TINDAK PIDANA PENCABULAN

advertisement
TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Studi Kriminologis tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan
Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
oleh
WIJI RAHAYU
E1A007303
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
Skripsi yang dibuat :
Nama
:
WIJI RAHAYU
NIM
:
E1A007303
Angkatan
:
2007
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Bagian
:
Hukum Pidana
Judul
: TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis
tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan
Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga)
Isi dan format telah disetujui oleh
Pada Tanggal: Februari 2013
Pembimbing I/Penguji I
Dr.Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP . 19640923 198901 1001
Pembimbing I/Penguji II
Dr.Agus Raharjo, S.H., M.Hum.
NIP . 19710810 199802 1001
Penguji III
Haryanto Dwi Atmodjo. SH,.M.Hum
NIP . 19570225 198702 1001
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP . 19640923 198901 1001
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua hal, yaitu faktor penyebab
terjadinya tindak pidana pencabulan, penegakan hukumnya yang perlu di lakukan
untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana pencabulan.
Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Purbalingga dengan metode
penelitian yuridis sosiologis dan kasus pencabulan.
Hasil penelitian menujukan bahwa jumlah tindak pidana pencabulan dalam
kurun waktu 2006-2012 bersifat fluktuatif. Adapun faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana pencabulan adalah 1. faktor rendahnya pendidikan dan
ekonomi , 2. faktor lingkungan atau tempat tinggal , 3. faktor minuman keras
(beralkohol), 4. faktor teknologi, 5. Peranan korban dalam ranah etiologi
kriminologi dapat dikategorikan pada teori yang tidak berorientasi pada kelas
sosisl. Upaya penegakan hukumnya tindak pidana pencabulan adalah dengan
melakukan 2 cara yaitu melalui upaya preventif yang harus di lakukan oleh setiap
elemen, oleh individu, masyarakat, pemerintah, kepolisian dan pihak terkait.
Kedua yaitu melalui upaya represif yang di lakukan oleh aparat penegak hukum
yaitu Polres Purbalingga
Kata kunci: pencabulan, etiologi kriminal, penegakan hukum
ABSTRACT
This study aims to determine two things, namely factor contributing to the
crime of abuse, law enforcement needs to be done to prevent and combat criminal
abuse.
The research was carried on in Purbalingga with juridical sociological
research methods and abuse cases.
The results addressing the obscene amount of crime in the period 20062012 fluctuated. The factors that cause the occurrence of criminal sexual abuse is
1. lack of education and economic factors, 2. environmental factors or residence,
3. factor liquor (alcohol), 4. technological factors, 5. The role of victims in the
domain of criminology etiology can be categorized on a theory that is not oriented
sosisl class. Enforcement of criminal obscenity laws are 2 ways to do that is
through preventive measures that should be done by each element, by individuals,
communities, government, the police and other relevant parties. Second is through
repressive efforts undertaken by law enforcement officials that police Purbalingga.
Keywords: sexual abuse, criminal etiology, law enforcement
Persembahan
KARYA KECIL INI KU PERSEMBAHKAN KEPADA:
IBU DAN AYAH TERCINTA YANG TULUS IKLAS, SABAR DAN ATAS
SEGALA PENGORBANAN, DO’A DAN KASIH SAYANGNYA SELAMA
INI, TERIMA KASIH IBU & AYAH, MOHON AMPUNI SEGALA KHILAF
DAN SALAH ANAKMU SELAMA INI.
UNTUK
SUAMI
KU
TERKASIH
YANG
TELAH
MEMBERIKU
SEMANGAT DAN DUKUNGAN, ANA UHIBBUH’ILLAIKA.
UNTUK ADIK-ADIKU TERCINTA, TERIMA KASIH YA...., ATAS SEMUA
PENGORBANA DAN DO’A MU, MAAFKAN KAKAKMU BELUM BISA
MEMBERIKAN YANG TERBAIK, SEMOGA KITA BISA BERSAMASAMA BISA MEMBERIKAN YANG TERBAIK BAGI IBU&AYAH,
NANTINYA.....ALLOHUMMA, AMMIIN.
Terima kasih atas ketulusan kasih sayang dan dukungan yang
telah diberikan,
Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan meridhoi langkah kita
Amiin
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penulis skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman. Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan puji syukur
kehadirat Allah SWT, dimana berkat limpahan rahmat, karunia serta hidayahNyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis tentang Sebabsebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya di Kabupaten
Purbalingga).
Penulis sangat bersyukur akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan .sebuah
kelegaan, karena segala sesuatunya akan dimulai dari sini. Penulis ingin berterima
kasih kepada mereka yang telah memberikan semangat, membantu, menemani,
menghibur, dan menguatkan hati penulis.
Disisi lain, penulis amat menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini
niscaya jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, saran, kritik, dan masukan dari
berbagai pihak tentunya akan memperkaya dan menjadi bagian penting dalam
proses penyempurnaannya. Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kerendahan
hati, penuh ikhlas penulis memberikan hatur terima kasih sedalam-dalamnya,
yang pertama kepada-NYA sang penguasa tunggal atas langit-bumi dan isinya.
Selanjutnya kepada Rasul Allah, Muhammad SAW, pemimpin ummat manusia
segala zaman, yang berjuang membawa manusia dari alam kegelapan menuju
alam terang-benderang. Kemudian dengan rasa rendah hati dan rasa hormat yang
sangat tinggi penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua penulis, Turahman dan Binah yang selama ini telah banyak berkorban
baik materi maupun energi,dan kepada saudara penulis Wiji Rahayu, S.H. yang
selalu memberikan semangat dan bantuan.Serta keluarga besar penulis yang selalu
berdoa yang terbaik buat penulis.
Pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis
sampaikan hasil penelitian yang penulis upayakan secara maksimal dengan
segenap keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki sebagai manusia biasa
namun berbekal pengetahuan yang ada serta arahan dan bimbingan, juga petunjuk
dari Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku pembimbing I skripsi dan Dr. Agus
Raharjo, S.H., M.Hum selaku pembimbing II skripsi yang selalu meluangkan
waktu di tengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk memberi bimbingan
dengan sabar, saran, dan kritik yang membangun, menebarkan keceriaan serta
optimisme kepada penulis dan akan selalu penulis ingat. Untuk itu penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Dengan segala kerendahan hati , ucapan terima kasih yang tak terhingga, wajib
penulis berikan kepada Yth:
1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Bapak Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Pembimbing Akademik.
3.
Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum., dan Dr. Kuat Puji Prasetyo,
S.H., M.Hum., yang telah berperan sebagai penguji skripsi ini ditengah
kesibukan beliau.
4.
Pihak Polres Purbalingga dan LSM BKBPP yang telah banyak membantu
selama melakukan penelitian.
5.
Para dosen/pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6.
Para staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7.
Sahabat-sahabat penulis Adina yustianingsih, S.H., Dian Angraini, S.H.,
dan Hindun Nur laela, S.H.
8.
Teman-teman KKN Kabupaten Pemalang.
Serta seluruh pihak yang telah membuat perjalanan hidup penulis selama kuliah
menjadi penuh warna dan penuh arti dan banyak menciptakan kisah yang akan
penulis jadikan kisah klasik yang tak lekang oleh waktu.
wa’allaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
“adabanirobbi
fa-
ahsana ta’dibi”
Hamba diberikan pendidikan (ada) oleh Rabbku, maka Dia menjadikan adab
(pendidikan)-ku yang terbaik.
Menjadi hutang bagi penulis kepada Allah SWT menjadi manusia yang baik.
Purwokerto, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
ABSTRAK....................................................................................................iii
ABSTRACT..................................................................................................iv
PERSEMBAHAN........................................................................................v
PRAKATA....................................................................................................vi
DAFTAR ISI.................................................................................................viii
BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................1
B. Perumusan Masalah...........................................................................5
C. Tujuan Penelitian...............................................................................6
D. Kegunaan Penelitian..........................................................................6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................7
A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.......................................7
1. Pengertian Tindak Pidana..............................................................7
2. Unsur-unsur Tindak Pidana...........................................................14
B.
Tindak Pidana Pencabulan............................................................19
1. Pengertian Pencabulan.................................................................19
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan.......................................25
C. Teori-teori Kriminologi Tentang Sebab-sebab Kejahatan...................28
D. Kebijakan Kriminal dalam Penegakan dan
Penanggulangan Kejahatan.................................................................35
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...............................................42
A. Metode Pendekatan............................................................................42
B. Metode Penelitian..............................................................................42
C. Lokasi Penelitian................................................................................43
D. Sumber Data.......................................................................................43
E. Metode Penentuan Informan..............................................................44
F. Instrumen Penelitian..........................................................................45
G. Metode Pengumpulan Data...............................................................45
H. Metode Penyajian Data......................................................................46
I. Metode Analisis Data.........................................................................46
J. Metode Uji Vailiditas Data.................................................................46
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.........................48
A. Factor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan
di Kabupaten Purbalingga..................................................................48
B. Upaya Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencabulan
di Kabupaten Purbalingga..................................................................61
BAB V. PENUTUP.....................................................................................107
A. Simpulan............................................................................................107
B. Saran..................................................................................................108
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab
undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. Jika
dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah delikuens,
deviasi,
kualitas
kejahatan
berubah-ubah,
proses
kriminalisasi
dan
deskriminalisasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu,
kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup,
berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada
masa dan tempat tertentu.1
Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang
mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan
kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk
menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit
untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan
akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat. 2
Perkembangan
hukum
akan
selalu
berkembang
seiring
dengan
1 S.R.Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya,
cet.3, Jakarta:Storia Grafika, hlm. 204
2 Wirjono Prodjodikoro, 2002,
Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Jakarta:PT.Refika Aditama, hlm. 15.
perkembanggan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan
ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yangf terjadi di
masyarakat. Dimana salah satu sifat hukum adalah dinamis.
Perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan meningkatnya
kriminalitas, di dalam kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu
kecenderuangan dari anggota masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu
dengan yang lainnya, dalam interaksi ini sering terjadi sesuatu perbuatan yang
melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam
masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib, dalam
masyarakat. Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk
menaatinya, dan masih saja ada yang menyimpang yang pada umumnya
perilaku tersebut kurang disukai oleh masyarakat.3
Semakin meningkatnya kriminalitas di Indonesia berakibat timbulnya
berbagai macam modus operandi dalam terjadinya tindak pidana. Disamping
itu, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum pidana menyebabkan
seorang menjadi korban perbuatan pidana atau seorang pelaku pidana. Salah
satu bentuk tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat adalah tindak
pidana pencabulan anak.
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang
bertentanggan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang
semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki
3 Soerjono, Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, Jakarta: Rajawali Pers,
hlm. 21
meraba kelamin seorang perempuan.4 Tindak pidana pencabulan di atur dalam
kitab undang-undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke- II yakni dimulai
dari Pasal 289-296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kesusilaan.
Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja
namun di atur pula pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan perbuatan pencabulan
terdapat pada Pasal 289 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya
perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar
kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.
Bentuk pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah tentang
pencabulan adalah:5
1. Exhibitionism seksual : sengaja memamerkan alat kelamin pada
anak
2. Voyeurism : orang dewasa mencium anak dengan bernafsu
3. Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seorang anak
4. Fellatio : orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak
mulut.
4 Leden Marpaung, 2004, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah
Prevensiny, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 64
5 Kartini Kartono, 1985, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 264
Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai tindak pidana cabul yaitu
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang di dorong oleh keinginan
seksual untuk melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu
birahi, sehingga menimbulkan kepuasan pada dirinya. Tindak pidana
pencabulan itu terus berkembang hingga sekarang, dapat dikatakan tidak ada
perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarakat berkembang
menuju kearah modern. Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan
sosial dan bukan hal yang baru, pada prinsipnya meskipun tempat dan
waktunya berlainan namun tetap dinilai sama. Peningkatan kejahatan dari
waktu ke waktu tidak dapat dihindari, dikarenakan bentuk perubahan sosial
sebagai pendorongnya.Tindak pidana pencabulan ini tidak hanya terjadi
dikota-kota bersar, bahkan terjadi di desa-desa terpencil.
Salah satunya di wilayah Kabupaten Purbalingga yang menangani
kasus pencabulan yang makin meningkat dan
memprihatinkan. Terbukti
selama 8 bulan terakhir, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres
Purbalingga menangani total 32 kasus. Sekitar 10 kasus berakhir di pengadilan
dan sisanya damai secara kekeluargaan. Kapolres Purbalingga AKBP Ferdy
Sambo melalui Kasat reskrim, AKBP Sarji mengatakan kasus perkosaan
masuk dalam tindak pidana pencabulan. Pencabulan menimpa usia anak dan
remaja.6
6 Radar Banyumas, tanggal 6 september 2012, Polres Tanggani 32 Kasus
Pencabulan, hlm. 7
Tindak
pidana
pencabulan
terhadap anak
sebagai
korbannya
merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat
sehingga perlu di cegah dan di tanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu
mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan
kriminolog dan penegak hukum.
Kabupaten Purbalingga adalah kabupaten yang sedang berkemabang
dari segala bidang. Begitu pula perkembangan hukumnya akan selalu
berkembang seiring dengan perkembanggan masyarakat. Demikian pula
permasalahan
hukum
juga
akan
ikut
berkembang
seiring
dengan
perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satunya
permasalahan tentang tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga
yang memprihatinkan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis
ingin melakukan penelitian apa sebenarnya yang menjadi faktor penyebab
sehingga terjadinya tindak pidana pencabulan serta upaya penegakan hukum
apa yang harus ditempuh dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan
dengan judul “TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis
tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya
di Kabupaten Purbalingga)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
pencabulan di Kabupaten Purbalingga?
2. Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mengatasi tindak pidana
pencabulan di Kabupaten Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui
dan
menjelaskan
perlindungan
hukum
mengatasi tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga;
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan informasi, masukan bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya, hukum pidana dan kriminologi pada
khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya pencabulan dan penegakan
hukumnya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi masyarakat pada umumnya dan para
penegak hukum pada khususnya dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
1.
Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah “tindak
pidana” sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan perkataan “strafbaar feit”tersebut. Istilah tindak pidana sebagai
terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang yang diancam dengan pidana.7
Mezger mengatakan bahwa hukum pidana dapat didefinisikan
sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. 8 Dengan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan
perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang
dapat di pidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime).
Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang
melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci
7 Satochid, Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai
Lektur mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 74
8 Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto:Fakultas Hukum Universitas jenderal Soedirman
Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991, hlm. 23.
menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar
larangan itu.
