Kajian Tingkat Bahaya Erosi dan Arahan Konservasi pada Penggunaan Lahan Pertanian di Daerah Tangkapan Air Rawa Pening (Studi Kasus di DAS Galeh) Analysis of Erosion Hazard Level and Conservation Direction Use of Agricultural Land Use in the Catchment Area of Rawa Pening (Case Study in Galeh Watershed) FORITA D. ARIANTI1, SURATMAN2, EDHY MARTONO3, ABSTRAK Manusia sebagai komponen aktif dan pengelola lingkungan akan menentukan pola dan corak penggunaan lahan pada suatu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS dalam arti masih mantap atau terdegradasi dapat dilihat dari fluktuasi aliran permukaan (run-off), besarnya erosi dan tingkat produktivitas lahan. Penggunaan lahan di daerah tangkapan air (DTA) Rawa Pening belum sepenuhnya memperhatikan teknologi konservasi sehingga perlu diteliti dampaknya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2010, bertujuan untuk mengidentifikasi dan menentukan satuan-satuanlahan (land unit) pertanian berdasarkan tingkat bahaya erosi pada DAS Galeh yang merupakan salah satu DTA Rawa Pening di Kabupaten Semarang. Analisis tingkatan bahaya erosi dilakukan berdasarkan parameter– parameter: satuan-satuan lahan (land units), prediksi laju erosi tanah dengan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) dan indeks bahaya erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan pertanian berpengaruh terhadap besaran erosi yang terjadi dengan nilai rata-rata erosi pada penggunaan lahan tegalan sebesar 993,84 t ha-1 tahun-1; kebun sebesar 159,31 t ha-1 tahun-1, sawah sebesar 11,06 t ha-1 tahun-1. Berdasarkan kategori tingkat bahaya erosinya, lahan pertanian DAS Galeh telah mengalami erosi dengan kategori sedang hingga sangat berat. Untuk itu dinamika model pengelolaan lahan dengan penerapan teknologi konservasi dapat mengurangi tingkat bahaya erosi. Sebagai arahan konservasinya pada pengelolaan lahan kebun dilakukan pembuatan teras; pada pengelolaaan lahan tegalan dengan menambahkan mulsa limbah jerami 6 t ha-1 tahun-1; pembuatan teras dan tanaman dalam jalur, pada pengelolaan lahan sawah arahan konservasinya adalah pembuatan teras bangku dengan tanaman jagung, ubi kayu atau kedelai. Kata kunci : Erosi, Konservasi, Penggunaan lahan, DAS, USLE ABSTRACT Human as the active component and the environment organizer will determine the pattern and the type of a land usage in a watershed. Watershed, by means of staying steady or being degraded, can be seen from the runoff fluctuation, the erosion rate, and the land productivity level. The land use in the Catchment Area of Rawa Pening did not too paid attention to conservation technology. Therefore, the impact needs to be studied. The research was conducted in January-August 2010 in Galeh Watershed, which is one of the catchment areas Rawa Pening in Semarang district. This research aims to investigate the influence of agriculture land use toward erosion and determine ISSN 1410 – 7244 DAN SLAMET SUPRAYOGI2 agriculture land units based on the erosion level in Galeh watershed. The analysis of erosion hazard level was done based on some parameters: land units, soil erosion rate prediction using Universal Soil Loss Equation (USLE) method, and erosion hazard indices. The research result shows that the farming land use gives influence on the occurring erosion level with the average erosion value in the dry land use is 993.84 t ha-1 year-1; garden is 159.31 t ha-1 year-1; paddy field is 11.06 t ha-1 year-1. Based on the erosion level categories, the agriculture land in Galeh watershed has undergone erosion in moderate up to serious level. Therefore, agriculture land model dynamics was done by applying conservation technology which can decrease the erosion hazard level. As the conservation direction, on the plantations land terraces construction; on the dry-land cultivation, 6 t ha-1 year-1 hays were added, terraces construction was done, and planting in lines was also conducted; the conservation direction on the paddy field