BAB I MELACAK TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN I.1. Latar belakang masalah Ini adalah studi tentang defisit akuntabilitas perusahaan pertambagan. Defisit yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara besarnya akuntabilitas atau pertanggungjawaban perusahaan pertambangan dengan upaya atau komitmen perusahaan untuk mempertangungjawabkan segala aktivitasnya dalam skema Corporate Sosial Responsibility (CSR). Defisit yang dibahas dalam kajian ini tidaklah mudah dimengerti, karena semua orang membayangkan betapa strategisnya peran perusahaan pertambangan. Orang kebanyakan berfikir, dengan beroperasinya perusahaan pertambangan maka serta merta akan membuka peluang-peluang untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tidak mudah menunjukkan bahwa romantisasi peran strategis ini membuka kecerobohan. Romantisasi peran strategis tersebut menjadikan banyak orang silau, dan pada gilirannya tidak sanggup secara jernih menemukan kealphaan dalam menimbang pertanggungjawaban perusahaan perusahaan pertambangan mengklaim pertambangan. Apalagi, ketika bahwa mereka telah menjalankan tanggungjawabnya dalam skema CSR, semua orang semakin terlena dan tidak menemukan defisit tanggungjawab perusahaan tersebut. Pada akhirnya dengan CSR banyak orang terkelabuhi dengan kalimat pertanggungjawaban perusahaan. Bahwa, dengan CSR perusahaan tidak menjadi pendosa atas apa yang telah mereka perbuat. Ini terjadi karena semua orang sudah dinormalkan untuk berfikir naif. Seolaholah monopoli aset Negara kepada perusahaan itu merupakan hal yang tidak 1 problematik. Seolah-olah persoalan sosial dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari monopoli itu, kemudian ditanggung oleh perusahaan. Sikap ini menimbulkan dua persoalan yang paling mendasar. Pertama, ada kelompok (kapitalis) yang tiba-tiba mendapatkan hak istimewa dihadapan yang lain untuk mengekstraksi sumberdaya mineral bijih dan tidak merasa bermasalah karena telah dikukuhkan oleh Negara dengan ijin-ijinnya. Betapa tidak, pengelolaan sumberdaya alam (mineral) terjadi atas perjanjian atau kesepakatan antara pemerintah pusat yang mewakili dan mengatasnamakan rakyat dengan perusahaan pertambangan (Multinasional Corporation) yang memiliki modal dalam skala besar tanpa melibatkan masyarakat yang berada didaerah tempat sumberdaya mineral tersebut. Dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara telah menjadikan pemilik modal (perusahaan asing) sebagai sekutu untuk mengekstrak sumberdaya mineral. Tidak hanya itu, persekongkolan Negara dan modal asing dalam dunia pertambangan telah menyingkirkan atau memarginalkan rakyat dari haknya atas sumberdaya alam yang merupakan warisan dari pendahulu mereka. Kedua, para pemilik modal yang telah melakukan ekstraksi tentunya mendapatkan manfaat berupa uang dalam jumlah yang luar biasa besar dalam jangka waktu tertentu kemudian dengan mudah pergi begitu saja ketika sumberdaya mineral tersebut telah habis dikuras. Mereka tidak merasa terbebani setelah mengatakan bahwa kami telah bertanggungjawab dengan CSR. Banyaknya orang yang terkecoh atau berhasil dikecohkan oleh perusahaan yang bersekongkol dengan pemerintah kemudian mereka merasa menjadi orang yang paling berjasa dan bertanggungjawab, padahal mereka telah mengangkangi hak-hak orang banyak kemudian meninggalkan masalah setelah itu. 2 Sebagai ilustrasi, perusahaan pertambangan seperti PT Freeport yang mengklaim bahwa mereka telah menjalankan tanggungjawab sosialnya (CSR) dalam rangka menjaga keseimbangan antara pencapaian keuntungan (profit), perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial. PT Freeport Indonesia mengklaim telah menyediakan layanan medis bagi masyarakat Papua melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di bidang pendidikan, PT Freeport menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar Papua, dan bekerja sama dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-gedung dan sarana sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program pengembangan wirausaha seperti di Komoro dan Timika. Di sisi lain terungkap bahwa sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton dan diakhir masa penambangan jumlah total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Limbah-limbah