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda,
yaitu strafbaar feit
yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat
dihukum.9 Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undangundang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak
pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah
yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas
Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan
pidana” (dalam pidatonya yang berjudul “Perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, 1955).10
Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu
istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa
Belanda "straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti
dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari
kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt
gestraft", adalah merupakan istilah-istilah konvensional.11 Beliau tidak
setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang
inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan
“diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt gestraft". Jika
9 Ibid
10 Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek Van Het Nederlanches Straftrecht,
Bandung:Pionir Jaya, hlm. 36.
11 Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:PT.Bima Aksara, hlm. 35
"straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya diartikan dengan
hukuman-hukuman.12
Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah
yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan
mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian
yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan.
Di samping itu pemerintah di dalam kebanyakan peraturan perundangundangan memakai istilah tindak pidana, umpamanya di dalam peraturanperaturan tindak pidana khusus.13
Berkaitan dengan masalah belum adanya kesatuan pendapat
mengenai istilah “strafbaar feit”
Sudarto
dalam
hukum pidana Indonesia,
menegaskan pemakaian istilah yang berlainan itu tidak
menjadikan soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini
yang penting adalah isi dari tindak pidana seperti yang dilakukan oleh
pembentuk undang- undang. Istilah lain sudah dapat di terima oleh
masyarakat. Jadi mempunyai “sociologische gelding”.14
Pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada
pembahasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat12 Ibid
13 Bassar , Soedrajat, 1999, Tindak-tindak Pidana Tertentu, Bandung: Ghalian,
hlm. 1
14 Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Teori-teori dan kebijakan pidana,
Bandung:Alumni, hlm. 2
sifatnya yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu
dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang
pidana. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.15
Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada
pembuat delik itu. Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan
penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena
suatu kejahatan.16 Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana
harus:17
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan;
b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar
melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan
hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan
suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.
15 Sudarto, op.cit, hlm. 24
16 Ibid
17 Ibid
Lamintang mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya
merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana
itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai
tujuan.18 Pernyataan yang dikemukakan di atas adalah untuk mengingatkan
adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang sering
diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan
"tujuan pidana".
Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya
dirumuskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
kejahatan atau tindak pidana akan tetapi di dalamnya tidak memberi
rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian tindak pidana,
memunculkan berbagai pendapat mengenai pengertian tindak pidana, para
ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya:
a. Utrecht
Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan
atau suatu melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan
oleh karena perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah
suatu peristiwa hukum (peristiwa kemasyarakatan yang membawa
akibat yang diatur oleh hukum.19
b. Vos
18 Lamintang, op.cit, hlm. 36.
19 Utrecht, 1986, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, hlm. 252.
Menurut Vos peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam
definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut:
1)
Suatu kelakuan manusia;
2)
Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak
dapat dipisahkan satu dengan lain;
3)
Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-
undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang umum dan diancam
dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan
diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia
yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.20
c. Pompe
Menurut Pompe tindak pidana dari gambaran teoritis sama artinya
dengan suatu peristiwa pidana. Peristiwa pidana yaitu suatu
pelanggaran kaidah, diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus
diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum Anasir-anasir tindak pidana atau
peristiwa pidana itu menurut Pompe adalah sebagai berikut:
1)
Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan
hukum) (onrechtmatig atau wederrechtelijk);
2)
Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah
(aan schuld (van de overtreder) te wijten);
20 Ibid
3)
Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar).21
d. Moeljatno
Menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan pertimbangan bahwa
perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang
sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada
akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Moeljatno, memberikan
pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.22
e. Van Hamel
Pengertian tindak pidana yaitu: kelakuan atau tingkah laku orang yang
bersifat melawan hukum dengan kesalahan yang dapat dipidana.23
f. Sudarto
Menurut Sudarto, pengertian tindak pidana adalah suatu pengertian
yuridis, lain halnya dengan istilah "perbuatan jahat" atau "kejahatan"
(crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara
yuridis atau secara kriminologis.24
g. Wirjono Prodjodikoro
21 Ibid
22 Moeljatno, op.cit, hlm. 38.
23 Ibid
24 Ibid, hlm. 40-57.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2
(dua) bagian, yaitu:
1)
Tindak pidana materiil.
Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana
yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan
suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu.25
2)
Tindak pidana formil.
Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang
dimaksud,
dirumuskan
sebagai
wujud
perbuatan
tanpa
menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.26
2.
Unsur-unsur Tindak Pidana
Pengertian unsur tidak pidana hendaknya dibedakan dari
pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam
rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur), ialah lebih luas
dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit)
dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362
KUHP.27
Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP
pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam,
25 Wiryono Prodjodikoro, 1986, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di
Indonesia, Bandung: Erosco, hlm. 55-57.
26 Ibid
27 Ibid
yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif, yang dimaksud unsur-unsur
subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud
unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan.28 Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu
adalah:
1 Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa)
1) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.29
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu
adalah:
1) merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP.
2) Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
28 Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leekboek Van Het
Nederlanches Straftrecht, Pionir Jaya, Bandung, hlm.123
29 Ibid
Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum;
2) Kualitas dari si pelaku;
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.30
Moeljatno
membedakan
dengan
tegas
“dapat
dipidananya
perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zij in het feit) dan
“dapat dipidananya orangnya” (strafbaarheid van de persoon) dan sejalan
dengan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana”
(criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana” (criminal responsibility).
Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak
meliputi pertanggung jawab pidana. Pandangan beliau dapat disebut
pandangan dualistis mengenai perbuatan pidana (tindak pidana dan
strafbaar feit) pandangan ini adalah penyimpangan dari pandanggan yang
disebut oleh beliau sebagai pandangan yang monistis, yang dianggapnya
kuno. Pandangan monistis ini melihat keseluruhan syarat untuk adanya
pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.di bawah ini akan
diberikan berturut-turut pendapat Para sarjana mengenai tindak pidana dan
unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa dimasukan ke
dalam “aliran monistis” dan kedua pandangan”dualistis”. Golongan pertama,
sebagai berikut:31
30 Ibid, hlm. 184
31 Sudarto, op.cit, hlm. 24
a. D. Simons
Unsur-unsur strafbaar feit adalah :
1)
Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan).
2)
Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).
3)
Melawan hukum (onrechtmatig).
4)
dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband
staand)
5)
Oleh
orang
yang
mampu
bertanggung
jawab
(teorekeningsvatbaar persoon).
Simons mengatakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari
stafbaar feit adalah:
1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah perbuatan orang
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka
umum”
Sedangkan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah:
1) orangnya mampu bertanggung jawab;
2) adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat
dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan manakala perbuatan itu
dilakukan.
b. Van Hamel
Strafbaar
feit
adalah
een
wettelijk
omschreven
menschelijke
gedraging, onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.
Jadi unsur-unsurnya:
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
2) Bersifat melawan hukum
3) Dilakukan dengan kesalahan dan,
4) Patut dipidana.
c. E. Mezger
Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan
demikian unsur-unsurnya adalah:
1)
Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau
membiarkan);
2)
Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun
bersifat subjektif)
3)
Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
4)
Diancam dengan pidana.
d. Wirjono Prodjodikoro
Beliau mengemukakan definisi pendek yakni: tindak pidana berarti
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.32
32 Ibid, hlm.26
Pandangan para sarjana yang dapat dimasukan sebagai golongan
yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat-syarat pemisahan
yaitu:33
a. H.B. Vos
Strafbaar feit hanya berunsurkan:
1) Kelakuan manusia dan
2) Diancam pidana dalam undang-undang
b. W.P.J. Pompe
Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit yang
diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan
kesalahan dan diancam pidana.
c. Moeljatno
Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau memberikan arti tentang
strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana,
barang siap melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan
pidana harus ada unsur-unsur:
1)
Perbuatan (manusia)
2)
Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini
merupakan syarat formal) dan
3)
33 Ibid
Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan
antara criminal act dan criminal responsibility.
Menurut sistem KUHP Indonesia tindak pidana dibagi atas
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam
dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal
KUHP, akan tetapi sudah dianggap demikian adanya.34 Dalam Buku II
KUHP diatur tentang Kejahatan sedangkan dalam Buku III diatur tentang
Pelanggaran.
Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria
mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut, akan tetapi KUHP
hanya memasukan dalam kelompok pertama kejahatan dan kelompok
kedua pelanggaran.
B. Tindak Pidana Pencabulan
1)
Pengertian Pencabulan
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual
dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata
dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun
(tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila,
mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film
34 Ibid
cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,
kesopanan).35
Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang
melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu
kekelaminannya.36 Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan
pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya,
di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar
susila dan dapat dipidana.
R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala
perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,
semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.37 Jenis pencabulan dalam
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana diantaranya:
a) Perbuatan cabul dengan kekerasan
Di maksud dengan kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan atau
tidak berdaya lagi, menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat
mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau
dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya
yang menyebabkan orang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit.
35 Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hlm. 142
36 Moeljatno, 2003, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta:
Bumi Aksara, hlm. 106
37 R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor : Politeia. Hlm 212
38 Ibid
Terdapat pada Pasal 289 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan padanya perbuatannya cabul, karena perbuatan
yang merusak kesusilaan, di pidana penjara selama – lamanya
sembilan tahun.
Ancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang memaksa seseorang
untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa seseorang agar ia
membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan. Dimaksud dengan perbuatan cabul sesuai
dengan Pasal 289 KUHP ialah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan keji, semuanya itu dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, ciuman, meraba – raba anggota
kemaluan, buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula
dalam pengertian ini, tetapi dalam Undang-undang disebutkan sendiri,
yaitu dalam Pasal 285 KUHP hanya dapat dilakukan oleh seorang pria
terhadap seorang wanita, sedangkan perkosaan untuk cabul Pasal 289
KUHP dapat juga dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang
pria.
b) Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya pada Pasal 290 KUHP, dapat di pidana dengan pidana
penjara selama – lamanya tujuh tahun. Barang siapa melakukan
perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya, bahwa orang
itu pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilangnya ingatan atau
tidak sadar akan dirinya, umpamanya karena minum racun kecubung
atau obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi, orang yang
pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya.
Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama
sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikit juapun,
seperti halnya orang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya,
terkurung dalam kamar, terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi
lumpuh, orang yang tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa
yang terjadi atas dirinya.39
c) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara membujuk terdapat
dalam Pasal 290 KUHP, dipidana dengan pidana penjara selama –
lamanya tujuh tahun. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan
seseorang yang diketahui atau patut dapat di sangka, bahwa umur
orang itu belum cukup lima belas tahun atau umur itu tidak terang,
bahwa ia belum pantas untuk di kawini, untuk melakukan atau
membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul. Orang yang
membujuk (mempengaruhi dengan rayuan) seseorang yang umumnya
dibawah lima belas tahun untuk melakukan perbuatan cabul.
d) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan
kekuasaan yang timbul dari pergaulan tedapat dalam Pasal 293 KUHP
yang menentukan bahwa: Barang siapa dengan hadiah atau dengan
39 Ibid
perjanjian akan memberikan uang atau barang dengan salah memakai
kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan,
dengan sengaja membujuk orang dibawah umur yang tidak bercacat
kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya
masih dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau
membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Cara membujuk itu
dengan jalan mempergunakan:
1) Hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau barang
2) Kekuasaan yang timbul dari pergaulan
3) Tipu daya
Orang yang di bujuk itu belum dewasa dan tidak bercacat
kelakuannya, maksudnya hanya mengenai kelakuan dalam segi
seksuil, membujuk seseorang pelacur yang belum dewasa tidak masuk
dalam pasal ini, karena pelacur sudah cacat kelakuannya dalam bidang
seksuil. Perjanjian itu harus mengarah pada pemberian uang atau
barang, perjanjian dalam hal lain tidak termasuk dalam hal ini.
Kejahatan ini adalah suatu delik aduan, tempo untuk memasukkan
pengaduan ialah sembilan bulan bagi orang yang di dalam negeri dan
dua belas bulan bagi orang yang di luar negeri, jelas pengaduan ini
tidak boleh lewat dari tempo yang telah ditetapkan di atas ini bila
terlambat berarti kadaluarsa.40
40 Ibid, hlm. 255
Pasal 82 UU N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang menetapkan
bahwa: setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun
dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta
rupiah.
Hak anak adalah bagian dari Declaration Human of Right of
The Child yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan
harkat
dan
martabat
kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Oleh karena
itu adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 pelaku tindak
pidana pencabulan diancam pidana lebih berat dari beban moral dan
materiil korban.
2 Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan
Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan
perbuatan cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi
unsur- unsur sebagai berikut:41
Unsur-unsur Pasal 290 sub 1 e.
a. Unsur objektif:
1)
Barang siapa;
Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan
bahwa siap saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi
semua unsur dari tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat
disebut sebagai palaku dari tidak pidana tersebut.
2)
Melakukan pencabulan dengan seseorang;
Yang dimaksud dengan malakukan pembuatan cabul adalah
melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba, buah dada dan sebagainya.
b. Unsur subjektif:
Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
Bahwanya seseorang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
41 Moch, Anwar, 1981, Hukum Pidana Bagian Khusus (kuhp buku II) jilid 2,
Bandung:Alumni, hlm. 181
harus diketahui oleh pelaku. Dimaksud dengan pingsan adalah berada
dalam keadaan tidak dasar sama sekali, sehingga ia tidak dapat
mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak
berdaya ialah bahwa ia terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak
berdaya ialah bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa, kendari ia
mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.
Tidak berdaya artinya tidak mempeunyai kekuatan atau tenaga
sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikipun,
misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam
kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh.
Unsur-unsur Pasal 290sub 2e
a. Unsur Objektif:
1) Barang siapa;
Yang
dimaksud
dengan
perkataan
barang
siapa
adalah
menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti
memenuhi semua unsur dari tindak pindana yang dimaksudkan
didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub KUHP,
maka ia dapat sebut dari tidak pidana tersebut.
2) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang;
Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah
melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopana) atau
perbuatan yang keji dalam kelingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba dada dan sebagainya.
b. Unsur Subjektif:
Ketahui atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum
cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya,
bahwa orang itu belum masanya buat perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun. Perkawinan hanya dizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita umur
16 (enam belas) tahun dengan kemungkinan meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pria maupun wanita.
Unsur-unsur Pasal 290 sub 3e
a. Unsur Objektif:
1) Barang siapa
Yang dimaksud dengan perkataan batrang siapa adalah menunjukkan
bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi
semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 2e KUHP, maka ia dapat
disebut sebagai pelaku dari pidana tersebut.
2) Membujuk (menggoda) seseorang
Pengertian “membujuk” tidak persyaratan dipergunakannya caracara tertentu agar seseorang melakukan suatu perbuatan. Hal ini
dapat terjadi dengan permintaan pelaku agar dipegannya alat
kelaminnya.
