BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, wacana bunuh diri telah mencuat ke permukaan di tahun 1950-an. Hal ini terungkap pada salah satu alenia pidato Presiden Soekarno pada saat meletakkan batu pertama Gedung Fakultet Pertanian Universitas Indonesia di Bogor tanggal 27 April 1952. (Usman, 2004: 305) “…engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang akhir-akhir ini surat kabar-surat kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gila-gilaan”, “di sana sini mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada orang yang makan bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”. “Di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anak istrinya”, dan lain sebagainya”. Meskipun kasus bunuh diri di Indonesia sudah mulai marak di tahun 1950-an, namun demikian tidak diketahui secara pasti berapa jumlah kasus bunuh diri di tahun-tahun tersebut. Data mengenai korban bunuh diri di Indonesia baru mulai tercatat di Tahun 1980-an. Dari Tahun 1980 hingga Tahun 1989 terjadi 17.694 kasus bunuh diri. Kasus-kasus ini terjadi di sejumlah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, maupun di daerah-daerah pelosok lainnya. Kejadian ini diduga dilatarbelakangi karena beban ekonomi/lilitan utang, persoalan cinta/asmara, sakit tak sembuh-sembuh, konflik rumah tangga, maupun frustasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa bunuh diri yang terjadi di Indonesia ini adalah khas alasan-alasan orang miskin, baik miskin, materi, pengetahuan, relasi, maupun pengalaman (Darmaningtyas, 2002). Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, fenomena bunuh diri terjadi pula di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1980-1990 tercatat terjadi 337 kasus bunuh diri terjadi 2 di wilayah ini. Kabupaten Gunungkidul menempati rangking pertama dengan 94 kasus, disusul Kabupaten Sleman 71 kasus, Kabupaten Bantul 64 kasus, Kota Yogyakarta 57 kasus, dan Kabupaten Kulonprogo 51 kasus. Untuk Kabupaten Gunungkidul, tercatat dalam dua dekade (1980-2000) menunjukkan peningkatan angka bunuh diri yang signifikan. Kalau dihitung pada kurun waktu 1980-1990 dan 1991-2000 tercatat bahwa peningkatan angka bunuh diri di kabupaten ini lebih dari 30 persen yaitu dari 183 kasus menjadi 249 kasus. Kasus bunuh diri ini terjadi merata di 18 kecamatan yang ada yaitu di Kecamatan Karangmojo, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Playen, Paliyan, Saptosari, Panggang, Purwosari, Patuk, Ponjong, Girisubo, Rongkop, Semin, Semanu, Tanjungsari, Tepus, dan Wonosari. Meskipun jumlah kasus di tiap-tiap kecamatan ini berbeda-beda, namun demikian, terjadinya kasus di setiap tahunnya, mengindikasikan bahwa fenomena bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul itu bersifat konsisten (selalu ada). Bahkan, menurut Darmaningtyas (2002:246) konsistensi ini sudah mengarah pada sejumlah kecamatan yaitu Kecamatan Wonosari (yang merupakan ibukota Kabupaten Gunungkidul), Kecamatan Playen, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Semanu, dan Kecamatan Tepus. Pada dekade 1980-1990, menurut hasil inventarisasi dari media massa cetak, Kecamatan Wonosari menempati rangking pertama dengan 19 kasus bunuh diri, kemudia disusul oleh Kecamatan Playen 16 kasus, Ponjong 13 kasus, sedangkan Kecamatan Semanu dan Kecamatan Tepus masing-masuing 7 kasus. Sejumlah penelitian tentang fenomena bunuh diri di wilayah Kabupaten Gunungkidul telah dilakukan antara lain oleh Winarto (1984), Darmaningtyas (1989), Kurniati (1989), Moetrarsi (1996), Masdjuri (2002), Yoga (2003), dan Setiawan (2005). Penelitian yang telah dilakukan ini umumnya mengupas tentang pertama, faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya angka bunuh diri di wilayah ini (apakah ada korelasi antara bunuh diri di Gunungkidul 3 dengan mitos “pulung gantung”?), kedua, dengan cara bagaimanakah mereka melakukan bunuh diri (gantung diri, minum racun), dan ketiga, latar belakang pelaku bunuh diri (pendidikan, umur, agama, jenis kelamin). Penelitian-penelitian yang bertemakan bunuh diri di Gunungkidul ini umumnya lebih banyak menfokuskan perhatiannya pada individu (pelaku bunuh diri), para peneliti belum mengkaitkan apa yang melekat pada individu-individu pelaku bunuh diri, misalnya pekerjaan/profesi para korban. Dari kajian Setiawan (2005) tentang “Latar Belakang Keluarga Bunuh Diri di kabupaten Gunungkidul dari Tahun 1999 sampai dengan 2003” diketahui bahwa pada rentang tahun 19992003 ini terdapat kekhasan latar belakang pekerjaan para pelaku bunuh diri. Dari 153 korban, 121 korban berlatar belakang pekerjaan sebagai petani atau sekitar 79 persen dari total kasus. Bahkan, selama rentang tersebut, setiap tahunnya menunjukkan angka kasus yang paling tinggi. Pada Tahun 1999 misalnya tercatat bahwa dari 42 kasus yang ada terdapat 31 kasus bunuh diri petani, sementara itu pada tahun 2000, dari 30 kasus terdapat 27 kasus bunuh diri petani, sedangkan pada tahun 2001, dari 28 kasus terdapat 19 kasus bunuh diri petani, dan pada tahun 2003 dari 34 kasus yang ada terdapat 31 kasus bunuh diri petani. Kasus bunuh diri petani tertinggi terjadi di Kecamatan Tepus yaitu 20 kasus. Angka kasus bunuh diri di Tepus sebenarnya melebihi angka tersebut karena sebelum tahun 2003, Kecamatan Tepus belum mengalami pemekaran menjadi dua yaitu Kecamatan Tepus dan Kecamatan Tanjungsari. Dengan demikian, sebenarnya kasus di Kecamatan Tepus (setelah digabung dengan kasus yang terjadi di Tanjungsari) tercatat menjadi 25 kasus bunuh diri. Kasus bunuh diri petani tercatat cukup tinggi juga terjadi di Kecamatan Semin 19 kasus, Wonosari 14 kasus, Playen 14 kasus, Ponjong 10 kasus, dan Saptosari 10 kasus. Titik puncak bunuh diri itu terjadi pada Tahun 1999 tercatat 42 kasus. Menurut Darmaningtyas (2002:242), 4 pada rentang Tahun 1998-1999 itu telah terjadi peningkatan kasus bunuh diri yang cukup signifikan; diduga ini ada kaitannya dengan krisis ekonomi Tahun 1998. 