tersebut dari Grashberg ditimbun dilembah Carstenz (5%) dan lembah Wanagon (95%), dimana pada lembah Wanagon terdapat danau Wanagon yang memiliki nilai sangat besar bagi suku Amungme.Ternyata masyarakat yang berada di sekitar lingkar pertambangan berada dalam posisi sangat dirugikan oleh aktivitas penambangan ini. Masyarakat lingkar tambang dihadapkan pada situasi yang ironis. Mereka lahir dan besar dikawasan operasi perusahaan itu, tapi hanya menjadi budak dan kuli bangunan, mengais dan berharap hidup dari limbah-limbah perusahaan. Tidak hanya itu mereka juga harus menanggung dan menikmati kerusakan limbah perusahan yang mengancam masa depan anak keturunan mereka. (Walhi, 2006). Program-program favorit CSR tidak lepas dari agenda-agenda pelayanan sosial, pendidikan, penelitian, kesehatan dan bantuan becana. Anehnya, masalah 3 sesungguhnya yang ditimpakan oleh perusahaan pertambangan terhadap penduduk lokal dan lingkungan tidak ada hubungan dengan upaya CSR yang dipromosikan oleh perusahaan. Sehingga, patut dipertanyakan apakah perusahaan ekstraksi yang berorientasi pada usaha memaksimalkan keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk meredistribusi keuntungan-keuntungannya dalam membangun masyarakat lokal dan perlindungan terhadap lingkungan. Sangat sulit untuk dipahami kalau lembaga kapitalistik melakukan kegiatan-kegiatan nir-laba sebagai manifestasi tanggungjawab mereka terhadap masyarakat lokal yang hidup disekitar perusahaan. Perlu kiranya kita mendudukkan persoalan bahwa sesungguhnya operasi penambangan, apalagi dalam skala besar, tentu saja telah mendapatkan persetujuan Negara. Negara merupakan institusi yang paling bertanggungjawab terhadap segala aktivitas eksploitasi sumberdaya alam khususnya di dunia pertambangan, termasuk yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan penambangan. Jelasnya, melekat dengan pemberian ijin melakukan aktivitas penambangan, Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut memiliki dampak negatif yang minim. Namun pembiaran terhadap aktivitas penambangan berbanding lurus dengan mengalirnya dampak negatif dari aktifitas penambangan yang tidak bisa dibiarkan. Beroperasinya perusahaan pertambangan dengan menggunakan alat-alat produksi mereka seperti power shovel, houl truck yang memiliki kapasitas 40 sampai 50 ton dalam sekali angkut bekerja tiada henti selama 24 jam setiap harinya dan 7 hari dalam setiap minggunya untuk mengangkut dan memindahkan mineral bijih. Misi mereka adalah memenuhi kebutuhan pasar, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan yang sangat besar. 4 Disisi lain, berlangsungnya operasi penambangan juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap masalah sosial dan lingkungan. Kondisi ini diperparah lagi oleh aktivitas eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan yang cenderung mengabaikan dampak yang ditimbulkan sehingga melahirkan permasalahan dalam setiap operasinya. Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan bisa langsung dirasakan, seperti penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya, berubahnya fungsi lahan (termasuk penyempitan lahan pertanian), berkurangnya debit air sungai dan air tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah. Di samping itu, muncul pula masalah sosial yang menimbulkan gejolak yang sangat kompleks dan menjadi masalah yang belum terpecahkan. Dampak yang paling merisaukan adalah dampak buruk berantai dalam jangka panjang berupa rusaknya tatanan sosial dan berubahnya derajatkualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya merugikan generasi masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang (Zulkieflimansyah, 2007). Pembiaran Negara terhadap aktivitas penambangan bukan hanya menunjukkan ketidakberesan kerjanya melainkan juga menimbulkan konflik di area penambangan. Untuk itu, pengkajian peran-peran strategis negara yang dengan mudah bersembunyi dibalik doktrin pembangunan dan kepentingan nasional, memperjuangkan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Perlu pengkajian bagaimana negara menjalankan fungsinya dalam menjamin kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya tanpa mengabaikan dampak yang terjadi dilingkar aktivitas penambangan. Apalagi, hal