cultivation, such as: bench terraces construction which are planted with corn, cassava, or soybean. Keywords : Erosion, Conservation, Land Use, Watershed, USLE PENDAHULUAN Perubahan penggunaan lahan merupakan proses dinamis sesuai dengan perubahan jumlah dan kebutuhan masyarakat. Saat ini perubahan penggunaan lahan umumnya terjadi sebagai akibat dari kebutuhan yang mendesak, seperti kebutuhan pangan, sehingga terjadi juga peningkatan yang tajam dalam persaingan pemanfaatan sumber daya lahan. Pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk budidaya pertanian berpotensi menimbulkan dampak negatif pada sumber daya lahan. Pada dasarnya penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia terhadap lahan yang bersifat dinamis 1. Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. 2 Pengajar pada Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 3. Pengajar pada Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 39 JURNAL TANAH DAN IKLIM sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan secara kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan pertanian yang menimbulkan dampak antara lain berupa kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi serta sistem budidaya termasuk pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan. Daerah tangkapan air Rawa Pening terdiri atas 9 DAS yaitu DAS Legi, Parat, Galeh, Torong, Panjang, Ringis, Sraten, Rengas, dan Kedungringin. DAS Galeh merupakan DAS terluas (25,70%) dari luasan area DTA Rawa Pening yang memberikan sumbangan air ke Rawa Pening terbesar dibandingkan dengan DAS lainnya dengan debit air rata-rata 2,734 m3 dt-1. Namun demikian, kondisinya telah mengalami tingkat erosi berat dengan laju erosi 303,75 t ha-1 tahun-1 (Dinas PSDA, 2004 dan Balitbangda Provinsi Jawa Tengah, 2008). Permasalahan yang terjadi pada DAS Galeh saat ini antara lain :1) adanya penambangan batuan dan penambangan mineral bukan logam, (2) pola usahatani yang kurang mengikuti kaidah konservasi di bagian hulu dan 3) pada bagian hilir terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai Galeh. Kegiatan penduduk di suatu DAS secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi ekosistem wilayahnya dan juga perairannya, karena perubahan penggunaan lahan di DAS berpengaruh terhadap limpasan permukaan (overland flow) dan aliran sungai. Selainitu, apabila dalam praktek pengelolaan DAS dan penerapan tataguna lahan tidak dilakukan secara terpadu dan tidak terencana dengan baik, maka dapat mempengaruhi proses degradasi tanah. Degradasi tanah banyak terjadi di daerah pegunungan atau daerah yang berbukit-bukit, pada umumnya berupa erosi permukaan (surficial erosion) dan gerakan massa (mass movement). Gravitasi merupakan gaya penggerak utama gerakan massa tanah, sedangkan angin dan aliran air merupakan sumber terjadinya erosi. Erosi merupakan proses pengikisan tanah atau penghayutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah maupun sebagai akibat tindakan manusia (Poerbandono, 2006 dan Asdak, 2007). 40 NO. 35/2012 Erosi dapat mempengaruhi produktivitas lahan yang biasanya mendominasi DAS bagian hulu dan dapat memberikan dampak negative pada DAS bagian hilir (sekitar muara sungai) yang berupa hasil sedimen. Tingkat erosi tanah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: iklim (intensitas hujan), topografi, sifat tanah (erodibilitas tanah), vegetasi dan tata guna lahan oleh aktivitas manusia (Wischmeier and Smith, 1978; Hardiyatmo, 2006; dan Asdak, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan lahan pertanian terhadap erosi dan menentukan satuan-satuan lahan (land unit) pertanian berdasarkan tingkat bahaya erosi pada DAS Galeh. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di DAS Galeh Kabupaten Semarang pada bulan Januari-Agustus 2010. Analisis tingkatan bahaya erosi dilakukan berdasarkan parameter –parameter satuan lahan (land units), prediksi laju erosi tanah dengan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) dan indeks bahaya erosi. Pengukuran erosi dilakukan dengan pendekatan unit lahan yang didasarkan pada peta lereng, peta tanah dan peta penggunaan lahan. Berdasarkan peta unit lahan ini ditetapkan lokasi sampel erosi dengan metode area purposive sampling pada setiap satuan pengelolaan lahan pertanian (Gambar 1). Dalam penelitian ini juga dilaksanakan wawancara dengan menngunakan qusioner terstruktur terhadap petani, tokoh masyarakat dan petugas lapang. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang teknik-teknik konservasi yang dapat dilaksanakan oleh petani sebagai arahan konservasi dalam dinamika model pengelolaan lahan pertaniannya sehingga dapat mengurangi laju erosi dan tingkat bahaya erosi. Prediksi laju erosi menggunakan rumus USLE (Wischmeir and Smith,1978) dengan persamaan: A = R x K x LS x C x P FORITA D. ARIANTI ET AL. : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI DAN ARAHAN KONSERVASI Gambar 1. Peta lokasi survei lahan pada tiap unit lahan DAS Galeh Figure 1. Map of land survey location on every land unit Watershed Galeh dimana : -1 A = Jumlah kehilangan tanah akibat erosi (t ha tahun1) R K LS C = = = = P Indeks erosivitas hujan Faktor erodibilitas tanah Faktor panjang dan kemiringan lahan Faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman = Faktor pengelolaan lahan/tindakan konservasi tanah. Tingkat bahaya erosi (TBE) dihitung dengan kombinasi besar erosi dan kedalaman efektif solum tanah seperti disajikan pada Tabel 1. Indeks bahaya erosi (IBE) ditentukan berdasarkan rumus menurut Hammer (1981), sebagai berikut: Laju erosi tanah potensial (t ha-1 tahun-1) Indeks bahaya erosi = _______________________ TSL (ton t ha-1 tahun-1) an nilai TSL untuk tanah-tanah di Indonesia menurut Arsyad (2006), seperti disajikan pada Tabel 2. Kategori (harkat) hasil perhitungan indeks bahaya erosi (IBE) dapat ditentukan berdasarkan pada klasifikasi yang disajikan pada Tabel 3. HASIL DAN PE MBAHASAN Laju erosi Perhitungan erosi tanah permukaan dilakukan pada setiap satuan lahan pertanian. Hasil prediksi laju erosi yang terjadi pada satuan lahan pertanian di DAS Galeh untuk pengelolaan lahan tegalan ratarata 993,84 t ha-1 tahun-; pengelolaan lahan kebun rata-rata 159,31 t ha-1 tahun-n dan pengelolaan lahan sawah rata-rata 11,06 t ha-1 tahun-1 dan TBE nya dalam kategori sedang hingga sangat berat TSL = tolerable soil loss (laju erosi yang masih dapat ditoleransi) (Tabel 4). Nilai TSL pada masing-masing satuan lahan ditentukan dengan cara merujuk pedoman penetap- menunjukkan bahwa Nilai laju erosi satuan unit lahan di DAS Galeh semakin tinggi kemiringan lahan maka semakin besar erosinya. Kemiringan 41 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 35/2012 Tabel 1. Klasifikasi tingkat bahaya erosi Table 1. Classification of erosion hazard level Erosi Kelas erosi III IV V Erosi < 15 15-60 60-180 180-480 > 480 ……………………… t ha-1 tahun-1 ……………………… SR R S B SB R S B SB SB S B SB SB SB B SB SB SB SB I Solum tanah (cm) Dalam(> 90) Sedang (60-90) Dangkal (30-60) Sangat dangkal (< 30) II Tabel 2. Pedoman penetapan nilai TSL untuk tanah-tanah di Indonesia Table 2. Orientation of tolerable soil loss (TSL) score determination for soil in Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sifat tanah dan substratum Nilai TSL Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas batuan Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi). Tanah dangkal (25-50 cm) di atas bahan telah melapuk. Tanah dengan kedalaman sedang (50 – 90 cm) di atas bahan telah melapuk. 14,4. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk. 16,8. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas substrata telah melapuk. t ha-1 tahun-1 0 4,8 9,6 14,4 16,8 19,2 24,0 30,0 Tabel 3. Klasifikasi indeks bahaya erosi (Hammer, 1981) Table 3. Classification of erosion hazard index (Hammer, 1981) No. Indeks bahaya erosi Kategori 1. 2. 3. 