapkan pada
dua batu-yakni: batu uji empirikal dan batu uji
logikal. Batu uji yang berisi empiris, menunjuk
kepada
fakta-fakta
seperti
apa
yang
sesungguhnya menjamin dirinya sendiri untuk
interpretasi yang telah diambil tentang fakta-fakta
itu? Sedangkan batu uji logika menunjuk pada
apakah kesimpulan-kesimpulan yang diambil
oleh teori tersebut mengikuti kebutuhan logik
dari premis-premisnya? Atau dengan singkat
dikatakan, apakah teori konsisten dengan faktafakta?
Uji menangkap fakta-fakta, serta
memahaminya terhadap fakta tersebut, perlunya
menetapkan beberapa konsep. Konsep-konsep
tersebut disusun atas dasar pengalaman pribadi
dan pengalaman sejarah. Dari konsep-konsep
yang telah ditetapkan itu barulah kemudian dapat
memahami
fenomena
yang
dijumpai,
mencocokkan antara konsep dengan fakta-fakta,
dan selanjutnya membuat generalisasi tentang
fakta tersebut sehingga kemudian diperoleh
sebuah teori. Cara pengamatan deduktif: cara
pengamatan yang berbeda dengan cara
pengamatan induktif yang lebih menekankan
pada observasi baru kemudian memprosesnya
serta membuat generalisasi-generalisasi. Oleh
karena itu bagi penganut paham pendekatan
seperti ini (induktivitas) politik dirumuskan
dalam ukuran rangkaian tindakan tingkah laku
yang dapat diamati (observable) dan bukan
dalam ukuran-ukuran konsep-konsep dan
impresi-impresi (Columbis and Wolfe, 1978: 22).
Teori realisme politik internasional
dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan
politik luar negeri sebagai unit dan tingkat
analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep
balance of power:
1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan
pada negara-negara sebagai aktor utama
dalam panggung politik internasional.
Pengamatan terhadap tingkah laku negara,
akan terlihat dalam politik luar negeri yang
dijalankan oleh pemerintah negara yang
bersangkutan. Negara dan politik luar
negerinya merupakan unit dalam tingkat
analisanya.
2. Dalam konteks konsep tentang “power”
bahwa tingkah laku negara-negara di
panggung politik internasional selalu dilihat
sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk
memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan
powernya.
3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang
sama-sama berjuang untuk memelihara,
meningkatkan, dan menunjukkan powernya
digunakan konsep perimbangan kekuatan
(balance of power).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian yang dilakukan
dalam penelitian ini diperoleh satu benang yang
menghubungkan gagsan teori realisme politik
internasional Hans J. Morgenthau dengan
eksplanasi mengenai siapa aktor di panggung
politik internasional dan bagaimanakah interaksi
antara aktor-aktor tersebut. Di samping itu, suatu
metode yang menjelaskan bagaimana fenomenafenomena politik internasional harus dipahami
dan selanjutnya dijelaskan ke dalam suatu
hubungan kausalitas (sebab akibat) yang
sistematis agar dapat dengan mudah dipahami.
Sebagai suatu eksplanasi mengenai siapa
“aktor” dan bagaimana “interaksi” di antara para
aktor di panggung politik internasional maka
teori realisme politik internasional Hans J.
Morgenthau
terdiri
dari
muatan
yang
mengandung elemen beberapa tesis bahwa
negara, atau national state dijadikan sebagai
aktor utama di dalam formulasi kesatuan politik
yang merdeka, berdaulat. Selanjutnya di dalam
mekanisme interaksinya masing-masing negara
(aktor) akan berupaya untuk mengejar
kepentingan nasionalnya. Kepentingan inilah
yang akhirnya diformulasikan ke dalam konsep
“power” kepentingan (interest) didefinisikan ke
alam terminologi power.
Sebagai
suatu
metode,
berusaha
menunjukkan tentang bagaimana memberikan
tatanan dan makna kepada sejumlah fenomena
yang tanpa dua pokok pikiran yakni (1)
menetapkan fakta-fakta, menguji faktanya,
selanjutnya memberi arti terhadap fakta tersebut
dan siap serta orientasi/persepsi menjadikan dasar
filosofis bagi penyusunan teori realisme politik
internasional.