itu telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah dan mempersempit ruang-ruang bagi masyarakat lokal untuk 5 mendapatkan hak-hak mereka (Jatam, 2009). Perlu ditunjukkan mengapa pemerintah dituntut tegas dalam mengambil langkah-langkah hukum yang didalamnya mengatur tentang kewajiban-kewajiban sosial dan lingkungan bagi perusahaan. Yang tidak kalah pentingnya, melacak kesungguhan pemerintahan dalam membebani kewajiban pada perusahaan pertambangan yang diterjemahkan oleh perusahaan pertambangan sebagai tanggungjawab yang diimplemetasikan dalam skema CSR. (Undang- undang No. 40/2007 tentang ”Perseroan Terbatas”) Pengamatan sementara menunjukkan ketika membebani kewajiban pada perusahaan untuk menjalankan CSR, seolah-olah negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan yang berada di wilayah pertambangan. Jelasnya Pemerintah secara sistematik bersembunyi dari tanggungjawab dengan mewajibkan CSR pada perusahaan pertambangan. Dalam konteks ini, pemerintah serta merta menjadikan konsep CSR menjadi sesuatu yang relevan dan penting atau harus dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap dampak sosial dan lingkungan. Sama halnya dengan perusahaan-perusahaan pertambangan. Mereka menganggap bahwa segala defisit yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan mampu dibayarkan dengan program-program CSR. Padahal tanggungjawab perusahaan selama ini yang diimplementasikan dalam skema CSR, awal mulanya merupakan sikap etis dari pemilik perusahaan terhadap masyarakat yang ada disekitar wilayah operasi penambangan. Skema CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan kerap menuai kritik dalam pelaksanaannya. CSR cenderung hanya menjadi alat propaganda perusahan dalam meningkatkan kepercayaan pasar dan untuk mendapatkan ijin operasi dari masyarakat lingkar tambang. CSR sering 6 menjadi lip service, dan pada saat yang sama mengabaikan kewajiban substansi perusahaan. Ini terlihat dari motif keterlibatan perusahaan dalam CSR yaitu, motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Yang jelas, perusahaan memperoleh sejumlah keuntungan justru dengan cara mendeklarasikan tanggungjawab sosialnya. Skema CSR merupakan alat yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mempolitisasi tanggungjawab perusahaan, dan tidak menutup kemungkinan bahwa CSR merupakan kamuflase dari perusahaan dan mereka mengkalim bahwa dengan skema CSR mereka telah menjalankan tanggungjawabnya (Endang Kurniawan, 2009). Melihat dari motifnya menunjukkan bahwa CSR bukanlah sebuah komitmen yang dilakukan “sepenuh hati” oleh perusahaan. Apalagi tabiat perusahaan pertambangan yang hanya mengejar keuntungan semata, tidak mungkin mempunyai maksud atau tujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat, menghormati hak-hak mereka serta tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu sangatlah tidak mungkin untuk menuntut perusahaan agar bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan dan sosial, karena sesungguhnya tanggungjawab perusahaan pertambangan adalah membuat laba (mengejar keuntungan) dan masalah sosial adalah urusan Negara, karena perusahaan sudah membayar pajak (Friedman, 1962:133). Dari paparan tersebut diatas, apakah masih relevan tanggungjawab perusahaan diselenggarakan dengan skema CSR, dan akankah keberadaan perusahaan pertambangan yang terikat dengan regulasi-regulasi mampu menjalankan kewajiban atau tanggungjawabnya yang sesuai dan tepat sasaran tanpak harus menentukan secara sepihak dari tanggungjawabnya tersebut? 7 I.2. Rumusan Masalah Dengan skema Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang diselenggarakan, apakah perusahaan pertambangan telah menunaikan tanggung jawabnya terhadap masyarakat diwilayah pertambangan? I.3. Tujuan Penelitian Sebagai respon terhadap kapitalisasi ‘tanggung jawab’ yang dideklarasikan oleh perusahaan dengan sebutan yang mentereng—Corporate Social Resposibility — studi ini bermaksud mengungkap motif-motif politik yang tersirat dalam suatu praktek bisnis. Demi mempermudah para aktifis dan pejabat dalam rangka menuntut pertanggungjawaban yang lebih proporsional, penelitian ini bermaksud untuk mengukur ada tidaknya, dan besaran tanggung jawabnya, tanpa harus terikat pada klaim sepihak dari