Rekonsiliasi Harus Tetap Diupayakan

advertisement
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/26/Politikhukum/2397612.htm
Kompas, Kamis 26 January 2006
Rekonsiliasi Harus Tetap Diupayakan
Jakarta, Kompas - Bangsa ini tidak akan bisa lebih maju lagi jika masih saja dihambat oleh beban
sejarahnya. Apalagi, semua komponen bangsa ini pernah mengalami luka, baik Islam, TNI, maupun
kalangan nasionalis. Untuk itulah, upaya rekonsiliasi harus tetap diupayakan meskipun bukan merupakan
pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.
AM
Hal ini disampaikan sejarawan Anhar Gonggong, mantan Wakil Ketua Komnas HAM Solahuddin Wahid,
mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kiki Syahnakri, serta Sulastomo dalam diskusi peluncuran
buku Dibalik Tragedi 1965 karya Sulastomo di Jakarta, Rabu (25/1). ”Peristiwa 1965 memang tak mudah
untuk dikatakan hitam atau putih karena banyak yang abu-abu,” ujar Sulastomo.
LS
Namun, yang terpenting sekarang ini, menurut Sulastomo, apakah bangsa ini hanya akan memelihara luka
dan membiarkannya menjadi borok atau akan berusaha untuk menyembuhkan luka itu. ”Bagaimana
bangsa ini melihat masa depan jika luka itu tidak disembuhkan,” ujarnya.
kli
pin
gE
Solahuddin mengatakan, beban sejarah yang dialami bangsa ini bukan hanya menyakiti korban dan
keluarganya, namun keluarga pelaku juga merasa tersiksa. Memang tak mudah melakukan rekonsiliasi,
namun sekecil apa pun langkah yang diambil tetap sangat berarti bagi rekonsiliasi. ”Sayangnya, 42 calon
anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah di tangan Presiden sejak Agustus tahun lalu
belum dipilih Presiden untuk diserahkan kepada DPR,” ujar Solahuddin. (mam)
Kompas, Kamis, 12 October 2006
Komisi Kebenaran
DPR Harus Berani Lakukan Terobosan Politik
AM
Jakarta, Kompas - Kelambanan pemerintah yang tidak kunjung tuntas membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR, walau sebanyak 42 nama telah dinyatakan lolos proses
seleksi, terus menuai kecaman terutama dari kalangan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam jumpa pers, Rabu (11/10), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak
DPR berani melakukan terobosan dalam bentuk tekanan politis terhadap pemerintah, yang
dinilai telah mengabaikan amanat sejumlah produk hukum dan perundang-undangan terkait
pembentukan KKR tadi.
LS
Menurut Amiruddin Al Raham dari Elsam, produk hukum dan UU yang telah diabaikan itu, antara
lain Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional, yang mewajibkan pembentukan KKR; UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR; dan
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
gE
Selain itu, juga aturan UU terkait pembentukan KKR di tingkat daerah, seperti tercantum dalam
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, yang mengamanatkan pembentukan KKR di tingkat pusat.
"Pembentukan KKR adalah platform nasional sehingga DPR harus bisa berinisiatif, entah
dengan menggunakan yang namanya hak angket atau hak lain yang dimiliki untuk segera
menyelesaikan persoalan itu," ujar Amiruddin.
kli
pin
Selain itu, Amiruddin juga menyayangkan sikap DPR yang selama ini dinilai mengabaikan dan
mendiamkan saja pemerintah yang terus menunda-nunda dengan alasan dicari-cari. DPR bisa
saja berinisiatif melakukan langkah konkret tertentu. (dwa)
Wacana KKR 2006= 1
Kompas, Jumat, 06 Januari 2006
Sebuah Masa Padat Agenda
Budiman Tanuredjo
Periode 1 Januari-31 Maret 2006 adalah sebuah era singkat dengan agenda yang padat. Periode itu berusia
90 hari kalender dengan 74 hari efektif, setelah dikurangi hari Minggu dan libur. Belum lagi jika dikurangi
hari reses DPR, yang baru aktif 12 Januari 2006.
Tahun 2005 ditutup dengan sebuah pesan yang tegas dan jelas: terorisme masih merupakan ancaman;
bencana alam akan masih mengintai; dan kejahatan konvensional yang tak boleh diremehkan. Rentetan
perampokan bank bisa saja disebabkan beratnya kehidupan, tetapi harus juga dibaca tentang kemungkinan
ada kaitannya dengan pendanaan terorisme.
AM
Tujuh belas jam sebelum tahun 2005 berganti, tepatnya 31 Desember 2005 pukul 07.00, bom meledak di
Pasar Maesa, Palu, Sulawesi Tengah. Dilaporkan tujuh orang tewas dan lebih dari 50 orang terluka.
Terlepas dari perdebatan klasik—apakah aparat keamanan kecolongan atau tidak yang selalu menyertai
diskursus pascapeledakan bom—Badan Intelijen Negara pernah melansir rencana aksi teroris menjelang
Natal dan Tahun Baru 2006. Namun, modusnya berubah: dari aksi bom menjadi penculikan pejabat tinggi
negara. Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden diperketat. Perayaan Natal 2005 berlangsung aman.
LS
Mencuri perhatian
gE
Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, mencuri perhatian. Ledakan bom terjadi di tengah konsentrasi aparat
keamanan mengamankan pejabat tinggi negara. Sulawesi Tengah boleh jadi merupakan provinsi
”terpanas” di Tanah Air. Aksi terorisme terus terjadi, namun hukum tak mau mengatasi masalah di daerah
tersebut.
Salah seorang ”senator” dari Sulawesi Tengah tampil di televisi dan meminta perhatian Jakarta.
Ketidakstabilan politik di provinsi itu tentunya akan memengaruhi citra Indonesia di panggung dunia.
kli
pin
Periode Januari-31 Maret 2006, Jakarta dituntut menyelesaikan permasalahan krusial di Aceh, pasca-nota
kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005 dan masalah Papua pascapertemuan tokoh Papua dan Irian Jaya
Barat dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla.
Sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki, RUU Pemerintahan Aceh sudah selesai pada 31 Maret 2006
untuk dijadikan dasar pemilihan kepala pemerintahan Aceh pada 26 April 2006. Pemilihan kepala daerah
(pilkada) rasanya berat digelar sesuai jadwal itu.
Masyarakat Aceh tidaklah satu. Kabupaten di bagian selatan Aceh membawa isu pemekaran. Isu ini
memang tidak cukup banyak mendapat dukungan dari Banda Aceh dan Jakarta. Beberapa pasal lain,
seperti keinginan menempatkan lembaga di Aceh, dapat menjadi anggota dari badan Perserikatan BangsaBangsa atau badan dunia lainnya—yang diusulkan dalam draf RUU Pemerintahan Aceh versi DPRD—
merupakan usulan yang memancing kelompok ultranasionalis di Jakarta.
Hal lain yang juga akan memicu perdebatan adalah keinginan dari nota kesepahaman Helsinki untuk
”menidurkan” DPRD Provinsi Aceh hingga tahun 2009. Padahal, DPRD Aceh merupakan hasil Pemilu
2004.
Selain Aceh, Papua juga menuntut perhatian. Janji Wapres Jusuf Kalla menerbitkan perpu untuk
menyelesaikan problem di Papua sedikit terhambat dengan meninggalnya Gubernur Papua JP Salossa.
1
Wacana KKR 2006= 2
Sementara KPU Papua telah mengagendakan pemilihan Gubernur Papua pada 16 Februari. Ini bisa
memicu persoalan jika eksistensi Irian Jaya Barat belum selesai.
Hubungan eksekutif-legislatif akan intens pada periode tiga bulan pertama di tahun 2006. Selain problem
RUU Pemerintahan Aceh dan perpu untuk memayungi Papua, Presiden Yudhoyono juga akan mengajukan
calon Panglima TNI kepada DPR. Sesuai dengan undang-undang, ada empat calon Panglima TNI yang
memenuhi syarat, yakni mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu (yang pernah diusulkan Presiden
Megawati Soekarnoputri ke DPR, namun kemudian ditarik Presiden Yudhoyono), KSAD Jenderal Djoko
Santoso, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan KSAL Laksamana Slamet Subiyanto.
Penggantian Panglima TNI mengandung beban psikologis politis menyusul keputusan Presiden
Yudhoyono menarik surat Presiden Megawati yang mengusulkan Jenderal Ryamizard sebagai Panglima
TNI menggantikan Jenderal Endriartono. Isu penggantian Panglima TNI memang bisa memicu
”ketegangan” antara DPR dan Presiden.
AM
Militer Indonesia berada dalam kontrol obyektif sipil dalam terminologi Samuel Huntington. Militer patuh
dan tunduk pada otoritas sipil, seperti telah ditunjukkan militer di bawah Panglima TNI Jenderal
Endriartono yang patuh dan mendukung nota kesepahaman RI-GAM. Kenyamanan militer juga bisa
dipahami ketika Presiden Yudhoyono tidak banyak mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia
(HAM). Kesepakatan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao dengan
membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan akan memasuki babak penting pada Januari-Juni 2006.
gE
LS
Hubungan dengan parlemen akan berlangsung intens saat Presiden mengajukan 21 calon anggota Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tarik-menarik kepentingan akan terjadi. Memang bisa saja Presiden
tidak mengajukan 21 calon anggota KKR pada masa tersebut, namun Presiden akan dihadapkan pada
tekanan pendapat umum yang amat kuat karena KKR seharusnya sudah terbentuk 6 Oktober 2005. Adapun
MOU Helsinki memerintahkan KKR Indonesia membentuk KKR Aceh.
DPR dan pemerintah tentunya juga harus bekerja sama untuk mengisi anggota KPU yang habis masa
jabatannya pada akhir Maret 2006.
kli
pin
Satu faktor krusial yang dihadapi pemerintah pada periode ini adalah dengan beban inflasi 2005 yang
dihadapi masyarakat dan pengangguran yang jumlahnya meningkat. Pada sisi lain, pemerintah
menyalurkan bantuan langsung tunai dan menaikkan gaji PNS pada akhir Januari 2006. Tapi masalahnya,
apakah kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen itu akan sebanding dengan melemahnya daya beli
masyarakat. Bank Indonesia memperkirakan inflasi Januari bisa mencapai 1 hingga 1,1 persen. Pada kurun
waktu itu, pemerintah diharuskan membayar pokok dan bunga utang luar negeri.
Politik tetap akan stabil pada periode ini meskipun tetap membutuhkan cara berkomunikasi dengan penuh
empati. Cara komunikasi dengan memahami sepenuhnya beban berat yang diderita rakyat. Namun,
stabilitas politik bisa saja berubah dengan cepat jika pemerintah mengambil kebijakan blunder, seperti
menaikkan harga BBM, listrik, dan kebijakan yang makin mencekik rakyat.
Partai politik yang pragmatis akan membuat eksekutif lebih leluasa dalam mengambil kebijakan. Elemen
kritis mahasiswa kehilangan militansinya dan gagal mengonsolidasikan diri saat pemerintah menaikkan
harga BBM hingga dua kali pada periode 2005. Militer merasa tak banyak terganggu ketika isu
pelanggaran HAM tak banyak diutak-atik dan masyarakat dicekam ancaman terorisme.
Tahun 2006 adalah sewindu reformasi. Momentum ini bisa dikapitalisasi mengonsolidasikan gerakan sipil.
Isu pengungkapan pembunuhan Munir dan pendirian rumah ibadah akan menjadi agenda publik yang patut
mendapat perhatian.
2
Wacana KKR 2006= 3
Suara Pembaruan, 11 Februari 2006
Wapres Tak Tahu Perkembangan Pembentukan KKR
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla mengaku tidak
mengetahui perkembangan pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR).
Rencana pembentukan KKR akan dicek ke Sekretariat Negara sebab sejumlah nama
sudah dimasukkan ke DPR, tetapi hingga kini proses selanjutnya tidak jelas.
"Soal KKR memang saya tidak tahu sudah sampai di mana. Nanti saya akan cek lagi
sudah sampai di mana. Saya yakin Presiden pasti menanggapi secara baik setiap hal
tersebut," kata Wapres kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).
AM
Dikatakan, pembentukan KKR di Indonesia tidak bisa meniru begitu saja pembentukan
KKR di Afrika Selatan (Afsel). Ada perbedaan substansial antara situasi di Afsel dan
Indonesia.
Di sini, tidak tahu lagi mau rekonsiliasi dengan siapa. Sedangkan di Afsel, empat tahun
setelah praktek politik apartheid, sudah jelas pihak-pihak yang mau berekonsiliasi.
gE
LS
"Di Afrika Selatan yang memang pada saat pembentukan KKR empat tahun setelah
mereka itu selesai apartheid itu memang ada suatu kelompok yang katakanlah dari sudut
warna saja ada hitam putih yang harus disatukan. Saya tidak merasa di Indonesia ini ada
sesuatu yang betul-betul mempunyai sesuatu yang berlawanan mati-matian secara itu,"
jelasnya.
kli
pin
Dicontohkan, kalau mau rekonsiliasi dengan para korban gerakan tiga puluh September
(Gestapu), itu sudah 40 tahun silam.Sedangkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
rekonsiliasi dilakukan melalui dan berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU)
antara GAM dan RI yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Helsinki. "Masa Gestapu,
kan sudah 40 tahun, tidak tahu apakah masih ada yang bisa direkonsiliasikan. Kita tidak
tahu lagi, siapa yang musti ketemu," imbuhnya. (A-21)
Last modified: 11/2/06
3
Wacana KKR 2006= 4
Kompas, Kamis 16 Februari 2006
Menanti Respons Istana soal KKR
Budiman Tanuredjo
Tanggal 28 Maret 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan pembentukan
panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sebanyak 1.193 orang melamar.
Tanggal 3 Agustus 2005, panitia seleksi mengumumkan 42 nama calon anggota KKR dan disampaikan
kepada Presiden.
AM
Hingga saat ini belum jelas bagaimana respons Presiden Yudhoyono atas ke-42 nama calon anggota
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah diseleksi dan diusulkan panitia seleksi. Berkas itu
paling tidak sudah enam bulan berada di Kantor Kepresidenan. Belum ada penjelasan resmi dari Kantor
Kepresidenan soal ke-42 nama calon anggota KKR tersebut. Padahal, pembentukan KKR itu sudah sangat
terlambat. UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan KKR terbentuk 5
April 2005.
Menanggapi desakan dari berbagai kalangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya tidak
mengetahui sampai di mana proses pembentukan KKR yang 42 calon anggotanya telah diserahkan kepada
Presiden Yudhoyono. Saya akan cek perkembangannya. Saya yakin Presiden pasti menanggapi dengan
baik, kata Kalla (Kompas, 11/2/2006).
LS
Kalla justru mempertanyakan rekonsiliasi yang mau dicapai dengan pembentukan KKR. Jangan Indonesia
ini dipersamakan, katakanlah dengan Afrika Selatan yang pembentukan KKR-nya empat tahun setelah
selesai masa politik apartheid, ujar Kalla yang kemudian mengelaborasi, kondisi serta latar belakang
Indonesia dan Afrika Selatan berbeda. Di Afrika Selatan ada kelompok yang selain warna kulitnya
berbeda, hitam dan putih, pandangannya juga berbeda.
gE
Saya tidak merasa Indonesia ada sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika
Selatan. Kalau masalah Gestapu kan sudah 40 tahun lalu. Apakah ada yang direkonsiliasikan setelah kita
tidak tahu lagi siapa yang mesti bertemu kata Kalla.
kli
pin
Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I), balik
mempertanyakan pernyataan Kalla. Undang-undang itu adalah cermin kehendak rakyat. Membandingkan
dengan situasi Afrika Selatan tentunya tidak relevan, kata anggota DPR yang fraksinya dalam barisan
pendukung pemerintah ini.
Ia tak memahami mengapa Presiden Yudhoyono begitu lamban dalam merespons usulan dari panitia
seleksi yang dibentuknya untuk menyeleksi calon anggota KKR. Saya justru khawatir muncul persepsi
Presiden melanggar undang-undang dan kalau itu terjadi argumentasi untuk membela posisi Presiden sulit,
katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim berpendapat,
pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla memang tidak menjadikan KKR sebagai prioritas pemerintahannya.
Apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla hanya mengembalikan perdebatan soal KKR ke titik awal pada
pemerintahan Gus Dur. Kalla sama sekali tidak aware dengan masalah itu, katanya.
Bagi Ifdhal, Istana memang perlu menyatakan sikap politiknya. Kalau memang KKR sudah dianggap tidak
relevan, Presiden Yudhoyono bisa minta MPR untuk meninjau Tap MPR-nya dan meminta DPR merevisi
serta membatalkan pembentukan KKR, katanya. Proses seleksi anggota KKR didasarkan pada Tap MPR
dan undang-undang.
4
Wacana KKR 2006= 5
Presiden tersandera
Ia menduga Presiden tersandera oleh berbagai kelompok kepentingan yang sangat berkepentingan dengan
kelahiran KKR. Akibatnya, sikap politiknya tak jelas dan risikonya Presiden bisa dituduh melanggar
undang-undang, kata calon anggota KKR yang telah lolos seleksi ini.
Adalah suatu kenyataan bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada era Orde Baru
masih menjadi problem bagi bangsa ini, kendati sejumlah elite politik berupaya memengaruhi masyarakat
untuk melupakan saja masa lalu guna menatap masa depan.
Kehadiran keluarga korban kasus Talangsari (Lampung) yang terjadi 16 tahun lalu, bersafari ke DPR,
Komnas HAM, dan lembaga agama menunjukkan bahwa permasalahan itu belum selesai. Sederetan kasus
pelanggaran HAM lain juga terjadi, tapi tanpa sebuah penyelesaian. Padahal, di sana ada problem
kebenaran! Ada problem keadilan! Ada problem kemanusiaan!
AM
Fenomena Komisi Kebenaran bukanlah hanya fenomena Afrika Selatan, meskipun apa yang terjadi di
Afsel banyak menjadi rujukan, termasuk sejumlah pemimpin Indonesia berkunjung ke Afrika Selatan
untuk mempelajari bagaimana Afsel menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalunya.
LS
Fenomena Komisi Kebenaran adalah kecenderungan global dari sebuah negara yang bertransisi dari
otoriterianisme ke demokrasi. Pesan yang disampaikan Lawrence Whitehead dalam Consolidation of
Fragile Democracy sangat jelas: kalau kejahatan besar tak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak
akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata. Tidak akan ada penanaman norma
demokrasi dalam masyarakat pada umumnya dan karenanya tak akan terjadi konsolidasi demokrasi.
gE
Untuk itu, selain mekanisme pengadilan yang ditempuh, Komisi Kebenaran menjadi sebuah pilihan.
Argentina menyelesaikan problem masa lalunya dengan pembentukan Komisi Nasional untuk Orang
Hilang yang dipimpin novelis Ernesto Sabato. Komisi ini dibentuk Presiden Raul Alfonsin. Hasil kerjanya
dibukukan dalam buku berjudul Nunca Mas.
Cile juga membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi. El Salvador, Uganda, Bolivia,
dan Rwanda juga memilih jalur pengungkapan kebenaran untuk menyelesaikan masa lalu.
kli
pin
Rekonsiliasi memang sebuah tujuan akhir. Namun, selain untuk menciptakan rekonsiliasi kepentingan
korban haruslah menjadi perhatian. Chierif Bassioni dalam International Crimes: Jus Corgen and Obligatio
Erga Omnes menyebutkan adanya hak korban untuk mengetahui (right to know the truth), hak mendapat
keadilan (right to justice), dan hak memperoleh reparasi (right to reparation). Sebaiknya, menurut
Bassioni, menjadi kewajiban negara untuk mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menghukum
(duty to prosecute), dan kewajiban mereparasi (duty to reparation).
Kalla mempertanyakan bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi memang sebuah kondisi
yang susah diukur. Apakah memang sudah terjadi rekonsiliasi antara pelanggar HAM dan para korban?
Apakah sudah ada rekonsiliasi antara korban Tanjung Priok dan aparat militer?
Priscilla B Hayner dalam buku Setelah Otorianisme Berlalu (2001) menyebutkan ada tiga pertanyaan yang
harus dijawab untuk mengukur tingkat rekonsiliasi. Pertama, bagaimana penanganan masa lalu di ruang
publik? Apakah masih ada perasaan sakit terhadap masa lalu? Pertanyaan seperti itu harus dijawab korban.
Namun, dengan melihat gelombang unjuk rasa menuntut keadilan, rasa pedih dan sedih masih
menghinggapi sanubari mereka.
Kedua, bagaimana hubungan antara penentang sebelumnya. Sejauh mana misalnya resistensi dari para
korban Trisakti dan Semanggi serta orang yang patut diduga bertanggung jawab. Akankah mereka sudah
bisa seiring sejalan atau bahkan memberikan dukungan secara tulus?
5
Wacana KKR 2006= 6
Ketiga, apakah hanya ada satu versi kebenaran masa lalu? Menurut Hayner, rekonsiliasi bukan hanya
membangun kembali hubungan persahabatan, tetapi juga menyelaraskan fakta-fakta atau cerita-cerita yang
bertentangan satu sama lain. Rekonsiliasi juga membuat pernyataan atau fakta itu menjadi harmonis atau
saling cocok bila mereka bertentangan satu sama lain.
Pertanyaan kemudian adalah sudah adakah satu konstruksi cerita terhadap berbagai pelanggaran HAM
masa lalu? Jawabnya: belum ada! Peristiwa 1965 telah melahirkan sejumlah teori, melahirkan sejumlah
buku. Kasus Tanjung Priok melahirkan beragam cerita, kasus 27 Juli menimbulkan fakta yang saling
berbantahan, kasus kerusuhan Mei masih menjadi perdebatan antara DPR, Kejaksaan Agung, dan Komisi
Nasional. Kalau itu yang terjadi, apakah memang rekonsiliasi sudah dicapai?
kli
pin
gE
LS
AM
Tak perlu bingung mencari jawab mau rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi antarsesama anak bangsa,
sekaligus melaksanakan kehendak rakyat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
sebagaimana diperintahkan UU No 27 Tahun 2004. UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004 dan
menurut Pasal 45 Ayat (3) disebutkan, pembentukan komisi dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lambat enam bulan sejak diundangkan. Itu berarti 6 April 2005 KKR sudah harus terbentuk. Hari ini,
Kamis 16 Februari 2006, KKR masih belum berwujud. Pembentukan KKR sudah sangat terlambat!
6
Wacana KKR 2006= 7
Kompas, Jumat 24 Feb. 06
KKR Perlu Dukungan
Presiden: Perlu Persiapan Satu Bulan ke Depan
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memerlukan waktu yang cukup untuk
menyusun aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
Rekonsiliasi. Selain itu, Presiden juga butuh dukungan politik dari pimpinan lembaga tinggi negara,
khususnya untuk mengatur tata cara dan mekanisme kerja KKR.
”Meski pembentukan KKR sudah terlambat berbulan-bulan, sebagaimana ditetapkan UU, yaitu paling
lambat 5 April 2005, hingga kini Presiden Yudhoyono belum bisa menetapkan 21 nama untuk diajukan ke
DPR dari 42 calon hasil seleksi Panitia Seleksi KKR,” ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra seusai mendampingi Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota KKR, Kamis (23/2) di Kantor
Presiden, Kompleks Istana, Jakarta.
AM
Ketua Panitia Seleksi Anggota KKR, yang juga Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus, didampingi Sekretaris Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Wicipto Setiadi serta sejumlah anggota lain, seperti Dirjen Perlindungan HAM
Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas dan perwakilan dari masyarakat, yaitu Prof DR CFG
Sunaryati Hartono dan Sulistjowati Sugondo, ikut hadir.
LS
”Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu tepat untuk membentuk KKR. Tugas dan tanggung
jawab lembaga ini sangat besar implikasinya bagi bangsa di masa datang. Sebab, penyelesaian masa lalu
itu harus dilakukan secara damai, adil, dan bermartabat. Nah, itu yang dikhawatirkan jika kita tidak bekerja
hati-hati, sasaran KKR tidak terwujud,” ujar Yusril.
gE
Sambil menunggu penyusunan aturan pelaksanaan UU No 27 Tahun 2004 itu, ujar Yusril, Presiden
Yudhoyono juga akan meminta Panitia Seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang
diajukan, selain juga akan melakukan konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara, seperti MPR,
DPR, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
kli
pin
”Dalam sebulan ini akan dilakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah
(PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja, serta peraturan presiden
(perpres) mengenai struktur dan organisasi KKR. Panitia Seleksi juga masih akan bertemu kembali dengan
Presiden Yudhoyono sekali lagi untuk memberikan pertimbangan dan argumentasi untuk dipilih satu per
satu, selain berkonsultasi,” lanjut Yusril.
Tetap harus dilaksanakan
Ditanya pers soal pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu bahwa KKR di Indonesia
yang tidak bisa disamakan dengan KKR di Afrika Selatan sehingga menimbulkan spekulasi seolah-olah
KKR tidak perlu ada, Yusril berpendapat lain.
”Karena sudah menjadi amanat UU, maka mau tidak mau KKR harus dibentuk dan dilaksanakan. Hanya
memang waktunya dicari yang tepat, agar persiapan, serta sekaligus pemahaman di masyarakat dan
lembaga tinggi lain cukup matang setelah KKR terbentuk,” ungkap Yusril.
Yusril menambahkan, ”Persoalan itu sebetulnya sudah disinggung ketika pembahasan RUU di DPR dulu.
Jadi, tak perlu diperdebatkan. Hanya, bagaimana masalah itu diangkat lagi dan dicarikan penyelesaian
secara damai sehingga terjadi rekonsiliasi bagi semua pihak.” (har/inu)
7
Wacana KKR 2006= 8
Jakarta Post, February 24, 2006
Human rights a nonissue to elite
Tony Hotland, Jakarta
Doing the necessary work to address human rights issues has never held much appeal for any
administration in Indonesia.
During the many decades that Sukarno and his successor Soeharto were in power, rights abuses of all types
occurred.
Subsequent presidents -- B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri -- had little time
for such issues.
AM
Indeed, human rights were never discussed when Susilo Bambang Yudhoyono and Megawati were
campaigning for the presidency in 2004.
On the legislative side, it does not take a genius to determine the House of Representatives has never lived
up to its billing as the representatives of the people, especially regarding rights issues.
LS
While the future protection of human rights in the country remains an uncertainty, settling past atrocities
seems to be even less likely.
gE
Already frustrated by a lack of action over the 1998 Trisakti and Semanggi student shootings, families of
the victims were dealt another blow last Thursday when the House decided to do nothing about a
recommendation issued by lawmakers from the previous term.
Legally flawed, the recommendation says there were no elements of gross human rights violations in the
shootings, although an investigation by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) found
otherwise. The commission implicated the military in the shootings.
kli
pin
Unlike the commission, the House does not have the authority to make such a determination, and now this
recommendation poses a hurdle to the Attorney General's Office as it tries to follow up on the case.
House Commission III overseeing human rights issues promised last June to have the recommendation
revoked, providing a glimmer of hope for the families of the victims.
But months passed with no news until Thursday's decision, which was reached in a leadership forum.
House Deputy Speaker Zaenal Maarif quoted fellow Deputy Speaker Soetardjo Soerjogoeritno, who is said
to be the person most familiar with the issue, as saying that revoking the recommendation would be
unethical.
Speaker Agung Laksono says there is no precedent for revoking earlier House recommendations.
It can be dangerous to make assumptions, but let's try these:
Fact No. 1: Soetardjo is a top figure in the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which has
close ties with the military, at least when it was the ruling party under Megawati's administration.
8
Wacana KKR 2006= 9
Fact No. 2: Agung is the vice chairman of the Golkar Party, an inseparable ally of the military during
Soeharto's reign.
"Funny, even the Constitution and laws can be revised and revoked," said National Awakening Party
legislator Nursjahbani Katjasungkana, who dealt with human rights cases before moving into politics.
"The idea that a decision by a commission can be overruled by four people is ridiculous. The leadership
forum is only a substitute for a House consultative meeting, which deals only with scheduling issues."
Another avenue for probing past human rights cases, the Truth and Reconciliation Commission (KKR), is
still a long way from being formed, almost a year since the April 2005 "deadline" for its creation passed.
AM
The KKR eventually will investigate alleged human rights abuses that occurred between 1945 and 2000,
with its main tasks being to seek the truth behind alleged abuses, facilitate a reconciliation between
perpetrators and victims, and provide compensation and amnesty for both parties.
Stuck with the President is a list of 42 names to be screened for possible inclusion on the commission, as
he is too busy to arrange a meeting with the screening team.
LS
Yet, the President has time to travel the world. He even plans to visit Myanmar to preach democracy in
another country accused of gross human rights abuses, as well as to South Korea to help reconcile the two
Koreas.
He can spare time to play golf with colleagues and even has time to meet with a group of librarians to
discuss a private library at his residence.
gE
It is again shaky to make assumptions, but who's to blame?
Fact No. 1: The President, infamous for his indecisiveness, is a retired military general.
Fact No. 2: Vice President and Golkar leader Jusuf Kalla has openly expressed his objection to the KKR,
calling it unnecessary.
kli
pin
Still waiting for justice are hundreds of families and victims of the 1984 Tanjung Priok massacre, the 1989
Lampung incident, the 1997 forced disappearances of government critics, the May 1998 riots and others.
This makes one wonder if the President's show of interest in the Commission of Truth and Friendship
jointly formed with Timor Leste was only a result of international pressure.
Yet the House remains more interested in toying with political issues rather than questioning the
President's commitment to the national truth commission that has eluded the country.
Usman Hamid of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence said no one had the
courage to hold people accountable for past abuses.
Ifdhal Kasim of the Institute for Policy Research and Advocacy agreed.
"Reform isn't only about clean governance. It's also about respecting the right to speak up, as well as
coming clean about the past," said Ifdhal.
9
Wacana KKR 2006= 10
With all the human rights cases so far heard in court having ended with the acquittal of the accused
perpetrators, the Truth and Reconciliation Commission looks to be the last chance for victims and families
of atrocities to seek justice.
kli
pin
gE
LS
AM
The writer is a journalist at The Jakarta Post.
10
Wacana KKR 2006= 11
Jakarta Post, February 24, 2006
SBY still seeking political support for truth body
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta
The government continues to drag its feet on setting up the Truth and Reconciliation Commission (KKR),
despite a law ordering its immediate establishment.
When questioned about the body, State Secretary Yusril Ihza Mahendra said Thursday President Susilo
Bambang Yudhoyono wondered whether there was sufficient "public support" to establish the commission,
which was supposed to have been up and running by April last year.
AM
Under the law, the commission will be tasked with probing past human rights abuses that took place from
1945-2000. Many high level government officials and security chiefs from the New Order era are
implicated in these abuses.
The KKR will also seek to draw up a truth-telling mechanism to deal with the perpetrators and compensate
the victims of past human rights cases.
LS
Yudhoyono met the KKR selection team on Thursday, more than six months after it screened and
submitted 42 candidates to the President. Yudhoyono is supposed to pick 21 names for the commission, a
list which will then be sent to the House of Representatives for approval.
gE
However, Yusril said the President still planned to meet the selection team and senior officials one more
time to canvas their political support for the commission. The government was also preparing auxiliary
regulations to implement the much-debated law, he said.
"The President will try to meet and consult with heads of state institutions, such as the House of
Representatives, the Supreme Court and the Constitutional Court on the working mechanism. (He) needs
(more) political backing," Yusril said.
He reiterated the President's commitment to establishing the commission.
kli
pin
"We are aware that the process is overdue ... (but) we are considering the social and political situation.
Please understand this," he said.
Human rights observers have criticized the government for delaying the establishment of the commission.
They particularly took issue with Kalla's comments on the affair last week.
Comparing the situation at home to that in South Africa, Kalla said there was no need for Indonesia to
have such a commission because there were no longer any alleged human rights abuses that needed to be
resolved.
Kalla also heads the Golkar Party, the home to many former Soeharto loyalists.
Also on Thursday, Yusril announced the President had selected three police experts and three public
figures to join a commission tasked with supervising the police.
Yusril declined to name the six, pending the issuance of their appointment letters.
11
Wacana KKR 2006= 12
kli
pin
gE
LS
AM
Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adisutjipto, Justice and Human
Rights Minister Hamid Awaluddin and Home Minister M. Ma'ruf will also sit on the Police Commission.
12
Wacana KKR 2006= 13
Kompas, Rabu, 15 Maret 2006
Pengadilan HAM Ad Hoc Gagal
Rekonsiliasi Jadi Alternatif
Jakarta, Kompas - Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Albert Hasibuan, mengatakan,
Pengadilan HAM Ad hoc telah gagal menjalankan tugasnya memberi keadilan kepada korban kasus
pelanggaran HAM masa lalu. Dalam konteks itu, ia mengajak seluruh aktivis HAM mencari alternatif
untuk memberikan keadilan.
”Lupakan tuntutan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Albert yang juga mantan Ketua
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) terakhir
yang hanya menghukum Eurico Guteres dengan hukuman 10 tahun penjara. Pada kesempatan lain, MA
membebaskan seluruh pejabat sipil, Polri, dan militer.
AM
Dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Selasa (14/3), Albert mengingatkan dengan melihat pada
dua Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah dibentuk, yaitu Pengadilan HAM Tanjung Priok dan
Pengadilan HAM Timtim yang tak satu pun menghukum orang yang bertanggung jawab, kecuali Eurico
Gutteres keinginan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc Trisakti dan Semanggi serta Pengadilan HAM
Ad Hoc Talangsari sebaiknya dipikir ulang. ”Perlu dicari alternatif lain, termasuk meminta keadilan dunia
internasional,” ujarnya.
gE
Politik impunitas
LS
Menurut catatan Kompas, Indonesia menempuh banyak cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM. Kasus 27 Juli 1996 diselesaikan oleh Pengadilan Koneksitas yang membuktikan terdakwa Jonathan
Marpaung bersalah dan terbukti melempar batu ke Kantor DPP PDI. Ada mekanisme pengadilan HAM
untuk kasus pelanggaran HAM Aberupa yang berujung pada bebasnya terdakwa. Yang terakhir adalah
Pengadilan HAM Priok dan Timtim.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim juga mengatakan,
pengadilan HAM terbukti justru mengukuhkan politik impunitas untuk melindungi pejabat Polri dan
militer, namun gagal memberi perlindungan pada korban dan masyarakat.
kli
pin
Mantan anggota Komnas HAM dan juga mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga yang kini Ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia tak sependapat dengan Albert. ”Pengadilan HAM Ad hoc
tidak gagal. Saya kenal mereka,” ujarnya mengomentari kolega para hakim.
Bagi Benjamin, problem rasa keadilan adalah sangat subyektif. Adil bagi terdakwa, tidak adil bagi korban.
Adil bagi jaksa, tidak adil bagi pembela. ”Jadi, apa ukurannya,” kata dia yang sudah menduga putusan
Pengadilan HAM Ad Hoc akan seperti itu.
Benjamin juga membela tudingan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia tak memenuhi standar
internasional. ”Standar internasional yang mana, tunjukkan,” ujarnya.
Ia juga coba mendekonstruksi pikiran bahwa setiap terdakwa yang dibawa ke pengadilan harus dihukum.
”Kalau memang itu ya buat panitia penghukuman. Kalau pengadilan ya sifatnya begitu, kalau salah
dihukum, kalau benar ya dibebaskan,” katanya.
Bagi Benjamin, kecenderungan global adalah rekonsiliasi. Untuk itu ia mendorong agar Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi yang calon anggotanya sudah diseleksi panitia seleksi segera dipilih Presiden
Yudhoyono. Albert ragu dengan KKR. ”Itu hanya bersifat politis dan simbolis,” katanya. Adapun Ifdhal
13
Wacana KKR 2006= 14
mengingatkan, KKR bukanlah alternatif dari pengadilan karena KKR juga membutuhkan pengadilan.
(bdm)
Vonis
Mayjen (Purn) Rudolf Adolf Butar-Butar
Mayjen (Purn) Pranowo
Mayjen Sriyanto
Kapten Sutrisno Mascung
Asrori
Siswoyo
Abdul Halim
Zulfata
Sumitro
Sofyan Hadi
Prayogi
Winarko
Idrus
Muhson
Bebas (08-Jun 2005)
Bebas (10-Agustus-2004)
Bebas (12-Agustus-2004)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
AM
Penyelesaian Kasus-kasus HAM
Terdakwa
Kasus Tanjuing Priok
Brigjen Johni Wainal usman
AKBP Daud Sihombing
Kasus 27 Juli
gE
Kolonel CZI (Purn) Budi Purnama
Letnan Satu (Inf) Suharto
Mohammad Tanjung
Jonathan Marpaung Panahatan
Rahimmi Ilyas alias Buyung Nagari
Djoni Moniaga alias Jojon
Bebas (08-September-2005)
Bebas (08-September-2005)
LS
Kasus Abepura
Bebas (06-Januari 2004)
Bebas (06-Januari 2004)
Bebas (06-Januari 2004)
2 bulan 10 hari (06-Januari-2004
Bebas (06-Januari 2004)
(meninggal dunia 25-Apr-2003
Kasus Timor Timur
kli
pin
Abillio Jose Osorio Soares
Adam Damiri
GM Timbul Silaen
Herman Sedyono
Leoneto Martins
M. Noer Muis
Tono Suratman
Letkol Asep Kuswani
Liliek Koeshadianto
Soedjarwo
Endar Priyanto
Asep Kuswani
Achmad Syamsuddin
Sugito
Yayat Sudrajat
Gatot Subiyaktoro
Hulman Goeltom
AKB Adios Salova
Eurico Guterres
Sumber Litbang Kompas
Bebas (04-Nopember-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (12 -???- 2003)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (19-Mei-2004)
Bebas (19-Juli-2004)
Bebas (22-Mei-2003)
Bebas (19-Mei-2004)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (29-Nopember-2002)
Bebas (29-Nopember-2002)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (30-Desember-2002)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (19-Mei-2004)
10 tahun (13-Maret-2006)
14
Wacana KKR 2006= 15
Kompas, Senin 20 Maret 2006
Rekonsiliasi, Tugas Mendesak Gubernur Baru
Barnabas Suebu dipastikan menjadi Gubernur Papua periode 2006-2011. Di tangan Suebu masyarakat
Papua menggantungkan harapan penuh, termasuk penyelesaian masalah Provinsi Irian Jaya Barat. Harus
ada komitmen pejabat dan elite politik Irian Jaya Barat dan Papua untuk mengakhiri perseteruan itu jika
tidak ingin menghabiskan waktu, dana, dan tenaga dalam jumlah besar.
Bambang Sugiono, dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, di Jayapura,
mengemukakan, Suebu adalah seorang pemimpin besar Papua. Cerdas, berpengalaman, pernah lima tahun
menjadi Gubernur Irian Jaya, pernah menjadi anggota DPRD Irian Jaya, Ketua KNPI Papua, duta besar
luar biasa, dan memiliki pergaulan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional.
AM
Sederetan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki Suebu itu diharapkan mampu mengatasi dan
menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua, terutama kemelut politik antara Papua dan Irian Jaya Barat
(Irjabar). Meski dalam pidato politik menjelang pilkada, Suebu menolak pilkada Gubernur Irjabar, realitas
politik telah mengantarkan seorang gubernur definitif di Irjabar dengan dukungan sekitar 61 persen dari
600.000 masyarakat Irjabar.
LS
”Tugas paling mendesak dari Pak Bas (Barnabas Suebu) dan Pak Bram (Abraham Atururi— Gubernur
Irjabar terpilih) dalam satu-dua bulan pertama adalah menyelesaikan masalah Irjabar. Tidak boleh ada
agenda lain yang harus diselesaikan lebih awal kalau dua gubernur itu betul-betul ingin mencintai
masyarakat dan ingin membangun suasana harmonis di Papua,” papar Sugiono.
Bahas otsus
gE
Pemerintah pusat yang mendukung pelaksanaan pilkada di Irjabar diharapkan dapat memfasilitasi upaya
penyelesaian masalah Irjabar. Pemerintah pusat tak boleh membiarkan persoalan Irjabar terus bergulir.
Elite politik kedua daerah itu, seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), dan DPRP harus memiliki niat baik untuk mengakhiri perseteruan di Papua.
kli
pin
Masih menurut Sugiono, para tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda dari kedua
provinsi dapat dipertemukan bersama-sama, mencari jalan terbaik mengakhiri perseteruan politik antara
kedua daerah yang berlangsung sejak 2003 hingga hari ini. Penyelesaian masalah Irjabar sangat mendesak
dan kunci membangun Papua yang aman, damai, dan sejahtera pada lima tahun yang akan datang.
Pertemuan itu untuk membahas bagaimana implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus pascapilkada
di kedua daerah, terutama Irjabar. Pembahasan itu harus transparan, transformatif, dan akuntabel.
”Bagaimanapun Papua harus menerima kenyataan bahwa Irjabar sudah definitif sebagai sebuah provinsi
meskipun belum memiliki dasar hukum keberadaan secara jelas,” ujar Sugiono.
Visi dan misi yang disampaikan Barnabas Suebu di hadapan anggota DPRP dan selama kampanye politik
di Papua cukup jelas, yakni mendukung keutuhan NKRI. ”Untuk apa merdeka dalam artian pemisahan
wilayah secara geografis? Kalau merdeka dalam arti pembebasan dari kemiskinan, keterbelakangan,
keterisolasian, dan kebodohan, kita perjuangkan bersama dalam kerangka NKRI,” ujar Suebu.
Opsi yang ditawarkan MRP ketika mengajukan hasil konsultasi publik di Irjabar kepada pemerintah pusat
dapat dikaji kembali untuk menyelesaikan masalah Irjabar. Apabila pemerintah pusat tetap
menyelenggarakan pilkada di daerah itu, harus tetap mempertahankan satu kesatuan sosial, ekonomi, dan
budaya orang asli Papua. Tidak boleh ada penambahan pasukan TNI/Polri, pembangunan kodam dan polda
baru, dan tidak boleh menerima kaum migran dari luar Papua.
15
Wacana KKR 2006= 16
Namun, opsi itu sampai pelaksanaan pilkada di Irjabar tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat.
Pusat sama sekali tidak memberi perhatian kepada hasil konsultasi publik yang dilakukan MRP, tetapi
secara diam-diam mendorong pelaksanaan pilkada di Irjabar.
Ketua MRP Agus Alue Alua menegaskan, jika pemerintah pusat tidak memerhatikan usulan dari MRP,
MRP dan DPRP akan mengembalikan UU Otsus ke Jakarta. Tindakan itu sebagai realisasi dari penolakan
dan pengembalian Otsus oleh masyarakat, Agustus 2005.
Ketika hampir 10.000 warga Papua di Jayapura melakukan aksi demo mengembalikan UU Otsus ke DPRP
Papua, saat itu MRP belum terbentuk. MRP sebagai lembaga kultural bertugas mempertahankan dan
memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.
AM
Terkait pelaksanaan pilkada di Irjabar, MRP belum mengambil sikap. Konsentrasi MRP saat ini ke
masalah PT Freeport Indonesia (PT FI). Aspirasi masyarakat yang beragam terkait keberadaan PT FI
mendesak MRP segera mengambil sikap yang jelas terhadap perusahaan milik investor Amerika Serikat
itu.
Namun, yang jelas MRP bersama DPRP akan mengembalikan UU Otsus sebagaimana disampaikan
pimpinan MRP beberapa waktu lalu. Tindakan itu sebagai jalan terakhir mengakhiri segala konflik di
Papua terkait dengan pelaksanaan UU Otsus. Papua kembali seperti masa sebelum Otsus.
Peran dua gubernur
LS
Sugiono menyatakan, semua pihak perlu melakukan kajian bersama tentang untung-ruginya
mengembalikan UU tersebut bagi masyarakat Papua.
gE
Oleh karena itu, peran kedua gubernur baru sangat penting. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
gubernur harus mampu merangkum seluruh lembaga dan mitra kerja di daerah. termasuk MRP, DPRP,
bupati/wali kota, dan DPRD.
kli
pin
”Kedua gubernur itu telah memberi janji-janji politik kepada masyarakat di dua wilayah Papua dan Irjabar.
Kesejahteraan menjadi topik utama janji mereka. Kesejahteraan itu terbangun kalau ada kesungguhan dari
para pejabat dan elite politik untuk menyelesaikan masalah-masalah politik antara kedua daerah,” papar
Sugiono.
Persoalan Irjabar mudah diatasi kalau semua komponen masyarakat sama-sama menyingkirkan
kepentingan pribadi dan kelompok demi kesejahteraan masyarakat secara murni dan konsekuen. Irjabar
harus masuk dalam sistem Otsus sehingga mudah ditata.
Bisa jadi Provinsi Papua tetap berdiri sebagai sebuah provinsi besar. Di bawah provinsi besar itu ada
provinsi bagian yang disebut Provinsi Papua bagian Barat, Papua bagian Selatan, Papua bagian Tengah,
Papua bagian Timur, dan Provinsi Teluk Cenderawasih. Irian Jaya Barat akan berubah nama menjadi
Provinsi Papua Bagian Barat. Tidak pantas disebut Papua Barat karena memiliki konotasi kurang pas
dalam paham NKRI.(Kornelis Kewa Ama)
16
Wacana KKR 2006= 17
Jakarta post, March 20, 2006
Rights victims want truth law reviewed
JAKARTA: Victims of human rights abuses have called for a review of the 2004 Law on the Truth and
Reconciliation Commission (KKR), which they say gives impunity to state officials implicated in a series
of state crimes.
"Through the establishment of a KKR, we are worried that the government has just looked for justification
over the past violence, while on the other hand, victims have to accept reconciliation with the state," said
Mugiyanto, a human rights activist who provides legal advocacy for human rights victims grouped in the
Association of Relatives of Missing Persons (Ikohi).
Ikohi said this was discussed during a three-day national congress that ended March 10 in Makassar, South
Sulawesi.
AM
The law was enacted two years ago, but the KKR was not yet been established as President Susilo
Bambang Yudhoyono continues to delay the selection of 21 of 42 candidates proposed by the governmentsanctioned selection committee. Their selection must be approved by the House of Representatives.
kli
pin
gE
LS
Politicians have said the commission was expected to delve into past human rights cases purportedly
involving state officials during the Soeharto administration. --JP
17
Wacana KKR 2006= 18
LSM Minta Aturan Kerja Dibuat oleh KKR yang akan Terbentuk
Aturan Pelaksana UU KKR,
Hukum online, [27/3/06]
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14621&cl=Berita
Tim Advokasi akan mendaftarkan permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi.
Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan (Tim Advokasi), Senin (27/3) meminta agar pemerintah
memberikan kesempatan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk untuk membuat
sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka.
AM
Permintaan Tim Advokasi yang terdiri dari LBH Jakarta, Kontras, Elsam, Solidaritas Nusa Bangsa,
Imparsial dan Lembaga Pengabdian Hukum Yekti Angudi Piadekin Hukum Indonesia itu didasari atas
pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara tentang rencana pemerintah yang akan
melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana UU 27/2004 tentang KKR. Aturan pelaksana itu
meliputi; Keputusan Presiden tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja serta Peraturan Presiden mengenai
Struktur dan Organisasi KKR.
Langkah pemerintah ini menurut Taufik Basari, Koordinator Tim Advokasi, sebagai suatu intervensi
pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR,
penyusunan kode etik Komisi serta tata tertib dan mekanisme kerja Komisi merupakan kewenangan sidang
Komisi. Pemerintah hanya berwenang mendukung kerja Komisi melalui Sekretariat Komisi.
LS
Selain itu, Tim Advokasi menganggap langkah pemerintah ini berpotensi membatasi kerja-kerja KKR
yang sebenarnya sudah terperangkap oleh pembatasan dalam UU KKR. Misalnya dalam pasal 29 UU
KKR, mengatur tentang mekanisme yang menggunakan pendekatan interpersonal, dimana penyelesaian
suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku.
gE
Mekanisme ini mempunyai tiga kemungkinan; Pertama, apabila pelaku dan korban saling memaafkan
maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian. Selanjutnya, apabila rekomendasi amnesti
untuk pelaku dipenuhi Presiden, barulah korban memperoleh kompensasi dan rehabilitasi.
kli
pin
Kedua, apabila korban tidak bersedia memaafkan, maka komisi akan memberikan rekomendasi secara
mandiri dan obyektif. Ketiga, apabila pelaku tidak mengakui kesalahannya, maka ia akan dibawa ke
Pengadilan HAM Ad Hoc, pengadilan yang menurut mereka pembentukannya tidak mudah.
Pembatasan berikutnya adalah soal sempitnya waktu Komisi untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24
UU KKR memberikan batas waktu yang menurut Tim Advokasi tidak masuk akal, yakni 90 hari terhitung
korban datang ke Komisi.
Menurut Tim Advokasi, kalaupun Pemerintah tetap bermaksud membuat aturan pendukung Komisi, maka
aturan tersebut harus dibuat dengan tujuan mendukung kerja-kerja Komisi. Tim Advokasi menambahkan,
aturan pendukung ini harus memberikan jaminan bahwa Komisi dapat mengakses segala data dari berbagai
instansi. Perlu diketahui, sampai saat ini Presiden belum memilih anggota KKR dari 42 nama yang keluar
dari panitia seleksi anggota KKR.
Selain itu, tim juga melihat UU KKR yang ada saat ini memiliki banyak kelemahan dan cacat. Baik dari
keadilan, logika hukum dan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu, tim advokasi berencana mengajukan
permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi. Menurut jadwal. Permohonan uji materiil itu
akan didaftarkan besok, Selasa (28/3).
18
Wacana KKR 2006= 19
Suara Pembaruan, Selasa, 28 Maret 2006
UU KKR Kandung Kelemahan Fundamental
JAKARTA - DPR dan pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena UU tersebut mengandung kelemahan
fundamental dan meniadakan hak-hak korban. Kecacatan UU tersebut amat berbahaya bagi kelangsungan
sejarah bangsa Indonesia karena KKR bertugas mengungkapkan kebenaran dan hasilnya akan menjadi
official history.
Apabila bukan kebenaran yang terungkap melainkan semata-mata pengampunan belaka yang dihasilkan
oleh KKR, maka rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai dan bangsa Indonesia selamanya akan diliputi
oleh manipulasi-manipulasi sejarah dan fakta.
AM
Demikian dikatakan sejumlah aktivis dari beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran
dan Keadilan di Jakarta, Senin (27/3). Para aktivis itu antara lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Kepala Operasional Kontras Indria Fernida,
aktivis LBH Jakarta yang juga sebagai Koordinator Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari
dan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman.
LS
Mereka menyerukan seperti itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah melalui Menteri Sekretaris
Negara, Yusril Ihza Mahendra, beberapa hari lalu, yang mengatakan, pemerintah akan melakukan
persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres)
tentang tata cara dan mekanisme kerja, serta peraturan presiden (Pepres) mengenai struktur dan organisasi
KKR dalam waktu sebulan sejak akhir Februari 2006.
gE
Para aktivis itu mengatakan, desakan untuk merevisi UU tersebut merupakan usaha jangka panjang
mereka. Dan, usaha jangka pendek Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan adalah mengajukan
permohonan uji materiil UU KKR tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/3).
kli
pin
"Selasa besok, kita akan mendaftarkan permohonan uji materiil atas UU KKR ke MK, dengan alasan
seperti tersebut di atas" kata Taufik Basari. Menurut Basari, keberadaan KKR, sangat berpengaruh bagi
kelangsungan penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Namun, dengan UU KKR yang penuh
kecacatan akan membuat komisi yang akan terbentuk ini tidak dapat bekerja dengan baik.
Para aktivis itu mendesak pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap aturan-aturan dalam
UU KKR yang membatasi kerja-kerja KKR. Mereka mendesak pemerintah agar tidak mengeluarkan
aturan-aturan yang membatasi kerja KKR dan sebaliknya menjamin KKR dapat mengakses segala data
untuk kepentingan pengungkapan kebenaran.
Menurut mereka rencana pemerintah sebagaimana dikatakan Yusril tersebut merupakan intervensi
pemerintah yang terlalu jauh dan berpotensi semakin membatasi kerja KKR.
Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada KKR yang akan terbentuk untuk membuat sendiri tata
cara dan mekanisme kerja mereka (KKR). KKR sudah benar-benar terperangkap oleh pembatasanpembatasan dalam UU Nomor 27 Tahun 2004, dan jangan diperparah lagi dengan pembatasan lebih jauh
dari pemerintah.
Dikekang
Menurut Basari, KKR yang akan terbentuk sebenarnya telah dikekang ruang geraknya oleh UU KKR
mulai dari mekanisme yang menggunakan pendekatan penyelesaian interpersonal, dimana penyelesaian
suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku (pasal 29 UU KKR).
19
Wacana KKR 2006= 20
Kemudian apabila pelaku dan korban saling memaafkan maka mereka diwajibkan membuat suatu
perjanjian perdamaian.
Selanjutnya apabila rekomendasi amnesti untuk pelaku dipenuhi oleh presiden maka barulah korban
mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi. Skenario lainnya dalam pasal 29 tersebut adalah apabila korban
tidak bersedia memaafkan maka KKR akan memberikan rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif.
Skenario ketiga, apabila pelaku tidak mau mengakui kesalahannya maka ia akan dibawa ke pengadilan
HAM ad hoc. "Untuk skenario terakhir ini menyisakan suatu ketidakjelasan mengingat pengalaman selama
ini membentuk pengadilan HAM ad hoc tidaklah mudah seperti kasus pengadilan HAm ad hoc pun
menjadi tanda tanya," kata Basari.
AM
Pembatasan berikutnya adalah sempitnya waktu KKR untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24 UU
KKR memberikan batas yang tidak masuk di akal, yakni 90 hari terhitung sejak korban datang ke KKR,
dilanjutkan dengan investigasi dan penelusuran data, mencari dan memanggil pelaku, dan merumuskan
rekomendasi amnesti.
Dengan pembatasan waktu ini akan membuat KKR tergesa-gesa dalam bekerja sehingga dapat
mengesampingkan tugas utamanya yakni mengungkapkan kebenaran yang senyatanya.
LS
Usman Hamid mengatakan, keinginan pemerintah untuk membuat "aturan main" KKR merupakan
pelanggaran terhadap UU KKR sendiri dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemandirian KKR.
Berdasarkan pasal 10 UU KKR, penyusunan kode etik KKR serta tata tertib dan mekanisme kerja KKR
merupakan kewenangan sidang KKR.
gE
Sedangkan pemerintah hanya berwenang mendukung kerja KKR melalui sekretariat KKR. Menurut pasal
14 dan 15, KKR dibantu oleh sekretariat KKR yang bertugas memberikan pelayanan administratif bagi
pelaksanaan kegiatannya (KKR).
Selanjutnya sekretaris KKR diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden, dan ketentuan
mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretariat KKR diatur dengan
peraturan presiden.
kli
pin
Kalaupun pemerintah tetap bermaksud untuk membuat aturan pendukung KKR, maka aturan tersebut
semata-mata harus bertujuan untuk mendukung kerja-kerja KKR, dan bukan sebaliknya berisi pembatasanpembatasan.
Aturan pendukung ini harus berisi jaminan, KKR komisi dapat mengakses segala data dari berbagai
instansi, sanksi terhadap instansi yang tidak mau bekerja sama, dukungan aparat negara dan perlindungan
terhadap anggota KKR. (E-8)
Last modified: 28/3/06
20
Wacana KKR 2006= 21
Suara Pembaruan, Rabu 29 Mar. 06
Korban Pelanggaran HAM Ajukan Permohonan Uji Materiil UU KKR
JAKARTA - Korban pelanggaran HAM di Indonesia bersama sejumlah aktivis dari delapan LSM yang
tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan mengajukan uji materiil atas UU Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah
Konstitusi (MK), Selasa (28/3). Menurut mereka ada sejumlah pasal UU KKR bertentangan dengan UUD
1945.
AM
Korban pelanggaran HAM dan para aktivis dari delapan LSM itu adalah Asmara Nababan mewakili
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ibrahim Zakir dari Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Esther Yusuf dari SNB, Rachland Nashidik dari Imparsial, Soenarno
Tomo Hardjono dari Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Sumaun Utomo dari Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Rahardjo Waluyo, Djati mewakili korban penculikan aktivis 1998,
Tjasman Setyo Prawiro mewakili korban peristiwa 30 September 1965 dan Taufik Basari dari LBH
Jakarta.
Menurut Ketua Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, Taufik Basari, mereka mengajukan tiga pasal
untuk diuji, yakni pasal 1 ayat (9), pasal 27 dan pasal 44. Pasal 27 yang berbunyi "Kompensasi dan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti
dikabulkan".
LS
Menurut Taufik, pasal 27 itu merupakan pasal yang diskriminatif. Pasal itu juga dianggap melanggar
prinsip HAM. Sebab, hak atas pemulihan adalah hak yang melekat pada korban dan tidak dapat
digantungkan pada kondisi lain, termasuk amnesti.
gE
Perumusan pasal 27 itu menempatkan korban dalam posisi yang tidak menguntungkan di mana korban
sulit untuk memberikan keputusannya secara bebas.
Korban harus menghadapi ketiadaan pilihan yang bebas, yakni harus menerima apa pun pengakuan pelaku,
kemudian meminta maaf dan berharap agar maafnya tersebut dapat membantu pelaku mendapatkan
amnesti.
kli
pin
Hal ini terpaksa dilakukan korban agar mendapat kepastian mengenai haknya akan kompensasi dan
rehabilitasi.
Keadaan ini akan semakin diperparah ketika korban merupakan orang yang tidak mampu atau begitu
semakin menderita karena harus terpaksa memberikan persetujuannya mengenai proses pemaafan untuk
amnesti ini tanpa didasari atas kesepakatan yang bebas.
Tidak Bertanggung Jawab
Keadaan lain yang terjadi adalah apabila pelaku tidak dapat ditemukan atau dinyatakan tidak
bertanggungjawab, atau tidak mendapatkan amnesti, maka korban tidak akan mendapatkan haknya.