2)
Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya
perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan
tiada kawin.
Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah
malakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
buah dada dan sebagainya.
Persetubuhan yang dimaksud disini adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh seseorang yang dewasa dengan seseorang yang belum
berumur 15 tahun.
b. Unsur Subjektif:
Diketahui atau patut harus disangkanya bahwa orang itu belum cukup
15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya. Bahwa
orang itu belum masanya buat dikawini.
C. Teori-teori Kriminologi tentang Sebab-sebab Kejahatan
Sesuai dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh
mazhab-mazhab dalam bidang etiologi criminal, di bawah ini berturut-turut
akan dibicarakan teori-teori yang mencari sebab-sebab kejahatan dari
beberapa aspek yaitu:42
42 I.S, Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta:Genta Publishing, hlm. 47
1. Teori-teori yang Mencari sebab Kejahatan dari Aspek Fisik (Biologis
Kriminal)
Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis di
pelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim (17761832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan
tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa otak merupakan organ dari akal. ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan
pada preposisi dasar:
1) Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada didalamnya
dan bentuk dari otak,
2) Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan,dan
3) Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan
tengkora kepala.
2. Teori-teori yang Mencari sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan
Psikiatris (Psikologi Kriminal)
Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk
agak baru.seperti halnya para positivistis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri
psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orangorang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang
bukan penjahat, dan cirri-ciri pisikis tersebut terletak pada intelegensinya yang
rendah.43
43 Ibid, hlm. 56
Mengingat konsep tentang jiwa yang sehat sangat sulit dirumuskan, dan
kalaupun, ada maka perumusannya sangat luas. Adapun bentuk-bentuk gangguan
mental yaitu:44
1) Psikoses
2) Neoroses
3) Cacat Mental
3. Teori-teori yang Mencari sebab Kerajahatan dari Faktor Sosiologi
Kultural (Sosiologi Kriminal)
Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara
masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan tempat
maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang
hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.45 Secara umum dapat dikatakan
setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan dan penjahat sesuai dengan budayanya,
moralnya, kepercayaannya serta kondisi-kondisi sosisl, politik, ekonomi, hukum
dan hankam serta struktu-struktur yang ada.
Mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan), dapat melalui 2 cara
pendekatan yaitu:46
1) Melihat penyimpangan sebagai kenyataan objektif
2) Penyimpangan sebagai problematika subjektif
44 Ibid, hlm. 58
45 Ibid, hlm. 72
46 Ibid, hlm. 75
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek sosial sudah dimulai jauh
sebelum lahirnya kriminologi, sedangkan usaha mencari sebab-sebab kejahatan
(secara ilmiah) dari aspek sosial dipelopori oleh mazhab lingkungan yang muncul
di Prancis pada abad 19, yang merupakan reaksi terhadap ajaran Lombroso.
Mannheim membedakan teori-teori sosiologi kriminal ke dalam:47
1) Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang
mencari sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan di
antara kelas-kelas sosial yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah
teori anomie dan teori-teori sub-budaya delinkuen.
Teori kelas dapat dipandang sebagai “pendewasaan” teoriteori sosiologi kriminal. Berbeda dengan teori-teori sebelumnya
yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri yang terdapat
atau yang melekat pada orang atau pelakunya, teori kelas mencari
“di luar” pelakunya, khususnya pada struktur sosial yang ada.
2) Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teoriteori yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial,
tetapi dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan,
kemiskinan, dan sebagainya, termasuk dalam teori ini adalah teoriteori ekologis, teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi, dan
differential association.
47 Ibid, hlm. 80
Dapat dikatakan teori ini sudah agak kuno dibanding dengan
teori-teori kelas. Adapun teori-teori yang termasuk teori tidak
berorientasi pada kelas sosial yaitu:48
a.
Teori ekologis
Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab-sebab tertentu
baik dari lingkungan manusia maupun sosial yaitu:
1. Kepadatan penduduk
2. Mobilitas penduduk
3. Hubungan desa dan kota khususnya urbanisasi
4. Daerah kejahatan dan perumahan kumuh
b.
Teori konflik kebudayaan
Teori ini diajukan oleh T. Sellin dalam sosial, kepentingan
dan norma-norma. Konflik antara norma-norma dari aturan-aturan
kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain:
1. Bertemunya dua budaya besar
2. Budaya besar menguasai budaya kecil
3. Apabila anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.
c.
Teori-teori faktor ekonomi
Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang
fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan
karenanya menentukan semua urusan dalam struktur tersebut,
merupakan pandangan yang sejak dulu dan hingga kini masih
48 Ibid
diterima luas. Mengenai hubungan antara faktor ekonomi dan
kejahatan agaknya perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:
1. Teknik studi
2. Batasan dan pengaruh dari kemiskinan dan kemakmuran
d.
Teori differential association
Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu perilaku
kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Menuru Sutherland
perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan
perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.49
Menjelaskan
proses
terjadinya
perilaku
kejahatan,
Sutherland mengajukan 9 proposisi sebagai berikut:50
1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara
negative berarti perilaku kejahatan tidak diwarisi.
2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain
dalam suatu proses komunikasi. Komunikas tersebut terutama
bersifat lisan maupun dengan menggunakan bahasa isyarat.
3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari tingkah laku
kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara
negative komunikasi yang bersifat nirpersonal seperti melalui
49 Ibid
50 Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Kriminologi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
hlm. 108
bioskop, surat kabar, secara relative, tidak mempunyai peranan
yang penting dalam terjadinya perilaku kejahatan.
4. Apabila perilaku kejahatan dipelajari, maka yang harus
dipelajari teesebut meliputi: teknik melakukan kejahatan,
motif-motif tertentu, dorongan, alasan pembenaran dan sikap.
5. Arah dari motif dan dorongan dipelajari melalui batasan
(definisi) aturan hukum baik sebagai hal yang menguntungkan
maupun yang tidak.
6. Seseorang menjadi delinkeun karena lebih banyak berhubungan
dengan pola-pola tingkah laku jahat dari pada tidak jahat.
7. Differential association dapat bervariasi dalam frekuensinya,
lamanya,prioritasnya dan intensitasnya. Hubungan dengan ini,
maka differential association bisa dimulai sejak anak-anak dan
berlangsung sepanjang hidup.
8. Proses mempelajari perilaku kejahatan diperoleh melalui
hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang
menyangkut seluruh mekanisme yang melibatkan pada setiap
proses belajar pada umumnya.
9. Sementara perilaku kejahatan merupakan persyataan kebutuhan
dan nilai-nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan
oleh kebutuhan dan nilai-nilai, sebab perilaku yang bukan
kejahatan juga merupakan peryataan dari nilai yang sama.
Pencuri
umumnya
mencuri
karena
kebutuhan
untuk
memperoleh uang akan tetapi pekerja yang jujur, dia bekerja
juga dengan tujuan untuk memperoleh uang.
Dalam mengajukan teorinya tersebut, Sutherland ingin menjadikan
teorinya tersebut sebagai teori yang dapat menjelaskan semua sebabsebab kejahatan.
D. Kebijakan
Kriminal
dalam
Penegakan
dan
Penanggulangan
Kejahatan
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya
berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus
banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan
ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia,
diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang
mencantumkan ketentuan pidana .
Berpijak pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum
pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara
bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan
pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara
pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan
pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan
(Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena pada
strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani
lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta
wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan
dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan
pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim
yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi
sebab Indonesia dikatakan menganut sistem differensiasi fungsional. Namun
apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua lembaga tersebut bekerja
secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Antara kepolisian dan kejaksaan
misalnya, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita
acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk
menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra
penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di anggap belum lengkap
untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut
dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari
jaksa yang bersangkutan.51
Sisi lain, dalam mekanisme check and balances antara kepolisian dan
kejaksaan, dikenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), yang mana terhadap 2 (dua)
keputusan tersebut, masing-masing dapat saling mengajukan keberata, melalui
mekanisme sidang pra-peradilan. Kedua proses tersebut, menunjukkan bahwa
51 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
hlm.43
selain menganut sistem Differensiasi Fungsional, Indonesia juga menganut
Integrated Criminal Justice System dalam proses penegakan hukum
pidananya.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.52 Dalam menegakkan hukum, ada tiga hal yang
harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh
karena itu Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan hukum merupakan
suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang
merupakan hakikat dari penegakan hukum. Penegakan hukum harus berguna
dan bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum diciptakan semata-mata untuk
kepetingan masyarakat. Sehingga dengan adanya penegakan hukum
diharapkan masyarakat dapat hidup aman, damai, adil, dan sejahtera.53
Aparat penegak hukum aparat penegak hukum mencakup pengertian
mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penegakan hukum antara lain:54
52 Ibid
53 Ibid
54 Ibid, hlm.45
1)
Polisi
polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib.
2)
Jaksa
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3)
Hakim
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional.
4)
Penasehat hukum
Penasehat hukum adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
5)
Petugas Lembaga Pemasyarakatan
Petugas lembaga pemasyarakatan merupakan seseorang yang diberikan
tugas dengan tanggung jawab pengawasan, keamanan, dan keselamatan
narapidana di penjara maupun rutan. Dalam proses bekerjanya aparat
penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhinya,
yaitu:
a. Institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.
b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya.
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja,
baik hukum materiilnya maupun acaranya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:55
1)
Faktor hukumnya sendiri/substansi Semakin baik suatu peraturan
hukum akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, samakin
tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya.
Di dalam menyusun hukum yang baik, maka diperlukan ilmu dan
teknologi hukum yang cukup. Untuk menyusun peraturan perundangundangan tertentu misalnya, selain diperlukan kemahiran membuat
peraturan secara teknis, juga diperlukan pengetahuan yang sistematis
mengenai materi atau substansi yang akan diatur dengan peraturan tersebut
secara:56
a. Yuridis yaitu apabila peraturan hukum tersebut penentuannya
berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini berarti pula
peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang
lebih tinggi. contoh: undang-undang di Indonesia dibentuk oleh
Presiden dengan persetujuan DPR.
55 Ibid, hlm.46
56 Ibid
b. Sosiologis yaitu apabila hukum tersebut diakui atau diterima oleh
masyarakat
kepada
siapa
peraturan
hukum
tersebut
ditujukan/diberlakukan.
c.
Filosofis yaitu apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan citacita hukum sebagai nilai positif tertinggi, yaitu masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2) Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral
daripada proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena pada
masyarakat Indonesia masih terdapat kecenderungan yang kuat, untuk
senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya. Apabila
penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya hukum yang
diterapkannya juga baik. Kalau saja penegak hukum tidak disukai, maka
secara serta merta hukum yang diterapkan juga dianggap buruk.
3)
Faktor sarana atau fasilitas tanpa adanya sarana atau fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan
lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak
terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Bahwa sarana atau fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi
kelancaran pelaksanaan penegakan hukum sangat mudah dipahami, dan
banyak sekali contoh-contoh dalam masyarakat. Misalnya penanganan
kasus yang sampai pada tingkat kasasi yang sangat lambat, hal ini
disebabkan jumlah hakim tidak sesuai dengan jumlah perkara yang masuk.
4)
Faktor masyarakat semakin tinggi kesadaran masyarakat akan
hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakan hukum di
masyarakat. Karena hukum adalah berasal dari masyarakat dan
diperuntukkan mencapai keadilan di masyarakat pula. Kesadaran hukum
adalah pengetahuan, penghayatan dan ketaatan masyarakat akan adanya
hukum. Kesadaran tersebut dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi,
politik dan sebagainya. Taraf kesadaran hukum para warga masyarakat,
merupakan faktor yang penting di dalam menegakkan hukum. Oleh karena
ada kecenderungan kuat untuk berorientasi ke atas, maka mentalitas
penegak hukum sangat besar peranannya di dalam mengusahakan adanya
kepatuhan hukum.
5)
Faktor kebudayaan/culture, kebudayaan pada dasarnya mencakup
nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Kebudayaan mendasari adanya hukum adat, yakni hukum kebiasaan yang
berlaku. Selain itu juga ada hukum tertulis (perundang-undangan) yang
dibentuk oleh golongan tertentu yang mempunyai wewenang dan berlaku
di masyarakat itu juga yang mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar
dari hukum adap agar hokum perundang-undangan dapat berlaku efektif.
Dengan demikian semakin banyak persesuaian, semakin memungkinkan
untuk hukum itu ditegakkan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian yang berada pada ranah
kriminologi dan hukum pidana. Metode kriminologi adalah metode kasus
perkara (the use of case histories) dimana akan diteliti sejarah kasus atau
sejarah kebenaran dari suatu kasus karena fakta merupakan unsur yang
menentukan dalam mencari sebab-sebab kejahatan57. Dan metode ilmu hukum
khususnya yuridis sosiologis (social legal approach), adalah pemaparan dan
pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam
bekerjanya hukum di dalam kenyataan. Penelitian pun harus menggunakan
pendekatan dari kedua ilmu tersebut yaitu metode dalam penelitian
kriminologi (untuk menjawab pertanyaan mengenai sebab-sebab kejahatan)
dan metode dalam penelitian ilmu hukum khususnya penelitian yuridis
sosiologis
adalah
untuk
menjawab
pertanyaan
mengenai
penegakan
hukumnya.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan secara rinci
fenomena sosial tanpa melakukan hipotesa dan perhitungan secara statistik.
57 Soejono Dirjosiswoyo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, hlm. 77
Deskriptif analistis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
atau lisan, dan juga perilakunaya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh.58
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Purbalingga.
D. Sumber Data
1.
Data primer
Data primer adalah data dasar, dan asli yang diperoleh peneliti dari tangan
pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah baik berupa
kata-kata ungkapan, gerak tubuh (gesture) maupun bentuk perilaku yang
lain. Dalam hal ini data primer berasal dari kepolisian, Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Purbalingga dan Badan Keluarga
Berencana (BKBPN) Kabupaten Purbalingga serta kotban dan pelaku..
2.
Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder sebagai berikut:
a) Bahan hukum primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
58 Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, Universitas
Indonesia, hlm.9
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b) Bahan hukum sekunder:
1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan;
2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.
E. Metode Penentuan Informan
Penelitian ini informan sasaran di pilih dengan menggunakan metode
purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan informan sasaran
dengan cara menetapkan terlebih dahulu ciri-ciri homogenitas dari informan
sasaran. Pengunaan metode purposive sampling ini di ikuti dengan metode
snowball sampling untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap melalui
beberapa informan lagi. Pencarian data atau informasi akan selesai apabila
sudah tidak ada informasi baru yang diperoleh.