perusahaan. I.4. Kerangka Fikir Tesis ini dimaksudkan untuk mengkaji defisit tanggungjawab atau defisit akuntabilitas perusahaan. Akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai kewajiban pemegang kekuasaan untuk menjelaskan atau bertanggung jawab atas segala tindakan mereka. "Pemegang kekuasaan" yang dimaksudkan terdiri dari kekuasaan politik, kekuasaaan keuangan atau kekuasaan lainnya dan termasuk pejabat pemerintahan, perusahaan swasta, lembaga keuangan internasional dan organisasi masyarakat sipil (World Bank, 2004). Terkait dengan akuntabilitas perusahaan maka dapat diartikan sebagai tanggungjawab perusahaan terhadap segala tindakannya, terutama tindakan yang berdampak terhadap kerusakan ekologis. Kerusakan ekologis 8 merupakan dampak nyata terhadap lingkungan dan sosial masyarakat atas segala aktivitas penambangan. Akuntabilitas menuntut perusahaan agar mampu menjelaskan bagaimana merealisasikan kuasa / otoritas yang dimilikinya agar benarbenar bertanggungjawab terhadap kerusakan ekologis. Keberadaan skema CSR selama ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan. Artinya segala bentuk program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan merupakan implementasi dari tanggungjawab perusahaan terhadap kerusakan ekologis. Sehingga defisit tanggungjawab perusahaan ditunjukkan oleh adanya permasalahan atau kesenjangan antara pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan ekologis dengan upaya atau komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dalam skema CSR. Singkatnya, defisit implementasi dalam keberlanjutan pembangunan lingkungan adalah kesenjangan antara apa yang kita dapat atau yang harus kita lakukan dalam menjaga keberlanjutan ekologis dengan apa yang sebenarnya dilakukan saat ini melalui praktik dan kebijakan, dalam hal ini skema CSR yang dilakukan oleh perusahaan.( Han and Herman, 2007). Dalam rangka memudahkan pembaca untuk melacak dan menemukan defisit tanggungjawab perusahaan yang diimplementasikan dalam skema CSR, perlu kiranya disajikan dalam skema kerangka fikir dibawah ini. 9 KERANGKA FIKIR Norma Ekologis dan Upaya Meminimalkan Resiko - Pemberian izin usaha pertambangan - Penjaminan berlakunya skema pengelolaan lingkungan KONTRIBUSI DEFISIT DARI PEMERINTAH PUSAT - Peluang bersembunyi secara sistemik dibalik pewajiban terhadap perusahaan - Indikasi ekslusifnya kawasan penambangan - Good mining practice - AMDAL - Kontribusi perusahaan terhadap pembangunan ekonomi pusat & daerah - Upaya pengawasan pengelolaan lingkungan - Memastikan tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat lingkar tambang KONTRIBUSI DEFISIT DARI PEMERINTAHDAER AH KONTRIBUSI DEFISIT DARI MASYARAKAT - Upaya Pembebanan tanggunjawab ekologis kepada perusahaan - Indikasi tidak berdayanya pemerintah daerah menertibkan perusahaan - Pemaknaan bahwa CSR merupakan tanggungjawa b perusahaan terhadap dampak ekologis DEFISIT PERUSAHAAN - Indikasi gagalnya perusahaan dalam mengantisipasi dan mitigasi dampak ekologis - Indikasi gagalnya perusahaan dalam mengimplementas ikan Good mining practice - Indikasi gagalnya perusahaan dalam pembangunan sosial masyarakat lingkar tambang - Pembangunan yang tidak merusak nilainilai sosial dan lingkungan - Kontribusi perusahaan terhadap pembangunan masyarakat lingkar tambang Komitmen Ekologis dan Upaya Meminimalkan Resiko 10 Logika yang tersirat dalam skema ini tidak lazim karena mainstream studi tentang Corporate Sosial Responsibilitiy bersifat antroposentrik. Antroposentrisme merupakan teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta ( Keraf, 2010 : 47). Selama ini literatur tentang Corporate Sosial Responsibility hanya peduli dan mengatur hubungan atau relasi antara manusia dengan manusia. Corporate Sosial Responsibility yang sudah diwacanakan selama ini memiliki persoalan yang sangat mendasar karena cara dia menghitung tanggungjawab itu hanya hubungan antara manusia dengan manusia yang dipetakan secara politik dalam hubungan antara perusahaan dengan pemerintah pusat, hubungan perusahaan dengan pemerintah daerah dan hubungan perusahaan dengan masyarakat. Padahal ada aspek yang lebih penting yang semestinya harus dilibatkan dalam memperhitungkan tanggungjawab. Aspek atau variable penting itu adalah ekologis, dan