simulasi penyebaran gas so2 dari emisi cerobong

advertisement
SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG
MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)
VICTOR MAHAN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG
MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)
VICTOR MAHAN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ABSTRAK
VICTOR MAHAN. Simulasi Penyebaran Gas SO2 dari Emisi Cerobong menggunakan
Computational Fluid Dynamics (CFD). Dibawah bimbingan ANA TURYANTI dan FADILAH
HASIM.
Gas SO2 merupakan salah satu polutan yang bersumber dari emisi cerobong industri,
khususnya yang berbahan bakar batubara. Penyebaran polutan tersebut perlu dipelajari guna
melakukan pemantauan kualitas udara, salah satunya metodenya yaitu melakukan simulasi dengan
menggunakan model matematis. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung konsentrasi SO2,
melihat pola sebarannya serta menghitung jarak ketika konsentrasi SO2 tersebut maksimum.
Simulasi aliran gas dan udara dalam penelitian tugas akhir ini dilakukan menggunakan pendekatan
dinamika fluida komputasional (CFD) dengan studi kasus di PLTU Suralaya. Persamaan
konservasi massa dan momentum RANS, diselesaikan secara numerik dengan metode volume
hingga (Finite Volume Method, FVM) menggunakan perangkat lunak FLUENT. Pemodelan
turbulensi aliran dilakukan menggunakan persamaan Spalart-Allmaras sedangkan fluks difusi gas
SO2 dihitung menggunakan persamaan transpor spesies. Hasil simulasi menggunakan Fluent
menunjukkan konsentrasi SO2 maksimum di cerobong terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak
stabil yaitu sebesar 495 mg m-3 sedangkan konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m
terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil dengan nilai konsentrasi sebesar 5.06 µg m-3.
Semakin stabil kondisi atmosfer, semakin lama polutan berada di atmosfer dan jatuh ke permukaan
tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi atmosfer, polutan
semakin cepat jatuh ke tanah sehingga jarak ketika konsentrasi maksimum di permukaan tanah
lebih dekat.
Kata kunci : Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersi, simulasi, SO2, stabilitas
ABSTRACT
VICTOR MAHAN. Simulation of SO2 dispersion from the stack emission using Computational
Fluid Dynamics (CFD). Guided by ANA TURYANTI and FADILAH HASIM.
Sulfur-dioxide (SO2) is one of pollutants emitted from industrial stack emission,
particularly from industries which use coal as the fuel. This pollutant dispersion needs to be
studied for monitoring of air quality, one of it methods is by doing simulation using mathematical
models. This research is directed to predict the distribution of SO2 concentration, dispersion
pattern and critical distance where the SO2 concentration being maximum. The simulation is
performed by applying CFD approach to the case of study in Suralaya power plant. A widely used
CFD software called FLUENT is used to solve the equations of mass and Reynolds-Averaged
Navier Stokes momentum conservations using finite volume method. Turbulence is modeled using
the Spalart-Allmaras one equation while SO2 flux diffusion is computed using the species transport
equation. The simulation is performed for varying atmospheric condition from very unstable to
very stable one. The simulation results show that the maximal SO2 concentration at the stack is
495 mg m-3 occurs at unstable atmospheric condition, as for the maximal SO2 concentration at the
altitude of 1.5 m is 5.06 mg m-3 occurs at very unstable atmospheric condition. The more stable
atmospheric condition the longer the pollutant exists in the air and it falls down to the ground at a
farther distance. On the contrary, the more unstable atmospheric condition, the faster the
pollutant falls down as of the distance when maximal concentration on the ground is closer.
Keywords: Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersion, simulation, SO2, stability
SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG
MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)
VICTOR MAHAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Studi Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi : Simulasi penyebaran gas SO2 dari emisi cerobong menggunakan
Computational Fluid Dynamics (CFD)
Nama
: Victor Mahan
NRP
: G24050927
Menyetujui,
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Ana Turyanti, SSi., MT
Dr. Fadilah Hasim
NIP. 19710707 199803 2 002
NIP. 19700723 198911 1 001
Mengetahui,
Ketua
Departemen Geofisika dan Meteorologi
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan merupakan anak ke-4 dari
empat bersaudara pasangan Nindito Hadiwiyoto dan Yulia Surya Astuti.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 34 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima
sebagai mahasiswa IPB program Mayor-Minor melalui jalur SPMB dengan memilih Program
Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun kedua.
Semasa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi HIMAGRETO (Himpunan
Mahasiswa Agrometeorologi) dari tahun 2006-2008. Selain itu, penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum Analisis Meteorologi program Sarjana IPB tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul Simulasi penyebaran gas SO2
dari emisi cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) sebagai salah satu
syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada:
1.
Keluargaku tercinta, papa dan mama serta kak inet, kak vivi, dan kak desi atas doa dan
dukungannya.
2.
Ibu Ana Turyanti, S.Si., M.T dan Bapak Dr. Fadilah Hasim selaku pembimbing tugas akhir
serta Ibu Hanni Harahap, ST yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Semoga
Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat.
3.
Bapak Dr. Yayat Ruhiyat atas bantuannya memberikan data penelitian dan masukannya.
4.
Budi Setio Prasanto S.Si atas masukan yang diberikan serta Agus Gaussian STP atas
informasinya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
5.
Kepala Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Prof. Ahmad Bey beserta seluruh
dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi atas masukan dan ilmu yang telah diberikan
selama ini.
6.
Putri Tanjung Widiastuti S.Si, teman dan sahabat terbaik yang telah memberikan semangat,
doa dan waktu dengan tulus. Terima kasih banyak atas segala perhatiannya.
7.
Seluruh teman-teman GFM angkatan 42 yang telah bersama-sama selama 3 tahun menuntut
ilmu.
8.
Staf perpustakaan, Pak Pono atas pinjaman bukunya. Staf TU GFM, mas Aziz, mbak Wanti,
mas Nandang, mbak Icha, Pak Djun, Ibu Enda. Terima kasih atas segala masukan dan bantuan
administrasi.
9.
Teman-teman PTD, Tuti , Uti, Yuges, Demin atas dukungannya serta Abdul, terimakasih
banyak telah banyak membantu, semoga sukses selalu.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca
sebagai alternatif dalam melakukan pemantauan kualitas udara khususnya dari emisi cerobong
industri. Penulis juga menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan maupun
kesalahan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki
sehingga tulisan ini bisa menjadi lebih baik.
Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR SIMBOL
A
b
c
C
CD
Cp
d
D
E
f
FD
g
Gr
h
H
J
k
keff
L
n
p
q
Q
r
R
Re
S
Sc
T
u
v
W
Y
z
y,
µ
t
z
Luas Permukaan (m2)
Konsentrasi polutan yang masuk ke dalam kota (µg m-3)
Konsentrasi rata-rata polutan pada keadaan steady state (µg m-3)
Konsentrasi polutan pada arah x,y, dan z (µg m-3)
Koefisien hambat
Kapasitas panas (Joule kg-1 K-1)
Diameter (m)
Koefisien difusi massa (m2 det-1)
Energi total (Joule)
Fraksi campuran
Fungsi damping viskos
Gaya hambat (N)
Percepatan gravitasi (m det-2)
Bilangan Grashof
Produksi dari viskositas turbulen (m2 det-1)
Entalpi spesies (Joule mol-1)
Tinggi (m)
Ketinggian efektif cerobong (m)
Fluks difusi dari spesies (kg m-2 det-1)
Energi kinetik turbulen (m2 det-2)
Konduktivitas (W m-1 K-1)
Panjang (m)
Nilai eksponen fungsi dari kekasapan permukaan
Tekanan (Pa)
Laju emisi per satuan luas (kg det-1 m-2)
Laju emisi (kg det-1)
Jari-jari (m)
Rasio produksi spesies oleh reaksi kimia
Bilangan Reynolds
Total entropi (J K-1)
Bilangan Schmidt
Penambahan dari sumber lain
Suhu udara (ºC)
Kecepatan angin (m det-1)
Vektor kecepatan angin (m det-1)
Viskositas kinematik molekul (m2 det-1)
Lebar (m)
Fraksi massa
Destruksi dari viskositas turbulen (m2 det-1)
Ketinggian vertikal (m)
Difusivitas panas (m2 det-1)
Koefisien pemuaian panas (K-1)
Konstanta von Karman
Standar deviasi kepulan (m)
Kerapatan fluida (kg m-3)
Stress tensor (Pa)
Viskositas dinamik (Pa det)
Viskositas turbulen (Pa det)
Fraksi mol
Laju penurunan suhu adiabatik (ºC m-1)
Konduktivitas panas (W m-1 K-1)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR SIMBOL
vi
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1
1
1
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara
2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemaran Udara
2.1.2 Karakteristik Sulfur Oksida (SOx)
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara
2.2 Model Prediksi Dispersi Polutan
2.3 Computational Fluid Dynamics (CFD)
2.4 GAMBIT
2.5 Fluent
2.6 Pendekatan Model
2.6.1 Persamaan Kontinuitas
2.6.2 Persamaan Navier-Stokes
2.6.3 Persamaan Turbulensi
2.6.4 Persamaan Transpor Spesies
2.6.5 Model Perpindahan Panas
1
1
2
2
3
9
10
11
11
12
12
12
12
15
15
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Jenis dan Sumber Data
3.2.2 Alat
3.3 Perhitungan Kadar Emisi SO2 dari Cerobong
3.4 Langkah Kerja Penelitian
3.5 Asumsi Model
16
16
16
16
17
17
18
21
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Aliran di Dalam Model
4.2 Kecepatan Aliran di Sekitar Cerobong
4.3 Hasil Simulasi Penyebaran Gas SO2 pada Setiap Stabilitas Atmosfer
4.3.1 Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil
4.3.2 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil
4.3.3 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil Ringan
4.3.4 Kondisi Atmosfer Netral
4.3.5 Kondisi Atmosfer Stabil Ringan
4.3.6 Kondisi Atmosfer Stabil
4.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi SO2 Menggunakan Fluent
dan Hasil Pengukuran Lapang
21
21
21
22
23
23
24
24
25
25
V
31
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
34
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas
5
2 Kelas stabilitas berdasarkan gradien suhu
7
3 Kategori aliran berdasarkan bilangan Reynolds
14
4 Kategori aliran turbulen di sekitar silinder
14
5 Data fisik cerobong
17
6 Udara dan SO2
19
7 Nilai CD dari beberapa eksperimen
21
8 Hasil pengukuran kualitas udara emisi (SO2)
di cerobong PLTU Suralaya
26
9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO2) di cerobong
PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent
27
10 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah Lebak Gede (2.9 km)
27
11 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah perumahan Suralaya (1.7 km)
27
12 Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di beberapa lokasi
27
13 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 pada ketinggian z = 1.5 m
28
14 Hasil simulasi konsentrasi SO2 maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009)
28
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perilaku kepulan di sekitar daerah (a) tepi pantai pada saat
musim panas dan (b) perkotaan pada saat malam hari
4
2 Permasalahan sebaran polutan di daerah dekat lembah
4
3 (a) aliran di sekitar cerobong (b) zona aliran di sekitar cerobong
5
4 Pengurangan kecepatan angin di sekitar daerah aliran
dengan densitas yang berbeda
5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat
6
7
6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning
(c) fanning (d) lofting (e) fumigation
8
7 Skema pemisahan aliran di sekitar silinder
14
8 Model geometri simulasi
18
9 Kontur kecepatan angin di sekitar cerobong hasil simulasi
21
10 Kontur kecepatan angin dengan menggunakan dua persamaan
turbulensi URANS dan LES
22
11 Pembentukan vortex dan titik pemisahan aliran (B) pada aliran supercritical
22
12 Hasil simulasi kontur pembentukan vorticity pada arah x di sekitar cerobong
22
13 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
23
14 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
24
15 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil ringan
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
24
16 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer netral
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
25
17 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil ringan
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
25
18 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil
(a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas
25
19 Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan
(b) tinggi cerobong (H) terhadap konsentrasi polutan
28
20 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil normalisasi pada keadaan
atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral
(e) stabil ringan (f) stabil
29
21 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil simulasi pada keadaan
atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral
(e) stabil ringan (f) stabil
30
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lokasi PLTU Suralaya
35
2 Model geometri
36
3 Kondisi batas (boundary condition) pada model geometri
38
4 Diagram alir penelitian
39
5 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer
(a) sangat tidak stabil (b) tidak Stabil (c) tidak stabil ringan
40
6 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer
(a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil
41
7 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 pada keadaan atmosfer
(a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan
42
8 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 keadaan atmosfer
(a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil
43
xi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri merupakan salah satu faktor
penting terciptanya kemajuan kehidupan
manusia.
Kegiatan
industri
telah
menghasilkan
berbagai
produk
yang
bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia,
namun di lain sisi kegiatan industri ini juga
membawa dampak yang negatif berupa
pencemaran lingkungan, baik itu berbentuk
padat, cair, ataupun gas buang berupa asap
yang keluar dari cerobong pabrik. Salah satu
polutan yang terdapat di dalam asap tersebut
adalah gas sulfur dioksida (SO2).
Polutan SO2 jika melebihi ambang
batas
yang
ditentukan
maka
akan
membahayakan bagi manusia, hewan,
tumbuhan, dan material di sekitarnya.
Dampak buruk polutan SO2 bagi kesehatan
manusia jika konsentrasinya melebihi ambang
batas antara lain dapat menyebabkan
gangguan pernapasan seperti bronchitis,
emphysema dan penurunan kesehatan pada
umumnya sedangkan pada konsentrasi tinggi,
senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada
mata, hidung, dan tenggorokan (Soedomo
2001).
Salah satu industri yang merupakan
sumber polutan SO2 adalah Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai akibat
dari penggunaan bahan bakar berupa batubara
yang merupakan penghasil SO2 terbesar
(Nevers 2000). Kebutuhan listrik yang
semakin meningkat akibat pertambahan
penduduk dan berkembangnya industri,
mendorong pemerintah untuk membangun
PLTU baru. Hal ini akan mempengaruhi
kualitas udara sehingga perlu dilakukan
pemantauan dan penelitian dalam rangka
pengendalian. Peralatan yang mahal seringkali
menjadi kendala, maka salah satu alternatif
dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan
melakukan pemodelan yang bertujuan untuk
memprediksi seberapa besar konsentrasi
polutan yang terlepas ke lingkungan. Salah
satu pemodelan tersebut adalah simulasi
dengan pendekatan model matematis.
Simulasi
menggunakan
model
matematis harus dapat menjelaskan fenomena
aliran fluida untuk mendapatkan hasil yang
akurat karena gas SO2 yang diemisikan dari
cerobong pabrik tersebut merupakan sebuah
fluida (gas) yang bergerak. Salah satu
pendekatan untuk menyelesaikan masalah
aliran fluida adalah Computational Fluid
Dynamics (CFD). CFD merupakan ilmu yang
mempelajari
perilaku
aliran
fluida,
perpindahan panas, reaksi kimia, transpor
massa, dan fenomena lainnya dengan
menyelesaikan persamaan matematis (Tuakia
2008). Selama ini CFD banyak sekali
digunakan dalam dunia teknik aliran fluida
karena kemampuannya yang cukup baik
dalam menganalisis permasalahan yang
berkaitan dengan aliran fluida, salah satunya
adalah dispersi polutan (Duffin et al. 2006 dan
Tang et al. 2006).
Penyelesaian permasalahan aliran
fluida yang rumit sampai dengan tingkat
desain memerlukan bantuan berupa perangkat
lunak khusus yang dirancang untuk
menyelesaikan masalah aliran fluida tersebut.
GAMBIT dan Fluent merupakan beberapa
perangkat lunak berbasis CFD yang telah
banyak digunakan untuk berbagai penelitian
dalam beberapa aplikasi, khususnya dalam
bidang engineering karena kemudahan dalam
penggunaannya serta kemampuannya dalam
menganalisis aliran fluida dengan hasil yang
cukup baik (Tuakia 2008). Di Indonesia,
model untuk simulasi penyebaran polutan
belum
banyak
digunakan
sementara
kebutuhan pembangkit listrik semakin
meningkat sehingga perlu ada kajian lebih
lanjut mengenai hal tersebut, salah satunya
adalah di kawasan PLTU. PLTU Suralaya
merupakan salah satu dari sekian banyak
PLTU di Indonesia yang menggunakan bahan
bakar batubara. Oleh karena itu, pada
penelitian ini emisi SO2 dari PLTU Suralaya
menjadi contoh kajian simulasi penyebaran
SO2 menggunakan CFD.
