SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRAK VICTOR MAHAN. Simulasi Penyebaran Gas SO2 dari Emisi Cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Dibawah bimbingan ANA TURYANTI dan FADILAH HASIM. Gas SO2 merupakan salah satu polutan yang bersumber dari emisi cerobong industri, khususnya yang berbahan bakar batubara. Penyebaran polutan tersebut perlu dipelajari guna melakukan pemantauan kualitas udara, salah satunya metodenya yaitu melakukan simulasi dengan menggunakan model matematis. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung konsentrasi SO2, melihat pola sebarannya serta menghitung jarak ketika konsentrasi SO2 tersebut maksimum. Simulasi aliran gas dan udara dalam penelitian tugas akhir ini dilakukan menggunakan pendekatan dinamika fluida komputasional (CFD) dengan studi kasus di PLTU Suralaya. Persamaan konservasi massa dan momentum RANS, diselesaikan secara numerik dengan metode volume hingga (Finite Volume Method, FVM) menggunakan perangkat lunak FLUENT. Pemodelan turbulensi aliran dilakukan menggunakan persamaan Spalart-Allmaras sedangkan fluks difusi gas SO2 dihitung menggunakan persamaan transpor spesies. Hasil simulasi menggunakan Fluent menunjukkan konsentrasi SO2 maksimum di cerobong terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 495 mg m-3 sedangkan konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil dengan nilai konsentrasi sebesar 5.06 µg m-3. Semakin stabil kondisi atmosfer, semakin lama polutan berada di atmosfer dan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi atmosfer, polutan semakin cepat jatuh ke tanah sehingga jarak ketika konsentrasi maksimum di permukaan tanah lebih dekat. Kata kunci : Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersi, simulasi, SO2, stabilitas ABSTRACT VICTOR MAHAN. Simulation of SO2 dispersion from the stack emission using Computational Fluid Dynamics (CFD). Guided by ANA TURYANTI and FADILAH HASIM. Sulfur-dioxide (SO2) is one of pollutants emitted from industrial stack emission, particularly from industries which use coal as the fuel. This pollutant dispersion needs to be studied for monitoring of air quality, one of it methods is by doing simulation using mathematical models. This research is directed to predict the distribution of SO2 concentration, dispersion pattern and critical distance where the SO2 concentration being maximum. The simulation is performed by applying CFD approach to the case of study in Suralaya power plant. A widely used CFD software called FLUENT is used to solve the equations of mass and Reynolds-Averaged Navier Stokes momentum conservations using finite volume method. Turbulence is modeled using the Spalart-Allmaras one equation while SO2 flux diffusion is computed using the species transport equation. The simulation is performed for varying atmospheric condition from very unstable to very stable one. The simulation results show that the maximal SO2 concentration at the stack is 495 mg m-3 occurs at unstable atmospheric condition, as for the maximal SO2 concentration at the altitude of 1.5 m is 5.06 mg m-3 occurs at very unstable atmospheric condition. The more stable atmospheric condition the longer the pollutant exists in the air and it falls down to the ground at a farther distance. On the contrary, the more unstable atmospheric condition, the faster the pollutant falls down as of the distance when maximal concentration on the ground is closer. Keywords: Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersion, simulation, SO2, stability SIMULASI PENYEBARAN GAS SO2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Meteorologi Terapan DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi : Simulasi penyebaran gas SO2 dari emisi cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) Nama : Victor Mahan NRP : G24050927 Menyetujui, Pembimbing 1 Pembimbing 2 Ana Turyanti, SSi., MT Dr. Fadilah Hasim NIP. 19710707 199803 2 002 NIP. 19700723 198911 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002 Tanggal lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara pasangan Nindito Hadiwiyoto dan Yulia Surya Astuti. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 34 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB program Mayor-Minor melalui jalur SPMB dengan memilih Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun kedua. Semasa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi) dari tahun 2006-2008. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Analisis Meteorologi program Sarjana IPB tahun 2009. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul Simulasi penyebaran gas SO2 dari emisi cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada: 1. Keluargaku tercinta, papa dan mama serta kak inet, kak vivi, dan kak desi atas doa dan dukungannya. 2. Ibu Ana Turyanti, S.Si., M.T dan Bapak Dr. Fadilah Hasim selaku pembimbing tugas akhir serta Ibu Hanni Harahap, ST yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat. 3. Bapak Dr. Yayat Ruhiyat atas bantuannya memberikan data penelitian dan masukannya. 4. Budi Setio Prasanto S.Si atas masukan yang diberikan serta Agus Gaussian STP atas informasinya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. 5. Kepala Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Prof. Ahmad Bey beserta seluruh dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi atas masukan dan ilmu yang telah diberikan selama ini. 6. Putri Tanjung Widiastuti S.Si, teman dan sahabat terbaik yang telah memberikan semangat, doa dan waktu dengan tulus. Terima kasih banyak atas segala perhatiannya. 7. Seluruh teman-teman GFM angkatan 42 yang telah bersama-sama selama 3 tahun menuntut ilmu. 8. Staf perpustakaan, Pak Pono atas pinjaman bukunya. Staf TU GFM, mas Aziz, mbak Wanti, mas Nandang, mbak Icha, Pak Djun, Ibu Enda. Terima kasih atas segala masukan dan bantuan administrasi. 9. Teman-teman PTD, Tuti , Uti, Yuges, Demin atas dukungannya serta Abdul, terimakasih banyak telah banyak membantu, semoga sukses selalu. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sebagai alternatif dalam melakukan pemantauan kualitas udara khususnya dari emisi cerobong industri. Penulis juga menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki sehingga tulisan ini bisa menjadi lebih baik. Bogor, Desember 2009 Penulis DAFTAR SIMBOL A b c C CD Cp d D E f FD g Gr h H J k keff L n p q Q r R Re S Sc T u v W Y z y, µ t z Luas Permukaan (m2) Konsentrasi polutan yang masuk ke dalam kota (µg m-3) Konsentrasi rata-rata polutan pada keadaan steady state (µg m-3) Konsentrasi polutan pada arah x,y, dan z (µg m-3) Koefisien hambat Kapasitas panas (Joule kg-1 K-1) Diameter (m) Koefisien difusi massa (m2 det-1) Energi total (Joule) Fraksi campuran Fungsi damping viskos Gaya hambat (N) Percepatan gravitasi (m det-2) Bilangan Grashof Produksi dari viskositas turbulen (m2 det-1) Entalpi spesies (Joule mol-1) Tinggi (m) Ketinggian efektif cerobong (m) Fluks difusi dari spesies (kg m-2 det-1) Energi kinetik turbulen (m2 det-2) Konduktivitas (W m-1 K-1) Panjang (m) Nilai eksponen fungsi dari kekasapan permukaan Tekanan (Pa) Laju emisi per satuan luas (kg det-1 m-2) Laju emisi (kg det-1) Jari-jari (m) Rasio produksi spesies oleh reaksi kimia Bilangan Reynolds Total entropi (J K-1) Bilangan Schmidt Penambahan dari sumber lain Suhu udara (ºC) Kecepatan angin (m det-1) Vektor kecepatan angin (m det-1) Viskositas kinematik molekul (m2 det-1) Lebar (m) Fraksi massa Destruksi dari viskositas turbulen (m2 det-1) Ketinggian vertikal (m) Difusivitas panas (m2 det-1) Koefisien pemuaian panas (K-1) Konstanta von Karman Standar deviasi kepulan (m) Kerapatan fluida (kg m-3) Stress tensor (Pa) Viskositas dinamik (Pa det) Viskositas turbulen (Pa det) Fraksi mol Laju penurunan suhu adiabatik (ºC m-1) Konduktivitas panas (W m-1 K-1) DAFTAR ISI Halaman DAFTAR SIMBOL vi DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1 1 1 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara 2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemaran Udara 2.1.2 Karakteristik Sulfur Oksida (SOx) 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara 2.2 Model Prediksi Dispersi Polutan 2.3 Computational Fluid Dynamics (CFD) 2.4 GAMBIT 2.5 Fluent 2.6 Pendekatan Model 2.6.1 Persamaan Kontinuitas 2.6.2 Persamaan Navier-Stokes 2.6.3 Persamaan Turbulensi 2.6.4 Persamaan Transpor Spesies 2.6.5 Model Perpindahan Panas 1 1 2 2 3 9 10 11 11 12 12 12 12 15 15 III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Jenis dan Sumber Data 3.2.2 Alat 3.3 Perhitungan Kadar Emisi SO2 dari Cerobong 3.4 Langkah Kerja Penelitian 3.5 Asumsi Model 16 16 16 16 17 17 18 21 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Aliran di Dalam Model 4.2 Kecepatan Aliran di Sekitar Cerobong 4.3 Hasil Simulasi Penyebaran Gas SO2 pada Setiap Stabilitas Atmosfer 4.3.1 Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil 4.3.2 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil 4.3.3 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil Ringan 4.3.4 Kondisi Atmosfer Netral 4.3.5 Kondisi Atmosfer Stabil Ringan 4.3.6 Kondisi Atmosfer Stabil 4.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi SO2 Menggunakan Fluent dan Hasil Pengukuran Lapang 21 21 21 22 23 23 24 24 25 25 V 31 KESIMPULAN 26 DAFTAR PUSTAKA 31 LAMPIRAN 34 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas 5 2 Kelas stabilitas berdasarkan gradien suhu 7 3 Kategori aliran berdasarkan bilangan Reynolds 14 4 Kategori aliran turbulen di sekitar silinder 14 5 Data fisik cerobong 17 6 Udara dan SO2 19 7 Nilai CD dari beberapa eksperimen 21 8 Hasil pengukuran kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya 26 9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent 27 10 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah Lebak Gede (2.9 km) 27 11 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah perumahan Suralaya (1.7 km) 27 12 Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di beberapa lokasi 27 13 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 pada ketinggian z = 1.5 m 28 14 Hasil simulasi konsentrasi SO2 maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009) 28 ix DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perilaku kepulan di sekitar daerah (a) tepi pantai pada saat musim panas dan (b) perkotaan pada saat malam hari 4 2 Permasalahan sebaran polutan di daerah dekat lembah 4 3 (a) aliran di sekitar cerobong (b) zona aliran di sekitar cerobong 5 4 Pengurangan kecepatan angin di sekitar daerah aliran dengan densitas yang berbeda 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat 6 7 6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning (c) fanning (d) lofting (e) fumigation 8 7 Skema pemisahan aliran di sekitar silinder 14 8 Model geometri simulasi 18 9 Kontur kecepatan angin di sekitar cerobong hasil simulasi 21 10 Kontur kecepatan angin dengan menggunakan dua persamaan turbulensi URANS dan LES 22 11 Pembentukan vortex dan titik pemisahan aliran (B) pada aliran supercritical 22 12 Hasil simulasi kontur pembentukan vorticity pada arah x di sekitar cerobong 22 13 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 23 14 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 24 15 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 24 16 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer netral (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 25 17 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 25 18 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 25 19 Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan (b) tinggi cerobong (H) terhadap konsentrasi polutan 28 20 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil normalisasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil 29 21 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil simulasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil 30 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi PLTU Suralaya 35 2 Model geometri 36 3 Kondisi batas (boundary condition) pada model geometri 38 4 Diagram alir penelitian 39 5 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak Stabil (c) tidak stabil ringan 40 6 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil 41 7 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan 42 8 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil 43 xi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri merupakan salah satu faktor penting terciptanya kemajuan kehidupan manusia. Kegiatan industri telah menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, namun di lain sisi kegiatan industri ini juga membawa dampak yang negatif berupa pencemaran lingkungan, baik itu berbentuk padat, cair, ataupun gas buang berupa asap yang keluar dari cerobong pabrik. Salah satu polutan yang terdapat di dalam asap tersebut adalah gas sulfur dioksida (SO2). Polutan SO2 jika melebihi ambang batas yang ditentukan maka akan membahayakan bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan material di sekitarnya. Dampak buruk polutan SO2 bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi ambang batas antara lain dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan pada umumnya sedangkan pada konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan (Soedomo 2001). Salah satu industri yang merupakan sumber polutan SO2 adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai akibat dari penggunaan bahan bakar berupa batubara yang merupakan penghasil SO2 terbesar (Nevers 2000). Kebutuhan listrik yang semakin meningkat akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya industri, mendorong pemerintah untuk membangun PLTU baru. Hal ini akan mempengaruhi kualitas udara sehingga perlu dilakukan pemantauan dan penelitian dalam rangka pengendalian. Peralatan yang mahal seringkali menjadi kendala, maka salah satu alternatif dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pemodelan yang bertujuan untuk memprediksi seberapa besar konsentrasi polutan yang terlepas ke lingkungan. Salah satu pemodelan tersebut adalah simulasi dengan pendekatan model matematis. Simulasi menggunakan model matematis harus dapat menjelaskan fenomena aliran fluida untuk mendapatkan hasil yang akurat karena gas SO2 yang diemisikan dari cerobong pabrik tersebut merupakan sebuah fluida (gas) yang bergerak. Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan masalah aliran fluida adalah Computational Fluid Dynamics (CFD). CFD merupakan ilmu yang mempelajari perilaku aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, transpor massa, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan matematis (Tuakia 2008). Selama ini CFD banyak sekali digunakan dalam dunia teknik aliran fluida karena kemampuannya yang cukup baik dalam menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan aliran fluida, salah satunya adalah dispersi polutan (Duffin et al. 2006 dan Tang et al. 2006). Penyelesaian permasalahan aliran fluida yang rumit sampai dengan tingkat desain memerlukan bantuan berupa perangkat lunak khusus yang dirancang untuk menyelesaikan masalah aliran fluida tersebut. GAMBIT dan Fluent merupakan beberapa perangkat lunak berbasis CFD yang telah banyak digunakan untuk berbagai penelitian dalam beberapa aplikasi, khususnya dalam bidang engineering karena kemudahan dalam penggunaannya serta kemampuannya dalam menganalisis aliran fluida dengan hasil yang cukup baik (Tuakia 2008). Di Indonesia, model untuk simulasi penyebaran polutan belum banyak digunakan sementara kebutuhan pembangkit listrik semakin meningkat sehingga perlu ada kajian lebih lanjut mengenai hal tersebut, salah satunya adalah di kawasan PLTU. PLTU Suralaya merupakan salah satu dari sekian banyak PLTU di Indonesia yang menggunakan bahan bakar batubara. Oleh karena itu, pada penelitian ini emisi SO2 dari PLTU Suralaya menjadi contoh kajian simulasi penyebaran SO2 menggunakan CFD. 1.2 Tujuan Penelitian 1. 2. 3. Melakukan simulasi pola penyebaran SO2 dari sumber titik dengan menggunakan CFD Menghitung konsentrasi SO2 Menghitung jarak ketika konsentrasi SO2 maksimum II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Penurunan kualitas udara disebabkan oleh masuknya zat pencemar ke dalam lingkungan udara tersebut. Zat pencemar yang masuk salah satunya berasal dari hasil sampingan kegiatan industri. Zat tersebut akan masuk dan terdispersi ke dalam atmosfer dan menyebabkan terjadinya pencemaran udara. 1 Beberapa definisi mengenai pencemaran udara antara lain, pencemaran udara merupakan masuknya bahan kimia ke dalam atmosfer akibat aktivitas manusia yang menyebabkan peningkatan konsentrasi di atas batas yang ditentukan (Krupa 1997). Lebih lanjut, pencemaran udara juga dapat didefinisikan sebagai hadirnya beberapa zat kimia yang tidak diinginkan di atmosfer, baik alami maupun akibat aktivitas manusia dalam jumlah yang berada diatas ambang batas dan dapat membahayakan bagi manusia, hewan, tumbuhan, ataupun material di sekitarnya (Seinfeld 1986; Nevers 2000). Berdasarkan definisi tersebut, semua partikel atau zat baik itu berupa padat, cair, ataupun gas yang kadarnya melebihi ambang batas yang ditentukan serta membahayakan makhluk hidup dapat dikatakan sebagai zat pencemar atau polutan. 2.1.1 Sumber Udara dan Jenis Pencemaran Menurut asalnya, sumber pencemar berasal dari dua sumber, yaitu alam (biogenic) dan aktivitas manusia (anthropogenic). Pencemaran udara alami adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara, diakibatkan oleh proses-proses alam seperti aktivitas vulkanik (gunung berapi), asap kebakaran hutan, debu meteorit, pancaran garam dari laut, dan sebagainya. Sedangkan pencemaran buatan, yang merupakan penyumbang 90% sumber pencemaran di daerah perkotaan, adalah masuknya zat pencemar oleh kegiatan manusia yang pada umumnya tanpa disadari terutama dihasilkan dari pembakaran batubara, minyak, dan gas (Soenarmo 1999; Tjasyono 2003). Sumber anthropogenic dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dan persampahan (Soedomo 2001). Menurut Soenarmo (1999), sumber pancaran zat pencemar ke dalam udara (atmosfer) ada tiga macam, antara lain: 1. Sumber titik kontinu, contohnya cerobong asap dari pabrik tenaga listrik yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara 2. Sumber garis, contohnya emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor yang bergerak 3. Sumber bidang atau area, merupakan sumber pencemar yang dipancarkan dari suatu daerah, seperti perkotaan, kawasan industri, dan sebagainya Sumber pencemar tersebut menghasilkan beberapa jenis zat pencemar yang berbeda-beda. Transportasi paling banyak menghasilkan zat pencemar karbon monoksida (CO), industri menghasilkan timbal (Pb) dan volatile organic compounds (VOCs), sedangkan untuk pembakaran batubara paling banyak menghasilkan particulate matter (PM10), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur oksida (SOx). 2.1.2 Karakteristik Sulfur Oksida (SOx ) Gas sulfur oksida atau SOx yang terdiri dari gas SO2 dan SO3 mempunyai sifat yang berbeda. SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar. Baunya akan terdeteksi oleh indera manusia ketika konsentrasinya berkisar antara 0.3-1.0 ppm. SO2 merupakan pencemar primer yang berada di atmosfer dan bereaksi dengan pencemar lain membentuk senyawa sulfur dan dapat menyebabkan hujan asam. Sedangkan SO3 bersifat sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara kemudian membentuk H2SO4. Sulfur trioksida berwarna biru ketika partikel senyawanya sangat kecil, mencapai warna putih yang maksimum ketika ukurannya lebih besar, dan dengan cepat menjadi tidak terlihat ketika jumlah SO 3 yang sama terkondensasi ke dalam partikel yang sedikit lebih besar (Scorer 1968). Sumber terbesar penyumbang kontaminan gas SO2 akibat aktivitas manusia adalah pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara dengan persentasi sebesar 41.6% (Warner 1937). SO2 yang berasal dari aktivitas manusia jumlahnya hanya sepertiga dari jumlah keseluruhan yang terdapat di atmosfer. Sebanyak dua pertiganya berasal dari sumber alami, yaitu letusan gunung berapi. Kadar SO2 yang jumlahnya melebihi ambang batas dapat membahayakan makhluk hidup. Pada tanaman dampaknya dapat dilihat dengan ciri-ciri fisik seperti timbulnya corak berwarna keputihan pada daun tanaman yang dapat berakibat terjadinya kehilangan klorofil dan plasmolisis (kerusakan sel daun). Alfalfa, gandum, kapas, dan apel merupakan contoh tanaman yang paling sensitif terhadap sulfur dioksida. Tanaman tersebut dapat terinfeksi pada konsentrasi SO2 sebesar 780 µg m-3 selama 8 jam (Vesilind et al. 1990). Pada hewan dan manusia, pengaruh SO2 berdampak pada kerusakan atau gangguan pernapasan. Iritasi tenggorokan pada manusia dapat terjadi pada konsentrasi 5 ppm atau lebih, bahkan 1-2 2 ppm pada individu yang lebih sensitif. Jika kadarnya mencapai 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir pernapasan bagian atas dan bersifat iritan. Apabila kadarnya semakin bertambah maka akan terjadi peradangan pada selaput lendir disertai dengan paralycis cilia, dan jika berkelanjutan dan terjadi berulang kali akan menyebabkan hyper plasia yang berpotensi menyebabkan timbulnya kanker (Fardiaz 1992). Dampak yang lain dari polutan SO2 juga dapat terjadi pada material. Material, contohnya gedung, dapat mengalami korosi yang lebih cepat pada bagian luarnya yang menyebabkan kerusakan secara fisik. Sebagai tambahan, dampak yang ditimbulkan oleh polutan SO2 seperti yang dijabarkan sebelumnya, khususnya oleh aktivitas manusia adalah akibat dari distribusinya yang tidak merata melainkan terpusat pada daerah tertentu saja sehingga konsentrasinya menjadi tinggi. Hal inilah yang berbahaya bagi makhluk hidup dan material di sekitarnya. 2.1.3 Faktor yang Pencemaran Udara Mempengaruhi Menurut Soenarmo (1999), faktorfaktor yang mempengaruhi mekanisme penyebaran pencemaran udara antara lain sumber emisi dan atmosfer lokal. 2.1.2.1 Sumber Emisi Sumber emisi merupakan tempat atau lubang dikeluarkannya zat pencemar menuju ke dalam atmosfer. Sumber emisi tersebut memiliki karakteristik dan bentuk fisik yang berbeda-beda mulai dari segi luas, bentuk, dan tinggi lubang. Karakteristik dari sumber emisi antara lain laju pancaran (Q), kecepatan pengeluaran, geometri sekitar sumber emisi, dan bahan bakar yang digunakan (Soenarmo 1999). Laju pancaran (Q) merupakan jumlah zat pencemar yang dikeluarkan ke atmosfer (µg m-3 atau mg m-3) yang kadarnya tergantung pada kapasitas produksi. Semakin besar kapasitas produksi, laju pancaran akan semakin meningkat sehingga konsentrasi zat pencemar di dalam atmosfer juga akan bertambah, dan sebaliknya. Kecepatan pengeluaran merupakan laju zat pencemar yang keluar dari sumber emisi. Kecepatan pengeluaran tergantung pada proses produksi masing-masing sumber emisi tersebut serta berpengaruh terhadap laju keluarnya zat pencemar ke atmosfer . Geometri di sekitar sumber emisi merupakan keadaan tata ruang di sekitar sumber emisi, antara lain berupa bentuk dan ukuran bangunan sekitar, dan jenis tanaman di sekitar sumber emisi. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap pola sebaran zat pencemar yang melewati kawasan tersebut. Bahan bakar yang digunakan oleh sumber emisi bentuknya berbeda-beda, baik itu berupa cair (minyak tanah, bensin), gas (hidrogen, LPG), padatan (kayu, batubara), ataupun nuklir. Oleh karena itu, jenis zat pencemar hasil emisi dari masing-masing pembakaran bahan bakar tersebut juga berbeda. 2.1.2.2 Faktor Meteorologi Pada dasarnya, mempelajari dinamika atmosfer tidak sederhana. Berbagai macam proses terjadi di dalamnya mulai dari pergerakan molekul, turbulensi, perpindahan panas, reaksi kimia, presipitasi, perpindahan massa udara, dan sebagainya. Proses-proses tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem yang seimbang. Ketidakseimbangan sistem dapat terjadi ketika adanya kerusakan atau gangguan. Hal tersebut dapat berupa fenomena alam atau dapat juga disebabkan oleh tangan-tangan manusia, salah satunya zat pencemar dari asap pabrik. Pergerakan dan konsentrasi zat pencemar yang keluar menuju atmosfer setelah diemisikan dari sumbernya, sangat bergantung pada kondisi meteorologis di masing-masing daerah. Kondisi meteorologis tersebut antara lain adalah angin, suhu udara, stabilitas atmosfer, kelembaban relatif (RH), dan curah hujan. a. Angin Angin memiliki arah dan kecepatan. Arah menentukan kemana angin tersebut berhembus, dan kecepatan menentukan laju angin tersebut. Arah angin berperan penting dalam membawa ke arah mana zat pencemar tersebut terdispersikan sedangkan kecepatan angin berpengaruh terhadap besarnya konsentrasi zat pencemar tersebut ketika terdispersi. Kecepatan angin yang besar menyebabkan partikel zat pencemar terurai sehingga konsentrasinya akan lebih rendah dan sebaliknya. 3 Jenis angin yang paling berpengaruh terhadap penyebaran zat pencemar tersebut adalah angin lokal (Schnelle dan Dey 2000). Terdapat berbagai jenis angin lokal, diantaranya yaitu angin darat dan angin laut; angin gunung dan angin lembah. Angin darat relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan angin laut jika dilihat dari segi penyebaran polutan. Polutan hasil dari emisi ketika terjadi angin darat akan terdispersi ke arah laut, sedangkan ketika terjadi angin laut, polutan akan terdispersi ke arah daratan sehingga dampak buruk terhadap makhluk hidup kemungkinannya lebih besar karena makhluk hidup lebih banyak berada di atas daratan (Gambar 1a). Gambar 1 Perilaku kepulan di sekitar daerah (a) tepi pantai pada saat musim panas dan (b) perkotaan pada saat malam hari (Oke 1978) Gambar 2 Permasalahan sebaran polutan di daerah dekat lembah (Oke 1978) Angin lembah dan angin gunung terjadi akibat adanya perbedaan radiasi matahari yang diterima oleh daerah lereng gunung dan daerah gunung (perbedaan topografi) sehingga terjadi perbedaan suhu dan tekanan yang menyebabkan terjadinya perbedaan arah angin. Angin gunung akan menyebabkan dampak yang kurang baik bagi daerah perindustrian yang letaknya berada di lembah gunung karena pada daerah tersebut, inversi akan terjadi secara intensif di permukaan khususnya pada musim dingin akibat pemanasan radiasi matahari pada dinding gunung. Selain itu, keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya akumulasi polutan di daerah lembah akibat adanya turbulensi yang kuat (Gambar 2a) serta terjadinya downwash (Gambar 2b) sehingga polutan dipaksa menuju permukaan tanah. Begitu juga pada wilayah antara daerah urban dan suburban atau istilahnya biasa disebut dengan urban heat island, polutan juga akan terkonsentrasi di daerah perkotaan tersebut (Gambar 1b). Hal tersebut dapat terjadi karena pada daerah perkotaan memiliki kekasaran permukaan yang ditimbulkan oleh bangunan-bangunan tinggi seperti gedung bertingkat. Kondisi ini membuat turbulensi semakin tinggi sehingga meningkatkan penyebaran dari polutan yang dipancarkan. Sedangkan pada saat yang sama, bangunan dan aspal jalan raya bertindak sebagai penyimpan panas dari radiasi yang diterima selama sehari. Panas ini menambah panas dari pemanasan pada waktu malam hari selama musim dingin yang membuat perbedaan suhu dan tekanan antara kota dan daerah di sekitar kota sehingga sirkulasi lokal menuju ke dalam kota menjadi meningkat (Liu dan Liptak 1999). Penyebaran zat pencemar juga dipengaruhi oleh profil vertikal angin yang selalu berubah terhadap waktu dan tempat. Kekasapan permukaan yang berbeda-beda pada masing-masing daerah seperti perumahan, pepohonan, bangunan, dan pegunungan berpengaruh terhadap profil geser angin karena memiliki gaya gesek yang bervariasi. Aliran permukaan yang melewati permukaan kasar (shear stress) tersebut akan menimbulkan terjadinya turbulensi. Pada kondisi ini, zat pencemar akan bergerak dan terdispersikan secara acak di dalam atmosfer. Atmosfer terdiri dari beberapa lapisan dan salah satunya adalah lapisan troposfer. Lapisan tersebut letaknya paling dekat dengan bumi dengan ketinggian sekitar 18 km dari permukaan laut. Bagian terendah di dalam troposfer disebut dengan lapisan batas atmosfer (atmospheric boundary layer) atau disebut juga dengan Planetary Boundary Layer (PBL) dengan ketebalan sekitar 0.2 – 5.0 km pada siang hari dan 20 – 500 m pada malam hari. Lapisan batas ini merupakan suatu lapisan atmosfer di dekat permukaan dengan gaya kekasapan permukaan yang nyata dan massa udaranya mengandung karakteristik permukaan di bawahnya (Stull 1988). Pada lapisan ini terjadi pertukaran momentum, bahang, massa, begitu juga dengan polutan. 