selama ini aspek ekologis tidak pernah dilibatkan dalam menghitung tanggungjawab perusahaan. Padahal segala aktivitas penambangan pasti berhubungan langsung bahkan berdampak pada ekologis. Tidak dilibatkannya aspek ekologis dalam menghitung tanggunjawab perusahaan, padahal aspek ekologis memiliki peranan yang penting dan besar terhadap ekspose resiko penambangan menunjukkan bahwa defisit itu niscaya akan terjadi. Misalkan, ada yang menyatakan bahwa corporate social responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources (Kotler and Nancy , 2005 : 23). Atas dasar itu kemudian merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan tanggungjawab sosial terdiri dari promosi, philanthropy (kedermawanan), community 11 volunteering, donasi, community development, community relation, government relation, NGO relation, dll. Motif dibalik semua kegiatan itu adalah kebermanfaatan bagi perusahaan, baik untuk meningkatkan nilai jual, memperkuat brand posisitioning, image, mengurangi biaya operasional dan keberlanjutan dari perusahaan itu sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa sesungguhnya Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban – kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban – kewajiban terhadap pihak – pihak yang berkepentingan (stakeholders), karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan tanpa bantuan pihak lain.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya (Erni, 2007 : 28). Yang lebih ekstrim lagi adalah mereka yang menganggap bahwa sesungguhnya menager perusahaan yang merupakan agen dari pemilik perusahaanlah yang paling bertanggungjawab terhadap segala operasi perusahaan. Adalah satu dan hanya satu tanggungjawab sosial dari bisnis yaitu menggunakan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk dipergunakan dalam rangka untuk meningkatkan laba atau keuntungan. Kalaupun ada upaya-upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis, tentu upaya tersebut adalah bagian atau strategi untuk meningkatkan keuntungan semata. ..there is one and only one social responsibilitiy of business – to use it resources and engage in activites designed to increase its profits.. (Friedman,1970). 12 Mengapa aspek atau variable ekologis itu menjadi penting dan harus diperhitungkan?. Karena norma ekologis menuntut manusia memiliki cara pandang yang holistik dalam visi filosofis ekosentrisme tentang lingkungan. Berbeda dengan prinsip antroposentrisme, prinsip ekosentrisme meletakkan etika pada seluruh ekologis baik komponen biotik maupun komponen abiotik. Dan manusia dituntut memiliki tanggungjawab moral terhadap seluruh komponen ekologis tersebut sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki akal. Semua orang harus menjaga dan melestarikan lingkungan serta bertanggungjawab untuk mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan. Tanggungjawab yang ditunjukkan dengan kehati-hatian dalam mengambil tindakan yang berkaitan dengan lingkungan sebagai wujud dari semangat untuk menjaga, memelihara, merawat, melindungi dan melestarikannya sehingga tercapai keseimbangan antar komponen ekologis (Keraf, 2010: 166). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada upaya-upaya sistematis yang bertujuan untuk melakukan eksploitasi terhadap lingkungan. Pembangunan dijadikan sebagai alasan, karena sebagain orang meyakini bahwa pembangunan merupakan suatu kemestian, dan pembangunan merupakan cara untuk mewujudkan kesejahteraan. Ironisnya, dibalik doktrin pembangunan menimbulkan persoalan yang sangat mendasar. Misalkan, terjadinya kerusakan lingkungan, menyusut dan habisnya sumberdaya alam karena praktek eksploitatif yang sangat massif dan akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan terhadap lingkungan. Pada akhirnya, dampak terhadap kerusakan ekologis harus dikontrol dan dikendalikan dengan biaya mahal. Upaya kontrol terhadap kerusakan lingkungan dengan membebankan kepada siapa saja yang melakukan perusakan maka dialah yang paling bertanggungjawab terhadap pemulihannya. Polluter pay principle yang menegaskan bahawa siapa saja 13 yang melakukan kegiatan yang berkaitan langsung dan mengekspose resiko yang penting dan besar terhadap lingkungan maka dialah yang paling bertanggungjawab untuk membayar