STEREOTIP SUKU MANDAR DI KOTA MAKASSAR ( STUDI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SUKU BUGIS DAN SUKU MANDAR OLEH: AHMAD RIZANDY R E 311 08 261 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012 HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar ) Nama Mahasiswa : Ahmad Rizandy R Nomor Pokok : E31108274 Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing. Makassar, 04 Oktober 2012 Menyetujui Pembibing I Pembimbing II Das’ad Latif,S.Sos,S.Ag.M.Si NIP:197312212006041002 Dr. H. Muhammad Farid, M.Si NIP: 196107161987021001 Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. H. Muhammad Farid, M.Si NIP: 196107161987021001 HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI Telah diterima oleh Tim Evaluasi Skripsi Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations Pada Hari Rabu, Tanggal 28 November 2012. Makassar, 28 Agustus 2012 TIM EVALUASI Ketua : DR. H. Muhammad Farid, M.Si (…………………) Sekretaris : Das’ad Latif, S. Sos, S.Sag, M.Si (…...…………….) Anggota : 1. Drs. Abdul Gafar, M.Si (…...…………….) 2. DR. Jeanny Maria Fatimah, M.Si (…...…………….) 3. Drs. Kahar. M. Hum (…...…………….) KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan kemudahan serta ridha-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan meski penulis mengalami beberapa hambatan. Tak lupa penulis mengucapkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulitian yang berjudul “Stereotip suku Mandar di kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar)” diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami dan menghargai perbedaan dalam melakukan komunikasi antarbudaya khususnya pada perbedaan budaya, karena perbedaan itu sendiri bukanlah hambatan dalam melakukan komunikasi melainkan rahmat yang diberikan olleh Allah SWT kepada kita. Proses penyusunan skripsi ini melibatkan berbagai pihak yang memberi dukungan berupa fasilitas, dukungan materil, moril, dan doa. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada 1. Ibunda tercinta (salmah) dan ayahanda (Abd Rahman) , penulis banggakan Kak Rudi, Serly, Siska, Ilham, adik Dyna, David dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Bapak Dr. Muhammad Farid, M.Si selaku pembimbing I dan Das’ad Latif, S.Sos,S.Ag,Msi selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran hingga penulisan skripsi ini terselesaikan. 3. Bapak Dr. Muhammad Farid, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin. 4. Bapak Drs. Sudirman Karnay, Msi selaku sekertaris jurusan ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. 5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen ilmu komunikasi yang telah memberikan ilmu dan keteladanan. 6. Pegawai dan staf-staf di akademik dan jurusan ilmu komunikasi yang telah banyak membantu. 7. Masyarakat kelurahan Lette RW V terkhusus kepada Mira yang telah membantu, mengenalkan pada warga selama di lokasi penelitian. 8. Sahabat-sahabatku di Jurusan Ilmu Komuniksai 08 : Zulhidayat dan Zulfikar, Baso, Akil, Mifda dan seluruh teman-teman di jurusan komunikasi. 9. Teman-temanku chenry, Arif, Adnan, Takdir dan Asrul terima kasih atas dukungan dan bantuannya. 10. Saudara-saudaraku yang ada di UKM Silat FISIP UNHAS. Semoga allah swt senantiasa memberikan karunia dan perlindungan kepada kita semua, mengingat penulis masih perlu banyak belajar, maka dengan kerendahan hati meminta kesediaan pembaca untuk meminta tanggapan dan masukan bilamana dalam penyelesaian skripsi ini terdapat kesalahan dan kekeliruan. Besar harapan penulis agar skripsi ini bisa menjadi sebuah referensi ataupun literatur yang dapat meningkatkan potensi, wawasan dan pengetahuan mahasiswa ilmu komuniasi kususnya komunikasi antarbudaya. Makassar, 24 November 2012 PENULIS ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Stereotip Suku Mandar Di Kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar)”.(Dibimbing oleh Muhammad Farid dan Das’ad Latif). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stereotip yang berkembang dalam komunikasi antarbudaya warga suku Bugis terhadap suku Mandar. Selain itu, penilitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan serta melakukan wawancara mendalam dengan unit analisis warga Bugis yang ditentukan melalui Purposive sampling yakni menentukan secara sengaja unit analisis dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stereotip yang berkembang terhadap suku Mandar di kota Makassar hampir sama. Dari stereotip-stereotip yang ada pada unit analisis semuanya berkembang dan mengarah pada stereotip yang positif walaupun ada satu unit analisis yang memiliki stereotip negatif terhadap suku Mandar. Kemudian dari unit-unit analisis juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip terhadap suku Mandar adalah lingkungan sosial, persepsi, interaksi langsung, dan unsur kebudayaan (kepercayaan, nilai, sikap dan lembaga sosial). DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ............................................ iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................ 7 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 7 D. Kerangka Konseptual .......................................................... 8 E. Definisi Operasional ............................................................ 12 F. Metode Penelitian ................................................................ 14 BAB II BAB III BAB IV BAB V TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 18 A. Pengertian Komunikasi ...................................................... 18 B. Fungsi Komunikasi .............................................................. 20 C. Komunikasi sebagai proses sosial ..................................... 21 D. Budaya ................................................................................. 22 E. Komunikasi Antarbudaya .................................................... 26 F. Stereotip dan Prasangka ....................................................... 31 G. Persepsi ................................................................................. 37 H. Teori Interaksi Simbolik ....................................................... 39 I. Konflik .................................................................................. 41 J. Nilai-nilai Suku Bugis .......................................................... 42 K. Nilai-nilai Suku Mandar ....................................................... 45 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................... 50 A. Keadaan Geografis kelurahan Lette..................................... 50 B. Keadaan Demografi kelurahan Lette ................................... 50 C. Keadaan Sosialbudaya kelurahan Lette .............................. 53 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 55 A. Hasil Penelitian ................................................................. 55 B. Pembahasan ....................................................................... 77 PENUTUP .................................................................................... 94 A. Kesimpulan ............................................................................ 94 B. Saran ....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 95 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keanekaragaman suku bangsa merupakan masalah global, hampir seluruh negara di dunia memiliki keanekaragaman suku, etnis dan agama. Keanekaragaman tersebut tentunya ditandai dengan keberagaman kebubudyaan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan tatanan pengetahuan, bahasa, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, dan konsep tentang alam semesta. Kebudayaan yang dimiliki oleh suku, etnis, dan agama turut mempengaruhi gaya komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan Cangara (2008:156) bahwa terdapat rintangan budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan budaya yang dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam berkomunikasi. Keanekaragaman masyarakat (masyarakat majemuk) adalah hal yang dihargai pada masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.Wilodati (2012) secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi: Pertama, hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan ini merujuk pada pada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ayah, ibu atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dengan ciri-ciri fisik orang lain (rambut, kulit dan bentuk muka). Ketiga, daerah asal merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada di tempat lain seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan serta prilaku. Keempat, menggunakan bahasa sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut Indonesia yang berbeda-beda. Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan konflik antar kelompok. Konflik kelompok di Indonesia, seperti konflik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) sudah menjadi konsekuensi dalam hidup bermasyarakat majemuk, karena hal tersebut bisa terjadi kapan saja dengan membawa identitas kelompok. Konflik SARA biasanya terjadi ketika antar kelompok tidak dapat saling memahami budaya masing-masing dan merasa budayanyalah yang lebih unggul dibanding yang lain (etnosentrisme). Konflik kelompok dalam masyarakat majemuk mengindikasikan bahwa terdapat kegagalan dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang dimaksud menurut Stewart dalam Djuarsa dan Sunarwinardi (2008:277) adalah komunikasi yang terjadi dalam satu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai, adat dan kebiasaan. Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dalam prespektif The 5 Invetable Laws of Effective Communication (Lima Hukum Komunikasi Efektif) meliputi: Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble disingkat REACH. Hal ini relevan dengan prinsip komunikasi sosial budaya yaitu sebagai upaya meraih perhatian, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain (Suranto, 2010:194). Stereotip-stereotip terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan hambatan dalam membangun sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif. Lippman dalam Mariah (2007:62) menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” bahwa tidak melihat dulu lalu mendefinisikan, mendefinisikan dulu kemudian melihat, kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan kebanyakan hal sebelum mengalaminya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip dapat menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis. Stereotip itu sendiri terbentuk oleh kategori sosial yang merupakan upaya individu untuk memahami lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, ketika individu menghadapi sekian banyak orang di sekitarnya, individu akan mencari persamaan-persamaan antara sejumlah orang tertentu dan mengelompokkan mereka kedalam satu kategori. Namun pada gilirannya kategori sosial ini justru mempengaruhi cara pandang seseorang yang sudah dimasukkan kedalam kelompok tersebut. Akibatnya timbul kesalahan- kesalahan dalam melakukan persepsi sosial karena seluruh individu dalam kategori sosial tertentu mempunyai sifat-sifat dari kelompoknya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multikultur terdiri dari banyak suku dan etnik tentunya akan mudah menimbulkan stereotip antaretnik dan suku. Stereotip ini dapat menjadi pemicu konflik jika stereotip tidak sesuai dengan kebenaran yang ada atau salah dalam mempersepsi terhadap kelompok lain. Oleh karena itu kesalapahaman yang ditimbulkan oleh stereotip harus senantiasa dihilangkan dalam aktifitas komunikasi antarbudaya. Keberhasilan komunikasi antarbudaya juga sangat diperlukan bagi masyarakat yang mendiami kota-kota besar di Indonesia. Tingginya tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota, ketergantungan ekonomi dan mobilitas antar negara menjadikan kota sebagai tempat yang didiami berbagai latarbelakang budaya yang berbeda. Kesalapahaman antarbudaya yang ditimbulkan oleh stereotip bisa saja terjadi dalam hidup bermasyarakat di kota-kota besar jika anggota masyarakat tidak dapat memahami satu sama lain mengenai budaya kelompok lain. Salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia yang saat ini mengalami perkembangan pesat adalah kota Makassar, terletak dibagian timur Indonesia yang sekaligus merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar sejak abad XV sudah menjadi kota Niaga yang memiliki peranan penting di Asia Tenggara adanya hubungan dangan kota- kota dagang lainnya seperti Siam, Pegu, Malaka, Aceh, Cina dan Arab sebagai bukti bahwa kota Makassar adalah sebuah kota yang besar sekaligus menandakan bahwa kota Makassar sudah menjadi kota multikultur. Sampai saat ini pun kota Makassar masih menjadi primadona bagi masyarakat lokal maupun mancanegara. Sebagai pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan, tentunya hal tersebut menjadi daya tarik kelompok masyarakat tersebut untuk menetap di kota Makassar. Tak heran jika kota Makassar didiami bebagai macam etnis, suku dan agama yang berbeda dan ini dapat dilihat dengan adanya perkempungan etnis atau suku tertentu yang ada di kota Makassar seperti kampung Cina, kampung Toraja, kampung Mandar. Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotip dan prasangka negatif yang masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi pemicu terjadinya konflik antar kelompok etnis dan suku di kota Makassar. Seperti halnya rentetan konflik yang pernah terjadi contohnya konflik pada tahun 1997 melibatkan etnik Bugis-Makassar dan Cina, kemudian tawuran antar mahasiswa berbeda suku yang kerap terjadi dan terakhir konflik mahasiswa Bone dan Palopo pada tanggal 29 oktober 2011 adalah gambaran nyata bahwa konflik antar kelompok suku dan etnis sangat rentan di kota Makassar sebagai kota yang bermasyarakat majemuk. Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnis dan suku, tetapi ada empat suku besar yang sekaligus mendiami kota Makassar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dari literatur-literatur sejarah Sulawesi Selatan bahwa sejak zaman kerajaan, keempat suku tersebut sudah memiliki hubungan satu sama lain baik dari aspek perdagangan, politik, dan budaya. Oleh karena itu keempat suku tersebut memiliki beberapa persamaan dari aspek budaya dan sampai saat ini keempat suku tersebut memilik ikatan persaudaraan yang kuat sebagai suku besar yang mendiami Sulawesi Selatan. Suku Mandar sendiri dulunya menjadi bagian dari Sulawesi Selatan, tetapi pada tahun 2006 daerah suku Mandar terpisah dari Sulawesi Selatan menjadi sebuah provinsi tersendiri dibagian barat Sulawesi, tetapi suku Mandar yang sudah bermukim di kota Makassar masih tetap menjadi bagian dari masyarakat kota Makassar. Ini terbukti dengan adanya sebuah perkampungan Mandar yang bagi masyarakat kota Makassar mengenalnya “Kampung Mandar” daerah ini berada di Jalan Rajawali kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar, penghuni daerah ini adalah mayoritas suku Mandar. Salah satu contoh stereotip yang berkembang bagi suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan adalah stereotip terhadap suku Mandar. Selain suku Mandar diakaui sebagai pelaut ulung yang hanya dengan perahu “Sandeq” dapat mengarungi lautan luas, diketahui juga bahwa suku Mandar adalah suku yang banyak memiliki “Ilmu sihir” atau bagi masyarakat Sulawesi Selatan mengenalnya dengan istilah “Doti”. “Pelembekan kepala” terhadap lawan yang ingin disengsarakan adalah jenis doti yang dimiliki suku Mandar dan menjadi cerita yang lazim terdengar dan di takuti di Sulawesi Selatan (Ngeljaratan dalam http:/sebuah-refleksi-kritis-tentang-mandar). Berkembangnya stereotip tersebut bisa menjadi potensi yang menghambat dalam komunikasi antarbudaya Suku Mandar dengan suku Bugis maupun dengan suku lainnya khususnya ketika mereka berada dalam linkungan masyarakat Kota Makassar. Stereotip tersebut bisa saja menjadi penilaian negatif terhadap suku Mandar sehingga dikawatirkan akan mengarah pada sikap dan perilaku negatif terhadap suku mandar. Selain itu apabila kebenaran akan stereotip tersebut benar-benar terjadi tentunya tuduhan akan secara langsung tertuju pada suku Mandar yang belum tentu suku Mandar yang melakukan sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis ingin meneliti mengenai stereotip tersebut dengan judul penelitian: “Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar)” B. Rumusan Masalah Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian, permasalahan yang diteliti dibatasi sesuai dengan topik yang diteliti. Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah stereotip yang berkembang pada suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui stereotip yang berkembang pada suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar. 2. Kegunaan Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan khususnya pada kajian komunikasi antarbudaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi untuk mengajukan saran dan rekomendasi kepada pihak lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan D. Kerangka Konseptual Rich dalam Djuarsa & Sunarwinardi (2008) komunikasi antarbuadaya terjadi apabila diantara orang-orang yang berbeda kebudayaannya dan Stereotip merupakan hambatan dalam melakukan komunikasi secara efektif antara orang yang berlainan budaya karena stereotip merupakan keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman bersama, Jhonson dalam liliweri (2005:209). Menurut Tajfel dalam Gudykunst (1992:91) stereotip dibedakan menjadi stereotip individu dan stereotip sosial, sebagaimana diketahui stereotip merupakan generalisasi yang dilakukan seseorang individu dengan menarik kesimpulan atas karakter orang lain melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu) adalah stereotip individu. Sedangkan stereotip sosial terjadi manakala stereotip itu telah menjadi evaluasi terhadap kelompok tertentu dan telah meluas dan menyebar pada kelompok lain. Stereotip ini hanya bisa menjadi sebuah stereotip sosial jika mereka dimiliki atau didasarkan oleh sebagian besar dari orang yang ada dalam kelompok sosial. Sama halnya dengan isu yang berkembang pada suku Mandar di kota Makassar yang dianggap sebagai suku yang memiliki banyak ilmu sihir atau “doti” adalah evaluasi yang telah meluas dan menyebar pada suku lain. Miles dan Brown dalam liliweri (2005:208) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotip: 1. Acap kali keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan kategorisasi itu selalu terindifikasi dengan mudah melalui karakter tertentu misalnya, perilaku dan kebiasaan bertindak. 2. Stereotip bersumber dari bentuk atau sifat perilaku turun temurun, sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. 3. Karena itu, individu yang merupakan anggota kelompok diasumsikan memiliki karakteristik, ciri khas kebiasaan bertindak yang sama dengan kelompok yang digeneralisasi itu. Stereotip yang berkembang tentunya akan menghambat proses komunikasi antarbudaya. Stereotip akan menimbulkan prasangka dan prasangka ini selanjutnya merupakan dasar atau pendorong dari terjadinya perilaku terbuka (diskriminasi). Apabila stereotip suku Bugis mengenai ilmu sihir atau “doti” yang dimiliki suku Mandar adalah prasangka yang cenderung kearah prasangka negatif maka tentunya akan berdampak pada sikap yang ditunjukkan seperti tidak menyukai, penghindaran diri sampai pada diskriminasi. Sebagaimana dalam Djuarsa & Sunarwinardi (2008) bahwa stereotip merupakan kerangka berpikir yang berada pada tataran kognitif atau pengetahuan maka stereotip muncul karena dipelajari dari berbagai cara. Pertama, orangtua, saudara atau siapa saja yang berinteraksi dengan kita. Kecenderungan untuk mengembangkan stereotip ini melalui pengalaman orang lain, terutama bila kita tidak mengetahui atau kurang memiliki pengalaman bergaul dengan anggota-anggota dari kelompok yang dikenai stereotip. Kedua, dari pengalaman pribadi. Setelah berinteraksi satu atau dua orang kelompok budaya (suku, etnik, ras) kita kemudian melakukan generalisasi tentang sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Begitu kesan kelompok tersebut terbentuk maka kecenderungan kita selalu mencari sifat atau karakteristik tersebut dalam setiap perjumpaan dengan anggota kelompok tersebut. Ketiga, dari media massa seperti surat kabar, majalah, film, radio, televisi, buku Kita dapat mempelajari stereotip mengenai suatu kelompok dari penyajian pesan atau informasi yang disampaikan media massa. Masih dalam Djuarsa & Sunarwinardi (2008), Secara umum bahwa stereotip memiliki empat dimensi yakni: 1. Arah (direction), yakni menunjuk pada arah penilaian, apakah positif atau negatif, misalnya disenangi atau dibenci. 2. Intensitas, yaitu menunjuk pada seberapa kuatnya keyakinan dari suatu stereotip. 3. Ketepatan, artinya ada stereotip yang betul-betul tidak menggabarkan kebenaran, atau sebagian tidak benar. 4. Isi khusus, yaitu sifat-sifat khusus mengenai suatu kelompok. Stereotip mengenai suatu kelompok dapat berbeda-beda artinya stereotip dapat berubah dari waktu ke waktu. Teori interaksi simbolik yang dipopulerkan Mead dalam West dan Tunner (2008:99) dengan asumsi bahwa manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, makna diciptakan dari hasil interaksi antar manusia melalui proses persepsi. Suku Bugis memiliki stereotip terhadap suku Mandar bahwa suku Mandar memiliki ilmu sihir “Doti” yang dapat melembekkan kepala. Pemaknaan terhadap kepemilikan “Doti“ ini bisa saja berwujud pada keraguan untuk berkomunikasi dalam berinteraksi. Stereotip ini bisa saja berubah tergantung sejauh mana pemaknaan terhadap stereotip tersebut, dalam teori ini individu memiliki peluang untuk mempersepsi lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini pemaknaan adalah hasil persepsi yang dipengaruhi oleh diri individu masing-masing. STEREOTIP SUKU BUGIS FAKTOR PEMBENTUK STEREOTIP: 1. PENGALAMAN PRIBADI 2. INFORMASI ORANG TERDEKAT 3. MEDIA Dimensi Stereotip 1. Arah (direction) 2. Intensitas 3. Ketepatan 4. Isi khusus SUKU MANDAR Gambar I: Model Kerangka Konseptual Penelitian E. Defenisi Operasional 1. Suku Bugis adalah warga keturunan suku Bugis asli yang berdomisili di kota Makassar. 2. Suku Mandar adalah warga keturunan suku Mandar asli yang berdomisili di kota Makassar. 3. Stereotip adalah pengetahuan atau keyakinan suku Bugis terhadap suku Mandar yang mengarah pada penilaian yang kaku dan cenderung kearah negatif. 4. Arah (direction) adalah menunjuk pada arah penilaian suku Bugis terhadap suku Mandar, baik positif atau negatif. Misalnya disenangi atau dibenci. 5. Intensitas adalah menunjuk pada seberapa kuatnya keyakinan suku Bugis terhadap stereotip yang berkembang. 6. Ketepatan adalah tingkat akurasi yang menggambarkan benar tidaknya stereotip yang berkembang terhadap suku Mandar. 7. Isi khusus adalah sifat-sifat khusus yang distereotipkan terhadap suku Mandar, dalam penelitian ini sifat khusus tersebut adalah “doti” yang dapat berubah dari waktu ke waktu. 8. Pengalaman pribadi adalah faktor pembentuk stereotip suku Bugis yang dilatarbelakangi pengalaman pribadi yang pernah dialami sehingga dapat menguatkan atau melemahkan stereotip. 9. Informasi orang terdekat adalah pembentuk stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar yang berasal dari teman atupun keluarga. 10. Media massa adalah saluran yang digunakan oleh suku Bugis dalam memperoleh tentang stereotip terhadap suku Mandar, sumber tersebut adalah surat kabar, majalah, film, radio, televisi, buku. F. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar selama empat bulan yaitu bulan April hingga Juli 2012. Alasan memilih kelurahan Lette sebagai fokus lokasi penelitian adalah karena di lokasi tersebut mayoritas penduduknya adalah kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian yaitu suku Bugis dan suku Mandar. Tentunya antara suku Bugis dan suku Mandar memiliki intensitas interaksi yang baik sehingga diantara kedua suku tersebut memiliki pengetahuan tentang suku satu sama lain. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan objek suku Bugis yang menetap di kota Makassar memiliki stereotip terhadap suku Mandar. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami interaksi sosial serta dengan metode wawancara mendalam, maka diharapkan ditemukan pola-pola hubungan yang meggambarkan stereotip berkembang dan faktor-faktor yang mempengaruhi (Sugiono, 2010:24). 3. Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling yakni menentukan sendiri secara sengaja informan dengan menentukan kriteria sebagai berikut: 1. Suku Bugis yang menetap di Kota Makassar 2. Memiliki stereotip terhadap suku Mandar 3. Asli keturunan suku Bugis 4. Berinteraksi dengan suku Mandar minimal 5 tahun Dengan kriteria tersebut maka peneliti menentukan lima orang dari suku Bugis mewakili populasi sebagai informan. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data secara menyeluruh dan intergratif yang terkait dengan tujuan penelitian, paling tidak menggunakan tiga teknik pengumpulan data penelitian kualitatif yaitu observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. a. Observasi Observasi yang dilakukan dengan mengamati secara langsung tanpa mediator sesuatu objek untuk melihat kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diteliti tujuannya adalah untuk melihat interaksi langsung yang terjadi dan mengetahui fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik wawancara. b. Wawancara mendalam Berger dalam Kriyantono (2007:96) wawancara adalah percakapan antara periset (seseorang yang mendapatkan informasi) dan informan (seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek. Pada teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan bertatap muka dengan informan secara intensif dengan menggunakan pedoman wawancara guna mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. c. Dokumentasi Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data berupa tulisan, dokumen, gambar ataupun karya tulis akademik guna pelengkap dari observasi dan wawancara. Berdasarkan sumbernya, peneliti mengumpulkan data melalui: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama dilapangan. Hasil wawancara dan observasi merupakan data primer yang akan diperoleh sebelum ataupun pada saat penelitian berlangsung, hasil data tersebut bisa diperoleh dari hasil wawancara berdasarkan pengalaman individu sebagai objek opnelitian, mengenai yang dialami warga suku Mandar dan Bugis dalam berinteraksi atau yang disebut data individu. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder. Data ini dapat berupa data teks yakni berupa penelitian sebelumnya, catatan, berita surat kabar, gambar. Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data sekunder melalu situs web http:/// sebuah-refleksi-kritis-tentang-mandar. Diakses pada tanggal 3 januari 2012 pukul 20.20 WITA. 5. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data penelitian ini akan digunakan analisis data model interaktif Milles dan Huberman yaitu terdapat tiga proses yang belangsung secara interaktif. Pertama, reduksi data, yaitu proses memilih memfokuskan, menyederhanakan, dan mengabtraksikan data dari berbagai sumber data misalnya dari catatan lapangan, dokumen, arsip dan sebagainya, sedangkan proses mempertegas, memperpendek membuang yang tidak perlu menentukan fokus dan mengatur data sehingga kesimpulan bisa dibuat. Kedua, Penyajian data, seperti merakit data dan menyajikan dengan baik supaya lebih mudah dipahami, penyajian bisa berupa matrik, gambar, skema, jaringan kerja, tabel dan narasi. Ketiga, menarik kesimpulan/verifikasi, proses penarikan kesimpulan awal harus kuat dan terbuka, kesimpulan akhir dilakukakn setelah pengumpulan data berakhir (Sugiyono 2010:246). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi Komunikasi pada awalnya dikenal sebagai alat untuk menghubungkan antara manusia satu dengan yang lainnya, komunikasi tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus diberi perhatian atau menjadi satu kajian disiplin ilmu. Namun sejak pada abad V Masehi, di Yunani berkembang istilah retorika yang khusus mengkaji pernyataan manusia. Retorika diartikan sebagai seni berpidato dan seni berbahasa yang digunakan untuk mempengaruhi dan menggugah orang-orang. Pada perkembangan ini komunikasi masih diartikan sebagai percakapan dan penyampaian gagasan antar manusia secara lisan dengan bertatap muka. Seiring dengan perkembangan zaman komunikasi terus berkembang, komunikasi bukan hanya sekedar menyampaikan gagasan secara lisan melainkan berkembang dalam bentuk tulisan. Hal tersebut ditandai dengan adanya gagasan untuk menuliskan informasi yang dianggap penting oleh kaisar Romawi Julius Caesar (100-44 SM) dalam sebuah papan pengumuman (acta diurnal). Selanjutnya dengan adanya Penemuan kertas, mesin cetak dan terbitnya surat kabar kemudian penemuan radio, film, televisi studi komunikasi semakin berkembang. Terkait dengan komunikasi sebagai landasan dasar manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, dan perasaannya, maka dengan hal tersebut manusia dapat memahami satu sama lain serta mampu mewariskan pengetahuannya ke genarasi selanjutnya. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas khususnya dalam hidup bermasyarakat, komunikasi menjadi hal yang sangat dibutuhkan ketika terjadi permasalahan dalam masyarakat, karena permasalah tersebut akan diselesaikan dengan perundingan maupun berdiskusi. Sedengkan disisi lain komunikasi dapat menjadi pemicu dari sebuah permasalahan jika komunikasi tidak dilakukan secara efektif. Kata atau istilah “komunikasi” bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communicates atau communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”. Dengan demikian bahwa komunikasi mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Berbagai defenisi telah dikemukakan oleh para ahli dalam Suranto (2010:2) diantaranya: Komunikasi merupakan tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima (Wilbur Schramm,1955) Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (D. Lawrence Kincaid, 1981) Komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan (Raymond S. Ross, 1983) oleh sang komunikator Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan. (Edward Depari, 1990) B. Fungsi komunikasi Dalam kajian ilmu komunikasi banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang fungsi komunikasi. Salah satu diantaranya Harold D. Lasswell dalam Cangara (2008:2) menyebut tiga fungsi dasar penyebab manusia berkomunikasi yakni sebagai berikut: Pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi antar manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi antar manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya. Kedua, adalah upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyrakat itu beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian ini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala seperti banjir, gempa bumi dan musim yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan.Dalam lingkungan penyusuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasana harmonis. Ketiga, upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin memperthankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peran. Misalnya bagaimana orang tua mengajarkan tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya. Rudolph dalam Elvinaro & Bambang (2007:3) mengemukakan bahwa komunikasi itu memiliki dua fungsi: Pertama, fungsi sosial yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memilihara hubungan. Kedua,fungsi pengambilan keputusan, yaitu memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu. Sebagian keputusan ini dibuat sendiri dan sebagian lagi dibuat setelah berkonsultasi dengan orang lain. C. Komunikasi sebagai proses sosial Dalam proses sosial, komunikasi menjadi alat dalam melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakuakan perubahan. Oleh karean itu untuk memahami komunikasi sebagai proses sosial maka komunikasi harus dipandang dalam dua aspek yakni secara sosial dan komunikasi sebagai proses. Komunikasi diartikan secara sosial jika komunikasi selalu melibatkan dua atau lebih orang yang berinteraksi dengan berbagai niat dan kemampuan, sedangkan komunikasi sebagai proses jika komunikasi bersifat berkesinambungan. Menurut Nurudin (2008:47) bahwa komunikasi sebagai proses sosial di masyarakat memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: 1. Komunikasi menghubungkan antar berbagai komponen masyarakat. Komponen disini tidak hanya individu dan masyarakat saja, melainkan juga berbagai bentuk lembaga sosial seperti pers, asosiasi, organisasi desa. 2. Komunikasi membuka peradaban. Menurut Koentjraningrat (1997), istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsurunsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu struktur masyarakat yang kompleks pula. 3. Komunikasi adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat. Berbagai nilai (Value), Norma (Norm), peran (Role), cara (Usage), kebiasaan (folkways), tatakelakuan (Mores) dan adat (Customs) dalam masyarakat yang mengalami penyimpangan (Deviasi) akan dikontrol dengan komunikasi baik melalui bahasa lisan, sikap apatis atau perilaku nonverbal individu. 4. Tanpa bisa diingkari komunikasi berperan dalam sosialisasi nilai ke masyarakat. Bagaimana sebuah norma kesopanan disosialisasikan kepada kegenerasi muda dengan contoh perilaku orang tua (nonverbal) atau dengn pernyataan nasehat langsung (verbal). 5. Individu berkomunikasi dengan orang lain menunjukkan jati diri kemanusiaannya. Seseorang akan diketahui jati dirinya sebagai manusia karena menggunakan komunikasi, itu juga berarti komunikasi menunjukkan identitas seseorang. D. Budaya D.1 Pengertian Budaya Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sangsekerta “buddhayah“ yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Adapun istilah Culture yang merupakan istilah asing yang juga memiliki kesamaan arti dengan kata Latin “colore” yang berarti sebagai daya dan kegiatan manusia mengolah dan mengubah alam (Soerjono Soekanto 2007:150). Para pakar anthropology dalam Keesing (1999:150) memberikan defenisi budaya sebagai berikut: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat, istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor 1871) Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu (Linton 1940) Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, dan nonrasional yang pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia (Kluchohn dan Kelly 1945) Keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan perilaku yang ditimbulkannya (Kroeber 1948) Pola, eksplisit dan implisit, tentang dan untuk perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam bendabenda budaya (Kroeber dan Kluckhohn 1952) Berdasarkan beberapa defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah himpunan pengalaman dan pengetahuan yang dipelajari kemudian mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial sehingga menjadi kekhususan dan pedoman hidup bagi kelompok sosial tertentu. D.2 Wujud dan Unsur kebudayaan Menurut Koentjaraningrat dalam Tri (1998:32) budaya paling tidak memiliki tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia. Adapun unsur kebudayaan yang bersifat universal yang dapat dilihat dari setiap kebudayaan: 1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari 2. Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi misalnya pertanian, peternakan, sistem produksi 3. Sistem kemasyarakatan misalnya kekerabatan dan sistem warisan sistem perkawinan, 4. Bahasa sebagai media komunikasi baik lisan maupun tulisan 5. Ilmu pengetahuan 6. Kesenian 7. Sistem religi atau kepercayaan D.3 Karakteristik kebuadayaan Murdrock dalam Mattulada (1997:2) mengemukakan karakteristik kebudayaan yaitu: 1. Kebudayaan dipelajari, kebiasaan, keterampilan, nilai, dan pengetahuan yang mendukung suatu kebudayaan diperoleh sepanjang hidup, bukan dipindahkan atau diperoleh secara genetik. Kebudayaan diperoleh dari keluarga dan kelompok sosial lainnya melalui imitasi, saran, instruksi formal dan informal atau komunikasi massa. 2. Kebudayaan dipindahkan. Meskipun seluruh binatang mampu belajar, hanya manusia yang mampu memindahkan yang mereka peroleh dari lingkungan dan pengalamannya kepada anak cucunya melalau media bahasa. 3. Kebudayaan adalah produk masyarakat. Kebudayaan dihasilkan dari interksi manusia dalam kelompok yang menghasilkan seperangkat pengetahuan, kebiasaan dan harapan-harapan. Pengetahuan dan kebiasaan itu dibagi, dimiliki oleh anggota kelompok dan dijaga melalui seperangkat sanksi sosial. 4. Kebudayaan itu ideal. Dalam kebudayaan terdapat kebiasaankebiasaan yang dipandang sebagai pola tingkah laku ideal yang diharapkan untuk diikuti oleh setiap anggota. 5. Kebudayaan memberi kepuasan. Kebudayaan mempunyai tugas untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan biologis dan sosiokultur manusia.Kebutuhan biologis seperti kebutuhan akan makanan, perumahan, dan sex. Kebutuhan untuk dihargai, dicintai dan kebutuhan akan pendidikan merupakan kebutuhkan yang bersifat sosiokultur. 6. Kebudayaan itu adaptif. Seluruh kebudayaan itu selalu berubah dan perubahan ini merupakan penyusuaian terhadap lingkungan. Perubahan itu dapat terjadi karena adanya penemuan baru atau pinjaman budaya. Penerimaan tergantung pada keterbuakaan masyarakat terhadap ide baru, kesesuaian dengan apa yang masyarakat miliki dan keuntungan relatif yang diberikan oleh setiap perubahan. 7. Kebudayaan itu integratif. Anggota-anggota kelompok yang memiliki kebudayaan merasa saling berhubungan dan menjaga nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan itu dengan baik. Mereka saling bersatu dalam menghadapi ancaman dari luar terhadap kelangsungan hidup kebudayaannya. E. Komunikasi Antarbudaya E.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya merupakan perluasan dari komunikasi antarmanusia seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Dalam hal ini komunikasi antarbudaya terdapat dalam jenis-jenis komunikasi tersebut, penekanannya ada pada perbedaan kebudayaan yang dimiliki antara pengirim dan penerima pesan. Dalam perkembangannya komunikasi antarbudaya telah banyak didefinisikan oleh para ahli, beberapa diantaranya yang dikutip dari Suranto (2010:32) sebagai berikut: Komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain (sitaram, 1970) Komunikasi bersifat budaya apabila terjadi di antara orang-orang yang berbeda budayanya (Rich, 1974) Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat-adat, kebiasaan (Stewart, 1974) Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi dimana para pesertanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam satu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung (Young Yung Kim, 1984) Komunikasi dan kebudayaan memiliki keterkaitan satu sama lain, kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok diwariskan melalui komunikasi. Sebagaimana fungsi komunikasi adalah sebagai upaya untuk melakukan transformasi warisan sosial. Dalam hal tersebut masyarakat yang ingin memperthankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peran melalui komunikasi. Perlu dipahami bahwa komunikasi semakin efekif dikarenakan adanya kemiripan latar belakang sosialbudaya seperti yang diungkapkan Mulyana (2000:107): Dalam kenyataannya, tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama, diberi makanan yang sama dan dididik dengan cara yang sama. Namun kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka menjadi lebih efektif. E.2 Unsur Kebudayaan Yang Terdapat Dalam Komunikasi Antarbudaya Semavor dalam Djuarsa & Ilya (2008:290) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna yang selanjutanya menentukan perilaku komunikasi. Unsur -unsur tersebut yakni keyakinan, nilai dan sikap, pandangan hidup mengenai dunia, organisasi sosial. Unsur-unsur keyakinan, nilai dan sikap memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses komunikasi antarbudaya yaitu sebagai penyaring yang menentukan informasi atau pesan apa yang perlu diperhatikan dan dihindari. Dalam penentuan tersebut bisa dikatakan bahwa terjadi proses penyeleksian yang melibatkan peranan persepsi, dalam arti bahwa suatu kelompok budaya melihat sesuatu dengan prespektif budaya mereka sendiri dan ini timbul dari pengalaman budaya yang diwariskan yakni yang mereka percaya dan dianggap baik. Unsur lain seperti pandangan hidup mengenai dunia turut mempengaruhi kepercayaan nilai dan sikap yang mempengaruhi perilaku dalam berkomunikasi karena berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup manusia terhadap makhluk dan masalah-masalah mengenai Tuhan dan alam semesta bisa dikatakan bahwa ini adalah unsur sistem kepercayaan dalam kebudayaan. Unsur budaya terakhir yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya adalah organisasi sosial. Merupakan upaya kelompok budaya mengorganisasi kelompoknya serta pengaruh organisasi sosial terhadap anggotanya dalam mempersepsi dunia. Misalnya saja lembaga pendidikan sebagai organisasi sosial yang kita dapatkan memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang kita terhadap dunia termasuk informasi, pengetahuan dan keterampilan. Dengan adanya pengetahuan yang didapatkan dari organisasi sosial yang membentuk identitas kebudayaan tentunya akan terlihat pada perilaku komunikasi ketika terjadi komunikasi yang berbeda latar belakang budaya. Ketiga unsur budaya tersebut semuanya berpengaruh langsung terhadap persepsi, artinya komunikasi antarbudaya dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial. Hambatan dalam komunikasi antarbudaya terjadi ketika pengirim dan penerima pesan yang berbeda latar belakang budaya tidak dapat memahami budaya masing-masing khususnya perbedaan persepsi terhadap fenomena sosial. E.3 Model Komunikasi Antarbudaya Inti dari komunikasi antarbudaya adalah pengirim dan penerima pesan berasal dari kelompok budaya yang berbeda. Itu artinya bahwa suatu pesan akan diterima dalam suatu budaya dan akan direspon kembali dalam budaya lain yang sesuai dengan budaya si penerima pesan. Pengaruh budaya atas komunikator dalam mengirim pesan dan merespon pesan terlukis dalam model komunikasi antar budaya sebagai berikut: Gambar II: Model komunikasi antarbudaya Porter & Samovar (1998) Sumber: Sihabuddin (2011:22) 1. Budaya A dan B relatif serupa diwakili oleh gambar A dan B yang relatif hampir serupa. 2. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan B. Perbedaannya tampak pada bentuknya dan jarak fisiknya dari budaya A dan B. Proses komunikasi antarbudaya dilukiskan oleh arah gambar panah-panah yang menghubungkan antarbudaya: 1. Pesan mengandung makna yang dikehendaki oleh komunikator 2. Pesan mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya si penerima pesan atau komunikan. 3. Makna pesan berubah selama fase penerimaan atau respon balik dalam komunikasi antarbudaya karena makna yang dimiliki komunikator tidak mengandung budaya yang sama dengan komunikan. F. Stereotip dan Prasangka Komunikasi antarbudaya cenderung mengalami kemudahan jika pelaku komunikasi yang berlainan budaya memiliki derajat persamaan dalam persepsi, sebaliknya jika terdapat kesulitan dalam persamaan persepsi maka komunikasi yang berlangsung tidak akan efektif dan menimbulkan kecenderungan untuk menguatkan akan perbedaan kelompok. Dari perbedaan dan persamaan persepsi tersebut maka kelompok kebudayaan berfikir mengenai kelompok lain, menyimpan dan mengintegrasikan informasi kelompok lain dan kemudian menggunakan informasi untuk menarik kesimpulan atau melakukan penilaian. Terkadang juga suatu kelompok memiliki interaksi yang terbatas dengan kelompok lain, kelompok tersebut dapat memberikan penggambaran tentang kelompok lain. Hal ini diakibatkan adanya pengatahuan atau informasi dasar yang dimiliki oleh kelompok, penggambaran tersebut cenderung kearah penilaian sosial walaupun karakter yang digambarkan hanya dimiliki oleh seorang anggota kelompok dan kemudian digeneralisasikan secara keseluruhan. Penggambaran tersebut merupakan aktifitas stereotip yang diartikan sebagai keyakinan suatu kelompok terhadap kelompok budaya tertentu, anggota kelompok memiliki karakteristik yang sama dan sekaligus menjadi kerangka berpikir yang sangat mempengaruhi pemprosesan informasi yang datang. Menurut Judd, Ryan & Parke dalam Byrne (2003:230) stereotip yaitu kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan karaktek tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok. Sedangkan menurut Sternberg (383:2008) Stereotip adalah keyakinan bahwa anggota-anggota kelompok sosial cenderung memiliki jenis-jenis sifat yang kurang lebih seragam. Masih menurut Dunning dan Sherman dalam Byrne (2003:231) mendeskripsikan stereotip sebagai penjara kesimpulan (inferential prisons), ketika stereotip telah terbentuk, stereotip membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang akan diintepretasikan sebagai penguatan terhadap stereotip bahkan hal yang diketahui tidak terjadi. Menurut Baron dan Paulus dalam Mulyana (2000:220) stereotip terjadi karena ada beberpa faktor yang berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ke dalam dua kategori: kita dan mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi sebagai diluar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang-orang dalam kelompok kita sendiri. Dengan kata lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan kita semua, dan menganggap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognif sesedikit mungkin dalam berfikir mengenai orang lain, dengan memasukkan orang dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka (sifat-sifat utama mereka dan kecenderungan prilaku mereka) dan kita menghemat tugas kita yang menjemukkan untuk memahami kita secara individu. Sedangkan menurut Wyer dan Srull dalam Baron (2006:220) Stereotip seringkali berfungsi sebagai skema, merupakan kerangka kognitif untuk mengatur, menafsirkan dan mengingat informasi. Manusia juga dalam pembentukan stereotip menyalurkan usaha kognitif sesedikit mungkin dalam banyak situasi sosial. Dengan demikian, salah satu alasan penting manusia mempertahankan stereotip adalah bahwa hal tersebut dapat menghemat usaha kognitif untuk melihat orang tersebut secara kompleks sebagai individu. Stereotip juga dapat bekerja secara cepat dalam memproses informasi sosial dimana stereotip itu bertindak dalam mengatur dan menafsirkan seperti yang diungkapkan beberapa ahli yang dikutip dalam Baron (2006:222) dibawah ini; Stereotip bertindak, mengarahkan apa yang kami hadirkan untuk mengakhiri desakan pengaruh yang kuat pada bagaimana kita memproses informasi sosial (Yzerbyt, rocher, & schradron 1997). Informasi yang sesuai dengan stereotip diaktifkan, diproses lebih cepat diingat daripada informasi yang berhubungan dengan hal lain (dovido, Evans, & Tyler, 1986: Macrae et al, 1997). Stereotip menyebabkan seseorang memegang kelompok untuk memperhatikan karakter tertentu dari informasi umum yang konsisten dengan stereotip. Selanjutnya, ketika informasi yang tidak konsisten dengan stereotip tidak berhasil masuk kedalam kesadaran, mungkin secara aktif ditolak atau diubah dengan cara yang halus yang membuatnya tampak konsisten dengan stereotip (Kunda & Oleson, 1995, Locke & Waker, 1999: O'Sullivan & Durso 1984). Stereotip bekerja seolah sebagai pembenaran atas penilaian kelompok sekaligus memberikan efek kuat terhadap informasi sosial yang akan diproses. Informasi yang sesuai dengan stereotip seringkali mendapatkan respon yang lebih cepat dan diingat lebih baik dibandingkan informasi yang tidak berhubungan dengan stereotip. Stereotip mendorong seseorang memperhatikan jenis-jenis tertentu khususnya informasi yang konsisten dengan stereotip dan ketika informasi itu tidak konsisten dengan stereotip, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit mengubahnya sehingga tampak konsisten dengan stereotip (Kunda & Oleson dalam Byrne 2003:230). Hal ini juga dicontohkan sebagai kelompok dengan kekuatan yang lebih secara khusus cenderung memperhatikan informasi yang konsisten dengan stereotip negatif tentang anggota kelompok yang lebih dibawah Sebaliknya para anggota kelompok yang lebih dibawah ada kecenderungan stereotip mereka kurang (Fiske dalam Baron, 2006:224). Stereotip senantiasa bergandengan dengan prasangaka karena prasangka itu sendiri merupakan hasil dari penggambaran yang digeneralisir yakni berupa penilaian yang cenderung kearah negatif. Manstead dan Hewstone dalam fatur (2002:3) prasangka didefinisikan sebagai susatu keadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan yaitu ekspresi perasaan negatif, penunjukan sikap bermusuhan atau prilaku diskriminatif terhadap anggota lain. Dan prasangka adalah sikap negatif yang dibenarkan terhadap individu berdasarkan keanggotaan individu dalam kelompok (Santrock 2005:670). Masih dalam Santrock (2005:671) bahwa menurut Monteith ada beberapa faktor orang berprasangka yakni sebagai berikut: 1. Kepribadian individu Ketaatan pada cara-cara konvensional dalam bersikap, penyerangan terhadap orang yang melanggar norma-norma konvensional, pemikiran yang kaku, dan penyerahan berlebihan terhadap otoritas. individu dengan kepribadian yang otoriter memilik kecenderungan. Namun, tidak semua orang yang memendam prasangka memiliki keperibadian otoriter. 2. Persaingan antar kelompok atas sumber daya yang langka Perasaan permusuhan dan prasangka dapat berkembang ketika masyarakat tidak memiliki pekerjaan , tanah, kekuasaan, atau status atau salah satu dari sejumlah bahan sumberdaya dilingkungan sekitar. Mengingat sejarah kelompok masyarakat terlibat dalam bersaing satu sama lain untuk kepemilikan sumber daya tertentu, dengan demikian dimungkinkan timbul prasangka terhadap satu sama lain. 3. Motivasi untuk meningkatkan harga diri Individu mendapatkan rasa harga diri melalui identifikasi mereka sebagai anggota kelompok tertentu. Kelompok mereka dipandang lebih dibandingkan kelompok lain, dan harga diri mereka akan lebih ditingkatkan. Dalam pandangan ini, kelompok mengarah ke identitas sosial yang positif dan memiliki harga diri yang lebih tinggi. 4. Proses kognitif yang berkontribusi terhadap kecenderungan untuk mengkategorikan (stereotip) manusia terbatas dalam kapasitas mereka untuk berpikir secara cermat dan seksama (Allport, 1954) lingkungan sosial sangat kompleks dan membuat banyak tuntutan pada kapasitas pemrosesan informasi yang terbatas, menghasilkan penyederhanaan lingkungan sosial melalui kategorisasi dan stereotip, sekali stereotip ada, prasangka sering mengikutinya. 5. Pembelajaran budaya keluarga, teman, norma tradisional, dan lembaga memberikan banyak kesempatan bagi individu untuk mendaptkan prasangka dari orang lain. Dengan cara ini, sistem kepercayaan prasangka dapat dimasukkan kedalam sistem kepercayaan orang lain. Seperti halnya anak sering menunjukkan prasangka sebelum mereka memiliki kemampuan kognitif atau mengembangkan sikap mereka sendiri. Prasangka sosial yang pada mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif lambat laun berubah menjadi tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk diprasangkai, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif dan ini dapat bersumber dari proses kognif dan pengaruh sosiokultural (Manstead & Hewstone dalam arif rahman 2002:3). Stereotip dan prasangka memiliki pengaruh terhadap komunikasi antarbudaya. Pengaruh tersebut antara lain meliputi tiga hal. Pertama, stereotip dapat menyebabkan tidak terjadinya komunikasi antarbudaya atau hambatan dalam berkomunikasi. Kedua, stereotip dan prasangka yang mengarah pada hal negatif mempengaruhi kualitas dan intensitas interaksi. Ketiga, stereotip dan prasangka yang mendalam akan menghasilkan antilokusi yakni berbicara dengan teman sendiri, mengenai sikap, perasaan, pendapat dan sterotipe tentang kelompok lain, bahkan sampai pada tindakan diskriminatif. G. Persepsi Persepsi dalam proses komunikasi memiliki peranan penting karena respon terhadap pesan yang diterima merupakan hasil proses persepsi, Proses tersebut terkait dengan menyeleksi, mengevaluasi, mengatur dan mengintepretasi pesan yang diterima. Suranto (2010:197) mendefenisikan persepsi sebagai proses internal yang dilalui invidu dalam menyeleksi, dan mengtur yang datang dari luar atau secara sederhana persepsi sebagai proses individu dalam memahami kontak dengan dunia sekelilingnya. Beberapa ahli juga memeberikan defenisi terhadap persepsi, sebegaimana yang disebutkan dalam Werner & Tandkard (2008:84) sebagai berikut: Proses yang kompleks dimana orang memilih, mengorganisasikan dan mengintepretasikan respon terhadap rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang perlu arti dan logis. (Barelson dan Steiner, 1964) Persepsi merupakan aktifitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaruan cara pandang dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan (scott 1994) Persepsi sebagai proses yang kita gunakan untuk mengintepretasikan data-data sensoris (lahlry, 1991) Proses persepsi terbagi dalam dua dimensi, pertama adalah proses fisiologis yang dikategorikan kedalam dimensi fisik melibatkan proses indrawi dari stimulus yang diterima. Proses persepsi pada dimensi ini akan diawali dengan stimulus yang mengenai indra, stimulus dapat berupa sesuatu yang bisa dicium, segala sesuatu yang dilihat, segala sesuatu yang bisa didengar. Sedangkan dimensi kedua adalah dimensi psikologis yakni stimulus yang diterima panca indara dipilih, diorganisasikan dan secara spontan pikiran dan prasaan memberi makna dari stimulus yang diterima (intepretasi). Dimensi psikologis yang mengenai pancaindra tersebut sangat dipengaruhi oleh kebutuhan individu, dibutuhkan atau tidak. Selain itu dalam proses ini juga pengalaman masa lalu dan harapan masa yang akan datang menjadi pertimbangan dalam memproses stimulus, disini kita mengharapkan sesuatu akan terjadi ketika melihat stimulus namun bila stimulus yang diharapkan tidak sesuai dengan harapan maka stimulus tersebut tidak akan mendapatkan perhatian. Yang terakhir dari proses persepsi adalah intepretasi adalah upaya pemberian makna yang merupakan respon dari stimulus yang telah melewati tahap fisiologi dan psikologis. Perilaku atau cara bertingkahlaku seseorang yang nampak dan dapat diamati dalam lingkungan sosial juga merupakan stimulus atau rangsangan yang akan dipersepsi oleh orang lain. Oleh karena itu tindakan seseorang akan memiliki hasil intepretasi yang beragam tergantung cara seseorang mempersepsi tindakan itu, dan pada akhirnya akan terbentuk penilaian terhadap orang lain. Hal ini dapat dilihat dari seseorang yang tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada orang lain, kita sudah dapat memberikan gambaran yang begitu banyak tentang diri orang tersebut dikarenakan kita melihat dari perilaku yang ditampakkan. H. Teori Interaksi Simbolik Teori ini menekenkan pada individu yang berinteraksi dengan menggunakan simbol, dalam simbol tersebut terdapat makna yang ditafsirkan. Dalam hal ini, bahwa makna merupakan tujuan dari interaksi sosial yaitu menciptakan makna yang sama, karena tanpa makna yang sama komunikasi akan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin terjadi. Dalam teori ini juga terdapat tiga konsep utama yang dapat menjelaskan mengenai interaksi individu dengan lingkungan sosialnya yakni pikiran, diri, dan masyarakat. Pikiran merupakan kemampuan untuk menggunakan dan memaknai simbol sehingga pikiran dalam teori ini diartikan sebagai sebuah proses. Ada keterlibatan kemampuan berfikir dalam menafsirkan simbol-simbol yang diterima dari orang lain, artinya makna dari simbol yang diterima adalah kesimpulan dari proses berfikir. Konsep mengenai “diri” dalam teori ini adalah mengarah pada “konsep diri” yang terbentuk dari penilaian orang lain yakni seperti apa individu memandang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. jadi lingkungan kelompok yang memperlihatkan simbol-simbol memberikan pengaruh terhadapa penilaian terhadap diri inidvidu, sehingga akan ada kecenderungan untuk melakukan tindakan yang sama dengan kelompok. Sedangkan masyarakat dalam teori interaksi simbolik ditekankan pada kemampuan memahami dan menyusuaikan atas perilaku-perilaku individu yang memiliki makna dimana masyarakat diartikan sebagai kehidupan kelompok yang terdiri dari perilaku-perilaku anggota masyarakat. Oleh karenaya hubungan individu dalam masyarakat akan dipengaruhi oleh proses sosial, norma budaya masyarakat memiliki intervensi dalam membatasi perilaku individu. Sebagaimana yang dikutip dalam Littlejohn (2009:233): Masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana anggota-anggotanya menempatkan makna bagi tindakan mereka dan tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol (Dell Hymes, 1974) Teori ini dalam kaitannya dengan stereotip antarsuku dan etnis dianggap cukup tepat. Dengan melihat stereotip sebagai aspek kognitif individu maka pemahaman kelompok yang ditularkan akan melalui proses kognitif individu dalam menerima stereotip. I. Konflik Antaretnik Konflik memiliki dua jenis, pertama adalah konflik atas atau dimensi vertikal. Yang dimaksud konflik atas adalah konflik antara elit dan massa. Elit bisa dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa (rakyat). Kedua adalah konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat sendiri) dan ada dua jenis konflik horizontal yang tergolong besar; (1) konflik antar agama, konflik ini mengemuka ini mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, Jakarta, dan beberapa daerah lainnya. (2) konflik antar suku, khususnya antara suku Jawa dan suku lainnya di luar pulau Jawa. Selain itu muncul pula kasus seperti konflik antar suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat seperti di Pontianak dan Sambas (Susan 2010:99). Konflik horizontal seperti konflik antar suku dan etnik bagi prespektif kalangan komunal lebih dapat diamati melalui analisis konflik primordial dimana pendekatan ini melihat identitas etnik , budaya, agama, ras dan bahasa adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah , yang terbentuk melalui proses yang panjang. Sehingga anggota kelompok-kelompok suku maupun etnis cenderung merasa budayanyalah yang paling baik, hebat ataupun kuat. Bukan hanya itu dalam prakteknya anggota kelompok juga memperlakukan sesama anggota dengan baik melebihi kelompok lain ataupun menutup hubungan kepada kelompok lain (ekslusif). Identitas etnis dilahirkan dari sentimen primordial, kesadaran budaya yang terbangun didalam komunitas etnis melalui institusi dasar, seperti keluarga, keyakinan kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya (Isaacs dalam Susan 2010:92). J. Nilai-nilai Budaya Suku Bugis Suku Bugis adalah salah satu dari suku bangsa yang paling dikenal di Nusantara. Berada di bagian barat daya pulau Sulawesi, termasuk dalam rumpun keluarga besar Austronesia. suku Bugis atau orang Bugis memiliki berbagai ciri khas menarik diantaranya bahwa suku Bugis dikenal sebagai orang pelaut meskipun menurut Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis menganggap bahwa pengetahuan tersebut adalah keliru melainkan orang Bugis sendiri adalah petani. Masih dalam Manusia Bugis bahwa orang Bugis sendiri dalam interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron klien sistem kesetiakawanan antara seorang pemimpin dengan pengikutnya yang saling kait mengait dan bersifat menyeluruh, namun mereka tetap memiliki rasa kepribadian yang kuat. Prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial yang tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tetap merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan. Mungkin ciri khas tersebut yang membuat suku Bugis memiliki mobilitas sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau (Perlas, 2006:5). Diseluruh wilayah nusantara dari semananjung melayu dan Singapura hingga pesisir barat Papua, dari Filipina selatan dan Kalimantan hingga Nusa Tenggara dapat dijumpai orang Bugis dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan orang Bugis menyusuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka bertahan dimana-mana selama berabad-abad dan meskipun mereka menyusuaikan diri dengan keadaan sekitar, orang Bugis juga tetap mampu mempertahankan identitas “kebugisan” mereka. Orang Bugis juga memiliki tradisi kesusastraan baik lisan maupun tulisan, salah satu bukti terbesarnya adalah epos sastra La Galigo merupakan karya tulis yang berkembang dari tradisi lisan. Kepercayaan, nilai dan sikap suku Bugis dapat dilihat dari sudut pandang orang Bugis sendiri maupun diluar dari orang Bugis. Sudut pandang orang luar memberi gambaran yang sering bertentangan dan belum tentu sesuai dengan kenyataan sebenarnya seperti yang terlihat dalam Pelras (2006:251) sebagai berikut: Secara umum orang bugis adalah orang yang memiliki semangat tinggi (berdarah panas): mereka tidak akan menerima perlakuan sewenang-wenang.orang bugis yang berani itu. pantas diberi gelar yang sama dengan yang diberikan oleh Monsieur Poivre terhadap orang-orang Melayu pada umumnya, yaitu gemar berpetualang, suka merantau, dan mampu menjalankan kegiatan paling berbahaya sekalipun (forest, Voyagege From Calcutta : 76-8) Berdasarkan kehidupan sosial masyarakat Bugis bahwa Siri dan Pesse dapat digunakan sebagai kunci utama memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis. “Siri” secara harfiah diartikan sebagai perasaan malu ini terkait dengan kehormatan. Hal yang tidak dinginkan pun bisa terjadi apabila seseorang merasa tersinggung dengan kata-kata atau tindakan orang lain yang dianggap tidak sopan, bahkan anggota keluarga, termasuk pengikut dan pembantu ikut merasa tersinggung dan ikut melakukan tindakan. Jadi siri’ dianggap sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial bukan semata-mata persoalan pribadi. Pesse’ atau lengkapnya pesse’ babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain yang bisa diartikan sebagai solidaritas kelompok berhubungan erat dengan identits kelompok memberi dasar rasa memiliki identitas “kebugis-an" menjadi sempugi “sesama orang Bugis”. Dalam praktiknya bahwa nilai siri’ dan pesse’ dapat dilihat dari sistem pernikahan, anggota-anggota keluarga akan mempersembahkan yang terbaik untuk menegakkan gengsi keluarga dimata keluarga lain yang sederajat. Namun persaingan juga dapat terjadi antar anggota keluarga bila seorang lakilaki dalam suatu keluarga berhasil meraih suatu prestasi, maka saudara lakilakinya akan berusaha juga mencapai sesuatu yang lebih baik demi siri”-nya itu. K. Nilai-nilai Budaya Suku Mandar Suku Mandar adalah salah suku bangsa yang mendiami daerah Sulawesi Selatan bagian Barat di sekitar 0.5o-3.5o LS dan 118o-119.5o BT. Mendatu dalam Mustarimula.blogspot.com menjelaskan bahwa ‘’Mandar’’ bukanlah suatu penamaan yang terkait dengan geografis dan demografis tetapi Mandar merupakan kumpulan nilai-nilai yang bertitik tolak kepada sistem nilai budaya yang luhur yang berasal dari kata‘’Waimarandanna odi ada’ odi biasa’’ (kejernihan dari adat dan kebiasaan leluhur). Untuk menjadi orang Mandar seseorang wajib mengenal inti dari nilai Passemandaran yang merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (3 dasar kebijakan) yang terdiri atas: 1. Mesa ponge’ pallangga (aspek ketuhanan) 2. Da’duatassisara’ (aspek hukum dan demokrasi) 3. Tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek keadilan dan aspek persatuan). Ketiga dasar kebijakan tersebut dijabarkan tersebut dijabarkan dalam annang Pappeyappuu di Lita’ Mandar (Enam pegangan utama di tanah Mandar) yang terdiri atas 1. Buttutandira’bai (tegaknya hukum secara utuh) 2. Manu’ tandipessissi’ (demokrasi dalam segala lini kehidupan ) 3. Bea’ tandicupa’(ekonomi kerakyatan yang merata) 4. Karra’arrangtandidappai (keadilan tanpa takaran) 5. Waitandipolong (persatuan yang berkesinambungan ) 6. Buttutanditema’ Diammemanganna Tokuana tokua (kutuhan keyakinan akan kekuasaan Zat yang Maha Tinggi). Keseluruhan nilai itu berada didalam suatu bingkai kokoh Mesa tanggesar yaitu odi ada’ odi biasa (sesuai dengan adat dan kebiasaan adat ). Odi ada’ odi biasa inilah suatu tanda masyarakat egalitarian karena orang Mandar tidak mengenal konsep to manurung yang melahirkan masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial yang ketat berdasarkan darah to manurung dan darah orang kebanyakan. Sifat itu tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut Limai gau diajappui na disanga paramata matappak (lima perbuatan sebagai permata yang bercahaya) yaitu 1. Lappu ‘ sola rakee (jujur bersama takut kepada sang pencipta) 2. Loa tongan sola matikka (perkataan benar bersama waspada) 3. Akkalang sola nia ‘mappaccing (akal bersama niat yang suci). 4. Siri ‘ sola pannassa (siri ‘ bersama keyakinan) 5. Barani sola pappejappu (berani bersama ketetapan hati). Perlu ditambahkan berbagai konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran yang berkaitan dengan kemasyarakatan dibawah ini: Kesepakatan.Mua ‘purami dipallandang bassi’ pemali diliai,mua’ pura, di pobamba pemali di pepondo’I di sesena atonanganan.Bassi tambbottu petabung tarrabba (Apabila sudah ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan sesuai dengan asasnya). Penegakan Hukum. Naiyya ada’ tammaelo pai dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘ keindopai, ta’ keamma ‘ pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke wali pai andiappa to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana, andiang to nabire’na Tammappucung tandoppas toi (yang disebut badan penegak hukum adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak punya musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan tidak pernah serakah). Mencari Kebenaran (Puang Sodo) Appei ruppanna uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali. Sa’be balibali (ada 4 pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan menganalisis perkataan kedua belah pihak, kata benar dari keluarga kedua belah pihak, saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak) Demokrasi. Mua’ mendi-mendi oloi elo’na toarajang disesena odiada‘ odibiasa,turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi elona ada’ disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang (Apbila keinginan bangsawan raja agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan adat maka bangsawan adat hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya). Iyyakodhi rappanna anna mara’dia anna to kaiyyang. Mua sisalai rappanna, ditokaiyyang diule.Apa nauwang todiolo, iddai naule. Diule dai, diule’naung. Mua sisalai tokaiyyang, tau tappa diule ( Inilah suatu ibarat apabila raja berhadapan dengan kaum adat, apabila mereka bersebrangan maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat bersebrangan dengan kaum adat maka rakyat harus dikuti ). Otonomi (Daetta Kakanna I Pattan) Madondomg duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia alabena, mu’andiani mala napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o mappiddei (besok lusa apabila ada api menyala disuatu wilayah maka sebaiknya api itu dapat diredam sendiri dan jika tidak dapat diredam hendaknya engkau meminta pertolongan kepada ibu adatmu . Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat diredam hendaknya engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama meredam api itu ). Kaiyyang tammaccina dikende ‘kende’na tammaccinna dikaiyanganna (yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan rakyat tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah). Konsep Kepemimpinan (tammatindo dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing mengngada’dai (pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun yang dapat menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai pemimpin dan saya akan turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati). Persatuan (Ammana Wewang/Ammana Pattolawali) Dotai tau siamateang mie namembere diolona lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper (lebih baik mati berkalan tanah dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir laknat). BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Geografis Wilayah Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar berada di ketinggian tanah dari permukaan air laut 0,3 m dan suhu rata-rata 31, kelurahan Lette memiliki luas wilayah 14 Ha dengan batas sebelah utara kelurahan Panambungan, sebelah Selatan kelurahan Mariso sebelah barat pantai dan sebelah timur kelurahan Mariso. Kelurahan Lette terdiri dari 5 RW dengan karakteristik topografi berupa wilayah datar yang terbagi atas kawasan pemukiman dan perdagangan. Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar memiliki batasbatas wilayah yaitu: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan Panambungan 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Mariso 3. Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Mariso 4. Sebelah Barat berbatasan dengan pantai B. Keadaan Demografis Kelurahan lette memiliki 5 RW yang terdiri dari: 1. RW I dengan jumlah penduduk 3585 orang 2. RW II dengan jumlah penduduk 584 orang 3. RW III dengan jumlah penduduk 833 orang 4. RW IV dengan jumlah penduduk 611 orang 5. RW V dengan jumlah penduduk 2062 orang Pada wilayah RW 1 terediri atas 8 RT dengan luas wilayah 3,5 Ha dan jumlah penduduk berdasarkan laporan penduduk bulan Mei 2012 dari sumber data kantor kelurahan Lette berjumlah 3585 jiwa, berbatasan langsung dengan pantai, kondisi jalanya tidak beraspal melainkan menggunakan paping blok, kondisi perumahan yang padat dengan status pemilikan tanah rata-rata merupakan berstatus sewa karena mayoritas penduduknya merupakan dengan kelas ekonomi menegah kebawah. Untuk RW II terdiri atas 3 RT dengan luas wilayah 2,3 Ha dan jumlah penduduk pada laporan penduduk bulan Mei 2012 berdasarkan data kelurahan Lette berjumlah 584 jiwa. Daerah ini merupakan daerah yang lebih kecil diantara 4 RW dikelurahan Lette dengan kriteria bangunan berupa ruko dan perumahan. Khususnya di sekitar jalan Rajawali I dan II yang sebagian besar adalah ruko. Dengan akses jalan lebar yang terbuat dari aspal, daerah ini sebagian besar merupakan daerah perdagangan yang didalamnya berada sarana dan prasarana berupa ruko, jasa, satu kantor lurah, satu dokter praktik dan satu mesjid. Pemenuhan akan listrik pun sudah memadai namun untuk drainase masih kurang dimana masih ada drainase yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada RW III terdiri atas empat RT dengan luas wilayah 2,3 Ha dengan jumlah penduduk 2012 berjumlah 833 jiwa. Daerah ini mencakup dua jalan lokal dengan lebar 4 meter yang terbuat dari aspal yaitu Jl Cendrawasih V dan dan Jl Belibis. Daerah ini pada umumnya merupakan perumahan warga.Sarana yang ada di RW ini adalah satu mesjid, satu asrama mahasiswa, apotek, dan wartel, serta SMP Swasta. Prasarana air bersih pada daerah ini mayoritas menggunakan air PAM dan adapula yang menggunakan sumur pompa dan sumur timba khususnya pada pemukiman yang disewakan atau kos-kosan.Pemenuhan akan listrik pun sudah mencukupi akan kebutuhan masyarakat. Draenase yang besar berada pada Jl Cendrawasih V sangat membantu pembuangan air kotor masyarakat di daerah itu walaupun kebersihan draenasenya masih belum dapat dikatakan baik sistem persampahannya pun sudah baik karena sistem angkut oleh truk-truk pembuang sampah selalu mengontrol agar lingkungan tetap bersih. Untuk RW IV ini terdiri atas 5 RT dengan luas wilayah 2,3 Ha dengan jumlah penduduk berdasarkan sumber data kelurahan lette tahun 2012 berjumlah 611 jiwa Daerah ini mencakup 1 jalan lokal yaitu Jl Cendrawasih IV. Kondisi jalan yang terdapat di RW ini baik serta persampahannya pun cukup baik dimana masing-masing rumah memiliki tempat sampah masingmasing dimana akan diangkut oleh truk pengangkut sampah setiap seminggu sekali, untuk perairan masyarakatnya mayoritas menggunakan air PAM untuk kehidupan sehari-hari. Drainasenya pun baik namun masih ada saja sampah yang berada di got-got. Sedangkan RW V pada daerah ini terdiri atas 8 RT dengan luas wilayah 3,5 Ha dan jumlah penduduk berdasarkan kantor kelurahan lette pada tahun 2012 sejumlah 2062 jiwa. Daerah ini merupakan kawasan daerah perumahan yang sangat padat dengan status tanah kebanyakan sewa. Kondisi jalan yang terbuat dari paving blok dan banyak gang-gang kecil. Jaringan air menggunakan air PAM untuk kehidupan makan dan minum. Sumur digunakan untuk menopang kehidupan seperti mencuci dan lain-lain.sistem drainasenya kurang baik karena lebarnya yang sempit dan kebanyakan ditutupi oleh jalan untuk perluasan jalan. Pada daerah ini terdapat satu mesjid, pos kesehatan, dan posyandu.Untuk kebutuhan listrik masyarakat sudah mencukupi untuk kebutuhan masyrakat. C. Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Lette terdiri dari beberapa suku Bugis Makassar, Mandar, Toraja, Jawa, Flores, dan Cina. Di lingkungan RW V mayoritas dihuni oleh suku Mandar dan terdapat beberapa suku seperti Bugis dan Jawa, maka kelurahan lette khususnya di lingkungan RW V seringkali disebut sebagai kampung Mandar. Masyarakat Kelurahan Lette memiliki sikap sosial dan tenggang rasa yang kuat. Hal ini terlihat dari sikap warga yang ramah, terbuka terhadap tamu yang datang dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota masyarakat. Suku Mandar yang bermukim diwilayah kelurahan Lette khususnya pada RW V rata-rata pekerjaan mereka adalah pengrajin rotan, keahlian tersebut merupakan keahlian yang diwariskan oleh orang-orang tua mereka dulu, rotan-rotan diolah menjadi keranjang buah yang dipasok ke beberapa supermarket di kota Makassar. Kerajinan tersebut dikerjakan dalam skala kecil pengerjaannya dilakukan oleh satu atau dua keluarga tetapi terkadang juga terdapat anggota yang bekerja diluar dari hubungan keluarga seperti warga dari suku Makassar maupun suku Bugis. Sedangkan warga suku Bugis yang ada dikelurahan Lette rata-rata bekerja sebagai pedagang di pasar. Interaksi antara warga suku Mandar dan suku Bugis maupun dengan suku lainnya seperti Makassar dan Jawa sudah sangat terjalin erat dan harmonis. Dapat dilihat dalam komunikasi yang dilakukan pada keseharian mereka, seperti beberapa suku Bugis yang sudah paham dengan bahasa Mandar begitu pun sebaliknya warga Mandar paham dengan bahasa Bugis atau bahasa Makassar. Selain itu mereka juga berbaur dengan terlibat dalam aktifitas-aktifitas kemasyarakatan khusunya pada kegiatan seperti kerja bakti, kegiatan PKK, pengajian, lomba-lomba antar kelurahan maupun kerja bakti. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pengumpulan data dalam bab ini menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam. Pengumpulan data dilakukan di Kota Makassar dengan memfokuskan lokasi penelitian di Jalan Rajawali keluruhan Lette Kecamatan Mariso. Alasan memilih kelurahan Lette sebagai fokus lokasi penelitian adalah karena di lokasi tersebut mayoritas penduduknya adalah kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian yaitu suku Bugis dan suku Mandar, yang menurut pengamatan peneliti telah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Adapun kriterianya sebagai berikut: 1. Suku Bugis yang menetap di kota Makassar 2. Memiliki stereotip terhadap suku Mandar 3. Asli keturunan suku Bugis 4. Berinteraksi dengan suku Mandar minimal 5 tahun Dari pengamatan peneliti selama di lokasi penelitian, diperoleh lima warga suku Bugis yang menetap di lokasi tersebut dan selanjutnya menjadi unit analisis bagi peneliti. Peneliti menetapkan warga tersebut dengan mempertimbangkan latar belakang informan seperti latar belakang pendidikan, usia, dan pekerjaan. Dari pertimbangan tersebut, diharapkan informan dapat memberikan penjelasan yang jelas. Wawancara terhadap lima warga yang telah ditetapkan, dilakukan di rumah mereka masing-masing. Sebelum melakukan wawancara peneliti dengan seksama memperhatikan kesiapan dan kesediaan informan untuk diwawancarai karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas informasi yang akan diberikan, dalam hal ini aspek waktu dan tempat menjadi pertimbangan khusus bagi peniliti. Sedangkan observasi dilakukan bersamaan pada saat wawancara berlangsung dan juga dilakukan pada saat informan melakukan aktivitas-aktivitas yang menunjukkan adanya interaksi antara informan dengan suku Mandar. Dalam proses wawancara tidak jarang peneliti menemukan kendala, antara lain: 1. Informan merasa ragu dalam memberikan informasi atau cenderung sekedarnya dalam memberikan jawaban. Hal ini diakibatkan kekawatiran informan akan timbulnya ketersinggungan dari suku yang dibicarakan, dikarenakan mereka hidup dalam satu lingkungan kompleks perumahan. 2. Aktifitas-aktifitas informan menjadi salah satu kendala dalam proses wawancara, terkadang informan sulit untuk ditemui dikarenakan kegiatan-kegiatan informan. Sehingga dalam hal ini peneliti harus menyesuaikan waktu dengan kesediaan informan untuk melakukan wawancara. 3. Suasana sekitar ketika peneliti melakukan wawancara juga berpengaruh terhadap informasi yang diberikan informan. Karena terkadang pada saat melakukan wawancara ada orang ketiga yang terlibat dalam memberikan penjelasan sehingga penjelasan informan dipengaruhi oleh penjelasan informan ketiga. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui wawancara mendalam mengenai stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar, secara keseluruhan informan yang telah ditentukan menjadi unit analisis telah memenuhi kriteria. Berikut adalah biodata warga yang menjadi unit analisis. Unit Analisis I Informan pertama berinisial DI (41) keturunan asli Bugis Pangkep. Bekerja pedagang eceran, istri dari kepela RT III yang merupakan wilayah mayoritas suku Mandar, beliau sudah lama berinteraksi dengan orang Mandar. Hal ini sesuai dengan pemaparan informan: “Saya kelahiran tahun 1971 Bugis Pangkep, adama sepuluh tahun, eh, 17 tahun disini. Sebelumnya saya di JL Cakalan-Panampu, nah barupa nikah sama bapaknya baruka pindah kesini. Banyak memangmi disini orang Mandar orang Bugis juga adami, yah campur mi” Unit Analisis II Informan kedua berinisial ST (50) merupakan keturunan asli Bugis Soppeng, aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kader KADARSI (keluarga sadar gisi) serta anggota dalam penyuluhan KB (keluarga berencana). Melalui kegiatan tersebut beliau sudah lama berinteraksi dengan orang Mandar, beliau juga bertetangga dengan orang Mandar. Menurut penuturan informan bahwa informan berinteraksi dengan orang Mandar selama 24 tahun sampai sekarang. “Saya Bugis dari Soppeng, adama 24 tahun tinggal disini, orang Mandar semua saya temani, pas ka’ ada disini satu-satu ji orang Bugis.Saya juga sekolah daerah sini pas SMP” Unit Analisis III Informan ketiga, berinisial MA (39) merupakan ibu rumah tangga dan menjadi kader Posyandu dan terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat. Beliau keturunan Bugis Soppeng suaminya bekerja sebagai buruh bangunan keturunan Makassar asal Takalar. Berdasarkan penuturan informan bahwa informan juga sudah lama berinteraksi dengan orang Mandar, berikut penuturan informan: “Kalo disini kampung Mandar namanya , 15 tahun ma disini semenjak sudah menikah, kalo bapaknya lebih lama disini.Sebelum kawin saya tinggal dekat pasar sama kakak ada rumah batu itu dekat pasar tapi najualmi sekarang, setelah nikah pindah ma kesini karena bapaknya tinggal disini. Bapak ia asli takalar sedangkan saya Bugis” Unit Analisis IV Informan keempat berinisial YF (62). Pensiunan TNI AL merupakan tokoh masyarakat di kelurahan Lette. Beliau asli keturunan Bugis Bone, sekarang sebagai ketua pembangunan mesjid. Dari tahun 1974 sudah menetap di Kelurahan Lette sehingga dapat dikatakan informan sangat mengenal orang mandar. Berikut penuturan informan: “Saya sudah menetap disini dari tahun 1974 saya keturanan asli Bugis Bone dan Soppeng, saya disini tinggal mulai dari saya sejak sekolah, kuliah dan sampai sekarang. dulu saya kontrak rumah kos yang di RT III lorong 10 yang memang disitu mayoritas orang Mandar, teman bermainku orang Mandar, bapak kos ku orang Mandar, teman kuliahku juga orang Mandar.nah nanti saya tinggal di jalan sekitar pasar sini sudah bukan mayoritas Mandar tapi kebanyakan Bugis dengan Makassar.” Unit Analisis V Informan kelima, berinisial YI (33) beliau keturunan asli Bugis Bone, sudah menetap selama 12 tahun di Kelurahan Lette. Aktif dalam aktifitas keagamaan seperti pengajian yang rutin dilakukan oleh majelis ta’lim Darul Hijrah mesjid yang berada di RW V RT III. Sebelum menikah informan menetap di Jl Pettarani tepatnya di Sukaria dan informan juga sebagai guru PAUD (pendidikan usia dini). “Sebelumnya saya tinggal di Pettarani-Sukaria.12 tahun ma disini saya dari Bugis Bone.Sebelumnya tinggal sama kakak itu mi di Pettarani.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stereotip yang berkembang pada suku Bugis terhadap suku Mandar sekaligus untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar. Stereotip yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan keyakinan suku Bugis terhadap suku Mandar. Untuk mengetahui gambaran dan faktor terjadinya stereotip tersebut maka peneliti menganalisis hasil petikan wawancara dan observasi selama di lokasi. Berikut petikan wawancara dari unit analisis penelitian dalam kaitannya dengan rumusan masalah. A.1 Gambaran Stereotip yang berkembang pada suku bugis terhadap suku Mandar Dari hasil wawancara dan observasi dilapangan ditemukan bahwa warga Bugis memiliki stereotip yang sama terhadap suku Mandar, berikut penuturan dari para informan yang kemudian menjadi unit analisis. Penuturan informan pertama “Datangka’disini banyak memangmi orang Mandar, orang Bugis beberapa ji mungkin yang dekat pasar bayak-banyak orang Bugis.Kesulitanta biasa kalau mauki’ sama-sama bicara itu terkendala di bahasa ji karena nakasi ki’ bahasa Mandar kurang paham ki’. kayak yang orang-orang tuanya dulu kayak nenek mala, nenek indo sering pake bahasa Mandar tapi ditau tonji sedikit diartikan.Kalau saya disini seringka’ sama-sama orang Mandar kalau mau bicara ya.pake bahasa Indonesia kayak sama erna pake bahasa Indonesia.” Dari penuturan informan bahwa ketika informan pertama kali menetap di kelurahan lette, suku Mandar sudah lebih dulu menetap dan menjadi kelompok masyarakat dominan di wilayah tersebut. Dan ditemukan pula bahwa bahasa menjadi kendala dalam berkomunikasi, terkadang informan sulit memahami maksud dari pesan yang disampaikan oleh suku Mandar khususnya pada saat informan berkomunikasi dengan orang tua karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Mandar. Oleh karena itu informan berupaya memahami bahasa tersebut untuk mempermudah dalam melakukan interaksi, sekaligus merupakan upaya penyusuaian diri dengan lingkungan barunya. “Dimana-mana orang Mandar dikenal banyak dotidotinya.kan pernah ada sepupuku kuliah dan pacaran sama orang Mandar, sekalinya dijodohkan bukan dengan pacarnya orang Mandar tapi dengan kemankanku ji nikah, tiba-tiba sepupuku sakit. Sekalina pergimi ke dukun, bilang mi itu dukun orang Mandar yang kasi kenna i, timbul mi gossip! Nabilangi ma sendiri itu orang tuaku, orang Mandar itu bahaya, jadi sempat ma juga percaya. begitu mi dengar itu agak kawatirkawatir bicara sama orang Mandar, sempat ada prasangka ku. Tapi sekarang lama ma sama-sama tidak adami dan yang saya lihat juga disini orang mandar rajin ke mesjid,bagus agamanya.” Berdasarkan penuturan informan selanjutnya bahwa informan memiliki stereotip negatif terhadap suku Mandar. Suku Mandar diyakini sebagai suku yang memiliki ilmu sihir, hal tersebut diketahui informan melalui pengalaman keluarga informan, stereotip ini sangat kuat dalam keyakinan informan tentang penggambaran negatif terhadap suku Mandar dikarenakan informasi ini langsung dari orang tua informan. Tetapi setelah informan berinteraksi dan mengamati secara langsung kehidupan suku Mandar, stereotip tersebut berubah kearah positif yaitu suku Mandar dinilai sebagai suku yang orangorangnya taat beribadah. “Alhamdulillah belum pernah pi disini terjadi konflik antar suku atau yang lain.Saya juga aktif di ibu PKK didalam campumi mi semua ada Bugis ada Mandar, Makassar, Jawa, ada memang bagian pembinaan juga. Jadi pembinaannya biasanya melaului pengajian atau majelis ta’lim disitumi selalu dibilangi untuk selalu menjaga keharmonisanta antar sesama warga tidak dibilang biar Bugis, Mandar, Makassar atau Jawa saling menghargaiki, bersatu ki semua, makanya anak-anak ku juga sering kubilangi karena biar membina diluar tapi sendirita belum. biasanya anakku kubilangi hatihati bergaul, baik-baik ki’ sama orang.Ya semoga bisa terus kita jaga hubungan ta antara warga disini.” Penuturan informan selanjutnya menunjukkan bahwa lembaga sosial memiliki peranan penting sebagai wadah dalam mempersatukan kelompok masyarakat yang berbeda suku. Dalam lembaga tersebut kelompok masyarakat baik suku Mandar, Bugis, Makassar, dan Jawa dapat saling menghargai dan memahami akan perbedaan suku. Dalam aktivitas komunikasi kelompok tersebut, keharmonisan menjadi topik utama yang selalu dibicarakan dalam pertemuan kegiatan mereka. Penuturan informan kedua “Sekarang campurmi Mandar dengan bugis, banyakmi juga Bugis disini. karena lama ma disini kutaumi bahasa Mandar mungkin kalo saya ke Mandar tidak hilang ma. Disini banyak ji juga orang Bugis tapi jarangka sama-sama orang Bugis, saya lebih suka biasa bicara sama orang Mandar apalagi kutau bahasanya.” Dari penuturan informan dapat diketahui bahwa jumlah penduduk suku Bugis sudah berimbang dengan suku Mandar, dan mereka sudah berbaur dalam satu wilayah, dengan adanya pembauran tersebut dimungkinkan terjadi sebuah pertukaran budaya antarsuku seperti bahasa. Hal ini dapat diketahui dari penuturan informan bahwa informan tidak menemukan kendala dalam berkomunikasi disebabkan informan sudah menguasai bahasa Mandar yang kemudian memudahkan informan untuk berinteraksi dengan suku Mandar, bahkan informan lebih memilih berkomunikasi dengan suku Mandar. “Saya dulu aktif di kegiatan penyuluhan KADARSI (Keluarga Sadar Gizi) sering kasi penyuluhan sama warga, biasa juga ikut kasi penyuluhan KB datangi rumah warga satu-satu, Wilayahku memang disini di RW III mayoritas orang Mandar. Biasa juga atas inisiatif sendiri saya buat kegiatan pembebasan buta aksara dan didalam ibu-ibu disiniji yang ikut. Alahamdulillah adami yang pintar membaca. Tapi sekarang tidak mi lagi, ini ada orang Mandar rumahnya kan agak besar sama-sama lagi buat kegiatan menjahit tapi berhenti mi juga, dulu pembagian beras RASKIN dan SEMBAKO saya juga biasa yang catat namanya warga. Masyarakat disini baik komunikasinya lancar, kita akrab baru sama-sama terbuka, tidak ada kita beda-bedakan antara Bugis atau Mandar. Itu kalo kegiatan yang seperti tadi saya bilang kita didalam campurmi, baru kalo