1.2. Perumusan Masalah Kini, satu dekade krisis ekonomi itu sudah terlampaui, namun demikian kasus bunuh diri, di Kabupaten Gunungkidul masih marak terjadi. Jika dibandingkan 10 tahun yang lalu, tampak bahwa sudah terjadi penurunan jumla kasus; dari 153 kasus (periode 1999-2003) turun menjadi 120 kasus (periode Januari 2010-Agustus 2014); meskipun angka ini masih tergolong tinggi. Hal yang menarik kemudian adalah setelah satu dekade itu, tercatat bahwa Kecamatan Tepus masih konsisten menduduki urutan tertinggi dengan 15 kasus bunuh diri. Hal yang menarik lainnya adalah sebagian besar korban bunuh diri di Kecamatan Tepus ini diketahui berlatar belakang pekerjaan sebagai petani. Ini berarti bahwa meskipun secara kuantitas telah terjadi penurunan kasus, namun demikian secara kualitas sebenarnya kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus, terutama bunuh diri petani belum mengalami perubahan yang signifikan. Fenomena inilah yang kemudian perlu di kaji lebih dalam; mengapa setelah satu dekade berlalu, kasus bunuh diri petani di Kecamatan Tepus itu masih saja terjadi. Pertanyaannya kemudian; mengapa petani di Kecamatan Tepus memiliki kerentanan terhadap tindakan bunuh diri? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan petani di Kecamatan Tepus rentan terhadap tindakan bunuh diri. Penelitian ini mencoba mengembangkan teori Dhurkheim yang mencoba memahami fenomena bunuh diri dengan integrasi sosial masyarakat di Kecamatan Tepus. Ada perspektif yang sedikit berbeda yang dikembangkan dalam penelitian ini. Ketika penelitian-penelitian sebelumnya tentang bunuh diri di Gunungkidul lebih fokus pada individu-korban bunuh diri; penelitian ini lebih jauh 5 melihat dan memahami apa yang melekat pada individu-korban bunuh diri yaitu profesi/pekerjaan korban bunuh diri. Selanjutnya, bagaimanakah individu-korban bunuh diri itu terhubung dengan orang lain dan komunitas/masyarakat sekitarnya. 1.4. Tinjauan Pustaka Sejumah kajian tentang marak terjadinya tindakan bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul telah dilakukan oleh sejumlah kalangan. Secara umum mereka mengamati dan meneliti sebabsebab/faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya tingkat bunuh diri di kabupaten ini seperti Darmaningtyas (2002) dalam bukunya “Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul”, Setiawan (2005) dalam tesisnya yang berjudul ”Latar Belakang Keluarga Pelaku Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul Studi Kasus Bunuh Diri di kabupaten Gununungkidul dari tahun 1999 sampai dengan 2003”, Yoga (2003) dengan risetnya yang berjudul “Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Cara Bunuh Diri di Gunungkidul Yogyakarta”, Masdjuri (2002) dengan tesisnya yang berjudul “Bunuh Diri di Gunungkidul”, dan Kurniati (1994) dengan skripsinya yang berjudul “Pulung gantung: Peristiwa Bunuh Diri di Gunungkidul”. Kajian yang dilakukan Darmaningtyas (2002) mencoba mengamati fenomena bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul yang terjadi di semua kecamatan di wilayah ini. Kajian ini menggunakan metode Inkuiri Naturalistik (I/N) yaitu suatu proses yang digiring kepada pengungkapan banyak cerita yang idiosinkretis namun penting, yang diceritakan oleh orangorang yang nyata, mengenai peristiwa-peristiwa yang nyata, dengan cara-cara yang nyata dan alami. Kajian yang mengamati peristiwa bunuh diri di Gunungkidul pada kurun tahun 1999 hingga tahun 2000 ini menyimpulkan bahwa persoalan bunuh diri di Gunungkidul selama ini lebih terfokus pada mitos “Pulung Gantung” yang dianggap sebagai faktor utama tingginya 6 angka bunuh diri di Gunungkidul. Pengembangan mitos seperti ini memiliki dampak negatif pada proses penyelesaian persoalan bunuh diri. Sementara itu, penelitian Setiawan (2005) mengamati bunuh diri di Gunungkidul dengan pendekatan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan metode penelitian survei. Penelitian ini yang mengamati kasus-kasus bunuh diri di Gunungkidul dalam kurun tahun 1999 hingga 2003 ini menyimpulkan bahwa korban bunuh diri tertinggi pada tahun 1999-2003 adalah di Kecamatan Tepus, untuk status pekerjaan adalah petani, untuk jenis kelamin adalah laki-laki, usia di atas 61 tahun, dan modus bunuh diri adalah dengan gantung diri. Kesimpulan lainnya menyebutkan bahwa tindakan bunuh diri sangat dipengaruhi oleh faktor keimanan, kemiskinan, pendidikan rendah dan sikap altruistik. Penelitian Masdjuri (2002) mencoba mengamati tentang kecenderungan peningkatan kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, penelitian ini juga mengamati tentang sejauh mana upaya-upaya perventif yang telah dilakukan untuk menekan angka bunuh diri di daerah ini. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Kajian yang dilakukan di Kecamatan Tepus, Paliyan, Playen, Panggang, dan Wonosari ini menyimpulkan bahwa pertama, banyak faktor yang terkait dengan bunuh diri di Gunungkidul yaitu aspek ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial budaya, kedua, aspek budaya (pandangan hidup) “hidup hanya menjalani, manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri”. Penelitaian Yoga (2003) tentang Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul ini menggunakan metode Cross-Sectional non-eksperimental mencoba menguji hipotesa “Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Cara Bunuh Diri”. Penelitian yang menggunakan data dari tahun 1999-2000 ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan cara bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul. 7 Sementara itu, kajian bunuh diri di Gunungkidul yang dilakukan Kurniati (1994) mengembangkan penelitian ini dengan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analisis. Kajian yang dilakukan di Desa Mulo dan Desa Siraman ini menyimpulkan bahwa pertama, bunuh diri di Gunungkidul tidak dapat dipisahkan dari masalah –masalah