kerusakan tersebut (Adler, 1995). Disamping itu ada pula paradigma yang mencoba untuk memberikan keseimbangan terhadap pembangunan. Keseimbangan antara pemenuhan profit, pembangunan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Adalah Pembangunan Berkelanjutan sebagai jalan tengah sekaligus upaya untuk meminimalkan resiko terhadap ekologis (Siahaan, 2004: 143). Ketika aspek ekologis tidak diperhitungkan maka dari awal ada defisit yang diam-diam disembunyikan. Ketika aspek ekologis harus diperhitungkan, sebenarnya ada rantai sebab akibat yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antara norma ekologis dengan komitmen ekologis, dan mengindikasikan bahwa semua fihak memindahkan tanggungjawab defisit kepada perusahaan. Kesenjangan antara norma ekologis dan komitmen ekologis berawal dari banyaknya persoalan eksploitasi sumberdaya alam yang dikompromikan. Kompromi yang berujung pada pembenaran kegiatan eksploitasi karena diatur dengan norma-norma yang dianggap mampu untuk menertibkan perusahaan agar dalam setiap aktivitasnya tidak merusak lingkungan atau kerusakan yang ditimbulkan sangat minim. Norma ekologis merupakan aturanaturan normatif yang mengatur segala usaha atau kegiatan yang mengespose resiko terhadap ekologis. Sedangkan komitmen ekologis merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka meminimalisir resiko lingkungan dan mengganti segala kerusakan lingkungan dengan melakukan pembangunan sosial dan pemulihan lingkungan. Kompromistisnya norma ekologis dan pembenaran terhadap praktek-praktek penambangan yang berfokus pada peningkatan keuntungan ekonomi semata, tentu 14 akan melahirkan kesenjangan antara norma ekologis dan komitmen ekologis. Dan kesenjangan ini tentu akan memperbesar defisit yang akan terjadi dalam setiap proses eksploitasi sumberdaya mineral. Karena sesungguhnya tabiat dari perusahaan pertambangan adalah profit oriented, dan bekerjanya perusahaan pertambangan dalam rangka mewujudkan kepentingannya cenderung mengabaikan norma ekologis. Sehingga norma yang diharapkan mampu untuk menertibkan praktek-praktek eksploitasi ternyata tidak bekerja sebagaimana mestinya. Terjadinya kesenjangan atau defisit tersebut diindikasikan oleh ada banyak fihak yang terlibat dan fihak-fihak tersebut tidak bersungguh-sungguh dalam mengemban komitmen terhadap ekologis. Fihak-fihak tersebut terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat diwilayah penambangan dan tentunya perusahaan yang segala aktivitasnya berhubungan langsung dengan ekologis. Kalau kita cermati bahwa sesungguhnya semua fihak berperan dalam memberikan kontribusi defisit. Pertama, kontribusi defisit dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat adalah fihak yang paling bertanggungjawab terhadap pengelolaan sumberdaya mineral. Termasuk pemberian izin usaha penambangan kepada perusahaan multinasional yang disertakan dengan kewajiban-kewajiban perlindungan ekologis. Pemerintah pusat merasa tanggungjawabnya selesai ketika tanggungjawabnya dialihkan kepada perusahaan. Kalaulah pemerintah pusat benarbenar bertanggungjawab terhadap lingkungan, maka seharusnya pemerintah pusat mampu menegakkan regulasi tentang lingkungan. Tetapi pemerintah cenderung tidak berbuat malah meminta perusahaan membayar dengan CSR. Sehingga pemerintah cederung bersembunyi dibalik pewajiban pelaksanaan CSR oleh perusahaan sekaligus membebankan tanggungjawabnya kepada perusahaan. 15 Kedua, kontribusi defisit dari perusahaan. Bagaimanapun juga kegiatan perusahaan berkaitan langsung dengan ekologi. Sehingga dalam setiap aktivitasnya dibebani dengan aturan-aturan supaya ekspose terhadap resiko menjadi minim. Perusahaan dituntut agar setiap operasinya melakukan praktek penambangan yang baik (good mining practice). Harapannya dengan good mining practice akan menjamin keberlanjutan ekologi. Perusahaan juga diwajibkan untuk melakukan pemetaan terhadap segala dampak besar dan penting dari setiap aktivitas yang terdokumentasi dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dokumen AMDAL diharapkan mampu untuk pemperkirakan dampak yang akan terjadi, serta penyiapkan langkah-langkah atau tindakan-tidakan pencegahan dan pemulihan dampak.Namun persoalannya muncul ketika perusahaan tidak mampu atau bahkan abai terhadap norma ekologis atau aturan-aturan yang mengatur segala aktivitasnya. Padahal seharusnya ada ataupun tidak ada kewajiban dengan pemerintah dia juga harus taat dan patuh terhadap kaidah ekologi. Ketiga, kontribusi defisit dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah terobsesi mengejar keuntungan dengan keberadaan perusahaan. Persoalan ekologis tidak menjadi kehirauan bahkan ada upaya-upaya pembebanan tanggungjawab ekologis terhadap perusahaan. Ketiga, kontribusi defisit dari masyarakat. Sama halnya dengan pemerintah daerah, masyarakat yang berada diwilayah pertambangan menuntut kontribusi dari perusahaan. Persoalan tanggungjawab lingkungan dan sosial dimaknai sebagai dampak yang mampu teratasi dengan program-program CSR perusahaan. Sebenarnya, bersamaan dengan beroperasinya perusahaan pertambangan ada defisit ekologis yang pasti akan terjadi. Sehingga perusahaan harus menyiapkan 16 segala daya dan upaya untuk menanggulangi defisit tersebut. Apakah dalam bentuk pencegahan dampak atau membayar kompensasi atas dampak yang tidak mungkin dapat dipulihkan seutuhnya. Namun disamping itu, defisit akan bertambah besar karena adanya pembebanan defisit dari fihak lain kepada perusahaan. Pembebanan ini dikarenakan oleh perusahaan dianggap memiliki kekuatan finansial yang besar dan dengan dana jumlah besar itu perusahaan dinilai mampu untuk bertanggungjawab. Seolah-olah besarnya ukuran defisit harus mampu ditanggung oleh perusahaan dalam skema CSR. Dan tentunya dalam kondisi semacam ini, sehebat apapun perusahaan itu bekerja mustahil bisa untuk bertanggungjawab. I.5. Metode Penelitian Supaya mendapatkan pemaknaan yang mendalam serta keluasan informasi dalam rangka mengungkapkan praktik-praktik pertanggungjawaban perusahaan dalam skema CSR, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif ( Sugiyono, 2010: 205). Mengingat bahwa cakupan CSR yang dipraktekkan oleh perusahaan pertambangan sangat luas dan kecendrungan terdapat karakteristik yang berbeda antara pelaksanaan CSR di tempat atau daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, maka penelitian ini dilakukan dalam bentuk studi kasus (Case Study) (Bogdon and Tailor, 1990: 3) pada perusahaan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara yang berada di kecamatan Jereweh, Maluk, Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret – Juni 2011. Untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian secara obyektif, maka instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 wawancara mendalam (in-dept interview), Pengamatan (observation) dan dilengkapi dengan studi dokumen (Cresswel, 1996 : 145). Banyak persoalan yang menjadi pengamatan dalam melakukan observasi. Dan memang observasi yang dilakukan tidak terstruktur dan sistematis. Apalagi perkembangan kondisi sosial masyarakat diwilayah pertambangan yang sangat dinamis, menyebabkan terjadinya pengembangan-pengembangan pada saat observasi sedang dilakukan. Dalam observasi ini, sebenarnya fokus pada dua hal besar yaitu aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT NNT dan gejolak sosial yang telah terjadi dan sedang terjadi di wilayah pertambangan PT NNT, serta praktik-praktik CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan. Dalam instrument wawancara mendalam, peneliti menggunakan teknik pengambilan data secara Purposive sampling, yang didasarkan atas pertimbangan tertentu. Mengingat persoalan CSR perusahaan pertambangan merupakan hal yang cukup sensitif, serta memudahkan peneliti untuk menelusuri praktik CSR secara menyeluruh dan mendalam. Adapun informan atau nara sumber dalam penelitian ini adalah : No Nama Aktivitas/pekerjaan 1 Bapak syafii 2 Pak. A. Rahman 3 Pak Ahmad Yani Ketua DPRD KSB Kepala Desa Beru Camat Jereweh 4 Pak Dedi Kuswanto 5 Pak Mas’ud yusuf Kepala desa belo Kepala Desa Goa 6 7 8 9 10 11 Pak jarot Pak I Made Budi Arte Pak nugroho Pak mahfi Zulkifli Muhadli Abidin Nasar Man. Comrel PT NNT Camat maluk Man. Renstra PT NNT Man. Govrel PT NNT Bupati KSB Wakil DPRD KSB 18 No Nama Aktivitas/pekerjaan 12 13 14 15 16 17 18 19 Pak Saleh Wakil DPRD KSB Pak ikhlasul jamal Man. LSM & NGO PT NNT Pak fauzan Staff COMDEV Pak amril Staff Renstra Pak nasir DPRD KSB Anggota komisi 1 DPRD KSB Pak wagimin Man. Comdev PT NNT Pak Yuyud Direktur YEPSB Tabel I. 1 : Daftar Informan / Nara Sumber Dalam wawancara, ada persoalan yang peneliti hadapi yaitu ketika wawancara diruangan Komisi 1 DPRD. Ketika sedang wawancara dengan ketua Komisi, anggota komisi yang lainnya ikut nimbrung. Walaupun saling melengkapi dan menguatkan data dan argumentasi, peneliti sulit kemudian untuk memastikan siapa sesungguhnya pemilik sah dari argument tersebut. Begitupun ketika wawancara dengan Pak Abidin Nazar di rumah makan. Ketika sedang wawancara sekitar 30 menit, teman beliau yang sesama anggota dewan datang dan ikut nimbrung juga. Untuk melengkapi data observasi dan wawancara, peneliti juga telah melakukan pengumpulan data dengan dokumen. Studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan data-data hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan persoalan akuntabilitas perusahaan dan praktek-praktek CSR perusahaan. Dokumen-domumen tersebut terdiri dari laporan-laporan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tesis ini seperti thesis yang menyoroti kerjasama antara pemerintah daerah dengan PT NNT dalam pelaksanaan CSR perusahaan, jurnal tentang praktik-prakti CSR PT NNT, laporan resmi CRR (Community Relationship Review) atau evaluasi hubungan masyarakat PT NNT yang dilakukan pada tahun 2007, dokumen-dokumen yang menjadi dasar beroperasinya pertambangan PT NNT (Dokumen Kontrak Karya dan dokumen AMDAL). 19 Disamping itu, juga terdapat dokumen-dokumen tentang data produksi, data royalty / kewajiban-kewajiban keuangan berdasarkan pasal 13 Kontrak Karya generasi IV, data ekspor konsentrat dan laporan pelaksanaan Community Development. Analisa data dilakukan dengan menggunakan cara deskriftif-analitis melalui pemetaan atau mapping data yang dibutuhkan, menampilkan inti atau core suarasuara informan, yang kemudian diinterpretasikan dan diekplanasi dengan model intergratif yaitu menyatukan data sekunder dan dan primer yang dilakukan langsung dilapangan. Tahapan analisia data dibagi dalam tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Miles dan Huberman (dikutip oleh Sugiyono, 2010: 246). 1.6. Sistematika Penulisan Dalam rangka melacak jawaban terhadap pertayaan akan menggunakan alur berfikir yang deduktif. Hal ini akan disajikan pembahasan dalam bab berikut. Kajian ini mengajak untuk memperhitungkan ekologi bukan kepentingan politik-ekonomi segabai pertimbangan penting. Untuk mendetailkan dan menguatkan pertimbangan ekologis. Sehingga Bab 2 ditujukan untuk mendetailkan proposisi teoritik yang telah disajikan pada bab sebelumnya (bab I). Dari telaah ini terlihat bahwa acuan-acuan yang selama ini dirumuskan dalam mengukur tanggungjawab sangat abai terhadap pertimbangan ekologis. Kalau norma yang dijadikan acuan untuk menuntut pun sudah kompromistik, maka resiko ekologis yang diakibatkan adalah keniscayaan yang tinggal kita tunggu. Tanggung jawab yang dirumuskan di sini memang secara eksklusif didedikasikan untuk kepentingan masyarakat sekitar, 20 dan tidak pula secara spesifik dirancang untuk mengatasi persoalan-persoalan lingkungan hidup. Kalau pada tataran normatif acuannya sudah kompromistis, maka bisa ditebak bagaimana pemberlakuan acuan normatif tersebut dalam praktek. Sehingga bab 3 menyajikan telaah praktek-praktek penambangan, yang didasarkan pada aturan-aturan atau instrumen hukum yang mengikat bekerjanya perusahaan pertambangan. Dengan melakukan telaah kritis terhadap praktek penambangan yang akan menunjukkan seberapa besar tanggungjawab yang seharusnya dijalankan atau dilakukan oleh perusahaan atas segala tindakannya telah terkompromikan. Bab 4 menyajikan assessment sederhana tentang pelaksanaan tanggungjawab yang dilakukan oleh perusahan Newmont dalam skema CSR. Disinilah kita akan melihat apakah CSR akan mampu mengcover pertanggungjawaban perusahaan atas dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas penambangan. Dalam hal ini, apakah CSR telah mampu melakukan pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan atau kompensasi-kompensasi terhadap dampak lingkungan jangka panjang. Ketidakmampuan atau gagalnya CSR dalam mencakup atau mewujudkan pertanggungjawabannya, maka itulah yang dimaksudkan dengan defisit. Telaah diakhiri dengan kesimpulan. Bab 5 menyajikan hal itu. 21