Padahal pemenuhan hak korban atas pemulihan merupakan tanggung jawab negara.
Pasal 44 yang berbunyi "Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh
komisi (KKR), perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad Hoc" telah melanggar
prinsip dalam KKR. Karena KKR tidak boleh dijadikan sebagai pengganti pengadilan dan pengadilan itu
harus berjalan secara paralel.
21
Wacana KKR 2006= 22
Selain itu keberatan pada pasal 1 ayat 9 yang berbunyi "Amnesti adalah pengampunan yang diberikan
Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR" terkait
pada persoalan definisi pelanggaran HAM berat.
"Amnesti itu oke-oke saja. Tapi seharusnya tidak boleh diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM
berat," kata Taufik.
Taufik mengatakan, selain mengajukan permohonan, mereka juga telah melampirkan sejumlah data buktibukti dan saksi.
Pihaknya juga telah mempersiapkan delapan saksi ahli dan tiga saksi korban yang siap untuk dihadirkan di
persidangan. (E-8)
kli
pin
gE
LS
AM
Last modified: 29/3/06
22
Wacana KKR 2006= 23
Pasal Amnesti dalam UU KKR Dianggap Melanggar HAM
Hukum Online, [29/3/06]
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14634&cl=Berita
Gaung Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seolah hilang begitu saja. Inilah salah satu wajah UndangUndang yang tidak berjalan efektif. Sejumlah kalangan menggugat konstitusionalitasnya.
Gugatan itu datang dari sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan
Keadilan (TAKK). Gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat ini, Selasa kemarin (28/3)
mendatangi Mahkamah Konstitusi. Mereka mendaftarkan permohonan pengujian Undang-Undang No. 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
AM
Sejak diundangkan 6 Oktober 2004, di masa pemerintahan Megawati, Undang-Undang KKR nyaris tak
menunjukkan taringnya dalam menyelesaikan kejahatan masa lalu atau masalah-masalah hak asasi
manusia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk atas perintah Undang-Undang ini pun seolah
hilang tak tentu rimba. Bisa jadi, banyak orang yang sudah melupakannya.
Untunglah, kini TAKK mengingatkan kembali memori masyarakat tentang KKR. Walaupun dengan cara
mengajukan judicial review terhadap tiga pasal dari Undang-Undang KKR.
Menurut Taufik Basari, koordinator koalisi, pihaknya mempersoalkan pasal 27, pasal 44, dan pasal 1
angka (9). Ketiga pasal itu dianggap diskriminatif dan melanggar HAM.
gE
LS
Pasal 27 misalnya mengatur kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti
dikabulkan. Dikatakan Taufik, ketentuan ini melanggar prinsip hukum yang diatur dalam Basic Principles
and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victim of Gross Violations of International
Human Rightss Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. Juga bertentangan dengan
Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Anti Diskrimasi Rasial, Konvensi Hak Anak, Kumpulan
Prinsip untuk Melindungi dan Memajukan HAM Melalui Aksi Memerangi Impunity, serta Yurisprudensi
Mahkamah Internasional.
kli
pin
Dalam pandangan TAKK, pasal 27 menempatkan korban dalam posisi yang tidak menguntungkan karena
korban sulit memberikan keputusannya secara bebas. Mau tidak mau korban harus menerima apapun
pengakuan pelaku, kemudian memberikan maaf dan berharap agar maafnya tersebut dapat membantu
pelaku mendapatkan amnesti. Kewenangan memberikan amnesti itu, sesuai rumusan pasal 1 angka (9),
ada di tangan Presiden, dengan memperhatikan pandangan DPR.
“Pasal itu kami pandang sebagai hal yang diskriminatif dan melanggar prinsip-prinsip HAM karena hak
atas pemulihan kompensasi dan rehabilitasimerupakan hak yang melekat pada korban terlepas apakah
pelakunya dapat amnesti atau tidak,” Taufik menjelaskan.
Begitu juga rumusan pasal 44 yang memungkinkan pelanggaran HAM berat tidak dibawa ke meja hijau.
KKR, kata Taufik, tidak boleh menjadi substitusi dari lembaga peradilan. Kalaupun bisa, kedua hanya bisa
berjalan paralel. Bila dijadikan subtitusi pengadilan, korban akan sulit mendapatkan keadilan dan akses
terhadap keadilan itu sendiri (right to acces to justice).
23
Wacana KKR 2006= 24
Komaps, Kamis 13 Apr. 06
Uji Materi
Undang-Undang KKR Diajukan ke MK
Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi mulai menggelar sidang uji materi Undang- Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan agenda materi pemeriksaan pendahuluan,
Rabu (12/4). Uji materi UU KKR itu diajukan oleh Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan.
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Natabaya dengan anggota majelis hakim Harjono dan Soedarsono.
Dari pemohon, hadir tim kuasa hukum Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, Taufik Basari. Tim itu
merupakan gabungan dari beberapa lembaga, yaitu LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa,
Imparsial, dan LPH Yaphi.
AM
Ada tiga pasal dalam UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diajukan untuk diuji materi,
yaitu pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 ayat 9. Ketiga pasal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 27 Ayat
1, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 28I Ayat 5 UUD 1945.
LS
Pasal 27 menyebutkan, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan
apabila permohonan amnesti dikabulkan. Taufik mengatakan, hak yang melekat pada korban dan
kewajiban negara ini tidak dapat digantungkan pada kondisi lain, termasuk amnesti. "Bahkan, hak ini tetap
menjadi hak korban, terlepas apakah pelakunya ditemukan atau tidak," katanya.
Menurut Taufik, UU KKR ternyata menegasikan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia, dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang melindungi korban. Padahal, UUD 1945 memberikan
jaminan kepada warga negara Indonesia atas penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM.
kli
pin
gE
Majelis hakim meminta supaya pemohon melengkapi lagi penjelasan siapa korban pelanggaran HAM dan
legal standing pemohon dalam uji materi UU KRR itu. (SIE)
24
Wacana KKR 2006= 25
Kompas, Sabtu 22 April 2006
Negara Hukum di Tengah Ancaman
Budiman Tanuredjo
Indonesia punya pengalaman dalam melanggar hak asasi manusia rakyatnya. Namun, Indonesia tak punya
pengalaman menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia ketika rezim otoritarian runtuh dan
muncul pemerintahan demokratis. Ketika tanggung jawab dituntut, yang muncul adalah kegamangan.
Hujan lebat mengguyur Jakarta ketika saya berbincang dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Abdul Hakim Garuda Nusantara di kantor firma hukumnya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta.
AM
Terasa ada yang berubah dari cara Abdul Hakim mengutarakan gagasan dan pandangannya terhadap
berbagai masalah dibandingkan dengan saat menjabat pimpinan Yayasan LBH Indonesia maupun
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Pernyataannya lebih berhati-hati, tidak selugas dan
sekritis ketika dia menjadi aktivis LSM. Kesan itu tak dibantahnya. "Saya harus melihat realitas, tidak lagi
hitam-putih. Mungkin juga karena faktor usia," dalihnya sambil tertawa.
Ia dikenal sebagai tokoh LSM yang kritis. Tapi dalam pencalonan menjadi anggota Komnas HAM ia justru
dicalonkan PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia. "Tak ada dukungan dari YLBHI, Elsam,
maupun Walhi," selorohnya.
LS
Lima tahun jabatan anggota Komnas HAM akan berakhir tahun 2007. Ia belum memastikan apakah akan
maju lagi untuk meneruskan jabatannya yang kedua. "Lihat saja nanti," ucapnya diplomatis. Berikut
petikan percakapan di tengah hujan lebat sambil makan siang.
gE
Komnas HAM menginjak 13 tahun, reformasi delapan tahun, bagaimana Anda lihat perkembangan HAM
di Tanah Air?
kli
pin
Kondisi HAM setelah reformasi tidak bisa ditarik suatu gambar yang tunggal. Antara wilayah yang satu
dengan wilayah lain tidak sama. Kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi ini mungkin hampir
sama di semua wilayah dalam gradasi berbeda. Tapi kalau kita bicara mengenai hak atas rasa aman itu
berbeda. Orang di Poso atau orang di Aceh pada masa darurat militer tentu tak bisa menikmati hak atas
rasa aman. Tapi secara keseluruhan kalau bicara hak sipil dan politik relatif lebih baik dibandingkan zaman
Orde Baru. Di bidang hak ekonomi, sosial budaya ini memang masih bermasalah, terutama hak atas
pekerjaan, pengangguran tinggi, lapangan kerja sulit. Hak atas pendidikan. Tidak hanya tak bisa sekolah,
yang bersekolah pun dihadapkan pada tidak memadainya gedung. Hak atas due process of law (proses
hukum yang fair dan adil) menyedihkan bagi masyarakat yang secara ekonomis kurang. Orang diambil
tanahnya begitu saja.
Jadi, proses hukum yang fair jadi faktor terlemah?
Ya. Artinya tidak hanya dari sisi aparatnya yang melanggar, tapi juga kelompok non-negara juga
melanggar. Tanggung jawab untuk memberikan proses hukum yang adil ada pada negara, yaitu aparat
penegak hukum. Tapi dalam beberapa kasus, aparat negara tidak menunjukkan kesungguhannya. Itu yang
diderita orang Ahmadiyah, misalnya. Kalau hal seperti ini terus terjadi, Indonesia bisa dikategorikan
sebagai negara yang gagal melindungi warganya sendiri.
Kenapa otoritas negara tak bisa beri perlindungan?
Saya tak melihat itu sebagai masalah sumber daya. Tapi itu merupakan ancaman serius terhadap negara
hukum. Kelompok di dalam negara yang mendukung reformasi dan berideologi negara hukum belum
mampu mengonsolidasikan kekuatan sehingga negara sepertinya gamang dalam suasana reformasi.
25
Wacana KKR 2006= 26
Presiden dipilih langsung sehingga asumsinya punya mandat kuat. Kenapa menjadi gamang?
Ini kan negara yang tadinya otoriter, mau diubah ke negara demokratis yang perilakunya harus sejalan
dengan alam demokrasi. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi maraknya
"penegakan hukum" oleh kelompok masyarakat. Kalau tak segera diatasi, akhirnya membawa Indonesia ke
negara yang gagal. Padahal, dalam proses menuju negara demokratis kita butuh negara yang kuat
sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama. Negara kuat dalam arti negara yang mampu menjalankan
kedaulatan hukum yang disepakati aktor politik dalam demokrasi. Negara harus mampu menjalankan.
Kalau tidak kita menjadi soft state. Jadi memang dibutuhkan suatu leadership tak hanya dalam penegakan
hukum, tapi juga pembangunan hukum.
Apakah negara bisa menegakkan kedaulatan hukum dengan melihat kenyataan yang ada?
Ada penilaian Pengadilan HAM Ad Hoc telah gagal?
AM
Rezim transisi ini sejak kelahirannya, 1998, sudah menetapkan kebijakan kompromi. Di bidang HAM,
penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 dipertimbangkan dampak politiknya. Itu
dibuktikan dengan adanya ketentuan dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk melibatkan
DPR. DPR yang mempunyai kewenangan mengusulkan ke presiden perlu tidaknya Pengadilan HAM Ad
Hoc. Itu kan politik. Ke depan, kedaulatan hukum harus dikedepankan.
gE
Jangan-jangan memang tak ada niatan?
LS
Apakah itu pengadilan HAM atau penyelesaian BLBI itu merupakan kompromi politik. Diputuskan lewat
proses politik yang melibatkan DPR dan pemerintah. Pihak yang berkompromi tentu sudah menghitung
kekuatannya. Menjawab pertanyaan Anda, Pengadilan HAM Ad Hoc gagal, iya. Gagal memberi keadilan
kepada korban. Tapi saya rasa, apakah berarti proses penuntasan kasus pelanggaran HAM itu secara benar
dan tuntas juga gagal, ini belum. Kita tunggu kinerja komisi lain.
kli
pin
Kita belum punya pengalaman. Kita punya pengalaman pelanggaran HAM, tapi bagaimana menyelesaikan
ketika akan menuju negara demokratis, kita tak punya. Beberapa negara punya cara berbeda. Ada negara
yang berhasil meminta tanggung jawab pemimpin otoriter yang melanggar HAM, tapi sampai di situ tak
ada upaya lebih jauh untuk mengusut tuntas, misalnya Argentina. Korsel setelah presidennya dihukum,
Thailand waktu peristiwa penembakan demonstran tahun 74 dan terakhir 90-an juga nggak diapa- apakan.
Ada negara yang mengakui pelanggaran HAM, ada korbannya diakui, tapi tidak jelas menyebut siapa
pelakunya.
Indonesia pola apa?
Setelah membaca pengalaman negara lain menimbang realitas yang dihadapi, Indonesia tak memilih A dan
B. Kebijakan formil Indonesia menggunakan dua jalan: lewat proses pengadilan dan lewat KKR. Jadi, satu
kasus pelanggaran HAM berat itu kalau mau diselesaikan lewat pengadilan DPR menggelar rapat untuk
meminta kepada presiden. Ini keputusan politik. Tapi jika DPR berpendapat akan muncul problem,
diselesaikan lewat KKR.
Negara hukum demokratis
Cita-cita LBH—tempat Abdul Hakim mengawali karier—adalah membentuk negara hukum yang
demokratis. Cita-cita itu masih diusungnya saat menjadi Ketua Komnas HAM
Mana yang lebih mungkin mengartikulasi ide negara hukum yang demokratis sebagai aktivis LSM atau
Komnas HAM?
26
Wacana KKR 2006= 27
Perannya beda. LSM itu mengadvokasi suatu kelompok yang menurut nilai LSM itu perlu dibela. Komnas
HAM berada di tengah, mendengarkan pendapat LSM mengenai suatu masalah, tapi juga
mempertimbangkan pihak yang ditentang LSM. Kalau Komnas HAM sama dengan LSM, akan timbul
distrust dan ketidakpercayaan dari pihak lain yang akan diselidiki.
Bagaimana Anda melihat upaya menuju sebuah negara hukum demokratis?
Kalau dilihat dari produk kebijakan dan hukum, jalan yang diambil sudah benar di tengah berbagai
kesulitan. Perubahan UUD 1945 memang banyak dikritik karena metodanya lewat MPR tidak melalui
penentuan pendapat rakyat, tidak sistematis. Tapi menurut saya, konsep dan prinsip dasar menuju
konstitusi ideal sudah diletakkan.
Bagaimana implementasinya?
AM
Kalau kita bicara ideologi negara hukum sebagaimana yang kita pahami soal kesamaan di muka hukum,
semua paham primordialisme, sektarianisme, eksploitasi sentimen kultural untuk meraih kekuasaan harus
dikesampingkan. Itu kan belum terjadi. Itu krisis sumber daya hukum dalam arti daya politik, kultural,
sosial yang mendukung bekerjanya sebuah sistem dan mekanisme hukum secara benar. Dalam situasi
sumber daya hukum lemah, ketika dihadapkan pada kekuatan luar, senjata hukum jadi tak berdaya.
Bagaimana dalam praktik pembangunan hukum di DPR?
gE
LS
Menurut saya tidak sejalan dengan apa yang sudah dicapai dalam konstitusi. Misalnya mana yang harus
dianggap strategis, antara menyempurnakan UU Otonomi Daerah dalam rangka memperkuat peran pemda
dalam memberi pelayanan publik dengan UU antidiskriminasi ras dan etnis yang dibuat DPR atau RUU
Antipornografi dan Pornoaksi. Saya tak mengatakan pornografi bisa disepelekan, tapi sudah ada perangkat
hukum yang mengaturnya sendiri.
Siapa yang harus ngawasi?
kli
pin
Itu butuh kepemimpinan. Sesuatu yang dituangkan dalam konstitusi berjalan kalau ada kepemimpinan
yang mencakup pemerintah dan DPR. Negara yang berhasil mengawal perubahan menuju negara
demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang kuat untuk mengarahkan perubahan. Kita lihat
Afrika Selatan, bukan persoalan Nelson Mandela, tapi African National Congress, pemuka agama
memberikan arahan menuju pada satu visi yang disepakati. Di sini kan tidak?
Bukankah tujuan negara ada di konstitusi?
Iya. Tapi visi itu butuh penyiasatan untuk implementasi. Kita ini sepertinya dihadapkan pada situasi serba
tergopoh-gopoh karena desakan kekuatan luar. Kita tergopoh-gopoh mereformasi hukum ekonomi karena
tekanan IMF, Bank Dunia. Maka jadilah UU Kepailitan. Karena tekanan internasional tergopoh kita bikin
Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan Timtim. Sementara KKR yang sudah lama diperintahkan tak
dibuat. Kalau model kepemimpinan seperti ini berlanjut, kita nggak akan maju. Kita tak bisa mencari
prakarsa menembus kebuntuan. Seharusnya cara berpikir tidak demikian. Kalau kita memperkuat hukum
HAM dengan meratifikasi berbagai konvensi, itu harus dipahami sebagai kebutuhan.
27
Wacana KKR 2006= 28
Kompas, Sabtu 22 April 2006
UU KKR Setahun Terbengkalai
Kesungguhan Presiden Dipertanyakan
Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan
Presiden Megawati Soekarnoputri pada 6 Oktober 2004 terbengkalai implementasinya. Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi yang seharusnya terbentuk pada 6 April 2005 belum juga bisa dibentuk.
Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) kepada pers di Jakarta, Jumat
(21/4), mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merealisasikan KKR. "Ini
sebenarnya menyangkut manajemen pemerintahan. Pemerintah seharusnya bisa menetapkan mana yang
harus diprioritaskan, mana yang tidak," ucapnya.
AM
Dalam perkembangan terakhir, Presiden Yudhoyono bertemu dengan panitia seleksi anggota KKR tanggal
23 Februari 2006. Pada saat itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Presiden
mengatakan masih membutuhkan waktu yang cukup untuk menyusun peraturan pelaksanaan UU No
27/2004 (Kompas, 24/2).
UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004. Dalam Pasal 45 Ayat 3 disebutkan, "Pembentukan Komisi
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan
terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan".
LS
Gayus mengatakan, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM, masalah itu
beberapa kali ditanya- kan anggota DPR. "Kita akan menanyakan lagi kepada pemerintah," ucapnya.
gE
Sementara praktisi hukum Bambang Widjojanto mengemukakan tiga hal yang perlu mendapat jawaban
dari Presiden Yudhoyono. Pertama, secara politik apakah Presiden menganggap KKR diperlukan atau
tidak karena KKR itu adalah perintah UU No 27/2004. "Kalau tak diperlukan, bagaimana menyelesaikan
solusi hukumnya," kata Bambang yang ikut menyeleksi calon anggota KKR dan sudah menyerahkan 42
nama calon kepada Presiden.
kli
pin
Kedua, realitas sosiologis menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat
melalui pengadilan tidak berhasil memberikan keadilan kepada korban. "KKR bisa menjadi solusi tapi
mengapa terjadi buying time," katanya.
Ketiga, Bambang mengingatkan problem KKR bukan hanya personalia, melainkan juga aturan main di
dalam KKR. Jika tak ada kepemimpinan yang kuat dalam KKR nanti, ia khawatir pembahasan aturan main
bisa memakan waktu. Karena itu, ia menyarankan dan bisa mengerti kalau pemerintah ikut menyiapkan
draf aturan main dari KKR.
Bambang tak berani menilai keterlambatan pembentukan KKR sebagai kelemahan manajemen
pemerintahan. "Saya menanyakan kesungguhan presiden merealisasikannya," ucapnya.
KKR adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi. (bdm)
28
Wacana KKR 2006= 29
Kompas, Senin, 19 June 2006
Penundaan KKR Ciptakan Kondisi Dilematis
Jakarta, Kompas - Sikap pemerintah mengulur-ulur waktu pembentukan lembaga Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi menciptakan suatu kondisi dilematis. Dilema itu dihadapi
calon anggota KKR yang namanya sudah di tangan Presiden.
Kondisi tersebut terungkap lewat perbincangan Kompas, pekan lalu, dengan dua calon
anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Ifdhal Kasim dan Fadjroel
Rachman.
AM
Mereka menilai, penundaan yang terus terjadi dan berlarut-larut tanpa kejelasan akan
membuat masyarakat semakin apatis terhadap pentingnya keberadaan KKR. Semakin
lama pembentukan KKR tertunda, maka komisi itu akan semakin kehilangan
momentumnya.
LS
"Bahkan ketika KKR pada akhirnya terbentuk, masyarakat sudah berada dalam posisi
yang apatis, meragukan, dan bahkan justru mempertanyakan kembali penting tidaknya
KKR dibentuk," ujar Ifdhal.
Tidak serius
gE
Menurut Ifdhal, penundaan pembentukan KKR itu disebabkan beberapa faktor, seperti
kesengajaan pemerintah mengulur waktu, adanya ketidaksamaan pemikiran dan pendapat
di tubuh pemerintah sendiri, dan juga faktor latar belakang ekonomi terkait kesediaan
anggaran membiayai KKR.
kli
pin
"Pemerintah sengaja bermain dengan waktu. Bahkan mengundur pembentukan KKR,
bila perlu sampai masa pemerintahan berakhir untuk kemudian dibebankan ke
pemerintahan selanjutnya.," ujar Ifdhal.
Fadjroel meyakini penundaan memang sengaja dilakukan. Alasan Presiden Yudhoyono
yang menyatakan perlunya kehati-hatian dalam memilih 21 anggota KKR hanya sebatas
alasan.
"Padahal kalau mau serius, mereka punya instrumen lengkap seperti BIN (Badan
Intelijen Negara) atau bisa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, atau malah
memanggil kami untuk mengecek satu per satu," ujar Fadjroel. (dik)
Sumber:
Kompas, Senin, 19 Juni 2006
29
Wacana KKR 2006= 30
Kompas, Selasa 20 June 2006
Hak Asasi Manusia
Pemerintah Khawatir Ungkap Kebenaran
Jakarta, Kompas - Makin mundurnya pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terjadi
karena kelambatan Presiden untuk memilih 21 nama dari 42 kandidat yang telah diajukan panitia seleksi.
"Kelambatan pemerintah membentuk KKR kemungkinan muncul karena kekhawatiran untuk
mengungkapkan kebenaran yang merupakan praktik baru yang diakomodasi dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata anggota DPR yang mantan
Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidarto Danusubroto (Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Barat VII), Senin (19/6) siang.
AM
Pembentukan KKR mestinya dilakukan paling lambat April 2005. Namun, upaya itu mandek setelah
Presiden tidak kunjung menetapkan 21 anggotanya.
Sidarto menyebutkan, keengganan untuk mengungkap kebenaran karena selama ini hal itulah yang paling
sulit dilakukan. Sejak awal memang terlihat keengganan itu, termasuk keinginan untuk mendorong upaya
langsung pada rekonsiliasi tanpa lebih dulu mengungkapkan kebenaran.
LS
Menurut Sidarto, kelambatan pembentukan KKR di tingkat pusat akan berpengaruh langsung terhadap
pembentukan KKR di Aceh sebagaimana amanat RUU Pemerintahan Aceh yang kini mendekati tahap
akhir pembahasan. "KKR harus dibentuk dulu. Kalau tiba-tiba di Aceh muncul, bagaimana?" katanya.
gE
Dalam rumusan RUU Pemerintahan Aceh inisiatif pemerintah disebutkan, KKR Indonesia membentuk
KKR di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
kli
pin
Menurut anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh, Ahmad Farhan Hamid (Fraksi Partai Amanat
Nasional, Aceh II), pembentukan KKR di Aceh oleh KKR Indonesia telah mengerucut selambatlambatnya setahun setelah pengesahan RUU Pemerintahan Aceh. Apabila batas itu dilewati, Aceh berhak
membentuk KKR sendiri. (DIK)
30
Wacana KKR 2006= 31
Suara Merdeka 20 Juni 2006
Besok MK Gelar Uji Materil UU KKR
Jakarta, CyberNews. Mahkamah Konstitusi akan kembali menggelar sidang Uji Materil UU No. 27 tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Rabu (20/6) besok.
Sidang Uji Materil kali ini telah memasuki agenda pemeriksaan saksi dan ahli. Sejumlah ahli akan
dihadirkan pada sidang besok. Di antaranya, Dr Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI), Dr. Thamrin Amal
Tomagola (sosiolog UI), dan Marulah (saksi korban Tanjung Priok).
Sidang yang akan digelar di gedung Mahkamah Konstitusi ini akan dimulai pukul 10.00 WIB tepat.
"Agenda sidang besok adalah mendengarkan keterangan saksi dan ahli," kata koordinator Tim Advokasi
Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari dalam siaran persnya kepada SM CyberNews, Selasa (20/6).
AM
Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, terdiri dari LBH Jakarta, KontraS, Elsam, SNB, Imparsial, dan
LPH Yaphi, mengajukan uji materil terhadap pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 ayat (9) UU KKR yang
merugikan korban pelanggran HAM.
Permohonan Uji Materil ini didaftarkan pada tanggal 28 Maret 2006 dan dinyatakan lengkap pada tanggal
29 Maret 2006 dengan No Perkara 006/PUU-IV/2006.
kli
pin
gE
LS
Mahkamah Konstitusi telah menggelar tiga kali sidang yaitu sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada
tanggal 12 April dan 26 April 2006 untuk memeriksa kelengkapan formil dan mengklarifikasi syarat-syarat
lainnya serta sidang pada tanggal 23 Mei 2006 dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan
DPR. ( mh habieb shaleh/Cn08 )
31
Wacana KKR 2006= 32
Kompas, Selasa, 04 Juli 2006
Anggota Komisi I Khawatir KKP Melenceng
Jakarta, Kompas - Sejumlah anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mengkhawatirkan hasil kerja
Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste melenceng dari tujuan semula karena
dimanfaatkan pihak tertentu.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang pada mulanya mengutamakan persahabatan dalam
proses pengungkapan pelanggaran HAM seputar jajak pendapat 1999, pada akhirnya akan berujung pada
penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional.
AM
"KKP memang telah menyatakan tidak akan melimpahkan kasus ini ke Pengadilan HAM Internasional.
Tetapi apakah bisa dijamin setelah Pak Wiranto (saat itu menjabat Menhankam Panglima TNI) dipanggil,
nantinya tidak melenceng menjadi penuntutan hukum?" kata Junus Effendy Habibie, anggota Komisi I
DPR dari Fraksi Partai Demokrat (Sulsel I) dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Hassan
Wirajuda, Senin (3/7).
Adik mantan Presiden BJ Habibie itu khawatir hasil kerja KKP melenceng dari tujuan semula karena
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan cara penyelesaian KKP.
LS
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Jabar VII) Sidharto Danusubroto menilai
kontroversi masyarakat tentang KKP ini tidak jauh berbeda dengan kontroversi soal Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia.
gE
"Karena itu, saya bisa memahami juga kalau hingga saat ini, Presiden pun belum menandatangani 42 nama
anggota KKR," ucap Sidharto yang juga mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang KKR
itu.
Kesepakatan bersama
kli
pin
Namun, Hassan Wirajuda menjamin kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Menurut dia, hal itu sudah
dijamin dalam terms of reference (TOR) KKP itu sendiri yang sudah sangat jelas. Dalam TOR itu
disebutkan bahwa KKP tidak dimaksudkan sebagai upaya penuntutan hukum karena merupakan proses
rekonsiliasi. "Jadi, dari kebenaran yang ditemukan tidak akan berujung pada proses penuntutan karena ini
bukan proses projusticia, tapi rekonsiliasi bahkan persahabatan," jelas Hassan.
Ditanya lagi apakah pemerintah memberi jaminan itu, dia pun menegaskan kembali pernyataannya.
"Jaminan itu bukan hanya pemerintah. Kedua pihak, Indonesia dan Timor Leste. Dan itu tertuang dalam
perjanjian," tegas Hassan.
Sementara itu, Sutradara Gintings dari F-PDIP (Banten I) tidak yakin pemerintah mau membeberkan
kebenaran soal pelanggaran HAM di Timor Leste. Terbukti, pemerintah di masa lalu menolak Pengadilan
HAM Internasional dan kemudian membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc yang sekarang telah terbukti
tidak ada militer yang ditahan dan hanya ada dua warga sipil yang dinyatakan bersalah.
"Apakah pemerintah sekarang berani yang dipimpin jenderal purnawirawan? Saya tidak yakin itu karena
kalau berani, kasus-kasus lain pun harus dibuka," jelas Gintings.
Ketua KKP dari Timor Leste, Diorinicio Babo, didampingi Ketua KKP dari Indonesia, Benjamin
Mangkoedilaga, saat diterima Komisi I DPR, Kamis (22/6) , mengatakan, mereka telah menemukan 14
kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sekitar jajak pendapat tahun 1999. (sut)
32
Wacana KKR 2006= 33
Kompas, Jumat, 07 Juli 2006
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dari Sebuah "Kebutuhan" Menjadi Beban
Budiman Tanuredjo
Meski pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah terlambat berbulan-bulan, sebagaimana
ditetapkan undang-undang, yaitu paling lambat 5 April 2005, hingga kini Presiden Yudhoyono belum bisa
menetapkan 21 nama untuk diajukan ke DPR—dari 42 calon hasil seleksi Panitia Seleksi KKR.
Petikan itu adalah penjelasan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra kepada pers di Kantor
Kepresidenan, Istana Jakarta, Kamis, 23 Februari 2006. Yusril memberi penjelasan seusai mendampingi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Panitia Seleksi Calon Anggota KKR.
AM
Perjalanan KKR itu terasa begitu lambat. Namun yang terasa agak aneh, KKR menjadi salah satu lembaga
yang tak terlalu mendapat perhatian politisi ataupun DPR. Berbeda dengan komisi-komisi sejenis yang
ramai dibicarakan.
LS
Boleh jadi, KKR bakal menjadi komisi yang pembentukannya tak diinginkan. "Undang-Undang KKR
boleh jadi merupakan sebuah kecelakaan sejarah, yang sebenarnya tak diinginkan bangsa ini," ujar
Fadjroel Rachman, mantan aktivis mahasiswa yang kini menjadi salah satu calon anggota KKR dari 42
nama yang diusulkan ke Presiden Yudhoyono.
gE
UU No 27/2004 yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya memerintahkan KKR
terbentuk 5 April 2005. Namun, baru 28 Maret 2005 Presiden Yudhoyono mengeluarkan keputusan
pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota KKR. Tanggal 3 Agustus 2005, panitia seleksi
mengumumkan 42 nama calon anggota KKR dari 1.193 pelamar.
kli
pin
Sudah 11 bulan lebih nama ke-42 calon anggota KKR itu di meja Presiden, tetapi Presiden belum juga
menyerahkan 21 nama calon anggota KKR ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Baru pada 23 Februari
2006, Presiden menerima Panitia Seleksi Calon Anggota KKR yang terdiri dari Ketua Panitia Seleksi
Anggota KKR Zulkarnain Yunus, Wicipto Setiadi, serta anggota lain seperti Dirjen Perlindungan HAM
Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas dan perwakilan dari masyarakat, yaitu Prof Dr CFG Sunaryati
Hartono dan Sulistjowati Sugondo.
"Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu tepat untuk membentuk KKR. Tugas dan tanggung
jawab lembaga ini sangat besar implikasinya bagi bangsa di masa datang. Sebab, penyelesaian masa lalu
itu harus dilakukan secara damai, adil, dan bermartabat. Nah, itu yang dikhawatirkan jika kita tidak bekerja
hati-hati, sasaran KKR tidak terwujud," ujar Yusril (Kompas, 24/2/2006).
Sambil menunggu penyusunan aturan pelaksanaan UU No 27/2004, ujar Yusril, Presiden Yudhoyono juga
akan meminta panitia seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang diajukan, dan melakukan
konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara, seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung, dan
Mahkamah Konstitusi.
"Dalam sebulan ini akan dilakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah,
Keputusan Presiden tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja, serta peraturan presiden mengenai struktur
dan organisasi KKR. Panitia seleksi masih akan bertemu kembali dengan Presiden Yudhoyono untuk
memberi pertimbangan dan argumentasi untuk dipilih satu per satu," kata Yusril.
33
Wacana KKR 2006= 34
Sudah empat bulan berlalu sejak pertemuan panitia seleksi dengan Presiden Yudhoyono, belum ada
perkembangan berarti soal "nasib" KKR. Belum juga ada penjelasan soal pembuatan draf peraturan
pemerintah atau apa pun. "Sayangnya DPR tak juga memberi tanggapan signifikan," ujar Fadjroel.
Namun, anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDIP, Jawa Timur V) ketika ditanya Kompas,
Kamis (6/7) membantah kalau DPR tak mengontrol secara serius implementasi UU No 27/2004. "Setiap
rapat kerja dengan menteri kami menanyakan," ujar Gayus yang mengaku telah menanyakan kepada
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang dijawab, "Presiden berhati-hati sekali dan masih
membutuhkan waktu untuk meneliti kembali."
Langkah DPR menanyakan kepada menteri dalam sebuah rapat kerja adalah instrumen kontrol terendah
yang dimiliki DPR. Tampaknya tak ada keinginan DPR untuk mengajukan hak bertanya, sebagaimana
dalam isu-isu lain. "Padahal harapannya hanya ada pada DPR. Ini bukan hanya soal KKR, tapi pelanggaran
UU," ujar Fadjroel.
AM
Kepada pers, Gayus mengharapkan Presiden serius terhadap proses perdamaian dalam menciptakan situasi
politik yang kondusif melalui KKR. "Perlu ada keputusan final soal itu," kata Gayus seraya menambahkan,
"Jika Presiden mau meneliti ulang apakah Presiden meragukan kinerja para pembantunya."
Tak keberatan
gE
LS
Menurut Fadjroel bisa dipahami kalau Presiden harus berhati-hati dalam membentuk KKR. "Namun,
kehati-hatian harus ada batasnya dan keputusan harus bisa diambil," ucapnya. Ia tak keberatan kalau
dirinya kembali diteliti oleh tim kepresidenan mengenai rekam jejaknya dan motivasinya mengikuti seleksi
KKR. Pernyataan bahwa Presiden harus hati-hati dan ingin meneliti ulang, menurut Fadjroel, bisa
menimbulkan persepsi yang tidak baik bagi ke-42 calon anggota KKR. "Seakan kami ini membawa
sesuatu sehingga diingatkan kepada publik harus hati-hati," katanya.
kli
pin
KKR adalah sebuah kecenderungan global dari negara yang sedang bertransisi dari negara otoriter menuju
negara demokratis. Buku Kebenaran Tak Terbahasakan (2005) yang ditulis Priscilla B Hayner paling tidak
mendokumentasikan 21 Komisi Kebenaran dari Uganda hingga Siera Leone. Ada yang bernama Komisi
Orang Hilang di Argentina, Uganda, dan Sri Lanka; ada Komisi Kebenaran dan Keadilan di Haiti dan
Ekuador; ada Komisi Klarifikasi Sejarah di Guatemala, dan ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Afrika Selatan yang amat populer di Indonesia.
Namun di Indonesia, gagasan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disodorkan aktivis
LSM tampaknya menjadi "kecelakaan sejarah". "Dalam bayangan saya, pemerintahan pasca-Soeharto tak
ingin membentuk KKR," kata Fadjroel.
Ia menduga ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR mungkin
waktu itu dirasakan ada sebuah kebutuhan. Akan tetapi, ketika UU itu diundangkan dan diharuskan untuk
membentuk kelembagaan, mungkin KKR dirasakan sebagai beban sejarah. Itu tampak dari proses yang tak
bergerak.
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla paling tidak memberi gambaran persepsi pemimpin nasional ini
soal KKR. "Jangan Indonesia ini dipersamakan, katakanlah dengan Afrika Selatan yang pembentukan
KKR-nya empat tahun setelah selesai masa politik apartheid. Saya tidak merasa di Indonesia ada sesuatu
yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika Selatan," ujar Kalla.
Terlepas apakah UU KKR lahir karena sebuah "keterpaksaan sejarah" dan kemudian pembentukannya
dianggap "malah membebani sejarah", KKR adalah perintah UU. Menarik apa yang dikatakan anggota
Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II), KKR adalah
perintah UU yang harus dilaksanakan. "Jika tidak, secara politik isu itu bisa mendelegitimasi kabinet
34
Wacana KKR 2006= 35
Presiden Yudhoyono," kata anggota DPR yang fraksinya mendukung pemerintahan Presiden Yudhoyono
ini.
Mungkin saatnya memandang KKR dalam perspektif korban yang selamat (survivor). Mereka adalah
orang yang mempunyai hak untuk mengetahui (the right to know) peristiwa yang terjadi, hak akan
keadilan (the right to justice) atas penderitaan yang dialami karena peristiwa itu, dan hak memperoleh
reparasi (the right to reparation) setelah terjadinya peristiwa itu. Jika perspektif itu yang dipakai KKR
menjadi kebutuhan rasional dari sebuah bangsa untuk menyelesaikan problem masa lalunya.
Menarik apa yang ditulis Ketua KKR Afrika Selatan Uskup Desmond Mpilo Tutu dalam bukunya No
Future Without Forgiveness bagaimana korban harus memaafkan jika ia sendiri tak tahu siapa yang harus
dimaafkan dan peristiwa apa sebenarnya yang terjadi.
kli
pin
gE
LS
AM
Ajakan untuk melupakan masa lalu mengundang pertanyaan lanjutan: bisakah suatu masyarakat
membangun masa depan demokrasi di atas fondasi sejarah yang gelap, disangkal atau dilupakan sama
sekali!
35
Wacana KKR 2006= 36
KOMISI KEBENARAN REKONSILIASI ACEH BELUM TERBENTUK
12/07/2006 19:07 - Polkam/Breaking News
Hafid Abbas, Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia
(Metro TV)
Metrotvnews.com, Jakarta: Kendati Nanggroe Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang, Komisi Kebenaran
Rekonsoliasi belum terbentuk. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Hafid Abbas di Jakarta,
presiden belum memutuskan 21 anggota Komisi Kebenaran Rekonsoliasi dari 42 yang diajukan.
kli
pin
gE
LS
AM
Hafid mengatakan, beberapa waktu silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menugaskan satu tim untuk
menyeleksi calon-calon anggota komisi tersebut. Menurut Hafid di Jakarta, Rabu (12/7), komisi ini bertugas
melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM di Aceh, baik di masa silam maupun sekarang. Hafid yang menjadi
satu dari lima anggota tim telah menerima sekitar 1.500 peminat. Dan, timnya sudah mengajukan 42 nama yang dinilai
memenuhi syarat untuk menjadi anggota komisi.(DEN)
36
Wacana KKR 2006= 37
Kompas, Kamis 13 Jul. 06
Hak asasi manusia
Penetapan Anggota KKR Sepenuhnya Hak Presiden
Jakarta, Kompas - Penetapan calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR sepenuhnya
menjadi hak dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Penetapan anggota KKR itu sepenuhnya hak
presiden. Kita tunggu saja penetapannya," kata Direktur Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum
dan HAM Hafid Abbas menjawab pers seusai bersama Ikatan Alumni Universitas Negeri Makassar
bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu (12/7) di Jakarta.
Hafid yang juga salah seorang panitia yang menyeleksi calon anggota KKR mengatakan, 42 nama calon
anggota KKR sudah diserahkan kepada Presiden. Namun, Presiden belum menetapkan 21 nama calon
anggota KKR untuk diserahkan kepada DPR.
AM
Masalah pembentukan KKR ini akan terkait dengan disahkannya RUU Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal
229 Ayat 1 RUU PA disebutkan, untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini
dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Sedangkan pada Pasal 229 Ayat 2 disebutkan, KKR
di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
LS
Selain KKR, RUU PA mengatur soal pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Itu tertera dalam Pasal 228
Ayat 1 yang menyebutkan, untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
pelanggaran HAM yang terjadi sesudah undang-undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan HAM di
Aceh.
kli
pin
gE
Menurut Hafid, RUU PA telah mengakomodasi tiga poin dalam naskah nota kesepahaman Helsinki. "Tiga
poin itu adalah ratifikasi kovenan internasional atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
pengadilan HAM. Dan, pembentukan KKR di Aceh. Sebab, roh dan semangat MOU Helsinki adalah
berorientasi ke masa depan," ujar Hafid. (har)
37
Wacana KKR 2006= 38
Sinar Harapan, Selasa, 08 Agustus 2006
Pembentukan KKR Selayaknya Tunggu Putusan MK
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta-Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara
mendesak supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Kini, 42 calon anggota KKR telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and
proper test) dan tinggal menunggu diseleksi presiden. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Jimly Asshidiqie meminta pemerintah menunggu putusan pihaknya atas pengajuan uji materiil UU KKR.
“Sekarang nama calon-calonnya sudah ada di tangan presiden. Presiden saya kira harus cepat mengambil
keputusan,” katanya ketika menjadi salah satu pembicara dalam konferensi pers soal “hak konstitusional
masyarakat hukum adat”, di Gedung Komnas HAM, Senin (7/8).
Garuda menyatakan, pembentukan KKR tersebut dapat membantu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM, yang saat ini hanya ditangani Komnas HAM. Dengan adanya KKR tersebut, ke depan diharapkan
tercipta kinerja yang sinergis antara Komnas HAM dan KKR. “Kita termasuk yang mendorong KKR
supaya dibentuk. Ini sudah terlambat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie yang juga menjadi salah satu
pembicara dalam kesempatan itu mengatakan, dilihat dari perintah UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR,
pembentukan komisi tersebut sebenarnya sudah sangat terlambat. Sesuai UU, KKR sudah harus terbentuk
paling lambat pada 6 April 2005.
Untuk itu, Jimly menyarankan supaya pembentukan itu menunggu putusan MK atas perkara uji materi UU
KKR yang diajukan beberapa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dan korban pelanggaran HAM berat.
“Persiapan pembentukan sudah selesai, tinggal menunggu keputusan presiden. Tapi ini sudah sangat
lambat dari segi ketentuannya. Dalam keadaan yang sudah sangat terlambat ini ada perkara yang terkait
dengan UU KKR di MK. Paling lambat bulan depan diputus final. Jadi mungkin lebih bijaksana bila yang
sudah kadung terlambat ini menunggu dulu putusan,” tandasnya. (tutut herlina)
38
Wacana KKR 2006= 39
http://www.kompas.com/ver1/Nasional/0609/27/122943.htm [KCM]
Presiden Belum Kenal Calon Anggota KKR
Laporan Wartawan Kompas Wisnu Nugroho A
JAKARTA, KOMPAS- Berlarut-larutnya penetapan anggota Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) seperti diamanatkan undang-undang oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono disebabkan karena Presiden belum mengenal banyak nama dari 42 calon
yang telah diseleksi DPR.
"Sampai sekarang, pembentukan KKR masih dibahas. Sebenarnya Presiden ingin ketemu
sekali lagi dengan panitia seleksi. Presiden akan minta pendapat. Dari sekian nama yang
diusulkan itu, siapa yang lebih diutamakan. Banyak nama-nama yang tidak dikenal
Presiden," ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra sebelum sidang kabinet
paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (27/9).
AM
Presiden menginginkan anggota KKR berkomitmen untuk mencari penyelesaian atas masalah
pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, melalui rekonsiliasi. KKR pun perlu untuk
dicermati oleh Presiden agar tak sampai membongkar semua "kuburan" masa lalu, yang
berpotensi melahirkan masalah baru di masyarakat.
LS
Beberapa bulan lalu, Presiden telah memanggil panitia seleksi yang dibentuk Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk keperluan sama. Pemanggilan direncanakan sejak
Agustus silam, namun gagal lantaran kesibukan Presiden.
"Bulan puasa atau setidaknya setelah lebaran, Presiden dapat bertemu kembali dengan
mereka. Dengan demikian, Presiden dapat memutuskan siapa-siapa yang dicalonkan sebagai
anggota KKR," ujar Yusril.
kli
pin
gE
"Pada situasi yang lebih kondusif sekarang ini, penanganan masalah-masalah hak asasi
manusia diarahkan menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya," ujarnya.
39
Wacana KKR 2006= 40
Overdue truth body 'last hope' for victims
National News - October 01, 2006
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta
Former political prisoners linked to the Indonesian Communist Party (PKI), and human rights activists are
unhappy about the government's seeming unwillingness to establish the Truth and Reconciliation
Commission (KKR).
They said Saturday the commission was their last hope to have their reputations rehabilitated and their
rights recognized.
"We hope that our civil rights could be restored by this commission. And through this commission, we
want the perpetrators of the crimes against us tried in court. But we are pessimistic that such a commission
will be set up before the President's term ends (in 2009)," former political prisoner Robby Sumolang told
The Jakarta Post.
AM
Robby, 60, was incarcerated in the Buru island jail for 14 years without a proper trial for his alleged
involvement in the failed Sept. 30, 1965, coup blamed on the PKI.
A member of the Indonesian Youth and Students Association (IPPI), then the largest of such organizations
in the country, he was arrested by military police officers soon after the coup attempt.
LS
The former teacher was not released from jail until December 1979. On attaining his freedom, he learned
all of his property had been seized by the New Order government of president Soeharto.
gE
"Although all of my belongings were confiscated by the government, I don't want the KKR, if established,
to give me compensation. Rehabilitating my name will be enough. I know that the government doesn't
have enough money to pay us," he said.
Financial compensation, however, is an issue for Payung Salenda, 81, another former political prisoner
who was also arrested after the PKI coup.
kli
pin
"The planned commission must have a mechanism to give financial compensation. I was a civil servant
before I was arrested and I had paid a premium for my pension, but I never received a penny of it," Payung
told the Post.
Payung was a civil servant at the office of deputy prime minister J. Leimena, when he was arrested and
sent to jail in late 1965. His offense -- visiting Moscow and Kiev in 1957 to attend an international youth
congress.
The demands by the victims, however, will unlikely be met in the near future. President Susilo Bambang
Yudhoyono has said little about setting up the truth commission despite the passing in 2004 of the law
mandating the body.
State Secretary Yusril Ihza Mahendra recently said the President was having problems appointing
members of the planned commission because he did not have enough information about the candidates.
Yusril said Yudhoyono would consult the selection team for the commission to find out more about the
candidates sometime before the Idul Fitri holidays.
The selection team has screened and submitted 42 candidates for the commission to the President, who is
supposed to pick 21 names, which will be presented to the House of Representatives for final approval.
Under the law, the commission is tasked with probing past human rights abuses that took place from 19452000. Many high-level government officials and security chiefs from the New Order era were implicated
40
Wacana KKR 2006= 41
in these violations.
The Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam) criticized Yusril's statement, saying it was a
smokescreen for the government's unwillingness to set up the commission.
"The (creation of the) KKR does not require candidates to know or be known by the President. So such a
reason is an embellishment," Elsam executive director Agung Putri Astrid Artika said in a statement.
kli
pin
gE
LS
AM
National News - October 01, 2006
41
Wacana KKR 2006= 42
Suara karya, Senin, 02 Oktober 2006
PEMBENTUKAN KKR
Komisi III DPR Patut Memanggil Mensesneg
Senin, 2 Oktober 2006
JAKARTA (Suara Karya): Komisi III DPR RI patut memanggil Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg)
Yuzril Izha Mahendra atas sikap pemerintah menunda dan mengulur waktu pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pemanggilan untuk secara khusus mempersoalkan dilanggarnya
secara terus menerus mandat Undang Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR oleh pemerintah.
"Sampai saat ini sudah hampir dua tahun KKR belum juga terbentuk. Padahal menurut UU 27/ 2004, KKR
harus dibentuk setelah enam bulan diundangkannya UU tersebut," tulis Direktur Eksekutif Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Agung Putri Astrid Kartika dalam siaran persnya yang dikirim ke
Suara Karya, Sabtu.
AM
Astrid mengemukakan, dengan menunda pembentukan KKR, pemerintah telah memperpanjang upaya
menyangkal kebenaran dan menjauhi rekonsiliasi. Dia sangat terkejut namun menyesalkan pernyataan
Menteri Sekretaris Negara, Yusril Izha Mahendra, Rabu (27/9), yang menyatakan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) belum mengenal nama-nama calon anggota KKR.
LS
Pernyataan Yusril itu dinilai Astrid bertentangan dengan kenyataan, proses seleksi calon anggota KKR
telah diselesaikan oleh panitia seleksi dengan hasil terdapat 42 calon anggota KKR. Panitia seleksi telah
menyerahkan daftar nama calon tersebut kepada presiden Agustus 2005. Sejak saat itu presiden mendapat
kesempatan untuk mempelajari dan mempertimbangkan dan pada akhirnya memilih 21 orang dari 42 calon
anggota.
gE
"Waktu lebih dari satu tahun adalah masa yang lebih dari cukup bagi seorang pimpinan negara untuk
memilih dan memutuskan beberapa di antara mereka untuk memimpin KKR. Alasan yang dikemukakan
presiden tidak masuk akal," kata Astrid.
Elsam menyesalkan pernyataan presiden karena menunjukkan pemerintah belum mengurus bahan-bahan
yang diperlukan presiden untuk mempelajari daftar nama calon anggota KKR. Presiden kurang
menghargai hasil kerja panitia seleksi. Kemudian, yang bisa menjadi anggota KKR hanyalah orang-orang
yang dikenal presiden semata.
kli
pin
Elsam menyatakan, demi kepastian hukum, presiden patut menyatakan terus terang ketidakmampuannya
membentuk KKR. Alasan tidak dikenal presiden sangat mengada-ada karena UU 27/2004 tidak
mensyaratkan hal itu. (Gungde)
42
Wacana KKR 2006= 43
Kompas, Sabtu 14 Oktober 2006
Rekonsiliasi
Antikomunis Uji UU KKR
Jakarta, Kompas - Kelompok antikomunis mengajukan hak uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke Mahkamah Konstitusi. Kehadiran UU KKR
dinilai bukannya menyelesaikan dan menyembuhkan luka lama yang timbul akibat aksi sepihak Partai
Komunis Indonesia, tetapi membangkitkan kembali sentimen ideologi.
Kelompok antikomunis ini terdiri dari Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia Arukat
Djaswadi, Pengurus Yayasan Kanigoro Kediri KH Ibrahim, pengasuh Pondok Tebuireng KH Muhammad
Yusuf Hasyim, pengurus DPP Gerakan Patriot Indonesia Murwanto S, guru di Banyuwangi Abdul
Mun’im, dan Ketua Paguyuban Korban Kekejaman PKI Madiun Mohammad Said.
AM
Adapun kelompok antikomunis ini memberikan kuasa kepada tim kuasa hukum Badan Konsultasi dan
Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang.
LS
Persidangan panel di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/10), yang dihadiri HAS Natabaya,
Achmad Roestandi, dan Soedarsono, ini merupakan persidangan pertama untuk mendengarkan
permohonan pemohon. Di dalam permohonannya, para pemohon mengaku sebagai pelaku sejarah
peristiwa pengkhianatan G30S/PKI, sekaligus pegiat organisasi yang menangkal bangkitnya kembali
organisasi terlarang PKI dan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme.
kli
pin
gE
Pemohon menyatakan, mereka mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan PKI
di Madiun tahun 1948 dan pengkhianatan G30S/ PKI 1965. Mereka menganggap, UU KKR merugikan
hak konstitusional mereka. Arukat keberatan kalau PKI dijadikan sebagai korban, sementara pada 1948
dan 1965 PKI adalah pelaku. (VIN)
43
Wacana KKR 2006= 44
Kompas, Kamis, 19 Oktober 2006
Dua Tahun Yudhoyono-Kalla
Stagnasi di Tengah Klaim Perbaikan
Budiman Tanuredjo
Pada 16 Agustus 2006, di depan Rapat Paripurna DPR Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan
membaiknya kondisi hak asasi manusia di Tanah Air. Dua Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan
Politik serta Hak Ekonomi Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah diratifikasi oleh pemerintah.
Selanjutnya, Presiden Yudhoyono mengatakan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir tidak terjadi kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat. "Kondisi yang baik ini akan terus kita pelihara dan kita pertahankan,"
kata Yudhoyono.
AM
Di hadapan paripurna DPR, Yudhoyono melaporkan bahwa proses pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi akan diteruskan. Pengakuan internasional, seperti terpilihnya Makarim Wibisono sebagai
Ketua Komisi HAM PBB, terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB diklaim Yudhoyono
sebagai pertanda makin membaiknya kondisi HAM di Indonesia.
LS
Capaian internasional adalah sebuah fakta yang tak bisa dibantah. Namun, bagi keluarga korban
pelanggaran hak asasi manusia, seperti Ny Sumarsih (ibunda BR Norma Imawan), Fajroel Rachman
(mantan aktivis mahasiswa), kondisi hak asasi manusia pada dua tahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla
belum ada kemajuan berarti. Terjadi stagnasi pada tataran implementasi.
gE
Belum terungkapnya tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tetaplah merupakan utang sejarah
pemimpin bangsa Indonesia. "Jadi, belum ada perbaikan kondisi HAM di bawah Presiden Yudhoyono,"
ujar Sumarsih, yang anaknya, BR Norma Imawan, tewas ditembus timah panas aparat keamanan tahun
1998.
kli
pin
Fajroel Rachman, aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, melihat ada gelombang normalisasi
politik yang menghambat penerapan capaian normatif. Ia menyebut contoh ratifikasi Kovenan Hak Sipil
dan Politik tidak diikuti dengan penandatangan soal penghapusan hukuman mati. "Ada upaya pelambatan,"
ujarnya.
Perjalanan panjang
Perjuangan hak asasi manusia Indonesia adalah perjalanan panjang. Bagir Manan dalam buku
Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia (2001) membuat periodisasi
perkembangan pemikiran HAM, yaitu periode 1908-1945; periode 1945-1950; periode 1950-1959; periode
1959-1966; periode 1966-1998; dan periode pasca-Orde Baru.
Aktualisasi HAM menikmati "bulan madu" pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) yang ditandai
dengan tumbuhnya partai politik, terbukanya ruang kebebasan pers. Presiden Soekarno kemudian menutup
keran kebebasan dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Pada era Orde Baru, pemikiran HAM juga bergerak. Thomas Risse dan Kathryn Sikkink dalam The Power
of Human Rights: International Norms and Domestic Change, Cambridge, University Press, 1999,
sebagaimana dikutip Bagir mengedepankan pendekatan spiral model untuk menganalisis interaksi antara
masyarakat dan negara dalam mengadopsi isu HAM.
Orde Baru mengawali dengan apa yang disebut tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and
activation of network) yang diawali dengan tragedi tahun 1965 yang diikuti dengan pelanggaran HAM
44
Wacana KKR 2006= 45
lainnya. Pada saat bersamaan, korban pelanggaran HAM membentuk jaringan dengan komunitas
internasional untuk melawan pemerintah otoriter.
Menghadapi tekanan internasional itu, Soeharto memasuki tahap penyangkalan (denial). Pemerintah
Soeharto melakukan dekonstruksi terhadap isu HAM. Pada era tahun 1980-an terdengar retorika: HAM
produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai luhur Pancasila!
Soeharto tak bisa terus bertahan dengan terus menyangkal. Peristiwa Santa Cruz (1991) makin
meningkatkan tekanan internasional atas kondisi HAM di Tanah Air yang memaksa Soeharto memberikan
konsesi. Tahap ini disebut tahap konsesi taktis (tactical consession). Soeharto kemudian membentuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1993.
AM
Orde Baru berakhir dengan turunnya Soeharto. Pemerintahan pasca-Orde Baru memasuki tahap status
penaatan (prescriptive status). Pada tahap ini, pemerintah menerima norma internasional, baik melalui
ratifikasi maupun institusionalisasi norma HAM ke dalam hukum nasional.
Presiden BJ Habibie mengawali dengan membebaskan tahanan politik, melakukan liberalisasi pers dan
liberalisasi partai politik. Pada era KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri beberapa kasus
pelanggaran HAM era Soeharto dibuka. Sejumlah perwira militer diadili dalam kasus Tanjung Priok
meskipun semuanya dibebaskan. Kasus 27 Juli juga dibuka, meskipun hanya pelaku sipil yang dihukum
atas tuduhan melempar batu.
LS
Setelah tahap penaatan, dalam bahasa Thomas Risse pergerakan pemikiran HAM seharusnya memasuki
tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Tahap penataan aturan secara konsisten
ditandai dengan tegaknya demokrasi dan negara berdasarkan hukum sebagai instrumen HAM dan
ditetapkannya HAM sebagai tatanan sosial.
gE
Era kepemimpinan Yudhoyono berada di tahap akhir siklus Thomas Risse. Yudhoyono bertanggung jawab
mengisi lembaga yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
kli
pin
UU KKR memang kontroversial karena ditolak komunitas korban. "Saya kira malah baik kalau Presiden
SBY belum juga mengajukan calon ke DPR," kata Ny Sumarsih. Berbeda dengan Fajroel dan anggota
Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I) yang tetap mendesak
Presiden menyerahkan 21 nama dari 42 nama calon anggota KKR kepada DPR.
Stagnasi terjadi! Kasus pelanggaran HAM tak lagi disentuh Presiden Yudhoyono. Pembunuh Munir masih
tetap gelap, sama gelapnya dengan pembunuh wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin dan buruh
Marsinah. Di Poso Pendeta Irianto Kongkoli ditembak mati. Pembunuhan politik (political killing),
penghilangan politik (political dissapearences), dan tahahan politik (political prissoners) masa lalu dan kini
masih menjadi pekerjaan rumah Presiden Yudhoyono. Di tengah upaya menyembunyikan political killings
dan political dissapearence pada era Orde Baru Munir bersama Kontrasnya memecah kesunyian politik
(political silence). Namun, akhirnya, Munir pun menjadi korban.
Bagaimana kondisi Indonesia sekarang? Thomas Risse dan Kathrine Sikkink mengemukakan, apabila
syarat demokrasi dan negara berdasarkan hukum sebagai instrumen HAM dan HAM sebagai tatanan sosial
tak terpenuhi, ia mengkhawatirkan Indonesia kembali pada tahap awal spiral model yakni tahap represi.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Agung Putri Astrid Kartika dalam suatu
percakapan menangkap gejala sistematis mengendalikan kembali gerakan HAM. Tap MPR memberikan
kemudahan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui KKR, namun KKR tak kunjung terbentuk.