55
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
Chilcote H. Ronald, 1981. Theories of Comparative Politics the Search for a Paradigm, Westview
Press, Boulder, Colorado hal 15.
Claude, Inis L. Jr 1962. Power and International Relations, Rasdon House, New York, Hal 16.
Coulumbis, Theodore A and James H. Wolfes, 1978. Introduction To International Relations, Prentice
Hall, Inc, New Jersey, hal 25.
Doungherty, James B & Robert L. Pfalgraff, 1977, Contending Theories of International Relations, J.
B. Lipopoco at, New York, hal 25.
Haffann, Stanley H. 1960. Contemporary Theory in International Relations, Prentice-hall, Inc, New
Jersey, 7-8.
Isaak, Alan C. 1975., Scope and Methods of Political Science, the Dorsey Pressm Illinois.
Lijphart, Arend, 1967, World Politics, Allyn and Bacon, Boston, hal 39.
Mc Clelland, Charles. A. 1966. Theory And Internasional System, The Macmillan Company, New
York.
Maghroori, Ray & Tamberg, Bennet; 1982. Globalism Vs Realism: International Third Debate,
Westview Inc.
Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Justice Alfred, A &
Knopt, New York hal 3-4.
Morgenthau, Hans J, 1946. Scientific Man Versus Power Politics, The University Of Chicago Press,
Chicago, hal 3.
Sanders, Bruce L & Alan Durbin C., 1971. Contemporary International Relations Inroductory
Reasings. John Willey and Sons Inc, New York, hal 89.
Wasby, Stephen L. 1970. Political Science: The Dicipline and Its Dimension an in Introduction,
Charles Scribner & Sons Inc, New York, hal 89.
56
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 1, Nomor 1, Januari 2006
STRUKTUR PEMERINTAHAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA-AMANDEMEN
Rasudyn Ginting
Abstract: The essence of constitution is as the highest legal order which contain the state
administration, it is often hoped that the constitution has the stronger character than the other law
products. Even the soul and spirit of the state administration is also managed in constitution so that
the change (amendment) of constitution can cause the great change of the state aministration system.
In the process of its amendment, usually there are two kinds of systems which are common in state
administration practice. The first system is if the constitution is amendmented, so it will be valid in the
whole (change of constitution). This system is done by all countries in the world. The second system is
if the constitution is changed (amendmented) the original constitution is still valid. The amendment of
the constitution is the amendment of the original one. In the other words, the amendment is the part of
the constitution. This system is done and held by the United States of America.
Keywords: governance structure, constitution amendment
1. PENDAHULUAN
Perubahan UUD 1945
Permasalahan
dalam
menjawab
kebutuhan perubahan UUD 1945 pada awalnya
adalah bagaimana bentuk perubahan tersebut
harus dilakukan. Sebagian pihak menginginkan
agar dibentuk suatu konstitusi baru yang akan
menggantikan UUD 1945 secara keseluruhan.
Argumentasi utama kelompok ini adalah karena
UUD 1945 dipandang perlu dirombak secara
total sehingga perubahan haruslah dalam bentuk
penggantian UUD 1945 dengan konstitusi baru.
Sebagian pihak lainnya memandang
bahwa UUD 1945 masih perlu dipertahankan
mengingat adanya Pembukaan UUD 1945. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan pengalaman
sejarah di konstituante maupun berdasarkan
pertimbangan
praktis
bahwa
mengubah
Pembukaan UUD 1945 berarti juga mengubah
konsensus politik tertinggi di tengah keadaaan
politik yang tidak menentu dan justru akan
memperburuk keadaan. Pihak lainnya yang
berpandangan sama menyatakan bahwa apabila
pembukaan UUD 1945 diubah, maka kita telah
membubarkan
negara
Indonesia
yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan
pandangan-pandangan
demikian,
langkah yang paling bijaksana adalah dengan
melakukan perubahan model amandemen seperti
yang dilakukan di Amerika Serikat.
