SUMBER DAYA AIR Latar Belakang P emanfaatan aliran air sungai sebagai sumber energi di pedesaan telah menjadi alternatif ditengah keterbatasan kemampuan PLN. Diperkirakan hingga 10 tahun ke depan penyediaan energi listrik nasional masih belum mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pada akhir tahun 2009, kapasitas pembangkit di seluruh Indonesia ada 30.500 MW. Ratarata listrik ini hanya tercapai 65%, dan ini tidak terdistribusi secara proporsional pada Pulau Jawa dan Bali. Rendahnya rata-rata tenaga listrik ini terefleksi dalam konsumsi per kapita yang hanya di bawah 600kWh. Dalam rangka untuk menaikkan area pelayanan dan meningkatkan rata-rata kelistrikan, Indonesia harus membangun kapasitas dengan 9,2% setiap tahunnya naik sampai dengan 2027. Sementara rencana nasional kelistrikan berlangsung, pertumbuhan konsumsi menghadapi 6-7% per tahun. Untuk mengatasi program transmisi, ada banyak investasi potensial untuk bangunan lokal/ pembangkit tenaga listrik regional memakai sumber daya lokal / pembangkit tenaga listrik mikro/ minihidro. Indonesia mencoba untuk menciptakan ekonomi karbon-rendah dan Pesiden Yudhoyono telah mengambil sebuah komitmen untuk memangkas emisi karbon sebesar 26% dari segi industri secara umum sampai dengan 2020. Dalam strategi energi nasional, Indonesia juga berkomitmen untuk mengalokasikan 20% dari gabungan total energi untuk sumber daya terbarukan sampai dengan tahun 2025. Potensi mikro/ minihidro dari 500 MW, baru terpasang 86,1 MW. Artinya, tenaga potensial pemasangan masih 17,56 %. Saat ini terdapat lebih dari 14.198 jumlah desa yang masih belum memiliki akses listrik yang memadai. Penerapan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) telah banyak dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1992-1993 oleh Puslitbang SDA, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum, utamanya di wilayah terpencil seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Lampung. Dalam penerapan TTG mikrohidro tersebut pasti ada yang sukses dan gagal (baik TTG PLTMH dari Pusair/ lainnya). Penggunaan PLTMH sebagai energi alternatif yang cost friendly, user friendly, environment friendly, and material friendly diharapkan dengan peran Puslitbang Sosekling dapat lebih besar lagi pemanfaatannya menjadi solusi atas kurangnya aksesibilitas masyarakat pedesaan terhadap PLTMH tersebut dapat dikembangkan untuk sumber energi listrik terbarukan dari sumber air saluran irigasi di samping teknis untuk penerangan rumah tangga atau industri Rumah Tangga/ pengolahan produksi / tingginya biaya listrik, memompa air irigasi (di beberapa daerah) dapat membawa perubahan sosial dan kondisi ekonomi termasuk, perubahan pola tingkah laku dan pola interaksi penduduk setempat. Sumber Daya Air, merupakan salah satu energi primer pembangkit energi listrik, potensi yang ada sangat besar yaitu 75000 MW, 500 MW diantaranya adalah potensi untuk PLT-Mikro Hidro, Kep. Men ESDM No. 1122 K/30/MEM/2002, Pembangkit Listrik Tenaga Air<1000 kW, digolongkan tenaga Mikrohidro. Dengan semakin berkurangnya jumlah baku sawah yang diari, maka potensi sumber air irigasi yang tersisa inilah yang dijadikan sumber energi. Apabila sistem pemasangan turbin di saluran irigasi sedemikian rupa sehingga air penggerak turbin dapat dialirkan kembali ke salurannya, maka efisiensi menjadi lebih besar, karena dengan demikian air irigasi dapat ditingkatkan daya gunanya. Dari segi lingkungan, teknologi mikrohidro juga dapat menurunkan laju emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim berikut dampak ikutannya seperti kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, banjir, dan kekeringan. Mikrohidro berkapasitas 100kW, secara tidak langsung akan mereduksi sekitar 560 ton gas karbondioksida per tahun karena pembangkit tidak menggunakan bahan bakar fosil (EPA, dalam makalah kolokium 2011). Penunjang mikrohidro adalah debit air. Karena itu keberlangsungan vegetasi hutan di sekitar aliran sungai harus dijaga. Pengerusakan dan pembabatan hutan akan menyebabkan daerah setempat menjadi tandus, dan pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya debit air sungai. Biasanya, aliran air yang ada disungai dibelokkan untuk diterjunkan setinggi kira-kira 20 meter dan dijatuhkan untuk memutar turbin (Zainal Aliyy Musthofa, 2008). Dibandingkan dengan sumber-sumber energi lain, pembangkit listrik mikrohidro merupakan sumber energi yang secara ekonomis sangat efisien, selain juga mudah perawatannya. Nilai investasi pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, untuk rata-rata penerangan sebuah desa selama 24 jam, diperlukan biaya sebesar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta per 1.000 watt (kompas, 2009). Penunjang mikrohidro adalah debit air. Karena itu keberlangsungan vegetasi hutan di sekitar aliran sungai harus dijaga. Pengerusakan dan pembabatan hutan akan menyebabkan daerah setempat menjadi tandus, dan pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya debit air sungai. Biasanya, aliran air yang ada disungai dibelokkan untuk diterjunkan setinggi kira-kira 20 meter dan dijatuhkan untuk memutar turbin, Musthofa (2008) . Disebutkan bahwa energi alternatif yang ramah lingkungan ini dapat menghasilkan daya listrik sebesar 7,5 megawatt hanya dengan menggunakan potensi air rata-rata 150-175 liter per detik (kompas (2009)). Besaran tersebut dapat terpenuhi cukup dari sungai-sungai kecil. Ada tiga macam teknologi mikrohidro , yaitu pikohidro dengan kemampuan di bawah 1 kilowatt (KW), mikrohidro dengan daya hingga 250 KW, dan minihidro dengan kemampuan di bawah 1 megawatt. Teknologi pikohidro dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan energi terbatas, seperti menghidupkan lampu dan keperluan alat elektronik berdaya kecil. Adapun teknologi mikrohidro memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan energi sekitar 500 rumah dan teknologi minihidro dapat mencukupi kebutuhan energi beberapa desa (kompas (2009)). Energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk penerangan, televisi/radio, alat pemintal, dsb. Dibandingkan dengan sumber-sumber energi lain, PLTMH merupakan sumber energi yang secara ekonomis sangat efisien, selain juga mudah perawatannya. Nilai investasi pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, untuk rata-rata penerangan sebuah desa selama 24 jam, diperlukan biaya sebesar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta per 1.000 watt (kompas (2009)). Kepmen ESDM No 31/2009 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT. PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan energi Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik, Pasal 2 (1) : Harga pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan sebagai berikut: a. Rp 656/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Menegah; b. Rp 1.004/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah. (2) F sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan faktor insentif sesuai dengan lokasi pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dengan besaran sebagai berikut: a. Wilayah Jawa dan Bali, F=1; b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi, F=1,2; c. Wilayah Kalimantan, NTB dan NTT, F=1,3; d. Wilayah Maluku dan Papua, F=1,5. “Selama 15 tahun terakhir telah ditempuh upaya pemberdayaan masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia untuk membuat pembangkit listrik mikrohidro secara mandiri. Namun, pemerintah yang belum mampu menyebarluaskan potensi ini jangkauan komunitas basis secara lebih luas. Hingga saat ini, lebih dari 50 lokasi yang sudah dipelopori untuk mengembangkan teknologi mikrohidro secara mandiri oleh masyarakat setempat. Kualitas dan keberlanjutan itu menjadi titik tolak pengembangan pembangkit listrik. Pelaksanaan proyek mikrohidro sebaiknya dijadikan proyek masyarakat setempat dengan melibatkan para ahli sesuai bidang masing-masing. Pengembangan mikrohidro mencakup aspek lingkungan, sosial dan ekonomi yang harus berjalan secara komprehensif. Seperti pada aspek lingkungan, setidaknya dibutuhkan penetapan kawasan hutan dengan vegetasi yang baik seluas 30 kilometer persegi. Penjagaan dan pemeliharaan lingkungan seperti itu membutuhkan kemampuan khusus dari ahli