4 Pada lapisan batas ini, diturunkan sebuah persamaan profil kecepatan angin untuk menghitung kecepatan angin pada ketinggian z1 dengan kecepatan angin pada ketinggian z sudah diketahui. Persamaannya adalah sebagai berikut: ….. (1) keterangan: u = kecepatan angin pada ketinggian z u1 = kecepatan angin pada ketinggian z1 n = nilai eksponen (nilainya dapat dilihat pada tabel 1) Tabel 1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas Kelas Stabilitas A (Sangat tidak stabil) B (Tidak stabil) C (Tidak stabil ringan) D (Netral) E (Stabil ringan) F (Stabil) Sumber : Cooper dan Alley 1994 n 0.15 0.15 0.20 0.25 0.40 0.60 Aliran yang melewati permukaan kasar dapat terjadi ketika melewati halangan berupa cerobong industri yang merupakan salah satu sumber emisi tidak bergerak. Halangan berupa cerobong industri tersebut juga dapat mempengaruhi arah aliran angin yang melewatinya. Sebaran polutan yang keluar dari cerobong arah pergerakannya akan dipengaruhi oleh aliran angin yang berhembus di sekitar cerobong tersebut. Aliran angin ketika menyentuh cerobong akan mengalami perubahan pola aliran sehingga beberapa besaran seperti kecepatan, tekanan, energi, dan momentum akan ikut berubah pula. Perubahan pola aliran tersebut akan mengikuti karakteristik bentuk bidang permukaan solid (cerobong) kemudian setelah melewatinya, pola aliran akan cenderung kembali pada kondisi kesetimbangannya semula (Gambar 3a). Terdapat empat zona aliran ketika angin melalui suatu penghalang dalam hal ini cerobong, yaitu displacement zone, cavity zone, wake zone, dan undisturbed flow. Aliran angin akan dipaksa naik melewati atas cerobong dan berkumpul dengan aliran yang berada di atasnya sehingga akan menyebabkan akselerasi kecepatan. Kondisi aliran ini terdapat di daerah displacement zone. Setelah melewati cerobong, aliran akan menemui ruangan yang kosong, tetapi pada kenyataannya fluida tidak dapat secara cepat bereaksi untuk mengisi ruangan tersebut. Hal itu mengakibatkan aliran akan terpisah. Daerah di belakang cerobong terdapat tekanan yang rendah sehingga aliran yang terdapat di daerah tersebut (cavity zone) akan mengalami turbulensi, sedangkan aliran yang berada di atasnya akan berkembang kembali dan mengisi ruangan kosong yang berada di depannya. Daerah ini disebut dengan daerah wake zone (Oke 1978). Selain itu, terdapat suatu zona yang alirannya tidak terganggu atau tidak terpengaruh akibat adanya halangan cerobong tersebut yang dikenal dengan undisturbed flow. Daerah ini penting diketahui untuk melihat seberapa jauh cerobong mempengaruhi aliran secara horizontal maupun vertikal. Lebih jauh, daerah ini dapat digunakan sebagai patokan jarak untuk dijadikan sebagai batasan model secara vertikal dalam hal ini h (tinggi cerobong) sebagai faktor pengali terhadap penentu jarak minimum dimana aliran tersebut tidak terganggu. Gambar 3 (a) Aliran di sekitar cerobong (b) zona aliran di sekitar cerobong (Oke 1978) Besarnya jarak yang dibutuhkan kecepatan angin untuk kembali pada kecepatan semula setelah melewati cerobong tergantung pada densitas dari cerobong tersebut. Densitas cerobong yang dimaksudkan disini adalah persentase rasio antara panjang diameter luar mulut cerobong dengan tinggi cerobong (Oke 1978). Semakin besar densitas cerobong tersebut, maka pemulihan besarnya kecepatan angin untuk kembali ke kecepatan awalnya akan membutuhkan jarak yang lebih pendek 5 dibandingkan dengan cerobong yang memiliki densitas yang lebih kecil (Gambar 4). Gambar 4 Pengurangan kecepatan angin di sekitar daerah aliran dengan densitas yang berbeda (Oke 1978) b. Suhu dan Stabilitas Atmosfer Suhu udara bervariasi pada setiap ketinggian lapisan atmosfer. Pada lapisan troposfer, suhu udara menurun dengan bertambahnya ketinggian atau biasa disebut dengan lapse rate, tetapi pada keadaan tertentu di dekat permukaan sering ditemukan keadaan inversi yaitu ketika suhu udara menaik dengan bertambahnya ketinggian. Secara umum, lapse rate dapat diekspresikan dalam persamaan sebagai berikut: ….. (2) merupakan adiabatic lapse rate, T adalah suhu (ºC), dan z merupakan ketinggian (m). Lapse rate memiliki dua tipe yaitu environmental lapse rate dan adiabatic lapse rate. Environmental lapse rate (ELR) merupakan perubahan negatif suhu aktual terhadap bertambahnya ketinggian di dalam atmosfer yang stasioner pada waktu dan tempat tertentu. Rata-rata ELR adalah sebesar 6.49 ºC/1000 m. Adiabatic lapse rate terbagi menjadi dua, yaitu dry adiabatic lapse rate (DALR) dan moist adiabatic lapse rate (MALR). DALR merupakan perubahan negatif suhu terhadap bertambahnya ketinggian ketika sebuah parsel udara menaik pada udara yang kering atau tidak jenuh dibawah kondisi adiabatik. Udara yang tidak jenuh memiliki RH< 100% dengan suhu aktualnya lebih besar dibandingkan titik embunnya (Td). Besarnya nilai DALR rata-rata adalah 9.8 ºC/1000 m. Moist adiabatic lapse rate (MALR) atau disebut juga dengan saturated adiabatic lapse rate (SALR) merupakan perubahan negatif suhu terhadap bertambahnya ketinggian ketika sebuah parsel udara menaik pada udara yang jenuh. Kondisi lapse rate ini berubah-ubah sesuai dengan kadar kelembabannya serta bergantung pada suhu dan tekanan rendah dengan nilai rata-rata sebesar 5 ºC/1000 m. Perbedaan nilai lapse rate antara DALR dengan MALR disebabkan oleh adanya perbedaan panas laten yang dilepaskan ketika air terkondensasi (Ahrens 2006). Kondisi inversi yaitu suhu udara menaik dengan bertambahnya ketinggian, merupakan kondisi yang sangat buruk dalam kaitannya dengan penyebaran zat polutan karena pada kondisi ini zat polutan tidak akan bisa naik ke atas melainkan akan cenderung untuk kembali ke permukaan dikarenakan suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan udara di atasnya sehingga parsel akan cenderung menuju ke ketinggian awalnya. Perubahan suhu udara terhadap ketinggian juga berhubungan secara langsung terhadap stabilitas atmosfer. Secara umum, terdapat tiga kriteria stabilitas atmosfer yaitu netral, tidak stabil, dan stabil. Kriteria kestabilan atmosfer tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan antara laju penurunan suhu adiabatik dengan laju penurunan suhu lingkungan (aktual). Keadaan atmosfer netral adalah ketika laju penurunan suhu secara adiabatik sama dengan laju penurunan suhu lingkungan. Kerapatan udara di dalam parsel juga akan sama dengan densitas udara di luar parsel sehingga pada keadaan tersebut gaya buoyancy (gaya ke atas yang menahan suatu benda mengapung) tidak ada. Pada kondisi tidak stabil, laju penurunan suhu adiabatik lebih kecil dibandingkan dengan laju penurunan suhu lingkungan sehingga ketika suatu parsel akan bergerak naik dan mengalami pendinginan, suhu parsel tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di lingkungannya. Hal itu membuat kerapatan parsel tersebut akan lebih rendah daripada udara di sekitarnya yang membuat parsel tersebut akan terus naik. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh gaya buoyancy sehingga parsel tersebut akan terus bergerak ke atas. Kondisi atmosfer stabil ditunjukkan oleh suhu parsel yang lebih rendah dibandingkan suhu lingkungannya ketika bergerak naik karena pada kondisi ini laju 6 Gambar 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat penurunan suhu adiabatik lebih besar dibandingkan dengan laju penurunan suhu lingkungan. Pada kondisi ini, parsel yang bergerak naik maupun bergerak turun akan cenderung kembali ke ketinggiannya semula. Deskripsi ketiga kriteria atmosfer tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 (Kushnir 2000). Garis merah tebal merupakan laju penurunan suhu lingkungan, garis merah putus-putus merupakan laju penurunan suhu adiabatik, Tp dan Te berturut-turut merupakan suhu parsel dan suhu lingkungan pada ketinggian Z1. Penentuan stabilitas dengan menggunakan metode di atas membutuhkan observasi yang terus-menerus sehingga seorang ilmuwan bernama Pasquill mengkategorikan stabilitas atmosfer tersebut menjadi enam kelas stabilitas dari A sampai F dengan penentuan kelas tersebut berdasarkan pada beberapa parameter yaitu radiasi matahari, kecepatan angin di permukaan, dan penutupan awan (Pasquill 1962). Keenam stabilitas atmosfer tersebut dapat ditentukan berdasarkan kriteria gradien suhu yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelas stabilitas gradien suhu berdasarkan Kelas Stabilitas Gradien Suhu (°C/100 m) A (sangat tidak stabil) B (tidak stabil) C (tidak stabil ringan) D (netral) E (stabil ringan) F (stabil) Sumber : Soenarmo 1999 < -1.9 -1.9 s.d -1.7 -1.7 s.d -1.5 -1.5 s.d -0.5 -0.5 s.d 1.5 1.5 s.d 4.0 Selain mempengaruhi pergerakan polutan secara vertikal, stabilitas atmosfer juga dapat mempengaruhi bentuk kepulan dari cerobong. Terdapat lima bentuk kepulan dari cerobong secara umum, yaitu looping, coning, fanning, lofting, dan fumigation (Oke 1978). Bentuk kepulan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4 dengan keterangan bahwa garis merah di sebelah kiri gambar menunjukkan ELR sedangkan garis hitam menunjukkan DALR. Pada bentuk kepulan looping (Gambar 6a), pengaruh turbulensi cukup besar. Bentuk kepulan ini naik turun dan polutannya terdispersi ke berbagai arah,tercampur dengan udara sekitarnya. Kondisi ini terjadi pada saat keadaan atmosfer tidak stabil dan biasanya terjadi pada saat siang hari yang terik. Bentuk kepulan ini lebih menguntungkan walaupun polutannya jatuh ke tanah pada jarak yang lebih dekat karena polutan tersebut konsentrasinya rendah akibat adanya pencampuran dengan udara sekitarnya sehingga cenderung tidak membahayakan makhluk hidup. Kepulan coning (Gambar 6b) terbentuk pada saat kondisi atmosfer mendekati netral dan biasa terjadi pada keadaan mendung, disaat malam hari ataupun siang hari. Pencampuran secara vertikal dan turbulensi kecil sehingga polutan cenderung lebih tersebar secara horizontal. Kemudian untuk bentuk kepulan fanning (Gambar 6c), konsentrasi polutan cukup tinggi karena percampuran secara vertikal dan turbulensi hampir tidak ada di lokasi tersebut. Hal ini menyebabkan polutan terkonsentrasi dan terpusat dengan bentuk seperti garis tebal yang konstan di atmosfer. Bentuk kepulan ini dapat terjadi pada keadaan atmosfer sangat stabil atau pada sistem yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya polutan pada bentuk kepulan seperti ini akan jatuh ke tanah pada jarak yang cukup jauh sehingga ketika sudah sampai di tanah konsentrasinya akan jauh berkurang akibat terbawa angin. 7 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning (c) fanning (d) lofting (e) fumigation (Saperaud 2005) Selanjutnya untuk bentuk kepulan lofting (Gambar 6d), terbentuk pada saat sore hari menjelang malam ketika di dekat permukaan kondisi atmosfernya stabil sedangkan di atasnya kondisi atmosfernya masih tidak stabil. Hal ini mengakibatkan pada bagian atas kepulan lebih terlihat terjadinya turbulensi dibandingkan pada bagian bawahnya. Berbeda dengan kepulan yang lain, bentuk kepulan fumigation (Gambar 6e) merupakan bentuk yang paling buruk. Pada daerah dekat permukaan kondisi atmosfer tidak stabil sedangkan di atasnya kondisi atmosfer stabil. Hal ini berakibat polutan yang berada di bawah tidak dapat terdispersikan ke atas melewati daerah yang stabil tersebut sehingga menyebabkan polutan bercampur di daerah dekat dengan permukaan. c. Kelembaban Relatif (RH) dan Curah Hujan (CH) Kelembaban udara merupakan banyaknya uap air yang terdapat dalam kandungan air dan udara dalam fase gas. Kelembaban relatif ini cukup penting dalam pengaruhnya terhadap pencemaran udara karena dapat mempengaruhi jarak pandang. Kandungan uap air ketika mengembun akan membentuk kabut yang dapat mempengaruhi pandangan. Selain itu, uap air dalam jumlah yang banyak akan menghalangi radiasi matahari yang masuk ke bumi sehingga akan menghambat radiasi matahari tersebut untuk memecah inversi. Hal tersebut akan mengakibatkan zat pencemar yang berada di udara lebih lama berada di atmosfer. Uap air yang mengembun menjadi kabut juga akan mengakibatkan perubahan SO3 menjadi H2SO4 menjadi lebih cepat yang berbahaya bagi makhluk hidup (Fardiaz 1992). Kelembaban udara jika kadarnya kurang dari 60% (rendah) maka akan membantu memperlambat atau mengurangi efek korosif dari SO2 sedangkan jika kadarnya sekitar 80% maka akan memperburuk atau mempercepat efek korosif pada benda. Selain itu, udara yang kadar uap airnya tinggi dapat membantu partikel polutan seperti debu untuk cepat jatuh ke tanah karena debu tersebut menempel pada uap air dan akibat adanya gravitasi maka uap air bersama debu yang menempel akan tertarik ke bumi. Sulfur dioksida yang jatuh ke bumi bersama dengan curah hujan akan membentuk hujan asam. Ketika curah hujan tersebut yang sudah bercampur jatuh menyentuh tanah, tanaman, bangunan, sungai, dan sebagainya maka akan sangat berbahaya. Jika mengenai bangunan akan menyebabkan efek korosif, sedangkan jika menyentuh kawasan hutan 8 akan mengakibatkan deforestasi dan ketika mengenai daerah perairan maka akan mengganggu ekosistem yang ada di dalamnya karena dapat menyebabkan kematian bagi makhluk hidup yang tinggal di perairan tersebut (EPA 2007). • • 2.2 Model Prediksi Dispersi Polutan Terdapat berbagai macam model prediksi dispersi polutan, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang lebih kompleks yaitu (a) model empirik: hanya didasarkan pada data sumber emisi, kualitas udara, dan meteorologi (b) model numerik: berdasarkan prinsip dasar fisika dan kimia yang berhubungan dengan proses dalam pencemaran udara, contohnya adalah model kotak-tetap (c) model semi-empirik: berdasarkan formulasi yang diturunkan dari prinsip scientific, tetapi berdasar pada parameter yang ditentukan secara empirik, contohnya adalah model Gaussian (d) model dinamik: berdasarkan persamaan-persamaan diferensial fisika dan kimia yang berhubungan dengan dinamika aliran fluida di atmosfer. 