malam itu disini banyak datang warga; orang tua, anak muda, ibu-ibu datang ceritacerita, itumi kalo kita menerima orang to pasti kita juga diterima. Memang ada juga yang bilang baik ada juga tidak baik tergantung kita ji sebenarnya.” Dari penjelesan informan ini dapat diketahui bahwa informan sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang didalamnya ditemukan keterlibatan langsung dengan masyarakat suku Mandar sehingga dapat dipastikan informan sudah memiliki kedekatan dan pemahaman tentang karakter suku Mandar salah satunya adalah memiliki sikap terbuka. “Saya kalau dipikiranku orang ini dikenal karena begitunya misalnya Mandar karena doti-dotinya atau Cina sekkenya kan! meskipun dulu ada sempat, karena belum ditau bagaiman aslinya.Tidak jadi penghambatji saya kalau mauka begaul sama mereka artinya berkomunikasi to. karena saya tidak mau langsung memvonis orang ibaratnya kalo saya kan biasa bilang kamu senang saya senang jadi tergantung pendekatanta sama orang.” Dari penuturan informan selanjutnya, bahwa informan kedua juga memiliki stereotip negatif terhadap suku Mandar, stereotip tersebut diketahui dari orang lain. Minimnya interaksi langsung antara informan dengan suku Mandar membuat stereotip tersebut sempat menjadi keyakinan informan. Namun setelah informan berinteraksi langsung dan cara informan menaggapi stereotip yang tidak langsung menggeneralisir kepada semua orang Mandar membuat stereotip tersebut tidak berkembang sampai saat ini. Peneturan informan ketiga “Disini memang dikenal kampung Mandar, dulu kebanyakan orang Mandar tapi sekarang campur. Di dekat pasar, Bugis bayak disana sebelumnya saya tinggal dekat pasar sama kakak setelah menikah baru pindah disini karena suamiku sudah lama mi disini. Saya juga aktif kegiatan-kegiatan termasuk saya kader posyandu, tiap bulan diadakan juga posyandu, baru-baru ini ada acara dzikir yang didatangkan itu”Habib”. Konsumsinya ibu-ibu disini ji semua yang bikin artinya didalamnya itu campur mi ki semua kecuali orang Jawa, mereka diacaranya pi datang, orang Bugis ji sama Mandar yang terlibat.Ini juga pas acara peringatan “Isra Mi’raj” saya juga ikut dikonsumsinya apalagi selain kader Posyandu saya juga anggota majelis ta’lim Darul Hijrah disitu mi lagi ada lagi dibuat kegiatan arisan jadi sama-sama mi lagi dengan orang Mandar.” Penuturan informan ketiga menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan menjadi sarana interaksi antara informan dengan suku Mandar, sehingga sama dengan informan-informan sebelumnya bahwa informan miliki pengetahuan dan pemahaman mengenai suku Mandar. “Yah disitu mi juga seninya to ada kebersamaan ta, walaupun beda-beda suku ki. Tidak adaji yang dibilang dibeda-bedakan ini orang Mandar atau ini orang Bugis samaji semua kalau ketemu sama-sama orang Bugis saya pake bahasa Bugis kalo orang Mandar pake bahasa Indonesia, paling itu komunikasinya terhambat dibahasa kalau saya sama-sama orang Bugis pake bahasa Bugis, mereka tidak tau artikan begitupun sebaliknya kita juga tidak mengerti apa nabilang meskipun ada-ada ji yang ditaukan sedikit. Selama saya disini kita semua saling tolong menolong, baru komunikasi ta saling terbuka kita cerita-cerita yang hal-hal baik baiknya tidak pernah cerita-cerita yang jelek, artinya kita sama-sama terbuka, kalo saya memang terbuka ja sama orang disini begitu juga orang-orang Mandar disini terbuka ki orangnya, ramah-ramah baik juga, kayak ini disamping rumahku orang Mandar baik semua seringki luangkan waktu kalau sore duduk-duduk didepan rumah cerita-cerita.” Dalam penuturan informan selanjutnya, bahwa bahasa menjadi hambatan dalam berkomunikasi, karena informan sulit memahami bahasa suku Mandar. Meskipun demikian informan tetap dapat merasakan rasa kebersamaan yang kuat tanpa ada diskriminasi suku. Informan menganggap suku Mandar adalah orang yang terbuka dan ramah dalam berkomunikasi, hal ini dilihat adanya waktu yang diluangkan oleh informan dan suku Mandar untuk berkomunikasi. “Memang biasa saya dengar kalau suku Mandar itu dikenal banyak doti-dotinya, nah lama mi saya tau itu karena dari teman na orang cerita-cerita toh. Kalau saya pribadi tidak berprasangka seperti itu apalagi dibilang was-was mau bicara sama orang mandar tidak ji.” “Kita disini saling menghormati sama menghargai karena anatara orang Bugis dengan Madar disini selama ini hubungannya harmonis. Belum pernah ada masalah apa, kita seling terbuka komunikasi nya artinya tidak adaji yang bilang ini orang Bugis atau Mandar ini yang harus ditemani bicara. Soal seperti itu yang dikenal orang Mandar mungkin karena orang-orang yang belum lama sama-sama tinggal orang Mandar to tapi kalau macam saya lama sama-sama justru hilang mi dipikiranku kalau ada yang seperti itu.” Berdasarkan dari penuturan informan ketiga bahwa informan juga memiliki stereotip terhadap suku Mandar. Tetapi stereotip tersebut tidak mengarah pada prasangka yang memberikan penilaian negatif. Hal ini disebabkan stereotip negatif tidak didukung oleh pengalaman dan pengamatan langsung dari informan melainkan sebatas informasi yang didengar dari teman informan. Oleh karena itu stereotip tersebut tidak menjadi hambatan bagi informan untuk melakukan komunikasi dengan suku Mandar. Penuturan informan keempat “Kalau membicarakan soal bagaimana kehidupan antar warga disini saya banyak tahu, apalagi orang mandar. bisa saya katakan saya sangat mengenal orang Mandar lebih dari orang yang tahu karena hal yang seperti saya bilang tadi sudah sekian tahun saya berinteraksi dengan mereka bahkan anak saya nikah dengan orang Mandar.Saya biasa jalan-jalan ke Polmas. Disini yang memang sudah masyarakatnya sudah dihuni bermacam suku ada Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Flores, Jawa dan cina tidak menutup kemungkinan sangat rawan terjadi konflik.Tapi alhamdulillah hal itu sangat jarang terjadi. Memang pernah beberapa kali terjadi konflik sebelum dibangun mesjid dan kejadiannya itu pas didepan rumah tapi yang bersinggungan itu antar sesama warga Jeneponto bukan konflik antar suku.” Dari penuturan informan keempat, bahwa informan sangat mengenal suku Mandar. Hal ini disebabkan informan sudah sangat lama berinteraksi dengan orang-orang Mandar, bahkan informan memiliki ikatan keluarga dengan suku Mandar. Informan melihat saat ini di kelurahan lette tidak lagi hanya dihuni suku Mandar tetapi sudah dihuni dari berbagai suku dan etnis. “Saya melihat orang Mandar secara pribadi bahwa Mandar orang-orangnya sportif, cepat tersinggung tapi tutur kata mereka lemah lembut, dan kalau soal ilmu-ilmu mistis yang dikatakan orang-orag saya sempat dengar.Mungkin dari sisi agama mereka bagus, saya kenal tokoh agama yang terkenal di Mandar namanya “imam Lapeo”. Saya mengatakan mereka cepat tersinggung yah memang benar tapi mereka sangat cepat juga redah dan mereka redah bukan karena dari orang lain tapi kesadarannya timbul dari dalam diri mereka sendiri tidak seperti dari warga lain yang saya lihat, kalau mau diselesaikan masalahnya harus pake media artinya ada orang ketiga.” Dari penuturan informan selanjutnya bahwa informan memiliki stereotip tersendiri mengenai suku Mandar yang terbentuk dari pengalaman pribadi, berbeda dengan informan-informan sebelumnya. Menurut informan bahawa suku Mandar orang-oranya sportif, mudah tersinggung tetapi mudah juga redah yang timbul dari kesedaran mereka sendiri, memiliki tutur kata yang lembut dan sopan.Mengenai stereotip negatif suku Mandar, informan tidak terlalu menanggapinya karena hal tersebut tidak pernah didapatkan pada pengalaman pribadi informan. “Saya menganggap faktor saling memahami sangat penting untuk menjalin hubungan termasuk didalmnya adalah memahami apa yang warga butuhkan termasuk dari kebutuhan ekonomi, karena masalah bisa dipicu dari ekonomi. Kemudian saya juga tidak membawa idetitas saya dalam berinteraksi Baik Mandar Bugis, atau warga lainnya sehingga mereka tidak segan untuk berkomunikasi, kita punya kesesejaran lah. Orang akan segan berbicara dengan kita kalau kita selalu membawa identitas dan menganggap diatas dibanding orang lain misalnya orang tahu kalau kita kaya, kita pejabat dan apalah sebagainya.Makanya saya biasa tidak segan-segan untuk gabung dengan warga biar main domino meskipun saya tidak tahu main dan tidak pernah membahas mengenai pekerjaan saya. Intinya dalam pandangan agama “Hablun minannass” hubungan sesama manusia yang harus dijaga, dan mesjid juga punya peranan sangat penting dalam membangun hubungan Karena di dalam mesjid kita bertemu meskipun kita dari latar belakang berbeda.” Pada penuturan ini, informan keempat memiliki pandangan dalam menanggapi atas perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan.Informan menganggap bahwa dengan pemahaman agama yang baik, kita akan mampu untuk saling memahami satu sama lain dan dan senantiasa mengutamakan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat. Karena dengan kesejajaran tersebut akan ditemukan kemudahan dalam berkomunikasi, masing-masing pihak yang terlibat dalam berkomunikasi tidak merasa ragu dalam menyampaikan pesan. Dalam penuturan informan juga didapatkan gambaran tentang fungsi rumah ibadah yakni sebagai sarana pertemuan yang mewadahi masyarakat yang berbeda latarbelakang baik budaya, status mupun aspek ekonomi. Penuturan informan kelima “Disini kan ada Mandar sama Bugis kita biasanya terkendala dibahasa, ya bahasa indonesia mami kita pake karena mereka biasa pake bahasa Mandar kalau para orang Mandar, untung ada bahasa Indonesia.Biasanya kalau ada acara-acara apa to kayak pengajian di mesjid, disitu mi pake bahasa Mandar mereka kita juga kadang pake bahasa Bugis.Alhamdullah tidak adapi masalah dari orang Mandar dengan Bugis di sini apa lagi kan biasa terjadi ketersinggungan karena perbedaan bahasa ji, itu mi kan ada biasa bahasa atau kata-kata yang sama bunyinya dari bahasa Mandar atau Bugis tapi beda maknanya menurut orang Mandar atau Bugis, dengar biasa banyak masalah timbul dari situ. Biasa to orang-orang tua Mandar disini pas ka baru disini nabicara pake bahasa Mandar ka senyum-senyumma saja karena tidak kutahu artinya.” Dari penuturan informan kelima bahwa bahasa menjadi penghambat dalam melakukan komunikasi dengan orang Mandar, sama dengan beberapa informan sebelumnya. Dari perbedaan bahasa yang dimiliki dangan suku Mandar terkadang informan merasa kawatir akan timbulnya konflik dikarenakan kesalapahaman dalam mengartikan bahasa yang mereka gunakan. Oleh karena itu informan menggunakan bahasa Indonesia dalam melakukan komunikasi dengan orang Mandar. “Selain dari masalah bahasa, kalo masalah bergaulnya saya nda ada masalah gang.karena saya orangnya cerewet, saya itu biasa kalau satu kali ketemu langsung akrab begitupun dengan orang Mandar disini atau siapa saja. tergantung kepribadiannya orang mungkin, karena biasa ada orang kalo tidak disapa tidak nasapamiki juga. Tapi kalo saya, saya sapa ki duluan kalau ketemu. Saya sering ja juga ikut acara kaya pengajian, baru didalam campur mi semua artinya ada Mandar, Bugis, Makassar. Kalau ketemunya bukan hanya dikegiatan pi, ini juga saya sering sekali setiap sore sempatkan duduk-duduk di depan rumah campur mi lagi.Itu kaya yang tetanggaku orang Bugis dari Soppeng ada juga, yang dicerita itu baisanya soal makanan ji.” Dari penuturan selanjutnya, informan memiliki kepribadian yang terbuka dengan siapa saja sehingga dengan keperibadian tersebut informan dapat dengan mudah berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya khususnya dengan orang-orang Mandar. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan informan meluangkan waktunya untuk sengaja berkomunikasi dengan orang Mandar pada waktu luang. “Kalau masalah nabilang orang Mandar terkenal banyak doti-dotinya yah itu mungkin orang-orang tua dulu, hampirma bilang dulu orang Mandar itu bahaya. kalau ilmu-ilmunya saya tidak percaya karena saya dari kecil memang dididik agama apalagi saya pernah tinggal di Sukaria Pettarani sama tante agamanya bagus jadi saya diajarkan agama. Yah,mungkin ada tonji begitu tapi tidak semua nabilang orang-orang tua dulu, baru bukan ji juga hanya Mandar yang ada begitunya, di Bone juga ada yang dikenal dekat rumahku bisa juga begitu. Itu tetanggaku orang Mandar pernah beng ditanya tentang asalnya, dia jawabmi dari Mandar langsung mi dikira banyak baca-bacanya bisa kasi lembe kepala.Kita disini saling tolong-menolongki jadi itu prasangka tidak ada memang tong justru biasa kalau kebetulan belum sempat masa nasi, saya minta nasi begitupun sebaliknya karena kayak saudara miki semua. Insyallah saya berharap bisa terus kita jaga hubunganta dengan sering-sering silaturahmi kaya itumi sempatkan cerita-cerita supaya persatuanta juga semakin bagus.” Dari penuturan informan kelima, informan memiliki stereotip negatif terhadap suku Mandar. Stereotip tersebut diketahui dari orang tua dan teman-teman informan, namun pengetahuan dan keyakinan terhadap agama yang dimiliki informan membuat stereotip terhadap suku Mandar tidak berkembang kearah penilaian negatif. Informan menganggap bahwa semua suku itu sama walaupun terdapat kesalahan pada individu, kesalahan itu tidak boleh ditujukan ke identitas suku melainkan harus melihat keselahan itu dari kepribadian individu. Selama ini informan menganggap suku Mandar dalam hidup bermasyarakat sangat baik, informan merasa nyaman saat berkomunikasi dan memiliki solidaritas kuat. A.2 Faktor Yang Mempengaruhi Stereotip Yang Berkembang Terhadap Suku Mandar Pengetahuan atau informasi yang dimiliki kelompok terhadap kelompok lain, beberapa diantaranya didapatkan dari pengalaman individu ataupun diketahui dari orang-orang disekitarnya dan ini dapat menjadi keyakinan kelompok untuk memberikan penilain terhadap kelompok lain walaupun kelompok tidak memiliki interaksi langsung secara intensif. Ada banyak hal yang mempengaruhi suatu stereotip berkembang baik itu murni dari dalam diri seseorang ataupun berasal dari faktor luar. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip terhadap suku Mandar dapat dijelaskan melalui penuturan informan dalam petikan wawancara berikut ini: Penuturan informan pertama “Tapi Begini ade, sama mi itu orang Cina yang dianggapki’ “sekke“orang-orang tapi itu Cina didepan, menyumbang ji ke mesjid padahal bukan ji agama Islam, tidak semuaji orang Cina sekke. Samami juga orang Mandar, yah mungkin ada, baru tidak semua ji itu kalau memang ada begituannya, tapi selamaka disisni seringka ketemu apa, datang kerumah, ketemu dipengajian, diacara PKK baik semuaji kalau bicara ki sama. Allahua’alam kalau yang lain dia, biar orang Mandar kalau ada juga tidak baik toh. baru kalau yang saya liat disini orang Mandar rata-rata bagus agamanya bahkan adami orang Mandar jadi imam mesjid disini, ustadnya juga itu orang Mandar. Memang kan awalnya sebelum ki disini kita taunya orang mandar itu biasanya dikenal begitunya tapi lama mi disini justru baik-baik ki semua.” Menurut penuturan warga pertama stereotip yang diketahui mengenai suku Mandar itu masih tetap menjadi pengetahuan informan tetapi faktor kedekatan dan kebiasaan yang diamati informan dalam interaksinya dengan suku Mandar, informan memiliki stereotip lain terhadap suku Mandar yaitu orang-orangnya dikenal taat beribadah dan banyak memegang peranan dalam kegiatan keagamaan seperti menjadi Imam atau ustad. Jadi faktor interaksi langsung dan pengamatan mempengaruhi perubahan stereotip. Penuturan informan kedua “Kalau secara khusus kita lihat masyarakat misalnya Mandar, baik ji, terbuka semua, kalau dibilang memang orang biasa taunya kan Mandar dikenal karena ilmu-ilmu dotinya, kalo saya tanggapanku saya tidak mau memvonis atau orang di kasi sama rata.kayak saya ada sebagian orang bilang saya begini tapi tetap ji kenapa juga banyak datang ke rumahku. Itu juga orang Cina yang didepan itu banyak orang bilang tidak baik ki tertutup orangnya, tapi kenapa bagus sama saya. sering tiap hari datang kalau malam disini Saya tadi bilang dari kitanya ji, bagaiman pendekatanta, komunikasinya mi. Tidak bisa langsung vonis orang baru dikasi sama rata kita pelan-pelan to.” “Ini juga saya biasa kasi penyuluhan tentang KB di rumahnya orang Mandar ini, awalnya suaminya marah-marah. Tapi bagus pendekatanta komunikasi ta sopan akhirnya lama-lama bisa ji juga menerima. Biasa juga ini kegiatan pembagian beras RASKIN atau sembako ada protes-protes, tidak sampai timbulji masalah besar antara warga ini dengan warga ini. Saya tidak bilang kalau warga ini baik atau tidak karena protes-protesnya.seperti saya bilang saya tidak mau sama ratakan tergantung pribadinya orang to.” Berdasarkan penuturan informan kekedua, dapat disimpulkan bahwa cara informan dalam menanggapi stereotip negatif yaitu dengan tidak mengeneralisir stereotip terhadap suku Mandar merupakan faktor utama tidak berkembangnya stereotip negatif terhadap suku Mandar. Penuturan informan ketiga “Meskipun saya tahu dari orang-orang kalau banyak dotidotinya mungkin itu dulu tapi selama ka tinggal disini belum pernah lihat langsung cuma cerita ji saya dengar.Sekarang mungkin antara percaya tidak percaya mi karena lima belas tahun ma tinggal disini. Saya kenal orang Mandar justru bagus agamanya, bagus persatuannya, kebersamaannya, kalau cerita biasa yang lucu-lucu.” Berdasarkan penuturan informan ketiga bahwa melemahnya stereotip negatif terhadap suku Mandar