1.2 Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Melakukan simulasi pola penyebaran SO2
dari sumber titik dengan menggunakan
CFD
Menghitung konsentrasi SO2
Menghitung jarak ketika konsentrasi SO2
maksimum
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara
Penurunan kualitas udara disebabkan
oleh masuknya zat pencemar ke dalam
lingkungan udara tersebut. Zat pencemar yang
masuk salah satunya berasal dari hasil
sampingan kegiatan industri. Zat tersebut akan
masuk dan terdispersi ke dalam atmosfer dan
menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
1
Beberapa
definisi
mengenai
pencemaran udara antara lain, pencemaran
udara merupakan masuknya bahan kimia ke
dalam atmosfer akibat aktivitas manusia yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi di atas
batas yang ditentukan (Krupa 1997). Lebih
lanjut, pencemaran udara juga dapat
didefinisikan sebagai hadirnya beberapa zat
kimia yang tidak diinginkan di atmosfer, baik
alami maupun akibat aktivitas manusia dalam
jumlah yang berada diatas ambang batas dan
dapat membahayakan bagi manusia, hewan,
tumbuhan, ataupun material di sekitarnya
(Seinfeld 1986; Nevers 2000). Berdasarkan
definisi tersebut, semua partikel atau zat baik
itu berupa padat, cair, ataupun gas yang
kadarnya melebihi ambang batas yang
ditentukan serta membahayakan makhluk
hidup dapat dikatakan sebagai zat pencemar
atau polutan.
2.1.1 Sumber
Udara
dan
Jenis
Pencemaran
Menurut asalnya, sumber pencemar
berasal dari dua sumber, yaitu alam (biogenic)
dan aktivitas manusia (anthropogenic).
Pencemaran udara alami adalah masuknya zat
pencemar ke dalam udara, diakibatkan oleh
proses-proses alam seperti aktivitas vulkanik
(gunung berapi), asap kebakaran hutan, debu
meteorit, pancaran garam dari laut, dan
sebagainya. Sedangkan pencemaran buatan,
yang merupakan penyumbang 90% sumber
pencemaran di daerah perkotaan, adalah
masuknya zat pencemar oleh kegiatan
manusia yang pada umumnya tanpa disadari
terutama dihasilkan
dari
pembakaran
batubara, minyak, dan gas (Soenarmo 1999;
Tjasyono 2003). Sumber anthropogenic
dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu
pencemaran akibat aktivitas transportasi,
industri, dan persampahan (Soedomo 2001).
Menurut Soenarmo (1999), sumber
pancaran zat pencemar ke dalam udara
(atmosfer) ada tiga macam, antara lain:
1. Sumber
titik
kontinu,
contohnya
cerobong asap dari pabrik tenaga listrik
yang memancarkan zat pencemar ke
dalam udara
2. Sumber garis, contohnya emisi yang
dikeluarkan oleh kendaraan bermotor
yang bergerak
3. Sumber bidang atau area, merupakan
sumber pencemar yang dipancarkan dari
suatu daerah, seperti perkotaan, kawasan
industri, dan sebagainya
Sumber
pencemar
tersebut
menghasilkan beberapa jenis zat pencemar
yang berbeda-beda. Transportasi paling
banyak menghasilkan zat pencemar karbon
monoksida (CO), industri menghasilkan
timbal (Pb) dan volatile organic compounds
(VOCs), sedangkan untuk pembakaran
batubara paling banyak menghasilkan
particulate matter (PM10), nitrogen oksida
(NOx), dan sulfur oksida (SOx).
2.1.2
Karakteristik Sulfur Oksida (SOx )
Gas sulfur oksida atau SOx yang
terdiri dari gas SO2 dan SO3 mempunyai sifat
yang berbeda. SO2 berbau tajam dan tidak
mudah terbakar. Baunya akan terdeteksi oleh
indera manusia ketika konsentrasinya berkisar
antara 0.3-1.0 ppm. SO2 merupakan pencemar
primer yang berada di atmosfer dan bereaksi
dengan pencemar lain membentuk senyawa
sulfur dan dapat menyebabkan hujan asam.
Sedangkan SO3 bersifat sangat reaktif dan
mudah bereaksi dengan uap air yang ada di
udara kemudian membentuk H2SO4. Sulfur
trioksida berwarna biru ketika partikel
senyawanya sangat kecil, mencapai warna
putih yang maksimum ketika ukurannya lebih
besar, dan dengan cepat menjadi tidak terlihat
ketika jumlah SO 3 yang sama terkondensasi
ke dalam partikel yang sedikit lebih besar
(Scorer 1968).
Sumber
terbesar
penyumbang
kontaminan gas SO2 akibat aktivitas manusia
adalah pembangkit tenaga listrik berbahan
bakar batubara dengan persentasi sebesar
41.6% (Warner 1937). SO2 yang berasal dari
aktivitas manusia jumlahnya hanya sepertiga
dari jumlah keseluruhan yang terdapat di
atmosfer. Sebanyak dua pertiganya berasal
dari sumber alami, yaitu letusan gunung
berapi.
Kadar SO2 yang jumlahnya melebihi
ambang batas dapat membahayakan makhluk
hidup. Pada tanaman dampaknya dapat dilihat
dengan ciri-ciri fisik seperti timbulnya corak
berwarna keputihan pada daun tanaman yang
dapat berakibat terjadinya kehilangan klorofil
dan plasmolisis (kerusakan sel daun). Alfalfa,
gandum, kapas, dan apel merupakan contoh
tanaman yang paling sensitif terhadap sulfur
dioksida. Tanaman tersebut dapat terinfeksi
pada konsentrasi SO2 sebesar 780 µg m-3
selama 8 jam (Vesilind et al. 1990). Pada
hewan dan manusia, pengaruh SO2 berdampak
pada kerusakan atau gangguan pernapasan.
Iritasi tenggorokan pada manusia dapat terjadi
pada konsentrasi 5 ppm atau lebih, bahkan 1-2
2
ppm pada individu yang lebih sensitif. Jika
kadarnya mencapai 6-12 ppm, SO2 mudah
diserap oleh selaput lendir pernapasan bagian
atas dan bersifat iritan. Apabila kadarnya
semakin bertambah maka akan terjadi
peradangan pada selaput lendir disertai
dengan paralycis cilia, dan jika berkelanjutan
dan terjadi berulang kali akan menyebabkan
hyper plasia yang berpotensi menyebabkan
timbulnya kanker (Fardiaz 1992). Dampak
yang lain dari polutan SO2 juga dapat terjadi
pada material. Material, contohnya gedung,
dapat mengalami korosi yang lebih cepat pada
bagian luarnya yang menyebabkan kerusakan
secara fisik.
Sebagai tambahan, dampak yang
ditimbulkan oleh polutan SO2 seperti yang
dijabarkan sebelumnya, khususnya oleh
aktivitas manusia adalah akibat dari
distribusinya yang tidak merata melainkan
terpusat pada daerah tertentu saja sehingga
konsentrasinya menjadi tinggi. Hal inilah
yang berbahaya bagi makhluk hidup dan
material di sekitarnya.
2.1.3 Faktor
yang
Pencemaran Udara
Mempengaruhi
Menurut Soenarmo (1999), faktorfaktor yang mempengaruhi mekanisme
penyebaran pencemaran udara antara lain
sumber emisi dan atmosfer lokal.
2.1.2.1 Sumber Emisi
Sumber emisi merupakan tempat atau
lubang dikeluarkannya zat pencemar menuju
ke dalam atmosfer. Sumber emisi tersebut
memiliki karakteristik dan bentuk fisik yang
berbeda-beda mulai dari segi luas, bentuk, dan
tinggi lubang. Karakteristik dari sumber emisi
antara lain laju pancaran (Q), kecepatan
pengeluaran, geometri sekitar sumber emisi,
dan bahan bakar yang digunakan (Soenarmo
1999).
Laju pancaran (Q) merupakan jumlah
zat pencemar yang dikeluarkan ke atmosfer
(µg m-3 atau mg m-3) yang kadarnya
tergantung pada kapasitas produksi. Semakin
besar kapasitas produksi, laju pancaran akan
semakin meningkat sehingga konsentrasi zat
pencemar di dalam atmosfer juga akan
bertambah, dan sebaliknya.
Kecepatan pengeluaran merupakan
laju zat pencemar yang keluar dari sumber
emisi. Kecepatan pengeluaran tergantung pada
proses produksi masing-masing sumber emisi
tersebut serta berpengaruh terhadap laju
keluarnya zat pencemar ke atmosfer .
Geometri di sekitar sumber emisi
merupakan keadaan tata ruang di sekitar
sumber emisi, antara lain berupa bentuk dan
ukuran bangunan sekitar, dan jenis tanaman di
sekitar sumber emisi. Keadaan tersebut
berpengaruh terhadap pola sebaran zat
pencemar yang melewati kawasan tersebut.
Bahan bakar yang digunakan oleh
sumber emisi bentuknya berbeda-beda, baik
itu berupa cair (minyak tanah, bensin), gas
(hidrogen, LPG), padatan (kayu, batubara),
ataupun nuklir. Oleh karena itu, jenis zat
pencemar hasil emisi dari masing-masing
pembakaran bahan bakar tersebut juga
berbeda.
2.1.2.2 Faktor Meteorologi
Pada dasarnya, mempelajari dinamika
atmosfer tidak sederhana. Berbagai macam
proses terjadi di dalamnya mulai dari
pergerakan molekul, turbulensi, perpindahan
panas, reaksi kimia, presipitasi, perpindahan
massa udara, dan sebagainya. Proses-proses
tersebut saling berkaitan satu sama lain
sehingga membentuk suatu sistem yang
seimbang.
Ketidakseimbangan
sistem
dapat
terjadi ketika adanya kerusakan atau
gangguan. Hal tersebut dapat berupa
fenomena alam atau dapat juga disebabkan
oleh tangan-tangan manusia, salah satunya zat
pencemar dari asap pabrik.
Pergerakan dan konsentrasi zat
pencemar yang keluar menuju atmosfer
setelah diemisikan dari sumbernya, sangat
bergantung pada kondisi meteorologis di
masing-masing daerah. Kondisi meteorologis
tersebut antara lain adalah angin, suhu udara,
stabilitas atmosfer, kelembaban relatif (RH),
dan curah hujan.
a. Angin
Angin memiliki arah dan kecepatan.
Arah menentukan kemana angin tersebut
berhembus, dan kecepatan menentukan laju
angin tersebut. Arah angin berperan penting
dalam membawa ke arah mana zat pencemar
tersebut terdispersikan sedangkan kecepatan
angin
berpengaruh terhadap besarnya
konsentrasi zat pencemar tersebut ketika
terdispersi. Kecepatan angin yang besar
menyebabkan partikel zat pencemar terurai
sehingga konsentrasinya akan lebih rendah
dan sebaliknya.
3
Jenis angin yang paling berpengaruh
terhadap penyebaran zat pencemar tersebut
adalah angin lokal (Schnelle dan Dey 2000).
Terdapat berbagai jenis angin lokal,
diantaranya yaitu angin darat dan angin laut;
angin gunung dan angin lembah.
Angin
darat
relatif
lebih
menguntungkan dibandingkan dengan angin
laut jika dilihat dari segi penyebaran polutan.
Polutan hasil dari emisi ketika terjadi angin
darat akan terdispersi ke arah laut, sedangkan
ketika terjadi angin laut, polutan akan
terdispersi ke arah daratan sehingga dampak
buruk
terhadap
makhluk
hidup
kemungkinannya lebih besar karena makhluk
hidup lebih banyak berada di atas daratan
(Gambar 1a).
Gambar 1 Perilaku kepulan di sekitar daerah
(a) tepi pantai pada saat musim
panas dan (b) perkotaan pada saat
malam hari (Oke 1978)
Gambar 2 Permasalahan sebaran polutan di
daerah dekat lembah (Oke 1978)
Angin lembah dan angin gunung
terjadi akibat adanya perbedaan radiasi
matahari yang diterima oleh daerah lereng
gunung dan daerah gunung (perbedaan
topografi) sehingga terjadi perbedaan suhu
dan tekanan yang menyebabkan terjadinya
perbedaan arah angin. Angin gunung akan
menyebabkan dampak yang kurang baik bagi
daerah perindustrian yang letaknya berada di
lembah gunung karena pada daerah tersebut,
inversi akan terjadi secara intensif di
permukaan khususnya pada musim dingin
akibat pemanasan radiasi matahari pada
dinding gunung. Selain itu, keadaan tersebut
juga menyebabkan terjadinya akumulasi
polutan di daerah lembah akibat adanya
turbulensi yang kuat (Gambar 2a) serta
terjadinya downwash (Gambar 2b) sehingga
polutan dipaksa menuju permukaan tanah.
Begitu juga pada wilayah antara daerah
urban dan suburban atau istilahnya biasa
disebut dengan urban heat island, polutan
juga akan terkonsentrasi di daerah perkotaan
tersebut (Gambar 1b). Hal tersebut dapat
terjadi karena pada daerah perkotaan memiliki
kekasaran permukaan yang ditimbulkan oleh
bangunan-bangunan tinggi seperti gedung
bertingkat. Kondisi ini membuat turbulensi
semakin tinggi sehingga meningkatkan
penyebaran dari polutan yang dipancarkan.
Sedangkan pada saat yang sama, bangunan
dan aspal jalan raya
bertindak sebagai
penyimpan panas dari radiasi yang diterima
selama sehari. Panas ini menambah panas dari
pemanasan pada waktu malam hari selama
musim dingin yang membuat perbedaan suhu
dan tekanan antara kota dan daerah di sekitar
kota sehingga sirkulasi lokal menuju ke dalam
kota menjadi meningkat (Liu dan Liptak
1999).
Penyebaran zat pencemar juga
dipengaruhi oleh profil vertikal angin yang
selalu berubah terhadap waktu dan tempat.
Kekasapan permukaan yang berbeda-beda
pada
masing-masing
daerah
seperti
perumahan, pepohonan, bangunan, dan
pegunungan berpengaruh terhadap profil geser
angin karena memiliki gaya gesek yang
bervariasi. Aliran permukaan yang melewati
permukaan kasar (shear stress) tersebut akan
menimbulkan terjadinya turbulensi. Pada
kondisi ini, zat pencemar akan bergerak dan
terdispersikan secara acak di dalam atmosfer.
Atmosfer terdiri dari beberapa lapisan
dan salah satunya adalah lapisan troposfer.
Lapisan tersebut letaknya paling dekat dengan
bumi dengan ketinggian sekitar 18 km dari
permukaan laut. Bagian terendah di dalam
troposfer disebut dengan lapisan batas
atmosfer (atmospheric boundary layer) atau
disebut juga dengan Planetary Boundary
Layer (PBL) dengan ketebalan sekitar 0.2 –
5.0 km pada siang hari dan 20 – 500 m pada
malam hari. Lapisan batas ini merupakan
suatu lapisan atmosfer di dekat permukaan
dengan gaya kekasapan permukaan yang
nyata dan massa udaranya mengandung
karakteristik permukaan di bawahnya (Stull
1988). Pada lapisan ini terjadi pertukaran
momentum, bahang, massa, begitu juga
dengan polutan.
4
Pada lapisan batas ini, diturunkan
sebuah persamaan profil kecepatan angin
untuk menghitung kecepatan angin pada
ketinggian z1 dengan kecepatan angin pada
ketinggian z sudah diketahui. Persamaannya
adalah sebagai berikut:
….. (1)
keterangan:
u = kecepatan angin pada ketinggian z
u1 = kecepatan angin pada ketinggian z1
n = nilai eksponen (nilainya dapat
dilihat pada tabel 1)
Tabel 1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas
Kelas Stabilitas
A (Sangat tidak stabil)
B (Tidak stabil)
C (Tidak stabil ringan)
D (Netral)
E (Stabil ringan)
F (Stabil)
Sumber : Cooper dan Alley 1994
n
0.15
0.15
0.20
0.25
0.40
0.60
Aliran yang melewati permukaan
kasar dapat terjadi ketika melewati halangan
berupa cerobong industri yang merupakan
salah satu sumber emisi tidak bergerak.
Halangan berupa cerobong industri tersebut
juga dapat mempengaruhi arah aliran angin
yang melewatinya. Sebaran polutan yang
keluar dari cerobong arah pergerakannya akan
dipengaruhi oleh aliran angin yang berhembus
di sekitar cerobong tersebut. Aliran angin
ketika menyentuh cerobong akan mengalami
perubahan pola aliran sehingga beberapa
besaran seperti kecepatan, tekanan, energi,
dan momentum akan ikut berubah pula.
