BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERBANKAN PADA UMUMNYA 1. Pengertian Bank Kata bank berasal dari bahasa Italia banco yang artinya bangku. Bangku inilah yang dipergunakan oleh bankir untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para nasabah. Istilah bangku secara resmi dan populer menjadi bank.8 Pengertian perbankan terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perbankan yang menyebutkan bahwa Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari pengertian tersebut diatas, maka bank mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan suatu bangsa, yaitu: 1. Menghimpun dana masyarakat; 2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya; 3. Memberikan pelayanan jasa lainnya dalam lalu lintas uang. 8 Malayu S.P. Hasibuan, Op. Cit., hal. 1. 11 Beberapa definisi mengenai bank yang dikemukakan oleh para ahli: - Malayu S.P. Hasibuan Bank adalah lembaga keuangan berarti bank adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan (financial assets) serta bermotifkan profit dan juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja.9 - G.M. Verryn Stuart Bank is a company who satisfied other people by giving a credit with the money they accept as a gamble to the other, eventhough they should supply the new money (Bank adalah badan usaha yang wujudnya memuaskan keperluan orang lain, dengan memberikan kredit berupa uang yang diterimanya dari orang lain sekalipun dengan jalan mengeluarkan uang baru kertas atau logam).10 - B.N. Ajuha Bank provided means by which capital is transferred from those who cannot use it profitable to those who can use it productively for the society as whole. Bank provided which channel to invest without any risk and at a good rate of interest. (Bank menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif untuk keuntungan masyarakat. Bank juga berarti saluran untuk menginvestasikan tabungan secara aman dan dengan tingkat bunga yang sangat menarik.)11 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Berdasarkan pengertian undang-undang, pendapat sarjana atau doktrin, dan kamus dapat disimpulkan bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya 9 Ibid., hal. 2. Ibid. 11 Ibid. 10 12 kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.12 2. Pengaturan Bank Mengingat peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lengkap dan jelas mengatur mengenai kegiatan perbankan guna memberikan jaminan perlindungan yang baik terhadap dana masyarakat yang telah dipercayakan kepada lembaga tersebut. Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kegiatan perbankan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004. Peraturan terbaru mengenai Bank Indonesia adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undangundang, yang selanjutnya disebut Undang-undang Bank Indonesia 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan. 12 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 18. 13 3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan Syariah. Bank Indonesia selaku bank sentral mengeluarkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan undang-undang tersebut berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI), sebagai berikut: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum. 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat. 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 3. Jenis Bank Dari sejarah perkembangan perbankan di Indonesia yang telah beberapa kali mengalami perubahan perundang-undangannya, maka jenis bank dapat dilihat dari berbagai aspek. Pembagian jenis bank dapat dilihat dari aspek fungsi, kepemilikan, status atau kedudukan, dan cara menentukan harga.13 3.1. Jenis Bank Berdasarkan Fungsi a. Bank Sentral Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu 13 Martono, Op. Cit., hal. 28. 14 negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalankan fungsi sebagai lender of last resort. Pengertian bank sentral menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bank yang tugas pokoknya membantu pemerintah dalam hal mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai mata uang negara, dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja. Pengaturan lebih lanjut mengenai Bank Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Bank Indonesia bertugas untuk: - Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter - Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran - Mengatur dan mengawasi bank. b. Bank Umum Pengertian bank umum menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian bank umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bank yang bidang usahanya secara umum mengumpulkan 15 dana terutama dari uang bunga deposito yang diterimanya, disamping itu juga memberikan kredit jangka pendek. Bank Umum merupakan agent of development yang bertujuan meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Pendirian bank umum dapat dilakukan oleh: - Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. - WNI dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.14 c. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan bank umum. Pendirian bank perkreditan rakyat dapat dilakukan oleh: - Warga Negara Indonesia; - Badan Hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh WNI; - Pemerintah Daerah; atau - Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam tiga poin sebelumnya. 14 Malayu S.P. Hasibuan, Op. Cit., hal. 37. 16 3.2. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, bank milik koperasi, bank milik asing, dan bank milik campuran. a. Bank Milik Pemerintah Bank pemerintah adalah bank dimana baik akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula. Yang termasuk ke dalam bank milik pemerintah yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank milik pemerintah, contohnya Bank DKI, Bank Jateng, dan sebagainya. b. Bank Milik Swasta Nasional Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga diperuntukkan untuk swasta pula. Yang termasuk dalam bank milik swasta nasional adalah Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia, dan lain-lain. c. Bank Milik Koperasi Kepemilikan saham-saham bank ini dimiliki oleh badan hukum koperasi, contohnya adalah Bank Umum Koperasi Indonesia. 17 d. Bank Milik Asing Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri. Yang termasuk dalam bank milik asing adalah City bank, dan lain-lain. e. Bank Milik Campuran Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Saham bank campuran secara mayoritas dimiliki oleh warga negara Indonesia. Contoh bank campuran antara lain: Sumitono Niaga Bank, Bank Merincop, Bank Sakura Swadarma, Bank Finconesia, Mitsubishi Buana Bank, Inter Pacifik Bank, Paribas BBD Indonesia, Ing Bank, Sanwa Indonesia Bank, dan Bank PDFCI. 3.3. Jenis Bank Berdasarkan status atau kedudukan Jenis bank berdasarkan status atau kedudukan dibagi menjadi bank devisa dan bank non-devisa. a. Bank Devisa Bank devisa adalah bank yang memperoleh surat penunjukkan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. Bank devisa dapat menawarkan jasa-jasa bank yang berkaitan dengan mata uang asing tersebut seperti transfer ke luar negeri, jual beli valuta asing, transaksi ekspor import, dan jasa-jasa valuta asing lainnya. 18 Tugas dan usaha dari bank devisa antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Melayani lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri; Melayani pembukaan dan pembayaran L/C; Melakukan jual beli valuta asing atau valas; Mengirim dan menerima transfer dan inkaso valas; Membuka atau membayar Traveller Cheque atau TC; Menerima tabungan valas. 15 Tugas dan usahanya ini baru dapat dilakukan jika bank devisa tersebut mempunyai bank koresponden atau dikenal dengan istilah Correspondency Relationship di negara yang bersangkutan. Bank Koresponden adalah bank devisa yang ditunjuk oleh bank responden untuk mewakili dan melaksanakan tugas-tugasnya di negara bersangkutan. b. Bank non-devisa Bank non-devisa adalah bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan kegiatan seperti halnya bank devisa. Jadi bank non-devisa hanya dapat melakukan transaksi dalam batas-batas negara.16 3.4. Jenis Bank Berdasarkan Cara Menentukan Harga a. Bank Konvensional Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, konvensional berarti menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kata konvensional adalah berdasarkan kesepakatan umum seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Berdasarkan pengertian tersebut, bank konvensional adalah bank yang 15 Ibid., hal. 44. Jenis dan Kepemilikan Bank, http://artikelekonomi.com/jenis-dan-kepemilikan-bank.html (online_), tanggal 14 Agustus 2011, diakses tanggal 3 Oktober 2011. 16 19 dalam operasionalnya menggunakan sistem bunga, karena sitem bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan, dan telah digunakan secara meluas dibandingkan sistem bagi hasil. Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia dimana asal mula bank di Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda. Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga bagi para nasabahnya, bank konvensional menggunakan metode: a) Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti giro, tabungan, maupun deposito. Demikian pula, harga untuk produk pinjaman kredit juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah spread based. Apabila suku bunga simpanan lebih tinggi dari suku bunga pinjaman, dikenal dengan istilah negative spread. Kondisi ini telah terjadi pada akhir tahun 1998 dan sepanjang tahun 1999. b) Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak perbankan dapat menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini dikenal dengan istilah fee based. b. Bank Syariah Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pendirian bank syariah di Indonesia diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. 20 Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Bagi bank syariah, penentuan harga produk sangat berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah menerapkan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam dengan pihak lain yang ingin menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Penentuan harga atau keuntungan pada bank syariah dilakukan dengan cara: (a)Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil yang berbentuk mudharabah (b)Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal yang berbentuk musyarakah (c)Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan yang berbentuk murabahah (d)Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan yang berbentuk ijarah (e)Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain yang berbentuk ijarah wa iqtina. Penentuan biaya-biaya jasa bank lainnya bagi bank syariah juga dilakukan sesuai Syariat Islam. Sumber penentuan harga atau 21 pelaksanaan kegiatan bank syariah dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Jenis bank ini mengharamkan penetapan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga adalah riba. Selain itu, Bank dapat dilihat dari segi Bentuk Hukumnya yang terdiri dari: - Bank Berbentuk Hukum Perusahaan Daerah; - Bank Berbentuk Hukum Perseroan atau PERSERO; - Bank Berbentuk Hukum Perseroan Terbatas atau PT; - Bank Berbentuk Hukum Koperasi. 17 B. PERBANKAN SYARIAH 1. Islam dan Perbankan Islam berasal dari bahasa Arab, akar katanya adalah salama yang berarti keselamatan. Ada pula yang mengartikan sebagai berserah diri. Dalam konteks ini Islam berarti keselamatan dengan berserah diri pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas). Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu : Aqidah: komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata 17 Malayu S.P. hasibuan, Op. Cit., hal. 27. 22 untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah. Akhlaq: landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah" Syariah: komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya. Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah. Mahmud syaltut mengemukakan definisi syariah sebagai berikut: Syariah itu ialah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya di dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan saudaranya sesama muslim, hubungannya dengan saudaranya sesama manusia, hubungannya dengan alam seluruhnya, dan hubungannya dengan kehidupan”. (Nasruddin Razak, 1989: 249). Arti syariah telah dijelaskan sendiri oleh Quran, sehingga dengan demikian kita dapat menemukan maksudnya yang asli. Firman Allah swt: “Kemudian kami jadikan engkau pada suatu syari’at (peraturan) dalam setiap urusan; maka turutilah ketentuan itu, dan janganlah engkau turuti keinginan orang-orang yang tidak tahu”. (QS. Al Jaatsiah: 18) 23 Oleh karena syariah itu adalah hukum Tuhan dan perundang-undangan yang datangnya dari Allah, Tuhan Yang Maha Sempurna, maka pasti pula hukum dan perundang-undanganNya teratur dan tertib kehidupannya. Prinsip-prinsip Syariah, yaitu: Pertama, tidak memberatkan. Sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi manusia, maka Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala rupa hal yang memberatkan dan mengacaukan hidupnya. Manusia adalah makhluk dha’if atau lemah, memiliki kadar kemampuan yang terbatas. Sebab itu hukum Tuhan tidak akan memaksa manusia sampai melampaui batas kemampuannya. Kedua, sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yaitu memerintah dan melarang. Perintah-perintah dan larangan-larangan itu sangat sedikit, sehubungan dengan prinsip pertama dimuka, karena banyak kewajiban berarti memberi beban dan memberatkan manusia. Ketiga, syariah datang dengan prinsip graduasi atau berangsur-angsur, bukan secara sekaligus. Allah pencipta hukum adalah maha tahu dan maha bijaksana. Sistem ini secara psikologis sesuai dengan fitrah manusia sendiri. Adalah sangat sulit dilaksanakan sekiranya hukum-hukum yang datang itu sekaligus demikian banyak, tentu menimbulkan kebingungan dalam melaksanakannya. Andaikata ketentuan-ketentuan itu datangnya secara sekaligus, secara radikal dan revolusioner untuk merombak orde jahiliyah ke orde Islam, akan berat diterima oleh manusia. Bahkan sistem itu hanya mengundang perlawanan manusia saja. Itulah sebabnya saat awal perkembangan Islam, ada beberapa adat kebiasaan yang bersifat dibiarkan bagi yang dianggap tidak membahayakan tertib masyarakat ramai. Ada yang perlu dirubah, untuk ini dilaksanakan perubahan secara berangsur-angsur. Dirubah dengan jalan sambil menerangkan hikmahnya, atau dengan penjelasan-penjelasan dan penginsafanpenginsafan yang sangat bijaksana terhadap masyarakat.18 Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut : - Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang. 18 58. Mukhsinun, dkk., Hukum Islam, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2008, hal. 55- 24 - Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan dalam ayat Alquran tentang pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah ayat 278-279 secara tegas dinyatakan sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu bertobat maka untukmu pokokpokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya.” - Larangan riba juga terdapat dalam ajaran kristen baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang pada intinya menghendaki pemberian pinjaman pada orang lain tanpa meminta bunga sebagai imbalan. - Meskipun masih ada sementara pendapat khususnya di Indonesia yang masih meragukan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan, maka sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fiqih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan. - Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. - Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan wajib dilakukan sehingga tidak seorang pun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi risiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat (bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa risiko). - Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya atau simetri dengan profesi akuntan dan notaris.19 2. Pengertian Bank Syariah Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media yang tidak Islami, dll, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem 19 Konsep Dasar Ekonomi Islam, http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/ (online_), tanggal 20 Maret 2010, Diakses tanggal 20 Maret 2011. 25 perbankan konvensional. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dibawah ini dapat dikemukakan pengertian Bank Islam, yaitu: - Karnaen Perwataatmaja dan Muhamad Syafi’i Antonio mengatakan yang dimaksud dengan bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang mengatur tata cara bermuamalat secara Islam dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. - Senada dengan itu, Warkum Sumitro mengatakan Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada al-Quran dan Al-Hadits. - Menurut M. Amin Aziz yang dimaksud dengan Bank Islam atau Bank berdasarkan syariah Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan dan sistem operasinya berdasarkan syariah Islam. Ini berarti operasi perbankan mengikuti tata cara berusaha maupun perjanjian berusaha berdasarkan Al-Quran dan Sunah Rasul Muhammad SAW. - Demikian pula Cholil Umam mengartikan yang dimaksud dengan Bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam. Sedangkan bank non-Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.20 Perbankan syariah berbeda dengan bank konvensional, dilihat dari segi partisipasinya yang sangat aktif dalam proses pengembangan sosio-ekonomis 20 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 10-11. 26 negara-negara Islam. Sehingga lembaga keuangan Islam bukan ditujukan untuk memaksimumkan keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan-keuntungan sosio-ekonomis bagi orang-orang muslim. Pembiayaan perbankan Islam yang termasuk di dalam kegiatan usaha bank syariah harus disediakan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Tujuan dari pembiayaan dalam Perbankan Islam adalah agar pembiayaan sebagai kegiatan usaha bank syariah tersedia dalam jumlah yang wajar bagi sebanyak-banyaknya pengusaha. Bank Syariah mempunyai ciri-ciri berbeda dengan bank konvensional, adapun ciri-ciri bank syariah adalah: a. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kesepakatan dalam kontrak. b. Penggunaan prosentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena prosentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir. c. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata. d. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadiah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah sehingga pada penyimpanan tidak dijanjikan imbalan yang pasti. e. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam. f. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila 27 dana diambil pemiliknya.21 3. Pengaturan dan Pengawasan Bank Syariah 3.1. Pengaturan Bank Syariah Keberadaan bank syariah semakin tegas di dunia perekonomian nasional setelah disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sebagai tindak lanjut atas dikeluarkannya Undang-undang yang mengatur mengenai berlakunya bank syariah tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksana mengenai bank syariah. Peraturan-peraturan pelaksana tersebut dapat juga dijadikan sebagai dasar hukum berlakunya bank syariah di Indonesia, diantaranya adalah: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/23/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah. e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas 21 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, hal. 32-33 dalam Warkum Sumitro, Azas-azas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga terkait BMUI dan Takaful di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 20-22. 28 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbs/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2011 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank. i. Peraturan pendukung lainnya. 3.2. Pengawasan Bank Syariah Disamping ketentuan-ketentuan di atas, dalam menjalankan fungsi kelembagaan agar operasional bank syariah tidak menyimpang dari ketentuan syariah Islam, maka operasional bank syariah dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah yang tidak terdapat di dalam bankbank konvensional. Pengawasan terhadap bank syariah dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pengawasan Umum Pengawasan umum terhadap bank syariah dilakukan oleh Bank Indonesia sama seperti bank konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi bank syariah selaku pemegang otoritas pembina dan pengawas bank. Di samping itu, secara internal bank syariah diawasi pula oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas atau pengawas bank yang bersangkutan. 29 2. Pengawasan Khusus Pengawasan khusus terhadap bank syariah dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah yang ada pada setiap bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syariah. Sedangkan Dewan Pengawas Syariah berkedudukan di kantor pusat bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian Dewan Pengawas syariah ini: a. Berfungsi untuk mengawasi kegiatan usaha bank syariah agar sesuai dengan prinsip syariah; b. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, Dewan Pengawas Syariah wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah nasional; c. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah bersifat independen, yang dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional, dengan tugas yang diatur oleh dewan syariah; d. Dewan Pengawas Syariah wajib dimiliki oleh setiap bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.22 Fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut: 1. Mengawasi jalannya operasionalisasi bank sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syariah. 2. Membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. 3. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.23 Fungsi Dewan Syariah Nasional adalah sebagai berikut: 1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah. 2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. 3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada suatu lembaga keuangan syariah. 4. Memberi teguran kepada Lembaga Keuangan Syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.24 22 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 57-58. Heri Sudarsono, Op.Cit., hal. 34. 24 Ibid., hal.35. 23 30 4. Tujuan Bank Syariah Ada beberapa tujuan dari perbankan Islam. Diantara para ilmuwan dan para professional Muslim berbeda pendapat mengenai tujuan tersebut. Menurut Handbook of Islamic Banking, perbankan Islam ialah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan instrumen-instrumen keuangan atau dikenal dengan istilah Finansial Instrumen yang sesuai dengan ketentuan dan norma syariah. Menurut Handbook of Islamic Banking, bank Islam berbeda dengan bank konvensional dilihat dari segi partisipasinya yang aktif dalam proses pengembangan sosial ekonomi negara-negara Islam, perbankan Islam bukan ditujukan terutama untuk memaksimalkan keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi orang-orang muslim. Bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya: a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan. Agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha atau perdagangan lain yang mengandung unsur gharar atau tipuan. Dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat. b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi. Gunanya agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. 31 c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha. d. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama. e. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan. f. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam kepada bank nonsyariah. 5. Produk Bank Syariah Produk Bank Syariah terbagi menjadi produk Bank Syariah di bidang penghimpunan dana dari masyarakat atau funding, produk Bank Syariah di bidang penyaluran dana kepada masyarakat atau lending, produk Bank Syariah di bidang jasa atau fee based income product. 32 5.1. Produk Bank Syariah di Bidang Penghimpunan Dana Dari Masyarakat atau funding Proses penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank syariah pada prinsipnya hampir sama dengan proses penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank konvensional, artinya dalam bank syariah juga dikenal produk-produk seperti giro atau demand deposit, tabungan atau saving deposit, dan deposito atau time deposit sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat. Perbedaannya pada bank syariah tidak dikenal bunga sebagai kontraprestasi terhadap nasabah deposan, melainkan melalui mekanisme bagi hasil dan bonus yang bergantung pada jenis produk apa yang dipilih oleh nasabah. (1) GIRO atau DEMAND DEPOSIT Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, giro adalah simpanan berdasarkan akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Giro yang dikenal dalam perbankan konvensional dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah dengan menghilangkan unsur bunga. Giro yang sesuai dengan prinsip Islam ada dua macam yaitu giro wadiah atau berdasarkan prinsip titipan dan giro mudharabah atau berdasarkan prinsip bagi hasil. Walaupun demikian dalam praktiknya prinsip wadiah yang paling banyak dipakai, mengingat motivasi utama 33 nasabah memilih produk giro adalah untuk kemudahan dalam lalu lintas pembayaran, bukan untuk mendapat keuntungan. Disamping itu juga apabila prinsip mudharabah yang dipakai, maka penarikan sewaktuwaktu akan sulit dilakukan mengingat sifat dari akad mudharabah yang memerlukan jangka waktu untuk menentukan untung atau rugi. Sehingga hanya produk berupa giro wadiah yang dikenal dalam sistem perbankan syariah. Giro wadiah dapat diartikan sebagai bentuk simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan, sehingga nasabah tidak mendapat keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan diawal akad. Ketentuan hukum mengenai wadiah dapat kita temukan dalam Al Quran, Hadis, dan Ijma. Ketentuan Al-quran mengenai prinsip wadiah terdapat dalam surat an-Nisa ayat 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya....” Ketentuan Hadis mengenai wadiah dapat kita baca dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya: “Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah 34 mengkhianatimu.” Dalam Islam mengenai titipan atau wadiah ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: - Wadiah yad Amanah Adalah titipan (wadiah) dimana barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak yang menerima titipan. - Wadiah yad Dhamanah Adalah titipan (wadiah) yang mana terhadap barang yang dititipkan tersebut dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Selain ketentuan hukum diatas giro wadiah mengacu pada ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. (2) TABUNGAN atau SAVING DEPOSIT Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadiah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang langsung 35 ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui fasilitas ATM. Dua prinsip perjanjian Islam yang sesuai dengan produk bank syariah berupa tabungan adalah wadiah dan mudharabah. Pilihan terhadap produk ini tergantung motif nasabah, jika motifnya hanya menyimpan saja maka bisa dipakai produk tabungan wadiah, sedangkan untuk memenuhi nasabah yang bermotif investasi atau mencari keuntungan maka tabungan mudharabah yang sesuai. Ketentuan hukum dari akad mudharabah terdapat dalam Al-Quran, Hadis, dan Ijma. Ketentuan hukum tentang mudharabah terdapat dalam surat al-Muzzamil ayat 20 yang artinya: “....dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi sebagian mencari karunia Allah SWT....”