Selain penggunaan metode purposive sampling dalam penentuan
informan sasaran, tidak menutup kemungkinan menggunakan metode
snowball sampling, yaitu penunjukan atau rekomendasi untuk memberikan
atau mengalihkan tugas informan sasaran ke informan lain yang mempunyai
kompetensi di bidang penyelenggaraan, pembinaan, pengawasan perlindungan
masyarakat. Ciri-ciri dari informan sasaran yaitu seorang informan sasaran
memiliki kompetensi dan kewenangan dalam bidang penyelenggaraan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap perlindungan masyarakat. Penelitian ini
informan meliputi kepala Polisi Resort Purbalingga, Kasat Reskrim, dan
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres (PPA) Purbalingga,
Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP)
Purbalingga dan pelaku serta korban.
F. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan adalah peneliti sendiri, dengan alat bantu berupa
perekam, kamera, computer dan HP.
G. Metode Pengumpulan Data.
Penelitian ini, data dikumpulkan dengan menggunakan metode:
a. Interview
Suatu cara pengumpulan data dengan dialog yang dilakukan oleh Interviewer
untuk memperoleh informasi dari informan sasaran. Teknik wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth), yaitu
suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara interviewer dengan informan sasaran, dengan
atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana interviewer dan informan
sasaran terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. 59 Metode ini digunakan
penulis untuk mendapatkan data dengan cara mengajukan pertanyaan pada
informan sasaran Kepolisian, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
Kabupaten Purbalingga, kepala badan keluarga berencana dan pemberdayaan
perempuan (BKBPP) Purbalingga, korban dan pelaku.
b. Dokumentasi
59
Mudjirahardjo, Metode penelitian kualitatif http://Mudjiraharjo.www.penalaranunm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2012.
Salah satu cara pengumpulan data yang dipergunakan penulis dengan cara
menelaah
dokumen-dokumen
pemerintah
maupun
dokumen
non
pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.
H. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk
uraian-uraian yang sistematis dan rasional sesuai dengan alur permasalahan
yang diteliti dengan terlebih dahulu, di alakukan proses editing. Penyusunan
antara bahan yang satu dengan yang lain harus relevan dengan permasalahan
sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berhubungan, serta urut dan beraturan.
I. Analisis Data
Sesuai dengan metode penelitian yang bersifat kualitatif, maka hasil penelitian
telah dianalisis dengan metode kualitatif yakni diuraikan dan dijabarkan
menurut mutu dan sifat gejalanya, serta peristiwa hukumnya.
J. Metode Uji Vailiditas Data
Teknik untuk mengecek keabsahan data dalam Penelitian ini
dengan menggunakan teknik triangulasi, dimana dalam pengertiannya
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
penelitian. Triangulasi selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga
dilakukan untuk memperkaya data. Triangulasi menurut Lexy J. Moleong ada
4 (empat) yaitu dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik
dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut,
peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan
sumber. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.60 Adapun untuk mencapai
kepercayaan itu, maka ditempuh langkah: membandingkan hasil wawancara
dengan hasil wawancara yang lain.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini bersumber pada data sekunder dan data primer.
Hasil penelitian yang bersumber pada data sekunder didapatkan dari studi
pustaka terhadap peraturan perundang-undanggan, buku-buku literature,
karya-karya ilmiah, serta dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan
masalah yang akan diteliti, sedangkan hasil penelitian yang bersumber pada
data primer berupa hasil wawamcara dengan informan, yaitu Kasat Reskrim
atau penyidik, tersangka, korban, dan LSM BKBPP. Data yang diperoleh
bukan hanya melalui wawancara searah, tetapi juga dikonfrontir antara
keterangan dari penyidik, tersangka atau terdakwa, korban dan LSM BKBPP
(Badan Keluarga Berencana dan Perberdayaan Perempuan). Data diperoleh di
Kabupaten Purbalingga.
60 Lexy J. Moleong, 1999, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung,, PT. Remaja
Rosada Karya, hlm.5.
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan di
Kabupaten Purbalingga
Kejahatan sebagai fenomena sosial dipengaruhi oleh berbagai aspek
kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan halhal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara.
Adapun prespektif kriminologi bersifat dinamis dan mengalami pergeseran
dari
perubahan
Memperhatikan
sosial
dan
perspektif
pembangunan
kriminologi
yang
tentang
berkesinambungan.
kejahatan
dan
permasalahannya. Maka peneliti menggali sebab musabab kejahatan dengan
menggunakan teori dari Sutherland yang menjelaskan semua sebab-sebab
kejahatan.sebagai berikut:
Sebelum membahas jauh tentang faktor yang menyebabkan tindak
pidana pencabulan dengan korban anak, maka terlebih dahulu penulis akan
memaparkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang terjadi di
Kabupaten Purbalingga yang diperoleh dengan jalan penelitian langsung ke
lapangan. Guna memperoleh data, penulis melakukan penelitian di Polres
Purbalingga dan di BKBPP (Badan Keluarga Berencana dan Perlindungan
Perempuan) Purbalingga. Dari data yang diperoleh penulis dapat mengetahui
faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan dan upaya-upaya
yang dilakukan untuk menanggulanginya. Dari penelitian yang dilakukan di
Polres Purbalingga, penulis mendapatkan data mengenai tindak pidana
pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres Purbalingga tahun 2006-
2012. Dimana dalam kurun waktu tersebut, tindak pidana pencabulan ada
kalanya meningkat dan menurun, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Table 1. Data Mengenai Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana
pencabulan di Polres Purbalingga Tahun 2006-2011
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Total
Tindak pidana
persetubuhan
7
10
10
11
15
16
16
74
Tindak pidana
pencabulan
2
3
4
3
6
4
6
29
Sumber: Polres Purbalingga tahun 2012
Dengan melihat data di atas dimana jumlah tindak pidana persetubuhan yang
terjadi dilaporkan kepada pihak yang berwajib jumlahnya cukup banyak
dibandingkan kasus pencabulan. Adapun hasil wawancara dengan Kanit II
Iptu Sugeng, Aipda Anang. H.P dan Brigadir Ari pada hari selasa, 21
November 2012 mengatakan bahwa kurangnya laporan mengenai tindak
pidana pencabulan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
a. Pihak korban masih anak-anak sehingga tidak tahu akan berbuat
apa
b. Pihak korban mendapat ancaman dari pelaku bila memberitahukan
apa yang terjadi pada dirinya kepada orang lain
c. Pihak korban merasa malu
d. Pihak keluarga merasa malu sebab merupakan aib keluarga
e. Pihak korban dan keluarga takut akan hukuman sosial dari
masyarakat setempat.
Adapun keragaman tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga dari
bulan Januari-November 2012 terdapat 6 kasus, sebagai berikut:
a. Pencabulan yg dilakukan anak terhadap anak
b. Orang dewasa terhadap anak:
1)
Anak kandung
2)
Anak tiri
3)
Saudara
4)
Orang yg baru dikenal
c. Pencabulan & persetubuhan (dilakukan bersama-sama)
Berdasarkan hasil penelitian di BKBPP kabupaten Purbalingga, dalam
hal pencabualan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan
beragam modus operandi sebagai berikut :
1. Modus 1
Pelaku melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah
umur dengan cara pelaku mengajak berkenalan dengan anak yang akan
menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti mengantarkannya
pulang ataupun menjanjikan sesuatu. Setelah korban menerima penawaran
tersebut pelaku melakukan pencabulan.
2. Modus 2
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di
bawah umur dengan cara atau modus memberikan minuman yang dimana
minuman tersebut telah dicampurkan obat yang membuat anak menjadi
tidur atau pingsan, obat-obatan tersebut dengan mudah didapatkan di
apotek tanpa memerlukan resep dokter yang antara lain seperti Ctm
(Chlorpheniramin) atau Diazepam dan obat bius lainnya yang dapat
menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Setelah korbannya tidak sadarkan
diri kemudian pelaku melakukan perkosaan.
3. Modus 3
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur
dengan cara pelaku yang mempunyai jiwa yang dekat dengan anak-anak
atau yang sering berada di lingkungan anak-anak, mengajak bermain
ataupun berbicara dengan anak kemudian mengajaknya ke suatu tempat
dengan iming-iming akan diberi sejumlah uang atau hadiah, setelah anak
tersebut mengiyakan ajakan pelaku, pelaku melakukan pencabulan.
4. Modus 4
Modus pelaku pencabulan yang menjadikan anak sebagai obyek
perkosaannya dengan cara berawal dari media elektronik berupa jejaring
sosial seperti yahoo, facebook, friendster dan lain-lain yang dimana usia
seorang anak sudah dapat mengetahui dan memakai kemajuan teknologi
tersebut, setelah pelaku berbincang atau dengan kata lain chatting dengan
korbannya anak, kemudian anak tersebut diajak bertemu dengan pelaku
dan setelah pelaku bertemu dengan anak yang akan menjadi objeknya,
kemudian pelaku menggiring anak tersebut ke suatu tempat untuk
melakukan niat jahat pelaku yaitu pencabulan.
5. Modus 5
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur
dengan modus atau cara menculik anak yang akan menjadi objek
pencabulannya dan membawanya ke suatu tempat kemudian pelaku
melaksanakan niat jahatnya yaitu mencabuli anak tersebut.
6. Modus 6
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur
dengan modus atau cara, pelaku menghipnotis atau membuat anak tersebut
tidak sadar dengan kekuatan alam bawah sadar yang di buat oleh pelaku
sehingga apa yang pelaku katakan anak atau korbannya akan selalu
menurutinya dari keadaan seperti pelaku melakukan niat jahatnya dengan
mencabuli anak atau korbannya.
7. Modus 7
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur
dengan cara atau modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak
atau korbannya sehingga anak tersebut menjadi takut, dan pelaku bebas
melakukan pencabulan terhadap korbannya.
Modus-modus operandi pencabulan terhadap anak di bawah umur di
atas, ialah sejumlah modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku
pencabulan demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada
anak-anak. Dari beragam bentuk modus yang dilakukan oleh para pelaku
disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan tersebut.
Selain mengetahui jumlah tindak pidana pencabulan dan keragaman
jenis tindak pidana pencabulan dan beragam bentuk modus yang dilakukan
oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan
tersebut yang telah ditangani di wilayah hukum Polres Purbalingga, adapun
faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan yang dimana memiliki motif
beragam yaitu:61
a. Pengaruh perkembangan teknologi
b. Pengaruh alkohol
c. Situasi (adanya kesempatan)
d. Peranan korban
e. Lingkungan:
1.
Keluarga: broken home, kesibukan orang tua
2.
Masyarakat
f. Tingkat pendidikan rendah
g. Pekerjaan (pengangguran)
h. Rasa ingin tahu (anak)
Hasil wawamcara dengan informan tentang faktor-faktor penyebab tindak
pidana pencabulan yang dilakukan di kabupaten purbalingga akan disajikan
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Pencabulan
No
1
Informan
Iptu Sugeng
(Kanit II PPA
Polres
Hasil
wawancara
perkembangan
yang semakin
maju dan
Tema
Faktorfaktor
penyebab
Tujuan
Mengetahui
faktor-faktor
penyebab
61 Simpulan wawancara dengan LSM, BKBPP Pelaku dan polisi. Untuk faktor ac wawancara dengan LSM BKBPP, faktor d-g wawancara dengan polisi, faktor h
wawancara dengan pelaku
Purbalingga)
2
Eny. P (Kepala
BKBPP
Purbalingga)
3
Tersangka
(Soniyanto)
21 th
dipengaruhi oleh
kecanggihan
teknologi
perkembangan
yang semakin
maju dan
dipengaruhi oleh
kecanggihan
teknologi
tindak
pidana
pencabulan
Faktorfaktor
penyebab
tindak
pidana
pencabulan
“Saya sering
menonton video
porno bersama
teman-teman di
internet lewat
handphone
teman”
Faktorfaktor
penyebab
tindak
pidana
pencabulan
tindak pidana
pencabulan
Mengetahui
latarbelakang
yang menjadi
faktor-faktor
penyebab
tindak pidana
pencabulan
Mengetahui
faktor-faktor
penyebab
tindak pidana
pencabulan
Sumber: Data primer yang diolah
Tabel di atas menunjukan faktor-faktor penyebab yang paling terbesar
melatarbelakangi tindak pidana pencabulan di Purbalingga, dimana penyebab
terbesar yaitu perkembangan yang semakin maju dan kecanggihan teknologi.
Menurut hasil penelitian di Kabupaten Purbalingga dan wawancara dilakukan
terhadap pelaku dan korban tindak pidana pencabulan, maka penulis akan
memaparkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana
pencabulan adalah sebagai berikut:
1. Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi
Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang
dapat
menimbulkan
dampak
terhadap
masyarakat
dan
yang
bersangkutan mudah terpengaruh melakukan suatu kejahatan tanpa
memikirkan akibat dari perbuatannya. Salah satu delik yang
berhubungan karena pelakunya memiliki pendidikan formal yang
rendah adalah tindak pidana kesusilaan terutama pencabulan yang
terjadi di Kabupaten Purbalingga.
Dilihat dari data yang diperoleh dari 6 pelaku tindak pidana
pencabulan pada anak di Kabupaten Purbalingga, bahwa pada
umumnya mempunyai pendidikan yang rendah, bahkan ada 3 pelaku
yang putusekolah. tingkat pendidikan yang rendah para pelaku tidak
berpikir bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut dapat merusak
keluarga dari pelaku tersebut dan watak anak yang menjadi korban.
Karena pendidikan yang rendah maka berhubungan dengan taraf
ekonomi, dimana ekonomi juga merupakan salah satu penyebab
seseorang melakukan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum.
Menurut Aristoteles menyatakan bahwa:62
“Kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan. Dan
kejahatan yang besar itu
tidak diperbuat orang untuk
memdapatkan kebutuhan-kebutuhab hidup yang vital, akan
tetapi lebih banyak didorong oleh keserakahan manusia
mengejar kemawahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan”.
Menurut Thomas van Aquino:63
62 Kartini kartono, 1981, Patologi Sosial jilit 1, Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, hlm. 145
63 Ibid
“Timbulnya
kejahatan
disebabkan
oleh
kemiskinan.
Kemelaratan itu mendorong oranguntuk berbuat jahat dan tidak
susila”.
Pendapat para ahli di atas dilihat bahwa faktor ekonomi juga
ikut berpengaruh terjadinya kejahatan termasuk tindak pidana
pencabulan, dimana dari data yang diperoleh dari penelitian bahwa
terdapat 3 pelaku yang tidak mempunyai pekerjaan dan lainnya bekerja
sebagai petani dan wirausaha. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor
pendidikan yang rendah dan ekonomi mempengaruhi keadaan jiwa,
tingkah laku terutama intelegensinya sehingga mereka dapat
melakukan kejahatan dalam hal ini tindak pidana pencabulan pada
anak di Kabupaten Purbalingga.