Perubahan pola aliran tersebut akan mengikuti
karakteristik bentuk bidang permukaan solid
(cerobong) kemudian setelah melewatinya,
pola aliran akan cenderung kembali pada
kondisi kesetimbangannya semula (Gambar
3a). Terdapat empat zona aliran ketika angin
melalui suatu penghalang dalam hal ini
cerobong, yaitu displacement zone, cavity
zone, wake zone, dan undisturbed flow.
Aliran angin akan dipaksa naik
melewati atas cerobong dan berkumpul
dengan aliran yang berada di atasnya sehingga
akan menyebabkan akselerasi kecepatan.
Kondisi aliran ini terdapat di daerah
displacement
zone.
Setelah
melewati
cerobong, aliran akan menemui ruangan yang
kosong, tetapi pada kenyataannya fluida tidak
dapat secara cepat bereaksi untuk mengisi
ruangan tersebut. Hal itu mengakibatkan
aliran akan terpisah. Daerah di belakang
cerobong terdapat tekanan yang rendah
sehingga aliran yang terdapat di daerah
tersebut (cavity zone) akan mengalami
turbulensi, sedangkan aliran yang berada di
atasnya akan berkembang kembali dan
mengisi ruangan kosong yang berada di
depannya. Daerah ini disebut dengan daerah
wake zone (Oke 1978).
Selain itu, terdapat suatu zona yang
alirannya tidak terganggu atau tidak
terpengaruh akibat adanya halangan cerobong
tersebut yang dikenal dengan undisturbed
flow. Daerah ini penting diketahui untuk
melihat
seberapa
jauh
cerobong
mempengaruhi aliran secara horizontal
maupun vertikal. Lebih jauh, daerah ini dapat
digunakan sebagai patokan jarak untuk
dijadikan sebagai batasan model secara
vertikal dalam hal ini h (tinggi cerobong)
sebagai faktor pengali terhadap penentu jarak
minimum dimana aliran tersebut tidak
terganggu.
Gambar 3 (a) Aliran di sekitar cerobong (b)
zona aliran di sekitar cerobong
(Oke 1978)
Besarnya jarak yang dibutuhkan
kecepatan angin untuk kembali pada
kecepatan semula setelah melewati cerobong
tergantung pada densitas dari cerobong
tersebut.
Densitas
cerobong
yang
dimaksudkan disini adalah persentase rasio
antara panjang diameter luar mulut cerobong
dengan tinggi cerobong (Oke 1978). Semakin
besar densitas cerobong tersebut, maka
pemulihan besarnya kecepatan angin untuk
kembali ke kecepatan awalnya akan
membutuhkan jarak yang lebih pendek
5
dibandingkan dengan cerobong yang memiliki
densitas yang lebih kecil (Gambar 4).
Gambar 4 Pengurangan kecepatan angin di
sekitar daerah aliran dengan
densitas yang berbeda (Oke 1978)
b. Suhu dan Stabilitas Atmosfer
Suhu udara bervariasi pada setiap
ketinggian lapisan atmosfer. Pada lapisan
troposfer, suhu udara menurun dengan
bertambahnya ketinggian atau biasa disebut
dengan lapse rate, tetapi pada keadaan
tertentu di dekat permukaan sering ditemukan
keadaan inversi yaitu ketika suhu udara
menaik dengan bertambahnya ketinggian.
Secara umum, lapse rate dapat
diekspresikan dalam persamaan sebagai
berikut:
….. (2)
merupakan adiabatic lapse rate, T adalah
suhu (ºC), dan z merupakan ketinggian (m).
Lapse rate memiliki dua tipe yaitu
environmental lapse rate dan adiabatic lapse
rate.
Environmental lapse rate (ELR)
merupakan perubahan negatif suhu aktual
terhadap bertambahnya ketinggian di dalam
atmosfer yang stasioner pada waktu dan
tempat tertentu. Rata-rata ELR adalah sebesar
6.49 ºC/1000 m.
Adiabatic lapse rate terbagi menjadi
dua, yaitu dry adiabatic lapse rate (DALR)
dan moist adiabatic lapse rate (MALR).
DALR merupakan perubahan negatif suhu
terhadap bertambahnya ketinggian ketika
sebuah parsel udara menaik pada udara yang
kering atau tidak jenuh dibawah kondisi
adiabatik. Udara yang tidak jenuh memiliki
RH< 100% dengan suhu aktualnya lebih besar
dibandingkan titik embunnya (Td). Besarnya
nilai DALR rata-rata adalah 9.8 ºC/1000 m.
Moist adiabatic lapse rate (MALR)
atau disebut juga dengan saturated adiabatic
lapse rate (SALR) merupakan perubahan
negatif
suhu
terhadap
bertambahnya
ketinggian ketika sebuah parsel udara menaik
pada udara yang jenuh. Kondisi lapse rate ini
berubah-ubah
sesuai
dengan
kadar
kelembabannya serta bergantung pada suhu
dan tekanan rendah dengan nilai rata-rata
sebesar 5 ºC/1000 m. Perbedaan nilai lapse
rate antara DALR dengan MALR disebabkan
oleh adanya perbedaan panas laten yang
dilepaskan ketika air terkondensasi (Ahrens
2006).
Kondisi inversi yaitu suhu udara
menaik dengan bertambahnya ketinggian,
merupakan kondisi yang sangat buruk dalam
kaitannya dengan penyebaran zat polutan
karena pada kondisi ini zat polutan tidak akan
bisa naik ke atas melainkan akan cenderung
untuk kembali ke permukaan dikarenakan
suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan
udara di atasnya sehingga parsel akan
cenderung menuju ke ketinggian awalnya.
Perubahan suhu udara terhadap
ketinggian juga berhubungan secara langsung
terhadap stabilitas atmosfer. Secara umum,
terdapat tiga kriteria stabilitas atmosfer yaitu
netral, tidak stabil, dan stabil. Kriteria
kestabilan atmosfer tersebut dapat ditentukan
dengan
membandingkan
antara
laju
penurunan suhu adiabatik dengan laju
penurunan suhu lingkungan (aktual).
Keadaan atmosfer netral adalah ketika
laju penurunan suhu secara adiabatik sama
dengan laju penurunan suhu lingkungan.
Kerapatan udara di dalam parsel juga akan
sama dengan densitas udara di luar parsel
sehingga pada keadaan tersebut gaya
buoyancy (gaya ke atas yang menahan suatu
benda mengapung) tidak ada.
Pada kondisi tidak stabil, laju
penurunan suhu adiabatik lebih kecil
dibandingkan dengan laju penurunan suhu
lingkungan sehingga ketika suatu parsel akan
bergerak naik dan mengalami pendinginan,
suhu parsel tersebut masih lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu udara di
lingkungannya. Hal itu membuat kerapatan
parsel tersebut akan lebih rendah daripada
udara di sekitarnya yang membuat parsel
tersebut akan terus naik. Kondisi ini juga
dipengaruhi oleh gaya buoyancy sehingga
parsel tersebut akan terus bergerak ke atas.
Kondisi atmosfer stabil ditunjukkan
oleh suhu parsel yang lebih rendah
dibandingkan suhu lingkungannya ketika
bergerak naik karena pada kondisi ini laju
6
Gambar 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat
penurunan suhu adiabatik lebih besar
dibandingkan dengan laju penurunan suhu
lingkungan. Pada kondisi ini, parsel yang
bergerak naik maupun bergerak turun akan
cenderung kembali ke ketinggiannya semula.
Deskripsi ketiga kriteria atmosfer tersebut
dapat dilihat pada Gambar 5 (Kushnir 2000).
Garis merah tebal merupakan laju penurunan
suhu lingkungan, garis merah putus-putus
merupakan laju penurunan suhu adiabatik, Tp
dan Te berturut-turut merupakan suhu parsel
dan suhu lingkungan pada ketinggian Z1.
Penentuan
stabilitas
dengan
menggunakan metode di atas membutuhkan
observasi yang terus-menerus sehingga
seorang
ilmuwan
bernama
Pasquill
mengkategorikan stabilitas atmosfer tersebut
menjadi enam kelas stabilitas dari A sampai F
dengan penentuan kelas tersebut berdasarkan
pada beberapa parameter yaitu radiasi
matahari, kecepatan angin di permukaan, dan
penutupan awan (Pasquill 1962).
Keenam stabilitas atmosfer tersebut
dapat ditentukan berdasarkan kriteria gradien
suhu yang ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kelas
stabilitas
gradien suhu
berdasarkan
Kelas Stabilitas
Gradien Suhu
(°C/100 m)
A (sangat tidak stabil)
B (tidak stabil)
C (tidak stabil ringan)
D (netral)
E (stabil ringan)
F (stabil)
Sumber : Soenarmo 1999
< -1.9
-1.9 s.d -1.7
-1.7 s.d -1.5
-1.5 s.d -0.5
-0.5 s.d 1.5
1.5 s.d 4.0
Selain mempengaruhi pergerakan
polutan secara vertikal, stabilitas atmosfer
juga dapat mempengaruhi bentuk kepulan dari
cerobong. Terdapat lima bentuk kepulan dari
cerobong secara umum, yaitu looping, coning,
fanning, lofting, dan fumigation (Oke 1978).
Bentuk kepulan tersebut ditunjukkan pada
Gambar 4 dengan keterangan bahwa garis
merah di sebelah kiri gambar menunjukkan
ELR sedangkan garis hitam menunjukkan
DALR.
Pada bentuk kepulan looping (Gambar
6a), pengaruh turbulensi cukup besar. Bentuk
kepulan ini naik turun dan polutannya
terdispersi ke berbagai arah,tercampur dengan
udara sekitarnya. Kondisi ini terjadi pada saat
keadaan atmosfer tidak stabil dan biasanya
terjadi pada saat siang hari yang terik. Bentuk
kepulan ini lebih menguntungkan walaupun
polutannya jatuh ke tanah pada jarak yang
lebih dekat karena polutan tersebut
konsentrasinya
rendah
akibat
adanya
pencampuran dengan udara sekitarnya
sehingga cenderung tidak membahayakan
makhluk hidup.
Kepulan coning (Gambar 6b) terbentuk
pada saat kondisi atmosfer mendekati netral
dan biasa terjadi pada keadaan mendung,
disaat malam hari ataupun siang hari.
Pencampuran secara vertikal dan turbulensi
kecil sehingga polutan cenderung lebih
tersebar secara horizontal.
Kemudian untuk bentuk kepulan
fanning (Gambar 6c), konsentrasi polutan
cukup tinggi karena percampuran secara
vertikal dan turbulensi hampir tidak ada di
lokasi tersebut. Hal ini menyebabkan polutan
terkonsentrasi dan terpusat dengan bentuk
seperti garis tebal yang konstan di atmosfer.
Bentuk kepulan ini dapat terjadi pada keadaan
atmosfer sangat stabil atau pada sistem yang
memiliki tekanan tinggi. Biasanya polutan
pada bentuk kepulan seperti ini akan jatuh ke
tanah pada jarak yang cukup jauh sehingga
ketika sudah sampai di tanah konsentrasinya
akan jauh berkurang akibat terbawa angin.
7
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning (c) fanning (d) lofting (e)
fumigation (Saperaud 2005)
Selanjutnya untuk bentuk kepulan
lofting (Gambar 6d), terbentuk pada saat sore
hari menjelang malam ketika di dekat
permukaan kondisi atmosfernya stabil
sedangkan di atasnya kondisi atmosfernya
masih tidak stabil. Hal ini mengakibatkan
pada bagian atas kepulan lebih terlihat
terjadinya turbulensi dibandingkan pada
bagian bawahnya.
Berbeda dengan kepulan yang lain,
bentuk kepulan fumigation (Gambar 6e)
merupakan bentuk yang paling buruk. Pada
daerah dekat permukaan kondisi atmosfer
tidak stabil sedangkan di atasnya kondisi
atmosfer stabil. Hal ini berakibat polutan yang
berada di bawah tidak dapat terdispersikan ke
atas melewati daerah yang stabil tersebut
sehingga menyebabkan polutan bercampur di
daerah dekat dengan permukaan.
c.
Kelembaban Relatif (RH) dan Curah
Hujan (CH)
Kelembaban
udara
merupakan
banyaknya uap air yang terdapat dalam
kandungan air dan udara dalam fase gas.
Kelembaban relatif ini cukup penting dalam
pengaruhnya terhadap pencemaran udara
karena dapat mempengaruhi jarak pandang.
Kandungan uap air ketika mengembun akan
membentuk kabut yang dapat mempengaruhi
pandangan. Selain itu, uap air dalam jumlah
yang banyak akan menghalangi radiasi
matahari yang masuk ke bumi sehingga akan
menghambat radiasi matahari tersebut untuk
memecah inversi. Hal tersebut akan
mengakibatkan zat pencemar yang berada di
udara lebih lama berada di atmosfer. Uap air
yang mengembun menjadi kabut juga akan
mengakibatkan perubahan SO3 menjadi
H2SO4 menjadi lebih cepat yang berbahaya
bagi makhluk hidup (Fardiaz 1992).
Kelembaban udara jika kadarnya
kurang dari 60% (rendah) maka akan
membantu memperlambat atau mengurangi
efek korosif dari SO2 sedangkan jika kadarnya
sekitar 80% maka akan memperburuk atau
mempercepat efek korosif pada benda. Selain
itu, udara yang kadar uap airnya tinggi dapat
membantu partikel polutan seperti debu untuk
cepat jatuh ke tanah karena debu tersebut
menempel pada uap air dan akibat adanya
gravitasi maka uap air bersama debu yang
menempel akan tertarik ke bumi.
Sulfur dioksida yang jatuh ke bumi
bersama dengan curah hujan akan membentuk
hujan asam. Ketika curah hujan tersebut yang
sudah bercampur jatuh menyentuh tanah,
tanaman, bangunan, sungai, dan sebagainya
maka akan sangat berbahaya. Jika mengenai
bangunan akan menyebabkan efek korosif,
sedangkan jika menyentuh kawasan hutan
8
akan mengakibatkan deforestasi dan ketika
mengenai daerah perairan maka akan
mengganggu ekosistem yang ada di dalamnya
karena dapat menyebabkan kematian bagi
makhluk hidup yang tinggal di perairan
tersebut (EPA 2007).
•
•
2.2 Model Prediksi Dispersi Polutan
Terdapat berbagai macam model
prediksi dispersi polutan, mulai dari yang
sederhana sampai dengan yang lebih
kompleks yaitu (a) model empirik: hanya
didasarkan pada data sumber emisi, kualitas
udara, dan meteorologi (b) model numerik:
berdasarkan prinsip dasar fisika dan kimia
yang berhubungan dengan proses dalam
pencemaran udara, contohnya adalah model
kotak-tetap
(c)
model
semi-empirik:
berdasarkan formulasi yang diturunkan dari
prinsip scientific, tetapi berdasar pada
parameter yang ditentukan secara empirik,
contohnya adalah model Gaussian (d) model
dinamik: berdasarkan persamaan-persamaan
diferensial fisika dan kimia yang berhubungan
dengan dinamika aliran fluida di atmosfer.
2.2.1 Model Kotak
Model)
Tetap
Konsentrasi polutan di udara ketika
memasuki kota (x = 0) adalah konstan
dan nilainya sama dengan b.
Nilai laju emisi polutan di kota tersebut
adalah Q (biasanya diekspresikan dalam g
det-1) dan biasa dinyatakan dalam laju
emisi per luas area (g m-2 det-1). Secara
matematis
nilai
tersebut
dapat
digambarkan pada persamaan 3.
Q = qA
….. (3)
•
•
A adalah luasan area (L x W). Laju emisi
ini konstan dan tidak berubah dengan
waktu.
Tidak ada polutan yang keluar ataupun
masuk dari atas kotak ataupun melalui
sisi yang paralel dengan arah angin.
Polutan yang berada di atmosfer stabil
dan tidak dapat terurai.
Konsentrasi polutan yang terdapat di
dalam udara ambien dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan model kotak tetap
berikut ini (Nevers 2000):
(Fixed-Box
Model kotak tetap merupakan model
pendugaan konsentrasi polutan yang mudah
digunakan untuk daerah perkotaan, tetapi
model ini juga memiliki beberapa kekurangan.
Model ini hanya bersifat prediksi numerik saja
sehingga secara kualitatif hasilnya benar,
sedangkan secara kuantitatif masih belum
memadai (Nevers 2000).
Perhitungan
konsentrasi
polutan
dengan model ini menggunakan beberapa
asumsi antara lain:
• Kota berbentuk dimensi L (panjang) dan
W (lebar), salah satunya paralel dengan
arah datangnya angin.
• Turbulen di atmosfer menyebabkan
percampuran polutan terjadi secara
keseluruhan hanya sampai di daerah batas
mixing height H (tinggi).
• Turbulen cukup kuat di daerah upwind
sehingga membuat konsentrasi polutan
seragam di seluruh volume udara kota
tersebut.
