UJI SITOTOKSIK EKSTRAK ETIL ASETAT HERBA BANDOTAN

advertisement
UJI SITOTOKSIK EKSTRAK ETIL ASETAT HERBA
BANDOTAN (Ageratum conyzoides L.) TERHADAP SEL
KANKER PAYUDARA (T47D) DAN PROFIL
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
SKRIPSI
Oleh:
HERU PAMILIH
K100050048
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker merupakan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol diikuti proses
invasi ke jaringan sekitar dan menyebarnya ke bagian tubuh yang lain. Sifat utama
sel kanker ditandai dengan hilangnya kontrol pertumbuhan dan perkembangan sel
kanker tersebut (King, 2000).
Sejak lama penyakit kanker menjadi salah satu penyakit yang menakutkan
bagi banyak orang. Berbagai upaya penyembuhan, khususnya pada kanker stadium
lanjut selalu diikuti dengan hasil yang tidak memuaskan, bahkan efek dari kegagalan
pembedahan bisa menyebabkan kanker menyebar ke bagian tubuh lain dengan
kondisi yang parah (Sudewo, 2004).
Kanker payudara sering ditemukan di seluruh dunia dengan insiden relatif
tinggi, yaitu 20% dari seluruh keganasan. Menurut WHO 8-9% wanita mengalami
kanker payudara. Hal ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang
paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari 250.000 kasus baru
kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175.000 di Amerika Serikat.
Masih menurut WHO, tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita terdiagnosis kanker
payudara dan lebih dari 700.000 meninggal karena kanker ini (Anonimc , 2008).
Kanker payudara banyak diderita kaum wanita di Indonesia setelah kanker
leher rahim (Meiyanto, 2003). Kanker payudara merupakan penyebab utama
1
2
kematian pada wanita di berbagai belahan dunia. Kebanyakan penderita kanker
payudara (60-70%) terlambat mendapat pengobatan sehingga mengakibatkan
kematian (Klauber-DeMore cit Da'i, 2006)
Obat antikanker yang telah ada selain memiliki khasiat sebagai antikanker
obat tersebut juga bersifat merusak sel-sel yang tumbuh normal (Anonim, 2000).
Selain itu pengobatan kanker dengan obat-obatan kemoterapi hanya efektif untuk
beberapa periode waktu saja (Meiyanto, 2003). Keadaan ini mendorong dilakukannya
berbagai penelitian untuk menemukan antikanker yang diharapkan memiliki
toksisitas selektif yaitu menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal
(Ganiswara dan Nafrialdi, 2005).
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan metode uji toksisitas. Suatu
sampel yang telah diuji toksisitasnya terhadap A. Salina dan dinyatakan bahwa
sampel tersebut toksik terhadap bahan uji, maka bisa dilanjutkan ke uji selanjutnya
yaitu uji antibakteri, uji sitotoksik, dan uji antiviral (Meyer, 1982). Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa sari kloroform herba bandotan telah
diuji
toksisitasnya pada larva udang (Artemia Salina Leach) dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BST) dan di peroleh hasil LC50 sari metanol lebih tinggi daripada sari
kloroform yaitu (954,22 ± 21,49) µg/ml sedangkan LC50 sari kloroform (84,58 ±
4,60) µg/ml. Menurut Meyer (1982) suatu senyawa dikatakan toksik bila LC50-nya <
1000 µg/ml sehingga sari koroform toksik terhadap Artemia Salina Leach.
Berdasarkan hasil isolasi sari kloroform dengan menggunakan KLT preparatif
3
menunjukkan adanya senyawa komponen minyak atsiri dan senyawa turunan terpen
(Kuswandi dkk., 2000). Ekstrak kloroform daun bandotan telah diuji toksisitasnya
terhadap sel myeloma dan diperoleh IC50 16,33 µg/ml (Gunawan, 2004).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan di atas, sangatlah menarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek sitotoksik tanaman
bandotan terhadap sel kanker payudara (T47D). Dalam penelitian akan dilakukan
skrining awal untuk mengetahui efek sitotoksik herba bandotan (Ageratum
conyzoides L.) terhadap sel kanker payudara T47D. Herba bandotan diekstraksi
bertingkat menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya, dari yang non polar
sampai polar. Pelarut yang digunakan yaitu petroleum eter, kloroform, etil asetat, dan
etanol. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek sitotoksik ekstrak etil asetat
herba bandotan. terhadap sel kanker payudara T47D dan golongan senyawa yang
tersari dalam ekstrak etil asetat tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ekstrak etil asetat dari herba bandotan. mempunyai efek sitotoksik
terhadap sel kanker payudara (T47D)?
2. Golongan senyawa apa yang tersari dalam ekstrak etil asetat herba bandotan.
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik ekstrak etil asetat
herba bandotan terhadap sel kanker payudara (T47D) dan mengetahui senyawa yang
tersari dalam ekstrak etil asetat herba bandotan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Bandotan
a) Klasifikasi Tanaman
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledonae
Sub Classis
: Sympetalae
Ordo
: Campanulatae (Asterales)
Familia
: Compositae
Genus
: Ageratum
Species
: Ageratum conyzoides L.
(Van Steenis, 1997)
b) Nama Daerah
Di beberapa daerah bandotan memiliki bermacam-macam nama, seperti:
Sumatra : bandotan, daun tambak, siangit, tambak jantan, siangik kahwa, rumput
tahi ayam.
5
Jawa
: babandotan, babandotan leutik, babandotan beureum, babandotan hejo,
jukut bau, kibau bandotan, wedusan dus, wedusan, dus bedusan.
Sulawesi : dawet, jawet, nukut, manooe, rukut weru, sopi.
(Anonima, 2007)
c) Morfologi Tanaman
Bandotan merupakan herba 1 tahun, tegak atau berbaring dan dari bagian ini
keluar akarnya, 0,1-1,2 m tingginya. Batang bulat, berambut jarang. Daun bawah
berhadapan dan bertangkai cukup panjang, yang teratas tersebar dan bertangkai
pendek, helaian daun bulat telur, beringgit, 1-10 kali 0,5-6 cm, kedua sisinya
berambut panjang, sisi bawah juga dengan kelenjar yang duduk. Bongkol bunga
berkelamin satu macam, 3 atau lebih berkumpul jadi karangan bunga, bentuk mulai
rata yang terminal. Bongkol 6-8 mm panjangnya, pada tangkai berambut. Daun
pembalut di mahkota dengan tabung sempit dan pinggiran sempit bentuk lonceng,
berlekuk 5, panjang 1-1,5 mm. Buah keras bersegi 5 runcing, 2 panjangnya. Rambut
sisik pada buah 5, putih, 2-3,5 mm panjangnya (Van Steenis, 1997).
d) Epidemiologi
Di Amerika tropis bandotan merupakan salah satu tumbuhan pengganggu
yang terkenal. Tumbuhan ini dapat ditemukan di ladang, semak belukar, halaman
kebun, tepi jalan, tanggul, tepi air, berada di ketinggian 1-2.100m di atas permukaan
air laut (Van Steenis, 1997).
e) Kandungan Kimia
6
Herba bandotan mengandung minyak atsiri, kumarin, ageratokromen,
friedelin, β–sitosterol, stigmasterol natrium klorida (Anonimb, 2007). Daun dan
bunga mengandung saponin, flavanoid dan polifenol, disamping itu daunnya juga
mengandung minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991)
e) Manfaat
Bandotan digunakan sebagai obat radang telinga, radang tenggorok, rematik,
keseleo, pendarahan rahim, sariawan, tumor rahim, malaria, perut kembung, mulas,
muntah, perawatan rambut (Kusuma dan Zaky, 2005).
2. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewan menurut cara yang cocok, di luar matahari langsung
(Anonim, 1979). Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan zat aktif
yang semula berada di sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam
cairan hayati. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, dan soxhletasi.
Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam
memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986). Salah satu metode ekstraksi yang sering
digunakan di dalam penyarian adalah soxhletasi (Ansel, 1989).
Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi continue dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik (Anonim, 2000).
Soxhletasi dibutuhkan bahan pelarut yang sangat sedikit, pelarutnya secara
terus-menerus diperbaharui. Bahan yang diekstraksi berada dalam sebuah kantong
7
ekstraksi di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja continue (Voight,
1971).
Cairan penyari diisikan pada labu alas bulat, serbuk simplisia dibungkus
dengan kertas saring, dimasukkan pada tabung pada rangkaian alat soxhlet. Cairan
penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa
samping, kemudian diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan penyari
menetes ketabung yang berisi serbuk simplisia, kemudian melarutkan zat aktif dalam
serbuk simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan penyari mencapai
permukaan sifon, seluruh cairan akan kembali ke labu (Anonim, 1986). Keburukan
metode soxhletasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama
sehingga kebutuhan energinya (listrik, gas) tinggi dan tidak cocok untuk senyawa
yang tidak tahan pemanasan seperti minyak atsiri (Voight, 1971).
3. Kanker
Kanker adalah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan
pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostatis lainnya pada organisme multiseluler
(Ganiswara dan Nafrialdi, 2005). Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh
ketidakteraturan kerja hormon sehingga mengakibatkan jaringan baru yang abnormal
dan bersifat ganas. Suatu kelompok sel yang mendadak menjadi liar dan
memperbanyak diri secara pesat dengan tidak tertahan dan mengakibatkan
pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau neoplasma (Tjay dan Rahardja,
2002).
Ciri-ciri sel kanker antara lain:
8
a. Kontrol pertumbuhan sudah hilang
b. Daya melekat sel satu dengan yang lain berkurang
c. Inhibisi kontak sudah tidak ada
d. Sistem enzimnya lebih sedikit jumlah / macamnya, misalnya sel kanker tidak
mempunyai asparagin sintetase
e. Enzim-enzim untuk pertumbuhan lebih besar dibanding sel normal
(Mulyadi, 1997)
Kanker sebenarnya merupakan suatu tumor atau neoplasma atau neoblastoma
yang terdiri dari tumor jinak (benign, benigna) dan tumor ganas (malignant, maligna,
kanker). Kanker dibedakan menjadi dua yaitu sarkoma dan karsinoma. Sarkoma
bersifat
mensensimal
misalnya
fibrosarkoma,
limposarkoma,
osteosarkoma.
Sedangkan karsinoma bersifat epitelial sebagai contoh kanker payudara, kanker
lambung, kanker uterus, kanker kulit (Mulyadi, 1997).
Penyebab kanker (karsinogen) dapat digolongkan menjadi beberapa faktor
antara lain:
a. Senyawa kimia (zat karsinogen)
Senyawa kimia bisa menyebabkan terjadinya kanker. Misalnya ter atau jelaga
berupa cairan atau gas sebagai hasil pembakaran zat biologi seperti kayu. Di dalam
ter banyak mengandung karsinogen berupa benzena, toluen, fenol, areosol. Pada biji
kacang-kacangan yang ditumbuhi jamur Aspergilus flavus terdapat aflatoksin yang
merupakan karsinogen alami dan dapat menyebabkan kanker hati (Sukardja, 2004).
9
b. Faktor fisika
Faktor fisika yang terutama adalah radiasi. Pengaruh radiasi pada molekul
DNA dapat menimbulkan:
1) Perubahan yang dapat kembali (reversibel)
2) Molekul DNA berubah (rusak) dan sel akan mati
3) Terjadi perubahan pada molekul DNA yang tidak dapat kembali (irreversibel)
dan mulai terjadinya kanker (Mulyadi, 1997).
Radiasi dapat menyebabkan DNA mengalami mutasi. Sehingga kemampuan
DNA dalam mengontrol suatu sifat dari suatu sel menjadi hilang. Sel dapat tumbuh
dengan sendirinya tanpa ada signal pertumbuhan sel dan mempunyai sifat yang
berbeda dengan sel yang normal sehingga menyebabkan terjadinya kanker.
c. Hormon
Pengamatan klinik pada manusia membuat sangat akseptabel bahwa
terjadinya kanker dan sifat karsinoma payudara, endometrium, dan prostat
dipengaruhi oleh hormon-hormon endogen atau eksogen (Velde et al., 1996). Salah
satu hormon yang bertanggung jawab terjadinya kanker payudara dan kanker
endoterium adalah hormon estrogen (Sukardja, 2000)
d. Virus
Rous Sarcoma Virus (RSV) dapat menyebabkan kanker pada ayam, leukemia
pada burung dan mamalia, Mork Disease Virus (MDV) menyebabkan limphoma pada
ayam (Mulyadi, 1997). Virus papiloma manusia (HPV) menyebabkan perubahan
10
paraneoplas dan neoplastik di dalam servik uteri. Kanker pada sel hepar yang
disebabkan virus hepatitis B (HBV) (Velde et al., 1996)
Penyebaran kanker dapat timbul melalui tiga cara, yaitu penyebaran limfatik
(yang paling sering), penyebaran melalui darah, serta melalui permukaan dan rongga
tubuh. Cara keempat yang mungkin adalah melalui implantasi langsung sel-sel
kanker pada sarung tangan operasi dan alat-alat selama biopsi dan manipulasi bedah
pada tumor (Price, 2005). Tumor payudara sering memberikan kesan menakutkan,
terutama jika ditemukan pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tidak hanya di
negara maju tapi juga di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia
frekuensi karsinoma payudara merupakan yang terbanyak yaitu dengan rasio 5:1,
dibandingkan dengan karsinoma servik uteri, sedangkan di Indonesia neoplasma ini
berada pada urutan kedua setelah karsinoma servik uteri (Nafrialdi dan Gan, S.,
2005).
4. Sel Kanker Payudara (T47D)
Kanker payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang
membatasi duktus atau lobus payudara. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk
tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat dipalpasi (kira-kira
berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, sekitar 25% kanker payudara sudah mengalami
metastasis (Price, 2005).
Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen atau
yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi. Pada
sel ini p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc-binding
11
domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika P53 tidak dapat mengikat
response element pada DNA, maka akan mengurangi atau menghilangkan
kemampuan dalam meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis (Schafer et.al., 2000
cit Melannisa, 2004)
5. Terapi Kanker Payudara
Terapi untuk kanker payudara dilakukan dengan serangkaian pengobatan
meliputi pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, terapi radiasi dan yang terbaru
adalah terapi antibodi monoklonal. Pengobatan ini ditujukan untuk memusnahkan
kanker atau membatasi penyebaran penyakit serta menghilangkan gejala-gejalanya.
Keberagaman jenis kanker payudara mengharuskan dilakukannya diagnostik
yang rinci sebelum memutuskan jenis terapi yang akan dipakai, sehingga pilihannya
bersifat individual. Terapi Sistemik Primer (Neo-adjuvant Therapy) dapat dilakukan
sebelum operasi pengambilan tumor, hal ini tergantung pada jenis, penyebaran, dan
ukuran tumor pada saat diagnostik awal. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi
ukuran tumor sehingga memungkinkan untuk dilakukannya operasi sekaligus
mempertahankan bentuk payudara. Hal ini juga memberikan informasi berharga
tentang sensitifitas tumor terhadap obat yang digunakan. Informasi ini akan
menentukan terapi yang tepat untuk mengatasi tumor yang tertinggal setelah operasi.
Tumor
primer
biasanya
dihilangkan
dengan
pembedahan.
Prosedur
pembedahan yang dilakukan pada pasien kanker payudara tergantung pada stadium
penyakit, jenis tumor, umur, dan kondisi umum pasien. Ahli bedah dapat mengangkat
12
tumor (lumpectomy), mengangkat sebagian payudara dan kelenjar getah bening atau
pengangkatan seluruh payudara (mastectomy).
Untuk meningkatkan harapan hidup, pembedahan biasanya diikuti dengan
terapi tambahan (ajuvan) seperti radiasi, hormon atau kemoterapi. Terapi radiasi
dilakukan dengan sinar-X berintensitas tinggi untuk membunuh sel kanker yang tidak
terangkat saat pembedahan. Ini dilakukan pada pasien yang telah menjalani operasi
untuk tumor yang terlokalisasi pada suatu area. Efek samping pada kulit berupa:
gatal, kemerahan, kulit kering dan kelelahan.
Pada terapi hormonal beberapa tumor payudara mengekspresikan banyak
reseptor estrogen (RE) pada permukaan selnya. Pada jenis tumor ini, hormon estrogen
wanita menunjang pertumbuhan tumor yang berikatan dengan RE dan mengatur
siklus pertumbuhan sel. Kanker payudara yang bergantung pada estrogen disebut REpositif. Terapi hormonal seperti tamoxifen atau penghambat aromatase, menghambat
efek pertumbuhan estrogen, dan dapat digunakan sebagai terapi ajuvan setelah
operasi atau pada kanker payudara stadium lanjut (metastatik).
Kemoterapi biasanya digunakan pada stadium awal ataupun stadium lanjut
penyakit (tidak dapat lagi dilakukan pembedahan, stadium lanjut yang terlokalisasi
atau metastatik). Obat kemoterapi bisa digunakan secara tunggal atau dikombinasikan
untuk terapi kanker payudara yaitu: Anthraycline contoh: doxorubicin, epirubicin.
Taxane contoh: paclitaxel, docetaxel. Fluoropyrimidine contoh: capecitabine, 5fluorouracil. Alkylating agent contoh: cyclophosphamide.
13
Pada terapi imunologik sekitar 20-30% tumor payudara menunjukkan
overekspresi atau amplifikasi gen secara berlebihan. Untuk pasien seperti ini,
trastuzumab antibody dirancang secara khusus untuk menyerang HER2.
Trastuzumab dapat menghambat pertumbuhan tumor dan mematikan sel
tumor. Pasien sebaiknya juga menjalani tes HER2 untuk mendapatkan manfaat terapi
dengan trastuzumab yang merupakan satu-satunya terapi imunologik untuk terapi
kanker payudara. Pengobatan pasien pada tahap akhir penyakit, sekitar 50% pasien
kanker payudara dapat sembuh, baik dengan terapi awal ataupun terapi ajuvan.
Sedangkan 50% lainnya mengalami metastatik, pilihan terapi lebih ditujukan untuk
meningkatkan angka harapan hidup. Diantara banyak obat kanker yang diteliti, hanya
sedikit yang efektif pada kasus pasien kanker payudara metastatik, diantaranya
trastuzumab dan capecitabine. Fokus terapi pada kanker stadium akhir adalah
memperpanjang harapan hidup tanpa mengurangi kualitas hidup pasien. Pada pasien
kanker payudara dengan HER2-positif, trastuzumab diberikan sebagai terapi lini
pertama untuk kanker payudara metastatik dengan kombinasi obat kemoterapi lainnya
(contoh: docetaxel atau paclitaxel) juga pada lini kedua ataupun pada lini ketiga
sebagai terapi tunggal (Anonime, 2008).
6. Uji Sitotoksik
Dua metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah metode
perhitungan langsung (direct counting) dengan menggunakan biru tripan (trypan
blue) dan metode MTT assay (Junedy, 2005).
14
Uji MTT assay merupakan salah satu metode yang digunakan dalam uji
sitotoksik. Metode ini merupakan metode kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini
merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh
sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada
mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal formazon ini memberi
warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader
(Doyle dan Griffith, 2000).
Penetapan jumlah sel yang bertahan hidup pada uji sitotoksisitas dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Ada penetapan yang didasarkan pada parameter
kerusakan membran, gangguan sintesis dan degradasi makromolekuler, modifikasi
metabolisme, serta perubahan morfologi sel. Petunjuk toksisitas berdasarkan adanya
kerusakan membran meliputi perhitungan sel yang mengambil (up take) atau dengan
bahan pewarna seperti biru tripan. Sedangkan perubahan morfologi diketahui dengan
mikroskop elektron (Snell and Mullock, 1987 cit Indriati, 2002).
Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50. Nilai IC50
menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebesar
50% dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini
merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel (Meiyanto, 2003).
Nilai IC50 dapat menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai sitotoksik. Semakin
besar harga IC50 maka senyawa tersebut semakin tidak toksik (Melannisa, 2004).
Akhir dari uji sitotoksisitas dapat memberikan informasi % sel yang mampu bertahan
dihidup, sedangkan pada organ target memberikan informasi langsung tentang
15
perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle and Griffths, 2000 cit
Nurrochmad 2001).
7. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatogafi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen–komponen
atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut
pengembang atau pelarut pengembangan campur. Pemilihan pelarut pengembangan
sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat–zat kimia yang dipisahkan. Fase
diam yang umum dan banyak digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan
CaSO4 untuk menambah daya lekat partikel silika gel pada pendukung (pelat)
absorban lain yang banyak dipakai adalah alumina, serbuk selulose, kanji dan
sephadex (Mulya dan Suharman, 1995).
Parameter pada kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), merupakan
perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak.
Adapun rumusnya sebagai berikut:
Rf =
Jarak yang ditempuh solut (cm)
Jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
(1)
Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, sedangkan bila dikalikan dengan 100
akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan
kualitatif dalam pengujian sampel dengan kromatografi lapis tipis (Sumarno,2001).
E. Keterangan Empiris
16
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data ilmiah tentang
efek sitotoksik ekstrak etil asetat herba bandotan terhadap sel T47D dan kandungan
kimianya.
Download