ekonomi, sosial, dan budaya, kedua, dekade 80-an bunuh diri di Gunungkidul marak justru ketika kemajuan perekonomian dan kesejahteraan di gunungkidul baru mulai membaik. Sebagai gambaran di tahun 1970-an makan thiwul, rumah atap daun kelapa/alang-alang, ketiga, adanya prinsip hidup urip mung sadermo nglakoni manungso munggawa nasibe dhewe-dhewe, nasib kuwi mung ginaris dening sing gawe urip (Hidup hanya sekedar menjalani, manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri, nasib itu sudah digariskan oleh yang membuat kehidupan). Berbeda dengan pengamat-pengamat sebelumnya yang memaparkan bahwa faktor-faktor penyebab bunuh diri di Gunungkidul itu dapat dilihat dari berbagai aspek, maka Santosa dan Daksinarga (2003) menilai bahwa mencari jawab atas faktor-faktor/sebab-sebab terjadinya tindakan bunuh diri merupakan langkah yang sia-sia. Faktor-faktor penyebab yang dipaparkan tersebut hanyalah “karangan” saja. Pengarang buku “Talipati: Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunungkidul” ini berpendapat bahwa setiap pelaku bunuh diri (di Gunungkidul khususnya) selalu merahasiakan alasannya, senantiasa peristiwa akan nampak remang-remang, seperti yang tertulis pada bait terakhir pada puisi Chairil Anwar (1949) berikut ini. Derai-Derai Cemara Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi 8 tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah Santosa dan Daksinarga (2003:25) menggarisbawahi makna dari 2 baris terakhir pada bait ketiga dari puisi Chairil Anwar ini bahwa hanya pelaku bunuh dirilah yang mengetahui apa latar belakang mengapa mereka melakukan bunuh diri ”tidak tahu, tapi ada yang tetap tidak terucapkan, sebelum akhirnya pada akhirnya kita menyerah“ memilih jalan kematian untuk mengakhiri penderitaannya. Dari penelitian-penelitian di atas, umumnya lebih fokus pada individu-korban bunuh diri; belum mengkaitkan apa yang melekat pada individu tersebut misalnya profesi/pekerjaan korban bunuh diri. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh Center for Suicide Research, Universitas Oxford di Inggris diketahui bahwa tingginya resiko bunuh diri itu erat kaitannya dengan kelompok pekerjaan/profesi (occupational groups). Di Inggris, ada beberapa kelompok profesi yang rentan terhadap tindakan bunuh diri yaitu profesi petani, dokter (khususnya perempuan), dokter gigi, apoteker, ahli bedah hewan (veterinary surgeon), dan perawatperempuan.1 Dalam konteks bunuh diri di Gunungkidul, hasil survei Setiawan (2005) menarik untuk ditelaah lebih dalam tentang marak terjadi bunuh diri petani di Kabupaten Gunungkidul (dari 153 pelaku bunuh diri, 121 orang adalah petani 79 persen). Data ini menjadi bekal penting di dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara bunuh diri ini di Gunungkidul dengan pekerjaan/profesi-korban bunuh diri. 1 Didownload dari http://cebmh.warne.ox.ac.uk/csr/reshighrisk.html 9 1.5. Landasan Teori Menurut Durkheim (1952: 44) bunuh diri (suicide) adalah applied to all cases of death resulting directly or indirectly from a positive or negative act of the victim himself, which he knows will produce this result (setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau pun negatif yang dilakukan oleh korban, sementara itu dia tahu akibat yang ditimbulkannya). Menurut Durkheim, bunuh diri itu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor kosmik, faktor sosial, dan faktor psikologi. Faktor kosmis mencakup dua hal yaitu iklim dan suhu udara di tiap musim. Sementara itu, faktor psikologi menyangkut faktor kejiwaan pelaku, sedangkan faktor sosial meliputi bunuh diri egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Dhurkheim BUNUH DIRI Faktor Kosmik Egoistik Faktor Sosial Altruistik Faktor Psikologi Anomik Fatalistik Teori Durkheim tentang bunuh diri ini menekankan pada pemahaman hubungan bunuh diri dengan integrasi sosial dan regulasi moral. Integrasi sosial merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat, sedangkan regulasi moral merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim, kedua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan. Angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat yaitu sebagai berikut. 10 Apabila tingkat integrasi sosial pada suatu masyarakat itu rendah/longgar, maka akan memicu terjadi bunuh diri egoistic. Tipe bunuh diri ini, selain disebabkan karena tidak terintegrasinya seseorang dalam suatu masyarakat, juga mencerminkan rasa tidak memiliki berkepanjangan, tidak mempunyai tempat berlindung, merasa kurang bermakna, apatis, melankolis, dan depresi. Hal ini disebabkan melemahnya individu dalam suatu kebersamaan. Ini yang disebut Dhurkheim sebagai „excessive individuation’ yaitu individualisasi yang berlebihan; individu menjadi semakin terpisah dari anggota lainnya dalam sebuah komunitas. Apabila tingkat integrasi sosial pada suatu masyarakat itu tinggi/ketat, maka akan memicu terjadinya bunuh diri altruistic. Tipe bunuh diri ini disebabkan oleh tingginya tingkat integrasi sosial dalam suatu masyarakat. Bunuh diri ini ditandai dengan rasa kewalahan dalam mencapi tujuan dan keyakinan suatu kelompok sosial. Dengan demikian, kebutuhan individu dianggap kurang penting dibandingkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Apabila tingkat regulasi moral pada suatu masyarakat itu rendah/longgar maka dapat memicu terjadinya bunuh diri anomic yang mencerminkan kebingungan moral individu dan kurangnya arah sosial, yang berkaitan dengan pergolakan sosial dan ekonomi yang dramatis. Ini adalah gejala dari kegagalan pembangunan ekonomi dan pembagian kerja untuk menghasilkan solidaritas di dalam kelompok. Durkheim menjelaskan bahwa ini adalah keadaan gangguan moral yang mana manusia tidak mengetahui batas pada keinginan dan terus-menerus dalam keadaan kecewa. Apabila tingkat regulasi moral pada suatu masyarakat itu tinggi/ketat maka akan memicu terjadinya bunuh diri fatalistic. Kebalikan dari bunuh diri anomik, ketika seseorang terlalu diatur, ketika masa depan individu-individu di dalam masyarakat itu diperlakukan tanpa belas kasihan yang diatur oleh kedisiplinan yang menindas. 