• Angin berhembus di arah x dengan
kecepatan
angin
u.
Diasumsikan
kecepatan angin seragam di setiap
ketinggian.
c=b+
….. (4)
keterangan :
c = konsentrasi rata-rata polutan pada
keadaan steady state
b = konsentrasi polutan yang masuk
ke dalam kota (g m-3 atau µg m-3)
q = laju emisi per satuan luas (g m-2 det-1)
L = panjang (m)
u = kecepatan angin (m det-1)
H = tinggi (m)
2.2.2 Model Gaussian
Pendekatan ini
bertumpu pada
kenyataan bahwa solusi dasar persamaan
klasik difusi Fick merupakan distribusi
normal. Model Gauss telah dicobakan untuk
sumber tunggal pada kondisi meteorologi
khusus dengan waktu rata-rata satu jam atau
lebih. Model ini cukup valid untuk difusi
dengan waktu yang lama, kondisi homogen
dan stasioner (Soenarmo 1999). Liu dan
Liptak (1999) menambahkan bahwa model ini
juga efektif untuk menggambarkan difusi
polutan pada jarak kondisi atmosfer tertentu
dengan menggunakan standar deviasi dari
distribusi Gaussian dalam dua arah untuk
menggambarkan karakteristik dari polutan
sesuai dengan arah anginnya. Secara
9
=
2
1
2
1(
2
)
+
1
2
(
+ )
..... (5)
keterangan:
,
= konsentrasi polutan pada arah x, y, dan z (µg m-3)
= nilai emisi dari polutan (g det-1)
= standar deviasi kepulan (m)
= kecepatan angin vertikal rata-rata yang melintasi ketinggian kepulan (m det-1)
= jarak lateral (m)
= jarak vertikal (m)
= ketinggian efektif cerobong (m)
matematis, model Gaussian pada sumber titik
secara umum dapat digambarkan pada
persamaan 5 (Liu dan Liptak 1999).
Asumsi yang digunakan pada model
ini antara lain (Leonard 1997):
1. Turbulensi atmosfer konstan
2. Kecepatan dan arah angin dari sumber
titik sampai reseptor konstan
3. Kepulan tidak mengalami deposisi
ataupun washout
4. Tidak ada komponen yang diserap oleh
badan air ataupun vegetasi
5. Dispersi hanya terjadi pada arah vertikal
dan crosswind
6. Tidak ada komponen yang mengalami
transformasi secara kimia
7. Komponen yang mencapai permukaan
dipantulkan kembali ke dalam kepulan
Berdasarkan
asumsi-asumsi
yang
dijabarkan pada model numerik dan semiempirik tersebut yaitu model kotak-tetap dan
Gaussian,
masih
terdapat
beberapa
kekurangan yang signifikan. Oleh karena itu,
dibutuhkan model yang lebih kompleks yang
lebih mampu menjelaskan fenomenafenomena yang terjadi dengan harapan
mendapatkan hasil yang lebih baik dan akurat.
Salah satu model tersebut yang telah banyak
dikembangkan adalah model dinamik.
2.3 Computational Fluid Dynamics (CFD)
Penyebaran polutan di atmosfer akan
selalu mengikuti perilaku atmosfer, oleh
karena itu untuk mempelajari aliran polutan
tersebut pola aliran fluida perlu dipahami.
Dewasa ini telah berkembang suatu disiplin
ilmu yang mempelajari cara memprediksi
aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia,
dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan
persamaan-persamaan
matematika
yang
mampu memprediksi suatu aliran fluida lebih
tepat dan akurat yang dikenal sebagai
Computational Fluid Dynamics (CFD)
(Tuakia 2008).
Persamaan matematis yang terdapat di
dalam CFD tersebut beragam dan cukup
kompleks
sehingga
penyelesaiannya
membutuhkan suatu alat bantu berupa
perangkat lunak. Beberapa perangkat lunak
yang berbasis CFD diantaranya adalah
Engineering Fluid Dynamics (EFD), CFX,
Flow-3D, Phoenix, Starcd, Numeca, dan
Fluent.
CFD telah banyak digunakan baik
untuk tujuan komersil, penelitian, maupun
akademis yang hasilnya dapat diterima dengan
baik. Contohnya adalah
penelitian yang
dilakukan oleh Prasanto (2008) yang
menunjukkan bahwa simulasi penyebaran SO2
yang
dilakukan
menggunakan
Fluent
memberikan hasil yang lebih baik sebesar
66.3% dibandingkan model Gaussian yang
hanya memberikan akurasi sebesar 2.6%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa CFD memiliki
hasil prediksi yang lebih baik dan akurat.
Selain itu, penggunaan CFD dalam bidang
pencemaran udara juga telah banyak
dilakukan, beberapa diantaranya digunakan
pada sumber transportasi terutama di jalan
yang berbentuk street canyon (Baik et al.
2003; Shui et al. 2009; Chu et al. 2004).
Beberapa kegunaan CFD dalam dalam
berbagai bidang antara lain (Tuakia 2008):
1. Bidang arsitektur, contohnya mendesain
ruangan yang aman dan nyaman
2. Aerodinamika, contohnya mendesain
kendaraan untuk meningkatkan efisiensi
3. Olahraga, contohnya mencari rahasia
tendangan melengkung pada sepak bola
4. Kesehatan,
contohnya
mengobati
penyakit
arterial
(computational
hemodynamics) dan ahli keamanan dalam
mengurangi resiko kesehatan akibat
radiasi
10
5.
Militer, contohnya mengembangkan
persenjataan dan menganalisa seberapa
besar kerusakan yang ditimbulkannya
Secara umum, proses simulasi dalam
CFD terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu
preprocessing, solving, dan postprocessing.
Preprocessing merupakan langkah awal
dalam simulasi yaitu membuat suatu persiapan
dengan membangun model geometri yang
sesuai dalam bentuk CAD (Computer Aided
Design), membuat grid atau mesh, dan
menentukan kondisi batas dari geometri
tersebut.
Solving
merupakan
proses
penghitungan dan persamaan-persamaan yang
terdapat dalam model CFD tersebut
diselesaikan dengan menggunakan bantuan
program komputer sesuai dengan kondisikondisi yang telah ditentukan pada saat
preprocessing
sebelumnya.
Sedangkan
postprocessing merupakan langkah terakhir
dalam simulasi ini. Hasil penghitungan
langkah sebelumnya diinterpretasikan ke
dalam beberapa bentuk diantaranya adalah
grafik, kurva, animasi, gambar 2D maupun
3D.
Model CFD menggunakan persamaanpersamaan
aljabar
untuk
mengganti
persamaan-persamaan diferensial parsial dari
kontinuitas, momentum , dan energi dengan
pendekatan model diskrit (jumlah sel
terhingga).
Metode
diskritisasi
yang
digunakan oleh model CFD ini antara lain :
• Metode beda hingga (finite difference
method)
• Metode elemen hingga (finite elements
method)
• Metode volume hingga (finite volume
method)
• Metode elemen batas (boundary element
method)
• Metode skema resolusi tinggi (high
resolution scheme method)
2.4 GAMBIT
Proses preprocessing pada CFD dapat
dibantu oleh GAMBIT (Geometry and Mesh
Building Intelligent Toolkit) yang merupakan
perangkat lunak untuk membuat geometri,
diskritisasi (meshing) pada model. GAMBIT
diproduksi oleh Fluent Inc., yang merupakan
salah satu perangkat lunak analisis komputasi
fluida yang menguasai 60% pangsa pasar
dunia untuk perangkat lunak jenis ini (Tuakia
2008).
GAMBIT
cukup
mampu
mendiskritisasi
berbagai bentuk
yang
diinginkan
pengguna.
Hal
tersebut
dikarenakan di dalam GAMBIT terdapat
berbagai mesh mulai dari yang bentuknya
beraturan sampai yang bentuknya tidak
beraturan, piramid, tetrahedral, dan prisma.
Hal ini memungkinkan untuk dapat membuat
suatu model yang rumit sekalipun.
Proses diskritisasi tersebut sangat
penting dalam pemodelan karena dapat
mempengaruhi ketelitian komputasi. Semakin
kecil ukuran mesh suatu model, maka
ketelitiannya akan semakin tinggi (hasil lebih
akurat), sedangkan ukuran mesh yang besar
akan mempengaruhi hasil akhir yang kurang
akurat.
Selain itu, di dalam GAMBIT kita juga
dapat memeriksa mesh yang kita buat pada
suatu model guna menghindari terjadinya
kesalahan pada saat proses solving. Salah satu
tipe kualitas mesh yang dapat kita pilih adalah
equiangle skew dengan nilai tidak boleh
melebihi 0.9 (Tuakia 2008). Jika melebihi
angka tersebut, maka nantinya akan
berdampak buruk pada solusi akhir yang tidak
tidak akurat atau membutuhkan waktu
konvergensi yang lama.
Proses terakhir di dalam perangkat
lunak GAMBIT adalah penentuan kondisi
batas. Penentuan batas ini juga sangat penting
karena menentukan pada bagian mana (face)
dari model yang telah dibuat akan
dikondisikan. Beberapa contoh kondisi batas
diantaranya adalah wall, velocity inlet, mass
flow inlet, outflow, pressure inlet dan pressure
outlet.
2.5 Fluent
Fluent merupakan salah satu perangkat
lunak CFD yang menggunakan metode
volume hingga (finite volume method) dan
menyediakan fleksibilitas mesh yang lengkap
sehingga kasus aliran fluida yang rumit
sekalipun dapat diselesaikan. Jenis mesh yang
didukung oleh Fluent antara lain 2D
triangular-quadrilateral, 3D tetrahedralhexahedral-pyramid-wedge, dan campuran
(hybrid) (Tuakia 2008).
Perangkat lunak ini diluncurkan
pertama kali pada bulan Oktober tahun 1983
yang didirikan oleh Sheffield University dan
Creare Inc. Perangkat lunak ini berkembang
dengan cepat dan banyak digunakan di
beberapa negara sehingga berhasil mendirikan
perusahaan-perusahaan baru yang pusatnya
berada di daerah New Hampshire, Lebanon.
Pemodelan
CFD
menggunakan
perangkat lunak Fluent dapat memberikan
11
hasil yang akurat dalam memprediksi kondisi
turbulensi dan angin untuk menghitung
transpor udara, penyebaran kimia, biologis,
dan bahan nuklir. Fluent juga banyak diterima
secara luas dalam dunia tekhnik karena
kemampuannya
menyelesaikan
masalah
dispersi kimia dengan mengangkat isu
geometri dan teori-teori fisika dalam model
(Camelli 2004; Corrier 2005).
Fluent banyak digunakan oleh berbagai
industri, antara lain industri pertambangan,
petrokimia, otomotif, dan biomedikal. Hal ini
dikarenakan Fluent memiliki kemampuan
yang luas dalam menganalisis berbagai
macam kasus aliran fluida. Kemampuan yang
dimiliki oleh Fluent antara lain:
• Model mixing-plane untuk memodelkan
interaksi rotor-stator dan aplikasi mesin
turbo
• Model dynamic mesh untuk memodelkan
domain yang bergerak dan deforming
mesh
• Multiple reference frame (MRF) dan
sliding mesh untuk pemodelan rangka
bergerak
• Perubahan fasa untuk peleburan atau
solidifikasi
• Pemodelan fenomena kavitasi
• Percampuran zat dan reaksi kimia,
termasuk model pembakaran homogen
dan heterogen
• Aliran kompresibel dan inkompresibel
2.6 Pendekatan Model
2.6.1 Persamaan Kontinuitas
Persamaan kontinuitas merupakan
persamaan matematis yang menyatakan
jumlah massa yang masuk ke dalam sistem
sama jumlahnya dengan jumlah massa yang
keluar
sistem.
Persamaan
tersebut
diekspresikan dalam bentuk sebagai berikut:
(
)=0
..… (6)
adalah densitas fluida (kg m-3) dan
merupakan kecepatan fluida (m det-1).
2.6.2 Persamaan Navier-Stokes
Persamaan
Navier-Stokes
menggambarkan kekekalan momentum pada
suatu fluida yang menerapkan Hukum II
Newton tentang pergerakan fluida. Solusi
numerik dari persamaan Navier-Stokes untuk
kasus aliran turbulen cukup sulit karena untuk
mendapatkan hasil yang stabil diperlukan
mesh yang halus sehingga waktu komputasi
menjadi cukup lama. Hal tersebut dapat
diatasi dengan menggunakan persamaan timeaveraged seperti Reynolds-Averaged NavierStokes (RANS) dalam aplikasi Computational
Fluid Dynamics (CFD). Persamaan RANS
ditunjukkan secara matematis pada persamaan
7.
Persamaan tersebut memiliki bentuk
yang sama dengan persamaan Navier-Stokes
dengan kecepatan dan variabel lainnya yang
diungkapkan dalam nilai time-averaged.
Bentuk tambahan yang muncul pada
persamaan ini,
, dikenal dengan
tegangan Reynolds (Reynolds stresses) yang
muncul akibat adanya kecepatan yang
berfluktuasi (efek turbulensi). Tegangan
Reynolds ini harus dimodelkan agar
persamaan RANS tersebut dapat terselesaikan
(Fluent 2006).
2.6.3 Persamaan Turbulensi
Salah
satu
pendekatan
untuk
menyelesaikan tegangan Reynolds pada
persamaan
RANS
adalah
dengan
menggunakan model-model turbulensi yang
berdasarkan pada hipotesis Boussinesq.
Hipotesis tersebut menyatakan tegangan
Reynolds berbanding lurus dengan gradien
kecepatan. Persamaan tersebut ditunjukkan
secara matematis pada persamaan 8.
Beberapa model turbulensi yang
menggunakan hipotesis Boussinesq antara lain
model turbulensi Spalart-Allmaras, k-epsilon
(k- ), dan k-omega (k- ). Kelebihan dari
pendekatan ini adalah kebutuhan daya
komputasi yang relatif kecil karena model
tersebut hanya menggunakan beberapa
persamaan seperti pada Spalart-Allmaras (satu
persamaan), k- (dua persamaan), dan k(dua persamaan). Sebaliknya, kekurangan dari
pendekatan ini adalah bahwa hipotesis
tersebut mengasumsikan viskositas turbulen
( ) merupakan besaran isotropic scalar yang
mana hal tersebut tidak sepenuhnya benar
(Fluent 2006).
Selain pendekatan tersebut, terdapat
beberapa model turbulensi lainnya yaitu
Reynolds Stress Model (RSM), dan Large
Eddy Simulation (LES). RSM mendekati
persamaan RANS dengan menyelesaikan
persamaan transport untuk tegangan Reynolds
bersama-sama dengan persamaan laju disipasi
(Tuakia 2008). Model ini cukup baik karena
12
+
=
(
)=
+
1
2
3
+
2
3
+
( +
)
+
)
+
….. (7)
….. (8)
+
+
….. (9)
keterangan:
dan
= produksi dari viskositas turbulen (m2 det-1)
= destruksi dari viskositas turbulen yang terjadi di daerah dekat dinding
karena halangan dinding dan damping viskos (m2 det-1)
= konstanta
= viskositas kinematik (m2 det-1)
= viskositas dinamik (Pa det)
= penambahan dari sumber lain (ditentukan oleh pengguna)
hasil dari perhitungannya lebih akurat
dibandingkan dengan model yang hanya
menggunakan satu atau dua persamaan saja,
tetapi tentu saja RSM akan membutuhkan
daya komputasi yang jauh lebih besar karena
model ini menggunakan empat persamaan
transpor pada aliran 2D dan tujuh persamaan
transpor pada aliran 3D. Begitu juga dengan
LES, model ini juga membutuhkan daya
komputasi yang sangat besar. Pusaran fluida
(vortex) yang besar diselesaikan secara
langsung pada LES, sedangkan vortex yang
kecil dimodelkan sehingga resolusi mesh yang
dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan
persamaan
aslinya.
Selain
komputasi
menggunakan model, juga terdapat komputasi
yang dilakukan secara langsung. Direct
Numerical Simulation (DNS) merupakan
metode komputasi fluida secara langsung.
Metode ini membutuhkan daya komputasi
yang sangat tinggi karena mesh pada domain
komputasi harus dibangun dengan resolusi
yang sangat tinggi. Baik LES maupun DNS,
keduanya tidak praktis digunakan dalam
aplikasi teknis secara umum karena kebutuhan
daya komputasinya yang sangat besar.
Berdasarkan uraian di atas, persamaan
turbulensi yang cukup efisien dalam hal waktu
komputasi adalah Spalart-Allmaras.