Dalam kenyataannya maka pilihan
kedualah yang dijatuhkan oleh para tokoh yang
terlibat dalam proses perubahan tersebut. Pilihan
ini didasarkan pada dua argumentasi. Pertama,
dari hasil studi yang dilakukan terlihat bahwa
UUD 1945 pada dasarnya sudah mengandung
konsep-konsep yang bersifat demokratis.
Permasalahan
sebenarnya
terletak
pada
inkonsistensi dari UUD 1945 sendiri yang
kemudian tidak memberikan pengaturan yang
bersifat lengkap dan justru menyerahkan
kekuasaan pengaturan tersebut kepada undangundang. Dengan demikian, sebagian besar UUD
1945 relevan untuk dipertahankan dengan
melakukan penambahan-penambahan yang
dibutuhkan, termasuk penambahan yang
dibutuhkan dalam rangka mengubah semangat
UUD 1945 yang memberikan keleluasaan
pengaturan lebih lanjut kepada UUD 1945.
Argumentasi kedua adalah adanya
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
UUD 1945 merupakan faktor penting yang
selama ini telah berhasil mengikat bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa
dengan semangat yang ditimbulkannya pada saat
UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945. Apabila kemudian UUD 1945 digantikan
oleh konstitusi baru, dikhawatirkan semangat
persatuan yang ditimbulkan dari sejarah
penetapan UUD 1945 dan kemerdekaan bangsa
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 -yang
merupakan hasil dari perjuangan panjang para
pendiri bangsa- menjadi berkurang. Penambahan
substansi melalui amandemen akan tetap
menempatkan UUD 1945 yang bernilai historis
tinggi sebagai pijakan, dengan penambahanpenambahan yang dirasakan perlu sesuai dengan
perkembangan di masyarakat agar UUD 1945
57
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
dapat terus
masyarakat.
menerus
efektif
mengikat
tanggung jawab adalah di tangan presiden
(consentration of power and responsibility
upon the president).
2. PEMBAHASAN
Tujuh Kunci Pokok sebagai Dasar
Penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara
RI
Sistem pemerintahan negara yang
ditegaskan dalam Undang-undang Dasar tetap
dipertahankan, yakni:
1. Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechsstaat).
Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat).
2. Sistem konstitusional.
Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (die
gezamte Staatsgewalt liegt allein beider
Majelis).
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan
bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai penjelmaan seluruh rakyat indonesia
(Vertretungsorgan
des
Willens
der
Staatsvolkes). Mejelis ini menetapkan
undang-undang dasar dan menetapkan garisgaris besar haluan negara. Majelis ini
mengangkat kepala negara (presiden) dan
wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan
negara yang tertinggi, sedang presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garisgaris besar yang ditetapkan oleh Majelis.
Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk
dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia
adalah "mandataris" dari Majelis, ia berwajib
menjalankan
putusan-putusan
Majelis.
Presiden tidak "neben" akan tetapi
"untergeordnet" kepada Majelis.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah
negara yang tertinggi di bawahnya Majelis.
Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat,
presiden ialah penyelenggara pemerintah
negara yang tertinggi. Dalam menjalankan
pemerintahan
negara
kekuasaan
dan
58
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Di samping presiden adalah Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
membentuk undang-undang (gesetzgebung)
dan untuk menetapkan anggaran pendapatan
dan belanja negara (staatsbegroting).
Oleh karena itu presiden harus bekerja
bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi
Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung dari pada Dewan.
6. Menteri negara ialah pembantu presiden;
menteri negara tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu
tidak bertanggung-jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tergantung
pada Presiden. Mereka ialah pembantu
presiden.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia
bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak
terbatas.
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Fungsi MPR
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam
lima tahun di ibukota negara (Pasal 2 ayat 2).
Majelis memperhatikan segala yang terjadi
memperhatikan segala aliran-aliran pada waktu
itu dan menentukan haluan-haluan apa yang
hendaknya dipakai di kemudian hari (Pasal 3).
Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara
terbanyak (Pasal 2 ayat 3).
Tugas Pokok MPR:
(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan
UUD;
(2) MPR melantik presiden dan wakil presiden;
(3) MPR hanya dapat memberhentikan presiden
dan atau wakil presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD (Pasal 3).
Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen
Kedudukan MPR
Sebagai lembaga legislatif, sejajar
dengan DPR, BPK, Presiden, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial,
DPD yang bertanggung jawab kepada UUD
1945 yang dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilu.
MPR menyelenggarakan sidang untuk
memilih wakil presiden dari 2 calon yang
diusulkan oleh presiden dalam hal terjadi
kekosongan wapres, selambat-lambatnya dalam
waktu 60 hari (Pasal 8 ayat 2).
MPR menyelenggarakan sidang untuk
memilih presiden dan wapres dari dua pasangan
calon presiden dan wakil presidennya yang
meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilu sebelumnya sampai berakhir masa
jabatannya (Pasal 8 ayat 3).
Alat-Alat Kelengkapan Majelis
Alat-alat kelengkapan Majelis disusun
menurut pengelompokan kegiatan dalam rangka
pelaksanaan tugas Majelis. Majelis mempunyai
alat-alat kelengkapan sebagai berikut:
a. Pimpinan Majelis;
b. Badan Pekerja Majelis;
c. Komisi Majelis;
d. Panitia Ad Hoc Majelis.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Tugas Pimpinan DPR:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan
hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan
pembagian kerja antara ketua dan wakil
ketua;
c. menjadi juru bicara DPR;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan
DPR;
e. mengadakan konsultasi dengan presiden dan
pimpinan lembaga negara lainnya sesuai
dengan putusan DPR;
f. mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan
DPR di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPR berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi
anggota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
h. menetapkan arah, kebijakan umum, dan
strategi pengelolaan anggaran DPR; dan
i. mempertanggungjawabkan
pelaksanaan
tugasnya dalam Sidang Paripurna DPR.
DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas
dengan presiden untuk mendapat persetujuan
bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan
peraturan pemerintah pengganti undangundang;
c. menerima dan membahas usulan rancangan
undang-undang yang diajukan DPD yang
berkaitan dengan bidang tertentu dan
mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas
rancangan undang-undang APBN dan
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. menetapkan APBN bersama presiden dengan
memperhatikan pertimbangan DPD;
f. melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
undang-undang,
anggaran
pendapatan dan belanja negara, serta
kebijakan pemerintah;
g. membahas dan menindaklanjuti hasil
pengawasan yang diajukan oleh DPD
terhadap
pelaksanaan
undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama;
h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan
dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil
pemeriksaan
atas
pertanggungjawaban
keuangan negara yang disampaikan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan;
j. memberikan persetujuan kepada presiden
atas pengangkatan dan pemberhentian
anggota Komisi Yudisial.
DPR mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD terdiri atas wakil-wakil daerah
provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
59
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun
dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD
yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Tugas pokok DPD adalah:
a. Mengajukan usulan kepada DPR rancangan
undang-undang (RUU) yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta
yang berkaitan dengan
pertimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. Membahas
rancangan
undang-undang
(RUU) yang diajukan
DPR
maupun
pemerintah;
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang
mengenai
otonomi
hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, beserta yang
berkaitan dengan pertimbangan keuangan
pusat dan daerah. Hasil pengawasan
disampaikan
kepada
DPR
untuk
ditindaklanjuti.
DPD mempunyai fungsi:
a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan
memberikan pertimbangan yang berkaitan
dengan bidang legislasi tertentu;
b. pengawasan atas pelaksanaan undangundang tertentu.
DPD mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan undang-undang;
b. ikut membahas rancangan undang-undang.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
DPRD provinsi terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
DPRD Provinsi mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPRD Provinsi mempunyai tugas dan
wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas
dengan gubernur untuk mendapat persetujuan
bersama;
60
b. menetapkan APBD bersama gubernur;
c. melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan
gubernur, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah, dan kerja sama
internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
gubernur/wakil gubernur kepada presiden
melalui menteri dalam negeri;
e. memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah daerah provinsi terhadap
rencana perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah;
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
gubernur
dalam
pelaksanaan
tugas
desentralisasi.