2.2.1 Model Kotak Model) Tetap Konsentrasi polutan di udara ketika memasuki kota (x = 0) adalah konstan dan nilainya sama dengan b. Nilai laju emisi polutan di kota tersebut adalah Q (biasanya diekspresikan dalam g det-1) dan biasa dinyatakan dalam laju emisi per luas area (g m-2 det-1). Secara matematis nilai tersebut dapat digambarkan pada persamaan 3. Q = qA ….. (3) • • A adalah luasan area (L x W). Laju emisi ini konstan dan tidak berubah dengan waktu. Tidak ada polutan yang keluar ataupun masuk dari atas kotak ataupun melalui sisi yang paralel dengan arah angin. Polutan yang berada di atmosfer stabil dan tidak dapat terurai. Konsentrasi polutan yang terdapat di dalam udara ambien dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan model kotak tetap berikut ini (Nevers 2000): (Fixed-Box Model kotak tetap merupakan model pendugaan konsentrasi polutan yang mudah digunakan untuk daerah perkotaan, tetapi model ini juga memiliki beberapa kekurangan. Model ini hanya bersifat prediksi numerik saja sehingga secara kualitatif hasilnya benar, sedangkan secara kuantitatif masih belum memadai (Nevers 2000). Perhitungan konsentrasi polutan dengan model ini menggunakan beberapa asumsi antara lain: • Kota berbentuk dimensi L (panjang) dan W (lebar), salah satunya paralel dengan arah datangnya angin. • Turbulen di atmosfer menyebabkan percampuran polutan terjadi secara keseluruhan hanya sampai di daerah batas mixing height H (tinggi). • Turbulen cukup kuat di daerah upwind sehingga membuat konsentrasi polutan seragam di seluruh volume udara kota tersebut. • Angin berhembus di arah x dengan kecepatan angin u. Diasumsikan kecepatan angin seragam di setiap ketinggian. c=b+ ….. (4) keterangan : c = konsentrasi rata-rata polutan pada keadaan steady state b = konsentrasi polutan yang masuk ke dalam kota (g m-3 atau µg m-3) q = laju emisi per satuan luas (g m-2 det-1) L = panjang (m) u = kecepatan angin (m det-1) H = tinggi (m) 2.2.2 Model Gaussian Pendekatan ini bertumpu pada kenyataan bahwa solusi dasar persamaan klasik difusi Fick merupakan distribusi normal. Model Gauss telah dicobakan untuk sumber tunggal pada kondisi meteorologi khusus dengan waktu rata-rata satu jam atau lebih. Model ini cukup valid untuk difusi dengan waktu yang lama, kondisi homogen dan stasioner (Soenarmo 1999). Liu dan Liptak (1999) menambahkan bahwa model ini juga efektif untuk menggambarkan difusi polutan pada jarak kondisi atmosfer tertentu dengan menggunakan standar deviasi dari distribusi Gaussian dalam dua arah untuk menggambarkan karakteristik dari polutan sesuai dengan arah anginnya. Secara 9 = 2 1 2 1( 2 ) + 1 2 ( + ) ..... (5) keterangan: , = konsentrasi polutan pada arah x, y, dan z (µg m-3) = nilai emisi dari polutan (g det-1) = standar deviasi kepulan (m) = kecepatan angin vertikal rata-rata yang melintasi ketinggian kepulan (m det-1) = jarak lateral (m) = jarak vertikal (m) = ketinggian efektif cerobong (m) matematis, model Gaussian pada sumber titik secara umum dapat digambarkan pada persamaan 5 (Liu dan Liptak 1999). Asumsi yang digunakan pada model ini antara lain (Leonard 1997): 1. Turbulensi atmosfer konstan 2. Kecepatan dan arah angin dari sumber titik sampai reseptor konstan 3. Kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout 4. Tidak ada komponen yang diserap oleh badan air ataupun vegetasi 5. Dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind 6. Tidak ada komponen yang mengalami transformasi secara kimia 7. Komponen yang mencapai permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan Berdasarkan asumsi-asumsi yang dijabarkan pada model numerik dan semiempirik tersebut yaitu model kotak-tetap dan Gaussian, masih terdapat beberapa kekurangan yang signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan model yang lebih kompleks yang lebih mampu menjelaskan fenomenafenomena yang terjadi dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dan akurat. Salah satu model tersebut yang telah banyak dikembangkan adalah model dinamik. 2.3 Computational Fluid Dynamics (CFD) Penyebaran polutan di atmosfer akan selalu mengikuti perilaku atmosfer, oleh karena itu untuk mempelajari aliran polutan tersebut pola aliran fluida perlu dipahami. Dewasa ini telah berkembang suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika yang mampu memprediksi suatu aliran fluida lebih tepat dan akurat yang dikenal sebagai Computational Fluid Dynamics (CFD) (Tuakia 2008). Persamaan matematis yang terdapat di dalam CFD tersebut beragam dan cukup kompleks sehingga penyelesaiannya membutuhkan suatu alat bantu berupa perangkat lunak. Beberapa perangkat lunak yang berbasis CFD diantaranya adalah Engineering Fluid Dynamics (EFD), CFX, Flow-3D, Phoenix, Starcd, Numeca, dan Fluent. CFD telah banyak digunakan baik untuk tujuan komersil, penelitian, maupun akademis yang hasilnya dapat diterima dengan baik. Contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prasanto (2008) yang menunjukkan bahwa simulasi penyebaran SO2 yang dilakukan menggunakan Fluent memberikan hasil yang lebih baik sebesar 66.3% dibandingkan model Gaussian yang hanya memberikan akurasi sebesar 2.6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa CFD memiliki hasil prediksi yang lebih baik dan akurat. Selain itu, penggunaan CFD dalam bidang pencemaran udara juga telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya digunakan pada sumber transportasi terutama di jalan yang berbentuk street canyon (Baik et al. 2003; Shui et al. 2009; Chu et al. 2004). Beberapa kegunaan CFD dalam dalam berbagai bidang antara lain (Tuakia 2008): 1. Bidang arsitektur, contohnya mendesain ruangan yang aman dan nyaman 2. Aerodinamika, contohnya mendesain kendaraan untuk meningkatkan efisiensi 3. Olahraga, contohnya mencari rahasia tendangan melengkung pada sepak bola 4. Kesehatan, contohnya mengobati penyakit arterial (computational hemodynamics) dan ahli keamanan dalam mengurangi resiko kesehatan akibat radiasi 10 5. Militer, contohnya mengembangkan persenjataan dan menganalisa seberapa besar kerusakan yang ditimbulkannya Secara umum, proses simulasi dalam CFD terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu preprocessing, solving, dan postprocessing. Preprocessing merupakan langkah awal dalam simulasi yaitu membuat suatu persiapan dengan membangun model geometri yang sesuai dalam bentuk CAD (Computer Aided Design), membuat grid atau mesh, dan menentukan kondisi batas dari geometri tersebut. Solving merupakan proses penghitungan dan persamaan-persamaan yang terdapat dalam model CFD tersebut diselesaikan dengan menggunakan bantuan program komputer sesuai dengan kondisikondisi yang telah ditentukan pada saat preprocessing sebelumnya. Sedangkan postprocessing merupakan langkah terakhir dalam simulasi ini. Hasil penghitungan langkah sebelumnya diinterpretasikan ke dalam beberapa bentuk diantaranya adalah grafik, kurva, animasi, gambar 2D maupun 3D. Model CFD menggunakan persamaanpersamaan aljabar untuk mengganti persamaan-persamaan diferensial parsial dari kontinuitas, momentum , dan energi dengan pendekatan model diskrit (jumlah sel terhingga). Metode diskritisasi yang digunakan oleh model CFD ini antara lain : • Metode beda hingga (finite difference method) • Metode elemen hingga (finite elements method) • Metode volume hingga (finite volume method) • Metode elemen batas (boundary element method) • Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method) 2.4 GAMBIT Proses preprocessing pada CFD dapat dibantu oleh GAMBIT (Geometry and Mesh Building Intelligent Toolkit) yang merupakan perangkat lunak untuk membuat geometri, diskritisasi (meshing) pada model. GAMBIT diproduksi oleh Fluent Inc., yang merupakan salah satu perangkat lunak analisis komputasi fluida yang menguasai 60% pangsa pasar dunia untuk perangkat lunak jenis ini (Tuakia 2008). GAMBIT cukup mampu mendiskritisasi berbagai bentuk yang diinginkan pengguna. Hal tersebut dikarenakan di dalam GAMBIT terdapat berbagai mesh mulai dari yang bentuknya beraturan sampai yang bentuknya tidak beraturan, piramid, tetrahedral, dan prisma. Hal ini memungkinkan untuk dapat membuat suatu model yang rumit sekalipun. Proses diskritisasi tersebut sangat penting dalam pemodelan karena dapat mempengaruhi ketelitian komputasi. Semakin kecil ukuran mesh suatu model, maka ketelitiannya akan semakin tinggi (hasil lebih akurat), sedangkan ukuran mesh yang besar akan mempengaruhi hasil akhir yang kurang akurat. Selain itu, di dalam GAMBIT kita juga dapat memeriksa mesh yang kita buat pada suatu model guna menghindari terjadinya kesalahan pada saat proses solving. Salah satu tipe kualitas mesh yang dapat kita pilih adalah equiangle skew dengan nilai tidak boleh melebihi 0.9 (Tuakia 2008). Jika melebihi angka tersebut, maka nantinya akan berdampak buruk pada solusi akhir yang tidak tidak akurat atau membutuhkan waktu konvergensi yang lama. Proses terakhir di dalam perangkat lunak GAMBIT adalah penentuan kondisi batas. Penentuan batas ini juga sangat penting karena menentukan pada bagian mana (face) dari model yang telah dibuat akan dikondisikan. Beberapa contoh kondisi batas diantaranya adalah wall, velocity inlet, mass flow inlet, outflow, pressure inlet dan pressure outlet. 2.5 Fluent Fluent merupakan salah satu perangkat lunak CFD yang menggunakan metode volume hingga (finite volume method) dan menyediakan fleksibilitas mesh yang lengkap sehingga kasus aliran fluida yang rumit sekalipun dapat diselesaikan. Jenis mesh yang didukung oleh Fluent antara lain 2D triangular-quadrilateral, 3D tetrahedralhexahedral-pyramid-wedge, dan campuran (hybrid) (Tuakia 2008). Perangkat lunak ini diluncurkan pertama kali pada bulan Oktober tahun 1983 yang didirikan oleh Sheffield University dan Creare Inc. Perangkat lunak ini berkembang dengan cepat dan banyak digunakan di beberapa negara sehingga berhasil mendirikan perusahaan-perusahaan baru yang pusatnya berada di daerah New Hampshire, Lebanon. Pemodelan CFD menggunakan perangkat lunak Fluent dapat memberikan 11 hasil yang akurat dalam memprediksi kondisi turbulensi dan angin untuk menghitung transpor udara, penyebaran kimia, biologis, dan bahan nuklir. Fluent juga banyak diterima secara luas dalam dunia tekhnik karena kemampuannya menyelesaikan masalah dispersi kimia dengan mengangkat isu geometri dan teori-teori fisika dalam model (Camelli 2004; Corrier 2005). Fluent banyak digunakan oleh berbagai industri, antara lain industri pertambangan, petrokimia, otomotif, dan biomedikal. Hal ini dikarenakan Fluent memiliki kemampuan yang luas dalam menganalisis berbagai macam kasus aliran fluida. Kemampuan yang dimiliki oleh Fluent antara lain: • Model mixing-plane untuk memodelkan interaksi rotor-stator dan aplikasi mesin turbo • Model dynamic mesh untuk memodelkan domain yang bergerak dan deforming mesh • Multiple reference frame (MRF) dan sliding mesh untuk pemodelan rangka bergerak • Perubahan fasa untuk peleburan atau solidifikasi • Pemodelan fenomena kavitasi • Percampuran zat dan reaksi kimia, termasuk model pembakaran homogen dan heterogen • Aliran kompresibel dan inkompresibel 2.6 Pendekatan Model 2.6.1 Persamaan Kontinuitas Persamaan kontinuitas merupakan persamaan matematis yang menyatakan jumlah massa yang masuk ke dalam sistem sama jumlahnya dengan jumlah massa yang keluar sistem. Persamaan tersebut diekspresikan dalam bentuk sebagai berikut: ( )=0 ..… (6) adalah densitas fluida (kg m-3) dan merupakan kecepatan fluida (m det-1). 2.6.2 Persamaan Navier-Stokes Persamaan Navier-Stokes menggambarkan kekekalan momentum pada suatu fluida yang menerapkan Hukum II Newton tentang pergerakan fluida. Solusi numerik dari persamaan Navier-Stokes untuk kasus aliran turbulen cukup sulit karena untuk mendapatkan hasil yang stabil diperlukan mesh yang halus sehingga waktu komputasi menjadi cukup lama. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan persamaan timeaveraged seperti Reynolds-Averaged NavierStokes (RANS) dalam aplikasi Computational Fluid Dynamics (CFD). Persamaan RANS ditunjukkan secara matematis pada persamaan 7. Persamaan tersebut memiliki bentuk yang sama dengan persamaan Navier-Stokes dengan kecepatan dan variabel lainnya yang diungkapkan dalam nilai time-averaged. Bentuk tambahan yang muncul pada persamaan ini, , dikenal dengan tegangan Reynolds (Reynolds stresses) yang muncul akibat adanya kecepatan yang berfluktuasi (efek turbulensi). Tegangan Reynolds ini harus dimodelkan agar persamaan RANS tersebut dapat terselesaikan (Fluent 2006). 2.6.3 Persamaan Turbulensi Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan tegangan Reynolds pada persamaan RANS adalah dengan menggunakan model-model turbulensi yang berdasarkan pada hipotesis Boussinesq. Hipotesis tersebut menyatakan tegangan Reynolds berbanding lurus dengan gradien kecepatan. Persamaan tersebut ditunjukkan secara matematis pada persamaan 8. Beberapa model turbulensi yang menggunakan hipotesis Boussinesq antara lain model turbulensi Spalart-Allmaras, k-epsilon (k- ), dan k-omega (k- ). Kelebihan dari pendekatan ini adalah kebutuhan daya komputasi yang relatif kecil karena model tersebut hanya menggunakan beberapa persamaan seperti pada Spalart-Allmaras (satu persamaan), k- (dua persamaan), dan k(dua persamaan). Sebaliknya, kekurangan dari pendekatan ini adalah bahwa hipotesis tersebut mengasumsikan viskositas turbulen ( ) merupakan besaran isotropic scalar yang mana hal tersebut tidak sepenuhnya benar (Fluent 2006). Selain pendekatan tersebut, terdapat beberapa model turbulensi lainnya yaitu Reynolds Stress Model (RSM), dan Large Eddy Simulation (LES). RSM mendekati persamaan RANS dengan menyelesaikan persamaan transport untuk tegangan Reynolds bersama-sama dengan persamaan laju disipasi (Tuakia 2008). Model ini cukup baik karena 12 + = ( )= + 1 2 3 + 2 3 + ( + ) + ) + ….. (7) ….. (8) + + ….. (9) keterangan: dan = produksi dari viskositas turbulen (m2 det-1) = destruksi dari viskositas turbulen yang terjadi di daerah dekat dinding karena halangan dinding dan damping viskos (m2 det-1) = konstanta = viskositas kinematik (m2 det-1) = viskositas dinamik (Pa det) = penambahan dari sumber lain (ditentukan oleh pengguna) hasil dari perhitungannya lebih akurat dibandingkan dengan model yang hanya menggunakan satu atau dua persamaan saja, tetapi tentu saja RSM akan membutuhkan daya komputasi yang jauh lebih besar karena model ini menggunakan empat persamaan transpor pada aliran 2D dan tujuh persamaan transpor pada aliran 3D. Begitu juga dengan LES, model ini juga membutuhkan daya komputasi yang sangat besar. Pusaran fluida (vortex) yang besar diselesaikan secara langsung pada LES, sedangkan vortex yang kecil dimodelkan sehingga resolusi mesh yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan persamaan aslinya. Selain komputasi menggunakan model, juga terdapat komputasi yang dilakukan secara langsung. Direct Numerical Simulation (DNS) merupakan metode komputasi fluida secara langsung. Metode ini membutuhkan daya komputasi yang sangat tinggi karena mesh pada domain komputasi harus dibangun dengan resolusi yang sangat tinggi. Baik LES maupun DNS, keduanya tidak praktis digunakan dalam aplikasi teknis secara umum karena kebutuhan daya komputasinya yang sangat besar. Berdasarkan uraian di atas, persamaan turbulensi yang cukup efisien dalam hal waktu komputasi adalah Spalart-Allmaras. Variabel transpor di dalam SpalartAllmaras ( ), adalah sama untuk viskositas kinematik turbulen kecuali di daerah dekat dinding. Persamaan transpor untuk ditunjukkan pada persamaan 9. Viskositas turbulen, t, dihitung = ….. (10) fungsi damping viskos, persamaan: = merupakan persamaan: dari: + fraksi mol, , didapat dari ….. (11) didapat dari …..(12) Produksi turbulen, berikut: , dimodelkan sebagai = ….. (13) + dan =1 ….. (14) 1+ ….. (15) Cb1 dan adalah konstanta, d merupakan jarak dari dinding, dan S merupakan ukuran skalar dari perubahan tensor. Destruksi turbulen dimodelkan sebagai berikut: = ….. (16) 13 = = konstanta : • • • • • • • / 1+ + = +( + (1 + ) ) ….. (17) ….. (18) …..(19) ….. (20) Tabel 4 Kategori aliran turbulen di sekitar silinder Cb1 = 0.1355 Cb2 = 0.622 = Cv1 = 7.1 Cw2 = 0.3 Cw3 = 2 = 0.4187 Bilangan Reynolds 300 < Re < 3× 105 3×105 < Re < 3.5×105 3.5×105< Re < 1.5×106 Suatu aliran di sekitar benda dikatakan turbulen apabila bilangan Reynolds (Re) > 4000 (Frisch 1995). Persamaan matematis untuk menentukan bilangan Reynolds adalah sebagai berikut: = ….. (21) merupakan bilangan Reynolds, merupakan densitas udara (kg m-3), merupakan kecepatan angin (m det-1), merupakan diameter cerobong (m) dan merupakan viskositas dinamik udara (kg m-1 det-1). Tabel 3 Kategori aliran berdasarkan bilangan Reynolds Bilangan Reynolds Re < 2300 2300 < Re < 4000 Re > 4000 Sumber: Rott 1990 dengan adanya turbulensi, polutan akan lebih cepat bercampur dengan udara kemudian akan tercampur dan terdispersi sehingga konsentrasi polutannya akan menjadi lebih rendah. Selain itu, bilangan Reynolds juga akan mempengaruhi pola aliran yang terbentuk di sekitar permukaan silinder dalam hal ini adalah permukaan cerobong. Beberapa fenomena yang dipengaruhi oleh bilangan tersebut antara lain adalah terbentuknya vortex dan terjadinya variasi drag coefficient. Kategori Aliran Laminar Transisi Turbulen Menurut Sumer dan Fredsoe (2006), aliran turbulen di sekitar silinder dapat dikategorikan kembali ke dalam beberapa kriteria (Tabel 4). Besarnya bilangan Reynolds berpengaruh terhadap terjadinya turbulensi pada aliran tersebut. Semakin besar bilangan Reynolds, maka aliran tersebut akan semakin turbulen, dan sebaliknya. Turbulensi cukup penting peranannya dalam penyebaran dan pencampuran polutan di udara karena 1.5×106< Re < 4×106 4 × 106 < Re Kategori Aliran Subcritical Critical (Lower Transition) Supercritical Upper Transition Transcritical Semakin besar bilangan Re pada suatu aliran, maka akan semakin besar pula terbentuknya vortex di dalam aliran tersebut, dan sebaliknya. Vortex dapat terjadi pada aliran dengan bilangan Re > 40. Pada kondisi ini, permukaan lapisan batas akan terpisah oleh adanya gradien tekanan balik yang terbentuk akibat geometri yang divergen dari aliran disisi belakang silinder sehingga akan membentuk suatu lapisan geser. Selain itu, pada permukaan lapisan geser tersebut juga akan terbentuk vortisitas yang cukup besar. Vortisitas ini menyebabkan lapisan geser tersebut menggulung sehingga membentuk vortex (Sumer dan Fredsoe 2006). Hal tersebut secara skematis diilustrasikan pada Gambar 7. Gambar 7 Skema separasi aliran di sekitar silinder 14 Drag coefficient ( ) merupakan suatu besaran tanpa satuan yang digunakan untuk mengukur gaya hambat (drag) dari sebuah objek dalam lingkungan fluida seperti air dan udara (Hoerner 1965). Besaran ini juga dapat menunjukkan karakteristik aerodinamis suatu benda jika dilalui aliran fluida. Persamaannya adalah sebagai berikut: ….. (22) keterangan : A = gaya hambat (drag force) = massa jenis fluida (kg m-3) = kecepatan angin (m det-1) = luas penampang (m2) CD bukan merupakan konstanta melainkan nilainya bervariasi terhadap kecepatan, bentuk benda, ukuran benda, densitas fluida, dan viskositas fluida. CD juga merupakan fungsi Re, oleh karena itu dalam beberapa penelitian, suatu aliran fluida dengan besaran CD tertentu pada bilangan Reynolds yang sama sering digunakan sebagai besaran pembanding dengan penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya untuk melakukan validasi, melihat apakah simulasi yang telah dibuat sudah benar. 2.6.4 Persamaan Transpor Spesies Selain turbulensi, hal penting dalam dispersi polutan adalah persaman transport untuk setiap jenis polutan. Hal tersebut memerlukan persamaan kekekalan spesies kimia sebagai berikut: ( ) , , = FD Persamaan fluks difusi, ( ), pada aliran turbulen dapat dimodelkan sebagai berikut: + + ….. (23) merupakan rasio produksi spesies i oleh reaksi kimia, adalah rasio pembentukan dari fase dispersi dan penambahan dari sumber lain (ditentukan oleh pengguna). merupakan fluks difusi dari spesies i (SO2 dalam penelitian ini) yang timbul karena adanya gradien konsentrasi (kg m-2 det-1). Penelitian ini tidak menggunakan reaksi kimia sehingga dari persamaan tersebut ditiadakan. + ….. (24) adalah koefisien difusi massa (m2 det-1), adalah angka turbulen Schmidt ( , adalah viskositas turbulen dan difusivitas turbulen). Nilai default 0.7. adalah adalah 2.6.5 Model Perpindahan Panas (Heat Transfer) Dispersi polutan juga dipengaruhi oleh aliran energi termal. Perbedaan suhu antara molekul yang satu dengan yang lain menyebabkan terjadinya perbedaan kerapatan massa molekul. Semakin tinggi suhu molekul, maka kerapatan massanya akan semakin kecil (renggang), sedangkan semakin rendah suhu molekul, maka kerapatan massanya akan semakin besar (rapat). Perbedaan kerapatan massa tersebut akan menimbulkan terjadinya pergerakan dari molekul yang memiliki kerapatan massa yang lebih besar ke molekul yang memiliki kerapatan massa yang lebih kecil. Aliran energi termal dari suatu zat yang menempati suatu daerah di lapisan udara ke suatu daerah lapisan udara lainnya dikenal dengan sebutan perpindahan panas (heat transfer). Perpindahan panas dapat terjadi dengan tiga metode, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Fluent memecahkan persamaan energi dalam bentuk persamaan matematis yang ditunjukkan pada persamaan 27. Pada persamaan energi tersebut, nilai E adalah sebagai berikut: = + 2 ….. (25) merupakan energi total (Joule), merupakan tekanan (Pa), sedangkan sensible enthalpy, h, ditentukan untuk gas ideal sebagai berikut: = ….. (26) 15 ( +) = + . + ….. (27) keterangan: = konduktivitas yang berlaku (k+kt ,, kt merupakan konduktivitas termal turbulen, ditentukan berdasarkan model turbulen yang sedang digunakan) = fluks difusi dari spesies j (kg m-2 det-1) = panas dari reaksi kimia yang terjadi, dan sumber-sumber panas volumetrik lainnya yang telah ditentukan oleh pengguna. kemudian untuk kondisi aliran inkompresibel, nilai h ditentukan sebagai berikut: = + , ….. (33) merupakan konduktivitas panas (W m-1 K-1). Bilangan Rayleigh jika kurang dari 108 mengindikasikan bahwa aliran tersebut laminar, sedangkan alirannya turbulen jika angkanya berkisar antara 108 < Ra < 1010. ….. (29) merupakan kapasitas panas (Joule kg-1 K) dan nilai adalah sebesar 298.15 K. 1 = ….. (28) adalah fraksi massa dari spesies j, dan adalah sebagai berikut: = dan merupakan difusivitas panas (m2 det-1), yang dirumuskan sebagai berikut: , III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Gaya buoyancy dalam aliran konveksi campuran dapat ditentukan dengan membandingkan antara Grashof dan bilangan Reynolds sebagai berikut: = ….. (30) 3.2 Bahan dan Alat merupakan bilangan Grashof, merupakan koefisien pemuaian panas (K-1), dan merupakan skala panjang (m). Dalam kondisi konveksi alami, kekuatan dari aliran buoyancy-induced dapat ditentukan dengan bilangan Rayleigh sebagai berikut: = Nilai dapat ditentukan persamaan sebagai berikut: = Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB serta Laboratorium AeroGasdinamika dan Getaran (LAGG), BPPT dari bulan Juni-Oktober 2009. 1 ….. (31) menggunakan ….. (32) 3.2.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu berupa data fisik cerobong, data kadar emisi (Q),dengan studi kasus PLTU Suralaya (Lampiran 1). Sebagai pembanding digunakan data sampling konsentrasi SO2 ambien di dua lokasi yaitu perumahan Suralaya dan Lebak Gede. 3.2.1.1 Data Fisik Cerobong Data ini meliputi ketinggian cerobong (m), diameter cerobong bagian atas (m), kecepatan aliran gas dalam cerobong (m s-1), dan suhu gas (ºC). Data fisik cerobong yang 16 Tabel 5 Data fisik cerobong Keterangan Kapasitas (MW) Waktu Operasi (jam tahun-1) Efisiensi Produksi (%) Jenis Bahan Bakar Konsumsi (ton jam-1) Tinggi (m) Diameter Dalam (m) Suhu Gas (oC) Kecepatan Gas Keluar (m det-1) digunakan pada penelitian ini adalah data cerobong pada unit 1-4 (Tabel 5). 3.2.1.2 Data Klimatologi Simulasi penyebaran SO2 yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data klimatologi pada tanggal 5 Mei 2005 yang didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Serang, Banten. Data klimatologi tersebut antara lain: • • • Suhu rata-rata harian: 28.2 oC Kecepatan angin rata-rata : 2.5 m det-1 Arah angin terbanyak : 225º Tanggal 5 Mei 2005 dipilih dengan pertimbangan bahwa pada tanggal tersebut arah angin rata-rata berhembus menuju ke arah 225º (barat daya). Arah tersebut kurang lebih sama dengan lokasi pengukuran sampling polutan SO2 yaitu perumahan Suralaya dan Lebak Gede yang letaknya di sebelah barat daya PLTU Suralaya. Hal tersebut dimaksudkan agar pembandingan data hasil simulasi dengan data hasil pengukuran lapang yang nantinya dilakukan akan menjadi lebih realistis. 3.2.1.3 Data Validasi dan Pembanding Data validasi dan pembanding yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data validasi untuk model geometri dan data pembanding untuk hasil simulasi. a. Data Validasi untuk Model Geometri Validasi kondisi aliran di dalam model geometri dilakukan untuk melihat apakah aliran tersebut sudah memenuhi kriteria mendekati kondisi sebenarnya. Selain itu, validasi juga dilakukan dengan tujuan mengetahui apakah model yang telah dibuat Cerobong 400 7446 34.8 batubara 170 200 5.5 130 20 terdapat kesalahan yang nantinya dapat berdampak pada keakuratan hasil dari komputasi yang akan dilakukan. Besaran yang digunakan sebagai validasi adalah nilai drag coefficient (CD) pada bilangan Reynolds (Re) yang mendekati sama dengan penelitian sebelumnya. Perhitungan bilangan Reynolds pada penelitian ini adalah sebagai berikut: = 1.225 × 3.7634 × 5.5 = 1.4 × 10 1.7894 × 10 b. Data Pembanding untuk Hasil Simulasi Data pengukuran lapang yang digunakan sebagai pembanding adalah data hasil pengukuran kualitas udara emisi SO2 di cerobong PLTU Suralaya serta data hasil pengukuran SO2 di udara ambien yang dilakukan di sekitar daerah Suralaya yaitu perumahan Suralaya dan Lebak Gede pada tahun 2005. 3.2.2 Alat 1. 2. 3. 