Variabel transpor di dalam SpalartAllmaras ( ), adalah sama untuk viskositas
kinematik turbulen kecuali di daerah dekat
dinding. Persamaan transpor untuk
ditunjukkan pada persamaan 9.
Viskositas turbulen,
t, dihitung
=
….. (10)
fungsi damping viskos,
persamaan:
=
merupakan
persamaan:
dari:
+
fraksi mol,
, didapat dari
….. (11)
didapat
dari
…..(12)
Produksi turbulen,
berikut:
, dimodelkan sebagai
=
….. (13)
+
dan
=1
….. (14)
1+
….. (15)
Cb1 dan adalah konstanta, d merupakan jarak
dari dinding, dan S merupakan ukuran skalar
dari perubahan tensor.
Destruksi turbulen dimodelkan sebagai
berikut:
=
….. (16)
13
=
=
konstanta :
•
•
•
•
•
•
•
/
1+
+
=
+(
+
(1 +
)
)
….. (17)
….. (18)
…..(19)
….. (20)
Tabel 4 Kategori aliran turbulen di sekitar
silinder
Cb1 = 0.1355
Cb2 = 0.622
=
Cv1 = 7.1
Cw2 = 0.3
Cw3 = 2
= 0.4187
Bilangan Reynolds
300 < Re < 3× 105
3×105 < Re < 3.5×105
3.5×105< Re < 1.5×106
Suatu aliran di sekitar benda dikatakan
turbulen apabila bilangan Reynolds (Re) >
4000 (Frisch 1995). Persamaan matematis
untuk menentukan bilangan Reynolds adalah
sebagai berikut:
=
….. (21)
merupakan bilangan Reynolds,
merupakan densitas udara (kg m-3),
merupakan kecepatan angin (m det-1),
merupakan diameter cerobong (m) dan
merupakan viskositas dinamik udara (kg m-1
det-1).
Tabel 3 Kategori aliran berdasarkan bilangan
Reynolds
Bilangan Reynolds
Re < 2300
2300 < Re < 4000
Re > 4000
Sumber: Rott 1990
dengan adanya turbulensi, polutan akan lebih
cepat bercampur dengan udara kemudian akan
tercampur
dan
terdispersi
sehingga
konsentrasi polutannya akan menjadi lebih
rendah. Selain itu, bilangan Reynolds juga
akan mempengaruhi pola aliran yang
terbentuk di sekitar permukaan silinder dalam
hal ini adalah permukaan cerobong. Beberapa
fenomena yang dipengaruhi oleh bilangan
tersebut antara lain adalah terbentuknya vortex
dan terjadinya variasi drag coefficient.
Kategori Aliran
Laminar
Transisi
Turbulen
Menurut Sumer dan Fredsoe (2006),
aliran turbulen di sekitar silinder dapat
dikategorikan kembali ke dalam beberapa
kriteria (Tabel 4). Besarnya bilangan
Reynolds berpengaruh terhadap terjadinya
turbulensi pada aliran tersebut. Semakin besar
bilangan Reynolds, maka aliran tersebut akan
semakin turbulen, dan sebaliknya. Turbulensi
cukup penting peranannya dalam penyebaran
dan pencampuran polutan di udara karena
1.5×106< Re < 4×106
4 × 106 < Re
Kategori Aliran
Subcritical
Critical
(Lower
Transition)
Supercritical
Upper
Transition
Transcritical
Semakin besar bilangan Re pada suatu
aliran, maka akan semakin besar pula
terbentuknya vortex di dalam aliran tersebut,
dan sebaliknya. Vortex dapat terjadi pada
aliran dengan bilangan Re > 40. Pada kondisi
ini, permukaan lapisan batas akan terpisah
oleh adanya gradien tekanan balik yang
terbentuk akibat geometri yang divergen dari
aliran disisi belakang silinder sehingga akan
membentuk suatu lapisan geser. Selain itu,
pada permukaan lapisan geser tersebut juga
akan terbentuk vortisitas yang cukup besar.
Vortisitas ini menyebabkan lapisan geser
tersebut menggulung sehingga membentuk
vortex (Sumer dan Fredsoe 2006). Hal
tersebut secara skematis diilustrasikan pada
Gambar 7.
Gambar 7 Skema separasi aliran di sekitar
silinder
14
Drag coefficient ( ) merupakan suatu
besaran tanpa satuan yang digunakan untuk
mengukur gaya hambat (drag) dari sebuah
objek dalam lingkungan fluida seperti air dan
udara (Hoerner 1965). Besaran ini juga dapat
menunjukkan karakteristik aerodinamis suatu
benda jika dilalui aliran fluida. Persamaannya
adalah sebagai berikut:
….. (22)
keterangan :
A
= gaya hambat (drag force)
= massa jenis fluida (kg m-3)
= kecepatan angin (m det-1)
= luas penampang (m2)
CD bukan merupakan konstanta
melainkan nilainya bervariasi terhadap
kecepatan, bentuk benda, ukuran benda,
densitas fluida, dan viskositas fluida. CD juga
merupakan fungsi Re, oleh karena itu dalam
beberapa penelitian, suatu aliran fluida dengan
besaran CD tertentu pada bilangan Reynolds
yang sama sering digunakan sebagai besaran
pembanding dengan penelitian lain yang telah
dilakukan sebelumnya untuk melakukan
validasi, melihat apakah simulasi yang telah
dibuat sudah benar.
2.6.4 Persamaan Transpor Spesies
Selain turbulensi, hal penting dalam
dispersi polutan adalah persaman transport
untuk setiap jenis polutan. Hal tersebut
memerlukan persamaan kekekalan spesies
kimia sebagai berikut:
(
)
,
,
=
FD
Persamaan fluks difusi, ( ), pada
aliran turbulen dapat dimodelkan sebagai
berikut:
+
+
….. (23)
merupakan rasio produksi spesies i oleh
reaksi kimia,
adalah rasio pembentukan
dari fase dispersi dan penambahan dari
sumber lain (ditentukan oleh pengguna).
merupakan fluks difusi dari spesies i (SO2
dalam penelitian ini) yang timbul karena
adanya gradien konsentrasi (kg m-2 det-1).
Penelitian ini tidak menggunakan reaksi kimia
sehingga
dari persamaan tersebut
ditiadakan.
+
….. (24)
adalah koefisien difusi massa (m2 det-1),
adalah angka turbulen Schmidt ( ,
adalah viskositas turbulen dan
difusivitas turbulen). Nilai default
0.7.
adalah
adalah
2.6.5 Model Perpindahan Panas (Heat
Transfer)
Dispersi polutan juga dipengaruhi oleh
aliran energi termal. Perbedaan suhu antara
molekul yang satu dengan yang lain
menyebabkan terjadinya perbedaan kerapatan
massa molekul. Semakin tinggi suhu molekul,
maka kerapatan massanya akan semakin kecil
(renggang), sedangkan semakin rendah suhu
molekul, maka kerapatan massanya akan
semakin besar (rapat). Perbedaan kerapatan
massa tersebut akan menimbulkan terjadinya
pergerakan dari molekul yang memiliki
kerapatan massa yang lebih besar ke molekul
yang memiliki kerapatan massa yang lebih
kecil.
Aliran energi termal dari suatu zat
yang menempati suatu daerah di lapisan udara
ke suatu daerah lapisan udara lainnya dikenal
dengan sebutan perpindahan panas (heat
transfer). Perpindahan panas dapat terjadi
dengan tiga metode, yaitu konduksi, konveksi,
dan radiasi. Fluent memecahkan persamaan
energi dalam bentuk persamaan matematis
yang ditunjukkan pada persamaan 27.
Pada persamaan energi tersebut, nilai E adalah
sebagai berikut:
=
+
2
….. (25)
merupakan energi total (Joule),
merupakan tekanan (Pa), sedangkan sensible
enthalpy, h, ditentukan untuk gas ideal
sebagai berikut:
=
….. (26)
15
(
+) =
+
.
+
….. (27)
keterangan:
= konduktivitas yang berlaku (k+kt ,, kt merupakan konduktivitas termal turbulen,
ditentukan berdasarkan model turbulen yang sedang digunakan)
= fluks difusi dari spesies j (kg m-2 det-1)
= panas dari reaksi kimia yang terjadi, dan sumber-sumber panas volumetrik lainnya yang
telah ditentukan oleh pengguna.
kemudian untuk kondisi aliran inkompresibel,
nilai h ditentukan sebagai berikut:
=
+
,
….. (33)
merupakan konduktivitas panas (W m-1 K-1).
Bilangan Rayleigh jika kurang dari 108
mengindikasikan bahwa aliran tersebut
laminar, sedangkan alirannya turbulen jika
angkanya berkisar antara 108 < Ra < 1010.
….. (29)
merupakan kapasitas panas (Joule kg-1 K) dan nilai
adalah sebesar 298.15 K.
1
=
….. (28)
adalah fraksi massa dari spesies j, dan
adalah sebagai berikut:
=
dan merupakan difusivitas panas (m2 det-1),
yang dirumuskan sebagai berikut:
,
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Gaya buoyancy dalam aliran konveksi
campuran
dapat
ditentukan
dengan
membandingkan antara Grashof dan bilangan
Reynolds sebagai berikut:
=
….. (30)
3.2 Bahan dan Alat
merupakan bilangan Grashof,
merupakan koefisien pemuaian panas (K-1),
dan merupakan skala panjang (m). Dalam
kondisi konveksi alami, kekuatan dari aliran
buoyancy-induced dapat ditentukan dengan
bilangan Rayleigh sebagai berikut:
=
Nilai
dapat ditentukan
persamaan sebagai berikut:
=
Penelitian ini
dilakukan
di
Laboratorium Meteorologi dan Polusi
Atmosfer, Departemen
Geofisika dan
Meteorologi, IPB serta Laboratorium AeroGasdinamika dan Getaran (LAGG), BPPT
dari bulan Juni-Oktober 2009.
1
….. (31)
menggunakan
….. (32)
3.2.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder yaitu berupa data
fisik cerobong, data kadar emisi (Q),dengan
studi kasus PLTU Suralaya (Lampiran 1).
Sebagai pembanding digunakan data sampling
konsentrasi SO2 ambien di dua lokasi yaitu
perumahan Suralaya dan Lebak Gede.
3.2.1.1 Data Fisik Cerobong
Data ini meliputi ketinggian cerobong
(m), diameter cerobong bagian atas (m),
kecepatan aliran gas dalam cerobong (m s-1),
dan suhu gas (ºC). Data fisik cerobong yang
16
Tabel 5 Data fisik cerobong
Keterangan
Kapasitas (MW)
Waktu Operasi (jam tahun-1)
Efisiensi Produksi (%)
Jenis Bahan Bakar
Konsumsi (ton jam-1)
Tinggi (m)
Diameter Dalam (m)
Suhu Gas (oC)
Kecepatan Gas Keluar (m det-1)
digunakan pada penelitian ini adalah data
cerobong pada unit 1-4 (Tabel 5).
3.2.1.2 Data Klimatologi
Simulasi penyebaran SO2 yang
dilakukan pada penelitian ini menggunakan
data klimatologi pada tanggal 5 Mei 2005
yang didapatkan dari Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Serang,
Banten. Data klimatologi tersebut antara lain:
•
•
•
Suhu rata-rata harian: 28.2 oC
Kecepatan angin rata-rata : 2.5 m det-1
Arah angin terbanyak : 225º
Tanggal 5 Mei 2005 dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada tanggal tersebut
arah angin rata-rata berhembus menuju ke
arah 225º (barat daya). Arah tersebut kurang
lebih sama dengan lokasi pengukuran
sampling polutan SO2 yaitu perumahan
Suralaya dan Lebak Gede yang letaknya di
sebelah barat daya PLTU Suralaya. Hal
tersebut dimaksudkan agar pembandingan
data hasil simulasi dengan data hasil
pengukuran lapang yang nantinya dilakukan
akan menjadi lebih realistis.
3.2.1.3 Data Validasi dan Pembanding
Data validasi dan pembanding yang
digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua
jenis data, yaitu data validasi untuk model
geometri dan data pembanding untuk hasil
simulasi.
a. Data Validasi untuk Model Geometri
Validasi kondisi aliran di dalam model
geometri dilakukan untuk melihat apakah
aliran tersebut sudah memenuhi kriteria
mendekati kondisi sebenarnya. Selain itu,
validasi juga dilakukan dengan tujuan
mengetahui apakah model yang telah dibuat
Cerobong
400
7446
34.8
batubara
170
200
5.5
130
20
terdapat kesalahan yang nantinya dapat
berdampak pada keakuratan hasil dari
komputasi yang akan dilakukan.
Besaran yang digunakan sebagai
validasi adalah nilai drag coefficient (CD)
pada bilangan Reynolds (Re) yang mendekati
sama
dengan
penelitian
sebelumnya.
Perhitungan
bilangan
Reynolds
pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
=
1.225 × 3.7634 × 5.5
= 1.4 × 10
1.7894 × 10
b. Data Pembanding untuk Hasil Simulasi
Data
pengukuran
lapang
yang
digunakan sebagai pembanding adalah data
hasil pengukuran kualitas udara emisi SO2 di
cerobong PLTU Suralaya serta data hasil
pengukuran SO2 di udara ambien yang
dilakukan di sekitar daerah Suralaya yaitu
perumahan Suralaya dan Lebak Gede pada
tahun 2005.
3.2.2 Alat
1.
2.
3.
4.
Seperangkat alat komputer
Microsoft Office 2007
GAMBIT versi 2.2.30
Fluent versi 6.3.26
3.3 Perhitungan Kadar Emisi SO2 dari
Cerobong
Perhitungan kadar emisi SO2 (Q)
dihitung menggunakan nilai faktor emisi
(emission factor) sesuai dengan standar EPA.
Perhitungan faktor emisi untuk SO2 adalah
sebagai berikut (Nevers 2000):
Faktor emisi = kadar sulfur × faktor pengali
= 0.3 × 38
= 11.4 lb ton-1
17
Nilai kadar sulfur tersebut didapat dari data
pengukuran lapang yang dilakukan oleh
Ruhiyat (2009) yaitu sebesar 0.3% sedangkan
nilai faktor pengali merupakan nilai standar
yang ditetapkan EPA untuk kandungan SO2
dalam pembakaran batubara.
Setelah mendapatkan nilai faktor
emisi, kadar emisi SO2 dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut ini:
karena pada daerah tersebut banyak terjadi
gangguan (gradien tinggi). Semakin menjauhi
benda padat, ukuran grid akan semakin besar
(Blocken et al. 2006 dan Baik et al. 2003).
Q = faktor emisi × konsumsi batubara
= 11.4 lb ton-1× 170 ton jam-1
= 1938 lb jam-1
= 0.24418 kg det-1
Gambar 8 Model geometri simulasi
3.4 Langkah Kerja Penelitian
Pada penelitian ini simulasi dilakukan
dengan menggunakan dua perangkat lunak
untuk memecahkan permasalahan, yaitu
perangkat lunak Gambit dan Fluent. Langkah
pengerjaan yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
1.
Membuat geometri dan mesh
Pemodelan geometri pada simulasi ini
berbentuk balok berdimensi (x, y, z) 4800 m,
250 m, 800 m dan sebuah cerobong dengan
bentuk silinder di dalamnya dengan tinggi 200
m dan diameter 5.5 meter (Gambar 8).
Keterangan diagram kartesian pada hasil
simulasi menunjukkan bahwa arah x
merupakan arah downwind (searah aliran
angin) dan arah y merupakan arah crosswind
(tegak lurus terhadap arah datang angin).
Jarak 4800 m ke arah x ditentukan
berdasarkan adanya pemukiman pada jarak
2900 m. Selain itu, pada jarak 4800 m tersebut
(daerah outflow) dianggap alirannya sudah
tidak terganggu (undisturbed flow), demikian
pula pada batasan wilayah ke arah y dan z
serta jarak antara velocity inlet dengan
cerobong. Selain itu, untuk batasan wilayah
800 m ke arah z, jarak tersebut dianggap
cukup untuk melihat bentukan kepulan dan
sebaran SO2, begitu pula dengan batasan
wilayah 250 m ke arah y dianggap sudah
dapat mewakili sebaran gas SO2. Setelah
model geometri dengan batasan-batasan
tersebut telah dibuat, maka geometri tersebut
harus diberikan grid (meshing).