disebabkan oleh faktor kebenaran stereotip itu sendiri. Informan belum pernah melihat secara langsung kebenaran ilmu doti yang distereotipkan terhadap suku Mandar, Justru menurut pengamatan informan suku Mandar orangorangnya taat beribadah. “Makanya kalau saya, kita perlu perbaiki cara bicara sama orang, jangan menyinggung perasaannya orang to biar Mandar atau suku lain, karena biasa kalo misalnya kena yang begituan kan dari kita yang bikin sakit hati.Yah yang nacerita orang kan yang mungkin pernah mereka lihat makanya itu mi nabesar-besarkan, yang jelas saya tidak pernah lihat apalagi lama ma sama-sama orang Mandar disini. Itu mi kita jadikan dasar ta berhubungan sama orang, sopan ki, hargai orang kalo bicara. Saya biar dimana dikegiaan-kegiatan atau kalau duduk sore-sore sering saya terapkan biar dimana bukan hanya disini kalau ditempatnya orang harus memang dikasi begitu.” Dari penuturan informan selanjutnya memperlihatkan bahwa stereotip negatif yang berkembang menjadi sebuah prinsip atau landasan bagi informan dalam bekomunikasi. Informan memandang perlu adanya sikap sopan dalam bertutur dan tidak menyakiti hati ketika menyampaikan sesuatu kepada orang lain, karena anggapan informan bahwa ilmu sihir itu dapat terjadi ketika kita melukai perasaan orang lain. Penuturan informan keempat “Kalau dikatakan bahwa suku Mandar orang-orang sportif, gampang tersinggung, agamanya bagus dan tutur sapa yang lembut karena faktor kebersamaan itu tadi Saya mengatakan sportif karena yang saya alami bersama teman-teman dari mandar sewaktu berteman dengan mereka kalau ada masalah dia berani menghadapi satu lawan satu, bukan panggil teman baru berani Ini kan kebanyakan yang saya liat kalau ada masalah ajak teman baru berani. Kalau Mandar tidak, satu lawan satu.” “Masalah gampang tersinggung tadi memang cepat tapi mereka cepat juga menyadarinya saya berfikir bahwa faktor pengetahuan agamanya dan nilai-nilai budaya mereka pegang sehingga ada kesadaran, bukan hanya orang Mandar tapi Bugis juga seperti itu apalagi Bugis, Makassar dan Mandar ada persamaan dari segi budaya. Mesjid juga sebagai salah satu tempat melakukan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lain juga keterlibatan orang mandar, terlihat hal-hal seperti itu.” “Tentunya kita juga tidak terlepas melihat Mandar yang seperti apa dulu karena mungkin ada perbedaan Mandar yang ada di kota dan didesa,kalau melihat Mandar yang ada dikota yang sudah banyak mendapatkan pengaruh pendidikan, teknologi dan lain sebagainya maka tidak boleh disamakan penggambarannya. bisa kita lihat bagaimana orang Mandar di Makassar sudah hampir sama dengan warga Makassar dalam dialeknya ketika menggunakan bahasa Indonesia.” “Kemudian orang yang memberikan gambaran juga latar belakangya perlu diperhatikan.Misalnya kan orang Mandar dikenal dengan mistisnya itu kan bagi orang yang percaya hal itu.Tapi kalau macam saya, pola pikir saya dipengaruhi pendidikan dan agama kan sudah tentu beda menaggapinya.” Dari penuturan informan bahwa faktor pengalaman pribadi, latar belakang pendidikan dan pemahaman agama sangat berpengaruh dalam melihat penggambaran suku Mandar saat ini.Informan melihat bahwa keberadaan suku Mandar yang ada diperkotaan tentunya sudah dipengaruhi oleh pendidikan dan teknologi.Oleh karena itu menurut informan anggapan tentang ilmu sihir (doti) tidak cocok lagi digambarkan terhadap suku Mandar. Penuturan Informan Kelima “Ada ma 12 tahun tinggal disini selama ini saya lihat alhamdullah kemasyarakatannya bagus, agamanya juga bagus artinya yang kita liat agamanya mi itu yang kasi anu ki bilang tidak ada ji yang begitunya paeng, menutupi mi ceritanya. Kalau dibilang prasangka atau yang seperti menilai tidak baik karena ada begitunya, tidak ada. karena saya lihat orangorang disini, orang Mandar terbukaki semua, bagus komunikasinya enak diajak cerita-cerita. Kalo orang jual mahal diajak cerita yah malu-malu tong ki tapi kalo baik sama kita, kita juga baik.Itu yang saya liat selama tinggal disini.” “Mungkin dibawa kedirita lagi, bukan ji masalahnya dari ilmu-ilmu apa to karena semua daerah ada begitunya, tapi semua Tuhan yang atur. Kalau belum pi ki paham memang menanggapi yang beigituan, yah pasti mi ada kaya kekawatiranta untuk bicara atau berhubungan, tapi coba kita serahkan sama Tuhan apalagi baik niat membangun silaturahmi insyallah baik-baik ji semua itu. Makanya kita warga disini supaya tetap ki dijaga kemasyarakatannya kita sering-sering silaturahmilah.” Dari penuturan informan kelima dapat disimpulkan bahwa faktor pengetahuan dan keyakinan nilai-nilai agama serta perilaku yang ditunjukan oleh warga suku Mandar berpengaruh terhadap perkembangan stereotip. Stereotip yang ada pada suku Mandar berubah berdasarkan cara informan menanggapi dengan konteks agama. Perubahan stereotip informan juga disebabkan kebiasaan dan prilaku warga suku Mandar yang terlihat oleh informan menutupi penggabaran suku Mandar yang diketahui sebelumnya. B. Pembahasan B.1 Perkembangan Stereotip Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, secara umum stereotip memiliki empat dimensi yaitu Arah (direction) arah penilaian, baik penilaian positif atau negatif. Intensitas, yaitu seberapa kuat dan lemahnya keyakinan dari suatu stereotip. Ketepatan, artinya kebenaran dari streotip, pernah terjadi atau sama sekali tidak pernah terjadi. Isi khusus, yaitu sifat-sifat khusus atau karakter tertentu mengenai suatu kelompok yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Berikut akan dijelaskan perkembangan stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar berdasarkan keempat dimensi tersebut: Arah (direction) Hasil analisis data yang telah diperoleh di lokasi penelitian, secara umum dapat disimpulkan bahwa arah stereotip mengalami perkembangan yakni dari penilaian negatif menjadi penilaian positif. Dengan adanya perubahan penilaian tersebut tentunya akan mempegaruhi dampak stereotip pada komunikasi antarbudaya masyarakat suku Bugis dan suku Mandar, adapun dampak stereotip yang dimaksud adalah prasangka yang memungkinkan kurangnya intensitas dan kualitas interaksi. Penilain positif terhadap suku Mandar juga secara langsung memberikan peluang terhadap kemudahan dalam melakukan komunikasi antarbudaya. kemudahan-kemudahan itu dapat berupa keinginan dan keberanian untuk memulai berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas komunikasi informan dengan suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari mereka, informan secara rutin sengaja meluangkan waktunya untuk berkomunikasi dengan suku Mandar. Adanya kesengajaan untuk melakukan komunikasi juga dapat diindikasikan sebagai bukti telah terjadi hubungan yang baik antara masyarakat suku Bugis dengan suku Mandar. Hal ini dilihat dari penuturan informan kedua secara tegas mengatakan bahwa informan lebih memilih berkomunikasi dengan suku Mandar dibanding suku lainnya. Intensitas Intensitas diartikan seberapa kuat dan lemahnya keyakinan dari suatu stereotip. Stereotip suku Bugis terhdap suku Mandar yang menggabarkan suku Mandar memiliki ilmu sihir (doti) yang dapat melembekkan kepala seseorang memang sempat menjadi keyakinan yang cukup kuat pada beberapa informan. Hal tersebut disebabkan kurangnya pengatahuan dan interaksi langsung informan dengan suku Mandar, ditambah lagi dengan sikap informan yang menerima begitu saja dan sedikit melakukan usaha mencari pengetahuan tentang suku Mandar ketika stereotip negatif diterima dari keluarga maupun teman informan. sebagaimana pandangan dovido, Evans, & Tyler dalam Baron bahwa Informasi yang sesuai dengan stereotip diaktifkan sering diproses lebih cepat dan diingat lebih baik daripada informasi yang berhubungan dengan hal lain. penjelasan tersebut nampak jelas pada diri informan. Dari penuturan semua informan bahwa keyakinan mengenai stereotip negatif yang berkembang menjadi lemah. Hal ini disebabkan dari kebenaran stereotip itu sendiri, stereotip negatif yang berkembang tidak pernah dialami dan diamati secara langsung oleh informan selama bersama dengan suku Mandar melainkan hanya sebatas isu yang kebenarannya masih diragukan. Lemah dan kuatnya keyakinan terhadap stereotip berpengaruh besar terhadap komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya tidak akan terjadi jika salah satu orang atau keduanya yang terlibat dalam komunikasi memiliki keyakinan yang kuat terhadap stereotip negatif yang dimiliki anggota kelompok, keyakinan yang kuat itu justru hanya akan menjadi penilaian negatif terhadap masing-masing pihak yang terlibat komunikasi. Menurut Werner dan Tankard (2008:177) bahwa keyakinan sangat terkait dengan sikap seseorang terhadap sesuatu seperti seseorang yang yakin bahwa anggota kelompok ras tertentu kurang cerdas mungkin akan memperlakukan orang-orang tersebut dengan cara berbeda. Dalam penjelasan tersebut kita dapat melihat seberapa besar pengaruh keyakinan pada stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar, misalnya informan pertama dan kelima sempat merasa kawatir untuk berkomunikasi dan mengannggap suku Mandar itu berbahaya karena memiliki ilmu sihir (doti), tetapi ketika keyakinan tersebut melemah, perlakuan mereka pun berubah tidak ada lagi kekawatiran dan anggapan negatif terhadap suku Mandar. Ketepatan Aspek ketepatan ini sangat berpengaruh terhadap intensitas dan arah stereotip karena ketepatan terkait dengan kebenaran akan setereotip itu sendiri. Keyakinan akan semakin kuat terhadap stereotip jika mengandung nilai kebenaran atau pernah terjadi. Judd, Ryan & Parke dalam Byrne (2003:230) memberikan pengertian terhadap stereotip sebagai kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan karakter tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok. Dalam pengertian ini bahwa sebagaian stereotip keberadaannya masih diragukan artinya hanya sebatas dugaan atau kemungkinan yang digenaralisir kepada semua anggota kelompok dan belum tentu pernah terjadi. Dari kelima informan yang telah diwawancarai, kelima informan belum pernah melihat secara langsung mengenai stereotip negatif yang berkembang, stereotip tersebut diperoleh dari penuturan orang terdekat informan seperti keluarga dan teman tanpa ada pengalaman secara langsung. Isi khusus Isi khusus merupakan sifat-sifat khusus atau karakter tertentu mengenai suatu kelompok yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Aspek ini dapat dikatakan sebagai bentuk stereotip secara umum karena stereotip diartikan sebagai penggambaran mengenai suatu kelompok akan karakter atau sifat yang dimiliki kelompok tertentu. Dimensi ini juga terkait dengan arah penelian informan terhadap suku Mandar, artinya penilaian tersebut diperoleh dari penggambaran suku Bugis terhadap karakter atau sifat yang terlihat oleh suku Bugis sehingga penggambaran karakter akan berubah berdasarkan pengamatan informan. Hal ini dapat ditemukan dari penuturan para informan mengenai karakter dan sifat orang Mandar yang selama ini mereka amati yaitu terbuka, ramah, solidaritas yang kuat, taat beribadah ataupun cepat tersinggung. Sangat berbeda dengan penggambaran yang sebelumnya mereka ketahui ketika belum melakukan interaksi langsung yaitu suku Mandar diketahui sebagai suku yang memiliki ilmu sihir pelembekan kepala. Interaksi langsung yang kemudian mempengerahui intensitas dan kualitas interaksi dalam kurung waktu yang lama secara langsung mempengaruhi perubahan stereotip terhadap suku Mandar. Pengalamanpengalaman yang dialami bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat menimbulkan pengetahuan-pengetahuan baru, hal ini sesuai dengan anggapan Jhonson dalam Liliweri (2005:209) bahwa stereotip tebentuk karena adanya pengetahuan dan pengalaman bersama. Akibat dari perubahan penggambaran karakter atau sifat tersebut tetunya akan menjadi generalisasi terhadap orang Mandar lainnya meskipun itu tidak semua penggambaran tersebut dimiliki oleh orang Mandar yang berada diwilayah lain. Hal ini dikarenakan individu yang menjadi anggota kelompok diasumsikan memiliki karakteristik, ciri khas kebiasaan bertindak yang sama dengan kelompok yang digeneralisasi. (Miles dan Brown dalam liliweri 2005:208) Perubahan penggambaran karakter atau sifat khusus juga secara langsung mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Dengan adanya penggambaran sifat dari suku Mandar yang terbuka yang artinya menerima keberadaan orang lain maka suku Bugis tidak perlu merasa kawatir dalam memulai komunikasi. Sikap ini sesuai dengan The 5 Invetable Laws of Effective Communication (Lima Hukum Komunikasi Efektif) yang sekaligus menjadi dasar dalam membangun komunikasi antarbudaya secara efektif diantaranya adalah Respect dan Clarity. Respect diartikan sikap menghargai dan Clarity selain diartikan sebagai kejelasan dari pesan juga dimaknai sebagai sikap terbuka yang harus dimiliki oleh orang yang terlibat dalam komunikasi (Suranto 2010:196). Secara sederhana perkembangan stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar sebelum melakukan interaksi secara langsung dengan suku Mandar Dimensi Stereotip Informan Isi Khusus I Ketepatan Memiliki Ilmu Tidak sihir (doti) pernah Kuat Memiliki ilmu Tidak pernah Negatif terjadi Lemah Negatif Memiliki ilmu Tidak pernah Lemah Negatif terjadi Memiliki ilmu Tidak V Negatif Lemah sihir (doti) IV Arah terjadi II III Intensitas sihir (doti) sihir (doti) terjadi Memiliki ilmu Tidak sihir (doti) pernah pernah Lemah Negatif terjadi Gambar III: Tabel stereotip suku Bugis sebelum terjadi interaksi dengan suku Mandar Stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar setelah melakukan interaksi secara langsung dengan suku Mandar Dimensi Stereotip Informan Isi Khusus Ketepatan Intensitas Arah I Taat beribadah Terjadi Kuat Positif II Terbuka Terjadi Kuat Positif III Taat Terjadi Kuat Positif Terjadi Kuat Positif beribadah, terbuka dan solidaritas kuat Cepat IV tersinggung, solidaritas kuat, tutur kata sopan V Solidaritas beribadah Dan negatif kuat,taat dan Terjadi Kuat baik dalam berkomunikasi Gambar IV: Tabel stereotip suku Bugis sebelum terjadi interaksi dengan suku Mandar Positif Dari pernyataan informan yang telah dirampungkan dan kemudian dianalisis bahwa secara umum stereotip menurut peneliti tidak selamanya diikuti oleh prasangka negatif sebagaimana yang diungkapkan beberapa informan ketika menerima stereotip sebagai informasi, cara menanggapi baik itu positif atau negatif terhadap stereotip yang berkembang adalah faktor yang mempengaruhi arah stereotip menjadi prasangka. Dalam hal ini dimensi-dimensi stereotip menjadi pertimbangan dalam menanggapi stereotip yang berkembang. B.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan stereotip 1. Faktor Lingkungan sosial (Sumber stereotip diperoleh) Dari hasil pemaparan beberapa informan, dapat diketahui bahwa stereotip yang terbentuk dalam diri informan terhadap suku Mandar dipengaruhi dari sumber stereotip yaitu diketahui baik dari keluarga ataupun orang lain. Dari kelima informan, empat diantaranya mengetahui stereotip dari teman dan orang tua, peneliti mengamati pengaruh lingkungan ini sangat mempengaruhi intensitas stereotip dalam diri informan yaitu kuat atau lemahnya keyakinan terhadap stereotip. Hal tersebut dapat dilihat pada informan pertama, keyakinan informan pertama terhadap stereotip sangat kuat terhadap suku Mandar dikarenakan informasi tersebut langsung diketahui dari orang tua informan. Pada informan keempat juga menilai aspek lokasi (lingkungan) dalam memberikan penggambaran terhadap suku Mandar, terdapat perbedaan antara suku Mandar yang berada di desa dan di kota. Informan melihat bahwa suku Mandar di kota sudah banyak mendapatkan pengaruh pendidikan, teknologi dan pergaulan dengan lingkungan sekitar sehingga penggambaran akan ilmu doti terhadap suku Mandar tidak sesuai lagi dengan yang digambarkan pada saat ini. 2. Faktor Persepsi Dari penuturan informan yang telah diteliti, persepsi memiliki pengaruh dalam pembentukan dan perkembangan stereotip terhadap suku Mandar. Persepsi akan menentukan arah, intensitas, ketepatan, dan isi khusus stereotip. Arah stereotip ini akan merujuk pada penilain positif atau negatif, intensitas merujuk pada seberapa kuat atau lemahnya keyakinan terhadap stereotip, ketepatan merujuk pada kebenaran dari stereotip yang berkembang dan isi khusus perubahan stereotip. Proses persepsi ini diawali dengan proses indrawi atau fisiologi, terstimulus dengan yang dilihat, didengar, dicium dan dirasakan, kemudian ransangan yang melalui proses indrawi akan terproses dalam kategori memilih, mengorganisasikan dan mengiterpretasikan sehingga seseorang dapat memberikan makna terhadap stimulus yang diterima. Informasi-informasi yang diterima oleh para informan mengenai suku Mandar sebelum informan berinteraksi langsung dengan suku tersebut adalah stimulus yang diterima dari lingkungan sosial dan pada akhirnya mengarahkan informan untuk melakukan penilaian, tentunya informasi ini dimulai dari pemilihan, pengorganisasian dan pada akhirnya memberikan pemaknaan dari informasi yang diterima. Pada informan kedua dan kelima misalnya secara jelas memberikan pemaparan bahwa cara mereka menanggapi stereotip yang telah terbentuk menjadi dasar untuk berprilaku dalam berkomunikasi. Pada informan kelima keyakinan nilai-nilai agama berpengaruh dalam proses pemilihan, pengorganisasian dan pemberian makna terhadap stereotip, sehingga menghasilkan sikap terbuka dalam komunikasi. Untuk informan pertama, ketiga dan kelima pengamatan menjadi penentu dalam pembentukan dan perkembangan stereotip terhadap suku Mandar, pengamatan tersebut adalah proses indrawi yang merupakan bagian proses persepsi. Dalam hal ini suku Mandar kesehariannya memiliki peranan penting dalam aktifitas keagamaan. Peranan dalam aktifitas keagamaan inilah menjadi stimulus yang nampak dominan dibanding stimulus lainnya. Sehingga pada akhirnya membentuk kesan positif terhadap suku Mandar yang juga merupakan intepratasi dari hasil pengamatan. Kesan yang terbentuk dari prespesi warga suku Bugis adalah kesan positif. Penilain religius terhadap suku Mandar tidak lepas dari perilaku-perilaku yang ditampakan warga suku Mandar itu sendiri. Sehingga perlu ditekankan bahwa warga suku Mandar memiliki porsi besar dalam pembentukan dan perkembangan stereotip suku Bugis. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa stereotip tidak hanya dikembangkan oleh kelompok yang menstereotipkan tetapi kelompok yang distereotipkan pun memiliki peran. Sehubungan dengan hal tersebut maka dapat diasumsikan bahwa jika berkembang suatu stereotip negatif terhadap suatu kelompok maka stereotip tersebut tidak seharusnya ditampakkan dengan perilaku yang bisa menguatkan stereotip. Sebaliknya jika stereotip positif yang berkembang terhadap suatu kelompok maka kelompok yang distereotipkan harus menunjukkan perilaku yang sesuai dengan stereotip positif. Proses persepsi ini juga terkait dengan fungsi dari stereotip yang dikemukakan oleh Wyer dan Srull, bahwa stereotip berfungsi sebagai skema yang merupakan kerangka kognitif untuk mengatur, menafsirkan dan mengingat informasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka stereotip yang sebelumnya berkembang dan telah menjadi acuan atau landasan bagi informan dalam berkomunikasi dengan suku lainnya adalah fungsi stereotip sebagai skema dalam aktifitas kerangka kognitf. Cara informan menyampaikan pesan dengan menjaga tutur kata dan sopan dalam menyampaikan pesan adalah hasil dari penafsiran stereotip. Selain fungsi stereotip yang berkaitan dengan persepsi, persepsi juga berkaitan dengan teori interaksi simbolik yang memberikan penjelasan mengenai kerangka kerja kognitif (pikiran) dalam kemampuannya dalam menggunakan dan memaknai simbol. Tentunya hal ini penggambaran positif dari pengamatan suku Bugis terhadap kebiasaan dan peran dalam aktifitas keagamaan suku Mandar adalah hasil pemaknaan dari simbol-simbol yang diamati. Simbol-simbol yang diamati disini adalah kebiasaan, peran dan status yang dipegang suku Mandar dalam kehidupan beragama. Sebagaimana hal ini ditegaskan Mead dalam Stephen dan Karen (2009:233) bahwa gerak tubuh sebagai simbol signifikan, gerak tubuh yang dapat mengacu pada setiap tindakan yang dapat memiliki makna, hal ini biasanya verbal atau berhubungan dengan bahasa, tetapi dapat juga berhubungan dengan non verbal. 3. Faktor Interaksi Langsung Berdasarkan dari hasil wawancara dengan informan kedua dan keempat bahwa faktor interaksi langsung dengan warga suku Mandar juga dapat mempengruhi stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar yaitu arah penilaian negatif ke positif. Hal tersebut dapat dilihat dalam aktifitas informan dalam memberikan penyuluhan dan keterlibatan informan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bersama suku Mandar. Terlebih lagi dengan adanya pemahaman dan kepandaian informan dalam menggunakan bahasa Mandar semakin mempermudah informan untuk memahami masyarakat Mandar. Interaksi secara langsung ini memeberikan peluang untuk melakukan komunikasi baik secara personal maupun kelompok. Karena dari proses komunikasi ini informan dapat memahami cara yang seharusnya digunakan dalam menjalin hubungan dengan suku Mandar. Komunikasi personal dan kelompok dapat dilihat dari aktifitas rutin yang dilakukan informan kedua, ketiga dan kelima, mereka sengaja meluangkan waktu untuk melakukan komunikasi dengan suku Mandar dilingkungan sekitar mereka. Hal tersebut secara berlahan menepis kebenaran stereotip negatif yang berkembang sebelumnya, terlebih stereotip tersebut belum pernah dialami atau diamati secara langsung oleh informan. Interaksi secara secara langsung justru memberikan pemahaman baru warga suku Bugis terhadap penggambaran suku Mandar yang kemudian digeneralisir pada semua orang Mandar. Selain itu interaksi langsung juga membangun hubungan yang akrab sehingga intensitas dan kualitas interaksi semakin baik, hal demikian menjadikan suku Bugis dan Mandar memiliki pengalaman yang dialami secara bersama-sama dalam hidup bermasyarakat sehingga mereka dapat saling memahami akan karakter budaya masing-masing. 4. Faktor Unsur Kebudayaan (Keyakinan, Nilai, Sikap Dan Organisasi Sosial) Stereotip yang terbentuk melalui informasi yang diterima oleh informan sebelum berinteraksi secara langsung dengan suku Mandar memperlihatkan keyakinan, nilai dan sikap menentukan perkembangan stereotip. Dari pemaparan informan kelima bahwa stereotip yang terbentuk dan berkembang pada suku Mandar telah dimaknai melalui landasan keyakinan agama yakni agama Islam yang mengajarkan keyakinan kepada Tuhan yang maha esa serta pemahaman akan pentingnya menjaga hubungan sesama manusia. Hasil dari pengamatan bahwa keyakinan, nilai dan sikap mempengaruhi stereotip terhadap suku Mandar memiliki persamaan dengan hasil penelitian prasangka etnik di PT Freeport yang dilakukan Westy. Kepercayaan terhadap agama ternyata menjadi elemen kognitif pada suku Amungme sehingga tidak menimbulkan prasangka yang berkelanjutan dimana agama Kingmi (Kristen versi Amungme) mengajarkan untuk menghormati perjanjian dengan orang lain, termasuk perjanjian yang pernah diadakan oleh kepalakepala suku mereka sendiri pada tahun 1970-an yang secara adat telah menyerahkan hak-haknya kepada PT Freeport Indonesia (Westy dalam Sarwono 2006:35). Sikap terbuka dari suku Mandar dengan menerima keberadaan orang lain adalah stereotip yang juga berkembang sekaligus dapat dikategorikan dalam unsur budaya. Dari hal tersebut antara warga suku Bugis dan suku Mandar menjadikan sikap terbuka sebagai landasan untuk menjalin hubungan yang akrab guna menciptakan kebersamaan dan persaudaraan yang kuat. Hal ini ditunjukkan oleh informan kedua, ketiga dan kelima dengan adanya keterbuakaan tersebut telah menghilangkan batasan-batasan keraguan untuk melakukan komunikasi sekaligus menciptakan kesepahaman dalam berkomunikasi. Sikap terbuka menurut peniliti merupakan “konsep diri” yang dimiliki oleh individu dan hal ini dijelaskan dalam teori interaksi simbolik oleh Mead dalam dalam West dan Tunner (2008) bahwa Konsep diri terbentuk dari penilaian orang lain yakni seperti apa individu memandang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. Jadi lingkungan kelompok yang memperlihatkan simbol- simbol, memberikan pengaruh terhadap penilaian terhadap diri individu sehingga akan memunculkan kecenderungan untuk melakukan tindakan yang sama dengan kelompok. Organisasi sosial juga memiliki peranan dalam perkembangan stereotip. Dari kelima informan yang diteliti semuanya pernah aktif dalam aktifitas organisasi sosial baik itu orgnisasi yang bersifat pelayanan masyarakat atau keagamaan. Peneliti mengamati organisasi sosial tersebut berfungsi sebagai wadah sosialisasi yang didalamnya terdapat proses saling memahami satu sama lain sehingga menimbulkan kesepahaman, saling menghargai, dan menciptakan solidaritas antarsuku. Namun disisi lain organisasi sosial juga menjadi tempat stereotip itu diwariskan misalnya pada informan pertama, mengetahui stereotip dari lingkungan keluarga. Saling menghargai dan rasa solidaritas kuat yang dimiliki anatara suku Mandar dan suku Bugis saat ini merupakan wujud dari nilai budaya masyarakat Bugis Makassar itu sendiri itu yaitu sipakatau (saling menghargai) dan Pesse (solidaritas, kebersamaan). Hal ini seringkali dikemukakan oleh beberpa informan yang mengedepankan dan menerapkan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari guna menjaga keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini telah dilakukan terhadap lima warga suku Bugis yang berdomisili di jalan Rajawali kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar. Berdasarkan lokasi tempat tinggal kelima warga tersebut, peneliti dapat mengamati interaksi dan proses komunikasi antarbudaya dalam aktifitas keseharian mereka dengan suku Mandar. Hasil penelitian menunjukkan terdapat stereotip yang berkembang pada suku Bugis terhadap suku Mandar, serta ditemukan pula faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya stereotip dalam komunikasi antarbudaya. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam kesimpulan sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Stereotip yang terbentuk pada masyarakat suku Bugis di kota Makassar mengalami perkembangan positif. Perkembangan tersebut dapat diukur dari empat dimensi stereotip yakni arah penilaian dari penilaian negatif ke postif, intensitas yakni stereotip negatif terhadap suku Mandar melemah dan stereotip positif menguat, ketepatan adalah kebenaran akan stereotip negatif tidak pernah terjadi atau tidak pernah dialami secara langsung dan isi khusus yaitu terbentuk penggambaran baru mengenai suku Mandar yakni orang-orang suku Mandar taat beribadah, memiliki sikap terbuka, tuturkata sopan, memiliki rasa solidaritas tinggi dan cepat tersinggung. 2. Terbentuknya stereotip pada masyarakat suku Bugis terhadap suku Mandar disebabkan beberapa faktor: pertama adalah lingkungan sosial, yaitu sumber stereotip itu diterima sebagai pesan atau informasi, baik itu dari keluarga atau pun orang lain. kedua adalah persepsi, dalam Hal ini terkait dengan pengamatan suku Bugis terhadap perilaku suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari serta pemaknaan dari masyarakat suku Bugis mengenai stereotip yang berkembang. ketiga adalah interaksi langsung yaitu terbentuknya peluang untuk melakukan komunikasi baik secara personal maupun kelompok sehingga antara suku Mandar dan suku Bugis dapat saling memahami. keempat adalah unsur kebudayaan seperti kepercayaan, nilai, sikap dan lembaga sosial. Unsur kepercayaan, nilai dan sikap merupakan unsur yang mempengaruhi cara berpikir dalam merespon stereotip yang diterima, sedangkan lembaga sosial menjadi wadah pertemuan dan sosialisasi antara suku Bugis dan suku Mandar sehingga mereka dapat saling memahami dan terbangun hubungan yang harmonis. B. Saran Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu komunikasi khususnya dalam komunikasi antabudaya. Adapun saran-saran yang diberikan: 1. Stereotip yang berkembang akan mempengaruhi proses komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi masyarakat yang berlainan budaya, oleh karena itu kesadaran dan peran aktif untuk saling memahami satu sama lain sangat diperlukan. Tentunya hal tersebut dapat dimulai dengan sikap terbuka dalam komunikasi antarbudaya. 2. Penelitian yang telah dilakukan dapat dilanjutkan dengan pertimbangan bahwa stereotip dapat berkembang dan berubah, khususnya pada perkembangan stereotip yang telah ditemukan terhadap suku Mandar. 3. Stereotip-stereotip yang berkembang terhadap suatu kelompok suku dan etnis yang arahnya negatif hendaknya tidak dipandang sebagai penghambat dalam komunikasi melainkan dibutuhkan peran aktif dan baik dalam menanggapi hal tersebut. Sebaliknya stereotip yang mengarah pada penilaian positif hendaknya dijadikan sebagai karakteristik suatu kelompok budaya sehingga penilaian terhadap kelompok tersebut dapat mejadi kesan positif bagi kelompok lain. 4. Diperlukan cara pandang yang baik dari setiap anggota masyarakat dalam melihat dan menaggapi stereotip yang berkembang baik stereotip yang mengarah pada penialian positif ataupun negatif, sehingga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dapat tetap terjaga dan konflik horizontal yang menjadi kekawatiran karena adanya kesalapahaman kelompok antarbudaya dapat ditanggapi dengan baik dan benar. 5. Diperlukan kesadaran akan pentingnya pemahaman unsur-unsur Budaya baik itu kepercayaan, nilai-nilai dan sikap mengingat pemahaman-pemahaman tersebut dapat memberikan pemahaman dalam menaggapi stereotip yang mengandung dapak negatif. Selain itu semangat untuk ikut serta dan aktif dalam lembaga-lembaga sosial harus senantiasa ditingkatkan mengingat peranan lembaga tersebut sebagai wadah pemersatu antar anggota masyarakat. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-anees.2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media Baron, A Rupert & Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Edisi Kesepuluh. Terjemahan oleh Ratna Djuwita & Melania Parman. Jakarta: Erlangga Baron, A Rupert. 2006. Social Psychology. Eleventh edition. USA: Pearson Cangara, Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Darmawan, Mas’ud Rahman. Revitalisasi-Nilai-Budaya-Mandar. http://Mustarimula.blogspot.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2012 pukul 19:00 WITA Fathur. 2002. Mengelola Prasangka Sosial Dan Streotipe Etnik Keagamaan Melalui Psychological And Global Education. Essai. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Negri Yogyakarta Gudykunts, William & Young kim. 1992. Communications With Strangers. New York: Mc Graw Hill Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnik Di Pedesaan. Yogyakarta: LKIS Keesing, Roger. 1999. Antropologi Budaya (suatu Perspektif Kontemporer). Jakarta : Erlangga Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: UI Press Kriyantono, Rachmat. 2006. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Laporan akhir studio tata ruang II. 2012. kondisi Geografis dan demografi Kelurahan Lette. Kota Makassar. Liliweri, alo. 2005. Prasangka & konflik. Yogyakarta : LKIS Littlejohn, W Stephen & Karen A Foss. 2009. Theories Of Human Communication. Edisi kesembilan. Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika Maria, Jenny.2007. Komunikasi Lintas Budaya Antar Etnik Tionghoa dengan Etnik Bugis Makassar dengan Integrasi Bangsa Pasca Orde Baru di Makassar. Desertasi. Tidak diterbitkan. Makassar: FISIP Universitas Hasanuddin. Mattulada. 1997. Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup. Makassar : Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin Mendatu, Achmanto. 2011. Mendefinisikan Prasangka. http://Blog PSIKOLOGI Online/ diakses pada tanggal 3 januari 2012 Pukul 20.40 WITA. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar) Bandung: Rosda ---------------------. 2008. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosda ---------------------. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Bandung: Rosda Ngeljaratan, Ishak. 2011. Sebuah Refleksi Kritis Tentang Mandar. http:/// sebuahrefleksi-kritis-tentang-mandar. Diakses pada tanggal 3 januari 2012 pukul 20.20 WITA. Nurudin. 2008. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada Perlas, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta : Nalar Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Salemba Rupert, Brown. 2005. Prejudice. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Santrock, W John. 2005. Psychology. Seventh edition. Texax: Mc Graw Hill Sarwono, sarlito. 2006. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Sendjaja, Djuarsa & Ilya Sunarwinardi. 2008. Modul Komunikasi Antarbudaya. Makassar :Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Severin, Werner & James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi :Sejarah, Metode, & terapan di Dalam Media Massa. Edisi kelima. Terjemahan dari Sugeng Hariyanto. Jakarta: Kencana Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : ALFABETA Suranto Aw. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta : Graha Ilmu Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Sternberg, J Robert. 2008. Psikologi Kognitif. Edisi keempat. Terjemahan dari Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tri, Joko Prasetya. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Rineka Cipta West, Richard & Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi. Edisi Ketiga. Terjemahan dari Maria Natalia. Jakarta: Salemba Humanika Wilodati. 2012. Kesadaran Masyarakat Majemuk dan Kebhineka Tunggal Ika-an Kebudayaan Di Indonesi. Jurnal. Tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia LAMPIRAN FOTO LOKASI PENELITIAN (Aktifitas masyarakat kel Lette kec Mariso Makassar) ( Bersama warga dalam peringatan Isra mi’raj 1433 Hijriah/20 Juni 2012) Stereotip suku Mandar di kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar) Pedoman wawancara Nama : Umur : Pekerjaan : 1. Sudah beralama anda tinggal di daerah ini? 2. Apakah di lokasi tempat tinggal anda juga dihuni oleh suku lain, khususnya suku Mandar? 3. Apakah anda menyempatkan atau memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan suku lain, khususnya suku Mandar? 4. Bagamana menurut anda tentang suku Mandar? 5. Begaimana menurut anda tentang stereotip yang berkembang terhadap suku Mandar? 6. Darimana anda mengetahui stereotip mengenai suku mandar? 7. Apakah stereotip mengenai suku Mandar mempengaruhi komunikasi anda dengan suku Mandar? 8. Apakah anda memiliki pengalaman bersama dengan suku Mandar? 9. Apakah disini pernah terjadi konflik antarsuku? 10. Apa harapan anda terhadap keanekaragaman kelompok masyarakat yang tinggal disini?