. pada intinya adalah berisi dorongan bagi setiap manusia untuk melakukan perjalanan usaha. Ketentuan dalam Hadis dapat dijumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya: ”diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullahpun membolehkannya”. 36 Dari hadist di atas menunjukkan bahwa dalam mudharabah pihak shahibul maal yang menyediakan dana 100% akan menanggung risiko kehilangan modal, sehingga pihak mudharib selaku pengelola dana harus benar hati-hati dan selalu melaksanakan akad mudharabah dengan penuh itikad baik. Selain ketentuan hukum diatas tabungan mengacu pada ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. (3) DEPOSITO atau TIME DEPOSIT Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 deposito didefinisikan sebagai investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah. Ketentuan hukum dari akad mudharabah terdapat dalam Al-Quran, Hadis, dan Ijma. Ketentuan hukum tentang mudharabah terdapat dalam surat al-Muzzamil ayat 20 yang artinya: “....dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi sebagian mencari karunia Allah SWT....”. pada intinya adalah berisi dorongan bagi setiap manusia untuk melakukan 37 perjalanan usaha. Ketentuan dalam Hadist dapat dijumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya: ”diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullahpun membolehkannya”. Dari hadis di atas menunjukkan bahwa dalam mudharabah pihak shahibul maal yang menyediakan dana 100% akan menanggung risiko kehilangan modal, sehingga pihak mudharib selaku pengelola dana harus benar hati-hati dan selalu melaksanakan akad mudharabah dengan penuh itikad baik. Ketentuan hukum mengenai deposito mengacu pada ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 38 5.2. Produk Bank Syariah di Bidang Penyaluran Dana Kepada Masyarakat atau lending Penyaluran dana bank syariah terdiri dari jual beli, bagi hasil, pembiayaan, pinjaman dan investasi khusus. Dalam penyaluran dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: Pembiayaan dalam Bank Syariah terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual-beli. 2) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa. 3) Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa dengan prinsip bagi hasil. 25 1) Prinsip Jual Beli Implementasi akad jual beli merupakan salah satu cara yang ditempuh bank dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Produk dari bank yang didasarkan pada akad jual beli ini terdiri dari murabahah, salam, dan istishna. Jual beli sebagai perbuatan hukum mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada kepada pihak pembeli mempunyai landasan hukum yang dapat kita jumpai dalam AlQur’an, Sunah, dan Ijma, yaitu sebagai berikut: 25 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, hal. 32-33 dalam Biro Perbankan Syariah, Produk Perbankan Syariah, Karim Bussiness Consulting dan Bank Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 1. 39 Al-Qur’an Dasar hukum jual beli dapat kita jumpai dalam Surat An-Nisa ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Dalam surat Al-Baqarah ayat 257 juga dikatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Sunah Kegiatan jual beli merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dimana sejak masa kecil Beliau telah ikut pamannya untuk melakukan perniagaan. Ijma Para ulama telah bersepakat mengenai kehalalan jual beli sebagai transaksi riil yang sangat dianjurkan dan merupakan sunah Rasulullah. 26 a. Murabahah Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Rukun Murabahah terdiri dari Penjual atau Ba’i, Pembeli atau Musytari, Objek Jual Beli atau Mabi’, Harga atau Tsaman, dan Ijab Qabul. Landasan hukum murabahah terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-undang Perbankan Syariah. 26 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hal. 101. 40 b. Salam Salam adalah akad jual-beli suatu barang atau komoditi dimana harganya dibayar dengan segera yaitu pada saat akad disepakati, sedang barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Rukun salam terdiri dari Pembeli atau Muslim atau Salam, Penjual atau Muslam Ilaih, Hasil Produksi atau Barang yang akan diserahkan atau Muslam Fiih, Harga atau Ra’su Al Maali as Salam, dan Ijab Qabul. Landasan hukum salam terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-undang Perbankan Syariah. c. Istishna Istishna’ adalah jual beli dalam bentuk pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati antara pesanan atau pembeli atau mustashni’ dan penjual atau pembuat atau shani’. Landasan hukum istishna’ terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-undang Perbankan Syariah. 2) Prinsip Sewa Pembiayaan yang berdasarkan akad sewa menyewa disebut juga ijarah. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Rukun dan syarat Ijarah yaitu pernyataan ijab dan qabul, Pihak-pihak yang berakad atau berkontrak: terdiri atas pemberi sewa atau lessor atau pemilik aset atau LKS dan penyewa atau lessee atau pihak yang 41 mengambil manfaat dari pengguna aset nasabah, obyek kontrak: pembayaran atau sewa dan manfaat dari penggunaan aset, manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri, sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset atau LKS dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa atau nasabah. Aspek Syariah Ijarah Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, atau kontrak. Ulama fiqih membolehkan adanya akad ijarah muntahiya bittamlik. Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 233 “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Hadist Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’I meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash r.a., berkata: “Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami membayarnya dengan uang emas atau 42 perak.” Landasan Hukum positif Landasan hukum ijarah terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undangundang Perbankan Syariah. 3) Prinsip Bagi Hasil Bentuk penyaluran dana yang ditujukan untuk kepentingan investasi dalam perbankan Islam dapat dilakukan berdasarkan akad bagi hasil yang terdiri dari mudharabah dan musyarakah. a. Mudharabah Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama atau dikenal dengan istilah shahibul maal menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Mudharabah terdiri dari dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah atau investasi tidak terikat dan mudharabah muqayyadah atau investasi terikat. Rukun mudharabah terdiri dari shahibul maal atau pemilik modal, mudharib atau pelaksana atau usahawan, modal atau maal, kerja atau usaha, keuntungan, dan ijab qabul. Aspek Syariah mudharabah Akad mudharabah diperbolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam memutarkan uang atau usaha atau dagang. Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 198 43 “Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan Tuhanmu...” Hadist Dari Syu’aib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkahan, (1) menjual dengan pembayaran secara kredit, (2) Muqaradah (nama lain dari Mudharabah), (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah) Landasan Hukum Positif Landasan hukum mudharabah terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-undang Perbankan Syariah. b. Musyarakah Musyarakah asal kata dari syirkah yang berarti percampuran. Musyarakah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, disebutkan bahwa pembiayaan atas dasar akad musyarakah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Musyarakah, adalah pembiayaan dalam bentuk kerjasama antara Bank dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak 44 memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai porsi dana masing-masing. Aspek Syariah Musyarakah Al-Qur’an “... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh...” (QS. Shad : 24) “Hai orang yang beriman, Penuhilah akad-akad itu...” (QS. AlMaidah :1) Hadist “Sesungguhnya orang-orang yang mengelola harta Allah dengan tidak benar, maka bagi mereka api neraka pada hari kiamat”. (HR. Bukhari) Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata: “Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah). Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang 45 mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Landasan Hukum Positif Landasan hukum musyarakah terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-undang Perbankan Syariah. Aplikasi musyarakah dalam perbankan Musyarakah dalam perbankan dapat diaplikasikan menjadi: 1) Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 2) Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap. 27 5.3. Produk Bank Syariah di Bidang Jasa atau fee based income product (1) HIWALAH Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya atau dalam istilah Islam merupakan pemindahan beban hutang dari muhil atau orang yang berutang menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang. Hiwalah dibedakan menjadi beberapa jenis. Hanafi membedakan hiwalah menjadi dua jenis, yaitu: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 93. 27 46 - Hiwalah mutlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain kalau muhal ‘alaih tidak punya hutang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak. - Hiwalah muqayyadah, seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh atau jaiz berdasarkan kesepakatan para ulama.28 Dasar hukum mengenai Hiwalah terdapat dalam Hadist Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “menunda pembayaran bagi orang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikuti (di-hiwalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hiwalah itu”. Dasar hukum hiwalah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) huruf g Undang-undang Perbankan Syariah. Implementasi akad hiwalah dalam perbankan syariah terdapat beberapa produk: - Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang terhadap pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut bank menagihnya dari pihak ketiga itu. - Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut. - Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.29 (2) KAFALAH Menurut M. Syafi’i Antonio Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung atau kafil kepada pihak ketiga untuk 28 29 Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit., hal. 146. ibid., hal 148. 47 memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Dasar hukum kafalah terdapat dalam Al-Quran Surat Yusuf ayat 72 yang artinya “Penyeru-penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya”. Dasar hukum kafalah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) huruf i Undang-undang Perbankan Syariah. Secara fiqih terdapat tiga macam kafalah yang padanya dapat diimplementasikan dalam produk bank syariah yaitu: - Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri si peminjam (personal guarantee). - Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment) atau jaminan pembayaran (payment bond). - Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini dapat diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).30 Dalam praktiknya implementasi akad kafalah ini dalam bank syariah adalah dalam bentuk bank garansi, yaitu tindakan dari garantor dalam hal ini bank untuk menjamin bahwa jika seseorang tidak menunaikan kewajibannya, misalnya tidak membayar hutang-hutangnya, si garantor tersebutlah yang akan melaksanakan/ mengambil alih kewajiban tersebut.31 30 31 Ibid., hal. 151. Ibid. 48 (3) WAKALAH Pemberian kuasa atau wakalah secara umum didefinisikan sebagai suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang atau kekuasaan kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan, dan orang lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa. Dalam fiqih berdasarkan ruang lingkupnya wakalah dibedakan menjadi tiga macam yaitu: - Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu untuk segala urusan. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukkan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al mutlaqah. 32 Dasar hukum mengenai wakalah terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Kahfi ayat 19 yang artinya: “Dan kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada disini?” Mereka menjawab, “Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari” berkata (yang lain lagi), Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaknya ia lihat manakah makan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali 32 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal 32. 49 menceritakan halmu kepada seseorangpun.” Hadist: “Bahwa Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harist.” (HR. Malik) Implementasi dalam perbankan syariah, wakalah biasanya diterbitkan sebagai Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam neseri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain, serta jasa inkaso.33 (4) GADAI atau RAHN Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan dan memungkinkan ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Dasar hukum mengenai gadai (rahn) terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” Dalam Hadist: “Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makan dari seorang Yahudi dan menjamin kepadanya baju besi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rahn yang ada dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang 33 Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit., hal. 157. 50 dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam salah satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama.34 (5) SHARF Secara harfiah Sharf diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Adapun secara istilah sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya).35 Dasar hukum mengenai sharf terdapat dalam Hadist: “Jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) sama (kualitas dan kuantitasnya dan dilakukan) secara tunai. Apabila jenis berbeda, maka juallah sesuai kehendakmu dengan syarat secara tunai.” (HR. Jamaah) Implementasi akad sharf dalam perbankan syariah dalam produk jasa berupa tukar-menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang.36 6. Profil Bank Syariah Mandiri 6.1. Sejarah berdirinya Bank Syariah Mandiri Kehadiran Bank Syariah Mandiri selanjutnya disebut BSM sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah sekaligus berkah pasca krisis 34 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, hal. 161 dalam Hanan Wihasto, Teknik dan Strategi Pembuatan Kontrak dalam Produk Jasa Perbankan, disampaikan pada acara “Pelatihan Nasional Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan Syariah”, BASYARNAS, Yogyakarta, 2006. 35 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005,hal. 87. 36 Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit., hal. 165. 51 ekonomi dan moneter 1997-1998. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk dipanggung politik nasional, telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang sangat hebat terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha. Dalam kondisi tersebut, industri perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami krisis luar biasa. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia. Salah satu bank konvensional, PT. Bank Susila Bakti (BSB) yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP), PT. Bank Dagang Negara, dan PT. Mahkota Prestasi juga terkena dampak krisis. BSB berusaha keluar dari situasi tersebut dengan melakukan upaya merger dengan beberapa bank lain serta mengundang investor asing. Pada saat bersamaan, pemerintah melakukan penggabungan atau merger empat bank yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank exim, dan Bapindo menjadi satu bank baru bernama PT. Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 1 Juli 1999. Kebijakan penggabungan tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai pemilik mayoritas baru BSB. Sebagai tindak lanjut dari keputusan merger, Bank mandiri melakukan konsolidasi serta membentuk Tim Pengembangan Perbankan Syariah. Pembentukan tim ini bertujuan untuk mengembangkan layanan perbankan syariah di kelompok perusahaan Bank Mandiri, sebagai respon atas 52 diberlakukannya Undang-undang Perbankan, yang memberi peluang bank umum untuk melayani transaksi syariah (dual banking system). Tim Pengembangan Perbankan Syariah memandang bahwa pemberlakuan UU tersebut merupakan momentum yang tepat untuk melakukan konversi PT. Bank Susila Bakti dari bank konvensional menjadi bank syariah. Oleh karenanya, Tim Pengembangan Perbankan Syariah segera mempersiapkan sistem dan infrastrukturnya, sehingga kegiatan usaha BSB berubah dari bank konvensional menjadi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan nama PT. Bank Syariah Mandiri sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris: Sutjipto, S.H., No. 23 tanggal 8 September 1999. Perubahan kegiatan usaha BSB berubah dari bank konvensional menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui SK Gubernur BI No. 1/24/KEP. BI/1999, 25 Oktober 1999. Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia No. 1/1/KEP. DGS/1999, BI menyetujui perubahan nama menjadi PT. Bank Syariah Mandiri. Menyusul pengakuan legal tersebut, PT. Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sejak Senin tanggal 25 Rajab 1420 H atau tanggal 1 November 1999. PT. Bank Syariah Mandiri hadir, tampil, dan tumbuh sebagai bank yang mampu memadukan idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani, yang melandasi kegiatan operasionalnya. Harmoni antara idealisme dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu keunggulan BSM dalam kiprahnya di 53 perbankan Indonesia. BSM hadir bersama untuk membangun Indonesia menuju Indonesia yang lebih baik. 6.2. Visi dan Misi Bank Syariah Mandiri 1. Visi Bank Syariah Mandiri Menjadi Bank Syariah Terpercaya Pilihan Mitra Usaha 2. Misi Bank Syariah Mandiri a. Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan b. Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayaan pada segmen UMKM c. Merekrut dan mengembangkan pegawai profesional dalam lingkungan kerja yang sehat d. Mengembangkan nilai-nilai syariah universal e. Menyelenggarakan operasional bank sesuai standar bank yang sehat 3. Shared values Setelah melalui proses yang melibatkan jajaran pegawai sejak pertengahan 2005, lahirlah nilai-nilai perusahaan yang baru yang disepakati bersama untuk di-shared oleh seluruh pegawai BSM yang disebut Shared values Bank Syariah Mandiri. Shared values Bank Syariah Mandiri disingkat “ETHIC”. Excellence: Berupaya mencapai kesempurnaan melalui perbaikan yang terpadu dan berkesinambungan. 54 Teamwork: Mengembangkan lingkungan kerja yang saling bersinergi. Humanity: Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan religius. Integrity: Menaati kode etik profesi dan berpikir serta berperilaku terpuji. Customer Focus: Memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan untuk menjadikan Bank Syariah Mandiri menjadi mitra yang terpercaya dan menguntungkan. C. PEMBIAYAAN DALAM BANK SYARIAH 1. Pengertian Pembiayaan Pembiayaan merupakan salah satu kegiatan usaha Bank, yang umum dijalankan baik pada Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Terdapat perbedaan pengertian pembiayaan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 55 Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 2. Aspek Penilaian dalam Pembiayaan Muchdarsyah Sinungan mengatakan bahwa prinsip kehati-hatian bank dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi bank sebagai badan usaha dan dari segi nasabahnya. Prinsip kehati-hatian mencakup beberapa aspek yaitu Capital, Adequancy, Assetquality, Management on risk, Earning ability, dan Liquidity sufficiency. Sedangkan prinsip kehati-hatian dilihat dari segi nasabah mencakup beberapa aspek diantaranya character, capital, capacity, collateral, dan condition of economy.37 Pelaksanaan prinsip kehati-hatian secara umum tampak dalam hal bank akan memberikan kredit atau pembiayaan dengan terlebih dahulu melakukan studi kelayakan (feasibility study). Studi kelayakan akan ditempuh dengan melakukan analisis terhadap character, capital, capacity, collateral, dan condition of economy atau yang dikenal dengan the five c’ principles.38 37 38 Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241. Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit., hal. 59-60. 56 Character Penilaian watak calon nasabah terutama didasarkan pada hubungan yang telah terjalin antara bank syariah dan atau UUS dengan nasabah atau calon nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga bank syariah dan atau UUS dapat menyimpulkan bahwa nasabah yang bersangkutan jujur, beritikad baik, dan tidak menyulitkan bank dan atau UUS di kemudian hari. Capital Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah, terutama bank syariah dan atau UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan. Capacity Penilaian kemampuan calon nasabah terutama bank harus meneliti tentang keahlian nasabah dalam bidang usahanya dan atau kemampuan manajemen calon nasabah sehingga bank syariah dan atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat. Collateral Penilaian terhadap agunan, bank syariah dan atau UUS harus menilai barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang 57 ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah kelak tidak dapat memenuhi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah dan atau UUS yang bersangkutan. Condition of economy Penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah, bank syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan. Menurut Muhamad Syafi’i Antonio prinsip kehati-hatian dalam bank syariah meliputi ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), tingkat kesehatan, pedoman pembiayaan, serta aspek operasional lainnya yang disusun secara bertahap menurut skala prioritas.39 Asas utama dalam pembiayaan yang juga termasuk asas perbankan syariah yaitu: a. Keadilan b. Kemitraan c. Transparansi d. Universalitas 3. Risiko dalam Pembiayaan Risiko menurut KBBI adalah akibat yang kurang menyenangkan atau merugikan atau membahayakan dari suatu perbuatan atau tindakan. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institute, Jakarta, 2001, hal. 252. 39 58 Pembiayaan merupakan salah satu kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah, dalam melakukan pembiayaan memungkinkan timbulnya risiko. Risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan pembiayaan yaitu: 3.1. Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil a. Musyarakah Risiko yang terdapat dalam musyarakah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi yaitu sebagai berikut: - Side streaming, nasabah menggunakan dana bukan bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. - Lalai dan kesalahan yang disengaja. - Penyembunyian keuntungan oleh nasabah apabila nasabah tidak jujur.40 b. Mudharabah Risiko yang terdapat dalam mudharabah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi yaitu sebagai berikut: - Side streaming, nasabah menggunakan dana bukan bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. - Lalai dan kesalahan yang disengaja. - Penyembunyian keuntungan oleh nasabah apabila nasabah tidak jujur.41 3.2. Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip Jual Beli a. Murabahah Risiko yang terdapat dalam murabahah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi yaitu sebagai berikut: - Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran. - Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. - Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah 40 41 Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hal. 94. Ibid., hal. 98. 59 karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain. - Dijual; karena murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun dengan aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.42 b. Salam dan Istishna’ Pembiayaan salam dan istishna’ merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang secara tangguh. Dengan demikian, belum wujudnya barang yang menjadi objek pembiayaan menimbulkan dua risiko, yakni: - Risiko gagal-serah barang (non-deliverable risk). Risiko gagal-serah dapat diantisipasi bank dengan menetapkan kovenan rasio kolateral 220%, yaitu 100% lebih tinggi daripada rasio standar 120%. - Risiko jatuhnya harga barang (price-drop risk). Risiko jatuhnya harga barang diantisipasi dengan menetapkan bahwa jenis pembiayaan ini hanya dilakukan atas dasar kontrak/pesanan yang telah ditentukan harganya.43 3.3. Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip sewa Ijarah Risiko yang mungkin terjadi dalam ijarah adalah sebagai berikut: - Default; nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja. - Rusak; aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank. - Berhenti; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan 42 Ibid., hal. 107. Risiko terkait Pembiayaan Salam dan Istishna, http://esharianomics.com/, (online_), tanggal 10 Desember 2010, Diakses tanggal 3 November 2011. 43 60 mengembalikan sebagian kepada nasabah.44 4. Pembiayaan musyarakah 4.1. Pengertian Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan musyarakah merupakan salah satu produk pembiayaan bank syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil. Musyarakah asal kata dari syirkah yang berarti percampuran. Pengertian syirkah menurut Pasal 20 angka 3 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat. Pengertian musyarakah menurut etimologi bahasa Arab adalah sebagai berikut: Secara bahasa musyarakah diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui. Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.45 Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.46 Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hal. 119. M. Irfan Syahroni, Mudharabah dan Musyarakah serta Implementasinya dalam Perbankan Syariah, http://ayahaca.wordpress.com/ (online_), tanggal 6 Juni 2011, diakses tanggal 6 November 2011. 46 Ibid. 44 45 61 Pada prinsipnya musyarakah dan mudharabah adalah sama, yaitu merupakan bentuk dari usaha bagi hasil. Namun, pada keduanya terdapat perbedaan yang essensial yaitu: Perbedaan yang essensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas managemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.47 4.2. Landasan Hukum Pembiayaan Musyarakah Aspek Syariah Musyarakah Al-Qur’an “... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh...” (QS. Shad : 24) “Hai orang yang beriman, Penuhilah akad-akad itu...” (QS. Al-Maidah: 1) Hadist “Sesungguhnya orang-orang yang mengelola harta Allah dengan tidak benar, maka bagi mereka api neraka pada hari kiamat”. (HR. Bukhari) Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata: “Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah). 47 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2006, hal. 103. 62 Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Landasan Hukum Positif Landasan hukum musyarakah terdapat dalam Pasal 1 angka 25 Undangundang Perbankan Syariah dan fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. 4.3. Bentuk-bentuk Pembiayaan Musyarakah Secara garis besar musyarakah dapat dibagi kepada syirkah amlak dan syirkah uqud. Syirkah amlak berarti eksistensi suatu perkongsian tidak perlu kepada suatu kontrak membentuknya tetapi terjadi dengan sendirinya. Sedangkan syirkah uqud berarti perkongsian yang terbentuk karena suatu kontrak (Muhammad, 2000:11). Bentuk syirkah amlak terbagi atas: a. Amlak jabar, yang terjadinya secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Paksa berarti tidak ada alternatif untuk menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris-mewaris, manakala 2 (dua) saudara atau lebih menerima warisan dari kedua orang tua mereka. b. Amlak ikhtiar, yang terjadinya secara otomatis, tetapi bebas. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Bebas berarti ada pilihan untuk menolak (Muhammad, 2000: 11). Pada umumnya fiqih membedakan syirkah uqud menjadi 5(lima) jenis, yaitu: - Syirkah Al‘Inan, penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak harus sama jumlahnya dan keuntungannya dibagi secara proporsional dengan jumlah modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan. - Syirkah Al Mufawadhah, perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama dilakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata. 63 - Syirkah Al Abdan atau Al Amal, perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama. - Syirkah Al Wujuh, perserikatan tanpa modal. - Syirkah Al Mudharabah, bentuk kerjasama antara pemilik modal dan seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan dari perdagangan dari modal itu dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.48 4.4. Rukun dan Syarat-syarat Pembiayaan Musyarakah Dalam melaksanakan pembiayaan musyarakah terdapat rukun dan syarat musyarakah yang sesuai dengan prinsip syariah yang harus dipenuhi, karena hal inilah yang membedakannya dengan bank-bank konvensional. Rukun dalam Pembiayaan Musyarakah adalah sebagai berikut: 1. Pihak yang berserikat atau dikenal dengan istilah Syariik 2. Modal dikenal dengan istilah Maal 3. Proyek atau Usaha atau dikenal dengan istilah Amal 4. Ijab Qobul Berdasarkan Fatwa DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000, terdapat beberapa ketentuan mengenai musyarakah. 1. Pernyataan ijab dan qobul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan halhal berikut: a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam 48 Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan Teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan pada Bank Syariah), UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 114-115. 64 proses bisnis normal. d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri. 3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) a. Modal 1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. 2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. 3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. b. Kerja 1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. 65 2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. c. Keuntungan 1) Keuntungan harus dikuantifikasikan dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. 2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. 3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. 4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. d. Kerugian Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. 4.5. Penerapan Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan musyarakah dapat dilakukan untuk membiayai suatu proyek bersama antara nasabah dengan bank. Nasabah dapat mengajukan proposal kepada bank syariah untuk mendanai suatu proyek tertentu atau usaha tertentu dan kemudian akan disepakati berapa modal dari bank dan berapa modal dari nasabah serta akan ditentukan bagi hasilnya bagi masing-masing pihak 66 berdasarkan prosentase pendapatan atau keuntungan bersih dari proyek atau usaha tersebut sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah dapat bersifat permanen maupun menurun. Dalam musyarakah permanen, bagian modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Sedangkan dalam musyarakah menurun, bagian modal bank akan dialihkan secara bertahap kepada mitra sehingga bagian modal bank akan menurun dan pada akhir masa akad, mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.49 Aplikasi musyarakah dalam praktik lembaga keuangan adalah berupa berikut ini: 1) Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 2) Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.50 Menurut M. Umer Chapra, musyarakah atau syirkah dalam praktiknya terdapat dalam berbagai model, para mitra dapat memberikan kontribusi bukan hanya modal dalam hal keuangan, tetapi juga tenaga, manajemen, keahlian, dan kemauan baik, meskipun tidak harus sama.51 Musyarakah dalam aplikasi perbankan syariah dapat berbentuk yakni sebagai berikut: 1. Pembiayaan Proyek, yaitu nasabah dan bank syariah sama-sama 49 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 85. 50 Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hal. 93. 51 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 90 dalam M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, The Islamic Foundations, London, 1985. 67 menyediakan dana untuk proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab qobul). 2. Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh bank syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.52 Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan musyarakah, diantaranya sebagai berikut: 1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. 3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. 4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benarbenar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. 5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.53 Risiko yang terdapat dalam musyarakah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi yaitu sebagai berikut: - Side streaming, nasabah menggunakan dana bukan bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. - Lalai dan kesalahan yang disengaja. - Penyembunyian keuntungan oleh nasabah apabila nasabah tidak jujur.54 52 Ibid., hal. 92. Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hal. 93-94. 54 Ibid., hal. 94. 53 68 D. PRINSIP KEHATI-HATIAN 1. Prinsip Kehati-hatian Secara Umum Perbankan merupakan institusi yang keberadaannya sangat memerlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Prinsip yang sangat penting dalam rangka menjaga dan mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap bank, yaitu prinsip kehati-hatian atau dikenal dengan istilah prudential principle. Prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perbankan dikemukakan bahwa Perbankan Indonesia dalam melaksanakan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu azas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesialisme dan itikad baik. Mengenai prinsip kehati-hatian dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perbankan. 69 Pasal 29 ayat (2) mengemukakan bahwa: Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak alasan apa pun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehatihatian.segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitur. Selengkapnya ketentuan tersebut mengemukakan bahwa: Pasal 29 ayat (3): Dalam memberikan kredit atau Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) berhubungan erat denganketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana simpanannya. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa: Pasal 29 ayat (4): Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 70 Prinsip kehati-hatian atau dikenal dengan istilah Prudential Banking di dalam pelaksanaannya di tuangkan dalam rambu-rambu kesehatan bank atau biasa disebut Prudential Standards. Jenis-jenis rambu-rambu kesehatan bank yang harus diperhatikan oleh bank khususnya dalam menjalankan usahanya, yaitu: a. Analisis Pembiayaan Penegasan mengenai analisis pembiayaan terhadap nasabah pemohon pembiayaan diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Perbankan Syariah. Analisis pembiayaan merupakan faktor penting yang dapat menentukan kelanjutan dari permohonan pembiayaan yang diajukan nasabah. Dalam hubungan itu, kejelasan kebijakan manajemen pembiayaan, prosedur, dan pedoman penilaian pembiayaan, serta kecermatan dan konsistensi penerapannya menentukan kualitas pembiayaan yang diberikan. Angka 442 Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank menyebutkan bahwa dalam setiap permohonan pembiayaan/kredit yang telah memenuhi persyaratan harus melakukan analisis kredit secara tertulis dengan memenuhi prinsip-prinsip, yaitu: 1) Bentuk, format dan kedalam analisis kredit ditetapkan oleh bank disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit. 2) Analisis kredit harus menggambarkan konsep hubungan total permohonan kredit sebagaimana dimaksudkan dalam angka 410 Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank, apabila pemohon telah mendapat fasilitas kredit dari bank atau dalam waktu bersamaan 71 mengajukan permohonan kredit lainnya kepada bank. 3) Analisis kredit harus dibuat secara lengkap, akurat, dan obyektif yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a) menggambarkan semua informasi yang berkaitan dengan usaha dan data pemohon termasuk hasil penelitian pada daftar kredit macet. b) penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit dengan proyek atau kegiatan usaha yang akan dibiayai, dengan sasaran menghindari kemungkinan terjadinya praktek mark-up yang dapat merugikan bank. c) menyajikan penilaian yang obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pihakpihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Analisis kredit tidak boleh merupakan suatu formalitas yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prosedur kredit. 