di Indonesia (Tri Mumpuni, 2010). Beberapa desa yang menggunakan teknologi PLTMH Puslitbang SDA PU antara lain adalah kawasan wisata Way Lalaan, Desa Kampung Baru, Kec. Kota Agung, Kab. Tanggamus, Lampung dan Desa Sukarame Kec. Leles Kab. Garut Jawa Barat (Tahun 2004). Sebagai studi pembanding diteliti desa di Subang (Jawa Barat), Tanggamus (Lampung), Sengkaling, Malang (Jawa Timur) dan Banyumas (Jawa Tengah). Peneliti dapat melaksanakan identifikasi masalah sosial, ekonomi dan lingkungan dengan memperhatikan apa yang tampak di permukaan (above the surface) seperti apa yang menjadi pemberitaan dan apa yang banyak disuarakan oleh masyarakat. Penelitian juga dapat memperhatikan apa yang ada di bawah permukaan (bellow the surface) yaitu mengamati fenomena sosial seperti pertambahan jumlah pengguna/ konsumen PLTMH, kasus-kasus kriminalitas lingkungan masyarakat, mahalnya tarif pemasangan listrik, dan semacamnya. Dalam observasi pendahuluan telah dilakukan wawancara mendalam (interdepth interview) pada kepala Pekon Kampung Baru, pengelola PLTMH Puslitbang SDA PU di kawasan wisata Way Lalaan, Desa Kampung Baru, Kec. Kota Agung, Kab. Tanggamus, Lampung, dan Kepala Dinas SDAP Kabupaten Garut, informasi awal menunjukkan bahwa faktor fungsi (utilitas), dukungan sosial, kondisi sosekling masyarakat birokrasi dan kebijakan pengelolaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan keberlanjutan pengelolaan mikrohidro. Terutama dalam aspek kriteria penentuan lokasi pemilihan penerapan mikrohidro sangatlah penting mempertimbangkan faktor-faktor tersebut karena terbukti di lapangan bahwa keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tidak dapat berjalan lagi saat ini. Untuk lokasi di kawasan wisata Way Lalaan, nampak adanya benihbenih konflik antar petani pengguna air di hilir yang merasa debit air berkurang karena adanya saluran pengambilan mikrohidro di hulu. Hal ini, perlu upaya mensinergiskan persepsi antara pengelola dan kelompok P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) yang memanfaatkan saluran irigasi tersebut. Sehingga diharapkan terdapat konektivitas yang berkesinambungan agar kedepan dapat terbangun kolaborasi antara P3A, pengelola, dan pengguna sehingga pengoperasian teknologi mikrohidro dapat digunakan seefisien mungkin dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar (misal: untuk pengeringan padi, kerajinan kecil, dsb). Dari situasi dan kondisi tersebut, penelitian ini penting dilakukan untuk menyiapkan kriteria lokasi penerapan mikrohidro dan tahap pengelolaannya melalui pemetaan agar suatu lokasi memenuhi kelayakan aspek sosekling bagi penerapan mikrohidro yang berkelanjutan tersebut. Rumusan Masalah Penelitian (Problems Statement) Kurangnya keberhasilan dan keberlanjutan dalam pengelolaan mikrohidro disamping masalah faktor fungsi operasi dan kebijakan pengelola, juga lebih disebabkan oleh karena sebagai solusi penerapan dan kondisi sosial ekonomi lingkungan masyarakatnya belum disiapkan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan latar belakang serta rumusan masalah maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: • Bagaimana gambaran dan pemetaan sosekling pada lokasi pengelolaan teknologi mikrohidro? • Apa saja aspek kelayakan sosekling dalam kriteria lokasi untuk penerapan teknologi mikrohidro yang perlu diperhatikan? Maksud dan Tujuan Maksud diadakan kegiatan Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat adalah memberikan masukan tentang Pengelolaan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat kepada stakeholders.Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk menyusun naskah ilmiah kelayakan aspek sosekling teknologi mikrohidro yang meliputi kriteria lokasi penerapan, pengelolaan kesiapan dan respon masyarakat (termasuk model pengelolaan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat). Keluaran (Output) Keluaran dari kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat adalah naskah ilmiah. Manfaat Manfaat dari kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat adalah memberikan dukungan berupa masukan kepada stakeholders terkait..