Upaya pencarian keadilan melalui Pengadilan HAM Adhoc kandas karena semuanya dibebaskan
pengadilan. Upaya penuntutan keadilan atas perilaku militer di Timtim dijawab dengan pembentukan
45
Wacana KKR 2006= 46
Komite Kebenaran dan Persahabatan. Lalu, berbagai kejahatan HAM, seperti kejahatan kemanusiaan
diadopsi dalam RUU KUHP.
kli
pin
gE
LS
AM
Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, capaian internasional seharusnya dijadikan modal
memperbaiki kondisi HAM di Tanah Air. Kepemimpinan Yudhoyono diperlukan untuk menjegah
kembalinya siklus yang dikhawatirkan Thomas Risse dan Kathrine Sikkink!
46
Wacana KKR 2006= 47
Kompas, Sabtu, 04 November 2006
Sosok dan Pemikiran
KKR Sudah Kehilangan Momentum
Budiman Tanuredjo
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kekeliruan masa lalu, meminta maaf kepada rakyat
atas kekeliruan itu, kemudian menjadikan pengalaman masa lalu untuk membangun sebuah masa depan.
Penegakan keadilan pada masa depan harus juga dilandasi pemberian keadilan pada masa lalu.
Mengelola masa lalu, masa kini, dan masa depan bukan hanya sebuah perdebatan politis, tetapi juga
filosofis. Komisioner untuk Hak atas Rasa Aman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) Enny Soeprapto (74) termasuk yang pada saat awal ikut bergulat dengan gagasan keadilan
transisional (transitional justice). Ia pun ikut mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR).
AM
Namun, realitas politik delapan tahun dengan tak kunjung terbentuknya KKR membuat Enny berubah
pandangan. "KKR sudah kehilangan relevansinya, sudah kehilangan momentumnya," ujar Enny
menegaskan pandangan pribadinya itu.
LS
Namun, bagi Enny, anggota Komnas HAM (2002-2007), pelanggaran masa lalu tetaplah penting dan tidak
bisa dilupakan begitu saja. Hanya bagaimana mengelola masa lalu menjadi sebuah pertanyaan yang tak
mudah untuk memperoleh jawaban. Ia mendorong penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc,
meskipun untuk itu dibutuhkan keputusan politik yang susah digapai.
gE
Sejarawan Taufik Abdullah saat memberi pengantar dalam buku Bersaksi di Tengah Badai-Dari Catatan
Wiranto menulis, masa lalu mungkin "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana, di negeri asing": itu
terletak sumber dari ketidakberesan yang kini—ataukah "di sini", saya rasakan. Ia melanjutkan, kalau
perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur
yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki "di sana", agar yang terjadi " di sini" baik-baik saja.
"Masa lalu haruslah dijadikan pelajaran" ucap Enny dalam percakapan dengan Kompas di ruang rapat
Komnas, Selasa lalu. Berikut petikan percakapan dengan Enny.
kli
pin
Bagaimana Anda melihat implementasi keadilan transisional di Indonesia?
Ini pendapat pribadi saya. Saya anggap pembentukan KKR sudah terlambat. Di Cile, enam minggu setelah
Pinochet jatuh, KKR sudah terbentuk. Jadi, momentumnya masih ada. Saat MPR mengeluarkan Tap MPR
V/MPR/2000 masih ada momentum. Tapi sekarang, momentum itu telah hilang. Kita tak lagi berada pada
era transisi, tetapi sudah menuju stabilisasi. KKR sudah tidak ada gunanya. Pelanggaran HAM masa lalu
diselesaikan dengan Pengadilan HAM Ad Hoc. Per definisi, penyelesaian KKR berarti penyelesaian ekstra
pengadilan, yaitu pemberian keadilan pada era transisi. Apakah kita masih ada pada masa transisi? Kalau
saya melihat kita sudah ke stabilisasi.
Transisi atau stabilisasi kan masih jadi perdebatan?
Bagaimana suatu negara dianggap transisi ketika pemilu demokratis sudah digelar dua kali, Pemilu 1999
dan Pemilu 2004. Daerah sudah otonomi, sejumlah aturan yang melindungi HAM telah dihasilkan. DPR
telah total ganti. Anggota DPR yang tak dipilih sudah tidak ada. Apakah ini masih mau disebut transisi?
Tapi mengapa proses pembentukan KKR begitu lama?
Itu soal kemauan politik. Tap MPR keluar tahun 2000, UU KKR terbit baru 2004, tetapi sekarang belum
juga terbentuk. Saya lihat ada keraguan besar dari pengambil keputusan.
47
Wacana KKR 2006= 48
Lalu bagaimana solusi legalnya karena KKR adalah amanat undang-undang?
Barangkali pendapat saya ekstrem. Urutannya kan perintah MPR, kemudian UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dan UU No 27/2004 tentang KKR. Pemerintah harus berani nyatakan KKR tak
lagi relevan dan memohon kepada MPR untuk membatalkan Tap MPR soal KKR dan meminta DPR untuk
menyatakan pasal soal KKR tak berlaku lagi. Pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat
pengadilan. Karena ekstra pengadilan itu bisa diterapkan pada masa transisi, kalau transisi sudah lewat kan
kembali ke pengadilan normal.
Secara politik apakah memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan yang
mengharuskan adanya keputusan politik DPR.
AM
DPR sudah berubah dengan Pemilu 2004. DPR 2004 itu bukan DPR transisional. Kalau enggak bisa DPR
2004, ya DPR mendatang. Tak ada pilihan lain kecuali menegakkan keadilan yang bukan transisional,
tetapi keadilan yang langgeng sifatnya.
Tetapi berbagai kasus di pengadilan HAM semuanya bebas sehingga ada pendapat, pengadilan HAM juga
tidak relevan?
Itu ranah di mana sangat menyesal Komnas HAM tak bisa masuk lagi. Kami tak bisa komentar. Buat kami,
kasus itu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kami berhenti. Tapi kami prihatin itu.
LS
Dalam konstelasi politik seperti ini, apakah masih perlu pelanggaran HAM masa lalu diungkap?
gE
Jawabannya, ya. Walaupun terasa seperti jargon atau semboyan, keadilan pada masa datang harus
dilandasi penegakan keadilan pada masa lalu. Sebab kalau tidak, akan tercatat dalam sejarah, ada
pelanggengan impunitas.
Kalau pelanggaran HAM masa lalu tak diungkap kan enggak ada problem juga?
kli
pin
Tergantung dari perspektif siapa. Korban berkepentingan, sejarah berkepentingan, generasi muda merasa
perlu tahu apa yang terjadi. KKR kan bukan hanya transitional criminal justice, melainkan juga transitional
historical justice.
Dalam konteks KKR, tampaknya semuanya diam ketika pemerintah lambat. DPR diam. Hanya LSM yang
mendesak. Yang muncul adalah ajakan untuk melupakan saja masa lalu untuk membangun masa depan.
Itu tampaknya arus besar pemikiran di Indonesia?
(Enny terdiam sejenak). Mungkin sebagian berpendapat begitu. Tapi bagaimana nasib korban, keluarga
yang masih terkena imbas ketidakadilan masa lalu. Pelupaan peristiwa masa lalu menguntungkan satu
pihak, tetapi merugikan pihak lain. Apakah bangsa diuntungkan secara keseluruhan? Patut dipertanyakan.
Bangsa yang besar harus berani mengakui kesalahan pada masa lalu justru untuk membangun masa depan.
Apa yang dilakukan Jerman adalah suatu contoh, dengan ksatria meminta maaf atas kesalahan orang pada
masa Nazi, dan menjadi bangsa besar. Kalau kita melupakan, itu menyimpang dengan gagasan KKR.
Semangat KKR itu forgive but not to forget. Kalau arahnya melupakan, keliru.
Bagaimana dengan orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang karena paspornya
dicabut?
Pertama itu pelanggaran hukum, tetapi apa yang tak melanggar hukum pada tahun 1965-an. Saya juga tak
tahu apa yang dijadikan aturan waktu itu. Jadi, sebetulnya, menurut saya, koreksi saja kesalahan masa lalu.
Berikan kewarganegaraan dan akui kembali sebagai warga negara Indonesia.
48
Wacana KKR 2006= 49
Cukup dengan koreksi saja?
Secara teknis itu. Kembalikan paspor dan warga negara nanti akan ada implikasinya. Bisa saja mereka
menuntut perbaikan nama baik, rehabilitasi atau kompensasi.
Perlu minta maaf?
Ini saya memberi contoh Jerman. Ada atau tidak ada KKR, kalau toh tidak ada permintaan maaf,
setidaknya harus ada penyataan tindakan rezim lalu adalah keliru.
Harus ada dalam momen khusus untuk minta maaf dan pengakuan kekeliruan atau cukup dengan respons
spontan atas pertanyaan pers?
AM
Ya, saya kira harus ada occasional khusus. Di Indonesia harus dicari, apakah di MPR, tetapi kapan
presiden dalam sidang MPR. Atau bisa saat DPR bersidang, pada saat itu langsung pemerintah menyatakan
bahwa KKR sudah tidak relevan dan meminta MPR mencabut Tap dan DPR mengoreksi UU.
Pandangan Anda bukan karena Anda sebagai anggota Komnas HAM merasa disaingi jika KKR lahir?
Hak asasi manusia
LS
Enggak. Momentumnya sudah tak ada. Dasarnya, KKR adalah keadilan pada masa transisi, sekarang kita
tidak lagi berada pada era transisi.
gE
Boleh jadi, Enny menjadi anggota Komnas HAM yang sering bekerja di balik layar. Ia menyiapkan naskah
akademis perubahan UU No 26/2000. Ia juga ikut mendorong perubahan Komnas HAM menjadi seperti
saat ini, di mana setiap anggota menjadi komisioner khusus masing-masing hak. Sebagai komisioner untuk
hak rasa aman, Enny juga meluncurkan komik Petualangan di Dunia 1012.
kli
pin
Komik itu berisi sosialisasi terhadap siswa sekolah dasar mengenai hak atas rasa aman. Ia juga gencar
memberikan sosialisasi soal HAM, misalnya menyosialisasi Kovensi Anti-Penyiksaan 1984 yang
diratifikasi tahun 1999. Namun, dalam praktiknya masih saja ada yang merendahkan martabat manusia.
"Kan masih ada joki ketangkap yang digunduli. Itu kan merendahkan martabat manusia," ujarnya.
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM pasca-Orde Baru?
Ya, sudah ada pemahaman meluas di kalangan aparatur pemerintah dan penegak hukum. Yang patut
dicatat, tahun 2005 kita mengesahkan dua kovenan yakni Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yang menjadi problem adalah penerapannya di lapangan. Terutama hak
ekonomi, sosial, dan budaya karena itu membebani banyak hal kepada pemerintah. Meskipun kovenan itu
menyatakan bisa dilaksanakan secara bertahap. Namun, bertahap itu tak berarti santai-santai saja. Di situ
sesuai, dengan menggunakan semaksimal mungkin sumber daya yang ada.
Konstitusi telah mencantumkan soal HAM, kovenan diratifikasi, undang-undang dibuat, tetapi
implementasi kedodoran?
Hak asasi manusia belum menjadi arus utama dalam penggarisan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Misalnya, pembangunan belum mengarustamakan HAM, kebijakan politik belum mengarusutamakan
HAM. Di situ masalahnya. Jadi, setiap langkah yang diambil pemerintah bisa berdampak pada HAM itu
kurang disadari. Jadi, terbatas pada legal formal.
Bukankah ratifikasi kovenan itu sebagai politik komestik kalau tak dijalankan?
49
Wacana KKR 2006= 50
Bisa saja dilihat dari aspek itu, terutama karena Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM.
Tapi Komnas HAM mendesak dan mempersiapkan segalanya sudah lama. Bahwa kemudian dilihat
sebagai, kebetulan dilakukan tahun 2005, karena akan mencalonkan sebagai anggota Dewan HAM, bisa
saja. Bisa karena koinsidensi atau memang dimaksudkan begitu. Saya tidak bisa ambil kesimpulan
koinsidensi atau kebetulan. Akan tetapi, kalau disengaja pun, menurut saya, tidak salah karena kita mau
menonjolkan aset-aset dan kita terpilih.
Setelah meratifikasi, konsekuensinya apa?
Lebih berat. Dulu komitmennya nasional. Setelah jadi pihak, kita punya komitmen internasional. Tahun
pertama kita harus buat laporan awal. Itu masih ringan. Kita harus jelaskan soal undang-undang nasional
yang dibuat. Kita punya kelebihan karena sudah punya. Kemudian, empat tahun kemudian kita harus buat
laporan empat tahun. Kita harus jelas perkembangan dan kemajuannya. Kewajiban kita menjadi ganda.
Kalau lalai kita ditegur.
AM
Diskursus soal HAM memudar seiring dengan isu perang melawan terorisme?
Ya, dampaknya adalah akan berupa pengurangan penikmatan HAM, tetapi pengurangan kenikmatan HAM
itu bukan berarti tidak dibenarkan. Saya kira konvensi internasional dan nasional membolehkan adanya
pembatasan hanya apabila itu dilakukan dengan undang-undang demi ketertiban umum.
Dalam tataran praktis bagaimana?
LS
Sejumlah resolusi PBB menyebutkan, dalam melakukan suppression of terrorism, ada tiga hal hukum
internasional yang harus diperhatikan. Khususnya hukum HAM, hukum pengungsi, dan hukum humaniter.
Ini tertera dalam sejumlah resolusi PBB, majelis umum, maupun DK PBB.
gE
Terorisme adalah pelanggaran hak hidup dan hak atas rasa aman, tapi penindasan terorisme tak boleh
melanggar HAM. Misalnya, kebebasan pribadi jangan sampai tidak dihormati. Penahanan juga jelas ada
jangka waktunya. Memang HAM sendiri bisa disimpangi asal dengan undang-undang hanya harus ada
kejelasan. Jangan penahanan tanpa batas waktu. Penangkapan harus dengan surat, keluarga diberitahu.
kli
pin
Nama: Enny Soeprapto (74 th).
Kelahiran: Jogjakarta 01 Oktober 1932.
Pendidikan:
-PHD, Hukum Internasional, Pasific Western Honolulu, Amerika Serikat (1995)
- Diplome Pasturniversitaire, Institut International d’Administration Publique, Sexton Diplomatique,
Paris (1969)
- Sarjana Hukum , Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (1965).
Pekerjaan:
- Komisaris untuk Hak Rasa Aman Komnas HAM (2002-2007)
- Konsultan Independent untuk Hukum Pengungsi Internasional UNHCR (1995-2002).
50
Wacana KKR 2006= 51
Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006
Selamat Datang Impunitas!
M Fadjroel Rachman
Tamat sudah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia, setelah terkatung-katung di tangan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono selama setahun lebih.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/12) mencabut nyawa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada
6 Oktober 2004 sebelum sempat dibentuk, berfungsi, dan mencapai tujuannya. Sempurnalah impunitas
total terhadap pelaku kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat dan kekalahan total bagi korban!
AM
Padahal, sehari sebelumnya MK memberi sedikit napas segar bagi kehidupan demokrasi, dengan
"menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945". Mengapa
cuma sedikit? Karena pasal haatzaai artikelen, yang merupakan pasal utama pembunuh demokrasi di
Indonesia sejak penjajahan Belanda, dahulu dalam British Indian Penal Code, yaitu Pasal 154 dan Pasal
156 KUHP, masih berlaku. Soekarno, adalah korban pasal buatan penjajah Belanda ini, lalu menjerat
penentang rezim Soeharto-Orde Baru, termasuk Peristiwa Lima Agustus ITB (1989), di mana korbannya
termasuk penulis pernah dibuang ke Pulau Nusakambangan.
LS
Pasal 154 KUHP itu berbunyi, "Barangsiapa di depan umum menyatakan pe- rasaan permusuhan,
kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya tujuh tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah."
Indonesia Menggugat adalah perlawanan total Soekarno terhadap pasal haatzaai artikelen ini.
Bencana niat baik
kli
pin
gE
Niat baik sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggugat Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka
9 UU KKR yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, selain merugikan korban dan menguntungkan
pelaku kejahatan HAM berat, dipenuhi MK setotalnya, membatalkan UU itu. Ibaratnya, para LSM berburu
tikus, MK datang membantu dengan membakar rumahnya sekaligus. Sukar meyimpulkan adanya
konspirasi mengubur UU KKR, tetapi siapa bersorak gembira? Tentu pelaku kejahatan HAM berat dan
pendukungnya.
KKR dibentuk untuk kepentingan korban kejahatan HAM berat sesuai dengan UU No 26/2000 tentang
Pengadilan HAM Pasal 7, "Pelanggaran HAM yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan
terhadap kemanusiaan," Karena kata Nelson Mandela, "The most important role player is the victim."
Walaupun KKR bukanlah instrumen hukum dan tak memiliki kewenangan menghukum pelaku kejahatan
HAM, namun berwenang memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengambil langkah hukum.
Menghukum pelaku kejahatan HAM berat adalah manifestasi keadilan bagi korban.
Tidak takut kebenaran
Kita tak mungkin berjalan tegar membangun demokrasi bila tak bersedia mengakui kejahatan pikiran dan
praktik antidemokrasi pada masa lalu. Bila disembunyikan, kejahatan itu membiak dan menyesatkan
karena tak bisa membedakan kejahatan dan kebaikan. Nihilisme total menanti kita di gerbang masa depan!
Bangsa Afrika Selatan menyadari jalan sesat yang dikaburkan oleh kejahatan antidemokrasi. Karena itu,
dengan tegar mereka menyelidiki kekerasan dan pelanggaran dalam rezim apartheid, menghadapi 100.000
kasus potensial, lalu memfinalisasi 21.000 kesaksian tertulis (deponen) kepada Presiden, menganalisis
7.000 aplikasi amnesti, menyiapkan 2.500 dengar pendapat publik untuk aplikasi amnesti dari pelaku,
korban dan saksi, semuanya direkam videotape, potongan klip kesaksian disiarkan televisi, dan radio
51
Wacana KKR 2006= 52
menyiarkan langsung setiap harinya lebih dari lima jam. KKR di Afrika Selatan juga melindungi saksi dan
mengarsip lebih dari 3.000 meter kubik dokumen tertulis, serta rekaman video dan tape.
Begitu pula bangsa Argentina, membongkar kejahatan masa lampaunya dengan Nunca Mas (Never
Again), laporan akhir 50.000 halaman yang memuat daftar 8.960 orang hilang dari The Argentine National
Commission on The Disappeared (CONADEP) selama pemerintahan junta militer di Argentina dari Maret
1976-1983. Sebuah laporan dari neraka! Nunca Mas menyeret sembilan anggota junta militer Argentina
atas kejahatan terhadap kemanusiaan sepanjang tujuh tahun dari 1976-1983, dengan vonis seumur hidup
pada Jenderal Jorge Videla dan Admiral Emilio Massera, tiga anggota junta lainnya diganjar penjara 16, 8,
dan 4 tahun, empat lainnya dibebaskan. Juga menetapkan uang pensiun setara 75 persen gaji minimum
pada 23.466 korban dan uang kompensasi bagi seluruh tahanan politik pada periode 1976-1983.
Tantangan baru
AM
Inilah yang kita inginkan di Indonesia, KKR dan Pengadilan Kejahatan HAM Adhoc berjalan secara
komplementer, bukan substitutif.
LS
Tantangan baru sekarang; Pertama, para korban, lembaga hak asasi, dan pemerintah serta DPR membuat
UU baru yang dapat memenuhi tujuan utama KKR, agar terpenuhi (1) hak atas kebenaran; (2) hak atas
keadilan, dan (3) hak atas reparasi. Kedua, berkaitan dengan pasal haatzaai artikelen, masyarakat dan
korban secepat mungkin mengajukan uji materi terhadap Pasal 154 dan Pasal 156 yang menjadi instrumen
pembunuh demokrasi di Indonesia.
kli
pin
gE
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman
Indonesia)
52
Wacana KKR 2006= 53
Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006
Selamat Tinggal Kebenaran
Fajrimei A Gofar
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Desember 2006 membacakan putusan terhadap pengajuan uji materi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU tersebut tidak berlaku lagi sebagai peraturan perundangundangan.
Terlepas dari berbagai kelemahan yang melingkupi UU KKR tersebut, putusan ini tidak saja menjadi
legitimasi bagi upaya-upaya pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lampau.
Akan tetapi, lebih jauh dari itu, putusan tersebut telah mengubur agenda reformasi untuk mewujudkan
"keadilan transisional" (transitional justice).
AM
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 menjadi pertanda kehidupan bernegara yang lebih
baik, yang demokratis, serta menghormati HAM segera dimulai. Di bawah kepemimpinannya, negara ini
pernah mempraktikkan berbagai bentuk kekerasan yang menimbulkan sejumlah kisah tragis dan horor
serta sejarah yang bergelimang darah, serta penderitaan-penderitaan yang menggores rasa kemanusiaan.
LS
Menyusul pergantian era tersebut, era reformasi diwarisi sejumlah persoalan kekerasan, penderitaan, dan
trauma-trauma itu. Negara dan rakyat Indonesia dihadapkan pada persimpangan jalan, apa yang harus
dilakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut. Mengungkapnya atau membiarkannya berlalu begitu saja
tanpa keadilan bagi korban dan membiarkan para pelaku bebas berkeliaran.
Sesat pikir
gE
Sebagai negara yang bertekad mengembalikan kedamaian dan menghormati, melindungi, memajukan serta
menegakkan HAM, negara berkewajiban dan harus membuka kembali sejarah yang kelam itu, dan
mewujudkan keadilan transisional. Keadilan transisional di sini maksudnya adalah keberanian politik
untuk sekali dan selamanya memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu keadilan bagi si korban dan
hukuman bagi si pelaku. Oleh karena itu, diperlukan diperlukan suatu mekanisme hukum formal untuk
mengatasi problem transisi itu.
kli
pin
Awalnya, mekanisme yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan itu adalah Pengadilan HAM,
yang dibentuk melalui UU Nomor 26 Tahun 2000 dan KKR yang dibentuk melalui UU KKR. Kedua
mekanisme ini sebenarnya bukanlah suatu jalur yang dapat dipilih layaknya sebuah alternative dispute
resolution (ADR) dalam mekanisme hukum perdata. Namun, KKR melengkapi pengadilan HAM dengan
landasan pemikiran bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme
pengadilan HAM karena lampaunya peristiwa yang minim bukti sehingga akan menyulitkan pengadilan
untuk membuktikan dan menghukum terdakwa.
Padahal, sesungguhnya peristiwa itu masih melekat dalam ingatan, terutama para korban, dan
menimbulkan trauma yang menyesakkan dada. Contoh paling nyata adalah peristiwa pembantaian,
penangkapan, dan penyiksaan pada tahun 1965-1968. Dalam peristiwa ini sangat sulit untuk menemukan
bukti-bukti hukum tentang bagaimana pembantaian dan penyiksaan dilakukan. Namun, pembuat kebijakan
pada saat itu masih bisa dimintakan pertanggungjawaban. Sementara itu, akibat peristiwa ini telah timbul
penderitaan yang luar biasa bagi para korbannya.
Kenyataannya, telah terjadi sesat pikir yang begitu dalam terhadap pemaknaan KKR ini, ia dianggap
sarana impunitas, sementara melalui UU KKR ia terkesan sebagai ADR bagi pengadilan HAM. Berangkat
dari kondisi ini, sejumlah pemerhati masalah HAM tergerak mengajukan uji materi, dengan maksud KKR
bisa kembali pada makna yang sesungguhnya.
53
Wacana KKR 2006= 54
Akan tetapi, apa daya MK berkata lain, UU KKR dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, tiada
lagi mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di luar pengadilan HAM. Padahal, kenyataannya lagi,
pengadilan HAM telah terbukti tidak mampu mengungkap kebenaran dan menghukum terdakwa meskipun
peristiwa yang diperiksa adalah peristiwa yang relatif baru.
Tanpa ada rekonsiliasi
Putusan MK tidak saja menjadikan UU KKR tidak berlaku, tetapi telah menghilangkan kesempatan bagi
korban untuk dapat dipulihkan hak-haknya yang sudah di depan mata, minimal diakui bahwa mereka
adalah korban; hilang kesempatan bagi bangsa ini untuk belajar dari sejarah kelam masa lalu; dan cita-cita
mewujudkan keadilan transisional semakin menjauh.
AM
Selain itu, putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi pihak yang tidak ingin peristiwa masa
lampau terungkap. Namun, jangan sampai putusan MK tersebut menjadi alat legitimasi bagi negara untuk
lari dari tanggung jawab mengungkap masa lalu sehingga mengabaikan komitmen untuk memajukan,
menghormati dan menghargai hak asasi manusia.
LS
Dengan demikian, negara harus segera mengambil langkah yang penting, misalnya menyusun kembali
kebijakan-kebijakan untuk menjawab persoalan-persoalan transisi. Jangan sampai negara ini mengucapkan
selamat tinggal kebenaran, selamat tinggal para korban dan hak-haknya, lupakan masa lampau, dan
jalankan negara dengan penuh permusuhan dan dendam tanpa ada rekonsiliasi. Bebaslah para pelaku dari
tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM yang pernah dilakukannya!
kli
pin
gE
Fajrimei A Gofar Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D
54
Wacana KKR 2006= 55
Kompas, Selasa 12 Desember 2006
Hak Asasi Manusia: Politik Muka Dua
Seorang kawan dari Timor Leste mengeluh kepada saya tentang tidak tuntasnya penyelesaian kasus
pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Dari semua perkara pelanggaran hak asasi manusia di
Timor Leste, ternyata hanya ada satu orang pelanggar hak asasi manusia yang dijatuhi hukuman: Eurico
Guterres.
Selebihnya dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM dan dibebaskan. Para korban
yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda mereka hanya bisa meratapi sistem hukum yang gagal
dalam menangkap suasana pelanggaran HAM yang seyogianya tak hanya dilihat dalam bingkai hukum
formal yang tak peka terhadap jeritan hati korban.
AM
Keluhan orang Timor Leste, ketika saya menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Timor Timur, masih terngiang di telinga saya saat mereka menunjukkan selongsongan peluru dan
bercak darah yang membekas di gereja di kota kecil Suai.
Tangis itu memang tak ada lagi, tetapi memori itu tak akan pernah hilang bahwa pernah dalam satu waktu
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) terjadi dan kejahatan itu tidak dihukum.
Impunitas terus terjadi dan celakanya impunitas itu mendapat stempel hukum dari Mahkamah Agung
negeri ini. Betapa menyedihkan.
gE
LS
Orang-orang Timor Leste tidak sendirian. Bersama mereka banyak korban yang sampai hari ini tak
mendapatkan keadilan. Pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan II, Lampung, dan
terakhir pembunuhan terhadap Munir tak pernah terselesaikan dan pelaku pelanggaran HAM tidak
ketahuan atau kalaupun ada yang diadili: mereka semua dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran
HAM.
Impunitas begitu berurat berakar dalam sistem hukum kita. Sehingga kita tak melihat ada legal remedies
yang tersedia untuk mengejar pelaku pelanggaran HAM. Rupanya, Indonesia adalah surga pelanggaran
HAM.
kli
pin
Wajah kelam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini belum menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan. Artinya, kemauan politik (political will) untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM itu tak sungguh-sungguh ada di benak pemerintahan negeri ini meski rezim Orde Baru
pelanggar hak asasi, sudah digantikan oleh rezim yang konon berpihak pada HAM.
Ada sikap risi, mendua, dan tidak tega. Rezim pemerintahan yang sekarang ini nyatanya dalam banyak hal
masih merupakan kelangsungan dari rezim sebelumnya, hanya sebagian yang berubah. Koneksitas inilah
yang menjadi kendala yang secara kasatmata menampakkan kesan maju-mundur, tidak tegas. Inilah
sukarnya kalau sejarah pergantian rezim itu bukan pergantian menyeluruh.
Akibatnya, old interest masih cukup kuat dan menautkan diri dengan new interest yang dalam konteks
Indonesia terjadi dengan kawinnya impunitas dan retorika dan komitmen akan HAM. Formula yang
setengah-setengah, yang hasilnya juga setengah-setengah.
Pintu masuk untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah disediakan melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pada komisi ini tugas menyelesaikan pelanggaran HAM itu
diberikan tidak semata-mata dalam artian prosecution, tetapi justru dalam artian truth telling dan healing.
Bangsa ini perlu tahu mengenai kekejaman pelanggaran HAM sebagai bagian dari pembelajaran menuju
masa depan. Tidak semua mesti dihukum, tetapi sejarah pelanggaran HAM itu tak boleh dihilangkan.
55
Wacana KKR 2006= 56
Komisi ini diarahkan untuk merumuskan kebijakan yang tidak sekadar restorative, tetapi juga harus
retributive.
Karena itulah dalam literatur HAM kita berbicara tentang bukan to forget, tetapi justru to forgive, kecuali
bagi mereka yang tidak sudi bekerja sama dalam membongkar kasus pelanggaran HAM masa silam atau
malah menutupi semua itu sambil secara angkuh merasa tidak bersalah.
Saya kira komisi ini adalah komisi yang akan bisa meletakkan fondasi bagi masa depan HAM di Indonesia
yang lebih baik terlepas dari sakit hati, dendam, dan amarah. Celakanya, komisi ini bernasib malang,
dibubarkan sebelum dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi. Sikap lamban dan mendua pemerintah telah
membunuh kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu.
AM
Kalau kita berlaku adil tentang kondisi HAM di negeri ini sesungguhnya tak semuanya kelam. Dari sisi
penyelesaian kasus pelanggaran HAM memang pemerintah harus dikatakan gagal, apa pun alasannya.
Kemauan politik pemerintah berbau basa-basi dan itu lantas didukung oleh kerja setengah-setengah.
Akan tetapi, dari sisi legislasi dan institusionalisasi kita melihat cukup banyak hasil yang menggembirakan
karena setelah 32 tahun di bawah rezim anti-HAM kita akhirnya punya perangkat legislasi yang relatif
lengkap. UUD 1945 hasil amendemen telah melahirkan satu bab hak asasi (Pasal 28) yang kalau ditilik
bisa disimpulkan sebagai adopsi dari Universal Declaration of Human Rights.
LS
Kita juga memiliki UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang cukup komprehensif.
Selain itu, yang menggembirakan adalah ratifikasi yang kita lakukan terhadap Covenant on Civil and
Political Rights dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
gE
Dari sisi standard setting, Indonesia bersama Filipina, Thailand, dan Kamboja sudah cukup maju jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lain meski ratifikasi barulah satu yardstick yang belum tentu ada
keterkaitannya dengan enforcement. Pemerintah tampaknya telah cukup menimba pengalaman negara lain
yang membuat reservasi sehingga enforcement' itu tak bisa dilakukan.
kli
pin
Tidak diratifikasinya Second Optional Protocol adalah contoh keengganan untuk melakukan enforcement.
Dalam konteks ini kita juga bisa mempertanyakan mengapa pemerintah tetap tidak mau meratifikasi
Statuta Roma yang menjadi dasar pendirian Pengadilan Kejahatan internasional (International Criminal
Court/ICC) sehingga pelanggar HAM dari Indonesia tak akan bisa diseret ke ICC.
Dari sisi institusionalisasi Indonesia juga melangkah maju. Lihatlah, di samping Komnas HAM dan
Komnas Perempuan, telah pula ada Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia pada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Di Kejaksaan Agung juga ada departemen yang mengurusi HAM. Dan harus juga
dikemukakan, Indonesia adalah juga anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB mewakili Asia bersama
sejumlah negara lain. Ini semua adalah titik-titik terang dalam kegelapan penyelesaian kasus pelanggaran
HAM.
Tampaknya kita semua dituntun untuk tidak melihat ke belakang, kita harus melihat ke depan. Namun,
kawan saya dari Timor Leste tak akan pernah bisa mengerti mengapa orang- orang Timor Leste yang
terbunuh tak boleh tahu siapa dan kenapa mereka dibunuh, dan mengapa tak ada keadilan. Orang-orang
Papua tetap mencari tahu kenapa pelanggaran HAM tenggelam dalam harapan hampa. Dan, Suciwati, akan
tetap bertanya kapan pembunuh Munir, suaminya, bisa ditangkap, diadili, dan dihukum.
Inilah politik dua muka HAM. Sejujurnya, kita tak bisa terus- menerus menjalankan politik dua muka
seperti ini.
56
Wacana KKR 2006= 57
Kompas, Jumat, 02 November 2006
Aksi Kamisan
Presiden Dituntut Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Jakarta, Kompas - Sekitar 50 orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban dan
Keluarga Korban Pelanggaran HAM atau JSKK, Kamis (1/11) sore, kembali menggelar aksi
damai di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengusut tuntas tragedi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Peserta aksi terdiri dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia, seperti
tragedi Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis, kasus Tanjung
Priok, kasus Talangsari, peristiwa tahun 1965-1966, Peristiwa 27 Juli 1996, serta kasus Munir.
AM
"Ini adalah aksi rutin yang kami lakukan setiap Kamis. Kami menyebutnya Kamisan," ujar
Presidium JSKK Sumarsih. Ibu dari Wawan, salah satu korban tragedi Semanggi I ini,
mengatakan, sudah 39 kali JSKK menggelar aksi dan 13 kali mengirim surat kepada Presiden
Yudhoyono untuk bertemu langsung. Namun, hingga kini mereka belum memperoleh respons
apa-apa.
LS
Selama satu jam, peserta unjuk rasa melakukan aksi diam sambil membawa payung hitam dan
menggelar spanduk serta poster berisikan tuntutan kepada Presiden untuk menyelesaikan
berbagai pelanggaran HAM.
gE
"Sebenarnya kunci permasalahan ada pada partai politik besar di DPR yang memiliki wewenang
untuk mewujudkan Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, selama ini partai-partai itu masih
menganggap kasus seperti tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan pelanggaran
HAM berat," kata Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras).
Dengan aksi itu, Usman berharap Presiden Yudhoyono dapat mendesak pimpinan partai untuk
bersama-sama mencari jalan keluar dari kebuntuan kasus itu.
kli
pin
"Kasihan mereka (korban dan keluarga korban) lama menderita. Tak bijaksana, sudah sembilan
tahun reformasi berjalan, pemerintah belum juga memberi perhatian kepada korban pelanggaran
HAM," ujar Usman.
Suciwati, istri almarhum aktivis HAM Munir, mengatakan, akan terus melakukan aksi "Kamisan",
sebab sudah menjadi komitmen bersama untuk menyuarakan kebenaran. "Kami tidak akan
berhenti," katanya. (a13)
57
Wacana KKR 2006= 58
Kompas, 20 Desember 2006 10:04:58
Pelanggaran HAM - Peraturan Pengganti UU KKR Harus Dibuat
AM
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah diminta membuat peraturan untuk mengganti
Undang-Undang Nomor 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Penggantinya bisa berupa peraturan pemerintah
pengganti undang-undang atau peraturan presiden.
"Peraturan pengganti ini perlu dibuat karena yang dibatalkan MK hanya undangundangnya, bukan ide pembentukan KKR sehingga putusan MK itu memberi pesan,
pemerintah harus membuat peraturan baru untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di
masa lalu. Namun, peraturan itu tidak boleh melanggar konstitusi," kata Taufik Basari
dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Selasa (19/12).
LS
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri
Astrid Kartika mengatakan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM menyebutkan, pelanggaran HAM di masa lalu dapat diselesaikan dengan
Pengadilan HAM Ad Hoc atau KKR. "Saya menilai ide KKR tetap harus diteruskan
karena banyak pelanggaran HAM di masa lalu yang sulit diselesaikan di Pengadilan
HAM Ad Hoc karena banyak bukti yang sudah hilang dan pelakunya tidak jelas," ucap
Agung Putri.
gE
"Ide KKR tetap harus diteruskan karena banyak pelanggaran HAM di masa lalu yang
sulit diselesaikan." Agung Putri Astrid Kartika
Pengganti UU KKR ini, dapat berupa peraturan pemerintah pengganti UU KKR atau
peraturan presiden. Kedua peraturan itu bisa cepat dibuat karena tak harus lewat DPR.
kli
pin
Amirudin al Raham dari Aceh Working Group menambahkan, peraturan untuk
menggantikan UU KKR dibutuhkan karena pembentukan KKR diamanatkan dalam
perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki,
Finlandia. "Di samping Pengadilan HAM di Aceh, dalam UU No 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh juga disebutkan dengan jelas perihal pembentukan KKR Aceh," kata
Amirudin.
Jika peraturan pengganti UU KKR tidak segera dibuat, Amirudin khawatir rakyat Aceh
dan dunia internasional pada umumnya akan menilai Indonesia tidak bersungguhsungguh melaksanakan isi perjanjian damai yang dibuat di Helsinki. "Jika ini terjadi,
kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia yang dibangun susah payah
akan hilang sia-sia," ucap Amirudin. la menyatakan kekhawatirannya ini bukan tanpa
alasan. Hal ini disebabkan setelah MK membatalkan UU KKR, mantan GAM dan warga
Aceh korban pemberlakuan daerah operasi militer banyak yang bertanya kepadanya, apa
yang dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi masa lalu mereka jika tanpa KKR.
(NWO)
SUMBER : KOMPAS, RABU 20 DESEMBER 2006
58
2004
Kompas,Senin, 08 Maret 2004
Dua Tonggak Menuju Rekonsiliasi
TANPA terasa, di tengah hiruk-pikuk pemilu, sebagian anak bangsa mulai menancapkan dua tonggak
besar. Dua tonggak untuk menuju apa yang disebut elite politik sebagai rekonsiliasi nasional. Dua
tonggak tersebut, yakni dikokohkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Februari 2004 dan
ikrar perdamaian anak bangsa, Jumat 5 Maret 2004. Menariknya, dua tonggak besar itu diprakarsai
langsung oleh anak bangsa, tanpa ada keterlibatan elite politik, yang kini sedang bersiap-siap
berkampanye.
LS
AM
KEDUA peristiwa itu memang menimbulkan perasaan yang berbaur. Ada yang pro. Ada yang kontra.
Putusan sembilan hakim konstitusi-seorang hakim konstitusi Letjen (Purn) Achmad Rustandi tidak
sependapat- telah memulihkan hak konstitusional eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk
menjadi calon anggota legislatif. Dua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Putusan itu merupakan terobosan besar bagi
bangsa untuk menuju rekonsiliasi. Meski demikian, ada beberapa komponen bangsa yang mengecam
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Peristiwa kedua adalah ikrar perdamaian anak-anak bangsa. Ikrar perdamaian yang diprakarsai Forum
Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) ini telah menyatakan ikrar perdamaian sesama anak bangsa. Ikrar
perdamaian itu disampaikan Amelia A Yani (putri dari pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani),
Ilham Aidit (putra dari Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit), Sarjono Kartosuwirjo (putra Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra Marsekal Omar Dani), Ahmad Zahedi (cucu Teungku
M Daud Beureuh), Mochamad Basyir (cucu HOS Tjokroaminoto), dan Yap Hong Gie (putra Yap
Thiam Hien).
gE
"Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami dan di antara segenap warga negara Indonesia,"
kata Sarjono Kartosuwirjo membacakan ikrar. Melalui FSAB, ia dan teman-teman yang selama ini
terpinggirkan merasa mendapatkan tempat.
pin
Direktur FSAB Suryo Susilo merasa bahagia dengan ikrar dan terbentuknya forum yang mewadahi dan
mempersatukan keluarga TNI, PKI, Darul Islam, dan komunitas Tionghoa. "Beberapa tahun lalu,
hampir tidak mungkin kita membayangkan pertemuan dan persatuan mereka yang secara ideologis
bertentangan," kata Suryo.
kli
Rekonsiliasi akar rumput ini sungguh mengejutkan. Mayjen (Purn) Salamun yang mengaku ikut
menguber dan mengawal anggota PKI ke Pulau Buru merasa terperangah. "Saya tak membayangkan
ini bisa terjadi. Ini adalah permulaan dan jangan sampai berhenti," kata Salamun yang hadir dalam
ikrar tersebut.
Meskipun tak ada elite parpol yang terlibat, sebagaimana diakui Suryo, ikrar perdamaian diucapkan
terkait dengan kerinduan FSAB menyaksikan proses Pemilu 2004 yang jauh dari konflik dan
kekerasan. "Jangan lagi mewariskan dendam dan konflik. Kami juga bertekad untuk tidak membuat
konflik baru," ujar Suryo.
AKTIVIS hak asasi manusia (HAM) dari Imparsial, Rachland Nashidik, melihat dua peristiwa itu
sungguh merupakan perkembangan positif dalam penyelesaian masa lalu bangsa. Dengan dua peristiwa
itu, patron Afrika Selatan sebagai model penyelesaian yang selama ini diyakini elite politik Indonesia
perlu dipertimbangkan kembali.
Dari putusan MK 24 Februari 2004 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kembali hak-hak korban
(rehabilitasi, restitusi, dan reparasi) tidak perlu harus didahului dengan hak korban atas keadilan (right
to justice) dan hak korban untuk mengetahui (right to know). Korban terbukti bisa berjuang sendiri
untuk mendapatkan kembali hak konstitusionalnya.
Putusan MK tersebut bisa ditempatkan sebagai constitutional justice. Putusan MK itu telah mengoreksi
ketidakadilan konstitusional yang diderita eks anggota PKI untuk menjadi calon anggota legislatif.
1
"Jadi, hak konstitusional korban telah bisa diperoleh tanpa harus melalui pengungkapan
kebenaran dan pemberian amnesti," kata Rachland.
Putusan MK itu seakan mematahkan tesis yang selama ini diyakini bahwa rekonsiliasi baru bisa
dilakukan setelah ada pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, dan pemberian amnesti,
sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan. "Model Afrika Selatan terbukti tidak berjalan di
Indonesia," kata Rachland yang banyak mendalami soal-soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu.
Ikrar perdamaian antar-anak bangsa, menurut Rachland, juga juga menunjukkan kearifan anak bangsa
yang sama-sama menjadi korban untuk menghentikan permusuhan. "Itu adalah rekonsiliasi sesama
korban. Pertemuan itu seakan memberikan definisi rekonsiliasi sebagai pemulihan kesalahpahaman
antarsesama masyarakat menuju masyarakat baru.
LS
AM
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara saat
menyampaikan sambutan dalam acara FSAB mengatakan, rekonsiliasi adalah sebuah usaha besar
secara sadar untuk berhadapan dan bahkan masuk mengolah masa lalu sebuah bangsa yang traumatik.
Suatu usaha untuk menghubungkan antara politik memori dan pertanggungjawaban. "Sayangnya,
konsep rekonsiliasi dipergunakan dengan pengertian yang amat harfiah, untuk kepentingan politik
sesaat, sehingga justru sarat dengan pengertian yang bagi korban khususnya korban kekerasan masa
lalu, sangat mencurigakan," kata Abdul Hakim.
Bahkan, saat ini, menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi diartikan melupakan masa lalu, membiarkan tidak
adanya pertanggungjawaban dan menyangkal adanya kekerasan pada masa lalu.
gE
BERANGKAT dari peristiwa itu, menurut Rachland, paradigma restorative justice yang dikembangkan
draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), seyogianya
disesuaikan. Paradigma restorative justice mengedepankan perlunya harmoni sosial dan
mengebelakangkan sosial dan legal justice.
pin
Dengan adanya dua peristiwa itu, kata Rachland, RUU KKR harus diarahkan menuju terpenuhinya hak
korban untuk mengetahui dan hak korban untuk mendapatkan keadilan. KKR harus mampu
mengungkapkan kebenaran dalam sebuah peristiwa. Korban mempunyai hak untuk mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi dan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab. Setelah korban
mengetahui, dia bisa memberikan maaf dan ampun. Dan setelah ada pengungkapan kebenaran, kita
bisa menatap ke masa depan.
kli
Dalam perspektif Rachland, RUU KKR yang sedang dibahas DPR-namun tak tahu kapan akan selesai
karena DPR reses dan segera dilangsungkan pemilu-seharusnya menggunakan paradigma retributive
justice. Paradigma ini mendorong terbentuknya moral society yang mampu melakukan upaya-upaya
agar pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di masa depan. Dalam konteks itu, pemberian keadilan kepada
korban harus menjadi yang utama.
Bagi Rachland, pengungkapan kebenaran adalah hal yang esensial yang penting. "Memang kita harus
menyimpan masa lalu ke belakang dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah. Akan tetapi, kita
harus tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa lalu guna menata masa depan yang lebih baik," kata
Rachland.
Ingatan sosial itu sangat penting. Sebagaimana ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan
Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan.
Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan.
Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak
mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial.
Untuk itu, monumen-monumen untuk melanggengkan ingatan bangsa diperlukan agar generasi baru
bangsa mengetahui sejarah bangsa ini.
2
Sebagaimana dikatakan Abdul Hakim, tidak melupakan bukan berarti meminta korban untuk meratapi
kepedihan akibat kekerasan masa lalu. Tidak melupakan berarti menghargai keyakinan korban bahwa
sesuatu memang terjadi pada masa lalu. Sebaliknya, mengajak korban melupakan masa lalu, berarti
memperlakukan mereka seolah-olah tidak ada kesalahan besar di masa lalu.
kli
pin
gE
LS
AM
Generasi baru bangsa harus mengetahui bahwa di Tanah Air ini pernah terjadi pembantaian pada tahun
1965, peristiwa Tanjung Priok 1996, kerusuhan Mei 1998, yang telah memakan ribuan korban jiwa.
Pengetahuan itu bukan untuk membuka luka lama, tapi justru untuk mencegah agar peristiwa serupa
tak terulang di masa mendatang. (Budiman Tanuredjo)
3
Kompas, Sabtu, 20 Maret 2004
KKR Harus Diberi Akses Buka Dokumen Militer
Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini sedang digodok DPR haruslah diberi
kewenangan besar, terutama untuk mengakses dokumen militer selama periode pelanggaran HAM
yang ditentukan serta dokumen instansi pemerintah. Tanpa kewenangan dan akses atas instansi
pemerintah dan militer, komisi yang harus menangani persoalan sensitif ini tidak bisa bekerja optimal.
Penjelasan ini diberikan Kepala Divisi Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung
Putri dalam diskusi terbuka di Jakarta, Kamis (18/3). Hadir sebagai pembicara, Mugiyanto dari Ikatan
Keluarga Orang Hilang (Ikohi) dan Eny Suprapto dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). "Komisi ini kalau toh bisa berdiri, belum tentu bisa berjalan. Lihat saja beberapa negara lain,
banyak komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tak berjalan. Karena apa? Yah, karena banyak tekanan
politik yang meminta komisi ini berhenti bekerja. Sebab perlu disadari komisi ini menangani hal
sensitif," kata Agung Putri.
LS
AM
Ia menambahkan, untuk bisa membuat komisi ini tetap bekerja, perlu adanya dukungan politik dari
parlemen. Namun, Agung Putri menyadari bahwa pembentukan komisi ini memang tidak mudah.
Sebab, akan banyak orang yang merasa berkepentingan dengan pengungkapan kasus pelanggaran
HAM ini. "Kalangan parpol tidak bisa lari dan mengatakan seolah pelanggaran HAM ini dilupakan.
Pelanggaran HAM bukan seperti sopir bajaj menabrak orang, dengan lari persoalan selesai. Namun,
pelanggaran HAM ini adalah tragedi kemanusiaan yang akan mengikuti ke mana pun bangsa ini
berjalan," kata Agung Putri.
gE
Sementara itu, mengenai Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU
KKR), Agung Putri melihat adanya titik lemah dari RUU ini, yakni ketidaksinambungan antara
pengungkapan kebenaran, amnesti, dan kompensasi untuk korban.
Eny Suprapto mengatakan, sudah saatnya berhenti berbicara model KKR. Sebab, perdebatan itu sudah
dibicarakan sejak enam tahun lalu ketika rezim berganti. "Sudah tidak tepat lagi bila kita masih
berkutat membahas konsep yang ada di negara lain. Kita perlu membahas naskah konkretnya, kita
sudah membahas sejak Desember 2001," jelas Eny.
kli
pin
Mugiyanto mengatakan, pemerintah minimal memberi penghargaan terhadap para korban pelanggaran
HAM. Ia mencontohkan seperti di Filipina, pemerintah membangun sebuah monumen yang akan
mengingatkan semua warga negaranya akan peristiwa revolusi 1986 yang telah membawa korban
banyak. (vin)
4
Kompas, Sabtu 24 April 2004
Rudi Muhammad Rizki:
Persoalan Masa Lalu Harus Diselesaikan
PRESIDEN telah tiga kali berganti, namun sejumlah persoalan masa lalu, terutama pelanggaran hak
asasi manusia, belum juga terselesaikan. Penyelesaian masalah masa lalu amat diperlukan agar bangsa
Indonesia tidak selalu berkutat dengan masa lalu. Rasa dendam juga tidak terus menghantui perjalanan
bangsa Indonesia.
TIDAK tuntasnya penyelesaian masalah masa lalu ini, justru akan menimbulkan benih perselisihan dan
konflik di masa mendatang. "Jadi, penyelesaian ini penting agar bangsa ini tidak lagi selalu berkutat
dengan masa lalu, sehingga secara bersama-sama menatap masa depan tanpa dendam," papar Rudi
Muhammad Rizki, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
LS
AM
Di tengah hiruk-pikuknya orang berbicara tentang politik, Rudi-yang saat ini menjadi Hakim Ad Hoc
di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Jakarta Pusat dan Wakil Ketua Paguyuban HAM Unpadjustru tidak terpengaruh dengan arus politik. Ia gencar melakukan edukasi tentang pemajuan dan
perlindungan HAM di berbagai lembaga.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Rudi Rizki, Senin lalu, di Jakarta.
Bagaimana kita menyelesaikan persoalan di masa lalu?
gE
Sekarang kan ada pengadilan HAM, dan akan ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi
kita belum tahu KKR sampai di mana. Seharusnya pengadilan dan KKR bersamaan, apalagi kita
melihat banyak kekurangan dari pengadilan HAM ini. Padahal, persoalan ini harus diselesaikan melalui
pengadilan atau melalui KKR. Ini gejala yang umum terjadi di masa transisi. Kalau semuanya harus
melalui pengadilan, itu dapat membahayakan proses demokratisasi yang masih dalam keadaan rapuh
ini.
Kenapa membahayakan?
pin
Kita lihat negara yang mengalami proses masa transisi dari pemerintahan otoriter ke demokratis,
misalnya Argentina atau Korea. Mereka tidak sekaligus mengadili pelanggar HAM masa lalunya
karena biar bagaimanapun (pelanggar HAM) masih berada di kekuasaan.
Mana yang harus lebih dulu, pengadilan atau KKR?
kli
Dua-duanya harus sejalan. Ketika pengadilan tidak dimungkinkan maka penyelesaiannya lewat KKR,
tapi dalam KKR juga ketika satu orang tidak memberikan pengakuan, tidak menyatakan permintaan
maaf, namun terbukti dia ikut bersalah, pengadilan harus tetap berjalan. Jadi, semangat sekarang ini
adalah semangat global menghapuskan segala bentuk impunity (kekebalan hukum pada orang tertentu).
Kalau dua-duanya berjalan, bagaimana?
Di sini nuansa politiknya banyak. Untuk menggelar pengadilan HAM masa lalu butuh persetujuan
DPR. Pertimbangan politisnya banyak. Kalau begini, korban masa lalu tidak terpuaskan. Kalau tidak
dibentuk pengadilan ad hoc tawarkan alternatif KKR, tapi RUU KKR masih dibahas.
KKR belum jelas, pengadilan tidak bisa diharapkan lalu sebenarnya bagaimana?
Idealnya, dua-duanya. Pengadilan dan KKR. UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM harus kita
review. Di sana banyak kekurangan. Kita juga belum memiliki hukum acara tersendiri. Karena itu,
KKR harus didorong segera terealisasi, karena kita sudah kelamaan. Timor Timur saja sudah
mempunyai KKR, tetapi mungkin persoalan mereka tidak sekompleks kita.
5
Masih banyak yang harus dibenahi dari pengadilan. Soal keahlian, kita masih dianggap baru, masih
kurang pemahaman yang sama. Kita harus memulai dengan legislasi, infrastruktur, termasuk budaya
menghormati pengadilan. Kita memang tidak bisa membandingkan dengan pengadilan Yugoslavia atau
Rwanda. Kenapa mereka bisa kelihatannya berjalan mulus, karena kalau mereka mengadili jauh dari
tempat kejadiannya dan pelaku yang diadili sudah tidak ada atau dicabut dari kekuasaan.
Pengadilan kita hanya sekadar dijalankan dan tidak memenuhi harapan?
Ini masih proses pembelajaran. Jadi, memang kita membutuhkan waktu pembelajaran buat semua.
Pelan-pelan semuanya harus melalui proses, karena menghapuskan segala bentuk impunity tidak sertamerta dilakukan, banyak faktor yang menentukan. Jadi, tidak serta-merta akan memenuhi rasa keadilan
semua pihak karena pengadilan HAM adalah hal baru. Yang kita harapkan adalah mengadili secara
layak. Tetapi untuk mengadili secara layak itu masih ada hambatannya.
LS
AM
Kita harus melihat dari mulai proses rekrutmen hakim, apakah sudah tepat orang yang memahami
permasalahan seperti itu, apakah pelatihan yang diberikan kepada mereka juga sudah tepat? Pengadilan
ini agak terburu-buru karena tekanan internasional sehingga persiapannya pun demikian. Karena itu,
amandemen UU No 26/2000 mendesak dilakukan sambil kita mengegolkan KKR. Dan, ini harus samasama. Kalau ingin menjadi komplementer tidak bisa satu dulu yang berjalan.
Apa urgensi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bagi demokratisasi?
gE
Supremasi hukum dan penghormatan HAM merupakan pilar dari demokrasi yang sedang kita bangun,
dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah dalam rangka menjunjung tinggi supremasi
hukum dan HAM itu. Dalam situasi normal, penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan adalah dengan
mengadili orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu, dan memberikan
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban. Hal ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab
negara atas pelanggaran HAM berat. Penghukuman pelaku melalui proses pengadilan yang
independen, tidak memihak, diperlukan sebagai kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan
(erga omnes obligation).
Sejauh mana kaitan masa lalu, kini, dan akan datang?
kli
pin
Kalau masa lalu tidak diselesaikan, akan menjadi permasalahan di masa mendatang. Penyelesaian
seperti dalam rangka KKR salah satunya adalah pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah. Itu kan
sekaligus juga mencegah keberulangan. Mengadili dan menghukum pelaku atau pengungkapan
kebenaran itu, salah satu fungsi preventifnya adalah untuk mencegah agar kejadian serupa tidak
terulang lagi di masa yang akan datang. Itu kan pelajaran penting untuk kehidupan sekarang dan akan
datang. Karena, kalau tidak dituntaskan maka masalah itu akan muncul terus, dan terus muncul
ketidakpuasan dari anak cucu korban. Itu benih perselisihan konflik di masa depan, dan akhirnya
bangsa kita akan terbelenggu dengan masa lalu. Jadi, penghukuman melalui pengungkapan fakta di
depan pengadilan tentu penting untuk mencegah keberulangan di masa yang datang.
Pengadilan kita belum berjalan seperti yang diharapkan?
Itu tergantung lagi pada kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan atau KKR. Tetapi tidak ada
sistem pengadilan atau KKR di mana pun yang paling sempurna. Mungkin kita lihat Afrika Selatan, itu
model terbagus, tapi enggak juga, kelemahannya juga ada kan? Sama saja dengan pengadilan,
pengadilan mana yang bisa kita lihat. Katakanlah Rwanda, apakah betul dengan jumlah sekitar satu juta
orang dan hanya sekian puluh yang diadili sudah mencerminkan bahwa semua pelaku diadili. Tetapi
ada yang menjadi pelajaran publik dari keputusan itu, yakni bahwa orang yang paling bertanggung
jawab itu dicari. Orang yang dulunya tidak terjangkau oleh hukum karena kekuasaannya sekarang bisa
dijangkau.
Bagaimana pola penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tepat?
Umumnya negara-negara dalam keadaan transisi dihadapkan pada pilihan antara menghukum pelaku
dan memberikan amnesti. Amnesti dianggap penting demi rekonsiliasi, demi terwujudnya
6
demokratisasi, namun penghukuman pun penting bagi demokratisasi. Sebagaimana halnya praktik
negara yang mengalami transisi, kemudian penyelesaian melalui KKR menjadi alternatif lain. KKR
lebih berorientasi terhadap kepentingan korban, khususnya dalam mendapatkan kompensasi dan
rehabilitasi, serta pemenuhan the right to know dari korban. Walaupun lebih dari 20 negara telah
mempraktikkan KKR ini, tidak ada satu model yang baku yang dapat diterapkan oleh semua negara
karena kompleksitas permasalahan setiap negara berbeda. Model Afrika Selatan belum tentu sesuai
dengan situasi di Indonesia.
Jadi, kalau ditanya model mana yang terbaik, pengadilan atau KKR, kita tidak dapat memilih salah satu
karena keduanya harus saling melengkapi. Beberapa negara seperti bekas Yugoslavia, Sierra Leone,
dan bahkan Timor Leste pun melakukan langkah seperti itu.
LS
AM
PEMILU legislatif yang baru saja berlangsung April lalu, menurut Rudi Rizki, sebenarnya ada
pelajaran berharga yang bisa dipetik. Paling tidak, menurut lulusan University of Melbourne Australia
ini, dalam pemilu lalu tidak terjadi kekacauan seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak. "Kenapa kok
pemilu kemarin aman saja. Apakah karena masyarakat sudah lelah berkonflik atau karena kesadaran
HAM sudah tinggi, atau karena pilihannya banyak sehingga potensi konfliknya sedikit?" ujar Rudi
yang saat ini staf ahli di Habibie Center.
Suami dari Meli Noor Amalia dan juga ayah dari Farhat Muhammad, Aldea Muhammad, dan Fadel
Muhammad ini justru menilai, dalam pemilu kali ini sebenarnya menunjukkan mulai adanya kesadaran
dari rakyat untuk tidak berkonflik sekalipun berbeda pilihan.
Hasil pemilu bisa memberikan harapan untuk penyelesaian masa lalu?
gE
Saya pernah melihat visi dan misi partai soal HAM, tetapi ternyata tidak banyak partai politik yang
mempunyai program untuk itu. Kalau melihat visi mereka, ada yang bagus tetapi ada juga yang
tampaknya kurang memedulikan. Misalnya, isu KKR ada yang baru saja tahu atau bahkan belum
mengetahui. Kebanyakan wawasan HAM parpol masih belum terlihat.
Di kalangan elite partai, bagaimana penilaian Anda?
pin
Saya belum ada kesempatan untuk melihat kepedulian mereka kesana, mungkin di antara mereka ada
yang peduli terhadap pemajuan dan perlindungan HAM, tetapi saya belum melihat itu. Saya memang
tidak mengamati semua kampanye, apa mungkin kebetulan luput dari perhatian saya. Akan tetapi, yang
jelas saya tidak melihat isu tentang pemajuan dan perlindungan HAM menjadi dagangan mereka.
Mungkin karena isu itu tidak seksi ya sehingga tidak ada partai yang jualan kampanye seperti itu.
Untuk pemajuan HAM, kendala apa yang kita hadapi?
kli
Apa ya..? Negara kita ini kan kompleks. Misalnya, budaya penghormatan terhadap HAM, kita masih
kurang. Apalagi, kalau hiruk-pikuk pemilu ini kan power oriented kelihatan sekali. Yang dicari
kekuasaan, padahal kalau mereka menunjukkan kepedulian terhadap HAM, itu sebetulnya kekuatan
juga bagi mereka.
Pola apa yang paling tepat?
Kita membangun kesadaran pemajuan perlindungan HAM. Itu ideal. Saya masih percaya dengan
sistem pendidikan diseminasi untuk semua lapisan karena kalau tanpa itu, akan sulit. Jadi, untuk segala
lapisan masyarakat sendiri, kalangan elite, parlemen, termasuk TNI misalnya.
Anda yakin proses pembelajaran akan berhasil?
Ya, tapi faktor yang memengaruhi bukan itu saja. Ada faktor ekonomi, bahkan stabilitas. Namun,
dengan edukasi kita bisa mulai, misalnya untuk penanganan konflik ini katakanlah di satu tempat
konflik, Aceh, sekarang kan kita melihat dalam operasi militer di sana, kalau tidak salah, sudah disertai
7
dengan perwira hukum. Ketika ada penyiksaan atau pelaku pemerkosaan langsung diadili. Bukankah
itu menuju ke arah perbaikan?
Bagaimana dengan pemerintah, upaya untuk pemajuan HAM seperti apa?
Ya, memang kita keroyokan semua. Misalnya untuk daerah yang potensi konflik antar-etnis, kita
melakukan sosialisasi ke sana disesuaikan dengan kebutuhan lokalnya. Sosialisasi tentang diskriminasi
ras, tentang penghapusan segala bentuk intoleransi, baik dari perbedaan agama juga dilakukan. Tidak
hanya instansi terkait yang melakukan, tetapi LSM juga. Mudah-mudahan DPR dan pemerintahan yang
baru kelak mempunyai kepedulian untuk segera dapat merampungkan RUU KKR.
Di sejumlah instansi ada lembaga HAM, sejauh mana efektivitasnya?
LS
AM
Untuk efektivitas, paling sedikit untuk membangun kesadaran itu, lumayan. Memang ada duplikasi,
tetapi setidak-tidaknya dalam membangun kesadaran ini ada. Walaupun memang kalau bicara dalam
beberapa hal, kita pesimistis dengan performance pengadilan HAM. Tetapi yang saya rasakan memang
untuk pembangunan kesadaran ada karena banyak yang melakukan itu. LSM melakukan tersendiri. Itu
aset karena tugas sosialisasi HAM tidak bisa hanya dibebankan hanya kepada pemerintah atau Komnas
HAM, tapi justru dari mereka-mereka. LSM itu aset, jasa mereka besar sekali. Kalau dulu LSM
dianggap berseberangan dengan pemerintah, tetapi sekarang tidak lagi. Misalnya RUU KKR, yang
pertama buat yakni Elsam. Jadi, mereka bukan sebagai lawan tapi sebagai mitra.
Langkah pemajuan HAM yang dilakukan pemerintah sudah maksimal?
gE
Saya belum melihat itu, kita lihat saja Rencana Aksi Nasional HAM (RAN HAM), janjinya akan
meratifikasi beberapa konvensi, kovenan tapi kok tidak. RAN HAM sudah harus keluar tahun 2003,
tetapi sampai sekarang mana realisasinya? Kita juga melihat pemerintahan belum sungguh-sungguh.
Saya tidak tahu kenapa hal ini tidak jadi prioritas. Seperti RUU KKR kenapa berlama-lama? Yang
seperti itu kan menunjukkan ketidakpedulian, bukan hanya dari pemerintah tetapi parlemen juga.
Berapa lama untuk membangun kesadaran itu ?
pin
Itulah saya bilang bahwa negara yang serupa dengan kita mengalami ini tidak ada yang seragam.
Bahwa ini dapat dicapai lima atau sepuluh tahun, ini tergantung pemimpin negara. Kenapa sih Afrika
Selatan dalam satu tahun bisa meratifikasi? Kita yang janjinya mau meratifikasi kok tidak. Sampai
sekarang kita cuma punya empat konvensi: konvensi antipenyiksaan, penghapusan antidiskriminasi ras,
konvensi penghapusan diskriminasi wanita dan konvensi anak. Itu pada pemerintahan transisi Habibie.
Kenapa demikian?
kli
Persoalan ratifikasi adalah tugas pemerintah. Apakah tidak kepikiran atau tidak dianggap penting,
enggak tahulah. Yang jelas, belum dianggap prioritas oleh mereka.
Kalau di mata internasional sendiri bagaimana?
Memang rapor HAM kita masih belum bagus juga, mulai dari kelambanan ratifikasi konvensi dan
kovenan, sampai efektivitas implementasi konvensi yang sudah kita ratifikasi. Kemudian pengadilan
HAM juga mereka lihat. Jadi, rapor kita juga masih kurang bagus, dulu ketika pengadilan HAM digelar
banyak orang mengatakan, ini adalah evaluasi dari wajah hukum kita di luar negeri. Jadi, orang akan
mengamati semua. Perhatian masyarakat internasional semua ke sana. Ketika ini berjalan bagus, negara
luar mungkin menganggap sistem peradilan kita bagus, tetapi ketika pengadilan buruk mungkin
memang begitulah adanya. (SONYA HELLEN SINOMBOR)
8
Kompas, Selasa 27 Juli 2004
Masa Lalu Dipelihara atau Diselesaikan?
SEKITAR satu bulan menjelang pemilu presiden 5 Juli 2004, isu mengenai pengerahan pamswakarsa
yang melibatkan mantan Panglima TNI yang juga calon presiden Jenderal (Purn) Wiranto ramai
dipercakapkan. Beritanya memenuhi ruang-ruang publik, media massa cetak maupun elektronik
membahasnya.
Bahkan, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen secara terbuka menuding keterlibatan
mantan Panglima TNI itu dalam pengerahan pamswakarsa, yang menciptakan konflik horizontal antar
kelompok masyarakat pada saat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR November 1999. Tudingan itu
tentu saja dibantah oleh Wiranto maupun tim suksesnya.< p>
LS
AM
Setelah pemilu 5 Juli berlangsung, isu itu hilang. Tak ada lagi diskusi buku. Tak ada lagi peringatan
Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Memasuki bulan Juli 2004, isu pun beralih.
Sekelompok masyarakat korban penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, membuat
rangkaian acara sepekan peringatan Kasus 27 Juli. Seorang korban kasus 27 Juli meluncurkan buku.
Menjelang peringatan delapan tahun penyerbuan kantor DPP, kantor yang biasanya tak terawat itu,
mulai berbenah.
Panggung didirikan. Spanduk besar dibentangkan. Nara sumber diundang untuk membicarakan
masalah praktik kekerasan oleh aparatur negara delapan tahun lalu. Banyak kelompok masyarakat
berbicara. Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan meminta agar mantan
Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan tersangka Kasus 27 Juli.
gE
Sebaliknya, Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK) Firman Wijaya justru meminta Mabes
Polri memeriksa Megawati Soekarnoputri karena Megawati tahu rencana penyerbuan itu. Sehingga
Megawati juga harus diminta bertanggung jawab, karena mendiamkan saja kabar yang diterimanya.
pin
Sebelumnya, isu pembukaan kembali Kasus 27 Juli yang sudah lama tenggelam diungkapkan ke
permukaan. Sejumlah nama disebut ikut bertanggung jawab dan akan diadili berkaitan dengan
penyerbuan itu. Namun, isu penyidikan itu surut ketika kejaksaan mengembalikan lagi berkas Kasus 27
Juli ke pihak kepolisian.
Besok, Selasa 27 Juli 2004, penyerbuan kantor DPP PDI akan diperingati di bekas Kantor DPP PDI
(kini PDI Perjuangan). Sebuah acara yang dimaksudkan untuk mengusik kembali ingatan kolektif
masyarakat, mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 27 Juli, delapan tahun lalu.
kli
BAGI aktivis hak asasi manusia, Rachland Nashidik dan Ifdhal Kasim, upaya pengungkapkan kasus
pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia masih menjadi fungsi dari kepentingan politik elite. Ketika
elite politik membutuhkan isu itu, maka digunakanlah isu untuk kepentingan kekuasaan. Namun, ketika
elite politik tidak membutuhkan, isu pelanggaran HAM masa lalu akan selalu ditolak dan dinegasikan.
"Masalah pelanggaran HAM masa lalu hanyalah komoditas politik yang selalu dipermainkan elite,"
ujar Ifdhal Kasim.
Padahal, menurut Rachland, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tak boleh menjadi isu
musiman. "Para elite politik harus sadar bahwa tanpa ada masa lalu, mungkin mereka tak akan menjadi
elite politik," kata Rachland.
Dalam Kasus 27 Juli 1996, Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri telah menjadi orang nomor satu
di republik ini. Mantan Pangdam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso yang selama ini disebut-sebut sebagai
orang yang bertanggung jawab dalam kasus itu, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta,
mantan Komandan Satgas PDI Agung Iman Sumanto kini menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta.
9
"Kasus 27 Juli seharusnya menjadi tanggung jawab Megawati untuk menyelesaikannya. Namun, publik
tak menangkap keseriusan itu. Paling tidak itu tampak dari dukungan Megawati kepada Sutiyoso,"
katanya.
Namun, kata Rachland, Megawati kelihatan betul memanfaatkan peringatan peristiwa 27 juli sebagai
sebuah isu untuk mengingatkan kembali publik, bahwa ia adalah korban. "Jadi, sebenarnya memang
tak ada kesungguhan," kata Rachland.
Hal serupa disampaikan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim.
"Peringatan Kasus 27 Juli hanyalah komoditas politik untuk kepentingan elite politik memperebutkan
kekuasaan, sama sekali bukan dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa
lalu secara tuntas," kata Ifdhal.
LS
AM
Padahal, menurut Ifdhal, tanpa ada penyelesaian komprehensif tentang pelanggaran HAM masa lalu,
kita akan selalu terjebak pada masa lalu. "Masa lalu seharusnya diselesaikan bukan terus dipelihara
semata-mata untuk kepentingan kekuasaan," kata Ifdhal.
Ketua Forum Demokrasi Indonesia Trimedya Panjaitan membantah anggapan bahwa Kasus 27 Juli
dipelihara untuk kepentingan elite kekuasaan dan Megawati mendapatkan keuntungan dari kasus itu.
"Kalau kita jujur melihat keadaan, upaya untuk menuntaskan kasus sudah lama dilakukan. Masalah itu
tersendat setelah DPR mengubah arah penyidikan menuju penyidikan koneksitas yang tertutup," kata
Panjaitan seraya menambahkan, "Pemerintahan Megawati telah berupaya membuka kasus itu. Namun,
masalahnya memang tidak mudah."
KASUS 27 Juli 1996 memang tetap menimbulkan pertanyaan yang tak terjawab. Siapa sebenarnya
yang harus bertanggung jawab dalam praktik kekerasan yang disponsori oleh negara itu?
gE
Pemerintahan otoriter Orde Baru sebagaimana diwakili Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen
Syarwan Hamid dalam penjelasannya di depan perwakilan asing, 5 Agustus 1996 mengatakan,
Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham
komunis di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh PDI sebagai
"kuda troya".
pin
Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman kantor PDI
sebagai embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pertemuan di rumah
Soeharto, tanggal 19 Mei 1996, Soeharto meminta pembantu militernya untuk mewaspadai makar itu.
kli
Konstruksi Orde Baru itu kemudian diterjemahkan. Sebanyak 124 orang yang bertahan di dalam
gedung diadili dan dijatuhi hukuman. Sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan
dijebloskan ke penjara atas tudingan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli, meski dalam proses
persidangan tuduhan itu tak pernah terbukti.
Kebenaran Orde Baru itu telah dicoba direvisi oleh Megawati ketika ia berada di tampuk kekuasaan.
Namun, revisi itu tidak signifikan. Pemerintahan Megawati tak mampu mengungkapkan kebenaran
substansial atas persekongkolan elite politik militer Orde Baru.
Majelis hakim Pengadilan Koneksitas yang diketuai Rukmini hanya mampu membuktikan seorang
terdakwa sipil Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Ia dinyatakan terbukti menipu massa dan
ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI.
Menurut Ifdhal, jika Kasus 27 Juli mau diletakkan dalam konteks upaya untuk mencari kebenaran,
maka pembentukan Pengadilan Koneksitas hanya mau menyelamatkan konstruksi politik Orde Baru.
"Pengadilan Koneksitas terbukti gagal untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih subtansial. Itu tak
lepas dari tawar-menawar politik pemerintahan sipil dengan kekuatan politik Orde Baru," kata Ifdhal.
10
Yang tampak di permukaan adalah saling bantah dan saling tuding antara para pejabat militer. Mantan
Pangdam Jaya Sutiyoso saat diperiksa menuding Soeharto yang secara implisit memberikan perintah
untuk menghentikan mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Ketika suara di lapangan mengarah kepada keterlibatan mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang
Yudhoyono, Gubernur Sutiyoso bereaksi dengan mengatakan, "Yudhoyono tidak terlibat dalam
penyerbuan kantor DPP. Sebab sebagai Kasdam pada waktu itu, Yudhoyono tidak bisa mengambil
keputusan memerintahkan pengosongan. Tanggung jawab di lapangan ada di tangan saya selaku
Pangdam Jaya. Yudhoyono tidak berkapasitas memberi perintah pengosongan." (Kompas, 12 Juni
2004)
Kenyataannya, Pengadilan Koneksitas telah gagal mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh,
termasuk mengungkap motivasi politik pembantu militer Soeharto pada era Orde Baru untuk
menyingkirkan Megawati dari panggung politik nasional.
LS
AM
POLA penanganan masalah pelanggaran HAM masa lalu yang terus dipolitisasi jelas hanya akan
memelihara siklus impunitas. Tanpa ada upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa
lalu, pada saatnya nanti akan mengganggu konsolidasi demokrasi. Masa lalu akan terus menggelayuti
bangsa dan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu.
Kebengisan dan kekejaman masa lalu memang harus terus disuarakan untuk mencegah kejahatan
kebisuan (the crime of silence). Perjuangan masyarakat korban sejatinya adalah perjuangan terhadap
upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti, yang selalu menjadi ciri sebuah pemerintahan otoriter.
Suara-suara masyarakat korban yang menuntut pengungkapkan kebenaran seyogianya tidak dijadikan
komoditas politik untuk semata-mata hanya untuk meraih kursi kekuasaan. Elite yang memanipulasi
suara korban untuk kepentingan kekuasaan adalah elite yang mengkhianati suara rakyatnya.
kli
pin
gE
Negara memang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
diwariskan rezim otoriter Orde Baru. Telah banyak instrumen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM masa lalu. Yang belum ada hanyalah niatan tulus untuk mengabdi kepada kemanusiaan,
kebenaran, dan korban itu sendiri. (Budiman Tanuredjo)
11
Kompas, Sabtu, 31 Juli 2004
Ifdhal Kasim:
Upaya Melepaskan dari Bayangan Masa Lalu
SEJARAWAN Taufik Abdullah dengan mengutip seorang teoritikus menulis, "Masa lalu adalah negeri
asing. Siapa tahu, ’di sana di negeri asing itu’ terletak sumber ketidakberesan yang kini-ataukah di sinisaya rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah
sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki ’di sana’ agar yang terjadi ’di
sini’ baik-baik saja."
Masa lalu terasa demikian penting untuk menata masa depan. Namun bagaimana menyelesaikan masa
lalu bangsa, khususnya pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter, tetap merupakan suatu hal
sulit yang harus dilakukan pemerintahan baru. Terlalu banyak dilema-dilema yang harus dipecahkan:
antara melupakan, mengampuni, dan mengadili. Antara pemberian keadilan dan pengungkapan
kebenaran.
LS
AM
"Masa lalu memang terlalu krusial untuk dibiarkan begitu saja. Dengan mengungkap kebenaran
mengenai apa yang terjadi pada masa lalu, kita bisa belajar untuk menata masa depan," kata Ifdhal
Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam obrolan dengan
Kompas di kantornya, Rabu (28/7) siang.
Ifdhal, pria kelahiran Tapak Tuan, Aceh Selatan, 41 tahun lalu, membawa Elsam, lembaga yang
dipimpinnya untuk mendalami dan mengkaji bagaimana pengalaman bangsa lain menyelesaikan masa
lalunya. Berikut percakapan dengan Ifdhal.
gE
Bagaimana ceritanya Elsam memilih memfokuskan pada isu penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu?
pin
Kebijakan itu kita ambil terkait dengan perubahan rezim dari pemerintahan otoriter Soeharto ke era
reformasi. Kita melihat ada suatu masalah yang harus diselesaikan pemerintahan baru dalam konteks
untuk memperkuat demokrasi di masa depan. Masalah itu adalah bagaimana pemerintahan baru
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM warisan Orde Baru. Isu itu tak banyak diangkat publik.
Banyak orang bicara soal krisis ekonomi, bagaimana mengontrol tentara, sementara isu pelanggaran
HAM masa lalu yang amat menentukan penataan ke depan, tak ada yang mempersoalkan. Kita sengaja
mengangkat isu itu dan berkonsentrasi pada isu tersebut.
kli
Kita melihat pengalaman negara lain yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Karena itu,
kita mencoba mendorong apa yang dilakukan negara lain, seperti Argentina, Cile, dan Afsel untuk juga
dilakukan Indonesia. Langkah itu perlu agar rezim baru tidak terus terkungkung oleh kasus
pelanggaran masa lalu.
Seberapa penting kasus masa lalu harus diselesaikan?
Itu sangat krusial, karena kalau tak diselesaikan pemerintah baru itu akan selalu menghadapi tekanan
politik dari mereka yang jadi korban di masa lalu. Dan yang lebih penting lagi, rezim baru akan
menjadi tawanan kepentingan dari elite politik yang dulu melakukan pelanggaran HAM. Ide
penyelesaian masa lalu adalah agar rezim baru itu tidak diisi lagi oleh mereka yang terlibat dalam
pelanggaran HAM masa lalu. Salah satu kepentingan pemeriksaan kasus HAM adalah menyaring elite
politik untuk pemerintahan baru. Kalau masih ada elite lama masih memimpin rezim baru, dia akan
tetap membawa cara berpikir yang pernah dipakai waktu lalu.
Bagaimana Anda melihat korban pelanggaran HAM yang terfragmentasi?
Sebetulnya ada solidaritas di kalangan mereka. Kami pernah menyelenggarakan pertemuan nasional
korban yang dihadiri korban seluruh Indonesia untuk saling men-share pengalaman sesama korban
sehingga tumbuh solidaritas bersama, tak ada egoisme sektoral bahwa mereka paling menderita.
Misalnya, korban 65 mengatakan, dia paling menderita dibanding korban Priok. Mereka harus
12
disadarkan bahwa secara kolektif mereka adalah korban satu rezim. Sehingga ada solidaritas yang
mengikat mereka untuk menuntut hak mereka kepada pemerintahan baru atas perlakuan rezim lama.
Solidaritas itu tampak. Tapi yang jadi masalah, pemerintah baru itu terlalu lama merespons kebutuhan
korban. Karena terlalu lama, di kalangan korban terbangun juga dinamika politik. Ada sebagian korban
bergabung kepada parpol, atau diajak elite politik tertentu untuk diorganisir dan dimanfaatkan elite.
Di lapangan fragmentasi di kalangan korban itu tampak?
Karena pemerintah terlalu lama menanggapi tuntutan mereka, korban pun kelelahan yang
menyebabkan mereka mengambil posisi pragmatis yang membuat mereka mudah dipecah. Korban ini
kan rentan dari intervensi dari para pelaku, dengan cara pelaku mengiming-imingi mereka dengan
berbagai cara misalnya rujuk sosial, dengan menggunakan tradisi agama, islah. Dan kalau bukan
agama, mereka menggunakan ikatan-ikatan hubungan ideologis. Ini menyebabkan terjadinya
fragmentasi dari korban, sebagian dari mereka mengatakan tak perlu diungkapkan lagi kasusnya.
Mereka kemudian berhadapan dengan temannya sendiri, yang menuntut pemulihan HAM.
LS
AM
Jadi, ada aktor negara yang tak cepat memberikan respons, ada pelaku yang memang tidak
menghendaki masa lalunya diungkap, lalu apa yang bisa dilakukan korban agar solid?
Itu sangat sulit untuk kita bangun. Dari pertemuan nasional korban kita mengharapkan terbangun
sebuah organisasi korban, tak hanya di Jakarta tapi di seluruh Indonesia dan lintas kasus. Ternyata
membangun organisasi di tingkat korban sangat sulit karena daya tahan sebagian besar dari mereka
sangat riskan dari intervensi. Baik secara kultural maupun ekonomi. Karena itu tidak banyak organisasi
korban yang bisa bertahan dan solid dan tetap memperjuangkan kepentingan mereka. Seperti misalnya,
korban yang ada di Argentina, Mother Plaza the Mayo, kemudian kelompok korban di Afrika Selatan.
Mereka bisa cukup solid bertahan dari bujukan-para aktor politik maupun pelaku yang mencoba
membujuk mereka menerima islah dan kemudian kasusnya tak perlu diungkap.
gE
Apa yang harus dilakukan rezim baru agar rezim tak menjadi tawanan kepentingan elite lama?
pin
Rezim baru harus mengungkapkan kasus pelanggaran HAM. Dari situ akan terseleksi siapa yang
bertanggung jawab pada masa lalu, dan mereka yang bertanggung jawab pada masa lalu itu tidak boleh
diikutkan pada rezim baru. Caranya melakukan seleksi politik bisa dengan pengungkapan kasus HAM
melalui Komisi Kebenaran dan pengadilan. Karena kita tak mungkin melakukan proses seperti di
negara komunis, lustrasi, di mana semua pejabat dalam level tertentu dipensiun dini. Salah satu yang
tidak adil dari lustrasi, dia memvonis orang tanpa proses peradilan.
kli
IFDHAL sebenarnya tak asing dalam dunia peradilan. Ia pernah menjadi pengacara yang berpraktik di
peradilan di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Namun, praktik korup di peradilan membuatnya tak tahan.
"Saya tak tahan dengan praktik korup. Semuanya serba uang. Untuk mendapatkan perkara pun harus
ada koneksi dengan kepolisian, kemudian hasilnya dibagi. Saya tak tahan dan kemudian keluar,"
katanya.
Dia kemudian bertemu dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM) dan diajak
bergabung untuk membangun Elsam. Jadilah, Elsam berkembang dengan 22 staf dan mempunyai
kantor sendiri. Untuk mendalami masalah hak asasi manusia, Ifdhal yang beristrikan Yohana Ririhena
(wartawati) sempat belajar di Center for Human Right di Columbia University. Ia pun menikah di New
York karena perkawinan beda agama.
Evaluasi terhadap Pengadilan HAM Ad Hoc dan pembentukan Komisi Kebenaran?
Pada era Gus Dur seharusnya ada semacam kontrak politik antara elite politik baru untuk terlebih
dahulu menyelesaikan kasus masa lalu. Jadi, pembentukan komisi kebenaran dan pengadilan
seharusnya satu paket. Bukan seperti sekarang, pengadilannya berjalan dan hanya untuk kasus yang
sebetulnya masih aktual, Timtim. Akibatnya, pengadilan tak memberi efek pada proses sirkulasi elite
lama ke elite baru.
Maksudnya?
13
Mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, tetap ada di rezim baru. Orang yang
terindikasi terlibat dalam kasus Talangsari Lampung, kasus 27 Juli, Aceh, dan seterusnya terserak
dalam rezim baru. Seharusnya, Komisi Kebenaran dan Pengadilan dibuat tak terlalu lama setelah
transisi untuk memproses mereka yang bertanggung jawab.
Apakah itu bukan soal corak transisi. Misalnya dari Orde Lama ke Orba kan jelas, semua yang terlibat
dalam Orde Lama tak bisa masuk dalam Orba?
Ya memang. Karena kita memercayakan seleksi melalui pemilu. Sebelum pemilu seharusnya kita buat
kontrak politik. Tapi kita serahkan semuanya melalui pemilu sebagai sarana rakyat menseleksi elite
lama masuk kembali atau tidak. Ternyata, pemilu itu justru memperkokoh elite politik lama dalam
struktur rezim baru.
Bagaimana sebenarnya relasi Komisi Kebenaran dan pengadilan?
LS
AM
Komisi Kebenaran tidak mengejar kesalahan pidana seseorang tapi yang dikejar dan dicari adalah pola
pelanggaran HAM di mana pelanggaran HAM itu lahir dari kebijakan negara. Komisi Kebenaran
menuntut negara sebagai institusi untuk menyatakan kesalahan kepada warga negara yang dilanggar,
dan dari situ dia harus memberi rehabilitasi dan kompensasi. Ketika Komisi Kebenaran menemukan
pertanggungjawaban yang spesifik, dia harus menyerahkan ke pengadilan untuk melakukan
penghukuman. Relasinya sifatnya komplementer.
Perlu ada pengakuan bersalah dalam Komisi Kebenaran?
gE
Pengakuan bersalah itu kan seharusnya dari institusi, bukan orang, kecuali kalau dalam Komisi
Kebenaran yang sedang kita bahas, KKR memberikan kewenangan kepada pelaku untuk mengaku
bersalah. Itu persis Afsel. Bahwa amnesti didasarkan kepada permohonan orang atau pelaku, bukan
dikeluarkan oleh negara. Kalau Komisi Kebenaran kita seperti itu, maka bukan hanya negara yang akan
mengakui kesalahan yang dibuat, tapi orang-orang yang mau dinyatakan bersalah. Tapi menurut saya,
di Indonesia ada pelaku datang ke Komisi dan smenyatakan pengakuan bersalah itu agak susah.
Menurut saya, mekanisme ini kurang begitu didukung oleh kultur yang berkembang di Indonesia.
Kritik terhadap RUU KKR?
kli
pin
Kritik utama terhadap RUU KKR berkenaan dengan penempatan KKR sebagai pengganti pengadilan.
KKR ditempatkan sebagai quasi judicial karena kasus yang mereka selidiki sudah tidak bisa dibawa ke
pengadilan. Secara hukum, tidak kuat posisi seperti ini karena Komisi Kebenaran tak didesain untuk
mengganti pengadilan. KKR bukan mekanisme alternative dispute resolution. Komisi memang satu
mekanisme yang diprakarsai negara untuk merekonsiliasikan hubungan negara dengan warga
negaranya yang pernah pada satu ketika oleh satu rezim politik merusak hubungan itu. Yang tak bisa
direkonsiliasi itu yang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana.
Masih ada momentum, Pemilu 2004 untuk membuat kontrak baru atau malah campur baru?
Sekarang kan sudah campur baur. Kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat terkait dengan komposisi
elite dalam rezim baru sekarang. Misalnya, dalam pemilihan presiden yang akan datang yang menang
Yudhoyono atau Megawati tetap tidak bisa lugas berhadapan dengan mereka yang bertanggung jawab
dengan masa lalu. Karena sebagian dari mereka sudah menjadi bagian dari rezim baru sekarang ini.
Artinya tak ada harapan rezim baru untuk pengungkapan masa lalu?
Kalau dalam pengertian yang sangat ideal nggak ada. Tapi gradasi tertentu masih bisa dicapai. Tapi
kalau kita berharap masa lalu diselesaikan dengan tuntas, dengan mencapai keadilan substansial sulit
berharap, karena ada kompromi elite politik. Karena adanya elite politik lama di rezim baru.
Rezim baru akan ditawan dengan masa lalu?
14
Secara substansial dia akan tertawan karena dia hanya menyentuh aspek yang katakanlah partial
justice. Mereka nggak akan bisa konfrontasi dengan pelanggaran HAM masa lalu. Yang dia cari, rezim
baru akan terus menjaga konsensus politik agar pemerintah jalan.
Artinya korban tak mendapat hak, kebenaran tak terungkap?
Secara penuh korban takkan dapat haknya, dan kebenaran hanya terungkap secara parsial. Dengan
produk, pengadilan HAM yang sekarang berjalan, barangkali juga ada KKR itu semua akan
menghasilkan keadilan parsial dan kebenaran parsial.
Dampaknya apa?
Negara tertawan masa lalu?
LS
AM
Dampaknya kita mungkin akan terus menghadapi pertanyaan tentang gugatan beberapa kasus
pelanggaran HAM yang oleh korban dirasa belum mendapatkan keadilan substansial khususnya Aceh
dan Papua. Siapa pun yang terpilih akan terus dibayangi dengan penanganan pelanggaran HAM di
Aceh dan Papua. Pemerintah baru sama sekali belum menyentuh penanganan pelanggaran HAM di
kedua daerah itu. Masalahnya, banyak pejabat di pemerintahan baru pernah bertugas di Aceh dan
Papua.
Akan terus tertawan dalam gradasi yang berbeda. Bayang- bayang masa lalu akan selalu menghantui.
Ada orang mengatakan, pelanggaran masa lalu tak perlu dipersoalkan?
kli
pin
gE
Itu tak menjawab masalah, besok dia akan berhadapan lagi. Secara politik bisa dicapai konsensus bikin
perpu, atau deklarasi mengatakan kita lupakan masa lalu, kita menatap ke depan. Tapi itu tak
membawa dampak bagi perubahan tatanan politik. Yang ingin dicapai selain ada seleksi elite adalah
penataan struktur politik masa depan. Misalnya, RUU TNI. Kita tidak melihat ada dampak di tubuh
TNI terhadap perilaku mereka. Mereka tetap mempertahankan perilaku masa lalu yang menjadi
penyebab pelanggaran HAM. Padahal, fungsi mengungkap kebenaran masa lalu adalah bagaimana
mereformasi lembaga negara. Seperti TNI, polisi, dan intel. Itu harus direformasi berdasarkan peran
mereka pada masa lalu. RUU TNI diajukan tanpa mengacu masa lalu. Seperti kita tak pernah
mempunyai masa lalu. (Budiman Tanuredjo)
15
Kompas, Selasa 24 Agustus 20004
Masa Lalu Tak Selesai, Demokrasi Jadi Semu
Jakarta, Kompas - Pemerintah baru yang terbentuk seharusnya segera menyelesaikan persoalan masa
lalu. Sebab, jika tidak, akan timbul sinisme di masyarakat terhadap pemerintah dan muncul persepsi
negatif terhadap pemerintah yang menganggap seolah demokrasi tidak berharga. Tidak kunjung
dituntaskannya persoalan-persoalan masa lalu hanya akan menghasilkan demokrasi semu dan tidak
sebenarnya.
Demikian pendapat Senior Associate The International Center for Transitional Justice (ICTJ) Eduardo
Gonzalez dalam peluncuran buku Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-upaya Pencarian Keadilan dalam
Masa Transisi di Indonesia yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di Perpustakaan
Nasional, Senin (23/8). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Kepala Litbang Harian Kompas Daniel
Dhakidae dan dosen Universitas Atmajaya, Nani Nurachman.
LS
AM
Gonzalez menjelaskan, dalam proses transisi yang terpenting adalah penegakan hukum dengan cara
menghilangkan kroniisme dan membuat pertanggungjawaban atas peristiwa-peristiwa masa lalu.
Masalahnya, pertanggungjawaban masa lalu sangat sulit karena mendudukkan elite pada dilema.
"Kalau elite-elite baru tidak mengurus masa lalu maka akan timbul sinisme dan persepsi negatif di
masyarakat seolah pemerintah tidak menganggap demokrasi berharga," ujar Gonzalez.
Ia menjelaskan, hal itu tertangkap saat UNDP melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat di
Amerika Latin. Jawaban masyarakat atas jajak pendapat UNDP itu sungguh mengejutkan karena
masyarakat ternyata tidak peduli apakah akan kembali ke rezim otoriter atau tidak. Hal ini karena tidak
tuntasnya penyelesaian masa lalu sehingga menyebabkan timbulnya demokrasi semu atau demokrasi
yang tidak sebenarnya.
gE
Daniel Dhakidae menjelaskan, tidak ada yang serius menangani transisi politik tahun 1998. Saat itu
terjadi dilema besar tentang nilai-nilai demokratik dan nilai republikan, tetapi tidak pernah diputuskan.
Di dalam demokratik, persamaan dan kesejajaran menjadi hal penting, sedangkan nilai-nilai republikan
yang menjadi penting adalah pembenahan institusi, barulah demokrasi. Institusi-institusi terpenting dan
seharusnya mengalami perubahan besar, seperti militer, polisi, Mahkamah Agung, Departemen Dalam
Negeri, dan Kejaksaan Agung, nyaris tidak mengalami perubahan.
kli
pin
Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah pandangan akan lebih pentingnya konsekuensi atau akibat
daripada sebab terjadinya suatu peristiwa. "Yang terjadi adalah persekongkolan gerakan oligarki
sehingga politik rekonsiliasi dan kebenaran susah dikerjakan," jelas Daniel.(VIN)
16
Kompas, Kamis 09 September 04
Soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Tidak Fair, Reparasi Dikaitkan Amnesti
Jakarta, Kompas - Pengaturan mengenai amnesti yang dikaitkan dengan reparasi dalam Rancangan
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang
dari segi hukum dinilai tidak fair. Aturan itu harus dikaji ulang agar tidak membawa implikasi besar di
masa mendatang.
Demikian pendapat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang disampaikan Direktur
Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, Rabu (8/9) di Jakarta.
LS
AM
Ia menegaskan, pengaturan tentang amnesti dalam RUU KKR banyak mengundang kritik tajam karena
RUU itu secara eksplisit mengatur bahwa kompensasi dan rehabilitasi hanya dapat diberikan bila
permohonan amnesti dikabulkan. Ketentuan itu tidak fair karena secara tidak langsung amnesti ditukar
dengan kompensasi dan rehabilitasi. Sebab, jika tidak ada amnesti, tidak akan ada kompensasi dan
rehabilitasi. "Ini tidak adil. Kompensasi dan rehabilitasi adalah kewajiban negara atas korban dan tidak
dapat dikaitkan dengan perlakuan amnesti bagi pelaku," ujarnya.
Kelemahan lain RUU KKR adalah pengaturan soal mandat komisi, hubungan komisi dengan
pengadilan, ketidakjelasan pengaturan hubungan kerja antar subkomisi, dan kebutuhan atas regulasi
penunjang.
Menurut Ifdhal, proses penyusunan dan pembahasan RUU KKR sekitar satu tahun lebih menunjukkan
betapa tingginya sensitivitas politik dalam pembuatan UU tersebut.
gE
Akan tetapi, Ifdhal menilai pembentukan KKR merupakan inisiatif positif. Selain membuka kembali
kejahatan di masa lalu, juga mendorong negara mempertanggungjawabkan berbagai kekerasan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pembentukan komisi juga merupakan peluang untuk
penjelasan historis (historical account) sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM.
kli
pin
Ifdhal menyatakan, sejumlah kasus yang harus ditangani KKR antara lain peristiwa tahun 1965,
termasuk pembantaian dan pembuangan di Pulau Buru, pelanggaran HAM di Papua mulai tahun 1967
sampai sekarang, pelanggaran HAM di Aceh sejak DOM hingga sekarang, kasus Talangsari, Haur
Koneng di Jawa Barat, kasus Kedungombo di Jawa Tengah, kasus 27 Juli dan penangkapan aktivis
usro. (SON/VIN)
17
Koran Tempo, Selasa, 7 September 2004
LSM Tolak Amnesti bagi Pelaku
JAKARTA -- Kontroversi terhadap draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi belum juga berakhir. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) misalnya, menolak pemberian amnesti oleh
presiden bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, mengatakan, semestinya RUU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi ditujukan untuk kepentingan korban agar mendapatkan kembali hak-haknya.
Pengembalian hak-hak itu, menurut dia, tanpa didahului keharusan adanya pemberian amnesti seperti
diatur dalam Pasal 27 draf RUU itu. "Hak-hak korban itu bersifat inheren, melekat pada korban," kata
Ifdhal kepada Koran Tempo kemarin.
LS
AM
Koordinator Kontras, Usman Hamid juga memberikan pendapat senada. Seharusnya, kata dia, komisi
yang diberi wewenang untuk memutus siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak diberi amnesti
atau sebaliknya. Komisi, kata dia, dapat membentuk panel untuk mengkaji soal pemberian amnesti.
Dia menolak jika presiden sebagai penentu siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak dapat
amnesti. Dia beralasan, kepentingan politik presiden kental pengaruhnya untuk menentukan pemberian
amnesti. "Apalagi bila pelaku-pelakunya masih duduk dalam pemerintahan," kata Usman saat
dihubungi kemarin.
gE
Menurut Usman, RUU ini seharusnya tidak mengakomodasi adanya pemberian amnesti. Dengan
demikian, dia mengusulkan penghapusan pasal tentang pemberian amnesti. "Amnesti bertentangan
dengan hukum internasional apabila dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM berat. Justru kewajiban
negara untuk menghukum pelakunya atau mengekstradisi pelakunya. Ini kewajiban negara yang
imperatif," ujarnya tegas.
Ketua Panitia Khusus Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidarto Danusubroto
mengatakan, presiden memiliki wewenang untuk memberikan amnesti. Dewan, menurut dia, merujuk
pada konstitusi yang memberi wewenang bagi presiden untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti.
pin
Dia menepis kekhawatiran Elsam dan Kontras tentang bias politik dalam pemberian amnesti oleh
presiden nantinya. "Bagaimana mungkin presiden menolak rekomendasi 21 anggota komisi? Semua
anggota komisi itu orang-orang terhormat, apa presiden berani? Kalau presiden menolak beri amnesti,
ya dia dihujat rakyatnya. Jadi, pakai akal sehat saja," ujarnya kepada Koran Tempo kemarin.
kli
Dia mengakui, RUU ini tidak sempurna 100 persen. Namun, Pansus memutuskan untuk membawanya
ke rapat paripurna hari ini untuk disetujui menjadi undang-undang. Jika ada anggota masyarakat yang
keberatan dengan materi RUU ini, Sidarto mempersilakan masyarakat untuk mengajukan amendemen
atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Selain soal amnesti, Elsam juga menyoroti soal posisi komisi dalam RUU ini lebih pada menggantikan
posisi pengadilan. Kesan itu tergambar dalam Pasal 43. Padahal, menurut Ifdhal, relasi kedua institusi
itu semestinya saling melengkapi. "Sehingga misalnya, komisi temukan kasus yang bisa diselesaikan,
tetapi karena amnesti tidak diterima, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan," ujarnya.
Baik Ifdhal maupun Usman juga mempertanyakan jumlah anggota komisi. Pada Pasal 37 disebutkan,
jumlah anggota komisi 21 orang. Menurut Sidarto, munculnya angka 21 setelah Dewan
mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang luas dan multikasus. "Rentang waktunya juga
panjang, dari 1945 hingga saat ini," ujar politikus dari Fraksi PDIP itu.
Namun, menurut Ifdhal, jumlah anggota komisi maksimal 15 orang. Begitu pula Usman. Hanya dia
mengusulkan maksimal 7 orang. Keduanya punya alasan sama, yakni anggota hanya berperan sebagai
pemimpin dan pengawas pelaksanaan tugas dan fungsi komisi. "Yang harus diperbanyak jumlahnya
ada pada level staf," kata Usman.
Di DPR, Panglima TNI Endriartono Sutarto menyerukan agar semua personel TNI mematuhi kerja
18
kli
pin
gE
LS
AM
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nantinya. "Karena ini sudah disepakati secara nasional, kami
semua termasuk kalau nanti ada yang menyangkut prajurit TNI, semuanya harus patuh," kata
Endriartono kemarin. Awal-awal pembahasan RUU ini, TNI mengkhawatirkan pengungkapan
kebenaran peristiwa masa lalu akan menimbulkan konflik baru. maria rita/fajar wh
19
Kompas, Kamis 07 Oktober 204
Komnas HAM dan KKR Bisa Berebut Peran
Jakarta, Kompas - Karena wewenang yang tumpang tindih, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau
Komnas HAM berpeluang untuk berebut peran dan bersaing secara tidak sehat dengan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Dalam rangka itu, Komnas HAM akan membuat memorandum of understanding (MoU) dengan KKR,
setelah lembaga itu terbentuk.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin ketika ditemui di Kantor Komnas
HAM, Jakarta, Senin (4/10). Setelah membandingkan antara Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun
1999 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Komnas HAM, dan UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Zoemrotin berpendapat, terjadi tumpang tindih tugas antara KKR
dan Komnas HAM, antara lain soal penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
LS
AM
Dalam RUU KKR yang telah disepakati DPR dan pemerintah, KKR bertugas antara lain melakukan
penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM berat. Sementara dalam Pasal 18 UU No 26/2000
tentang Pengadilan HAM disebutkan, "Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia."
Untuk menghindari hal itu, kata Zoemrotin, Komnas HAM dan KKR sebaiknya membuat MoU.
"Isinya, misalnya, untuk kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu yang sudah direncanakan
Komnas HAM sebelum terbentuknya KKR, sebaiknya diselesaikan Komnas HAM," papar Zoemrotin,
yang berharap DPR merevisi UU tentang kedua lembaga itu.
gE
Rapat paripurna baru-baru ini telah memutuskan pembentukan dua tim penyelidik kasus penghilangan
orang secara paksa yang terdiri dari tim kasus daerah operasi militer Aceh, tim kasus kerusuhan Mei,
dan kasus penculikan aktivis mahasiswa oleh Tim Mawar 1998.
kli
pin
Tim berikutnya adalah tim kasus mantan Presiden Soeharto yang terdiri dari tim kasus penembakan
misterius 1980, kasus Pulau Buru, kasus korban PKI, serta kasus fitnah PKI. Terhadap kasus-kasus
yang ditangani kedua tim ini Zoemrotin berharap tidak diambil alih oleh KKR. (WIN)
20
2005
Kompas, Rabu 15 Juni 2005
Jangan Berhenti Sebatas Pengakuan
PELANGGARAN hak asasi manusia berat di Indonesia yang terjadi di masa lampau
masih perlu ditelusuri kembali.
PENELUSURAN itu bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan
keadilan sehingga penghargaan atas hak asasi manusia dapat terwujud dalam bentuk
rekonsiliasi dan persatuan nasional.
LS
AM
Keinginan ideal itu berusaha dicapai melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), yang sampai saat ini belum juga terbentuk. Padahal, komisi yang
didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi itu mestinya sudah harus terbentuk pada 6 April 2005.
Sesuai dengan UU No 27/2004, KKR dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan guna
mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta mewujudkan rekonsiliasi dan
persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian.
pin
gE
Direktur Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas,
selaku anggota panitia seleksi calon anggota KKR, mengaku, keberhasilan The Truth
and Reconciliation Commission atau KKR di Afrika Selatan menjadi pandangan KKR
di Indonesia. Bahkan, subkomisi di dalam KKR pun mengikuti komisi di Afrika
Selatan tersebut, yakni subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM
berat, subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, serta subkomisi pertimbangan
amnesti.
kli
Keteladanan Nelson Mandela dan sikap tegas namun penuh kasih Uskup Desmond
Tutu yang memimpin komisi ini dinilai menjadi salah satu unsur keberhasilan KKR di
Afrika Selatan mengungkapkan borok rezim apartheid. Meskipun, Hafid menilai
masih banyak yang belum tertangani oleh Afrika Selatan pada masa Nelson Mandela.
KKR di Indonesia, menurut Hafid, berupaya mengungkapkan kebenaran, mengacu
pada definisi pelanggaran HAM, yakni abuse of power. Bahasa sederhananya,
penindasan si lemah oleh si kuat. Oleh karena itu, keberhasilan KKR ini bisa menjadi
solusi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Perjalanan yang tanpa noktah gelap,
tanpa catatan merah.
Namun, perjalanan penghapusan rezim apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1993setelah mencengkeram sekitar 34 tahun-bukannya mulus. Pandangan sebagian
masyarakat Afrika Selatan terhadap perubahan rezim di negara itu tidak seragam.
Sandy, warga Afrika Selatan yang dijumpai di Pretoria, Afrika Selatan, akhir April
2005 menilai tidak semuanya merasakan perubahan rezim dan KKR di negerinya.
"Memang baik bagi sebagian orang. Tetapi, bagi sebagian orang yang lain, tidak ada
pengaruhnya sama sekali," kata Sandy.
21
Perempuan berkulit putih itu mengaku cukup beruntung karena memiliki pendidikan
layak sehingga mudah memperoleh pekerjaan tetap. Namun, mereka yang tidak
memiliki pendidikan memadai, rezim apartheid atau bukan, tak ada bedanya.
"Kebenaran dalam kejahatan kemanusiaan memang terungkap. Tetapi,
kelanjutannya?" tanya Sandy.
Kevin, warga Afrika Selatan yang berkulit putih, justru merasakan ekonomi semakin
memburuk. "Dulu kita berharap mereka yang buruk akan terbawa ke arah yang baik.
Tapi kenyataannya, justru yang baik terbawa ke arah yang buruk. Contohnya, semua
mahal saat ini, sedangkan kriminalitas tinggi," ujar Kevin menegaskan. Bagi
Benjamin, seorang laki-laki kulit hitam, tak jadi soal baginya selama keluarganya bisa
hidup cukup. Ia hanya berharap penghapusan rezim apartheid memberikan
kesempatan yang lebih besar bagi dirinya dan keluarganya.
LS
AM
"Selama kami bisa hidup cukup, tak masalah siapa yang berkuasa," kata Benjamin.
Koordinator Legal Service Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
Supriyadi Widodo menegaskan, problem KKR di Indonesia sangat rumit dan serba
tanggung. Misalnya, mengenai pertimbangan amnesti yang tergantung pada Dewan
Perwakilan Rakyat meskipun di dalam KKR sudah ada subkomisi pertimbangan
amnesti. Bahkan, terkesan siapa saja yang mengaku bersalah melakukan pelanggaran
berat HAM akan dimaafkan.
gE
"Saya berasumsi aturan dalam KKR ini malah agak mandul. Saya justru menilai lebih
positif pengakuan korban," kata Supriyadi.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam menilai ruang
lingkup KKR di Afrika Selatan tidak sama dengan Indonesia atau Amerika Latin.
Maka, tingkat keberhasilannya pun tak sama.
pin
"Tetapi, yang penting adalah aspek pengungkapan kebenaran selama ini. Paling tidak
dari segi sejarah dan korban karena sekarang ini diberi kesempatan bersuara," kata
Asvi.
kli
Namun, sejarawan itu berpendapat, dalam pelaksanaannya di Indonesia nanti,
kesaksian pelaku akan lebih sedikit daripada korban. Itu pun, hanya pelaku kecil-kecil
sehingga-seperti halnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui
pengadilan HAM-pelaku utamanya masih sulit tersentuh.
Asvi dan Supriyadi menuturkan, Indonesia tidak mungkin melakukan testimoni yang
bersifat publik, seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Oleh karena itu, diperkirakan
jaminan kebebasan untuk mengungkapkan terjadinya kejahatan HAM berat di masa
lalu akan lebih banyak dimanfaatkan korban. Keduanya menilai kondisi itu sudah
cukup baik, mengingat selama ini untuk memaparkan perlakuan sebagai korban pun,
sulit.
"Sudah banyak yang antusias ingin menyampaikan perlakuan pelanggaran HAM yang
dialami ini. Umumnya, mereka adalah korban G30S," kata Supriyadi.
22
Korban G30S ini adalah korban kesewenang-wenangan pemerintah yang telah
menghilangkan nyawa-entah berapa jumlahnya-dengan mengatasnamakan mereka
sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Bahkan, keturunannya juga mengalami
siksaan yang tak kalah kejam, antara lain dengan cap sebagai keluarga tahanan politik
atau predikat "tidak bersih diri".
Dalam sebuah percakapan, Salfrida N Ramadhan, Konsul Jenderal Indonesia di Cape
Town, Afrika Selatan, mengungkapkan, KKR di Afrika Selatan dapat berhasil baik
karena hukum sangat tegas dan ditegakkan di negeri itu. Tak ada perbedaan bagi anak
seorang pejabat ataupun anak masyarakat biasa dalam penegakan hukum.
LS
AM
"Kalau salah, tetap saja salah dan dihukum. Mungkin ini juga yang membuat KKR
berhasil. Tidak ada yang khawatir adanya perbedaan hukum antara pelaku kejahatan
kemanusiaan yang memiliki jabatan tertentu dan pelaku yang memiliki jabatan lebih
rendah. Semua sama," tandas Salfrida.
kli
pin
gE
Bisa jadi, perkiraan Asvi dan Supriyadi benar. Tidak akan ada pengakuan dari pelaku
utama dan pemberi perintah, yang selama ini bersembunyi di balik tubuh pelaku
kejahatan kemanusiaan yang turun ke lapangan. Toh, hukum yang selama ini
mengaku tidak mengenal pangkat dan derajat saja tidak mampu menyentuh pucuk
pelaku ini. Maka, tak akan ada perubahan mutlak jika hanya berhenti sebatas
pengakuan, pemberian maaf, kompensasi, dan restitusi, tanpa kelanjutan yang berarti.
(IDR)
23
Suara Pembaruan, Senin 04 Jul. 05
Pengungkapan Kasus HAM Timbul Tenggelam
JAKARTA - Pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, timbul-tenggelam dan tidak
pernah tuntas akibat intervensi politik dan faktor-faktor lainnya.
Untuk itu, pemerintah diminta segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (KKR) yang
bertujuan menjaga stabilitas demokrasi yang masih labil di masa transisi ini dan juga untuk memenuhi
rasa keadilan masyarakat yang telah diberangus hak-haknya.
Demikian benang merah diskusi sehari mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang
dilaksanakan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) , Sabtu (2/7), di Jakarta.
Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua MPR AM Fatwa, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi
LS
AM
Masyarakat (ELSAM) Jakarta, Ifdhal Kasim, Mantan Anggota HAM Sholahuddin Wahid, aktivis AS
Dillon, anggota Komisi II DPR dari Fraksi FPAN Sayuti Asyatri dan anggota Komisi III DPR dari FPAN
Patrialis Akbar.
AM Fatwa mengatakan, pengungkapan pelanggaran HAM selama ini terkesan timbul dan tenggelam.
Bahkan KKR sendiri belum tentu efektif dijalankan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
tersebut.
Memang diakui, ada beberapa kasus yang mendapat perhatian cukup intensif, seperti Kasus Tanjung
Priok dan Timtim. Namun kasus-kasus HAM lainnya masih remang-remang, bahkan seakan tenggelam
gE
dan tak tersentuh karena faktor politik maupun faktor-faktor lainnya.
Fatwa menyebutkan, sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh antara lain Gerakan 30
September 1965, kasus Komando Jihad, Kasus Tanjung Priok, Timtim, Kasus Aceh, Talangsari
Lampung, kasus Papua, Peristiwa 27 Juli 1996, kasus penculikan dan kerusuhan Mei 1998.
pin
AS Dillon mengatakan, KKR yang akan dibentuk tidak bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat di Indonesia. Pasalnya, KKR ditentukan oleh rezim yang menang dan bukan rezim pelaku.
Dengan kata lain, KKR adalah produk penguasa yang sering melakukan pelanggaran HAM.
"Jadi saya pesimis jika KKR itu bisa digunakan dengan baik. Saya tidak dukung KKR karena ditentukan
kli
oleh rezim penguasa. Dalam rezim ini masih ada pelakunya. Bagaimana bisa mereka bikin senjata yang
pada akhirnya memakan diri mereka sendiri?" ktanya Dillon.
Ifdhal Kasim menilai, KKR bertujuan untuk mengungkap kembali kasus-kasus pelanggaran HAM masa
lalu, terutama mengenai kepastian tentang apa yang telah menimpa para korban pelanggaran HAM,
untuk kepentingan siapa pelanggaran itu dilakukan, bagaimana sifat kejahatan itu dan institusi-institusi
mana saja yang terlibat.
Mantan anggota Komnas HAM, Sholahuddin Wahid (Gus Solah) mengatakan, tidak semua pelanggar
HAM harus diselesaikan lewat pengadilan. Tetapi juga perlu pengungkapan fakta kebenaran, dimana
pelaku tidak harus dihukum tetapi diberikan keadilan dengan pernyataan saling memaafkan.
"Dalam perjalanan sejarah Indonesia, semua kasus pelanggaran HAM diselesaikan di meja hijau, tetapi
bisa juga dengan yang meminta maaf," katanya.
24
Sedangkan anggota DPR dari komisi II Sayuti Asyatri menilai, selama masa reformasi ini,
pengungkapan kasus pelanggaran HAM berjalan di tempat dan belum ada kemajuan berarti. Karena itu,
DPR terus dipertanyakan hal itu.
Kendati demikian, dengan adanya UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Pembentukan KKR, kesuraman
proses pengungkapan kasus HAM berat masa lalu bisa diatasi. "Dengan kata lain, UU tersebut bisa
dijadikan salah satu pilar untuk menuntaskan agenda reformasi termasuk juga soal pelanggaran HAM
berat," katanya. (L-8)
kli
pin
gE
LS
AM
Last modified: 4/7/05
25
Kompas, Selasa 05 Juli 2005
Buyung Nasution Kritik Komnas HAM
Jakarta, Kompas - Kritik terhadap kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tak hanya datang dari kalangan militer.
Advokat senior Adnan Buyung Nasution mengkritik, kerancuan serta kesalahan penafsiran,
yang selama ini menurutnya dilakukan Komnas HAM, terkait penyelidikan kasus-kasus masa
lalu seperti masalah orang hilang dan Trisakti, Semanggi I, dan II.
Hal itu disampaikan Buyung seusai bertemu Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di
Jakarta, Senin (4/7). Menurut Buyung, Komnas HAM berhak memonitor perkembangan HAM.
LS
AM
Akan tetapi, hal itu jangan ditafsirkan Komnas HAM berwenang menyelidiki kasus masa lalu.
Menurut Buyung, jika hal seperti itu terus dibiarkan, ia khawatir Komnas HAM akan diperalat
sekelompok orang yang memang memiliki dendam kesumat terhadap persoalan dan orangorang yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di masa lalu.
”Sudah tidak relevan lagi Komnas HAM membuka kasus masa lalu. Mereka seharusnya
melihat dan menangani pelanggaran HAM masa mendatang. Urusan masa lalu ada jalan
gE
keluarnya melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi),” ujarnya.
Di tempat terpisah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
Usman Hamid menilai pernyataan Buyung tersebut sebagai hal yang tidak bertanggung
kli
pin
jawab. (dwa)
26
Analisa, Rabu 06 Juli 2005
Sejumlah LSM Kecam Pernyataan Buyung
JAKARTA - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengecam pernyataan
pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang beranggapan kalau Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak dapat menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM masa
lalu. Mereka menilai, Adnan Buyung tidak memahami kewenangan yang dimiliki Komnas
HAM seperti yang diamanatkan undang-undang.
Kecaman itu disampaikan sejumlah LSM kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/7). Mereka
antara lain Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Ikatan
Korban dan Kelurga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), pengamat sosial, Benny Sulistyono, dan
LS
AM
keluarga korban kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
"Kami mengecam sikap dan pernyataan Adnan Buyung itu. Pernyataan itu merupakan
ketidakpahaman dia atas kewenangan Komnas HAM berdasarkan UU Nomor 39/1999
tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM," kata Direktur Bidang
Operasional Kontras, Edwin Partogi.
Menurutnya, sikap Adnan itu menunjukan kalau dia menjadi bumper politik terhadap para
gE
pelanggar HAM di masa lalu. Sikap-sikap seperti itu harus dihentikan karena bertujuan untuk
meniadakan upaya pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dikatakan, sikap Adnan Buyung yang terkesan membela para pelanggar HAM masa lampau
bukan baru pertama kali. Dia menjadi pembela para penembak mahasiswa Trisakti di
pin
Mahkamah Militer pada 1998 dan membela Jenderal Purnawirawan Wiranto ketika Komnas
HAM menyelidiki kasus Timor Timur.
Edwin bahkan mengatakan pernyataan Adnan bahwa tidak ada ketentuan retroaktif dalam
kli
UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM merupakan pandangan
yang bodoh. Peluang retroaktif itu terdapat pada pasal 4, 9, dan 73 UU HAM serta pasal 43
UU Pengadilan HAM.
"Non-retroaktif dikecualikan bagi pelanggaran HAM berat. Untuk kasus Timtim dan Tanjung
Priok, itu hanya soal kebutuhan adanya Keppres untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM
berat yang tengah ditangani Komnas HAM dan Jaksa Agung," katanya.