4. < 1,00 1,01 – 4,00 4,01 – 10,00 >10,00 Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi lereng sangat berpengaruh terhadap aliran permuka- yang an, dimana makin curam lerengnya, makin besar Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). terjadi semakin besar (Hanafiah, 2005; jumlah serta kecepatan aliran permukaan yang Selain tingkat lereng, penggunaan lahan juga terjadi. Selain itu, dengan makin curam lereng, maka berpengaruh terhadap besaran erosiyang terjadi butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh pukulan dalam suatu DAS. Hal ini terlihat pada satuan lahan butir-butir hujan semakin banyak, sehingga dengan tegalan yang nilai erosinya lebih tinggi dibandingkan semakin curam lerengnya, kemungkinan erosi tanah dengan kebun dan sawah. Bentuk penggunaan lahan 42 FORITA D. ARIANTI ET AL. : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI DAN ARAHAN KONSERVASI Tabel 4. Hasil prediksi laju erosi tanah, klasifikasi TBE, TSL, IBE, dan kategori IBE pada satuan lahan di DAS Galeh Table 4. Prediction result of land erosion rate, TBE, TSL, IBE classification, and IBE category on every land unit in Watershed Galeh Satuan unit lahan R K LS C P A t ha tahun-1 32,54 92,69 151,75 166,88 352,66 159,31 1,10 3,76 0,76 5,53 6,80 13,49 23,88 11,06 127,29 415,38 838,62 2.413,11 1.174,78 993,84 TBE TSL IBE Ketegori IBE B SB S SB SB 9,6 9,6 19,2 9,6 14,4 10,56 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 14,4 11,52 4,8 9,6 9,6 9,6 19,2 10,56 3,39 9,66 7,90 17,38 24,49 13,77 0,11 0,39 0,08 0,58 0,71 1,41 1,66 1,19 26,52 43,27 87,36 251,37 61,19 93,94 S T T ST ST -1 IAdLtKbn IIAdLtKbn II LtMKbn IIIAdLtKbn IVAdLtKbn Rata-Rata IAdLtSwhIr IIAdLtSwhIr IAdLtSwhTH IIAdLtSwhTH IIIAdLtSwhTH IVAdLtSwhTH II LtMSwhTH Rata-Rata IAdLtTgl IIAdLtTgl IIIAdLtTgl IVAdLtTgl IILtMTgl Rata-Rata 1.560 1.721 1.860 1.622 1.547 1.662 1.560 1.721 1.560 1.721 1.622 1.547 1.860 2.318.2 1.560 1.721 1.622 1.547 1.860 1.662 1,04 0,77 0,53 0,66 0,67 0,73 0,88 0,78 0,61 1,15 0,68 0,64 0,94 1,14 0,83 0,62 0,60 0,94 0,83 0,76 0,4 1,4 3,1 3,1 6,8 2,96 0,4 1,4 0,4 1,4 3,1 6,8 6,8 4,06 0,4 1,4 3,1 6,8 3,1 2,96 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,10 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,70 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,50 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,28 0,35 0,4 0,4 0,35 0,35 0,37 dapat mengurangi atau meningkatkan pengaruh hujan yang terjadi. Sesuai dengan pendapat Suharta S S S S S S S SB SB SB SB SB R R R R R S S ST ST ST ST ST disesuaikan dengan sifat fisik dan kimia tanah serta dan Prasetyo (2008), dalam keadaan terbuka dan kondisi reliefnya (Suharta, 2010). Wilayah dengan relief datar hingga berombak sesuai untuk berlereng, kehilangan tanah melalui proses erosi juga pengembangan akan meningkat karena didukung oleh curah hujan semusim, sedangkan dimanfaatkan untuk yang tinggi disertai dengan sifat fisik tanah yang tidak stabil. Sutono et al. (2001), berpendapat lahan tegalan mempunyai tingkat erosi yang lebih tinggi dari lahan sawah, karena tegalan selain mempunyai kepekaan tanah yang tinggi, besarnya erosi juga disebabkan oleh pola tanam yang tidak menguntungkan dalam pengendalian erosi. Pengelolaan lahan tegalan yang selalu digunakan untuk tanaman semusim menjadi penyebab tingginya erosi . Penutupan lahan mempunyai peran yang penting dalam mengendalikan erosi (Asdak, 2007), sehingga pemilihan jenis tanaman yang dikembangkan perlu tanaman pangan wilayah tanaman lahan kering berbukit dapat tahunan atau perkebunan. Hal tersebut didasarkan pada keadaan bahwa tanah tegalan atau lahan kering tergolong peka erosi. Oleh karena itu, pengembangan tanaman pangan semusim yang memerlukan pengelolaan lahan secara intensif sebaiknya diarahkan pada wilayah dengan lereng tidak lebih dari 8%, dengan tetap mempertahankan pengelolaan lahan konservasi. Wilayah bergelombang dengan lereng lebih dari 8% dapat dimanfaatkan untuk tanaman tahunan yang tidak memerlukan pengelolaan lahan secara intensif sehingga dapat menekan bahaya