BAB I MELACAK TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN I

advertisement
BAB I
MELACAK TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN
I.1.
Latar belakang masalah
Ini adalah studi tentang defisit akuntabilitas perusahaan pertambagan. Defisit
yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara besarnya akuntabilitas atau
pertanggungjawaban perusahaan pertambangan dengan upaya atau komitmen
perusahaan untuk mempertangungjawabkan segala aktivitasnya dalam skema
Corporate Sosial Responsibility (CSR). Defisit yang dibahas dalam kajian ini
tidaklah mudah dimengerti, karena semua orang membayangkan betapa strategisnya
peran perusahaan pertambangan. Orang kebanyakan berfikir, dengan beroperasinya
perusahaan pertambangan maka serta merta akan membuka peluang-peluang untuk
mencapai dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak mudah menunjukkan bahwa romantisasi peran strategis ini membuka
kecerobohan. Romantisasi peran strategis tersebut menjadikan banyak orang silau,
dan pada gilirannya tidak sanggup secara jernih menemukan kealphaan dalam
menimbang pertanggungjawaban perusahaan
perusahaan
pertambangan
mengklaim
pertambangan. Apalagi, ketika
bahwa
mereka
telah
menjalankan
tanggungjawabnya dalam skema CSR, semua orang semakin terlena dan tidak
menemukan defisit tanggungjawab perusahaan tersebut. Pada akhirnya dengan CSR
banyak orang terkelabuhi dengan kalimat pertanggungjawaban perusahaan. Bahwa,
dengan CSR perusahaan tidak menjadi pendosa atas apa yang telah mereka perbuat.
Ini terjadi karena semua orang sudah dinormalkan untuk berfikir naif. Seolaholah monopoli aset Negara kepada perusahaan itu merupakan hal yang tidak
1
problematik. Seolah-olah persoalan sosial dan kerusakan lingkungan yang
diakibatkan dari monopoli itu, kemudian ditanggung oleh perusahaan. Sikap ini
menimbulkan dua persoalan yang paling mendasar. Pertama, ada kelompok
(kapitalis) yang tiba-tiba mendapatkan hak istimewa dihadapan yang lain untuk
mengekstraksi sumberdaya mineral bijih dan tidak merasa bermasalah karena telah
dikukuhkan oleh Negara dengan ijin-ijinnya. Betapa tidak, pengelolaan sumberdaya
alam (mineral) terjadi atas perjanjian atau kesepakatan antara pemerintah pusat yang
mewakili
dan
mengatasnamakan
rakyat
dengan
perusahaan
pertambangan
(Multinasional Corporation) yang memiliki modal dalam skala besar tanpa
melibatkan masyarakat yang berada didaerah tempat sumberdaya mineral tersebut.
Dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara telah menjadikan pemilik
modal (perusahaan asing) sebagai sekutu untuk mengekstrak sumberdaya mineral.
Tidak hanya itu, persekongkolan Negara dan modal asing dalam dunia pertambangan
telah menyingkirkan atau memarginalkan rakyat dari haknya atas sumberdaya alam
yang merupakan warisan dari pendahulu mereka.
Kedua, para pemilik modal yang telah melakukan ekstraksi tentunya
mendapatkan manfaat berupa uang dalam jumlah yang luar biasa besar dalam jangka
waktu tertentu kemudian dengan mudah pergi begitu saja ketika sumberdaya mineral
tersebut telah habis dikuras. Mereka tidak merasa terbebani setelah mengatakan
bahwa kami telah bertanggungjawab dengan CSR. Banyaknya orang yang terkecoh
atau berhasil dikecohkan oleh perusahaan yang bersekongkol dengan pemerintah
kemudian mereka merasa menjadi orang yang paling berjasa dan bertanggungjawab,
padahal mereka telah mengangkangi hak-hak orang banyak kemudian meninggalkan
masalah setelah itu.
2
Sebagai ilustrasi, perusahaan pertambangan seperti PT Freeport yang
mengklaim bahwa mereka telah menjalankan tanggungjawab sosialnya (CSR) dalam
rangka menjaga keseimbangan antara pencapaian keuntungan (profit), perlindungan
lingkungan dan pembangunan sosial. PT Freeport Indonesia mengklaim telah
menyediakan layanan medis bagi masyarakat Papua melalui klinik-klinik kesehatan
dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di bidang pendidikan, PT Freeport
menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar Papua, dan bekerja sama
dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-gedung dan sarana
sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program pengembangan
wirausaha seperti di Komoro dan Timika.