11 Dhurkheim menekankan bahwa integrasi sosial dan regulasi moral itu merupakan petunjuk kunci untuk menelusuri fenomena bunuh diri di suatu wilayah. Menurut Dhurkheim, integrasi sosial adalah sejauh mana seorang individu merasa terhubung dengan orang lain, kelompok atau komunitasnya (social integration is the degree to which an individual feels connected to the other people in his or her group or community). Menurut Shortell, Durkheim mengidentifikasi dua jenis utama dari integrasi sosial yaitu mekanik dan organik. Integrasi sosial mekanik didasarkan pada keyakinan bersama dan sentimen, sedangkan integrasi sosial organik didasarkan pada spesialisasi dan saling ketergantungan. Masyarakat solidaritas mekanik cenderung relatif kecil dan diorganisasi sekitar afiliasi kekerabatan. Hubungan sosial diatur oleh hati nurani umum. Pelanggaran norma-norma sosial dianggap sebagai ancaman langsung terhadap identitas bersama. Reaksi terhadap penyimpangan cenderung menekankan pada hukuman. Sementara itu, integrasi organik berdasarkan saling ketergantungan-karena semua orang tidak lagi memproduksi semua hal yang mereka butuhkan, mereka harus berinteraksi. Solidaritas dalam masyarakat organik yang umumnya bergerak pada organisasi ekonomi dan politik yang memiliki sistem hukum yang mengatur perilaku berdasarkan prinsip pertukaran dan restitusi bukan hukuman. Dalam kategorisasi bunuh diri, Dhurkheim memisahkan antara integrasi sosial dan regulasi moral (yang berwujud norma-norma sosial). Namun demikian, sebenarnya dua hal ini sangat kait mengkait. Oleh karena di dalam integrasi sosial itu sudah mengandung norma-norma yang menjalankannya. Dengan demikian, pembahasan tentang dua hal ini tidak akan dibahas secara terpisah. Menurut Cialdini, norma memiliki dua bentuk dasar yaitu norma deskriptif dan norma injungtif. Norma deskriptif yang sering diistilahkan dengan norma „merupakan‟ ini merujuk pada 12 perbuatan yang bersifat umum atau biasa. Norma-norma semacam itu menggambarkan apa yang dilakukan kebanyakan orang. Sementara itu norma injungtif atau yang sering disebut sebagai norma „seharusnya‟ mengacu pada harapan-harapan bersama dalam suatu masyarakat, organisasi atau kelompok mengenai perbuatan tertentu yang diharapkan-aturan-aturan moral yang telah disetujui untuk dilaksanakan. Norma-norma semacam itu merefleksikan apa yang disetujui dan yang tidak disetujui oleh sebagian besar orang. Hal tersebut memotivasi perilaku orang dengan cara menjanjikan ganjaran atau hukuman sosial informal atas perilaku itu. Norma ini bisa berwujud norma balas budi (reciprocity) dan norma tanggung jawab. Menurut Goulder (1960), tidak ada satu pun masyarakat yang tidak menganut norma balas budi; yang mewajibkan kita membalas orang lain dengan perbuatan (misalnya pemberian, pertolongan antau konsesi) yang sama dengan perbuatan mereka kepada kita. Sementara itu, norma tanggung jawab sosial; menyarankan perlunya memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Eksistensi norma itu sudah ada sejak lama dalam banyak budaya (Berkowitz, 1972). Terjadi perdebatan terkait dengan konsep norma injungtif ini. Yang menarik dari hasil perdebatan ini adalah seberapa besar derajat suatu norma mampu mengarahkan perilaku bergantung seberapa besar derajat perhatian orang bersangkutan terfokus pada norma tersebut (Cialdini et al.,1991). Dengan demikian , meskipun norma-norma injungtif berlaku selamanya dalam suatu masyarakat, organisasi, atau kelompok; namun norma-norma itu tidak dapat dipaksakan selamanya. Hanya dalam situasi tertentu saja-dimana suatu norma diaktifkan (artinya sangat ditonjolkan) dalam kesadaran individu-yang bisa mengarahkan perbuatan individu itu secara paksa (Miller dan Grush 1986; Rutkowski et. al. Dengan demikian, norma-norma sosial bisa digunakan sebagai alat paksa untuk mengarahkan perbuatan manusia. 13 1.6. Kerangka Pemikiran Prinsip dasar dari integrasi sosial di Gunungkidul adalah kerukunan. Kerukunan menjadi cita-cita bersama yang menjadi moral sekaligus norma individu di dalam kelompoknya. Definisi Dhurkheim tentang integrasi sosial; dalam konteks integrasi sosial masyarakat Gunungkidul; dapat dipahami sebagai hubungan individu di dalam kelompok dan hubungan antar individu di dalam kelompok itu. Konsep rukun yang di kembangkan oleh masyarakat Jawa (termasuk di Gunungkidul); menunjuk pada keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, di desa, dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernafaskan semangat kerukunan (Suseno, 1993:39). Untuk konteks masyarakat Jawa (di Gunungkidul), maka pemahaman definisi integrasi sosial menurut Dhurkheim ini perlu diperluas cakupannya. Hubungan antar individu maupun hubungan individu di dalam masyarakat Gunungkidul bermuara pada solidaritas kelompok. Secara garis besar, dilihat dari basis pola hubungannya, integrasi sosial masyarakat Gunungkidul dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk integrasi sosial yaitu integrasi sosial yang berbasis hubungan antar-individu/keluarga dan integrasi sosial yang berbasis pada pola hubungan individu di dalam kelompok. Dalam keseharian orang Gunungkidul, bentuk/praktek integrasi sosial antar-individu /keluarga umumnya berkaitan dengan ritual siklus hidup orang Jawa misalnya ritual mitoni (umur bayi 7 bulan), lairan (kelahitran bayi ), jagongan-nyumbang (acara pesta pernikahan), rewang2, maupun layat (upacara kematian). Selain itu, ada juga yang tidak terkait dengan siklus 2 Rewang adalah salah satu wujud dari partisipasi bantuan warga kepada tetangganya yang sedang punya gawe (hajatan) menikahkan anaknya. Kebutuhan rewang ini biasanya terkait dengan acara perniksahaan sing gedhen (acara besar) yang mengundang tamu ratusan hingga ribuan orang. Rewang ini dilakukan selama 1-3 hari tanpa upah/bayaran. Aktivitas ini mulai dari urusan dapur hingga urusan menyambut tamu. Selain rewang, bantuan warga masyarakat terhadap orang yang mempunyai gawe adalah dengan memberikan bantuan berupa barang atau uang. Kebiasaaan membantu ini disebut nyumbang. 