DPRD Provinsi mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota
DPRD kabupaten/kota terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum
yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas
dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas
dengan bupati/walikota untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. menetapkan APBD kabupaten/kota bersamasama dengan bupati/walikota;
c. melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan
bupati/walikota, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah, dan kerja sama
internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota kepada menteri dalam negeri
melalui gubernur;
Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen
e. memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
terhadap rencana perjanjian internasional
yang menyangkut kepentingan daerah; dan
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
bupati/walikota dalam pelaksanaan tugas
desentralisasi.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
d. menyatakan pendapat.
6. Presiden dan Wakil Presiden
Harus seorang WNI sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani
dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai presiden dan wapres (Pasal
6).
Fungsi Presiden dan Wakil Presiden:
(1) Wapres dapat menggantikan presiden
sampai dengan habis masa jabatannya, jika
presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau
tidak
dapat
melaksanakan
kewajibannya dengan baik dalam masa
jabatannya (Pasal 8).
(2) Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara (Pasal 17).
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
Tugas Pokok Presiden dan Wakil Presiden:
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan
UU kepada DPR (Pasal 5).
(2) Presiden
menetapkan
PP
untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya
(Pasal 5).
(3) Presiden tidak dapat membekukan dan
atau membubarkan DPR (Pasal 7C).
(4) Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain (Pasal
11 ayat 1).
(5) Presiden dalam perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan
atau mengharuskan perubahan dan
pembentukan
UU
harus
dengan
persetujuan DPR (ayat 2).
(6) Presiden menyatakan keadaan bahaya
ditetapkan dengan UU (Pasal 12).
(18)
Presiden mengangkat duta dan konsul
dengan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat
1 dan 2).
Presiden menerima penempatan duta
negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (ayat 3).
Presiden memberi grasi, rehabilitasi dengan
memperhatikan MA (Pasal 14 ayat 1).
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan UU (Pasal 15).
Presiden memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan DPR (Pasal 14
ayat 2).
Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberi
nasihat dan pertimbangan kepada presiden,
diatur dalam UU (Pasal 16).
Presiden mengangkat dan memberhentikan
menteri negara (Pasal ).
Presiden mengesahkan rancangan UU
yang telah disetujui bersama untuk
menjadi UU (Pasal 19 ayat 1).
Mengajukan rancangan UU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 23
ayat 2).
Menjalankan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun lalu, apabila usulnya
tidak disetujui mengenai rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Pasal 23 ayat 2).
Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, presiden berhak menetapkan PP
sebagai pengganti UU harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan
berikut, jika tidak mendapat persetujuan,
maka PP itu dicabut (Pasal 22 ayat 1-3).
Menetapkan seorang hakim agung (Pasal
24A ayat 3).
7. Menteri Negara
Tugas Pokok Menteri Negara:
• Setiap menteri membidangi urusan tertentu
dalam pemerintahan (Pasal 17 ayat 3).
• Secara bersamaan pelaksanaan tugas
kepresidenan dapat dilaksanakan oleh
menteri luar negeri, menteri dalam negeri,
dan menteri pertahanan secara bersamaan.
Jika presiden dan wapres mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
61
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
•
•
•
kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal
8 ayat 3).
Memimpin departemennya serta melakukan
pembinaan aparatur di departemennya.
Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan
bidang pemerintahan yang secara fungsional
menjadi tugasnya.
Membina dan malaksanakan kerja sama
dengan lembaga lain.
Kedudukan Menteri Negara:
• Sebagai pembantu presiden.
• Kedudukannya dibawahi langsung oleh
presiden karena diangkat dan diberhentikan
oleh presiden (Pasal 17 ayat 1 dan 2).
• Kedudukannya tergantung kepada presiden
dan bertanggung jawab kepada presiden.
• Menteri negara bukan pegawai tinggi biasa
karena menteri-menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan pemerintah dalam
praktik.
• Sebagai pemimpin departemen mempunyai
pengaruh besar terhadap presiden dalam
menentukan politik negara di departemennya.
• Untuk menetapkan politik negara, para
menteri bekerja bersama satu sama lain
seerat-eratnya di bawah pimpinan presiden.
Pejabat-Pejabat Setingkat Menteri Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991 dan Keppres No.55 tahun 1991
kejaksaan agung memiliki kedudukan setingkat
dengan menteri-menteri negara. Jaksa agung
dibantu oleh jaksa agung muda yang terdapat:
a. jaksa agung muda pembinaan;
b. jaksa agung muda intelijen;
c. jaksa agung muda tindak pidana umum;
d. jaksa agung muda tindak pidana khusus;
e. jaksa agung muda tindak perdata dan tata
usaha negara;
f. jaksa agung muda pengawasan;
Bila dipandang jaksa agung dapat
membentuk satuan tugas di pusat maupun di
daerah yang terdapat di dalamnya unsur-unsur
Polri, Bakostarsus, POM, ABRI, dan instansi
lain menurut undang-undang kebutuhan
penanggulangan pencegahan pemberantasan
tindak pidana khusus, instansi vertikal.
• Di tingkat provinsi adalah kejaksaan tinggi.
• Di tingkat kabupaten/kotamadaya adalah
kejaksaan negeri.
62
Keputusan Presiden No. 60 tahun 1984
menetapkan kedudukan TNI setingkat dengan
menteri. Panglima TNI adalah pembantu
presiden dalam melaksanakan kewenangannya
sebagai alat pertahanan negara.
8. Mahkamah Agung
Kedudukan:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Tugas:
(1) Mahkamah Agung (MA) bertugas untuk
mengadili perkara di tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
(3) Melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan
peradilan
di semua
lingkungan peradilan dalam menjalanakan
kekuasaan kehakiman.
(4) Menguji secara material hanya terhadap
peraturan perundangan di bawah undangundang.
(5) Memberikan nasihat hukum kepada presiden
selaku kepala negara dalam pemberian atau
penolakan grasi.
(6) Memberikan pertimbangan dalam bidang
hukum baik diminta maupun tidak kepada
lembaga-lembaga tinggi negara yang lain.
Wewenang:
Mahkamah
Agung
berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.
Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen
9. Mahkamah Konstitusi
Sejarah Pembentukan
Lembaran sejarah pertama Mahkamah
Konstitusi (MK) adalah diadopsinya ide
mahkamah konstitusi (constitutional court)
dalam amendemen konstitusi yang dilakukan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan
Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Ide
pembentukan
mahkamah
konstitusi
merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu,
negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara
pertama di dunia pada abad ke-21 yang
membentuk lembaga ini.
Sambil menunggu pembentukan MK,
MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi MK untuk sementara waktu,
yakni sejak disahkannya Pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Keempat, pada 10 Agustus 2002.
Untuk mempersiapkan pengaturan secara rinci
mengenai MK, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Pemerintah membahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah ntenyetujui
secara bersama pembentukan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan
oleh presiden pada hari itu juga (Lembaran
Negara Tahun 2003, Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15
Agustus 2003, presiden melalui Keputusan
Presiden
Nomor
147/M
Tahun
2003
mengangkat 9 (sembilan) hakim konstitusi untuk
pertama kalinya yang dilanjutkan dengan
pengucapan sumpah jabatan para hakim
konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus
2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya
adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK,
pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu
cabang
kekuasaan
kehakiman
menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Mulai
beroperasinya kegiatan MK juga menandai
berakhirnya
kewenangan
MA
dalam
melaksanakan kewenangan MK sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945.
Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1
kewajiban sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus
perselisihan
tentang
basil
pemilihan umum.
Kewajiban
Mahkamah
Konstitusi
wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
(1) telah melakukan pelanggaran hukum
berupa:
ƒ pengkhianatan terhadap negara
ƒ korupsi
ƒ penyuapan
ƒ tindak pidana berat lainnya
(2) atau perbuatan tercela, dan/ atau
(3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Visi dan Misi
Visi Mahkamah Konstitusi adalah
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan
cita negara hukum dan demokrasi demi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang
bermartabat.
63
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Misi Mahkamah Konstitusi adalah:
a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu kekuasaan kehakiman yang
terpercaya.
b. Membangun konstitusionalitas Indonesia
dan budaya sadar berkonstitusi.
Susunan Organisasi
Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9
(sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan
masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR,
presiden, dan Mahkamah Agung dan ditetapkan
dengan keputusan presiden. Susunan organisasinya
terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7
(tujuh) anggota hakim kostitusi.
Untuk
kelancaran
tugas
dan
wewenangnya Mahkamah Konstitusi dibantu
oleh
sebuah
sekretariat
jenderal
dan
kepaniteraan, yang susunan organisasi, fungsi,
tugas, dan wewenangnya diatur lebih lanjut
dengan keputusan presiden atas usul Mahkamah
Konstitusi.
Masa
jabatan
hakim
konstitusi
adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan
ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi untuk masa jabatan 3 (tiga)
tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara.
10. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk
dewan yang terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali sebagai
anggota Badan Pemeriksa Keuangan setiap kali
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
Apabila karena berakhirnya masa
jabatan anggota-anggota Badan Pemeriksa
Keuangan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan, maka
masa jabatan anggota-anggota Badan Pemeriksa
Keuangan diperpanjang sampai terselenggaranya
pengangkatan atas sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Untuk menjamin kontinuitas kerja
Badan Pemeriksa Keuangan dan tanpa
mengabaikan kebutuhan akan penyegaran, maka
untuk setiap pergantian keanggotaan Badan
64
Pemeriksa Keuangan sedapat-dapatnya 3 (tiga)
orang anggota lama diangkat kembali.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
berhenti/diberhentikan oleh presiden karena:
meninggal dunia, atas permintaan sendiri,
karena masa jabatannya berakhir, karena
mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun,
karena tidak dapat lagi secara aktif menjalankan
tugasnya, karena sedang menjalani hukuman
penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang
tidak dapat diubah lagi, dan karena tindak
pidana yang dikenakan ancaman hukuman
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai
suatu sekretariat jenderal yang dipimpin oleh
seorang sekretaris jenderal. Sekretaris jenderal
diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas
usul Badan Pemeriksa Keuangan. Susunan
organisasi dan tata kerja sekretariat jenderal
diatur oleh Badan Pemeriksa Keuangan, terakhir
dengan SK No. 13/SK/K/1996, di mana selain
dibantu seorang sekretaris jenderal, badan ini
dibantu pula oleh 5 (lima) orang auditor utama
dan 2 (dua) orang inspektorat utama.
BPK mempunyai tugas pokok untuk
mememeriksa:
a. tanggung
jawab
pemerintah
tentang
keuangan atau kekayaan negara,
b. semua pelaksanaan APBN, APBD, anggaran
BUMN, dan anggaran BUMD berdasarkan
atas ketentuan undang-undang.
11. Komisi Yudisial
Dalam dua tahun ke depan, sebuah
lembaga baru diintrodusir oleh pemerintahan
transisi pasca-Orde Baru. Lembaga itu diberi
nama Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang
mempunyai tugas pokok mengusulkan nama
calon hakim agung dan ikut memantau perilaku
para hakim. RUU Komisi Yudisial telah
disepakati DPR dan pemerintah, 15 Juli 2004.
Lahirnya Komisi Yudisial yang banyak
disuarakan aktivis organisasi nonpemerintah itu
makin menambah panjang komisi-komisi yang
lahir sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto.
Menurut catatan Kompas, paling tidak tercatat
sudah tiga belas komisi dilahirkan. Kehadiran
komisi-komisi tersebut telah menambah
lembaga negara konservatif seperti eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang digagas
Montesquieu.