Pengaturan ukuran grid pada geometri
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
lamanya waktu komputasi sehingga ukuran
grid yang halus hanya difokuskan pada daerah
yang vital saja yaitu daerah yang berada dekat
dengan benda padat (cerobong dan tanah)
Selain itu, penghematan waktu
komputasi juga dilakukan dengan cara
memberikan kondisi batas simetri pada daerah
centerface (searah sumbu x), komputasi hanya
dilakukan pada sebagian daerah model saja
sehingga dapat menghemat waktu sampai
dengan 50% (Lampiran 2a). Hal tersebut
dapat dilakukan karena angin yang mengalir
di dalam model tersebut membentuk sudut
serang 0º atau paralel terhadap sumbu x
sehingga fenomena yang terjadi di sebelah
kanan ataupun kiri simetri akan sama. Oleh
karena itu, pada penelitian ini komputasi
hanya dilakukan pada daerah di sebelah kiri
saja.
Sebelum geometri tersebut dimasukkan
ke dalam Fluent, mesh yang telah dibuat harus
diperiksa terlebih dahulu. Salah satu tipe
kualitas yang dapat dipakai sebagai rujukan
apakah mesh yang telah kita buat sudah baik
atau tidak adalah dengan melihat nilai
equiangle skew yang nilainya tidak boleh
melebihi dari 0.9 (Tuakia 2008). Pada
penelitian ini, nilai equiangle skew dari mesh
yang telah dibuat adalah sebesar 0.85 yang
artinya mesh yang telah dibuat sudah cukup
baik dan dapat diproses selanjutnya di dalam
Fluent.
2.
Memilih solver
Pada saat membuka Fluent, terdapat
pilihan untuk menggunakan solver 2D atau
3D dengan presisi tunggal atau presisi ganda
(single precision atau double precision). Pada
penelitian ini digunakan Solver 3D dengan
keakuratan double precision.
3.
Mengimpor dan memeriksa grid
Grid model yang dibuat di dalam
GAMBIT diimpor dalam bentuk mesh file
kemudian di dalam Fluent diperiksa kembali
18
apakah grid tersebut masih terdapat kesalahan
atau tidak.
4.
Memilih formulasi Solver
Fluent menyediakan tiga formulasi
solver antara lain:
• Pressure Based
• Density Based implicit
• Density Based explisit
Pada penelitian ini formulasi solver yang
digunakan adalah Pressure Based Solver
dengan rincian sebagai berikut:
• Solver
• Space
• Velocity
formulation
• Formulation
• Time
• Gradient
option
• Porous
formulation
: pressure-based
: 3D
: absolute
: implicit
: steady
: green gauss cell based
: superficial velocity
5.
Menentukan model dan persamaan dasar
Pada Fluent terdapat berbagai model
dan persamaan dasar yang dapat dipilih sesuai
dengan kasus yang akan dianalisis. Pada
penelitian ini digunakan beberapa persamaan
yaitu viskositas (Spalart-Almarass), transpor
spesies tanpa reaksi kimia, dan perpindahan
panas secara konveksi.
Persamaan turbulensi Spalart-Allmaras
dipilih
dengan
pertimbangan
bahwa
persamaan ini membutuhkan daya komputasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan model
turbulensi lainnya sehingga dapat menghemat
waktu komputasi.
Rincian
penentuan
model
dan
persamaan dasar pada Fluent adalah sebagai
berikut:
1. Persamaan viskositas
• Model
• Options
: Spalart-Allmaras
: vorticity based production
• Model
: spesies transport
• Mixture Template
ü Mixture species : SO2 dan udara
ü Density
: incompressible ideal
gas
ü Cp
: mixing law
ü Thermal
conductivity
: ideal gas mixing law
ü Viscosity
: ideal gas mixing law
ü Mass diffusivity : constant dilute appx
3. Menentukan kondisi operasi (operating
conditions)
Kondisi operasi yang harus ditentukan
antara lain:
• Tekanan : 1 atm
• Percepatan gravitasi : -9.8 m det-2
• Suhu operasi : rata-rata suhu dari masingmasing kestabilan atmosfer
4. Menentukan material
Fluida
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah udara dan SO2 pada
kondisi STP dengan sifat fisik masing-masing
(Tabel 6).
5. Menentukan kondisi batas (boundary
condition)
Pada penelitian ini, diperlukan
informasi mengenai variabel pada domain
geometri dan informasi tersebut harus
dimasukkan ke dalam kondisi batas (Lampiran
3). Penentuan kondisi batas tersebut antara
lain :
Velocity Inlet
Adalah daerah inputan untuk data
profil angin dan suhu. Pada kondisi batas ini
dimasukkan nilai-nilai sebagai berikut:
• Momentum
ü Velocity
specification
method
ü Reference frame
ü X-velocity (m/s)
ü Y-velocity (m/s)
ü Z-velocity (m/s)
: components
: absolute
: profil angin manual
:0
:0
2. Persamaan transpor spesies
Tabel 6 Karakteristik udara dan SO2
Keterangan
Suhu (oC)
Konduktivitas Panas (W m-1 K-1)
Viskositas (kg m-1 s-1)
Kerapatan (kg m-3)
SO2
130
0.0104
1.2 × 10-5
2.77
Udara
Bervariasi
0.025
1.7894 × 10-5
1.225
19
ü Turbulence
vSpecification
method
vTurbulent
viscosity
ratio
• Termal
ü Suhu
• Spesies
ü Fraksi massa
SO2
Wall
: turbulent viscosity
ratio
: 0.1 (konstan)
: profil suhu manual
Adalah daerah batasan model yang
berbentuk padat (tanah dan cerobong). Nilai
pada kondisi batas ini dikondisikan default.
Symmetry
Adalah
daerah
yang
alirannya
terbebaskan (tidak ada halangan). Pada
kondisi batas ini tidak perlu memasukkan nilai
tertentu.
6.
:0
Mass Flow Inlet
Adalah
daerah
tempat
dimana
keluarnya emisi SO2 (daerah muka cerobong
bagian atas). Pada kondisi batas ini
dimasukkan nilai-nilai sebagai berikut:
• Momentum
ü SO2 flow rate
: 0.24418 kg det-1
ü Supersonic
gauge pressure : 0
ü Direction
specification
method
: direction vector
ü Reference Frame : absolute
ü Coordinate system
vX-component of flow direction = 0
vY-component of flow direction = 0
vZ-component of flow direction = 1
ü Turbulence
vSpecification
method
: turbulent viscosity
ratio
vTurbulent
viscosity
ratio
: 0.1 (konstan)
• Termal
ü Suhu
: 130 ºC
• Spesies
ü Fraksi massa
SO2
: 0.003
Solusi kontrol
Pada saat menentukan kriteria solusi
kontrol dalam Fluent, ditentukan nilai-nilai
sebagai berikut:
• Pressure velocity coupling
: SIMPLE
• Under Relaxation Factor (URF)
ü Pressure
ü Density
ü Body force
ü Momentum
ü Modified turbulent viscosity
ü Turbulent viscosity
ü SO2
ü Energi
: 0.3
:1
:1
: 0.3
: 0.8
:1
:1
:1
• Diskretisasi
ü Pressure
ü Momentum
ü Modified
turbulent
viscosity
ü SO2
ü Energi
: second order upwind
: second order upwind
: second order upwind
: second order upwind
: second order upwind
7.
Inisialisasi medan aliran
Sebelum memulai perhitungan atau
menjalankan program, hal yang harus lebih
dahulu
dilakukan
adalah
melakukan
inisialisasi. Inisialisasi merupakan dugaan
awal pada kondisi batas mana kita akan
memulai perhitungan.
8.
Outflow
Adalah batas terluar downwind. Pada
penelitian ini terdapat dua outflow yang pada
masing-masing kondisi batas tersebut
dimasukkan nilai flow rate weighting sebesar
0.5.
Melakukan perhitungan atau iterasi
Pada proses perhitungan, terlebih
dahulu yang dilakukan adalah menentukan
kriteria konvergensi, yaitu kesalahan atau
perbedaan antara dugaan awal dan hasil akhir
yang dilakukan oleh Fluent pada masingmasing persamaan yang digunakan. Setelah
itu, barulah tentukan jumlah iterasi model
yang akan dilakukan. Fluent akan berhenti
melakukan iterasi ketika telah konvergen atau
ketika mencapai jumlah iterasi.
20
9.
Output program
Hasil keluaran dari Fluent diantaranya
dapat berupa kontur, vector, pathline dan
particle
track.
Pada
penelitian
ini
penggambaran output akan ditampilkan dalam
bentuk kontur tiga dimensi. Kontur
konsentrasi SO2 hasil simulasi, diatur
skalanya dengan konsentrasi maksimumnya
sebesar 365 µg m-3 atau sama dengan
5.703125 × 10-9 kmol m-3. Nilai tersebut
merupakan nilai ambang batas polutan SO2
berada di udara ambien.
Konversi satuan konsentrasi SO2 hasil
simulasi Fluent ditunjukkan pada contoh
perhitungan sebagai berikut:
1
=
10
× 64
3.5 Asumsi Model
× 10
= 6.4 × 10
×
Sehubungan dengan adanya berbagai
keterbatasan, maka pada penelitian ini
digunakan asumsi sebagai berikut :
1. Simulasi dilakukan pada kondisi steady
state
2. Topografi daerah kajian dianggap datar
3. Sumber emisi hanya berasal dari PLTU
Suralaya
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 4.
antara penelitian yang satu dengan yang
lainnya dalam kasus aliran fluida pada kasus
yang sama.
Salah satu besaran yang sering
digunakan sebagai pembanding antara model
yang satu dengan yang lainnya, khususnya
pada kasus aliran disekitar silinder adalah
drag
coefficient
(CD).
Pada
saat
pembandingan, model yang dibandingkan
harus memiliki bilangan Reynolds yang relatif
sama. Perhitungan besaran tersebut dilakukan
di dalam Fluent yang di dalamnya tersedia
pilihan untuk menghitung drag coefficient
tersebut. Hasil perhitungan CD pada penelitian
ini adalah 0.304, perbandingannya dengan
hasil pada beberapa eksperimen dapat dilihat
pada Tabel 7. Nilai CD pada simulasi saat ini
dengan bilangan Reynolds sebesar 1.4 × 106
masih berada diantara beberapa hasil
eksperimen lainnya dan hasilnya cukup
mendekati. Hal ini menunjukkan bahwa
model yang dibuat sudah cukup baik untuk
dapat digunakan pada tahap penelitian
selanjutnya.
4.2 Kecepatan Aliran di Sekitar Cerobong
Hasil simulasi aliran yang terjadi di
sekitar silinder (mulut cerobong) ditunjukkan
pada Gambar 9. Gradasi warna di sebelah kiri
kontur menunjukkan nilai dari kecepatan
angin (m det-1). Semakin merah warna kontur,
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Aliran di Dalam Model
Aliran yang terjadi di dalam simulasi
ini merupakan aliran turbulen. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya bilangan Reynolds pada
aliran tersebut yaitu sebesar 1.4 × 106.
Bilangan ini cukup penting karena selain
dapat menunjukkan suatu aliran turbulen atau
tidak, bilangan ini juga dapat dijadikan
patokan oleh peneliti untuk membandingkan
Gambar 9 Kontur kecepatan angin di sekitar
cerobong hasil simulasi
Tabel 7 Nilai CD dari beberapa eksperimen
Re
1.4×106
Eksperimen
Simulasi saat ini
Persamaan Turbulen
3D Spalart-Allmarass
1×106
Catalano et al.
Catalano et al.
Singh dan Mittal.
Shih et al.
Zdravkovich
3D LES
Unsteady RANS
2D LES
Tidak Diketahui
Tidak Diketahui
CD
0.404
0.310
0.410
0.591
0.240
0.17-0.40
21
maka kecepatan anginnya semakin tinggi
sedangkan semakin biru warna kontur, maka
kecepatan anginnya akan semakin rendah.
Pada simulasi tersebut, tidak ada material lain
yang keluar dari cerobong, melainkan hanya
udara yang berasal dari velocity inlet yang
mengalir searah sumbu x.
Hasil
simulasi
tersebut
jika
dibandingkan dengan
hasil
penelitian
Catalano et al (2003) dengan bilangan
Reynolds sebesar 1 × 106, kontur kecepatan
angin yang terbentuk menunjukkan bentuk
yang hampir sama, terlebih pada penelitian
dengan menggunakan persamaan turbulensi
LES (Gambar 10). Perbedaan bentuk kontur
terjadi karena masing-masing persamaan
turbulensi yang digunakan memiliki akurasi
yang berbeda-beda. Selain itu, kerapatan grid
pada masing-masing penelitian juga akan
mempengaruhi keakuratan hasil sehingga
akan terjadi perbedaan bentuk kontur.
Semakin rapat suatu grid pada suatu model,
waktu komputasi yang dibutuhkan akan lebih
lama tetapi hasilnya akan semakin akurat.
Sebaliknya jika grid dari suatu model tidak
begitu rapat, maka waktu komputasi yang
dibutuhkan juga akan lebih sedikit dan hasil
yang didapat akan berkurang keakuratannya.
Gambar 10 Kontur kecepatan angin dengan
menggunakan dua persamaan
turbulensi URANS dan LES
(Catalano et al. 2003)
Seperti diketahui sebelumnya, aliran
yang terjadi pada penelitian ini termasuk ke
dalam aliran turbulen (supercritical) dan
kecepatannya mengalami fluktuasi yang
cukup besar. Aliran mengalami fluktuasi
ketika menyentuh silinder dan terjadi
pemisahan aliran secara paksa secara simetris
ke arah kanan dan kiri (Gambar 11).
Pada
titik tengah silinder terjadi
stagnasi sehingga aliran di daerah tersebut
berkurang kecepatannya (ditunjukkan oleh
warna kuning). Lain halnya dengan aliran di
samping silinder,
terjadi
peningkatan
kecepatan aliran (ditunjukkan oleh warna
ungu) sehingga di daerah tersebut terbentuk
lapisan
geser
yang
nantinya
akan
menimbulkan vortex (putaran aliran) di daerah
belakang silinder. Pola pembentukan vortex
sangat bergantung pada bilangan Reynolds
dari aliran itu sendiri.
Gambar 11 Pembentukan vortex dan titik
pemisahan aliran (B) pada aliran
supercritical (Sumer dan Fredsoe
2006)
Menurut Sumer dan Fredsoe (2006),
pembentukan vortex pada aliran supercritical
di sekitar silinder terjadi pada titik B dan
pembentukan vortex tersebut terjadi di kedua
sisi silinder (Gambar 11). Hal tersebut sesuai
dengan hasil simulasi (Gambar 12), vortex
mulai terbentuk di kedua sisi silinder
(ditunjukkan oleh warna pink) pada titik yang
letaknya sama dengan titik B tersebut.
Gambar 12 Hasil
simulasi
kontur
pembentukan vorticity pada arah
x di sekitar cerobong
Separasi aliran yang terjadi pada
lapisan batas (boundary layer) di kedua sisi
silinder tersebut merupakan aliran turbulen,
tetapi transisi menuju aliran turbulen di dalam
lapisan batas belum terbentuk sepenuhnya.
Daerah transisi tersebut terletak diantara titik
stagnasi (stagnation point) dan titik
pemisahan (separation point) (Sumer dan
Fredsoe 2006).
4.3 Hasil Simulasi Penyebaran Gas SO2
pada Setiap Stabilitas Atmosfer
Hasil simulasi sebaran konsentrasi SO2
mengunakan Fluent pada beberapa stabilitas
atmosfer digambarkan dalam bentuk kontur
dengan berbagai gradasi warna. Warna merah
22
menunjukkan konsentrasi SO2 paling tinggi
kemudian semakin ke bawah konsentrasinya
akan semakin menurun dan konsentrasi paling
rendah ditunjukkan oleh warna biru.
4.3.1 Kondisi
Stabil
Atmosfer
Sangat
Tidak
Pada kondisi stabilitas ini, polutan SO2
terdispersi ke arah downwind, kemudian
menurun dan jatuh ke permukaan tanah pada
jarak 1000 m. Selanjutnya, polutan kembali
naik dan turun ke arah downwind. Jika dilihat
ke arah crosswind, polutan SO2 juga
terdispersi ke arah tersebut, melebar sampai
dengan batas model sebelum akhirnya turun
menuju permukaan tanah. Bentuk kepulan
yang terjadi pada stabilitas ini membentuk
pola looping.
Polutan SO2 cenderung turun pada
jarak yang tidak terlalu jauh dikarenakan
kecepatan angin horizontal rata-rata pada
kondisi atmosfer ini relatif rendah yang
menyebabkan angin tidak dapat membawa
polutan terlalu jauh, ditambah lagi dengan
adanya konveksi dan gerak vertikal yang kuat
sehingga polutan dengan cepat menyebar ke
arah vertikal dan horizontal. Nilai konsentrasi
SO2 pada kondisi atmosfer ini masih jauh di
bawah ambang batas udara ambien dengan
nilai maksimum sebesar 5 µg m-3 pada
permukaan tanah (Lampiran 5a).