Di sisi lain terungkap bahwa sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang
telah dibuang sebanyak 420 juta ton dan diakhir masa penambangan jumlah total
limbah batuan adalah 4 milyar ton. Limbah-limbah tersebut dari Grashberg ditimbun
dilembah Carstenz (5%) dan lembah Wanagon (95%), dimana pada lembah
Wanagon terdapat danau Wanagon yang memiliki nilai sangat besar bagi suku
Amungme.Ternyata masyarakat yang berada di sekitar lingkar pertambangan berada
dalam posisi sangat dirugikan oleh aktivitas penambangan ini. Masyarakat lingkar
tambang dihadapkan pada situasi yang ironis. Mereka lahir dan besar dikawasan
operasi perusahaan itu, tapi hanya menjadi budak dan kuli bangunan, mengais dan
berharap hidup dari limbah-limbah perusahaan. Tidak hanya itu mereka juga harus
menanggung dan menikmati kerusakan limbah perusahan yang mengancam masa
depan anak keturunan mereka. (Walhi, 2006).
Program-program favorit CSR tidak lepas dari agenda-agenda pelayanan
sosial, pendidikan, penelitian, kesehatan dan bantuan becana. Anehnya, masalah
3
sesungguhnya yang ditimpakan oleh perusahaan pertambangan terhadap penduduk
lokal dan lingkungan tidak ada hubungan dengan upaya CSR yang dipromosikan
oleh perusahaan. Sehingga, patut dipertanyakan apakah perusahaan ekstraksi yang
berorientasi pada usaha memaksimalkan keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki
komitmen
moral
untuk
meredistribusi
keuntungan-keuntungannya
dalam
membangun masyarakat lokal dan perlindungan terhadap lingkungan. Sangat sulit
untuk dipahami kalau lembaga kapitalistik melakukan kegiatan-kegiatan nir-laba
sebagai manifestasi tanggungjawab mereka terhadap masyarakat lokal yang hidup
disekitar perusahaan.
Perlu kiranya kita mendudukkan persoalan bahwa sesungguhnya operasi
penambangan, apalagi dalam skala besar, tentu saja telah mendapatkan persetujuan
Negara. Negara merupakan institusi yang paling bertanggungjawab terhadap segala
aktivitas eksploitasi sumberdaya alam khususnya di dunia pertambangan, termasuk
yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan penambangan. Jelasnya, melekat
dengan pemberian ijin melakukan aktivitas penambangan, Negara berkewajiban
untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut memiliki dampak negatif yang minim.
Namun pembiaran terhadap aktivitas penambangan berbanding lurus dengan
mengalirnya dampak negatif dari aktifitas penambangan yang tidak bisa dibiarkan.
Beroperasinya perusahaan pertambangan dengan menggunakan alat-alat produksi
mereka seperti power shovel, houl truck yang memiliki kapasitas 40 sampai 50 ton
dalam sekali angkut bekerja tiada henti selama 24 jam setiap harinya dan 7 hari
dalam setiap minggunya untuk mengangkut dan memindahkan mineral bijih. Misi
mereka adalah memenuhi kebutuhan pasar, yang pada gilirannya akan memberikan
keuntungan yang sangat besar.
4
Disisi lain, berlangsungnya operasi penambangan juga memberikan dampak
yang sangat besar terhadap masalah sosial dan lingkungan. Kondisi ini diperparah
lagi oleh aktivitas eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan
pertambangan yang cenderung mengabaikan dampak yang ditimbulkan sehingga
melahirkan permasalahan dalam setiap operasinya. Dampak yang ditimbulkan dari
aktivitas penambangan bisa langsung dirasakan, seperti penurunan jumlah dan
kualitas sumberdaya, berubahnya fungsi lahan (termasuk penyempitan lahan
pertanian), berkurangnya debit air sungai dan air tanah, pencemaran air laut,
kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah. Di samping itu, muncul pula masalah
sosial yang menimbulkan gejolak yang sangat kompleks dan menjadi masalah yang
belum terpecahkan. Dampak yang paling merisaukan adalah dampak buruk berantai
dalam jangka panjang berupa rusaknya tatanan sosial dan berubahnya derajatkualitas
sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya merugikan generasi
masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang (Zulkieflimansyah,
2007).
Pembiaran
Negara
terhadap
aktivitas
penambangan
bukan
hanya
menunjukkan ketidakberesan kerjanya melainkan juga menimbulkan konflik di area
penambangan. Untuk itu, pengkajian peran-peran strategis negara yang dengan
mudah bersembunyi dibalik doktrin pembangunan dan kepentingan nasional,
memperjuangkan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Perlu pengkajian
bagaimana negara menjalankan fungsinya dalam menjamin kehidupan dan
kesejahteraan rakyatnya tanpa mengabaikan dampak yang terjadi dilingkar aktivitas
penambangan. Apalagi, hal itu telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan
yang parah dan mempersempit ruang-ruang bagi masyarakat lokal untuk
5
mendapatkan hak-hak mereka (Jatam, 2009). Perlu ditunjukkan mengapa pemerintah
dituntut tegas dalam mengambil langkah-langkah hukum yang didalamnya mengatur
tentang kewajiban-kewajiban sosial dan lingkungan bagi perusahaan. Yang tidak
kalah pentingnya, melacak kesungguhan pemerintahan dalam membebani kewajiban
pada perusahaan pertambangan yang diterjemahkan oleh perusahaan pertambangan
sebagai tanggungjawab yang diimplemetasikan dalam skema CSR. (Undang- undang
No. 40/2007 tentang ”Perseroan Terbatas”)
Pengamatan sementara menunjukkan ketika membebani kewajiban pada
perusahaan untuk menjalankan CSR, seolah-olah negara tidak lagi bertanggungjawab
terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan yang berada di wilayah
pertambangan.
Jelasnya
Pemerintah
secara
sistematik
bersembunyi
dari
tanggungjawab dengan mewajibkan CSR pada perusahaan pertambangan. Dalam
konteks ini, pemerintah serta merta menjadikan konsep CSR menjadi sesuatu yang
relevan dan penting atau harus dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai
bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap dampak sosial dan lingkungan.
Sama
halnya
dengan
perusahaan-perusahaan
pertambangan.
Mereka
menganggap bahwa segala defisit yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan
mampu dibayarkan dengan program-program CSR. Padahal tanggungjawab
perusahaan selama ini yang diimplementasikan dalam skema CSR, awal mulanya
merupakan sikap etis dari pemilik perusahaan terhadap masyarakat yang ada
disekitar wilayah operasi penambangan. Skema CSR yang diselenggarakan oleh
perusahaan kerap menuai kritik dalam pelaksanaannya. CSR cenderung hanya
menjadi alat propaganda perusahan dalam meningkatkan kepercayaan pasar dan
untuk mendapatkan ijin operasi dari masyarakat lingkar tambang. CSR sering
6
menjadi lip service, dan pada saat yang sama mengabaikan kewajiban substansi
perusahaan. Ini terlihat dari motif keterlibatan perusahaan dalam CSR yaitu, motif
menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja,
dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Yang
jelas,
perusahaan
memperoleh
sejumlah
keuntungan
justru
dengan
cara
mendeklarasikan tanggungjawab sosialnya. Skema CSR merupakan alat yang
dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mempolitisasi tanggungjawab perusahaan, dan
tidak menutup kemungkinan bahwa CSR merupakan kamuflase dari perusahaan dan
mereka mengkalim bahwa dengan skema CSR mereka telah menjalankan
tanggungjawabnya (Endang Kurniawan, 2009).
Melihat dari motifnya menunjukkan bahwa CSR bukanlah sebuah komitmen
yang dilakukan “sepenuh hati” oleh perusahaan. Apalagi tabiat perusahaan
pertambangan yang hanya mengejar keuntungan semata, tidak mungkin mempunyai
maksud atau tujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat, menghormati hak-hak
mereka serta tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu sangatlah tidak mungkin
untuk menuntut perusahaan agar bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan
dan sosial, karena sesungguhnya tanggungjawab perusahaan pertambangan adalah
membuat laba (mengejar keuntungan) dan masalah sosial adalah urusan Negara,
karena perusahaan sudah membayar pajak (Friedman, 1962:133).
Dari paparan tersebut diatas, apakah masih relevan tanggungjawab
perusahaan diselenggarakan dengan skema CSR, dan akankah keberadaan
perusahaan pertambangan yang terikat dengan regulasi-regulasi mampu menjalankan
kewajiban atau tanggungjawabnya yang sesuai dan tepat sasaran tanpak harus
menentukan secara sepihak dari tanggungjawabnya tersebut?
7
I.2.
Rumusan Masalah
Dengan skema Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang diselenggarakan,
apakah perusahaan pertambangan telah menunaikan tanggung jawabnya terhadap
masyarakat diwilayah pertambangan?
I.3.
Tujuan Penelitian
Sebagai respon terhadap kapitalisasi ‘tanggung jawab’ yang dideklarasikan
oleh perusahaan dengan sebutan yang mentereng—Corporate Social Resposibility —
studi ini bermaksud mengungkap motif-motif politik yang tersirat dalam suatu
praktek bisnis. Demi mempermudah para aktifis dan pejabat dalam rangka menuntut
pertanggungjawaban yang lebih proporsional, penelitian ini bermaksud untuk
mengukur ada tidaknya, dan besaran tanggung jawabnya, tanpa harus terikat pada
klaim sepihak dari perusahaan.
I.4.
Kerangka Fikir
Tesis ini dimaksudkan untuk mengkaji defisit tanggungjawab atau defisit
akuntabilitas perusahaan. Akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai kewajiban
pemegang kekuasaan untuk menjelaskan atau bertanggung jawab atas segala
tindakan mereka. "Pemegang kekuasaan" yang dimaksudkan terdiri dari kekuasaan
politik, kekuasaaan keuangan atau kekuasaan lainnya dan termasuk pejabat
pemerintahan, perusahaan swasta, lembaga keuangan internasional dan organisasi
masyarakat sipil (World Bank, 2004). Terkait dengan akuntabilitas perusahaan maka
dapat diartikan sebagai tanggungjawab perusahaan terhadap segala tindakannya,
terutama tindakan yang berdampak terhadap kerusakan ekologis. Kerusakan ekologis
8
merupakan dampak nyata terhadap lingkungan dan sosial masyarakat atas segala
aktivitas
penambangan.
Akuntabilitas
menuntut
perusahaan
agar
mampu
menjelaskan bagaimana merealisasikan kuasa / otoritas yang dimilikinya agar benarbenar bertanggungjawab terhadap kerusakan ekologis.
Keberadaan
skema
CSR
selama
ini
dimaksudkan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban perusahaan. Artinya segala bentuk program CSR yang
dilaksanakan oleh perusahaan merupakan implementasi dari tanggungjawab
perusahaan terhadap kerusakan ekologis. Sehingga defisit tanggungjawab perusahaan
ditunjukkan oleh adanya permasalahan atau kesenjangan antara pertanggungjawaban
perusahaan terhadap kerusakan ekologis dengan upaya atau komitmen perusahaan
untuk
mempertanggungjawabkan
dalam
skema
CSR.
Singkatnya,
defisit
implementasi dalam keberlanjutan pembangunan lingkungan adalah kesenjangan
antara apa yang kita dapat atau yang harus kita lakukan dalam menjaga keberlanjutan
ekologis
dengan apa yang sebenarnya dilakukan saat ini melalui praktik dan
kebijakan, dalam hal ini skema CSR yang dilakukan oleh perusahaan.( Han and
Herman, 2007).
Dalam rangka memudahkan pembaca untuk melacak dan menemukan defisit
tanggungjawab perusahaan yang diimplementasikan dalam skema CSR, perlu
kiranya disajikan dalam skema kerangka fikir dibawah ini.
9
KERANGKA FIKIR
Norma Ekologis dan Upaya Meminimalkan Resiko
- Pemberian izin
usaha
pertambangan
- Penjaminan
berlakunya
skema
pengelolaan
lingkungan
KONTRIBUSI
DEFISIT DARI
PEMERINTAH
PUSAT
- Peluang
bersembunyi
secara sistemik
dibalik
pewajiban
terhadap
perusahaan
- Indikasi
ekslusifnya
kawasan
penambangan
- Good mining
practice
- AMDAL
- Kontribusi
perusahaan
terhadap
pembangunan
ekonomi pusat &
daerah
- Upaya
pengawasan
pengelolaan
lingkungan
- Memastikan
tanggungjawab
perusahaan
terhadap
masyarakat
lingkar tambang
KONTRIBUSI
DEFISIT DARI
PEMERINTAHDAER
AH
KONTRIBUSI
DEFISIT DARI
MASYARAKAT
- Upaya
Pembebanan
tanggunjawab
ekologis kepada
perusahaan
- Indikasi tidak
berdayanya
pemerintah daerah
menertibkan
perusahaan
- Pemaknaan
bahwa CSR
merupakan
tanggungjawa
b perusahaan
terhadap
dampak
ekologis
DEFISIT
PERUSAHAAN
- Indikasi gagalnya
perusahaan dalam
mengantisipasi
dan mitigasi
dampak ekologis
- Indikasi gagalnya
perusahaan dalam
mengimplementas
ikan Good mining
practice
- Indikasi gagalnya
perusahaan dalam
pembangunan
sosial masyarakat
lingkar tambang
- Pembangunan
yang tidak
merusak nilainilai sosial dan
lingkungan
- Kontribusi
perusahaan
terhadap
pembangunan
masyarakat
lingkar
tambang
Komitmen Ekologis dan Upaya Meminimalkan Resiko
10
Logika yang tersirat dalam skema ini tidak lazim karena mainstream studi
tentang Corporate Sosial Responsibilitiy bersifat antroposentrik. Antroposentrisme
merupakan teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta ( Keraf, 2010 : 47). Selama ini literatur tentang Corporate
Sosial Responsibility hanya peduli dan mengatur hubungan atau relasi antara
manusia dengan manusia. Corporate Sosial Responsibility yang sudah diwacanakan
selama ini memiliki persoalan yang sangat mendasar karena cara dia menghitung
tanggungjawab itu hanya hubungan antara manusia dengan manusia yang dipetakan
secara politik dalam hubungan antara perusahaan dengan pemerintah pusat,
hubungan perusahaan dengan pemerintah daerah dan hubungan perusahaan dengan
masyarakat.
Padahal ada aspek yang lebih penting yang semestinya harus dilibatkan
dalam memperhitungkan tanggungjawab. Aspek atau variable penting itu adalah
ekologis, dan selama ini aspek ekologis tidak pernah dilibatkan dalam menghitung
tanggungjawab
perusahaan.
Padahal
segala
aktivitas
penambangan
pasti
berhubungan langsung bahkan berdampak pada ekologis. Tidak dilibatkannya aspek
ekologis dalam menghitung tanggunjawab perusahaan, padahal aspek ekologis
memiliki peranan yang penting dan besar terhadap ekspose resiko penambangan
menunjukkan bahwa defisit itu niscaya akan terjadi. Misalkan, ada yang menyatakan
bahwa
corporate social responsibility is a commitment to improve
community well-being through discretionary business practices and
contributions of corporate resources (Kotler and Nancy , 2005 : 23).
Atas dasar itu kemudian merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan
tanggungjawab sosial terdiri dari promosi, philanthropy (kedermawanan), community
11
volunteering, donasi, community development, community relation, government
relation, NGO relation, dll. Motif dibalik semua kegiatan itu adalah kebermanfaatan
bagi perusahaan, baik untuk meningkatkan nilai jual, memperkuat brand
posisitioning, image, mengurangi biaya operasional dan keberlanjutan dari
perusahaan itu sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa sesungguhnya Pemikiran
yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban – kewajiban ekonomis dan legal
tetapi juga kewajiban – kewajiban terhadap pihak – pihak yang berkepentingan
(stakeholders), karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh
keuntungan tanpa bantuan pihak lain.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban
moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang
saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya (Erni, 2007 : 28).
Yang lebih ekstrim lagi adalah mereka yang menganggap bahwa
sesungguhnya menager perusahaan yang merupakan agen dari pemilik perusahaanlah
yang paling bertanggungjawab terhadap segala operasi perusahaan. Adalah satu dan
hanya satu tanggungjawab sosial dari bisnis yaitu menggunakan segala sumberdaya
yang dimilikinya untuk dipergunakan dalam rangka untuk meningkatkan laba atau
keuntungan. Kalaupun ada upaya-upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis,
tentu upaya tersebut adalah bagian atau strategi untuk meningkatkan keuntungan
semata.
..there is one and only one social responsibilitiy of business – to use it
resources and engage in activites designed to increase its profits..
(Friedman,1970).
12
Mengapa aspek atau variable ekologis itu menjadi penting dan harus
diperhitungkan?. Karena norma ekologis menuntut manusia memiliki cara pandang
yang holistik dalam visi filosofis ekosentrisme tentang lingkungan. Berbeda dengan
prinsip antroposentrisme, prinsip ekosentrisme meletakkan etika pada seluruh
ekologis baik komponen biotik maupun komponen abiotik. Dan manusia dituntut
memiliki tanggungjawab moral terhadap seluruh komponen ekologis tersebut sebagai
ciptaan Tuhan yang memiliki akal. Semua orang harus menjaga dan melestarikan
lingkungan serta bertanggungjawab untuk mencegah dan memulihkan kerusakan
lingkungan. Tanggungjawab yang ditunjukkan dengan kehati-hatian dalam
mengambil tindakan yang berkaitan dengan lingkungan sebagai wujud dari semangat
untuk menjaga, memelihara, merawat, melindungi dan melestarikannya sehingga
tercapai keseimbangan antar komponen ekologis (Keraf, 2010: 166).
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada upaya-upaya sistematis yang
bertujuan untuk melakukan eksploitasi terhadap lingkungan. Pembangunan dijadikan
sebagai alasan, karena sebagain orang meyakini bahwa pembangunan merupakan
suatu
kemestian,
dan
pembangunan
merupakan
cara
untuk
mewujudkan
kesejahteraan. Ironisnya, dibalik doktrin pembangunan menimbulkan persoalan yang
sangat mendasar. Misalkan, terjadinya kerusakan lingkungan, menyusut dan
habisnya sumberdaya alam karena praktek eksploitatif yang sangat massif dan
akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan terhadap lingkungan. Pada akhirnya,
dampak terhadap kerusakan ekologis harus dikontrol dan dikendalikan dengan biaya
mahal. Upaya kontrol terhadap kerusakan lingkungan dengan membebankan kepada
siapa saja yang melakukan perusakan maka dialah yang paling bertanggungjawab
terhadap pemulihannya. Polluter pay principle yang menegaskan bahawa siapa saja
13
yang melakukan kegiatan yang berkaitan langsung dan mengekspose resiko yang
penting dan besar terhadap lingkungan maka dialah yang paling bertanggungjawab
untuk membayar kerusakan tersebut (Adler, 1995). Disamping itu ada pula
paradigma yang mencoba untuk memberikan keseimbangan terhadap pembangunan.
Keseimbangan antara pemenuhan profit, pembangunan sosial dan keberlanjutan
lingkungan. Adalah Pembangunan Berkelanjutan sebagai jalan tengah sekaligus
upaya untuk meminimalkan resiko terhadap ekologis (Siahaan, 2004: 143).
Ketika aspek ekologis tidak diperhitungkan maka dari awal ada defisit yang
diam-diam disembunyikan. Ketika aspek ekologis harus diperhitungkan, sebenarnya
ada rantai sebab akibat yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antara norma
ekologis dengan komitmen ekologis, dan mengindikasikan bahwa semua fihak
memindahkan tanggungjawab defisit kepada perusahaan. Kesenjangan antara norma
ekologis dan komitmen ekologis berawal dari banyaknya persoalan eksploitasi
sumberdaya alam yang dikompromikan. Kompromi yang berujung pada pembenaran
kegiatan eksploitasi karena diatur dengan norma-norma yang dianggap mampu untuk
menertibkan perusahaan agar dalam setiap aktivitasnya tidak merusak lingkungan
atau kerusakan yang ditimbulkan sangat minim. Norma ekologis merupakan aturanaturan normatif yang mengatur segala usaha atau kegiatan yang mengespose resiko
terhadap ekologis. Sedangkan komitmen ekologis merupakan upaya sadar yang
dilakukan oleh perusahaan dalam rangka meminimalisir resiko lingkungan dan
mengganti segala kerusakan lingkungan dengan melakukan pembangunan sosial dan
pemulihan lingkungan.
Kompromistisnya norma ekologis dan pembenaran terhadap praktek-praktek
penambangan yang berfokus pada peningkatan keuntungan ekonomi semata, tentu
14
akan melahirkan kesenjangan antara norma ekologis dan komitmen ekologis. Dan
kesenjangan ini tentu akan memperbesar defisit yang akan terjadi dalam setiap proses
eksploitasi sumberdaya mineral. Karena sesungguhnya tabiat dari perusahaan
pertambangan adalah profit oriented, dan bekerjanya perusahaan pertambangan
dalam rangka mewujudkan kepentingannya cenderung mengabaikan norma ekologis.
Sehingga norma yang diharapkan mampu untuk menertibkan praktek-praktek
eksploitasi ternyata tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Terjadinya kesenjangan atau defisit tersebut diindikasikan oleh ada banyak
fihak yang terlibat dan fihak-fihak tersebut tidak bersungguh-sungguh dalam
mengemban komitmen terhadap ekologis. Fihak-fihak tersebut terdiri dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat diwilayah penambangan dan
tentunya perusahaan yang segala aktivitasnya berhubungan langsung dengan
ekologis. Kalau kita cermati bahwa sesungguhnya semua fihak berperan dalam
memberikan kontribusi defisit. Pertama, kontribusi defisit dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusat adalah fihak yang paling bertanggungjawab terhadap pengelolaan
sumberdaya mineral. Termasuk pemberian izin usaha penambangan kepada
perusahaan multinasional yang disertakan dengan kewajiban-kewajiban perlindungan
ekologis.
Pemerintah
pusat
merasa
tanggungjawabnya
selesai
ketika
tanggungjawabnya dialihkan kepada perusahaan. Kalaulah pemerintah pusat benarbenar bertanggungjawab terhadap lingkungan, maka seharusnya pemerintah pusat
mampu menegakkan regulasi tentang lingkungan. Tetapi pemerintah cenderung tidak
berbuat malah meminta perusahaan membayar dengan CSR. Sehingga pemerintah
cederung bersembunyi dibalik pewajiban pelaksanaan CSR oleh perusahaan
sekaligus membebankan tanggungjawabnya kepada perusahaan.
15
Kedua, kontribusi defisit dari perusahaan. Bagaimanapun juga kegiatan
perusahaan berkaitan langsung dengan ekologi. Sehingga dalam setiap aktivitasnya
dibebani dengan aturan-aturan supaya ekspose terhadap resiko menjadi minim.
Perusahaan dituntut agar setiap operasinya melakukan praktek penambangan yang
baik (good mining practice). Harapannya dengan good mining practice akan
menjamin keberlanjutan ekologi. Perusahaan juga diwajibkan untuk melakukan
pemetaan terhadap segala dampak besar dan penting dari setiap aktivitas yang
terdokumentasi dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dokumen
AMDAL diharapkan mampu untuk pemperkirakan dampak yang akan terjadi, serta
penyiapkan langkah-langkah atau tindakan-tidakan pencegahan dan pemulihan
dampak.Namun persoalannya muncul ketika perusahaan tidak mampu atau bahkan
abai terhadap norma ekologis atau aturan-aturan yang mengatur segala aktivitasnya.
Padahal seharusnya ada ataupun tidak ada kewajiban dengan pemerintah dia juga
harus taat dan patuh terhadap kaidah ekologi.