Di tempat terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Uli Parulian
Sihombing menyatakan akan meminta klarifikasi dari Adnan. Dia ingin mendengar langsung,
apakah Ketua Dewan Pendiri YLBHI itu benar-benar mengeluarkan pernyataan seperti itu.
27
Menurutnya, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu. Hal itu sesuai dengan pasal 18 UU 26/2000 yang berbunyi, "Penyelidikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komnas HAM".
"Lalu, pasal 19 merumuskan kewenangan Komnas HAM untuk memanggil saksi dan pihak
lain untuk didengar keterangan mereka," katanya.
Uli juga berpendapat Komnas HAM berhak untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu. Pada pasal 41 ayat 1 UU 26/2000 disebutkan kalau pelanggaran HAM yang berat,
yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya
dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
LS
AM
Namun, katanya, KKR dimungkinkan memroses kasus-kasus pelanggaran HAM berat setelah
kli
pin
gE
ditemukan siapa pelaku dan korban yang sesungguhnya.(O-1) Last modified: 6/7/05
28
Kompas, Sabtu 09 Juli 2005
Penegakan HAM Belum Tunjukan Perbaikan
Jakarta, kompas - Penegakan Hak Asasi Manusia di masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono tidak menunjukkan perbaikan. Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
justru menilai terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan memburuknya penegakan
HAM. Di antaranya adalah bebasnya terdakwa kasus Tanjung Priok di tingkat kasasi,
pembunuhan Munir, penembakan relawan kemanusiaan internasional di Aceh, serta
penolakan rekomendasi Komisi Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus Timor Timur.
Kalangan LSM juga curiga, penyelesaian pelanggaran HAM di dalam negeri akan diarahkan
LS
AM
ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sedangkan kasus Timor Timur diarahkan ke
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Dikhawatirkan, kedua lembaga ini nantinya
bakal menjadi HAM laundry.
Hal itu terungkap dalam jumpa pers bersama Otto Syamsuddin Ishak dari Imparsial, Usman
Hamid dari Kontras, Rafendi Djamin dari Human Right Wacth Groups, dan Agung
Yudhawiranata dari Elsam, Jumat (8/7).
gE
Agung mengungkapkan, belakangan ini ada fenomena yang menunjukkan melemahnya
semangat pemerintah untuk menegakkan HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM di Tanjung
Priok yang semula diharapkan lebih baik daripada Timor Timur ternyata justru lebih buruk.
Hal itu, kata Agung Yudhawiranata, memicu kekhawatiran terhadap penanganan pelanggaran
pin
HAM lain yang saat ini masih mengantre di pengadilan. Bahkan, pemerintah cenderung akan
membawa kasus-kasus masa lalu ke KKR.
”Padahal, KKR itu seharusnya hanya bersifat komplementer. Penggunaan mekanisme itu
kli
seharusnya berjalan seiring atau melengkapi pengadilan yang sudah ada. Jadi, KKR dan
KKP bukanlah mekanisme utama penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ini harus dicegah
supaya KKR tidak berubah menjadi HAM laundry,” kata Agung.
Keempat aktivis LSM tersebut mengaku kecewa melihat perkembangan HAM yang tidak
semakin membaik. Padahal, sebelumnya, yakni pada kisaran tahun 1999 hingga 2000, spirit
penegakan HAM lebih maju.
Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Jakarta yang membebaskan para terdakwa
peristiwa Tanjung Priok dipertanyakan oleh seorang hakim. ”Kalau semua terdakwa
pelanggaran HAM berat dibebaskan di pengadilan lebih tinggi, sebenarnya yang dimaksud
dengan pelanggaran HAM berat itu yang mana sih,” ujar Binsar Gultom, anggota majelis
hakim yang mengadili kasus Sutrisno Mascung di tingkat pengadilan pertama.
29
Meski mengakui tidak etis jika hakim mengomentari putusan hakim lain, ia menegaskan,
percuma saja ada pengadilan HAM di Indonesia jika akhirnya semua terdakwa kasus
kli
pin
gE
LS
AM
pelanggaran HAM berat dibebaskan. (SON/ana)
30
Kompas, Selasa 24 Oktober 2005
Pembentukan KKR Makin Kehilangan Momentum
Jakarta, Kompas - Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kini semakin kehilangan
momentumnya. Komisi yang seharusnya terbentuk paling lambat tujuh bulan lalu (6 April
2005), sampai sekarang tak kunjung dibentuk karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
belum juga memilih 21 nama yang akan menjadi anggota KKR.
Keterlambatan pembentukan KKR ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu, sebagai bagian dari ketidakseriusan pemerintah dalam
LS
AM
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Demikian pendapat Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) Usman Hamid dan Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) Robertus Robet, Sabtu (22/10) di Jakarta.
”Kehadiran KKR sangat penting untuk mengungkap pelanggaran HAM masa lalu,” kata
Usman.
Robertus mengatakan, pembentukan KKR terlambat karena pikiran pemerintah terbatas pada
Bentuk pengabaian
gE
isu ekonomi dan performa kabinet.
pin
Menurut Robertus, keterlambatan membentuk KKR merupakan bentuk pengabaian terhadap
penyelesaian kasus masa lalu dan cermin dari ketidakmampuan pemerintah memahami
substansi politik saat ini.
Jika KKR kehilangan momentum, akan muncul kemandekan dalam pemajuan diskursus
kli
HAM. Hal itu karena pemerintah tidak memahami kebutuhan KKR dalam pembaruan politik di
Indonesia.
”KKR mau merevitalisasi sejumlah persoalan kompleks dari masa lalu, bukan hanya
persoalan norma HAM saja, tetapi persoalan sejarah, rekonsiliasi, masalah seperti di Aceh
dan Papua,” kata Robertus.
Menurut dia, seharusnya pemerintah berhati-hati dalam merespons kasus pelanggaran masa
lalu. ”Jadi, salah besar kalau dalam situasi seperti ini pemerintah justru mengabaikan KKR,”
ujarnya menambahkan. (SON)
31
2006
Suara Pembaruan, Selasa, 28 Maret 2006
UU KKR Kandung Kelemahan Fundamental
JAKARTA - DPR dan pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena UU tersebut
mengandung kelemahan fundamental dan meniadakan hak-hak korban. Kecacatan UU
tersebut amat berbahaya bagi kelangsungan sejarah bangsa Indonesia karena KKR bertugas
mengungkapkan kebenaran dan hasilnya akan menjadi official history.
Apabila bukan kebenaran yang terungkap melainkan semata-mata pengampunan belaka
LS
AM
yang dihasilkan oleh KKR, maka rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai dan bangsa
Indonesia selamanya akan diliputi oleh manipulasi-manipulasi sejarah dan fakta.
Demikian dikatakan sejumlah aktivis dari beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi
Kebenaran dan Keadilan di Jakarta, Senin (27/3). Para aktivis itu antara lain, Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Kepala
Operasional Kontras Indria Fernida, aktivis LBH Jakarta yang juga sebagai Koordinator Tim
Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari dan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi
gE
Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman.
Mereka menyerukan seperti itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah melalui Menteri
Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, beberapa hari lalu, yang mengatakan, pemerintah
akan melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah
pin
(PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang tata cara dan mekanisme kerja, serta peraturan
presiden (Pepres) mengenai struktur dan organisasi KKR dalam waktu sebulan sejak akhir
Februari 2006.
kli
Para aktivis itu mengatakan, desakan untuk merevisi UU tersebut merupakan usaha jangka
panjang mereka. Dan, usaha jangka pendek Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan adalah
mengajukan permohonan uji materiil UU KKR tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(28/3).
"Selasa besok, kita akan mendaftarkan permohonan uji materiil atas UU KKR ke MK, dengan
alasan seperti tersebut di atas" kata Taufik Basari. Menurut Basari, keberadaan KKR, sangat
berpengaruh bagi kelangsungan penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Namun,
dengan UU KKR yang penuh kecacatan akan membuat komisi yang akan terbentuk ini tidak
dapat bekerja dengan baik.
Para aktivis itu mendesak pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap aturanaturan dalam UU KKR yang membatasi kerja-kerja KKR. Mereka mendesak pemerintah agar
32
tidak mengeluarkan aturan-aturan yang membatasi kerja KKR dan sebaliknya menjamin KKR
dapat mengakses segala data untuk kepentingan pengungkapan kebenaran.
Menurut mereka rencana pemerintah sebagaimana dikatakan Yusril tersebut merupakan
intervensi pemerintah yang terlalu jauh dan berpotensi semakin membatasi kerja KKR.
Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada KKR yang akan terbentuk untuk
membuat sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka (KKR). KKR sudah benar-benar
terperangkap oleh pembatasan-pembatasan dalam UU Nomor 27 Tahun 2004, dan jangan
diperparah lagi dengan pembatasan lebih jauh dari pemerintah.
LS
AM
Dikekang
Menurut Basari, KKR yang akan terbentuk sebenarnya telah dikekang ruang geraknya oleh
UU KKR mulai dari mekanisme yang menggunakan pendekatan penyelesaian interpersonal,
dimana penyelesaian suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban
dan pelaku (pasal 29 UU KKR). Kemudian apabila pelaku dan korban saling memaafkan
maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian.
Selanjutnya apabila rekomendasi amnesti untuk pelaku dipenuhi oleh presiden maka barulah
gE
korban mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi. Skenario lainnya dalam pasal 29 tersebut
adalah apabila korban tidak bersedia memaafkan maka KKR akan memberikan rekomendasi
amnesti secara mandiri dan objektif.
Skenario ketiga, apabila pelaku tidak mau mengakui kesalahannya maka ia akan dibawa ke
pin
pengadilan HAM ad hoc. "Untuk skenario terakhir ini menyisakan suatu ketidakjelasan
mengingat pengalaman selama ini membentuk pengadilan HAM ad hoc tidaklah mudah
seperti kasus pengadilan HAm ad hoc pun menjadi tanda tanya," kata Basari.
kli
Pembatasan berikutnya adalah sempitnya waktu KKR untuk menyelesaikan suatu kasus.
Pasal 24 UU KKR memberikan batas yang tidak masuk di akal, yakni 90 hari terhitung sejak
korban datang ke KKR, dilanjutkan dengan investigasi dan penelusuran data, mencari dan
memanggil pelaku, dan merumuskan rekomendasi amnesti.
Dengan pembatasan waktu ini akan membuat KKR tergesa-gesa dalam bekerja sehingga
dapat mengesampingkan tugas utamanya yakni mengungkapkan kebenaran yang
senyatanya.
Usman Hamid mengatakan, keinginan pemerintah untuk membuat "aturan main" KKR
merupakan pelanggaran terhadap UU KKR sendiri dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
33
kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR, penyusunan kode etik KKR serta tata
tertib dan mekanisme kerja KKR merupakan kewenangan sidang KKR.
Sedangkan pemerintah hanya berwenang mendukung kerja KKR melalui sekretariat KKR.
Menurut pasal 14 dan 15, KKR dibantu oleh sekretariat KKR yang bertugas memberikan
pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatannya (KKR).
Selanjutnya sekretaris KKR diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden, dan
ketentuan mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretariat
KKR diatur dengan peraturan presiden.
Kalaupun pemerintah tetap bermaksud untuk membuat aturan pendukung KKR, maka aturan
LS
AM
tersebut semata-mata harus bertujuan untuk mendukung kerja-kerja KKR, dan bukan
sebaliknya berisi pembatasan-pembatasan.
Aturan pendukung ini harus berisi jaminan, KKR komisi dapat mengakses segala data dari
berbagai instansi, sanksi terhadap instansi yang tidak mau bekerja sama, dukungan aparat
negara dan perlindungan terhadap anggota KKR. (E-8)
kli
pin
gE
Last modified: 28/3/06
34
Kompas, Sabtu 22 April 2006
UU KKR Setahun Terbengkalai
Kesungguhan Presiden Dipertanyakan
Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang
diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 6 Oktober 2004 terbengkalai
implementasinya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya terbentuk pada 6
April 2005 belum juga bisa dibentuk.
Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) kepada pers di
Jakarta, Jumat (21/4), mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
LS
AM
untuk merealisasikan KKR. "Ini sebenarnya menyangkut manajemen pemerintahan.
Pemerintah seharusnya bisa menetapkan mana yang harus diprioritaskan, mana yang tidak,"
ucapnya.
Dalam perkembangan terakhir, Presiden Yudhoyono bertemu dengan panitia seleksi anggota
KKR tanggal 23 Februari 2006. Pada saat itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra, Presiden mengatakan masih membutuhkan waktu yang cukup untuk menyusun
peraturan pelaksanaan UU No 27/2004 (Kompas, 24/2).
gE
UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004. Dalam Pasal 45 Ayat 3 disebutkan,
"Pembentukan Komisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan".
pin
Gayus mengatakan, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM,
masalah itu beberapa kali ditanya- kan anggota DPR. "Kita akan menanyakan lagi kepada
pemerintah," ucapnya.
kli
Sementara praktisi hukum Bambang Widjojanto mengemukakan tiga hal yang perlu
mendapat jawaban dari Presiden Yudhoyono. Pertama, secara politik apakah Presiden
menganggap KKR diperlukan atau tidak karena KKR itu adalah perintah UU No 27/2004.
"Kalau tak diperlukan, bagaimana menyelesaikan solusi hukumnya," kata Bambang yang ikut
menyeleksi calon anggota KKR dan sudah menyerahkan 42 nama calon kepada Presiden.
Kedua, realitas sosiologis menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi
manusia berat melalui pengadilan tidak berhasil memberikan keadilan kepada korban. "KKR
bisa menjadi solusi tapi mengapa terjadi buying time," katanya.
Ketiga, Bambang mengingatkan problem KKR bukan hanya personalia, melainkan juga
aturan main di dalam KKR. Jika tak ada kepemimpinan yang kuat dalam KKR nanti, ia
35
khawatir pembahasan aturan main bisa memakan waktu. Karena itu, ia menyarankan dan
bisa mengerti kalau pemerintah ikut menyiapkan draf aturan main dari KKR.
Bambang tak berani menilai keterlambatan pembentukan KKR sebagai kelemahan
manajemen pemerintahan. "Saya menanyakan kesungguhan presiden merealisasikannya,"
ucapnya.
KKR adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas
kli
pin
gE
LS
AM
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi. (bdm)
36
Kompas, Senin, 19 June 2006
Penundaan KKR Ciptakan Kondisi Dilematis
Jakarta, Kompas - Sikap pemerintah mengulur-ulur waktu pembentukan lembaga
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menciptakan suatu kondisi dilematis. Dilema itu
dihadapi calon anggota KKR yang namanya sudah di tangan Presiden.
Kondisi tersebut terungkap lewat perbincangan Kompas, pekan lalu, dengan dua calon
anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Ifdhal Kasim dan Fadjroel
Rachman.
LS
AM
Mereka menilai, penundaan yang terus terjadi dan berlarut-larut tanpa kejelasan akan
membuat masyarakat semakin apatis terhadap pentingnya keberadaan KKR. Semakin
lama pembentukan KKR tertunda, maka komisi itu akan semakin kehilangan
momentumnya.
"Bahkan ketika KKR pada akhirnya terbentuk, masyarakat sudah berada dalam posisi
yang apatis, meragukan, dan bahkan justru mempertanyakan kembali penting
tidaknya KKR dibentuk," ujar Ifdhal.
Tidak serius
gE
Menurut Ifdhal, penundaan pembentukan KKR itu disebabkan beberapa faktor,
seperti kesengajaan pemerintah mengulur waktu, adanya ketidaksamaan pemikiran
dan pendapat di tubuh pemerintah sendiri, dan juga faktor latar belakang ekonomi
terkait kesediaan anggaran membiayai KKR.
pin
"Pemerintah sengaja bermain dengan waktu. Bahkan mengundur pembentukan KKR,
bila perlu sampai masa pemerintahan berakhir untuk kemudian dibebankan ke
pemerintahan selanjutnya.," ujar Ifdhal.
Fadjroel meyakini penundaan memang sengaja dilakukan. Alasan Presiden
Yudhoyono yang menyatakan perlunya kehati-hatian dalam memilih 21 anggota KKR
hanya sebatas alasan.
kli
"Padahal kalau mau serius, mereka punya instrumen lengkap seperti BIN (Badan
Intelijen Negara) atau bisa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, atau malah
memanggil kami untuk mengecek satu per satu," ujar Fadjroel. (dik)
Sumber:
Kompas, Senin, 19 Juni 2006
37
Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006
MK Dinilai Langgar Ultra Petita
Kali Kedua Lebihi yang Diminta
Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi dinilai melanggar asas hukum ultra petita. MK dinilai
melakukan tindakan hukum melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara
kepadanya.
Demikian dikatakan mantan Ketua Panitia Khusus DPR untuk Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Sidharto Danusubroto, Jumat (8/12) di
Jakarta. Hal ini disampaikannya menanggapi putusan MK yang membatalkan UU KKR
LS
AM
(Kompas, 8/12).
"Yang diuji pihak korban hanya tiga pasal, tetapi malah seluruh UU-nya dibatalkan MK. Ini
berlebihan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Mantan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar pun menyebut
tindakan hukum MK dengan istilah legitime vorse, tindakan hukum yang melampaui
kewenangan.
gE
Akil meminta pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tentang KKR. Ini sebagai jalan keluar.
Advokat Adnan Buyung Nasution, Jumat di Jakarta, menandaskan pula, putusan MK
pin
membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dapat menimbulkan kebingungan
dalam penanganan kasus pelanggaran HAM selanjutnya.
Pelanggaran asas ultra petita juga merupakan hal yang tabu. Mestinya MK tidak
kli
membatalkan UU itu.
Putusan lebih dari yang diminta terhadap permohonan uji material sebagian pasal UU KKR
merupakan yang kedua dari MK. Sebelumnya, MK membatalkan semua ketentuan dalam UU
No 22/1999 tentang Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan hakim.
Pembatalan UU KKR membuat penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia menjadi
tidak jelas. Karena itu, Adnan meminta pemerintah lebih tegas, jelas, dan terarah dalam
mengatasi persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM.
Adnan Buyung tidak dapat menyalahkan putusan MK itu karena merupakan konsekuensi
yuridis dari sistem hukum yang dianut di Indonesia.
38
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Prof Dr Indriyanto
Seno Adji, menyatakan, dengan pembatalan UU KKR, berarti seluruh kasus pelanggaran
HAM di negeri ini harus diselesaikan melalui pengadilan HAM.
Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan, dengan putusan itu proses seleksi calon anggota
KKR batal. Untuk rekonsiliasi, bisa dilakukan dengan cara politik, seperti yang dilakukan di
kli
pin
gE
LS
AM
Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka. (sut/mzw/dwa/inu/tra)
39
Suara Pembaruan, Sabtu, 09 Desember 2006
UU KKR Dicabut
MK Melanggar Prinsip Hukum
[JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UndangUndang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
karena bertentangan dengan UUD 1945 merupakan putusan yang melanggar asas hukum.
"Hakim-hakim MK telah mencederai lembaga MK itu sendiri. Putusan MK itu telah secara
nyata melanggar larangan yang bersifat universal atau sebagai azas hukum bahwa hakim
dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut," kata
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH kepada
LS
AM
Pembaruan, di Jakarta, Jumat (8/12).
Sebagaimana diberitakan, putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU
KKR yang diajukan oleh Asmara Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas Pasal
27, Pasal 44 dan Pasal 1 angka 9 UU KKR.
Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 1
angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan
gE
pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28 I Ayat (5)
UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai
dengan UUD 1945.
pin
Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal
28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR
dinilai oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat
kli
(2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 (Pembaruan, 8/12).
Petrus mengatakan, putusan itu sesungguhnya mengindikasikan adanya konspirasi antara
MK sebagai lembaga peradilan tertinggi di bidang yudikatif selain Mahkamah Agung dengan
lembaga kepresidenan. Konspirasi itu bertujuan untuk melepaskan tanggung jawab hukum
dan moral dari negara terhadap para korban pelanggaran HAM masa lalu.
Memikul
Selain itu, tambahnya, negara sesungguhnya tidak sudi memikul tanggung jawab untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lampau. Hal ini bisa dilihat dengan tidak
kunjung selesainya proses penetapan 21 dari 42 nama hasil seleksi panitia untuk calon
anggota KKR meskipun telah lewat masa waktu yang ditetapkan UU.
40
Putusan itu juga merupakan ancaman serius bagi eksistensi fungsi legislasi DPR dan
sekaligus telah melecehkan hak-hak para korban para pelanggaran HAM.
Sementara itu sejumlah aktivis dari Koalisi LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Demos, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI),
Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Imparsial dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(Elsam) di Jakarta, Jumat (8/12) menyatakan, putusan MK itu harus dilihat sebagai bukti atas
ketidakjelasan sikap pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan keadilan bagi korban
pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia.
"Putusan MK menunjukkan bahwa UU yang dihasilkan pemerintah bertentangan dengan
konstitusi dan prinsip-prinsip penegakan HAM dan pemenuhan hak yang telah diakui secara
LS
AM
universal," kata Taufik Basari SH dari YLBHI.
Para aktivis itu mengharapkan, penyelesaian pelanggaran berat HAM dimasa lalu merupakan
kewajiban konstitusional. Putusan MK atas pembatalan UU KKR itu harus ditafsirkan sebagai
keharusan bagi pemerintah, DPR dan masyarakat untuk segera menyelesaikan problem
pelanggaran berat HAM.
Dalam penyelesaian tersebut penting untuk tetap memperhatikan hak-hak korban, seperti hak
gE
atas reparasi, hak atas keadilan dan hak atas kebenaran dan jaminan bahwa pelanggaran
HAM tidak terulang kembali dimasa depan.
Taufik mengatakan, mereka menolak jika penyelesaian keadilan bagi korban pelanggaran
pin
berat HAM dimasa lalu tersebut ditempuh dengan mekanisme politik, seperti pemberian
rehabilitasi semata. Perlu ditegaskan, pemberian rehabilitasi tidak terlepas dari penyelesaian
yang menyeluruh dengan bersama-sama perlu dilakukan penuntutan dan pengungkapan kebenaran.
kli
"Kami menegaskan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai
sebuah keharusan. Selain telah terjamin dalam konstitusi, sesungguhnya mekanisme
penyelesaian pelanggaran HAM bisa dilakukan lewat pengadilan HAM," katanya.
Oleh karena itu, pasca putusan MK tersebut pemerintah dan DPR harus menunjukkan
komitmennya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, katanya. [E-8]
Last modified: 9/12/06
41
Kompas, Jumat 05 Januari 2007
Ratifikasi Tidak Jamin Keberpihakan
Jakarta, Kompas - Ratifikasi terhadap berbagai kovenan tentang hak asasi manusia tak
menjamin keberpihakan pemerintah pada pembelaan HAM. Bahkan, sepanjang tahun 2006
institusi negara justru menghambat dan mengabaikan hak dasar warga negara.
"Misalnya, Kejaksaan Agung menghambat dan tak akomodatif dalam penyelesaian kasus
pelanggaran HAM serta Komnas HAM tak menunjukkan sensitivitas, keberpihakan, dan
inisiatif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM," ujar Direktur Eksekutif Imparsial
LS
AM
Rachland Nashidik, Kamis (4/1) di Jakarta.
Dalam catatan Imparsial, polisi termasuk salah satu institusi yang menjadi pelaku dominan
pelanggaran HAM. Satu kasus yang melibatkan polisi adalah penyisiran seusai bentrok
dengan mahasiswa dalam kasus Abepura, 16 Maret 2006. Polisi juga diduga merusak
asrama mahasiswa.
"Tahun 2006 pemerintah tidak mengimplementasikan kovenan yang diratifikasi. Bahkan,
pemerintah tak melakukan koreksi terhadap kinerja lembaga yang memiliki kewenangan
gE
untuk menegakkan HAM," kata Rachland.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan juga mengakui pemerintah kurang serius memberi
perhatian pada perkara penegakan HAM. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pin
dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla meletakkan isu HAM dalam visi dan misi pemerintahannya.
Trimedya melihat kehendak politik pemerintah untuk memperjuangkan HAM memang kurang
kalau dibandingkan dengan pemberantasan korupsi. Hingga kini juga belum tercapai
kesimpulan bersama antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung terkait pelanggaran HAM berat
kli
serta kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
Dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, dilaporkan, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Indonesia-Timor Leste didesak mengungkap kasus pelanggaran HAM di Timor Leste sejak
tahun 1958. Desakan itu terungkap dalam dialog KKP Indonesia-Timor Leste, Kamis. Dialog
dipimpin Uskup Agung Kupang dan Komisioner KKP, Mgr Petrus Turang. (jos/kor)
42
Sinar Harapan, Kamis, 08 Februari 2007
Korban G 30 S 1965 Tuntut Pemulihan Hak
Jakarta-Perempuan korban tragedi gerakan 30 September 1965 meminta pemerintah
memulihkan hak-haknya sebagai warga negara dan menuntut intimidasi dan kecurigaan yang
saat ini masih terjadi agar dihentikan. Mereka juga mempertanyakan langkah pemerintah
setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. (KKR).
Hal itu ditegaskan koordinator perempuan korban tragedi ’65 Chusnul Hidayati saat audiensi
dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Selasa (6/2). Bersama
LS
AM
Syarikat Indonesia, dia menilai UU KKR merupakan langkah awal terjadinya pelurusan
sejarah yang selama puluhan tahun dimanipulasi.
Saat ini perempuan korban tragedi ’65 terus mengalami tindak kekerasan baru, baik yang
dilakukan aparat keamanan, maupun kelompok-kelompok sipil dan paramiliter. Saat
melakukan diskusi tentang rencana pemerintah membentuk KKR, 20 Mei 2006 di Bandung,
acara mereka dihentikan secara paksa oleh pihak keamanan.
gE
“TAP MPR No V Tahun 2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional telah ditetapkan,
sudah itu ada UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR yang lalu batal lagi. Tetapi bagi kami itu
semua menunjukkan bahwa tragedi ’65 sebagai masalah yang penting untuk ditelusuri agar
tidak terulang. Kami tidak mengerti langkah yang dilakukan MK,” ujar Chusnul Hidayati.
pin
Mereka diterima oleh Sekretaris FPDIP Jakobus Mayong Padang, anggota FPDIP Soepomo,
Ribka Tjiptaning, Agung Sasongko, Ben Vintjent Djeharu, dan Nur Suhud. Nur Suhud
mengatakan perjuangan mereka memang masih sangat panjang. “Jangan cepat terbuai
dengan perkembangan yang ada. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi karena
kli
masih ada pihak yang memainkan masalah ini untuk kepentingan kelompoknya,” tegas Nur
Suhud.
Ribka Tjiptaning mengaku menyesal dengan keputusan MK membatalkan UU KKR. Padahal,
menurutnya, UU KKR menjadi pintu masuk menyelesaikan masalah sejarah yang selama ini
memihak penguasa Orde Baru. (inno jemabut)
43
Perlu, Komisi Kebenaran Kasus HAM Soeharto
Kompas, Sabtu, 16 Pebruari 2008, 13.39 WIB
Untuk mempercepat penuntasan kasus pelangaran HAM almarhum mantan Presiden
Soeharto, pemerintah disarankan membentuk komisi kebenaran yang berisi tokohtokoh pro hak asasi manusia. Langkah ini penting karena pemerintah maupun
kekuatan politik yang ada saat ini kurang punya komitmen kuat membuka tabir
pelanggaran HAM masa lalu.
Pernyataan itu dikemukakan Ketua Elsam Agung Putri saat berlangsungnya Pelatihan
Hak Asasi Manusia Tahunan yang dihadiri 30 Lembaga advokasi HAM dari seluruh
Indonesia di Hotel Grand Tropic Suites Jakarta, Jumat malam.
LS
AM
Putri juga mengusulkan agar komisi kebenaran ini nantinya di beri kewenangan
menetapkan, menyidik dan membongkar fakta-fakta baru pelanggaran HAM yang
selama orde baru belum terkuak seperti kasus Tanjung Priok dan Trisakti
kli
pin
gE
Dari bukti-bukti inilah ia yakin kasus-kasus pelangaran HAM yang terjadi selama
orde baru bisa dibawa kepengadilan HAM Internasional karena memang melukai
nilai-nilai kemanusiaan universal.
44
http://www.kapanlagi.com/h/0000228602.html
Jum'at, 16 Mei 2008 22:21
Penyelesaian Pelanggaran HAM Bisa Ikuti Model Afrika Selatan
Kapanlagi.com - Penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di
Tanah Air bisa menggunakan model penyelesaian seperti di Afrika Selatan dengan
cara rekonsiliasi, demikian Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, di Jakarta,
Jumat (16/5).
Ia mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM dengan rekonsiliasi seperti di Afsel
itu dapat menjadi alternatif karena sulitnya menyelesaikan melalui peradilan.
LS
AM
"Pasalnya di pengadilan tidak ada bukti, sedangkan korban memiliki bukti. Hingga
penyelesaian seperti itu mungkin gagal," katanya.
Mengenai penyelesaian pelanggaran HAM di Afsel itu, setelah dia bertemu dengan
menteri kehakiman Afsel empat tahun lalu yang mencoba melakukan rekonsiliasi
seperti itu karena penegakan hukumnya tidak begitu sukses.
"Saya sendiri menanyakan itu ke Menteri Kehakiman Afsel, mengapa anda tidak
menyelesaikan masalah rasialis itu dahulu," katanya.
gE
Kemudian, kata dia, menteri kehakiman Afsel menyatakan peristiwa itu sudah lama
dan untuk mencari bukti-buktinya sulit hingga mungkin gagal di pengadilan.
"Akhirnya mereka mencoba melakukan rekonsiliasi seperti itu," katanya.
pin
Dikatakannya, rekonsiliasi itu merupakan bentuk keadilan restoratif (restorative
justice) yang saat ini sudah berkembang di sejumlah negara, seperti, di Australia dan
Selandia Baru.
Ia menyebutkan, pengertian keadilan restoratif (restorative justice) itu memungkinkan
pidana-pidana tertentu bisa diselesaikan dengan semacam mediasi antara korban
dengan pelaku atau dengan masyarakatnya sendiri.
kli
Ia menambahkan, arti keadilan restoratif itu, pertama, bagaimana menghindarkan
pelaku itu harus masuk penjara, karena ternyata penjara itu bukan tempat yang sangat
berhasil menyelesaikan mereka. Bahkan, kata dia, banyak di antara narapidana itu,
begitu keluar berbuat kembali tindak kriminal.
"Bagaimana caranya agar menghindar dari penjara, namun pelakunya tetap
bertanggung jawab atas perbuatannya. Kemudian, dari pihak korban selama ini di
tanah air tidak pernah mendapatkan tempat," katanya.
Dalam restorative Jusctice itu, posisinya akan diubah bahwa perkara itu tidak sematamata kepentingan ketertiban, tetapi kepentingan bagi si korban, bagaimana pemulihan
korban, yang bukan hanya dari segi materiil, tapi psikisnya juga.
"Karena itu, kita bisa misalkan gunakan model Afsel dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu," katanya. (kpl/rif)
45
Kompas, Sabtu, 04 November 2006
Sosok dan Pemikiran
KKR Sudah Kehilangan Momentum
Budiman Tanuredjo
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kekeliruan masa lalu, meminta maaf kepada rakyat
atas kekeliruan itu, kemudian menjadikan pengalaman masa lalu untuk membangun sebuah masa depan.
Penegakan keadilan pada masa depan harus juga dilandasi pemberian keadilan pada masa lalu.
M
Mengelola masa lalu, masa kini, dan masa depan bukan hanya sebuah perdebatan politis, tetapi juga
filosofis. Komisioner untuk Hak atas Rasa Aman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) Enny Soeprapto (74) termasuk yang pada saat awal ikut bergulat dengan gagasan keadilan
transisional (transitional justice). Ia pun ikut mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR).
LS
A
Namun, realitas politik delapan tahun dengan tak kunjung terbentuknya KKR membuat Enny berubah
pandangan. "KKR sudah kehilangan relevansinya, sudah kehilangan momentumnya," ujar Enny
menegaskan pandangan pribadinya itu.
Namun, bagi Enny, anggota Komnas HAM (2002-2007), pelanggaran masa lalu tetaplah penting dan tidak
bisa dilupakan begitu saja. Hanya bagaimana mengelola masa lalu menjadi sebuah pertanyaan yang tak
mudah untuk memperoleh jawaban. Ia mendorong penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc,
meskipun untuk itu dibutuhkan keputusan politik yang susah digapai.
pin
gE
Sejarawan Taufik Abdullah saat memberi pengantar dalam buku Bersaksi di Tengah Badai-Dari Catatan
Wiranto menulis, masa lalu mungkin "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana, di negeri asing": itu
terletak sumber dari ketidakberesan yang kini—ataukah "di sini", saya rasakan. Ia melanjutkan, kalau
perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang
menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki "di sana", agar yang terjadi " di sini" baik-baik saja. "Masa lalu
haruslah dijadikan pelajaran" ucap Enny dalam percakapan dengan Kompas di ruang rapat Komnas, Selasa
lalu. Berikut petikan percakapan dengan Enny.
Bagaimana Anda melihat implementasi keadilan transisional di Indonesia?
kli
Ini pendapat pribadi saya. Saya anggap pembentukan KKR sudah terlambat. Di Cile, enam minggu setelah
Pinochet jatuh, KKR sudah terbentuk. Jadi, momentumnya masih ada. Saat MPR mengeluarkan Tap MPR
V/MPR/2000 masih ada momentum. Tapi sekarang, momentum itu telah hilang. Kita tak lagi berada pada
era transisi, tetapi sudah menuju stabilisasi. KKR sudah tidak ada gunanya. Pelanggaran HAM masa lalu
diselesaikan dengan Pengadilan HAM Ad Hoc. Per definisi, penyelesaian KKR berarti penyelesaian ekstra
pengadilan, yaitu pemberian keadilan pada era transisi. Apakah kita masih ada pada masa transisi? Kalau
saya melihat kita sudah ke stabilisasi.
Transisi atau stabilisasi kan masih jadi perdebatan?
Bagaimana suatu negara dianggap transisi ketika pemilu demokratis sudah digelar dua kali, Pemilu 1999
dan Pemilu 2004. Daerah sudah otonomi, sejumlah aturan yang melindungi HAM telah dihasilkan. DPR
telah total ganti. Anggota DPR yang tak dipilih sudah tidak ada. Apakah ini masih mau disebut transisi?
Tapi mengapa proses pembentukan KKR begitu lama?
Itu soal kemauan politik. Tap MPR keluar tahun 2000, UU KKR terbit baru 2004, tetapi sekarang belum
juga terbentuk. Saya lihat ada keraguan besar dari pengambil keputusan.
1
Lalu bagaimana solusi legalnya karena KKR adalah amanat undang-undang?
Barangkali pendapat saya ekstrem. Urutannya kan perintah MPR, kemudian UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dan UU No 27/2004 tentang KKR. Pemerintah harus berani nyatakan KKR tak
lagi relevan dan memohon kepada MPR untuk membatalkan Tap MPR soal KKR dan meminta DPR untuk
menyatakan pasal soal KKR tak berlaku lagi. Pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat
pengadilan. Karena ekstra pengadilan itu bisa diterapkan pada masa transisi, kalau transisi sudah lewat kan
kembali ke pengadilan normal.
Secara politik apakah memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan yang
mengharuskan adanya keputusan politik DPR.
M
DPR sudah berubah dengan Pemilu 2004. DPR 2004 itu bukan DPR transisional. Kalau enggak bisa DPR
2004, ya DPR mendatang. Tak ada pilihan lain kecuali menegakkan keadilan yang bukan transisional,
tetapi keadilan yang langgeng sifatnya.
LS
A
Tetapi berbagai kasus di pengadilan HAM semuanya bebas sehingga ada pendapat, pengadilan HAM juga
tidak relevan?
Itu ranah di mana sangat menyesal Komnas HAM tak bisa masuk lagi. Kami tak bisa komentar. Buat kami,
kasus itu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kami berhenti. Tapi kami prihatin itu.
Dalam konstelasi politik seperti ini, apakah masih perlu pelanggaran HAM masa lalu diungkap?
pin
gE
Jawabannya, ya. Walaupun terasa seperti jargon atau semboyan, keadilan pada masa datang harus dilandasi
penegakan keadilan pada masa lalu. Sebab kalau tidak, akan tercatat dalam sejarah, ada pelanggengan
impunitas.
Kalau pelanggaran HAM masa lalu tak diungkap kan enggak ada problem juga?
Tergantung dari perspektif siapa. Korban berkepentingan, sejarah berkepentingan, generasi muda merasa
perlu tahu apa yang terjadi. KKR kan bukan hanya transitional criminal justice, melainkan juga transitional
historical justice.
Dalam konteks KKR, tampaknya semuanya diam ketika pemerintah lambat. DPR diam. Hanya LSM yang
mendesak. Yang muncul adalah ajakan untuk melupakan saja masa lalu untuk membangun masa depan. Itu
tampaknya arus besar pemikiran di Indonesia?
kli
(Enny terdiam sejenak). Mungkin sebagian berpendapat begitu. Tapi bagaimana nasib korban, keluarga
yang masih terkena imbas ketidakadilan masa lalu. Pelupaan peristiwa masa lalu menguntungkan satu
pihak, tetapi merugikan pihak lain. Apakah bangsa diuntungkan secara keseluruhan? Patut dipertanyakan.
Bangsa yang besar harus berani mengakui kesalahan pada masa lalu justru untuk membangun masa depan.
Apa yang dilakukan Jerman adalah suatu contoh, dengan ksatria meminta maaf atas kesalahan orang pada
masa Nazi, dan menjadi bangsa besar. Kalau kita melupakan, itu menyimpang dengan gagasan KKR.
Semangat KKR itu forgive but not to forget. Kalau arahnya melupakan, keliru.
Bagaimana dengan orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang karena paspornya
dicabut?
Pertama itu pelanggaran hukum, tetapi apa yang tak melanggar hukum pada tahun 1965-an. Saya juga tak
tahu apa yang dijadikan aturan waktu itu. Jadi, sebetulnya, menurut saya, koreksi saja kesalahan masa lalu.
Berikan kewarganegaraan dan akui kembali sebagai warga negara Indonesia.
2
Cukup dengan koreksi saja?
Secara teknis itu. Kembalikan paspor dan warga negara nanti akan ada implikasinya. Bisa saja mereka
menuntut perbaikan nama baik, rehabilitasi atau kompensasi.
Perlu minta maaf?
Ini saya memberi contoh Jerman. Ada atau tidak ada KKR, kalau toh tidak ada permintaan maaf,
setidaknya harus ada penyataan tindakan rezim lalu adalah keliru.
Harus ada dalam momen khusus untuk minta maaf dan pengakuan kekeliruan atau cukup dengan respons
spontan atas pertanyaan pers?
M
Ya, saya kira harus ada occasional khusus. Di Indonesia harus dicari, apakah di MPR, tetapi kapan presiden
dalam sidang MPR. Atau bisa saat DPR bersidang, pada saat itu langsung pemerintah menyatakan bahwa
KKR sudah tidak relevan dan meminta MPR mencabut Tap dan DPR mengoreksi UU.
LS
A
Pandangan Anda bukan karena Anda sebagai anggota Komnas HAM merasa disaingi jika KKR lahir?
Enggak. Momentumnya sudah tak ada. Dasarnya, KKR adalah keadilan pada masa transisi, sekarang kita
tidak lagi berada pada era transisi.
Hak asasi manusia
pin
gE
Boleh jadi, Enny menjadi anggota Komnas HAM yang sering bekerja di balik layar. Ia menyiapkan naskah
akademis perubahan UU No 26/2000. Ia juga ikut mendorong perubahan Komnas HAM menjadi seperti
saat ini, di mana setiap anggota menjadi komisioner khusus masing-masing hak. Sebagai komisioner untuk
hak rasa aman, Enny juga meluncurkan komik Petualangan di Dunia 1012.
Komik itu berisi sosialisasi terhadap siswa sekolah dasar mengenai hak atas rasa aman. Ia juga gencar
memberikan sosialisasi soal HAM, misalnya menyosialisasi Kovensi Anti-Penyiksaan 1984 yang
diratifikasi tahun 1999. Namun, dalam praktiknya masih saja ada yang merendahkan martabat manusia.
"Kan masih ada joki ketangkap yang digunduli. Itu kan merendahkan martabat manusia," ujarnya.
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM pasca-Orde Baru?
kli
Ya, sudah ada pemahaman meluas di kalangan aparatur pemerintah dan penegak hukum. Yang patut
dicatat, tahun 2005 kita mengesahkan dua kovenan yakni Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yang menjadi problem adalah penerapannya di lapangan. Terutama hak
ekonomi, sosial, dan budaya karena itu membebani banyak hal kepada pemerintah. Meskipun kovenan itu
menyatakan bisa dilaksanakan secara bertahap. Namun, bertahap itu tak berarti santai-santai saja. Di situ
sesuai, dengan menggunakan semaksimal mungkin sumber daya yang ada.
Konstitusi telah mencantumkan soal HAM, kovenan diratifikasi, undang-undang dibuat, tetapi
implementasi kedodoran?
Hak asasi manusia belum menjadi arus utama dalam penggarisan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Misalnya, pembangunan belum mengarustamakan HAM, kebijakan politik belum mengarusutamakan
HAM. Di situ masalahnya. Jadi, setiap langkah yang diambil pemerintah bisa berdampak pada HAM itu
kurang disadari. Jadi, terbatas pada legal formal.
Bukankah ratifikasi kovenan itu sebagai politik komestik kalau tak dijalankan?
3
Bisa saja dilihat dari aspek itu, terutama karena Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM.
Tapi Komnas HAM mendesak dan mempersiapkan segalanya sudah lama. Bahwa kemudian dilihat
sebagai, kebetulan dilakukan tahun 2005, karena akan mencalonkan sebagai anggota Dewan HAM, bisa
saja. Bisa karena koinsidensi atau memang dimaksudkan begitu. Saya tidak bisa ambil kesimpulan
koinsidensi atau kebetulan. Akan tetapi, kalau disengaja pun, menurut saya, tidak salah karena kita mau
menonjolkan aset-aset dan kita terpilih.
Setelah meratifikasi, konsekuensinya apa?
M
Lebih berat. Dulu komitmennya nasional. Setelah jadi pihak, kita punya komitmen internasional. Tahun
pertama kita harus buat laporan awal. Itu masih ringan. Kita harus jelaskan soal undang-undang nasional
yang dibuat. Kita punya kelebihan karena sudah punya. Kemudian, empat tahun kemudian kita harus buat
laporan empat tahun. Kita harus jelas perkembangan dan kemajuannya. Kewajiban kita menjadi ganda.
Kalau lalai kita ditegur.
Diskursus soal HAM memudar seiring dengan isu perang melawan terorisme?
LS
A
Ya, dampaknya adalah akan berupa pengurangan penikmatan HAM, tetapi pengurangan kenikmatan HAM
itu bukan berarti tidak dibenarkan. Saya kira konvensi internasional dan nasional membolehkan adanya
pembatasan hanya apabila itu dilakukan dengan undang-undang demi ketertiban umum.
Sejumlah resolusi PBB menyebutkan, dalam melakukan suppression of terrorism, ada tiga hal hukum
internasional yang harus diperhatikan. Khususnya hukum HAM, hukum pengungsi, dan hukum humaniter.
Ini tertera dalam sejumlah resolusi PBB, majelis umum, maupun DK PBB.
pin
gE
Dalam tataran praktis bagaimana?
Terorisme adalah pelanggaran hak hidup dan hak atas rasa aman, tapi penindasan terorisme tak boleh
melanggar HAM. Misalnya, kebebasan pribadi jangan sampai tidak dihormati. Penahanan juga jelas ada
jangka waktunya. Memang HAM sendiri bisa disimpangi asal dengan undang-undang hanya harus ada
kejelasan. Jangan penahanan tanpa batas waktu. Penangkapan harus dengan surat, keluarga diberitahu.
Nama: Enny Soeprapto (74 th).
Kelahiran: Jogjakarta 01 Oktober 1932.
kli
Pendidikan:
-PHD, Hukum Internasional, Pasific Western Honolulu, Amerika Serikat (1995)
- Diplome Pasturniversitaire, Institut International d’Administration Publique, Sexton Diplomatique, Paris
(1969)
- Sarjana Hukum , Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (1965).
Pekerjaan:
- Komisaris untuk Hak Rasa Aman Komnas HAM (2002-2007)
- Konsultan Independent untuk Hukum Pengungsi Internasional UNHCR (1995-2002).
4
1
MK Mencabut UU KKR No. 27 2004
==========================================
MIOL, Kamis, 07 Desember 2006 22:02 WIB
POLKAM - Perundangan
Mahkamah Konstitusi Cabut UU Rekonsiliasi
JAKARTA--MIOL: Sehari setelah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden dalam KUHP,
Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Kamis (7/12). MK menilai UU itu bertentangan dengan UUD 1945.
AM
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu disampaikan dalam sidang pleno majelis hakim yang dipimpin
ketuanya, Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, kemarin. Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum,
baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan
rekonsiliasi seperti yang diharapkan.
LS
"Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak
adanya jaminan kepastian hukum," ujar salah satu hakim konstitusi Maruarar Siahaan saat membacakan
putusan.
gE
Majelis juga mendasarkan putusannya pada budaya dan falsafah bangsa yang menghargai HAM. Selain
itu, keanggotaan Indonesia di PBB yang menerima prinsip-prinsip HAM harus dapat menerima sikap
rekonsiliasi.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan UUD
1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
kli
pin
Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan
sejumlah korban pelanggaran HAM dan para aktivis dari LSM. Antara lain, Asmara Nababan (Elsam),
Ibrahim Zakir (Kontras), dan Rahardjo Waluyo Djati mewakili korban penculikan aktivis 1998. Pemohon
sebenarnya hanya mengajukan uji atas Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR (lihat grafis).
Namun MK justru mencabut secara utuh UU KKR tersebut.
Dalam dunia hukum, putusan MK yang malah membatalkan keseluruhan UU seperti itu dikenal dengan
asas ultra petita. Artinya, hakim memutus di luar dan atau melebihi hal-hal yang dimohonkan pemohon.
Sebelum ini, dalam perkara uji materiil UU Komisi Yudial, MK juga memutus diluar yang dimohonkan
(ultra petita).
Menurut hakim konstitusi Laica Marzuki, MK menilai operasionalisasi UU KKR bergantung dan
bermuara pada pasal 27 tersebut. Sehingga, kalaupun hanya pasal 27 yang dicabut, seluruh ketentuan UU
KKR tidak mungkin dilaksanakan.
Sedangkan Jimly mengatakan, dengan pencabutan UU KKR itu tidak berarti MK menutup upaya
penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. "Banyak cara yang dapat
ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (UU)
yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku universal. Jadi silahkan membuat UU
baru," jelas Jimly.
Selain itu, tambahnya, penyelesaian kasus HAM juga bisa dilakukan melalui kebijakan politik. "Tidak
harus lewat jalur hukum, contohnya mantan GAM yang diberi kompensasi dalam bentuk tanah."
Kinerja Elsam di Media 2006=>
1
2
Dalam putusan ini, hakim I Dewa Gede Paliguna menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Dia menyatakan tanpa UU itu kebenaran akan sulit diungkap, karena berdasar akal sehat, sulit meminta
pelaku untuk mengakui perbuatannya. "Padahal pengungkapan merupakan syarat yang harus ditemukan
untuk memulihkan hak-hak korban," jelas Paliguna.
Kualitas UU buruk
Asmara Nababan yang hadir dalam sidang itu berpendapat, putusan itu membuat masyarakat korban
pelanggaran HAM harus menunggu lama untuk hingga kebenaran kasus mereka diungkap. "Yang
menyedihkan, membuat masyarakat masih harus lama menunggu pengungkapan kebenaran peristiwa,"
ujarnya.
AM
Nababan juga mengatakan, putusan MK itu membuktikan betapa buruknya kualitas UU yang dibuat DPR
dengan pemerintah tersebut. "Kalau DPR dan Pemerintah mawas diri, mereka harusnya meminta maaf
kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, karena sudah menghabiskan uang puluhan miliar untuk UU
yang ternyata dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," tegasnya.
LS
Mantan Wakil Ketua Pansus UU KKR DPR M Akil Mochtar menilai putusan MK itu membuat prospek
penyelesaian masalah HAM suram.
"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi tidak jelas. Semua pihak tidak punya komitmen untuk itu.
Kalau MK menganjurkan rekonsiliasi bangsa melalui jalur politik kan makin nggak jelas lagi," ujar Akil di
Jakarta, Kamis.
kli
pin
gE
Akil mengakui pembahasan UU KKR di DPR memang tidak populer di mata anggota dewan, sehingga
pembahasannya cukup lama. Pansus KKR menyelesaikan pembahasan RUU KKR yang terdiri dari 10 bab
dan 46 pasal itu mulai 9 Juli 2003 hingga 30 Agustus 2004. (IF/Wis/OL-01)
Kinerja Elsam di Media 2006=>
2
3
Komaps, Jumat, 07 Desember 2006
Pelanggaran HAM
MK Batalkan UU KKR, Cermin Buruknya
Jakarta, Kompas - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kembali membuat keputusan mengejutkan dengan
membatalkan seluruh isi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi atau KKR.
Dalam putusan sidang uji materi (judicial review) terhadap undang-undang itu, Kamis (7/12), hanya ada
satu pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diajukan salah satu dari delapan hakim MK, I Dewa Gede
Palguna.
AM
Keputusan ini terbilang mengejutkan, mengingat dua pihak pemohon sebelumnya hanya meminta
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi, yang mereka nilai bertentangan
dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
LS
Pemohon pertama, Asmara Nababan dan sejumlah elemen lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan
kuasa hukum AH Semendawai, meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, keduanya soal
pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak korban menempuh jalur hukum.
Pemohon kedua, Arukat Djaswadi dan KH M Yusuf Hasyim dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK
menguji Pasal 1 Ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait cara rekonsiliasi.
gE
"Dari keputusan itu kita bisa lihat betapa buruknya kualitas DPR membuat UU. Mereka, DPR dan juga
pemerintah, seharusnya malu dan harus minta maaf kepada masyarakat yang juga pembayar pajak karena
mereka telah menghabiskan uang puluhan miliar untuk membuat UU, yang belakangan dibatalkan karena
dianggap bertentangan dengan UUD 1945 seperti sekarang," ujar Asmara.
kli
pin
Menurut Asmara, keputusan MK tersebut tetap akan berdampak mengecewakan bagi para korban
pelanggaran HAM masa lalu. Dengan dibatalkannya aturan UU tentang KKR, mereka terpaksa kembali
menunggu aturan baru terbentuk.
Dalam pertimbangannya, kedelapan anggota Majelis Hakim MK menilai telah terjadi kontradiksi dan
pencampuradukan aturan pasal-pasal dalam UU tersebut.
Ketidakpastian dan ketidakkonsistenan hukum itu terjadi salah satunya terkait Pasal 28 Ayat 1, yang
menyebutkan KKR "dapat" memberi rekomendasi kepada Presiden untuk memberi amnesti ketika di
antara pelaku dan korban sudah saling memaafkan dan berdamai. Padahal, dalam Pasal 29 Ayat 1, KKR
dikatakan "wajib" memutuskan rekomendasi amnesti.
UU KKR juga dinilai melanggar aturan hukum internasional, di mana pemberian amnesti terhadap pelaku
pelanggaran HAM berat tidak diperbolehkan.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidharto Danusubroto sangat menyesalkan putusan itu dan
menilai MK arogan. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) I Gusti Agung Putri
Astrid Kartika mengemukakan, MK tidak melihat substansi munculnya KKR, yaitu menjawab keresahan
korban tragedi masa lalu melalui cara ekstra-judisial. MK hanya melihat sisi kesesuaian legalistik komisi
tersebut dengan sistem hukum yang ada. (DWA/SUT/JOS)
Kinerja Elsam di Media 2006=>
3
4
Republika, Jumat, 08 Desember 2006
MK Batalkan UU KKR
Kalau ada KKR, umat Islam harus minta maaf, komunis dapat kompensasi.
JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, UU KKR
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
AM
Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum, baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan
pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. ''Mahkamah
berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU itu
tidak mungkin dapat diwujudkan karena tak adanya jaminan kepastian hukum,'' kata Ketua MK, Jimly
Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (7/12).
Dengan dasar itu, MK menilai, UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
harus dinyatakan tak punya kekuatan hukum yang mengikat. Permohonan uji materi UU KKR itu diajukan
Asmara Nababan dkk yang diregistrasi dengan nomor 006/PUU-IV/2006. Pemohon mengajukan uji materi
atas pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 angka 9 UU KKR.
LS
Namun, Jimly menegaskan, dengan pembatalan UU KKR itu, tak berarti MK menutup upaya penyelesaian
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. ''Banyak cara yang dapat ditempuh untuk
itu, bisa melalui rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum, rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam
rangka rehabilitasi, dan amnesti secara umum.''
gE
Anggota MK, I Dewa Gede Palguna, berpendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut dia, hanya pasal
27 UU KKR yang bertentangan dengan UUD 1945, itu pun hanya sebagian. Sedangkan pasal 1 angka 9
dan pasal 44, sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.
kli
pin
Kadiv Advokasi Uji Materil UU KKR, Taufik Basari, meminta pemerintah dan DPR bersikap objektif
menilai putusan MK tersebut. ''Dengan dibatalkannya UU KKR ini, pemerintah dan DPR diharapkan tidak
menutup ide pembentukan KKR,'' katanya.
Salam proses pembentukannya, menurut dia, UU KKR mengandung kesalahan. Isinya pun sudah
merupakan kesalahan. ''Judulnya baik, yaitu KKR. Tapi, isinya itu tak sesuai dengan judul. Kenyataannya,
UU KKR itu punya banyak masalah fundamental,'' jelasnya.
Namun, pinta Basari, gagasan mengungkap kebenaran sebagai upaya rekonsiliasi harus tetap ditegakkan.
''Yang dipersoalkan bukan idenya, melainkan alat untuk membangun ide tersebut. Jangan sampai ide itu
dibangun atas dasar dan proses yang salah.''
Budayawan Taufiq Ismail menyambut baik putusan MK itu. ''Karena, kalau KKR terus, posisi umat Islam
akan terbalik, sebagai tertuduh, harus minta maaf, dan kemudian orang PKI dapat kompensasi,'' katanya.
Dia menilai, pembentukan KKR merupakan bentuk kepintaran rekayasa penganut paham komunis gaya
baru. Mereka, kata Taufik, bertopengkan HAM dan demokrasi, berupaya memosisikan umat Islam sebagai
tertuduh. Namun, dengan pembatalan ini, habis pula riwayat KKR.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Yusuf Hasyim, mengatakan banyak hal dalam
UU KKR yang tak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah. Salah satu yang dia sorot
adalah peluang diberikannya rehabilitasi dan kompensasi bagi para tapol dan napol PKI, bila KKR
terbentuk. ''Di UU itu, napol tapol PKI berhak dipulihkan pengadilan, minta rehabilitasi, dan mendapatkan
Kinerja Elsam di Media 2006=>
4
5
kompensasi. Padahal, PKI jelas-jelas berontak,'' kata Yusuf Hasyim.
Pasal-pasal yang Dipermasalahkan
* Pasal 1 angka 9 UU KKR: Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku
pelanggaran HAM yang berat dengan memerhatikan pertimbangan DPR.
* Pasal 27 UU KKR: Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
AM
* Pasal 44 UU KKR: Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi,
perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM.
LS
Dalil Pemohon:
* Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan
pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil; dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD.
* Pasal 27 UU KKR dinilai bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal
28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4).
kli
pin
( ann/wed )
gE
* Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, pasal 28 I ayat (2), dan pasal 28
I ayat (4) UUD 1945.
Kinerja Elsam di Media 2006=>
5
6
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=248
Kamis, 07 Desember 2006 16:06:16
UU KKR BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945
AM
MK menyatakan, Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi: “Kompensasi
dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan” bertentangan
dengan UUD 1945. Akan tetapi karena seluruh operasionalisasi UU
KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi
hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR
menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.
LS
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara
006/PUU-IV/2006 yang dimohonkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian
Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA
(LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim
Advokasi Keadilan dan Kebenaran, siang ini (7/12) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan
Merdeka barat No. 7 Jakarta. Terhadap putusan MK ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede
Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
kli
pin
gE
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat
dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan
hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya
hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga
tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep
hukum perdata.
Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam
Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang
merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di
Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu
hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak
atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui.
Namun, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan menyebabkan
aturan tersebut tidak diberlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan
dapat dijadikan alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung
tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain
yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal
189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk
bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan
perkara.
Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim
untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim
memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim
Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang
terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu
undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi
Kinerja Elsam di Media 2006=>
6
7
undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut
kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada
sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum
dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan
atau petitum yang diajukan.
AM
Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain.
Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) menyatakan: ”Mahkamah
Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari
undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam
undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat
dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang
inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut.” MK pun
telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
mengenai Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan Keadilan
gE
LS
Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
adalah karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena
pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu
amnesti. Amnesti ini sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau
tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang
bersangkutan adalah korban.
Hal ini tidaklah adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29
Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai
hak.
kli
pin
Selain itu, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan
kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya
memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta,
menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Hal itu dikarenakan, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban
yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka “Komisi memutus pemberian
rekomendasi secara mandiri dan objektif”.
UU KKR-pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “Komisi memutus pemberian
rekomendasi secara mandiri dan objektif” itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam
frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan
amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan
atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan
ahli warisnya. (Luthfi We)
Kinerja Elsam di Media 2006=>
7
8
Kompas, Jumat 08 Desember 2006
MK Cabut UU KKR Rugikan Korban Pelanggaran HAM
[JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan UUD 1945, oleh
karena itu UU tersebut tidak berlaku lagi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
merupakan putusan yang justru menguntungkan pelaku pelanggaran HAM, dan merugikan korban.