erosi. Guimaraes et al. (2008), menambahkan bahwa penerapan pola 43 JURNAL TANAH pergiliran tanaman, penambahan pemupukan dalam jumlah cukup digunakan sebagai pengendali erosi. kapur juga DAN IKLIM dan dapat NO. 35/2012 Kondisi lahan tersebut menunjukkan bahwa lahan DAS Galeh telah mengalami degradasi. Proses degradasi tanah, terutama yang banyak Selain faktor iklim, vegetasi dan penggunaan lahan, unsur dari morfometri DAS juga mempengaruhi proses erosi. Reddy et al. (2004), menyatakan bahwa pengaruh morfometri lebih terkait dengan proses-proses yang terjadi di permukaan lahan seperti proses-proses bentuk lahan, sifat fisik tanah dan karakteristik erosi yang terjadi. Selanjutnya dikemukaan oleh Reddy et al. (2004) bahwa kemiringan lereng suatu DAS (mean slope of watershed) merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi erosi. terjadi di daerah pegunungan atau daerah yang Kemiringan rata-rata DAS Galeh sebesar 2,5%. Kemiringan rata-rata DAS menggambarkan tingkat kemiringan lereng rerata dalam DAS. Semakin tinggi tingkat kemiringan lereng suatu DAS, semakin kecil kemungkinan air hujan yang meresap dalam DAS (semakin besar jumlah air yang keluar sebagai limpasan), sehingga semakin kecil potensi Available Water Holding Capacity (AWC) DAS tersebut akan semakin kecil pula tampungan air tanah (sebagai sumber utama aliran dasar). Demikian juga, Seyhan (1977) menyatakan bahwa kemiringan rerata suatu DAS merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya aliran di suatu DAS. Semakin landai suatu DAS, tingkat penggenangan yang terjadi di DAS tersebut semakin besar. degradasi lahan adalah: 1) penggunaan lahan yang berbukit-bukit, dimana pada lokasi-lokasi ini degradasi permukaan tanah umumnya berupa erosi permukaan (surficial erosion) dan gerakan massa (mass movement). Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan erosi aktual yang telah melebihi erosi yang diperbolehkan meskipun pada lahan sawah masih didapatkan beberapa satuan unit lahan (SUL) yang nilai erosi aktualnya lebih kecil dari nilai erosi yang diperbolehkan. Tarigan (2008) dan Hutabarat (2008) menyebutkan faktor penyebab terjadinya tidak sesuai dengan kemampuan lahan, 2) aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta 3) iklim, terutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi. Berdasarkan Tabel 4, satuan unit lahan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan kelas TBE nya tergolong sedang, karena pada pengelolaan lahan sawah umumnya masyarakat telah menerapkan teknik konservasi berupa teras yang dapat mengurangi laju erosi. Menurut Nishio (1999), kondisi lahan sawah dengan sistem teras dapat Tingkat bahaya erosi (TBE) Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan faktor tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan apabila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tersebut tidak mengalami perubahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, luas lahan DAS galeh yang telah mengalami erosi dengan kategori TBE tergolong sedang 305,45 ha; TBE tergolong berat seluas 394,43 ha dan lahan dengan TBE tergolong sangat berat luasnya mencapai 4.542, 25 ha (Gambar 2). 44 berfungsi sebagai pengendali erosi dan longsor serta dapat memelihara sumber daya air tanah. Laju erosi di lahan sawah dapat terjadi kapan saja, hal ini karena berhubungan dengan aktivitas di sawah sehingga menyebabkan terbongkarnya lumpur menjadi koloid yang mudah terbawa oleh aliran air irigasi. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan lahan kebun banyak dijumpai pada wilayah dengan topografi landai hingga curam. Dalam mengelola lahan kebunnya, selain untuk tanaman tahunan, petani juga memanfaatkan lahannya untuk menanam FORITA D. ARIANTI ET AL. : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI DAN ARAHAN KONSERVASI Gambar 2. Peta tingkat bahaya erosi pada DAS Galeh Figure 2. Map of erosion hazard level on Watershed Galeh tanaman semusim dibawah tegakan tanaman tahunan. Hal ini dilakukan karena hasil tanaman semusim dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara hasil tanaman tahunan dimanfaatkan apabila ada kebutuhan dalam jumlah besar dan jangka panjang seperti biaya sekolah dan biaya hajatan. Masyarakat dalam mengusahakan tanaman semusim, pengolahan tanahnya seringkali dilakukan secara terus menerus dan tidak serempak dalam satu hamparan, akibatnya tanah cepat terdegradasi. Hal demikian menyebabkan pada lahan kebun mengalami TBE berat hingga sangat berat. Faktor kelerengan lahan yang bergelombang pada satuan lahan kebun juga memberikan pengaruh yang besar terhadap kenaikan laju erosi, karena daya hancur air hujan terhadap partikel tanah dan distribusinya semakin besar jika dibandingkan dengan lereng yang datar. Pada lahan tegalan banyak dijumpai lahan dengan TBE berat dan sangat berat. Kondisi lahan tegalan yang terbuka menyebabkan air hujan yang jatuh ke tanah langsung menghancurkan agregatagreat tanah kemudian terangkut oleh aliran permukaan sebagai erosi. Menurut Bruijnzeel (2009), vegetasi mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi pergerakan air melalui proses limpasan permukaan, sub surface flow, infiltrasi, dan perkolasi. Penutupan vegetasi di daerah-daerah dengan kemiringan lereng yang besar mempunyai pengaruh hidrologis yang signifikan dibandingkan dengan penutupan vegetasi di daerah dengan kemiringan lereng yang datar atau landai. Potensi limpasan permukaan di daerah dengan kemiringan lereng yang besar, lebih tinggi daripada dataran. Erosi merupakan salah satu penyebab utama turunnya produktivitas lahan. Dalam proses erosi partikel-partikel tanah dan bahan organik tanah, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berasal dari input pertanian, terbawa oleh air sehingga menurunkan kualitas tanah. Bahan organik 45 JURNAL TANAH DAN IKLIM memiliki fungsi penting dalam budidaya pertanian, karena merupakan bagian dari ekosistem yang berhubungan erat dengan sifat kimia, fisika, dan proses biologi tanah (Mathers et al., 2000; Chen et al., 2004). Huang dan Zhang (2004, dalam Dou et al., 2008) menyatakan bahwa perlakuan konservasi tanah menyebabkan penurunan limpasan sebesar 1,30 mm tahun-1 dan penurunan aliran dasar sebesar 0,48 mm tahun-1, dan pada saat yang sama, rasio aliran dasar tahunan terhadap total limpasan mengalami kenaikan dari 0,53 menjadi 0,61. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan lahan pertanian. Indeks bahaya erosi Untuk mengetahui perlu atau tidaknya dilakukan tindakan konservasi tanah, maka dihitung Indeks bahaya erosi (IBE). IBE adalah suatu indeks yang merupakan perbandingan antara erosi aktual (A) dengan erosi yang diperbolehkan (T). Indeks ini digunakan untuk menilai apakah suatu pengelolaan lahan perlu diberi tindakan konservasi tanah atau tidak. Apabila nilai IBE kurang dari atau sama dengan satu (1) maka tidak perlu dilakukan tindakan konservasi tanah. Sebaliknya, apabila nilai IBE lebih dari satu maka perlu dilakukan tindak konservasi. IBE DAS Galeh pada penggunaan lahan sawah sebesar 0,39-2,49 tergolong kategori ringan hingga sedang, penggunaan kebun 6,78-24,49 tergolong kategori tinggi hingga sangat tinggi, sedangkan pada tegalan IBE nya 26,52-251,71 tergolong kategori sangat tinggi (Tabel.4 terdahulu). Artelnatif penggunaan lahan Berdasarkan nilai IBE, dan hasil wawancara dengan petani, tokoh masyarakat dan penyuluh pertanian lapangan (PPL) maka dalam pengelolaan lahan pertanian di DAS Galeh perlu dilakukan dinamika atau alternatif perubahan penggunaan lahan pertanian dengan simulasi penerapan teknik konservasi lahan secara mekanis maupun vegetatif 46 NO. 35/2012 yang dapat mengurangi laju erosi sehingga dapat mengurangi luasan lahan berdasarkan tingkat bahaya erosi. Dalam prakteknya, pengendalian erosi cara vegetatif, sekali gus juga berfungsi sebagai teknik penambahan bahan organik. Adapun teknik konservasi lahan yang dimungkinkan dapat diaplikasikan di tingkat petani adalah (1) pada lahan kebun dilakukan