4) Analisis kredit sekurang-kurangnya harus mencakup penilaian atas watak, kemampuan, modal,agunan, dan prospek usaha debitur atau yang lebih dikenal dengan 5C dan penilaian terhadap sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada hasil usaha yang dilakukan pemohon serta menyajikan evaluasi aspek yuridis perkreditan dengan tujuan untuk melindungi bank atas risiko yang mungkin timbul. 5) Dalam pemberian kredit sindikasi, analisis kredit bagi bank yang merupakan anggota sindikasi harus meliputi pula penilaian terhadap bank yang bertindak sebagai bank induk. 72 b. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Batas maksimum pemberian kredit maupun pembiayaan yang diberikan oleh bank tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengaturan mengenai batas maksimum pemberian kredit ini ditentukan dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Perbankan dan Pasal 37 ayat 2 Undang-undang Perbankan Syariah. c. Financing to Deposit Ratio Perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Ditetapkannya batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan dan financing to deposit ratio yang harus diperhatikan oleh bank syariah, maka bank syariah tidak dapat begitu saja melakukan ekspansi pembiayaan yang bertujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya atau bertujuan untuk secepatnya dapat membesarkan jumlah asetnya. d. Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank syariah harus memenuhi kecukupan modalnya sehingga mencapai CAR sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Bank Indonesia. e. Posisi Devisa Neto Prinsip kehati-hatian telah mengharuskan pula bagi bank untuk menjaga posisi devisa neto bank umum. Dimana merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah selisih bersih tagihan dan kewajiban baik 73 yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untu setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. f. Giro Wajib Minimum Giro wajib minimum adalah simpanan minimum bank syariah dalam bentuk giro pada bank Indonesia, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia. Tentang giro wajib minimum bank umum syariah pada Bank Indonesia, GWM rupiah 5% dari DPK rupiah dan GWM valas 1% dari DPK valas, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/23/PBI/2008. g. Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tahunan Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam bentuk dan waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Mengingat terkaitnya kepentingan nasabah penyimpan dana pada bank dimana nasabah itu menyimpan dananya, maka para nasabah penyimpan dana perlu selalu mengetahui keadaan keuangan bank yang telah dipercayanya. Undangundang Perbankan juga mewajibkan bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi kepada masyarakat dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, hal ini disebutkan dalam Pasal 35 ayat 2,3,4, dan 5 Undang-undang Perbankan Syariah. 2. Prinsip Kehati-hatian pada Bank Syariah Salah satu jenis bank yang dikenal di Indonesia dilihat dari sistem operasionalnya adalah Bank Islam, atau yang lebih dikenal dengan Bank Syariah. Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya 74 sebagaimana Bank Konvensional, menarik dan memberikan kredit atau pembiayaan dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.55 Banyak ketentuan dalam hukum Islam yang bermuatan prinsip kehati-hatian atau prinsip berusaha yang beretika Islami yang mau tidak mau juga harus diadopsi dan diterapkan dalam praktek perbankan syariah. Ketentuan tersebut antara lain diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 49 dan Hadits Riwayat Ath Thabrani, yang artinya sebagai berikut: 1. Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 49 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu...” 2. Hadits Riwayat Ath Thabrani “Sikap hati-hati itu datangnya dari Allah, sebaliknya sikap ceroboh itu datangnya dari syetan” (HR. Ath Thabrani) Prinsip-prinsip tersebut akan semakin sempurna jika dalam prakteknya berbarengan dengan prinsip-prinsip berusaha sebagaimana dituntun oleh AlQur’an dan Sunah Nabi. Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan maka risiko yang bersifat merugikan, baik kepada bank maupun terhadap nasabahnya. Implementasi ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut secara konsisten akan membawa dan atau menjamin eksistensi bank, yang pada akhirnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan akan semakin kuat dan kokoh. Prinsipprinsip berusaha (yang beretika Islam) dimaksud antara lain: 55 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 5. 75 - Prinsip pelarangan riba atau bunga, sering juga dikonotasikan sebagai prinsip bagi hasil (QS. Ar-Ruum : 39; QS. An-Nisaa’ : 160-161; QS. AlImran : 130; QS. Al Baqarah : 275-279) - Prinsip ‘itikad baik dan kejujuran (QS. Al’araf :33; QS. Huud : 84; QS. AlMuthaffifin :1-3) - Prinsip keseimbangan atau keadilan (QS. Asy Syu’ara :183; QS. Al-Isra’ : 29; QS. Ar-Rahman : 9; QS. Al-Isra’ : 35 dan QS. Al-Imran : 15) Bank wajib melakukan analisa dan penilaian yang terus menerus mengenai sektor ekonomi, segmen pasar, kegiatan usaha dan nasabah yang berisiko tinggi. Paling tidak bank harus menghindari melakukan kegiatan pembiayaan dan investasi pada: - Usaha yang tidak sesuai dengan prinsip syariah; - Usaha yang bersifat spekulatif (maisir) dan mengandung ketidakpastian yang tinggi (gharar); - Usaha yang tidak mempunyai informasi keuangan yang memadai; - Bidang usaha yang memerlukan keahlian khusus, sedang aparat bank tidak memiliki keahlian atau menguasai bidang usaha tersebut; - Pengusaha yang bermasalah.56 Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan khususnya dalam hal bank hendak menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit/pembiayaan. Prinsip kehati-hatian pada hakikatnya juga memberikan perlindungan hukum bagi nasabah secara implisit, khususnya bagi nasabah penyimpan dana. Intinya bank harus berhati-hati dalam menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat agar dana tersebut terlindungi dan kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat dipertahankan dan ditingkatkan. 56 Zainul Arifin, Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2000, hal. 48. 76 Prinsip kehati-hatian dalam perbankan syariah diatur dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang berbunyi: Pasal 35 (1) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. (3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik. (4) Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian ini, dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya. Penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah itu sendiri. Penyaluran dana tersebut berasal dari simpanan masyarakat, sehingga bank syariah menanggung risiko yang dapat berpengaruh terhadap simpanan tersebut. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk menyebar risiko dengan cara mengatur penyaluran kredit atau pembiayaan berdasar prinsip syariah agar tidak terpusat pada nasabah tertentu. 77 Dengan demikian prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang sangat penting dalam pengelolaan perbankan. Kehati-hatian khususnya dalam penyaluran dana bertujuan agar bank berhasil dalam mengelola dana masyarakat secara optimal dan dapat bermanfaat bagi nasabah yang menginvestasikan dana pada bank syariah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah pun dapat tetap terjaga bahkan meningkat. Prinsip pemberian pembiayaan musyarakah dilandasi dengan prinsip kehati-hatian atau dikenal dengan istilah prudential banking regulation bank berdasarkan prinsip syariah Islam, yang bertujuan untuk mencegah pembiayaan yang bermasalah atau macet. Pembiayaan yang macet inilah yang akhirnya dapat membuat bank syariah mengalami kerugian. Selain itu, bank syariah dalam memberikan pembiayaannya tidak boleh melanggar norma agama, norma kesusilaan, dan usaha yang dilarang pemerintah. Bentuk penerapan prinsip kehati-hatian dalam pembiayaan musyarakah lebih ditujukan kepada analisis pembiayaan diawal nasabah mengajukan permohonan pembiayaan musyarakah dengan tidak mengesampingkan ramburambu kesehatan bank atau dikenal dengan istilah prudential standards yang lain. Risiko pembiayaan yang bermasalah atau macet dapat diperkecil dengan melakukan analisa pembiayaan, yang tujuan utamanya adalah menilai seberapa besar kemampuan dan kesediaan nasabah pembiayaan mengembalikan pembiayaan yang mereka pinjam dan membayar margin keuntungan dan bagi hasil sesuai dengan isi akad pembiayaan. Berdasarkan penilaian ini, bank dapat memutuskan apakah permintaan pembiayaan yang diajukan ditolak, diteliti 78 lebih lanjut, atau diluluskan (kalau perlu dengan mengajukan syarat-syarat khusus ke dalam akad pembiayaan). Prinsip analisis pembiayaan yang diajukan berdasarkan rumus 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, condition of economy, tetapi prinsip ini juga harus memperhatikan kondisi amanah, kejujuran, dan kepercayaan diri masing-masing nasabah pemohon pembiayaan musyarakah. Dasar hukum atas analisis pembiayaan diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Perbankan Syariah bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.