komunikasi pembangunan untuk pemberdayaan

advertisement
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN UNTUK PEMBERDAYAAN
Djaka Waskita
Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Until recently, development in Indonesia has been dominated by tangible aspects such as
who will get how much. Although it is necessary to provide enough products and distribute
them to the people, development should also consider intangible aspects such as concern
for individual and social environment. One of the reasons for the reglecting of intangible
aspects is communication model developed and implemented by the government. The
model limits interactive and productive communication between those in power and the
people they serve. This article stresses the need for a new communication model which
allows the two parties to interact effectively. A two-way developmental communication
model is suggested. The suggested model will acknowledge continuous dialogue among
the parties involved.
Key words: communication, dialogue, development, endeavoring, two-way
Konsep-konsep pembangunan saat ini pada dasarnya masih bersifat materialistis karena yang
dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal
tersebut disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi.
Sementara itu, menurut Budiman (2000), pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu
masalah materi yang mau dihasilkan serta dibagi dan masalah manusia yang menjadi pengambil
inisiatif yang menjadi manusia pembangun. Para ahli ekonomi memang berbicara tentang sumber
daya manusia (SDM) , tetapi lebih menekankan aspek keterampilan sehingga manusia lebih
dianggap sebagai faktor produksi dan lebih ditekankan pada peningkatan produksi saja. Sebaliknya
proses-proses yang terjadi dalam diri individu serta bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang
memungkinkan terjadinya manusia kreatif kurang diperhatikan dan dipermasalahkan.
Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produk dan distribusi barang material namun juga
harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya
sebagai subjek pembangunan dan tidak sekedar sebagai objek pembangunan. Pembangunan
pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia yang kreatif. Hanya manusia seperti
inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh para ahli ekonomi hanya
merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil membangun manusia kreatif yaitu manusia
pembangun. Untuk membentuk manusia pembangun, berbagai aspek seperti psikologi, sosiologi,
politik, antropologi, dan budaya harus dilibatkan secara terpadu.
Pembangunan yang dilakukan di Indonesia dewasa ini masih tidak jauh dari konsep
pembangunan, dimana faktor materi, kapital, dan produksi masih menjadi permasalahan utama
Waskita, Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan
yang menjadi perhatian. Sementara itu faktor-faktor nonmaterial seperti faktor internal individu dan
lingkungan sosial kurang mendapat perhatian. Pembangunan tersebut telah terbukti mengalami
kegagalan. Hal ini bisa kita lihat dari situasi dan kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Kondisi sosial
saat ini diwarnai oleh berbagai konflik sosial dan keterbatasan kualitas SDM pembangun, sedangkan
kondisi ekonomi diwarnai oleh krisis yang berkepanjangan yang belum menunjukkan titik terang.
Kegagalan pembangunan tersebut tentunya harus dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk
mencari alternatif model pembangunan yang lebih tepat bagi bangsa Indonesia yang sesuai dengan
situasi dan kondisi lingkungan di Indonesia.
MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI
Pada awal masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia, paradigma pembangunan yang diterapkan
adalah apa yang disebut modernisasi. Saat itu, konsep modernisasi didengungkan pemerintah dan
dijadikan konsep dasar pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Hal tersebut berlangsung hingga
menjelang berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru. Oleh karena pembangunan merupakan suatu
proses perubahan sosial terencana yang berlangsung melalui proses-proses komunikasi maka
konsep modernisasi tersebut akan berkaitan dengan perspektif komunikasi.
Modernisasi menyangkut proses perkembangan serta perubahan individu dan masyarakat.
Sedangkan masyarakat terbentuk oleh adanya komunikasi antar individu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa terjadinya modernisasi berlangsung melalui proses komunikasi. Hal ini dapat kita
lihat dari pendapat Koentjaraningrat dalam Effendi (2001) yang mengatakan bahwa modernisasi
dapat dilaksanakan dengan memberikan contoh, persuasi, penerangan, dan pendidikan. Proses
pemberian contoh, persuasi, penerangan, dan pendidikan tersebut akan berlangsung melalui proses
komunikasi.