2. Faktor Lingkungan atau Tempat Tinggal
Kejahatan asusila adalah merupakan tindak manusia terhadap
manusia lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu manusia adalah
anggota dari masyarakat, maka kejahatan asusila tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat setempat. Lingkungan sosial tempat hidup
seseorang banyak berpengaruh dalam membentuk tingkah laku
kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak akan lepas dari
pengaruh lingkungan.
Dari hasil penelitian penulis, bahwa bukan hanya pengaruh
faktor lingkungan sosial yang ikut berperan akan timbulnya kejehatan
tetapi faktor tempat tinggal pun ikut juga mempengaruhi kejahatan
seperti tindak pidana asusila terutama tindak pidana Pencabulan,
contohnya: Keluarga yang hancur/broken home tentunya menyebabkan
luka batin terhadap anak-anaknya. Dan kesibukan orang tua dengan
pekerjaan menjadikan anak terlantar dan tidak mendapat asuhan dari
orang tua dengan maksimal. Menjadikan Pantauan orang tua dalam
masa pertumbuhan dan perkembangan anaknya kurang, maka banyak
anak-anak yang terjerumus kepada hal-hal yang negatif diantaranya
tindak pidana pencabulan, ini sesuai dengan hasil wawancara Robbi
Aziz Nugroho (pelaku tindak pidana pencabulan).
3. Faktor Minuman Keras (beralkohol)
Kasus pencabulan juga terjadi karena adanya stimulasi
diantaranya karena dampak alkohol. Orang yang dibawah pengaruh
alkohol sangat berbahaya karena ia menyebabkan hilangnya daya
menahan diri dari sipeminum. Diluar beberapa hal yang terjadi,
dimana si peminum justru untuk menimbulkan kehilangan daya
menahan diri, bahwa alkohol jika dipergunakan akan membahayakan
manusia pertama jiwanya paling lemah. Begitu seseorang yang
mempunyai
gangguan-gangguan
dalam
seksualitasnya,
dimana
minuman alkohol melampui batas yang menyebabkan dirinya tak dapat
menahan nafsunya lagi, dan akan mencari kepuasan seksualnya,
bahkan dengan pencabulan dengan siapa saja tak terkecuali mencabuli
anaknya sendiri.
Adapun wawancara yang dilakukan oleh Tohadi bin Tarmuni
(pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayahnya
sendiri/ pencabulan) bahwa si pelaku setelah minum alkohol (ballo)
yang cukup banyak, dia pun pulang kerumahnya dan melihat anaknya
yang sedang televisi dan langsung mencabulinya, dan menurut
pengakuannya setiap setelah mengkomsumsi alcohol, dia merasa hawa
nafsunya tidak dapat dia tahan.
4. Faktor Teknologi
Adanya
berkembangnya
teknologi
tentunya
membawa
pengaruh bagi kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dampak-dampak pengaruh
globalisasi tersebut kita kembalikan kepada diri kita sendiri sebagai
generasi muda agar tetap menjaga etika dan budaya, agar kita tidak
terkena dampak negatif dari globalisasi. Namun Informasi yang tidak
tersaring membuat tidak kreatif, prilaku konsumtif dan membuat sikap
menutup diri serta berpikir sempit. Hal tersebut menimbulkan meniru
perilaku yang buruk. Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai
dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara yang tidak sesuai
dengan norma-norma yang ada .
5. Peranan Korban
Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan
seseorang untuk melakukan kejahatan terhadapnya termasuk kejahatan
asusila. Sebagaimana dikemukakan oleh Von Henting menyatakan
bahwa: “ternyata korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang
untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi penjahat”.64
Hasil wawancara dengan Mistono dan Sumitro (pelaku tindak
pidana pencabulan) bahwa si korban adalah teman pelaku (mereka
masih di bawah umur). Korban dan pelaku selalu bermain bersama
sehingga sering bertemu dan diantara mereka tidak ada rahasia.
Sampai-sampai korban berganti pakaian pun didepan para pelaku,
sehingga muncul keinginan si pelaku untuk mencabuli si korban. Jadi,
pada dasarnya dapat dikatakan bahwa korban adalah pihak yang dapat
membuat orang menjadi penjahat dan melakukan kejahatan.
Berdasarkan uraian fakta-fakta diatas maka teori dari sutherlind
yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor
penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan masih relevan.
Walaupun dari uraian fakta di atas dapat terlihat ada faktor
penghambat terungkapnya tindak pidana pencabulan, dimana dalam
masyarakat masih dianggap aib.
Maka dapat ditarik kesimpulan dari uraian fakta-fakta di atas
bahwa faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor lingkungan
atau tempat tinggal, faktor minuman keras (beralkohol), faktor
teknologi, dan peranan korban. Merupakan faktor-faktor penyebab
yang penting dari penyebab tindak pidana pencabulan di Kabupaten
64 Ninik widiyanti, 1987, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahan,
Jakarta: Bima Aksara. hlm. 133
Purbalingga. Dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan
oleh mazhab-mazhab dalam bidang etiologi kriminal dimana faktorfaktor penyebab tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga
sesuai dengan teori–teori yang tidak berorientasi pada kelas sosia yaitu
teori ekologi dimana teori ini dipengaruh faktor lingkungan sosial yang
ikut berperan akan timbulnya kejahatan tetapi faktor tempat tinggal
pun ikut juga mempengaruhi kejahatan seperti tindak pidana asusila
terutama tindak pidana pencabulan, contohnya: Keluarga yang
hancur/broken home tentunya menyebabkan luka batin terhadap anakanaknya. Dan kesibukan orang tua dengan pekerjaan menjadikan anak
terlantar dan tidak mendapat asuhan dari orang tua dengan maksimal.
Teori konflik kebudayaan adalah konflik dalam nilai sosial,
kepentingan dan norma-norma. Tindak pidana pencabulan di
Kabupaten Purbalingga ini ditengarai dari proses perkembangan
kebudayaan dan peradaban. Perpindahan norma-norma perilaku daerah
budaya barat dan dipelajari sebagai konflik mental atau sebagai
benturan nilai kultur, seperti teknologi yang makin canggih dan
minuman keras (beralkohol). Teori faktor ekonomi merupakan hal
yang fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultur menentukan
struktus
tersebut.
Perkembangan
perekonomian
di
Kabupaten
Purbalingga cenderung belum merata di setiap wilayah Kabupaten
Purbalingga ditengarai masih terdapat pengangguran, sehingga
terdapat penyimpangan seksual contohnya tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur. Teori differential association
berlandaskan pada proses belajar, adalah perilaku kejahatan yaitu
perilaku yang dipelajari. Dimana Sutherland berpendapat bahwa
perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku
manusia pada umumnya yang bukan kejahatan. Misalnya film-film
atau bacaan yang mengandung usus pornografi yang masih menjadi
konsumsi umum, sehingga menimbulkan pengaruh negative pada
masyarakat.
B. Upaya Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten
Purbalingga
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya
berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus
banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan
ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia,
diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang
mencantumkan ketentuan pidana .
Berpijak pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum
pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara
bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan
pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara
pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan
pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan
(Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena pada
strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani
lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta
wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan
dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan
pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim
yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi
sebab Indonesia dikatakan menganut sistem differensiasi fungsional. Namun
apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua lembaga tersebut bekerja
secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Antara kepolisian dan kejaksaan
misalnya, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita
acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk
menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra
penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di anggap belum lengkap
untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut
dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari
jaksa yang bersangkutan.65
Usaha penanggulangan suatu kejahatan, apakah itu menyangkut
kepentingan hukum seseorang, masyarakat maupun kepentingan hukum
65 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
hlm.43
Negara., tidaklah mudah seperti yang dibayangkan karena hampir tidak
mungkin dmenghilangkannya. Tindak kejahatan atau kriminalitas akan tetap
ada selama manusia masih ada dipermukaan bumi ini, kriminaitas akan hadir
pada segala bentuk tingkat kehidupan masyarakat. Kejahatan amatlah
kompleks sifatnya, karena tingkah laku dari penjahat itu banyak variasinya
serta sesuai pula dengan perkembangan yang semakin canggih dan
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan berpengaruh terhadap meningkatnya
tindak pidana pencabulan, dimana semakin meuasnya informasi melalui media
elektronik maupun media cetak dari seluruh belahan dunia yang tidak melalui
tahap penyaringan terhadap adegan-adegan yang berbau negatif.
Tindak pidana pencabulan di Kabupaten purbalingga terhadap anak di
bawah umur banyak terjadi permasalahan mengenai bagaimana hukum dalam
menegakan keadilan bagi para pelaku pencabulan tersebut yang dihukum
dengan hukuman yang dapat dikatakan hukuman tersebut tidak dapat
membuat perilaku para pelaku tersebut berubah menjadi lebih baik, sehingga
ini menyebabkan korban merasa tidak mendapatkan keadilan yang efisien oleh
kejahatan apa yang telah pelaku lakukan terhadap korban khususnya anak di
bawah umur. Hukum adalah aturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat.
Perlu dipahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakan hukum
yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, akan tetapi
adalah kualitas materil atau substansial. Kemudian, strategi sasaran
pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif
yang dimana opini yang dituntut masyarakat yang berkembang dituntut saat
ini, yaitu antara lain:
1. Adanya perlindungan hak asasi manusia;
2. Adanya nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan keyakinan antara masyarakat
berserta pemerintah dan penegak hukum;
3. Bersih dari praktik pilih kasih, korupsi, kolusi, dan nepotisme, mafia peradilan
dan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan;
4. Terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
5. Terwujudnya penegakan hukum yang efisien dan tegaknya kode etik dan profesi
penegak hukum.
Penegakan hukum dalam suatu tindak pidana pencabulan di Kabupaten
Purbalingga yang dilakukan oleh pelakunya orang dewasa terhadap korban
yang masih di bawah umur sudah efisien, terdapat faktor-faktor yang mungkin
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut yang antara lain sebagai
berikut :
1. Faktor Hukum.
Faktor hukumnya, maksudnya dalam hal kaitannya mengenai undangundang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta
tujuannya dan hampir dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat harus
menaati peraturan tersebut. Setiap peraturan perundang-undangan memiliki
kelemahan-kelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya perundang-undangan
dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan kejahatan, akan
tetapi dalam kenyataannya angka pelanggaran dan kejahatan itu semakin
meningkat dari tahun ke tahun di Kabupaen Purbalingga terutama tindak
pidana pencabulan, peningkatan tersebut disebabkan ialah kurangnya
meratanya masyarakat memahami undang-undang tersebut serta kurangnya
sosialisasi mengenai penyuluhan hukum mengenai undang-undang pada
masyarakat.
Penegakan hukum di Kabupaten Purbalingga telah sesuai dengan
undang-undang yang ada dan berlaku dalam penegakan hukum tindak pidana
pencabulan, ditegaskan dengan pernyataan dari Kanit unit PPA Polres
Purbalingga menyatakan bahwa: ”Kami dalam menangani tindak pidana
pencabulan anak di bawah umur di wilayah hukum Polres Purbalingga ini
sesui dengan procedural penyidikan dan telah menerapkan undang-undang
yang sesuai dengan perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak”.
2. Faktor Penegak Hukum
Penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik, apabila tidak
didukung oleh para penegak hukumnya yang khususnya bergerak di dalam
bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, kehakiman dan
lembaga pemasyarakatan. Lemah kuatnya suatu penegakan hukum berasal dari
para penegak hukumnya, jika para penegak hukumnya lemah, maka
masyarakat akan mempersepsikan bahwa hukum dilingkungannya tidak ada
atau seolah masyarakat berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan satu pun
yang mengaturnya.66
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada
pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks.
Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis
prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak
dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan
hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi, masalah hukum
yang menjadi polemik adalah seputar bagaimana mempersiapkan yang belum
ada dan menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses
transplantasi hukum secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses
pertumbuhan tatanan baru globalisasi. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan
hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan
perlindungan atas hak dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat
seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum
merupakan permasalahan setiap orang. Di sisi lain, proses transplantasi
tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk menanggulangi distorsi
yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan menggerogoti seluruh
institusi dan infrastruktur pendukung sistem hukum Indonesia.
Perlu diperhatikan ialah mengenai kebutuhan akan etika, standar dan
tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok para penegak hukum yang akan
66 Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 46
mendukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya proses pencarian
keadilan yang sehat. Faktor yang ikut menuntut mencuatnya debat tersebut
berada di sisi masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung
kepada keahlian dan keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum
profesional. Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan
etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi,
yang dalam hal tertentu masih dapat di nilai melalui parameter etika umum
yang ada di dalam masyarakat. Dengan begitu, telah lebih lanjut mengenai
dimensi moral dari profesi penegak hukum dan berkaitan erat dengan makna,
fungsi dan peranan penegak hukum beserta kode etik yang mengatur
mengenai profesi penegak hukum itu sendiri.
Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah
merupakan dasar bagi para penegak hukum. Sudah sejak dahulu profesi para
penegak hukum dianggap sebagai profesi mulia. Oleh karena itu seorang para
penegak hukum dalam bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan,
sesuai dengan kedudukan aparat penegak hukum tersebut sebagai the officer
of the criminal. Sudah merupakan suatu keharusan bagi para penegak hukum
memahami kode etik profesi dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral bagi para penegak
hukum
dalam
bertindak
menjalankan
tugas
dan
kewajibannya.
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan tanpa
pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak
maju bahkan tidak tegak.
Dunia hukum khususnya Pidana, sering kita mendengar istilah kode
P18, P19 ataupun P21 baik di media masa maupun Media Elektronik. Kadangkadang orang yang tidak mengerti arti dari kode-kode tersebut diatas hanya
bertanya-tanya, dalam hal ini kami akan jelaskan tentang kode P21 yang
seringkali kita mendengarnya berdasarkan Peraturan Hukum yang berlaku.
P21 yaitu artinya berkas perkara yang diserahkan kepolisian telah dianggap
lengkap oleh kejaksaan dan siap untuk dilimpahkan ke pengadilan untuk
menjalani proses persidangan.
Penelitian yang dilakukan di Polres Purbalingga, penulis mendapatkan
data mengenai tindak pidana pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres
Purbalingga pada bulan Januari-November tahun 2012, dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel 3. Data Kasus Pencabulan Anak di POLRES Purbalingga Bulan
Januari-November tahun 2012
NO
NO DAN TANGGAL
LP
LP/K/III/2012/Sek
Pbg4 maret 2012
TERSANG
KA
Fajar
2
LP/K/139/VII/2012/SP
KT 9 Agustus 2012
Soniyanto
3
LP/K/15/VII/2012/Sek
Mbt 28 Agustus 2012
Mistono
4
LP/K/158/IX/2012/SP
KT 11 September 2012
5
LP/B/186/X/2012/SPK
T, 28 oktober 2012
Ilham, aan,
teguh, lutfi,
selamet dan
yusuf
Robbi aziz
nugroho
6
LP/B/189/XI/2012/Jate
Tohadi
1
PASAL YANG
DILANGGAR
82 uu
perlindungan
anak
82 uu
perlindungan
anak
82 uu
perlindungan
anak
82 uu
perlindungan
anak
KETERAN
GAN
P21 (selesai)
P21 (selesai)
Di cabut
(menikahi
korban)
Dicabut
(pembinaan
orangtua dan
kompensasi)
81 dan atau 82 Kirim
uu perlindungan berkas
anak
81 dan atau 82 Penyidikan
ng/Res.pbg, 3
november 2012
uu perlindungan
Berdasarkan tabel di atas terlihat tindak pidana pencabulan terhadap
anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga, para penegak hukum telah
menerapkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Di dalam kasus pencabulan yang korbannya menimpa seorang anak di bawah
umur ini menyangkut tentang hak asasi anak sebagai korbannya yang tidak
baik mendapatkan perlakuan dalam hal kekerasan seksual sesuai dengan
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 pada Pasal 82 yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Pasal di atas, pada kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur
khususnya dalam menjerat para pelakunya bukan hanya Pasal 285 KUHP saja,
akan tetapi pasal tersebut di atas dapat juga menjadi acuan para penegak
hukum untuk menjerat para pelaku yang dimana ancaman pidana bagi para
pelakunya lebih berat dibandingkan dalam pasal 285 KUHP atau dengan kata
lain undang-undang mengenai perlindungan anak tersebut janganlah
dikesampingkan akan tetapi dipakai dalam menjerat para pelaku yang
menjadikan anak-anak-sebagai objeknya.
3. Faktor Sarana Atau Fasilitas.
Sarana atau fasilitas di bidang hukum harus benar-benar berjalan
secara baik, seperti: mobil/motor patrol dan pos-pos polisi. Sarana atau
fasilitas tersebut menjadi sebuah dukungan demi kelancaran penegakan
hukum di Indonesia. Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup mengenai
proses perkara pidananya. Hasil wawancara dengan Kanit PPA, IPTU Sugeng
pada hari rabu tanggal 21 November 2012 menyatakan bahwa: “sarana dan
fasilitas sudah memadai dalam kelancaran penegakan hukum di Kabupaten
Purbalingga”. Namun dengan adanya sarana dan fasilitas juga harus ditunjang
dengan partisipasi dari pihak terkait dan masyarakat, sehingga berjalan secara
seimbang menjadikan kelancaran dalam penegakan hukum pada tindak pidana
pencabulan di Kabupaten Purbalingga.
4. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan
Kehidupan bermasyarakat, penegakan hukum menjadi tolak ukur bagi
masyarakat untuk merasakan suatu keadilan. Mengenai kasus pencabulan
dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam masalah penegakan hukum,
maksudnya masyarakat harus mendukung secara penuh dan berkerja sama
dengan para penegak hukum dalam usaha penegakan hukum. Akan tetapi
masyarakat di Kabupaen purbalingga mempunyai pengaruh adat yang sangat
besar belum mempercayai dengan secara penuh tentang adanya hukum yang
berlaku di negara ini, dikarenakan mereka masih percaya dengan hukum
adatnya sendiri atau dengan kata lain masyarakat purbalingga yang
mempunyai cara tersendiri untuk menegakan aturan yang berlaku di daerahnya
tersebut atau dengan kata lain pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya
kepada korban. Dari faktor-faktor yang tersebut di atas mungkin dapat
mempengaruhi penegakan hukum khususnya dalam kasus pencabulan
terhadap anak di bawah umur karena perbuatan yang melanggar hukum harus
senantiasa dilengkapi dengan organ-organ penegakannya yang tergantung
pada faktor-faktor yang meliputi :67
a.
Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut
sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
b.
Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya
perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
c.
Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum.
Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan oleh
kepolisian Purbalingga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, karena masyarakatlah faktor yang
sangat berperan aktif mendukung proses penegakan hukum pada akhir-akhir
ini di media masa banyak masalah yang timbul seperti adanya mafia hukum
yang dimana hukum digunakan sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang
menjadi oknumnya sehingga membuat kepercayaan masyarakat pada hukum
yang berlaku di Indonesia mulai musnah sedikit demi sedikit oleh sebab itu,
Polres Purbalingga harus lebih di upayakan profesionalitas, kejujuran dan
bersih dari permainan yang di buat oleh oknum-oknum tertentu dalam
kinerjanya di bidang penegakan hukum. Peranan hukum dalam masyarakat
67 Simpulan wawancara dengan polisi di Polres Purbalingga, hari rabu tanggal 21
November 2012
yang bebas ialah to enforce the truth and justice, yaitu penegakan kebenaran
dan menegakkan keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum
dilakukan Polres Purbalingga tanpa pandang bulu atau pilih kasih dan tidak
ada diskriminasi ataupun tidak bersifat berat sebelah atau imparsial Penegakan
hukum yang dilakukan oleh Polres Purbalingga melalui faktor-faktor tesebut
telah sesui dengan sistem penegakan hukum pidana secara penegasan
pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara
pidana secara instansional (Differensiasi Fungsional) dan sistem peradilan
pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum acara pidana dijalankan
(Intregated Criminal Justices system). Sehingga tercipta keadaan yang
kondusif di dalam kehidupan masayarakat.
Beberapa data diatas dapat diketahui faktor-faktor yang mungkin dapat
mempengaruhi penegakan hukum di Kabupaten Purbalingga selanjutnya akan
dipaparkan mengenai penegakan hukumnya dengan upaya pencegahan
(preventif) dan upaya penanggulanggan (refresif). Hasil wawancara dengan
informan tentang upaya pencegahan (preventif) dan upaya penanggulangan
(refresif) disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3.Upaya Pencegahan
No
1
Informan
Iptu Sugeng
(Kanit PPA
Polres
Purbalingga
Hasil wawancara
Terhadap
pencegahan polres
purbalingga
mengadakan
bimbingan dan
penyuluhan
(Binhul) kepada
Tema
Pencegahan
tindak
pidana
pencabulan
Tujuan
Agar tindak
pidana
pencabulan
dapat di
minimalisir
2
3
masyarakat
khususnya tentang
pelecehan seksual
bekerjasama dengan
Pemda melalui
Bapermas,BKBPP
dan juga
diadakamnya
pemantauan dan
razia.
Eny. P (ketua BKBPP Purbalingga
LSM BKBPP selalu mengadakan
Purbalingga)
bimbingan dan
penyuluhan kepada
masyarakat
khususnyapelecehan
seksual yang
bekerjasama dengan
Pemdamelalui
Bapermas
Akhmad
Diadakannya
(Tokoh
bimbingan dan
Masyarakat)
penyuluhan hukum
tentang UU
perlindungan anak
dan pelecehan
seksual serta
penyuluhan
keagamaan
Pencegahan
tindak
pidana
pencabulan
Agar tindak
pidana
pencabulan
dapat di
minimalisir
Pencegahan
tindak
pidana
pencabulan
Agar tindak
pidana
pencabulan
dapat di
minimalisir
Sumber: Data Primer yang diolah
Berdasarkan tabel di atas menunjukan bertanggung jawab untuk
menanggulangi tindak pidana kesusilaan terutama tindak pidana Pencabulan di
Kabupaten Purbalingga dan apa saja upaya yang harus dilakukan:
1. Tindakan preventif
a.
Individu
Harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus
mencoba agar tidak menjadi korban kejahatannya khususnya
pencabulan, salah satunya adalah tidak memberikan kesempatan
atau ruang kepada setiap orang atau setiap pelaku untuk melakukan
kejahatan. Salah satunya yaitu dengan:
1) Menghindari pakaian yang dapat menimbulkan rangsangan
seksual terhadap lawan jenis;
2) Tidak tidur bersama dengan anggota keluarga yang
berlainan jenis yang telah dewasa.
b.
Masyarakat
Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia
yang memiliki watak yang berbeda-beda satu sama lainnya,
sehingga kehidupan masyarakat merupakan salah satu hal yang
penting dimana menentukan dapat atau tidaknya suatu kejahatan
dilakukan. Dalam kehidupan bermasyarakat perlu adanya pola
hidup yang aman dan tentram sehingga tidak terdapat ruang atau
untuk terjadinya kejahatan, khususnya kejahatan di bidang asusila
terutama pencabulan terhadap anak.
Pencegahan terhadap kejahatan asusia yang merupaka suatu
usaha bersama yang harus dimulai sedini mungkin pada setiap
anggota masyarakat. Kanit PPA IPTU Sugeng menyatakan bahwa:
”Upaya yang dilakukan Polres Purbalingga agar mencegah
terjadinya tindak pidana kesusilaan yaitu menciptakan suasana
yang tidak menyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh
masyarakat”. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
untuk mencegah yaitu dengan jalan mengadakan acara silaturahi
antara anggota masyarakat yang diisi dengan ceramah-ceramah
yang dibawakan oleh tokoh masyarakat dilingkungan tempat
tinggal.
c.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah
Usaha penanggulangan kejahatan, pemerintah Kabupaten
Purbalingga juga tidak lepas dari hal ini, menginggat pemerintah
Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu wilayah Kabupaten
yang sedang berkembang pesat dari segala bidang, antaralain
bidang
ekonomi,
bidang
pariwisata,
bidang
industri
dan
sebagainya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah
sebagai
upaya
penanggulangan
kejahatan
asusila
terutama
pencabulan, diantaranya:
1.
Mengadakan penyuluhan hukum.
Upaya penyuluhan hukum sangatlah penting dilakukan,
mengingat bahwa pada umumnya pelaku kejahatan, khususnya
tindak pidana pencabulan adalah tingkat kesadaran hukumnya
masih relative rendah, sehingga dengan adanya kegiatan
penyuluhan ini diharapkan mereka dapat memahami dan
menyadari, bahwa tindak pidana pencabulan itu merupakan
perbuatan melanggar hukum serta merugikan masyarakat, yang
diancam dengan Undang-undang.
2.
Mengadakan penyuluhan keagamaan
Agama merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mendapat kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Melalui
penyeluhan
terhadap
keagamaan
agama
dimanifestasikan
diharapkan
keimanan
kepercayaannya
semakin
dalam
sehari-hari
perilaku
seseorang
kokoh,
di
serta
dalam
masyarakat, serta untuk melakukan kejahatan menyangkut
tindak pidana asusila terutama tindak pidana pencabulan dapat
dialihkan kepada hal-hal yang positif.
d.
Kepolisian
Kepolisian sebagai salah satu instansi penegak hukum, juga
memandang peranan yang sangat penting demi terwujudnya
kehidupan yang aman dan tentram. Usaha yang dilakukan polisi
Kabupaten Purbalingga dalam upaya penanggulangan tindak
pidana pencabulan diantaranya adalah melakukan patrol/razia rutin
untuk
meningkatkan
suasana
kamtibmas
dalam
kehidupan
masyarakat, selain itu kepolisian juga secara rutin memberikan
penyuluhan hukum terhadap masyarakat dibantu lembaga terkait .
Selain itu aparat kepolisian dalam melakukan patroli diharapkan
mampu membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat
sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara polisi dengan
masyarakat yang nantinya akan melahirkan kerjasama yang baik
diantara keduannnya.
Selain upaya preventif di atas, juga diperlukan upaya represif
sebagai bentuk dari upaya penanggulangan kejahatan asusila termasuk
pencabulan. Penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan atau
pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan
oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga permasyarakatan.
berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
informan
tentang
upaya
penanggulangan yang dilakukan Polres Purbalingga akan disajikan dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Upaya Penanggulangan
Sumber: Data Primer yang diolah
Selain tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh kepolisian
Kabupaten Purbalingga, kepolisian Kabupaten Purbalingga juga dapat
melakukan tindakan-tindakan represif. Tindakan represif yang dilakukan
harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan atas perintah
atasan tertinggi kepolisian tersebut. Tindakan tersebut harus mendapat
perintah dari atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosuder dan lain
sebagainya
yang
mengakibatkan
kerugian
bagi
pelaku
ataupun
masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab atasan. Sehingga aparat
yang bekerja dilapangan dalam melakukan tindakan tidak sewenangwenang. Tindakan tersebut dapat berupa pelumpuhan terhadap pelaku,
melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan dan lain sebagainya.
Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan penyidikan dari
kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim pengadilan
negeri. Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksimal
kepada
pelaku
diharapkan
agar
pelaku
dan
calon
pelaku
mempertimbangkan kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera
untuk
mengulangi
kembali.
Sementara
bagi
pihak
Lembaga
Permasyarakatan memberikan pembinaan terhadap narapidana yang
berada di Lembaga Permasyarakatan berupa pembinaan mental agama,
penyuluhan hukum serta berbagai macam keterampilan.
Tabel di atas menunjukan upaya pencegahan dan upaya penanggulangan
untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten
Purbalingga. Diperlukan pencegahan dan penanganan yang serius dari pihakpihak yang terkait, yaitu: kepolisian, aparat penegak hukum, pemerintah daerah,
LSM dan mayarakat.
Berbagai kasus pencabulan yang terjadi di kabupaten Purbalingga
yang bermacam- macam bentuk dan modus operandinya seperti dirayu,
diancam, dipaksa, ditipu dan lain sebagainya, para pelaku pencabulan
tersebut menurut Unit Perlindungan Perempuan Anak Polres Purbalingga
rata-rata dijatuhi hukuman penjara sekitar tiga sampai lima tahun.
Efisiensi hukuman penjara tersebut apakah sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku pencabulan anak di bawah
umur, ini menjadi suatu polemik dikalangan masyarakat , akan tetapi
penjatuhan hukuman bagi pelaku itu tergantung pada proses hukumnya.68
Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelaku didasarkan
pada pembuktian dan keyakinan dari hakim serta dengan hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan, hal-hal ini yang akan
menjadi tolak ukur dari berat ringannya hukuman bagi pelaku.
Sebagaimana pengaturan bagi pelaku perkosaan terhadap anak di bawah
umur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
ialah sebagai berikut :
1. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah
Umur Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
68 Kartini kartono, Op.Cit, hlm. 167
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut
KUHP ialah sebagai berikut:
a. Pasal 285 KUHP yang menentukan bahwa:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Pasal 285 KUHP di atas, pelaku pencabulan terhadap anak di
bawah umur dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama dua
belas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori
korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang
wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh
klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat
dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang korbannya
anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam pasal ini.
b. Pasal 286 KUHP yang menentukan bahwa:
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan
istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku pencabualan
terhadap anak di bawah umur melakukan pemenuhan hasrat
seksualnya bukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan,
melainkan dengan cara meminumkan suatu zat atau obat yang
membuat korbannya pingsan atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
c. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa:
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar
pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata ,
belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Perbuatan yang terjadi di sini adalah perbuatan pencabulan
terhadap anak di bawah umur dilakukan dengan memaksakan
kehendak dari orang dewasa terhadap anak di bawah umur yang
dilakukan tanpa atau dengan kekerasan demi tercapainya pemenuhan
hasrat seksual.
Pemenuhan hasrat seksual yang dilakukan tanpa kekerasan bisa
terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban
dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang
membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian si
pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan maksudnya untuk
menyetubuhi korban. Dalam hal ini pelaku dapat diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur
Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah
umur menurut undang-undang perlindungan anak ialah Pasal 82 yang
menentukan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal ini, pengaturan bagi pelaku pencabualan terhadap anak di
bawah umur dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang
dimana menerangkan hukuman bagi pelaku sangatlah berat yaitu
paling lama lima belas tahun penjara dan paling singkat tiga tahun
penjara, setidaknya akan membuat pelaku geram dan menyadari benar
perbuatan apa yang telah dilakukan. Pengaturan pada pasal ini sudah
cukup
efisien
dalam
menjerat
para
pelaku
untuk
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Berdasarkan uraian dari data hasil penelitian di atas dapat ditarik
kesimpulan mengenai penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap
anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga. Peranan menurut teori
Sutherland, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem
yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana
secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak
hukum acara pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem
peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana
dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena
pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir
ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas
serta wewenangnya masing-masing, hal tersebut pembagian tugas dan
wewenang antara aparat penegak hukum acara pidana secara instansional
(Differensiasi
Fungsional).
Dalam
penegakan
hukum
tindak
pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga ini telah
dilaksanakan menurut proses hukumnya, mengacu dan berpegang pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU NO. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal tersebut merupakan wujud
peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana
dijalankan (Intregated Criminal Justices system).
Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap
anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga sudah optimal. Hal tersebut
dapat terlihat dari perilaku dan tindakan penegakan hukum pidana secara
penegasan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum
acara pidana secara instansional dan sistem peradilan pidana yang mengatur
bagaimana penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencabulan
dijalankan dengan upaya penegakan hukumnya tindak pidana pencabulan baik
secara upaya preventif dan upaya represif.
C. Perlindungan Terhadap Korban (Anak)
1. Hak Anak Sebagai Korban
Banyaknya kasus mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi
di Indonesia dianggap sebagai suatu indikator buruknya kualitas
perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup
mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat
berlindung bagi anak. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia
banyak menuai sorotan dan kritik dari berbagai lapisan masyarakat.
Perlindungan anak ialah “suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”. 69 Masalah
perlindungan terhadap anak di bawah umur yang menjadi korban
pencabulan atau kekerasan seksual bukan persoalan yang mudah untuk
kita praktekkan dalam kenyataannya di kehidupan sehari-hari.
Setiap terjadinya suatu kejahatan, dimulai dari kejahatan yang
ringan sampai yang berat sudah tentu akan menimbulkan korban dan
korbannya tersebut akan mengalami penderitaan, baik yang bersifat
materil maupun imateril khususnya dalam kasus pencabualan atau
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dimana seorang
anak tidak semestinya mendapatkan perlakuan yang salah tersebut,
dikarenakan setiap anak memiliki hak yang terkandung dalam Undangundang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 82 yang
meliputi:
a. Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
69 Wahid, Abdul, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Refika Aditama, hlm. 3
kemanusian, serta mendapatkan perlindungan dari bentuk kekerasan
dan diskriminasi.
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, bepikir
dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.
d. Setiap anak berhak untuk mengetahuinya orang tuanya. Hal
tersebut dimaksudkan agar anak tersebut mengetahui asal usul dan
silsilah keluarganya apabila anak tersebut dalam keadaan lain karena
suatu sebab diantaranya anak terlantar atau orang tua tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak maka anak dapat diasuh atau
diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang belaku.
e. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan
sosia.
f. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Yang
dimaksudkan ialah setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang seumurnya, bermain, berekreasi
sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam
pengembangan dirinya.
i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak untuk memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
j. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :
1)
Diskriminasi, misalnya perlakuan yang membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status
hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik maupun
mental anak.
2)
Ekspoitasi dengan cara ekonomi atau seksual, misalnya
tindakan memperalat, memanfaatkan ataupun memeras anak untuk
memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok.
3)
Penelantaran, misalnya tindakan mengabaikan dengan
sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak
sebagaimana mestinya.
4)
Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, misalnya
tindakan secara keji, sadis, melukai, mencederai bukan hanya fisik,
akan teapi mental dan sosial, tidak menaruh belas kasihan kepada
anak.
5)
Ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak
yang satu dan yang lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap
anak.
6)
Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau
perbuatan tidak senonoh lainnya.
k. Setiap anak berhak untuk diasuh orang tuanya sendiri terkecuali
apabila ada suatu alasan atau aturan hukum yang sah untuk
memisahkan anak dari orang tuanya sendiri, pemisahan tersebut bukan
untuk menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya akan tetapi
demi kepentingan yang terbaik bagi anak.
l. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari:
1)
2)
3)
4)
5)
Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
Pelibatan dalam peperangan.
m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
n. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
o. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana yang dilakukan anak
dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan hanya
dilakukan sebagai upaya terakhir.
p. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak :
1) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa.
2) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efisien
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
3) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
Sedangkan kewajiban anak yang terkandung di dalam Undangundang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 82 yang
meliputi :
a.
Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang lain.
b.
Setiap anak berkewajiban untuk mencintai keluarga,
masyarakat dan menyayangi teman.
c.
Setiap anak berkewajiban untuk mencintai tanah air, bangsa
dan negara.
d.
Setiap anak berkewajiban untuk menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya.
e.
Setiap anak berkewajiban untuk melaksanakan etika dan
akhlak yang mulia.
Apabila diperhatikan dari hak dan kewajiban anak tersebut di atas
merupakan suatu upaya dimana hak asasi seorang anak harus tetap
diperhatikan dalam usaha pelindungan terhadap anak, karena anak yang
dimana usia mereka merupakan usia yang sangat mudah dan renta untuk
dijadikan korban dari perlakuan yang salah dari orang dewasa, mereka
belum mengerti dan paham bahwa hak mereka telah dirampas oleh orang
yang menjadikan anak sebagai korbannya dalam suatu kejahatan.
Seorang anak yang menjadi korban kejahatan dari suatu tindak
pidana yang khususnya pencabulan mempunyai berbagai hak dan
kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan yang
berhubungan dengan usianya. Hak dan kewajiban tersebut yang
dikemukakan oleh Arief Gosita yang antara lain sebagai berikut :
a.
Hak-hak anak yang menjadi korban perbuatan kriminal adalah :
1)
Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan,
pakaian, naungan dan sebagainya).
2)
Mendapat
bantuan
penyelesaian
permasalahan
yang
(melapor, nasihat hukum, dan pembelaan).
3)
Mendapat kembali hak miliknya.
4)
Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
5)
Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan
dirinya.
6)
Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat
korban bila melapor atau menjadi saksi.
7)
Memperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari
pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang
bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.
b.
8)
Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama.
9)
Menggunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).
Kewajiban-kewajiban korban adalah :
1)
Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan
pembalasan (main hakim sendiri).
2)
Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan
korban lebih banyak lagi.
3)
Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri
sendiri maupun oleh orang lain.
4)
Ikut serta membina pembuat korban.
5)
Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi.
6)
Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak sesuai dengan
kemampuan pembuat korban.
7)
Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi
ganti kerugian pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya
(mencicil bertahap/imbalan jasa).
8)
Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri dan ada
jaminan keamanan untuk dirinya.
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Anak
Masalah anak memang bukan suatu masalah kecil yang dengan
hanya membalikan telapak tangan saja, akan tetapi anak ialah sebagai
generasi penerus bangsa dan negara. Usaha perlindungan terhadap
anak yang menjadi korban pencabulan telah diupayakan sedemikian
rupa, mulai dari pendampingan kepada korban sampai pada pembinaan
mental korban akibat peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.
Faktor-faktor yang mendukung pelayanan terhadap anak korban
kejahatan menurut Arif Gosita ialah sebagai berikut :
a.
Keinginan untuk mengembangkan perlakuan adil terhadap
anak dan peningkatan kesejahteraan anak.
b.
Hukum kesejahteraan yang dapat mendukung pelaksanaan
pelayanan terhadap anak korban kejahatan.
c.
Sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan
pelayanan terhadap anak korban kejahatan.70
Usaha perlindungan yang diberikan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana kepada anak dalam hal perbuatan kesusilaan terhadap
anak, yang meliputi :
a.
Melindungi anak dalam hal kesopanan yang terdapat dalam
pasal 283 KUHP yang pada dasarnya melarang orang untuk
menawarkan, menyewakan untuk selamanya atau sementara,
70 Gosita Arif, Op.Cit, hlm.142
menyampaikan di tangan atau mempertunjukan sesuatu tulisan,
gambar, barang yang menyinggung kesopanan kepada anak.
Misalanya gambar porno, tulisan porno atau alat-alat kontrasepsi.
Disamping itu tidak boleh memperdengarkan isi surat yang
melanggar kesopanan atau mempertunjukan surat-surat yang isinya
tidak sopan kepada anak.
b.
Melarang orang melakukan persetubuhan dengan orang
yang belum dewasa yang terkandung dalam pasal 287 KUHP yang
pada dasarnya melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang
belum genap berusia lima belas tahun meskipun persetubuhan
tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka diantara mereka.
c.
Melarang orang berbuat cabul kepada anak yang terkandung
dalam pasal 290 KUHP yang pada dasarnya melarang seseorang
melakukan atau membiarkan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa (belum genap berusia lima belas tahun) atau belum
pantas dikawin baik laki-laki maupun perempuan yang dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya.
d.
Melarang orang melakukan perbuatan cabul dengan
anaknya sendiri atau anak asuhnya atau anak angkat atau orang
yang belum dewasa atau anak yang berada di bawah
pengawasannya, demikian juga perbuatan yang dilakukan oleh
pejabat, pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh
di penjara dan sebagainya yang mempunyai jabatn yang strategis di
pemerintahan atau instansi yang terkandung dalam pasal 294
KUHP.
e.
Melarang orang memperdagangkan anak laki-laki atau
wanita yang belum dewasa yang bertujuan untuk dilakukan
perbuatan cabul yang terkandung dalam pasal 297 KUHP.
Sedangkan usaha perlindungan terhadap anak dari perbuatan
kesusilaan tersebut yang diberikan di dalam Undang-Undang No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat disimpulkan yaitu
sebagai berikut :
a.
Melarang orang melakukan pebuatan persetubuhan dengan
anak dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang
terkadung di dalam Pasal 81 ayat (1). Melarang orang melakukan
perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara apapun
misalnya, membujuk, merayu, menipu serta mengimingimingi
anak untuk diajak bersetubuh yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2).
Melarang orang melakukan perbuatan cabul dengan anak dengan
cara apapun misalnya dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan,
membujuk, menipu dan sebagainya dengan maksud agar anak
dapat dilakukan pencabulan yang diatur dalam Pasal 82.
b.
Melarang
orang
memperdagangkan
anak
atau
mengekspoiltasi anak agar dapat menguntungkan dirinya
sendirinya atau orang lain diatur dalam pasal 88.
Bentuk perlindungan terhadap anak di atas merupakan suatu
bentuk atau usaha yang diberikan oleh KUHP dan undang-undang
perlindungan anak kepada anak, agar anak tidak menjadi korban dari
suatu tindak pidana akan tetapi apabila anak telah menjadi korban
tindak pidana maka usaha yang dilakukan menurut Undang-undang No
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pasal 64 ayat (2) yang
pada dasarnya memuat tentang segala upaya yang diberikan
pemerintah dalam melindung anak yang menjadi korban tindak pidana
yang meliputi :
a.
Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga
maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk
memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainya setelah
mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa
pidana yang dialaminya.
b.
Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik,
usaha tersebut diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban
ataupun keluarga korban tidak diketahui oleh orang lain yang
bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak
tercemar.
b. Upaya memberikan jaminan keselamatan kepada saksi korban
yaitu anak dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosialnya adri
ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses
perkaranya berjalan dengan efisien.
c. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan agar pihak korban
dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan proses
perkaranya.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus
diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat
anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa
dikemdian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya
memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap
orang-orang
yang
berusia
dewasa,
dikarenakan
setiap
orang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before
the law). Oleh karena itu, negara bersamasama dengan segenap
masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan yang
memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan
manipulasi
yang
dilakukan
oleh
orang-orang
yang
tidak
bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai wahana
kejahatannya, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri
dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras di
masa-masa yang akan datang. Berdasarkan Undang-Undang No 23
tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pada pasal 20, yang
menyebutkan pada dasarnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.
Adanya kewajiban dan tanggungjawab negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak dikemukakan dalam pasal 21 sampai dengan pasal
25 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang meliputi kewajiban dan tanggungjawab sebagai berikut :
a.
Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya, dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan atau mental (pasal 21).
b.
Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 22).
b.
Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan
anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali
atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap
anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (pasal
23).
c.
Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan
anak (pasal 24).
Dari rincian mengenai tanggungjawab dan kewajiban tersebut
ialah suatu bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada anak
guna melindungi anak-anak dari hal-hal yang tidak layak bagi
hidupnya ataupun yang dapat merampas hak-hak anak dikarenakan
anak secara jasmani dan rohani sekaligus sosial belum memiliki
kemampuan untuk berdiri sendiri, oleh karena itu merupakan
kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan
mengamankan
kepentingan
anak.
Pemeliharaan,
jaminan,
dan
pengamanan kepentingan tersebut selayaknya dilakukan oleh pihakpihak yang mengasuhnya yaitu keluarga, tidak hanya keluarga anak
tersebut akan tetapi masyarakat dan pemerintah juga berperan aktif
dalam hal ini.
Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan
dan hak-hak
anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan
beberapa peraturan perundang-
undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU
No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Masalah
perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang
terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999,
menentukan bahwa:
a.
Setiap
anak
berhak
untuk
tidak
dijadikan
sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi;
b.
Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat
dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;
c.
Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya
secara melawan hukum;
d.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya
boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya
dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir;
e.
Setiap
anak
mendapatkan
yang
perlakuan
dirampas
secara
kebebasannya
manusiawi
dan
berhak
dengan
memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan
usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya;
f.
Setiap
anak
yang
dirampas
kebebasannya
berhak
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
g.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak
yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang yang tertutup
untuk umum.
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3
Tahun 1997 menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan
perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini
tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman
penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 UU No. 3 Tahun
1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal,
berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau
menyerahkannya
kepada
negara
untuk
mengikuti
pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen
sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002, ada beberapa
pasal
berhubungan
dengan
masalah
perlindungan
anak
yang
berhadapan dengan hukum, yaitu:
a.
Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan
diskriminasi.
b.
Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus
adalah per-lindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual, anak yang diper-dagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika
dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau
mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan
salah dan pene-lantaran.
c.
Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan
anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
1. non diskriminasi;
2. kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
4. penghargaan terhadap pendapat anak.
d.
Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan
untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanu-siaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga
negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak
dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan
zat adiktif
lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan
penelantaran.”
Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak
yang berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar
kata anak yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada
pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan
“Perlindungan khusus bagi
Anak
tersebut
bahwa:
anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
1.
Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak.
2.
Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini.
3.
Penyediaan sarana dan prasarana khusus.
4.
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak.
5.
Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
6.
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orangtua atau keluarga.
7.
Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa
untuk menghindari labelisasi.
Sistem Peradilan Pidana Anak
(Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan
pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan
anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal
pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan
menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih
lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga
akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke
pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak
akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan
sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir,
institusi penghukuman.
3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pencabulan Pada Tahap Penyidikan di Kaporles Purbalingga.
Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan
didefenisikan sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan itu dapat
meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat
bukti, pengeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka,
melakukan penangkapan, melakukan penahanan, dan lain sebagainya.
Sementara penyidik sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah Pejabat
Polisi Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara
RI bertujuan untuk mengumpulkan bukti guna menemukan apakah
suatu peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan
penyidikan juga ditujukan untuk menemukan pelakunya. Setelah
adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan penyelidikan.
Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan
KUHAP dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
Anak. Polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku
tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan mengenai
upaya penangan anak mulai dari penangkapan sampai proses
penempatan.
Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 23
Tahun 2002 tentang perlindungan Anak bahwa penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak
pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan tahun
yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan
dikembalikan pada orang tua/wali.
Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh
Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian
Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak
Nakal, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di
tempat tersebut.
Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana
kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang
No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Diperiksa dalam
suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak,
penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan
pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.
Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan,
intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu
jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan
dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena
yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat penting
kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul
ketakutan atau trauma pada diri si anak.
Seorang yang melakukan perbuatanmenyimpang dari peraturan
dan tergolong sebagai tindak pidana misalnya memukul sampai
luka,membawa senjata api atau melakukan perbuatan tidak senonoh dapat
menjadi perkara pidana yang penyelesaiannya melalui siding pengadilan
meskipun pelakunya adalah seorang anak. Padahal seorang anak memiliki
kekhususan dalam penangannannya. Dalam penanganan hukum terhadap
anak, saat ini berpedoman pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang perlindungan Anak.
Menurut
Kanit PPA Polres Purbalingga, Penanganan tindak
pidana anak di Polres Purbalingga dilakukan orang dewasa dan anak telah
dibedakan. Halini diketahui dengan dibentuknya unit khususyaitu Unit
Pelayanan Anak pada tahun 2009. Unit ini dibentuk pentingnya
penanganan anak pelaku tindak pidana karena akan berkaitan dengan
masa depan anak itu sendiri dan semakin meningkatnya anak pelaku
tindak pidana.
Peningkatan anak pelaku tindak pidana setiap tahunnya ini
menunjukkan begitu rentannya anak pada usia transisi dari remaja-
pemuda melakukan pelanggaran pidana yang membuat mereka terpaksa
harus berhadapan dengan proses peradilan pidana.
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik selama
pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh anak. Sesuai ketentuan pasal 41 UU
Perlindungan Anak, yang memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan adalah penyidik khusus anak dari Kepolisian Negara R.I atau
pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu. Namun di Polres
Purbalingga hingga tahun 2012 dimana unit PPA dibentuk, penyidik untuk
anak pelaku tindak pidana masih penyidik umum di kepolisian.
Perlakuan khusus dalam penanganan perkara anak, semestinya
dimulai manakala anak bersinggungan dengan proses peradilan pidana
anak yang pertama kali, yakni penangkapan. Namun dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak tidak diatur
secara spesifik mengenai perlakuan terhadap anak pada saat penangkapan.
Pasal 43 ayat (1) UU Perlindungan anak mengatur bahwa penangkapan
anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat menentukan perlu
tidaknya diadakan penahanan, mengingat jangka waktu Penangkapan
yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya 1
x 24 jam. Pada tahap penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai
tersangka, namun bukan karena tertangkap tangan, penting bagi seorang
Polisi untuk menghindarkan anak dari pengalaman-pengalaman traumatik
yang akan dibawa oleh anak seumur hidupnya. Dalam penjelasan pasal 42
ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
Anak, juga dijelaskan bahwa, “yang dimaksud dengan ‘dalam suasana
kekeluargaan’ antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik
tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif,
afektif dan simpatik”
Khusus dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan
hukum, petugas harus mewawancarai anak yang terlibat (baik sebagai
pelaku, korban, maupun saksi), orang tua, saksi dan orang-orang lain yang
diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut secara berkesinambungan
dalam suasana kekeluargaan.
Kanit unit PPA Polres Purbalingga menyatakan bahwa : ”
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan
secara santai, tidak menggunakan kekerasan agar anak merasa nyaman
dann tidak takut. Yang melakukan pemeriksaan adalah Polwan dan tidak
memakai pakaian dinas. Biasanya juga anak diperiksa di ruang PPA yang
dibuat sedemikian rupa agar anak merasa nyaman. Dalam pemeriksaan
penyidik juga meberi hak pada anak untuk didampingi orang tua,
didampingi penasihat hukum dan didampingi oleh petugas
pemasyarakatan. Dalam pemeriksaan juga dilakukan secara santai, tidak
menggunakan kekerasan agar anak merasa nyaman dan tidak takut”.
Pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat menentukan perlu
tidaknya
diadakan penahanan, mengingat jangka waktu Penangkapan
yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya 1
x 24 jam. Pada tahap penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai
tersangka, namun bukan karena
tertangkap tangan, penting bagi
seorang Polisi untuk menghindarkan anak dari pengalaman-pengalaman
traumatik yang akan dibawa oleh
anak
seumur
hidupnya. Dalam
penjelasan pasal 42 ayat (1) UU No Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang perlindungan Anak, juga dijelaskan bahwa,
“yang dimaksud dengan ‘dalam suasana kekeluargaan’ antara lain
pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian
dinas dan
melakukan pendekatan secara efektif, afektif dan
simpatik”
Penyidikan anak harus dilakukan dalam suasana tertutup untuk
menjaga agar anak kelak tidak mengalami depresi, rasa malu, dan
akhirnya sulit bermasyarakat atau diterima dilingkungannya apabilah
selesai menjalani proses hukum. Pada prakteknya penyidikan anak oleh
polisi di Kabupaten Purbalingga dilakukan diruangan
Polres yang
tertutup untuk umum. Namun di Polres Purbalingga ruangan khusus untuk
pemeriksaan anak baru ada semenjak unit PPA dibentuk sedangkan di
Polsek, ruangan pemeriksaan khusus untuk anak masih belum ada. Hal ini
terbukti ketika wartawan yang biasa meliput di Polres Purbalingga
ditanyai apakah mereka mengetahui ada kasus anak pelaku tindak pidana
di Polres Purbalingga, para wartawan menjawab tidak tahu karena
menurut mereka kalau kasus anak biasanya dirahasiakan dan tertutup dari
umum. Menurut Kanit PPA Polres Purbalingga bahwa setelah menerima
laporan, kepolisian membuat suarat panggilan. Jika dua kali surat
panggilan tersebut diabaikan maka dilakukan penjemputan dengan
membawa surat keterangan. Dalam melakukan penjemputan polisi tidak
memakai pakaian dinas.
Semakin meningkatnya angka pertumbuhan anak pelaku tindak
pidana di
Kabupaten Purbalingga, hal lain yang harus mendapat
perhatian serius adalah
tingginya angka penahanan oleh penegak
hukum
khususnya penyidik terhadap
tersangka anak.
Namun
berdasarkan studi pustakaan atas kasus pencabulan anak diketahui bahwa
berdasarkan laporan orang tua korban pada tanggal 16 Juni 2012,
kemudian dibuat
surat penahanan pada tanggal 17 Juni 2012.
Berdasarkan surat penahanan tersebut
dalam kasus pencabulan anak
kemudian dijemput kerumahnya dan langsung ditahan. Hal ini
bertentangan
dengan apa yang disampaikan Kanit PPA Polres
Purbalingga dimana pelaku akan menerima dua kali surat panggilan dan
bila diabaikan baru dilakukan penjemputan. Lebih lanjut disampaikan
Kanit PPA Polres Purbalingga bahwa dalam hal penahanan, untuk anak
yang masih sekolah tidak ditahan di rutan namun menjadi tahanan kota
dengan jaminan orang tua.
Berdasarkan pasal 44 UU Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang perlindungan Anak, apabila penahanan melebihi 30 hari, maka
anak harus dibebaskan demi hukum. Selain bertentangan dengan UU
Pengadilan Anak, tindakan dari pihak
penyidik yang menahan
tersangka anak melebihi batas waktu 30 tersebut juga bertentangan
dengan Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pasal 16 ayat (2-3),
“(2)
memperoleh kebebasan sesuai
Setiap
anak
berhak
untuk
dengan hukum; (3) Penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara hanya dilakukan apabilah sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Pasal 44 ayat 2 Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat
khusus
untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang
Rumah Tahanan
penahanan
Negara, atau tempat tertentu.
sebelum
pemeriksaan,
penyidik
Untuk
lamanya
polisi
telah
melaksanakannya sesuai UU Pengadilan Anak yaitu paling lama 1 X 24
jam,
sehingga dapat disimpulkan bahwa prosedur dan tata cara
penyidikan anak
dilaksanakan secara penuh oleh aparat penyidik
kepolisian di Kabupaten Purbalingga. Hal ini disampaikan Kanit PPA
bahwa pemeriksaan anak dilakukan 1 x 24 jam. Demikian juga untuk
kasus pencabulan anak dengan pemeriksaan dilakukan 1 x 24 jam.
Hasil penelitian di lapangan dan studi pustaka diketahui bahwa
penyidikan anak yang dilakukan dalam suasana kekeluargaan sudah
sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak menegaskan bahwa
proses pemeriksaan dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Namun
pemeriksaan yang dilakukan khusus oleh penyidik anak hanya terjadi
sesudah unit PPA dibentuk.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya tersebut
dapat disimpulkan 2 (dua) hal sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor
yang
dapat
meningkatkan
dan
mempengaruhi
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di
Purbalingga, yaitu: faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor
lingkungan atau tempat tinggal, faktor minuman (berakohol), faktor
teknologi dan faktor peranan korban dalam ranah etiologi kriminologi
dapat di dikategorikan pada teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial.
2.
Dalam mengatasi tindak pidana pencabulan di
Kabupaten
Purbalingga, Polres Purbalingga telah menegakan hukum dengan baik.
Cara mengatasinya adalah melakukan patrol/razia secara rutin dan
penyuluhan hukum terhadap masyarakat di bantu oleh lembaga terkait,
yaitu: BAPAS, BKBPP dan PEMDA Kabupaten Purbalinga yang berlaku.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan permaaslahan yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Mayarakat diharapkan dapat meningkatkan mentalitas, moralitas,
serta keimananan dan ketaqwaan yang bertujuan untuk pengendalian diri
yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang
tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat menghindari pikiran dan
niat yang kurang baik di dalam hati serta pikirannya.
2.
Diharapkan pemerintah dapat memberantas film-film atau bacaan
yang mengandung unsur pornografi karena pornografi merupakan salah
satu sebab terjadinya tindak pidan pencabulan. Tindakan ini di harapkan
dapat mencegah ataupun mengurangi terjadinya tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur.
3.
Kepolisian diharapkan dapat mewujudkan perlindungan hukum
terhadap korban dengan memberikan pendampingan psikiater untuk
menjaga kejiwaan dari rasa trauma akibat tindak pidana pencabulan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. 1981. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II) jilid 2,
Bandung: Alumni;
Bassar, Soedrajat. 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalia;
Dirjosiswoyo, Soejono. 1994. Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung:
Mandar Maju;
-----------. 1994. Kriminologi.Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti;
Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan).
Jakarta: Akademika Presindo;
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai
Lektur mahasiswa, Tanpa Tahun
Kartini, Kartono. 1985. Psikologi Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar
Maju;
------------. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: PT. Grafindo Persada;
Lamintang. 1981. Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leekboek Van Het
Nederlanches Straftrecht. Bandung: Pionir Jaya;
Leden, Marpaung. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah
Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika;
Lexy, J. Moleong. 1999. Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Persada;
Ninik, Widiyanti. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahan.
Jakarta: Bumi Aksara;
Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukuk Pidana. Jakarta: Bumi Aksara;
------------. 2003. Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP). Jakarta:
Bumi Aksara;
Muladi, Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:
Alumni;
Prodjodikoro,Wiryono. 1986. Tindakan-Tindakan
Indonesia. Bandung: PT.Erosco;
pidana
Tertentu
di
------------. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta:
PT.Refika Aditama;
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti;
Sianturi, S.R, 2002.
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
penerapannya. cet.3. Jakarta: Storia Grafika;
Soesilo. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-komentarnya Lengkap Dem Pasal. Bogor: Politea
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1998. Metodologi Mukum Dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalian Indonesia;
Soekanto, Soejono. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta: Galian
Indonesia;
------------. 1994. Pengantar Penelitian hukum. Jakarta: Universitas Indonesia;
Sudarto. 1990. Hukum Pidana 1A-B. Purwokerto: Fakultas Hukun Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991;
Susanto. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing;
Utrecht. 1986. Hukum Pidana 1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Surat kabar:
Radar Banyumas, tanggal 6 september 2012
Kamus:
Departermen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Internet
http://mudjiarahardjo.com/www.penalaran-unm.org/index.php/artikel
nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html, diakses pada tanggal 10 Oktober
2012.
Download