AM
"Putusan MK itu menutup para korban secara hukum untuk menggugat pelaku pelanggaran HAM," kata
Direktur Hukum Reform Institute, Ifdal Kasim kepada Pembaruan, Jumat (8/12). Ifdal sangat
menyayangkan MK yang memutuskan mencabut semua isi UU KKR, padahal yang diminta pemohon
cuma tiga pasal.
Sementara aktivis Demos, yang juga bertindak sebagai pemohon uji materiil UU tersebut ke MK, Asmara
Nababan mengatakan, putusan MK memang merugikan para korban pelanggaran HAM, namun tidak
sepenuhnya membuat pelaku pelanggaran HAM berpesta pora.
LS
Sebab, pelaku pelanggaran HAM bisa diadili dengan UU Peradilan HAM. Selain itu, kata Asmara, Tap
MPR Nomor Tahun 2000 mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat UU untuk mengadili pe- laku
pelanggaran HAM, sesuai dengan UUD 1945. "Apalagi dalam amar putusan MK, mewajibkan DPR dan
pemerintah untuk membuat UU baru yang lebih sesuai, sehingga para pelaku janganlah berpesta pora,"
kata Asmara.
gE
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu UU tersebut tidak
berlaku lagi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan yang dibacakan di
Gedung MK, Kamis (7/12) itu dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
kli
pin
Majelis hakim MK mengatakan, semua fakta dan keadaan, menyebabkan tidak adanya kepastian hukum,
baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai
tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. "Mahkamah berpendapat, asas dan tujuan KKR seba- gaimana
termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU KKR, secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945
sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Jimly.
Dengan dinyatakan UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan maka
permohonan para pemohon dikabulkan. "Pasal 27 UU KKR tentang hak atas pemulihan yang
digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti dan pasal 44 UU KKR tentang hak korban untuk
menempuh upaya hukum bertentangan dengan UUD 1945 serta pasal 1 angka 9 UU KKR," tegas Jimly
dalam membacakan putusan.
Dikatakan, dengan dinyatakan UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan,
tidak berarti mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya
rekonsiliasi.
Menurut majelis hakim MK, banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu antara lain dengan mewujudkan
rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku secara
universal atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan
amnesti secara umum.
Pendapat Berbeda
Kinerja Elsam di Media 2006=>
8
9
Dari sembilan hakim MK itu, satu hakim memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam
putusan tersebut, yakni I Dewa Gede Palguna. Ia berpendapat, konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR
tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan saja karena wewenang untuk memberikan amnesti,
melainkan juga karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR adalah
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni persatuan nasional.
Menurut Palguna, pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena
alasan sebagaimana didalilkan pemohon, melainkan karena ketentuan pasal 27 UU KKR dimaksud tidak
memberikan kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
AM
Ketentuan pasal 27 UU KKR, tambah Palguna, tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada
korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti
sebab amnesti adalah jelas kewenangan presiden setelah mendengar keputusan DPR.
LS
Putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR yang diajukan oleh Asmara
Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9 UU KKR.
Pasal 27 UU KKR berbunyi, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19
dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan". Pasal 1 angka 9 UU KKR berbunyi, "Amnesti
adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan
memperhatikan pertimbangan DPR".
gE
Pasal 44 UU KKR berbunyi "Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh
Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM".
Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 angka 9 UU KKR
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil dan pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan
dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM
harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945.
kli
pin
Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1),
pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon
bertentangan dengan pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD
1945. [E-8]
Last modified: 8/12/06
Kinerja Elsam di Media 2006=>
9
10
Jakarta post, December 08, 2006
Court throws out 'illogical law' on rights tribunal
Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta
The Constitutional Court scrapped Thursday an 2004 law mandating the establishment of the Truth and
Reconciliation Commission (KKR) because judges said it made no sense.
The surprising ruling further sets back the chances of victims of human rights violations to have their cases
resolved and receive compensation.
AM
Eight of the nine judges were of the opinion that articles in the law on the commission were "problematic"
and did not encourage people to settle their cases through the commission.
"The aims of the establishment of the commission cannot be achieved because the law that accounts for its
legal basis does not give legal certainty. The court rules that the law goes against the Constitution and has
to be dropped," presiding judge Jimly Asshidiqque said.
LS
The court ruling has shot down the commission before it was ever established.
President Susilo Bambang Yudhoyono had not yet selected the commission's 21 members, although a team
screened and submitted 42 names to him last August. For the delay, Yudhoyono was accused of protecting
alleged human rights abusers, especially those in the military.
gE
The judges in their ruling said immunity from prosecution could only be given to people who had admitted
to committing rights violations. The right to give immunity was the President's prerogative, not the
commission's, they said.
kli
pin
"It is legally illogical if requests for compensation, restitution, rehabilitation and amnesty are filed
simultaneously to the body before it has conducted any investigation to discover if gross human rights
violation actually occurred," the judges said.
The court's decision to declare the entire law unconstitutional surprised rights activists, who had requested
the judges review only three articles in it. These ruled compensation for victims could only be given after
perpetrators were granted amnesty and stated resolved cases could not be tried again in other courts.
Asmara Nababan of the Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam) said the ruling showed how
bad the government and legislators were at law-making.
"They should apologize to the people, especially taxpayers, for having spent a lot of money to make a law
that turns out to be against the Constitution," he said.
Activists and victims of rights abuses had hoped that the establishment of KKR would resolve rights cases
that had occurred before the 2000 Law on Human Rights Trials was passed.
"I didn't expect this (decision to drop the law)," Nababan said. However, he said he understood the court's
reasons for doing so and respected them.
"What concerns us is the fate of the victims. They have waited for years to see the truth (behind their
cases) revealed. Now they have to wait longer," he said.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 10
11
Suratih, a former teacher jailed for six years without trial for suspected affiliation with the banned
Indonesian Communist Party (PKI), said she would continue fighting for justice despite the ruling.
"I know the truth will prevail. If I fail, my children will continue my fight. And if they fail too, the people
will take it over," said the 81-year-old, who flew from Surakarta, Central Java, to Jakarta to hear the
verdict read.
The judges, however, said the ruling should not prevent the government from finding other legal ways to
solve rights abuses.
kli
pin
gE
LS
AM
They recommended it create new legislation that was in line with the Constitution and international law.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 11
12
Suara Merdeka, Jumat, 08 Desember 2006
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bertentangan dengan UUD
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No 27/2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak berlaku dan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Hal itu diputuskan hakim ketua Jimly Ashiddiqie dalam sidang putusan
UU KKR di gedung MK, Kamis (7/12).
kli
pin
gE
LS
AM
Dia mengatakan, semua fakta dan keadaan ini menyebabkan ketiadaan kepastian hukum, baik dalam
rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaannya di lapangan, terkait dengan pencapaian tujuan
rekonsiliasi seperti yang diharapkan.
''Mahkamah berpendapat, asas dan tujuan KKR sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU,
secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat,'' ungkap dia.
Dengan demikian, keinginan para pemohon terkabul. ''Pasal 27 UU KKR mengenai hak pemulihan yang
digantungkan pada keadaan lain, yaitu amnesti dan Pasal 44 UU KKR tentang hak korban untuk
menempuh upaya hukum, bertentangan dengan UUD 1945 serta Pasal 1 angka 9 UU KKR,'' ucap dia.
Meski UU KKR dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak berarti MK menutup upaya
penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.
''Banyak cara yang bisa ditempuh, antara lain mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum
yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku secara universal,'' tandas dia.
Terkait dengan keputusan itu, terjadi perbedaan pendapat. Hakim yang berbeda pendapat adalah I Gede
Dewa Palguna. Menurut dia, konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD
1945, bukan saja karena wewenang untuk memberikan amenesti.
''Menurut UUD 1945, amnesti memang merupakan kewenangan presiden, tetapi atas pertimbangan DPR
sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (2) UUD 1945,'' tambah dia.
Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 juga tidak sepenuhnya karena alasan yang didalilkan
pemohon. Hal itu lebih karena ketentuan Pasal 27 UU KKR tidak memberikan kepastian hukum dan
keadilan, baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran HAM berat. (H27-48m)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 12
13
Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006
MK Dinilai Langgar Ultra Petita
Kali Kedua Lebihi yang Diminta
Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi dinilai melanggar asas hukum ultra petita. MK dinilai melakukan
tindakan hukum melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara kepadanya.
Demikian dikatakan mantan Ketua Panitia Khusus DPR untuk Rancangan Undang-Undang tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Sidharto Danusubroto, Jumat (8/12) di Jakarta. Hal ini
disampaikannya menanggapi putusan MK yang membatalkan UU KKR (Kompas, 8/12).
AM
"Yang diuji pihak korban hanya tiga pasal, tetapi malah seluruh UU-nya dibatalkan MK. Ini berlebihan,"
kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Mantan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar pun menyebut tindakan
hukum MK dengan istilah legitime vorse, tindakan hukum yang melampaui kewenangan.
LS
Akil meminta pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang KKR.
Ini sebagai jalan keluar.
gE
Advokat Adnan Buyung Nasution, Jumat di Jakarta, menandaskan pula, putusan MK membatalkan UU
Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dapat menimbulkan kebingungan dalam penanganan kasus
pelanggaran HAM selanjutnya.
Pelanggaran asas ultra petita juga merupakan hal yang tabu. Mestinya MK tidak membatalkan UU itu.
Putusan lebih dari yang diminta terhadap permohonan uji material sebagian pasal UU KKR merupakan
yang kedua dari MK. Sebelumnya, MK membatalkan semua ketentuan dalam UU No 22/1999 tentang
Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan hakim.
kli
pin
Pembatalan UU KKR membuat penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia menjadi tidak jelas.
Karena itu, Adnan meminta pemerintah lebih tegas, jelas, dan terarah dalam mengatasi persoalan yang
terkait dengan pelanggaran HAM.
Adnan Buyung tidak dapat menyalahkan putusan MK itu karena merupakan konsekuensi yuridis dari
sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Prof Dr Indriyanto Seno Adji,
menyatakan, dengan pembatalan UU KKR, berarti seluruh kasus pelanggaran HAM di negeri ini harus
diselesaikan melalui pengadilan HAM.
Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan, dengan putusan itu proses seleksi calon anggota KKR batal.
Untuk rekonsiliasi, bisa dilakukan dengan cara politik, seperti yang dilakukan di Nanggroe Aceh
Darussalam dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka. (sut/mzw/dwa/inu/tra)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 13
14
Jakarta Post, December 09, 2006
Law annulment raises questions about Aceh
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta
The end of the Truth and Reconciliation (KKR) law raises further questions about the government's
commitment to the human rights section of the Aceh peace agreement signed in Helsinki last year.
Vice President Jusuf Kalla, presidential spokesman Andi Mallarangeng and Constitutional Court justice
Jimly Asshidiqie had no answers when they were asked about the issue on Friday.
Jimly was even vaguer in his response to the question.
AM
Both Kalla and Andi said that the government would have to review the verdict first and seek the opinion
of the House of Representatives.
LS
"No, the one in Aceh is different. That has nothing to do with the KKR law. But if it does, well, I suppose
the government will do something about that," he said.
gE
The Memorandum of Understanding (MoU) between the government and the Free Aceh Movement
(GAM) states that a commission for truth and reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian
Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconciliation
measures.
Jimly said one of the reasons the court annulled the law was due to the inactivity in its implementation. He
said President Susilo Bambang Yudhoyono had failed to abide by the law by not having established the
KKR almost two years after its original April 2005 deadline.
kli
pin
"Added with the reality that the administration has not even set up the commission, we thought we should
just scrap the whole law," he said.
The annulment of the KKR law has allowed President Yudhoyono, once a general in the Army, to escape,
for the time being, from dealing with past human rights abuses that are believed to have involved his
seniors in the military.
The commission seeks investigation and possible amnesty and reconciliation regarding human rights cases
from 1945 to 2000.
The establishment of KKR is legally mandated in a 2000 People's Consultative Assembly decree that rules
on how to deal with human rights violations. The decree is an extension of articles on human rights in the
Constitution.
Aceh Monitoring Mission (AMM) head Pieter Feith, whose mandate to ensure the Aceh MoU was fully
met up ends on Dec. 15, said he was taking the government's word for its commitment to human rights
reconciliation in Aceh, including the creation of a commission for truth and reconciliation for Aceh.
But Feith added that, unsurprisingly, GAM leaders had not been pressed either the AMM or the Indonesia
government on the subject.
Aside from creating a reconciliation commission, the MoU also calls for the establishment of a human
rights court for Aceh.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 14
15
Jakarta Post, December 09, 2006
Govt pledge to settle rights abuses questioned
Ary Hermawan and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
Rights activists have condemned the government for its lack of commitment to settling unresolved human
rights abuse cases and urged it to set a clear-cut agenda.
"The government has no clear vision as to where rights abuse cases may lead. We must remind Yudhoyono
that his administration has to be strict and clear in dealing with the issue," senior lawyer Adnan Buyung
Nasution said Friday.
AM
The Constitutional Court scrapped Thursday a 2004 law mandating the establishment of the Truth and
Reconciliation Commission (KKR), which activists and rights abuse victims had hoped would pave the
way for the disclosure of rights cases before the establishment of a rights tribunal in 2000.
Lawmakers and prosecutors are also at odds, over whether the latter can investigate military general
accused of the kidnappings of democracy activists in 1997 and 1998.
LS
"The ruling shows that the government was dubious in its efforts to solve rights abuses that occurred in the
past," Taufiq Basari of the Indonesian Foundation of Legal Aid Institutes said at a joint press conference.
gE
Buyung said the KKR bill was prematurely passed as it was secretly opposed by the government and its
supporters, such as the Golkar Party, who were afraid of the legal consequences they could face if the body
was established.
"Many members of the Golkar party and the Nadhlatul Ulama who might have been involved (in rights
abuses in the past) are worried the body will reveal the truth," he said.
kli
pin
Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin said the people's expectation were too high and
hence the gap between them and reality was inevitable. "For that reason, people always say there has been
no improvement in human rights," he said.
The Hong Kong-based Asian Rights Commission criticized the Indonesian prosecutors for refusing to
follow up on the findings of the rights commission on the activists' abductions.
"This is a denial of the fundamental obligations that Indonesia should follow as a member of the UN
Human Rights Council, and as a party to the UN treaties and conventions," it said in a statement.
Hamid refused to comment on the latest ruling but said that the government would have to accept it. "We
will have to read a copy of the ruling first," he said.
Akil Muchtar, deputy chairman of the special committee which drafted the law and deliberated it with the
government, questioned the court's verdict, which he said "allows rights (violation) perpetrators to buy
time".
"The people, especially victims of human rights abuses and their families, should not blame the House for
the long delay in the efforts to work on unresolved human rights violations in the past," he said.
Lawyer Todung Mulya Lubis asked why the court had dropped the law altogether instead of just the few
articles requested by the petitioners.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 15
16
kli
pin
gE
LS
AM
"The House may one day review the law establishing the Constitutional Court," he said.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 16
17
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15877&cl=Berita
Mengapa UU KKR ‘Dicabut’ MK?
[9/12/06]
Mahkamah Konstitusi kembali membuat kejutan. Seluruh materi UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Semakin
memperkokoh impunitas?
AM
Bagi sebagian korban peristiwa-peristiwa yang bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat, kini nyaris tak
ada harapan untuk menyelesaikan kasus mereka. Tak ada lagi tempat mengungkap kebenaran. Tragedi
Trisakti malah menjadi bola liar politik dan bahan debat kusir antara DPR dengan Kejaksaan Agung. Kini,
pintu untuk mengungkap kebenaran kembali tertutup meskipun untuk sementara.
Pintu yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu harus layu sebelum berkembang.
Payung hukumnya, yakni UU No. 27 Tahun 2004, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Materi UU KKR dinilai Mahkamah Konstitusi
saling bertentangan. Tidak ada kepastian hukum dalam norma UU tersebut. Kalau tidak ada kepastian
hukum, bagaimana mungkin bisa mengungkap kebenaran dan melakukan rekonsiliasi.
LS
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa falsafah dan budaya bangsa Indonesia sangat
menghargai HAM. Keanggotaannya Indonesia di Dewan HAM PBB juga menunjukkan pengakuan atas
HAM yang menerima rekonsiliasi.
gE
Sejatinya, para pemohon yang diwakili Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan hanya meminta pengujian
27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9. Pasal 27 menyebutkan: “Kompensasi dan rehabilitasi .....diberikan
apabila permohonan amnesti dikabulkan“. Berikutnya, pasal 44 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM
berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi ke
Pengadilan HAM“. Amnesti, menurut 1 angka 9, adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden
kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
kli
pin
Korban harus menunggu
Ketua Mahkamah Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dengan dinyatakannya UU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (UU KKR) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bukan upaya berarti
Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.
Pada dasarnya banyak yang bisa dilakukan, yaitu melalui kebijakan hukum yang sesuai dengan UUD 1945
atau kebijakan politik seperti pemberian amnesti umum. Berdasarkan catatan hukumonline, amnesti umum
pernah diberikan pada masa Presiden Habibie terhadap sejumlah tahanan politik dan pada masa Presiden
SBY terhadap anggota GAM dengan cara memberikan kompensasi berupa tanah.
Namun putusan majelis tidak bulat. I Dewa Gede Palguna menyampaikan pendapat berbeda. Menurut
hakim asal Pulau Dewata ini, jika UU KKR ’dicabut’, kebenaran akan sulit diungkap. Sementara,
pemulihan hak-hak korban sangat terkait dengan upaya pengungkapan kebenaran.
Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan mengatakan bahwa putusan Mahkamah akan membuat
korban pelanggaran HAM harus bersabar menunggu. Sebab dengan putusan itu berarti, DPR dan
pemerintah harus membuat regulasi baru yang menjamin rekonsialiasi nasional berlangsung.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 17
18
ppi] [ppiindia] Korban Keganasan PKI
Desak MK Cabut UU KKR
Ambon
Fri, 15 Sep 2006 19:12:54 -0700
AM
** Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India **
** Situs resmi: http://www.ppi-india.org **
** Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia **
** Informasi Beasiswa Scholarship: http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
<br><br><a href="http://informasi-beasiswa.blogspot.com";><img
src="http://feeds.feedburner.com/Info_Beasiswa.gif"; height="67" width="200"
style="border:0" alt="Info Beasiswa Scholarship "/></a><br><br>
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=264825&kat_id=23
LS
Jumat, 15 September 2006 20:40:00
Korban Keganasan PKI Desak MK Cabut UU KKR
gE
Jombang-RoL -- Kalangan masyarakat yang pernah menjadi korban keganasan PKI
mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
kli
pin
"Undang-undang ini memberikan peluang bagi eks PKI untuk bangkit kembali
setelah mendapatkan rehabilitasi. Makanya kami minta MK mencabut UU KKR ini,"
kata Ketua Center for Indonesian Community Studies (CICS), sebuah lembaga yang
mewadahi korban keganasan PKI, Arukat Djaswadi, ditemui di sela-sela
Silaturahmi Nasional Menyikapi Implementasi UU 27/2004 dalam Perspektif
Integrasi Nasional di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Jumat.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa UU 27/2004 bertentangan dengan UUD 1945
sehingga pembentukan KKR nantinya tidak akan memiliki landasan hukum yang
mengikat. Dia beranggapan, UU 27/2004 bukanlah produk hukum yang urgen dan
tidak obyektif, sehingga undang-undang tersebut boleh ada dan boleh juga tidak
ada.
"Justru lahirnya undang-undang ini disponsori oleh PKI, padahal masih banyak
elemen masyarakat di Indonesia yang masih trauma dengan keganasan PKI," ujar
mantan aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) itu mengingatkan. Ia menyebutkan,
dari 42 nama yang ikut seleksi sebagai anggota KKR, hanya 2,4 persen yang
mewakili kelompok agama.
"Ini sungguh sangat ironis, padahal ide pembentukan KKR harus memperhatikan
empat faktor penting, yakni geografis, agama, suku, dan profesional. Tapi yang
terjadi justru hanya sedikit kalangan agama yang dilibatkan dalam KKR," ujarnya
menyayangkan.
Kini dari 42 nama itu disaring lagi menjadi 21, dan tinggal menunggu petunjuk
lebih lanjut dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 18
19
Sementara itu sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Anhar
Gonggong, yang hadir sebagai pembicara dalam pertemuan itu menyatakan
boleh-boleh saja tuntutan pencabutan UU 27/2004 dilakukan, asalkan harus ada
alternatif penggantinya.
"Semua pihak seharusnya mengerti, lahirnya UU 27/2004 ini dilatar belakangi
oleh keinginan tokoh bangsa untuk menyudahi berbagai konflik yang selama ini
terjadi. Kalau ada masyarakat yang menginginkan UU 27/2004 ini dicabut, harus
ada alternatif lain yang mesti diajukan. Kalau tidak ada alternatif,
besok-besok tetap saja akan ada pertikaian," ujarnya.
AM
Menurut dia, sebaiknya semua pihak yang bertentangan berpikir arif dan tidak
memelihara perasaan dendam guna tercipta sebuah kebenaran yang dapat diterima
semua pihak.
LS
Sebagian besar peserta Silaturahmi Nasional di Tebuireng yang didominasi
kalangan akademisi dan pelaku sejarah 1960-an menentang pembentukan KKR oleh
pemerintah. Namun tidak sedikit pula yang menyatakan dukungannya, selain ada
juga pihak yang menginginkan UU 27/2004 direvisi sebelum KKR dibentuk.
gE
Selain menghadirkan sejarawan Anhar Gonggong, sejumlah tokoh lain, diantaranya
mantan Wakil Ketua Dewan Revolusi yang pernah menjalani pengasingan di Pulau
Buru Letkol (Purn) Heru Atmodjo, mantan Komandan Banser NU KH Yusuf Hasyim (Pak
Ud), mantan anggota Komnas HAM sekaligus selaku tuan rumah KH Sholahuddin
Wahid, dan kalangan akademisi dari berbagai universitas terkemuka serta pelaku
sejarah dan keluarga korban keganasan PKI. antara/pur
kli
pin
[Non-text portions of this message have been removed]
Kinerja Elsam di Media 2006=> 19
20
KKR Aceh Tidak Terkait UU KKR
Sabtu, 09 Desember 2006 | 01:45 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh tidak terkait
dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru saja
dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
AM
"KKR Aceh itu lain. Ini kan KKR yang beda. Tidak terkait dengan UU KKR tapi UU Pemerintah Aceh
sendiri," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie usai acara Silaturahmi Kerja Nasional ICMI di
Istana Negara, Jumat (8/12). Yang jelas, ujar dia, UU KKR lama tidak bisa dirujuk karena tidak berlaku
mengikat.
Jika mau melakukan rekonsiliasi, ujar dia, banyak cara bisa ditempuh. Misalnya, tambah dia, dengan
membuat UU KKR baru yang sesuai UUD dan instrumen internasional. Alternatif lain, ujar dia,
rekonsiliasi dilakukan lewat kebijakan politik dengan mengembangkan affirmatif welfare policy.
LS
"Kalau masalahnya kompensasi dan keuangan pemerintah cukup bisa diambil langkah afrirmatif untuk
membantu ex.PKI misalnya," ujar dia.
Ia menjelaskan, pembatalan UU KKR disebabkan pasal amnesti yang menjadi roh dan mempengaruhi
seluruh norma UU dibatalkan sehingga
gE
"Itu praktek lazim di seluruh peradilan konstitusi di seluruh dunia. Daripada dia menimbulkan masalah
hukum yang lebih parah, maka seluruh UU itu dinyatakan tidak berlaku mengikat," tegas Jimly. Jika UU
KKR tidak dibatalkan dengan batalnya pasal amnesti, jelas dia, justeru tujuan rekonsilitasi lebih sulit
tercapai. "Tidak ada insentif bagi orang untuk mengaku, lalu ngapain orang mengaku?" Akibatnya UU itu
gak bisa jalan dalam praktek. Lagipula, ujar dia, amanat UU KKR agar pembentukan KKR dibentuk dalam
8 bulan tidak bisa direalisasikan hingga sekarang. "Ada norma hukum yang tidak berjalan taktis di
lapangan. Ini juga membahayakan image hukum."
kli
pin
Ia menolak mengomentari pembatalan UU KKR menimbulkan kekhawatiran akan sulit penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM. "Saya dilarang komentari putusan sendiri."
Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan terdiri dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan
Elsam mengajukan gugatan uji material UU KKR. Yang dianggap tidak memenuhi jaminan-jaminan yang
diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi
dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak itu antara lain hak atas pemulihan yang digantungkan dengan
keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR) dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44
UU KKR).
Tim juga menggugat pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan bahwa amnesti adalah pengampunan
yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan
pertimbangan DPR.
Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 sebagai dasar
negara juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia. "Amnesti tidak dapat diberikan
terhadap pelanggaran HAM yang berat," kata Taufik.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 20
21
Suara Pembaruan, Sabtu, 09 Desember 2006
UU KKR Dicabut
MK Melanggar Prinsip Hukum
[JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang (UU)
Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) karena bertentangan dengan
UUD 1945 merupakan putusan yang melanggar asas hukum.
AM
"Hakim-hakim MK telah mencederai lembaga MK itu sendiri. Putusan MK itu telah secara nyata
melanggar larangan yang bersifat universal atau sebagai azas hukum bahwa hakim dilarang mengabulkan
sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi
Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH kepada Pembaruan, di Jakarta, Jumat (8/12).
Sebagaimana diberitakan, putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR yang
diajukan oleh Asmara Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1
angka 9 UU KKR.
LS
Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 1 angka 9 UU KKR
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan
dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM
harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945.
gE
Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1),
pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD
1945 (Pembaruan, 8/12).
kli
pin
Petrus mengatakan, putusan itu sesungguhnya mengindikasikan adanya konspirasi antara MK sebagai
lembaga peradilan tertinggi di bidang yudikatif selain Mahkamah Agung dengan lembaga kepresidenan.
Konspirasi itu bertujuan untuk melepaskan tanggung jawab hukum dan moral dari negara terhadap para
korban pelanggaran HAM masa lalu.
Memikul
Selain itu, tambahnya, negara sesungguhnya tidak sudi memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM masa lampau. Hal ini bisa dilihat dengan tidak kunjung selesainya proses
penetapan 21 dari 42 nama hasil seleksi panitia untuk calon anggota KKR meskipun telah lewat masa
waktu yang ditetapkan UU.
Putusan itu juga merupakan ancaman serius bagi eksistensi fungsi legislasi DPR dan sekaligus telah
melecehkan hak-hak para korban para pelanggaran HAM.
Sementara itu sejumlah aktivis dari Koalisi LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Demos, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Ikatan Keluarga Orang
Hilang (Ikohi), Imparsial dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Jumat (8/12)
menyatakan, putusan MK itu harus dilihat sebagai bukti atas ketidakjelasan sikap pemerintah dan DPR
dalam menyelesaikan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia.
"Putusan MK menunjukkan bahwa UU yang dihasilkan pemerintah bertentangan dengan konstitusi dan
prinsip-prinsip penegakan HAM dan pemenuhan hak yang telah diakui secara universal," kata Taufik
Basari SH dari YLBHI.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 21
22
Para aktivis itu mengharapkan, penyelesaian pelanggaran berat HAM dimasa lalu merupakan kewajiban
konstitusional. Putusan MK atas pembatalan UU KKR itu harus ditafsirkan sebagai keharusan bagi
pemerintah, DPR dan masyarakat untuk segera menyelesaikan problem pelanggaran berat HAM.
Dalam penyelesaian tersebut penting untuk tetap memperhatikan hak-hak korban, seperti hak atas reparasi,
hak atas keadilan dan hak atas kebenaran dan jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak terulang kembali
dimasa depan.
AM
Taufik mengatakan, mereka menolak jika penyelesaian keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM
dimasa lalu tersebut ditempuh dengan mekanisme politik, seperti pemberian rehabilitasi semata. Perlu
ditegaskan, pemberian rehabilitasi tidak terlepas dari penyelesaian yang menyeluruh dengan bersama-sama
perlu dilakukan penuntutan dan pengungkapan ke- benaran.
"Kami menegaskan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai sebuah
keharusan. Selain telah terjamin dalam konstitusi, sesungguhnya mekanisme penyelesaian pelanggaran
HAM bisa dilakukan lewat pengadilan HAM," katanya.
kli
pin
gE
Last modified: 9/12/06
LS
Oleh karena itu, pasca putusan MK tersebut pemerintah dan DPR harus menunjukkan komitmennya
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, katanya. [E-8]
Kinerja Elsam di Media 2006=> 22
23
Suara Pembaruan, Senin, 11 Desember 2006
Presiden, MA, dan DPR Perlu Perhatikan Kinerja Hakim MK
[JAKARTA] Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA) perlu memperhatikan kinerja hakim-hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah keputusan MK yang dinilai malah bertentangan dengan
peraturan yang ada.
"Kinerja hakim-hakim MK perlu diperhatikan, terutama bertolak dari berbagai keputusannya terhadap
dampak yang ditimbulkan," ujar Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR membidangi hukum,Perundanundangan dan HAM DPR-RI kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (11/12).
AM
Dia dimintai tanggapannya terkait adanya sejumlah putusan MK yang dinilai blunder, termasuk putusan
dibatalkannya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Menurut Gayus, produk terakhir putusan MK yang blunder yakni dibatalkannya UU KKR. Dia
mengatakan, MK telah salah dalam menjatuhkan putusannya dengan membatalkan UU KKR. Bahkan
putusan itu melanggar UU 24 tahun 2004 tentang MK khususnya pasal 45 ayat 2 dan pasal 51 ayat 3 butir
a.
LS
"Menurut pasal 45 ayat 2 UU MK, putusan MK yang mengabulkan harus didasarkan sekurang-kurangnya
dua alat bukti," ujar Gayus.
gE
Artinya, lanjut dia, seharusnya yang diajukan uji materiil saja yang seharusnya menjadi keputusan MK.
Kemudian dalam pasal 51 ayat 3 huruf a menyebutkan, pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945 dan pada huruf b hanya soal materi muatan dalam ayat, pasal, dan bagian UU
dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
kli
pin
"Dari kedua hal tadi oleh pemohon hanya dimohonkan sesuai ketentuan huruf b saja yaitu Pasal 1 angka 9,
pasal 27, dan pasal 44. Pada permohonan itu tidak memohonkan untuk menguji pembentukan UU terhadap
UUD sebagaimana diatur pada pasal 51 ayat 3 hurup a," papar Gayus.
Oleh karenanya dapat dipandang bahwa MK telah menjatuhkan putusannya tidak sesuai dengan
kewenangannya yang diatur pada UU MK dengan membatalkan UU KKR. [Y-4]
Last modified: 11/12/06
Kinerja Elsam di Media 2006=> 23
24
Kompas, Selasa, 12 Desember 2006
Sidang Dewan HAM PBB
Hak Asasi Dimulai sejak Sarapan Pagi
Budiman Tanuredjo
Tanggal 10 Desember 2006 adalah Hari Hak Asasi Manusia atau HAM Internasional. Lima puluh enam
tahun lalu, Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Mungkin karena bertepatan dengan hari Minggu, tidak ada peringatan khusus untuk memperingati Hari
HAM itu. "Ya, mungkin karena jatuh pada hari Minggu," kata Norbert Barlocher, Wakil Kepala Seksi
Kebijakan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri Swiss di Bern, Minggu (10/12).
AM
Di Bern, ibu kota Swiss, tampak Amnesti Internasional membuka tenda penggalangan dana. Di Geneva,
ruang Sidang Dewan HAM PBB di Palais des Nations kembali sepi. Persidangan ketiga Dewan HAM
yang digelar maraton 27 November-8 Desember 2006 telah berakhir. "Empat resolusi dan tiga keputusan
dihasilkan Dewan HAM," kata Benny YP Siahaan, Sekretaris Satu Perwakilan Tetap Republik Indonesia
di Dewan HAM PBB di Geneva.
LS
Dewan HAM dibentuk berdasarkan Resolusi PBB No 60/251 menggantikan Komisi HAM PBB yang
dikritik karena terlalu sering melakukan politisasi dan menerapkan standar ganda. Komisaris Tinggi HAM
PBB Louis Arbour menganggap lahirnya Dewan HAM sebagai revolusi di bidang HAM meski bagi ahli
hukum dari Institut Studi Internasional Geneva, Andrew Clapham, pernyataan Arbour terlalu dini karena
usia Dewan HAM belum setahun.
gE
Ahli hukum Andrea Bianchi dari universitas yang sama pun meragukannya. "Sebagai bagian dari
reformasi PBB, terbentuknya Dewan HAM terlalu kecil untuk bisa berperan dalam penghormatan HAM,"
katanya.
kli
pin
Wakil Tetap RI di Dewan HAM PBB Makarim Wibisono melihat dari sisi kelembagaan mungkin memang
bisa disebutkan revolusioner. Dewan HAM dibentuk Majelis Umum PBB dengan anggota 47 negara,
sementara Komisi HAM dibentuk Dewan Ekonomi Sosial PBB. Adapun Duta Besar Puja Wesaka dari
Perwakilan Tetap RI di Geneva mengatakan, Komisi HAM PBB dalam masa hidupnya selama 61 tahun
melahirkan lima special session, sementara Dewan HAM yang baru bersidang tiga kali akan menghasilkan
empat special session. Terakhir, dibentuk special session untuk Darfur, Sudan.
Lepas dari kritik atas lambatnya pembentukan kelembagaan itu, Dewan HAM harus mampu mengawal
amanat untuk menuju keadaan dunia sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM 1948
yang disebut John Humphrey, mantan Direktur Komisi HAM PBB, sebagai Magna Charta Umat Manusia.
Deklarasi itu disahkan 10 Desember 1948, tanpa suara penolakan. Menurut Humphrey, tujuh negara—
semua negara komunis yang menjadi anggota PBB, Arab Saudi, dan Afrika Selatan—memberikan suara
abstain. Deklarasi HAM itu disepakati sebagai standar pencapaian HAM yang lalu diturunkan dalam
Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Lalu bagaimana kondisi dunia sekarang? Julia Hauserman, mantan Sekjen Right and Humanity, pada
tahun 1991 dengan mengutip laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan menyebut, "Kita
hidup dalam sebuah dunia paradoks yang kejam, Hampir 1/5 penduduk dunia hidup dalam kemiskinan
mutlak, melarat, kumuh, dan sengsara, yang benar-benar tidak dapat diterima. Mereka hanya berjuang
demi kelangsungan hidup. Kelaparan menjadi keseharian mereka."
Kini, tahun 2006, keadaan belum banyak berubah. Kemiskinan tetap menjadi potret riil mayoritas
penduduk dunia. Kelaparan masih bisa dijumpai. Pendidikan tak sepenuhnya bisa diikuti anak usia
sekolah. Akses ke kesehatan tetap menjadi masalah besar. Pertemuan pemimpin dunia yang melahirkan
Millennium Development Goals melahirkan tekad bersama untuk mengurangi kemiskinan. Kini dunia
Kinerja Elsam di Media 2006=> 24
25
dihadapkan pada ancaman terorisme. Dunia menyaksikan penanganan terorisme seperti di Guantamao,
Bagram, dan sejumlah penjara rahasia yang dilakukan CIA di negara Eropa.
Di Tanah Air, potret serupa masih bisa dijumpai: kemiskinan, pengangguran, akses kepada pendidikan dan
kesehatan yang merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang masih tertelantarkan,
sementara korban pelanggaran HAM gagal mencari keadilan, terlebih setelah Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) gugur sebelum lahir. Mahkamah Konstitusi menjadi jagal kelahiran KKR yang
prosesnya amat lambat.
AM
Sejumlah mahasiswa eks ikatan dinas (mahid) masih tinggal di sejumlah negara Eropa karena paspor dan
kewarganegaraan mereka dicabut pemerintahan awal Orde Baru. Sobron Aidit saat meluncurkan
cerpennya di Jakarta beberapa waktu lalu, menulis, untuk dapat kembali ke Indonesia ia harus melepaskan
kewarganegaraan Indonesia. Sobron Aidit berkewarganegaraan Perancis dan tinggal di Paris. Belum ada
penyelesaian konkret meskipun telah empat presiden setelah Soeharto menjabat.
Dari sarapan pagi
gE
LS
Bicara soal HAM adalah bicara soal dua hal. Menarik yang dikatakan mantan Presiden Senegal Leopold
Senghor, yang sering dikutip orang, HAM itu dimulai dengan sarapan pagi. Itu berarti, untuk kelangsungan
hidup manusia, butuh makanan yang cukup, air bersih, papan, dan perawatan kesehatan. "Memerhatikan
setengah dari HAM sama dengan memerhatikan setengah kemanusiaannya," tulis Julia Hauserman dalam
buku Human Right (1991) yang disunting Pieter Davies. Kenyataan itu paling tidak memberikan
gambaran, kebebasan sipil dan politik tetap membutuhkan roti. "Apa artinya demokrasi kalau tak ada roti,"
kata Mulya Lubis, suatu saat.
kli
pin
Pekerjaan rumah tampaknya masih harus dikerjakan dunia yang sedang bergerak dan berubah. Seperti
ditulis Pangeran Sadruddin Aga Khan, pendiri The Independent Commission on International
Humanitarian Issue, "Kita hidup dalam suatu periode antara senja dan subuh. Kita telah meninggalkan
dunia kemarin, tetapi kita belum lagi sepenuhnya memahami dunia esok." Masa senja itu kini mewujud
dalam dunia yang di ambang peperangan di Palestina, Irak, dan Lebanon. Sementara kemiskinan menjadi
potret riil.
Dunia seakan kehilangan visi humanisme universal. Humanisme adalah orientasi dasar ke arah
kesejahteraan seluruh bangsa manusia. Ia menuntut apa saja yang menyimpang dari kesejahteraan manusia
harus dipertanyakan, terlepas dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, kekuasaan politik, atau
kestabilan suatu tatanan.
Geneva yang sedang kedinginan perlu mereaktualisasi visi humanisme universal, bukan hanya sekarang
perpolitikan dan semangat retaliasi. Humanisme harus ditempatkan pada tempatnya yang sah sebagai pusat
perhatian budaya dan peradaban.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 25
26
Kompas, Selasa, 12 Desember 2006
DPR Akan Undang MK untuk Bahas Pembatalan UU
Komisi III Diminta Jadwalkan Rapat
Jakarta, Kompas - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat diminta segera menjadwalkan rapat konsultasi
dengan Mahkamah Konstitusi atau MK sehubungan dengan banyaknya putusan lembaga itu yang
membatalkan sejumlah pasal dalam undang-undang atau UU, bahkan keseluruhan UU.
Yang terakhir, pekan lalu, MK membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
AM
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Senin (12/11), menyatakan hal itu. Langkah ini perlu
segera diambil karena keputusan MK ini berdampak luas pada masyarakat dan bisa menimbulkan
kekosongan hukum.
"Kita berharap di kemudian hari hal-hal seperti ini lebih dipertimbangkan secara komprehensif," ujar
Agung kepada pers, Senin kemarin.
LS
Ketua dan Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
dan Al Muzammil Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang dihubungi terpisah, mengapresiasi
pandangan Agung tersebut. Menurut keduanya, setelah DPR kembali bersidang pada Januari 2007, rapat
konsultasi dengan MK akan segera diagendakan.
gE
Menurut Al Muzammil, saat ini pun sudah berkembang pemikiran untuk membatasi kewenangan MK
dengan merevisi UU No 24/2003. Dalam hal-hal tertentu, MK tak bisa membatalkan begitu saja undangundang.
kli
pin
Pertama, MK tak bisa membatalkan pasal-pasal yang disetujui DPR secara aklamasi. Kedua, putusan MK
untuk membatalkan UU juga harus disetujui aklamasi atau mayoritas mutlak, yaitu delapan suara banding
satu.
Pasca dibatalkannya UU KKR oleh MK, Agung berpendapat, kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
masa lalu diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. (sut)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 26
27
Kompas, Selasa, 12 Desember 2006
Robohnya Undang-undang Kami
Asvi Warman Adam
Mahkamah Konstitusi atau MK, Kamis (7/12) lalu, membatalkan Undang-Undang tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU KKR.
Menurut MK, UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebuah wahana penyelesaian masa lalu yang telah diupayakan sejak tahun 2000 tiba-tiba mati di tengah
jalan. Uji materi yang diajukan hanya menyangkut beberapa pasal dari UU KKR, namun MK
menghapuskan seluruh isi UU itu.
AM
Gagasan pembentukan KKR dimulai sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid. Ide awalnya berpusat pada
konsep keadilan transisional (transitional justice).
LS
Pada masa transisi—dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi—tidak semua peristiwa kekerasan masa
lalu bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kalaupun dapat, itu akan memakan waktu lama. Karena itu,
dipilih mekanisme KKR yang bersifat ekstra yudisial, melengkapi pengadilan HAM ad hoc yang telah ada
sebelumnya. Sebab, tidak semua pelanggaran HAM berat itu dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Periodisasi
gE
KKR melakukan penelitian tentang pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM Nomor
26 Tahun 2000 diundangkan. Sayang, dalam UU KKR tak ada batas tegas. Namun, karena yang diselidiki
adalah pelanggaran HAM oleh bangsa Indonesia terhadap bangsa Indonesia, maka wajar jika itu dimulai
sejak proklamasi kemerdekaan.
kli
pin
Tidak semua pelanggaran HAM selama 1945-2000 bisa diteliti. Dalam KKR Timor Leste, mereka
mendaftar pelanggaran HAM 1975-1999 karena wilayahnya relatif sempit. Dapat ditambahkan, yang
terkait KKR hanya kasus yang melibatkan negara. Konflik murni antar-etnis atau perang antarkampung
tidak termasuk.
Menurut hemat saya, periodisasinya dapat dibagi menjadi 1945-1955, 1956-1965, 1966-1975, 1976-1985,
1986-1995, 1996-2000. Pada setiap interval dekade itu dipilih satu-dua kasus yang menonjol. Kriteria
pemilihan kasus minimal tiga, yaitu relevansi, signifikansi, dan keterwakilan. Hanya peristiwa yang
relevan dengan pelanggaran HAM yang dimasukkan.
Sebagai sejarawan, saya mendukung pembentukan KKR. Dengan demikian, sejarah Indonesia yang gelap
dan digelapkan sejak 1945 dapat terungkap.
Di sisi lain, langkanya ketersediaan dokumen tertulis yang tampaknya belum menjadi budaya di negeri kita
dapat ditanggulangi dengan metode sejarah lisan melalui wawancara terhadap korban dan pelaku. Bagi
korban yang sudah berusia 70 hingga 80-an tahun, ini sekaligus menjadi healing atas trauma mereka yang
puluhan tahun.
Perjalanan panjang
UU KKR sebetulnya melalui proses amat panjang dan berliku- liku. Di kalangan aktivis LSM semula ada
perbedaan pendapat. Munir (alm) yang memimpin Kontras sempat tidak setuju karena KKR dinilai
menciptakan impunitas baru. Demikian pula dengan sebagian korban. Namun, setelah diskusi dan
sosialisasi, dicapai kesepahaman. Setelah disusun Departemen Hukum dan HAM, draf RUU ini sempat
tertahan lama di Sekretariat Negara. Proses di DPR juga lambat (Juli 2003 sampai Agustus 2004) dan tidak
Kinerja Elsam di Media 2006=> 27
28
mudah. Fraksi TNI, misalnya, mengusulkan undang-undang itu terbatas rekonsiliasi saja tanpa
pengungkapan kebenaran. UU ini akhirnya disetujui DPR dan disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri,
September 2004.
April 2005 mulai dilakukan seleksi pemilihan anggota KKR. Setelah melewati beberapa tahapan, akhirnya
panitia menetapkan 42 orang sebagai calon anggota. Presiden akan memilih 21 orang dari jumlah itu dan
menyerahkan kepada DPR. Namun, berbulan-bulan kemudian keputusan belum juga diambil oleh Presiden
Yudhoyono. Kritik di koran selalu muncul mendorong pembentukan lembaga ini, namun tidak digubris.
Uji materi telah diajukan kepada MK dan tanpa diduga, hasilnya sangat mengenaskan. UU itu telah
dibunuh sebelum komisi tersebut sempat terbentuk.
AM
Atas keadaan itu, penegakan HAM di Indonesia kembali ke titik nol. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan.
Di sini mungkin yang disetujui negara dalam rangka menyeret pelanggar HAM berat, hanya sekadar
membagi-bagikan stiker di jalanan.
kli
pin
gE
LS
Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI; International Witness dalam Sidang KKR Timor Leste,
Maret 2004
Kinerja Elsam di Media 2006=> 28
29
Kompas, Rabu, 13 Dec. 06
Adili Segera Pelanggar Hak Asasi
Jangan Tunda Pengadilan Ad Hoc
Jakarta, Kompas - Berkaitan dengan pencabutan semua pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, keluarga korban kekerasan politik dan penghilangan paksa
serta korban kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi menuntut pemerintah membentuk pengadilan ad
hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
AM
Bagi mereka, pembatalan undang-undang (UU) itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tak berarti
mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu tertutup. Justru sebaliknya,
pembatalan itu merupakan peluang bagi munculnya mekanisme luar biasa, misalnya melalui pengadilan ad
hoc.
Apalagi, pengungkapan kebenaran, pemulihan hak korban, dan keadilan adalah bentuk yang mutlak
diberikan kepada korban dan keluarganya. "Selain itu, pemenuhan hak korban itu tak bisa ditawar-tawar,
apalagi dipertukarkan," tutur Sumarsih, ibu Wawan, korban Tragedi Semanggi, Selasa (12/12) di kantor
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta.
gE
Tidak berpihak
LS
Ruminah, yang kehilangan Gunawan anak ketiganya pada kerusuhan di kawasan Klender, Jakarta Timur
pada 14 Mei 1998, mengungkapkan, hadirnya pengadilan ad hoc menjadi penting bagi mereka. Apalagi,
hingga saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang sudah disidik dan diperiksa justru macet di
Kejaksaan Agung.
Prosedur penanganan pelanggaran HAM di negara ini dinilai belum berpihak kepada korban dan
keluarganya. Ho Kim Ngo, ayah Yun Hap yang tewas pada kerusuhan di Semanggi, menuturkan, DPR dan
Jaksa Agung selalu saling melempar tanggung jawab kasus pelanggaran HAM itu.
kli
pin
"Jaksa Agung tampak tak berpihak pada perjuangan pembelaan HAM. Saat peringatan hari HAM, ia tak
ikut turun ke jalan, tetapi saat kampanye antikorupsi ia turun ke jalan. Jaksa Agung tidak pernah fokus
pada perkara pelanggaran HAM," ungkap Ho Kim Ngo.
Keinginan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM agar pemerintah membentuk pengadilan ad hoc
untuk menangani kasus pelanggaran HAM, menurut anggota Komnas HAM, Enny Soeprapto, adalah
wajar. Bahkan, langkah itu menurut UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM adalah yang paling sesuai.
"Apalagi, setelah mekanisme ekstrajudisial tak bisa dilakukan dan pengadilan umum biasa tidak bisa
melakukannya," kata Enny.
Ia mendukung pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu. Keadilan bagi korban harus diwujudkan dan
bukan masanya lagi rakyat Indonesia terus hidup dalam transisi yang tidak berkesudahan. (JOS)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 29
30
Kompas, Rabu 13 December 2006
Ditagih Janji, Yudhoyono Selesaikan HAM
[JAKARTA] Korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu di
Indonesia mendesak pemerintah segera membentuk pengadilan HAM ad hoc dan permanen atas kasuskasus pelanggaran HAM. Pembentukan pengadilan seperti itu merupakan salah satu bentuk tanggung
jawab negara (pemerintah) atas hak-hak korban dan keluarga korban.
Demikian seruan sekitar 30 korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dalam kasus Mei 1998, kasus
Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penghilangan Paksa 1997/1998, kasus 1965 dan
kasus Talangsari Lampung dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/12).
AM
Mereka menggugat komitmen politik Presiden Yudhoyono dan pemerintah atas penyelesaian kasus-kasus
HAM sesuai janji-janjinya. Pemerintah harus menjadikan hal ini sebagai agenda penting bagi proses
pelurusan sejarah. Keterlibatan masyarakat luas, akademisi, kelompok agama menjadi hal yang penting.
"Kami tetap mendesak negara untuk menjalankan kewajiban konsitusionalnya, yaitu memenuhi hak-hak
kami berupa kebenaran, keadilan dan pemulihan," katanya.
LS
Mereka juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan terobosan-terobosan yang dapat
menjamin keadilan dan pemenuhan hak-hak mereka. "Penuntasan kasus-kasus ini harus dilakukan secara
khusus dan luar biasa," kata Ny Sumarsih, keluarga korban kasus Semanggi.
gE
Menurut mereka, pengalaman pengadilan HAM Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura yang
membebaskan para pelaku serta tidak memberikan reparasi bagi korban, harus menjadi alat koreksi
mekanisme pengadilan HAM, agar ke depan dapat bekerja secara efektif dengan didukung oleh komitmen
politik yang penuh dari seluruh aparatur negara.
kli
pin
Tidak ada alasan lain bagi Kejaksaan Agung untuk tidak melakukan penyidikan atas kasus Trisakti,
Semanggi I dan II, Mei 1998, penculikan aktivis 1997/1998, Wasior dan Wamena. "Sementara Komnas
HAM harus membuka kebenaran atas apa yang terjadi sesungguhnya pada peristiwa 65," kata Sumarsih.
Menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pembatalan UU ini tidak menutup mekanisme lain
bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Penyusunan mekanisme KKR ini sejak awal, sudah menunjukkan upaya-upaya untuk memangkas hak-hak
korban dan keluarga korban, serta lebih menitikberatkan pada proses rekonsiliasi. "Dengan tegas korban
pelanggaran HAM menolak UU ini, seperti yang disampaikan kepada Pansus RUU maupun kepada
publik," kata Sumarsih.
Dikatakan, bagian terpenting dari upaya penyelesaian masa lalu adalah pengungkapan kebenaran,
perwujudan keadilan yang bermakna menghentikan praktek impunitas dan pemulihan hak-hak korban
yang meliputi rehabilitasi dan kompensasi dan jaminan tidak berulangnya kembali peristiwa tersebut. Hakhak fundamental ini bersifat mutlak dan harus dijamin negara, dalam bentuk atau mekanisme apa pun.
Menurut Sumarsih, yang juga didukung sepenuhnya oleh mekanisme hukum internasional dan universal
adalah hak-hak korban ini bersifat mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar apalagi dipertukarkan. Tanpa adanya
jaminan dan pemenuhan hak-hak korban ini maka rekonsiliasi hanya menjadi rekonsiliasi semu dan hanya
menjadi alat politik kekuasaan yang ditegakkan diatas genangan darah korban.
Batas Kewenangan
Kinerja Elsam di Media 2006=> 30
31
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Pansus Pembentukan UU MK Sidarto Dhanusubroto mengatakan,
hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah melewati batas kewenangannya dari yang ditetapkan UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Terutama dalam sejumlah putusan kontroversial yang mereka
ambil.
"Sejumlah anggota DPR sepakat agar pembahasan revisi UU MK dilakukan segera. Terutama memperjelas
batas-batas kewenangan hakim-hakim MK," ujar Ketua Pansus Pembentukan UU MK, Sidarto kepada
Pembaruan di Jakarta, Senin (11/12).
AM
Dia sangat menyesalkan kinerja sembilan hakim MK yang dinilainya sudah melewati batas kewenangan.
terutama ketika membatalkan UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU
KKR) dan juga putusan MK yang mengebiri kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan para hakim.
Juga saat MK memangkas kewenangan KPK ketika merevisi pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Tetapi keputusan paling parah dan lucu adalah dibatalkannya UU
KKR. Sebab yang dimohonkan uji materiilnya hanya tiga pasal, ternyata MK malah membatalkan seluruh
UU itu," kata Sidarto.
kli
pin
gE
Last modified: 13/12/06
LS
Dia mengistilahkan, hakim- hakim MK telah melanggar asas ultra petita. Yakni asas hukum yang melarang
hakim memutus lebih dari apa yang dimohonkan oleh para pihak di dalam petitumnya.Dalam hal UU
KKR, yang diminta uji materinya hanya atas tiga pasal saja. [E-8/Y-4]
Kinerja Elsam di Media 2006=> 31
32
Kompas, Jumat, 15 December 2006
Kuat, Keinginan DPR untuk Merevisi Undang-Undang MK
Jakarta, Kompas - Keinginan untuk merevisi Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menguat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dorongan ini muncul setelah MK dinilai banyak melakukan tugas yang melampaui kewenangan yang
dimilikinya dan juga melanggar prinsip-prinsip hukum.
Kasus terakhir, MK membatalkan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Padahal,
pasal yang diajukan pemohon untuk diuji materi oleh MK hanya tiga pasal.
AM
Sejumlah anggota DPR menilai langkah itu melanggar prinsip hukum ultra petita. MK dinilai melakukan
tindakan hukum yang melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara kepadanya.
"Keinginan untuk merevisi UU MK itu sangat kuat," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai
Amanat Nasional, Arbab Paproeka, Kamis (14/12).
LS
Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin dari Fraksi Partai Golkar juga mengakui adanya gelagat
itu. "Pemikiran ke arah sana ada, tetapi harus dirapatkan dahulu, baik dalam pimpinan serta dalam pleno,"
ucapnya, di tempat terpisah.
gE
Menurut Arbab, MK juga telah melanggar prinsip-prinsip peradilan. MK, misalnya, pernah memutus
perkara yang menyangkut dirinya sendiri. MK memotong kewenangan Komisi Yudisial, khususnya dalam
melakukan pengawasan perilaku hakim konstitusi.
Salah satu pemikiran yang berkembang, kata Arbab, dalam UU MK nanti kewenangan MK akan lebih
diperinci, khususnya mana yang boleh dan tidak dilakukan. "Seharusnya prinsip-prinsip hukum itu sudah
menjadi pemahaman hakim konstitusi, tetapi karena mereka mengabaikan harus diatur lebih tegas,"
paparnya.
kli
pin
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al Muzammil Yusuf beberapa waktu lalu
juga menyampaikan pemikiran yang hampir senada.
Dalam hal-hal tertentu, kata dia, MK tidak bisa membatalkan pasal-pasal yang sudah disetujui secara
aklamasi oleh DPR. Keputusan MK untuk membatalkan UU secara keseluruhan pun harus diputuskan MK
dengan suara bulat atau mayoritas mutlak, yaitu delapan banding satu suara. (sut
Kinerja Elsam di Media 2006=> 32
33
Kompas, Selasa 19 December 2006
Seleksi KKR Dihentikan
Fadjroel: Ada Kesamaan Berpikir antara Presiden dan MK
Jakarta, Kompas - Dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghentikan seleksi 42 calon anggota KKR.
"Dengan pembatalan UU KKR oleh MK, proses seleksi 42 calon anggota KKR dihentikan dan tidak akan
dibawa ke proses politik di DPR," ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Senin
(18/12).
AM
Yusril mengakui, pembatalan UU KKR melalui putusan MK secara akademis dapat diperdebatkan.
Namun, putusan MK final dan berkekuatan hukum tetap.
LS
Meskipun pembentukan KKR tertuang dalam Tap MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional yang hingga kini belum dicabut, Yusril mengemukakan, ketetapan itu
dianggap selesai setelah keluar UU KKR. Itu juga yang terjadi dengan Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun
2000 tentang TNI.
gE
Pembentukan KKR merupakan prakarsa sejumlah tokoh yang dimotori Abdurrahman Wahid pada 26
Agustus 1998. Desember 1998, laporan akhir tahun Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat
(Elsam) merekomendasikan pembentukan KKR. Sejak November 1999, pemerintah menyiapkan draf
RUU KKR. UU No 27/2004 tentang KKR baru ditetapkan pada akhir pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri.
kli
pin
Presiden Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden No 7/2005 tentang panitia seleksi pemilihan
anggota KKR, Maret 2005. Lima bulan kemudian, dari 1.447 calon yang lolos seleksi awal tersaring 160
orang pada seleksi tahap kedua. Tahap berikutnya dinyatakan 42 calon lolos seleksi dan diserahkan kepada
Presiden, Agustus 2005.
Satu tahun empat bulan, 42 calon dibiarkan tak ditindaklanjuti Presiden hingga MK membatalkan UU
KKR.
Mengenai KKR ini , Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak awal melihat pembentukan KKR sebagai ide yang
muncul karena sikap emosional yang menganggap masa lalu banyak pelanggaran dan konflik.
Pengadilan ad hoc
Menurut Yusril, setelah pembatalan UU KKR, korban dapat menempuh proses hukum normal melalui
pengadilan hak asasi manusia (HAM) atau Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus-kasus di masa lalu.
"Pengadilan HAM Ad Hoc adalah langkah kompromi atas prinsip hukum tidak berlaku surut. Namun,
untuk menempuh cara itu sangat sulit, terutama soal pembuktian," ujarnya.
Tuntutan rekonsiliasi, menurut Yusril, lebih baik dilakukan secara alamiah tanpa formalitas pembentukan
komisi.
"Pembentukan komisi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan orang untuk diminta keterangannya justru
potensial membawa konflik baru. Terhadap Westerling saja kita bisa melupakan, kenapa dengan bangsa
sendiri kita tidak bisa," ujarnya.
Kinerja Elsam di Media 2006=> 33
34
Sikap masa bodoh
Satu dari 42 calon anggota KKR, Fadjroel Rachman, menilai komentar Yusril merupakan cerminan sikap
masa bodoh pemerintah terhadap KKR.
"Kesalahan utama ada di Presiden yang terus ragu-ragu lebih dari satu tahun sehingga KKR tidak sempat
eksis dan berperan. Bagi Presiden, pembentukan KKR dilihat tidak ada untungnya. Saya melihat ada
kesamaan berpikir antara Presiden dan MK dalam hal ini," ujarnya.
kli
pin
gE
LS
AM
Ia khawatir era transisi di Indonesia tidak akan membawa hasil memuaskan lantaran upaya menghalangi
penjahat HAM melalui KKR dibatalkan. (INU)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 34
35
Kompas, Selasa, 26 December 2006
Putusan MK Akan Dikaji
Proses Legislasi Mengecewakan
Jakarta, Kompas - Pemerintah masih mengkaji langkah yang akan dilakukan menyikapi putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD
1945. Pemerintah tidak ingin putusan MK serupa terulang lagi pada UU Pengadilan Tipikor yang akan
disusun nanti.
AM
Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sardan Marbun, di Jakarta,
akhir pekan lalu. Meski belum menentukan sikap, katanya, pemerintah menghormati putusan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Ia mengatakan pula, pemerintah ingin pemberantasan korupsi tidak terhambat.
LS
Pemerintah, lanjut Marbun, akan membuat undang-undang yang lebih keras terhadap koruptor. Meski
dinilai Undang-Undang Pengadilan Tipikor cukup mendesak, hal itu tidak cukup memaksa dan genting
hingga membutuhkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Bahkan, waktu tiga tahun
dianggap terlalu panjang untuk membuat UU tersebut.
gE
Menanggapi putusan MK itu, sebelumnya sejumlah kalangan mengusulkan pembentukan Perpu
Pengadilan Tipikor sebagai langkah cepat terhadap kondisi Pengadilan Tipikor yang inkonstitusional.
Adnan Buyung Nasution dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi menyuarakan perlunya
Presiden Yudhoyono menerbitkan perpu (Kompas, 21/12).
Namun, KPK berpendapat, putusan MK tidak berpengaruh secara yuridis formal terhadap kasus yang
sedang diusut KPK. Proses hukum tetap berjalan hingga UU Pengadilan Tipikor yang sesuai keputusan
MK terbentuk.
kli
pin
Potensi korupsi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Denny Indrayana, Senin (25/12),
mengemukakan, dibatalkannya sejumlah undang-undang oleh MK tidak hanya menandakan lemahnya
kemampuan teknis DPR dalam pembuatan peraturan, tetapi juga mencerminkan potensi korupsi dalam
proses legislasi di DPR.
"Korupsi dalam proses legislasi membuat pasal-pasal yang disusun lebih banyak merupakan hasil
kompromi. Sehingga, saat ditinjau dari segi hukum, beberapa di antaranya menjadi tidak sesuai," katanya.
Desember ini, setidaknya ada dua undang-undang yang dibatalkan MK, yakni UU No 27/2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pasal 53 UU No 30/2002 tentang KPK yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi.
Ide pemilihan umum tanpa nomor urut, menurut Denny, dapat mengurangi potensi korupsi di DPR. Sebab,
sistem itu akan mengurangi peran partai politik yang merupakan lembaga korup dan menjadikan anggota
DPR lebih memerhatikan pemilihnya.
Hanif Susanto dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan menuturkan, sistem pendukung di DPR
memang harus diperkuat karena kemampuan lembaga itu dalam proses legislasi masih mengecewakan.
Menurut Wakil Ketua Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR Lukman Hakim Syaifudin, rendahnya
kemampuan legislasi DPR terkait dengan proses seleksi memasuki lembaga itu. "Di masa Orde Baru, ada
Kinerja Elsam di Media 2006=> 35
36
kli
pin
gE
LS
AM
mesin politik untuk menyaring seseorang masuk ke parlemen. Itu sekarang tidak ada lagi," kata Lukman.
(idr/NWO)
Kinerja Elsam di Media 2006=> 36
Kompas, Senin 15 May 2006
Kerusuhan Mei, Prahara yang Tak Lekang
BE Satrio
Delapan tahun berlalu, upaya tiga pemerintahan, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan
Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mengungkap kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mata publik tidak
memuaskan. Ada keengganan pemerintah membuka lembaran hitam sejarah itu, berharap waktu akan
menenggelamkan kasus itu dari benak publik.
LS
AM
Kerugian akibat kerusuhan Mei 1998 tak hanya benda akibat penjarahan atau bangunan akibat perusakan
dan pembakaran. Korban pun berjatuhan, baik korban jiwa, korban tindak kekerasan di jalan-jalan,
maupun korban pelecehan hingga penganiayaan seksual. Hasil penelitian Tim Relawan untuk
Kemanusiaan menyebutkan angka korban kekerasan seksual yang berhasil dikonfirmasi saja mencapai 168
orang, 20 di antaranya sudah meninggal. Dari jumlah tersebut, 152 orang tercatat di Jakarta, 16 lainnya
dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Jumlah ini belum termasuk korban yang tidak dikonfirmasi,
yang angkanya mungkin ribuan.
gE
Untuk mengungkap peristiwa kerusuhan itu, pemerintahan BJ Habibie pada Juli 1998 kemudian
membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan ABRI, pejabat sipil, Komnas
HAM, dan LSM. Dalam waktu singkat kemudian TGPF memberikan rekomendasi agar pemerintah segera
menindaklanjuti temuan mereka. Materi akhir TGPF mengarah pada adanya kesalahan yang dilakukan
institusi pemerintah dan militer.
kli
pin
Sayangnya, hasil temuan TGPF tidak juga ditindaklanjuti. Baru dua tahun kemudian dibentuk Komisi
Pelanggaran (KPP) HAM Kerusuhan Mei, setelah ada desakan dari Paguyuban Korban dan Keluarga
Korban Kerusuhan Mei, Semanggi I dan II. Pada saat itu pemerintahan telah beralih kepada Abdurrahman
Wahid. Namun, salah satu tokoh demokrasi di Indonesia ini pun dipandang oleh publik tidak cukup serius
menangani kasus besar tersebut. Dalam jajak pendapat Kompas Mei 2000, hanya 40,8 persen responden
yang menyatakan kepuasannya, sementara yang berpendapat sebaliknya 47 persen.
Batu ganjalan paling besar justru terjadi manakala wakil rakyat di DPR membentuk Panitia Khusus
(Pansus) Trisakti, Semanggi I dan II yang kemudian menyimpulkan bahwa peristiwa penembakan
mahasiswa Trisakti yang mengawali Kerusuhan Mei bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Meskipun
penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan kompetensi tiga lembaga, yaitu Komnas HAM,
Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM, rekomendasi DPR memberikan pengaruh yang cukup berarti.
Terbukti kemudian, meskipun hasil KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II menyatakan bahwa dalam
peristiwa itu diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat, statusnya tetap tidak dinyatakan sebagai
pelanggaran HAM berat. Padahal, KPP HAM merekomendasikan penyelidikan terhadap dugaan
keterlibatan sejumlah perwira tinggi militer dan kepolisian dalam kasus tersebut.
Lemahnya negara
Negara memang belum menjadi institusi yang kuat melindungi keamanan dan keselamatan warga
negaranya. Tidak hanya dalam Kerusuhan Mei, dalam kerusuhan-kerusuhan lainnya yang sering kali
merebak di alam reformasi pun negara terkesan tak dapat menjadi payung yang aman. Lewat dari tragedi
Mei 1998, selama delapan tahun perjalanan reformasi hingga kini, aksi kekerasan massa dan konflik sosial
antarkelompok masyarakat di berbagai daerah masih saja terjadi. Pertikaian antarsuku, etnis, agama,
antarkampung, bahkan terakhir ini antarpendukung calon bupati dalam pemilihan kepala daerah di Tuban,
seakan menambah panjang daftar kerusuhan yang terjadi selama era reformasi.
AM
Tiga dari empat responden (75,4 persen) mengatakan, dibandingkan dengan keadaan sebelum reformasi,
saat ini aksi kekerasan dan kebrutalan massa, seperti tindak perusakan, main hakim sendiri, dan main
bakar, sudah semakin memprihatinkan.
LS
Hampir setiap tahun selalu ada konflik yang merusak ketenteraman hidup dan meresahkan warga
masyarakat. Kerusakan dan luka yang ditimbulkannya kadang sangat dalam dan sulit dipulihkan. Sebut
saja luka-luka akibat kerusuhan antarpemeluk agama di Maluku yang pecah pada tahun 1999 yang
berbekas dalam. Tak lama setelah terjadi konflik di Maluku sudah muncul konflik antaretnis di Kalimantan
Tengah.
gE
Kebhinnekaan masyarakat yang selalu diagung-agungkan sebagai harta kekayaan bangsa, di masa
reformasi ini tak urung menjadi tabungan semua potensi amuk massa dan bibit kerusuhan yang diam-diam
merupakan sumber rasa cemas publik. Konflik dan kerusuhan antaretnis, antaragama, antarkelas sosial,
serta antarpendukung partai politik dan antarpendukung calon kepala daerah, masih menjadi kekhawatiran
bagi lebih dari separuh hingga tigaperempat responden. Dan, dari semua potensi tersebut, yang paling
dikhawatirkan oleh responden jajak pendapat kali ini adalah timbulnya kerusuhan antaragama (42,5
persen), dan kerusuhan antaretnis (27,3 persen).
kli
pin
Bahaya primordialisme bangkit kembali dan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas.
Bibit-bibit rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan tak bisa
dihindari telah tumbuh bahkan di daerah-daerah yang tadinya damai dan tenteram. Mungkin demokratisasi
tidak harus dibayar dengan kerusuhan dan korban jika saja aparat keamanan negara berhasil menjalankan
fungsinya dengan optimal.
Namun, yang terjadi saat ini tidak demikian. Potensi konflik dan amuk massa makin diperparah oleh
kurang optimalnya kinerja aparat keamanan. Mekanisme spontan jalanan main hakim sendiri seperti sudah
membudaya. Sementara aparat keamanan dan penegak hukum sudah kehilangan wibawa di mata
masyarakat. Dalam berbagai kasus, aparat malah suka berbalik menyalahgunakan kekuasaan,
menggunakan kekerasan terhadap masyarakat. Belum yang korupsi dan menerima suap.
Pada hakikatnya negara mempunyai legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi menegakkan hukum
dan ketertiban, terutama untuk melindungi keselamatan setiap warga negara. Namun, selama perjalanan
prareformasi, penggunaan kekerasan oleh aparat negara sering sekali dilakukan dalam bungkus demi
pembangunan. Pemaksaan-pemaksaan yang melindas hak warga negara selalu mengemuka dengan
kemasan demi kepentingan umum yang lebih luas. Aparat negara jadi momok antagonis, yang kalau bisa
dihindari. Hilangnya wibawa aparat ini di masa reformasi mendorong masyarakat mencari keadilan
menurut model mereka sendiri.
Sebetulnya, upaya pemerintah dan aparat keamanan saat ini untuk mengusut berbagai kerusuhan dan
menindak pelakunya cukup mendapat apresiasi positif dari 53,4 persen responden. Sayangnya, aparat
keamanan belum sepenuhnya berdaya menciptakan rasa aman bagi warga negara. Terbukti, aparat sering
kali tidak dapat mencegah terjadinya kerusuhan dan tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi
berbagai kerusuhan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh lebih dari 50 persen responden.
LS
AM
Aparat mungkin terlalu lemah, atau potensi konflik mungkin juga terlalu besar untuk dapat diatasi oleh
aparat. Yang jelas, berbagai kerusuhan yang timbul dalam perjalanan reformasi selama delapan tahun ini
menegaskan, belum optimalnya peran negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Dari
seluruh responden, baru 48,6 persen yang menyatakan, pemerintah dan aparat negara mampu melindungi
warga negara dari tindak kekerasan dan kerusuhan. Sementara separuh responden yang lain (47,8 persen)
menyatakan hal yang sebaliknya. Terutama untuk upaya pengusutan kasus Kerusuhan Mei, ketidakpuasan
responden jauh lebih besar. Mayoritas (82,8 persen) responden saat ini bahkan merasa tidak puas dengan
upaya pemerintah mengusut kasus itu.
gE
Tidak hanya latar belakang kejadian yang masih menjadi teka teki bagi publik, keberadaan dan data para
korban pun tampaknya ditutup-tutupi. Maka, tak kurang dari tiga perempat (75,7 persen) responden
menghendaki kasus Kerusuhan Mei ini diusut kembali.
Upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pun juga masih dipandang publik penuh
keraguan. Baru separuh (46,3 persen) responden yang merasa yakin lembaga KKR ini nantinya akan
mampu menjalankan tugasnya mengungkapkan kebenaran seputar peristiwa-peristiwa konflik sosial dan
politik serta mendorong rekonsiliasi perdamaian antarkelompok yang berkonflik tersebut. Sementara
separuh yang lain (48,5 persen) merasa pesimistis KKR akan mampu melakukan tugas-tugasnya.
kli
pin
Kasus Soeharto
Tidak banyak berbeda dengan penyikapan terhadap kasus kerusuhan Mei 1998, kemampuan pemerintahan
reformasi untuk menuntaskan kasus Soeharto diragukan. Upaya penghentian perkara hukum mantan
Presiden Soeharto menjadi bukti dari pesimisme masyarakat selama ini akan kemampuan penegak hukum
menuntaskan perkara yang menjadi tuntutan paling keras dari gerakan reformasi 1998.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, menghentikan proses peradilan terhadap Soeharto
pada tanggal 10 Mei 2006. Namun, upaya penghentian peradilan di saat ingatan masyarakat demikian kuat
mengenang kembali Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei, cukup mengejutkan, yang langsung disikapi
penolakan oleh sebagian besar responden (Litbang Kompas)
SP, Mnggu 14 Mei 2006
Momentum Hari Antikekerasan
AM
Reformasi! Reformasi! Reformasi! Teriakan itu sepertinya masih jelas di telinga ketika ratusan ribu
mahasiswa Indonesia gelisah kejatuhan perekonomian negeri ini pada pertengahan 1997. Hanya Satu
Kata Lawan! Demikian jargon mahasiswa dan yang hendak mereka lawan adalah otoriterisme rezim
Orde Baru di bawah pimpinan presiden berkuasa penuh 32
tahun, HM Soeharto.
LS
ada Maret 1998, MPR saat itu -walaupun ditentang oleh
mahasiswa dan sebagian masyarakat- menetapkan Soeharto
sebagai presiden. Tentu saja itu membuat mahasiswa
terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis, dengan
menolak terpilihnya kem-bali Soeharto sebagai presiden. Cuma
ada satu cara agar suara mereka didengarkan, yakni dengan
berunjuk rasa.
gE
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 dan diadakan oleh mahasiswa
Yogyakarta. Menjelang, serta saat diselenggarakan SU MPR 1998, demonstrasi mahasiswa semakin
menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta. Sampai akhirnya berlanjut hingga Mei 1998.
Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta.
Mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB
sehingga bentrok dengan aparat.
kli
pin
Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta merencanakan untuk
secara serentak turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke
jalan hanya di Rawamangun dan Bogor.
Keadaan Jakarta memanas. Hampir setiap hari mahasiswa berunjuk rasa. Sikap aparat pun tampaknya
semakin keras terhadap mahasiswa. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti berunjuk rasa
menolak pemilihan kem-bali Soeharto sebagai presiden.
Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang
oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan
terhadap mahasiswa Trisakti.
Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan meng- akibatkan empat mahasiswa Trisakti
meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena
terluka.
Kampus Trisakti Grogol pun dibanjiri ribuan pelayat dan aktivis dari sejumlah organ gerakan. Bendera
setengah tiang pun dikibarkan di hampir setiap rumah dan gedung. Para profesional dan mahasiswa
mengenakan pita hitam di lengan kiri sebagai tanda duka cita.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan
di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan
aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta rusuh dan mencekam. Betapa amuk massa itu sangat
menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam, 12 hingga 13 Mei.
AM
Setelah kerusuhan, yang dianggap terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke-20, yang
tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. "Ironisnya, negara hanya menganggap peristiwa itu
sebagai insiden biasa dan korban yang gugur hanya dianggap sebuah dampak dari suatu per- juangan.
LS
Para senior kami yang menjadi korban seperti Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie dan
Hery Hartanto adalah orang muda yang telah mengorbankan jiwa dan raga dalam perjuangan menegakkan
reformasi di Indonesia. Kami sangat gelisah karena hingga delapan tahun tewasnya pejuang reformasi,
kasusnya tidak pernah terungkap," ujar Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Alam Gaos kepada
Pembaruan di Jakarta belum lama ini.
gE
Hal senada diungkap Wakil Presiden Mahasiswa Usakti, Heru Priambodo yang menegaskan untuk
menghormati para pahlawan reformasi dan semua yang berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia mahasiswa Usakti menuntut DPR mencabut rekomendasi yang menyatakan 12
Mei bukan pelanggaran HAM berat. Dan pemerintah harus segera membentuk pengadilan HAM ad hoc
dan menjadi 12 Mei sebagai hari antikekerasan dan pergerakan nasional. [E-5]
kli
pin
Last modified: 11/5/06
Jakarta Post, February 22, 2006
U.S., RI turning the corner
James Van Zorge, Jakarta
For the most part, the history of relations between Washington and Jakarta has been a positive and
intriguing story. From 1965, when Soeharto came to power, Indonesia was viewed as a reliable partner in
the vein of Cold War politics.
With Cold warriors running foreign policy, the U.S. was willing to forgive Soeharto for his excesses;
containing the spread of communism necessarily trumped moralist politics. Because of U.S. geopolitical
interests in Southeast Asia -- especially during the Vietnam War and the pervasive fear amongst the policy
elite of a domino effect should Ho Chi Minh prevail -- Soeharto's Indonesia was treated as a strategic asset.
AM
When the U.S. military departed Saigon in 1975, President Gerald Ford and his Secretary of State, Henry
Kissinger had a lot to worry about the future of Asia. It would be a safe bet that the specter of communists
establishing a foothold in Indonesia must have frightened them.
LS
Initially, Soeharto was adamantly opposed to the idea of an invasion. His stance changed, however, upon
hearing that the Timorese leader Jose Ramos Horta was contemplating an alliance with China after
independence.
gE
The rest is history. Ford and Kissinger visited Jakarta to discuss the fine details of an invasion and how the
U.S. was to cover its tracks. Soeharto and Ford may have thought of East Timor as Indonesia's Cuba, yet
what happened in the following decades is that it became Indonesia's Little Vietnam, with Jakarta taking
all the blame and the U.S. denying everything.
kli
pin
Lying and cover-ups served both parties' interests. The end of the Cold War meant, however, that it would
be difficult for U.S. presidents to turn a blind eye towards Indonesia and get away with it. Washington
stopped military aid to Indonesia by canceling the International Military Education Training (IMET)
program in October 1992; in 1994, it banned sales of small and light arms; in 1999, military joint exercises
and commercial arms sales were banned. Finally, in 2001, Senator Leahy sponsored an amendment to the
Foreign Operations Appropriations Act, which suspended all military assistance to Indonesia.
Just as the Cold War and its ending can explain U.S. policy towards Indonesia, so can George Bush Jr.'s
"war on terror". After 9/11, there was a rising chorus of U.S. neoconservative policymakers who made the
argument that Indonesia was a key ally in the war against terror. Now, it was only a matter of time before
they would find a way to have national security interests trump human rights.
In late 2005 the Bush Administration finally decided to face off against Senator Leahy. Using an executive
waiver as allowed in the 2006 Foreign Operations Appropriations Act, the White House managed to lift
restrictions on U.S. military financing and the export of lethal equipment for Indonesia.
Leahy was surely incensed with Bush and his acolytes; but before he could prepare for a counter-offensive,
more nasty surprises were in store for the senator.
Strike two against Leahy came in December 2005, when the U.S. National Security Archive released
previously classified documents on East Timor. In those documents, there was clear evidence of U.S.
support for the Indonesian invasion of East which, effectively, made nonsense of Leahy's moralist stance
and insistence to punish Jakarta.
One might surmise that with Indonesia being touted as a reliable partner in the war on terror and Leahy
effectively sidelined -- at least temporarily -- U.S.-Indonesia relations have turned a corner for the better.
There is, however, one small problem remaining which, if not handled correctly, could swing the
pendulum back. The issue under scrutiny is the deaths of two Americans in August 2002 during an ambush
on an international school bus in the province of Papua.
According to the Indonesian government and armed forces, the attacks were carried out by separatists
belonging to the Free Papua Movement, or OPM. There are others who believe that, in fact, the ambush
was carried out by the special forces of the Indonesian military who, ostensibly, were making a bold
statement against U.S. mining company Freeport McMoRan for being delinquent on payments to the TNI
for providing it with security services.
AM
Suspicions were raised about the credibility of the allegations made against OPM when an autopsy on the
Papuan who supposedly played a role in the attack showed that he was not alive when the ambush took
place. There were also leaks from inside U.S. intelligence to the international media, suggesting that the
Indonesian military was involved.
LS
Now, even after FBI investigations have been completed and suspects arrested by Indonesian authorities,
suspicions of a cover-up are rife. Our suspicions were also raised after credible and well-placed sources
inside Papua told us that the arrested suspects are, in fact, not really suspects at all, but rather, wellinformed witnesses who could implicate parties other than OPM in the shootings.
gE
Apparently, there are also officials inside the U.S. Government who are also apprehensive about taking the
arrests at face value. This includes Senator Leahy, who recently told the press that "...there are so many
unanswered questions in this case, including who these people are and what role they may have had in
these crimes."
kli
pin
Regardless, we do not feel qualified to lodge any accusations or pass judgment. We would say that, if the
Bush Administration wants to maintain closer ties to Jakarta for the sake of national security, it should
ensure that duplicitous means are not being used to achieve those ends. Responsible decision-makers in
Jakarta and Washington would be well-advised to remember the lessons of the East Timor saga, one of
which is that the truth almost always emerges.
The writer is a senior partner of Van Zorge, Heffernan & Associates, a government relations consulting
firm based in Jakarta. He can be reached at [email protected].
Suara Pembaruan, Senin 06 Maret 2006
Memperingati 40 Tahun Supersemar
Salahudin Wahid
MPAT puluh tahun sudah berlalu sejak Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dikeluarkan. Layak kalau
kita memperingati Supersemar itu dan mencoba menarik pelajaran darinya sebagai dasar untuk menata
kembali kehidupan kita sebagai bangsa.
Kita perlu membedakan Supersemar dalam dua hal yaitu substansinya dan proses keluarnya. Dalam
menilai substansinya tentu kita harus memperhatikan situasi dan kondisi serta tatanan sosial politik saat
itu. Tidak tepat menilai peristiwa 40 tahun lalu dengan situasi, kondisi dan tatanan sosial politik saat ini.
AM
Peralihan Kekuasaan
Sejak 1 Oktober 1965 sudah mulai terasa bahwa kepemimpinan Bung Karno (BK) mulai goyah dan tidak
kokoh lagi. Awalnya, saat BK memanggil Mayjen Pranoto ke Lanud Halim Perdanakusuma, tetapi
dilarang oleh Pak Harto. Berani benar Pak Harto membangkang pada BK. Tetapi dalam situasi darurat dan
kritis seperti saat itu, tindakan Pak Harto itu dapat dipahami.
LS
Kepemimpinan BK kian goyah saat para mahasiswa mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) dan melancarkan demonstrasi mengajukan Tritura. Karena BK tidak positif menanggapi Tritura
itu, maka proses peralihan kepemimpinan tampaknya tidak dapat dihindari dan dicegah. Yang tidak sabar,
mendesak Pak Harto untuk segera mengambilalih kepemimpinan, tetapi ditolak.
kli
pin
gE
Sidang kabinet (10-3-1966) baru dimulai, saat BK menerima info bahwa ada pasukan tak dikenal
mengepung istana. BK lalu tergopoh-gopoh meninggalkan ruang sidang dan menggunakan heli menuju
Bogor. Peristiwa itu membuat kondisi psikologis BK melemah dan bersedia mengeluarkan Suprsemar
yang intinya memberi perintah kepada Pak Harto untuk mengatasi keadaan. Pak Harto membubarkan PKI
dengan menggunakan Surat Perintah itu karena melihat bahwa masalah itulah yang paling mendesak bagi
sebagian besar rakyat. Kabarnya BK tidak puas atas pembubaran PKI itu tetapi Pak Harto tidak
memperdu- likan.
Melihat dan menilai transisi kepemimpinan saat itu, kita bisa berbeda persepsi. Pendukung BK
menganggap Pak Harto melakukan kudeta merayap dengan indikasi keterlibatan dalam G30S (kesaksian
Kol Latief). Pendukung Pak Harto menganggap bahwa BK sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena
menolak Tritura dan menganggap Pak Harto terlalu lamban.
Kita tentu sadar bahwa dalam negara manapun tidak boleh ada dua kepemimpinan. Sebagian besar
masyarakat politik saat itu cenderung kearah Pak Harto. Setelah Supersemar terbit maka de facto Pak
Harto-lah yang memimpin Indonesia. Selanjutnya Supersemar dikukuhkan dengan TAP MPRS dan Pak
Harto diangkat oleh MPRS menjadi Pejabat Presiden (1967). Tetapi pendukung BK berpendapat bahwa
MPRS itu tidak murni lagi karena banyak anggotanya yang diganti dengan orang-orang Pak Harto.
Saat itu tidak terbayangkan bahwa Pak Harto akan meniru langkah BK menjadi presiden yang tidak
demokratis. Tidak banyak yang tahu bahwa BK diperlakukan dengan tidak manusiawi, bahkan terkesan
"dibunuh" secara perlahan-lahan dengan tidak memberinya obat yang diperlukan.
Kalau itu benar terjadi, tidak jelas siapa yang memerintahkan. Saat itu bagi sebagian besar rakyat, BK
ialah bad-guy dan Pak Harto ialah good-guy. Tetapi tentu saja masih banyak yang mendukung BK.
Sebagai perbandingan, bahkan sekarangpun setelah begitu banyak "dosa" Pak Harto dibuka, masih banyak
yang mengatakan "Lebih enak zaman Pak Harto".
Kebangkitan Neo-PKI ?
BK tidak bersedia membubarkan PKI walaupun secara implisit terkesan mengakui keterlibatan PKI dalam
G30S/ Dewan Revolusi Indonesia. Menurut BK, G30S/Dewan Revolusi Indonesia ialah tindakan kekanakkanakan dari para tokoh PKI. Penyebabnya, BK adalah penganjur utama Nasakom dan tetap setia pada
gagasan itu. Kita menghormati pendirian BK yang punya komitmen kuat terhadap gagasan yang
diperjuangkannya, tetapi BK tidak bisa mengabaikan keinginan rakyat. Maka, dukungan terhadap
kepemimpinan BK me- rosot.
AM
Begitu banyak rakyat turun ke jalan untuk menunjukkan luapan kegembiraan menyambut keputusan Pak
Harto membubarkan PKI pada 12-3-1966. Sampai kini saya tetap berpendapat bahwa tindakan
pembubaran PKI berdasar Supersemar itu adalah tindakan yang tepat. Kita juga melihat bahwa sampai kini
masih banyak yang mempertahankan keberadaan TAP MPRS No XXV/ 1966 yang melarang berdirinya
PKI di Indonesia.
Persetujuan terhadap pembubaran PKI tidak membuat kita menyetujui tindakan kekerasan terhadap warga
PKI. Kita tentu pilu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang menimpa ratusan ribu aktivis
PKI/onderbouwnya dan keluarga mereka. Karena itu pendekatan kemanusiaan melalui upaya rekonsiliasi
dengan mereka perlu didukung, secara kelembagaan maupun kultural.
LS
Kita melihat adanya kekhawatiran didalam diri sejumlah warga masyarakat terhadap kebangkitan "neoPKI". Padahal banyak juga generasi muda yang menyindir bahwa kekhawatiran terhadap "neo-PKI" itu
seperti melihat hantu di siang bolong. Dua pendapat yang bertentangan itu, mana yang dapat kita pegang?
Tidak mudah untuk menjawabnya.
gE
Kekhawatiran terhadap munculnya "neo-PKI" itu beralasan karena diyakini PKI telah dua kali terlibat
pemberontakan. Mereka tetap ingat akan berbagai intimidasi dan aksi kekerasan menjelang Peristiwa
Madiun dan Peristiwa G30S. Mereka khawatir konflik fisik seperti dulu akan terjadi lagi yang tentu akan
membuat kita mengalami "set-back" dalam kehidupan berbangsa.
kli
pin
Apakah kekhawatiran itu wajar atau berlebihan? Tergantung pada indikator apa yang dipakai untuk
menentukan tingkat kekhawatiran itu. Apakah mantan tapol/eks PKI plus onderbouwnya serta keluarganya
memang betul-betul menyusun kekuatan seperti sekian puluh tahun yang lalu?
Tidak ada jawaban pasti. Sebaliknya, apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan menggalang kekuatan
untuk kemudian mengulangi peristiwa tahun 1948 dan 1965? Juga tidak ada jawaban pasti.
Perlu ada dialog antara kedua kelompok untuk menyampaikan apa yang diharapkan dari dan apa yang
ditakutkan oleh masing- masing pihak dengan tujuan untuk bisa menghilangkan saling curiga dan
menumbuhkan saling percaya.
Saling Memaafkan
Perlu disadari bersama bahwa dimasa lalu kita sebagai komponen bangsa telah melakukan kesalahan besar
dan tidak boleh mengulanginya lagi.
Sangat ideal bila kedua pihak bisa saling meminta dan memberi maaf atas kesalahan di masa lalu dan
berikrar untuk tidak mengulangi lagi "perang" seperti dimasa lalu.
Setelah itu diharapkan kita semua bisa bekerja sama untuk membangun kembali bangsa dan negara kita
yang kini sedang terpuruk. Semoga harapan-harapan saya itu terealistis. *
kli
pin
gE
LS
AM
Penulis adalah Ketua Badan Pembina Barasetra (Barisan Rakyat Sejahtera)
Last modified: 6/3/06
Kompas, Sabtu 11 Maret 2006
M Jusuf, Supersemar, dan Naiknya Soeharto
Julius Pour
Hari itu, 40 tahun lalu, Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya dilanda prahara. Dampak pembunuhan
sejumlah jenderal TNI AD pada awal Oktober tahun sebelumnya masih berlanjut, memicu karut-marut di
semua sendi kehidupan.
Dalam hiruk pikuk itu muncul surat perintah tertanggal Jakarta 11 Maret 1966. Surat yang kemudian
populer sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) ditandatangani Soekarno, Presiden yang waktu
itu merangkap Panglima Tertinggi sekaligus Pemimpin Besar Revolusi.
AM
Surat tersebut kemudian tampil misterius karena keberadaannya sampai sekarang tak pernah bisa terlacak.
Sementara itu, isinya tidak hanya menjadi penunjang kelahiran rezim Orde Baru, tetapi juga sebuah
lonceng penumpasan terhadap kaum komunis dan siapa saja yang diduga sebagai komunis.
LS
Sejumlah tokoh terkait dalam kelahiran Supersemar. Selain Bung Karno, juga tercatat tiga jenderal (Basuki
Rahmat, Amir Machmud, dan M Jusuf) selaku pembawa surat sebelum mereka menyampaikannya kepada
Soeharto. Dalam posisi sebagai Panglima Angkatan Darat, lewat Supersemar Bung Karno memberi
Soeharto tugas, ... mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kestabilan pemerintahan dan revolusi.
gE
Empat puluh tahun berlalu, kini tinggal Soeharto seorang. Berturut-turut, Basuki Rahmat, Soekarno, Amir
Machmud, dan terakhir Jusuf meninggal dunia tanpa memberi petunjuk jelas mengenai latar belakang
Supersemar. Mengapa surat tersebut menyebutkan Jakarta, sementara dirancang, ditulis, serta
ditandatangani di Bogor? Salah tulis atau kesengajaan?
Pertanyaan ini bagaikan membuka kotak pandora sebab langsung disusul rentetan pertanyaan. Apakah
tidak mungkin dibikin di Jakarta dan Bogor hanya dipinjam karena Bung Karno sedang lari ke sana?
Mungkinkah Bung Karno terpaksa atau dipaksa menandatangani surat yang sudah disiapkan?
kli
pin
Sampai Jenderal Jusuf meninggal 7 September 2004, khalayak dikesankan bahwa almarhum menyimpan
kunci misteri sekitar Supersemar. ... di kelak kemudian hari, dengan seizin Pak Harto, mudah-mudahan
dapat saya himpunkan keseluruhan ataupun segala peristiwa dan dialog-dialog sejak sebelum 11 Maret
sampai sekarang, dalam satu buku, begitu janji Jusuf pada 12 Maret 1973.
Karena itu, terbitnya biografi Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo, yang
diluncurkan Jumat (10/3) sore, sangat ditunggu dan bahkan memberi harapan terkuaknya misteri
termaksud. Apalagi Atmadji mengaku, selama bertahun-tahun dia telah menjadi bagian dari inner circle
Jusuf.
Dua versi Supersemar
Kericuhan sekitar Supersemar awalnya menyangkut persoalan, seberapa banyak sebenarnya jumlah
tindasan dilakukan?
Atmadji melukiskan, Jusuf punya dua versi yang secara substansial berbeda jauh. Pada awalnya almarhum
menyatakan naskah Supersemar hanya satu kopi, diketik oleh Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur.
Namun, kepada Jusuf Kalla (sekarang wakil presiden), Jusuf konon pernah menyebutkan, Sabur
membikinnya rangkap tiga. Lembar pertama ditandatangani Bung Karno (kemudian dikirim kepada
Soeharto), tindasan kedua diambil Sabur, tindasan terakhir disimpan Jusuf. ... tetapi 23 tahun setelah
peristiwa itu, Jusuf berusaha tidak mengungkap lagi sehingga konfirmasi atas versi yang pernah dia
ceritakan tak bisa dilakukan, tulis Atmadji, yang agaknya juga tidak pernah berani meminta kejelasan
kepada Jusuf.
Naskah asli dan juga dua tindasan hasil ketikan Sabur sampai hari ini lenyap. Pada sisi lain, meski dalam
persoalan di atas sikap Jusuf tidak konsisten, yang tetap dia pegang teguh adalah penegasan, naskah
Supersemar terdiri dari dua lembar.
AM
Satu lembar atau dua lembar bagi Soeharto, yang pada 11 Maret 1966 malam berada di Jakarta, agaknya
bukan masalah. Berdasarkan surat perintah yang dia terima tersebut, malam itu juga Soeharto
mengeluarkan surat keputusan, di Jakarta, tertanggal 12 Maret 1966. Keputusan Presiden/Pangti ABRI/
KOTI Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia. Disusul 18
Maret, keputusan menahan 15 menteri dan mengangkat sejumlah menteri ad interim pengisi pos-pos
kosong.
Pembubaran PKI adalah soal prinsip, khususnya pascaperistiwa G30S, bahkan telah menjadi isu tarik-ulur
antara Bung Karno dan lawan politiknya.
LS
Keputusan pembubaran PKI telah disebarluaskan lewat semua pemancar RRI dan dicetak di koran.
Namun, aneh sekali, bagaimana mungkin Bung Karno justru tidak sadar bahwa surat perintahnya telah
dipakai untuk membubarkan PKI? Sesuatu yang justru dia tolak secara mati-matian selama lima bulan
terakhir?
gE
Tanggal 12 Maret pagi Bung Karno terbang kembali ke Jakarta dan membuka rapat pimpinan ABRI di
Istana Negara, di hadiri lengkap oleh semua unsur pimpinan, kecuali Soeharto. Sangat berbeda dengan
suasana sehari sebelumnya ketika dia terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana
Bogor. Pada 12 Maret itu Bung Karno malah membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia
berikan kepada Soeharto. Apakah saat itu tidak ada yang melapor kepada Bung Karno? Dan apakah Bung
Karno tidak sadar bahwa Soeharto, yang semalam dia beri perintah, pagi itu justru tidak muncul?
kli
pin
Sayang sekali, Atmadji langsung mengunci babakan sangat menarik dan paling kritis sekitar persoalan
Supersemar tersebut dengan kalimat, Reaksi terkejut Presiden baru muncul setelah menerima laporan
bahwa Men/Pangad telah membubarkan PKI dengan dasar surat perintah yang ia berikan. Presiden lalu
mengeluarkan surat perintah susulan yang kemudian disampaikan khusus kepada Letjen Soeharto oleh
Waperdam II Leimena pada 13 Maret 1966. Akan tetapi, Soeharto tidak memberikan reaksi. Sementara itu,
ketiga jenderal yang datang ke Bogor sama sekali tidak pernah bertemu dengan Presiden Sukarno sesudah
itu....
Jusuf, Soeharto, Nasution
Kecuali mengenai Supersemar, banyak informasi sekitar sosok berikut sepak terjang Jusuf bisa ditemukan
dalam karya Atmadji.
Ternyata, naiknya Nasution menjadi Ketua MPRS pada bulan Juni 1966 berkat aksi menggalang dukungan
yang dilakukan Jusuf. Dilanjutkan agenda utama, meningkatkan status Supersemar menjadi Ketetapan
MPRS. Langkah tersebut berhasil dan menutup Bung Karno untuk mencabut surat perintahnya. Sebab,
sebagai Tap MPRS, pencabutan memerlukan persetujuan MPRS yang secara teknis sulit dilakukan
sesudah para loyalis Bung Karno di semua lini di-ordebaru-kan.
Penyerahan pemerintahan kepada Soeharto baru terlaksana pada 22 Februari 1967. Dituntaskan lewat
sidang istimewa awal Maret tahun yang sama, MPRS mencabut mandat Bung Karno dan mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Berakhirnya kekuasaan Bung Karno masih belum menyurutkan
kewibawaannya. Hal ini mendorong Soeharto pada Mei 1967 mengeluarkan keputusan presiden, melarang
Bung Karno memakai gelar kepresidenan dan beragam sebutan lain, termasuk perintah pengusirannya dari
Istana Merdeka dengan batas akhir sebelum 17 Agustus 1967.
Selama hari-hari panjang tersebut Soeharto-Nasution sebiduk sependirian. Namun kemudian mulai retak
dan bahkan tumbuh menjadi pertikaian personal. Menurut Jusuf, Ketua MPRS beranggapan, Pejabat
Presiden harus memberikan pertanggungan jawab kepada pimpinan MPRS. Pertikaian berlanjut sampai
Sidang Umum MPRS Maret 1968. Soeharto dilantik menjadi presiden pada 27 Maret malam (keesokan
harinya dia harus terbang ke Jepang), sementara sidang MPRS baru bisa ditutup pada tanggal 30 Maret.
kli
pin
gE
LS
AM
Sebelum upacara pelantikan berlangsung, sejumlah kericuhan muncul. Jusuf harus bolak-balik menemui
Soeharto dan Nasution untuk menyerasikan tetek bengek masalah, sejak yang prinsip sampai soal
protokoler. Akhirnya, upacara pelantikan bisa dilakukan. Nasution memakai baju lengan pendek, Jenderal
Soeharto berpakaian sipil lengkap plus peci.... Maka, secara resmi, Soeharto menjadi presiden,
menggantikan Bung Karno yang sudah dilengserkan.
Kompas, Sabtu 18 March 2006
Dongeng Berhias Catatan Kaki
John Roosa
Kedua buku ini tampak seperti karya nonfiksi. Keduanya bermaksud menyingkap kebenaran mengenai
sebuah peristiwa dan mendasarkan klaim mereka akan kebenaran pada pengamatan saksama dan ketat
terhadap bukti-bukti. Padahal, bukti-bukti tersebut tidak dapat diandalkan kebenarannya.
AM
Kedua buku ini memiliki banyak catatan kaki, lampiran, dan salinan dari sumber-sumber primer yang
digunakan. Fic, misalnya, menyertakan 20 dokumen lengkap dalam bukunya, sementara Dake
menyertakan delapan lampiran, yang salah satunya adalah dokumen asli sepanjang 100 halaman. Kedua
buku ini sangat tebal: masing-masing sekitar 500 halaman. Para penulisnya membuat buku-buku ini saat
sudah berusia lanjut, dengan pengalaman berdekade lamanya. Fic lahir 1922 (dan meninggal dunia tahun
lalu) dan Dake lahir 1928. Karena itu, jika dilihat sepintas, kedua buku ini tampak seperti karya sejarah
yang serius, disusun oleh penulis senior yang merumuskan klaim mereka akan kebenaran berdasarkan
penggunaan sumber primer dengan teliti.
gE
LS
Akan tetapi penampilan, dalam kasus ini, sungguh menyesatkan. Di balik tampilan ilmiah ini terdapat
rangkaian argumen yang disusun tanpa penghargaan terhadap prosedur ilmiah sama sekali. Kedua
pengarang melanggar prinsip-prinsip paling dasar dari penelitian sejarah; mereka menggunakan bukti
palsu lalu membuat spekulasi yang luar biasa bahwa bukti-bukti itu memang nyata ada. Walau mereka
membuat kesimpulan yang sedikit berbeda satu sama lain, mereka mengikuti metode tidak kritis yang
sama dalam menangani sumber-sumber dan menyusun cerita. Kemiripan keduanya memang mengesankan,
dan karena itulah keduanya pantas ditinjau bersama-sama. Fic dan Dake sama-sama menulis dongeng
sesuai asumsi dogmatik mereka sendiri lalu membuatnya terlihat seperti hasil penelitian ilmiah.
kli
pin
Sejarah sebuah peristiwa, seperti G30S, dapat ditulis dengan berbagai cara yang sama absahnya. Setiap
sejarawan memiliki gaya, titik tekan dan tafsir berbeda-beda. Dan wajar saja jika sejarawan berdebat
tentang cara menuturkan sebuah peristiwa. Kita tentu saja harus menyambut baik perbedaan pendapat tapi
kita tidak boleh hilang kemampuan untuk menilai apa yang benar dan apa yang salah. Jika seseorang
menciptakan ”fakta” tanpa dukungan bukti, misalnya, kita tidak dapat mengatakan, ”yah, itulah versi dia
mengenai sejarah.” Jika seseorang tanpa bukti mengatakan bahwa Presiden Soekarno pernah menjadi
astronot, bergabung dengan misi ruang angkasa NASA, dan berjalan-jalan di bulan, kita harus tegas
mengatakan bahwa orang itu salah. Sama halnya jika seorang sejarawan menulis buku berdasarkan buktibukti palsu, seperti buku harian palsu ”milik” Hitler yang diterbitkan 1983, atau kesaksian terdakwa dalam
pengadilan buatan di masa Stalin, kita tak perlu menganggap versi sejarahnya itu absah. Fic dan Dake
menulis buku yang tidak bisa diterima sebagai sumbangan terhadap perdebatan mengenai Gerakan 30
September. Satu-satunya hal yang dapat dipelajari dari kedua buku ini adalah cara menulis sejarah yang
tidak benar.
Masalah sumber
Masalah dasar untuk menulis tentang Gerakan 30 September adalah bahwa begitu banyak sumber
primernya tidak dapat diandalkan. Dalam beberapa hari setelah kejadian, Soeharto dan para perwira
Angkatan Darat sekutunya menguasai media massa. Surat kabar-surat kabar yang mereka anggap akan
menentang mereka pun ditutup, seperti Warta Bhakti, salah satu surat kabar terpenting yang sangat proSoekarno. Mereka juga memberlakukan sensor ketat terhadap surat kabar yang tetap terbit. Pasukan
Soeharto juga menguasai RRI. Sejak hari-hari pertama Oktober 1965, Angkatan Darat menggunakan
kontrol terhadap media ini untuk membuat cerita-cerita yang sekarang kita ketahui tidak benar adanya.
Para ahli perang psikologis Angkatan Darat melancarkan propaganda guna mendapat dukungan publik
untuk menghancurkan PKI. Sebagai contoh, Angkatan Darat menyiarkan cerita bahwa tujuh korban
Gerakan 30 September di Lubang Buaya tubuhnya dimutilasi. Menurut surat kabar, keenam jenderal dan
seorang letnan disayat tubuhnya oleh ratusan silet, kelaminnya dipotong, dan matanya dicungkil. Sekarang
kita tahu bahwa cerita yang meragukan ini ternyata memang tidak benar karena laporan forensik dokter
yang memeriksa jenazah para jenderal itu tidak menemukan tanda-tanda adanya mutilasi; mereka hanya
menemukan luka tembak dan beberapa tusukan bayonet.
Untuk menyalahkan PKI sebagai dalang Gerakan 30 September, para ahli propaganda Angkatan Darat
memalsu sejumlah dokumen pada akhir 1965. Contohnya adalah ”pengakuan” DN Aidit, ketua PKI; dan
Njono, anggota Politbiro PKI; sepenuhnya adalah palsu. Tak seorang pun sarjana yang serius
menggunakan bahan-bahan ini sebagai sumber primer. Bahkan, Fic dan Dake, yang standar penggunaan
sumbernya begitu rendah, tidak menggunakan pengakuan Aidit dan Njono ini.
AM
Soeharto dan perwira-perwira sekutunya memang bermaksud menghancurkan PKI, bukan mengungkap
kebenaran mengenai Gerakan 30 September. Seandainya mereka ingin menegakkan kebenaran, maka
mereka tentu tidak akan diam-diam menghabisi empat dari lima pemimpin tertinggi partai yang mereka
tuding sebagai dalang gerakan tersebut. Aidit, Lukman, Njoto, dan Sakirman hilang setelah diciduk oleh
militer akhir 1965.
gE
LS
Penjelasan setengah resmi dari rezim Soeharto mengenai peristiwa ini, yakni buku The Coup Attempt of
the September 30th Movement (1968), karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, sebagian didasarkan
pada laporan interogasi terhadap para pemimpin gerakan (seperti Untung, Latief, dan Supardjo). Tentu saja
dokumen seperti ini tidak dapat diandalkan, terutama karena para interogator Indonesia saat itu tidak
dilarang menggunakan kekerasan fisik atau mengancam untuk menggunakannya dalam mengorek
keterangan. Laporan interogasi itu sama tidak bergunanya seperti catatan Inkuisisi Katolik di Abad
Pertengahan. Saat para terdakwa dihadapkan ke pengadilan, mereka umumnya menolak keabsahan laporan
interogasi terhadap mereka dan memberikan versi yang berbeda di ruang sidang.
kli
pin
Buku Notosusanto dan Saleh juga menggunakan kesaksian para terdakwa dan saksi di Mahmilub sebagai
bukti. Siapa pun yang pernah membaca rekaman Mahmilub ini tahu bahwa kesaksian-kesaksian itu tidak
ada gunanya karena sangat tidak konsisten dan penuh dengan pernyataan tanpa dasar. Lihat saja
pengadilan Untung. Di pengadilan, Untung mengatakan bahwa ia adalah pemimpin gerakan tersebut. Tapi
pengacaranya mengklaim bahwa Brigjen Supardjo-lah pemimpinnya dan bahwa Untung hanya mengikuti
perintah seorang perwira yang lebih tinggi. Saksi pertama, Gathut Soekrisno, mengaku bahwa ia menerima
perintah dari Mayor Suyono untuk membunuh keenam jenderal, dan tidak menyebut soal Untung. Mayor
Suyono, yang tampil sebagai saksi pada hari yang sama dan juga hari berikutnya, memberi kesaksian yang
berputar-putar dan membingungkan, tapi pada dasarnya mengarah pada pernyataan bahwa Untung dan
Latief adalah pemimpin gerakan. Rezim Soeharto, tentu saja, mengklaim bahwa PKI-lah pemimpinnya.
Lalu, siapa yang harus kita percaya?
Para pemimpin PKI yang tersisa tidak meninggalkan keterangan yang rinci dan dapat diandalkan mengenai
gerakan itu. Satu-satunya orang inti dari Politbiro PKI, Sudisman, ditangkap Desember 1966, setelah 14
bulan hidup ”di bawah tanah” di Jakarta, dan diadili di hadapan Mahmilub pada 1967. Dalam
pengadilannya ia menyangkal bahwa PKI adalah dalang Gerakan 30 September. Mungkin saja ia memang
jujur. Tapi pernyataan itu tidak dapat diandalkan karena kita tahu bahwa ia jelas bermaksud melindungi
reputasi partai. Di bawah serangan dan tuduhan melancarkan kudeta, semua pemimpin dan anggota PKI,
bahkan sejumlah kecil di antaranya yang memang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (seperti
Njono), cuci tangan. Garis standar partai adalah bahwa aksi itu dilancarkan sejumlah perwira Angkatan
Darat yang tidak puas dengan mengundang beberapa pemimpin PKI, sebagai individu, untuk mendukung
mereka.
Pernyataan Angkatan Darat mengenai gerakan itu, laporan interogasi, kesaksian di Mahmilub, dan
pernyataan PKI mengenai gerakan itu, semua sumber ini tidak dapat dipercaya. Semuanya dibuat saat
sedang berlangsungnya perburuan massal. Gerakan itu tetap menjadi misteri bagi banyak sejarawan selama
41 tahun terakhir, justru karena sumber-sumber primernya sangat tidak bisa diandalkan. Sejarawan yang
menulis tentang peristiwa ini memang harus hati-hati menangani sumber yang ada. Ia harus mulai dengan
moto dari serial TV The X-Files: ”jangan percaya pada siapa pun”.
Fic yang penuh trik
LS
AM
Mari kita mulai dengan bukunya Fic. Ia mengatakan bahwa inspirasi awal bagi Gerakan 30 September
berasal dari pemimpin China, Mao Tse-tung. Fic mengklaim bahwa saat Aidit bertemu Mao di Beijing
pada 5 Agustus 1965, Mao menyuruhnya merebut kekuasaan negara di Indonesia dengan menyingkirkan
para jenderal reaksioner lalu membuat Soekarno menjadi presiden boneka. Fic menyertakan kutipan dari
sebuah transkrip dialog itu. Para pembaca bagian ini, ”Mao Mendesak Aidit Memukul Lebih Dulu” (hal
76-82), harus bertanya: bagaimana Fic tahu apa yang dibicarakan oleh Mao dan Aidit? Keterangannya
mengenai pertemuan itu didasarkan pada satu dokumen saja: artikel surat kabar di The Straits Times yang
terbit di Singapura pada 1966. Artikel ini sendiri berasal dari sebuah artikel tanpa penulis yang terbit di
surat kabar Angkatan Bersenjata. Lalu dari mana Angkatan Darat memperoleh transkripsi pembicaraan
antara Aidit dan Mao? Dan bagaimana Fic tahu bahwa artikel di Angkatan Bersenjata itu memang benar
dan bukan hanya propaganda belaka? Tampaknya Fic tidak tahu apakah artikel itu memang dapat
diandalkan. Ia menerima sumber itu semata-mata karena ia percaya akan ketepatan laporan TNI AD pada
1966 (catatan kaki 36, hal 308). Jadi, cerita Fic mengenai Mao yang memberi instruksi pada Aidit sama
sekali tidak meyakinkan.
gE
Fic lebih lanjut mengklaim bahwa Aidit kembali ke Jakarta lalu berbicara dengan Soekarno di Istana
Bogor pada 8 Agustus, lalu mendapat persetujuan Soekarno untuk menjalankan rencana Mao. Soekarno
setuju bahwa PKI harus mengambil alih kekuasaan negara dan bahwa ia akan secara sukarela pergi ke
China, di mana ia akan mendapat pensiun yang nyaman dan sebuah vila besar. Bagaimana Fic tahu apa
yang dikatakan Aidit kepada Soekarno? Ternyata ia sama sekali tidak punya bukti, bahkan dokumen palsu
sekalipun tidak. Ia mengarang sendiri cerita itu. Ia membela cerita yang spekulatif mengenai pertemuan
Aidit dan Soekarno dengan mengatakan bahwa cerita itu dapat menjelaskan tiga fakta dengan dasar kuat.
kli
pin
Akan tetapi, ketiga ”fakta” yang ia sebutkan bukanlah fakta. Pertama, ia mengatakan bahwa Soekarno pada
8 Agustus memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung dari pasukan Cakrabirawa untuk mengambil
tindakan terhadap para jenderal pembangkang. Dasar dari klaim ini adalah berita acara pemeriksaan (BAP)
yang sangat tidak dapat diandalkan dari Kolonel Bambang Widjanarko, yang akan saya bahas lebih lanjut
di bawah. Kedua, menurut Fic, Menteri Luar Negeri China Chen Yi mengatakan kepada Soebandrio pada
1965, saat keduanya berada dalam mobil, bahwa China telah menyiapkan tempat tinggal bagi Soekarno.
”Fakta” ini diperoleh dari pernyataan yang ditulis setelah 1989 oleh seseorang yang mengaku berada
dalam mobil bersama kedua menteri luar negeri itu. Orang ini, Marsma Tranggono, adalah oditur
Mahmilub dalam kasus Omar Dhani. Ia membuat pernyataan tertulis itu kepada Bakorstanas. Lalu kenapa
kita harus memercayai orang ini? Bahkan, jika kita percaya Tranggono dalam urusan ini, keterangan
mengenai rumah untuk Soekarno di China ini bisa membuktikan apa?
Mungkin saja Chen Yi berbicara tentang tempat di mana Soekarno bisa beristirahat dan mendapat
perawatan medis untuk sementara waktu. Fic di sini terlalu dalam membaca pernyataan yang singkat dan
meragukan ini. Ketiga, Aidit kemudian disebut berbicara dalam pertemuan Politbiro PKI akhir Agustus
1965, bahwa Soekarno setuju mengganti sejumlah menteri kanan dalam kabinetnya dengan orang yang
lebih progresif. Sumber Fic di sini adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh sekelompok anggota
PKI di pengasingan pada 1967. Lalu kenapa kita harus memercayai mereka? Apakah mereka hadir dalam
pertemuan tersebut? Tapi lagi-lagi, seandainya saja kita menganggap bahwa orang PKI di pengasingan ini
memang benar, klaim itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa Soekarno dan Aidit bekerja sama
melancarkan Gerakan 30 September.
Argumen utama Fic adalah bahwa Mao, Aidit, dan Soekarno membuat kesepakatan pada Agustus 1965.
Argumen ini didasarkan pada dua dokumen Angkatan Darat yang tidak dapat dipercaya (artikel dalam
Angkatan Bersenjata dan kesaksian Widjanarko), spekulasi tanpa dasar dari cerita tangan kedua dan
ketiga, serta khayalan liar Pak Fic sendiri. Argumen yang begitu tidak meyakinkan semestinya didukung
bukti-bukti lebih kuat jika ingin dipercaya. Coba bayangkan: Soekarno, dengan ego begitu besar dan
kecintaan mendalam terhadap nasionalisme Indonesia, mau menyerahkan kekuasaan dan diam-diam
pindah ke China! Sungguh tidak masuk akal.
AM
Sisa buku Fic terus mengikuti cara-cara serampangan yang sama. Fic begitu saja memilih dan memungut
keterangan dari laporan interogasi dan kesaksian Mahmilub yang mendukung argumennya. Ia mengunyah
kembali versi yang sama seperti buku Notosusanto dan Saleh. Satu-satunya dokumen baru yang
dipunyainya adalah analisis post-mortem dari Supardjo mengenai gerakan itu. Tapi ia menggunakan
dokumen ini tanpa menilai klaim-klaim Supardjo secara kritis dan tanpa memikirkan kesulitan membaca
dokumen itu.
gE
Tipuan Dake
LS
Para pembaca perlu tahu bahwa buku Fic ini sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah
penerbit kecil dan non-akademik di India. Ini adalah jilid ketiga dari satu set bukunya mengenai sejarah
Indonesia, yang semuanya diterbitkan oleh penerbit yang sama. Jilid pertama adalah buku mengenai
sejarah tantra di Asia. Pikiran Fic (dan juga standar penerbit di India) yang aneh terlihat dari caranya
merangkai buku mengenai praktik paranormal di zaman kuno dengan buku tentang kejadian politik di
zaman modern, dalam satu set. Boleh jadi Fic percaya bahwa ia punya kekuatan supranatural untuk
melihat ke masa lalu dan karena itu tidak perlu mengikuti prosedur yang lazim digunakan untuk
membuktikan sebuah argumen.
kli
pin
Seperti Fic, Dake tidak pernah menyelidiki sumber-sumber primer yang digunakannya lebih jauh. Ia
sebaliknya penuh keyakinan melangkah maju, seolah-olah semua sumbernya itu transparan, konsisten, dan
dapat dipercaya. Ia memulai rangkaian ceritanya di bab pertama, lalu secara kronologis menceritakan
rangkaian kejadian antara 1 Januari 1965 sampai 12 Maret 1967, tanpa beristirahat apalagi merenung
sejenak mengenai sumber-sumber yang digunakannya. Ia secara serampangan memungut keterangan dari
laporan interogasi dan transkripsi Mahmilub untuk mendukung alur cerita yang sudah ditetapkannya lebih
dulu.
Dake mengklaim bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Apa buktinya? Sumber keterangan utamanya
adalah BAP dari Bambang Widjanarko, mantan ajudan Soekarno, yang dibuat oleh Kopkamtib. Tanpa
dokumen ini, seluruh tuduhannya terhadap Soekarno akan runtuh karena bukti-bukti yang lain tidak
langsung menunjukkan keterlibatan Soekarno. Ia terus-menerus mengutip BAP itu dan memperlakukannya
seperti bukti tak terbantahkan, seolah setiap baris pernyataan di dalam BAP itu memang benar adanya. Ia
menyebutnya ”laporan inteligen yang paling dapat diandalkan”, (hal 53), dan menggambarkan Widjanarko
sebagai ”saksi yang paling konsisten… paling dapat dipercaya”, (hal 53). Dalam BAP itu Widjanarko
mengatakan bahwa pada 4 Agustus 1965 Soekarno memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung sebagai
komandan Cakrabirawa untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal pembangkang.
Kenapa kita harus percaya bahwa BAP itu memang secara tepat mencerminkan pikiran Widjanarko dan
bukan pikiran para interogatornya? Tapi sekalipun BAP itu memang mencerminkan pikirannya, dari mana
kita tahu bahwa ia memang menyaksikan pertemuan pada 4 Agustus itu? Dake tidak memberi keterangan
apa pun bahwa BAP itu dapat diandalkan. Ia hanya menyatakan demikian dan merujuk pada ”pendapat
seorang ahli mengenai keaslian laporan Widjanarko”, (hal 64). Sang ”ahli” ini ternyata adalah Rahadi
Karni, yang menerjemahkan BAP itu ke dalam bahasa Inggris pada 1974 dan menerbitkannya untuk Dake
dalam bentuk buku dengan judul The Devious Dalang. Karni adalah seorang pustakawan yang andal di
KITLV, tetapi bukan ”ahli” tentang politik Indonesia, dan tidak dapat membuktikan bahwa BAP dari
Widjanarko itu memang dapat diandalkan. Dan sekarang pun Dake tidak dapat melakukannya.
AM
Sebaliknya Dake sudah berulang kali diberi tahu bahwa BAP itu tidak dapat diandalkan. Setiap sarjana
yang menulis tinjauan terhadap The Devious Dalang mengatakan bahwa BAP itu tidak dapat digunakan
sebagai sumber informasi yang valid. Ben Anderson menunjukkan bahwa teks itu mungkin dikarang oleh
para interogator untuk keperluan intrik di tubuh militer pada 1970 (American Political Science Review,
1977). Harold Crouch menunjukkan dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia (1979), bahwa
BAP itu tidak didukung oleh sumber lain dan tidak sama dengan kesaksian publik yang dibuat Widjanarko
sebelumnya (hal 121). Bahkan penulis kanan, Justus van der Kroef, yang pikirannya sejalan dengan versi
Dake, mengkritik Dake karena bersandar pada sumber yang begitu ”mencurigakan” (Pacific Affairs,
1975). Ernst Utrecht memberi judul tinjauannya ”Usaha Mengkorupsi Sejarah Indonesia” (Journal of
Contemporary Asia, 1975). Kini, 30 tahun kemudian, Dake kembali memungut BAP dari Widjanarko yang
sudah lama didiskreditkan dan bahkan tidak berusaha menyangkal kritik-kritik yang ada.
LS
Dake tidak pernah merujuk pada keterangan Widjanarko yang diterbitkan mengenai hari-harinya sebagai
pengawal presiden (Sewindu Dekat Bung Karno, 1988). Dalam buku ini Widjanarko tidak mengatakan
bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Dake tidak pernah menyebut kenyataan bahwa para perwira
Kopkamtib antara 1969 dan 1970 sibuk membuat tuduhan terhadap Soekarno. Para perwira yang setia
kepada Soekarno, seperti Jenderal Mursid dan Kolonel Maulwi Saelan, ditahan dan diinterogasi pada saat
yang sama. Saelan mengaku dihukum lebih dari empat tahun penjara karena ia tidak mau memenuhi
keinginan para interogator untuk menjebloskan Soekarno (Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, hal 190).
gE
Untuk menyembunyikan kelemahan sumber-sumbernya, Dake menggunakan metode mengutip yang
rumit. Ia memaksa pembacanya berputar-putar dalam naskahnya. Misalnya, pada halaman 61 ia
mengatakan bahwa Mayjen Pranoto adalah penghubung kunci antara Soekarno dan Aidit. Catatan kaki
untuk mendukung klaim ini merujuk pada keterangan di halaman 67, di mana klaim itu kembali diulang.
Catatan kaki di halaman tersebut merujuk halaman 63, di mana lagi-lagi kita temukan klaim yang sama.
Baru pada halaman inilah ia memberi tahu pembaca bahwa sumber keterangannya adalah pernyataan Sjam
di sidang Mahmilub pada 1972. Setelah tiga catatan kaki baru pembaca bisa melihat bahwa Dake
sebenarnya menggunakan sumber yang sama sekali tidak dapat diandalkan.
kli
pin
Tanpa bukti yang meyakinkan, klaim Dake bahwa Soekarno-lah yang memerintahkan G30S sama
absurdnya seperti klaim dari Fic. Dan kedua klaim ini sama sekali tidak patut dianggap serius. Para
penerbit kedua buku ini seharusnya menyadari kerusakan yang mereka timbulkan terhadap studi sejarah
Indonesia dengan menerbitkan analisis yang begitu tidak bertanggung jawab dan penuh kebohongan
mengenai peristiwa 1965. Jika para penerbit memang peduli pada reputasi mereka sendiri, mereka
seharusnya meninjau setiap naskah yang masuk secara teliti sebelum diterbitkan.
John Roosa
Assistant Professor Bidang Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Bukunya Berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État
(University of Wisconsin Press) akan Terbit September 2006
Suara Merdeka, Sabtu, 20 Mei 2006 : 20.59 WIB
Pertemuan Bahas Korban '65 Dilabrak Ormas Karya Kepemudaan
Bandung, CyberNews. Sedikitnya 150 orang dari organisasi massa karya kepemudaan melabrak sebuah
pertemuan yang membahas nasib korban-korban Peristiwa 1965, Sabtu (20/5) di Bandung. Pertemuan pun
akhirnya bubar setelah massa menghentikan kegiatan tersebut.
Pertemuan itu sendiri bertajuk "Pasamoan Perempuan-perempuan Tangguh: Menggugah Memori
Menggapai Rekonsiliasi Memperkuat NKRI" yang diselenggarakan Institut for Culture Religion Studies
(INCReS). Isi ruangan sendiri, tertama letak meja dan kursi terlihat agak berantakan. Police line tampak
dipasang di pintu masuk.
AM
Acara itu sedianya diisi presentasi hasil penelitian atas nasib korban-korban Peristiwa 1965 terutama eks
tapol PKI. Selain itu, juga bakal dihadirkan pembicara dari Komnas Perempuan, anggota DPR RI dari
PDIP, Ribka Tjiptaning, dan anggota DPRD Jabar, Syaiful Huda.
Namun baru saja, Syaiful Huda yang memberikan pandangannya, massa yang berpakaian yang cenderung
loreng-loreng langsung masuk ke dalam ruang gedung yang tak begitu luas itu.
LS
Menurut Koordinator Program INCReS, Lelly Suhenti, mereka menyerbu masuk sambil membawa
pengeras suara sambil membawa isu mereka yang terlibat dalam pertemuan sebagai PKI.
gE
Yang membuat Lelly agak terpukul, hal itu dilakukan kepada para peserta yang kebanyakan sudah berusia
sepuh. Peserta sendiri yang berasal dari kota-kota Jabar dan Jakarta itu, jelasnya, ada yang pernah terlibat
maupun yang tidak menahu peristiwa itu.
"Mereka masuk dengan cara tidak sopan. Kami tak mau mereka jadi korban lagi makanya mereka kami
langsung pulangkan begitu kejadian ini," tandas Lelly.
kli
pin
Atas peristiwa itu, dua orang pimpinan INCReS yakni Hasyim Adnan dan Khusnul Hidayati dimintai
keterangan oleh aparat Polresta Bandung Tengah. Peristiwa ini dianggap tidak berizin. "Karena itu,
kepolisian membubarkannya," kata Kapolresta Bandung Tengah, AKBP Mashudi.
Keterangan ini secara tidak langsung membantah bahwa pembubaran itu dilakukan oleh Ormas KP. Meski
demikian, polisi juga memintai keterangan dari pihak OKP tersebut.
Asril Agus, perwakilan dari Ormas KP tersebut menyatakan bahwa tindakan itu dilakukan karena kegiatan
itu berpotensi menumbuhkan bahaya laten komunis. Polisi sendiri masih menyelidiki kebenarannya.
( setiady dwie/cn09 )
Republika, Jumat, 02 Juni 2006
Bangkitnya Komunis Berjubah Islam
Oleh :
Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Kini penganut paham komunis di Indonesia, semakin berani tampil vulgar. Namun, tentu saja, mereka
tidak punya nyali tampil telanjang sambil mengusung ideologi komunis, karena mereka tahu, akan segera
dilibas oleh kekuatan Islam. Mereka menggunakan siasat lain, yaitu melakukan pola mimikri (menyamar)
dengan mengenakan jubah Islam.
AM
Kader-kader neo-PKI banyak yang masuk ke perguruan tinggi Islam semacam IAIN atau UIN. Dari dalam,
mereka mengacak-acak Islam, melakukan pembusukan ideologi dengan dalih liberalisasi dan pembaharuan
pemikiran Islam. Padahal, sesungguhnya mereka membawa misi de-Islamisasi (pendangkalan aqidah) dan
pemurtadan. Yang terjebak ke dalam barisan ini, tidak saja mereka yang berstatus mahasiswa, tetapi juga
dosen bahkan pimpinan PT tersebut.
Oleh karena itu, wajar saja bila dari perguruan tinggi Islam seperti itu lahir seruan untuk "bertakbir"
dengan lafaz anjinghu akbar dan berbagai kesesatan lainnya seperti pernyataan 'kawasan bebas tuhan' dan
'tuhan telah mati'. Bahkan, ada dosen yang karena berpendirian bahwa Alquran (secara fisik) adalah
makhluk, maka tidak apa-apa bila diinjak-injak. Lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas,
kemudian diinjak-injak adalah bukan apa-apa.
gE
LS
Jika pelecehan demikian dilakukan terhadap kalam Allah, apakah dosen itu juga berani menginjak-injak
bendera merah putih, yang juga makhluk ciptaan makhluk, namun diposisikan sebagai lambang negara?
Pasti si dosen akan dicokok aparat berwenang. Apakah dosen itu juga berani menuliskan nama presiden RI
di atas secarik kertas, kemudian menginjak-injaknya di depan umum? Pasti ia tidak berani, karena selain
dipecat ia juga akan dibekuk aparat dengan tuduhan subversi atau teroris.
kli
pin
Neo-PKI tidak saja masuk ke dalam Perguruan Tinggi Islam, bahkan sudah sejak lama mereka menyusup
ke dalam ormas Islam, dengan tampil sebagai generasi muda Islam yang melawan kejumudan (kebekuan)
berpikir, mengusung liberalisme, dan inklusifisme. Mereka tidak akan berani tampil dengan wajah aslinya,
sehingga umat Islam sering terkecoh, dan tidak secara langsung melibasnya. Bisa karena alasan aqidah,
sesama Muslim dilarang saling memusuhi. Atau, alasan politis, tidaklah etis bertengkar sesama ormas
Islam. Selain berpenampilan sebagai pemikir, mereka juga masuk ke laskar-laskar ormas Islam.
Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian dari ormas Islam seperti itu, mencuat seruan dan tuntutan
untuk membubarkan lembaga Islam lainnya. Ini, mengingatkan kita pada gaya PKI di zaman Soekarno
dulu. Ketika itu, PKI sangat gencar mendesak Bung Karno untuk membubarkan Masyumi dan HMI yang
dianggapnya tidak sejalan dengan jiwa revolusioner Bung Karno.
Aliansi dan konspirasi
Selain melakukan mimikri dengan mengenakan jubah Islam, mereka juga membangun aliansi dan
konspirasi dengan tokoh atau elemen yang mengaku Islam, seperti Islam liberal, Islam moderat, maupun
Islam warna-warni. Tema kebencian terhadap Islam dan umat Islam, disebarkan melalui cara penertrasi
gerakan, termasuk melakukan hasutan dan adu domba di antara umat Islam.
Terhadap gerakan yang secara ideologis memiliki identitas Islam mereka beri label fundamentalis, Islam
garis keras, dan yang paling baru preman berjubah. Sekalipun mereka berusaha menutupi identitas aslinya,
dengan bersembunyi di balik jubah Islam, namun ciri-cirinya mudah dikenali, karena mereka tampil
dengan gaya dan format lama, persis gaya PKI di masa orde lama.
Istilah preman berjubah pertamakali dipopulerkan Ahmad Syafii Maarif, dalam salah satu stasiun TV
dalam rangka memperingati sewindu reformasi. Hadir dalam dialog tersebut antara lain Akbar Tanjung,
Wiranto, Buyung Nasution. Ketika itu Syafii mengatakan --kalimat ini tidak terlalu persis: "Pada 2030
nanti Pancasila sebagai karya brilian Bung Karno harus sukses diamalkan, karena sekarang penentang
Pancasila sudah tidak ada lagi setelah para preman berjubah kehilangan energi".
Bila istilah ini dilabelkan pada gerakan Islam yang bertujuan mengamalkan syariat Islam, tegas
memberantas kemungkaran, jelas bukan ucapan manusia beradab. Sebab, para tokoh pejuang mengusir
penjajah Belanda seperti Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Pangeran Hasanuddin, tampil
mengenakan sorban dan jubah. Begitu pula Imam Bonjol, Syeikh Ahmad Syurkati, Teuku Umar, KH
Syeikh Hasyim Asyari, mereka semua berpakaian jubah. Jangan lupa, Panglima Besar Soedirman selama
masa gerilya mengenakan overcoat yang oleh pengikutnya disebut jubah. Nah, bagaimana Ahmad Syafi
Maarif menilai dan memposisikan orang besar seperti itu?
AM
Contoh kasus
Sikap biadab yang sama, ternyata diwarisi juga oleh seseorang yang mengklaim diri kelompok Aliansi
Anti Kekerasan, Taufiq, dan artis Rieke Dyah Pitaloka. Dalam dialog di Metro TV dengan Fauzan Al
Anshari, Taufiq secara kasar menyebut Majelis Mujahidin, Hizbuttahrir, dan Front Pembela Islam, sebagai
kelompok preman berjubah. Hal ini dikemukakan terkait dengan dengan kasus Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) di Purwakarta, akhir Mei 2006 lalu.
LS
Kasus Purwakarta, yang oleh Aliansi Anti Kekerasan dikatakan akibat pengusiran Gus Dur --tapi Gus Dur
sendiri membantah diusir-- seharusnya dilihat secara proporsional. Bila Gus Dur bebas mengemukakan
pendapat, bahwa Alquran merupakan Kitab Suci paling porno, maka aktivis Majelis Mujahidin, HTI, dan
FPI yang mendebat Gus Dur dalam suatu forum debat publik, juga harus diterima sebagai bagian dari
kebebasan berekspresi. Terlepas, apakah cara yang dilakukan aktivis Mujahidin, HTI, dan FPI tadi tidak
menyenangkan sejumlah orang, itu lain perkara.
gE
Pelecehan terhadap Alquran yang bersumber dari pernyataan Gus Dur disitus JIL, dan dipublikasikan
melalui koran Duta Masyarakat, Jawa Timur, 6 April 2006, dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu
yuridis dan syariat Islam. Secara yuridis, pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa menempuh jalur hukum
yang berlaku. Sedangkan menurut syariat Islam, kepada Gus Dur diminta untuk bertobat, bila menolak,
maka dia berhak dikenakan hukuman pidana Islam.
kli
pin
Dalam peristiwa di Purwakarta, beserta rentetan demonstrasi berikutnya, termasuk demonstrasi menentang
RUU APP, justru harus diwaspadai, adanya ancaman gerakan komunis. Dahulu, PKI selalu melontarkan
penghinaan dan pernyataan yang bernada memusushi Islam dan umat Islam. Misalnya, 'shalat itu celaka'
kata mereka dengan memenggal ayat Alquran. Mereka menganggap pornografi sebagai seni, bahkan
mendudukkan Alquran (kitab suci yang paling dimuliakan umat Islam) sebagai kitab suci paling porno.
Ada lagi, agama dipandang tidak pantas mengatur negara, tapi negara yang mengatur agama. Orang yang
menuduh umat Islam sebagai pereman berjubah adalah jelas-jelas manusia berperangai komunis.
Pola kerja PKI di zaman orde lama, memiliki ciri tertentu, antara lain menganggap orang-orang di luar
kemunitasnya sebagai picik, berkepala batu, bahkan sesat. Mereka senang membuat kekacauan yang tidak
jelas sasarannya, seperti menggulingkan gerbong kereta api, membakar gedung pemerintah, menyebar isu
SARA, atau menculik lawan politiknya. Tujuannya, untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan
horizontal.
Selain itu, bila di antara anggotanya tertangkap atau dipenjara, mereka jarang memberi pembelaan secara
terus terang, bahkan membiarkannya menanggung risiko sendirian. Mereka tidak memiliki solidaritas
perjuangan. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa waspada, dan membersihkan elemen-elemen neoPKI yang sudah sejak lama ngendon di negeri ini.
KOMUNIS
Alfian: Bangga Menjadi Antikomunis
Senin, 12 Juni 2006
JAKARTA (Suara Karya): Dosen Universitas HAMKA Jakarta Alfian Tanjung menegaskan dirinya
bangga menjadi orang antikomunis. Itu dia kemukakan menanggapi anggota DPR Ribka Tjiptaning
Proletariyati yang lantang menyatakan bahwa dirinya bangga menjadi anak aktivis Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Penegasan Alfian Tanjung itu dikemukakan saat mendampingi Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal
Agustadi Sasongko Purnomo pada jumpa pers, seusai acara serah terima jabatan Kepala Staf Kodam Jaya
dari Brigjen Pruyanto kepada Brigjen Darpito P, di Aula Sudiman, Makodam Jaya, Jakarta, Sabtu siang.
AM
Alfian Tanjung yang mengaku sebagai kader gerakan Islam, yang secara ideologis tidak akan pernah
bertemu dengan komunis, kembali menguraikan upayanya untuk mengumpulkan data-data mengenai
kegiatan kader-kader komunis di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur.
LS
Ketika ditanya mengenai data-data yang dia peroleh, menurut Alfian, yang paling nyata dan menjadi ikon
adalah Ribka Tjitaning Proletariyati yang telah meluncurkan bukunya pada awal Oktober 2002 dengan
judul "Aku Bangga Jadi Anak PKI" dan pada pertengahan tahun lalu dia meluncurkan buku kedua dengan
judul "Anak PKI Menjadi Anggota Parlemen".
gE
Menurut Alfian, gerakan kader komunis Indonesia pada saat ini sudah mencapai "stadium empat". "Saya
melihat bahwa hal ini merupakan kelicikan dan kelicinan cara bermain kader-kader komunis - PKI - sejak
dulu. Mereka menunggu sampai orang tidak berdaya dan kemudian baru memukul mati lawan-lawannya,"
ujarnya, tegas.
Alfian menyadari bahwa apa yang dia kemukakan itu akan mendapat reaksi negatif. "Saya katakan,
siapapun yang ingin kembali membangkitkan paham komunis di Indonesia, anda boleh menganggap sudah
cukup di atas angin. Tetapi, Anda akan berhadapan dengan orang-orang yang siap mati untuk menghadapi
kebangkitan anda," kata Alfian.
kli
pin
Ditegaskan pula bahwa kebangkitan komunis (di Indonesia) sedang menunggu hari. Ini sangat kentara
dengan munculnya buku-buku, demonstrasi yang menggunakan lambang-lambang Palu Arit dan kaos-kaos
Palu Arit yang banyak dipakai mahasiswa di beberapa kampus. "Saya pikir bukan persoalan simbul, tetapi
persoalan akar kemengapaan orang-orang itu muncul," katanya.
Alfian juga bersedia menyebutkan nama-nama kader komunis yang sekarang duduk di DPR, antara lain
HM Rusli yang dulu menjadi Ketua PRD kini menjadi petinggi di PAN. Kemudian Yusuf Lakaseng, yang
dahulu petinggi PKI muda yang sekarang berada di PBR. Dalam masalah ini, Alfian menyatakan, siap
untuk menyebutkan orang-orang itu satu persatu, asalkan mereka berkata jujur dalam permasalahan ini.
"Apabila Ribka Tjiptoning yang mewakili PDIP secara terang-terangan menyatakan, bangga menjadi anak
PKI. Maka saya menyatakan, bangga menjadi antikomunis atau anti-PKI," kata Alfian. Dia mengatakan,
kalau memang harus ada pertarungan lagi, maka hal itu akan dilanjutkan. "Masalahnya persoalan itu bukan
urusan hari ini, karena negara kita sedang menghadapi berbagai persoalan yang cukup banyak, multi krisis
yang harus ditangani. Intinya ingin saya katakan, hari ini adalah lahan subur kebangkitan PKI," katanya
lagi.
Alfian mengingatkan, pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 bukan persoalan sepele. Itu merupakan
kerangkeng keras yang dibangun dengan tiga implikasi. Karena bila TAP di cabut, berarti PKI tidak salah.
Kalau PKI tidak salah, maka yang salah adalah TNI dan umat Islam.
"Jika TAP itu dicabut maka mereka (PKI - Red) punya hak untuk rehabilitasi dan konpensasi. Artinya,
pemerintah harus keluarkan uang Rp 2,5 miliar kali 20 juta klaim anggota mereka. Dengan demikian PKI
juga boleh ikut pemilu 2009. Ini bukan bercanda," kata Alfian.
kli
pin
gE
LS
AM
Dia mengingatkan, apabila tahun 1948 (tragedi Madiun) sudah berdarah-darah, tahun 1965 (G30S)
kembali berdarah-darah, apakah itu harus terulang lagi. "Ancaman kebangkitan kembali PKI cukup
serius," ujar Alfian. (M Senoatmodjo)
Detik, 20 Mei 2006
200 Orang Bubarkan Diskusi Soal PKI di Bandung
Ahmad Yunus - detikcom
Bandung - Sekitar 200 orang yang berasal dari berbagai ormas membubarkan paksa sebuah acara diskusi
presentasi hasil penelitian korban kekerasan perempuan pada tahun 1965 terutama eks tapol dan napol
PKI. Usai penggerebekan, dua orang panitia dimintai keterangan polisi.
Acara yang berlangsung di sebuah wisma di Jalan Berantas II, Cihapit, Bandung, Jawa Barat ini diikuti
oleh sekitar 80 orang. Sebagian besar mereka berusia lanjut, karena mereka adalah para korban kekerasan
yang terjadi pada tahun 1965.
AM
Acara baru berlangsung sekitar 2 jam, pada pukul 11.45 WIB, Sabtu (20/5/2006) sekitar 200 orang dari
ormas Patriot Pancamarga, Persatuan Aksi Gangguan Regional (Pagar), Forum Komunikasi Pemuda Pemudi Veteran, Gibas, datang dan langsung membubarkan paksa.
Massa tiba di lokasi langsung berteriak-teriak "Basmi...Bantai..". Melihat situasi yang tidak kondusif,
panitia membubarkan acara tersebut.
LS
"Kita berbicara pelurusan sejarah 65. Kita tidak melawan mereka denga kekerasan . Kita mengalah saja,"
kata Koordinator Institut for Culture and Religion Studies (Incres) Lolly Suhengky saat ditemui wartawan
di Wisma Berantas II, Bandung.
gE
Lebih lanjut, Lolly menjelaskan penelitian yang mereka diskusikan merupakan penelitian tahun 2001 di
sejumlah tempat di Jawa Barat. Sedangkan peserta diskusi sebagian besar berusia di atas 70 tahun, berasal
dari Subang, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Bandung, Garut, dan Jakarta.
Dua orang panitia, yakni Ketua Pelaksana diskusi Hasyim Adnan dan Chusnul Hidayat dari Syarekat
Yogyakarta dibawa ke kantor Polres Bandung untuk dimintai keterangnnya. Menuruty Lolly, acara diskusi
ini sudah diberitahukan ke kepolisian. Tetapi pihak kepolisian tidak memberi izin terus.
kli
pin
Spanduk acara dan buku tamu diambil aparat kepolisian Bandung Tengah. Selain itu, aparat juga
memasang police line dengan ukuran 10X7 meter di lokasi kejadian.
Diskusi dijadwalkan siang ini mendengarkan dua pembicara, yakni dari Komnas HAM dan Dr Ribka
Tjiptaning Proletariyati, penulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" yang kini menjadi Ketua Komisi IX
DPR. Acara tersebut bertema "Pasamuan perempuan-perempuan tangguh, menggugah memori, menggapai
rekonsiliasi, memperkuat NKRI".
(jon/)
Republika, Kamis, 15 Juni 2006
Komunisme Sungguh Tengah Bangkit
Muncul dalam bentuk 'KGB' dan aksi antinilai agama.
JAKARTA -- Ideologi komunisme dinilai masih sangat berbahaya dan harus tetap diwaspadai. Budayawan
Taufik Ismail, mengingatkan, paham yang telah mencetak lembaran hitam pada sejarah bangsa ini, kini
tampil dalam bentuk komunisme gaya baru (KGB) dan masyarakat harus mengenali tanda-tandanya.
AM
Indikasi bangkitnya komunisme sudah sangat terasa. Salah satunya hadir lewat kekuatan opini, berupa
buku-buku tentang pengalaman komunisme di masa lalu. Terlebih setelah era reformasi bergulir, ideologi
komunisme sangat leluasa untuk bergerak dan berkembang. ''Dengan taktik kunonya, mereka melakukan
penyusupan (infiltrasi) ke semua tingkat masyarakat,'' ujar penyair kondang itu kepada Republika, Rabu
(14/6).
Menurut dia, kader-kader komunis yang sudah menyusup itu secara ideologi sangat tangguh. Mereka juga
sangat pandai untuk menutup identitas aslinya. Taufik memaparkan, dengan berbagai cara para kader KGB
menyusup untuk menunggu sebuah komando. ''Tujuannya adalah merebut kekuasaan,'' tegasnya.
LS
Bangkitnya bangkit komunisme di Indonesia karena memanfaatkan situasi. Kata Taufik, ada empat situasi
yang bisa membuat ideologi komunisme bisa tumbuh subur di dunia. Pertama, tidak adanya supremasi
hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan berkepanjangan di seluruh sektor.
gE
Kedua, korupsi merajalela. Ketiga, situasi mudah sekali kacau (chaos). Keempat, jarak kesenjangan antara
orang kaya dan miskin semakin melebar. ''Keempat hal ini sekarang terjadi di Indonesia. Para kader
komunisme tertawa terbahak-bahak melihat hal ini,'' ungkapnya.
kli
pin
Semua situasi tersebut, papar Taufik, akan dieksploitasi oleh kader komunis untuk merebut kekuasaan.
Halangan utama yang membuat mereka tak bisa tampil adalah Tap MPR No XXV/1966. Saat ini mereka
dengan segala cara, menginginkan itu dicabut. Taufik sangat yakin, KGB selalu terlibat dan menyusup di
setiap gerakan anarkis yang akhir-akhir ini terjadi yang tak jauh beda dengan digjayanya gerakan PKI
sekitar pertengahan 1965. ''Sulit memang untuk membuktikan, tapi berdasarkan pengalaman, KGB pasti
terlibat,'' cetusnya.
Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), KH Hussein Umar, juga melihat, saat ini kembali muncul
pola gerakan komunis seperti yang pernah terjadi di era 1948 dan 1965. Kader militannya menyusup
dengan sebuah doktrin yang kuat, yakni 'bertempur di front musuh'. Dengan begitu, mereka mampu
menyatu dengan arus bawah. ''Pola gerakan itu berupa provokasi, adu-domba dan pertentangan yang
memecah belah masyarakat,'' tuturnya.
DDII mengingatkan, Muktamar Alim Ulama pada 1957 di Palembang, Sumatera Selatan, menfatwakan
bahwa komunisme hukumnya haram. Maka umat islam diimbau tak terjebak dan terpancing dengan pola
gerakan mereka. Juga sangat mungkin, menurut Husein, terjadinya penyusupan kader komunis ke parpol,
ormas maupun DPR. ''Tapi saya tak tahu soal jumlahnya.''
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Kholil Ridwan, menilai komunis, identik dengan virus yang
tak bisa mati dalam segala cuaca. ''Di Jawa Timur sempat akan terjadi pertemuan aktivis PKI,'' ungkapnya.
Ia percaya adanya penyusupan kader komunis di berbagai ormas, parpol, hingga DPR. ''Soal jumlah, bisa
100, juga bisa lebih.''
Kholil mengingatkan pemerintah, jangan sampai kecolongan seperti pada masa Orde Lama. Apalagi saat
ini, ideologi komunisme berkembang di balik gencarnya tuntutan demokrasi dan HAM dambil membawa
semangat antiajaran agama.
kli
pin
gE
LS
AM
(n hri )
Kompas, Sabtu, 16 September 2006
Kontroversi
Kejagung Periksa Pejabat Depdiknas
Jakarta, Kompas - Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional Diah Hariyanti, Jumat
(15/9), menolak memberikan penjelasan tentang pemeriksaan dirinya oleh satu tim intelijen Kejaksaan
Agung terkait dengan penulisan buku sejarah sekolah dasar hingga sekolah menengah atas/madrasah
aliyah tentang peristiwa politik tahun 1965 di Indonesia.
AM
Namun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
Mansyur Ramly— atasan langsung Diah Hariyanti— menegaskan, sebetulnya tidak ada yang keliru dalam
penulisan buku sejarah untuk SD hingga SMA yang tidak mencantumkan kata "Partai Komunis Indonesia
(PKI)" itu.
Menurut Mansyur, Depdiknas merekomendasikan penulisan naskah sejarah itu berdasarkan pertimbangan
akademik yang diberikan oleh para ahli sejarah (sejarawan).
LS
Sementara itu, Diah sendiri hanya mengatakan, masalah yang dihadapinya sekarang merupakan hal yang
sangat sensitif. "Sebaiknya tanyakan hal ini ke Kejaksaan Agung," katanya.
Kurikulum 2004
gE
Menurut Mansyur, selain Diah, sebenarnya mantan Kepala Pusat Kurikulum Siskandar—kini menjabat
Sekretaris Balitbang Depdiknas—pun pernah dimintai keterangan seputar kontroversi penulisan sejarah
pemberontakan PKI. Namun, tidak disebutkan kapan kedua pejabat itu dimintai keterangan.
Mansyur menjelaskan, kontroversi ini berawal dari terbitnya buku pelajaran Sejarah untuk SD-SMA
berdasarkan Kurikulum Tahun 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam buku itu, uraian tentang
terbunuhnya tujuh jenderal tanggal 30 September 1965 tidak mencantumkan nama "PKI". Istilah yang
digunakan untuk menyebut peristiwa tersebut adalah "Gerakan 30 September".
kli
pin
Tidak tercantumnya kata "PKI" di belakang "Gerakan 30 September", katanya, lebih karena pertimbangan
untuk memberikan kesempatan bagi pelajar mencari kebenaran hakiki.
Sehari sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang dimintai pendapatnya seputar
hal ini menyatakan tidak tahu-menahu.
Secara terpisah, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam,
berpandangan, jika benar ada pemeriksaan atas pejabat Depdiknas, itu merupakan langkah mundur bagi
bangsa ini untuk menemukan kebenaran sejati. "Ini mirip pola Orde Baru, di mana teror menjadi hal yang
biasa," ujarnya.
Penjelasan Kejagung
Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin membenarkan adanya penelitian terhadap buku- buku sejarah
tersebut. "Itu kan barang cetakan, jadi akan dilihat apakah layak diedarkan untuk masyarakat atau tidak,
termasuk buku-buku sejarah. Itu untuk pendidikan, supaya jangan keliru," katanya.
Menurut Muchtar, penelitian dilakukan oleh tim interdep, yang antara lain terdiri atas kejaksaan,
kepolisian, Depdiknas, dan Badan Intelijen Negara. Penelitian atas buku-buku itu merupakan prosedur
biasa untuk memastikan apakah suatu barang cetakan memiliki potensi mengganggu ketertiban umum atau
tidak.
Kemarin Kejagung juga memeriksa enam penerbit buku sejarah tersebut. Pemeriksaan dilakukan atas buku
pelajaran Sejarah untuk kelas III SMA terbitan Erlangga. "Di buku itu disebutkan Gerakan 30 September
1965. Tidak ada penulisan PKI. Itu yang diperiksa," kata Sabas Sinaga, kuasa hukum PT Penerbit Erlangga
Mahameru (Erlangga).
kli
pin
gE
LS
AM
Menurut Sinaga, pihak Erlangga menerbitkan buku berdasarkan kurikulum yang dikeluarkan Depdiknas.
"Artinya, kalau dari segi izin sudah ada. Tidak mungkin kan menerbitkan buku kalau tak ada izin,"
ujarnya. (NAR/IDR)
Kompas, Rabu 27 September 2006
Eks Mahasiswa 1960-an Ditawari Menjadi WNI
Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia akan menawarkan kembali proses kewarganegaraan Indonesia
terhadap 570 eks mahasiswa ikatan dinas di zaman Orde Lama, yang belajar ke sejumlah negara, tetapi
tidak berani pulang kembali ke Indonesia pascaperistiwa G30S/PKI.
Seusai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan, Selasa (26/9),
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan, Presiden memberikan waktu satu bulan bagi
dirinya untuk menyelesaikan proses kewarganegaraan Indonesia tersebut.
AM
Hingga kini banyak eks mahasiswa ikatan dinas (mahid) yang memilih tinggal di luar negeri, bahkan
sekarang ada yang tanpa kewarganegaraan.
LS
"Saya diperintahkan oleh Presiden untuk menyelesaikan masalah eks mahid tersebut, yang pada tahun
1960-an pergi belajar ke sejumlah negara dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Jumlahnya sekarang
mencapai 570 orang eks Mahid. Di antara mereka, ada yang sudah 40 tahun mau pulang ke Indonesia,
tetapi tidak bisa lagi," kata Hamid.
gE
Ia menambahkan, ke-570 eks mahid tersebut tidak berani pulang ke Indonesia karena kebijakan
pemerintahan Orde Baru. "Sekarang dengan undang-undang baru, Presiden minta saya menyelesaikannya
dengan menawarkan apakah mereka mau kembali lagi ke Indonesia menjadi WNI," kata Hamid, mengutip
Presiden.
kli
pin
Menanggapi hal ini, Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra Zen mengatakan, "Sebaiknya yang meminta
mereka kembali ke Indonesia adalah Presiden." (HAR)
Kompas, Sabtu 30 September 2006
Peristiwa 30 September Masih Terus Menjadi Kontroversi
Jakarta, Kompas - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S masih menarik untuk
selalu dikaji, terutama mengenai siapa yang menjadi dalang peristiwa berdarah itu. Berbagai buku yang
ditulis oleh banyak kalangan pun menunjukkan beragam versi tentang peristiwa itu.
Dalam seminar "Re-examining 30 September 1965 as an Historical Event" yang diselenggarakan CSIS dan
Grasindo, Jumat (29/9), setidaknya membahas tiga buku mengenai peristiwa G30S. Tiga buku itu adalah
Pembantaian yang Ditutup-tutupi yang ditulis Lambert J Giebels, Sukarno File (Antonie CA Dake), dan Di
Balik Tragedi 1965 (Sulastomo). Dua penulis yang hadir dalam seminar itu adalah Giebels dan Sulastomo,
sedangkan pembahasnya adalah sejarawan Asvi Warman Adam dan Taufik Abdullah.
AM
Sementara itu, di depan Gedung CSIS, sekelompok orang yang membawa bendera Barisan Oposisi Rakyat
berunjuk rasa menentang seminar itu. Mereka meminta CSIS tidak menyelenggarakan seminar yang,
menurut mereka, telah menyelewengkan sejarah Bung Karno. Salah satu spanduk yang mereka bawa
bertuliskan "Stop Penyimpangan Sejarah Bangsa".
LS
Sulastomo mengungkapkan, ada beberapa teori mengenai peristiwa G30S. "Lima teori yang mungkin
menjadi latar belakang peristiwa itu ialah konflik internal di tubuh Angkatan Darat, kudeta yang dilakukan
Soeharto kepada Bung Karno, peran intelijen asing (dalam hal ini CIA), rekayasa yang dilakukan Bung
Karno untuk menyingkirkan TNI, dan kudeta PKI terhadap Bung Karno," kata Sulastomo.
gE
Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda sekaligus sejarawan, dalam bukunya
menguraikan alasan dan rincian kudeta itu, dampaknya bagi bangsa Indonesia, serta peran Soekarno dan
Soeharto. Giebels menyebutkan, Soeharto versus Soekarno terus berlanjut lewat upaya pemusnahan
komunisme maupun demonstrasi yang ditujukan kepada Soekarno secara pribadi hingga akhir masa
jabatannya.
kli
pin
Asvi mengatakan kontroversi tentang dalang peristiwa G30S tidak berhenti sampai hari ini saja dan
mungkin akan terus bermunculan versi-versi yang lain. "Seharusnya semua pihak jangan hanya melihat
pada saat peristiwa itu terjadi, tetapi juga melihat sebelum dan sesudah G30S itu, yang berdampak sangat
besar terhadap bangsa ini," ujarnya.
Sementara itu, kemarin para korban peristiwa G30S bersama Kontras mengadakan jumpa pers. Mereka
meminta pemerintah membangun rekonsiliasi yang adil dan tulus. Selama ini, kata mereka, rekonsiliasi
yang dibangun tidak mendatangkan keadilan bagi para korban peristiwa tersebut. (SIE/JOS)
http://www.suarasurabaya.net
01 Oktober 2006, 13:10:55, Laporan Wiwin Kartikasari
Sejarah Pemberontakan G30S/PKI Carut Marut
ssnet| Sejarah Pemberontakan G30S/PKI Carut Marut. Pernyataan tersebut diutarakan HIDAYAT NUR WAHID Ketua MPR
RI, ia melihat ada tendensi dari pihak tertentu, memutarbalikan fakta sejarah untuk menghidupkan kembali PKI dan ideologi
komunis di Indonesia.
Dengan memanfaatkan hakekat kebebasan dan demokrasi yang di terjemahkan menurut alam pikiran mereka sendiri. Karean
itu kontroversi tentang sejarah pemberontakan G30S/PKI, jangan dijadikan pembenaran, seakan-akan PKI tidak terlibat
dalam pemberontakan tanggal 30 September 1965.
AM
Dilaporkan JOSE ASMANU reporter Suara Surabaya, Minggu (01/10), di Jakarta, SUTARJO SURYOGURITNO Wakil
Ketua DPR RI mengakui, sejarah pemberontakan G30S/PKI menjadi carut marut. Kalangan TNI mencari pembenaran
sendiri, dan kalangan urban eks anggota PKI mencari pembenaran sendiri. Rakyat yang menjadi korban juga mencari
pembenaran sendiri, karena mereka melihat adanya pelanggaran HAM dibalik G30S/PKI.
Menurut tokoh PD itu, disinilah perlunya Komisi pembenaran dan rekonsiliasi atau KKR, seperti yang diamanatkan oleh UU.
UU sebenarnya menurut SUTARJO, ia sudah mengamanatkan KKR satu tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang tidak ada
realisasinya.
LS
Sementara YUSRIL IHZA MAHENDRA Menteri Sekretaris Negara, saat dikonfirmasi mengatakan, Presiden masih ingin
mendalami nama-nama calon anggota komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang sudah di tangannya, sebelum menentukan
nama yang dianggap layak menjadi anggota KKR.
kli
pin
gE
Pemberontakan G30S/PKI yang ditandai dengan pembantaian terhadap 6 Jenderal dan satu perwira di Jakarta antara lain,
Jenderal A. YANI, MT. HARYONO, SUPRAPTO, SOETOYO, DI.PANJAITAN, PIERE TENDEAN. Sementara di
Yogyakarta juga terjadi penculikan dan pembantaian terhadap 2 Jenderal terbaik Brigjen KATAMSO dan kolonel
SUGIYONO.
Kompas, Jumat 13 October 2006
Kontroversi Istilah G30S
ASVI WARMAN ADAM
Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang seheboh istilah G30S. Sampaisampai seorang menteri terlibat langsung dalam kontroversi istilah ini melalui peraturan dan surat yang
dikeluarkannya tahun 2006.
AM
Akhir September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian enam jenderal. Pelakunya adalah
pasukan tentara atas komando Gerakan 30 September. Empat puluh hari setelah peristiwa itu Departemen
Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 hari Kegagalan "G-30-S". Belum dicantumkan kata PKI saat
itu walaupun sejak hari pertama percobaan kudeta, para pembantu Mayor Jenderal Soeharto seperti Yoga
Sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya.
Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden
Sukarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1
Oktober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini
menyalahi kaidah bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo,
polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu.
LS
Tahun 1966 rezim Orde Baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, buku-buku yang memuat versi
lain dilarang. Di luar negeri misalnya terbit tulisan Ben Anderson dan Ruth McVey (1966) yang
menganggap ini persoalan internal Angkatan Darat.
kli
pin
gE
Beragam penyebutan itu berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan perspektif orang/kelompok
yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan
itu menyebut diri mereka yaitu Gerakan 30 September. Itu yang tertulis secara nyata dalam dokumendokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai "Pembentukan
Dewan Revolusi" serta "Penurunan dan Penaikan Pangkat". Bahwasanya kemudian muncul penafsiran
tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI, AD, CIA, Sukarno, Soeharto, "kudeta
merangkak MPRS", dst).
Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998 bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang
bila terbit semasa Orde Baru. Terbit pula buku-buku sejarah dengan beragam versi mengenai Gerakan 30
September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G30S dan pada tingkat SMA
diajarkan versi-versi mengenai G30S.
Kurikulum 2004 (dalam bentuk buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan
Nasional pada Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Jati Sidi
dan Kepala Balitbang Boediono.
Anehnya, dalam kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diatur melalui Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G30S/PKI.
Kemudian Kejaksaan Agung mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan
menanyakan siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G30S? Jawab mereka, kurikulum itu disusun
berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta kurikulum) dengan
mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah. Selanjutnya Kejaksaan Agung juga
memeriksa beberapa penerbit. Karena menteri Pendidikan Nasional meminta instansi ini untuk menarik
buku-buku sejarah yang menghilangkan kata PKI di belakang singkatan G30S.
Peraturan menteri pendidikan nasional itu dapat membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa.
Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa".
kli
pin
gE
LS
AM
Asvi Warman Adam
Pernah jadi Lektor Bahasa Indonesia pada Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Paris
Suara Pembaruan, Rabu, 06 Desember 2006
Roda Kehidupan
Agar Perempuan Tak Lagi Menjadi Korban
Sekelompok massa menamakan diri Front Solidaritas Perempuan Peduli
Keadilan (FSPPK) berdemo ke DPRD Kota Mataram, beberapa waktu lalu,
terkait tindak kekerasan terhadap perempuan di NTB yang pada tahun 2005
sebanyak 249 kasus, terakhir kasus potong jari Ny Wahyuniaty di bawah
tekanan suaminya Indah Restu Pianto, seorang anggota DPRD kota Mataram.
[Antara/Str-Dina]
AM
Kerusuhan dan kekerasan di Indonesia pada 13 Mei 1998 menyebabkan
kelompok etnis China menjadi sasaran kerusuhan dan kekerasan. Pada
kerusuhan selama tiga hari itu, para perempuan etnis keturunan mengalami kekerasan seksual. Meskipun
terdapat kontroversi tentang kepastian jumlah, yang pasti banyak perempuan yang menjadi korban tidak
diragukan lagi.
LS
Demikian laporan Radhika Coomaraswamy, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan,
terutama mengenai sebab dan akibat, yang pernah disampaikan pada Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia
(HAM) PBB pada tahun 2001. Laporan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan itu dipublikasikan
kembali oleh Komnas Perempuan.
gE
Menurut laporan Radhika, perkosaan dan kekerasan juga terjadi di Timor Timur (kini Timor Leste).
Bahkan bersamaan dengan konflik-konflik bersenjata, tindakan itu juga terjadi di wilayah lain di Indonesia
termasuk Papua dan Aceh.
Dalam buku berjudul Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa; Disangkal! yang diterbitkan Komnas
Perempuan, sejumlah perempuan korban perkosaan Mei menuturkan kesaksian. Meskipun sempat
mengalami traumatik yang mendalam, mereka mau menuturkan peristiwa tragis yang dialaminya kepada
se- orang aktivis.
kli
pin
"Kalau ingat peristiwa itu, rasanya seluruh tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Tiba-tiba aku benci.
Saat awal, aku sering menjerit kalau lewat sini. Aku menangis keras sekali. Papa dan Mama tidak bisa
berbuat apa-apa. Selama dua tahun, aku nggak mau lewat situ. Keluargaku terpaksa mencari jalan memutar
untuk menghindari jembatan Slipi," tutur Siska (bukan nama sebenarnya) seperti yang diceritakan pada
kepada Radhika.
"Sepanjang 1998-1999, gerakan perempuan dengan konfiden melangkah maju. Mereka mendesak
pemerintah untuk tidak hanya menyelesaikan kasus perkosaan Mei. Disemangati oleh seruan umum untuk
reformasi dan keterbukan, aktivis perempuan melakukan berbagai upaya untuk mengungkap kejahatankejahatan terhadap perempuan lainnya, yang dilakukan sepanjang pemerintahan Soeharto termasuk
penghancuran Gerwani," kata IGA Agung Ayu Ratih, anggota Lingkar Tutur Perempuan (LTP) dalam
Dialog Nasional "Perempuan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi: Tantangan Bersama untuk Membela
Para Pem- bela" di Jakarta, baru-baru ini.
Dikatakan, di banyak negara, termasuk Indonesia, perempuan masih sering mengalami kekerasan. Setelah
pengungkapan Perkosaan Mei, muncullah kisah-kisah kekerasan yang dialami kaum perempuan di Aceh
selama operasi militer di daerah tersebut.
Dengan didampingi sejumlah aktivis HAM, para janda dan korban kekerasan seksual menyampaikan
kesaksian mereka di hadapan Tim Pencari Fakta yang didirikan oleh DPR RI.
"Seperti kebanyakan orang Indonesia, mereka telah terperangkap dalam mitos-mitos yang dipelajari lewat
propaganda negara tentang peristiwa berdarah 1965-1966. Penggambaran Gerwani sebagai gerombolan
yang ternyata cukup kuat untuk mencegah orang-orang tertentu bersimpati pada korban dan berpikir kritis
terhadap kisah-kisah yang selama ini mereka terima," ujarnya.
Trauma Mendalam
Diakui, kata Ayu, kebanyakan orang menganggap perempuan korban Tragedi 1965 menderita trauma
sangat dalam dan tidak bersedia bicara dengan orang asing. Namun tidak sedikit pula, mereka yang tidak
ragu menyampaikan cerita kepada "orang asing" yang sudah mereka percaya. Dalam sejumlah kasus,
banyak pula korban yang merasa tidak sanggup mengatasi rasa pedih dari pengungkapan kembali
kekejaman dan penghinaan tak terhingga yang pernah dialami.
AM
Tetapi Ayu pun mengaku terkejut ketika mendengar pernyataan dari seorang mantan anggota DPR
mewakili Gerwani bernama Kartinah Kurdi.
"Kamu percaya bahwa se- orang perempuan seperti saya akan menari telanjang dan menyilet-nyilet
kelamin para jenderal," kata Ayu mengutip pertanyaan balik Kartinah.
LS
Ayu mengatakan, ibu-ibu mantan Gerwani dan organisasi pendukungnya sesungguhnya adalah
perempuan-perempuan yang sangat sederhana. Bahkan sejumlah korban sesungguhnya sama sekali tidak
terkait apa-apa dengan peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Selain masih berusia antara
12-13 tahun saat kejadian, mereka malah belum pernah mengunjungi Lubang Buaya.
gE
"Dampak fitnah seperti itu luar biasa. Hubungan keluarga menjadi rusak. Banyak keluarga tercerai-berai
karena bapak dan ibunya terpisah. Anak-anak dari ibu mantan Gerwani tumbuh menjadi anak yang selalu
mencurigai ibunya. Bahkan seorang ibu di Lampung yang mengandung sejak dipenjara, ditolak suaminya
sendiri," tutur Ayu.
kli
pin
Lingkar Tutur Perempuan (LTP), kata Ayu, telah mewawancarai 100 orang perempuan korban kekerasan
yang terkait Gerwani. LTP bahkan berharap ada satu komisi yang mengungkap kejahatan terhadap
perempuan mulai dari orde lama hingga orde baru. Para perempuan yang menjadi korban diharapkan dapat
menyampaikan kasus mereka ke publik agar keadilan dapat ditegakkan.
Dalam kesempatan tersebut, Suciwati, aktivis dan pejuang HAM, istri almarhum Munir, juga mengaku
prihatin penegakan HAM di Indonesia. Demikian pula dengan tindak kekerasan dan diskriminasi yang
dialami perempuan di Indonesia. Bahkan sampai kini, pelaku pembunuhan Munir juga belum dapat
terungkap.
"Saya tidak mau ada orang lain diperlakukan sama seperti suaminya, Munir. Saya tidak mau ketika ada
orang yang mempertanyakan hak dan kewajibannya kemudian dihabisi dan dihilangkan. Tuntutan keadilan
hukum ini harus kita nyatakan bersama-sama. Jika tidak aksi pembunuhan dan penghilangan secara
sistematis itu akan terus terjadi. Ini hal penting yang membuat saya begitu keras kepala," ujar Suci.
Para perempuan Indonesia mungkin masih harus berjuang keras menentang diskriminasi dan kekerasan.
Mereka harus bersatu agar kekerasan terhadap perempuan dapat benar-benar dihapuskan. Kelak jangan
lagi ada perempuan menjadi korban dan Indonesia dapat mewujudkan kehidupan bersama yang bebas dari
kekerasan. [Pembaruan/Unggul Wirawan]
Last modified: 5/12/06
Suara Pembaruan, Kamis, 14 Dec. 06
Tindakan Premanisme Makin Mengkhawatirkan
[JAKARTA] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Polri
menindak perlakuan sewenang-wenang dari berbagai kelompok terorganisir yang melakukan tindakan premanisme terhadap masyarakat.
Akhir-akhir ini, perilaku ini semakin mengkhawatirkan dengan dalih anti komunisme, sebuah alasan usang
yang digunakan pemerintah Orde Baru dalam meredam dan membungkam kebebasan berekspresi
masyarakat.
AM
Demikian seruan Koordinator Kontras, Usman Hamid di Jakarta, Rabu (13/12). Usman menyerukan
seperti itu terkait aksi sekitar 100 orang dari kelompok yang menamakan diri Front Anti Komunis.
LS
Mereka berteriak-teriak dan membubarkan acara lomba majalah dinding dan poster, pemutaran film
dokumenter HAM dan pentas seni dalam rangka memperingati Hari HAM sedunia, di Surabaya, Selasa
(12/12).
Selain itu, juga terkait dengan upaya dari orang- orang yang mengatasnamakan aparat negara
menghentikan diskusi Filsafat Sosial dan Ekonomi Politik di Bandung, sejak Senin (11/12).
gE
Menurut Usman, aparat membiarkan beredarnya anjuran untuk berhati-hati terhadap ancaman komunisme,
bahkan ikut terjebak dengan melarang kegiatan-kegiatan yang dianggap berbau komunis.
Tindakan ini sungguh meresahkan, karena sa- ma sekali tidak berdasar serta mengancam rasa saling
percaya antar masya- rakat. [E-8]
kli
pin
Last modified: 14/12/06
TINDAKAN INTIMIDATIF INTEL POLWILTABES BANDUNG TERHADAP DISKUSI
ILMIAH DI ULTIMUS BANDUNG
Toko Buku Ultimus Bandung, Komunitas Rumah Kiri Bandung dan Himpunan Mahasiswa Hubungan
Internasional Universitas Pasundan Bandung berencana mengadakan Acara “DISKUSI FILSAFAT
SOSIAL DAN EKONOMI POLITIK, Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan
dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di
Kanada”, menghadirkan MARHAEN SOEPRAPTO (WNI Tinggal di Kanada) Pada hari Selasa, 14
Desember 2006, Pukul 19.00 WIB.
AM
Namun belum terlaksana acara tersebut, pihak Intel Polwiltabes Bandung pada hari Senin, 11 Desember
2006 (2 orang) mendatangi toko buku Ultimus dan menanyakan izin kegiatan tersebut, untuk
mengantisipasi maka pihak panitia memasukkan surat pemberitahuan (bukan permoohonan) yang
dialamatkan kepada KaPolwiltabes Bandung mengenai diadakannya acara tersebut.
Pada hari Selasa 12 Desember 2006, kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku
Ultimus yang terletak di Jl. Lengkong No. 127 Bandung. Mereka mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi”
(entah maksudnya gimana), mananyakan tentang status kewarganegaraan Marhaen Soeprapto (Pembicara).
LS
Pagi, Rabu, 13 Desember 2006, kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus
dan meminta Sdr. SADIKIN (ketua panitia) untuk menemui Waka Intel Polwiltabes Bandung pada pukul
10.00 WIB untuk dimintai keterangan berkaitan dengan diskusi tersebut. Namun atas saran kawan-kawan
lainnya, meminta agar SADIKIN tidak memenuhi panggilan tersebut karena bersifat lisan.
gE
Selain mendatangi Toko Buku Ultimus, Pihak Intel Polwiltabes juga melakukan kontak telepon ke Kantor
ULTIMUS, ke hand phone Sdr. BILVEN (Dir. Ultimus) dank e hand Phone Sdr. SADIKIN (Ketua
Panitia). Semenjak hari Minggu, 10 Desember 2006 Ultimus juga menerima banyak telepon gelap yang
mananyakan tentang DISKUSI tersebut, padahal sosialisasi diskusi tersebut baru dilakukan Hari Selasa, 12
Desember 2006 secara terbuka, sebelumnya hanya melalui milist.
kli
pin
Beberapa tindakan yang dicurigai merupakan bagian dari upaya tekanan, pada tanggal 12 Desember 2006,
beberapa kali ULTIMUS didatangi oleh orang bertubuh tegap, dengan usia separuh baya, mendatangi
ULTIMUS dengan menanyakan bagian buku-buku Berbau KIRI, dimana ULTIMUS memproduksi dan
menjual buku-buku tersebut, sehingga hingga kini pihak ULTIMUS terspaksa mengambil tindakan
antisipatif dengan mengamankan buku-buku tersebut.
Hal yang dikahwatirkan kemudian adalah, ketika aparat keamanan kemudian menggunakan ORMAS
untuk melakukan upaya membatalkan acara tersebut, sebab bukan sekali dua kali acara serupa dibubarkan
atau di intimidasi dengan menggunakan ORMAS.
Demikianlah kronologi ini, untuk informasi dan perkembangan lebih lanjut, hubungi :
Iphoel (08124241200) : [email protected]
Bilven (08122456452) : [email protected]
Suara Pembaruan, Senin 18 December 2006
Terkait Penangkapan Peserta Diskusi
Polri Diminta Tegas terhadap Pelaku Anarkis
[JAKARTA] Polri harus melindungi hak asasi manusia (HAM) Indonesia. Salah satu HAM adalah
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. "Tindakan membubarkan diskusi merupakan
tindakan yang melanggar HAM. Oleh karena itu, Polri harus tegas dalam hal seperti ini," kata anggota
Komisi III DPR, Benny K Harman kepada Pembaruan, Senin (18/12).
AM
Benny mengatakan seperti itu berhubungan dengan sikap dan tindakan Kepolisian Wilayah (Polwil)
Bandung yang menangkap panitia, pembicara dan peserta acara diskusi terbuka Filsafat Sosial dan
Ekonomi Politik, yang diselenggarakan oleh Toko Buku Ultimus, Bandung, 14 Desember 2006.
Menurut Benny, sampai sekarang Polri belum melaksanakan paradigma barunya sebagaimana dijanjikan
Kapolri Sutanto sebelum menjadi Kapolri, yakni menindak tegas kepada semua orang melakukan
pelanggaran HAM. "Saya menilai, Sutanto belum melaksanakan paradigma Polri yang baru. Polri kita
seperti dalam Orde Baru," kata Benny.
LS
Terkait hal yang sama, pada Jumat (15/12), sejumlah aktivis prodemokrasi menyerukan, agar Kapolri
Jenderal Polisi Sutanto memberitahu kepada seluruh anggota Polri bahwa Polri bukanlah alat untuk
membungkam kebebasan menyampaikan aspirasi dan berekspresi masyarakat. Polri merupakan lembaga
negara yang bertugas memberikan perlindungan, pengayoman dan penegakkan hukum bagi masyarakat.
gE
Para aktivis itu adalah Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), Taufik Basari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); George Junus
Aditjondro, aktivis, dosen dan peneliti; dan Ari dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP).
Diskusi tersebut bertema "Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan
Gerakan Marxist di Dunia dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada".
kli
pin
Menurut Usman, sikap dan tindakan Polri di Bandung itu merupakan tindakan inkonstitusional. "Tindakan
itu sungguh diskriminatif dan tidak memberikan perlindungan hukum terhadap kebebasan berpikir dan
berpendapat yang jelas-jelas dijamin oleh UUD 1945," kata Usman.
Menurut Aditjondro, diskusi itu merupakan bentuk dari kebebasan berpikir dan berpendapat. Pihak Polri,
kata dia, seharusnya menjamin kebebasan berpikir ini dengan memberikan perlindungan hukum kepada
para pihak dari segala ancaman dan intimidasi.
Namun yang terjadi justru pihak Polwil Bandung bertindak lalai dengan mengabaikan laporan masyarakat
serta tidak melakukan antisipasi atas ancaman dan intimidasi yang diterima oleh aktivis Toko Buku
Ultimus. Bahkan malah bertindak sebaliknya, yaitu menangkap pihak yang justru mendapat intimidasi.
Para aktivis itu juga menyesalkan lambannya penanganan Polri kepada pihak Ultimus yang tengah menjadi
korban dari intimidasi kelompok-kelompok terorganisir atas dalih penyebaran ajaran komunis. Apalagi,
Polri saat ini telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka, dengan tuduhan berdasarkan UU Nomor
27 tahun 1999 tentang perubahan KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Sementara itu,
tidak ada proses hukum atas Pemuda Panca Marga dan Forum Masyarakat Anti Komunis yang melakukan
yang melakukan kekerasan pada aktivis Ultimus.
Pembiaran dan tidak adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian semakin menguatkan fenomena
kesewenang-wenangan kelompok terorganisir dalam melakukan aksi-aksi kekerasan. Pada tahun 2006 ini,
fenomena kekerasan oleh kelompok-kelompok terorganisir atas nama agama maupun nasionalisme yang
melakukan tindakan kekerasan di berbagai daerah semakin menguat.
Hal itu tampak pada pembubaran pertemuan korban 65 di Bandung, penyegelan kantor Fahmina di
Cirebon pembubaran peringatan hari HAM di Surabaya, beberapa waktu lalu, serta beredarnya spandukspanduk ancaman komunis dan marxisme di sudut-sudut kota. Hingga saat ini tidak ada penyelidikan
terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi. [E-8]
kli
pin
gE
LS
AM
Last modified: 18/12/06
Download