Perspektif teori modernisasi banyak menerima pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Hal
tersebut terjadi karena pengaruh teori evolusi yang telah terbukti mampu membantu menjelaskan
proses masa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern di negara-negara barat
dan juga mampu menjelaskan arah yang perlu ditempuh oleh negara-negara dunia ketiga dalam
proses modernisasi. Teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat seperti berikut.
1. Perubahan sosial dianggap sebagai gerakan searah seperti garis lurus, masyarakat berkembang
dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju sehingga dapat dikatakan bahwa masa depan
masyarakat dunia sudah jelas dan dapat diramalkan, pada suatu ketika kelak dalam masa
peralihan yang relatif panjang dunia akan menjadi masyarakat maju.
2. Teori evolusi membaurkan antara pandangan subyektifnya tentang nilai dengan tujuan akhir
perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari. Teori ini memandang masyarakat modern sebagai bentuk masyarakat yang
dicita-citakan yang mengandung semua unsur yang disebut dengan 'baik dan sempurna', dan
disebut sebagai kemajuan, manusiawi, dan madani. Teori ini juga beranggapan bahwa perubahan
sosial berjalan secara perlahan dan bertahap. Perubahan tersebut berlangsung dari masyarakat
sederhana ke masyarakat modern, serta memerlukan waktu yang sangat panjang untuk
mencapai tujuan akhir.
Dalam konteks teori evolusi tersebut, masyarakat primitif ditandai oleh masih menonjolnya proses
komunikasi dalam konteks antarpribadi yang berlangsung secara tatap muka. Sedangkan
33
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 32-40
masyarakat maju ditandai oleh menonjolnya proses proses komunikasi massa. Dari sudut konteks
komunikasi, perubahan sosial tersebut dapat digambarkan dalam garis kontinum seperti Gambar 1.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin primitif suatu masyarakat maka proses komunikasi
yang menonjol adalah komunikasi dalam konteks antarpribadi tatap muka. Sedangkan semakin
modern suatu masyarakat maka konteks komunikasi massa akan lebih menonjol. Sementara itu
dalam garis kontinum antara (1) dan (4) terdapat konteks komunikasi kelompok (2) dan komunikasi
organisasi (3) yang sedikit banyak akan mewarnai proses komunikasi pada masyarakat primitif dan
modern, di mana konteks komunikasi kelompok akan lebih mewarnai masyarakat primitif dan konteks
komunikasi organisasi lebih mewarnai masyarakat modern.
Primitif (1)
(2)
(3)
(4) Modern
Keterangan: (1) konteks komunikasi antarpribadi tatap muka
(2) konteks komunikasi kelompok
(3) konteks komunikasi organisasi
(4) konteks komunikasi massa
Gambar 1. Garis Kontinum Perubahan Konteks Komunikasi
Selanjutnya, kita akan melihat teori fungsionalisme. Teori ini dikemukakan oleh Parson (1951).
Menurut teori fungsi onalisme masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh manusia,
sehingga masyarakat manusia dapat dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia. Teori ini terdiri
dari dua asumsi pokok. Pertama, masyarakat bagaikan struktur tubuh manusia yang memiliki
berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat juga
mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Untuk hal ini, Parson
menggunakan konsep sistem untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan
tersebut. Kedua, setiap kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk
stabilitas dan pertumbuhan masyarakat.
Teori fungsionalisme dari Parson tersebut sering juga disebut sebagai konservatif karena
menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmonis yang stabil, seimbang,
dan mapan. Dalam konteks perubahan sosial sebagai proses komunikasi, masyarakat dapat
dipandang sebagai sistem komunikasi yang terdiri dari elemen-elemen komunikasi yaitu
sumber/komunikator, penerima/komunikan, media/saluran, informasi, serta dampak komunikasi.