pembuatan teras secara tradisional dan teras bangku kondisi buruk; (2) pada penggunaan lahan tegalan dengan menambahkan mulsa limbah jerami 6 t ha-1 tahun-1; tanaman dalam jalur, teras bangku kondisi baik dan teras gulud dengan tanaman jagung, kacang dan mulsa sisa tanaman serta mulsa jerami 6 t ha-1 tahun-1; (3) pada lahan sawah dengan pembuatan teras gulud dan ditanami kacang kedelai, teras bangku dengan tanaman jagung, ubi kayu atau kedelai. Suatu bentuk penggunaan lahan akan mempunyai nilai erosivitas hujan dan limpasan tertentu, sehingga simulasi bentuk pengelolaan lahan pertanian yang dibuat diharapkan dapat menghasilan erosivitas hujan dan limpasan yang sesuai dengan kaidah konservasi lahan. Adapun simulasi dari perlakuan teknik konservasi beserta peta arahannya terdapat pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 6. Berdasarkan pada Gambar 3 dan 4 dapat dikemukakan bahwa untuk melakukan pengurangan kategori TBE 15% dilakukan penerapan teknik konservasi pada lahan kebun dengan pembuatan teras tradisional, pada lahan tegalan dilakukan teknik konservasi berupa teras bangku, tanaman dalam jalur dengan jagung, kacang tanah dan mulsa, teras gulud dengan tanaman kacang kedelai dan menambahkan mulsa limbah jerami 6 t ha-1 tahun-1. Adapun pada penggunaan lahan sawah dilakukan teknik konservasi berupa teras gulud dengan tanaman kacang kedelai. Dengan penerapan konservasi seperti tersebut di atas diharapkan dapat mengurangi erosi 15% dan terjadi perubahan luas lahan berdasarkan TBE nya menjadi lahan dengan TBE sedang 305,45 ha; TBE berat seluas 2.086, 23 ha dan lahan dengan TBE sangat berat luasnya mencapai 2.850,46 ha. FORITA D. ARIANTI ET AL. : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI DAN ARAHAN KONSERVASI Gambar 3. Peta tingkat bahaya erosi jika berkurang 15% Figure 3. Map of erosion hazard level if decrease 15% Gambar 4. Peta arahan konservasi DAS Galeh untuk pengurangan TBE 15% Figure 4. Map of conservation direction Watershed Galeh for the TBE decrease 15% 47 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 35/2012 Gambar 5. Peta tingkat bahaya erosi jika berkurang 30% Figure 5. Map of erosion hazard level if decrease 30% Gambar 6. Peta arahan konservasi DAS untuk pengurangan TBE 30% Figure 6. 48 Map of conservation direction Watershed Galeh for the TBE decrease 30% FORITA D. ARIANTI ET AL. : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI Untuk melakukan pengurangan kategori TBE 30%, dilakukan penerapan konservasi pada penggunaan lahan kebun berupa teras bangku dengan kondisi buruk, pada penggunaan lahan tegalan teknik konservasinya penambahan mulsa limbah jerami 6 t ha-1 tahun-1, teras gulud: tanaman jagung, kacang dan mulsa sisa tanaman, teras bangku, atau teras bangku dengan tanaman jagung, ubi kayu dan kedelai; lahan sawah teknik konservasi yang diterapkan adalah teras bangku dengan tanaman jagung, ubi kayu dan kedelai. Luasan lahan berdasarkan pengurangan TBE 30% adalah lahan dengan TBE sedang 531,18 ha, lahan dengan TBE berat seluas 1.981,32 dan lahan dengan TBE sangat berat seluas 2.729,63 ha (Gambar5-6). KESIMPULAN DAN ARAHAN KONSERVASI teras gulud dan ditanami kacang kedelai, teras bangku dengan tanaman jagung, ubi kayu atau kedelai. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah. 2008. Studi Penelitian Karaktersitik Rowo Pening. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama dengan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang. Bruijnzeel, L.A. 2009. Tropical Reforestation and Streamflow: The Need for a Balanced Account. Vrije Universiteit. Amsterdam. 1. Nilai laju erosi pada satuan atau unit lahan di DAS Galeh menunjukkan bahwa semakin tinggi kemiringan lahan maka semakin besar erosinya. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan, dimana makin curam lerengnya, makin besar jumlah serta kecepatan aliran permukaan yang terjadi. Chen, C.R., Z.H. Xu, and N.J. Mathers. 2004. Soil carbon pools in adjacent natural and plantation forests of Subtropical Australia. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:282- 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan pertanian berpengaruh terhadap besaran erosi yang terjadi dengan nilai rata-rata erosi pada penggunaan lahan tegalan sebesar 999,83 t ha-1 tahun-1; kebun sebesar 159,31 t ha-1 tahun-1, sawah sebesar 11,06 t ha-1 tahun-1. Berdasarkan kategori tingkat bahaya erosinya, lahan pertanian DAS Galeh telah mengalami erosi dengan kategori sedang hingga sangat berat. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah. 2004. Laporan Akhir Rencana Pengembangan Sumber Data Air Sub DAS Rawa Pening. Semarang. 3. Sebagai arahan konservasinya pada pengelolaan lahan kebun dilakukan pembuatan teras secara tradisional dan teras bangku; pengelolaaan lahan tegalan dengan menambahkan mulsa limbah jerami 6 t ha-1 tahun-1, teras bangku dan teras gulud dengan tanaman jagung, kacang dan mulsa sisa tanaman, tanaman dalam jalur; pada pengelolaan lahan sawah dengan pembuatan Departemen Kehutanan, Ditjen RRL. 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilatasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dou, L., M. Huang, and Y. Hong. 2008. Statistical Assessment of the Impact of Conservation Measures on Streamflow Responses in a Watershed of the Loess Plateau, China. Water Resour Manage DOI 10.1007/s11269-008-9361-6. © Springer Science + Business Media B.V. 2008. Guimaraes, F.M., I.C.B. Fonseca, M. Brossard, C.M.R. Portella, Osmar, R. Brito, and J.C. Ritchie. 2008. Monitoring changes in the chemical properties of an Oxisol under longterm no-tillage management in Subtropical Brazil. Soil Sci. 173(6):408-416. Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report.AGOF/INS/78/006. Tech. Note No. 10. Centre for Soil Research, Bogor, Indonesia. 49 JURNAL TANAH DAN IKLIM Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Mathers, N.J., X.A. Mao, Z.H. Xu, P.G. Saffigna, S.J. Berners-Price, and M.C.S. Perera. 2000. Recent advances in the application of C-13 and N-15 NMR spectroscopy to soil organic matter studies. Aust. J. Soil Res. 38:769787. Nishio, M. 1999. Multifunctional character of paddy farming. Annex 7 in Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of Agricultural Technology Information between Asean Member Countries and Japan. Jakarta 16-17 February, 1999. ASEAN Secretariat-Jakarta. Poerbandono, A. Basyar, A.B. Harto, dan P. Rallyanti. 2006. Evaluasi perubahan perilaku erosi Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan pemodelan spasial. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan 2(2):21-28. Reddy, G.P.O., A.K. Maji, and K.S. Gajbhiye. 2004. Drainage morphometry and its influence on landform characteristics in a basaltic terrain, Central India-a remote sensing and GIS approach. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation 6:116. 50 NO. 35/2012 Seyhan, E. 1977. Mathematical Simulation of Watreshed Hydrologic Processes. Geografisch Institute der Rijk Universiteit. Utrecht. Suharta, N. 2010. Karakteristik dan permasalahan tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan. Jurnal Litbang Pertanian 29(4):49-54. Suharta, N. dan B.H. Prasetyo. 2008. Susunan mineral dan sifat fisiko-kimia tanah bervegetasi hutan dari batuan sedimen masam di Provinsi Riau. Jurnal Tanah dan Iklim 28:1-14. Sutono, S., H. Kusnadi, dan M.S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Hlm. 79-92. Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. ASEAN SekretariatMAFF Japan-Puslittanak. Tarigan, S.D., N. Sinukaban, dan K. Murtilaksono. 2008. Analisis dan Strategi Penanganan Bahan Terdegradasi dalam Mendukung Penyediaan Lahan Pangan dan Ketersediaan Air. Hlm 75-80. Dalam Prosiding. Strategi Penanganan Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23 Desember 2008, IPB. Bogor. Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfal Erosion Losses, A Guide to Conservation Planning. USDA. Agric. Handbook 537. Washington DC.