4. Seperangkat alat komputer Microsoft Office 2007 GAMBIT versi 2.2.30 Fluent versi 6.3.26 3.3 Perhitungan Kadar Emisi SO2 dari Cerobong Perhitungan kadar emisi SO2 (Q) dihitung menggunakan nilai faktor emisi (emission factor) sesuai dengan standar EPA. Perhitungan faktor emisi untuk SO2 adalah sebagai berikut (Nevers 2000): Faktor emisi = kadar sulfur × faktor pengali = 0.3 × 38 = 11.4 lb ton-1 17 Nilai kadar sulfur tersebut didapat dari data pengukuran lapang yang dilakukan oleh Ruhiyat (2009) yaitu sebesar 0.3% sedangkan nilai faktor pengali merupakan nilai standar yang ditetapkan EPA untuk kandungan SO2 dalam pembakaran batubara. Setelah mendapatkan nilai faktor emisi, kadar emisi SO2 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: karena pada daerah tersebut banyak terjadi gangguan (gradien tinggi). Semakin menjauhi benda padat, ukuran grid akan semakin besar (Blocken et al. 2006 dan Baik et al. 2003). Q = faktor emisi × konsumsi batubara = 11.4 lb ton-1× 170 ton jam-1 = 1938 lb jam-1 = 0.24418 kg det-1 Gambar 8 Model geometri simulasi 3.4 Langkah Kerja Penelitian Pada penelitian ini simulasi dilakukan dengan menggunakan dua perangkat lunak untuk memecahkan permasalahan, yaitu perangkat lunak Gambit dan Fluent. Langkah pengerjaan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Membuat geometri dan mesh Pemodelan geometri pada simulasi ini berbentuk balok berdimensi (x, y, z) 4800 m, 250 m, 800 m dan sebuah cerobong dengan bentuk silinder di dalamnya dengan tinggi 200 m dan diameter 5.5 meter (Gambar 8). Keterangan diagram kartesian pada hasil simulasi menunjukkan bahwa arah x merupakan arah downwind (searah aliran angin) dan arah y merupakan arah crosswind (tegak lurus terhadap arah datang angin). Jarak 4800 m ke arah x ditentukan berdasarkan adanya pemukiman pada jarak 2900 m. Selain itu, pada jarak 4800 m tersebut (daerah outflow) dianggap alirannya sudah tidak terganggu (undisturbed flow), demikian pula pada batasan wilayah ke arah y dan z serta jarak antara velocity inlet dengan cerobong. Selain itu, untuk batasan wilayah 800 m ke arah z, jarak tersebut dianggap cukup untuk melihat bentukan kepulan dan sebaran SO2, begitu pula dengan batasan wilayah 250 m ke arah y dianggap sudah dapat mewakili sebaran gas SO2. Setelah model geometri dengan batasan-batasan tersebut telah dibuat, maka geometri tersebut harus diberikan grid (meshing). Pengaturan ukuran grid pada geometri dilakukan dengan mempertimbangkan lamanya waktu komputasi sehingga ukuran grid yang halus hanya difokuskan pada daerah yang vital saja yaitu daerah yang berada dekat dengan benda padat (cerobong dan tanah) Selain itu, penghematan waktu komputasi juga dilakukan dengan cara memberikan kondisi batas simetri pada daerah centerface (searah sumbu x), komputasi hanya dilakukan pada sebagian daerah model saja sehingga dapat menghemat waktu sampai dengan 50% (Lampiran 2a). Hal tersebut dapat dilakukan karena angin yang mengalir di dalam model tersebut membentuk sudut serang 0º atau paralel terhadap sumbu x sehingga fenomena yang terjadi di sebelah kanan ataupun kiri simetri akan sama. Oleh karena itu, pada penelitian ini komputasi hanya dilakukan pada daerah di sebelah kiri saja. Sebelum geometri tersebut dimasukkan ke dalam Fluent, mesh yang telah dibuat harus diperiksa terlebih dahulu. Salah satu tipe kualitas yang dapat dipakai sebagai rujukan apakah mesh yang telah kita buat sudah baik atau tidak adalah dengan melihat nilai equiangle skew yang nilainya tidak boleh melebihi dari 0.9 (Tuakia 2008). Pada penelitian ini, nilai equiangle skew dari mesh yang telah dibuat adalah sebesar 0.85 yang artinya mesh yang telah dibuat sudah cukup baik dan dapat diproses selanjutnya di dalam Fluent. 2. Memilih solver Pada saat membuka Fluent, terdapat pilihan untuk menggunakan solver 2D atau 3D dengan presisi tunggal atau presisi ganda (single precision atau double precision). Pada penelitian ini digunakan Solver 3D dengan keakuratan double precision. 3. Mengimpor dan memeriksa grid Grid model yang dibuat di dalam GAMBIT diimpor dalam bentuk mesh file kemudian di dalam Fluent diperiksa kembali 18 apakah grid tersebut masih terdapat kesalahan atau tidak. 4. Memilih formulasi Solver Fluent menyediakan tiga formulasi solver antara lain: • Pressure Based • Density Based implicit • Density Based explisit Pada penelitian ini formulasi solver yang digunakan adalah Pressure Based Solver dengan rincian sebagai berikut: • Solver • Space • Velocity formulation • Formulation • Time • Gradient option • Porous formulation : pressure-based : 3D : absolute : implicit : steady : green gauss cell based : superficial velocity 5. Menentukan model dan persamaan dasar Pada Fluent terdapat berbagai model dan persamaan dasar yang dapat dipilih sesuai dengan kasus yang akan dianalisis. Pada penelitian ini digunakan beberapa persamaan yaitu viskositas (Spalart-Almarass), transpor spesies tanpa reaksi kimia, dan perpindahan panas secara konveksi. Persamaan turbulensi Spalart-Allmaras dipilih dengan pertimbangan bahwa persamaan ini membutuhkan daya komputasi yang lebih kecil dibandingkan dengan model turbulensi lainnya sehingga dapat menghemat waktu komputasi. Rincian penentuan model dan persamaan dasar pada Fluent adalah sebagai berikut: 1. Persamaan viskositas • Model • Options : Spalart-Allmaras : vorticity based production • Model : spesies transport • Mixture Template ü Mixture species : SO2 dan udara ü Density : incompressible ideal gas ü Cp : mixing law ü Thermal conductivity : ideal gas mixing law ü Viscosity : ideal gas mixing law ü Mass diffusivity : constant dilute appx 3. Menentukan kondisi operasi (operating conditions) Kondisi operasi yang harus ditentukan antara lain: • Tekanan : 1 atm • Percepatan gravitasi : -9.8 m det-2 • Suhu operasi : rata-rata suhu dari masingmasing kestabilan atmosfer 4. Menentukan material Fluida yang digunakan dalam penelitian ini adalah udara dan SO2 pada kondisi STP dengan sifat fisik masing-masing (Tabel 6). 5. Menentukan kondisi batas (boundary condition) Pada penelitian ini, diperlukan informasi mengenai variabel pada domain geometri dan informasi tersebut harus dimasukkan ke dalam kondisi batas (Lampiran 3). Penentuan kondisi batas tersebut antara lain : Velocity Inlet Adalah daerah inputan untuk data profil angin dan suhu. Pada kondisi batas ini dimasukkan nilai-nilai sebagai berikut: • Momentum ü Velocity specification method ü Reference frame ü X-velocity (m/s) ü Y-velocity (m/s) ü Z-velocity (m/s) : components : absolute : profil angin manual :0 :0 2. Persamaan transpor spesies Tabel 6 Karakteristik udara dan SO2 Keterangan Suhu (oC) Konduktivitas Panas (W m-1 K-1) Viskositas (kg m-1 s-1) Kerapatan (kg m-3) SO2 130 0.0104 1.2 × 10-5 2.77 Udara Bervariasi 0.025 1.7894 × 10-5 1.225 19 ü Turbulence vSpecification method vTurbulent viscosity ratio • Termal ü Suhu • Spesies ü Fraksi massa SO2 Wall : turbulent viscosity ratio : 0.1 (konstan) : profil suhu manual Adalah daerah batasan model yang berbentuk padat (tanah dan cerobong). Nilai pada kondisi batas ini dikondisikan default. Symmetry Adalah daerah yang alirannya terbebaskan (tidak ada halangan). Pada kondisi batas ini tidak perlu memasukkan nilai tertentu. 6. :0 Mass Flow Inlet Adalah daerah tempat dimana keluarnya emisi SO2 (daerah muka cerobong bagian atas). Pada kondisi batas ini dimasukkan nilai-nilai sebagai berikut: • Momentum ü SO2 flow rate : 0.24418 kg det-1 ü Supersonic gauge pressure : 0 ü Direction specification method : direction vector ü Reference Frame : absolute ü Coordinate system vX-component of flow direction = 0 vY-component of flow direction = 0 vZ-component of flow direction = 1 ü Turbulence vSpecification method : turbulent viscosity ratio vTurbulent viscosity ratio : 0.1 (konstan) • Termal ü Suhu : 130 ºC • Spesies ü Fraksi massa SO2 : 0.003 Solusi kontrol Pada saat menentukan kriteria solusi kontrol dalam Fluent, ditentukan nilai-nilai sebagai berikut: • Pressure velocity coupling : SIMPLE • Under Relaxation Factor (URF) ü Pressure ü Density ü Body force ü Momentum ü Modified turbulent viscosity ü Turbulent viscosity ü SO2 ü Energi : 0.3 :1 :1 : 0.3 : 0.8 :1 :1 :1 • Diskretisasi ü Pressure ü Momentum ü Modified turbulent viscosity ü SO2 ü Energi : second order upwind : second order upwind : second order upwind : second order upwind : second order upwind 7. Inisialisasi medan aliran Sebelum memulai perhitungan atau menjalankan program, hal yang harus lebih dahulu dilakukan adalah melakukan inisialisasi. Inisialisasi merupakan dugaan awal pada kondisi batas mana kita akan memulai perhitungan. 8. Outflow Adalah batas terluar downwind. Pada penelitian ini terdapat dua outflow yang pada masing-masing kondisi batas tersebut dimasukkan nilai flow rate weighting sebesar 0.5. Melakukan perhitungan atau iterasi Pada proses perhitungan, terlebih dahulu yang dilakukan adalah menentukan kriteria konvergensi, yaitu kesalahan atau perbedaan antara dugaan awal dan hasil akhir yang dilakukan oleh Fluent pada masingmasing persamaan yang digunakan. Setelah itu, barulah tentukan jumlah iterasi model yang akan dilakukan. Fluent akan berhenti melakukan iterasi ketika telah konvergen atau ketika mencapai jumlah iterasi. 20 9. Output program Hasil keluaran dari Fluent diantaranya dapat berupa kontur, vector, pathline dan particle track. Pada penelitian ini penggambaran output akan ditampilkan dalam bentuk kontur tiga dimensi. Kontur konsentrasi SO2 hasil simulasi, diatur skalanya dengan konsentrasi maksimumnya sebesar 365 µg m-3 atau sama dengan 5.703125 × 10-9 kmol m-3. Nilai tersebut merupakan nilai ambang batas polutan SO2 berada di udara ambien. Konversi satuan konsentrasi SO2 hasil simulasi Fluent ditunjukkan pada contoh perhitungan sebagai berikut: 1 = 10 × 64 3.5 Asumsi Model × 10 = 6.4 × 10 × Sehubungan dengan adanya berbagai keterbatasan, maka pada penelitian ini digunakan asumsi sebagai berikut : 1. Simulasi dilakukan pada kondisi steady state 2. Topografi daerah kajian dianggap datar 3. Sumber emisi hanya berasal dari PLTU Suralaya Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4. antara penelitian yang satu dengan yang lainnya dalam kasus aliran fluida pada kasus yang sama. Salah satu besaran yang sering digunakan sebagai pembanding antara model yang satu dengan yang lainnya, khususnya pada kasus aliran disekitar silinder adalah drag coefficient (CD). Pada saat pembandingan, model yang dibandingkan harus memiliki bilangan Reynolds yang relatif sama. Perhitungan besaran tersebut dilakukan di dalam Fluent yang di dalamnya tersedia pilihan untuk menghitung drag coefficient tersebut. Hasil perhitungan CD pada penelitian ini adalah 0.304, perbandingannya dengan hasil pada beberapa eksperimen dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai CD pada simulasi saat ini dengan bilangan Reynolds sebesar 1.4 × 106 masih berada diantara beberapa hasil eksperimen lainnya dan hasilnya cukup mendekati. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dibuat sudah cukup baik untuk dapat digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. 4.2 Kecepatan Aliran di Sekitar Cerobong Hasil simulasi aliran yang terjadi di sekitar silinder (mulut cerobong) ditunjukkan pada Gambar 9. Gradasi warna di sebelah kiri kontur menunjukkan nilai dari kecepatan angin (m det-1). Semakin merah warna kontur, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Aliran di Dalam Model Aliran yang terjadi di dalam simulasi ini merupakan aliran turbulen. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bilangan Reynolds pada aliran tersebut yaitu sebesar 1.4 × 106. Bilangan ini cukup penting karena selain dapat menunjukkan suatu aliran turbulen atau tidak, bilangan ini juga dapat dijadikan patokan oleh peneliti untuk membandingkan Gambar 9 Kontur kecepatan angin di sekitar cerobong hasil simulasi Tabel 7 Nilai CD dari beberapa eksperimen Re 1.4×106 Eksperimen Simulasi saat ini Persamaan Turbulen 3D Spalart-Allmarass 1×106 Catalano et al. Catalano et al. Singh dan Mittal. Shih et al. Zdravkovich 3D LES Unsteady RANS 2D LES Tidak Diketahui Tidak Diketahui CD 0.404 0.310 0.410 0.591 0.240 0.17-0.40 21 maka kecepatan anginnya semakin tinggi sedangkan semakin biru warna kontur, maka kecepatan anginnya akan semakin rendah. Pada simulasi tersebut, tidak ada material lain yang keluar dari cerobong, melainkan hanya udara yang berasal dari velocity inlet yang mengalir searah sumbu x. Hasil simulasi tersebut jika dibandingkan dengan hasil penelitian Catalano et al (2003) dengan bilangan Reynolds sebesar 1 × 106, kontur kecepatan angin yang terbentuk menunjukkan bentuk yang hampir sama, terlebih pada penelitian dengan menggunakan persamaan turbulensi LES (Gambar 10). Perbedaan bentuk kontur terjadi karena masing-masing persamaan turbulensi yang digunakan memiliki akurasi yang berbeda-beda. Selain itu, kerapatan grid pada masing-masing penelitian juga akan mempengaruhi keakuratan hasil sehingga akan terjadi perbedaan bentuk kontur. Semakin rapat suatu grid pada suatu model, waktu komputasi yang dibutuhkan akan lebih lama tetapi hasilnya akan semakin akurat. Sebaliknya jika grid dari suatu model tidak begitu rapat, maka waktu komputasi yang dibutuhkan juga akan lebih sedikit dan hasil yang didapat akan berkurang keakuratannya. Gambar 10 Kontur kecepatan angin dengan menggunakan dua persamaan turbulensi URANS dan LES (Catalano et al. 2003) Seperti diketahui sebelumnya, aliran yang terjadi pada penelitian ini termasuk ke dalam aliran turbulen (supercritical) dan kecepatannya mengalami fluktuasi yang cukup besar. Aliran mengalami fluktuasi ketika menyentuh silinder dan terjadi pemisahan aliran secara paksa secara simetris ke arah kanan dan kiri (Gambar 11). Pada titik tengah silinder terjadi stagnasi sehingga aliran di daerah tersebut berkurang kecepatannya (ditunjukkan oleh warna kuning). Lain halnya dengan aliran di samping silinder, terjadi peningkatan kecepatan aliran (ditunjukkan oleh warna ungu) sehingga di daerah tersebut terbentuk lapisan geser yang nantinya akan menimbulkan vortex (putaran aliran) di daerah belakang silinder. Pola pembentukan vortex sangat bergantung pada bilangan Reynolds dari aliran itu sendiri. Gambar 11 Pembentukan vortex dan titik pemisahan aliran (B) pada aliran supercritical (Sumer dan Fredsoe 2006) Menurut Sumer dan Fredsoe (2006), pembentukan vortex pada aliran supercritical di sekitar silinder terjadi pada titik B dan pembentukan vortex tersebut terjadi di kedua sisi silinder (Gambar 11). Hal tersebut sesuai dengan hasil simulasi (Gambar 12), vortex mulai terbentuk di kedua sisi silinder (ditunjukkan oleh warna pink) pada titik yang letaknya sama dengan titik B tersebut. Gambar 12 Hasil simulasi kontur pembentukan vorticity pada arah x di sekitar cerobong Separasi aliran yang terjadi pada lapisan batas (boundary layer) di kedua sisi silinder tersebut merupakan aliran turbulen, tetapi transisi menuju aliran turbulen di dalam lapisan batas belum terbentuk sepenuhnya. Daerah transisi tersebut terletak diantara titik stagnasi (stagnation point) dan titik pemisahan (separation point) (Sumer dan Fredsoe 2006). 4.3 Hasil Simulasi Penyebaran Gas SO2 pada Setiap Stabilitas Atmosfer Hasil simulasi sebaran konsentrasi SO2 mengunakan Fluent pada beberapa stabilitas atmosfer digambarkan dalam bentuk kontur dengan berbagai gradasi warna. Warna merah 22 menunjukkan konsentrasi SO2 paling tinggi kemudian semakin ke bawah konsentrasinya akan semakin menurun dan konsentrasi paling rendah ditunjukkan oleh warna biru. 4.3.1 Kondisi Stabil Atmosfer Sangat Tidak Pada kondisi stabilitas ini, polutan SO2 terdispersi ke arah downwind, kemudian menurun dan jatuh ke permukaan tanah pada jarak 1000 m. Selanjutnya, polutan kembali naik dan turun ke arah downwind. Jika dilihat ke arah crosswind, polutan SO2 juga terdispersi ke arah tersebut, melebar sampai dengan batas model sebelum akhirnya turun menuju permukaan tanah. Bentuk kepulan yang terjadi pada stabilitas ini membentuk pola looping. Polutan SO2 cenderung turun pada jarak yang tidak terlalu jauh dikarenakan kecepatan angin horizontal rata-rata pada kondisi atmosfer ini relatif rendah yang menyebabkan angin tidak dapat membawa polutan terlalu jauh, ditambah lagi dengan adanya konveksi dan gerak vertikal yang kuat sehingga polutan dengan cepat menyebar ke arah vertikal dan horizontal. Nilai konsentrasi SO2 pada kondisi atmosfer ini masih jauh di bawah ambang batas udara ambien dengan nilai maksimum sebesar 5 µg m-3 pada permukaan tanah (Lampiran 5a). (c) Gambar 13 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 4.3.2 Kondisi Atmosfer Tidak Stabil Berdasarkan hasil simulasi pada kondisi atmosfer tidak stabil, sebaran SO2 pada kondisi atmosfer ini hampir sama dengan kondisi atmosfer sebelumnya karena nilai profil kecepatan anginnya sama dengan nilai profil angin pada kondisi atmosfer sebelumnya sehingga polutan jatuh di permukaan tanah pada jarak yang sama. Begitu juga dengan bentuk kepulan yang terjadi cenderung bertipe looping. Perbedaannya adalah pada kondisi atmosfer ini nilai lapse rate-nya lebih kecil sehingga gaya vertikalnya tidak sekuat sebelumnya. Hal itu mengakibatkan polutan yang jatuh cenderung menyusuri tanah sehingga nilai konsentrasi SO2 di permukaan tanah lebih kecil. Konsentrasi SO2 pada kondisi atmosfer ini masih di bawah ambang batas udara ambien dengan nilai maksimum sebesar 4.83 µg m-3 pada permukaan tanah (Lampiran 5b). (a) (a) (b) (b) 23 (c) (b) Gambar 14 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 4.3.3 Kondisi Ringan Atmosfer Tidak Stabil Pada hasil simulasi kondisi atmosfer tidak stabil ringan, polutan SO2 akan lebih jauh terbawa oleh angin karena kecepatan angin pada kondisi atmosfer ini lebih tinggi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Polutan terdispersi ke arah downwind, sedikit menaik kemudian kembali turun dan menyentuh permukaan tanah pada jarak sekitar 1500 m dari cerobong. Setelah menyentuh tanah, polutan tersebut kembali naik dan turun sepanjang arah downwind, tetapi pergolakannya tidak sebesar pada simulasi sebelumnya karena pada kondisi atmosfer ini gaya vertikal ke atas tidak sekuat pada kondisi atmosfer sebelumnya. Pergerakan polutan juga terjadi ke arah crosswind ketika SO2 sudah mulai menyentuh tanah, melebar ke bagian kiri dan kanan model sampai menyentuh batas. Bentukan kepulan yang terjadi juga hampir sama dengan dua simulasi sebelumnya yaitu membentuk pola looping dengan konsentrasi SO2 maksimum pada simulasi ini adalah sebesar 3.69 µg m-3 pada permukaan tanah (Lampiran 5c). Nilai tersebut juga masih berada jauh di bawah ambang batas udara ambien. (c) Gambar 15 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer tidak stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 4.3.4 Kondisi Atmosfer Netral Berdasarkan hasil simulasi kondisi atmosfer netral, polutan SO2 terdispersi lebih jauh lagi ke arah downwind sampai dengan jarak sekitar 1700 m (akibat dari kecepatan angin yang lebih tinggi) sebelum akhirnya jatuh ke permukaan tanah. Selain itu, polutan juga tersebar ke arah crosswind, tetapi tidak terlalu melebar sepanjang polutan berada di udara, melainkan ketika jatuh ke permukaan tanah, polutan melebar sampai dengan batas model bagian kiri dan kanan. Pada kondisi atmosfer netral, konsentrasi SO2 maksimum pada permukaan tanah adalah sebesar 4.11 µg m-3 (Lampiran 6a) dengan bentuk kepulan yang terjadi pada kondisi atmosfer ini cenderung bertipe conning. Nilai tersebut juga masih jauh di bawah ambang batas udara ambien. (a) (a) 24 tersebut masih sangat jauh berada di bawah ambang batas udara ambien. (b) (a) (c) Gambar 16 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer netral (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas (b) 4.3.5 Kondisi Atmosfer Stabil Ringan Berbeda halnya dengan beberapa simulasi sebelumnya, pada simulasi kali ini sebaran SO2 cenderung stabil. Polutan SO2 terbawa oleh angin ke arah downwind sampai melebihi batas model dengan konsentrasi yang relatif kecil karena telah tercampur dengan udara pada jarak yang jauh. Jarak polutan ketika mulai jatuh ke permukaan tanah cukup jauh yaitu pada jarak sekitar 2400 m dari cerobong sedangkan untuk sebaran ke arah crosswind, sebaran polutan juga cenderung stabil, tidak melebar terlalu jauh dibandingkan dengan beberapa simulasi sebelumnya sehingga bentuk kepulan yang terjadi pada kondisi atmosfer ini cenderung bertipe fanning. Pada kondisi atmosfer ini, polutan cenderung akan tetap berada pada ketinggian posisi awalnya dia berada. Naiknya suhu dengan bertambahnya ketinggian (inversi) dan gaya vertikal yang lemah membuat polutan cenderung tidak dapat naik ataupun turun secara signifikan, melainkan sangat dipengaruhi oleh angin yang pada kondisi atmosfer ini variasi kecepatan anginnya cukup besar sehingga polutan terbawa sangat jauh. Kecepatan angin yang tinggi membuat konsentrasi SO2 semakin cepat berkurang. Hasil perhitungan Fluent terhadap konsentrasi SO2 yang berada di permukaan tanah adalah sebesar 0.006 µg m-3 (Lampiran 6b). Nilai (c) Gambar 17 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 4.3.6 Kondisi Atmosfer Stabil Bentuk sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil hampir sama dengan bentuk sebaran SO2 pada simulasi sebelumnya yaitu kenaikan ataupun penurunan sebaran polutan tidak terjadi secara signifikan (stabil). Polutan tersebut terbawa oleh angin sangat jauh ke arah downwind sampai melewati batas model sehingga polutan baru jatuh ke permukaan tanah pada jarak 3500 m dari cerobong. Bentuk sebaran SO2 tersebut dapat terjadi dikarenakan pada kondisi atmosfer stabil, tidak ada pencampuran secara vertikal (vertical mixing), inversi kuat, dan turbulensi mekanik yang kecil. Bentuk kepulan yang terjadi pada kondisi atmosfer ini cenderung bertipe fanning. 25 Kecepatan angin pada kondisi atmosfer ini lebih tinggi dari simulasi sebelumnya sehingga dapat dilihat pada Gambar 18, bahwa konsentrasi SO2 mulai dari daerah cerobong sudah sangat rendah nilainya dan kembali berkurang setelah terbawa angin. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi atmosfer ini konsentrasi SO2 lebih cepat berkurang konsentrasinya akibat dari kecepatan angin yang tinggi sedangkan untuk konsentrasi SO2 maksimum pada permukaan tanah nilainya jauh lebih kecil lagi yaitu sebesar 6× 10-4 µg m-3 (Lampiran 6c). Nilai tersebut tentu saja masih sangat jauh di bawah ambang batas udara ambien. (a) (b) (c) Gambar 18 Kontur sebaran SO2 pada kondisi atmosfer stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas 4.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi Menggunakan Fluent dan Pengukuran Lapang SO2 Hasil Konsentrasi emisi SO2 hasil simulasi pada setiap kondisi atmosfer memiliki nilai yang berbeda-beda (Tabel 9). Lain halnya pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil dan tidak stabil, hasil simulasi menunjukkan konsentrasi SO2 memiliki nilai yang hampir sama. Hal ini dikarenakan profil kecepatan angin yang terdapat pada kedua kondisi atmosfer tersebut memiliki profil yang sama sedangkan untuk kondisi atmosfer lainnya dengan konsentrasi SO2 yang memiliki nilai berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan profil kecepatan angin pada setiap kondisi atmosfernya. Semakin kestabilan atmosfer tersebut menuju kondisi stabil, maka profil kecepatan anginnya memiliki range yang lebih besar sehingga kecepatan angin di setiap ketinggiannya akan lebih tinggi. Perbedaan profil kecepatan angin itu sendiri berpengaruh terhadap penyebaran konsentrasi SO2 tersebut. Semakin tinggi kecepatan angin, maka konsentrasi SO2 akan semakin rendah akibat terdispersi. Sebaliknya, semakin rendah kecepatan angin, maka konsentrasi SO2 tidak akan banyak berkurang nilainya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi (2009) yang melakukan pengukuran konsentrasi polutan dari sumber garis dengan menggunakan model Gaussian dan didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan yang dihasilkan semakin rendah. Konsentrasi SO2 hasil perhitungan Fluent nilainya cukup mendekati dengan hasil pengukuran lapang yang dilakukan di atas cerobong. Pengukuran konsentrasi SO2 di lapangan nilainya paling dekat dengan nilai simulasi menggunakan Fluent pada keadaan atmosfer tidak stabil sehingga dapat diperkirakan pengukuran lapang dilakukan pada saat kondisi atmosfer tidak stabil (Tabel 8). Selama beberapa periode, hasil pengukuran lapang di cerobong menunjukkan bahwa nilai konsentrasi SO2 masih di bawah ambang batas yaitu sebesar 750 mg m-3, begitu juga dengan hasil perhitungan menggunakan Fluent. Tabel 8 Hasil pengukuran kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya Waktu Pengukuran Periode 3 Konsentrasi SO2 di Cerobong (mg m-3) 1 2 3 4 582 465 675 425 Perbedaan nilai konsentrasi SO2 antara perhitungan Fluent dengan pengukuran di lapangan dapat disebabkan oleh beberapa hal. 26 Tabel 9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Tidak Stabil Tidak Stabil Ringan Netral Stabil Ringan Stabil Salah satu diantaranya adalah tidak diketahuinya kapan waktu tepatnya pengukuran di lapangan dilakukan. Informasi yang diketahui hanya tahun pengukuran tersebut dilakukan. Hal tersebut penting karena kondisi meteorologis berbeda-beda setiap harinya. Seperti diketahui, kondisi meteorologis tersebut sangat berpengaruh terhadap penyebaran polutan. Pemantauan kualitas udara tidak hanya dilakukan di atas cerobong, melainkan di daerah ambien karena di daerah ini terdapat berbagai macam makhluk hidup yang dapat terpengaruh oleh dampak buruk akibat polutan yang dihasilkan oleh cerobong tersebut. Konsentrasi SO2 tertinggi hasil simulasi di daerah Lebak Gede terdapat pada saat kondisi atmosfer netral yaitu sebesar 4.1 µg m-3 (Tabel 10). Konsentrasi tertinggi terjadi pada kondisi atmosfer tersebut karena di daerah Lebak Gede dengan jarak 2.9 km dari cerobong merupakan titik dimana konsentrasi SO2 pada kondisi atmosfer netral mencapai maksimum di permukaan tanah (Lampiran 6a). Tabel 10 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah Lebak Gede (2.9 km) Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Tidak Stabil Tidak Stabil Ringan Netral Stabil Ringan Stabil Konsentrasi SO2 (µg m-3) 2.37 2.51 2.66 4.1 6 ×10-4 6.87× 10-10 Selanjutnya untuk daerah perumahan Suralaya, pada Tabel 11 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 tertinggi terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 4.01 µg m-3. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4b dimana pada jarak tersebut (1.7 km), konsentrasi SO2 berada pada posisi mendekati maksimum. Nilai konsentrasi SO2 Konsentrasi SO2 (mg m-3) 494 495 453 368 253 152 tersebut tentunya juga masih berada di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Hasil perhitungan konsentrasi SO2 menggunakan Fluent di daerah ambien menghasilkan nilai yang cukup baik jika dibandingkan dengan hasil pengukuran lapang (Tabel 12). Tabel 11 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah perumahan Suralaya (1.7 km) Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Tidak Stabil Tidak Stabil Ringan Netral Stabil Ringan Stabil Konsentrasi SO2 (µg m-3) 3.81 4.01 2.84 0.99 3.35 ×10-7 5.01× 10-13 Tabel 12 Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di beberapa lokasi Periode 1 2 3 4 Konsentrasi SO2 (µg m-3) Perumahan Suralaya 8 <8 <8 <8 Lebak Gede 8 <8 <8 <8 Konsentrasi SO2 dari hasil pengukuran lapang menunjukkan bahwa nilai yang terukur adalah rata-rata sebesar < 8 µg m-3. Sama halnya dengan pengukuran kualitas udara di daerah cerobong, data pengukuran konsentrasi SO2 di udara ambien juga terdapat berbagai kekurangan, diantaranya adalah tidak terdapat informasi secara rinci mengenai kapan data tersebut diambil. Pada pengukuran tersebut juga tidak terdapat informasi mengenai titik koordinat pasti ketika pengukuran dilakukan. Selain itu, konsentrasi SO2 yang terukur pada 27 saat pengukuran pada kenyataannya berasal dari berbagai sumber, tidak hanya berasal dari satu sumber saja (cerobong). Perhitungan konsentrasi SO2 menggunakan Fluent juga dilakukan di seluruh bagian model pada ketinggian z = 1.5 m. Ketinggian tersebut diambil dengan asumsi bahwa tinggi tersebut merupakan jarak ratarata alat pernapasan (hidung) orang Indonesia dari permukaan tanah. Konsentrasi SO2 maksimum hasil simulasi adalah sebesar 5.06 µg m-3 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil. Menurut Cooper dan Alley (Gambar 19a), semakin atmosfer stabil, konsentrasi maksimum yang terjadi akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (2009) yang melakukan simulasi pengukuran konsentrasi SO2 di PLTU Suralaya dengan menggunakan model Gaussian dan mendapatkan hasil bahwa konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada keadaan atmosfer sangat tidak stabil dan menurun konsentrasinya ketika kondisi atmosfer semakin stabil (Tabel 14). Sedangkan pada penelitian ini terjadi perbedaan yang cukup signifikan yaitu pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil konsentrasi maksimumnya menurun sampai dengan kondisi atmosfer tidak stabil ringan namun terjadi kenaikan kembali pada saat kondisi atmosfer netral, selanjutnya konsentrasi kembali turun sampai dengan kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Terjadinya kenaikan nilai konsentrasi maksimum pada kondisi atmosfer netral tersebut dapat terjadi karena pada kondisi atmosfer tersebut terjadi suatu kondisi transisi turbulen pada aliran sehingga terjadi anomali yang menyebabkan nilai konsentrasi maksimum SO2 menjadi naik kembali (Schlichting 1979). Tabel 13 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 pada ketinggian z = 1.5 m Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Tidak Stabil Tidak Stabil Ringan Netral Stabil Ringan Stabil Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3) 5.06 4.84 3.78 4.22 6.67 × 10-3 6.43 10-4 Jarak dari cerobong (m) 1361 1447 1940 2702 3900 3900 Tabel 14 Hasil simulasi konsentrasi SO2 maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009) Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Tidak Stabil Tidak Stabil Ringan Netral Stabil Ringan Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3) 866 374.4 245.3 24.85 12.68 Jarak dari cerobong (m) 1090 3841 8519 18800 18800 Gambar 19 Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan (b) tinggi cerobong (H) terhadap konsentrasi polutan (Cooper dan Alley 1994) 28 Konsentrasi maksimum pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil terjadi pada jarak yang lebih dekat dibandingkan pada kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakiki (2008), Prasanto (2008), dan Ruhiyat (2009) dengan hasil bahwa semakin stabil atmosfer, konsentrasi polutan akan mencapai maksimum pada jarak yang lebih jauh dibandingkan pada keadaan atmosfer tidak stabil. Simulasi konsentrasi SO2 pada penelitian ini terlihat memiliki pola yang hampir sama dengan simulasi yang dilakukan oleh Prasanto (2008) di PT Indorama Synthetics tbk, Purwakarta dengan menggunakan CFD setelah dilakukan proses normalisasi (Gambar 20). PLTU tersebut memiliki tinggi cerobong sebesar 120 m dan diameter mulut cerobong sebesar 2.5 m dengan kondisi kecepatan angin dan suhu udara rata-rata adalah sebesar 1.08 m det-1 dan 28 ºC. Konsentrasi SO2 maksimum yang terlihat dari grafik tersebut terjadi pada jarak yang hampir sama pada keadaan atmosfer sangat tidak stabil, tidak stabil ringan, dan netral, namun terjadi perbedaan pada saat keadaan atmosfer stabil ringan dan stabil. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian Prasanto (2008) batasan model geometri ke arah downwind yang dibuat kurang memiliki panjang yang sesuai sehingga tidak dapat memperlihatkan kondisi ketika konsentrasi SO2 mencapai maksimum. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 20 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil normalisasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil 29 Jarak ketika konsentrasi SO2 mencapai maksimum perlu diketahui guna melihat radius untuk pembangunan perumahan yang aman dari emisi cerobong tersebut. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 20 yang menginformasikan bahwa konsentrasi maksimum terjadi dengan jarak sekitar 6, 7, 11, dan 14 kali tinggi cerobong (x/H) pada kondisi atmosfer masing-masing yaitu sangat tidak stabil, tidak stabil, tidak stabil ringan, dan netral. Sedangkan untuk kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil, belum dapat menggambarkan terjadinya kondisi maksimum akibat dari batasan model yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai-nilai tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai rujukan atau pertimbangan ketika akan membangun suatu pabrik dengan tinggi cerobong tertentu sehingga pendiri pabrik ataupun pemerintah dapat memprediksi pada jarak berapa kali tinggi cerobong, konsentrasi SO2 mencapai maksimum. Kemudian pada jarak tersebut diharapkan agar tidak terdapat perumahan ataupun aktivitas penduduk untuk menghindari dampak atau pengaruh negatif polutan yang terakumulasi di wilayah tersebut dan lebih baik pada jarak tersebut dianjurkan agar ditanami pepohonan guna mereduksi konsentrasi polutan sehingga konsentrasinya dapat berkurang. Nilai konsentrasi SO2 maksimum hasil simulasi Prasanto (2008), rata-rata menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan simulasi pada penelitian ini (PLTU Suralaya). Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya kecepatan angin dan tinggi cerobong yang lebih rendah sehingga konsentrasi polutan tidak banyak berkurang. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 21 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2 hasil simulasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil 30 Kecepatan angin dan tinggi cerobong yang lebih rendah juga menyebabkan polutan lebih cepat jatuh ke tanah karena tidak dapat membawa polutan lebih jauh lagi akibat adanya tarikan oleh gaya gravitasi bumi sehingga polutan tidak terlalu lama terdispersi di atmosfer. Lain halnya dengan simulasi di PLTU Suralaya, polutan lebih lama terdispersi di atmosfer dan jatuh ke tanah dengan jarak yang relatif lebih jauh (Gambar 21). Kondisi tersebut dikarenakan pada daerah PLTU Suralaya, kecepatan angin rata-ratanya lebih besar yaitu berkisar 2.5 m det-1 dengan tinggi cerobong adalah 200 m dibandingkan dengan penelitian Prasanto (2008) dengan kecepatan angin sebesar 1.08 m det-1 dan tinggi cerobong 120 m sehingga polutan akan lebih lama berada di atmosfer dan berkurang konsentrasinya sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Kondisi ini sesuai dengan Cooper dan Alley (1994) yang menyatakan bahwa semakin tinggi cerobong (H), maka konsentrasi polutan maksimum akan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan cerobong yang memiliki tinggi lebih rendah. Sedangkan nilai konsentrasi maksimum yang terukur akan akan lebih rendah pada cerobong yang lebih tinggi dibandingkan pada cerobong yang lebih rendah (Gambar 19b). V KESIMPULAN § § Sebaran polutan SO2 yang terlihat dari hasil simulasi menunjukkan bahwa pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil, tidak stabil, dan tidak stabil ringan sebaran polutan SO2 cenderung bertipe looping. Pada kondisi netral, sebaran polutan SO2 cenderung bertipe conning, sedangkan untuk kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil, sebarannya cenderung bertipe fanning. Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan Fluent, didapatkan hasil bahwa nilai konsentrasi SO2 di cerobong maupun di udara ambien masih berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan. Konsentrasi SO2 maksimum di cerobong terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 495 mg m-3 sedangkan konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil dengan nilai konsentrasi sebesar 5.06 µg m-3 kemudian konsentrasinya menurun sampai dengan kondisi atmosfer tidak stabil ringan namun terjadi kenaikan kembali pada saat kondisi atmosfer netral dan konsentrasi tersebut kembali turun sampai dengan kondisi atmosfer stabil. § Sebaran polutan SO2 dipengaruhi oleh kondisi kestabilan atmosfer. Semakin stabil, maka polutan akan lebih lama berada di atmosfer dan akan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi atmosfer, maka polutan akan cepat jatuh ke permukaan tanah. Berdasarkan perhitungan, jarak terdekat dari cerobong ketika konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m adalah sejauh 1361 m (kondisi atmosfer sangat tidak stabil) dan jarak yang terjauh adalah sebesar 3900 m (kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil). DAFTAR PUSTAKA Ahrens CD. 2006. Meteorology Today. Ed ke8. Brooks: Cole Publishing. Baik JJ, Kim JJ, Fernando JS. 2003. A CFD model for simulating urban flow and dispersion. American Meteorological Society 42:151-742. Blocken B, Stathopoulos T, Carmeliet J. 2006. CFD simulation of the atmospheric boundary layer: wall function problems. Atmospheric Environment 41:238-252. Camelli FE, Hanna SR, Lohner R. 2004. Simulation of the must field experiment using the FEFLO-Urban CFD model. Proceedings of the Symposium at the 5th On the Urban Environment; Vancouver. Canada: Meteor. Catalano P, Wang M, Iaccarino G, Moin P. 2003. Numerical simulation of the flow around a circular cylinder at high Reynolds numbers. Elsevier 24:463469. Chu AKM, Kwok RCW, Yu KN. 2004. Study of pollution dispersion in urban areas using Computational Fluid Dynamics (CFD) and Geographic Information 31 System (GIS). Environmental Modelling and Software 20:273-277. Coirier WJ, Fricker DM, Furmaczyk M, Kim S. 2005. A computational fluid dynamics approach for urban area transport and dispersion. Environment Fluid Mech 15:443-479. Cooper CD, Alley FG. 1994. Air Pollution Control A Design Approach. Ed ke-2. Illinois: Waveland Press, Inc. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. [Fluent]. 2006. Fluent 6.3 user’s guide. Lebanon: Fluent Inc. [Fluent]. 2008. History of Fluent Computational Fluid Dynamics (CFD) Software & Services. [terhubung berkala]. http//:www.fluent.com/History of Fluent/index.html/ [ 5 Februari 2009]. [Google]. 2009. Google maps. [terhubung berkala]. http://maps.google.com/ [Nopember 2009]. Frisch U. 1995. Turbulence: The Legacy of A. N. Kolmogorov. UK: Cambridge University Press. Hakiki M. 2008. Pendugaan konsentrasi permukaan polutan sulfur dioksida (SO2) menggunakan model Gaussian (studi kasus PT Yamaha Motor Manufacturing, Jakarta) [skripsi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Hoerner SF. 1965. Fluid-Dynamic Drag. USA: Hoerner Fluid Dynamics. Knudsen JG, Katz DL. 1958. Fluid Dynamics and Heat Transfer. New York: McGraw-Hill, Inc. Krupa SV. 1997. Air Pollution, People, and Plants. Minnesota: The American Phytopathological Society. Kushnir Y. 2000. Lapse Rate, Moisture, Clouds, and Thunderstorms. [terhubung berkala]. http://eesc.columbia.edu/ [1 Oktober 2009]. Leonard LR. 1997. Air Quality Permitting. London : Lewis Publishers. Liptak BG, Liu HF. 1999. Air Pollution. New York: Lewis Pub. Manonom R, Xiaoen L, Wongwises P. 1999. Modelling Distribution of Sulfur Dioxide. Concentration In Mae Moh Power Plant Area. Proceeding of the 3rdAnnual National Symposium on Computational Science and Engineering; Bangkok, 24-26 Maret. hlm 1–9. Morel RE, Fleck, George. 2006. Fourth Law of Thermodynamics. Chemistry 15. Nevers Noel de. 2000. Air Pollution Control Engineering. Ed ke-2. Michigan: McGraw-Hill. Oke TR. 1978. Boundary Layer Climates. London: Methuen & Co Ltd. Pasquill F 1962. Atmospheric Diffusion: The Dispersion of Windborne Material from Industrial and otherSources. London: D. Van Norstand Company, Ltd. Prasanto BS. 2008. Simulasi penyebaran gas SO2 dengan model Fluent dan model Difusi Gauss Ganda (studi kasus di PLTU PT.Indorama Synthetics tbk) [skripsi]. Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung. Rott N. 1990. Note on the history of the Reynolds number. Annual Review of Fluid Mechanics. 22:1-11. Ruhiat Y. 2009. Model prediksi distribusi laju penyebaran SO2 dan debu dari kawasan industri [disertasi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Saperaud. 2005. Air pollution. [terhubung berkala]. http://commons.wikimedia.org/wiki/A ir_pollution [22 Desember 2009]. Schlichting G. 1979. Boundary Layer Theory. Ed ke-7. US: McGraw-Hill Companies, Inc. 32 buildings. Proceedings of the symposium at the 14th on the applications of air pollution meteorology; Atlanta, 30 Januari – 2 Februari. Schnelle KB, Dey PR. 2000. Atmospheric Dispersion Modeling Compliance Guide. US: McGraw-Hill Companies, Inc. Scorer RS. 1968. Air Pollution. Oxford: Pergamon Press LTD, Headington Hill Hall. Tjasyono B. 2003. Klimatologi Bandung: ITB. F. 2008. Menggunakan Informatika. Umum. Seinfeld JH. 1986. Atmospheric Chemistry and Physics of Air Pollution. Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc. Tuakia Dasar-Dasar CFD Fluent. Bandung: Shih WCL, Wang C, Coles D, Roshko A. 1993. Experiments on ow past rough circular cylinders at large Reynolds numbers. J. Wind Eng. Indust. Aerodyn. 49:351–368. Warner PO. 1937. Analysis of Air Pollutans. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Zdravkovich MM. 1997. Flow Circular Cylinders. UK: University Press. around Oxford Shui P, Liu CH, Li Y. 2009. CFD analysis of pollutant removal mechanism in urban street canyons. Proceedings of the 7th international conference on urban climate. Yokohama, 29 Juni – 3 Juli. Singh SP, Mittal S. 2005. Flow past a cylinder: shear layer instability and drag crisis. Int J Numer Meth Fluids 47:75–98. Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: ITB. Soenarmo SH. 1999. Diktat Meteorologi Pencemaran Bandung: ITB. Kuliah Udara. Stull RB. 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Sumer BM, Fredsoe J. 2006. Hydrodynamics Around Cylindrical Structures (Revised Edition). Singapore: World Scientific Publishing Company. Supriyadi E. 2009. Penerapan model finite length line source untuk menduga konsentrasi polutan dari sumber garis (studi kasus: Jl. M.H Thamrin DKI Jakarta) [skripsi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Tang W, Huber A, Bell B, Schwarz W. 2006. Application of CFD simulations for short-range atmospheric dispersion over open fields and within arrays of 33 LAMPIRAN Lampiran 4 Diagram alir penelitian -Kadar emisi gas SO2 - Suhu gas SO2 Data fisik cerobong : - Diameter cerobong bagian atas dan bawah - Ketinggian cerobong Perangkat Lunak Gambit : - Membuat geometri ruang - Membuat grid Perangkat Lunak Fluent : - Memilih formulasi solver - Menentukan persamaan dasar - Menentukan kondisi Skenario Arah dan kecepatan angin kategori atmosfer: A : sangat tidak stabil B : tidak stabil C : tidak stabil ringan D : netral stabilitas operasi - Menentukan sifat material - Menentukan kondisi batas Visualisasi tiga dimensi sebaran gas SO2 - Inisialisasi - Iterasi - Output E : stabil ringan Suhu lingkungan F : stabil Konsentrasi SO2 hasil simulasi Data sampling konsentrasi Membandingkan hasil simulasi dengan SO2 data sampling Analisis dan pembahasan 39 Lampiran 1 Lokasi PLTU Suralaya U Perumahan Suralaya PLTU Suralaya Lebak Gede Skala 1 : 1 750 000 Sumber : Google maps 2009 35 Lampiran 2 Model geometri a). Bidang X dan Y Y X D = 5.5 m 250 m Symmetry 250 m 800 m 4000 m b). Bidang X dan Z Z X 4h h = 200 m 4h 20h 36 c). Model tiga dimensi X, Y, dan Z 4h h 2.5h 4h 20h 37 Lampiran 3 Kondisi batas (boundary condition) komputasi Outflow Symmetry Mass flow inlet (mulut cerobong) Outflow Velocity inlet Wall (cerobong) Wall (tanah) Symmetry 38 Lampiran 5 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak Stabil (c) tidak stabil ringan (a) (b) (c) 40 Lampiran 6 Konsentrasi SO2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil (a) (b) (c) 41 Lampiran 7 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (a) (b) (c) 42 Lampiran 8 Konsentrasi SO2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil (a) (b) (c) 43