(c)
Gambar 13 Kontur sebaran SO2 pada
kondisi atmosfer sangat tidak
stabil (a) isometrik (b) tampak
samping (c) tampak atas
4.3.2 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil
Berdasarkan hasil simulasi pada
kondisi atmosfer tidak stabil, sebaran SO2
pada kondisi atmosfer ini hampir sama dengan
kondisi atmosfer sebelumnya karena nilai
profil kecepatan anginnya sama dengan nilai
profil
angin pada kondisi atmosfer
sebelumnya sehingga polutan jatuh di
permukaan tanah pada jarak yang sama.
Begitu juga dengan bentuk kepulan yang
terjadi
cenderung
bertipe
looping.
Perbedaannya adalah pada kondisi atmosfer
ini nilai lapse rate-nya lebih kecil sehingga
gaya vertikalnya tidak sekuat sebelumnya. Hal
itu mengakibatkan polutan yang jatuh
cenderung menyusuri tanah sehingga nilai
konsentrasi SO2 di permukaan tanah lebih
kecil. Konsentrasi SO2 pada kondisi atmosfer
ini masih di bawah ambang batas udara
ambien dengan nilai maksimum sebesar 4.83
µg m-3 pada permukaan tanah (Lampiran 5b).
(a)
(a)
(b)
(b)
23
(c)
(b)
Gambar 14 Kontur sebaran SO2 pada
kondisi atmosfer tidak stabil
(a) isometrik (b) tampak
samping (c) tampak atas
4.3.3 Kondisi
Ringan
Atmosfer
Tidak
Stabil
Pada hasil simulasi kondisi atmosfer
tidak stabil ringan, polutan SO2 akan lebih
jauh terbawa oleh angin karena kecepatan
angin pada kondisi atmosfer ini lebih tinggi
dibandingkan dengan simulasi sebelumnya.
Polutan terdispersi ke arah downwind,
sedikit menaik kemudian kembali turun dan
menyentuh permukaan tanah pada jarak
sekitar 1500 m dari cerobong. Setelah
menyentuh tanah, polutan tersebut kembali
naik dan turun sepanjang arah downwind,
tetapi pergolakannya tidak sebesar pada
simulasi sebelumnya karena pada kondisi
atmosfer ini gaya vertikal ke atas tidak sekuat
pada
kondisi
atmosfer
sebelumnya.
Pergerakan polutan juga terjadi ke arah
crosswind ketika SO2 sudah mulai menyentuh
tanah, melebar ke bagian kiri dan kanan
model sampai menyentuh batas. Bentukan
kepulan yang terjadi juga hampir sama dengan
dua simulasi sebelumnya yaitu membentuk
pola looping dengan konsentrasi SO2
maksimum pada simulasi ini adalah sebesar
3.69 µg m-3 pada permukaan tanah (Lampiran
5c). Nilai tersebut juga masih berada jauh di
bawah ambang batas udara ambien.
(c)
Gambar 15 Kontur sebaran SO2 pada kondisi
atmosfer tidak stabil ringan (a)
isometrik (b) tampak samping (c)
tampak atas
4.3.4 Kondisi Atmosfer Netral
Berdasarkan hasil simulasi kondisi
atmosfer netral, polutan SO2 terdispersi lebih
jauh lagi ke arah downwind sampai dengan
jarak sekitar 1700 m (akibat dari kecepatan
angin yang lebih tinggi) sebelum akhirnya
jatuh ke permukaan tanah. Selain itu, polutan
juga tersebar ke arah crosswind, tetapi tidak
terlalu melebar sepanjang polutan berada di
udara, melainkan ketika jatuh ke permukaan
tanah, polutan melebar sampai dengan batas
model bagian kiri dan kanan.
Pada
kondisi
atmosfer
netral,
konsentrasi SO2 maksimum pada permukaan
tanah adalah sebesar 4.11 µg m-3 (Lampiran
6a) dengan bentuk kepulan yang terjadi pada
kondisi atmosfer ini cenderung bertipe
conning. Nilai tersebut juga masih jauh di
bawah ambang batas udara ambien.
(a)
(a)
24
tersebut masih sangat jauh berada di bawah
ambang batas udara ambien.
(b)
(a)
(c)
Gambar 16 Kontur sebaran SO2 pada kondisi
atmosfer netral (a) isometrik (b)
tampak samping (c) tampak atas
(b)
4.3.5 Kondisi Atmosfer Stabil Ringan
Berbeda halnya dengan beberapa
simulasi sebelumnya, pada simulasi kali ini
sebaran SO2 cenderung stabil. Polutan SO2
terbawa oleh angin ke arah downwind sampai
melebihi batas model dengan konsentrasi yang
relatif kecil karena telah tercampur dengan
udara pada jarak yang jauh. Jarak polutan
ketika mulai jatuh ke permukaan tanah cukup
jauh yaitu pada jarak sekitar 2400 m dari
cerobong sedangkan untuk sebaran ke arah
crosswind, sebaran polutan juga cenderung
stabil, tidak melebar terlalu jauh dibandingkan
dengan beberapa simulasi sebelumnya
sehingga bentuk kepulan yang terjadi pada
kondisi atmosfer ini cenderung bertipe
fanning.
Pada kondisi atmosfer ini, polutan
cenderung akan tetap berada pada ketinggian
posisi awalnya dia berada. Naiknya suhu
dengan bertambahnya ketinggian (inversi) dan
gaya vertikal yang lemah membuat polutan
cenderung tidak dapat naik ataupun turun
secara
signifikan,
melainkan
sangat
dipengaruhi oleh angin yang pada kondisi
atmosfer ini variasi kecepatan anginnya cukup
besar sehingga polutan terbawa sangat jauh.
Kecepatan angin yang tinggi membuat
konsentrasi SO2 semakin cepat berkurang.
Hasil perhitungan Fluent terhadap konsentrasi
SO2 yang berada di permukaan tanah adalah
sebesar 0.006 µg m-3 (Lampiran 6b). Nilai
(c)
Gambar 17 Kontur sebaran SO2 pada kondisi
atmosfer stabil ringan (a)
isometrik (b) tampak samping (c)
tampak atas
4.3.6 Kondisi Atmosfer Stabil
Bentuk sebaran SO2 pada kondisi
atmosfer stabil hampir sama dengan bentuk
sebaran SO2 pada simulasi sebelumnya yaitu
kenaikan ataupun penurunan sebaran polutan
tidak terjadi secara signifikan (stabil). Polutan
tersebut terbawa oleh angin sangat jauh ke
arah downwind sampai melewati batas model
sehingga polutan baru jatuh ke permukaan
tanah pada jarak 3500 m dari cerobong.
Bentuk sebaran SO2 tersebut dapat terjadi
dikarenakan pada kondisi atmosfer stabil,
tidak ada pencampuran secara vertikal
(vertical mixing), inversi kuat, dan turbulensi
mekanik yang kecil. Bentuk kepulan yang
terjadi pada kondisi atmosfer ini cenderung
bertipe fanning.
25
Kecepatan angin pada kondisi atmosfer
ini lebih tinggi dari simulasi sebelumnya
sehingga dapat dilihat pada Gambar 18,
bahwa konsentrasi SO2 mulai dari daerah
cerobong sudah sangat rendah nilainya dan
kembali berkurang setelah terbawa angin. Hal
ini menunjukkan bahwa pada kondisi atmosfer
ini konsentrasi SO2 lebih cepat berkurang
konsentrasinya akibat dari kecepatan angin
yang tinggi sedangkan untuk konsentrasi SO2
maksimum pada permukaan tanah nilainya
jauh lebih kecil lagi yaitu sebesar 6× 10-4 µg
m-3 (Lampiran 6c). Nilai tersebut tentu saja
masih sangat jauh di bawah ambang batas
udara ambien.
(a)
(b)
(c)
Gambar 18 Kontur sebaran SO2 pada kondisi
atmosfer stabil (a) isometrik (b)
tampak samping (c) tampak atas
4.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi
Menggunakan Fluent
dan
Pengukuran Lapang
SO2
Hasil
Konsentrasi emisi SO2 hasil simulasi
pada setiap kondisi atmosfer memiliki nilai
yang berbeda-beda (Tabel 9). Lain halnya
pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil dan
tidak stabil, hasil simulasi menunjukkan
konsentrasi SO2 memiliki nilai yang hampir
sama. Hal ini dikarenakan profil kecepatan
angin yang terdapat pada kedua kondisi
atmosfer tersebut memiliki profil yang sama
sedangkan untuk kondisi atmosfer lainnya
dengan konsentrasi SO2 yang memiliki nilai
berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan
profil kecepatan angin pada setiap kondisi
atmosfernya. Semakin kestabilan atmosfer
tersebut menuju kondisi stabil, maka profil
kecepatan anginnya memiliki range yang
lebih besar sehingga kecepatan angin di
setiap ketinggiannya akan lebih tinggi.
Perbedaan profil kecepatan angin itu sendiri
berpengaruh terhadap penyebaran konsentrasi
SO2 tersebut. Semakin tinggi kecepatan angin,
maka konsentrasi SO2 akan semakin rendah
akibat terdispersi. Sebaliknya, semakin rendah
kecepatan angin, maka konsentrasi SO2 tidak
akan banyak berkurang nilainya. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Supriyadi (2009) yang melakukan pengukuran
konsentrasi polutan dari sumber garis dengan
menggunakan model Gaussian dan didapatkan
hasil bahwa semakin tinggi kecepatan angin
berhembus maka konsentrasi polutan yang
dihasilkan semakin rendah.
Konsentrasi SO2 hasil perhitungan
Fluent nilainya cukup mendekati dengan hasil
pengukuran lapang yang dilakukan di atas
cerobong. Pengukuran konsentrasi SO2 di
lapangan nilainya paling dekat dengan nilai
simulasi menggunakan Fluent pada keadaan
atmosfer tidak stabil sehingga dapat
diperkirakan pengukuran lapang dilakukan
pada saat kondisi atmosfer tidak stabil (Tabel
8).
Selama beberapa periode, hasil
pengukuran lapang di cerobong menunjukkan
bahwa nilai konsentrasi SO2 masih di bawah
ambang batas yaitu sebesar 750 mg m-3,
begitu juga dengan hasil perhitungan
menggunakan Fluent.
Tabel 8 Hasil pengukuran kualitas udara
emisi (SO2) di cerobong PLTU
Suralaya
Waktu
Pengukuran
Periode 3
Konsentrasi SO2 di Cerobong
(mg m-3)
1
2
3
4
582
465
675
425
Perbedaan nilai konsentrasi SO2 antara
perhitungan Fluent dengan pengukuran di
lapangan dapat disebabkan oleh beberapa hal.
26
Tabel 9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO2) di
cerobong PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent
Kondisi Atmosfer
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Tidak Stabil Ringan
Netral
Stabil Ringan
Stabil
Salah satu diantaranya adalah tidak
diketahuinya
kapan
waktu
tepatnya
pengukuran di lapangan dilakukan. Informasi
yang diketahui hanya tahun pengukuran
tersebut dilakukan. Hal tersebut penting
karena kondisi meteorologis berbeda-beda
setiap harinya. Seperti diketahui, kondisi
meteorologis tersebut sangat berpengaruh
terhadap penyebaran polutan.
Pemantauan kualitas udara tidak hanya
dilakukan di atas cerobong, melainkan di
daerah ambien karena di daerah ini terdapat
berbagai macam makhluk hidup yang dapat
terpengaruh oleh dampak buruk akibat polutan
yang dihasilkan oleh cerobong tersebut.
Konsentrasi SO2 tertinggi hasil simulasi di
daerah Lebak Gede terdapat pada saat kondisi
atmosfer netral yaitu sebesar 4.1 µg m-3
(Tabel 10). Konsentrasi tertinggi terjadi pada
kondisi atmosfer tersebut karena di daerah
Lebak Gede dengan jarak 2.9 km dari
cerobong merupakan titik dimana konsentrasi
SO2 pada kondisi atmosfer netral mencapai
maksimum di permukaan tanah (Lampiran
6a).
Tabel 10 Hasil perhitungan konsentrasi SO2
di daerah Lebak Gede (2.9 km)
Kondisi Atmosfer
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Tidak Stabil Ringan
Netral
Stabil Ringan
Stabil
Konsentrasi SO2
(µg m-3)
2.37
2.51
2.66
4.1
6 ×10-4
6.87× 10-10
Selanjutnya untuk daerah perumahan
Suralaya, pada Tabel 11 menunjukkan bahwa
konsentrasi SO2 tertinggi terjadi pada saat
kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar
4.01 µg m-3. Hal tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 4b dimana pada jarak tersebut (1.7
km), konsentrasi SO2 berada pada posisi
mendekati maksimum. Nilai konsentrasi SO2
Konsentrasi SO2
(mg m-3)
494
495
453
368
253
152
tersebut tentunya juga masih berada di bawah
nilai ambang batas yang telah ditetapkan.
Hasil
perhitungan
konsentrasi
SO2
menggunakan Fluent di daerah ambien
menghasilkan nilai yang cukup baik jika
dibandingkan dengan hasil pengukuran lapang
(Tabel 12).
Tabel 11 Hasil perhitungan konsentrasi SO2
di daerah perumahan Suralaya (1.7
km)
Kondisi Atmosfer
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Tidak Stabil Ringan
Netral
Stabil Ringan
Stabil
Konsentrasi SO2
(µg m-3)
3.81
4.01
2.84
0.99
3.35 ×10-7
5.01× 10-13
Tabel 12 Hasil pengukuran konsentrasi SO2
di beberapa lokasi
Periode
1
2
3
4
Konsentrasi SO2 (µg m-3)
Perumahan
Suralaya
8
<8
<8
<8
Lebak Gede
8
<8
<8
<8
Konsentrasi SO2 dari hasil pengukuran
lapang menunjukkan bahwa nilai yang terukur
adalah rata-rata sebesar < 8 µg m-3. Sama
halnya dengan pengukuran kualitas udara di
daerah cerobong, data pengukuran konsentrasi
SO2 di udara ambien juga terdapat berbagai
kekurangan, diantaranya adalah tidak terdapat
informasi secara rinci mengenai kapan data
tersebut diambil. Pada pengukuran tersebut
juga tidak terdapat informasi mengenai titik
koordinat pasti ketika pengukuran dilakukan.
Selain itu, konsentrasi SO2 yang terukur pada
27
saat pengukuran pada kenyataannya berasal
dari berbagai sumber, tidak hanya berasal dari
satu sumber saja (cerobong).
Perhitungan
konsentrasi
SO2
menggunakan Fluent juga dilakukan di
seluruh bagian model pada ketinggian z = 1.5
m. Ketinggian tersebut diambil dengan asumsi
bahwa tinggi tersebut merupakan jarak ratarata alat pernapasan (hidung) orang Indonesia
dari permukaan tanah. Konsentrasi SO2
maksimum hasil simulasi adalah sebesar 5.06
µg m-3 pada kondisi atmosfer sangat tidak
stabil.
Menurut Cooper dan Alley (Gambar
19a), semakin atmosfer stabil, konsentrasi
maksimum yang terjadi akan semakin
menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ruhiyat (2009) yang
melakukan simulasi pengukuran konsentrasi
SO2 di PLTU Suralaya dengan menggunakan
model Gaussian dan mendapatkan hasil bahwa
konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada
keadaan atmosfer sangat tidak stabil dan
menurun konsentrasinya ketika kondisi
atmosfer semakin stabil (Tabel 14).
Sedangkan pada penelitian ini terjadi
perbedaan yang cukup signifikan yaitu pada
kondisi atmosfer sangat tidak stabil
konsentrasi maksimumnya menurun sampai
dengan kondisi atmosfer tidak stabil ringan
namun terjadi kenaikan kembali pada saat
kondisi
atmosfer
netral,
selanjutnya
konsentrasi kembali turun sampai dengan
kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Terjadinya
kenaikan nilai konsentrasi maksimum pada
kondisi atmosfer netral tersebut dapat terjadi
karena pada kondisi atmosfer tersebut terjadi
suatu kondisi transisi turbulen pada aliran
sehingga terjadi anomali yang menyebabkan
nilai konsentrasi maksimum SO2 menjadi naik
kembali (Schlichting 1979).