14 hidup yaitu sambatan dan niliki wong loro (besuk orang sakit). Sambatan berasal dari kata „sambat‟ yang artinya berkeluh kesah karena sesuatu beban yang dialami oleh seseorang. Sambatan merupakan salah satu bentuk kegiatan gotong royong yang dilakukan warga masyarakat Gunungkidul; baik dalam aktivitas pertanian maupun dalam aktivitas non pertanian. Sambatan biasanya melibatkan banyak orang karena biasanya terkait dengan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh satu-dua orang saja, sementara pekerjaan itu perlu segera diselesaikan seperti membuat rumah, membuat kandang ternak, atau sambatan dalam pengolahan lahan pertanian. Tuan rumah yang melakukan sambatan biasanya menyediakan makanan kecil, makanan besar, minuman, maupun rokok untuk warga masyarakat yang hadir dan ikut gotong royong tersebut. Prinsip dasar dari sambatan ini adalah tuan rumah tidak memberikan upah (uang) sebagai jerih payah mereka membantu si tuan rumah. Sementara itu, bentuk/praktek hubungan individu dengan kelompoknya biasanya berkaitan dengan kepentingan umum yang dikenal dengan istilah gugur gunung (gotong royong). Gugur gunung adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Jawa secara bersama-sama dalam hal pekerjaan yang kaitannya dengan fasilitas umum, misalnya membersihkan selokan, membuat jalan setapak, membuat jembatan desa, bersih-bersih lingkungan dan sebagainya. Gugur Gunung dilakukan pada hari minggu atau hari libur dan pada hari-hari tertentu, misalnya menjelang Bulan Suci Ramadhan, menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dan lain-lain. Biasanya gugur gunung dilakukan secara berkelompok dalam satu RT, RW, bahkan satu kampung. Bentuk/praktek integrasi sosial seperti itu; baik yang berbasis pada hubungan antar-individu maupun berbasis pada hubungan individu dan kelompoknya tidak memandang status sosial, kaya-miskin, maupun pekerjaannya. 15 Menangkap simbol –simbol integrasi sosial petani di Gunungkidul sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang individu di dalam masyarakat Jawa; mengingat warga masyarakat Gunungkidul hidup dan berkembang di dalam ruang sosial dan budaya Jawa. Salah satu yang tampak nyata adalah setiap hari mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Sesekali warga menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa campuran (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia); bila mereka berkomunikasi dengan pendatang. Melihat petani Gunungkidul sebagai orang Jawa ini cukup releven dengan gambaran tentang karakter petani di wilayah Kecamatan Tepus (Gunungkidul). Menurut Suseno (1993: 12) orang yang hidup di Pulau Jawa yang kebanyakan adalah orang Jawa umumnya hidup sebagai petani atau buruh tani (seperti juga apa adanya di wilayah Gunungkidul). Di dataran rendah mereka bercocok tanam padi, di daerah pegunungan mereka menanam ketela dan palawija; ini seperti gambaran petani di Kecamatan Tepus Gunungkidul. Pemahaman tentang hubungan individu di dalam masyarakat Jawa ini sedikit banyak akan membantu dalam penelusuran mengapa individu (petani) di Gunungkidul rentan terhadap tindakan bunuh diri. Pemahaman tentang individu dalam masyarakat Jawa dapat dilihat sebagai individu yang berdiri sendiri (otonom), individu di dalam keluarga, dan individu di dalam masyarakat. Ketiganya memiliki referensi yang berbeda-beda. Orang Jawa terbagi menjadi dua golongan sosial yaitu (1) wong cilik (orang kecil) yang terdiri atas sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Masyarakat Tepus sebagian besar masuk golongan yang pertama karena sebagian besar terdiri atas masaa petani. Menurut Mulder (1996: 36) pemahaman posisi individu di dalam keluarga Jawa dapat dilihat dari peran individu sebagai orang tua dan individu sebagi anak. Sebagai orang tua (orang- 16 orang dewasa) di Jawa sebagian besar memiliki kewajiban yang berorientasi pada anaknya; mulai dari mendapatkan anak, mengurus kesejahteraannya, dan mendidik anak menjadi orang Jawa. Mengurus kesejahteraan anak-anak itu dimulai sejak menyambut kelahiran anak. Orang tua akan melakukan laku prihatin, terutama ibunya, akan mengurangi makan dan menghindari pantangan-pantangan ketika hamil. Selain itu, orang tua akan melakukan ritual slametan mitoni yang diadakan pada bulan ketujuh dari kehamilan. Selain ritual itu, setelah bayi lahir dan berumur 8 bulan, orang tua melakukan ritual tedhak siti - “turun ke tanah”; si anak sudah diperbolehkan menapakkan kakinya di tanah. Siklus slametan tidak akan berhenti sampai di sana, melainkan akan diteruskan untuk merayakan semua krisis kehidupan hingga anak-anak itu naik ke pelaminan. Kewajiban orang tua terhadap anak dimulai sejak masih dalam kandungan hingga naik ke pelaminan. Kewajiban utama orang tua adalah menjaga anak-anaknya menjadi orang (dadi uwong) artinya menjadikan anak menjadi terhormat di masyarakat. Untuk menuju hal tersebut, anak dikenalkan dengan aturan-aturan budaya Jawa. Anak yang belum mengenal aturan-aturan itu digolongkan sebagai durung jawa artinya belum menjadi orang Jawa. Untuk itu mereka harus dilatih sedikit demi sedikit untuk mengikuti aturan untuk berlaku dengan sepatutnya dan menguasai diri sehingga harus diisi dengan pengetahuan tentang kebudayaan mereka. Salah satu hal yang penting ditanamkan orang tua kepada anaknya adalah isin (rasa malu). Isin adalah rasa kekhawatiran mengenai penampilan seseorang, kekhawatiran untuk jangan dikritik atau ditertawakan. Rasa ini bertujuan untuk melatih penguasaan diri, sekurang-kurangnya dalam ungkapan tingkah laku yang bisa dilihat, sedangkan