Ketiga, kontribusi defisit dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah terobsesi
mengejar keuntungan dengan keberadaan perusahaan. Persoalan ekologis tidak
menjadi kehirauan bahkan ada upaya-upaya pembebanan tanggungjawab ekologis
terhadap perusahaan. Ketiga, kontribusi defisit dari masyarakat. Sama halnya dengan
pemerintah daerah, masyarakat yang berada diwilayah pertambangan menuntut
kontribusi dari perusahaan. Persoalan tanggungjawab lingkungan dan sosial
dimaknai sebagai dampak yang mampu teratasi dengan program-program CSR
perusahaan.
Sebenarnya, bersamaan dengan beroperasinya perusahaan pertambangan ada
defisit ekologis yang pasti akan terjadi. Sehingga perusahaan harus menyiapkan
16
segala daya dan upaya untuk menanggulangi defisit tersebut. Apakah dalam bentuk
pencegahan dampak atau membayar kompensasi atas dampak yang tidak mungkin
dapat dipulihkan seutuhnya. Namun disamping itu, defisit akan bertambah besar
karena adanya pembebanan defisit dari fihak lain kepada perusahaan. Pembebanan
ini dikarenakan oleh perusahaan dianggap memiliki kekuatan finansial yang besar
dan
dengan
dana
jumlah
besar
itu
perusahaan
dinilai
mampu
untuk
bertanggungjawab. Seolah-olah besarnya ukuran defisit harus mampu ditanggung
oleh perusahaan dalam skema CSR. Dan tentunya dalam kondisi semacam ini,
sehebat apapun perusahaan itu bekerja mustahil bisa untuk bertanggungjawab.
I.5.
Metode Penelitian
Supaya mendapatkan pemaknaan yang mendalam serta keluasan informasi
dalam rangka mengungkapkan praktik-praktik pertanggungjawaban perusahaan
dalam skema CSR, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif ( Sugiyono,
2010: 205). Mengingat bahwa cakupan CSR yang dipraktekkan oleh perusahaan
pertambangan sangat luas dan kecendrungan terdapat karakteristik yang berbeda
antara pelaksanaan CSR di tempat atau daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya, maka penelitian ini dilakukan dalam bentuk studi kasus (Case Study)
(Bogdon and Tailor, 1990: 3) pada perusahaan pertambangan PT Newmont Nusa
Tenggara yang berada di kecamatan Jereweh, Maluk, Sekongkang Kabupaten
Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret – Juni 2011. Untuk
mendapatkan data dan informasi yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian
secara obyektif, maka instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah
17
wawancara mendalam (in-dept interview), Pengamatan (observation) dan dilengkapi
dengan studi dokumen (Cresswel, 1996 : 145). Banyak persoalan yang menjadi
pengamatan dalam melakukan observasi. Dan memang observasi yang dilakukan
tidak terstruktur dan sistematis. Apalagi perkembangan kondisi sosial masyarakat
diwilayah
pertambangan
yang
sangat
dinamis,
menyebabkan
terjadinya
pengembangan-pengembangan pada saat observasi sedang dilakukan. Dalam
observasi ini, sebenarnya fokus pada dua hal besar yaitu aktivitas penambangan yang
dilakukan oleh PT NNT dan gejolak sosial yang telah terjadi dan sedang terjadi di
wilayah pertambangan PT NNT, serta praktik-praktik CSR yang diselenggarakan
oleh perusahaan.
Dalam instrument wawancara mendalam, peneliti menggunakan teknik
pengambilan data secara Purposive sampling, yang didasarkan atas pertimbangan
tertentu. Mengingat persoalan CSR perusahaan pertambangan merupakan hal yang
cukup sensitif, serta memudahkan peneliti untuk menelusuri praktik CSR secara
menyeluruh dan mendalam. Adapun informan atau nara sumber dalam penelitian ini
adalah :
No
Nama
Aktivitas/pekerjaan
1 Bapak syafii
2 Pak. A. Rahman
3 Pak Ahmad Yani
Ketua DPRD KSB
Kepala Desa Beru
Camat Jereweh
4 Pak Dedi Kuswanto
5 Pak Mas’ud yusuf
Kepala desa belo
Kepala Desa Goa
6
7
8
9
10
11
Pak jarot
Pak I Made Budi Arte
Pak nugroho
Pak mahfi
Zulkifli Muhadli
Abidin Nasar
Man. Comrel PT NNT
Camat maluk
Man. Renstra PT NNT
Man. Govrel PT NNT
Bupati KSB
Wakil DPRD KSB
18
No
Nama
Aktivitas/pekerjaan
12
13
14
15
16
17
18
19
Pak Saleh
Wakil DPRD KSB
Pak ikhlasul jamal
Man. LSM & NGO PT NNT
Pak fauzan
Staff COMDEV
Pak amril
Staff Renstra
Pak nasir
DPRD KSB
Anggota komisi 1
DPRD KSB
Pak wagimin
Man. Comdev PT NNT
Pak Yuyud
Direktur YEPSB
Tabel I. 1 : Daftar Informan / Nara Sumber
Dalam wawancara, ada persoalan yang peneliti hadapi yaitu ketika
wawancara diruangan Komisi 1 DPRD. Ketika sedang wawancara dengan ketua
Komisi, anggota komisi yang lainnya ikut nimbrung. Walaupun saling melengkapi
dan menguatkan data dan argumentasi, peneliti sulit kemudian untuk memastikan
siapa sesungguhnya pemilik sah dari argument tersebut. Begitupun ketika wawancara
dengan Pak Abidin Nazar di rumah makan. Ketika sedang wawancara sekitar 30
menit, teman beliau yang sesama anggota dewan datang dan ikut nimbrung juga.
Untuk melengkapi data observasi dan wawancara, peneliti juga telah
melakukan pengumpulan data dengan dokumen. Studi dokumentasi yang dilakukan
oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan data-data hasil penelitian sebelumnya
yang terkait dengan persoalan akuntabilitas perusahaan dan praktek-praktek CSR
perusahaan. Dokumen-domumen tersebut terdiri dari laporan-laporan penelitian
sebelumnya yang berkaitan dengan tesis ini seperti thesis yang menyoroti kerjasama
antara pemerintah daerah dengan PT NNT dalam pelaksanaan CSR perusahaan,
jurnal tentang praktik-prakti CSR PT NNT, laporan resmi CRR (Community
Relationship Review) atau evaluasi hubungan masyarakat PT NNT yang dilakukan
pada
tahun
2007,
dokumen-dokumen
yang
menjadi
dasar
beroperasinya
pertambangan PT NNT (Dokumen Kontrak Karya dan dokumen AMDAL).
19
Disamping itu, juga terdapat dokumen-dokumen tentang data produksi, data royalty /
kewajiban-kewajiban keuangan berdasarkan pasal 13 Kontrak Karya generasi IV,
data ekspor konsentrat dan laporan pelaksanaan Community Development.
Analisa data dilakukan dengan menggunakan cara deskriftif-analitis melalui
pemetaan atau mapping data yang dibutuhkan, menampilkan inti atau core suarasuara informan, yang kemudian diinterpretasikan dan diekplanasi dengan model
intergratif yaitu menyatukan data sekunder dan dan primer yang dilakukan langsung
dilapangan. Tahapan analisia data dibagi dalam tiga tahapan yaitu reduksi data,
penyajian data, penarikan kesimpulan. Miles dan Huberman (dikutip oleh Sugiyono,
2010: 246).
1.6.
Sistematika Penulisan
Dalam rangka melacak jawaban terhadap pertayaan akan menggunakan alur
berfikir yang deduktif. Hal ini akan disajikan pembahasan dalam bab berikut.
Kajian ini mengajak untuk memperhitungkan ekologi bukan kepentingan
politik-ekonomi segabai pertimbangan penting. Untuk mendetailkan dan menguatkan
pertimbangan ekologis. Sehingga Bab 2 ditujukan untuk mendetailkan proposisi
teoritik yang telah disajikan pada bab sebelumnya (bab I). Dari telaah ini terlihat
bahwa acuan-acuan yang selama ini dirumuskan dalam mengukur tanggungjawab
sangat abai terhadap pertimbangan ekologis. Kalau norma yang dijadikan acuan
untuk menuntut pun sudah kompromistik, maka resiko ekologis yang diakibatkan
adalah keniscayaan yang tinggal kita tunggu. Tanggung jawab yang dirumuskan di
sini memang secara eksklusif didedikasikan untuk kepentingan masyarakat sekitar,
20
dan tidak pula secara spesifik dirancang untuk mengatasi persoalan-persoalan
lingkungan hidup.
Kalau pada tataran normatif acuannya sudah kompromistis, maka bisa
ditebak bagaimana pemberlakuan acuan normatif tersebut dalam praktek. Sehingga
bab 3 menyajikan telaah praktek-praktek penambangan, yang didasarkan pada
aturan-aturan atau instrumen hukum yang mengikat bekerjanya perusahaan
pertambangan. Dengan melakukan telaah kritis terhadap praktek penambangan yang
akan menunjukkan seberapa besar tanggungjawab yang seharusnya dijalankan atau
dilakukan oleh perusahaan atas segala tindakannya telah terkompromikan.
Bab 4 menyajikan assessment sederhana tentang pelaksanaan tanggungjawab
yang dilakukan oleh perusahan Newmont dalam skema CSR. Disinilah kita akan
melihat apakah CSR akan mampu mengcover pertanggungjawaban perusahaan atas
dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas penambangan. Dalam hal ini, apakah
CSR telah mampu melakukan pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan atau
kompensasi-kompensasi
terhadap
dampak
lingkungan
jangka
panjang.
Ketidakmampuan atau gagalnya CSR dalam mencakup atau mewujudkan
pertanggungjawabannya, maka itulah yang dimaksudkan dengan defisit.
Telaah diakhiri dengan kesimpulan. Bab 5 menyajikan hal itu.
21
Download