Dalam konteks teori Parson ini, proses komunikasi yang berlangsung pada masyarakat dianggap
berjalan lancar tanpa masalah sehingga masyarakat akan selalu berada pada situasi harmonis yang
stabil, seimbang, dan mapan. Teori dari Parson ini mengesampingkan faktor-faktor individual
manusia yang setiap individu dapat berbeda, baik karakter maupun kepentingannya. Dengan
demikian, untuk menuju kepada situasi masyarakat yang harmonis akan melalui berbagai
penyesuaian antar individu yang terkadang diwarnai berbagai konflik antar individu maupun
kelompok dalam masyarakat.
34
Waskita, Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan
KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF MODERNISASI
Kajian yang dilakukan oleh Lerner (1978) memperlihatkan kepada kita bahwa komunikasi memiliki
peran yang sangat penting dalam mencapai tujuan menuju modernisasi. Dari hasil kajiannya, Lerner
melihat empat tahapan menuju modernisasi yaitu (1) urbanisasi, (2) melek huruf, (3) partisipasi
media, dan (4) partisipasi politik. Ilustrasi lain yang dapat memperlihatkan komunikasi dalam
perspektif modernisasi adalah muncul dan berkembangnya teknologi multimedia seperti audio-visual
komputer, internet, serta software-nya. Bagi sebagian masyarakat yang berkecimpung dan biasa
menggunakan sarana komunikasi, munculnya sarana teknologi multimedia merupakan 'modernisasi
komunikasi’ atau bisa dikatakan memodernkan sarana komunikasi. Namun, bagi sebagian
masyarakat yang baru saja mengenal sarana komunikasi hal tersebut merupakan `komunikasi
modernisasi' atau bisa dikatakan mengkomunikasikan atau menyebarkan peralatan yang lebih
modern atau lebih maju. Hal tersebut dapat dikaji lebih jauh dengan melihat bagaimana penyebaran
multimedia tersebut kepada masyarakat awam. Dalam hal itu tentunya sangat diperlukan komunikasi
di antara pakar dan pengguna jasa multimedia tersebut.
Kasus lain yang dapat dipelajari adalah masuknya pembangunan jalan ke daerah pedesaan di
Indonesia yang membawa dampak terhadap perubahan sosial masyarakat setempat. Dengan
adanya jaringan jalan tersebut, komunikasi dengan dunia luar relatif terbuka sehingga tatanan
kehidupan luar banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Dengan dibangunnya jalan
maka akan banyak kendaraan yang melewati daerah pedesaan, sehingga akan muncul kedisiplinan
masyarakat bila menyeberang jalan atau sebagian masyarakat pedesaan tersebut tertarik untuk
memiliki kendaraan untuk peningkatan status ataupun sebagai sarana yang memang betul-betul
dibutuhkan, dan selanjutnya harus mengurus surat kepemilikan kendaraan tersebut.
Banyak kasus dan kajian yang menggunakan teori modernisasi dari berbagai ilmu, namun pada
dasarnya dapat diambil benang merah dari setiap kajian tersebut yaitu komunikasi memegang
peranan penting dalam setiap perubahan yang terjadi, baik secara langsung melalui proses
perencanaan dan berlangsungnya perubahan itu sendiri maupun secara tidak langsung melalui
media yang menyebarkan berbagai informasi dan atau inovasi perubahan.
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PADA MASA ORDE BARU
Harus kita akui bahwa pemerintahan orde baru adalah pemerintahan otoriter sehingga pada masa
tersebut pembangunan yang dilakukan lebih banyak bersifat topdown, dari atas ke bawah.
Pembangunan pada masa itu didominasi oleh pembangunan ekonomi tanpa diimbangi oleh
pembangunan bidang lain terutama pembangunan sosial. Bahkan dapat dikatakan bahwa ekonomi
merupakan panglima dalam merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan.
Untuk mengawal pembangunan ekonomi ini selalu dikedepankan apa yang disebut ‘stabilitas’.
Dengan karakter pembangunan yang dilakukan secara otoriter, maka proses komunikasi
pembangunan cenderung berjalan satu arah yaitu dari atas ke bawah, dari pemerintah penguasa ke
masyarakat. Model komunikasi pembangunan seperti ini mengandung beberapa kelemahan yang
diantaranya adalah sering terjadi persepsi yang berbeda dan salah antara pemerintah dan
masyarakat yang mengakibatkan kesalahan pemerintah dalam merumuskan keinginan dan
kebutuhan masyarakatnya. Hal tersebut akan menjadi awal atau pemicu munculnya berbagai
35
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 32-40
perbedaan, konflik, serta permasalahan yang akan mengganggu jalannya pembangunan. Pada masa
itu permasalahan-permasalahan tersebut seakan dapat diatasi dengan kekuatan militer. Namun
kenyataannya, permasalahan-permasalahan tersebut tidak hilang dan terselesaikan tapi sekedar
mengendap dari permukaan dan bahkan menjadi bom waktu yang meledak dahsyat pada saat
pemerintahan Orde Baru berakhir.
Pada masa itu, komunikasi hanya berperan sebagai ujung dari proses pembangunan yaitu hanya
sebagai penyampai pesan dari pemerintah penguasa kepada masyarakat yang sering disebut
sebagai ‘penyuluh’ (Lubis, 2001). Sedangkan masyarakat hanya sebagai penerima informasi
pembangunan yang berarti hanya sebagai objek pembangunan. Di antara pihak-pihak atau lembagalembaga dalam berbagai tingkatan pemerintahan, proses komunikasi juga cenderung berjalan satu
arah sehingga komunikasi tidak atau kurang berperan dalam pembuatan dan perencanaan berbagai
kebijakan pembangunan. Proses komunikasi tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
Pemerintah
L
K
L
K
P
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
Gambar 2. Model Komunikasi Pembangunan pada Masa Orde Baru
Pada Gambar 2 terlihat bahwa proses komunikasi pembangunan berjalan satu arah dari elemen
pengambil kebijaksanaan dalam pemerintahan melalui beberapa elemen pelaksana dan operasional
menuju ke masyarakat. Bahkan proses komunikasi yang terjadi antar pihak atau elemen pengambil
kebijakan dan elemen pelaksana serta operasional dalam pemerintahan sendiri juga berjalan linier
atau satu arah. Proses komunikasi tersebut berlangsung hanya sebagai penyampai keputusan atau
kebijakan dari atasan (pengambil kebijakan) kepada bawahan (pelaksana) maupun dari pemerintah
kepada masyarakat.
PEMBANGUNAN DAN MODEL KOMUNIKASI PEMBANGUNAN UNTUK
PEMBERDAYAAN RAKYAT
Setelah pemerintah otoriter Orde Baru berakhir, kelemahan proses pembangunan pada masa
tersebut mulai jelas terlihat dengan munculnya berbagai permasalahan sosial ekonomi, terutama
masalah konflik antargolongan dan disintegrasi serta terpuruknya Indonesia dalam krisis ekonomi
36
Waskita, Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan
yang berkepanjangan. Adanya masalah-masalah tersebut menyadarkan kita bahwa proses
pembangunan yang berjalan selama ini masih belum tepat atau bahkan salah sehingga, mulai
muncul pemikiran untuk mengubah konsep pembangunan yang tidak hanya bertitik berat pada
permasalahan ekonomi, produk, dan kapital yang menjadikan individu masyarakat hanya sebagai
obyek pembangunan.
Dalam konsep pembangunan baru tersebut, faktor lingkungan dan proses internal dalam individu
masyarakat mulai mendapat perhatian. Hal ini diharapkan akan menghasilkan manusia
pembangunan yang tidak hanya sebagai obyek, tetapi sebagai subyek yang mampu merumuskan
kebutuhan keinginan dan permasalahan mereka sendiri dalam proses pembangunan. Konsep
pembangunan ini mengedepankan proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu mendorong
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Proses partisipasi dan pemberdayaan tersebut sangat berkaitan dan dapat dikaji melalui teori
penyadaran. Teori Penyadaran ini dikemukakan oleh Freire (1984), seorang pendidik, teolog,
sosialis, humanis dan bahkan dianggap sebagai mesias dunia ketiga, khususnya oleh masyarakat
Amerika Latin. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan gugatan, protes dan berontak
terhadap segala bentuk pendidikan yang mencerabut manusia dari kesadarannya. Dalam teori ini
pokok perhatian ditujukan kepada individu manusia, dimana manusia merupakan bundel ide-ide
kesadaran, tujuan-tujuan hidup, rasa takut, frustasi, benci, cinta, kebiasaan, perasaan yang
mendalam, kebanggaan dan prasangka.
Menurut Freire, menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia
sekitarnya sebagai realitas objektif yang tidak tergantung kepada siapa pun. Integrasi dengan
lingkungan berbeda dengan adaptasi, untuk itu dia mengatakan, “seseorang tidaklah utuh bila dia
kehilangan kemampuan memilih, bila pilihannya adalah pilihan orang lain, dan bila keputusan
keputusannya berasal dari luar dan bukan merupakan keputusan sendiri”.
Integrasi muncul dari kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis
membuat pilihan dan mengubah realitas. Selanjutnya, manusia yang utuh adalah manusia sebagai
subyek, sedangkan manusia yang beradaptasi adalah manusia sebagai obyek. Dengan demikian,
adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang beradaptasi karena dia
tidak mampu mengubah realitas. Manusia memainkan peranan yang menentukan dalam
perwujudan dan penggantian kurun sejarah, bagaimana mereka menangani realitas yang
melahirkan tema-tema jamannya. Hal tersebut akan sangat menentukan apakah mereka
mengalami pengukuhan sebagai subyek atau humanisasi ataukah dehumanisasi yaitu kemerosotan
sebagai obyek.
Selanjutnya kita menengok paradigma pembangunan ‘Another Development’ yang dikemukakan
oleh Servaes dalam Nasution (1988). Paradigma pembangunan tersebut pada dasarnya ingin
menyempurnakan konsep-konsep pembangunan sebelumnya. Berlawanan dengan pandangan
kalangan modernisasi dan dependensi yang lebih berorientasi politik dan ekonomi, ide sentral
paradigma ini adalah bahwa tidak ada suatu jalur tunggal yang universal dalam melaksanakan
pembangunan. Menurut konsep ini, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang
integral, multi dimensional, dan dialektis yang dapat berbeda antara negara satu dengan yang lain.
37
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 32-40
Setiap masyarakat harus menemukan strategi pembangunannya sendiri. Pembangunan diartikan
sebagai suatu hal yang relatif sehingga tidak satupun bangsa yang dapat mengklaim sebagai
suatu bagian dunia yang telah selesai membangun.
Salah satu bukti mulai berkembangnya konsep penyadaran Freire (1994) dapat dilihat pada unsurunsur inti dari konsep `Another Development' seperti dikutip oleh Nasution (1988) dari berbagai
sumber (Bennet, 1977; Chape1, 1980; Galtung, 1980; Peroux, 1983; Rist, 1980 dan Todaro, 1977)
seperti berikut,
1. Pembangunan berorientasi pada kebutuhan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia di bidang kebendaan dan nonkebendaan. Dimulai dengan kebutuhan dasar
mereka yang tertindas dan tereksploitasi yang merupakan mayoritas penduduk dunia dan pada
saat yang sama menjamin pemanusiaan seluruh umat manusia melalui pemenuhan kebutuhan
mereka akan ekspresi, kreativitas, keadilan, keramahtamahan, di samping pemahaman dan
penentuan tujuan oleh mereka sendiri.
2. Pembangunan bersifat endogenous, yakni bertolak dari jantung masing-masing masyarakat
yang merumuskan dengan penuh kedaulatan, berdasarkan nilai-nilai dan pandangan masa
depan mereka sendiri. Karena pembangunan bukanlah suatu proses yang linear maka tidak
ada satu model yang universal, dan hanya kemajemukan pola-pola pembangunan yang dapat
menjawab kekhasan dari setiap situasi.
3. Mengandalkan kemampuan sendiri (self reliant), yang berarti setiap masyarakat pertama-tama
harus mengandalkan pada kekuatan dan sumber daya sendiri yang berasal dari energi
anggotanya, serta lingkungan alam, dan kultural mereka.
4. Secara ekologis harus baik, yaitu pemanfaatan secara rasional sumber-sumber daya biosfir
dengan penuh kesadaran akan potensi ekosistem lokal, sekaligus global, dan batas yang ada
untuk masa sekarang dan yang akan datang.
5. Pembangunan bersandar pada transformasi struktural, sebagai suatu yang dituntut dalam
hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dan distribusi spasial. Seperti juga dalam struktur
kekuasaan untuk merealisasikan kondisi swakelola dan partisipasi dalam pembuatan keputusan
oleh semua orang yang dikenai oleh keputusan tersebut, sejak dari masyarakat desa, kota
hingga dunia secara keseluruhan.
Model Komunikasi Pembangunan
Menyimak pendapat Freire, pemberdayaan individu masyarakat dapat dilakukan melalui proses
penyadaran pada mereka terhadap situasi dan kondisi lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan
kemampuan. Menurutnya, proses penyadaran tersebut harus dilakukan melalui proses dialog.
Sedangkan proses dialog merupakan proses komunikasi dua arah yang berkelanjutan sehingga
menemukan suatu pemahaman dan pengertian yang membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini
akan terjadi pada pihak-pihak yang berdialog. Pihak- pihak tersebut bisa individu dalam
masyarakat maupun individu pada lembaga pemerintahan. Proses komunikasi tersebut sering
disebut sebagai model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, model
komunikasi pembangunan dua arah tersebut dapat digambarkan seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 3.
Dalam Gambar 3, setiap pihak yang terlibat dalam pembangunan selalu dalam proses komunikasi
dua arah dan selalu melakukan dialog dengan pihak lain. Dapat dikatakan bahwa proses
38
Waskita, Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan
komunikasi merupakan proses peredaran darah dalam tubuh pembangunan, di mana darah
tersebut berupa informasi atau pesan-pesan pembangunan. Dengan lancarnya proses peredaran
darah informasi tersebut, dalam konteks teori penyadaran, diharapkan akan terwujud kesadaran
pada semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi pembangunan yang sehat, dari pihakpihak dalam pemerintahan hingga pihak pihak dalam masyarakat. Kondisi tersebut akan
mengantar kita ke pintu gerbang masyarakat yang sehat, masyarakat madani yang dicitacitakan
oleh semua individu yang menyadari fitrahnya sebagai manusia.
L
L
P
K
K
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
L : Lembaga Pemerintah
K : Komunikasi
Gambar 3. Model Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan
PENUTUP
Untuk menggalang partisipasi masyarakat yang sekaligus memberdayakan mereka dalam proses
pembangunan, sangat penting dilakukan upaya serta mengkondisikan terjadinya dialog atau
hubungan komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah, antara berbagai pihak dalam
masyarakat dan pemerintah dalam berbagai tingkatan. Hal tersebut perlu dilakukan secara terus
menerus dan berkelanjutan selama proses pembangunan berlangsung. Sehingga nantinya akan
terjadi penyadaran atau saling pengertian dan persepsi yang sama antara berbagai pihak yang
terlibat dalam pembangunan. Penyadaran tersebut berkenaan dengan apa, mengapa dan
bagaimana pembangunan seharusnya dilakukan untuk kesejahteraan bersama menuju
masyarakat madani yang dicita-citakan.
REFERENSI
Budiman, A. (2000). Teori pembangunan dunia ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Chambers, R. (1987). Pembangunan desa. Jakarta: LP3ES.
Effendy, O.U. (2001). Ilmu komunikasi: Teori dan praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. New York: The Seabury Press.
39
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 32-40
Freire, P. (1984). Pendidikan sebagai praktek pembebasan. Jakarta: PT Gramedia.
Lerner, D. (1978). Memudarnya masyarakat tradisional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lubis, D. (2001). Catatan kuliah l presentasi. Tidak diterbitkan
Nasution, Z. (1988). Komunikasi pembangunan: Pengenalan teori dan penerapannya. Jakarta:
Rajawali Press.
Parson, T. (1951). The social system. Glencoe-Illinois: The Free Press.
40
Download