rasa itu juga dapat menuju kepada perkembangan rasa rendah diri dan kehendak untuk menyendiri. Selain itu, rasa malu itu dapat memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat kepada orang lain dan keinginan untuk 17 menghindari pertikaian dan konfrontasi. Dari rasa malu ini bisa berkembang menjadi sikap yang setara yang disebut sungkan. Sikap sungkan ini berkembang pertama kali kepada ayahnya sendiri; setalah umur sepuluh-dua belas tahun, cenderung menghindarkan diri. Pada saat ini seorang anak diharapkan untuk berbahsa Jawa halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan ayahnya. Sejak saat ini dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi adat istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur hubungan bermasyarakat. Pada tataran ini seorang anak didorong untuk belajar dalam pengembangan penguasaan diri dan kebijaksanaan untuk saling menghormat dan hidup dalam damai dengan orang lain (Mulder, 1996: 38). Individu sebagai anak di dalam keluarga mempunyai kewajiban untuk menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua. Penghormatan anak itu ditunjukkan dengan menggunakan bahasa sopan (karma) kepada orang tua, selanjutnya kepatuhan itu ditunjukkan dengan mendengarkan dan memperhatikan petunjuk-petunjuk orang tua. Pernyataan penghormatan (ngabekti) ini berlanjut setlah kematian, ketika anak-anak harus memberi penghormatan kepada orang tua di tempat pemakamannya. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan kepatuhan anak itu kepada tatanan. Hal itu dinyatakan dengan tunduk yaitu dengan sikap mengangguk dan patuh pada keinginan orang tua. Selain hormat dan patuh kepada orang tua, seorang anak harus mikul dhuwur, mendhem jero yang artinya mikul dhuwur (memikul tinggi-tinggi) yaitu nama baik dan moral yang tak tercela dari orang tua mereka; dengan memuji kebaikan orang tua dan keserasian dalam kehidupan kelauraga, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anaknya. Sementara itu, mendhem jero berarti “menanam dalam-dalam” yaitu segala sesuatu yang bisa menimbulkan ketidak selarasan, perasaan agresif, atau apa saja yang dirasakan sebagai negatif mengenai kehidupan, terutam adalam hubungan orang tua dan anak, perselisihan harus disembunyikan di dalam dan tidak untuk dipertunjukkan kepada umum (Mulder, 1996: 42) 18 Bertemunya kewajiban orang tua dan kewajiban anak itu bermuara pada hubungan antara yang lebih tinggi dan lebih rendah kedudukannya. Seorang anak harus menghormati orang tuanya dan kenyataan penghormatan itu mengantung arti bahwa yang lebih rendah kedudukannya mempersembahkan, memberikan persembahan kepada yang lebih tinggi kedudukannya sebagai upeti. Upeti semacam itu merupakan hadiah penghormatan dan sama sekali bukan pembayaran kembali atas sesuatu. Hadiah itu berfungsi untuk menarik perhatian yang penuh kebajikan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya itu. Pemberian itu bukan merupakan pertanda ketergantungan orang tua-yang lebih tinggi kedudukannya terhadap pemberian anak yang lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, orang tua akan merasa puas dan bangga kalau mereka tidak mengganggu ketenangan hati (tentrem) anak-anak mereka dengan mengajukan tuntutan-tuntutan kepadanya (Mulder, 1996:46). Menurut Hildred Geertz, ada dua kaidah yang menetukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 1993:38) Prinsip kerukunan yang dimaksud ini bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Sementara itu, yang dimaksud prinsip hormat adalah bahwa manusia di dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dua prinsip ini bertujuan pada keinginan orang Jawa akan terciptanya sebuah tatanan (Suseno, 1993:34). Prinsip rukun dan hormat itu sangat ditekankan dalam pendidikan keluarga. Anggota keluarga harus bersikap rukun yaitu menciptakan hubungan yang serasi dan melaksanakan seni minta dan memberi, kompromi, sedangkan anggota keluarga itu secara spontan juga mengorbankan dorongan-dorongan pribadinya (pamrih) untuk dapat menikmati kesejahteraan 19 (slamet) yang timbul dari hubungan-hubungan serasi. Sementara itu, prinsip hormat dimulai dari pengenalan rasa sungkan anak terhadap ayahnya; seorang anak berbicara dengan dengan bahasa krama (bahasa halus) kepadanya. Selain rasa sungkan yang berkembang, di dalam prinsip hormat itu juga mengandung rasa malu (isin); terhadap orang luar seorang anak harus mempertahankan penampilannya sesuai dengan kedudukan dan nama baik dari orang tuanya (Mulder, 1996: 42). Dengan demikian, tata pergaulan seorang individu di dalam masyarakat Jawa itu sebenarnya sudah dipersiapkan oleh orang tua. Keluarga menjadi „lembaga pendidikan‟ seorang anak/individu Jawa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Bekal yang dibawa oleh masingmasing individu di dalam keluarga Jawa itu sejalan dengan cita-cita kehidupan bermasyarakat yaitu menuju masyarakat yang serasi (rukun). Kerukunan itu tidak datang sebagai suatu pemberian atau sesuatu yang datang dengan sendirinya. Akan tetapi merupakan hasil dari kemauan aktif untuk saling menghormati dan saling menyesuaikan diri. Untuk mengetahui harapan-harapan satu sama lain, maka mereka perlu saling tenggang rasa dan hormat, dan mematuhi asas timbal balik dari berinteraksi tersebut (Mulder, 1996:51). Sikap dan perilaku hormat di dalam masyarakat Jawa dapat dilihat dari bagaimana individu-individu itu berinteraksi. Hubungan antar pribadi di dalam masyarakat Jawa merupakan hubungan vertikal. Mereka berhubungan satu sama lain secara hierarkis. Dimensi vertikal dari kehidupan sosial ini, dan mengenai kehidupan pada umumnya merupakan tulang punggung utama dari tatanan moral Jawa dan diabsahkan oleh gagasan bahwa orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya agaknya adalah lebih dekat kepada kebenaran daripada orang-orang yang lebih rendah. Oleh karena itu, berhak untuk dihormati. Susunan hierarki inilah –hubungan orang tua dan anak pada intinya-yang harus memberikan stabilitas dan kelangsungan kepada hidup sosial. Individu yang diharapkan bisa berperilaku dan berbuat sesuai dengan asas-asas tatanan 20 sosial ini adalah individu yang sudah dewasa dalam pengetahuan tentang tatanan. Anak kecil dianggap sebagai durung Jawa sebab ia belum mengetahui tatanan batin dan aturan-aturan kehidupan. Dengan demikian, belum bisa diharapkan untuk berperilaku dan berbuat sesuai dengan asas-asas tatanan. Sementara itu, orang Jawa yang sudah dewasa dalam pengetahuan tatanan sudah bisa mengidentifikasi diri dengan sadar akan tempatnya di masyarakat, ia menghormati kedudukan orang lain sambil berbuat berdasarkan harapan-harapan yang ada di sekitarnya (Mulder, 1996: 54-59) Tuntutan masyarakat terhadap individu berkaitan dengan lair yaitu tingkah laku seseorang yang terlihat mata dan penampilan luar. Tuntutan itu adalah suatu tuntutan sepenuhnya dan kebanyakan orang tampak merasa aman untuk berbuat sesuai dengannya. Apapun yang dirasakan individu mengenai tuntutan masyarakat adalah merupakan urusannya sendiri selama ia mendisiplinkan diri berbuat sesuai dengan tuntutan-tuntutan dari kehidupan kelompoknya. Prinsip kerukunan di dalam masyarakat Jawa bukanlah semacam perasaan sosial alamiah istimewa pada orang Jawa. Sikap rukun tidak ada hubungan dengan kesediaan hati untuk menomorduakan kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri terhadap kelompok dan bukan diartikan sebagai cita-cita tenggelamnya individu di dalam dalam kolektif. Orang Jawa menyadari diri sebagai individu dalam masalah-masalah hidup pribadi dengan hak dan kepentingan pribadi. Sejauh diizinkan oleh prinsip kerukunan, dia berusaha sekuat tenaga untuk memenangkannya. Otonomi hidup pribadi dihargai tinggi. Dia tidak senang apabila orang lain mencampuri urusannya. Pemahaman orang Jawa atas hak-hak individual tampak juga dalam basis ekonomi eksistensi individualnya; sebagaian besar sawah, ladang dan rumah merupakan milik pribadi. Bahkan, di dalam kegiatan kerukunan (gotong-royong) pun sebenarnya sarat dengan kepentingan pribadi. Paling tidak hanya ada dua jenis gorong royong yang terjadi secara 21 spontan yaitu layat dan gugur gunung. Sementara itu, memenuhi undangan pesta merupakan kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan memberikan sejumlah uang kepada tuan rumah. Besarnya sumbangan itu akan diingat oleh kedua belah pihak dengan persis dan si pemberi boleh mengharapkan bila dia mengadakanperayaan, maka tuan rumah itu akan memebri sumbangan yang sama besar nilainya. Begitu pula individu tahu persis hak-haknya dalam transaksi tukar menukar, pinjam meminjam, jual beli, dalam menepati janji, dan dalam pembayaran kembali utangdan sebagianya. Jadi prinsip kerukunan bukan berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok. Bahkan, bisa dikatakan bahwa prinsip kerukunan memberi kemungkinan kepada orang Jawa untuk memperlihatkan suatu sikap sosial tanpa sekaligus harus merelakan kepentingan-kepentingan pribadi (Suseno, 1993:56-57). 1.7. Metode Penelitian Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian tentang bunuh diri ini berbeda dengan penelitian sosial lainnya. Hal ini disebabkan karena narasumber utama yang menjadi informan/responden yaitu pelaku bunuh diri umumnya sudah sudah meninggal dunia. Dengan demikian, peneliti perlu memodifikasi metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini. Penelitian ini berpijak pada Kajian Pustaka dan Kajian Lapangan. Dari kajian pustaka bertujuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek tentang fenomena bunuh diri (petani) yang terjadi di dunia dan terutama yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul. Kajian pustaka ini bersumber pada buku, jurnal, tesis, skripsi, data statistik, hasil penelitian, arsip, surat kabar, dan dokumendokumen yang relevan dengan judul tesis ini. Sementara itu, kajian lapangan menggunakan 22 metode kualitatif dengan menekankan pada pengggalian data melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci. Peneliti melakukan prosedur formal yang standar dilakukan untuk melakukan penelitian di suatu wilayah. Pertama yang dilakukan adalah pengurusan ijin penelitian di Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Gunungkidul. Kantor ini mengeluarkan surat ijin penelitian; sebagai pengantar untuk mengurus surat ijin penelitian (surat pengantar) dari Kantor Kecamatan. Dalam hal ini surat pengantar dari Kantor Camat Tepus kepada Kepala Desa se-Kecamatan Tepus. Dengan surat itu, peneliti bisa minta surat pengantar dari Kantor Desa Tepus agar bisa digunakan bila peneliti melakukan observasi dan wawancara di tingakat dusun. Kantor Desa Tepus tidak mengeluarkan surat pengantar itu karena menganggap bahwa surat pengantar dari kantor kecamatan itu sudah cukup kuat. Namun demikian, apabila peneliti akan mulai melakukan penelitian sebaiknya lapor ke Kepala Dusun, Ketua RW dan ketua RT dimana kunjungan lapangan itu dilakukan. 1.7.1. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara datang berkunjung ke Polisi Resort (Polres) Gunungkidul, Polisi Sektor (Polsek) Kecamatan Tepus, Kantor Kecamatan, dan Kantor Desa Tepus. Kasus bunuh diri yang terjadi di di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Gunungkidul ditangani oleh Bagian Reskrim, Polres Gunungkidul. Data kasus yang disajikan adalah data kasus yang terjadi setiap tahun di 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang meliputi hari/tanggal terjadinya, nama, agama, pekerjaan, jenis kelamin, umur, alamat, dan modus (cara bunuh diri). Sementara itu, data kasus bunuh diri yang terjadi di setiap kecamatan ditangani Polisi Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan terkait. Dengan demikian, data kasus bunuh diri yang terjadi di Kecamatan Tepus ditangani oleh Polsek Tepus. Data dari Kantor 23 Polsek inilah sebenarnya yang menjadi