Perubahan UUD 1945 memang telah
mengubah sistem kekuasaan kehakiman dengan
Rasudyn Ginting, Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca-Amandemen
menempatkan
Mahkamah
Agung
dan
Mahkamah Konstitusi sebagai puncak sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lalu di
mana posisi Komisi Yudisial yang dinobatkan
sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas
dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lain?
Ide Komisi Yudisial kembali mendapatkan
momentum
menyusul
adanya
desakan
penyatuatapan kekuasaan kehakiman yang
didasarkan pada Tap. MPR No X/MPR/1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional. Munculnya desakan agar
lembaga
peradilan
satu
atap,
makin
memunculkan desakan agar Komisi Yudisial
segera direalisir. Desakan masyarakat itu
diakomodasi dengan selesainya pembahasan
RUU Komisi Yudisial, pada 15 Juli 2004.
Secara yuridis posisi Komisi Yudisial
tinggi karena ia tercantum dalam Perubahan
Ketiga UUD 1945 yang disahkan tahun 2001.
Dalam Pasal 24B Perubahan UUD 1945
disebutkan, Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Komisi Yudisial ini beranggotakan
tujuh orang yang semuanya berstatus pejabat
negara. Mereka bisa diambil dari mantan hakim,
praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota
masyarakat. Anggota Komisi Yudisial diangkat
oleh presiden atas usulan DPR.
Sesuai dengan Pasal 13 RUU Komisi
Yudisial, komisi ini mempunyai wewenang
untuk:
(a) mengusulkan pengangkatan hakim agung
kepada DPR; dan
(b) menetapkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.
Berkaitan dengan pengusulan calon
hakim agung, Komisi Yudisial bertugas:
(a) mendaftarkan calon hakim agung;
(b) menyeleksi calon hakim agung:
(c) menetapkan calon hakim agung;
(d) mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Dalam Pasal 18 RUU Komisi Yudisial,
Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan
tiga orang calon hakim agung kepada DPR
untuk setiap lowongan hakim agung dengan
tembusan kepada presiden.
RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan
soal proses seleksi calon hakim agung di DPR.
Dalam Pasal 19 hanya disebutkan, "DPR telah
menetapkan calon hakim agung untuk diajukan
kepada presiden dalam jangka waktu paling
lama 30 hari hari sejak diterima nama calon
sebagaimana dimaksud Pasal 18".
RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan
apakah usulan calon hakim agung yang
diusulkan Komisi Yudisial bisa dikurangi oleh
DPR atau DPR hanya sekadar menjadi tukang
pos untuk meneruskan ke presiden. Namun,
menurut Akil Mochtar, anggota Komisi II DPR,
DPR mempunyai kewenangan untuk menyeleksi
lagi usulan Komisi Yudisial.
Sedang mengenai pengawasan hakim,
Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim
dengan menerima laporan masyarakat, meminta
laporan secara berkala kepada badan peradilan
berkaitan dengan perilaku hakim, memeriksa
hakim, dan memanggil dan meminta keterangan
dari hakim yang diduga melanggar kode etik
perilaku hakim, dan selanjutnya laporan hasil
pemeriksaan disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta
ditembuskan kepada presiden.
Terlepas dari berbagai problematika yang
mungkin akan muncul, kehadiran Komisi
Yudisial pada tataran ide merupakan langkah
maju untuk ikut mengawasi kekuasaan
kehakiman yang sepenuhnya berada di tangan
Mahkamah Agung dan juga Mahkamah
Konstitusi. Tapi pada tingkat praksis, masih
harus ditunggu.
65
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA
LANRI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Jilid I/Edisi Ketiga), PT Toko Gunung
Agumg, Jakarta, 1997
LANRI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Jilid II/Edisi Ketiga), PT Toko Gunung
Agumg, Jakarta, 1997
Suara Merdeka Senin, 27 September 2004
KOMPAS Selasa, 21 Oktober 2004
Pikiran Rakyat Selasa, 21 Oktober 2004
Suara Merdeka Selasa, 26 Oktober 2004
www.hukumonline.com
www.google.com
66
Download