Tabel 13 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 pada ketinggian z = 1.5 m
Kondisi Atmosfer
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Tidak Stabil Ringan
Netral
Stabil Ringan
Stabil
Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3)
5.06
4.84
3.78
4.22
6.67 × 10-3
6.43 10-4
Jarak dari cerobong (m)
1361
1447
1940
2702
3900
3900
Tabel 14 Hasil simulasi konsentrasi SO2 maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009)
Kondisi Atmosfer
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Tidak Stabil Ringan
Netral
Stabil Ringan
Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3)
866
374.4
245.3
24.85
12.68
Jarak dari cerobong (m)
1090
3841
8519
18800
18800
Gambar 19 Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan (b) tinggi cerobong
(H) terhadap konsentrasi polutan (Cooper dan Alley 1994)
28
Konsentrasi maksimum pada saat
kondisi atmosfer sangat tidak stabil terjadi
pada jarak yang lebih dekat dibandingkan
pada kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Hal
ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hakiki (2008), Prasanto
(2008), dan Ruhiyat (2009) dengan hasil
bahwa semakin stabil atmosfer, konsentrasi
polutan akan mencapai maksimum pada jarak
yang lebih jauh dibandingkan pada keadaan
atmosfer tidak stabil.
Simulasi konsentrasi SO2 pada
penelitian ini terlihat memiliki pola yang
hampir sama dengan simulasi yang dilakukan
oleh Prasanto (2008) di PT Indorama
Synthetics
tbk,
Purwakarta
dengan
menggunakan CFD setelah dilakukan proses
normalisasi (Gambar 20). PLTU tersebut
memiliki tinggi cerobong sebesar 120 m dan
diameter mulut cerobong sebesar 2.5 m
dengan kondisi kecepatan angin dan suhu
udara rata-rata adalah sebesar 1.08 m det-1 dan
28 ºC. Konsentrasi SO2 maksimum yang
terlihat dari grafik tersebut terjadi pada jarak
yang hampir sama pada keadaan atmosfer
sangat tidak stabil, tidak stabil ringan, dan
netral, namun terjadi perbedaan pada saat
keadaan atmosfer stabil ringan dan stabil. Hal
tersebut dikarenakan pada penelitian Prasanto
(2008) batasan model geometri ke arah
downwind yang dibuat kurang memiliki
panjang yang sesuai sehingga tidak dapat
memperlihatkan kondisi ketika konsentrasi
SO2 mencapai maksimum.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 20 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil normalisasi pada keadaan atmosfer
(a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan
(f) stabil
29
Jarak ketika konsentrasi SO2 mencapai
maksimum perlu diketahui guna melihat
radius untuk pembangunan perumahan yang
aman dari emisi cerobong tersebut. Hal itu
dapat dilihat pada Gambar 20 yang
menginformasikan
bahwa
konsentrasi
maksimum terjadi dengan jarak sekitar 6, 7,
11, dan 14 kali tinggi cerobong (x/H) pada
kondisi atmosfer masing-masing yaitu sangat
tidak stabil, tidak stabil, tidak stabil ringan,
dan netral. Sedangkan untuk kondisi atmosfer
stabil ringan dan stabil, belum dapat
menggambarkan
terjadinya
kondisi
maksimum akibat dari batasan model yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Nilai-nilai
tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai
rujukan atau pertimbangan ketika akan
membangun suatu pabrik dengan tinggi
cerobong tertentu sehingga pendiri pabrik
ataupun pemerintah dapat memprediksi pada
jarak berapa kali tinggi cerobong, konsentrasi
SO2 mencapai maksimum. Kemudian pada
jarak tersebut diharapkan agar tidak terdapat
perumahan ataupun aktivitas penduduk untuk
menghindari dampak atau pengaruh negatif
polutan yang terakumulasi di wilayah tersebut
dan lebih baik pada jarak tersebut dianjurkan
agar ditanami pepohonan guna mereduksi
konsentrasi polutan sehingga konsentrasinya
dapat berkurang.
Nilai konsentrasi SO2 maksimum hasil
simulasi
Prasanto
(2008),
rata-rata
menunjukkan nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan simulasi pada penelitian
ini (PLTU Suralaya). Hal tersebut diakibatkan
oleh rendahnya kecepatan angin dan tinggi
cerobong yang lebih rendah sehingga
konsentrasi polutan tidak banyak berkurang.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 21 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil simulasi pada keadaan atmosfer (a)
sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f)
stabil
30
Kecepatan angin dan tinggi cerobong yang
lebih rendah juga menyebabkan polutan lebih
cepat jatuh ke tanah karena tidak dapat
membawa polutan lebih jauh lagi akibat
adanya tarikan oleh gaya gravitasi bumi
sehingga polutan tidak terlalu lama terdispersi
di atmosfer. Lain halnya dengan simulasi di
PLTU Suralaya, polutan lebih lama terdispersi
di atmosfer dan jatuh ke tanah dengan jarak
yang relatif lebih jauh (Gambar 21). Kondisi
tersebut dikarenakan pada daerah PLTU
Suralaya, kecepatan angin rata-ratanya lebih
besar yaitu berkisar 2.5 m det-1 dengan tinggi
cerobong adalah 200 m dibandingkan dengan
penelitian Prasanto (2008) dengan kecepatan
angin sebesar 1.08 m det-1 dan tinggi cerobong
120 m sehingga polutan akan lebih lama
berada
di
atmosfer
dan
berkurang
konsentrasinya sebelum akhirnya jatuh ke
tanah. Kondisi ini sesuai dengan Cooper dan
Alley (1994) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi cerobong (H), maka
konsentrasi polutan maksimum akan jatuh ke
permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh
dibandingkan dengan cerobong yang memiliki
tinggi lebih rendah. Sedangkan nilai
konsentrasi maksimum yang terukur akan
akan lebih rendah pada cerobong yang lebih
tinggi dibandingkan pada cerobong yang lebih
rendah (Gambar 19b).
V KESIMPULAN
§
§
Sebaran polutan SO2 yang terlihat dari
hasil simulasi menunjukkan bahwa pada
kondisi atmosfer sangat tidak stabil, tidak
stabil, dan tidak stabil ringan sebaran
polutan SO2 cenderung bertipe looping.
Pada kondisi netral, sebaran polutan SO2
cenderung bertipe conning, sedangkan
untuk kondisi atmosfer stabil ringan dan
stabil, sebarannya cenderung bertipe
fanning.
Berdasarkan hasil simulasi dengan
menggunakan Fluent, didapatkan hasil
bahwa nilai konsentrasi SO2 di cerobong
maupun di udara ambien masih berada di
bawah ambang batas yang telah
ditetapkan. Konsentrasi SO2 maksimum
di cerobong terjadi pada saat kondisi
atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 495 mg
m-3
sedangkan
konsentrasi
SO2
maksimum pada ketinggian z = 1.5 m
terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat
tidak stabil dengan nilai konsentrasi
sebesar 5.06 µg m-3 kemudian
konsentrasinya menurun sampai dengan
kondisi atmosfer tidak stabil ringan
namun terjadi kenaikan kembali pada saat
kondisi atmosfer netral dan konsentrasi
tersebut kembali turun sampai dengan
kondisi atmosfer stabil.
§
Sebaran polutan SO2 dipengaruhi oleh
kondisi kestabilan atmosfer. Semakin
stabil, maka polutan akan lebih lama
berada di atmosfer dan akan jatuh ke
permukaan tanah pada jarak yang lebih
jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil
kondisi atmosfer, maka polutan akan
cepat jatuh ke permukaan tanah.
Berdasarkan perhitungan, jarak terdekat
dari cerobong ketika konsentrasi SO2
maksimum pada ketinggian z = 1.5 m
adalah sejauh 1361 m (kondisi atmosfer
sangat tidak stabil) dan jarak yang terjauh
adalah sebesar 3900 m (kondisi atmosfer
stabil ringan dan stabil).
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens CD. 2006. Meteorology Today. Ed ke8. Brooks: Cole Publishing.
Baik JJ, Kim JJ, Fernando JS. 2003. A CFD
model for simulating urban flow and
dispersion. American Meteorological
Society 42:151-742.
Blocken B, Stathopoulos T, Carmeliet J. 2006.
CFD simulation of the atmospheric
boundary layer:
wall
function
problems. Atmospheric Environment
41:238-252.
Camelli FE, Hanna SR, Lohner R. 2004.
Simulation of the must field
experiment using the FEFLO-Urban
CFD model. Proceedings of the
Symposium at the 5th On the Urban
Environment; Vancouver. Canada:
Meteor.
Catalano P, Wang M, Iaccarino G, Moin P.
2003. Numerical simulation of the
flow around a circular cylinder at high
Reynolds numbers. Elsevier 24:463469.
Chu AKM, Kwok RCW, Yu KN. 2004. Study
of pollution dispersion in urban areas
using Computational Fluid Dynamics
(CFD) and Geographic Information
31
System
(GIS).
Environmental
Modelling and Software 20:273-277.
Coirier WJ, Fricker DM, Furmaczyk M,
Kim S. 2005. A computational fluid
dynamics approach for urban area
transport and dispersion. Environment
Fluid Mech 15:443-479.
Cooper CD, Alley FG. 1994. Air Pollution
Control A Design Approach. Ed ke-2.
Illinois: Waveland Press, Inc.
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara.
Yogyakarta: Kanisius.
[Fluent]. 2006. Fluent 6.3 user’s guide.
Lebanon: Fluent Inc.
[Fluent].
2008.
History
of
Fluent
Computational
Fluid
Dynamics
(CFD) Software
&
Services.
[terhubung berkala].
http//:www.fluent.com/History
of
Fluent/index.html/ [ 5 Februari 2009].
[Google]. 2009. Google maps. [terhubung
berkala].
http://maps.google.com/
[Nopember 2009].
Frisch U. 1995. Turbulence: The Legacy of A.
N. Kolmogorov. UK: Cambridge
University Press.
Hakiki M. 2008. Pendugaan konsentrasi
permukaan polutan sulfur dioksida
(SO2) menggunakan model Gaussian
(studi kasus PT Yamaha Motor
Manufacturing, Jakarta) [skripsi].
Bogor: Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
Hoerner SF. 1965. Fluid-Dynamic Drag.
USA: Hoerner Fluid Dynamics.
Knudsen JG, Katz DL. 1958. Fluid Dynamics
and Heat Transfer. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Krupa SV. 1997. Air Pollution, People, and
Plants. Minnesota: The American
Phytopathological Society.
Kushnir Y. 2000. Lapse Rate, Moisture,
Clouds,
and
Thunderstorms.
[terhubung berkala].
http://eesc.columbia.edu/
[1
Oktober 2009].
Leonard LR. 1997. Air Quality Permitting.
London : Lewis Publishers.
Liptak BG, Liu HF. 1999. Air Pollution. New
York: Lewis Pub.
Manonom R, Xiaoen L, Wongwises P. 1999.
Modelling Distribution of Sulfur
Dioxide. Concentration In Mae Moh
Power Plant Area. Proceeding of the
3rdAnnual National Symposium on
Computational
Science
and
Engineering; Bangkok, 24-26 Maret.
hlm 1–9.
Morel RE, Fleck, George. 2006. Fourth Law
of Thermodynamics. Chemistry 15.
Nevers Noel de. 2000. Air Pollution Control
Engineering. Ed ke-2. Michigan:
McGraw-Hill.
Oke TR. 1978. Boundary Layer Climates.
London: Methuen & Co Ltd.
Pasquill F 1962. Atmospheric Diffusion: The
Dispersion of Windborne Material
from Industrial and otherSources.
London: D. Van Norstand Company,
Ltd.
Prasanto BS. 2008. Simulasi penyebaran gas
SO2 dengan model Fluent dan model
Difusi Gauss Ganda (studi kasus di
PLTU PT.Indorama Synthetics tbk)
[skripsi].
Bandung:
Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Institut
Teknologi Bandung.
Rott N. 1990. Note on the history of the
Reynolds number. Annual Review of
Fluid Mechanics. 22:1-11.
Ruhiat Y. 2009. Model prediksi distribusi laju
penyebaran SO2 dan debu dari
kawasan industri [disertasi]. Bogor:
Departemen
Geofisika
dan
Meteorologi,
Institut
Pertanian
Bogor.
Saperaud. 2005. Air pollution. [terhubung
berkala].
http://commons.wikimedia.org/wiki/A
ir_pollution [22 Desember 2009].
Schlichting G. 1979. Boundary Layer Theory.
Ed
ke-7.
US:
McGraw-Hill
Companies, Inc.
32
buildings.
Proceedings of
the
symposium at the 14th on the
applications
of
air
pollution
meteorology; Atlanta, 30 Januari – 2
Februari.
Schnelle KB, Dey PR. 2000. Atmospheric
Dispersion Modeling Compliance
Guide. US: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Scorer RS. 1968. Air Pollution. Oxford:
Pergamon Press LTD, Headington
Hill Hall.
Tjasyono B. 2003. Klimatologi
Bandung: ITB.
F. 2008.
Menggunakan
Informatika.
Umum.
Seinfeld JH. 1986. Atmospheric Chemistry
and Physics of Air Pollution. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Tuakia
Dasar-Dasar CFD
Fluent.
Bandung:
Shih WCL, Wang C, Coles D, Roshko A.
1993. Experiments on ow past rough
circular cylinders at large Reynolds
numbers. J. Wind Eng. Indust.
Aerodyn. 49:351–368.
Warner PO. 1937. Analysis of Air Pollutans.
Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Zdravkovich MM. 1997. Flow
Circular Cylinders. UK:
University Press.
around
Oxford
Shui P, Liu CH, Li Y. 2009. CFD analysis of
pollutant removal mechanism in urban
street canyons. Proceedings of the 7th
international conference on urban
climate. Yokohama, 29 Juni – 3 Juli.
Singh SP, Mittal S. 2005. Flow past a
cylinder: shear layer instability and
drag crisis. Int J Numer Meth Fluids
47:75–98.
Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara.
Bandung: ITB.
Soenarmo SH. 1999. Diktat
Meteorologi Pencemaran
Bandung: ITB.
Kuliah
Udara.
Stull RB. 1988. An Introduction to Boundary
Layer Meteorology. Netherlands:
Kluwer Academic Publishers.
Sumer BM, Fredsoe J. 2006. Hydrodynamics
Around
Cylindrical
Structures
(Revised Edition). Singapore: World
Scientific Publishing Company.
Supriyadi E. 2009. Penerapan model finite
length line source untuk menduga
konsentrasi polutan dari sumber garis
(studi kasus: Jl. M.H Thamrin DKI
Jakarta) [skripsi]. Bogor: Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Institut
Pertanian Bogor.
Tang W, Huber A, Bell B, Schwarz W. 2006.
Application of CFD simulations for
short-range atmospheric dispersion
over open fields and within arrays of
33
LAMPIRAN
Lampiran 4 Diagram alir penelitian
-Kadar emisi gas SO2
- Suhu gas SO2
Data fisik cerobong :
- Diameter cerobong bagian
atas dan bawah
- Ketinggian cerobong
Perangkat Lunak Gambit :
- Membuat geometri ruang
- Membuat grid
Perangkat Lunak Fluent :
- Memilih formulasi solver
- Menentukan persamaan
dasar
- Menentukan kondisi
Skenario
Arah dan kecepatan angin
kategori
atmosfer:
A : sangat tidak stabil
B : tidak stabil
C : tidak stabil ringan
D : netral
stabilitas
operasi
- Menentukan sifat material
- Menentukan kondisi batas
Visualisasi tiga dimensi sebaran
gas SO2
- Inisialisasi
- Iterasi
- Output
E : stabil ringan
Suhu lingkungan
F : stabil
Konsentrasi SO2 hasil simulasi
Data sampling konsentrasi
Membandingkan hasil simulasi dengan
SO2
data sampling
Analisis dan pembahasan
39
Lampiran 1 Lokasi PLTU Suralaya
U
Perumahan Suralaya
PLTU Suralaya
Lebak Gede
Skala 1 : 1 750 000
Sumber : Google maps 2009
35
Lampiran 2 Model geometri
a). Bidang X dan Y
Y
X
D = 5.5 m
250 m
Symmetry
250 m
800 m
4000 m
b). Bidang X dan Z
Z
X
4h
h = 200 m
4h
20h
36
c). Model tiga dimensi X, Y, dan Z
4h
h
2.5h
4h
20h
37
Lampiran 3 Kondisi batas (boundary condition) komputasi
Outflow
Symmetry
Mass flow inlet (mulut cerobong)
Outflow
Velocity inlet
Wall (cerobong)
Wall (tanah)
Symmetry
38
Lampiran 5
Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak
stabil (b) tidak Stabil (c) tidak stabil ringan
(a)
(b)
(c)
40
Lampiran 6
Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) netral, (b)
stabil ringan, dan (c) stabil
(a)
(b)
(c)
41
Lampiran 7
Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 pada keadaan atmosfer (a) sangat
tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan
(a)
(b)
(c)
42
Lampiran 8
Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 keadaan atmosfer (a) netral, (b)
stabil ringan, dan (c) stabil
(a)
(b)
(c)
43
Download