sumber data kasus yang tercatat di Polres Gunungkidul. Selain dari Kantor Polres Gunungkidul dan Kantor Polsek Tepus, data kasus bunuh diri yang terjadi di wilayah kecamatan dapat juga diperoleh di Kantor Kecamatan (Bagian Trantib) dan UPT Puskesmas tempat di mana kasus bunuh diri itu terjadi. Oleh karena bila terjadi kasus bunh diri di wilayah kecamatan maka ada tiga pihak yang kompeten untuk menanganinya yaitu Petugas dari Polsek, Bagian Trantib Kecamatan, dan Paramedik dari Puskesmas terdekat; di mana kasus itu terjadi. Tiga sumber data sekunder ini bisa menjadi alternatif bila dari ketiga sumber data sekunder ini tidak lengkap. Ketidaklengkapan data ini biasanya disebabkan karena pengarsipan data masih dilakukan secara manual (ditulis tangan) sehingga menemui kesulitan dalam pencarian dan penelusuran data kasus yang sudah tercatat, terutama untuk kasus-kasus yang sudah cukup lama. Selain di Kantor Kecamatan, data kasus bunuh diri juga tercatat di kantor desa. Di Desa Tepus misalnya data kasus bunuh diri tercatat di Bagian Pemerintahan Desa Tepus. Data yang disajikan lebih terinci karena aparat desa terkait sedikit banyak bisa „bercerita‟ tentang kasus-kasus yang terjadi di wilayahnya. Berbekal data sekunder ini, penelusuran data primer kasus bunuh diri yang terjadi di Kecamatan Tepus ini dapat dilakukan lebih lanjut. 1.7.2. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara observasi dan wawancara mendalam terhadap sejumlah informan kunci yaitu aparat desa/kecamatan, kepala dusun, ketua RW, ketua RT, ketua kelompok tani, tokoh agama, tokoh masyarakat (sesepuh), keluarga korban bunuh diri, petani setempat, tetangga korban bunuh diri, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda. Penelitian tentang bunuh diri di Gunungkidul umumnya menjadikan keluarga korban sebagai sumber informasi utama dan ditambah dengan sumber informasi lainnya dari aparat setempat dan tokoh masyarakat. Untuk penelitian ini tidak menggunakan pendekatan seperti itu. 24 Tidak akan menempatkan keluarga korban bunuh diri sebagai sumber informasi utama. Dengan pertimbangan bahwa masyarakat Gunungkidul memandang bahwa bunuh diri adalah aib bagi keluarga. Dengan demikian, ada kecenderungan bahwa keluarga korban akan defends menutupnutupi informasi tentang anggota keluarga yang bunuh diri. Selain itu, peneliti memandang bahwa secara psikologis keluarga korban bunuh diri sebenarnya mereka dengan sekuat tenaga ingin melupakan aib tersebut. Dengan demikian bila peneliti „memaksakan diri‟ untuk wawancara dengan keluarga korban bunuh diri; dikhawatirkan akan mengembalikan memori aib tersebut. 1.7.3. Analisis data Data sekunder kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus bersumber dari catatan Bagian Reskrim Polres Gunungkidul yang disajikan per tahun per wilayah kecamatan. Data kasus per kasus masih merupakan data mentah sehingga belum bisa dibaca kecenderungan dari kumpulan kasus-kasus tersebut. Dari data mentah ini kemudian, diolah dan dianalisis dengan mempertimbangan kategorisasi yang dapat dilakukan. Dari langkah inilah kemudian didapatkan kecenderungan dari kasus-kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul yang terjadi pada rentang Tahun 2010-2014 misalnya berapa jumlah total kasus yang ada, apa pekerjaan para korban, dan berapa usia para korban, dan seterusnya. Berbagai kecenderungan inilah yang kemudian membantu di dalam membantu di dalam analisis data primer. Data primer bersumber dari hasil wawancara dengan sejumlah informan kunci. Wawancara itu menggunakan panduan wawancara yang berbeda-beda berdasarkan isu dan informan yang akan diwawancarai. Hasil wawancara ini kemudian diorganisasikan berdasarkan isu dan informannya secara naratif. 25 1.7.4. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Dengan pertimbangan bahwa wilayah ini setiap tahun secara konsisten terjadi kasus bunuh diri. Bahkan pada rentang Tahun 1999-2003, kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus tercatat tertinggi sekabupaten Gunungkidul yaitu 20 kasus bunuh diri dari total 153 kasus (Setiawan, 2005:110). Konsistensi tingginya angka bunuh diri di Kecamatan Tepus ini pun terjadi dalam lima tahun belakangan ini. Dari data Polres Gunungkidul (2014) dari Bulan Januari 2010 hingga Bulan Agustus 2014 telah terjadi 120 kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul dan kasus di Kecamatan Tepus tercatat paling tinggi yaitu 16 kasus. Kasus bunuh diri di kecamatan ini merata terjadi di 5 desa yaitu di Desa Tepus, Purwodadi, Sidoharjo, Giripanggung, dan Sumberwungu. Dari jumlah total 16 kasus tersebut, 11 korban itu latar belakang pekerjaannya adalah petani. 1.7.5. Ruang Lingkup Penelitian Dari pendekatan Dhurkheim tentang bunuh diri yang meliputi faktor kosmik, faktor sosial, dan faktor psikologi tersebut tesis ini dibatasi pada pada kajian bunuh diri yang dilihat dari faktor sosial saja. Untuk lokasi penelitiannya fokus pada kasus bunuh diri petani yang terjadi di di Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Dusun Tegalweru, Desa Tepus pada rentang Tahun 2010-2014. Hal yang menarik dari Dusun Tegalweru adalah pada Tahun Bulan Desember 2010 tercatat ada dua kasus bunuh diri petani di dusun tersebut. Kasus ini bisa dikatakan „kejadian luar biasa‟ apabila dilihat dari cakupan wilayah terjadinya kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul; Kecamatan Rongkop misalnya pada rentang Tahun 2010-2014 hanya terjadi satu kasus bunuh diri saja. Sementara Dusun Tegalweru yang cakupan wilayahnya jauh lebih kecil justru ditemukan kasus bunuh diri lebih dari satu kasus. 1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terdiri atas lima bab yaitu sebagai berikut. Bab I Pendahuluan Bab II Setting Wilayah Penelitian Bab III Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul Bab IV Bunuh Diri dalam Representasi Integrasi Sosial Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi