http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/26/Politikhukum/2397612.htm Kompas, Kamis 26 January 2006 Rekonsiliasi Harus Tetap Diupayakan Jakarta, Kompas - Bangsa ini tidak akan bisa lebih maju lagi jika masih saja dihambat oleh beban sejarahnya. Apalagi, semua komponen bangsa ini pernah mengalami luka, baik Islam, TNI, maupun kalangan nasionalis. Untuk itulah, upaya rekonsiliasi harus tetap diupayakan meskipun bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. AM Hal ini disampaikan sejarawan Anhar Gonggong, mantan Wakil Ketua Komnas HAM Solahuddin Wahid, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kiki Syahnakri, serta Sulastomo dalam diskusi peluncuran buku Dibalik Tragedi 1965 karya Sulastomo di Jakarta, Rabu (25/1). ”Peristiwa 1965 memang tak mudah untuk dikatakan hitam atau putih karena banyak yang abu-abu,” ujar Sulastomo. LS Namun, yang terpenting sekarang ini, menurut Sulastomo, apakah bangsa ini hanya akan memelihara luka dan membiarkannya menjadi borok atau akan berusaha untuk menyembuhkan luka itu. ”Bagaimana bangsa ini melihat masa depan jika luka itu tidak disembuhkan,” ujarnya. kli pin gE Solahuddin mengatakan, beban sejarah yang dialami bangsa ini bukan hanya menyakiti korban dan keluarganya, namun keluarga pelaku juga merasa tersiksa. Memang tak mudah melakukan rekonsiliasi, namun sekecil apa pun langkah yang diambil tetap sangat berarti bagi rekonsiliasi. ”Sayangnya, 42 calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah di tangan Presiden sejak Agustus tahun lalu belum dipilih Presiden untuk diserahkan kepada DPR,” ujar Solahuddin. (mam) Kompas, Kamis, 12 October 2006 Komisi Kebenaran DPR Harus Berani Lakukan Terobosan Politik AM Jakarta, Kompas - Kelambanan pemerintah yang tidak kunjung tuntas membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR, walau sebanyak 42 nama telah dinyatakan lolos proses seleksi, terus menuai kecaman terutama dari kalangan lembaga swadaya masyarakat. Dalam jumpa pers, Rabu (11/10), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak DPR berani melakukan terobosan dalam bentuk tekanan politis terhadap pemerintah, yang dinilai telah mengabaikan amanat sejumlah produk hukum dan perundang-undangan terkait pembentukan KKR tadi. LS Menurut Amiruddin Al Raham dari Elsam, produk hukum dan UU yang telah diabaikan itu, antara lain Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang mewajibkan pembentukan KKR; UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR; dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. gE Selain itu, juga aturan UU terkait pembentukan KKR di tingkat daerah, seperti tercantum dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengamanatkan pembentukan KKR di tingkat pusat. "Pembentukan KKR adalah platform nasional sehingga DPR harus bisa berinisiatif, entah dengan menggunakan yang namanya hak angket atau hak lain yang dimiliki untuk segera menyelesaikan persoalan itu," ujar Amiruddin. kli pin Selain itu, Amiruddin juga menyayangkan sikap DPR yang selama ini dinilai mengabaikan dan mendiamkan saja pemerintah yang terus menunda-nunda dengan alasan dicari-cari. DPR bisa saja berinisiatif melakukan langkah konkret tertentu. (dwa) Wacana KKR 2006= 1 Kompas, Jumat, 06 Januari 2006 Sebuah Masa Padat Agenda Budiman Tanuredjo Periode 1 Januari-31 Maret 2006 adalah sebuah era singkat dengan agenda yang padat. Periode itu berusia 90 hari kalender dengan 74 hari efektif, setelah dikurangi hari Minggu dan libur. Belum lagi jika dikurangi hari reses DPR, yang baru aktif 12 Januari 2006. Tahun 2005 ditutup dengan sebuah pesan yang tegas dan jelas: terorisme masih merupakan ancaman; bencana alam akan masih mengintai; dan kejahatan konvensional yang tak boleh diremehkan. Rentetan perampokan bank bisa saja disebabkan beratnya kehidupan, tetapi harus juga dibaca tentang kemungkinan ada kaitannya dengan pendanaan terorisme. AM Tujuh belas jam sebelum tahun 2005 berganti, tepatnya 31 Desember 2005 pukul 07.00, bom meledak di Pasar Maesa, Palu, Sulawesi Tengah. Dilaporkan tujuh orang tewas dan lebih dari 50 orang terluka. Terlepas dari perdebatan klasik—apakah aparat keamanan kecolongan atau tidak yang selalu menyertai diskursus pascapeledakan bom—Badan Intelijen Negara pernah melansir rencana aksi teroris menjelang Natal dan Tahun Baru 2006. Namun, modusnya berubah: dari aksi bom menjadi penculikan pejabat tinggi negara. Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden diperketat. Perayaan Natal 2005 berlangsung aman. LS Mencuri perhatian gE Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, mencuri perhatian. Ledakan bom terjadi di tengah konsentrasi aparat keamanan mengamankan pejabat tinggi negara. Sulawesi Tengah boleh jadi merupakan provinsi ”terpanas” di Tanah Air. Aksi terorisme terus terjadi, namun hukum tak mau mengatasi masalah di daerah tersebut. Salah seorang ”senator” dari Sulawesi Tengah tampil di televisi dan meminta perhatian Jakarta. Ketidakstabilan politik di provinsi itu tentunya akan memengaruhi citra Indonesia di panggung dunia. kli pin Periode Januari-31 Maret 2006, Jakarta dituntut menyelesaikan permasalahan krusial di Aceh, pasca-nota kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005 dan masalah Papua pascapertemuan tokoh Papua dan Irian Jaya Barat dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla. Sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki, RUU Pemerintahan Aceh sudah selesai pada 31 Maret 2006 untuk dijadikan dasar pemilihan kepala pemerintahan Aceh pada 26 April 2006. Pemilihan kepala daerah (pilkada) rasanya berat digelar sesuai jadwal itu. Masyarakat Aceh tidaklah satu. Kabupaten di bagian selatan Aceh membawa isu pemekaran. Isu ini memang tidak cukup banyak mendapat dukungan dari Banda Aceh dan Jakarta. Beberapa pasal lain, seperti keinginan menempatkan lembaga di Aceh, dapat menjadi anggota dari badan Perserikatan BangsaBangsa atau badan dunia lainnya—yang diusulkan dalam draf RUU Pemerintahan Aceh versi DPRD— merupakan usulan yang memancing kelompok ultranasionalis di Jakarta. Hal lain yang juga akan memicu perdebatan adalah keinginan dari nota kesepahaman Helsinki untuk ”menidurkan” DPRD Provinsi Aceh hingga tahun 2009. Padahal, DPRD Aceh merupakan hasil Pemilu 2004. Selain Aceh, Papua juga menuntut perhatian. Janji Wapres Jusuf Kalla menerbitkan perpu untuk menyelesaikan problem di Papua sedikit terhambat dengan meninggalnya Gubernur Papua JP Salossa. 1 Wacana KKR 2006= 2 Sementara KPU Papua telah mengagendakan pemilihan Gubernur Papua pada 16 Februari. Ini bisa memicu persoalan jika eksistensi Irian Jaya Barat belum selesai. Hubungan eksekutif-legislatif akan intens pada periode tiga bulan pertama di tahun 2006. Selain problem RUU Pemerintahan Aceh dan perpu untuk memayungi Papua, Presiden Yudhoyono juga akan mengajukan calon Panglima TNI kepada DPR. Sesuai dengan undang-undang, ada empat calon Panglima TNI yang memenuhi syarat, yakni mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu (yang pernah diusulkan Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR, namun kemudian ditarik Presiden Yudhoyono), KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan KSAL Laksamana Slamet Subiyanto. Penggantian Panglima TNI mengandung beban psikologis politis menyusul keputusan Presiden Yudhoyono menarik surat Presiden Megawati yang mengusulkan Jenderal Ryamizard sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Endriartono. Isu penggantian Panglima TNI memang bisa memicu ”ketegangan” antara DPR dan Presiden. AM Militer Indonesia berada dalam kontrol obyektif sipil dalam terminologi Samuel Huntington. Militer patuh dan tunduk pada otoritas sipil, seperti telah ditunjukkan militer di bawah Panglima TNI Jenderal Endriartono yang patuh dan mendukung nota kesepahaman RI-GAM. Kenyamanan militer juga bisa dipahami ketika Presiden Yudhoyono tidak banyak mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kesepakatan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan akan memasuki babak penting pada Januari-Juni 2006. gE LS Hubungan dengan parlemen akan berlangsung intens saat Presiden mengajukan 21 calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tarik-menarik kepentingan akan terjadi. Memang bisa saja Presiden tidak mengajukan 21 calon anggota KKR pada masa tersebut, namun Presiden akan dihadapkan pada tekanan pendapat umum yang amat kuat karena KKR seharusnya sudah terbentuk 6 Oktober 2005. Adapun MOU Helsinki memerintahkan KKR Indonesia membentuk KKR Aceh. DPR dan pemerintah tentunya juga harus bekerja sama untuk mengisi anggota KPU yang habis masa jabatannya pada akhir Maret 2006. kli pin Satu faktor krusial yang dihadapi pemerintah pada periode ini adalah dengan beban inflasi 2005 yang dihadapi masyarakat dan pengangguran yang jumlahnya meningkat. Pada sisi lain, pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai dan menaikkan gaji PNS pada akhir Januari 2006. Tapi masalahnya, apakah kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen itu akan sebanding dengan melemahnya daya beli masyarakat. Bank Indonesia memperkirakan inflasi Januari bisa mencapai 1 hingga 1,1 persen. Pada kurun waktu itu, pemerintah diharuskan membayar pokok dan bunga utang luar negeri. Politik tetap akan stabil pada periode ini meskipun tetap membutuhkan cara berkomunikasi dengan penuh empati. Cara komunikasi dengan memahami sepenuhnya beban berat yang diderita rakyat. Namun, stabilitas politik bisa saja berubah dengan cepat jika pemerintah mengambil kebijakan blunder, seperti menaikkan harga BBM, listrik, dan kebijakan yang makin mencekik rakyat. Partai politik yang pragmatis akan membuat eksekutif lebih leluasa dalam mengambil kebijakan. Elemen kritis mahasiswa kehilangan militansinya dan gagal mengonsolidasikan diri saat pemerintah menaikkan harga BBM hingga dua kali pada periode 2005. Militer merasa tak banyak terganggu ketika isu pelanggaran HAM tak banyak diutak-atik dan masyarakat dicekam ancaman terorisme. Tahun 2006 adalah sewindu reformasi. Momentum ini bisa dikapitalisasi mengonsolidasikan gerakan sipil. Isu pengungkapan pembunuhan Munir dan pendirian rumah ibadah akan menjadi agenda publik yang patut mendapat perhatian. 2 Wacana KKR 2006= 3 Suara Pembaruan, 11 Februari 2006 Wapres Tak Tahu Perkembangan Pembentukan KKR JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla mengaku tidak mengetahui perkembangan pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR). Rencana pembentukan KKR akan dicek ke Sekretariat Negara sebab sejumlah nama sudah dimasukkan ke DPR, tetapi hingga kini proses selanjutnya tidak jelas. "Soal KKR memang saya tidak tahu sudah sampai di mana. Nanti saya akan cek lagi sudah sampai di mana. Saya yakin Presiden pasti menanggapi secara baik setiap hal tersebut," kata Wapres kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2). AM Dikatakan, pembentukan KKR di Indonesia tidak bisa meniru begitu saja pembentukan KKR di Afrika Selatan (Afsel). Ada perbedaan substansial antara situasi di Afsel dan Indonesia. Di sini, tidak tahu lagi mau rekonsiliasi dengan siapa. Sedangkan di Afsel, empat tahun setelah praktek politik apartheid, sudah jelas pihak-pihak yang mau berekonsiliasi. gE LS "Di Afrika Selatan yang memang pada saat pembentukan KKR empat tahun setelah mereka itu selesai apartheid itu memang ada suatu kelompok yang katakanlah dari sudut warna saja ada hitam putih yang harus disatukan. Saya tidak merasa di Indonesia ini ada sesuatu yang betul-betul mempunyai sesuatu yang berlawanan mati-matian secara itu," jelasnya. kli pin Dicontohkan, kalau mau rekonsiliasi dengan para korban gerakan tiga puluh September (Gestapu), itu sudah 40 tahun silam.Sedangkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) rekonsiliasi dilakukan melalui dan berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan RI yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Helsinki. "Masa Gestapu, kan sudah 40 tahun, tidak tahu apakah masih ada yang bisa direkonsiliasikan. Kita tidak tahu lagi, siapa yang musti ketemu," imbuhnya. (A-21) Last modified: 11/2/06 3 Wacana KKR 2006= 4 Kompas, Kamis 16 Februari 2006 Menanti Respons Istana soal KKR Budiman Tanuredjo Tanggal 28 Maret 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan pembentukan panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sebanyak 1.193 orang melamar. Tanggal 3 Agustus 2005, panitia seleksi mengumumkan 42 nama calon anggota KKR dan disampaikan kepada Presiden. AM Hingga saat ini belum jelas bagaimana respons Presiden Yudhoyono atas ke-42 nama calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah diseleksi dan diusulkan panitia seleksi. Berkas itu paling tidak sudah enam bulan berada di Kantor Kepresidenan. Belum ada penjelasan resmi dari Kantor Kepresidenan soal ke-42 nama calon anggota KKR tersebut. Padahal, pembentukan KKR itu sudah sangat terlambat. UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan KKR terbentuk 5 April 2005. Menanggapi desakan dari berbagai kalangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya tidak mengetahui sampai di mana proses pembentukan KKR yang 42 calon anggotanya telah diserahkan kepada Presiden Yudhoyono. Saya akan cek perkembangannya. Saya yakin Presiden pasti menanggapi dengan baik, kata Kalla (Kompas, 11/2/2006). LS Kalla justru mempertanyakan rekonsiliasi yang mau dicapai dengan pembentukan KKR. Jangan Indonesia ini dipersamakan, katakanlah dengan Afrika Selatan yang pembentukan KKR-nya empat tahun setelah selesai masa politik apartheid, ujar Kalla yang kemudian mengelaborasi, kondisi serta latar belakang Indonesia dan Afrika Selatan berbeda. Di Afrika Selatan ada kelompok yang selain warna kulitnya berbeda, hitam dan putih, pandangannya juga berbeda. gE Saya tidak merasa Indonesia ada sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika Selatan. Kalau masalah Gestapu kan sudah 40 tahun lalu. Apakah ada yang direkonsiliasikan setelah kita tidak tahu lagi siapa yang mesti bertemu kata Kalla. kli pin Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I), balik mempertanyakan pernyataan Kalla. Undang-undang itu adalah cermin kehendak rakyat. Membandingkan dengan situasi Afrika Selatan tentunya tidak relevan, kata anggota DPR yang fraksinya dalam barisan pendukung pemerintah ini. Ia tak memahami mengapa Presiden Yudhoyono begitu lamban dalam merespons usulan dari panitia seleksi yang dibentuknya untuk menyeleksi calon anggota KKR. Saya justru khawatir muncul persepsi Presiden melanggar undang-undang dan kalau itu terjadi argumentasi untuk membela posisi Presiden sulit, katanya. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim berpendapat, pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla memang tidak menjadikan KKR sebagai prioritas pemerintahannya. Apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla hanya mengembalikan perdebatan soal KKR ke titik awal pada pemerintahan Gus Dur. Kalla sama sekali tidak aware dengan masalah itu, katanya. Bagi Ifdhal, Istana memang perlu menyatakan sikap politiknya. Kalau memang KKR sudah dianggap tidak relevan, Presiden Yudhoyono bisa minta MPR untuk meninjau Tap MPR-nya dan meminta DPR merevisi serta membatalkan pembentukan KKR, katanya. Proses seleksi anggota KKR didasarkan pada Tap MPR dan undang-undang. 4 Wacana KKR 2006= 5 Presiden tersandera Ia menduga Presiden tersandera oleh berbagai kelompok kepentingan yang sangat berkepentingan dengan kelahiran KKR. Akibatnya, sikap politiknya tak jelas dan risikonya Presiden bisa dituduh melanggar undang-undang, kata calon anggota KKR yang telah lolos seleksi ini. Adalah suatu kenyataan bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada era Orde Baru masih menjadi problem bagi bangsa ini, kendati sejumlah elite politik berupaya memengaruhi masyarakat untuk melupakan saja masa lalu guna menatap masa depan. Kehadiran keluarga korban kasus Talangsari (Lampung) yang terjadi 16 tahun lalu, bersafari ke DPR, Komnas HAM, dan lembaga agama menunjukkan bahwa permasalahan itu belum selesai. Sederetan kasus pelanggaran HAM lain juga terjadi, tapi tanpa sebuah penyelesaian. Padahal, di sana ada problem kebenaran! Ada problem keadilan! Ada problem kemanusiaan! AM Fenomena Komisi Kebenaran bukanlah hanya fenomena Afrika Selatan, meskipun apa yang terjadi di Afsel banyak menjadi rujukan, termasuk sejumlah pemimpin Indonesia berkunjung ke Afrika Selatan untuk mempelajari bagaimana Afsel menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalunya. LS Fenomena Komisi Kebenaran adalah kecenderungan global dari sebuah negara yang bertransisi dari otoriterianisme ke demokrasi. Pesan yang disampaikan Lawrence Whitehead dalam Consolidation of Fragile Democracy sangat jelas: kalau kejahatan besar tak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata. Tidak akan ada penanaman norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya dan karenanya tak akan terjadi konsolidasi demokrasi. gE Untuk itu, selain mekanisme pengadilan yang ditempuh, Komisi Kebenaran menjadi sebuah pilihan. Argentina menyelesaikan problem masa lalunya dengan pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang yang dipimpin novelis Ernesto Sabato. Komisi ini dibentuk Presiden Raul Alfonsin. Hasil kerjanya dibukukan dalam buku berjudul Nunca Mas. Cile juga membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi. El Salvador, Uganda, Bolivia, dan Rwanda juga memilih jalur pengungkapan kebenaran untuk menyelesaikan masa lalu. kli pin Rekonsiliasi memang sebuah tujuan akhir. Namun, selain untuk menciptakan rekonsiliasi kepentingan korban haruslah menjadi perhatian. Chierif Bassioni dalam International Crimes: Jus Corgen and Obligatio Erga Omnes menyebutkan adanya hak korban untuk mengetahui (right to know the truth), hak mendapat keadilan (right to justice), dan hak memperoleh reparasi (right to reparation). Sebaiknya, menurut Bassioni, menjadi kewajiban negara untuk mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menghukum (duty to prosecute), dan kewajiban mereparasi (duty to reparation). Kalla mempertanyakan bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi memang sebuah kondisi yang susah diukur. Apakah memang sudah terjadi rekonsiliasi antara pelanggar HAM dan para korban? Apakah sudah ada rekonsiliasi antara korban Tanjung Priok dan aparat militer? Priscilla B Hayner dalam buku Setelah Otorianisme Berlalu (2001) menyebutkan ada tiga pertanyaan yang harus dijawab untuk mengukur tingkat rekonsiliasi. Pertama, bagaimana penanganan masa lalu di ruang publik? Apakah masih ada perasaan sakit terhadap masa lalu? Pertanyaan seperti itu harus dijawab korban. Namun, dengan melihat gelombang unjuk rasa menuntut keadilan, rasa pedih dan sedih masih menghinggapi sanubari mereka. Kedua, bagaimana hubungan antara penentang sebelumnya. Sejauh mana misalnya resistensi dari para korban Trisakti dan Semanggi serta orang yang patut diduga bertanggung jawab. Akankah mereka sudah bisa seiring sejalan atau bahkan memberikan dukungan secara tulus? 5 Wacana KKR 2006= 6 Ketiga, apakah hanya ada satu versi kebenaran masa lalu? Menurut Hayner, rekonsiliasi bukan hanya membangun kembali hubungan persahabatan, tetapi juga menyelaraskan fakta-fakta atau cerita-cerita yang bertentangan satu sama lain. Rekonsiliasi juga membuat pernyataan atau fakta itu menjadi harmonis atau saling cocok bila mereka bertentangan satu sama lain. Pertanyaan kemudian adalah sudah adakah satu konstruksi cerita terhadap berbagai pelanggaran HAM masa lalu? Jawabnya: belum ada! Peristiwa 1965 telah melahirkan sejumlah teori, melahirkan sejumlah buku. Kasus Tanjung Priok melahirkan beragam cerita, kasus 27 Juli menimbulkan fakta yang saling berbantahan, kasus kerusuhan Mei masih menjadi perdebatan antara DPR, Kejaksaan Agung, dan Komisi Nasional. Kalau itu yang terjadi, apakah memang rekonsiliasi sudah dicapai? kli pin gE LS AM Tak perlu bingung mencari jawab mau rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi antarsesama anak bangsa, sekaligus melaksanakan kehendak rakyat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana diperintahkan UU No 27 Tahun 2004. UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004 dan menurut Pasal 45 Ayat (3) disebutkan, pembentukan komisi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sejak diundangkan. Itu berarti 6 April 2005 KKR sudah harus terbentuk. Hari ini, Kamis 16 Februari 2006, KKR masih belum berwujud. Pembentukan KKR sudah sangat terlambat! 6 Wacana KKR 2006= 7 Kompas, Jumat 24 Feb. 06 KKR Perlu Dukungan Presiden: Perlu Persiapan Satu Bulan ke Depan Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memerlukan waktu yang cukup untuk menyusun aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi. Selain itu, Presiden juga butuh dukungan politik dari pimpinan lembaga tinggi negara, khususnya untuk mengatur tata cara dan mekanisme kerja KKR. ”Meski pembentukan KKR sudah terlambat berbulan-bulan, sebagaimana ditetapkan UU, yaitu paling lambat 5 April 2005, hingga kini Presiden Yudhoyono belum bisa menetapkan 21 nama untuk diajukan ke DPR dari 42 calon hasil seleksi Panitia Seleksi KKR,” ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra seusai mendampingi Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota KKR, Kamis (23/2) di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta. AM Ketua Panitia Seleksi Anggota KKR, yang juga Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus, didampingi Sekretaris Dirjen Peraturan Perundang-undangan Wicipto Setiadi serta sejumlah anggota lain, seperti Dirjen Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas dan perwakilan dari masyarakat, yaitu Prof DR CFG Sunaryati Hartono dan Sulistjowati Sugondo, ikut hadir. LS ”Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu tepat untuk membentuk KKR. Tugas dan tanggung jawab lembaga ini sangat besar implikasinya bagi bangsa di masa datang. Sebab, penyelesaian masa lalu itu harus dilakukan secara damai, adil, dan bermartabat. Nah, itu yang dikhawatirkan jika kita tidak bekerja hati-hati, sasaran KKR tidak terwujud,” ujar Yusril. gE Sambil menunggu penyusunan aturan pelaksanaan UU No 27 Tahun 2004 itu, ujar Yusril, Presiden Yudhoyono juga akan meminta Panitia Seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang diajukan, selain juga akan melakukan konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara, seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). kli pin ”Dalam sebulan ini akan dilakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja, serta peraturan presiden (perpres) mengenai struktur dan organisasi KKR. Panitia Seleksi juga masih akan bertemu kembali dengan Presiden Yudhoyono sekali lagi untuk memberikan pertimbangan dan argumentasi untuk dipilih satu per satu, selain berkonsultasi,” lanjut Yusril. Tetap harus dilaksanakan Ditanya pers soal pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu bahwa KKR di Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan KKR di Afrika Selatan sehingga menimbulkan spekulasi seolah-olah KKR tidak perlu ada, Yusril berpendapat lain. ”Karena sudah menjadi amanat UU, maka mau tidak mau KKR harus dibentuk dan dilaksanakan. Hanya memang waktunya dicari yang tepat, agar persiapan, serta sekaligus pemahaman di masyarakat dan lembaga tinggi lain cukup matang setelah KKR terbentuk,” ungkap Yusril. Yusril menambahkan, ”Persoalan itu sebetulnya sudah disinggung ketika pembahasan RUU di DPR dulu. Jadi, tak perlu diperdebatkan. Hanya, bagaimana masalah itu diangkat lagi dan dicarikan penyelesaian secara damai sehingga terjadi rekonsiliasi bagi semua pihak.” (har/inu) 7 Wacana KKR 2006= 8 Jakarta Post, February 24, 2006 Human rights a nonissue to elite Tony Hotland, Jakarta Doing the necessary work to address human rights issues has never held much appeal for any administration in Indonesia. During the many decades that Sukarno and his successor Soeharto were in power, rights abuses of all types occurred. Subsequent presidents -- B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri -- had little time for such issues. AM Indeed, human rights were never discussed when Susilo Bambang Yudhoyono and Megawati were campaigning for the presidency in 2004. On the legislative side, it does not take a genius to determine the House of Representatives has never lived up to its billing as the representatives of the people, especially regarding rights issues. LS While the future protection of human rights in the country remains an uncertainty, settling past atrocities seems to be even less likely. gE Already frustrated by a lack of action over the 1998 Trisakti and Semanggi student shootings, families of the victims were dealt another blow last Thursday when the House decided to do nothing about a recommendation issued by lawmakers from the previous term. Legally flawed, the recommendation says there were no elements of gross human rights violations in the shootings, although an investigation by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) found otherwise. The commission implicated the military in the shootings. kli pin Unlike the commission, the House does not have the authority to make such a determination, and now this recommendation poses a hurdle to the Attorney General's Office as it tries to follow up on the case. House Commission III overseeing human rights issues promised last June to have the recommendation revoked, providing a glimmer of hope for the families of the victims. But months passed with no news until Thursday's decision, which was reached in a leadership forum. House Deputy Speaker Zaenal Maarif quoted fellow Deputy Speaker Soetardjo Soerjogoeritno, who is said to be the person most familiar with the issue, as saying that revoking the recommendation would be unethical. Speaker Agung Laksono says there is no precedent for revoking earlier House recommendations. It can be dangerous to make assumptions, but let's try these: Fact No. 1: Soetardjo is a top figure in the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which has close ties with the military, at least when it was the ruling party under Megawati's administration. 8 Wacana KKR 2006= 9 Fact No. 2: Agung is the vice chairman of the Golkar Party, an inseparable ally of the military during Soeharto's reign. "Funny, even the Constitution and laws can be revised and revoked," said National Awakening Party legislator Nursjahbani Katjasungkana, who dealt with human rights cases before moving into politics. "The idea that a decision by a commission can be overruled by four people is ridiculous. The leadership forum is only a substitute for a House consultative meeting, which deals only with scheduling issues." Another avenue for probing past human rights cases, the Truth and Reconciliation Commission (KKR), is still a long way from being formed, almost a year since the April 2005 "deadline" for its creation passed. AM The KKR eventually will investigate alleged human rights abuses that occurred between 1945 and 2000, with its main tasks being to seek the truth behind alleged abuses, facilitate a reconciliation between perpetrators and victims, and provide compensation and amnesty for both parties. Stuck with the President is a list of 42 names to be screened for possible inclusion on the commission, as he is too busy to arrange a meeting with the screening team. LS Yet, the President has time to travel the world. He even plans to visit Myanmar to preach democracy in another country accused of gross human rights abuses, as well as to South Korea to help reconcile the two Koreas. He can spare time to play golf with colleagues and even has time to meet with a group of librarians to discuss a private library at his residence. gE It is again shaky to make assumptions, but who's to blame? Fact No. 1: The President, infamous for his indecisiveness, is a retired military general. Fact No. 2: Vice President and Golkar leader Jusuf Kalla has openly expressed his objection to the KKR, calling it unnecessary. kli pin Still waiting for justice are hundreds of families and victims of the 1984 Tanjung Priok massacre, the 1989 Lampung incident, the 1997 forced disappearances of government critics, the May 1998 riots and others. This makes one wonder if the President's show of interest in the Commission of Truth and Friendship jointly formed with Timor Leste was only a result of international pressure. Yet the House remains more interested in toying with political issues rather than questioning the President's commitment to the national truth commission that has eluded the country. Usman Hamid of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence said no one had the courage to hold people accountable for past abuses. Ifdhal Kasim of the Institute for Policy Research and Advocacy agreed. "Reform isn't only about clean governance. It's also about respecting the right to speak up, as well as coming clean about the past," said Ifdhal. 9 Wacana KKR 2006= 10 With all the human rights cases so far heard in court having ended with the acquittal of the accused perpetrators, the Truth and Reconciliation Commission looks to be the last chance for victims and families of atrocities to seek justice. kli pin gE LS AM The writer is a journalist at The Jakarta Post. 10 Wacana KKR 2006= 11 Jakarta Post, February 24, 2006 SBY still seeking political support for truth body Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta The government continues to drag its feet on setting up the Truth and Reconciliation Commission (KKR), despite a law ordering its immediate establishment. When questioned about the body, State Secretary Yusril Ihza Mahendra said Thursday President Susilo Bambang Yudhoyono wondered whether there was sufficient "public support" to establish the commission, which was supposed to have been up and running by April last year. AM Under the law, the commission will be tasked with probing past human rights abuses that took place from 1945-2000. Many high level government officials and security chiefs from the New Order era are implicated in these abuses. The KKR will also seek to draw up a truth-telling mechanism to deal with the perpetrators and compensate the victims of past human rights cases. LS Yudhoyono met the KKR selection team on Thursday, more than six months after it screened and submitted 42 candidates to the President. Yudhoyono is supposed to pick 21 names for the commission, a list which will then be sent to the House of Representatives for approval. gE However, Yusril said the President still planned to meet the selection team and senior officials one more time to canvas their political support for the commission. The government was also preparing auxiliary regulations to implement the much-debated law, he said. "The President will try to meet and consult with heads of state institutions, such as the House of Representatives, the Supreme Court and the Constitutional Court on the working mechanism. (He) needs (more) political backing," Yusril said. He reiterated the President's commitment to establishing the commission. kli pin "We are aware that the process is overdue ... (but) we are considering the social and political situation. Please understand this," he said. Human rights observers have criticized the government for delaying the establishment of the commission. They particularly took issue with Kalla's comments on the affair last week. Comparing the situation at home to that in South Africa, Kalla said there was no need for Indonesia to have such a commission because there were no longer any alleged human rights abuses that needed to be resolved. Kalla also heads the Golkar Party, the home to many former Soeharto loyalists. Also on Thursday, Yusril announced the President had selected three police experts and three public figures to join a commission tasked with supervising the police. Yusril declined to name the six, pending the issuance of their appointment letters. 11 Wacana KKR 2006= 12 kli pin gE LS AM Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adisutjipto, Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin and Home Minister M. Ma'ruf will also sit on the Police Commission. 12 Wacana KKR 2006= 13 Kompas, Rabu, 15 Maret 2006 Pengadilan HAM Ad Hoc Gagal Rekonsiliasi Jadi Alternatif Jakarta, Kompas - Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Albert Hasibuan, mengatakan, Pengadilan HAM Ad hoc telah gagal menjalankan tugasnya memberi keadilan kepada korban kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam konteks itu, ia mengajak seluruh aktivis HAM mencari alternatif untuk memberikan keadilan. ”Lupakan tuntutan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Albert yang juga mantan Ketua Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) terakhir yang hanya menghukum Eurico Guteres dengan hukuman 10 tahun penjara. Pada kesempatan lain, MA membebaskan seluruh pejabat sipil, Polri, dan militer. AM Dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Selasa (14/3), Albert mengingatkan dengan melihat pada dua Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah dibentuk, yaitu Pengadilan HAM Tanjung Priok dan Pengadilan HAM Timtim yang tak satu pun menghukum orang yang bertanggung jawab, kecuali Eurico Gutteres keinginan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc Trisakti dan Semanggi serta Pengadilan HAM Ad Hoc Talangsari sebaiknya dipikir ulang. ”Perlu dicari alternatif lain, termasuk meminta keadilan dunia internasional,” ujarnya. gE Politik impunitas LS Menurut catatan Kompas, Indonesia menempuh banyak cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Kasus 27 Juli 1996 diselesaikan oleh Pengadilan Koneksitas yang membuktikan terdakwa Jonathan Marpaung bersalah dan terbukti melempar batu ke Kantor DPP PDI. Ada mekanisme pengadilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM Aberupa yang berujung pada bebasnya terdakwa. Yang terakhir adalah Pengadilan HAM Priok dan Timtim. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim juga mengatakan, pengadilan HAM terbukti justru mengukuhkan politik impunitas untuk melindungi pejabat Polri dan militer, namun gagal memberi perlindungan pada korban dan masyarakat. kli pin Mantan anggota Komnas HAM dan juga mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga yang kini Ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia tak sependapat dengan Albert. ”Pengadilan HAM Ad hoc tidak gagal. Saya kenal mereka,” ujarnya mengomentari kolega para hakim. Bagi Benjamin, problem rasa keadilan adalah sangat subyektif. Adil bagi terdakwa, tidak adil bagi korban. Adil bagi jaksa, tidak adil bagi pembela. ”Jadi, apa ukurannya,” kata dia yang sudah menduga putusan Pengadilan HAM Ad Hoc akan seperti itu. Benjamin juga membela tudingan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia tak memenuhi standar internasional. ”Standar internasional yang mana, tunjukkan,” ujarnya. Ia juga coba mendekonstruksi pikiran bahwa setiap terdakwa yang dibawa ke pengadilan harus dihukum. ”Kalau memang itu ya buat panitia penghukuman. Kalau pengadilan ya sifatnya begitu, kalau salah dihukum, kalau benar ya dibebaskan,” katanya. Bagi Benjamin, kecenderungan global adalah rekonsiliasi. Untuk itu ia mendorong agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang calon anggotanya sudah diseleksi panitia seleksi segera dipilih Presiden Yudhoyono. Albert ragu dengan KKR. ”Itu hanya bersifat politis dan simbolis,” katanya. Adapun Ifdhal 13 Wacana KKR 2006= 14 mengingatkan, KKR bukanlah alternatif dari pengadilan karena KKR juga membutuhkan pengadilan. (bdm) Vonis Mayjen (Purn) Rudolf Adolf Butar-Butar Mayjen (Purn) Pranowo Mayjen Sriyanto Kapten Sutrisno Mascung Asrori Siswoyo Abdul Halim Zulfata Sumitro Sofyan Hadi Prayogi Winarko Idrus Muhson Bebas (08-Jun 2005) Bebas (10-Agustus-2004) Bebas (12-Agustus-2004) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) Bebas (31-Maret 2005) AM Penyelesaian Kasus-kasus HAM Terdakwa Kasus Tanjuing Priok Brigjen Johni Wainal usman AKBP Daud Sihombing Kasus 27 Juli gE Kolonel CZI (Purn) Budi Purnama Letnan Satu (Inf) Suharto Mohammad Tanjung Jonathan Marpaung Panahatan Rahimmi Ilyas alias Buyung Nagari Djoni Moniaga alias Jojon Bebas (08-September-2005) Bebas (08-September-2005) LS Kasus Abepura Bebas (06-Januari 2004) Bebas (06-Januari 2004) Bebas (06-Januari 2004) 2 bulan 10 hari (06-Januari-2004 Bebas (06-Januari 2004) (meninggal dunia 25-Apr-2003 Kasus Timor Timur kli pin Abillio Jose Osorio Soares Adam Damiri GM Timbul Silaen Herman Sedyono Leoneto Martins M. Noer Muis Tono Suratman Letkol Asep Kuswani Liliek Koeshadianto Soedjarwo Endar Priyanto Asep Kuswani Achmad Syamsuddin Sugito Yayat Sudrajat Gatot Subiyaktoro Hulman Goeltom AKB Adios Salova Eurico Guterres Sumber Litbang Kompas Bebas (04-Nopember-2004) Bebas (29-Juli-2004) Bebas (12 -???- 2003) Bebas (03-Maret-2004) Bebas (19-Mei-2004) Bebas (19-Juli-2004) Bebas (22-Mei-2003) Bebas (19-Mei-2004) Bebas (03-Maret-2004) Bebas (29-Juli-2004) Bebas (29-Nopember-2002) Bebas (29-Nopember-2002) Bebas (03-Maret-2004) Bebas (03-Maret-2004) Bebas (30-Desember-2002) Bebas (03-Maret-2004) Bebas (29-Juli-2004) Bebas (19-Mei-2004) 10 tahun (13-Maret-2006) 14 Wacana KKR 2006= 15 Kompas, Senin 20 Maret 2006 Rekonsiliasi, Tugas Mendesak Gubernur Baru Barnabas Suebu dipastikan menjadi Gubernur Papua periode 2006-2011. Di tangan Suebu masyarakat Papua menggantungkan harapan penuh, termasuk penyelesaian masalah Provinsi Irian Jaya Barat. Harus ada komitmen pejabat dan elite politik Irian Jaya Barat dan Papua untuk mengakhiri perseteruan itu jika tidak ingin menghabiskan waktu, dana, dan tenaga dalam jumlah besar. Bambang Sugiono, dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, di Jayapura, mengemukakan, Suebu adalah seorang pemimpin besar Papua. Cerdas, berpengalaman, pernah lima tahun menjadi Gubernur Irian Jaya, pernah menjadi anggota DPRD Irian Jaya, Ketua KNPI Papua, duta besar luar biasa, dan memiliki pergaulan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. AM Sederetan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki Suebu itu diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua, terutama kemelut politik antara Papua dan Irian Jaya Barat (Irjabar). Meski dalam pidato politik menjelang pilkada, Suebu menolak pilkada Gubernur Irjabar, realitas politik telah mengantarkan seorang gubernur definitif di Irjabar dengan dukungan sekitar 61 persen dari 600.000 masyarakat Irjabar. LS ”Tugas paling mendesak dari Pak Bas (Barnabas Suebu) dan Pak Bram (Abraham Atururi— Gubernur Irjabar terpilih) dalam satu-dua bulan pertama adalah menyelesaikan masalah Irjabar. Tidak boleh ada agenda lain yang harus diselesaikan lebih awal kalau dua gubernur itu betul-betul ingin mencintai masyarakat dan ingin membangun suasana harmonis di Papua,” papar Sugiono. Bahas otsus gE Pemerintah pusat yang mendukung pelaksanaan pilkada di Irjabar diharapkan dapat memfasilitasi upaya penyelesaian masalah Irjabar. Pemerintah pusat tak boleh membiarkan persoalan Irjabar terus bergulir. Elite politik kedua daerah itu, seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan DPRP harus memiliki niat baik untuk mengakhiri perseteruan di Papua. kli pin Masih menurut Sugiono, para tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda dari kedua provinsi dapat dipertemukan bersama-sama, mencari jalan terbaik mengakhiri perseteruan politik antara kedua daerah yang berlangsung sejak 2003 hingga hari ini. Penyelesaian masalah Irjabar sangat mendesak dan kunci membangun Papua yang aman, damai, dan sejahtera pada lima tahun yang akan datang. Pertemuan itu untuk membahas bagaimana implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus pascapilkada di kedua daerah, terutama Irjabar. Pembahasan itu harus transparan, transformatif, dan akuntabel. ”Bagaimanapun Papua harus menerima kenyataan bahwa Irjabar sudah definitif sebagai sebuah provinsi meskipun belum memiliki dasar hukum keberadaan secara jelas,” ujar Sugiono. Visi dan misi yang disampaikan Barnabas Suebu di hadapan anggota DPRP dan selama kampanye politik di Papua cukup jelas, yakni mendukung keutuhan NKRI. ”Untuk apa merdeka dalam artian pemisahan wilayah secara geografis? Kalau merdeka dalam arti pembebasan dari kemiskinan, keterbelakangan, keterisolasian, dan kebodohan, kita perjuangkan bersama dalam kerangka NKRI,” ujar Suebu. Opsi yang ditawarkan MRP ketika mengajukan hasil konsultasi publik di Irjabar kepada pemerintah pusat dapat dikaji kembali untuk menyelesaikan masalah Irjabar. Apabila pemerintah pusat tetap menyelenggarakan pilkada di daerah itu, harus tetap mempertahankan satu kesatuan sosial, ekonomi, dan budaya orang asli Papua. Tidak boleh ada penambahan pasukan TNI/Polri, pembangunan kodam dan polda baru, dan tidak boleh menerima kaum migran dari luar Papua. 15 Wacana KKR 2006= 16 Namun, opsi itu sampai pelaksanaan pilkada di Irjabar tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat. Pusat sama sekali tidak memberi perhatian kepada hasil konsultasi publik yang dilakukan MRP, tetapi secara diam-diam mendorong pelaksanaan pilkada di Irjabar. Ketua MRP Agus Alue Alua menegaskan, jika pemerintah pusat tidak memerhatikan usulan dari MRP, MRP dan DPRP akan mengembalikan UU Otsus ke Jakarta. Tindakan itu sebagai realisasi dari penolakan dan pengembalian Otsus oleh masyarakat, Agustus 2005. Ketika hampir 10.000 warga Papua di Jayapura melakukan aksi demo mengembalikan UU Otsus ke DPRP Papua, saat itu MRP belum terbentuk. MRP sebagai lembaga kultural bertugas mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua. AM Terkait pelaksanaan pilkada di Irjabar, MRP belum mengambil sikap. Konsentrasi MRP saat ini ke masalah PT Freeport Indonesia (PT FI). Aspirasi masyarakat yang beragam terkait keberadaan PT FI mendesak MRP segera mengambil sikap yang jelas terhadap perusahaan milik investor Amerika Serikat itu. Namun, yang jelas MRP bersama DPRP akan mengembalikan UU Otsus sebagaimana disampaikan pimpinan MRP beberapa waktu lalu. Tindakan itu sebagai jalan terakhir mengakhiri segala konflik di Papua terkait dengan pelaksanaan UU Otsus. Papua kembali seperti masa sebelum Otsus. Peran dua gubernur LS Sugiono menyatakan, semua pihak perlu melakukan kajian bersama tentang untung-ruginya mengembalikan UU tersebut bagi masyarakat Papua. gE Oleh karena itu, peran kedua gubernur baru sangat penting. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur harus mampu merangkum seluruh lembaga dan mitra kerja di daerah. termasuk MRP, DPRP, bupati/wali kota, dan DPRD. kli pin ”Kedua gubernur itu telah memberi janji-janji politik kepada masyarakat di dua wilayah Papua dan Irjabar. Kesejahteraan menjadi topik utama janji mereka. Kesejahteraan itu terbangun kalau ada kesungguhan dari para pejabat dan elite politik untuk menyelesaikan masalah-masalah politik antara kedua daerah,” papar Sugiono. Persoalan Irjabar mudah diatasi kalau semua komponen masyarakat sama-sama menyingkirkan kepentingan pribadi dan kelompok demi kesejahteraan masyarakat secara murni dan konsekuen. Irjabar harus masuk dalam sistem Otsus sehingga mudah ditata. Bisa jadi Provinsi Papua tetap berdiri sebagai sebuah provinsi besar. Di bawah provinsi besar itu ada provinsi bagian yang disebut Provinsi Papua bagian Barat, Papua bagian Selatan, Papua bagian Tengah, Papua bagian Timur, dan Provinsi Teluk Cenderawasih. Irian Jaya Barat akan berubah nama menjadi Provinsi Papua Bagian Barat. Tidak pantas disebut Papua Barat karena memiliki konotasi kurang pas dalam paham NKRI.(Kornelis Kewa Ama) 16 Wacana KKR 2006= 17 Jakarta post, March 20, 2006 Rights victims want truth law reviewed JAKARTA: Victims of human rights abuses have called for a review of the 2004 Law on the Truth and Reconciliation Commission (KKR), which they say gives impunity to state officials implicated in a series of state crimes. "Through the establishment of a KKR, we are worried that the government has just looked for justification over the past violence, while on the other hand, victims have to accept reconciliation with the state," said Mugiyanto, a human rights activist who provides legal advocacy for human rights victims grouped in the Association of Relatives of Missing Persons (Ikohi). Ikohi said this was discussed during a three-day national congress that ended March 10 in Makassar, South Sulawesi. AM The law was enacted two years ago, but the KKR was not yet been established as President Susilo Bambang Yudhoyono continues to delay the selection of 21 of 42 candidates proposed by the governmentsanctioned selection committee. Their selection must be approved by the House of Representatives. kli pin gE LS Politicians have said the commission was expected to delve into past human rights cases purportedly involving state officials during the Soeharto administration. --JP 17 Wacana KKR 2006= 18 LSM Minta Aturan Kerja Dibuat oleh KKR yang akan Terbentuk Aturan Pelaksana UU KKR, Hukum online, [27/3/06] http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14621&cl=Berita Tim Advokasi akan mendaftarkan permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi. Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan (Tim Advokasi), Senin (27/3) meminta agar pemerintah memberikan kesempatan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk untuk membuat sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka. AM Permintaan Tim Advokasi yang terdiri dari LBH Jakarta, Kontras, Elsam, Solidaritas Nusa Bangsa, Imparsial dan Lembaga Pengabdian Hukum Yekti Angudi Piadekin Hukum Indonesia itu didasari atas pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara tentang rencana pemerintah yang akan melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana UU 27/2004 tentang KKR. Aturan pelaksana itu meliputi; Keputusan Presiden tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja serta Peraturan Presiden mengenai Struktur dan Organisasi KKR. Langkah pemerintah ini menurut Taufik Basari, Koordinator Tim Advokasi, sebagai suatu intervensi pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR, penyusunan kode etik Komisi serta tata tertib dan mekanisme kerja Komisi merupakan kewenangan sidang Komisi. Pemerintah hanya berwenang mendukung kerja Komisi melalui Sekretariat Komisi. LS Selain itu, Tim Advokasi menganggap langkah pemerintah ini berpotensi membatasi kerja-kerja KKR yang sebenarnya sudah terperangkap oleh pembatasan dalam UU KKR. Misalnya dalam pasal 29 UU KKR, mengatur tentang mekanisme yang menggunakan pendekatan interpersonal, dimana penyelesaian suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku. gE Mekanisme ini mempunyai tiga kemungkinan; Pertama, apabila pelaku dan korban saling memaafkan maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian. Selanjutnya, apabila rekomendasi amnesti untuk pelaku dipenuhi Presiden, barulah korban memperoleh kompensasi dan rehabilitasi. kli pin Kedua, apabila korban tidak bersedia memaafkan, maka komisi akan memberikan rekomendasi secara mandiri dan obyektif. Ketiga, apabila pelaku tidak mengakui kesalahannya, maka ia akan dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc, pengadilan yang menurut mereka pembentukannya tidak mudah. Pembatasan berikutnya adalah soal sempitnya waktu Komisi untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24 UU KKR memberikan batas waktu yang menurut Tim Advokasi tidak masuk akal, yakni 90 hari terhitung korban datang ke Komisi. Menurut Tim Advokasi, kalaupun Pemerintah tetap bermaksud membuat aturan pendukung Komisi, maka aturan tersebut harus dibuat dengan tujuan mendukung kerja-kerja Komisi. Tim Advokasi menambahkan, aturan pendukung ini harus memberikan jaminan bahwa Komisi dapat mengakses segala data dari berbagai instansi. Perlu diketahui, sampai saat ini Presiden belum memilih anggota KKR dari 42 nama yang keluar dari panitia seleksi anggota KKR. Selain itu, tim juga melihat UU KKR yang ada saat ini memiliki banyak kelemahan dan cacat. Baik dari keadilan, logika hukum dan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu, tim advokasi berencana mengajukan permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi. Menurut jadwal. Permohonan uji materiil itu akan didaftarkan besok, Selasa (28/3). 18 Wacana KKR 2006= 19 Suara Pembaruan, Selasa, 28 Maret 2006 UU KKR Kandung Kelemahan Fundamental JAKARTA - DPR dan pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena UU tersebut mengandung kelemahan fundamental dan meniadakan hak-hak korban. Kecacatan UU tersebut amat berbahaya bagi kelangsungan sejarah bangsa Indonesia karena KKR bertugas mengungkapkan kebenaran dan hasilnya akan menjadi official history. Apabila bukan kebenaran yang terungkap melainkan semata-mata pengampunan belaka yang dihasilkan oleh KKR, maka rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai dan bangsa Indonesia selamanya akan diliputi oleh manipulasi-manipulasi sejarah dan fakta. AM Demikian dikatakan sejumlah aktivis dari beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan di Jakarta, Senin (27/3). Para aktivis itu antara lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Kepala Operasional Kontras Indria Fernida, aktivis LBH Jakarta yang juga sebagai Koordinator Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari dan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman. LS Mereka menyerukan seperti itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, beberapa hari lalu, yang mengatakan, pemerintah akan melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang tata cara dan mekanisme kerja, serta peraturan presiden (Pepres) mengenai struktur dan organisasi KKR dalam waktu sebulan sejak akhir Februari 2006. gE Para aktivis itu mengatakan, desakan untuk merevisi UU tersebut merupakan usaha jangka panjang mereka. Dan, usaha jangka pendek Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan adalah mengajukan permohonan uji materiil UU KKR tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/3). kli pin "Selasa besok, kita akan mendaftarkan permohonan uji materiil atas UU KKR ke MK, dengan alasan seperti tersebut di atas" kata Taufik Basari. Menurut Basari, keberadaan KKR, sangat berpengaruh bagi kelangsungan penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Namun, dengan UU KKR yang penuh kecacatan akan membuat komisi yang akan terbentuk ini tidak dapat bekerja dengan baik. Para aktivis itu mendesak pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap aturan-aturan dalam UU KKR yang membatasi kerja-kerja KKR. Mereka mendesak pemerintah agar tidak mengeluarkan aturan-aturan yang membatasi kerja KKR dan sebaliknya menjamin KKR dapat mengakses segala data untuk kepentingan pengungkapan kebenaran. Menurut mereka rencana pemerintah sebagaimana dikatakan Yusril tersebut merupakan intervensi pemerintah yang terlalu jauh dan berpotensi semakin membatasi kerja KKR. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada KKR yang akan terbentuk untuk membuat sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka (KKR). KKR sudah benar-benar terperangkap oleh pembatasanpembatasan dalam UU Nomor 27 Tahun 2004, dan jangan diperparah lagi dengan pembatasan lebih jauh dari pemerintah. Dikekang Menurut Basari, KKR yang akan terbentuk sebenarnya telah dikekang ruang geraknya oleh UU KKR mulai dari mekanisme yang menggunakan pendekatan penyelesaian interpersonal, dimana penyelesaian suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku (pasal 29 UU KKR). 19 Wacana KKR 2006= 20 Kemudian apabila pelaku dan korban saling memaafkan maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian. Selanjutnya apabila rekomendasi amnesti untuk pelaku dipenuhi oleh presiden maka barulah korban mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi. Skenario lainnya dalam pasal 29 tersebut adalah apabila korban tidak bersedia memaafkan maka KKR akan memberikan rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif. Skenario ketiga, apabila pelaku tidak mau mengakui kesalahannya maka ia akan dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. "Untuk skenario terakhir ini menyisakan suatu ketidakjelasan mengingat pengalaman selama ini membentuk pengadilan HAM ad hoc tidaklah mudah seperti kasus pengadilan HAm ad hoc pun menjadi tanda tanya," kata Basari. AM Pembatasan berikutnya adalah sempitnya waktu KKR untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24 UU KKR memberikan batas yang tidak masuk di akal, yakni 90 hari terhitung sejak korban datang ke KKR, dilanjutkan dengan investigasi dan penelusuran data, mencari dan memanggil pelaku, dan merumuskan rekomendasi amnesti. Dengan pembatasan waktu ini akan membuat KKR tergesa-gesa dalam bekerja sehingga dapat mengesampingkan tugas utamanya yakni mengungkapkan kebenaran yang senyatanya. LS Usman Hamid mengatakan, keinginan pemerintah untuk membuat "aturan main" KKR merupakan pelanggaran terhadap UU KKR sendiri dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR, penyusunan kode etik KKR serta tata tertib dan mekanisme kerja KKR merupakan kewenangan sidang KKR. gE Sedangkan pemerintah hanya berwenang mendukung kerja KKR melalui sekretariat KKR. Menurut pasal 14 dan 15, KKR dibantu oleh sekretariat KKR yang bertugas memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatannya (KKR). Selanjutnya sekretaris KKR diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden, dan ketentuan mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretariat KKR diatur dengan peraturan presiden. kli pin Kalaupun pemerintah tetap bermaksud untuk membuat aturan pendukung KKR, maka aturan tersebut semata-mata harus bertujuan untuk mendukung kerja-kerja KKR, dan bukan sebaliknya berisi pembatasanpembatasan. Aturan pendukung ini harus berisi jaminan, KKR komisi dapat mengakses segala data dari berbagai instansi, sanksi terhadap instansi yang tidak mau bekerja sama, dukungan aparat negara dan perlindungan terhadap anggota KKR. (E-8) Last modified: 28/3/06 20 Wacana KKR 2006= 21 Suara Pembaruan, Rabu 29 Mar. 06 Korban Pelanggaran HAM Ajukan Permohonan Uji Materiil UU KKR JAKARTA - Korban pelanggaran HAM di Indonesia bersama sejumlah aktivis dari delapan LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan mengajukan uji materiil atas UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/3). Menurut mereka ada sejumlah pasal UU KKR bertentangan dengan UUD 1945. AM Korban pelanggaran HAM dan para aktivis dari delapan LSM itu adalah Asmara Nababan mewakili Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ibrahim Zakir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Esther Yusuf dari SNB, Rachland Nashidik dari Imparsial, Soenarno Tomo Hardjono dari Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Sumaun Utomo dari Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Rahardjo Waluyo, Djati mewakili korban penculikan aktivis 1998, Tjasman Setyo Prawiro mewakili korban peristiwa 30 September 1965 dan Taufik Basari dari LBH Jakarta. Menurut Ketua Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, Taufik Basari, mereka mengajukan tiga pasal untuk diuji, yakni pasal 1 ayat (9), pasal 27 dan pasal 44. Pasal 27 yang berbunyi "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan". LS Menurut Taufik, pasal 27 itu merupakan pasal yang diskriminatif. Pasal itu juga dianggap melanggar prinsip HAM. Sebab, hak atas pemulihan adalah hak yang melekat pada korban dan tidak dapat digantungkan pada kondisi lain, termasuk amnesti. gE Perumusan pasal 27 itu menempatkan korban dalam posisi yang tidak menguntungkan di mana korban sulit untuk memberikan keputusannya secara bebas. Korban harus menghadapi ketiadaan pilihan yang bebas, yakni harus menerima apa pun pengakuan pelaku, kemudian meminta maaf dan berharap agar maafnya tersebut dapat membantu pelaku mendapatkan amnesti. kli pin Hal ini terpaksa dilakukan korban agar mendapat kepastian mengenai haknya akan kompensasi dan rehabilitasi. Keadaan ini akan semakin diperparah ketika korban merupakan orang yang tidak mampu atau begitu semakin menderita karena harus terpaksa memberikan persetujuannya mengenai proses pemaafan untuk amnesti ini tanpa didasari atas kesepakatan yang bebas. Tidak Bertanggung Jawab Keadaan lain yang terjadi adalah apabila pelaku tidak dapat ditemukan atau dinyatakan tidak bertanggungjawab, atau tidak mendapatkan amnesti, maka korban tidak akan mendapatkan haknya. Padahal pemenuhan hak korban atas pemulihan merupakan tanggung jawab negara. Pasal 44 yang berbunyi "Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi (KKR), perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad Hoc" telah melanggar prinsip dalam KKR. Karena KKR tidak boleh dijadikan sebagai pengganti pengadilan dan pengadilan itu harus berjalan secara paralel. 21 Wacana KKR 2006= 22 Selain itu keberatan pada pasal 1 ayat 9 yang berbunyi "Amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR" terkait pada persoalan definisi pelanggaran HAM berat. "Amnesti itu oke-oke saja. Tapi seharusnya tidak boleh diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat," kata Taufik. Taufik mengatakan, selain mengajukan permohonan, mereka juga telah melampirkan sejumlah data buktibukti dan saksi. Pihaknya juga telah mempersiapkan delapan saksi ahli dan tiga saksi korban yang siap untuk dihadirkan di persidangan. (E-8) kli pin gE LS AM Last modified: 29/3/06 22 Wacana KKR 2006= 23 Pasal Amnesti dalam UU KKR Dianggap Melanggar HAM Hukum Online, [29/3/06] http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14634&cl=Berita Gaung Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seolah hilang begitu saja. Inilah salah satu wajah UndangUndang yang tidak berjalan efektif. Sejumlah kalangan menggugat konstitusionalitasnya. Gugatan itu datang dari sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan (TAKK). Gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat ini, Selasa kemarin (28/3) mendatangi Mahkamah Konstitusi. Mereka mendaftarkan permohonan pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). AM Sejak diundangkan 6 Oktober 2004, di masa pemerintahan Megawati, Undang-Undang KKR nyaris tak menunjukkan taringnya dalam menyelesaikan kejahatan masa lalu atau masalah-masalah hak asasi manusia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk atas perintah Undang-Undang ini pun seolah hilang tak tentu rimba. Bisa jadi, banyak orang yang sudah melupakannya. Untunglah, kini TAKK mengingatkan kembali memori masyarakat tentang KKR. Walaupun dengan cara mengajukan judicial review terhadap tiga pasal dari Undang-Undang KKR. Menurut Taufik Basari, koordinator koalisi, pihaknya mempersoalkan pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 angka (9). Ketiga pasal itu dianggap diskriminatif dan melanggar HAM. gE LS Pasal 27 misalnya mengatur kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Dikatakan Taufik, ketentuan ini melanggar prinsip hukum yang diatur dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victim of Gross Violations of International Human Rightss Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. Juga bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Anti Diskrimasi Rasial, Konvensi Hak Anak, Kumpulan Prinsip untuk Melindungi dan Memajukan HAM Melalui Aksi Memerangi Impunity, serta Yurisprudensi Mahkamah Internasional. kli pin Dalam pandangan TAKK, pasal 27 menempatkan korban dalam posisi yang tidak menguntungkan karena korban sulit memberikan keputusannya secara bebas. Mau tidak mau korban harus menerima apapun pengakuan pelaku, kemudian memberikan maaf dan berharap agar maafnya tersebut dapat membantu pelaku mendapatkan amnesti. Kewenangan memberikan amnesti itu, sesuai rumusan pasal 1 angka (9), ada di tangan Presiden, dengan memperhatikan pandangan DPR. “Pasal itu kami pandang sebagai hal yang diskriminatif dan melanggar prinsip-prinsip HAM karena hak atas pemulihan kompensasi dan rehabilitasimerupakan hak yang melekat pada korban terlepas apakah pelakunya dapat amnesti atau tidak,” Taufik menjelaskan. Begitu juga rumusan pasal 44 yang memungkinkan pelanggaran HAM berat tidak dibawa ke meja hijau. KKR, kata Taufik, tidak boleh menjadi substitusi dari lembaga peradilan. Kalaupun bisa, kedua hanya bisa berjalan paralel. Bila dijadikan subtitusi pengadilan, korban akan sulit mendapatkan keadilan dan akses terhadap keadilan itu sendiri (right to acces to justice). 23 Wacana KKR 2006= 24 Komaps, Kamis 13 Apr. 06 Uji Materi Undang-Undang KKR Diajukan ke MK Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi mulai menggelar sidang uji materi Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan agenda materi pemeriksaan pendahuluan, Rabu (12/4). Uji materi UU KKR itu diajukan oleh Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Natabaya dengan anggota majelis hakim Harjono dan Soedarsono. Dari pemohon, hadir tim kuasa hukum Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, Taufik Basari. Tim itu merupakan gabungan dari beberapa lembaga, yaitu LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, Imparsial, dan LPH Yaphi. AM Ada tiga pasal dalam UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diajukan untuk diuji materi, yaitu pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 ayat 9. Ketiga pasal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 28I Ayat 5 UUD 1945. LS Pasal 27 menyebutkan, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Taufik mengatakan, hak yang melekat pada korban dan kewajiban negara ini tidak dapat digantungkan pada kondisi lain, termasuk amnesti. "Bahkan, hak ini tetap menjadi hak korban, terlepas apakah pelakunya ditemukan atau tidak," katanya. Menurut Taufik, UU KKR ternyata menegasikan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang melindungi korban. Padahal, UUD 1945 memberikan jaminan kepada warga negara Indonesia atas penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. kli pin gE Majelis hakim meminta supaya pemohon melengkapi lagi penjelasan siapa korban pelanggaran HAM dan legal standing pemohon dalam uji materi UU KRR itu. (SIE) 24 Wacana KKR 2006= 25 Kompas, Sabtu 22 April 2006 Negara Hukum di Tengah Ancaman Budiman Tanuredjo Indonesia punya pengalaman dalam melanggar hak asasi manusia rakyatnya. Namun, Indonesia tak punya pengalaman menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia ketika rezim otoritarian runtuh dan muncul pemerintahan demokratis. Ketika tanggung jawab dituntut, yang muncul adalah kegamangan. Hujan lebat mengguyur Jakarta ketika saya berbincang dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara di kantor firma hukumnya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. AM Terasa ada yang berubah dari cara Abdul Hakim mengutarakan gagasan dan pandangannya terhadap berbagai masalah dibandingkan dengan saat menjabat pimpinan Yayasan LBH Indonesia maupun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Pernyataannya lebih berhati-hati, tidak selugas dan sekritis ketika dia menjadi aktivis LSM. Kesan itu tak dibantahnya. "Saya harus melihat realitas, tidak lagi hitam-putih. Mungkin juga karena faktor usia," dalihnya sambil tertawa. Ia dikenal sebagai tokoh LSM yang kritis. Tapi dalam pencalonan menjadi anggota Komnas HAM ia justru dicalonkan PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia. "Tak ada dukungan dari YLBHI, Elsam, maupun Walhi," selorohnya. LS Lima tahun jabatan anggota Komnas HAM akan berakhir tahun 2007. Ia belum memastikan apakah akan maju lagi untuk meneruskan jabatannya yang kedua. "Lihat saja nanti," ucapnya diplomatis. Berikut petikan percakapan di tengah hujan lebat sambil makan siang. gE Komnas HAM menginjak 13 tahun, reformasi delapan tahun, bagaimana Anda lihat perkembangan HAM di Tanah Air? kli pin Kondisi HAM setelah reformasi tidak bisa ditarik suatu gambar yang tunggal. Antara wilayah yang satu dengan wilayah lain tidak sama. Kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi ini mungkin hampir sama di semua wilayah dalam gradasi berbeda. Tapi kalau kita bicara mengenai hak atas rasa aman itu berbeda. Orang di Poso atau orang di Aceh pada masa darurat militer tentu tak bisa menikmati hak atas rasa aman. Tapi secara keseluruhan kalau bicara hak sipil dan politik relatif lebih baik dibandingkan zaman Orde Baru. Di bidang hak ekonomi, sosial budaya ini memang masih bermasalah, terutama hak atas pekerjaan, pengangguran tinggi, lapangan kerja sulit. Hak atas pendidikan. Tidak hanya tak bisa sekolah, yang bersekolah pun dihadapkan pada tidak memadainya gedung. Hak atas due process of law (proses hukum yang fair dan adil) menyedihkan bagi masyarakat yang secara ekonomis kurang. Orang diambil tanahnya begitu saja. Jadi, proses hukum yang fair jadi faktor terlemah? Ya. Artinya tidak hanya dari sisi aparatnya yang melanggar, tapi juga kelompok non-negara juga melanggar. Tanggung jawab untuk memberikan proses hukum yang adil ada pada negara, yaitu aparat penegak hukum. Tapi dalam beberapa kasus, aparat negara tidak menunjukkan kesungguhannya. Itu yang diderita orang Ahmadiyah, misalnya. Kalau hal seperti ini terus terjadi, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang gagal melindungi warganya sendiri. Kenapa otoritas negara tak bisa beri perlindungan? Saya tak melihat itu sebagai masalah sumber daya. Tapi itu merupakan ancaman serius terhadap negara hukum. Kelompok di dalam negara yang mendukung reformasi dan berideologi negara hukum belum mampu mengonsolidasikan kekuatan sehingga negara sepertinya gamang dalam suasana reformasi. 25 Wacana KKR 2006= 26 Presiden dipilih langsung sehingga asumsinya punya mandat kuat. Kenapa menjadi gamang? Ini kan negara yang tadinya otoriter, mau diubah ke negara demokratis yang perilakunya harus sejalan dengan alam demokrasi. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi maraknya "penegakan hukum" oleh kelompok masyarakat. Kalau tak segera diatasi, akhirnya membawa Indonesia ke negara yang gagal. Padahal, dalam proses menuju negara demokratis kita butuh negara yang kuat sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama. Negara kuat dalam arti negara yang mampu menjalankan kedaulatan hukum yang disepakati aktor politik dalam demokrasi. Negara harus mampu menjalankan. Kalau tidak kita menjadi soft state. Jadi memang dibutuhkan suatu leadership tak hanya dalam penegakan hukum, tapi juga pembangunan hukum. Apakah negara bisa menegakkan kedaulatan hukum dengan melihat kenyataan yang ada? Ada penilaian Pengadilan HAM Ad Hoc telah gagal? AM Rezim transisi ini sejak kelahirannya, 1998, sudah menetapkan kebijakan kompromi. Di bidang HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 dipertimbangkan dampak politiknya. Itu dibuktikan dengan adanya ketentuan dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk melibatkan DPR. DPR yang mempunyai kewenangan mengusulkan ke presiden perlu tidaknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Itu kan politik. Ke depan, kedaulatan hukum harus dikedepankan. gE Jangan-jangan memang tak ada niatan? LS Apakah itu pengadilan HAM atau penyelesaian BLBI itu merupakan kompromi politik. Diputuskan lewat proses politik yang melibatkan DPR dan pemerintah. Pihak yang berkompromi tentu sudah menghitung kekuatannya. Menjawab pertanyaan Anda, Pengadilan HAM Ad Hoc gagal, iya. Gagal memberi keadilan kepada korban. Tapi saya rasa, apakah berarti proses penuntasan kasus pelanggaran HAM itu secara benar dan tuntas juga gagal, ini belum. Kita tunggu kinerja komisi lain. kli pin Kita belum punya pengalaman. Kita punya pengalaman pelanggaran HAM, tapi bagaimana menyelesaikan ketika akan menuju negara demokratis, kita tak punya. Beberapa negara punya cara berbeda. Ada negara yang berhasil meminta tanggung jawab pemimpin otoriter yang melanggar HAM, tapi sampai di situ tak ada upaya lebih jauh untuk mengusut tuntas, misalnya Argentina. Korsel setelah presidennya dihukum, Thailand waktu peristiwa penembakan demonstran tahun 74 dan terakhir 90-an juga nggak diapa- apakan. Ada negara yang mengakui pelanggaran HAM, ada korbannya diakui, tapi tidak jelas menyebut siapa pelakunya. Indonesia pola apa? Setelah membaca pengalaman negara lain menimbang realitas yang dihadapi, Indonesia tak memilih A dan B. Kebijakan formil Indonesia menggunakan dua jalan: lewat proses pengadilan dan lewat KKR. Jadi, satu kasus pelanggaran HAM berat itu kalau mau diselesaikan lewat pengadilan DPR menggelar rapat untuk meminta kepada presiden. Ini keputusan politik. Tapi jika DPR berpendapat akan muncul problem, diselesaikan lewat KKR. Negara hukum demokratis Cita-cita LBH—tempat Abdul Hakim mengawali karier—adalah membentuk negara hukum yang demokratis. Cita-cita itu masih diusungnya saat menjadi Ketua Komnas HAM Mana yang lebih mungkin mengartikulasi ide negara hukum yang demokratis sebagai aktivis LSM atau Komnas HAM? 26 Wacana KKR 2006= 27 Perannya beda. LSM itu mengadvokasi suatu kelompok yang menurut nilai LSM itu perlu dibela. Komnas HAM berada di tengah, mendengarkan pendapat LSM mengenai suatu masalah, tapi juga mempertimbangkan pihak yang ditentang LSM. Kalau Komnas HAM sama dengan LSM, akan timbul distrust dan ketidakpercayaan dari pihak lain yang akan diselidiki. Bagaimana Anda melihat upaya menuju sebuah negara hukum demokratis? Kalau dilihat dari produk kebijakan dan hukum, jalan yang diambil sudah benar di tengah berbagai kesulitan. Perubahan UUD 1945 memang banyak dikritik karena metodanya lewat MPR tidak melalui penentuan pendapat rakyat, tidak sistematis. Tapi menurut saya, konsep dan prinsip dasar menuju konstitusi ideal sudah diletakkan. Bagaimana implementasinya? AM Kalau kita bicara ideologi negara hukum sebagaimana yang kita pahami soal kesamaan di muka hukum, semua paham primordialisme, sektarianisme, eksploitasi sentimen kultural untuk meraih kekuasaan harus dikesampingkan. Itu kan belum terjadi. Itu krisis sumber daya hukum dalam arti daya politik, kultural, sosial yang mendukung bekerjanya sebuah sistem dan mekanisme hukum secara benar. Dalam situasi sumber daya hukum lemah, ketika dihadapkan pada kekuatan luar, senjata hukum jadi tak berdaya. Bagaimana dalam praktik pembangunan hukum di DPR? gE LS Menurut saya tidak sejalan dengan apa yang sudah dicapai dalam konstitusi. Misalnya mana yang harus dianggap strategis, antara menyempurnakan UU Otonomi Daerah dalam rangka memperkuat peran pemda dalam memberi pelayanan publik dengan UU antidiskriminasi ras dan etnis yang dibuat DPR atau RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Saya tak mengatakan pornografi bisa disepelekan, tapi sudah ada perangkat hukum yang mengaturnya sendiri. Siapa yang harus ngawasi? kli pin Itu butuh kepemimpinan. Sesuatu yang dituangkan dalam konstitusi berjalan kalau ada kepemimpinan yang mencakup pemerintah dan DPR. Negara yang berhasil mengawal perubahan menuju negara demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang kuat untuk mengarahkan perubahan. Kita lihat Afrika Selatan, bukan persoalan Nelson Mandela, tapi African National Congress, pemuka agama memberikan arahan menuju pada satu visi yang disepakati. Di sini kan tidak? Bukankah tujuan negara ada di konstitusi? Iya. Tapi visi itu butuh penyiasatan untuk implementasi. Kita ini sepertinya dihadapkan pada situasi serba tergopoh-gopoh karena desakan kekuatan luar. Kita tergopoh-gopoh mereformasi hukum ekonomi karena tekanan IMF, Bank Dunia. Maka jadilah UU Kepailitan. Karena tekanan internasional tergopoh kita bikin Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan Timtim. Sementara KKR yang sudah lama diperintahkan tak dibuat. Kalau model kepemimpinan seperti ini berlanjut, kita nggak akan maju. Kita tak bisa mencari prakarsa menembus kebuntuan. Seharusnya cara berpikir tidak demikian. Kalau kita memperkuat hukum HAM dengan meratifikasi berbagai konvensi, itu harus dipahami sebagai kebutuhan. 27 Wacana KKR 2006= 28 Kompas, Sabtu 22 April 2006 UU KKR Setahun Terbengkalai Kesungguhan Presiden Dipertanyakan Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 6 Oktober 2004 terbengkalai implementasinya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya terbentuk pada 6 April 2005 belum juga bisa dibentuk. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) kepada pers di Jakarta, Jumat (21/4), mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merealisasikan KKR. "Ini sebenarnya menyangkut manajemen pemerintahan. Pemerintah seharusnya bisa menetapkan mana yang harus diprioritaskan, mana yang tidak," ucapnya. AM Dalam perkembangan terakhir, Presiden Yudhoyono bertemu dengan panitia seleksi anggota KKR tanggal 23 Februari 2006. Pada saat itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Presiden mengatakan masih membutuhkan waktu yang cukup untuk menyusun peraturan pelaksanaan UU No 27/2004 (Kompas, 24/2). UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004. Dalam Pasal 45 Ayat 3 disebutkan, "Pembentukan Komisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan". LS Gayus mengatakan, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM, masalah itu beberapa kali ditanya- kan anggota DPR. "Kita akan menanyakan lagi kepada pemerintah," ucapnya. gE Sementara praktisi hukum Bambang Widjojanto mengemukakan tiga hal yang perlu mendapat jawaban dari Presiden Yudhoyono. Pertama, secara politik apakah Presiden menganggap KKR diperlukan atau tidak karena KKR itu adalah perintah UU No 27/2004. "Kalau tak diperlukan, bagaimana menyelesaikan solusi hukumnya," kata Bambang yang ikut menyeleksi calon anggota KKR dan sudah menyerahkan 42 nama calon kepada Presiden. kli pin Kedua, realitas sosiologis menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat melalui pengadilan tidak berhasil memberikan keadilan kepada korban. "KKR bisa menjadi solusi tapi mengapa terjadi buying time," katanya. Ketiga, Bambang mengingatkan problem KKR bukan hanya personalia, melainkan juga aturan main di dalam KKR. Jika tak ada kepemimpinan yang kuat dalam KKR nanti, ia khawatir pembahasan aturan main bisa memakan waktu. Karena itu, ia menyarankan dan bisa mengerti kalau pemerintah ikut menyiapkan draf aturan main dari KKR. Bambang tak berani menilai keterlambatan pembentukan KKR sebagai kelemahan manajemen pemerintahan. "Saya menanyakan kesungguhan presiden merealisasikannya," ucapnya. KKR adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi. (bdm) 28 Wacana KKR 2006= 29 Kompas, Senin, 19 June 2006 Penundaan KKR Ciptakan Kondisi Dilematis Jakarta, Kompas - Sikap pemerintah mengulur-ulur waktu pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menciptakan suatu kondisi dilematis. Dilema itu dihadapi calon anggota KKR yang namanya sudah di tangan Presiden. Kondisi tersebut terungkap lewat perbincangan Kompas, pekan lalu, dengan dua calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Ifdhal Kasim dan Fadjroel Rachman. AM Mereka menilai, penundaan yang terus terjadi dan berlarut-larut tanpa kejelasan akan membuat masyarakat semakin apatis terhadap pentingnya keberadaan KKR. Semakin lama pembentukan KKR tertunda, maka komisi itu akan semakin kehilangan momentumnya. LS "Bahkan ketika KKR pada akhirnya terbentuk, masyarakat sudah berada dalam posisi yang apatis, meragukan, dan bahkan justru mempertanyakan kembali penting tidaknya KKR dibentuk," ujar Ifdhal. Tidak serius gE Menurut Ifdhal, penundaan pembentukan KKR itu disebabkan beberapa faktor, seperti kesengajaan pemerintah mengulur waktu, adanya ketidaksamaan pemikiran dan pendapat di tubuh pemerintah sendiri, dan juga faktor latar belakang ekonomi terkait kesediaan anggaran membiayai KKR. kli pin "Pemerintah sengaja bermain dengan waktu. Bahkan mengundur pembentukan KKR, bila perlu sampai masa pemerintahan berakhir untuk kemudian dibebankan ke pemerintahan selanjutnya.," ujar Ifdhal. Fadjroel meyakini penundaan memang sengaja dilakukan. Alasan Presiden Yudhoyono yang menyatakan perlunya kehati-hatian dalam memilih 21 anggota KKR hanya sebatas alasan. "Padahal kalau mau serius, mereka punya instrumen lengkap seperti BIN (Badan Intelijen Negara) atau bisa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, atau malah memanggil kami untuk mengecek satu per satu," ujar Fadjroel. (dik) Sumber: Kompas, Senin, 19 Juni 2006 29 Wacana KKR 2006= 30 Kompas, Selasa 20 June 2006 Hak Asasi Manusia Pemerintah Khawatir Ungkap Kebenaran Jakarta, Kompas - Makin mundurnya pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terjadi karena kelambatan Presiden untuk memilih 21 nama dari 42 kandidat yang telah diajukan panitia seleksi. "Kelambatan pemerintah membentuk KKR kemungkinan muncul karena kekhawatiran untuk mengungkapkan kebenaran yang merupakan praktik baru yang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata anggota DPR yang mantan Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidarto Danusubroto (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Barat VII), Senin (19/6) siang. AM Pembentukan KKR mestinya dilakukan paling lambat April 2005. Namun, upaya itu mandek setelah Presiden tidak kunjung menetapkan 21 anggotanya. Sidarto menyebutkan, keengganan untuk mengungkap kebenaran karena selama ini hal itulah yang paling sulit dilakukan. Sejak awal memang terlihat keengganan itu, termasuk keinginan untuk mendorong upaya langsung pada rekonsiliasi tanpa lebih dulu mengungkapkan kebenaran. LS Menurut Sidarto, kelambatan pembentukan KKR di tingkat pusat akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan KKR di Aceh sebagaimana amanat RUU Pemerintahan Aceh yang kini mendekati tahap akhir pembahasan. "KKR harus dibentuk dulu. Kalau tiba-tiba di Aceh muncul, bagaimana?" katanya. gE Dalam rumusan RUU Pemerintahan Aceh inisiatif pemerintah disebutkan, KKR Indonesia membentuk KKR di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. kli pin Menurut anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh, Ahmad Farhan Hamid (Fraksi Partai Amanat Nasional, Aceh II), pembentukan KKR di Aceh oleh KKR Indonesia telah mengerucut selambatlambatnya setahun setelah pengesahan RUU Pemerintahan Aceh. Apabila batas itu dilewati, Aceh berhak membentuk KKR sendiri. (DIK) 30 Wacana KKR 2006= 31 Suara Merdeka 20 Juni 2006 Besok MK Gelar Uji Materil UU KKR Jakarta, CyberNews. Mahkamah Konstitusi akan kembali menggelar sidang Uji Materil UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Rabu (20/6) besok. Sidang Uji Materil kali ini telah memasuki agenda pemeriksaan saksi dan ahli. Sejumlah ahli akan dihadirkan pada sidang besok. Di antaranya, Dr Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI), Dr. Thamrin Amal Tomagola (sosiolog UI), dan Marulah (saksi korban Tanjung Priok). Sidang yang akan digelar di gedung Mahkamah Konstitusi ini akan dimulai pukul 10.00 WIB tepat. "Agenda sidang besok adalah mendengarkan keterangan saksi dan ahli," kata koordinator Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari dalam siaran persnya kepada SM CyberNews, Selasa (20/6). AM Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan, terdiri dari LBH Jakarta, KontraS, Elsam, SNB, Imparsial, dan LPH Yaphi, mengajukan uji materil terhadap pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 ayat (9) UU KKR yang merugikan korban pelanggran HAM. Permohonan Uji Materil ini didaftarkan pada tanggal 28 Maret 2006 dan dinyatakan lengkap pada tanggal 29 Maret 2006 dengan No Perkara 006/PUU-IV/2006. kli pin gE LS Mahkamah Konstitusi telah menggelar tiga kali sidang yaitu sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 12 April dan 26 April 2006 untuk memeriksa kelengkapan formil dan mengklarifikasi syarat-syarat lainnya serta sidang pada tanggal 23 Mei 2006 dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR. ( mh habieb shaleh/Cn08 ) 31 Wacana KKR 2006= 32 Kompas, Selasa, 04 Juli 2006 Anggota Komisi I Khawatir KKP Melenceng Jakarta, Kompas - Sejumlah anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mengkhawatirkan hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste melenceng dari tujuan semula karena dimanfaatkan pihak tertentu. Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang pada mulanya mengutamakan persahabatan dalam proses pengungkapan pelanggaran HAM seputar jajak pendapat 1999, pada akhirnya akan berujung pada penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional. AM "KKP memang telah menyatakan tidak akan melimpahkan kasus ini ke Pengadilan HAM Internasional. Tetapi apakah bisa dijamin setelah Pak Wiranto (saat itu menjabat Menhankam Panglima TNI) dipanggil, nantinya tidak melenceng menjadi penuntutan hukum?" kata Junus Effendy Habibie, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat (Sulsel I) dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Senin (3/7). Adik mantan Presiden BJ Habibie itu khawatir hasil kerja KKP melenceng dari tujuan semula karena dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan cara penyelesaian KKP. LS Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Jabar VII) Sidharto Danusubroto menilai kontroversi masyarakat tentang KKP ini tidak jauh berbeda dengan kontroversi soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia. gE "Karena itu, saya bisa memahami juga kalau hingga saat ini, Presiden pun belum menandatangani 42 nama anggota KKR," ucap Sidharto yang juga mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang KKR itu. Kesepakatan bersama kli pin Namun, Hassan Wirajuda menjamin kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Menurut dia, hal itu sudah dijamin dalam terms of reference (TOR) KKP itu sendiri yang sudah sangat jelas. Dalam TOR itu disebutkan bahwa KKP tidak dimaksudkan sebagai upaya penuntutan hukum karena merupakan proses rekonsiliasi. "Jadi, dari kebenaran yang ditemukan tidak akan berujung pada proses penuntutan karena ini bukan proses projusticia, tapi rekonsiliasi bahkan persahabatan," jelas Hassan. Ditanya lagi apakah pemerintah memberi jaminan itu, dia pun menegaskan kembali pernyataannya. "Jaminan itu bukan hanya pemerintah. Kedua pihak, Indonesia dan Timor Leste. Dan itu tertuang dalam perjanjian," tegas Hassan. Sementara itu, Sutradara Gintings dari F-PDIP (Banten I) tidak yakin pemerintah mau membeberkan kebenaran soal pelanggaran HAM di Timor Leste. Terbukti, pemerintah di masa lalu menolak Pengadilan HAM Internasional dan kemudian membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc yang sekarang telah terbukti tidak ada militer yang ditahan dan hanya ada dua warga sipil yang dinyatakan bersalah. "Apakah pemerintah sekarang berani yang dipimpin jenderal purnawirawan? Saya tidak yakin itu karena kalau berani, kasus-kasus lain pun harus dibuka," jelas Gintings. Ketua KKP dari Timor Leste, Diorinicio Babo, didampingi Ketua KKP dari Indonesia, Benjamin Mangkoedilaga, saat diterima Komisi I DPR, Kamis (22/6) , mengatakan, mereka telah menemukan 14 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sekitar jajak pendapat tahun 1999. (sut) 32 Wacana KKR 2006= 33 Kompas, Jumat, 07 Juli 2006 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dari Sebuah "Kebutuhan" Menjadi Beban Budiman Tanuredjo Meski pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah terlambat berbulan-bulan, sebagaimana ditetapkan undang-undang, yaitu paling lambat 5 April 2005, hingga kini Presiden Yudhoyono belum bisa menetapkan 21 nama untuk diajukan ke DPR—dari 42 calon hasil seleksi Panitia Seleksi KKR. Petikan itu adalah penjelasan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra kepada pers di Kantor Kepresidenan, Istana Jakarta, Kamis, 23 Februari 2006. Yusril memberi penjelasan seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Panitia Seleksi Calon Anggota KKR. AM Perjalanan KKR itu terasa begitu lambat. Namun yang terasa agak aneh, KKR menjadi salah satu lembaga yang tak terlalu mendapat perhatian politisi ataupun DPR. Berbeda dengan komisi-komisi sejenis yang ramai dibicarakan. LS Boleh jadi, KKR bakal menjadi komisi yang pembentukannya tak diinginkan. "Undang-Undang KKR boleh jadi merupakan sebuah kecelakaan sejarah, yang sebenarnya tak diinginkan bangsa ini," ujar Fadjroel Rachman, mantan aktivis mahasiswa yang kini menjadi salah satu calon anggota KKR dari 42 nama yang diusulkan ke Presiden Yudhoyono. gE UU No 27/2004 yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya memerintahkan KKR terbentuk 5 April 2005. Namun, baru 28 Maret 2005 Presiden Yudhoyono mengeluarkan keputusan pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota KKR. Tanggal 3 Agustus 2005, panitia seleksi mengumumkan 42 nama calon anggota KKR dari 1.193 pelamar. kli pin Sudah 11 bulan lebih nama ke-42 calon anggota KKR itu di meja Presiden, tetapi Presiden belum juga menyerahkan 21 nama calon anggota KKR ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Baru pada 23 Februari 2006, Presiden menerima Panitia Seleksi Calon Anggota KKR yang terdiri dari Ketua Panitia Seleksi Anggota KKR Zulkarnain Yunus, Wicipto Setiadi, serta anggota lain seperti Dirjen Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas dan perwakilan dari masyarakat, yaitu Prof Dr CFG Sunaryati Hartono dan Sulistjowati Sugondo. "Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu tepat untuk membentuk KKR. Tugas dan tanggung jawab lembaga ini sangat besar implikasinya bagi bangsa di masa datang. Sebab, penyelesaian masa lalu itu harus dilakukan secara damai, adil, dan bermartabat. Nah, itu yang dikhawatirkan jika kita tidak bekerja hati-hati, sasaran KKR tidak terwujud," ujar Yusril (Kompas, 24/2/2006). Sambil menunggu penyusunan aturan pelaksanaan UU No 27/2004, ujar Yusril, Presiden Yudhoyono juga akan meminta panitia seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang diajukan, dan melakukan konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara, seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. "Dalam sebulan ini akan dilakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah, Keputusan Presiden tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja, serta peraturan presiden mengenai struktur dan organisasi KKR. Panitia seleksi masih akan bertemu kembali dengan Presiden Yudhoyono untuk memberi pertimbangan dan argumentasi untuk dipilih satu per satu," kata Yusril. 33 Wacana KKR 2006= 34 Sudah empat bulan berlalu sejak pertemuan panitia seleksi dengan Presiden Yudhoyono, belum ada perkembangan berarti soal "nasib" KKR. Belum juga ada penjelasan soal pembuatan draf peraturan pemerintah atau apa pun. "Sayangnya DPR tak juga memberi tanggapan signifikan," ujar Fadjroel. Namun, anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDIP, Jawa Timur V) ketika ditanya Kompas, Kamis (6/7) membantah kalau DPR tak mengontrol secara serius implementasi UU No 27/2004. "Setiap rapat kerja dengan menteri kami menanyakan," ujar Gayus yang mengaku telah menanyakan kepada Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang dijawab, "Presiden berhati-hati sekali dan masih membutuhkan waktu untuk meneliti kembali." Langkah DPR menanyakan kepada menteri dalam sebuah rapat kerja adalah instrumen kontrol terendah yang dimiliki DPR. Tampaknya tak ada keinginan DPR untuk mengajukan hak bertanya, sebagaimana dalam isu-isu lain. "Padahal harapannya hanya ada pada DPR. Ini bukan hanya soal KKR, tapi pelanggaran UU," ujar Fadjroel. AM Kepada pers, Gayus mengharapkan Presiden serius terhadap proses perdamaian dalam menciptakan situasi politik yang kondusif melalui KKR. "Perlu ada keputusan final soal itu," kata Gayus seraya menambahkan, "Jika Presiden mau meneliti ulang apakah Presiden meragukan kinerja para pembantunya." Tak keberatan gE LS Menurut Fadjroel bisa dipahami kalau Presiden harus berhati-hati dalam membentuk KKR. "Namun, kehati-hatian harus ada batasnya dan keputusan harus bisa diambil," ucapnya. Ia tak keberatan kalau dirinya kembali diteliti oleh tim kepresidenan mengenai rekam jejaknya dan motivasinya mengikuti seleksi KKR. Pernyataan bahwa Presiden harus hati-hati dan ingin meneliti ulang, menurut Fadjroel, bisa menimbulkan persepsi yang tidak baik bagi ke-42 calon anggota KKR. "Seakan kami ini membawa sesuatu sehingga diingatkan kepada publik harus hati-hati," katanya. kli pin KKR adalah sebuah kecenderungan global dari negara yang sedang bertransisi dari negara otoriter menuju negara demokratis. Buku Kebenaran Tak Terbahasakan (2005) yang ditulis Priscilla B Hayner paling tidak mendokumentasikan 21 Komisi Kebenaran dari Uganda hingga Siera Leone. Ada yang bernama Komisi Orang Hilang di Argentina, Uganda, dan Sri Lanka; ada Komisi Kebenaran dan Keadilan di Haiti dan Ekuador; ada Komisi Klarifikasi Sejarah di Guatemala, dan ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan yang amat populer di Indonesia. Namun di Indonesia, gagasan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disodorkan aktivis LSM tampaknya menjadi "kecelakaan sejarah". "Dalam bayangan saya, pemerintahan pasca-Soeharto tak ingin membentuk KKR," kata Fadjroel. Ia menduga ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR mungkin waktu itu dirasakan ada sebuah kebutuhan. Akan tetapi, ketika UU itu diundangkan dan diharuskan untuk membentuk kelembagaan, mungkin KKR dirasakan sebagai beban sejarah. Itu tampak dari proses yang tak bergerak. Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla paling tidak memberi gambaran persepsi pemimpin nasional ini soal KKR. "Jangan Indonesia ini dipersamakan, katakanlah dengan Afrika Selatan yang pembentukan KKR-nya empat tahun setelah selesai masa politik apartheid. Saya tidak merasa di Indonesia ada sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika Selatan," ujar Kalla. Terlepas apakah UU KKR lahir karena sebuah "keterpaksaan sejarah" dan kemudian pembentukannya dianggap "malah membebani sejarah", KKR adalah perintah UU. Menarik apa yang dikatakan anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II), KKR adalah perintah UU yang harus dilaksanakan. "Jika tidak, secara politik isu itu bisa mendelegitimasi kabinet 34 Wacana KKR 2006= 35 Presiden Yudhoyono," kata anggota DPR yang fraksinya mendukung pemerintahan Presiden Yudhoyono ini. Mungkin saatnya memandang KKR dalam perspektif korban yang selamat (survivor). Mereka adalah orang yang mempunyai hak untuk mengetahui (the right to know) peristiwa yang terjadi, hak akan keadilan (the right to justice) atas penderitaan yang dialami karena peristiwa itu, dan hak memperoleh reparasi (the right to reparation) setelah terjadinya peristiwa itu. Jika perspektif itu yang dipakai KKR menjadi kebutuhan rasional dari sebuah bangsa untuk menyelesaikan problem masa lalunya. Menarik apa yang ditulis Ketua KKR Afrika Selatan Uskup Desmond Mpilo Tutu dalam bukunya No Future Without Forgiveness bagaimana korban harus memaafkan jika ia sendiri tak tahu siapa yang harus dimaafkan dan peristiwa apa sebenarnya yang terjadi. kli pin gE LS AM Ajakan untuk melupakan masa lalu mengundang pertanyaan lanjutan: bisakah suatu masyarakat membangun masa depan demokrasi di atas fondasi sejarah yang gelap, disangkal atau dilupakan sama sekali! 35 Wacana KKR 2006= 36 KOMISI KEBENARAN REKONSILIASI ACEH BELUM TERBENTUK 12/07/2006 19:07 - Polkam/Breaking News Hafid Abbas, Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia (Metro TV) Metrotvnews.com, Jakarta: Kendati Nanggroe Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang, Komisi Kebenaran Rekonsoliasi belum terbentuk. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Hafid Abbas di Jakarta, presiden belum memutuskan 21 anggota Komisi Kebenaran Rekonsoliasi dari 42 yang diajukan. kli pin gE LS AM Hafid mengatakan, beberapa waktu silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menugaskan satu tim untuk menyeleksi calon-calon anggota komisi tersebut. Menurut Hafid di Jakarta, Rabu (12/7), komisi ini bertugas melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM di Aceh, baik di masa silam maupun sekarang. Hafid yang menjadi satu dari lima anggota tim telah menerima sekitar 1.500 peminat. Dan, timnya sudah mengajukan 42 nama yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi anggota komisi.(DEN) 36 Wacana KKR 2006= 37 Kompas, Kamis 13 Jul. 06 Hak asasi manusia Penetapan Anggota KKR Sepenuhnya Hak Presiden Jakarta, Kompas - Penetapan calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR sepenuhnya menjadi hak dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Penetapan anggota KKR itu sepenuhnya hak presiden. Kita tunggu saja penetapannya," kata Direktur Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas menjawab pers seusai bersama Ikatan Alumni Universitas Negeri Makassar bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu (12/7) di Jakarta. Hafid yang juga salah seorang panitia yang menyeleksi calon anggota KKR mengatakan, 42 nama calon anggota KKR sudah diserahkan kepada Presiden. Namun, Presiden belum menetapkan 21 nama calon anggota KKR untuk diserahkan kepada DPR. AM Masalah pembentukan KKR ini akan terkait dengan disahkannya RUU Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 229 Ayat 1 RUU PA disebutkan, untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Sedangkan pada Pasal 229 Ayat 2 disebutkan, KKR di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. LS Selain KKR, RUU PA mengatur soal pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Itu tertera dalam Pasal 228 Ayat 1 yang menyebutkan, untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi sesudah undang-undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan HAM di Aceh. kli pin gE Menurut Hafid, RUU PA telah mengakomodasi tiga poin dalam naskah nota kesepahaman Helsinki. "Tiga poin itu adalah ratifikasi kovenan internasional atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pengadilan HAM. Dan, pembentukan KKR di Aceh. Sebab, roh dan semangat MOU Helsinki adalah berorientasi ke masa depan," ujar Hafid. (har) 37 Wacana KKR 2006= 38 Sinar Harapan, Selasa, 08 Agustus 2006 Pembentukan KKR Selayaknya Tunggu Putusan MK kli pin gE LS AM Jakarta-Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara mendesak supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kini, 42 calon anggota KKR telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dan tinggal menunggu diseleksi presiden. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie meminta pemerintah menunggu putusan pihaknya atas pengajuan uji materiil UU KKR. “Sekarang nama calon-calonnya sudah ada di tangan presiden. Presiden saya kira harus cepat mengambil keputusan,” katanya ketika menjadi salah satu pembicara dalam konferensi pers soal “hak konstitusional masyarakat hukum adat”, di Gedung Komnas HAM, Senin (7/8). Garuda menyatakan, pembentukan KKR tersebut dapat membantu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, yang saat ini hanya ditangani Komnas HAM. Dengan adanya KKR tersebut, ke depan diharapkan tercipta kinerja yang sinergis antara Komnas HAM dan KKR. “Kita termasuk yang mendorong KKR supaya dibentuk. Ini sudah terlambat,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie yang juga menjadi salah satu pembicara dalam kesempatan itu mengatakan, dilihat dari perintah UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR, pembentukan komisi tersebut sebenarnya sudah sangat terlambat. Sesuai UU, KKR sudah harus terbentuk paling lambat pada 6 April 2005. Untuk itu, Jimly menyarankan supaya pembentukan itu menunggu putusan MK atas perkara uji materi UU KKR yang diajukan beberapa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dan korban pelanggaran HAM berat. “Persiapan pembentukan sudah selesai, tinggal menunggu keputusan presiden. Tapi ini sudah sangat lambat dari segi ketentuannya. Dalam keadaan yang sudah sangat terlambat ini ada perkara yang terkait dengan UU KKR di MK. Paling lambat bulan depan diputus final. Jadi mungkin lebih bijaksana bila yang sudah kadung terlambat ini menunggu dulu putusan,” tandasnya. (tutut herlina) 38 Wacana KKR 2006= 39 http://www.kompas.com/ver1/Nasional/0609/27/122943.htm [KCM] Presiden Belum Kenal Calon Anggota KKR Laporan Wartawan Kompas Wisnu Nugroho A JAKARTA, KOMPAS- Berlarut-larutnya penetapan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) seperti diamanatkan undang-undang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebabkan karena Presiden belum mengenal banyak nama dari 42 calon yang telah diseleksi DPR. "Sampai sekarang, pembentukan KKR masih dibahas. Sebenarnya Presiden ingin ketemu sekali lagi dengan panitia seleksi. Presiden akan minta pendapat. Dari sekian nama yang diusulkan itu, siapa yang lebih diutamakan. Banyak nama-nama yang tidak dikenal Presiden," ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra sebelum sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (27/9). AM Presiden menginginkan anggota KKR berkomitmen untuk mencari penyelesaian atas masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, melalui rekonsiliasi. KKR pun perlu untuk dicermati oleh Presiden agar tak sampai membongkar semua "kuburan" masa lalu, yang berpotensi melahirkan masalah baru di masyarakat. LS Beberapa bulan lalu, Presiden telah memanggil panitia seleksi yang dibentuk Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk keperluan sama. Pemanggilan direncanakan sejak Agustus silam, namun gagal lantaran kesibukan Presiden. "Bulan puasa atau setidaknya setelah lebaran, Presiden dapat bertemu kembali dengan mereka. Dengan demikian, Presiden dapat memutuskan siapa-siapa yang dicalonkan sebagai anggota KKR," ujar Yusril. kli pin gE "Pada situasi yang lebih kondusif sekarang ini, penanganan masalah-masalah hak asasi manusia diarahkan menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya," ujarnya. 39 Wacana KKR 2006= 40 Overdue truth body 'last hope' for victims National News - October 01, 2006 M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta Former political prisoners linked to the Indonesian Communist Party (PKI), and human rights activists are unhappy about the government's seeming unwillingness to establish the Truth and Reconciliation Commission (KKR). They said Saturday the commission was their last hope to have their reputations rehabilitated and their rights recognized. "We hope that our civil rights could be restored by this commission. And through this commission, we want the perpetrators of the crimes against us tried in court. But we are pessimistic that such a commission will be set up before the President's term ends (in 2009)," former political prisoner Robby Sumolang told The Jakarta Post. AM Robby, 60, was incarcerated in the Buru island jail for 14 years without a proper trial for his alleged involvement in the failed Sept. 30, 1965, coup blamed on the PKI. A member of the Indonesian Youth and Students Association (IPPI), then the largest of such organizations in the country, he was arrested by military police officers soon after the coup attempt. LS The former teacher was not released from jail until December 1979. On attaining his freedom, he learned all of his property had been seized by the New Order government of president Soeharto. gE "Although all of my belongings were confiscated by the government, I don't want the KKR, if established, to give me compensation. Rehabilitating my name will be enough. I know that the government doesn't have enough money to pay us," he said. Financial compensation, however, is an issue for Payung Salenda, 81, another former political prisoner who was also arrested after the PKI coup. kli pin "The planned commission must have a mechanism to give financial compensation. I was a civil servant before I was arrested and I had paid a premium for my pension, but I never received a penny of it," Payung told the Post. Payung was a civil servant at the office of deputy prime minister J. Leimena, when he was arrested and sent to jail in late 1965. His offense -- visiting Moscow and Kiev in 1957 to attend an international youth congress. The demands by the victims, however, will unlikely be met in the near future. President Susilo Bambang Yudhoyono has said little about setting up the truth commission despite the passing in 2004 of the law mandating the body. State Secretary Yusril Ihza Mahendra recently said the President was having problems appointing members of the planned commission because he did not have enough information about the candidates. Yusril said Yudhoyono would consult the selection team for the commission to find out more about the candidates sometime before the Idul Fitri holidays. The selection team has screened and submitted 42 candidates for the commission to the President, who is supposed to pick 21 names, which will be presented to the House of Representatives for final approval. Under the law, the commission is tasked with probing past human rights abuses that took place from 19452000. Many high-level government officials and security chiefs from the New Order era were implicated 40 Wacana KKR 2006= 41 in these violations. The Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam) criticized Yusril's statement, saying it was a smokescreen for the government's unwillingness to set up the commission. "The (creation of the) KKR does not require candidates to know or be known by the President. So such a reason is an embellishment," Elsam executive director Agung Putri Astrid Artika said in a statement. kli pin gE LS AM National News - October 01, 2006 41 Wacana KKR 2006= 42 Suara karya, Senin, 02 Oktober 2006 PEMBENTUKAN KKR Komisi III DPR Patut Memanggil Mensesneg Senin, 2 Oktober 2006 JAKARTA (Suara Karya): Komisi III DPR RI patut memanggil Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yuzril Izha Mahendra atas sikap pemerintah menunda dan mengulur waktu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pemanggilan untuk secara khusus mempersoalkan dilanggarnya secara terus menerus mandat Undang Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR oleh pemerintah. "Sampai saat ini sudah hampir dua tahun KKR belum juga terbentuk. Padahal menurut UU 27/ 2004, KKR harus dibentuk setelah enam bulan diundangkannya UU tersebut," tulis Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Agung Putri Astrid Kartika dalam siaran persnya yang dikirim ke Suara Karya, Sabtu. AM Astrid mengemukakan, dengan menunda pembentukan KKR, pemerintah telah memperpanjang upaya menyangkal kebenaran dan menjauhi rekonsiliasi. Dia sangat terkejut namun menyesalkan pernyataan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Izha Mahendra, Rabu (27/9), yang menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum mengenal nama-nama calon anggota KKR. LS Pernyataan Yusril itu dinilai Astrid bertentangan dengan kenyataan, proses seleksi calon anggota KKR telah diselesaikan oleh panitia seleksi dengan hasil terdapat 42 calon anggota KKR. Panitia seleksi telah menyerahkan daftar nama calon tersebut kepada presiden Agustus 2005. Sejak saat itu presiden mendapat kesempatan untuk mempelajari dan mempertimbangkan dan pada akhirnya memilih 21 orang dari 42 calon anggota. gE "Waktu lebih dari satu tahun adalah masa yang lebih dari cukup bagi seorang pimpinan negara untuk memilih dan memutuskan beberapa di antara mereka untuk memimpin KKR. Alasan yang dikemukakan presiden tidak masuk akal," kata Astrid. Elsam menyesalkan pernyataan presiden karena menunjukkan pemerintah belum mengurus bahan-bahan yang diperlukan presiden untuk mempelajari daftar nama calon anggota KKR. Presiden kurang menghargai hasil kerja panitia seleksi. Kemudian, yang bisa menjadi anggota KKR hanyalah orang-orang yang dikenal presiden semata. kli pin Elsam menyatakan, demi kepastian hukum, presiden patut menyatakan terus terang ketidakmampuannya membentuk KKR. Alasan tidak dikenal presiden sangat mengada-ada karena UU 27/2004 tidak mensyaratkan hal itu. (Gungde) 42 Wacana KKR 2006= 43 Kompas, Sabtu 14 Oktober 2006 Rekonsiliasi Antikomunis Uji UU KKR Jakarta, Kompas - Kelompok antikomunis mengajukan hak uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke Mahkamah Konstitusi. Kehadiran UU KKR dinilai bukannya menyelesaikan dan menyembuhkan luka lama yang timbul akibat aksi sepihak Partai Komunis Indonesia, tetapi membangkitkan kembali sentimen ideologi. Kelompok antikomunis ini terdiri dari Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia Arukat Djaswadi, Pengurus Yayasan Kanigoro Kediri KH Ibrahim, pengasuh Pondok Tebuireng KH Muhammad Yusuf Hasyim, pengurus DPP Gerakan Patriot Indonesia Murwanto S, guru di Banyuwangi Abdul Mun’im, dan Ketua Paguyuban Korban Kekejaman PKI Madiun Mohammad Said. AM Adapun kelompok antikomunis ini memberikan kuasa kepada tim kuasa hukum Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang. LS Persidangan panel di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/10), yang dihadiri HAS Natabaya, Achmad Roestandi, dan Soedarsono, ini merupakan persidangan pertama untuk mendengarkan permohonan pemohon. Di dalam permohonannya, para pemohon mengaku sebagai pelaku sejarah peristiwa pengkhianatan G30S/PKI, sekaligus pegiat organisasi yang menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang PKI dan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme. kli pin gE Pemohon menyatakan, mereka mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan pengkhianatan G30S/ PKI 1965. Mereka menganggap, UU KKR merugikan hak konstitusional mereka. Arukat keberatan kalau PKI dijadikan sebagai korban, sementara pada 1948 dan 1965 PKI adalah pelaku. (VIN) 43 Wacana KKR 2006= 44 Kompas, Kamis, 19 Oktober 2006 Dua Tahun Yudhoyono-Kalla Stagnasi di Tengah Klaim Perbaikan Budiman Tanuredjo Pada 16 Agustus 2006, di depan Rapat Paripurna DPR Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan membaiknya kondisi hak asasi manusia di Tanah Air. Dua Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah diratifikasi oleh pemerintah. Selanjutnya, Presiden Yudhoyono mengatakan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir tidak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. "Kondisi yang baik ini akan terus kita pelihara dan kita pertahankan," kata Yudhoyono. AM Di hadapan paripurna DPR, Yudhoyono melaporkan bahwa proses pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan diteruskan. Pengakuan internasional, seperti terpilihnya Makarim Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB, terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB diklaim Yudhoyono sebagai pertanda makin membaiknya kondisi HAM di Indonesia. LS Capaian internasional adalah sebuah fakta yang tak bisa dibantah. Namun, bagi keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia, seperti Ny Sumarsih (ibunda BR Norma Imawan), Fajroel Rachman (mantan aktivis mahasiswa), kondisi hak asasi manusia pada dua tahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla belum ada kemajuan berarti. Terjadi stagnasi pada tataran implementasi. gE Belum terungkapnya tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tetaplah merupakan utang sejarah pemimpin bangsa Indonesia. "Jadi, belum ada perbaikan kondisi HAM di bawah Presiden Yudhoyono," ujar Sumarsih, yang anaknya, BR Norma Imawan, tewas ditembus timah panas aparat keamanan tahun 1998. kli pin Fajroel Rachman, aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, melihat ada gelombang normalisasi politik yang menghambat penerapan capaian normatif. Ia menyebut contoh ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik tidak diikuti dengan penandatangan soal penghapusan hukuman mati. "Ada upaya pelambatan," ujarnya. Perjalanan panjang Perjuangan hak asasi manusia Indonesia adalah perjalanan panjang. Bagir Manan dalam buku Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia (2001) membuat periodisasi perkembangan pemikiran HAM, yaitu periode 1908-1945; periode 1945-1950; periode 1950-1959; periode 1959-1966; periode 1966-1998; dan periode pasca-Orde Baru. Aktualisasi HAM menikmati "bulan madu" pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) yang ditandai dengan tumbuhnya partai politik, terbukanya ruang kebebasan pers. Presiden Soekarno kemudian menutup keran kebebasan dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Pada era Orde Baru, pemikiran HAM juga bergerak. Thomas Risse dan Kathryn Sikkink dalam The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change, Cambridge, University Press, 1999, sebagaimana dikutip Bagir mengedepankan pendekatan spiral model untuk menganalisis interaksi antara masyarakat dan negara dalam mengadopsi isu HAM. Orde Baru mengawali dengan apa yang disebut tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of network) yang diawali dengan tragedi tahun 1965 yang diikuti dengan pelanggaran HAM 44 Wacana KKR 2006= 45 lainnya. Pada saat bersamaan, korban pelanggaran HAM membentuk jaringan dengan komunitas internasional untuk melawan pemerintah otoriter. Menghadapi tekanan internasional itu, Soeharto memasuki tahap penyangkalan (denial). Pemerintah Soeharto melakukan dekonstruksi terhadap isu HAM. Pada era tahun 1980-an terdengar retorika: HAM produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai luhur Pancasila! Soeharto tak bisa terus bertahan dengan terus menyangkal. Peristiwa Santa Cruz (1991) makin meningkatkan tekanan internasional atas kondisi HAM di Tanah Air yang memaksa Soeharto memberikan konsesi. Tahap ini disebut tahap konsesi taktis (tactical consession). Soeharto kemudian membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1993. AM Orde Baru berakhir dengan turunnya Soeharto. Pemerintahan pasca-Orde Baru memasuki tahap status penaatan (prescriptive status). Pada tahap ini, pemerintah menerima norma internasional, baik melalui ratifikasi maupun institusionalisasi norma HAM ke dalam hukum nasional. Presiden BJ Habibie mengawali dengan membebaskan tahanan politik, melakukan liberalisasi pers dan liberalisasi partai politik. Pada era KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri beberapa kasus pelanggaran HAM era Soeharto dibuka. Sejumlah perwira militer diadili dalam kasus Tanjung Priok meskipun semuanya dibebaskan. Kasus 27 Juli juga dibuka, meskipun hanya pelaku sipil yang dihukum atas tuduhan melempar batu. LS Setelah tahap penaatan, dalam bahasa Thomas Risse pergerakan pemikiran HAM seharusnya memasuki tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Tahap penataan aturan secara konsisten ditandai dengan tegaknya demokrasi dan negara berdasarkan hukum sebagai instrumen HAM dan ditetapkannya HAM sebagai tatanan sosial. gE Era kepemimpinan Yudhoyono berada di tahap akhir siklus Thomas Risse. Yudhoyono bertanggung jawab mengisi lembaga yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. kli pin UU KKR memang kontroversial karena ditolak komunitas korban. "Saya kira malah baik kalau Presiden SBY belum juga mengajukan calon ke DPR," kata Ny Sumarsih. Berbeda dengan Fajroel dan anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I) yang tetap mendesak Presiden menyerahkan 21 nama dari 42 nama calon anggota KKR kepada DPR. Stagnasi terjadi! Kasus pelanggaran HAM tak lagi disentuh Presiden Yudhoyono. Pembunuh Munir masih tetap gelap, sama gelapnya dengan pembunuh wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin dan buruh Marsinah. Di Poso Pendeta Irianto Kongkoli ditembak mati. Pembunuhan politik (political killing), penghilangan politik (political dissapearences), dan tahahan politik (political prissoners) masa lalu dan kini masih menjadi pekerjaan rumah Presiden Yudhoyono. Di tengah upaya menyembunyikan political killings dan political dissapearence pada era Orde Baru Munir bersama Kontrasnya memecah kesunyian politik (political silence). Namun, akhirnya, Munir pun menjadi korban. Bagaimana kondisi Indonesia sekarang? Thomas Risse dan Kathrine Sikkink mengemukakan, apabila syarat demokrasi dan negara berdasarkan hukum sebagai instrumen HAM dan HAM sebagai tatanan sosial tak terpenuhi, ia mengkhawatirkan Indonesia kembali pada tahap awal spiral model yakni tahap represi. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Agung Putri Astrid Kartika dalam suatu percakapan menangkap gejala sistematis mengendalikan kembali gerakan HAM. Tap MPR memberikan kemudahan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui KKR, namun KKR tak kunjung terbentuk. Upaya pencarian keadilan melalui Pengadilan HAM Adhoc kandas karena semuanya dibebaskan pengadilan. Upaya penuntutan keadilan atas perilaku militer di Timtim dijawab dengan pembentukan 45 Wacana KKR 2006= 46 Komite Kebenaran dan Persahabatan. Lalu, berbagai kejahatan HAM, seperti kejahatan kemanusiaan diadopsi dalam RUU KUHP. kli pin gE LS AM Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, capaian internasional seharusnya dijadikan modal memperbaiki kondisi HAM di Tanah Air. Kepemimpinan Yudhoyono diperlukan untuk menjegah kembalinya siklus yang dikhawatirkan Thomas Risse dan Kathrine Sikkink! 46 Wacana KKR 2006= 47 Kompas, Sabtu, 04 November 2006 Sosok dan Pemikiran KKR Sudah Kehilangan Momentum Budiman Tanuredjo Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kekeliruan masa lalu, meminta maaf kepada rakyat atas kekeliruan itu, kemudian menjadikan pengalaman masa lalu untuk membangun sebuah masa depan. Penegakan keadilan pada masa depan harus juga dilandasi pemberian keadilan pada masa lalu. Mengelola masa lalu, masa kini, dan masa depan bukan hanya sebuah perdebatan politis, tetapi juga filosofis. Komisioner untuk Hak atas Rasa Aman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto (74) termasuk yang pada saat awal ikut bergulat dengan gagasan keadilan transisional (transitional justice). Ia pun ikut mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). AM Namun, realitas politik delapan tahun dengan tak kunjung terbentuknya KKR membuat Enny berubah pandangan. "KKR sudah kehilangan relevansinya, sudah kehilangan momentumnya," ujar Enny menegaskan pandangan pribadinya itu. LS Namun, bagi Enny, anggota Komnas HAM (2002-2007), pelanggaran masa lalu tetaplah penting dan tidak bisa dilupakan begitu saja. Hanya bagaimana mengelola masa lalu menjadi sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk memperoleh jawaban. Ia mendorong penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, meskipun untuk itu dibutuhkan keputusan politik yang susah digapai. gE Sejarawan Taufik Abdullah saat memberi pengantar dalam buku Bersaksi di Tengah Badai-Dari Catatan Wiranto menulis, masa lalu mungkin "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana, di negeri asing": itu terletak sumber dari ketidakberesan yang kini—ataukah "di sini", saya rasakan. Ia melanjutkan, kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki "di sana", agar yang terjadi " di sini" baik-baik saja. "Masa lalu haruslah dijadikan pelajaran" ucap Enny dalam percakapan dengan Kompas di ruang rapat Komnas, Selasa lalu. Berikut petikan percakapan dengan Enny. kli pin Bagaimana Anda melihat implementasi keadilan transisional di Indonesia? Ini pendapat pribadi saya. Saya anggap pembentukan KKR sudah terlambat. Di Cile, enam minggu setelah Pinochet jatuh, KKR sudah terbentuk. Jadi, momentumnya masih ada. Saat MPR mengeluarkan Tap MPR V/MPR/2000 masih ada momentum. Tapi sekarang, momentum itu telah hilang. Kita tak lagi berada pada era transisi, tetapi sudah menuju stabilisasi. KKR sudah tidak ada gunanya. Pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan dengan Pengadilan HAM Ad Hoc. Per definisi, penyelesaian KKR berarti penyelesaian ekstra pengadilan, yaitu pemberian keadilan pada era transisi. Apakah kita masih ada pada masa transisi? Kalau saya melihat kita sudah ke stabilisasi. Transisi atau stabilisasi kan masih jadi perdebatan? Bagaimana suatu negara dianggap transisi ketika pemilu demokratis sudah digelar dua kali, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Daerah sudah otonomi, sejumlah aturan yang melindungi HAM telah dihasilkan. DPR telah total ganti. Anggota DPR yang tak dipilih sudah tidak ada. Apakah ini masih mau disebut transisi? Tapi mengapa proses pembentukan KKR begitu lama? Itu soal kemauan politik. Tap MPR keluar tahun 2000, UU KKR terbit baru 2004, tetapi sekarang belum juga terbentuk. Saya lihat ada keraguan besar dari pengambil keputusan. 47 Wacana KKR 2006= 48 Lalu bagaimana solusi legalnya karena KKR adalah amanat undang-undang? Barangkali pendapat saya ekstrem. Urutannya kan perintah MPR, kemudian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No 27/2004 tentang KKR. Pemerintah harus berani nyatakan KKR tak lagi relevan dan memohon kepada MPR untuk membatalkan Tap MPR soal KKR dan meminta DPR untuk menyatakan pasal soal KKR tak berlaku lagi. Pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan. Karena ekstra pengadilan itu bisa diterapkan pada masa transisi, kalau transisi sudah lewat kan kembali ke pengadilan normal. Secara politik apakah memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan yang mengharuskan adanya keputusan politik DPR. AM DPR sudah berubah dengan Pemilu 2004. DPR 2004 itu bukan DPR transisional. Kalau enggak bisa DPR 2004, ya DPR mendatang. Tak ada pilihan lain kecuali menegakkan keadilan yang bukan transisional, tetapi keadilan yang langgeng sifatnya. Tetapi berbagai kasus di pengadilan HAM semuanya bebas sehingga ada pendapat, pengadilan HAM juga tidak relevan? Itu ranah di mana sangat menyesal Komnas HAM tak bisa masuk lagi. Kami tak bisa komentar. Buat kami, kasus itu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kami berhenti. Tapi kami prihatin itu. LS Dalam konstelasi politik seperti ini, apakah masih perlu pelanggaran HAM masa lalu diungkap? gE Jawabannya, ya. Walaupun terasa seperti jargon atau semboyan, keadilan pada masa datang harus dilandasi penegakan keadilan pada masa lalu. Sebab kalau tidak, akan tercatat dalam sejarah, ada pelanggengan impunitas. Kalau pelanggaran HAM masa lalu tak diungkap kan enggak ada problem juga? kli pin Tergantung dari perspektif siapa. Korban berkepentingan, sejarah berkepentingan, generasi muda merasa perlu tahu apa yang terjadi. KKR kan bukan hanya transitional criminal justice, melainkan juga transitional historical justice. Dalam konteks KKR, tampaknya semuanya diam ketika pemerintah lambat. DPR diam. Hanya LSM yang mendesak. Yang muncul adalah ajakan untuk melupakan saja masa lalu untuk membangun masa depan. Itu tampaknya arus besar pemikiran di Indonesia? (Enny terdiam sejenak). Mungkin sebagian berpendapat begitu. Tapi bagaimana nasib korban, keluarga yang masih terkena imbas ketidakadilan masa lalu. Pelupaan peristiwa masa lalu menguntungkan satu pihak, tetapi merugikan pihak lain. Apakah bangsa diuntungkan secara keseluruhan? Patut dipertanyakan. Bangsa yang besar harus berani mengakui kesalahan pada masa lalu justru untuk membangun masa depan. Apa yang dilakukan Jerman adalah suatu contoh, dengan ksatria meminta maaf atas kesalahan orang pada masa Nazi, dan menjadi bangsa besar. Kalau kita melupakan, itu menyimpang dengan gagasan KKR. Semangat KKR itu forgive but not to forget. Kalau arahnya melupakan, keliru. Bagaimana dengan orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang karena paspornya dicabut? Pertama itu pelanggaran hukum, tetapi apa yang tak melanggar hukum pada tahun 1965-an. Saya juga tak tahu apa yang dijadikan aturan waktu itu. Jadi, sebetulnya, menurut saya, koreksi saja kesalahan masa lalu. Berikan kewarganegaraan dan akui kembali sebagai warga negara Indonesia. 48 Wacana KKR 2006= 49 Cukup dengan koreksi saja? Secara teknis itu. Kembalikan paspor dan warga negara nanti akan ada implikasinya. Bisa saja mereka menuntut perbaikan nama baik, rehabilitasi atau kompensasi. Perlu minta maaf? Ini saya memberi contoh Jerman. Ada atau tidak ada KKR, kalau toh tidak ada permintaan maaf, setidaknya harus ada penyataan tindakan rezim lalu adalah keliru. Harus ada dalam momen khusus untuk minta maaf dan pengakuan kekeliruan atau cukup dengan respons spontan atas pertanyaan pers? AM Ya, saya kira harus ada occasional khusus. Di Indonesia harus dicari, apakah di MPR, tetapi kapan presiden dalam sidang MPR. Atau bisa saat DPR bersidang, pada saat itu langsung pemerintah menyatakan bahwa KKR sudah tidak relevan dan meminta MPR mencabut Tap dan DPR mengoreksi UU. Pandangan Anda bukan karena Anda sebagai anggota Komnas HAM merasa disaingi jika KKR lahir? Hak asasi manusia LS Enggak. Momentumnya sudah tak ada. Dasarnya, KKR adalah keadilan pada masa transisi, sekarang kita tidak lagi berada pada era transisi. gE Boleh jadi, Enny menjadi anggota Komnas HAM yang sering bekerja di balik layar. Ia menyiapkan naskah akademis perubahan UU No 26/2000. Ia juga ikut mendorong perubahan Komnas HAM menjadi seperti saat ini, di mana setiap anggota menjadi komisioner khusus masing-masing hak. Sebagai komisioner untuk hak rasa aman, Enny juga meluncurkan komik Petualangan di Dunia 1012. kli pin Komik itu berisi sosialisasi terhadap siswa sekolah dasar mengenai hak atas rasa aman. Ia juga gencar memberikan sosialisasi soal HAM, misalnya menyosialisasi Kovensi Anti-Penyiksaan 1984 yang diratifikasi tahun 1999. Namun, dalam praktiknya masih saja ada yang merendahkan martabat manusia. "Kan masih ada joki ketangkap yang digunduli. Itu kan merendahkan martabat manusia," ujarnya. Bagaimana Anda melihat kondisi HAM pasca-Orde Baru? Ya, sudah ada pemahaman meluas di kalangan aparatur pemerintah dan penegak hukum. Yang patut dicatat, tahun 2005 kita mengesahkan dua kovenan yakni Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yang menjadi problem adalah penerapannya di lapangan. Terutama hak ekonomi, sosial, dan budaya karena itu membebani banyak hal kepada pemerintah. Meskipun kovenan itu menyatakan bisa dilaksanakan secara bertahap. Namun, bertahap itu tak berarti santai-santai saja. Di situ sesuai, dengan menggunakan semaksimal mungkin sumber daya yang ada. Konstitusi telah mencantumkan soal HAM, kovenan diratifikasi, undang-undang dibuat, tetapi implementasi kedodoran? Hak asasi manusia belum menjadi arus utama dalam penggarisan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Misalnya, pembangunan belum mengarustamakan HAM, kebijakan politik belum mengarusutamakan HAM. Di situ masalahnya. Jadi, setiap langkah yang diambil pemerintah bisa berdampak pada HAM itu kurang disadari. Jadi, terbatas pada legal formal. Bukankah ratifikasi kovenan itu sebagai politik komestik kalau tak dijalankan? 49 Wacana KKR 2006= 50 Bisa saja dilihat dari aspek itu, terutama karena Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM. Tapi Komnas HAM mendesak dan mempersiapkan segalanya sudah lama. Bahwa kemudian dilihat sebagai, kebetulan dilakukan tahun 2005, karena akan mencalonkan sebagai anggota Dewan HAM, bisa saja. Bisa karena koinsidensi atau memang dimaksudkan begitu. Saya tidak bisa ambil kesimpulan koinsidensi atau kebetulan. Akan tetapi, kalau disengaja pun, menurut saya, tidak salah karena kita mau menonjolkan aset-aset dan kita terpilih. Setelah meratifikasi, konsekuensinya apa? Lebih berat. Dulu komitmennya nasional. Setelah jadi pihak, kita punya komitmen internasional. Tahun pertama kita harus buat laporan awal. Itu masih ringan. Kita harus jelaskan soal undang-undang nasional yang dibuat. Kita punya kelebihan karena sudah punya. Kemudian, empat tahun kemudian kita harus buat laporan empat tahun. Kita harus jelas perkembangan dan kemajuannya. Kewajiban kita menjadi ganda. Kalau lalai kita ditegur. AM Diskursus soal HAM memudar seiring dengan isu perang melawan terorisme? Ya, dampaknya adalah akan berupa pengurangan penikmatan HAM, tetapi pengurangan kenikmatan HAM itu bukan berarti tidak dibenarkan. Saya kira konvensi internasional dan nasional membolehkan adanya pembatasan hanya apabila itu dilakukan dengan undang-undang demi ketertiban umum. Dalam tataran praktis bagaimana? LS Sejumlah resolusi PBB menyebutkan, dalam melakukan suppression of terrorism, ada tiga hal hukum internasional yang harus diperhatikan. Khususnya hukum HAM, hukum pengungsi, dan hukum humaniter. Ini tertera dalam sejumlah resolusi PBB, majelis umum, maupun DK PBB. gE Terorisme adalah pelanggaran hak hidup dan hak atas rasa aman, tapi penindasan terorisme tak boleh melanggar HAM. Misalnya, kebebasan pribadi jangan sampai tidak dihormati. Penahanan juga jelas ada jangka waktunya. Memang HAM sendiri bisa disimpangi asal dengan undang-undang hanya harus ada kejelasan. Jangan penahanan tanpa batas waktu. Penangkapan harus dengan surat, keluarga diberitahu. kli pin Nama: Enny Soeprapto (74 th). Kelahiran: Jogjakarta 01 Oktober 1932. Pendidikan: -PHD, Hukum Internasional, Pasific Western Honolulu, Amerika Serikat (1995) - Diplome Pasturniversitaire, Institut International d’Administration Publique, Sexton Diplomatique, Paris (1969) - Sarjana Hukum , Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (1965). Pekerjaan: - Komisaris untuk Hak Rasa Aman Komnas HAM (2002-2007) - Konsultan Independent untuk Hukum Pengungsi Internasional UNHCR (1995-2002). 50 Wacana KKR 2006= 51 Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 Selamat Datang Impunitas! M Fadjroel Rachman Tamat sudah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia, setelah terkatung-katung di tangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono selama setahun lebih. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/12) mencabut nyawa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 6 Oktober 2004 sebelum sempat dibentuk, berfungsi, dan mencapai tujuannya. Sempurnalah impunitas total terhadap pelaku kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat dan kekalahan total bagi korban! AM Padahal, sehari sebelumnya MK memberi sedikit napas segar bagi kehidupan demokrasi, dengan "menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945". Mengapa cuma sedikit? Karena pasal haatzaai artikelen, yang merupakan pasal utama pembunuh demokrasi di Indonesia sejak penjajahan Belanda, dahulu dalam British Indian Penal Code, yaitu Pasal 154 dan Pasal 156 KUHP, masih berlaku. Soekarno, adalah korban pasal buatan penjajah Belanda ini, lalu menjerat penentang rezim Soeharto-Orde Baru, termasuk Peristiwa Lima Agustus ITB (1989), di mana korbannya termasuk penulis pernah dibuang ke Pulau Nusakambangan. LS Pasal 154 KUHP itu berbunyi, "Barangsiapa di depan umum menyatakan pe- rasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya tujuh tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah." Indonesia Menggugat adalah perlawanan total Soekarno terhadap pasal haatzaai artikelen ini. Bencana niat baik kli pin gE Niat baik sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggugat Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, selain merugikan korban dan menguntungkan pelaku kejahatan HAM berat, dipenuhi MK setotalnya, membatalkan UU itu. Ibaratnya, para LSM berburu tikus, MK datang membantu dengan membakar rumahnya sekaligus. Sukar meyimpulkan adanya konspirasi mengubur UU KKR, tetapi siapa bersorak gembira? Tentu pelaku kejahatan HAM berat dan pendukungnya. KKR dibentuk untuk kepentingan korban kejahatan HAM berat sesuai dengan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 7, "Pelanggaran HAM yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan," Karena kata Nelson Mandela, "The most important role player is the victim." Walaupun KKR bukanlah instrumen hukum dan tak memiliki kewenangan menghukum pelaku kejahatan HAM, namun berwenang memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengambil langkah hukum. Menghukum pelaku kejahatan HAM berat adalah manifestasi keadilan bagi korban. Tidak takut kebenaran Kita tak mungkin berjalan tegar membangun demokrasi bila tak bersedia mengakui kejahatan pikiran dan praktik antidemokrasi pada masa lalu. Bila disembunyikan, kejahatan itu membiak dan menyesatkan karena tak bisa membedakan kejahatan dan kebaikan. Nihilisme total menanti kita di gerbang masa depan! Bangsa Afrika Selatan menyadari jalan sesat yang dikaburkan oleh kejahatan antidemokrasi. Karena itu, dengan tegar mereka menyelidiki kekerasan dan pelanggaran dalam rezim apartheid, menghadapi 100.000 kasus potensial, lalu memfinalisasi 21.000 kesaksian tertulis (deponen) kepada Presiden, menganalisis 7.000 aplikasi amnesti, menyiapkan 2.500 dengar pendapat publik untuk aplikasi amnesti dari pelaku, korban dan saksi, semuanya direkam videotape, potongan klip kesaksian disiarkan televisi, dan radio 51 Wacana KKR 2006= 52 menyiarkan langsung setiap harinya lebih dari lima jam. KKR di Afrika Selatan juga melindungi saksi dan mengarsip lebih dari 3.000 meter kubik dokumen tertulis, serta rekaman video dan tape. Begitu pula bangsa Argentina, membongkar kejahatan masa lampaunya dengan Nunca Mas (Never Again), laporan akhir 50.000 halaman yang memuat daftar 8.960 orang hilang dari The Argentine National Commission on The Disappeared (CONADEP) selama pemerintahan junta militer di Argentina dari Maret 1976-1983. Sebuah laporan dari neraka! Nunca Mas menyeret sembilan anggota junta militer Argentina atas kejahatan terhadap kemanusiaan sepanjang tujuh tahun dari 1976-1983, dengan vonis seumur hidup pada Jenderal Jorge Videla dan Admiral Emilio Massera, tiga anggota junta lainnya diganjar penjara 16, 8, dan 4 tahun, empat lainnya dibebaskan. Juga menetapkan uang pensiun setara 75 persen gaji minimum pada 23.466 korban dan uang kompensasi bagi seluruh tahanan politik pada periode 1976-1983. Tantangan baru AM Inilah yang kita inginkan di Indonesia, KKR dan Pengadilan Kejahatan HAM Adhoc berjalan secara komplementer, bukan substitutif. LS Tantangan baru sekarang; Pertama, para korban, lembaga hak asasi, dan pemerintah serta DPR membuat UU baru yang dapat memenuhi tujuan utama KKR, agar terpenuhi (1) hak atas kebenaran; (2) hak atas keadilan, dan (3) hak atas reparasi. Kedua, berkaitan dengan pasal haatzaai artikelen, masyarakat dan korban secepat mungkin mengajukan uji materi terhadap Pasal 154 dan Pasal 156 yang menjadi instrumen pembunuh demokrasi di Indonesia. kli pin gE M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) 52 Wacana KKR 2006= 53 Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 Selamat Tinggal Kebenaran Fajrimei A Gofar Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Desember 2006 membacakan putusan terhadap pengajuan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU tersebut tidak berlaku lagi sebagai peraturan perundangundangan. Terlepas dari berbagai kelemahan yang melingkupi UU KKR tersebut, putusan ini tidak saja menjadi legitimasi bagi upaya-upaya pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lampau. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, putusan tersebut telah mengubur agenda reformasi untuk mewujudkan "keadilan transisional" (transitional justice). AM Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 menjadi pertanda kehidupan bernegara yang lebih baik, yang demokratis, serta menghormati HAM segera dimulai. Di bawah kepemimpinannya, negara ini pernah mempraktikkan berbagai bentuk kekerasan yang menimbulkan sejumlah kisah tragis dan horor serta sejarah yang bergelimang darah, serta penderitaan-penderitaan yang menggores rasa kemanusiaan. LS Menyusul pergantian era tersebut, era reformasi diwarisi sejumlah persoalan kekerasan, penderitaan, dan trauma-trauma itu. Negara dan rakyat Indonesia dihadapkan pada persimpangan jalan, apa yang harus dilakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut. Mengungkapnya atau membiarkannya berlalu begitu saja tanpa keadilan bagi korban dan membiarkan para pelaku bebas berkeliaran. Sesat pikir gE Sebagai negara yang bertekad mengembalikan kedamaian dan menghormati, melindungi, memajukan serta menegakkan HAM, negara berkewajiban dan harus membuka kembali sejarah yang kelam itu, dan mewujudkan keadilan transisional. Keadilan transisional di sini maksudnya adalah keberanian politik untuk sekali dan selamanya memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu keadilan bagi si korban dan hukuman bagi si pelaku. Oleh karena itu, diperlukan diperlukan suatu mekanisme hukum formal untuk mengatasi problem transisi itu. kli pin Awalnya, mekanisme yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan itu adalah Pengadilan HAM, yang dibentuk melalui UU Nomor 26 Tahun 2000 dan KKR yang dibentuk melalui UU KKR. Kedua mekanisme ini sebenarnya bukanlah suatu jalur yang dapat dipilih layaknya sebuah alternative dispute resolution (ADR) dalam mekanisme hukum perdata. Namun, KKR melengkapi pengadilan HAM dengan landasan pemikiran bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM karena lampaunya peristiwa yang minim bukti sehingga akan menyulitkan pengadilan untuk membuktikan dan menghukum terdakwa. Padahal, sesungguhnya peristiwa itu masih melekat dalam ingatan, terutama para korban, dan menimbulkan trauma yang menyesakkan dada. Contoh paling nyata adalah peristiwa pembantaian, penangkapan, dan penyiksaan pada tahun 1965-1968. Dalam peristiwa ini sangat sulit untuk menemukan bukti-bukti hukum tentang bagaimana pembantaian dan penyiksaan dilakukan. Namun, pembuat kebijakan pada saat itu masih bisa dimintakan pertanggungjawaban. Sementara itu, akibat peristiwa ini telah timbul penderitaan yang luar biasa bagi para korbannya. Kenyataannya, telah terjadi sesat pikir yang begitu dalam terhadap pemaknaan KKR ini, ia dianggap sarana impunitas, sementara melalui UU KKR ia terkesan sebagai ADR bagi pengadilan HAM. Berangkat dari kondisi ini, sejumlah pemerhati masalah HAM tergerak mengajukan uji materi, dengan maksud KKR bisa kembali pada makna yang sesungguhnya. 53 Wacana KKR 2006= 54 Akan tetapi, apa daya MK berkata lain, UU KKR dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, tiada lagi mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di luar pengadilan HAM. Padahal, kenyataannya lagi, pengadilan HAM telah terbukti tidak mampu mengungkap kebenaran dan menghukum terdakwa meskipun peristiwa yang diperiksa adalah peristiwa yang relatif baru. Tanpa ada rekonsiliasi Putusan MK tidak saja menjadikan UU KKR tidak berlaku, tetapi telah menghilangkan kesempatan bagi korban untuk dapat dipulihkan hak-haknya yang sudah di depan mata, minimal diakui bahwa mereka adalah korban; hilang kesempatan bagi bangsa ini untuk belajar dari sejarah kelam masa lalu; dan cita-cita mewujudkan keadilan transisional semakin menjauh. AM Selain itu, putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi pihak yang tidak ingin peristiwa masa lampau terungkap. Namun, jangan sampai putusan MK tersebut menjadi alat legitimasi bagi negara untuk lari dari tanggung jawab mengungkap masa lalu sehingga mengabaikan komitmen untuk memajukan, menghormati dan menghargai hak asasi manusia. LS Dengan demikian, negara harus segera mengambil langkah yang penting, misalnya menyusun kembali kebijakan-kebijakan untuk menjawab persoalan-persoalan transisi. Jangan sampai negara ini mengucapkan selamat tinggal kebenaran, selamat tinggal para korban dan hak-haknya, lupakan masa lampau, dan jalankan negara dengan penuh permusuhan dan dendam tanpa ada rekonsiliasi. Bebaslah para pelaku dari tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM yang pernah dilakukannya! kli pin gE Fajrimei A Gofar Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D 54 Wacana KKR 2006= 55 Kompas, Selasa 12 Desember 2006 Hak Asasi Manusia: Politik Muka Dua Seorang kawan dari Timor Leste mengeluh kepada saya tentang tidak tuntasnya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Dari semua perkara pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste, ternyata hanya ada satu orang pelanggar hak asasi manusia yang dijatuhi hukuman: Eurico Guterres. Selebihnya dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM dan dibebaskan. Para korban yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda mereka hanya bisa meratapi sistem hukum yang gagal dalam menangkap suasana pelanggaran HAM yang seyogianya tak hanya dilihat dalam bingkai hukum formal yang tak peka terhadap jeritan hati korban. AM Keluhan orang Timor Leste, ketika saya menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur, masih terngiang di telinga saya saat mereka menunjukkan selongsongan peluru dan bercak darah yang membekas di gereja di kota kecil Suai. Tangis itu memang tak ada lagi, tetapi memori itu tak akan pernah hilang bahwa pernah dalam satu waktu kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) terjadi dan kejahatan itu tidak dihukum. Impunitas terus terjadi dan celakanya impunitas itu mendapat stempel hukum dari Mahkamah Agung negeri ini. Betapa menyedihkan. gE LS Orang-orang Timor Leste tidak sendirian. Bersama mereka banyak korban yang sampai hari ini tak mendapatkan keadilan. Pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan II, Lampung, dan terakhir pembunuhan terhadap Munir tak pernah terselesaikan dan pelaku pelanggaran HAM tidak ketahuan atau kalaupun ada yang diadili: mereka semua dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM. Impunitas begitu berurat berakar dalam sistem hukum kita. Sehingga kita tak melihat ada legal remedies yang tersedia untuk mengejar pelaku pelanggaran HAM. Rupanya, Indonesia adalah surga pelanggaran HAM. kli pin Wajah kelam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Artinya, kemauan politik (political will) untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tak sungguh-sungguh ada di benak pemerintahan negeri ini meski rezim Orde Baru pelanggar hak asasi, sudah digantikan oleh rezim yang konon berpihak pada HAM. Ada sikap risi, mendua, dan tidak tega. Rezim pemerintahan yang sekarang ini nyatanya dalam banyak hal masih merupakan kelangsungan dari rezim sebelumnya, hanya sebagian yang berubah. Koneksitas inilah yang menjadi kendala yang secara kasatmata menampakkan kesan maju-mundur, tidak tegas. Inilah sukarnya kalau sejarah pergantian rezim itu bukan pergantian menyeluruh. Akibatnya, old interest masih cukup kuat dan menautkan diri dengan new interest yang dalam konteks Indonesia terjadi dengan kawinnya impunitas dan retorika dan komitmen akan HAM. Formula yang setengah-setengah, yang hasilnya juga setengah-setengah. Pintu masuk untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah disediakan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pada komisi ini tugas menyelesaikan pelanggaran HAM itu diberikan tidak semata-mata dalam artian prosecution, tetapi justru dalam artian truth telling dan healing. Bangsa ini perlu tahu mengenai kekejaman pelanggaran HAM sebagai bagian dari pembelajaran menuju masa depan. Tidak semua mesti dihukum, tetapi sejarah pelanggaran HAM itu tak boleh dihilangkan. 55 Wacana KKR 2006= 56 Komisi ini diarahkan untuk merumuskan kebijakan yang tidak sekadar restorative, tetapi juga harus retributive. Karena itulah dalam literatur HAM kita berbicara tentang bukan to forget, tetapi justru to forgive, kecuali bagi mereka yang tidak sudi bekerja sama dalam membongkar kasus pelanggaran HAM masa silam atau malah menutupi semua itu sambil secara angkuh merasa tidak bersalah. Saya kira komisi ini adalah komisi yang akan bisa meletakkan fondasi bagi masa depan HAM di Indonesia yang lebih baik terlepas dari sakit hati, dendam, dan amarah. Celakanya, komisi ini bernasib malang, dibubarkan sebelum dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi. Sikap lamban dan mendua pemerintah telah membunuh kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. AM Kalau kita berlaku adil tentang kondisi HAM di negeri ini sesungguhnya tak semuanya kelam. Dari sisi penyelesaian kasus pelanggaran HAM memang pemerintah harus dikatakan gagal, apa pun alasannya. Kemauan politik pemerintah berbau basa-basi dan itu lantas didukung oleh kerja setengah-setengah. Akan tetapi, dari sisi legislasi dan institusionalisasi kita melihat cukup banyak hasil yang menggembirakan karena setelah 32 tahun di bawah rezim anti-HAM kita akhirnya punya perangkat legislasi yang relatif lengkap. UUD 1945 hasil amendemen telah melahirkan satu bab hak asasi (Pasal 28) yang kalau ditilik bisa disimpulkan sebagai adopsi dari Universal Declaration of Human Rights. LS Kita juga memiliki UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang cukup komprehensif. Selain itu, yang menggembirakan adalah ratifikasi yang kita lakukan terhadap Covenant on Civil and Political Rights dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. gE Dari sisi standard setting, Indonesia bersama Filipina, Thailand, dan Kamboja sudah cukup maju jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain meski ratifikasi barulah satu yardstick yang belum tentu ada keterkaitannya dengan enforcement. Pemerintah tampaknya telah cukup menimba pengalaman negara lain yang membuat reservasi sehingga enforcement' itu tak bisa dilakukan. kli pin Tidak diratifikasinya Second Optional Protocol adalah contoh keengganan untuk melakukan enforcement. Dalam konteks ini kita juga bisa mempertanyakan mengapa pemerintah tetap tidak mau meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pendirian Pengadilan Kejahatan internasional (International Criminal Court/ICC) sehingga pelanggar HAM dari Indonesia tak akan bisa diseret ke ICC. Dari sisi institusionalisasi Indonesia juga melangkah maju. Lihatlah, di samping Komnas HAM dan Komnas Perempuan, telah pula ada Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di Kejaksaan Agung juga ada departemen yang mengurusi HAM. Dan harus juga dikemukakan, Indonesia adalah juga anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB mewakili Asia bersama sejumlah negara lain. Ini semua adalah titik-titik terang dalam kegelapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Tampaknya kita semua dituntun untuk tidak melihat ke belakang, kita harus melihat ke depan. Namun, kawan saya dari Timor Leste tak akan pernah bisa mengerti mengapa orang- orang Timor Leste yang terbunuh tak boleh tahu siapa dan kenapa mereka dibunuh, dan mengapa tak ada keadilan. Orang-orang Papua tetap mencari tahu kenapa pelanggaran HAM tenggelam dalam harapan hampa. Dan, Suciwati, akan tetap bertanya kapan pembunuh Munir, suaminya, bisa ditangkap, diadili, dan dihukum. Inilah politik dua muka HAM. Sejujurnya, kita tak bisa terus- menerus menjalankan politik dua muka seperti ini. 56 Wacana KKR 2006= 57 Kompas, Jumat, 02 November 2006 Aksi Kamisan Presiden Dituntut Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Jakarta, Kompas - Sekitar 50 orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM atau JSKK, Kamis (1/11) sore, kembali menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusut tuntas tragedi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Peserta aksi terdiri dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia, seperti tragedi Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis, kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari, peristiwa tahun 1965-1966, Peristiwa 27 Juli 1996, serta kasus Munir. AM "Ini adalah aksi rutin yang kami lakukan setiap Kamis. Kami menyebutnya Kamisan," ujar Presidium JSKK Sumarsih. Ibu dari Wawan, salah satu korban tragedi Semanggi I ini, mengatakan, sudah 39 kali JSKK menggelar aksi dan 13 kali mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono untuk bertemu langsung. Namun, hingga kini mereka belum memperoleh respons apa-apa. LS Selama satu jam, peserta unjuk rasa melakukan aksi diam sambil membawa payung hitam dan menggelar spanduk serta poster berisikan tuntutan kepada Presiden untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM. gE "Sebenarnya kunci permasalahan ada pada partai politik besar di DPR yang memiliki wewenang untuk mewujudkan Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, selama ini partai-partai itu masih menganggap kasus seperti tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat," kata Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Dengan aksi itu, Usman berharap Presiden Yudhoyono dapat mendesak pimpinan partai untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari kebuntuan kasus itu. kli pin "Kasihan mereka (korban dan keluarga korban) lama menderita. Tak bijaksana, sudah sembilan tahun reformasi berjalan, pemerintah belum juga memberi perhatian kepada korban pelanggaran HAM," ujar Usman. Suciwati, istri almarhum aktivis HAM Munir, mengatakan, akan terus melakukan aksi "Kamisan", sebab sudah menjadi komitmen bersama untuk menyuarakan kebenaran. "Kami tidak akan berhenti," katanya. (a13) 57 Wacana KKR 2006= 58 Kompas, 20 Desember 2006 10:04:58 Pelanggaran HAM - Peraturan Pengganti UU KKR Harus Dibuat AM JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah diminta membuat peraturan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Penggantinya bisa berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan presiden. "Peraturan pengganti ini perlu dibuat karena yang dibatalkan MK hanya undangundangnya, bukan ide pembentukan KKR sehingga putusan MK itu memberi pesan, pemerintah harus membuat peraturan baru untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Namun, peraturan itu tidak boleh melanggar konstitusi," kata Taufik Basari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Selasa (19/12). LS Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri Astrid Kartika mengatakan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan, pelanggaran HAM di masa lalu dapat diselesaikan dengan Pengadilan HAM Ad Hoc atau KKR. "Saya menilai ide KKR tetap harus diteruskan karena banyak pelanggaran HAM di masa lalu yang sulit diselesaikan di Pengadilan HAM Ad Hoc karena banyak bukti yang sudah hilang dan pelakunya tidak jelas," ucap Agung Putri. gE "Ide KKR tetap harus diteruskan karena banyak pelanggaran HAM di masa lalu yang sulit diselesaikan." Agung Putri Astrid Kartika Pengganti UU KKR ini, dapat berupa peraturan pemerintah pengganti UU KKR atau peraturan presiden. Kedua peraturan itu bisa cepat dibuat karena tak harus lewat DPR. kli pin Amirudin al Raham dari Aceh Working Group menambahkan, peraturan untuk menggantikan UU KKR dibutuhkan karena pembentukan KKR diamanatkan dalam perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. "Di samping Pengadilan HAM di Aceh, dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga disebutkan dengan jelas perihal pembentukan KKR Aceh," kata Amirudin. Jika peraturan pengganti UU KKR tidak segera dibuat, Amirudin khawatir rakyat Aceh dan dunia internasional pada umumnya akan menilai Indonesia tidak bersungguhsungguh melaksanakan isi perjanjian damai yang dibuat di Helsinki. "Jika ini terjadi, kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia yang dibangun susah payah akan hilang sia-sia," ucap Amirudin. la menyatakan kekhawatirannya ini bukan tanpa alasan. Hal ini disebabkan setelah MK membatalkan UU KKR, mantan GAM dan warga Aceh korban pemberlakuan daerah operasi militer banyak yang bertanya kepadanya, apa yang dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi masa lalu mereka jika tanpa KKR. (NWO) SUMBER : KOMPAS, RABU 20 DESEMBER 2006 58 2004 Kompas,Senin, 08 Maret 2004 Dua Tonggak Menuju Rekonsiliasi TANPA terasa, di tengah hiruk-pikuk pemilu, sebagian anak bangsa mulai menancapkan dua tonggak besar. Dua tonggak untuk menuju apa yang disebut elite politik sebagai rekonsiliasi nasional. Dua tonggak tersebut, yakni dikokohkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Februari 2004 dan ikrar perdamaian anak bangsa, Jumat 5 Maret 2004. Menariknya, dua tonggak besar itu diprakarsai langsung oleh anak bangsa, tanpa ada keterlibatan elite politik, yang kini sedang bersiap-siap berkampanye. LS AM KEDUA peristiwa itu memang menimbulkan perasaan yang berbaur. Ada yang pro. Ada yang kontra. Putusan sembilan hakim konstitusi-seorang hakim konstitusi Letjen (Purn) Achmad Rustandi tidak sependapat- telah memulihkan hak konstitusional eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi calon anggota legislatif. Dua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Putusan itu merupakan terobosan besar bagi bangsa untuk menuju rekonsiliasi. Meski demikian, ada beberapa komponen bangsa yang mengecam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peristiwa kedua adalah ikrar perdamaian anak-anak bangsa. Ikrar perdamaian yang diprakarsai Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) ini telah menyatakan ikrar perdamaian sesama anak bangsa. Ikrar perdamaian itu disampaikan Amelia A Yani (putri dari pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani), Ilham Aidit (putra dari Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit), Sarjono Kartosuwirjo (putra Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra Marsekal Omar Dani), Ahmad Zahedi (cucu Teungku M Daud Beureuh), Mochamad Basyir (cucu HOS Tjokroaminoto), dan Yap Hong Gie (putra Yap Thiam Hien). gE "Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami dan di antara segenap warga negara Indonesia," kata Sarjono Kartosuwirjo membacakan ikrar. Melalui FSAB, ia dan teman-teman yang selama ini terpinggirkan merasa mendapatkan tempat. pin Direktur FSAB Suryo Susilo merasa bahagia dengan ikrar dan terbentuknya forum yang mewadahi dan mempersatukan keluarga TNI, PKI, Darul Islam, dan komunitas Tionghoa. "Beberapa tahun lalu, hampir tidak mungkin kita membayangkan pertemuan dan persatuan mereka yang secara ideologis bertentangan," kata Suryo. kli Rekonsiliasi akar rumput ini sungguh mengejutkan. Mayjen (Purn) Salamun yang mengaku ikut menguber dan mengawal anggota PKI ke Pulau Buru merasa terperangah. "Saya tak membayangkan ini bisa terjadi. Ini adalah permulaan dan jangan sampai berhenti," kata Salamun yang hadir dalam ikrar tersebut. Meskipun tak ada elite parpol yang terlibat, sebagaimana diakui Suryo, ikrar perdamaian diucapkan terkait dengan kerinduan FSAB menyaksikan proses Pemilu 2004 yang jauh dari konflik dan kekerasan. "Jangan lagi mewariskan dendam dan konflik. Kami juga bertekad untuk tidak membuat konflik baru," ujar Suryo. AKTIVIS hak asasi manusia (HAM) dari Imparsial, Rachland Nashidik, melihat dua peristiwa itu sungguh merupakan perkembangan positif dalam penyelesaian masa lalu bangsa. Dengan dua peristiwa itu, patron Afrika Selatan sebagai model penyelesaian yang selama ini diyakini elite politik Indonesia perlu dipertimbangkan kembali. Dari putusan MK 24 Februari 2004 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kembali hak-hak korban (rehabilitasi, restitusi, dan reparasi) tidak perlu harus didahului dengan hak korban atas keadilan (right to justice) dan hak korban untuk mengetahui (right to know). Korban terbukti bisa berjuang sendiri untuk mendapatkan kembali hak konstitusionalnya. Putusan MK tersebut bisa ditempatkan sebagai constitutional justice. Putusan MK itu telah mengoreksi ketidakadilan konstitusional yang diderita eks anggota PKI untuk menjadi calon anggota legislatif. 1 "Jadi, hak konstitusional korban telah bisa diperoleh tanpa harus melalui pengungkapan kebenaran dan pemberian amnesti," kata Rachland. Putusan MK itu seakan mematahkan tesis yang selama ini diyakini bahwa rekonsiliasi baru bisa dilakukan setelah ada pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, dan pemberian amnesti, sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan. "Model Afrika Selatan terbukti tidak berjalan di Indonesia," kata Rachland yang banyak mendalami soal-soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ikrar perdamaian antar-anak bangsa, menurut Rachland, juga juga menunjukkan kearifan anak bangsa yang sama-sama menjadi korban untuk menghentikan permusuhan. "Itu adalah rekonsiliasi sesama korban. Pertemuan itu seakan memberikan definisi rekonsiliasi sebagai pemulihan kesalahpahaman antarsesama masyarakat menuju masyarakat baru. LS AM Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara saat menyampaikan sambutan dalam acara FSAB mengatakan, rekonsiliasi adalah sebuah usaha besar secara sadar untuk berhadapan dan bahkan masuk mengolah masa lalu sebuah bangsa yang traumatik. Suatu usaha untuk menghubungkan antara politik memori dan pertanggungjawaban. "Sayangnya, konsep rekonsiliasi dipergunakan dengan pengertian yang amat harfiah, untuk kepentingan politik sesaat, sehingga justru sarat dengan pengertian yang bagi korban khususnya korban kekerasan masa lalu, sangat mencurigakan," kata Abdul Hakim. Bahkan, saat ini, menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi diartikan melupakan masa lalu, membiarkan tidak adanya pertanggungjawaban dan menyangkal adanya kekerasan pada masa lalu. gE BERANGKAT dari peristiwa itu, menurut Rachland, paradigma restorative justice yang dikembangkan draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), seyogianya disesuaikan. Paradigma restorative justice mengedepankan perlunya harmoni sosial dan mengebelakangkan sosial dan legal justice. pin Dengan adanya dua peristiwa itu, kata Rachland, RUU KKR harus diarahkan menuju terpenuhinya hak korban untuk mengetahui dan hak korban untuk mendapatkan keadilan. KKR harus mampu mengungkapkan kebenaran dalam sebuah peristiwa. Korban mempunyai hak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab. Setelah korban mengetahui, dia bisa memberikan maaf dan ampun. Dan setelah ada pengungkapan kebenaran, kita bisa menatap ke masa depan. kli Dalam perspektif Rachland, RUU KKR yang sedang dibahas DPR-namun tak tahu kapan akan selesai karena DPR reses dan segera dilangsungkan pemilu-seharusnya menggunakan paradigma retributive justice. Paradigma ini mendorong terbentuknya moral society yang mampu melakukan upaya-upaya agar pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di masa depan. Dalam konteks itu, pemberian keadilan kepada korban harus menjadi yang utama. Bagi Rachland, pengungkapan kebenaran adalah hal yang esensial yang penting. "Memang kita harus menyimpan masa lalu ke belakang dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah. Akan tetapi, kita harus tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa lalu guna menata masa depan yang lebih baik," kata Rachland. Ingatan sosial itu sangat penting. Sebagaimana ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan. Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan. Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial. Untuk itu, monumen-monumen untuk melanggengkan ingatan bangsa diperlukan agar generasi baru bangsa mengetahui sejarah bangsa ini. 2 Sebagaimana dikatakan Abdul Hakim, tidak melupakan bukan berarti meminta korban untuk meratapi kepedihan akibat kekerasan masa lalu. Tidak melupakan berarti menghargai keyakinan korban bahwa sesuatu memang terjadi pada masa lalu. Sebaliknya, mengajak korban melupakan masa lalu, berarti memperlakukan mereka seolah-olah tidak ada kesalahan besar di masa lalu. kli pin gE LS AM Generasi baru bangsa harus mengetahui bahwa di Tanah Air ini pernah terjadi pembantaian pada tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok 1996, kerusuhan Mei 1998, yang telah memakan ribuan korban jiwa. Pengetahuan itu bukan untuk membuka luka lama, tapi justru untuk mencegah agar peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang. (Budiman Tanuredjo) 3 Kompas, Sabtu, 20 Maret 2004 KKR Harus Diberi Akses Buka Dokumen Militer Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini sedang digodok DPR haruslah diberi kewenangan besar, terutama untuk mengakses dokumen militer selama periode pelanggaran HAM yang ditentukan serta dokumen instansi pemerintah. Tanpa kewenangan dan akses atas instansi pemerintah dan militer, komisi yang harus menangani persoalan sensitif ini tidak bisa bekerja optimal. Penjelasan ini diberikan Kepala Divisi Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri dalam diskusi terbuka di Jakarta, Kamis (18/3). Hadir sebagai pembicara, Mugiyanto dari Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) dan Eny Suprapto dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). "Komisi ini kalau toh bisa berdiri, belum tentu bisa berjalan. Lihat saja beberapa negara lain, banyak komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tak berjalan. Karena apa? Yah, karena banyak tekanan politik yang meminta komisi ini berhenti bekerja. Sebab perlu disadari komisi ini menangani hal sensitif," kata Agung Putri. LS AM Ia menambahkan, untuk bisa membuat komisi ini tetap bekerja, perlu adanya dukungan politik dari parlemen. Namun, Agung Putri menyadari bahwa pembentukan komisi ini memang tidak mudah. Sebab, akan banyak orang yang merasa berkepentingan dengan pengungkapan kasus pelanggaran HAM ini. "Kalangan parpol tidak bisa lari dan mengatakan seolah pelanggaran HAM ini dilupakan. Pelanggaran HAM bukan seperti sopir bajaj menabrak orang, dengan lari persoalan selesai. Namun, pelanggaran HAM ini adalah tragedi kemanusiaan yang akan mengikuti ke mana pun bangsa ini berjalan," kata Agung Putri. gE Sementara itu, mengenai Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), Agung Putri melihat adanya titik lemah dari RUU ini, yakni ketidaksinambungan antara pengungkapan kebenaran, amnesti, dan kompensasi untuk korban. Eny Suprapto mengatakan, sudah saatnya berhenti berbicara model KKR. Sebab, perdebatan itu sudah dibicarakan sejak enam tahun lalu ketika rezim berganti. "Sudah tidak tepat lagi bila kita masih berkutat membahas konsep yang ada di negara lain. Kita perlu membahas naskah konkretnya, kita sudah membahas sejak Desember 2001," jelas Eny. kli pin Mugiyanto mengatakan, pemerintah minimal memberi penghargaan terhadap para korban pelanggaran HAM. Ia mencontohkan seperti di Filipina, pemerintah membangun sebuah monumen yang akan mengingatkan semua warga negaranya akan peristiwa revolusi 1986 yang telah membawa korban banyak. (vin) 4 Kompas, Sabtu 24 April 2004 Rudi Muhammad Rizki: Persoalan Masa Lalu Harus Diselesaikan PRESIDEN telah tiga kali berganti, namun sejumlah persoalan masa lalu, terutama pelanggaran hak asasi manusia, belum juga terselesaikan. Penyelesaian masalah masa lalu amat diperlukan agar bangsa Indonesia tidak selalu berkutat dengan masa lalu. Rasa dendam juga tidak terus menghantui perjalanan bangsa Indonesia. TIDAK tuntasnya penyelesaian masalah masa lalu ini, justru akan menimbulkan benih perselisihan dan konflik di masa mendatang. "Jadi, penyelesaian ini penting agar bangsa ini tidak lagi selalu berkutat dengan masa lalu, sehingga secara bersama-sama menatap masa depan tanpa dendam," papar Rudi Muhammad Rizki, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. LS AM Di tengah hiruk-pikuknya orang berbicara tentang politik, Rudi-yang saat ini menjadi Hakim Ad Hoc di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Jakarta Pusat dan Wakil Ketua Paguyuban HAM Unpadjustru tidak terpengaruh dengan arus politik. Ia gencar melakukan edukasi tentang pemajuan dan perlindungan HAM di berbagai lembaga. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Rudi Rizki, Senin lalu, di Jakarta. Bagaimana kita menyelesaikan persoalan di masa lalu? gE Sekarang kan ada pengadilan HAM, dan akan ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi kita belum tahu KKR sampai di mana. Seharusnya pengadilan dan KKR bersamaan, apalagi kita melihat banyak kekurangan dari pengadilan HAM ini. Padahal, persoalan ini harus diselesaikan melalui pengadilan atau melalui KKR. Ini gejala yang umum terjadi di masa transisi. Kalau semuanya harus melalui pengadilan, itu dapat membahayakan proses demokratisasi yang masih dalam keadaan rapuh ini. Kenapa membahayakan? pin Kita lihat negara yang mengalami proses masa transisi dari pemerintahan otoriter ke demokratis, misalnya Argentina atau Korea. Mereka tidak sekaligus mengadili pelanggar HAM masa lalunya karena biar bagaimanapun (pelanggar HAM) masih berada di kekuasaan. Mana yang harus lebih dulu, pengadilan atau KKR? kli Dua-duanya harus sejalan. Ketika pengadilan tidak dimungkinkan maka penyelesaiannya lewat KKR, tapi dalam KKR juga ketika satu orang tidak memberikan pengakuan, tidak menyatakan permintaan maaf, namun terbukti dia ikut bersalah, pengadilan harus tetap berjalan. Jadi, semangat sekarang ini adalah semangat global menghapuskan segala bentuk impunity (kekebalan hukum pada orang tertentu). Kalau dua-duanya berjalan, bagaimana? Di sini nuansa politiknya banyak. Untuk menggelar pengadilan HAM masa lalu butuh persetujuan DPR. Pertimbangan politisnya banyak. Kalau begini, korban masa lalu tidak terpuaskan. Kalau tidak dibentuk pengadilan ad hoc tawarkan alternatif KKR, tapi RUU KKR masih dibahas. KKR belum jelas, pengadilan tidak bisa diharapkan lalu sebenarnya bagaimana? Idealnya, dua-duanya. Pengadilan dan KKR. UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM harus kita review. Di sana banyak kekurangan. Kita juga belum memiliki hukum acara tersendiri. Karena itu, KKR harus didorong segera terealisasi, karena kita sudah kelamaan. Timor Timur saja sudah mempunyai KKR, tetapi mungkin persoalan mereka tidak sekompleks kita. 5 Masih banyak yang harus dibenahi dari pengadilan. Soal keahlian, kita masih dianggap baru, masih kurang pemahaman yang sama. Kita harus memulai dengan legislasi, infrastruktur, termasuk budaya menghormati pengadilan. Kita memang tidak bisa membandingkan dengan pengadilan Yugoslavia atau Rwanda. Kenapa mereka bisa kelihatannya berjalan mulus, karena kalau mereka mengadili jauh dari tempat kejadiannya dan pelaku yang diadili sudah tidak ada atau dicabut dari kekuasaan. Pengadilan kita hanya sekadar dijalankan dan tidak memenuhi harapan? Ini masih proses pembelajaran. Jadi, memang kita membutuhkan waktu pembelajaran buat semua. Pelan-pelan semuanya harus melalui proses, karena menghapuskan segala bentuk impunity tidak sertamerta dilakukan, banyak faktor yang menentukan. Jadi, tidak serta-merta akan memenuhi rasa keadilan semua pihak karena pengadilan HAM adalah hal baru. Yang kita harapkan adalah mengadili secara layak. Tetapi untuk mengadili secara layak itu masih ada hambatannya. LS AM Kita harus melihat dari mulai proses rekrutmen hakim, apakah sudah tepat orang yang memahami permasalahan seperti itu, apakah pelatihan yang diberikan kepada mereka juga sudah tepat? Pengadilan ini agak terburu-buru karena tekanan internasional sehingga persiapannya pun demikian. Karena itu, amandemen UU No 26/2000 mendesak dilakukan sambil kita mengegolkan KKR. Dan, ini harus samasama. Kalau ingin menjadi komplementer tidak bisa satu dulu yang berjalan. Apa urgensi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bagi demokratisasi? gE Supremasi hukum dan penghormatan HAM merupakan pilar dari demokrasi yang sedang kita bangun, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah dalam rangka menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM itu. Dalam situasi normal, penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan adalah dengan mengadili orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu, dan memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban. Hal ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM berat. Penghukuman pelaku melalui proses pengadilan yang independen, tidak memihak, diperlukan sebagai kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan (erga omnes obligation). Sejauh mana kaitan masa lalu, kini, dan akan datang? kli pin Kalau masa lalu tidak diselesaikan, akan menjadi permasalahan di masa mendatang. Penyelesaian seperti dalam rangka KKR salah satunya adalah pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah. Itu kan sekaligus juga mencegah keberulangan. Mengadili dan menghukum pelaku atau pengungkapan kebenaran itu, salah satu fungsi preventifnya adalah untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Itu kan pelajaran penting untuk kehidupan sekarang dan akan datang. Karena, kalau tidak dituntaskan maka masalah itu akan muncul terus, dan terus muncul ketidakpuasan dari anak cucu korban. Itu benih perselisihan konflik di masa depan, dan akhirnya bangsa kita akan terbelenggu dengan masa lalu. Jadi, penghukuman melalui pengungkapan fakta di depan pengadilan tentu penting untuk mencegah keberulangan di masa yang datang. Pengadilan kita belum berjalan seperti yang diharapkan? Itu tergantung lagi pada kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan atau KKR. Tetapi tidak ada sistem pengadilan atau KKR di mana pun yang paling sempurna. Mungkin kita lihat Afrika Selatan, itu model terbagus, tapi enggak juga, kelemahannya juga ada kan? Sama saja dengan pengadilan, pengadilan mana yang bisa kita lihat. Katakanlah Rwanda, apakah betul dengan jumlah sekitar satu juta orang dan hanya sekian puluh yang diadili sudah mencerminkan bahwa semua pelaku diadili. Tetapi ada yang menjadi pelajaran publik dari keputusan itu, yakni bahwa orang yang paling bertanggung jawab itu dicari. Orang yang dulunya tidak terjangkau oleh hukum karena kekuasaannya sekarang bisa dijangkau. Bagaimana pola penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tepat? Umumnya negara-negara dalam keadaan transisi dihadapkan pada pilihan antara menghukum pelaku dan memberikan amnesti. Amnesti dianggap penting demi rekonsiliasi, demi terwujudnya 6 demokratisasi, namun penghukuman pun penting bagi demokratisasi. Sebagaimana halnya praktik negara yang mengalami transisi, kemudian penyelesaian melalui KKR menjadi alternatif lain. KKR lebih berorientasi terhadap kepentingan korban, khususnya dalam mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi, serta pemenuhan the right to know dari korban. Walaupun lebih dari 20 negara telah mempraktikkan KKR ini, tidak ada satu model yang baku yang dapat diterapkan oleh semua negara karena kompleksitas permasalahan setiap negara berbeda. Model Afrika Selatan belum tentu sesuai dengan situasi di Indonesia. Jadi, kalau ditanya model mana yang terbaik, pengadilan atau KKR, kita tidak dapat memilih salah satu karena keduanya harus saling melengkapi. Beberapa negara seperti bekas Yugoslavia, Sierra Leone, dan bahkan Timor Leste pun melakukan langkah seperti itu. LS AM PEMILU legislatif yang baru saja berlangsung April lalu, menurut Rudi Rizki, sebenarnya ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Paling tidak, menurut lulusan University of Melbourne Australia ini, dalam pemilu lalu tidak terjadi kekacauan seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak. "Kenapa kok pemilu kemarin aman saja. Apakah karena masyarakat sudah lelah berkonflik atau karena kesadaran HAM sudah tinggi, atau karena pilihannya banyak sehingga potensi konfliknya sedikit?" ujar Rudi yang saat ini staf ahli di Habibie Center. Suami dari Meli Noor Amalia dan juga ayah dari Farhat Muhammad, Aldea Muhammad, dan Fadel Muhammad ini justru menilai, dalam pemilu kali ini sebenarnya menunjukkan mulai adanya kesadaran dari rakyat untuk tidak berkonflik sekalipun berbeda pilihan. Hasil pemilu bisa memberikan harapan untuk penyelesaian masa lalu? gE Saya pernah melihat visi dan misi partai soal HAM, tetapi ternyata tidak banyak partai politik yang mempunyai program untuk itu. Kalau melihat visi mereka, ada yang bagus tetapi ada juga yang tampaknya kurang memedulikan. Misalnya, isu KKR ada yang baru saja tahu atau bahkan belum mengetahui. Kebanyakan wawasan HAM parpol masih belum terlihat. Di kalangan elite partai, bagaimana penilaian Anda? pin Saya belum ada kesempatan untuk melihat kepedulian mereka kesana, mungkin di antara mereka ada yang peduli terhadap pemajuan dan perlindungan HAM, tetapi saya belum melihat itu. Saya memang tidak mengamati semua kampanye, apa mungkin kebetulan luput dari perhatian saya. Akan tetapi, yang jelas saya tidak melihat isu tentang pemajuan dan perlindungan HAM menjadi dagangan mereka. Mungkin karena isu itu tidak seksi ya sehingga tidak ada partai yang jualan kampanye seperti itu. Untuk pemajuan HAM, kendala apa yang kita hadapi? kli Apa ya..? Negara kita ini kan kompleks. Misalnya, budaya penghormatan terhadap HAM, kita masih kurang. Apalagi, kalau hiruk-pikuk pemilu ini kan power oriented kelihatan sekali. Yang dicari kekuasaan, padahal kalau mereka menunjukkan kepedulian terhadap HAM, itu sebetulnya kekuatan juga bagi mereka. Pola apa yang paling tepat? Kita membangun kesadaran pemajuan perlindungan HAM. Itu ideal. Saya masih percaya dengan sistem pendidikan diseminasi untuk semua lapisan karena kalau tanpa itu, akan sulit. Jadi, untuk segala lapisan masyarakat sendiri, kalangan elite, parlemen, termasuk TNI misalnya. Anda yakin proses pembelajaran akan berhasil? Ya, tapi faktor yang memengaruhi bukan itu saja. Ada faktor ekonomi, bahkan stabilitas. Namun, dengan edukasi kita bisa mulai, misalnya untuk penanganan konflik ini katakanlah di satu tempat konflik, Aceh, sekarang kan kita melihat dalam operasi militer di sana, kalau tidak salah, sudah disertai 7 dengan perwira hukum. Ketika ada penyiksaan atau pelaku pemerkosaan langsung diadili. Bukankah itu menuju ke arah perbaikan? Bagaimana dengan pemerintah, upaya untuk pemajuan HAM seperti apa? Ya, memang kita keroyokan semua. Misalnya untuk daerah yang potensi konflik antar-etnis, kita melakukan sosialisasi ke sana disesuaikan dengan kebutuhan lokalnya. Sosialisasi tentang diskriminasi ras, tentang penghapusan segala bentuk intoleransi, baik dari perbedaan agama juga dilakukan. Tidak hanya instansi terkait yang melakukan, tetapi LSM juga. Mudah-mudahan DPR dan pemerintahan yang baru kelak mempunyai kepedulian untuk segera dapat merampungkan RUU KKR. Di sejumlah instansi ada lembaga HAM, sejauh mana efektivitasnya? LS AM Untuk efektivitas, paling sedikit untuk membangun kesadaran itu, lumayan. Memang ada duplikasi, tetapi setidak-tidaknya dalam membangun kesadaran ini ada. Walaupun memang kalau bicara dalam beberapa hal, kita pesimistis dengan performance pengadilan HAM. Tetapi yang saya rasakan memang untuk pembangunan kesadaran ada karena banyak yang melakukan itu. LSM melakukan tersendiri. Itu aset karena tugas sosialisasi HAM tidak bisa hanya dibebankan hanya kepada pemerintah atau Komnas HAM, tapi justru dari mereka-mereka. LSM itu aset, jasa mereka besar sekali. Kalau dulu LSM dianggap berseberangan dengan pemerintah, tetapi sekarang tidak lagi. Misalnya RUU KKR, yang pertama buat yakni Elsam. Jadi, mereka bukan sebagai lawan tapi sebagai mitra. Langkah pemajuan HAM yang dilakukan pemerintah sudah maksimal? gE Saya belum melihat itu, kita lihat saja Rencana Aksi Nasional HAM (RAN HAM), janjinya akan meratifikasi beberapa konvensi, kovenan tapi kok tidak. RAN HAM sudah harus keluar tahun 2003, tetapi sampai sekarang mana realisasinya? Kita juga melihat pemerintahan belum sungguh-sungguh. Saya tidak tahu kenapa hal ini tidak jadi prioritas. Seperti RUU KKR kenapa berlama-lama? Yang seperti itu kan menunjukkan ketidakpedulian, bukan hanya dari pemerintah tetapi parlemen juga. Berapa lama untuk membangun kesadaran itu ? pin Itulah saya bilang bahwa negara yang serupa dengan kita mengalami ini tidak ada yang seragam. Bahwa ini dapat dicapai lima atau sepuluh tahun, ini tergantung pemimpin negara. Kenapa sih Afrika Selatan dalam satu tahun bisa meratifikasi? Kita yang janjinya mau meratifikasi kok tidak. Sampai sekarang kita cuma punya empat konvensi: konvensi antipenyiksaan, penghapusan antidiskriminasi ras, konvensi penghapusan diskriminasi wanita dan konvensi anak. Itu pada pemerintahan transisi Habibie. Kenapa demikian? kli Persoalan ratifikasi adalah tugas pemerintah. Apakah tidak kepikiran atau tidak dianggap penting, enggak tahulah. Yang jelas, belum dianggap prioritas oleh mereka. Kalau di mata internasional sendiri bagaimana? Memang rapor HAM kita masih belum bagus juga, mulai dari kelambanan ratifikasi konvensi dan kovenan, sampai efektivitas implementasi konvensi yang sudah kita ratifikasi. Kemudian pengadilan HAM juga mereka lihat. Jadi, rapor kita juga masih kurang bagus, dulu ketika pengadilan HAM digelar banyak orang mengatakan, ini adalah evaluasi dari wajah hukum kita di luar negeri. Jadi, orang akan mengamati semua. Perhatian masyarakat internasional semua ke sana. Ketika ini berjalan bagus, negara luar mungkin menganggap sistem peradilan kita bagus, tetapi ketika pengadilan buruk mungkin memang begitulah adanya. (SONYA HELLEN SINOMBOR) 8 Kompas, Selasa 27 Juli 2004 Masa Lalu Dipelihara atau Diselesaikan? SEKITAR satu bulan menjelang pemilu presiden 5 Juli 2004, isu mengenai pengerahan pamswakarsa yang melibatkan mantan Panglima TNI yang juga calon presiden Jenderal (Purn) Wiranto ramai dipercakapkan. Beritanya memenuhi ruang-ruang publik, media massa cetak maupun elektronik membahasnya. Bahkan, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen secara terbuka menuding keterlibatan mantan Panglima TNI itu dalam pengerahan pamswakarsa, yang menciptakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat pada saat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR November 1999. Tudingan itu tentu saja dibantah oleh Wiranto maupun tim suksesnya.< p> LS AM Setelah pemilu 5 Juli berlangsung, isu itu hilang. Tak ada lagi diskusi buku. Tak ada lagi peringatan Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Memasuki bulan Juli 2004, isu pun beralih. Sekelompok masyarakat korban penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, membuat rangkaian acara sepekan peringatan Kasus 27 Juli. Seorang korban kasus 27 Juli meluncurkan buku. Menjelang peringatan delapan tahun penyerbuan kantor DPP, kantor yang biasanya tak terawat itu, mulai berbenah. Panggung didirikan. Spanduk besar dibentangkan. Nara sumber diundang untuk membicarakan masalah praktik kekerasan oleh aparatur negara delapan tahun lalu. Banyak kelompok masyarakat berbicara. Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan meminta agar mantan Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan tersangka Kasus 27 Juli. gE Sebaliknya, Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK) Firman Wijaya justru meminta Mabes Polri memeriksa Megawati Soekarnoputri karena Megawati tahu rencana penyerbuan itu. Sehingga Megawati juga harus diminta bertanggung jawab, karena mendiamkan saja kabar yang diterimanya. pin Sebelumnya, isu pembukaan kembali Kasus 27 Juli yang sudah lama tenggelam diungkapkan ke permukaan. Sejumlah nama disebut ikut bertanggung jawab dan akan diadili berkaitan dengan penyerbuan itu. Namun, isu penyidikan itu surut ketika kejaksaan mengembalikan lagi berkas Kasus 27 Juli ke pihak kepolisian. Besok, Selasa 27 Juli 2004, penyerbuan kantor DPP PDI akan diperingati di bekas Kantor DPP PDI (kini PDI Perjuangan). Sebuah acara yang dimaksudkan untuk mengusik kembali ingatan kolektif masyarakat, mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 27 Juli, delapan tahun lalu. kli BAGI aktivis hak asasi manusia, Rachland Nashidik dan Ifdhal Kasim, upaya pengungkapkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia masih menjadi fungsi dari kepentingan politik elite. Ketika elite politik membutuhkan isu itu, maka digunakanlah isu untuk kepentingan kekuasaan. Namun, ketika elite politik tidak membutuhkan, isu pelanggaran HAM masa lalu akan selalu ditolak dan dinegasikan. "Masalah pelanggaran HAM masa lalu hanyalah komoditas politik yang selalu dipermainkan elite," ujar Ifdhal Kasim. Padahal, menurut Rachland, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tak boleh menjadi isu musiman. "Para elite politik harus sadar bahwa tanpa ada masa lalu, mungkin mereka tak akan menjadi elite politik," kata Rachland. Dalam Kasus 27 Juli 1996, Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri telah menjadi orang nomor satu di republik ini. Mantan Pangdam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso yang selama ini disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kasus itu, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta, mantan Komandan Satgas PDI Agung Iman Sumanto kini menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta. 9 "Kasus 27 Juli seharusnya menjadi tanggung jawab Megawati untuk menyelesaikannya. Namun, publik tak menangkap keseriusan itu. Paling tidak itu tampak dari dukungan Megawati kepada Sutiyoso," katanya. Namun, kata Rachland, Megawati kelihatan betul memanfaatkan peringatan peristiwa 27 juli sebagai sebuah isu untuk mengingatkan kembali publik, bahwa ia adalah korban. "Jadi, sebenarnya memang tak ada kesungguhan," kata Rachland. Hal serupa disampaikan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim. "Peringatan Kasus 27 Juli hanyalah komoditas politik untuk kepentingan elite politik memperebutkan kekuasaan, sama sekali bukan dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas," kata Ifdhal. LS AM Padahal, menurut Ifdhal, tanpa ada penyelesaian komprehensif tentang pelanggaran HAM masa lalu, kita akan selalu terjebak pada masa lalu. "Masa lalu seharusnya diselesaikan bukan terus dipelihara semata-mata untuk kepentingan kekuasaan," kata Ifdhal. Ketua Forum Demokrasi Indonesia Trimedya Panjaitan membantah anggapan bahwa Kasus 27 Juli dipelihara untuk kepentingan elite kekuasaan dan Megawati mendapatkan keuntungan dari kasus itu. "Kalau kita jujur melihat keadaan, upaya untuk menuntaskan kasus sudah lama dilakukan. Masalah itu tersendat setelah DPR mengubah arah penyidikan menuju penyidikan koneksitas yang tertutup," kata Panjaitan seraya menambahkan, "Pemerintahan Megawati telah berupaya membuka kasus itu. Namun, masalahnya memang tidak mudah." KASUS 27 Juli 1996 memang tetap menimbulkan pertanyaan yang tak terjawab. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dalam praktik kekerasan yang disponsori oleh negara itu? gE Pemerintahan otoriter Orde Baru sebagaimana diwakili Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam penjelasannya di depan perwakilan asing, 5 Agustus 1996 mengatakan, Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh PDI sebagai "kuda troya". pin Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman kantor PDI sebagai embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pertemuan di rumah Soeharto, tanggal 19 Mei 1996, Soeharto meminta pembantu militernya untuk mewaspadai makar itu. kli Konstruksi Orde Baru itu kemudian diterjemahkan. Sebanyak 124 orang yang bertahan di dalam gedung diadili dan dijatuhi hukuman. Sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan dijebloskan ke penjara atas tudingan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli, meski dalam proses persidangan tuduhan itu tak pernah terbukti. Kebenaran Orde Baru itu telah dicoba direvisi oleh Megawati ketika ia berada di tampuk kekuasaan. Namun, revisi itu tidak signifikan. Pemerintahan Megawati tak mampu mengungkapkan kebenaran substansial atas persekongkolan elite politik militer Orde Baru. Majelis hakim Pengadilan Koneksitas yang diketuai Rukmini hanya mampu membuktikan seorang terdakwa sipil Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Ia dinyatakan terbukti menipu massa dan ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI. Menurut Ifdhal, jika Kasus 27 Juli mau diletakkan dalam konteks upaya untuk mencari kebenaran, maka pembentukan Pengadilan Koneksitas hanya mau menyelamatkan konstruksi politik Orde Baru. "Pengadilan Koneksitas terbukti gagal untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih subtansial. Itu tak lepas dari tawar-menawar politik pemerintahan sipil dengan kekuatan politik Orde Baru," kata Ifdhal. 10 Yang tampak di permukaan adalah saling bantah dan saling tuding antara para pejabat militer. Mantan Pangdam Jaya Sutiyoso saat diperiksa menuding Soeharto yang secara implisit memberikan perintah untuk menghentikan mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Ketika suara di lapangan mengarah kepada keterlibatan mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sutiyoso bereaksi dengan mengatakan, "Yudhoyono tidak terlibat dalam penyerbuan kantor DPP. Sebab sebagai Kasdam pada waktu itu, Yudhoyono tidak bisa mengambil keputusan memerintahkan pengosongan. Tanggung jawab di lapangan ada di tangan saya selaku Pangdam Jaya. Yudhoyono tidak berkapasitas memberi perintah pengosongan." (Kompas, 12 Juni 2004) Kenyataannya, Pengadilan Koneksitas telah gagal mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh, termasuk mengungkap motivasi politik pembantu militer Soeharto pada era Orde Baru untuk menyingkirkan Megawati dari panggung politik nasional. LS AM POLA penanganan masalah pelanggaran HAM masa lalu yang terus dipolitisasi jelas hanya akan memelihara siklus impunitas. Tanpa ada upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, pada saatnya nanti akan mengganggu konsolidasi demokrasi. Masa lalu akan terus menggelayuti bangsa dan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Kebengisan dan kekejaman masa lalu memang harus terus disuarakan untuk mencegah kejahatan kebisuan (the crime of silence). Perjuangan masyarakat korban sejatinya adalah perjuangan terhadap upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti, yang selalu menjadi ciri sebuah pemerintahan otoriter. Suara-suara masyarakat korban yang menuntut pengungkapkan kebenaran seyogianya tidak dijadikan komoditas politik untuk semata-mata hanya untuk meraih kursi kekuasaan. Elite yang memanipulasi suara korban untuk kepentingan kekuasaan adalah elite yang mengkhianati suara rakyatnya. kli pin gE Negara memang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diwariskan rezim otoriter Orde Baru. Telah banyak instrumen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Yang belum ada hanyalah niatan tulus untuk mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran, dan korban itu sendiri. (Budiman Tanuredjo) 11 Kompas, Sabtu, 31 Juli 2004 Ifdhal Kasim: Upaya Melepaskan dari Bayangan Masa Lalu SEJARAWAN Taufik Abdullah dengan mengutip seorang teoritikus menulis, "Masa lalu adalah negeri asing. Siapa tahu, ’di sana di negeri asing itu’ terletak sumber ketidakberesan yang kini-ataukah di sinisaya rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki ’di sana’ agar yang terjadi ’di sini’ baik-baik saja." Masa lalu terasa demikian penting untuk menata masa depan. Namun bagaimana menyelesaikan masa lalu bangsa, khususnya pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter, tetap merupakan suatu hal sulit yang harus dilakukan pemerintahan baru. Terlalu banyak dilema-dilema yang harus dipecahkan: antara melupakan, mengampuni, dan mengadili. Antara pemberian keadilan dan pengungkapan kebenaran. LS AM "Masa lalu memang terlalu krusial untuk dibiarkan begitu saja. Dengan mengungkap kebenaran mengenai apa yang terjadi pada masa lalu, kita bisa belajar untuk menata masa depan," kata Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam obrolan dengan Kompas di kantornya, Rabu (28/7) siang. Ifdhal, pria kelahiran Tapak Tuan, Aceh Selatan, 41 tahun lalu, membawa Elsam, lembaga yang dipimpinnya untuk mendalami dan mengkaji bagaimana pengalaman bangsa lain menyelesaikan masa lalunya. Berikut percakapan dengan Ifdhal. gE Bagaimana ceritanya Elsam memilih memfokuskan pada isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu? pin Kebijakan itu kita ambil terkait dengan perubahan rezim dari pemerintahan otoriter Soeharto ke era reformasi. Kita melihat ada suatu masalah yang harus diselesaikan pemerintahan baru dalam konteks untuk memperkuat demokrasi di masa depan. Masalah itu adalah bagaimana pemerintahan baru menyelesaikan masalah pelanggaran HAM warisan Orde Baru. Isu itu tak banyak diangkat publik. Banyak orang bicara soal krisis ekonomi, bagaimana mengontrol tentara, sementara isu pelanggaran HAM masa lalu yang amat menentukan penataan ke depan, tak ada yang mempersoalkan. Kita sengaja mengangkat isu itu dan berkonsentrasi pada isu tersebut. kli Kita melihat pengalaman negara lain yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Karena itu, kita mencoba mendorong apa yang dilakukan negara lain, seperti Argentina, Cile, dan Afsel untuk juga dilakukan Indonesia. Langkah itu perlu agar rezim baru tidak terus terkungkung oleh kasus pelanggaran masa lalu. Seberapa penting kasus masa lalu harus diselesaikan? Itu sangat krusial, karena kalau tak diselesaikan pemerintah baru itu akan selalu menghadapi tekanan politik dari mereka yang jadi korban di masa lalu. Dan yang lebih penting lagi, rezim baru akan menjadi tawanan kepentingan dari elite politik yang dulu melakukan pelanggaran HAM. Ide penyelesaian masa lalu adalah agar rezim baru itu tidak diisi lagi oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Salah satu kepentingan pemeriksaan kasus HAM adalah menyaring elite politik untuk pemerintahan baru. Kalau masih ada elite lama masih memimpin rezim baru, dia akan tetap membawa cara berpikir yang pernah dipakai waktu lalu. Bagaimana Anda melihat korban pelanggaran HAM yang terfragmentasi? Sebetulnya ada solidaritas di kalangan mereka. Kami pernah menyelenggarakan pertemuan nasional korban yang dihadiri korban seluruh Indonesia untuk saling men-share pengalaman sesama korban sehingga tumbuh solidaritas bersama, tak ada egoisme sektoral bahwa mereka paling menderita. Misalnya, korban 65 mengatakan, dia paling menderita dibanding korban Priok. Mereka harus 12 disadarkan bahwa secara kolektif mereka adalah korban satu rezim. Sehingga ada solidaritas yang mengikat mereka untuk menuntut hak mereka kepada pemerintahan baru atas perlakuan rezim lama. Solidaritas itu tampak. Tapi yang jadi masalah, pemerintah baru itu terlalu lama merespons kebutuhan korban. Karena terlalu lama, di kalangan korban terbangun juga dinamika politik. Ada sebagian korban bergabung kepada parpol, atau diajak elite politik tertentu untuk diorganisir dan dimanfaatkan elite. Di lapangan fragmentasi di kalangan korban itu tampak? Karena pemerintah terlalu lama menanggapi tuntutan mereka, korban pun kelelahan yang menyebabkan mereka mengambil posisi pragmatis yang membuat mereka mudah dipecah. Korban ini kan rentan dari intervensi dari para pelaku, dengan cara pelaku mengiming-imingi mereka dengan berbagai cara misalnya rujuk sosial, dengan menggunakan tradisi agama, islah. Dan kalau bukan agama, mereka menggunakan ikatan-ikatan hubungan ideologis. Ini menyebabkan terjadinya fragmentasi dari korban, sebagian dari mereka mengatakan tak perlu diungkapkan lagi kasusnya. Mereka kemudian berhadapan dengan temannya sendiri, yang menuntut pemulihan HAM. LS AM Jadi, ada aktor negara yang tak cepat memberikan respons, ada pelaku yang memang tidak menghendaki masa lalunya diungkap, lalu apa yang bisa dilakukan korban agar solid? Itu sangat sulit untuk kita bangun. Dari pertemuan nasional korban kita mengharapkan terbangun sebuah organisasi korban, tak hanya di Jakarta tapi di seluruh Indonesia dan lintas kasus. Ternyata membangun organisasi di tingkat korban sangat sulit karena daya tahan sebagian besar dari mereka sangat riskan dari intervensi. Baik secara kultural maupun ekonomi. Karena itu tidak banyak organisasi korban yang bisa bertahan dan solid dan tetap memperjuangkan kepentingan mereka. Seperti misalnya, korban yang ada di Argentina, Mother Plaza the Mayo, kemudian kelompok korban di Afrika Selatan. Mereka bisa cukup solid bertahan dari bujukan-para aktor politik maupun pelaku yang mencoba membujuk mereka menerima islah dan kemudian kasusnya tak perlu diungkap. gE Apa yang harus dilakukan rezim baru agar rezim tak menjadi tawanan kepentingan elite lama? pin Rezim baru harus mengungkapkan kasus pelanggaran HAM. Dari situ akan terseleksi siapa yang bertanggung jawab pada masa lalu, dan mereka yang bertanggung jawab pada masa lalu itu tidak boleh diikutkan pada rezim baru. Caranya melakukan seleksi politik bisa dengan pengungkapan kasus HAM melalui Komisi Kebenaran dan pengadilan. Karena kita tak mungkin melakukan proses seperti di negara komunis, lustrasi, di mana semua pejabat dalam level tertentu dipensiun dini. Salah satu yang tidak adil dari lustrasi, dia memvonis orang tanpa proses peradilan. kli IFDHAL sebenarnya tak asing dalam dunia peradilan. Ia pernah menjadi pengacara yang berpraktik di peradilan di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Namun, praktik korup di peradilan membuatnya tak tahan. "Saya tak tahan dengan praktik korup. Semuanya serba uang. Untuk mendapatkan perkara pun harus ada koneksi dengan kepolisian, kemudian hasilnya dibagi. Saya tak tahan dan kemudian keluar," katanya. Dia kemudian bertemu dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM) dan diajak bergabung untuk membangun Elsam. Jadilah, Elsam berkembang dengan 22 staf dan mempunyai kantor sendiri. Untuk mendalami masalah hak asasi manusia, Ifdhal yang beristrikan Yohana Ririhena (wartawati) sempat belajar di Center for Human Right di Columbia University. Ia pun menikah di New York karena perkawinan beda agama. Evaluasi terhadap Pengadilan HAM Ad Hoc dan pembentukan Komisi Kebenaran? Pada era Gus Dur seharusnya ada semacam kontrak politik antara elite politik baru untuk terlebih dahulu menyelesaikan kasus masa lalu. Jadi, pembentukan komisi kebenaran dan pengadilan seharusnya satu paket. Bukan seperti sekarang, pengadilannya berjalan dan hanya untuk kasus yang sebetulnya masih aktual, Timtim. Akibatnya, pengadilan tak memberi efek pada proses sirkulasi elite lama ke elite baru. Maksudnya? 13 Mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, tetap ada di rezim baru. Orang yang terindikasi terlibat dalam kasus Talangsari Lampung, kasus 27 Juli, Aceh, dan seterusnya terserak dalam rezim baru. Seharusnya, Komisi Kebenaran dan Pengadilan dibuat tak terlalu lama setelah transisi untuk memproses mereka yang bertanggung jawab. Apakah itu bukan soal corak transisi. Misalnya dari Orde Lama ke Orba kan jelas, semua yang terlibat dalam Orde Lama tak bisa masuk dalam Orba? Ya memang. Karena kita memercayakan seleksi melalui pemilu. Sebelum pemilu seharusnya kita buat kontrak politik. Tapi kita serahkan semuanya melalui pemilu sebagai sarana rakyat menseleksi elite lama masuk kembali atau tidak. Ternyata, pemilu itu justru memperkokoh elite politik lama dalam struktur rezim baru. Bagaimana sebenarnya relasi Komisi Kebenaran dan pengadilan? LS AM Komisi Kebenaran tidak mengejar kesalahan pidana seseorang tapi yang dikejar dan dicari adalah pola pelanggaran HAM di mana pelanggaran HAM itu lahir dari kebijakan negara. Komisi Kebenaran menuntut negara sebagai institusi untuk menyatakan kesalahan kepada warga negara yang dilanggar, dan dari situ dia harus memberi rehabilitasi dan kompensasi. Ketika Komisi Kebenaran menemukan pertanggungjawaban yang spesifik, dia harus menyerahkan ke pengadilan untuk melakukan penghukuman. Relasinya sifatnya komplementer. Perlu ada pengakuan bersalah dalam Komisi Kebenaran? gE Pengakuan bersalah itu kan seharusnya dari institusi, bukan orang, kecuali kalau dalam Komisi Kebenaran yang sedang kita bahas, KKR memberikan kewenangan kepada pelaku untuk mengaku bersalah. Itu persis Afsel. Bahwa amnesti didasarkan kepada permohonan orang atau pelaku, bukan dikeluarkan oleh negara. Kalau Komisi Kebenaran kita seperti itu, maka bukan hanya negara yang akan mengakui kesalahan yang dibuat, tapi orang-orang yang mau dinyatakan bersalah. Tapi menurut saya, di Indonesia ada pelaku datang ke Komisi dan smenyatakan pengakuan bersalah itu agak susah. Menurut saya, mekanisme ini kurang begitu didukung oleh kultur yang berkembang di Indonesia. Kritik terhadap RUU KKR? kli pin Kritik utama terhadap RUU KKR berkenaan dengan penempatan KKR sebagai pengganti pengadilan. KKR ditempatkan sebagai quasi judicial karena kasus yang mereka selidiki sudah tidak bisa dibawa ke pengadilan. Secara hukum, tidak kuat posisi seperti ini karena Komisi Kebenaran tak didesain untuk mengganti pengadilan. KKR bukan mekanisme alternative dispute resolution. Komisi memang satu mekanisme yang diprakarsai negara untuk merekonsiliasikan hubungan negara dengan warga negaranya yang pernah pada satu ketika oleh satu rezim politik merusak hubungan itu. Yang tak bisa direkonsiliasi itu yang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana. Masih ada momentum, Pemilu 2004 untuk membuat kontrak baru atau malah campur baru? Sekarang kan sudah campur baur. Kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat terkait dengan komposisi elite dalam rezim baru sekarang. Misalnya, dalam pemilihan presiden yang akan datang yang menang Yudhoyono atau Megawati tetap tidak bisa lugas berhadapan dengan mereka yang bertanggung jawab dengan masa lalu. Karena sebagian dari mereka sudah menjadi bagian dari rezim baru sekarang ini. Artinya tak ada harapan rezim baru untuk pengungkapan masa lalu? Kalau dalam pengertian yang sangat ideal nggak ada. Tapi gradasi tertentu masih bisa dicapai. Tapi kalau kita berharap masa lalu diselesaikan dengan tuntas, dengan mencapai keadilan substansial sulit berharap, karena ada kompromi elite politik. Karena adanya elite politik lama di rezim baru. Rezim baru akan ditawan dengan masa lalu? 14 Secara substansial dia akan tertawan karena dia hanya menyentuh aspek yang katakanlah partial justice. Mereka nggak akan bisa konfrontasi dengan pelanggaran HAM masa lalu. Yang dia cari, rezim baru akan terus menjaga konsensus politik agar pemerintah jalan. Artinya korban tak mendapat hak, kebenaran tak terungkap? Secara penuh korban takkan dapat haknya, dan kebenaran hanya terungkap secara parsial. Dengan produk, pengadilan HAM yang sekarang berjalan, barangkali juga ada KKR itu semua akan menghasilkan keadilan parsial dan kebenaran parsial. Dampaknya apa? Negara tertawan masa lalu? LS AM Dampaknya kita mungkin akan terus menghadapi pertanyaan tentang gugatan beberapa kasus pelanggaran HAM yang oleh korban dirasa belum mendapatkan keadilan substansial khususnya Aceh dan Papua. Siapa pun yang terpilih akan terus dibayangi dengan penanganan pelanggaran HAM di Aceh dan Papua. Pemerintah baru sama sekali belum menyentuh penanganan pelanggaran HAM di kedua daerah itu. Masalahnya, banyak pejabat di pemerintahan baru pernah bertugas di Aceh dan Papua. Akan terus tertawan dalam gradasi yang berbeda. Bayang- bayang masa lalu akan selalu menghantui. Ada orang mengatakan, pelanggaran masa lalu tak perlu dipersoalkan? kli pin gE Itu tak menjawab masalah, besok dia akan berhadapan lagi. Secara politik bisa dicapai konsensus bikin perpu, atau deklarasi mengatakan kita lupakan masa lalu, kita menatap ke depan. Tapi itu tak membawa dampak bagi perubahan tatanan politik. Yang ingin dicapai selain ada seleksi elite adalah penataan struktur politik masa depan. Misalnya, RUU TNI. Kita tidak melihat ada dampak di tubuh TNI terhadap perilaku mereka. Mereka tetap mempertahankan perilaku masa lalu yang menjadi penyebab pelanggaran HAM. Padahal, fungsi mengungkap kebenaran masa lalu adalah bagaimana mereformasi lembaga negara. Seperti TNI, polisi, dan intel. Itu harus direformasi berdasarkan peran mereka pada masa lalu. RUU TNI diajukan tanpa mengacu masa lalu. Seperti kita tak pernah mempunyai masa lalu. (Budiman Tanuredjo) 15 Kompas, Selasa 24 Agustus 20004 Masa Lalu Tak Selesai, Demokrasi Jadi Semu Jakarta, Kompas - Pemerintah baru yang terbentuk seharusnya segera menyelesaikan persoalan masa lalu. Sebab, jika tidak, akan timbul sinisme di masyarakat terhadap pemerintah dan muncul persepsi negatif terhadap pemerintah yang menganggap seolah demokrasi tidak berharga. Tidak kunjung dituntaskannya persoalan-persoalan masa lalu hanya akan menghasilkan demokrasi semu dan tidak sebenarnya. Demikian pendapat Senior Associate The International Center for Transitional Justice (ICTJ) Eduardo Gonzalez dalam peluncuran buku Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-upaya Pencarian Keadilan dalam Masa Transisi di Indonesia yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di Perpustakaan Nasional, Senin (23/8). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Kepala Litbang Harian Kompas Daniel Dhakidae dan dosen Universitas Atmajaya, Nani Nurachman. LS AM Gonzalez menjelaskan, dalam proses transisi yang terpenting adalah penegakan hukum dengan cara menghilangkan kroniisme dan membuat pertanggungjawaban atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Masalahnya, pertanggungjawaban masa lalu sangat sulit karena mendudukkan elite pada dilema. "Kalau elite-elite baru tidak mengurus masa lalu maka akan timbul sinisme dan persepsi negatif di masyarakat seolah pemerintah tidak menganggap demokrasi berharga," ujar Gonzalez. Ia menjelaskan, hal itu tertangkap saat UNDP melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat di Amerika Latin. Jawaban masyarakat atas jajak pendapat UNDP itu sungguh mengejutkan karena masyarakat ternyata tidak peduli apakah akan kembali ke rezim otoriter atau tidak. Hal ini karena tidak tuntasnya penyelesaian masa lalu sehingga menyebabkan timbulnya demokrasi semu atau demokrasi yang tidak sebenarnya. gE Daniel Dhakidae menjelaskan, tidak ada yang serius menangani transisi politik tahun 1998. Saat itu terjadi dilema besar tentang nilai-nilai demokratik dan nilai republikan, tetapi tidak pernah diputuskan. Di dalam demokratik, persamaan dan kesejajaran menjadi hal penting, sedangkan nilai-nilai republikan yang menjadi penting adalah pembenahan institusi, barulah demokrasi. Institusi-institusi terpenting dan seharusnya mengalami perubahan besar, seperti militer, polisi, Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, nyaris tidak mengalami perubahan. kli pin Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah pandangan akan lebih pentingnya konsekuensi atau akibat daripada sebab terjadinya suatu peristiwa. "Yang terjadi adalah persekongkolan gerakan oligarki sehingga politik rekonsiliasi dan kebenaran susah dikerjakan," jelas Daniel.(VIN) 16 Kompas, Kamis 09 September 04 Soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tidak Fair, Reparasi Dikaitkan Amnesti Jakarta, Kompas - Pengaturan mengenai amnesti yang dikaitkan dengan reparasi dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang dari segi hukum dinilai tidak fair. Aturan itu harus dikaji ulang agar tidak membawa implikasi besar di masa mendatang. Demikian pendapat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang disampaikan Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, Rabu (8/9) di Jakarta. LS AM Ia menegaskan, pengaturan tentang amnesti dalam RUU KKR banyak mengundang kritik tajam karena RUU itu secara eksplisit mengatur bahwa kompensasi dan rehabilitasi hanya dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan. Ketentuan itu tidak fair karena secara tidak langsung amnesti ditukar dengan kompensasi dan rehabilitasi. Sebab, jika tidak ada amnesti, tidak akan ada kompensasi dan rehabilitasi. "Ini tidak adil. Kompensasi dan rehabilitasi adalah kewajiban negara atas korban dan tidak dapat dikaitkan dengan perlakuan amnesti bagi pelaku," ujarnya. Kelemahan lain RUU KKR adalah pengaturan soal mandat komisi, hubungan komisi dengan pengadilan, ketidakjelasan pengaturan hubungan kerja antar subkomisi, dan kebutuhan atas regulasi penunjang. Menurut Ifdhal, proses penyusunan dan pembahasan RUU KKR sekitar satu tahun lebih menunjukkan betapa tingginya sensitivitas politik dalam pembuatan UU tersebut. gE Akan tetapi, Ifdhal menilai pembentukan KKR merupakan inisiatif positif. Selain membuka kembali kejahatan di masa lalu, juga mendorong negara mempertanggungjawabkan berbagai kekerasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pembentukan komisi juga merupakan peluang untuk penjelasan historis (historical account) sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM. kli pin Ifdhal menyatakan, sejumlah kasus yang harus ditangani KKR antara lain peristiwa tahun 1965, termasuk pembantaian dan pembuangan di Pulau Buru, pelanggaran HAM di Papua mulai tahun 1967 sampai sekarang, pelanggaran HAM di Aceh sejak DOM hingga sekarang, kasus Talangsari, Haur Koneng di Jawa Barat, kasus Kedungombo di Jawa Tengah, kasus 27 Juli dan penangkapan aktivis usro. (SON/VIN) 17 Koran Tempo, Selasa, 7 September 2004 LSM Tolak Amnesti bagi Pelaku JAKARTA -- Kontroversi terhadap draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum juga berakhir. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) misalnya, menolak pemberian amnesti oleh presiden bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, mengatakan, semestinya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ditujukan untuk kepentingan korban agar mendapatkan kembali hak-haknya. Pengembalian hak-hak itu, menurut dia, tanpa didahului keharusan adanya pemberian amnesti seperti diatur dalam Pasal 27 draf RUU itu. "Hak-hak korban itu bersifat inheren, melekat pada korban," kata Ifdhal kepada Koran Tempo kemarin. LS AM Koordinator Kontras, Usman Hamid juga memberikan pendapat senada. Seharusnya, kata dia, komisi yang diberi wewenang untuk memutus siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak diberi amnesti atau sebaliknya. Komisi, kata dia, dapat membentuk panel untuk mengkaji soal pemberian amnesti. Dia menolak jika presiden sebagai penentu siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak dapat amnesti. Dia beralasan, kepentingan politik presiden kental pengaruhnya untuk menentukan pemberian amnesti. "Apalagi bila pelaku-pelakunya masih duduk dalam pemerintahan," kata Usman saat dihubungi kemarin. gE Menurut Usman, RUU ini seharusnya tidak mengakomodasi adanya pemberian amnesti. Dengan demikian, dia mengusulkan penghapusan pasal tentang pemberian amnesti. "Amnesti bertentangan dengan hukum internasional apabila dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM berat. Justru kewajiban negara untuk menghukum pelakunya atau mengekstradisi pelakunya. Ini kewajiban negara yang imperatif," ujarnya tegas. Ketua Panitia Khusus Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidarto Danusubroto mengatakan, presiden memiliki wewenang untuk memberikan amnesti. Dewan, menurut dia, merujuk pada konstitusi yang memberi wewenang bagi presiden untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti. pin Dia menepis kekhawatiran Elsam dan Kontras tentang bias politik dalam pemberian amnesti oleh presiden nantinya. "Bagaimana mungkin presiden menolak rekomendasi 21 anggota komisi? Semua anggota komisi itu orang-orang terhormat, apa presiden berani? Kalau presiden menolak beri amnesti, ya dia dihujat rakyatnya. Jadi, pakai akal sehat saja," ujarnya kepada Koran Tempo kemarin. kli Dia mengakui, RUU ini tidak sempurna 100 persen. Namun, Pansus memutuskan untuk membawanya ke rapat paripurna hari ini untuk disetujui menjadi undang-undang. Jika ada anggota masyarakat yang keberatan dengan materi RUU ini, Sidarto mempersilakan masyarakat untuk mengajukan amendemen atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Selain soal amnesti, Elsam juga menyoroti soal posisi komisi dalam RUU ini lebih pada menggantikan posisi pengadilan. Kesan itu tergambar dalam Pasal 43. Padahal, menurut Ifdhal, relasi kedua institusi itu semestinya saling melengkapi. "Sehingga misalnya, komisi temukan kasus yang bisa diselesaikan, tetapi karena amnesti tidak diterima, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan," ujarnya. Baik Ifdhal maupun Usman juga mempertanyakan jumlah anggota komisi. Pada Pasal 37 disebutkan, jumlah anggota komisi 21 orang. Menurut Sidarto, munculnya angka 21 setelah Dewan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang luas dan multikasus. "Rentang waktunya juga panjang, dari 1945 hingga saat ini," ujar politikus dari Fraksi PDIP itu. Namun, menurut Ifdhal, jumlah anggota komisi maksimal 15 orang. Begitu pula Usman. Hanya dia mengusulkan maksimal 7 orang. Keduanya punya alasan sama, yakni anggota hanya berperan sebagai pemimpin dan pengawas pelaksanaan tugas dan fungsi komisi. "Yang harus diperbanyak jumlahnya ada pada level staf," kata Usman. Di DPR, Panglima TNI Endriartono Sutarto menyerukan agar semua personel TNI mematuhi kerja 18 kli pin gE LS AM Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nantinya. "Karena ini sudah disepakati secara nasional, kami semua termasuk kalau nanti ada yang menyangkut prajurit TNI, semuanya harus patuh," kata Endriartono kemarin. Awal-awal pembahasan RUU ini, TNI mengkhawatirkan pengungkapan kebenaran peristiwa masa lalu akan menimbulkan konflik baru. maria rita/fajar wh 19 Kompas, Kamis 07 Oktober 204 Komnas HAM dan KKR Bisa Berebut Peran Jakarta, Kompas - Karena wewenang yang tumpang tindih, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM berpeluang untuk berebut peran dan bersaing secara tidak sehat dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dalam rangka itu, Komnas HAM akan membuat memorandum of understanding (MoU) dengan KKR, setelah lembaga itu terbentuk. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin ketika ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (4/10). Setelah membandingkan antara Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Komnas HAM, dan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Zoemrotin berpendapat, terjadi tumpang tindih tugas antara KKR dan Komnas HAM, antara lain soal penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu. LS AM Dalam RUU KKR yang telah disepakati DPR dan pemerintah, KKR bertugas antara lain melakukan penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM berat. Sementara dalam Pasal 18 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan, "Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia." Untuk menghindari hal itu, kata Zoemrotin, Komnas HAM dan KKR sebaiknya membuat MoU. "Isinya, misalnya, untuk kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu yang sudah direncanakan Komnas HAM sebelum terbentuknya KKR, sebaiknya diselesaikan Komnas HAM," papar Zoemrotin, yang berharap DPR merevisi UU tentang kedua lembaga itu. gE Rapat paripurna baru-baru ini telah memutuskan pembentukan dua tim penyelidik kasus penghilangan orang secara paksa yang terdiri dari tim kasus daerah operasi militer Aceh, tim kasus kerusuhan Mei, dan kasus penculikan aktivis mahasiswa oleh Tim Mawar 1998. kli pin Tim berikutnya adalah tim kasus mantan Presiden Soeharto yang terdiri dari tim kasus penembakan misterius 1980, kasus Pulau Buru, kasus korban PKI, serta kasus fitnah PKI. Terhadap kasus-kasus yang ditangani kedua tim ini Zoemrotin berharap tidak diambil alih oleh KKR. (WIN) 20 2005 Kompas, Rabu 15 Juni 2005 Jangan Berhenti Sebatas Pengakuan PELANGGARAN hak asasi manusia berat di Indonesia yang terjadi di masa lampau masih perlu ditelusuri kembali. PENELUSURAN itu bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan sehingga penghargaan atas hak asasi manusia dapat terwujud dalam bentuk rekonsiliasi dan persatuan nasional. LS AM Keinginan ideal itu berusaha dicapai melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sampai saat ini belum juga terbentuk. Padahal, komisi yang didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu mestinya sudah harus terbentuk pada 6 April 2005. Sesuai dengan UU No 27/2004, KKR dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. pin gE Direktur Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas, selaku anggota panitia seleksi calon anggota KKR, mengaku, keberhasilan The Truth and Reconciliation Commission atau KKR di Afrika Selatan menjadi pandangan KKR di Indonesia. Bahkan, subkomisi di dalam KKR pun mengikuti komisi di Afrika Selatan tersebut, yakni subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM berat, subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, serta subkomisi pertimbangan amnesti. kli Keteladanan Nelson Mandela dan sikap tegas namun penuh kasih Uskup Desmond Tutu yang memimpin komisi ini dinilai menjadi salah satu unsur keberhasilan KKR di Afrika Selatan mengungkapkan borok rezim apartheid. Meskipun, Hafid menilai masih banyak yang belum tertangani oleh Afrika Selatan pada masa Nelson Mandela. KKR di Indonesia, menurut Hafid, berupaya mengungkapkan kebenaran, mengacu pada definisi pelanggaran HAM, yakni abuse of power. Bahasa sederhananya, penindasan si lemah oleh si kuat. Oleh karena itu, keberhasilan KKR ini bisa menjadi solusi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Perjalanan yang tanpa noktah gelap, tanpa catatan merah. Namun, perjalanan penghapusan rezim apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1993setelah mencengkeram sekitar 34 tahun-bukannya mulus. Pandangan sebagian masyarakat Afrika Selatan terhadap perubahan rezim di negara itu tidak seragam. Sandy, warga Afrika Selatan yang dijumpai di Pretoria, Afrika Selatan, akhir April 2005 menilai tidak semuanya merasakan perubahan rezim dan KKR di negerinya. "Memang baik bagi sebagian orang. Tetapi, bagi sebagian orang yang lain, tidak ada pengaruhnya sama sekali," kata Sandy. 21 Perempuan berkulit putih itu mengaku cukup beruntung karena memiliki pendidikan layak sehingga mudah memperoleh pekerjaan tetap. Namun, mereka yang tidak memiliki pendidikan memadai, rezim apartheid atau bukan, tak ada bedanya. "Kebenaran dalam kejahatan kemanusiaan memang terungkap. Tetapi, kelanjutannya?" tanya Sandy. Kevin, warga Afrika Selatan yang berkulit putih, justru merasakan ekonomi semakin memburuk. "Dulu kita berharap mereka yang buruk akan terbawa ke arah yang baik. Tapi kenyataannya, justru yang baik terbawa ke arah yang buruk. Contohnya, semua mahal saat ini, sedangkan kriminalitas tinggi," ujar Kevin menegaskan. Bagi Benjamin, seorang laki-laki kulit hitam, tak jadi soal baginya selama keluarganya bisa hidup cukup. Ia hanya berharap penghapusan rezim apartheid memberikan kesempatan yang lebih besar bagi dirinya dan keluarganya. LS AM "Selama kami bisa hidup cukup, tak masalah siapa yang berkuasa," kata Benjamin. Koordinator Legal Service Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Supriyadi Widodo menegaskan, problem KKR di Indonesia sangat rumit dan serba tanggung. Misalnya, mengenai pertimbangan amnesti yang tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat meskipun di dalam KKR sudah ada subkomisi pertimbangan amnesti. Bahkan, terkesan siapa saja yang mengaku bersalah melakukan pelanggaran berat HAM akan dimaafkan. gE "Saya berasumsi aturan dalam KKR ini malah agak mandul. Saya justru menilai lebih positif pengakuan korban," kata Supriyadi. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam menilai ruang lingkup KKR di Afrika Selatan tidak sama dengan Indonesia atau Amerika Latin. Maka, tingkat keberhasilannya pun tak sama. pin "Tetapi, yang penting adalah aspek pengungkapan kebenaran selama ini. Paling tidak dari segi sejarah dan korban karena sekarang ini diberi kesempatan bersuara," kata Asvi. kli Namun, sejarawan itu berpendapat, dalam pelaksanaannya di Indonesia nanti, kesaksian pelaku akan lebih sedikit daripada korban. Itu pun, hanya pelaku kecil-kecil sehingga-seperti halnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui pengadilan HAM-pelaku utamanya masih sulit tersentuh. Asvi dan Supriyadi menuturkan, Indonesia tidak mungkin melakukan testimoni yang bersifat publik, seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Oleh karena itu, diperkirakan jaminan kebebasan untuk mengungkapkan terjadinya kejahatan HAM berat di masa lalu akan lebih banyak dimanfaatkan korban. Keduanya menilai kondisi itu sudah cukup baik, mengingat selama ini untuk memaparkan perlakuan sebagai korban pun, sulit. "Sudah banyak yang antusias ingin menyampaikan perlakuan pelanggaran HAM yang dialami ini. Umumnya, mereka adalah korban G30S," kata Supriyadi. 22 Korban G30S ini adalah korban kesewenang-wenangan pemerintah yang telah menghilangkan nyawa-entah berapa jumlahnya-dengan mengatasnamakan mereka sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Bahkan, keturunannya juga mengalami siksaan yang tak kalah kejam, antara lain dengan cap sebagai keluarga tahanan politik atau predikat "tidak bersih diri". Dalam sebuah percakapan, Salfrida N Ramadhan, Konsul Jenderal Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan, mengungkapkan, KKR di Afrika Selatan dapat berhasil baik karena hukum sangat tegas dan ditegakkan di negeri itu. Tak ada perbedaan bagi anak seorang pejabat ataupun anak masyarakat biasa dalam penegakan hukum. LS AM "Kalau salah, tetap saja salah dan dihukum. Mungkin ini juga yang membuat KKR berhasil. Tidak ada yang khawatir adanya perbedaan hukum antara pelaku kejahatan kemanusiaan yang memiliki jabatan tertentu dan pelaku yang memiliki jabatan lebih rendah. Semua sama," tandas Salfrida. kli pin gE Bisa jadi, perkiraan Asvi dan Supriyadi benar. Tidak akan ada pengakuan dari pelaku utama dan pemberi perintah, yang selama ini bersembunyi di balik tubuh pelaku kejahatan kemanusiaan yang turun ke lapangan. Toh, hukum yang selama ini mengaku tidak mengenal pangkat dan derajat saja tidak mampu menyentuh pucuk pelaku ini. Maka, tak akan ada perubahan mutlak jika hanya berhenti sebatas pengakuan, pemberian maaf, kompensasi, dan restitusi, tanpa kelanjutan yang berarti. (IDR) 23 Suara Pembaruan, Senin 04 Jul. 05 Pengungkapan Kasus HAM Timbul Tenggelam JAKARTA - Pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, timbul-tenggelam dan tidak pernah tuntas akibat intervensi politik dan faktor-faktor lainnya. Untuk itu, pemerintah diminta segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (KKR) yang bertujuan menjaga stabilitas demokrasi yang masih labil di masa transisi ini dan juga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang telah diberangus hak-haknya. Demikian benang merah diskusi sehari mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dilaksanakan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) , Sabtu (2/7), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua MPR AM Fatwa, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi LS AM Masyarakat (ELSAM) Jakarta, Ifdhal Kasim, Mantan Anggota HAM Sholahuddin Wahid, aktivis AS Dillon, anggota Komisi II DPR dari Fraksi FPAN Sayuti Asyatri dan anggota Komisi III DPR dari FPAN Patrialis Akbar. AM Fatwa mengatakan, pengungkapan pelanggaran HAM selama ini terkesan timbul dan tenggelam. Bahkan KKR sendiri belum tentu efektif dijalankan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Memang diakui, ada beberapa kasus yang mendapat perhatian cukup intensif, seperti Kasus Tanjung Priok dan Timtim. Namun kasus-kasus HAM lainnya masih remang-remang, bahkan seakan tenggelam gE dan tak tersentuh karena faktor politik maupun faktor-faktor lainnya. Fatwa menyebutkan, sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh antara lain Gerakan 30 September 1965, kasus Komando Jihad, Kasus Tanjung Priok, Timtim, Kasus Aceh, Talangsari Lampung, kasus Papua, Peristiwa 27 Juli 1996, kasus penculikan dan kerusuhan Mei 1998. pin AS Dillon mengatakan, KKR yang akan dibentuk tidak bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pasalnya, KKR ditentukan oleh rezim yang menang dan bukan rezim pelaku. Dengan kata lain, KKR adalah produk penguasa yang sering melakukan pelanggaran HAM. "Jadi saya pesimis jika KKR itu bisa digunakan dengan baik. Saya tidak dukung KKR karena ditentukan kli oleh rezim penguasa. Dalam rezim ini masih ada pelakunya. Bagaimana bisa mereka bikin senjata yang pada akhirnya memakan diri mereka sendiri?" ktanya Dillon. Ifdhal Kasim menilai, KKR bertujuan untuk mengungkap kembali kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, terutama mengenai kepastian tentang apa yang telah menimpa para korban pelanggaran HAM, untuk kepentingan siapa pelanggaran itu dilakukan, bagaimana sifat kejahatan itu dan institusi-institusi mana saja yang terlibat. Mantan anggota Komnas HAM, Sholahuddin Wahid (Gus Solah) mengatakan, tidak semua pelanggar HAM harus diselesaikan lewat pengadilan. Tetapi juga perlu pengungkapan fakta kebenaran, dimana pelaku tidak harus dihukum tetapi diberikan keadilan dengan pernyataan saling memaafkan. "Dalam perjalanan sejarah Indonesia, semua kasus pelanggaran HAM diselesaikan di meja hijau, tetapi bisa juga dengan yang meminta maaf," katanya. 24 Sedangkan anggota DPR dari komisi II Sayuti Asyatri menilai, selama masa reformasi ini, pengungkapan kasus pelanggaran HAM berjalan di tempat dan belum ada kemajuan berarti. Karena itu, DPR terus dipertanyakan hal itu. Kendati demikian, dengan adanya UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Pembentukan KKR, kesuraman proses pengungkapan kasus HAM berat masa lalu bisa diatasi. "Dengan kata lain, UU tersebut bisa dijadikan salah satu pilar untuk menuntaskan agenda reformasi termasuk juga soal pelanggaran HAM berat," katanya. (L-8) kli pin gE LS AM Last modified: 4/7/05 25 Kompas, Selasa 05 Juli 2005 Buyung Nasution Kritik Komnas HAM Jakarta, Kompas - Kritik terhadap kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tak hanya datang dari kalangan militer. Advokat senior Adnan Buyung Nasution mengkritik, kerancuan serta kesalahan penafsiran, yang selama ini menurutnya dilakukan Komnas HAM, terkait penyelidikan kasus-kasus masa lalu seperti masalah orang hilang dan Trisakti, Semanggi I, dan II. Hal itu disampaikan Buyung seusai bertemu Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di Jakarta, Senin (4/7). Menurut Buyung, Komnas HAM berhak memonitor perkembangan HAM. LS AM Akan tetapi, hal itu jangan ditafsirkan Komnas HAM berwenang menyelidiki kasus masa lalu. Menurut Buyung, jika hal seperti itu terus dibiarkan, ia khawatir Komnas HAM akan diperalat sekelompok orang yang memang memiliki dendam kesumat terhadap persoalan dan orangorang yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di masa lalu. ”Sudah tidak relevan lagi Komnas HAM membuka kasus masa lalu. Mereka seharusnya melihat dan menangani pelanggaran HAM masa mendatang. Urusan masa lalu ada jalan gE keluarnya melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi),” ujarnya. Di tempat terpisah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid menilai pernyataan Buyung tersebut sebagai hal yang tidak bertanggung kli pin jawab. (dwa) 26 Analisa, Rabu 06 Juli 2005 Sejumlah LSM Kecam Pernyataan Buyung JAKARTA - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengecam pernyataan pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang beranggapan kalau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak dapat menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mereka menilai, Adnan Buyung tidak memahami kewenangan yang dimiliki Komnas HAM seperti yang diamanatkan undang-undang. Kecaman itu disampaikan sejumlah LSM kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/7). Mereka antara lain Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Ikatan Korban dan Kelurga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), pengamat sosial, Benny Sulistyono, dan LS AM keluarga korban kasus Trisakti, Semanggi I dan II. "Kami mengecam sikap dan pernyataan Adnan Buyung itu. Pernyataan itu merupakan ketidakpahaman dia atas kewenangan Komnas HAM berdasarkan UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM," kata Direktur Bidang Operasional Kontras, Edwin Partogi. Menurutnya, sikap Adnan itu menunjukan kalau dia menjadi bumper politik terhadap para gE pelanggar HAM di masa lalu. Sikap-sikap seperti itu harus dihentikan karena bertujuan untuk meniadakan upaya pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dikatakan, sikap Adnan Buyung yang terkesan membela para pelanggar HAM masa lampau bukan baru pertama kali. Dia menjadi pembela para penembak mahasiswa Trisakti di pin Mahkamah Militer pada 1998 dan membela Jenderal Purnawirawan Wiranto ketika Komnas HAM menyelidiki kasus Timor Timur. Edwin bahkan mengatakan pernyataan Adnan bahwa tidak ada ketentuan retroaktif dalam kli UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM merupakan pandangan yang bodoh. Peluang retroaktif itu terdapat pada pasal 4, 9, dan 73 UU HAM serta pasal 43 UU Pengadilan HAM. "Non-retroaktif dikecualikan bagi pelanggaran HAM berat. Untuk kasus Timtim dan Tanjung Priok, itu hanya soal kebutuhan adanya Keppres untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM berat yang tengah ditangani Komnas HAM dan Jaksa Agung," katanya. Di tempat terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Uli Parulian Sihombing menyatakan akan meminta klarifikasi dari Adnan. Dia ingin mendengar langsung, apakah Ketua Dewan Pendiri YLBHI itu benar-benar mengeluarkan pernyataan seperti itu. 27 Menurutnya, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu sesuai dengan pasal 18 UU 26/2000 yang berbunyi, "Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komnas HAM". "Lalu, pasal 19 merumuskan kewenangan Komnas HAM untuk memanggil saksi dan pihak lain untuk didengar keterangan mereka," katanya. Uli juga berpendapat Komnas HAM berhak untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pada pasal 41 ayat 1 UU 26/2000 disebutkan kalau pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). LS AM Namun, katanya, KKR dimungkinkan memroses kasus-kasus pelanggaran HAM berat setelah kli pin gE ditemukan siapa pelaku dan korban yang sesungguhnya.(O-1) Last modified: 6/7/05 28 Kompas, Sabtu 09 Juli 2005 Penegakan HAM Belum Tunjukan Perbaikan Jakarta, kompas - Penegakan Hak Asasi Manusia di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak menunjukkan perbaikan. Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) justru menilai terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan memburuknya penegakan HAM. Di antaranya adalah bebasnya terdakwa kasus Tanjung Priok di tingkat kasasi, pembunuhan Munir, penembakan relawan kemanusiaan internasional di Aceh, serta penolakan rekomendasi Komisi Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus Timor Timur. Kalangan LSM juga curiga, penyelesaian pelanggaran HAM di dalam negeri akan diarahkan LS AM ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sedangkan kasus Timor Timur diarahkan ke Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Dikhawatirkan, kedua lembaga ini nantinya bakal menjadi HAM laundry. Hal itu terungkap dalam jumpa pers bersama Otto Syamsuddin Ishak dari Imparsial, Usman Hamid dari Kontras, Rafendi Djamin dari Human Right Wacth Groups, dan Agung Yudhawiranata dari Elsam, Jumat (8/7). gE Agung mengungkapkan, belakangan ini ada fenomena yang menunjukkan melemahnya semangat pemerintah untuk menegakkan HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM di Tanjung Priok yang semula diharapkan lebih baik daripada Timor Timur ternyata justru lebih buruk. Hal itu, kata Agung Yudhawiranata, memicu kekhawatiran terhadap penanganan pelanggaran pin HAM lain yang saat ini masih mengantre di pengadilan. Bahkan, pemerintah cenderung akan membawa kasus-kasus masa lalu ke KKR. ”Padahal, KKR itu seharusnya hanya bersifat komplementer. Penggunaan mekanisme itu kli seharusnya berjalan seiring atau melengkapi pengadilan yang sudah ada. Jadi, KKR dan KKP bukanlah mekanisme utama penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ini harus dicegah supaya KKR tidak berubah menjadi HAM laundry,” kata Agung. Keempat aktivis LSM tersebut mengaku kecewa melihat perkembangan HAM yang tidak semakin membaik. Padahal, sebelumnya, yakni pada kisaran tahun 1999 hingga 2000, spirit penegakan HAM lebih maju. Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Jakarta yang membebaskan para terdakwa peristiwa Tanjung Priok dipertanyakan oleh seorang hakim. ”Kalau semua terdakwa pelanggaran HAM berat dibebaskan di pengadilan lebih tinggi, sebenarnya yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat itu yang mana sih,” ujar Binsar Gultom, anggota majelis hakim yang mengadili kasus Sutrisno Mascung di tingkat pengadilan pertama. 29 Meski mengakui tidak etis jika hakim mengomentari putusan hakim lain, ia menegaskan, percuma saja ada pengadilan HAM di Indonesia jika akhirnya semua terdakwa kasus kli pin gE LS AM pelanggaran HAM berat dibebaskan. (SON/ana) 30 Kompas, Selasa 24 Oktober 2005 Pembentukan KKR Makin Kehilangan Momentum Jakarta, Kompas - Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kini semakin kehilangan momentumnya. Komisi yang seharusnya terbentuk paling lambat tujuh bulan lalu (6 April 2005), sampai sekarang tak kunjung dibentuk karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum juga memilih 21 nama yang akan menjadi anggota KKR. Keterlambatan pembentukan KKR ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagai bagian dari ketidakseriusan pemerintah dalam LS AM menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Demikian pendapat Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid dan Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Robertus Robet, Sabtu (22/10) di Jakarta. ”Kehadiran KKR sangat penting untuk mengungkap pelanggaran HAM masa lalu,” kata Usman. Robertus mengatakan, pembentukan KKR terlambat karena pikiran pemerintah terbatas pada Bentuk pengabaian gE isu ekonomi dan performa kabinet. pin Menurut Robertus, keterlambatan membentuk KKR merupakan bentuk pengabaian terhadap penyelesaian kasus masa lalu dan cermin dari ketidakmampuan pemerintah memahami substansi politik saat ini. Jika KKR kehilangan momentum, akan muncul kemandekan dalam pemajuan diskursus kli HAM. Hal itu karena pemerintah tidak memahami kebutuhan KKR dalam pembaruan politik di Indonesia. ”KKR mau merevitalisasi sejumlah persoalan kompleks dari masa lalu, bukan hanya persoalan norma HAM saja, tetapi persoalan sejarah, rekonsiliasi, masalah seperti di Aceh dan Papua,” kata Robertus. Menurut dia, seharusnya pemerintah berhati-hati dalam merespons kasus pelanggaran masa lalu. ”Jadi, salah besar kalau dalam situasi seperti ini pemerintah justru mengabaikan KKR,” ujarnya menambahkan. (SON) 31 2006 Suara Pembaruan, Selasa, 28 Maret 2006 UU KKR Kandung Kelemahan Fundamental JAKARTA - DPR dan pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena UU tersebut mengandung kelemahan fundamental dan meniadakan hak-hak korban. Kecacatan UU tersebut amat berbahaya bagi kelangsungan sejarah bangsa Indonesia karena KKR bertugas mengungkapkan kebenaran dan hasilnya akan menjadi official history. Apabila bukan kebenaran yang terungkap melainkan semata-mata pengampunan belaka LS AM yang dihasilkan oleh KKR, maka rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai dan bangsa Indonesia selamanya akan diliputi oleh manipulasi-manipulasi sejarah dan fakta. Demikian dikatakan sejumlah aktivis dari beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan di Jakarta, Senin (27/3). Para aktivis itu antara lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Kepala Operasional Kontras Indria Fernida, aktivis LBH Jakarta yang juga sebagai Koordinator Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari dan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi gE Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman. Mereka menyerukan seperti itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, beberapa hari lalu, yang mengatakan, pemerintah akan melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah pin (PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang tata cara dan mekanisme kerja, serta peraturan presiden (Pepres) mengenai struktur dan organisasi KKR dalam waktu sebulan sejak akhir Februari 2006. kli Para aktivis itu mengatakan, desakan untuk merevisi UU tersebut merupakan usaha jangka panjang mereka. Dan, usaha jangka pendek Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan adalah mengajukan permohonan uji materiil UU KKR tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/3). "Selasa besok, kita akan mendaftarkan permohonan uji materiil atas UU KKR ke MK, dengan alasan seperti tersebut di atas" kata Taufik Basari. Menurut Basari, keberadaan KKR, sangat berpengaruh bagi kelangsungan penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Namun, dengan UU KKR yang penuh kecacatan akan membuat komisi yang akan terbentuk ini tidak dapat bekerja dengan baik. Para aktivis itu mendesak pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap aturanaturan dalam UU KKR yang membatasi kerja-kerja KKR. Mereka mendesak pemerintah agar 32 tidak mengeluarkan aturan-aturan yang membatasi kerja KKR dan sebaliknya menjamin KKR dapat mengakses segala data untuk kepentingan pengungkapan kebenaran. Menurut mereka rencana pemerintah sebagaimana dikatakan Yusril tersebut merupakan intervensi pemerintah yang terlalu jauh dan berpotensi semakin membatasi kerja KKR. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada KKR yang akan terbentuk untuk membuat sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka (KKR). KKR sudah benar-benar terperangkap oleh pembatasan-pembatasan dalam UU Nomor 27 Tahun 2004, dan jangan diperparah lagi dengan pembatasan lebih jauh dari pemerintah. LS AM Dikekang Menurut Basari, KKR yang akan terbentuk sebenarnya telah dikekang ruang geraknya oleh UU KKR mulai dari mekanisme yang menggunakan pendekatan penyelesaian interpersonal, dimana penyelesaian suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku (pasal 29 UU KKR). Kemudian apabila pelaku dan korban saling memaafkan maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian. Selanjutnya apabila rekomendasi amnesti untuk pelaku dipenuhi oleh presiden maka barulah gE korban mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi. Skenario lainnya dalam pasal 29 tersebut adalah apabila korban tidak bersedia memaafkan maka KKR akan memberikan rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif. Skenario ketiga, apabila pelaku tidak mau mengakui kesalahannya maka ia akan dibawa ke pin pengadilan HAM ad hoc. "Untuk skenario terakhir ini menyisakan suatu ketidakjelasan mengingat pengalaman selama ini membentuk pengadilan HAM ad hoc tidaklah mudah seperti kasus pengadilan HAm ad hoc pun menjadi tanda tanya," kata Basari. kli Pembatasan berikutnya adalah sempitnya waktu KKR untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24 UU KKR memberikan batas yang tidak masuk di akal, yakni 90 hari terhitung sejak korban datang ke KKR, dilanjutkan dengan investigasi dan penelusuran data, mencari dan memanggil pelaku, dan merumuskan rekomendasi amnesti. Dengan pembatasan waktu ini akan membuat KKR tergesa-gesa dalam bekerja sehingga dapat mengesampingkan tugas utamanya yakni mengungkapkan kebenaran yang senyatanya. Usman Hamid mengatakan, keinginan pemerintah untuk membuat "aturan main" KKR merupakan pelanggaran terhadap UU KKR sendiri dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip 33 kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR, penyusunan kode etik KKR serta tata tertib dan mekanisme kerja KKR merupakan kewenangan sidang KKR. Sedangkan pemerintah hanya berwenang mendukung kerja KKR melalui sekretariat KKR. Menurut pasal 14 dan 15, KKR dibantu oleh sekretariat KKR yang bertugas memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatannya (KKR). Selanjutnya sekretaris KKR diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden, dan ketentuan mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretariat KKR diatur dengan peraturan presiden. Kalaupun pemerintah tetap bermaksud untuk membuat aturan pendukung KKR, maka aturan LS AM tersebut semata-mata harus bertujuan untuk mendukung kerja-kerja KKR, dan bukan sebaliknya berisi pembatasan-pembatasan. Aturan pendukung ini harus berisi jaminan, KKR komisi dapat mengakses segala data dari berbagai instansi, sanksi terhadap instansi yang tidak mau bekerja sama, dukungan aparat negara dan perlindungan terhadap anggota KKR. (E-8) kli pin gE Last modified: 28/3/06 34 Kompas, Sabtu 22 April 2006 UU KKR Setahun Terbengkalai Kesungguhan Presiden Dipertanyakan Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 6 Oktober 2004 terbengkalai implementasinya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya terbentuk pada 6 April 2005 belum juga bisa dibentuk. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) kepada pers di Jakarta, Jumat (21/4), mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono LS AM untuk merealisasikan KKR. "Ini sebenarnya menyangkut manajemen pemerintahan. Pemerintah seharusnya bisa menetapkan mana yang harus diprioritaskan, mana yang tidak," ucapnya. Dalam perkembangan terakhir, Presiden Yudhoyono bertemu dengan panitia seleksi anggota KKR tanggal 23 Februari 2006. Pada saat itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Presiden mengatakan masih membutuhkan waktu yang cukup untuk menyusun peraturan pelaksanaan UU No 27/2004 (Kompas, 24/2). gE UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004. Dalam Pasal 45 Ayat 3 disebutkan, "Pembentukan Komisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan". pin Gayus mengatakan, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM, masalah itu beberapa kali ditanya- kan anggota DPR. "Kita akan menanyakan lagi kepada pemerintah," ucapnya. kli Sementara praktisi hukum Bambang Widjojanto mengemukakan tiga hal yang perlu mendapat jawaban dari Presiden Yudhoyono. Pertama, secara politik apakah Presiden menganggap KKR diperlukan atau tidak karena KKR itu adalah perintah UU No 27/2004. "Kalau tak diperlukan, bagaimana menyelesaikan solusi hukumnya," kata Bambang yang ikut menyeleksi calon anggota KKR dan sudah menyerahkan 42 nama calon kepada Presiden. Kedua, realitas sosiologis menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat melalui pengadilan tidak berhasil memberikan keadilan kepada korban. "KKR bisa menjadi solusi tapi mengapa terjadi buying time," katanya. Ketiga, Bambang mengingatkan problem KKR bukan hanya personalia, melainkan juga aturan main di dalam KKR. Jika tak ada kepemimpinan yang kuat dalam KKR nanti, ia 35 khawatir pembahasan aturan main bisa memakan waktu. Karena itu, ia menyarankan dan bisa mengerti kalau pemerintah ikut menyiapkan draf aturan main dari KKR. Bambang tak berani menilai keterlambatan pembentukan KKR sebagai kelemahan manajemen pemerintahan. "Saya menanyakan kesungguhan presiden merealisasikannya," ucapnya. KKR adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas kli pin gE LS AM pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi. (bdm) 36 Kompas, Senin, 19 June 2006 Penundaan KKR Ciptakan Kondisi Dilematis Jakarta, Kompas - Sikap pemerintah mengulur-ulur waktu pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menciptakan suatu kondisi dilematis. Dilema itu dihadapi calon anggota KKR yang namanya sudah di tangan Presiden. Kondisi tersebut terungkap lewat perbincangan Kompas, pekan lalu, dengan dua calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Ifdhal Kasim dan Fadjroel Rachman. LS AM Mereka menilai, penundaan yang terus terjadi dan berlarut-larut tanpa kejelasan akan membuat masyarakat semakin apatis terhadap pentingnya keberadaan KKR. Semakin lama pembentukan KKR tertunda, maka komisi itu akan semakin kehilangan momentumnya. "Bahkan ketika KKR pada akhirnya terbentuk, masyarakat sudah berada dalam posisi yang apatis, meragukan, dan bahkan justru mempertanyakan kembali penting tidaknya KKR dibentuk," ujar Ifdhal. Tidak serius gE Menurut Ifdhal, penundaan pembentukan KKR itu disebabkan beberapa faktor, seperti kesengajaan pemerintah mengulur waktu, adanya ketidaksamaan pemikiran dan pendapat di tubuh pemerintah sendiri, dan juga faktor latar belakang ekonomi terkait kesediaan anggaran membiayai KKR. pin "Pemerintah sengaja bermain dengan waktu. Bahkan mengundur pembentukan KKR, bila perlu sampai masa pemerintahan berakhir untuk kemudian dibebankan ke pemerintahan selanjutnya.," ujar Ifdhal. Fadjroel meyakini penundaan memang sengaja dilakukan. Alasan Presiden Yudhoyono yang menyatakan perlunya kehati-hatian dalam memilih 21 anggota KKR hanya sebatas alasan. kli "Padahal kalau mau serius, mereka punya instrumen lengkap seperti BIN (Badan Intelijen Negara) atau bisa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, atau malah memanggil kami untuk mengecek satu per satu," ujar Fadjroel. (dik) Sumber: Kompas, Senin, 19 Juni 2006 37 Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 MK Dinilai Langgar Ultra Petita Kali Kedua Lebihi yang Diminta Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi dinilai melanggar asas hukum ultra petita. MK dinilai melakukan tindakan hukum melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara kepadanya. Demikian dikatakan mantan Ketua Panitia Khusus DPR untuk Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Sidharto Danusubroto, Jumat (8/12) di Jakarta. Hal ini disampaikannya menanggapi putusan MK yang membatalkan UU KKR LS AM (Kompas, 8/12). "Yang diuji pihak korban hanya tiga pasal, tetapi malah seluruh UU-nya dibatalkan MK. Ini berlebihan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Mantan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar pun menyebut tindakan hukum MK dengan istilah legitime vorse, tindakan hukum yang melampaui kewenangan. gE Akil meminta pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang KKR. Ini sebagai jalan keluar. Advokat Adnan Buyung Nasution, Jumat di Jakarta, menandaskan pula, putusan MK pin membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dapat menimbulkan kebingungan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM selanjutnya. Pelanggaran asas ultra petita juga merupakan hal yang tabu. Mestinya MK tidak kli membatalkan UU itu. Putusan lebih dari yang diminta terhadap permohonan uji material sebagian pasal UU KKR merupakan yang kedua dari MK. Sebelumnya, MK membatalkan semua ketentuan dalam UU No 22/1999 tentang Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan hakim. Pembatalan UU KKR membuat penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia menjadi tidak jelas. Karena itu, Adnan meminta pemerintah lebih tegas, jelas, dan terarah dalam mengatasi persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM. Adnan Buyung tidak dapat menyalahkan putusan MK itu karena merupakan konsekuensi yuridis dari sistem hukum yang dianut di Indonesia. 38 Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Prof Dr Indriyanto Seno Adji, menyatakan, dengan pembatalan UU KKR, berarti seluruh kasus pelanggaran HAM di negeri ini harus diselesaikan melalui pengadilan HAM. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan, dengan putusan itu proses seleksi calon anggota KKR batal. Untuk rekonsiliasi, bisa dilakukan dengan cara politik, seperti yang dilakukan di kli pin gE LS AM Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka. (sut/mzw/dwa/inu/tra) 39 Suara Pembaruan, Sabtu, 09 Desember 2006 UU KKR Dicabut MK Melanggar Prinsip Hukum [JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UndangUndang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) karena bertentangan dengan UUD 1945 merupakan putusan yang melanggar asas hukum. "Hakim-hakim MK telah mencederai lembaga MK itu sendiri. Putusan MK itu telah secara nyata melanggar larangan yang bersifat universal atau sebagai azas hukum bahwa hakim dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH kepada LS AM Pembaruan, di Jakarta, Jumat (8/12). Sebagaimana diberitakan, putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR yang diajukan oleh Asmara Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1 angka 9 UU KKR. Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan gE pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945. pin Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat kli (2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 (Pembaruan, 8/12). Petrus mengatakan, putusan itu sesungguhnya mengindikasikan adanya konspirasi antara MK sebagai lembaga peradilan tertinggi di bidang yudikatif selain Mahkamah Agung dengan lembaga kepresidenan. Konspirasi itu bertujuan untuk melepaskan tanggung jawab hukum dan moral dari negara terhadap para korban pelanggaran HAM masa lalu. Memikul Selain itu, tambahnya, negara sesungguhnya tidak sudi memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lampau. Hal ini bisa dilihat dengan tidak kunjung selesainya proses penetapan 21 dari 42 nama hasil seleksi panitia untuk calon anggota KKR meskipun telah lewat masa waktu yang ditetapkan UU. 40 Putusan itu juga merupakan ancaman serius bagi eksistensi fungsi legislasi DPR dan sekaligus telah melecehkan hak-hak para korban para pelanggaran HAM. Sementara itu sejumlah aktivis dari Koalisi LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Demos, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Imparsial dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Jumat (8/12) menyatakan, putusan MK itu harus dilihat sebagai bukti atas ketidakjelasan sikap pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia. "Putusan MK menunjukkan bahwa UU yang dihasilkan pemerintah bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip penegakan HAM dan pemenuhan hak yang telah diakui secara LS AM universal," kata Taufik Basari SH dari YLBHI. Para aktivis itu mengharapkan, penyelesaian pelanggaran berat HAM dimasa lalu merupakan kewajiban konstitusional. Putusan MK atas pembatalan UU KKR itu harus ditafsirkan sebagai keharusan bagi pemerintah, DPR dan masyarakat untuk segera menyelesaikan problem pelanggaran berat HAM. Dalam penyelesaian tersebut penting untuk tetap memperhatikan hak-hak korban, seperti hak gE atas reparasi, hak atas keadilan dan hak atas kebenaran dan jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak terulang kembali dimasa depan. Taufik mengatakan, mereka menolak jika penyelesaian keadilan bagi korban pelanggaran pin berat HAM dimasa lalu tersebut ditempuh dengan mekanisme politik, seperti pemberian rehabilitasi semata. Perlu ditegaskan, pemberian rehabilitasi tidak terlepas dari penyelesaian yang menyeluruh dengan bersama-sama perlu dilakukan penuntutan dan pengungkapan kebenaran. kli "Kami menegaskan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai sebuah keharusan. Selain telah terjamin dalam konstitusi, sesungguhnya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM bisa dilakukan lewat pengadilan HAM," katanya. Oleh karena itu, pasca putusan MK tersebut pemerintah dan DPR harus menunjukkan komitmennya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, katanya. [E-8] Last modified: 9/12/06 41 Kompas, Jumat 05 Januari 2007 Ratifikasi Tidak Jamin Keberpihakan Jakarta, Kompas - Ratifikasi terhadap berbagai kovenan tentang hak asasi manusia tak menjamin keberpihakan pemerintah pada pembelaan HAM. Bahkan, sepanjang tahun 2006 institusi negara justru menghambat dan mengabaikan hak dasar warga negara. "Misalnya, Kejaksaan Agung menghambat dan tak akomodatif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM serta Komnas HAM tak menunjukkan sensitivitas, keberpihakan, dan inisiatif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM," ujar Direktur Eksekutif Imparsial LS AM Rachland Nashidik, Kamis (4/1) di Jakarta. Dalam catatan Imparsial, polisi termasuk salah satu institusi yang menjadi pelaku dominan pelanggaran HAM. Satu kasus yang melibatkan polisi adalah penyisiran seusai bentrok dengan mahasiswa dalam kasus Abepura, 16 Maret 2006. Polisi juga diduga merusak asrama mahasiswa. "Tahun 2006 pemerintah tidak mengimplementasikan kovenan yang diratifikasi. Bahkan, pemerintah tak melakukan koreksi terhadap kinerja lembaga yang memiliki kewenangan gE untuk menegakkan HAM," kata Rachland. Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan juga mengakui pemerintah kurang serius memberi perhatian pada perkara penegakan HAM. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pin dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla meletakkan isu HAM dalam visi dan misi pemerintahannya. Trimedya melihat kehendak politik pemerintah untuk memperjuangkan HAM memang kurang kalau dibandingkan dengan pemberantasan korupsi. Hingga kini juga belum tercapai kesimpulan bersama antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung terkait pelanggaran HAM berat kli serta kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, dilaporkan, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste didesak mengungkap kasus pelanggaran HAM di Timor Leste sejak tahun 1958. Desakan itu terungkap dalam dialog KKP Indonesia-Timor Leste, Kamis. Dialog dipimpin Uskup Agung Kupang dan Komisioner KKP, Mgr Petrus Turang. (jos/kor) 42 Sinar Harapan, Kamis, 08 Februari 2007 Korban G 30 S 1965 Tuntut Pemulihan Hak Jakarta-Perempuan korban tragedi gerakan 30 September 1965 meminta pemerintah memulihkan hak-haknya sebagai warga negara dan menuntut intimidasi dan kecurigaan yang saat ini masih terjadi agar dihentikan. Mereka juga mempertanyakan langkah pemerintah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (KKR). Hal itu ditegaskan koordinator perempuan korban tragedi ’65 Chusnul Hidayati saat audiensi dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Selasa (6/2). Bersama LS AM Syarikat Indonesia, dia menilai UU KKR merupakan langkah awal terjadinya pelurusan sejarah yang selama puluhan tahun dimanipulasi. Saat ini perempuan korban tragedi ’65 terus mengalami tindak kekerasan baru, baik yang dilakukan aparat keamanan, maupun kelompok-kelompok sipil dan paramiliter. Saat melakukan diskusi tentang rencana pemerintah membentuk KKR, 20 Mei 2006 di Bandung, acara mereka dihentikan secara paksa oleh pihak keamanan. gE “TAP MPR No V Tahun 2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional telah ditetapkan, sudah itu ada UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR yang lalu batal lagi. Tetapi bagi kami itu semua menunjukkan bahwa tragedi ’65 sebagai masalah yang penting untuk ditelusuri agar tidak terulang. Kami tidak mengerti langkah yang dilakukan MK,” ujar Chusnul Hidayati. pin Mereka diterima oleh Sekretaris FPDIP Jakobus Mayong Padang, anggota FPDIP Soepomo, Ribka Tjiptaning, Agung Sasongko, Ben Vintjent Djeharu, dan Nur Suhud. Nur Suhud mengatakan perjuangan mereka memang masih sangat panjang. “Jangan cepat terbuai dengan perkembangan yang ada. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi karena kli masih ada pihak yang memainkan masalah ini untuk kepentingan kelompoknya,” tegas Nur Suhud. Ribka Tjiptaning mengaku menyesal dengan keputusan MK membatalkan UU KKR. Padahal, menurutnya, UU KKR menjadi pintu masuk menyelesaikan masalah sejarah yang selama ini memihak penguasa Orde Baru. (inno jemabut) 43 Perlu, Komisi Kebenaran Kasus HAM Soeharto Kompas, Sabtu, 16 Pebruari 2008, 13.39 WIB Untuk mempercepat penuntasan kasus pelangaran HAM almarhum mantan Presiden Soeharto, pemerintah disarankan membentuk komisi kebenaran yang berisi tokohtokoh pro hak asasi manusia. Langkah ini penting karena pemerintah maupun kekuatan politik yang ada saat ini kurang punya komitmen kuat membuka tabir pelanggaran HAM masa lalu. Pernyataan itu dikemukakan Ketua Elsam Agung Putri saat berlangsungnya Pelatihan Hak Asasi Manusia Tahunan yang dihadiri 30 Lembaga advokasi HAM dari seluruh Indonesia di Hotel Grand Tropic Suites Jakarta, Jumat malam. LS AM Putri juga mengusulkan agar komisi kebenaran ini nantinya di beri kewenangan menetapkan, menyidik dan membongkar fakta-fakta baru pelanggaran HAM yang selama orde baru belum terkuak seperti kasus Tanjung Priok dan Trisakti kli pin gE Dari bukti-bukti inilah ia yakin kasus-kasus pelangaran HAM yang terjadi selama orde baru bisa dibawa kepengadilan HAM Internasional karena memang melukai nilai-nilai kemanusiaan universal. 44 http://www.kapanlagi.com/h/0000228602.html Jum'at, 16 Mei 2008 22:21 Penyelesaian Pelanggaran HAM Bisa Ikuti Model Afrika Selatan Kapanlagi.com - Penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Tanah Air bisa menggunakan model penyelesaian seperti di Afrika Selatan dengan cara rekonsiliasi, demikian Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, di Jakarta, Jumat (16/5). Ia mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM dengan rekonsiliasi seperti di Afsel itu dapat menjadi alternatif karena sulitnya menyelesaikan melalui peradilan. LS AM "Pasalnya di pengadilan tidak ada bukti, sedangkan korban memiliki bukti. Hingga penyelesaian seperti itu mungkin gagal," katanya. Mengenai penyelesaian pelanggaran HAM di Afsel itu, setelah dia bertemu dengan menteri kehakiman Afsel empat tahun lalu yang mencoba melakukan rekonsiliasi seperti itu karena penegakan hukumnya tidak begitu sukses. "Saya sendiri menanyakan itu ke Menteri Kehakiman Afsel, mengapa anda tidak menyelesaikan masalah rasialis itu dahulu," katanya. gE Kemudian, kata dia, menteri kehakiman Afsel menyatakan peristiwa itu sudah lama dan untuk mencari bukti-buktinya sulit hingga mungkin gagal di pengadilan. "Akhirnya mereka mencoba melakukan rekonsiliasi seperti itu," katanya. pin Dikatakannya, rekonsiliasi itu merupakan bentuk keadilan restoratif (restorative justice) yang saat ini sudah berkembang di sejumlah negara, seperti, di Australia dan Selandia Baru. Ia menyebutkan, pengertian keadilan restoratif (restorative justice) itu memungkinkan pidana-pidana tertentu bisa diselesaikan dengan semacam mediasi antara korban dengan pelaku atau dengan masyarakatnya sendiri. kli Ia menambahkan, arti keadilan restoratif itu, pertama, bagaimana menghindarkan pelaku itu harus masuk penjara, karena ternyata penjara itu bukan tempat yang sangat berhasil menyelesaikan mereka. Bahkan, kata dia, banyak di antara narapidana itu, begitu keluar berbuat kembali tindak kriminal. "Bagaimana caranya agar menghindar dari penjara, namun pelakunya tetap bertanggung jawab atas perbuatannya. Kemudian, dari pihak korban selama ini di tanah air tidak pernah mendapatkan tempat," katanya. Dalam restorative Jusctice itu, posisinya akan diubah bahwa perkara itu tidak sematamata kepentingan ketertiban, tetapi kepentingan bagi si korban, bagaimana pemulihan korban, yang bukan hanya dari segi materiil, tapi psikisnya juga. "Karena itu, kita bisa misalkan gunakan model Afsel dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu," katanya. (kpl/rif) 45 Kompas, Sabtu, 04 November 2006 Sosok dan Pemikiran KKR Sudah Kehilangan Momentum Budiman Tanuredjo Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kekeliruan masa lalu, meminta maaf kepada rakyat atas kekeliruan itu, kemudian menjadikan pengalaman masa lalu untuk membangun sebuah masa depan. Penegakan keadilan pada masa depan harus juga dilandasi pemberian keadilan pada masa lalu. M Mengelola masa lalu, masa kini, dan masa depan bukan hanya sebuah perdebatan politis, tetapi juga filosofis. Komisioner untuk Hak atas Rasa Aman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto (74) termasuk yang pada saat awal ikut bergulat dengan gagasan keadilan transisional (transitional justice). Ia pun ikut mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). LS A Namun, realitas politik delapan tahun dengan tak kunjung terbentuknya KKR membuat Enny berubah pandangan. "KKR sudah kehilangan relevansinya, sudah kehilangan momentumnya," ujar Enny menegaskan pandangan pribadinya itu. Namun, bagi Enny, anggota Komnas HAM (2002-2007), pelanggaran masa lalu tetaplah penting dan tidak bisa dilupakan begitu saja. Hanya bagaimana mengelola masa lalu menjadi sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk memperoleh jawaban. Ia mendorong penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, meskipun untuk itu dibutuhkan keputusan politik yang susah digapai. pin gE Sejarawan Taufik Abdullah saat memberi pengantar dalam buku Bersaksi di Tengah Badai-Dari Catatan Wiranto menulis, masa lalu mungkin "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana, di negeri asing": itu terletak sumber dari ketidakberesan yang kini—ataukah "di sini", saya rasakan. Ia melanjutkan, kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki "di sana", agar yang terjadi " di sini" baik-baik saja. "Masa lalu haruslah dijadikan pelajaran" ucap Enny dalam percakapan dengan Kompas di ruang rapat Komnas, Selasa lalu. Berikut petikan percakapan dengan Enny. Bagaimana Anda melihat implementasi keadilan transisional di Indonesia? kli Ini pendapat pribadi saya. Saya anggap pembentukan KKR sudah terlambat. Di Cile, enam minggu setelah Pinochet jatuh, KKR sudah terbentuk. Jadi, momentumnya masih ada. Saat MPR mengeluarkan Tap MPR V/MPR/2000 masih ada momentum. Tapi sekarang, momentum itu telah hilang. Kita tak lagi berada pada era transisi, tetapi sudah menuju stabilisasi. KKR sudah tidak ada gunanya. Pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan dengan Pengadilan HAM Ad Hoc. Per definisi, penyelesaian KKR berarti penyelesaian ekstra pengadilan, yaitu pemberian keadilan pada era transisi. Apakah kita masih ada pada masa transisi? Kalau saya melihat kita sudah ke stabilisasi. Transisi atau stabilisasi kan masih jadi perdebatan? Bagaimana suatu negara dianggap transisi ketika pemilu demokratis sudah digelar dua kali, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Daerah sudah otonomi, sejumlah aturan yang melindungi HAM telah dihasilkan. DPR telah total ganti. Anggota DPR yang tak dipilih sudah tidak ada. Apakah ini masih mau disebut transisi? Tapi mengapa proses pembentukan KKR begitu lama? Itu soal kemauan politik. Tap MPR keluar tahun 2000, UU KKR terbit baru 2004, tetapi sekarang belum juga terbentuk. Saya lihat ada keraguan besar dari pengambil keputusan. 1 Lalu bagaimana solusi legalnya karena KKR adalah amanat undang-undang? Barangkali pendapat saya ekstrem. Urutannya kan perintah MPR, kemudian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No 27/2004 tentang KKR. Pemerintah harus berani nyatakan KKR tak lagi relevan dan memohon kepada MPR untuk membatalkan Tap MPR soal KKR dan meminta DPR untuk menyatakan pasal soal KKR tak berlaku lagi. Pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan. Karena ekstra pengadilan itu bisa diterapkan pada masa transisi, kalau transisi sudah lewat kan kembali ke pengadilan normal. Secara politik apakah memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan yang mengharuskan adanya keputusan politik DPR. M DPR sudah berubah dengan Pemilu 2004. DPR 2004 itu bukan DPR transisional. Kalau enggak bisa DPR 2004, ya DPR mendatang. Tak ada pilihan lain kecuali menegakkan keadilan yang bukan transisional, tetapi keadilan yang langgeng sifatnya. LS A Tetapi berbagai kasus di pengadilan HAM semuanya bebas sehingga ada pendapat, pengadilan HAM juga tidak relevan? Itu ranah di mana sangat menyesal Komnas HAM tak bisa masuk lagi. Kami tak bisa komentar. Buat kami, kasus itu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kami berhenti. Tapi kami prihatin itu. Dalam konstelasi politik seperti ini, apakah masih perlu pelanggaran HAM masa lalu diungkap? pin gE Jawabannya, ya. Walaupun terasa seperti jargon atau semboyan, keadilan pada masa datang harus dilandasi penegakan keadilan pada masa lalu. Sebab kalau tidak, akan tercatat dalam sejarah, ada pelanggengan impunitas. Kalau pelanggaran HAM masa lalu tak diungkap kan enggak ada problem juga? Tergantung dari perspektif siapa. Korban berkepentingan, sejarah berkepentingan, generasi muda merasa perlu tahu apa yang terjadi. KKR kan bukan hanya transitional criminal justice, melainkan juga transitional historical justice. Dalam konteks KKR, tampaknya semuanya diam ketika pemerintah lambat. DPR diam. Hanya LSM yang mendesak. Yang muncul adalah ajakan untuk melupakan saja masa lalu untuk membangun masa depan. Itu tampaknya arus besar pemikiran di Indonesia? kli (Enny terdiam sejenak). Mungkin sebagian berpendapat begitu. Tapi bagaimana nasib korban, keluarga yang masih terkena imbas ketidakadilan masa lalu. Pelupaan peristiwa masa lalu menguntungkan satu pihak, tetapi merugikan pihak lain. Apakah bangsa diuntungkan secara keseluruhan? Patut dipertanyakan. Bangsa yang besar harus berani mengakui kesalahan pada masa lalu justru untuk membangun masa depan. Apa yang dilakukan Jerman adalah suatu contoh, dengan ksatria meminta maaf atas kesalahan orang pada masa Nazi, dan menjadi bangsa besar. Kalau kita melupakan, itu menyimpang dengan gagasan KKR. Semangat KKR itu forgive but not to forget. Kalau arahnya melupakan, keliru. Bagaimana dengan orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang karena paspornya dicabut? Pertama itu pelanggaran hukum, tetapi apa yang tak melanggar hukum pada tahun 1965-an. Saya juga tak tahu apa yang dijadikan aturan waktu itu. Jadi, sebetulnya, menurut saya, koreksi saja kesalahan masa lalu. Berikan kewarganegaraan dan akui kembali sebagai warga negara Indonesia. 2 Cukup dengan koreksi saja? Secara teknis itu. Kembalikan paspor dan warga negara nanti akan ada implikasinya. Bisa saja mereka menuntut perbaikan nama baik, rehabilitasi atau kompensasi. Perlu minta maaf? Ini saya memberi contoh Jerman. Ada atau tidak ada KKR, kalau toh tidak ada permintaan maaf, setidaknya harus ada penyataan tindakan rezim lalu adalah keliru. Harus ada dalam momen khusus untuk minta maaf dan pengakuan kekeliruan atau cukup dengan respons spontan atas pertanyaan pers? M Ya, saya kira harus ada occasional khusus. Di Indonesia harus dicari, apakah di MPR, tetapi kapan presiden dalam sidang MPR. Atau bisa saat DPR bersidang, pada saat itu langsung pemerintah menyatakan bahwa KKR sudah tidak relevan dan meminta MPR mencabut Tap dan DPR mengoreksi UU. LS A Pandangan Anda bukan karena Anda sebagai anggota Komnas HAM merasa disaingi jika KKR lahir? Enggak. Momentumnya sudah tak ada. Dasarnya, KKR adalah keadilan pada masa transisi, sekarang kita tidak lagi berada pada era transisi. Hak asasi manusia pin gE Boleh jadi, Enny menjadi anggota Komnas HAM yang sering bekerja di balik layar. Ia menyiapkan naskah akademis perubahan UU No 26/2000. Ia juga ikut mendorong perubahan Komnas HAM menjadi seperti saat ini, di mana setiap anggota menjadi komisioner khusus masing-masing hak. Sebagai komisioner untuk hak rasa aman, Enny juga meluncurkan komik Petualangan di Dunia 1012. Komik itu berisi sosialisasi terhadap siswa sekolah dasar mengenai hak atas rasa aman. Ia juga gencar memberikan sosialisasi soal HAM, misalnya menyosialisasi Kovensi Anti-Penyiksaan 1984 yang diratifikasi tahun 1999. Namun, dalam praktiknya masih saja ada yang merendahkan martabat manusia. "Kan masih ada joki ketangkap yang digunduli. Itu kan merendahkan martabat manusia," ujarnya. Bagaimana Anda melihat kondisi HAM pasca-Orde Baru? kli Ya, sudah ada pemahaman meluas di kalangan aparatur pemerintah dan penegak hukum. Yang patut dicatat, tahun 2005 kita mengesahkan dua kovenan yakni Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yang menjadi problem adalah penerapannya di lapangan. Terutama hak ekonomi, sosial, dan budaya karena itu membebani banyak hal kepada pemerintah. Meskipun kovenan itu menyatakan bisa dilaksanakan secara bertahap. Namun, bertahap itu tak berarti santai-santai saja. Di situ sesuai, dengan menggunakan semaksimal mungkin sumber daya yang ada. Konstitusi telah mencantumkan soal HAM, kovenan diratifikasi, undang-undang dibuat, tetapi implementasi kedodoran? Hak asasi manusia belum menjadi arus utama dalam penggarisan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Misalnya, pembangunan belum mengarustamakan HAM, kebijakan politik belum mengarusutamakan HAM. Di situ masalahnya. Jadi, setiap langkah yang diambil pemerintah bisa berdampak pada HAM itu kurang disadari. Jadi, terbatas pada legal formal. Bukankah ratifikasi kovenan itu sebagai politik komestik kalau tak dijalankan? 3 Bisa saja dilihat dari aspek itu, terutama karena Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM. Tapi Komnas HAM mendesak dan mempersiapkan segalanya sudah lama. Bahwa kemudian dilihat sebagai, kebetulan dilakukan tahun 2005, karena akan mencalonkan sebagai anggota Dewan HAM, bisa saja. Bisa karena koinsidensi atau memang dimaksudkan begitu. Saya tidak bisa ambil kesimpulan koinsidensi atau kebetulan. Akan tetapi, kalau disengaja pun, menurut saya, tidak salah karena kita mau menonjolkan aset-aset dan kita terpilih. Setelah meratifikasi, konsekuensinya apa? M Lebih berat. Dulu komitmennya nasional. Setelah jadi pihak, kita punya komitmen internasional. Tahun pertama kita harus buat laporan awal. Itu masih ringan. Kita harus jelaskan soal undang-undang nasional yang dibuat. Kita punya kelebihan karena sudah punya. Kemudian, empat tahun kemudian kita harus buat laporan empat tahun. Kita harus jelas perkembangan dan kemajuannya. Kewajiban kita menjadi ganda. Kalau lalai kita ditegur. Diskursus soal HAM memudar seiring dengan isu perang melawan terorisme? LS A Ya, dampaknya adalah akan berupa pengurangan penikmatan HAM, tetapi pengurangan kenikmatan HAM itu bukan berarti tidak dibenarkan. Saya kira konvensi internasional dan nasional membolehkan adanya pembatasan hanya apabila itu dilakukan dengan undang-undang demi ketertiban umum. Sejumlah resolusi PBB menyebutkan, dalam melakukan suppression of terrorism, ada tiga hal hukum internasional yang harus diperhatikan. Khususnya hukum HAM, hukum pengungsi, dan hukum humaniter. Ini tertera dalam sejumlah resolusi PBB, majelis umum, maupun DK PBB. pin gE Dalam tataran praktis bagaimana? Terorisme adalah pelanggaran hak hidup dan hak atas rasa aman, tapi penindasan terorisme tak boleh melanggar HAM. Misalnya, kebebasan pribadi jangan sampai tidak dihormati. Penahanan juga jelas ada jangka waktunya. Memang HAM sendiri bisa disimpangi asal dengan undang-undang hanya harus ada kejelasan. Jangan penahanan tanpa batas waktu. Penangkapan harus dengan surat, keluarga diberitahu. Nama: Enny Soeprapto (74 th). Kelahiran: Jogjakarta 01 Oktober 1932. kli Pendidikan: -PHD, Hukum Internasional, Pasific Western Honolulu, Amerika Serikat (1995) - Diplome Pasturniversitaire, Institut International d’Administration Publique, Sexton Diplomatique, Paris (1969) - Sarjana Hukum , Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (1965). Pekerjaan: - Komisaris untuk Hak Rasa Aman Komnas HAM (2002-2007) - Konsultan Independent untuk Hukum Pengungsi Internasional UNHCR (1995-2002). 4 1 MK Mencabut UU KKR No. 27 2004 ========================================== MIOL, Kamis, 07 Desember 2006 22:02 WIB POLKAM - Perundangan Mahkamah Konstitusi Cabut UU Rekonsiliasi JAKARTA--MIOL: Sehari setelah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden dalam KUHP, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Kamis (7/12). MK menilai UU itu bertentangan dengan UUD 1945. AM Keputusan Mahkamah Konstitusi itu disampaikan dalam sidang pleno majelis hakim yang dipimpin ketuanya, Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, kemarin. Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum, baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. LS "Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum," ujar salah satu hakim konstitusi Maruarar Siahaan saat membacakan putusan. gE Majelis juga mendasarkan putusannya pada budaya dan falsafah bangsa yang menghargai HAM. Selain itu, keanggotaan Indonesia di PBB yang menerima prinsip-prinsip HAM harus dapat menerima sikap rekonsiliasi. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. kli pin Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan sejumlah korban pelanggaran HAM dan para aktivis dari LSM. Antara lain, Asmara Nababan (Elsam), Ibrahim Zakir (Kontras), dan Rahardjo Waluyo Djati mewakili korban penculikan aktivis 1998. Pemohon sebenarnya hanya mengajukan uji atas Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR (lihat grafis). Namun MK justru mencabut secara utuh UU KKR tersebut. Dalam dunia hukum, putusan MK yang malah membatalkan keseluruhan UU seperti itu dikenal dengan asas ultra petita. Artinya, hakim memutus di luar dan atau melebihi hal-hal yang dimohonkan pemohon. Sebelum ini, dalam perkara uji materiil UU Komisi Yudial, MK juga memutus diluar yang dimohonkan (ultra petita). Menurut hakim konstitusi Laica Marzuki, MK menilai operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal 27 tersebut. Sehingga, kalaupun hanya pasal 27 yang dicabut, seluruh ketentuan UU KKR tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan Jimly mengatakan, dengan pencabutan UU KKR itu tidak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. "Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku universal. Jadi silahkan membuat UU baru," jelas Jimly. Selain itu, tambahnya, penyelesaian kasus HAM juga bisa dilakukan melalui kebijakan politik. "Tidak harus lewat jalur hukum, contohnya mantan GAM yang diberi kompensasi dalam bentuk tanah." Kinerja Elsam di Media 2006=> 1 2 Dalam putusan ini, hakim I Dewa Gede Paliguna menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion). Dia menyatakan tanpa UU itu kebenaran akan sulit diungkap, karena berdasar akal sehat, sulit meminta pelaku untuk mengakui perbuatannya. "Padahal pengungkapan merupakan syarat yang harus ditemukan untuk memulihkan hak-hak korban," jelas Paliguna. Kualitas UU buruk Asmara Nababan yang hadir dalam sidang itu berpendapat, putusan itu membuat masyarakat korban pelanggaran HAM harus menunggu lama untuk hingga kebenaran kasus mereka diungkap. "Yang menyedihkan, membuat masyarakat masih harus lama menunggu pengungkapan kebenaran peristiwa," ujarnya. AM Nababan juga mengatakan, putusan MK itu membuktikan betapa buruknya kualitas UU yang dibuat DPR dengan pemerintah tersebut. "Kalau DPR dan Pemerintah mawas diri, mereka harusnya meminta maaf kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, karena sudah menghabiskan uang puluhan miliar untuk UU yang ternyata dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," tegasnya. LS Mantan Wakil Ketua Pansus UU KKR DPR M Akil Mochtar menilai putusan MK itu membuat prospek penyelesaian masalah HAM suram. "Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi tidak jelas. Semua pihak tidak punya komitmen untuk itu. Kalau MK menganjurkan rekonsiliasi bangsa melalui jalur politik kan makin nggak jelas lagi," ujar Akil di Jakarta, Kamis. kli pin gE Akil mengakui pembahasan UU KKR di DPR memang tidak populer di mata anggota dewan, sehingga pembahasannya cukup lama. Pansus KKR menyelesaikan pembahasan RUU KKR yang terdiri dari 10 bab dan 46 pasal itu mulai 9 Juli 2003 hingga 30 Agustus 2004. (IF/Wis/OL-01) Kinerja Elsam di Media 2006=> 2 3 Komaps, Jumat, 07 Desember 2006 Pelanggaran HAM MK Batalkan UU KKR, Cermin Buruknya Jakarta, Kompas - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kembali membuat keputusan mengejutkan dengan membatalkan seluruh isi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Dalam putusan sidang uji materi (judicial review) terhadap undang-undang itu, Kamis (7/12), hanya ada satu pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diajukan salah satu dari delapan hakim MK, I Dewa Gede Palguna. AM Keputusan ini terbilang mengejutkan, mengingat dua pihak pemohon sebelumnya hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi, yang mereka nilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. LS Pemohon pertama, Asmara Nababan dan sejumlah elemen lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan kuasa hukum AH Semendawai, meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak korban menempuh jalur hukum. Pemohon kedua, Arukat Djaswadi dan KH M Yusuf Hasyim dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK menguji Pasal 1 Ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait cara rekonsiliasi. gE "Dari keputusan itu kita bisa lihat betapa buruknya kualitas DPR membuat UU. Mereka, DPR dan juga pemerintah, seharusnya malu dan harus minta maaf kepada masyarakat yang juga pembayar pajak karena mereka telah menghabiskan uang puluhan miliar untuk membuat UU, yang belakangan dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 seperti sekarang," ujar Asmara. kli pin Menurut Asmara, keputusan MK tersebut tetap akan berdampak mengecewakan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Dengan dibatalkannya aturan UU tentang KKR, mereka terpaksa kembali menunggu aturan baru terbentuk. Dalam pertimbangannya, kedelapan anggota Majelis Hakim MK menilai telah terjadi kontradiksi dan pencampuradukan aturan pasal-pasal dalam UU tersebut. Ketidakpastian dan ketidakkonsistenan hukum itu terjadi salah satunya terkait Pasal 28 Ayat 1, yang menyebutkan KKR "dapat" memberi rekomendasi kepada Presiden untuk memberi amnesti ketika di antara pelaku dan korban sudah saling memaafkan dan berdamai. Padahal, dalam Pasal 29 Ayat 1, KKR dikatakan "wajib" memutuskan rekomendasi amnesti. UU KKR juga dinilai melanggar aturan hukum internasional, di mana pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat tidak diperbolehkan. Mantan Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidharto Danusubroto sangat menyesalkan putusan itu dan menilai MK arogan. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) I Gusti Agung Putri Astrid Kartika mengemukakan, MK tidak melihat substansi munculnya KKR, yaitu menjawab keresahan korban tragedi masa lalu melalui cara ekstra-judisial. MK hanya melihat sisi kesesuaian legalistik komisi tersebut dengan sistem hukum yang ada. (DWA/SUT/JOS) Kinerja Elsam di Media 2006=> 3 4 Republika, Jumat, 08 Desember 2006 MK Batalkan UU KKR Kalau ada KKR, umat Islam harus minta maaf, komunis dapat kompensasi. JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, UU KKR dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. AM Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum, baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. ''Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU itu tidak mungkin dapat diwujudkan karena tak adanya jaminan kepastian hukum,'' kata Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (7/12). Dengan dasar itu, MK menilai, UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tak punya kekuatan hukum yang mengikat. Permohonan uji materi UU KKR itu diajukan Asmara Nababan dkk yang diregistrasi dengan nomor 006/PUU-IV/2006. Pemohon mengajukan uji materi atas pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 angka 9 UU KKR. LS Namun, Jimly menegaskan, dengan pembatalan UU KKR itu, tak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. ''Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, bisa melalui rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum, rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi, dan amnesti secara umum.'' gE Anggota MK, I Dewa Gede Palguna, berpendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut dia, hanya pasal 27 UU KKR yang bertentangan dengan UUD 1945, itu pun hanya sebagian. Sedangkan pasal 1 angka 9 dan pasal 44, sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945. kli pin Kadiv Advokasi Uji Materil UU KKR, Taufik Basari, meminta pemerintah dan DPR bersikap objektif menilai putusan MK tersebut. ''Dengan dibatalkannya UU KKR ini, pemerintah dan DPR diharapkan tidak menutup ide pembentukan KKR,'' katanya. Salam proses pembentukannya, menurut dia, UU KKR mengandung kesalahan. Isinya pun sudah merupakan kesalahan. ''Judulnya baik, yaitu KKR. Tapi, isinya itu tak sesuai dengan judul. Kenyataannya, UU KKR itu punya banyak masalah fundamental,'' jelasnya. Namun, pinta Basari, gagasan mengungkap kebenaran sebagai upaya rekonsiliasi harus tetap ditegakkan. ''Yang dipersoalkan bukan idenya, melainkan alat untuk membangun ide tersebut. Jangan sampai ide itu dibangun atas dasar dan proses yang salah.'' Budayawan Taufiq Ismail menyambut baik putusan MK itu. ''Karena, kalau KKR terus, posisi umat Islam akan terbalik, sebagai tertuduh, harus minta maaf, dan kemudian orang PKI dapat kompensasi,'' katanya. Dia menilai, pembentukan KKR merupakan bentuk kepintaran rekayasa penganut paham komunis gaya baru. Mereka, kata Taufik, bertopengkan HAM dan demokrasi, berupaya memosisikan umat Islam sebagai tertuduh. Namun, dengan pembatalan ini, habis pula riwayat KKR. Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Yusuf Hasyim, mengatakan banyak hal dalam UU KKR yang tak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah. Salah satu yang dia sorot adalah peluang diberikannya rehabilitasi dan kompensasi bagi para tapol dan napol PKI, bila KKR terbentuk. ''Di UU itu, napol tapol PKI berhak dipulihkan pengadilan, minta rehabilitasi, dan mendapatkan Kinerja Elsam di Media 2006=> 4 5 kompensasi. Padahal, PKI jelas-jelas berontak,'' kata Yusuf Hasyim. Pasal-pasal yang Dipermasalahkan * Pasal 1 angka 9 UU KKR: Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memerhatikan pertimbangan DPR. * Pasal 27 UU KKR: Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. AM * Pasal 44 UU KKR: Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM. LS Dalil Pemohon: * Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil; dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD. * Pasal 27 UU KKR dinilai bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). kli pin ( ann/wed ) gE * Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, pasal 28 I ayat (2), dan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Kinerja Elsam di Media 2006=> 5 6 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=248 Kamis, 07 Desember 2006 16:06:16 UU KKR BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 AM MK menyatakan, Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan” bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. LS Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara 006/PUU-IV/2006 yang dimohonkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran, siang ini (7/12) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta. Terhadap putusan MK ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). kli pin gE Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui. Namun, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan menyebabkan aturan tersebut tidak diberlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan dapat dijadikan alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi Kinerja Elsam di Media 2006=> 6 7 undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. AM Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) menyatakan: ”Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut.” MK pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan Keadilan gE LS Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban. Hal ini tidaklah adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak. kli pin Selain itu, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Hal itu dikarenakan, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif”. UU KKR-pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif” itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. (Luthfi We) Kinerja Elsam di Media 2006=> 7 8 Kompas, Jumat 08 Desember 2006 MK Cabut UU KKR Rugikan Korban Pelanggaran HAM [JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena itu UU tersebut tidak berlaku lagi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, merupakan putusan yang justru menguntungkan pelaku pelanggaran HAM, dan merugikan korban. AM "Putusan MK itu menutup para korban secara hukum untuk menggugat pelaku pelanggaran HAM," kata Direktur Hukum Reform Institute, Ifdal Kasim kepada Pembaruan, Jumat (8/12). Ifdal sangat menyayangkan MK yang memutuskan mencabut semua isi UU KKR, padahal yang diminta pemohon cuma tiga pasal. Sementara aktivis Demos, yang juga bertindak sebagai pemohon uji materiil UU tersebut ke MK, Asmara Nababan mengatakan, putusan MK memang merugikan para korban pelanggaran HAM, namun tidak sepenuhnya membuat pelaku pelanggaran HAM berpesta pora. LS Sebab, pelaku pelanggaran HAM bisa diadili dengan UU Peradilan HAM. Selain itu, kata Asmara, Tap MPR Nomor Tahun 2000 mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat UU untuk mengadili pe- laku pelanggaran HAM, sesuai dengan UUD 1945. "Apalagi dalam amar putusan MK, mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat UU baru yang lebih sesuai, sehingga para pelaku janganlah berpesta pora," kata Asmara. gE Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu UU tersebut tidak berlaku lagi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan yang dibacakan di Gedung MK, Kamis (7/12) itu dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie. kli pin Majelis hakim MK mengatakan, semua fakta dan keadaan, menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. "Mahkamah berpendapat, asas dan tujuan KKR seba- gaimana termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU KKR, secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Jimly. Dengan dinyatakan UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan maka permohonan para pemohon dikabulkan. "Pasal 27 UU KKR tentang hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti dan pasal 44 UU KKR tentang hak korban untuk menempuh upaya hukum bertentangan dengan UUD 1945 serta pasal 1 angka 9 UU KKR," tegas Jimly dalam membacakan putusan. Dikatakan, dengan dinyatakan UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Menurut majelis hakim MK, banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku secara universal atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Pendapat Berbeda Kinerja Elsam di Media 2006=> 8 9 Dari sembilan hakim MK itu, satu hakim memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut, yakni I Dewa Gede Palguna. Ia berpendapat, konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan saja karena wewenang untuk memberikan amnesti, melainkan juga karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni persatuan nasional. Menurut Palguna, pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena alasan sebagaimana didalilkan pemohon, melainkan karena ketentuan pasal 27 UU KKR dimaksud tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. AM Ketentuan pasal 27 UU KKR, tambah Palguna, tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti sebab amnesti adalah jelas kewenangan presiden setelah mendengar keputusan DPR. LS Putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR yang diajukan oleh Asmara Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9 UU KKR. Pasal 27 UU KKR berbunyi, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan". Pasal 1 angka 9 UU KKR berbunyi, "Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR". gE Pasal 44 UU KKR berbunyi "Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM". Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945. kli pin Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945. [E-8] Last modified: 8/12/06 Kinerja Elsam di Media 2006=> 9 10 Jakarta post, December 08, 2006 Court throws out 'illogical law' on rights tribunal Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta The Constitutional Court scrapped Thursday an 2004 law mandating the establishment of the Truth and Reconciliation Commission (KKR) because judges said it made no sense. The surprising ruling further sets back the chances of victims of human rights violations to have their cases resolved and receive compensation. AM Eight of the nine judges were of the opinion that articles in the law on the commission were "problematic" and did not encourage people to settle their cases through the commission. "The aims of the establishment of the commission cannot be achieved because the law that accounts for its legal basis does not give legal certainty. The court rules that the law goes against the Constitution and has to be dropped," presiding judge Jimly Asshidiqque said. LS The court ruling has shot down the commission before it was ever established. President Susilo Bambang Yudhoyono had not yet selected the commission's 21 members, although a team screened and submitted 42 names to him last August. For the delay, Yudhoyono was accused of protecting alleged human rights abusers, especially those in the military. gE The judges in their ruling said immunity from prosecution could only be given to people who had admitted to committing rights violations. The right to give immunity was the President's prerogative, not the commission's, they said. kli pin "It is legally illogical if requests for compensation, restitution, rehabilitation and amnesty are filed simultaneously to the body before it has conducted any investigation to discover if gross human rights violation actually occurred," the judges said. The court's decision to declare the entire law unconstitutional surprised rights activists, who had requested the judges review only three articles in it. These ruled compensation for victims could only be given after perpetrators were granted amnesty and stated resolved cases could not be tried again in other courts. Asmara Nababan of the Institute for Policy Research and Advocacy (Elsam) said the ruling showed how bad the government and legislators were at law-making. "They should apologize to the people, especially taxpayers, for having spent a lot of money to make a law that turns out to be against the Constitution," he said. Activists and victims of rights abuses had hoped that the establishment of KKR would resolve rights cases that had occurred before the 2000 Law on Human Rights Trials was passed. "I didn't expect this (decision to drop the law)," Nababan said. However, he said he understood the court's reasons for doing so and respected them. "What concerns us is the fate of the victims. They have waited for years to see the truth (behind their cases) revealed. Now they have to wait longer," he said. Kinerja Elsam di Media 2006=> 10 11 Suratih, a former teacher jailed for six years without trial for suspected affiliation with the banned Indonesian Communist Party (PKI), said she would continue fighting for justice despite the ruling. "I know the truth will prevail. If I fail, my children will continue my fight. And if they fail too, the people will take it over," said the 81-year-old, who flew from Surakarta, Central Java, to Jakarta to hear the verdict read. The judges, however, said the ruling should not prevent the government from finding other legal ways to solve rights abuses. kli pin gE LS AM They recommended it create new legislation that was in line with the Constitution and international law. Kinerja Elsam di Media 2006=> 11 12 Suara Merdeka, Jumat, 08 Desember 2006 UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bertentangan dengan UUD JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal itu diputuskan hakim ketua Jimly Ashiddiqie dalam sidang putusan UU KKR di gedung MK, Kamis (7/12). kli pin gE LS AM Dia mengatakan, semua fakta dan keadaan ini menyebabkan ketiadaan kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaannya di lapangan, terkait dengan pencapaian tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. ''Mahkamah berpendapat, asas dan tujuan KKR sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU, secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,'' ungkap dia. Dengan demikian, keinginan para pemohon terkabul. ''Pasal 27 UU KKR mengenai hak pemulihan yang digantungkan pada keadaan lain, yaitu amnesti dan Pasal 44 UU KKR tentang hak korban untuk menempuh upaya hukum, bertentangan dengan UUD 1945 serta Pasal 1 angka 9 UU KKR,'' ucap dia. Meski UU KKR dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. ''Banyak cara yang bisa ditempuh, antara lain mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku secara universal,'' tandas dia. Terkait dengan keputusan itu, terjadi perbedaan pendapat. Hakim yang berbeda pendapat adalah I Gede Dewa Palguna. Menurut dia, konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan saja karena wewenang untuk memberikan amenesti. ''Menurut UUD 1945, amnesti memang merupakan kewenangan presiden, tetapi atas pertimbangan DPR sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (2) UUD 1945,'' tambah dia. Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 juga tidak sepenuhnya karena alasan yang didalilkan pemohon. Hal itu lebih karena ketentuan Pasal 27 UU KKR tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan, baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran HAM berat. (H27-48m) Kinerja Elsam di Media 2006=> 12 13 Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 MK Dinilai Langgar Ultra Petita Kali Kedua Lebihi yang Diminta Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi dinilai melanggar asas hukum ultra petita. MK dinilai melakukan tindakan hukum melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara kepadanya. Demikian dikatakan mantan Ketua Panitia Khusus DPR untuk Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Sidharto Danusubroto, Jumat (8/12) di Jakarta. Hal ini disampaikannya menanggapi putusan MK yang membatalkan UU KKR (Kompas, 8/12). AM "Yang diuji pihak korban hanya tiga pasal, tetapi malah seluruh UU-nya dibatalkan MK. Ini berlebihan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Mantan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar pun menyebut tindakan hukum MK dengan istilah legitime vorse, tindakan hukum yang melampaui kewenangan. LS Akil meminta pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang KKR. Ini sebagai jalan keluar. gE Advokat Adnan Buyung Nasution, Jumat di Jakarta, menandaskan pula, putusan MK membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dapat menimbulkan kebingungan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM selanjutnya. Pelanggaran asas ultra petita juga merupakan hal yang tabu. Mestinya MK tidak membatalkan UU itu. Putusan lebih dari yang diminta terhadap permohonan uji material sebagian pasal UU KKR merupakan yang kedua dari MK. Sebelumnya, MK membatalkan semua ketentuan dalam UU No 22/1999 tentang Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan hakim. kli pin Pembatalan UU KKR membuat penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia menjadi tidak jelas. Karena itu, Adnan meminta pemerintah lebih tegas, jelas, dan terarah dalam mengatasi persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM. Adnan Buyung tidak dapat menyalahkan putusan MK itu karena merupakan konsekuensi yuridis dari sistem hukum yang dianut di Indonesia. Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Prof Dr Indriyanto Seno Adji, menyatakan, dengan pembatalan UU KKR, berarti seluruh kasus pelanggaran HAM di negeri ini harus diselesaikan melalui pengadilan HAM. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan, dengan putusan itu proses seleksi calon anggota KKR batal. Untuk rekonsiliasi, bisa dilakukan dengan cara politik, seperti yang dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka. (sut/mzw/dwa/inu/tra) Kinerja Elsam di Media 2006=> 13 14 Jakarta Post, December 09, 2006 Law annulment raises questions about Aceh Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta The end of the Truth and Reconciliation (KKR) law raises further questions about the government's commitment to the human rights section of the Aceh peace agreement signed in Helsinki last year. Vice President Jusuf Kalla, presidential spokesman Andi Mallarangeng and Constitutional Court justice Jimly Asshidiqie had no answers when they were asked about the issue on Friday. Jimly was even vaguer in his response to the question. AM Both Kalla and Andi said that the government would have to review the verdict first and seek the opinion of the House of Representatives. LS "No, the one in Aceh is different. That has nothing to do with the KKR law. But if it does, well, I suppose the government will do something about that," he said. gE The Memorandum of Understanding (MoU) between the government and the Free Aceh Movement (GAM) states that a commission for truth and reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconciliation measures. Jimly said one of the reasons the court annulled the law was due to the inactivity in its implementation. He said President Susilo Bambang Yudhoyono had failed to abide by the law by not having established the KKR almost two years after its original April 2005 deadline. kli pin "Added with the reality that the administration has not even set up the commission, we thought we should just scrap the whole law," he said. The annulment of the KKR law has allowed President Yudhoyono, once a general in the Army, to escape, for the time being, from dealing with past human rights abuses that are believed to have involved his seniors in the military. The commission seeks investigation and possible amnesty and reconciliation regarding human rights cases from 1945 to 2000. The establishment of KKR is legally mandated in a 2000 People's Consultative Assembly decree that rules on how to deal with human rights violations. The decree is an extension of articles on human rights in the Constitution. Aceh Monitoring Mission (AMM) head Pieter Feith, whose mandate to ensure the Aceh MoU was fully met up ends on Dec. 15, said he was taking the government's word for its commitment to human rights reconciliation in Aceh, including the creation of a commission for truth and reconciliation for Aceh. But Feith added that, unsurprisingly, GAM leaders had not been pressed either the AMM or the Indonesia government on the subject. Aside from creating a reconciliation commission, the MoU also calls for the establishment of a human rights court for Aceh. Kinerja Elsam di Media 2006=> 14 15 Jakarta Post, December 09, 2006 Govt pledge to settle rights abuses questioned Ary Hermawan and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta Rights activists have condemned the government for its lack of commitment to settling unresolved human rights abuse cases and urged it to set a clear-cut agenda. "The government has no clear vision as to where rights abuse cases may lead. We must remind Yudhoyono that his administration has to be strict and clear in dealing with the issue," senior lawyer Adnan Buyung Nasution said Friday. AM The Constitutional Court scrapped Thursday a 2004 law mandating the establishment of the Truth and Reconciliation Commission (KKR), which activists and rights abuse victims had hoped would pave the way for the disclosure of rights cases before the establishment of a rights tribunal in 2000. Lawmakers and prosecutors are also at odds, over whether the latter can investigate military general accused of the kidnappings of democracy activists in 1997 and 1998. LS "The ruling shows that the government was dubious in its efforts to solve rights abuses that occurred in the past," Taufiq Basari of the Indonesian Foundation of Legal Aid Institutes said at a joint press conference. gE Buyung said the KKR bill was prematurely passed as it was secretly opposed by the government and its supporters, such as the Golkar Party, who were afraid of the legal consequences they could face if the body was established. "Many members of the Golkar party and the Nadhlatul Ulama who might have been involved (in rights abuses in the past) are worried the body will reveal the truth," he said. kli pin Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin said the people's expectation were too high and hence the gap between them and reality was inevitable. "For that reason, people always say there has been no improvement in human rights," he said. The Hong Kong-based Asian Rights Commission criticized the Indonesian prosecutors for refusing to follow up on the findings of the rights commission on the activists' abductions. "This is a denial of the fundamental obligations that Indonesia should follow as a member of the UN Human Rights Council, and as a party to the UN treaties and conventions," it said in a statement. Hamid refused to comment on the latest ruling but said that the government would have to accept it. "We will have to read a copy of the ruling first," he said. Akil Muchtar, deputy chairman of the special committee which drafted the law and deliberated it with the government, questioned the court's verdict, which he said "allows rights (violation) perpetrators to buy time". "The people, especially victims of human rights abuses and their families, should not blame the House for the long delay in the efforts to work on unresolved human rights violations in the past," he said. Lawyer Todung Mulya Lubis asked why the court had dropped the law altogether instead of just the few articles requested by the petitioners. Kinerja Elsam di Media 2006=> 15 16 kli pin gE LS AM "The House may one day review the law establishing the Constitutional Court," he said. Kinerja Elsam di Media 2006=> 16 17 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15877&cl=Berita Mengapa UU KKR ‘Dicabut’ MK? [9/12/06] Mahkamah Konstitusi kembali membuat kejutan. Seluruh materi UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Semakin memperkokoh impunitas? AM Bagi sebagian korban peristiwa-peristiwa yang bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat, kini nyaris tak ada harapan untuk menyelesaikan kasus mereka. Tak ada lagi tempat mengungkap kebenaran. Tragedi Trisakti malah menjadi bola liar politik dan bahan debat kusir antara DPR dengan Kejaksaan Agung. Kini, pintu untuk mengungkap kebenaran kembali tertutup meskipun untuk sementara. Pintu yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu harus layu sebelum berkembang. Payung hukumnya, yakni UU No. 27 Tahun 2004, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Materi UU KKR dinilai Mahkamah Konstitusi saling bertentangan. Tidak ada kepastian hukum dalam norma UU tersebut. Kalau tidak ada kepastian hukum, bagaimana mungkin bisa mengungkap kebenaran dan melakukan rekonsiliasi. LS Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa falsafah dan budaya bangsa Indonesia sangat menghargai HAM. Keanggotaannya Indonesia di Dewan HAM PBB juga menunjukkan pengakuan atas HAM yang menerima rekonsiliasi. gE Sejatinya, para pemohon yang diwakili Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan hanya meminta pengujian 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9. Pasal 27 menyebutkan: “Kompensasi dan rehabilitasi .....diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan“. Berikutnya, pasal 44 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan HAM“. Amnesti, menurut 1 angka 9, adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. kli pin Korban harus menunggu Ketua Mahkamah Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dengan dinyatakannya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bukan upaya berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Pada dasarnya banyak yang bisa dilakukan, yaitu melalui kebijakan hukum yang sesuai dengan UUD 1945 atau kebijakan politik seperti pemberian amnesti umum. Berdasarkan catatan hukumonline, amnesti umum pernah diberikan pada masa Presiden Habibie terhadap sejumlah tahanan politik dan pada masa Presiden SBY terhadap anggota GAM dengan cara memberikan kompensasi berupa tanah. Namun putusan majelis tidak bulat. I Dewa Gede Palguna menyampaikan pendapat berbeda. Menurut hakim asal Pulau Dewata ini, jika UU KKR ’dicabut’, kebenaran akan sulit diungkap. Sementara, pemulihan hak-hak korban sangat terkait dengan upaya pengungkapan kebenaran. Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan mengatakan bahwa putusan Mahkamah akan membuat korban pelanggaran HAM harus bersabar menunggu. Sebab dengan putusan itu berarti, DPR dan pemerintah harus membuat regulasi baru yang menjamin rekonsialiasi nasional berlangsung. Kinerja Elsam di Media 2006=> 17 18 ppi] [ppiindia] Korban Keganasan PKI Desak MK Cabut UU KKR Ambon Fri, 15 Sep 2006 19:12:54 -0700 AM ** Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India ** ** Situs resmi: http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Informasi Beasiswa Scholarship: http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** <br><br><a href="http://informasi-beasiswa.blogspot.com";><img src="http://feeds.feedburner.com/Info_Beasiswa.gif"; height="67" width="200" style="border:0" alt="Info Beasiswa Scholarship "/></a><br><br> http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=264825&kat_id=23 LS Jumat, 15 September 2006 20:40:00 Korban Keganasan PKI Desak MK Cabut UU KKR gE Jombang-RoL -- Kalangan masyarakat yang pernah menjadi korban keganasan PKI mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). kli pin "Undang-undang ini memberikan peluang bagi eks PKI untuk bangkit kembali setelah mendapatkan rehabilitasi. Makanya kami minta MK mencabut UU KKR ini," kata Ketua Center for Indonesian Community Studies (CICS), sebuah lembaga yang mewadahi korban keganasan PKI, Arukat Djaswadi, ditemui di sela-sela Silaturahmi Nasional Menyikapi Implementasi UU 27/2004 dalam Perspektif Integrasi Nasional di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Jumat. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa UU 27/2004 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pembentukan KKR nantinya tidak akan memiliki landasan hukum yang mengikat. Dia beranggapan, UU 27/2004 bukanlah produk hukum yang urgen dan tidak obyektif, sehingga undang-undang tersebut boleh ada dan boleh juga tidak ada. "Justru lahirnya undang-undang ini disponsori oleh PKI, padahal masih banyak elemen masyarakat di Indonesia yang masih trauma dengan keganasan PKI," ujar mantan aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) itu mengingatkan. Ia menyebutkan, dari 42 nama yang ikut seleksi sebagai anggota KKR, hanya 2,4 persen yang mewakili kelompok agama. "Ini sungguh sangat ironis, padahal ide pembentukan KKR harus memperhatikan empat faktor penting, yakni geografis, agama, suku, dan profesional. Tapi yang terjadi justru hanya sedikit kalangan agama yang dilibatkan dalam KKR," ujarnya menyayangkan. Kini dari 42 nama itu disaring lagi menjadi 21, dan tinggal menunggu petunjuk lebih lanjut dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kinerja Elsam di Media 2006=> 18 19 Sementara itu sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Anhar Gonggong, yang hadir sebagai pembicara dalam pertemuan itu menyatakan boleh-boleh saja tuntutan pencabutan UU 27/2004 dilakukan, asalkan harus ada alternatif penggantinya. "Semua pihak seharusnya mengerti, lahirnya UU 27/2004 ini dilatar belakangi oleh keinginan tokoh bangsa untuk menyudahi berbagai konflik yang selama ini terjadi. Kalau ada masyarakat yang menginginkan UU 27/2004 ini dicabut, harus ada alternatif lain yang mesti diajukan. Kalau tidak ada alternatif, besok-besok tetap saja akan ada pertikaian," ujarnya. AM Menurut dia, sebaiknya semua pihak yang bertentangan berpikir arif dan tidak memelihara perasaan dendam guna tercipta sebuah kebenaran yang dapat diterima semua pihak. LS Sebagian besar peserta Silaturahmi Nasional di Tebuireng yang didominasi kalangan akademisi dan pelaku sejarah 1960-an menentang pembentukan KKR oleh pemerintah. Namun tidak sedikit pula yang menyatakan dukungannya, selain ada juga pihak yang menginginkan UU 27/2004 direvisi sebelum KKR dibentuk. gE Selain menghadirkan sejarawan Anhar Gonggong, sejumlah tokoh lain, diantaranya mantan Wakil Ketua Dewan Revolusi yang pernah menjalani pengasingan di Pulau Buru Letkol (Purn) Heru Atmodjo, mantan Komandan Banser NU KH Yusuf Hasyim (Pak Ud), mantan anggota Komnas HAM sekaligus selaku tuan rumah KH Sholahuddin Wahid, dan kalangan akademisi dari berbagai universitas terkemuka serta pelaku sejarah dan keluarga korban keganasan PKI. antara/pur kli pin [Non-text portions of this message have been removed] Kinerja Elsam di Media 2006=> 19 20 KKR Aceh Tidak Terkait UU KKR Sabtu, 09 Desember 2006 | 01:45 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh tidak terkait dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru saja dibatalkan Mahkamah Konstitusi. AM "KKR Aceh itu lain. Ini kan KKR yang beda. Tidak terkait dengan UU KKR tapi UU Pemerintah Aceh sendiri," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie usai acara Silaturahmi Kerja Nasional ICMI di Istana Negara, Jumat (8/12). Yang jelas, ujar dia, UU KKR lama tidak bisa dirujuk karena tidak berlaku mengikat. Jika mau melakukan rekonsiliasi, ujar dia, banyak cara bisa ditempuh. Misalnya, tambah dia, dengan membuat UU KKR baru yang sesuai UUD dan instrumen internasional. Alternatif lain, ujar dia, rekonsiliasi dilakukan lewat kebijakan politik dengan mengembangkan affirmatif welfare policy. LS "Kalau masalahnya kompensasi dan keuangan pemerintah cukup bisa diambil langkah afrirmatif untuk membantu ex.PKI misalnya," ujar dia. Ia menjelaskan, pembatalan UU KKR disebabkan pasal amnesti yang menjadi roh dan mempengaruhi seluruh norma UU dibatalkan sehingga gE "Itu praktek lazim di seluruh peradilan konstitusi di seluruh dunia. Daripada dia menimbulkan masalah hukum yang lebih parah, maka seluruh UU itu dinyatakan tidak berlaku mengikat," tegas Jimly. Jika UU KKR tidak dibatalkan dengan batalnya pasal amnesti, jelas dia, justeru tujuan rekonsilitasi lebih sulit tercapai. "Tidak ada insentif bagi orang untuk mengaku, lalu ngapain orang mengaku?" Akibatnya UU itu gak bisa jalan dalam praktek. Lagipula, ujar dia, amanat UU KKR agar pembentukan KKR dibentuk dalam 8 bulan tidak bisa direalisasikan hingga sekarang. "Ada norma hukum yang tidak berjalan taktis di lapangan. Ini juga membahayakan image hukum." kli pin Ia menolak mengomentari pembatalan UU KKR menimbulkan kekhawatiran akan sulit penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. "Saya dilarang komentari putusan sendiri." Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan terdiri dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam mengajukan gugatan uji material UU KKR. Yang dianggap tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak itu antara lain hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR) dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR). Tim juga menggugat pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 sebagai dasar negara juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia. "Amnesti tidak dapat diberikan terhadap pelanggaran HAM yang berat," kata Taufik. Kinerja Elsam di Media 2006=> 20 21 Suara Pembaruan, Sabtu, 09 Desember 2006 UU KKR Dicabut MK Melanggar Prinsip Hukum [JAKARTA] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) karena bertentangan dengan UUD 1945 merupakan putusan yang melanggar asas hukum. AM "Hakim-hakim MK telah mencederai lembaga MK itu sendiri. Putusan MK itu telah secara nyata melanggar larangan yang bersifat universal atau sebagai azas hukum bahwa hakim dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH kepada Pembaruan, di Jakarta, Jumat (8/12). Sebagaimana diberitakan, putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR yang diajukan oleh Asmara Nababan dkk. Pemohon mengajukan uji materiil atas Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1 angka 9 UU KKR. LS Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945. gE Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 I Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 (Pembaruan, 8/12). kli pin Petrus mengatakan, putusan itu sesungguhnya mengindikasikan adanya konspirasi antara MK sebagai lembaga peradilan tertinggi di bidang yudikatif selain Mahkamah Agung dengan lembaga kepresidenan. Konspirasi itu bertujuan untuk melepaskan tanggung jawab hukum dan moral dari negara terhadap para korban pelanggaran HAM masa lalu. Memikul Selain itu, tambahnya, negara sesungguhnya tidak sudi memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lampau. Hal ini bisa dilihat dengan tidak kunjung selesainya proses penetapan 21 dari 42 nama hasil seleksi panitia untuk calon anggota KKR meskipun telah lewat masa waktu yang ditetapkan UU. Putusan itu juga merupakan ancaman serius bagi eksistensi fungsi legislasi DPR dan sekaligus telah melecehkan hak-hak para korban para pelanggaran HAM. Sementara itu sejumlah aktivis dari Koalisi LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Demos, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Imparsial dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Jumat (8/12) menyatakan, putusan MK itu harus dilihat sebagai bukti atas ketidakjelasan sikap pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia. "Putusan MK menunjukkan bahwa UU yang dihasilkan pemerintah bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip penegakan HAM dan pemenuhan hak yang telah diakui secara universal," kata Taufik Basari SH dari YLBHI. Kinerja Elsam di Media 2006=> 21 22 Para aktivis itu mengharapkan, penyelesaian pelanggaran berat HAM dimasa lalu merupakan kewajiban konstitusional. Putusan MK atas pembatalan UU KKR itu harus ditafsirkan sebagai keharusan bagi pemerintah, DPR dan masyarakat untuk segera menyelesaikan problem pelanggaran berat HAM. Dalam penyelesaian tersebut penting untuk tetap memperhatikan hak-hak korban, seperti hak atas reparasi, hak atas keadilan dan hak atas kebenaran dan jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak terulang kembali dimasa depan. AM Taufik mengatakan, mereka menolak jika penyelesaian keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM dimasa lalu tersebut ditempuh dengan mekanisme politik, seperti pemberian rehabilitasi semata. Perlu ditegaskan, pemberian rehabilitasi tidak terlepas dari penyelesaian yang menyeluruh dengan bersama-sama perlu dilakukan penuntutan dan pengungkapan ke- benaran. "Kami menegaskan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai sebuah keharusan. Selain telah terjamin dalam konstitusi, sesungguhnya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM bisa dilakukan lewat pengadilan HAM," katanya. kli pin gE Last modified: 9/12/06 LS Oleh karena itu, pasca putusan MK tersebut pemerintah dan DPR harus menunjukkan komitmennya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, katanya. [E-8] Kinerja Elsam di Media 2006=> 22 23 Suara Pembaruan, Senin, 11 Desember 2006 Presiden, MA, dan DPR Perlu Perhatikan Kinerja Hakim MK [JAKARTA] Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA) perlu memperhatikan kinerja hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah keputusan MK yang dinilai malah bertentangan dengan peraturan yang ada. "Kinerja hakim-hakim MK perlu diperhatikan, terutama bertolak dari berbagai keputusannya terhadap dampak yang ditimbulkan," ujar Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR membidangi hukum,Perundanundangan dan HAM DPR-RI kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (11/12). AM Dia dimintai tanggapannya terkait adanya sejumlah putusan MK yang dinilai blunder, termasuk putusan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Gayus, produk terakhir putusan MK yang blunder yakni dibatalkannya UU KKR. Dia mengatakan, MK telah salah dalam menjatuhkan putusannya dengan membatalkan UU KKR. Bahkan putusan itu melanggar UU 24 tahun 2004 tentang MK khususnya pasal 45 ayat 2 dan pasal 51 ayat 3 butir a. LS "Menurut pasal 45 ayat 2 UU MK, putusan MK yang mengabulkan harus didasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti," ujar Gayus. gE Artinya, lanjut dia, seharusnya yang diajukan uji materiil saja yang seharusnya menjadi keputusan MK. Kemudian dalam pasal 51 ayat 3 huruf a menyebutkan, pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan pada huruf b hanya soal materi muatan dalam ayat, pasal, dan bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945. kli pin "Dari kedua hal tadi oleh pemohon hanya dimohonkan sesuai ketentuan huruf b saja yaitu Pasal 1 angka 9, pasal 27, dan pasal 44. Pada permohonan itu tidak memohonkan untuk menguji pembentukan UU terhadap UUD sebagaimana diatur pada pasal 51 ayat 3 hurup a," papar Gayus. Oleh karenanya dapat dipandang bahwa MK telah menjatuhkan putusannya tidak sesuai dengan kewenangannya yang diatur pada UU MK dengan membatalkan UU KKR. [Y-4] Last modified: 11/12/06 Kinerja Elsam di Media 2006=> 23 24 Kompas, Selasa, 12 Desember 2006 Sidang Dewan HAM PBB Hak Asasi Dimulai sejak Sarapan Pagi Budiman Tanuredjo Tanggal 10 Desember 2006 adalah Hari Hak Asasi Manusia atau HAM Internasional. Lima puluh enam tahun lalu, Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Mungkin karena bertepatan dengan hari Minggu, tidak ada peringatan khusus untuk memperingati Hari HAM itu. "Ya, mungkin karena jatuh pada hari Minggu," kata Norbert Barlocher, Wakil Kepala Seksi Kebijakan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri Swiss di Bern, Minggu (10/12). AM Di Bern, ibu kota Swiss, tampak Amnesti Internasional membuka tenda penggalangan dana. Di Geneva, ruang Sidang Dewan HAM PBB di Palais des Nations kembali sepi. Persidangan ketiga Dewan HAM yang digelar maraton 27 November-8 Desember 2006 telah berakhir. "Empat resolusi dan tiga keputusan dihasilkan Dewan HAM," kata Benny YP Siahaan, Sekretaris Satu Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Dewan HAM PBB di Geneva. LS Dewan HAM dibentuk berdasarkan Resolusi PBB No 60/251 menggantikan Komisi HAM PBB yang dikritik karena terlalu sering melakukan politisasi dan menerapkan standar ganda. Komisaris Tinggi HAM PBB Louis Arbour menganggap lahirnya Dewan HAM sebagai revolusi di bidang HAM meski bagi ahli hukum dari Institut Studi Internasional Geneva, Andrew Clapham, pernyataan Arbour terlalu dini karena usia Dewan HAM belum setahun. gE Ahli hukum Andrea Bianchi dari universitas yang sama pun meragukannya. "Sebagai bagian dari reformasi PBB, terbentuknya Dewan HAM terlalu kecil untuk bisa berperan dalam penghormatan HAM," katanya. kli pin Wakil Tetap RI di Dewan HAM PBB Makarim Wibisono melihat dari sisi kelembagaan mungkin memang bisa disebutkan revolusioner. Dewan HAM dibentuk Majelis Umum PBB dengan anggota 47 negara, sementara Komisi HAM dibentuk Dewan Ekonomi Sosial PBB. Adapun Duta Besar Puja Wesaka dari Perwakilan Tetap RI di Geneva mengatakan, Komisi HAM PBB dalam masa hidupnya selama 61 tahun melahirkan lima special session, sementara Dewan HAM yang baru bersidang tiga kali akan menghasilkan empat special session. Terakhir, dibentuk special session untuk Darfur, Sudan. Lepas dari kritik atas lambatnya pembentukan kelembagaan itu, Dewan HAM harus mampu mengawal amanat untuk menuju keadaan dunia sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM 1948 yang disebut John Humphrey, mantan Direktur Komisi HAM PBB, sebagai Magna Charta Umat Manusia. Deklarasi itu disahkan 10 Desember 1948, tanpa suara penolakan. Menurut Humphrey, tujuh negara— semua negara komunis yang menjadi anggota PBB, Arab Saudi, dan Afrika Selatan—memberikan suara abstain. Deklarasi HAM itu disepakati sebagai standar pencapaian HAM yang lalu diturunkan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Lalu bagaimana kondisi dunia sekarang? Julia Hauserman, mantan Sekjen Right and Humanity, pada tahun 1991 dengan mengutip laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan menyebut, "Kita hidup dalam sebuah dunia paradoks yang kejam, Hampir 1/5 penduduk dunia hidup dalam kemiskinan mutlak, melarat, kumuh, dan sengsara, yang benar-benar tidak dapat diterima. Mereka hanya berjuang demi kelangsungan hidup. Kelaparan menjadi keseharian mereka." Kini, tahun 2006, keadaan belum banyak berubah. Kemiskinan tetap menjadi potret riil mayoritas penduduk dunia. Kelaparan masih bisa dijumpai. Pendidikan tak sepenuhnya bisa diikuti anak usia sekolah. Akses ke kesehatan tetap menjadi masalah besar. Pertemuan pemimpin dunia yang melahirkan Millennium Development Goals melahirkan tekad bersama untuk mengurangi kemiskinan. Kini dunia Kinerja Elsam di Media 2006=> 24 25 dihadapkan pada ancaman terorisme. Dunia menyaksikan penanganan terorisme seperti di Guantamao, Bagram, dan sejumlah penjara rahasia yang dilakukan CIA di negara Eropa. Di Tanah Air, potret serupa masih bisa dijumpai: kemiskinan, pengangguran, akses kepada pendidikan dan kesehatan yang merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang masih tertelantarkan, sementara korban pelanggaran HAM gagal mencari keadilan, terlebih setelah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) gugur sebelum lahir. Mahkamah Konstitusi menjadi jagal kelahiran KKR yang prosesnya amat lambat. AM Sejumlah mahasiswa eks ikatan dinas (mahid) masih tinggal di sejumlah negara Eropa karena paspor dan kewarganegaraan mereka dicabut pemerintahan awal Orde Baru. Sobron Aidit saat meluncurkan cerpennya di Jakarta beberapa waktu lalu, menulis, untuk dapat kembali ke Indonesia ia harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Sobron Aidit berkewarganegaraan Perancis dan tinggal di Paris. Belum ada penyelesaian konkret meskipun telah empat presiden setelah Soeharto menjabat. Dari sarapan pagi gE LS Bicara soal HAM adalah bicara soal dua hal. Menarik yang dikatakan mantan Presiden Senegal Leopold Senghor, yang sering dikutip orang, HAM itu dimulai dengan sarapan pagi. Itu berarti, untuk kelangsungan hidup manusia, butuh makanan yang cukup, air bersih, papan, dan perawatan kesehatan. "Memerhatikan setengah dari HAM sama dengan memerhatikan setengah kemanusiaannya," tulis Julia Hauserman dalam buku Human Right (1991) yang disunting Pieter Davies. Kenyataan itu paling tidak memberikan gambaran, kebebasan sipil dan politik tetap membutuhkan roti. "Apa artinya demokrasi kalau tak ada roti," kata Mulya Lubis, suatu saat. kli pin Pekerjaan rumah tampaknya masih harus dikerjakan dunia yang sedang bergerak dan berubah. Seperti ditulis Pangeran Sadruddin Aga Khan, pendiri The Independent Commission on International Humanitarian Issue, "Kita hidup dalam suatu periode antara senja dan subuh. Kita telah meninggalkan dunia kemarin, tetapi kita belum lagi sepenuhnya memahami dunia esok." Masa senja itu kini mewujud dalam dunia yang di ambang peperangan di Palestina, Irak, dan Lebanon. Sementara kemiskinan menjadi potret riil. Dunia seakan kehilangan visi humanisme universal. Humanisme adalah orientasi dasar ke arah kesejahteraan seluruh bangsa manusia. Ia menuntut apa saja yang menyimpang dari kesejahteraan manusia harus dipertanyakan, terlepas dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, kekuasaan politik, atau kestabilan suatu tatanan. Geneva yang sedang kedinginan perlu mereaktualisasi visi humanisme universal, bukan hanya sekarang perpolitikan dan semangat retaliasi. Humanisme harus ditempatkan pada tempatnya yang sah sebagai pusat perhatian budaya dan peradaban. Kinerja Elsam di Media 2006=> 25 26 Kompas, Selasa, 12 Desember 2006 DPR Akan Undang MK untuk Bahas Pembatalan UU Komisi III Diminta Jadwalkan Rapat Jakarta, Kompas - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat diminta segera menjadwalkan rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi atau MK sehubungan dengan banyaknya putusan lembaga itu yang membatalkan sejumlah pasal dalam undang-undang atau UU, bahkan keseluruhan UU. Yang terakhir, pekan lalu, MK membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. AM Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Senin (12/11), menyatakan hal itu. Langkah ini perlu segera diambil karena keputusan MK ini berdampak luas pada masyarakat dan bisa menimbulkan kekosongan hukum. "Kita berharap di kemudian hari hal-hal seperti ini lebih dipertimbangkan secara komprehensif," ujar Agung kepada pers, Senin kemarin. LS Ketua dan Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Al Muzammil Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang dihubungi terpisah, mengapresiasi pandangan Agung tersebut. Menurut keduanya, setelah DPR kembali bersidang pada Januari 2007, rapat konsultasi dengan MK akan segera diagendakan. gE Menurut Al Muzammil, saat ini pun sudah berkembang pemikiran untuk membatasi kewenangan MK dengan merevisi UU No 24/2003. Dalam hal-hal tertentu, MK tak bisa membatalkan begitu saja undangundang. kli pin Pertama, MK tak bisa membatalkan pasal-pasal yang disetujui DPR secara aklamasi. Kedua, putusan MK untuk membatalkan UU juga harus disetujui aklamasi atau mayoritas mutlak, yaitu delapan suara banding satu. Pasca dibatalkannya UU KKR oleh MK, Agung berpendapat, kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. (sut) Kinerja Elsam di Media 2006=> 26 27 Kompas, Selasa, 12 Desember 2006 Robohnya Undang-undang Kami Asvi Warman Adam Mahkamah Konstitusi atau MK, Kamis (7/12) lalu, membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU KKR. Menurut MK, UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebuah wahana penyelesaian masa lalu yang telah diupayakan sejak tahun 2000 tiba-tiba mati di tengah jalan. Uji materi yang diajukan hanya menyangkut beberapa pasal dari UU KKR, namun MK menghapuskan seluruh isi UU itu. AM Gagasan pembentukan KKR dimulai sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid. Ide awalnya berpusat pada konsep keadilan transisional (transitional justice). LS Pada masa transisi—dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi—tidak semua peristiwa kekerasan masa lalu bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kalaupun dapat, itu akan memakan waktu lama. Karena itu, dipilih mekanisme KKR yang bersifat ekstra yudisial, melengkapi pengadilan HAM ad hoc yang telah ada sebelumnya. Sebab, tidak semua pelanggaran HAM berat itu dapat diselesaikan melalui pengadilan. Periodisasi gE KKR melakukan penelitian tentang pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan. Sayang, dalam UU KKR tak ada batas tegas. Namun, karena yang diselidiki adalah pelanggaran HAM oleh bangsa Indonesia terhadap bangsa Indonesia, maka wajar jika itu dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. kli pin Tidak semua pelanggaran HAM selama 1945-2000 bisa diteliti. Dalam KKR Timor Leste, mereka mendaftar pelanggaran HAM 1975-1999 karena wilayahnya relatif sempit. Dapat ditambahkan, yang terkait KKR hanya kasus yang melibatkan negara. Konflik murni antar-etnis atau perang antarkampung tidak termasuk. Menurut hemat saya, periodisasinya dapat dibagi menjadi 1945-1955, 1956-1965, 1966-1975, 1976-1985, 1986-1995, 1996-2000. Pada setiap interval dekade itu dipilih satu-dua kasus yang menonjol. Kriteria pemilihan kasus minimal tiga, yaitu relevansi, signifikansi, dan keterwakilan. Hanya peristiwa yang relevan dengan pelanggaran HAM yang dimasukkan. Sebagai sejarawan, saya mendukung pembentukan KKR. Dengan demikian, sejarah Indonesia yang gelap dan digelapkan sejak 1945 dapat terungkap. Di sisi lain, langkanya ketersediaan dokumen tertulis yang tampaknya belum menjadi budaya di negeri kita dapat ditanggulangi dengan metode sejarah lisan melalui wawancara terhadap korban dan pelaku. Bagi korban yang sudah berusia 70 hingga 80-an tahun, ini sekaligus menjadi healing atas trauma mereka yang puluhan tahun. Perjalanan panjang UU KKR sebetulnya melalui proses amat panjang dan berliku- liku. Di kalangan aktivis LSM semula ada perbedaan pendapat. Munir (alm) yang memimpin Kontras sempat tidak setuju karena KKR dinilai menciptakan impunitas baru. Demikian pula dengan sebagian korban. Namun, setelah diskusi dan sosialisasi, dicapai kesepahaman. Setelah disusun Departemen Hukum dan HAM, draf RUU ini sempat tertahan lama di Sekretariat Negara. Proses di DPR juga lambat (Juli 2003 sampai Agustus 2004) dan tidak Kinerja Elsam di Media 2006=> 27 28 mudah. Fraksi TNI, misalnya, mengusulkan undang-undang itu terbatas rekonsiliasi saja tanpa pengungkapan kebenaran. UU ini akhirnya disetujui DPR dan disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri, September 2004. April 2005 mulai dilakukan seleksi pemilihan anggota KKR. Setelah melewati beberapa tahapan, akhirnya panitia menetapkan 42 orang sebagai calon anggota. Presiden akan memilih 21 orang dari jumlah itu dan menyerahkan kepada DPR. Namun, berbulan-bulan kemudian keputusan belum juga diambil oleh Presiden Yudhoyono. Kritik di koran selalu muncul mendorong pembentukan lembaga ini, namun tidak digubris. Uji materi telah diajukan kepada MK dan tanpa diduga, hasilnya sangat mengenaskan. UU itu telah dibunuh sebelum komisi tersebut sempat terbentuk. AM Atas keadaan itu, penegakan HAM di Indonesia kembali ke titik nol. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Di sini mungkin yang disetujui negara dalam rangka menyeret pelanggar HAM berat, hanya sekadar membagi-bagikan stiker di jalanan. kli pin gE LS Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI; International Witness dalam Sidang KKR Timor Leste, Maret 2004 Kinerja Elsam di Media 2006=> 28 29 Kompas, Rabu, 13 Dec. 06 Adili Segera Pelanggar Hak Asasi Jangan Tunda Pengadilan Ad Hoc Jakarta, Kompas - Berkaitan dengan pencabutan semua pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, keluarga korban kekerasan politik dan penghilangan paksa serta korban kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi menuntut pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia. AM Bagi mereka, pembatalan undang-undang (UU) itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tak berarti mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu tertutup. Justru sebaliknya, pembatalan itu merupakan peluang bagi munculnya mekanisme luar biasa, misalnya melalui pengadilan ad hoc. Apalagi, pengungkapan kebenaran, pemulihan hak korban, dan keadilan adalah bentuk yang mutlak diberikan kepada korban dan keluarganya. "Selain itu, pemenuhan hak korban itu tak bisa ditawar-tawar, apalagi dipertukarkan," tutur Sumarsih, ibu Wawan, korban Tragedi Semanggi, Selasa (12/12) di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta. gE Tidak berpihak LS Ruminah, yang kehilangan Gunawan anak ketiganya pada kerusuhan di kawasan Klender, Jakarta Timur pada 14 Mei 1998, mengungkapkan, hadirnya pengadilan ad hoc menjadi penting bagi mereka. Apalagi, hingga saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang sudah disidik dan diperiksa justru macet di Kejaksaan Agung. Prosedur penanganan pelanggaran HAM di negara ini dinilai belum berpihak kepada korban dan keluarganya. Ho Kim Ngo, ayah Yun Hap yang tewas pada kerusuhan di Semanggi, menuturkan, DPR dan Jaksa Agung selalu saling melempar tanggung jawab kasus pelanggaran HAM itu. kli pin "Jaksa Agung tampak tak berpihak pada perjuangan pembelaan HAM. Saat peringatan hari HAM, ia tak ikut turun ke jalan, tetapi saat kampanye antikorupsi ia turun ke jalan. Jaksa Agung tidak pernah fokus pada perkara pelanggaran HAM," ungkap Ho Kim Ngo. Keinginan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM agar pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM, menurut anggota Komnas HAM, Enny Soeprapto, adalah wajar. Bahkan, langkah itu menurut UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM adalah yang paling sesuai. "Apalagi, setelah mekanisme ekstrajudisial tak bisa dilakukan dan pengadilan umum biasa tidak bisa melakukannya," kata Enny. Ia mendukung pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu. Keadilan bagi korban harus diwujudkan dan bukan masanya lagi rakyat Indonesia terus hidup dalam transisi yang tidak berkesudahan. (JOS) Kinerja Elsam di Media 2006=> 29 30 Kompas, Rabu 13 December 2006 Ditagih Janji, Yudhoyono Selesaikan HAM [JAKARTA] Korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu di Indonesia mendesak pemerintah segera membentuk pengadilan HAM ad hoc dan permanen atas kasuskasus pelanggaran HAM. Pembentukan pengadilan seperti itu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara (pemerintah) atas hak-hak korban dan keluarga korban. Demikian seruan sekitar 30 korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dalam kasus Mei 1998, kasus Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penghilangan Paksa 1997/1998, kasus 1965 dan kasus Talangsari Lampung dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/12). AM Mereka menggugat komitmen politik Presiden Yudhoyono dan pemerintah atas penyelesaian kasus-kasus HAM sesuai janji-janjinya. Pemerintah harus menjadikan hal ini sebagai agenda penting bagi proses pelurusan sejarah. Keterlibatan masyarakat luas, akademisi, kelompok agama menjadi hal yang penting. "Kami tetap mendesak negara untuk menjalankan kewajiban konsitusionalnya, yaitu memenuhi hak-hak kami berupa kebenaran, keadilan dan pemulihan," katanya. LS Mereka juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan terobosan-terobosan yang dapat menjamin keadilan dan pemenuhan hak-hak mereka. "Penuntasan kasus-kasus ini harus dilakukan secara khusus dan luar biasa," kata Ny Sumarsih, keluarga korban kasus Semanggi. gE Menurut mereka, pengalaman pengadilan HAM Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura yang membebaskan para pelaku serta tidak memberikan reparasi bagi korban, harus menjadi alat koreksi mekanisme pengadilan HAM, agar ke depan dapat bekerja secara efektif dengan didukung oleh komitmen politik yang penuh dari seluruh aparatur negara. kli pin Tidak ada alasan lain bagi Kejaksaan Agung untuk tidak melakukan penyidikan atas kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Mei 1998, penculikan aktivis 1997/1998, Wasior dan Wamena. "Sementara Komnas HAM harus membuka kebenaran atas apa yang terjadi sesungguhnya pada peristiwa 65," kata Sumarsih. Menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pembatalan UU ini tidak menutup mekanisme lain bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Penyusunan mekanisme KKR ini sejak awal, sudah menunjukkan upaya-upaya untuk memangkas hak-hak korban dan keluarga korban, serta lebih menitikberatkan pada proses rekonsiliasi. "Dengan tegas korban pelanggaran HAM menolak UU ini, seperti yang disampaikan kepada Pansus RUU maupun kepada publik," kata Sumarsih. Dikatakan, bagian terpenting dari upaya penyelesaian masa lalu adalah pengungkapan kebenaran, perwujudan keadilan yang bermakna menghentikan praktek impunitas dan pemulihan hak-hak korban yang meliputi rehabilitasi dan kompensasi dan jaminan tidak berulangnya kembali peristiwa tersebut. Hakhak fundamental ini bersifat mutlak dan harus dijamin negara, dalam bentuk atau mekanisme apa pun. Menurut Sumarsih, yang juga didukung sepenuhnya oleh mekanisme hukum internasional dan universal adalah hak-hak korban ini bersifat mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar apalagi dipertukarkan. Tanpa adanya jaminan dan pemenuhan hak-hak korban ini maka rekonsiliasi hanya menjadi rekonsiliasi semu dan hanya menjadi alat politik kekuasaan yang ditegakkan diatas genangan darah korban. Batas Kewenangan Kinerja Elsam di Media 2006=> 30 31 Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Pansus Pembentukan UU MK Sidarto Dhanusubroto mengatakan, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah melewati batas kewenangannya dari yang ditetapkan UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Terutama dalam sejumlah putusan kontroversial yang mereka ambil. "Sejumlah anggota DPR sepakat agar pembahasan revisi UU MK dilakukan segera. Terutama memperjelas batas-batas kewenangan hakim-hakim MK," ujar Ketua Pansus Pembentukan UU MK, Sidarto kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (11/12). AM Dia sangat menyesalkan kinerja sembilan hakim MK yang dinilainya sudah melewati batas kewenangan. terutama ketika membatalkan UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) dan juga putusan MK yang mengebiri kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan para hakim. Juga saat MK memangkas kewenangan KPK ketika merevisi pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Tetapi keputusan paling parah dan lucu adalah dibatalkannya UU KKR. Sebab yang dimohonkan uji materiilnya hanya tiga pasal, ternyata MK malah membatalkan seluruh UU itu," kata Sidarto. kli pin gE Last modified: 13/12/06 LS Dia mengistilahkan, hakim- hakim MK telah melanggar asas ultra petita. Yakni asas hukum yang melarang hakim memutus lebih dari apa yang dimohonkan oleh para pihak di dalam petitumnya.Dalam hal UU KKR, yang diminta uji materinya hanya atas tiga pasal saja. [E-8/Y-4] Kinerja Elsam di Media 2006=> 31 32 Kompas, Jumat, 15 December 2006 Kuat, Keinginan DPR untuk Merevisi Undang-Undang MK Jakarta, Kompas - Keinginan untuk merevisi Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menguat di Dewan Perwakilan Rakyat. Dorongan ini muncul setelah MK dinilai banyak melakukan tugas yang melampaui kewenangan yang dimilikinya dan juga melanggar prinsip-prinsip hukum. Kasus terakhir, MK membatalkan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Padahal, pasal yang diajukan pemohon untuk diuji materi oleh MK hanya tiga pasal. AM Sejumlah anggota DPR menilai langkah itu melanggar prinsip hukum ultra petita. MK dinilai melakukan tindakan hukum yang melebihi apa yang diminta para pihak yang mengajukan perkara kepadanya. "Keinginan untuk merevisi UU MK itu sangat kuat," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Arbab Paproeka, Kamis (14/12). LS Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin dari Fraksi Partai Golkar juga mengakui adanya gelagat itu. "Pemikiran ke arah sana ada, tetapi harus dirapatkan dahulu, baik dalam pimpinan serta dalam pleno," ucapnya, di tempat terpisah. gE Menurut Arbab, MK juga telah melanggar prinsip-prinsip peradilan. MK, misalnya, pernah memutus perkara yang menyangkut dirinya sendiri. MK memotong kewenangan Komisi Yudisial, khususnya dalam melakukan pengawasan perilaku hakim konstitusi. Salah satu pemikiran yang berkembang, kata Arbab, dalam UU MK nanti kewenangan MK akan lebih diperinci, khususnya mana yang boleh dan tidak dilakukan. "Seharusnya prinsip-prinsip hukum itu sudah menjadi pemahaman hakim konstitusi, tetapi karena mereka mengabaikan harus diatur lebih tegas," paparnya. kli pin Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al Muzammil Yusuf beberapa waktu lalu juga menyampaikan pemikiran yang hampir senada. Dalam hal-hal tertentu, kata dia, MK tidak bisa membatalkan pasal-pasal yang sudah disetujui secara aklamasi oleh DPR. Keputusan MK untuk membatalkan UU secara keseluruhan pun harus diputuskan MK dengan suara bulat atau mayoritas mutlak, yaitu delapan banding satu suara. (sut Kinerja Elsam di Media 2006=> 32 33 Kompas, Selasa 19 December 2006 Seleksi KKR Dihentikan Fadjroel: Ada Kesamaan Berpikir antara Presiden dan MK Jakarta, Kompas - Dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan seleksi 42 calon anggota KKR. "Dengan pembatalan UU KKR oleh MK, proses seleksi 42 calon anggota KKR dihentikan dan tidak akan dibawa ke proses politik di DPR," ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Senin (18/12). AM Yusril mengakui, pembatalan UU KKR melalui putusan MK secara akademis dapat diperdebatkan. Namun, putusan MK final dan berkekuatan hukum tetap. LS Meskipun pembentukan KKR tertuang dalam Tap MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang hingga kini belum dicabut, Yusril mengemukakan, ketetapan itu dianggap selesai setelah keluar UU KKR. Itu juga yang terjadi dengan Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang TNI. gE Pembentukan KKR merupakan prakarsa sejumlah tokoh yang dimotori Abdurrahman Wahid pada 26 Agustus 1998. Desember 1998, laporan akhir tahun Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) merekomendasikan pembentukan KKR. Sejak November 1999, pemerintah menyiapkan draf RUU KKR. UU No 27/2004 tentang KKR baru ditetapkan pada akhir pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. kli pin Presiden Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden No 7/2005 tentang panitia seleksi pemilihan anggota KKR, Maret 2005. Lima bulan kemudian, dari 1.447 calon yang lolos seleksi awal tersaring 160 orang pada seleksi tahap kedua. Tahap berikutnya dinyatakan 42 calon lolos seleksi dan diserahkan kepada Presiden, Agustus 2005. Satu tahun empat bulan, 42 calon dibiarkan tak ditindaklanjuti Presiden hingga MK membatalkan UU KKR. Mengenai KKR ini , Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak awal melihat pembentukan KKR sebagai ide yang muncul karena sikap emosional yang menganggap masa lalu banyak pelanggaran dan konflik. Pengadilan ad hoc Menurut Yusril, setelah pembatalan UU KKR, korban dapat menempuh proses hukum normal melalui pengadilan hak asasi manusia (HAM) atau Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus-kasus di masa lalu. "Pengadilan HAM Ad Hoc adalah langkah kompromi atas prinsip hukum tidak berlaku surut. Namun, untuk menempuh cara itu sangat sulit, terutama soal pembuktian," ujarnya. Tuntutan rekonsiliasi, menurut Yusril, lebih baik dilakukan secara alamiah tanpa formalitas pembentukan komisi. "Pembentukan komisi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan orang untuk diminta keterangannya justru potensial membawa konflik baru. Terhadap Westerling saja kita bisa melupakan, kenapa dengan bangsa sendiri kita tidak bisa," ujarnya. Kinerja Elsam di Media 2006=> 33 34 Sikap masa bodoh Satu dari 42 calon anggota KKR, Fadjroel Rachman, menilai komentar Yusril merupakan cerminan sikap masa bodoh pemerintah terhadap KKR. "Kesalahan utama ada di Presiden yang terus ragu-ragu lebih dari satu tahun sehingga KKR tidak sempat eksis dan berperan. Bagi Presiden, pembentukan KKR dilihat tidak ada untungnya. Saya melihat ada kesamaan berpikir antara Presiden dan MK dalam hal ini," ujarnya. kli pin gE LS AM Ia khawatir era transisi di Indonesia tidak akan membawa hasil memuaskan lantaran upaya menghalangi penjahat HAM melalui KKR dibatalkan. (INU) Kinerja Elsam di Media 2006=> 34 35 Kompas, Selasa, 26 December 2006 Putusan MK Akan Dikaji Proses Legislasi Mengecewakan Jakarta, Kompas - Pemerintah masih mengkaji langkah yang akan dilakukan menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah tidak ingin putusan MK serupa terulang lagi pada UU Pengadilan Tipikor yang akan disusun nanti. AM Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sardan Marbun, di Jakarta, akhir pekan lalu. Meski belum menentukan sikap, katanya, pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mengatakan pula, pemerintah ingin pemberantasan korupsi tidak terhambat. LS Pemerintah, lanjut Marbun, akan membuat undang-undang yang lebih keras terhadap koruptor. Meski dinilai Undang-Undang Pengadilan Tipikor cukup mendesak, hal itu tidak cukup memaksa dan genting hingga membutuhkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Bahkan, waktu tiga tahun dianggap terlalu panjang untuk membuat UU tersebut. gE Menanggapi putusan MK itu, sebelumnya sejumlah kalangan mengusulkan pembentukan Perpu Pengadilan Tipikor sebagai langkah cepat terhadap kondisi Pengadilan Tipikor yang inkonstitusional. Adnan Buyung Nasution dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi menyuarakan perlunya Presiden Yudhoyono menerbitkan perpu (Kompas, 21/12). Namun, KPK berpendapat, putusan MK tidak berpengaruh secara yuridis formal terhadap kasus yang sedang diusut KPK. Proses hukum tetap berjalan hingga UU Pengadilan Tipikor yang sesuai keputusan MK terbentuk. kli pin Potensi korupsi Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Denny Indrayana, Senin (25/12), mengemukakan, dibatalkannya sejumlah undang-undang oleh MK tidak hanya menandakan lemahnya kemampuan teknis DPR dalam pembuatan peraturan, tetapi juga mencerminkan potensi korupsi dalam proses legislasi di DPR. "Korupsi dalam proses legislasi membuat pasal-pasal yang disusun lebih banyak merupakan hasil kompromi. Sehingga, saat ditinjau dari segi hukum, beberapa di antaranya menjadi tidak sesuai," katanya. Desember ini, setidaknya ada dua undang-undang yang dibatalkan MK, yakni UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pasal 53 UU No 30/2002 tentang KPK yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Ide pemilihan umum tanpa nomor urut, menurut Denny, dapat mengurangi potensi korupsi di DPR. Sebab, sistem itu akan mengurangi peran partai politik yang merupakan lembaga korup dan menjadikan anggota DPR lebih memerhatikan pemilihnya. Hanif Susanto dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan menuturkan, sistem pendukung di DPR memang harus diperkuat karena kemampuan lembaga itu dalam proses legislasi masih mengecewakan. Menurut Wakil Ketua Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR Lukman Hakim Syaifudin, rendahnya kemampuan legislasi DPR terkait dengan proses seleksi memasuki lembaga itu. "Di masa Orde Baru, ada Kinerja Elsam di Media 2006=> 35 36 kli pin gE LS AM mesin politik untuk menyaring seseorang masuk ke parlemen. Itu sekarang tidak ada lagi," kata Lukman. (idr/NWO) Kinerja Elsam di Media 2006=> 36 Kompas, Senin 15 May 2006 Kerusuhan Mei, Prahara yang Tak Lekang BE Satrio Delapan tahun berlalu, upaya tiga pemerintahan, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mengungkap kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mata publik tidak memuaskan. Ada keengganan pemerintah membuka lembaran hitam sejarah itu, berharap waktu akan menenggelamkan kasus itu dari benak publik. LS AM Kerugian akibat kerusuhan Mei 1998 tak hanya benda akibat penjarahan atau bangunan akibat perusakan dan pembakaran. Korban pun berjatuhan, baik korban jiwa, korban tindak kekerasan di jalan-jalan, maupun korban pelecehan hingga penganiayaan seksual. Hasil penelitian Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyebutkan angka korban kekerasan seksual yang berhasil dikonfirmasi saja mencapai 168 orang, 20 di antaranya sudah meninggal. Dari jumlah tersebut, 152 orang tercatat di Jakarta, 16 lainnya dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Jumlah ini belum termasuk korban yang tidak dikonfirmasi, yang angkanya mungkin ribuan. gE Untuk mengungkap peristiwa kerusuhan itu, pemerintahan BJ Habibie pada Juli 1998 kemudian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan ABRI, pejabat sipil, Komnas HAM, dan LSM. Dalam waktu singkat kemudian TGPF memberikan rekomendasi agar pemerintah segera menindaklanjuti temuan mereka. Materi akhir TGPF mengarah pada adanya kesalahan yang dilakukan institusi pemerintah dan militer. kli pin Sayangnya, hasil temuan TGPF tidak juga ditindaklanjuti. Baru dua tahun kemudian dibentuk Komisi Pelanggaran (KPP) HAM Kerusuhan Mei, setelah ada desakan dari Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Kerusuhan Mei, Semanggi I dan II. Pada saat itu pemerintahan telah beralih kepada Abdurrahman Wahid. Namun, salah satu tokoh demokrasi di Indonesia ini pun dipandang oleh publik tidak cukup serius menangani kasus besar tersebut. Dalam jajak pendapat Kompas Mei 2000, hanya 40,8 persen responden yang menyatakan kepuasannya, sementara yang berpendapat sebaliknya 47 persen. Batu ganjalan paling besar justru terjadi manakala wakil rakyat di DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Trisakti, Semanggi I dan II yang kemudian menyimpulkan bahwa peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti yang mengawali Kerusuhan Mei bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Meskipun penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan kompetensi tiga lembaga, yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM, rekomendasi DPR memberikan pengaruh yang cukup berarti. Terbukti kemudian, meskipun hasil KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II menyatakan bahwa dalam peristiwa itu diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat, statusnya tetap tidak dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Padahal, KPP HAM merekomendasikan penyelidikan terhadap dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi militer dan kepolisian dalam kasus tersebut. Lemahnya negara Negara memang belum menjadi institusi yang kuat melindungi keamanan dan keselamatan warga negaranya. Tidak hanya dalam Kerusuhan Mei, dalam kerusuhan-kerusuhan lainnya yang sering kali merebak di alam reformasi pun negara terkesan tak dapat menjadi payung yang aman. Lewat dari tragedi Mei 1998, selama delapan tahun perjalanan reformasi hingga kini, aksi kekerasan massa dan konflik sosial antarkelompok masyarakat di berbagai daerah masih saja terjadi. Pertikaian antarsuku, etnis, agama, antarkampung, bahkan terakhir ini antarpendukung calon bupati dalam pemilihan kepala daerah di Tuban, seakan menambah panjang daftar kerusuhan yang terjadi selama era reformasi. AM Tiga dari empat responden (75,4 persen) mengatakan, dibandingkan dengan keadaan sebelum reformasi, saat ini aksi kekerasan dan kebrutalan massa, seperti tindak perusakan, main hakim sendiri, dan main bakar, sudah semakin memprihatinkan. LS Hampir setiap tahun selalu ada konflik yang merusak ketenteraman hidup dan meresahkan warga masyarakat. Kerusakan dan luka yang ditimbulkannya kadang sangat dalam dan sulit dipulihkan. Sebut saja luka-luka akibat kerusuhan antarpemeluk agama di Maluku yang pecah pada tahun 1999 yang berbekas dalam. Tak lama setelah terjadi konflik di Maluku sudah muncul konflik antaretnis di Kalimantan Tengah. gE Kebhinnekaan masyarakat yang selalu diagung-agungkan sebagai harta kekayaan bangsa, di masa reformasi ini tak urung menjadi tabungan semua potensi amuk massa dan bibit kerusuhan yang diam-diam merupakan sumber rasa cemas publik. Konflik dan kerusuhan antaretnis, antaragama, antarkelas sosial, serta antarpendukung partai politik dan antarpendukung calon kepala daerah, masih menjadi kekhawatiran bagi lebih dari separuh hingga tigaperempat responden. Dan, dari semua potensi tersebut, yang paling dikhawatirkan oleh responden jajak pendapat kali ini adalah timbulnya kerusuhan antaragama (42,5 persen), dan kerusuhan antaretnis (27,3 persen). kli pin Bahaya primordialisme bangkit kembali dan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Bibit-bibit rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan tak bisa dihindari telah tumbuh bahkan di daerah-daerah yang tadinya damai dan tenteram. Mungkin demokratisasi tidak harus dibayar dengan kerusuhan dan korban jika saja aparat keamanan negara berhasil menjalankan fungsinya dengan optimal. Namun, yang terjadi saat ini tidak demikian. Potensi konflik dan amuk massa makin diperparah oleh kurang optimalnya kinerja aparat keamanan. Mekanisme spontan jalanan main hakim sendiri seperti sudah membudaya. Sementara aparat keamanan dan penegak hukum sudah kehilangan wibawa di mata masyarakat. Dalam berbagai kasus, aparat malah suka berbalik menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan kekerasan terhadap masyarakat. Belum yang korupsi dan menerima suap. Pada hakikatnya negara mempunyai legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi menegakkan hukum dan ketertiban, terutama untuk melindungi keselamatan setiap warga negara. Namun, selama perjalanan prareformasi, penggunaan kekerasan oleh aparat negara sering sekali dilakukan dalam bungkus demi pembangunan. Pemaksaan-pemaksaan yang melindas hak warga negara selalu mengemuka dengan kemasan demi kepentingan umum yang lebih luas. Aparat negara jadi momok antagonis, yang kalau bisa dihindari. Hilangnya wibawa aparat ini di masa reformasi mendorong masyarakat mencari keadilan menurut model mereka sendiri. Sebetulnya, upaya pemerintah dan aparat keamanan saat ini untuk mengusut berbagai kerusuhan dan menindak pelakunya cukup mendapat apresiasi positif dari 53,4 persen responden. Sayangnya, aparat keamanan belum sepenuhnya berdaya menciptakan rasa aman bagi warga negara. Terbukti, aparat sering kali tidak dapat mencegah terjadinya kerusuhan dan tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi berbagai kerusuhan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh lebih dari 50 persen responden. LS AM Aparat mungkin terlalu lemah, atau potensi konflik mungkin juga terlalu besar untuk dapat diatasi oleh aparat. Yang jelas, berbagai kerusuhan yang timbul dalam perjalanan reformasi selama delapan tahun ini menegaskan, belum optimalnya peran negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Dari seluruh responden, baru 48,6 persen yang menyatakan, pemerintah dan aparat negara mampu melindungi warga negara dari tindak kekerasan dan kerusuhan. Sementara separuh responden yang lain (47,8 persen) menyatakan hal yang sebaliknya. Terutama untuk upaya pengusutan kasus Kerusuhan Mei, ketidakpuasan responden jauh lebih besar. Mayoritas (82,8 persen) responden saat ini bahkan merasa tidak puas dengan upaya pemerintah mengusut kasus itu. gE Tidak hanya latar belakang kejadian yang masih menjadi teka teki bagi publik, keberadaan dan data para korban pun tampaknya ditutup-tutupi. Maka, tak kurang dari tiga perempat (75,7 persen) responden menghendaki kasus Kerusuhan Mei ini diusut kembali. Upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pun juga masih dipandang publik penuh keraguan. Baru separuh (46,3 persen) responden yang merasa yakin lembaga KKR ini nantinya akan mampu menjalankan tugasnya mengungkapkan kebenaran seputar peristiwa-peristiwa konflik sosial dan politik serta mendorong rekonsiliasi perdamaian antarkelompok yang berkonflik tersebut. Sementara separuh yang lain (48,5 persen) merasa pesimistis KKR akan mampu melakukan tugas-tugasnya. kli pin Kasus Soeharto Tidak banyak berbeda dengan penyikapan terhadap kasus kerusuhan Mei 1998, kemampuan pemerintahan reformasi untuk menuntaskan kasus Soeharto diragukan. Upaya penghentian perkara hukum mantan Presiden Soeharto menjadi bukti dari pesimisme masyarakat selama ini akan kemampuan penegak hukum menuntaskan perkara yang menjadi tuntutan paling keras dari gerakan reformasi 1998. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, menghentikan proses peradilan terhadap Soeharto pada tanggal 10 Mei 2006. Namun, upaya penghentian peradilan di saat ingatan masyarakat demikian kuat mengenang kembali Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei, cukup mengejutkan, yang langsung disikapi penolakan oleh sebagian besar responden (Litbang Kompas) SP, Mnggu 14 Mei 2006 Momentum Hari Antikekerasan AM Reformasi! Reformasi! Reformasi! Teriakan itu sepertinya masih jelas di telinga ketika ratusan ribu mahasiswa Indonesia gelisah kejatuhan perekonomian negeri ini pada pertengahan 1997. Hanya Satu Kata Lawan! Demikian jargon mahasiswa dan yang hendak mereka lawan adalah otoriterisme rezim Orde Baru di bawah pimpinan presiden berkuasa penuh 32 tahun, HM Soeharto. LS ada Maret 1998, MPR saat itu -walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat- menetapkan Soeharto sebagai presiden. Tentu saja itu membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis, dengan menolak terpilihnya kem-bali Soeharto sebagai presiden. Cuma ada satu cara agar suara mereka didengarkan, yakni dengan berunjuk rasa. gE Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 dan diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta. Menjelang, serta saat diselenggarakan SU MPR 1998, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta. Sampai akhirnya berlanjut hingga Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta. Mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. kli pin Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan Bogor. Keadaan Jakarta memanas. Hampir setiap hari mahasiswa berunjuk rasa. Sikap aparat pun tampaknya semakin keras terhadap mahasiswa. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti berunjuk rasa menolak pemilihan kem-bali Soeharto sebagai presiden. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan meng- akibatkan empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Kampus Trisakti Grogol pun dibanjiri ribuan pelayat dan aktivis dari sejumlah organ gerakan. Bendera setengah tiang pun dikibarkan di hampir setiap rumah dan gedung. Para profesional dan mahasiswa mengenakan pita hitam di lengan kiri sebagai tanda duka cita. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta rusuh dan mencekam. Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam, 12 hingga 13 Mei. AM Setelah kerusuhan, yang dianggap terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke-20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. "Ironisnya, negara hanya menganggap peristiwa itu sebagai insiden biasa dan korban yang gugur hanya dianggap sebuah dampak dari suatu per- juangan. LS Para senior kami yang menjadi korban seperti Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie dan Hery Hartanto adalah orang muda yang telah mengorbankan jiwa dan raga dalam perjuangan menegakkan reformasi di Indonesia. Kami sangat gelisah karena hingga delapan tahun tewasnya pejuang reformasi, kasusnya tidak pernah terungkap," ujar Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Alam Gaos kepada Pembaruan di Jakarta belum lama ini. gE Hal senada diungkap Wakil Presiden Mahasiswa Usakti, Heru Priambodo yang menegaskan untuk menghormati para pahlawan reformasi dan semua yang berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mahasiswa Usakti menuntut DPR mencabut rekomendasi yang menyatakan 12 Mei bukan pelanggaran HAM berat. Dan pemerintah harus segera membentuk pengadilan HAM ad hoc dan menjadi 12 Mei sebagai hari antikekerasan dan pergerakan nasional. [E-5] kli pin Last modified: 11/5/06 Jakarta Post, February 22, 2006 U.S., RI turning the corner James Van Zorge, Jakarta For the most part, the history of relations between Washington and Jakarta has been a positive and intriguing story. From 1965, when Soeharto came to power, Indonesia was viewed as a reliable partner in the vein of Cold War politics. With Cold warriors running foreign policy, the U.S. was willing to forgive Soeharto for his excesses; containing the spread of communism necessarily trumped moralist politics. Because of U.S. geopolitical interests in Southeast Asia -- especially during the Vietnam War and the pervasive fear amongst the policy elite of a domino effect should Ho Chi Minh prevail -- Soeharto's Indonesia was treated as a strategic asset. AM When the U.S. military departed Saigon in 1975, President Gerald Ford and his Secretary of State, Henry Kissinger had a lot to worry about the future of Asia. It would be a safe bet that the specter of communists establishing a foothold in Indonesia must have frightened them. LS Initially, Soeharto was adamantly opposed to the idea of an invasion. His stance changed, however, upon hearing that the Timorese leader Jose Ramos Horta was contemplating an alliance with China after independence. gE The rest is history. Ford and Kissinger visited Jakarta to discuss the fine details of an invasion and how the U.S. was to cover its tracks. Soeharto and Ford may have thought of East Timor as Indonesia's Cuba, yet what happened in the following decades is that it became Indonesia's Little Vietnam, with Jakarta taking all the blame and the U.S. denying everything. kli pin Lying and cover-ups served both parties' interests. The end of the Cold War meant, however, that it would be difficult for U.S. presidents to turn a blind eye towards Indonesia and get away with it. Washington stopped military aid to Indonesia by canceling the International Military Education Training (IMET) program in October 1992; in 1994, it banned sales of small and light arms; in 1999, military joint exercises and commercial arms sales were banned. Finally, in 2001, Senator Leahy sponsored an amendment to the Foreign Operations Appropriations Act, which suspended all military assistance to Indonesia. Just as the Cold War and its ending can explain U.S. policy towards Indonesia, so can George Bush Jr.'s "war on terror". After 9/11, there was a rising chorus of U.S. neoconservative policymakers who made the argument that Indonesia was a key ally in the war against terror. Now, it was only a matter of time before they would find a way to have national security interests trump human rights. In late 2005 the Bush Administration finally decided to face off against Senator Leahy. Using an executive waiver as allowed in the 2006 Foreign Operations Appropriations Act, the White House managed to lift restrictions on U.S. military financing and the export of lethal equipment for Indonesia. Leahy was surely incensed with Bush and his acolytes; but before he could prepare for a counter-offensive, more nasty surprises were in store for the senator. Strike two against Leahy came in December 2005, when the U.S. National Security Archive released previously classified documents on East Timor. In those documents, there was clear evidence of U.S. support for the Indonesian invasion of East which, effectively, made nonsense of Leahy's moralist stance and insistence to punish Jakarta. One might surmise that with Indonesia being touted as a reliable partner in the war on terror and Leahy effectively sidelined -- at least temporarily -- U.S.-Indonesia relations have turned a corner for the better. There is, however, one small problem remaining which, if not handled correctly, could swing the pendulum back. The issue under scrutiny is the deaths of two Americans in August 2002 during an ambush on an international school bus in the province of Papua. According to the Indonesian government and armed forces, the attacks were carried out by separatists belonging to the Free Papua Movement, or OPM. There are others who believe that, in fact, the ambush was carried out by the special forces of the Indonesian military who, ostensibly, were making a bold statement against U.S. mining company Freeport McMoRan for being delinquent on payments to the TNI for providing it with security services. AM Suspicions were raised about the credibility of the allegations made against OPM when an autopsy on the Papuan who supposedly played a role in the attack showed that he was not alive when the ambush took place. There were also leaks from inside U.S. intelligence to the international media, suggesting that the Indonesian military was involved. LS Now, even after FBI investigations have been completed and suspects arrested by Indonesian authorities, suspicions of a cover-up are rife. Our suspicions were also raised after credible and well-placed sources inside Papua told us that the arrested suspects are, in fact, not really suspects at all, but rather, wellinformed witnesses who could implicate parties other than OPM in the shootings. gE Apparently, there are also officials inside the U.S. Government who are also apprehensive about taking the arrests at face value. This includes Senator Leahy, who recently told the press that "...there are so many unanswered questions in this case, including who these people are and what role they may have had in these crimes." kli pin Regardless, we do not feel qualified to lodge any accusations or pass judgment. We would say that, if the Bush Administration wants to maintain closer ties to Jakarta for the sake of national security, it should ensure that duplicitous means are not being used to achieve those ends. Responsible decision-makers in Jakarta and Washington would be well-advised to remember the lessons of the East Timor saga, one of which is that the truth almost always emerges. The writer is a senior partner of Van Zorge, Heffernan & Associates, a government relations consulting firm based in Jakarta. He can be reached at [email protected]. Suara Pembaruan, Senin 06 Maret 2006 Memperingati 40 Tahun Supersemar Salahudin Wahid MPAT puluh tahun sudah berlalu sejak Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dikeluarkan. Layak kalau kita memperingati Supersemar itu dan mencoba menarik pelajaran darinya sebagai dasar untuk menata kembali kehidupan kita sebagai bangsa. Kita perlu membedakan Supersemar dalam dua hal yaitu substansinya dan proses keluarnya. Dalam menilai substansinya tentu kita harus memperhatikan situasi dan kondisi serta tatanan sosial politik saat itu. Tidak tepat menilai peristiwa 40 tahun lalu dengan situasi, kondisi dan tatanan sosial politik saat ini. AM Peralihan Kekuasaan Sejak 1 Oktober 1965 sudah mulai terasa bahwa kepemimpinan Bung Karno (BK) mulai goyah dan tidak kokoh lagi. Awalnya, saat BK memanggil Mayjen Pranoto ke Lanud Halim Perdanakusuma, tetapi dilarang oleh Pak Harto. Berani benar Pak Harto membangkang pada BK. Tetapi dalam situasi darurat dan kritis seperti saat itu, tindakan Pak Harto itu dapat dipahami. LS Kepemimpinan BK kian goyah saat para mahasiswa mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan melancarkan demonstrasi mengajukan Tritura. Karena BK tidak positif menanggapi Tritura itu, maka proses peralihan kepemimpinan tampaknya tidak dapat dihindari dan dicegah. Yang tidak sabar, mendesak Pak Harto untuk segera mengambilalih kepemimpinan, tetapi ditolak. kli pin gE Sidang kabinet (10-3-1966) baru dimulai, saat BK menerima info bahwa ada pasukan tak dikenal mengepung istana. BK lalu tergopoh-gopoh meninggalkan ruang sidang dan menggunakan heli menuju Bogor. Peristiwa itu membuat kondisi psikologis BK melemah dan bersedia mengeluarkan Suprsemar yang intinya memberi perintah kepada Pak Harto untuk mengatasi keadaan. Pak Harto membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah itu karena melihat bahwa masalah itulah yang paling mendesak bagi sebagian besar rakyat. Kabarnya BK tidak puas atas pembubaran PKI itu tetapi Pak Harto tidak memperdu- likan. Melihat dan menilai transisi kepemimpinan saat itu, kita bisa berbeda persepsi. Pendukung BK menganggap Pak Harto melakukan kudeta merayap dengan indikasi keterlibatan dalam G30S (kesaksian Kol Latief). Pendukung Pak Harto menganggap bahwa BK sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena menolak Tritura dan menganggap Pak Harto terlalu lamban. Kita tentu sadar bahwa dalam negara manapun tidak boleh ada dua kepemimpinan. Sebagian besar masyarakat politik saat itu cenderung kearah Pak Harto. Setelah Supersemar terbit maka de facto Pak Harto-lah yang memimpin Indonesia. Selanjutnya Supersemar dikukuhkan dengan TAP MPRS dan Pak Harto diangkat oleh MPRS menjadi Pejabat Presiden (1967). Tetapi pendukung BK berpendapat bahwa MPRS itu tidak murni lagi karena banyak anggotanya yang diganti dengan orang-orang Pak Harto. Saat itu tidak terbayangkan bahwa Pak Harto akan meniru langkah BK menjadi presiden yang tidak demokratis. Tidak banyak yang tahu bahwa BK diperlakukan dengan tidak manusiawi, bahkan terkesan "dibunuh" secara perlahan-lahan dengan tidak memberinya obat yang diperlukan. Kalau itu benar terjadi, tidak jelas siapa yang memerintahkan. Saat itu bagi sebagian besar rakyat, BK ialah bad-guy dan Pak Harto ialah good-guy. Tetapi tentu saja masih banyak yang mendukung BK. Sebagai perbandingan, bahkan sekarangpun setelah begitu banyak "dosa" Pak Harto dibuka, masih banyak yang mengatakan "Lebih enak zaman Pak Harto". Kebangkitan Neo-PKI ? BK tidak bersedia membubarkan PKI walaupun secara implisit terkesan mengakui keterlibatan PKI dalam G30S/ Dewan Revolusi Indonesia. Menurut BK, G30S/Dewan Revolusi Indonesia ialah tindakan kekanakkanakan dari para tokoh PKI. Penyebabnya, BK adalah penganjur utama Nasakom dan tetap setia pada gagasan itu. Kita menghormati pendirian BK yang punya komitmen kuat terhadap gagasan yang diperjuangkannya, tetapi BK tidak bisa mengabaikan keinginan rakyat. Maka, dukungan terhadap kepemimpinan BK me- rosot. AM Begitu banyak rakyat turun ke jalan untuk menunjukkan luapan kegembiraan menyambut keputusan Pak Harto membubarkan PKI pada 12-3-1966. Sampai kini saya tetap berpendapat bahwa tindakan pembubaran PKI berdasar Supersemar itu adalah tindakan yang tepat. Kita juga melihat bahwa sampai kini masih banyak yang mempertahankan keberadaan TAP MPRS No XXV/ 1966 yang melarang berdirinya PKI di Indonesia. Persetujuan terhadap pembubaran PKI tidak membuat kita menyetujui tindakan kekerasan terhadap warga PKI. Kita tentu pilu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang menimpa ratusan ribu aktivis PKI/onderbouwnya dan keluarga mereka. Karena itu pendekatan kemanusiaan melalui upaya rekonsiliasi dengan mereka perlu didukung, secara kelembagaan maupun kultural. LS Kita melihat adanya kekhawatiran didalam diri sejumlah warga masyarakat terhadap kebangkitan "neoPKI". Padahal banyak juga generasi muda yang menyindir bahwa kekhawatiran terhadap "neo-PKI" itu seperti melihat hantu di siang bolong. Dua pendapat yang bertentangan itu, mana yang dapat kita pegang? Tidak mudah untuk menjawabnya. gE Kekhawatiran terhadap munculnya "neo-PKI" itu beralasan karena diyakini PKI telah dua kali terlibat pemberontakan. Mereka tetap ingat akan berbagai intimidasi dan aksi kekerasan menjelang Peristiwa Madiun dan Peristiwa G30S. Mereka khawatir konflik fisik seperti dulu akan terjadi lagi yang tentu akan membuat kita mengalami "set-back" dalam kehidupan berbangsa. kli pin Apakah kekhawatiran itu wajar atau berlebihan? Tergantung pada indikator apa yang dipakai untuk menentukan tingkat kekhawatiran itu. Apakah mantan tapol/eks PKI plus onderbouwnya serta keluarganya memang betul-betul menyusun kekuatan seperti sekian puluh tahun yang lalu? Tidak ada jawaban pasti. Sebaliknya, apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan menggalang kekuatan untuk kemudian mengulangi peristiwa tahun 1948 dan 1965? Juga tidak ada jawaban pasti. Perlu ada dialog antara kedua kelompok untuk menyampaikan apa yang diharapkan dari dan apa yang ditakutkan oleh masing- masing pihak dengan tujuan untuk bisa menghilangkan saling curiga dan menumbuhkan saling percaya. Saling Memaafkan Perlu disadari bersama bahwa dimasa lalu kita sebagai komponen bangsa telah melakukan kesalahan besar dan tidak boleh mengulanginya lagi. Sangat ideal bila kedua pihak bisa saling meminta dan memberi maaf atas kesalahan di masa lalu dan berikrar untuk tidak mengulangi lagi "perang" seperti dimasa lalu. Setelah itu diharapkan kita semua bisa bekerja sama untuk membangun kembali bangsa dan negara kita yang kini sedang terpuruk. Semoga harapan-harapan saya itu terealistis. * kli pin gE LS AM Penulis adalah Ketua Badan Pembina Barasetra (Barisan Rakyat Sejahtera) Last modified: 6/3/06 Kompas, Sabtu 11 Maret 2006 M Jusuf, Supersemar, dan Naiknya Soeharto Julius Pour Hari itu, 40 tahun lalu, Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya dilanda prahara. Dampak pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD pada awal Oktober tahun sebelumnya masih berlanjut, memicu karut-marut di semua sendi kehidupan. Dalam hiruk pikuk itu muncul surat perintah tertanggal Jakarta 11 Maret 1966. Surat yang kemudian populer sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) ditandatangani Soekarno, Presiden yang waktu itu merangkap Panglima Tertinggi sekaligus Pemimpin Besar Revolusi. AM Surat tersebut kemudian tampil misterius karena keberadaannya sampai sekarang tak pernah bisa terlacak. Sementara itu, isinya tidak hanya menjadi penunjang kelahiran rezim Orde Baru, tetapi juga sebuah lonceng penumpasan terhadap kaum komunis dan siapa saja yang diduga sebagai komunis. LS Sejumlah tokoh terkait dalam kelahiran Supersemar. Selain Bung Karno, juga tercatat tiga jenderal (Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M Jusuf) selaku pembawa surat sebelum mereka menyampaikannya kepada Soeharto. Dalam posisi sebagai Panglima Angkatan Darat, lewat Supersemar Bung Karno memberi Soeharto tugas, ... mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan dan revolusi. gE Empat puluh tahun berlalu, kini tinggal Soeharto seorang. Berturut-turut, Basuki Rahmat, Soekarno, Amir Machmud, dan terakhir Jusuf meninggal dunia tanpa memberi petunjuk jelas mengenai latar belakang Supersemar. Mengapa surat tersebut menyebutkan Jakarta, sementara dirancang, ditulis, serta ditandatangani di Bogor? Salah tulis atau kesengajaan? Pertanyaan ini bagaikan membuka kotak pandora sebab langsung disusul rentetan pertanyaan. Apakah tidak mungkin dibikin di Jakarta dan Bogor hanya dipinjam karena Bung Karno sedang lari ke sana? Mungkinkah Bung Karno terpaksa atau dipaksa menandatangani surat yang sudah disiapkan? kli pin Sampai Jenderal Jusuf meninggal 7 September 2004, khalayak dikesankan bahwa almarhum menyimpan kunci misteri sekitar Supersemar. ... di kelak kemudian hari, dengan seizin Pak Harto, mudah-mudahan dapat saya himpunkan keseluruhan ataupun segala peristiwa dan dialog-dialog sejak sebelum 11 Maret sampai sekarang, dalam satu buku, begitu janji Jusuf pada 12 Maret 1973. Karena itu, terbitnya biografi Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo, yang diluncurkan Jumat (10/3) sore, sangat ditunggu dan bahkan memberi harapan terkuaknya misteri termaksud. Apalagi Atmadji mengaku, selama bertahun-tahun dia telah menjadi bagian dari inner circle Jusuf. Dua versi Supersemar Kericuhan sekitar Supersemar awalnya menyangkut persoalan, seberapa banyak sebenarnya jumlah tindasan dilakukan? Atmadji melukiskan, Jusuf punya dua versi yang secara substansial berbeda jauh. Pada awalnya almarhum menyatakan naskah Supersemar hanya satu kopi, diketik oleh Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur. Namun, kepada Jusuf Kalla (sekarang wakil presiden), Jusuf konon pernah menyebutkan, Sabur membikinnya rangkap tiga. Lembar pertama ditandatangani Bung Karno (kemudian dikirim kepada Soeharto), tindasan kedua diambil Sabur, tindasan terakhir disimpan Jusuf. ... tetapi 23 tahun setelah peristiwa itu, Jusuf berusaha tidak mengungkap lagi sehingga konfirmasi atas versi yang pernah dia ceritakan tak bisa dilakukan, tulis Atmadji, yang agaknya juga tidak pernah berani meminta kejelasan kepada Jusuf. Naskah asli dan juga dua tindasan hasil ketikan Sabur sampai hari ini lenyap. Pada sisi lain, meski dalam persoalan di atas sikap Jusuf tidak konsisten, yang tetap dia pegang teguh adalah penegasan, naskah Supersemar terdiri dari dua lembar. AM Satu lembar atau dua lembar bagi Soeharto, yang pada 11 Maret 1966 malam berada di Jakarta, agaknya bukan masalah. Berdasarkan surat perintah yang dia terima tersebut, malam itu juga Soeharto mengeluarkan surat keputusan, di Jakarta, tertanggal 12 Maret 1966. Keputusan Presiden/Pangti ABRI/ KOTI Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia. Disusul 18 Maret, keputusan menahan 15 menteri dan mengangkat sejumlah menteri ad interim pengisi pos-pos kosong. Pembubaran PKI adalah soal prinsip, khususnya pascaperistiwa G30S, bahkan telah menjadi isu tarik-ulur antara Bung Karno dan lawan politiknya. LS Keputusan pembubaran PKI telah disebarluaskan lewat semua pemancar RRI dan dicetak di koran. Namun, aneh sekali, bagaimana mungkin Bung Karno justru tidak sadar bahwa surat perintahnya telah dipakai untuk membubarkan PKI? Sesuatu yang justru dia tolak secara mati-matian selama lima bulan terakhir? gE Tanggal 12 Maret pagi Bung Karno terbang kembali ke Jakarta dan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara, di hadiri lengkap oleh semua unsur pimpinan, kecuali Soeharto. Sangat berbeda dengan suasana sehari sebelumnya ketika dia terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Pada 12 Maret itu Bung Karno malah membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Soeharto. Apakah saat itu tidak ada yang melapor kepada Bung Karno? Dan apakah Bung Karno tidak sadar bahwa Soeharto, yang semalam dia beri perintah, pagi itu justru tidak muncul? kli pin Sayang sekali, Atmadji langsung mengunci babakan sangat menarik dan paling kritis sekitar persoalan Supersemar tersebut dengan kalimat, Reaksi terkejut Presiden baru muncul setelah menerima laporan bahwa Men/Pangad telah membubarkan PKI dengan dasar surat perintah yang ia berikan. Presiden lalu mengeluarkan surat perintah susulan yang kemudian disampaikan khusus kepada Letjen Soeharto oleh Waperdam II Leimena pada 13 Maret 1966. Akan tetapi, Soeharto tidak memberikan reaksi. Sementara itu, ketiga jenderal yang datang ke Bogor sama sekali tidak pernah bertemu dengan Presiden Sukarno sesudah itu.... Jusuf, Soeharto, Nasution Kecuali mengenai Supersemar, banyak informasi sekitar sosok berikut sepak terjang Jusuf bisa ditemukan dalam karya Atmadji. Ternyata, naiknya Nasution menjadi Ketua MPRS pada bulan Juni 1966 berkat aksi menggalang dukungan yang dilakukan Jusuf. Dilanjutkan agenda utama, meningkatkan status Supersemar menjadi Ketetapan MPRS. Langkah tersebut berhasil dan menutup Bung Karno untuk mencabut surat perintahnya. Sebab, sebagai Tap MPRS, pencabutan memerlukan persetujuan MPRS yang secara teknis sulit dilakukan sesudah para loyalis Bung Karno di semua lini di-ordebaru-kan. Penyerahan pemerintahan kepada Soeharto baru terlaksana pada 22 Februari 1967. Dituntaskan lewat sidang istimewa awal Maret tahun yang sama, MPRS mencabut mandat Bung Karno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Berakhirnya kekuasaan Bung Karno masih belum menyurutkan kewibawaannya. Hal ini mendorong Soeharto pada Mei 1967 mengeluarkan keputusan presiden, melarang Bung Karno memakai gelar kepresidenan dan beragam sebutan lain, termasuk perintah pengusirannya dari Istana Merdeka dengan batas akhir sebelum 17 Agustus 1967. Selama hari-hari panjang tersebut Soeharto-Nasution sebiduk sependirian. Namun kemudian mulai retak dan bahkan tumbuh menjadi pertikaian personal. Menurut Jusuf, Ketua MPRS beranggapan, Pejabat Presiden harus memberikan pertanggungan jawab kepada pimpinan MPRS. Pertikaian berlanjut sampai Sidang Umum MPRS Maret 1968. Soeharto dilantik menjadi presiden pada 27 Maret malam (keesokan harinya dia harus terbang ke Jepang), sementara sidang MPRS baru bisa ditutup pada tanggal 30 Maret. kli pin gE LS AM Sebelum upacara pelantikan berlangsung, sejumlah kericuhan muncul. Jusuf harus bolak-balik menemui Soeharto dan Nasution untuk menyerasikan tetek bengek masalah, sejak yang prinsip sampai soal protokoler. Akhirnya, upacara pelantikan bisa dilakukan. Nasution memakai baju lengan pendek, Jenderal Soeharto berpakaian sipil lengkap plus peci.... Maka, secara resmi, Soeharto menjadi presiden, menggantikan Bung Karno yang sudah dilengserkan. Kompas, Sabtu 18 March 2006 Dongeng Berhias Catatan Kaki John Roosa Kedua buku ini tampak seperti karya nonfiksi. Keduanya bermaksud menyingkap kebenaran mengenai sebuah peristiwa dan mendasarkan klaim mereka akan kebenaran pada pengamatan saksama dan ketat terhadap bukti-bukti. Padahal, bukti-bukti tersebut tidak dapat diandalkan kebenarannya. AM Kedua buku ini memiliki banyak catatan kaki, lampiran, dan salinan dari sumber-sumber primer yang digunakan. Fic, misalnya, menyertakan 20 dokumen lengkap dalam bukunya, sementara Dake menyertakan delapan lampiran, yang salah satunya adalah dokumen asli sepanjang 100 halaman. Kedua buku ini sangat tebal: masing-masing sekitar 500 halaman. Para penulisnya membuat buku-buku ini saat sudah berusia lanjut, dengan pengalaman berdekade lamanya. Fic lahir 1922 (dan meninggal dunia tahun lalu) dan Dake lahir 1928. Karena itu, jika dilihat sepintas, kedua buku ini tampak seperti karya sejarah yang serius, disusun oleh penulis senior yang merumuskan klaim mereka akan kebenaran berdasarkan penggunaan sumber primer dengan teliti. gE LS Akan tetapi penampilan, dalam kasus ini, sungguh menyesatkan. Di balik tampilan ilmiah ini terdapat rangkaian argumen yang disusun tanpa penghargaan terhadap prosedur ilmiah sama sekali. Kedua pengarang melanggar prinsip-prinsip paling dasar dari penelitian sejarah; mereka menggunakan bukti palsu lalu membuat spekulasi yang luar biasa bahwa bukti-bukti itu memang nyata ada. Walau mereka membuat kesimpulan yang sedikit berbeda satu sama lain, mereka mengikuti metode tidak kritis yang sama dalam menangani sumber-sumber dan menyusun cerita. Kemiripan keduanya memang mengesankan, dan karena itulah keduanya pantas ditinjau bersama-sama. Fic dan Dake sama-sama menulis dongeng sesuai asumsi dogmatik mereka sendiri lalu membuatnya terlihat seperti hasil penelitian ilmiah. kli pin Sejarah sebuah peristiwa, seperti G30S, dapat ditulis dengan berbagai cara yang sama absahnya. Setiap sejarawan memiliki gaya, titik tekan dan tafsir berbeda-beda. Dan wajar saja jika sejarawan berdebat tentang cara menuturkan sebuah peristiwa. Kita tentu saja harus menyambut baik perbedaan pendapat tapi kita tidak boleh hilang kemampuan untuk menilai apa yang benar dan apa yang salah. Jika seseorang menciptakan ”fakta” tanpa dukungan bukti, misalnya, kita tidak dapat mengatakan, ”yah, itulah versi dia mengenai sejarah.” Jika seseorang tanpa bukti mengatakan bahwa Presiden Soekarno pernah menjadi astronot, bergabung dengan misi ruang angkasa NASA, dan berjalan-jalan di bulan, kita harus tegas mengatakan bahwa orang itu salah. Sama halnya jika seorang sejarawan menulis buku berdasarkan buktibukti palsu, seperti buku harian palsu ”milik” Hitler yang diterbitkan 1983, atau kesaksian terdakwa dalam pengadilan buatan di masa Stalin, kita tak perlu menganggap versi sejarahnya itu absah. Fic dan Dake menulis buku yang tidak bisa diterima sebagai sumbangan terhadap perdebatan mengenai Gerakan 30 September. Satu-satunya hal yang dapat dipelajari dari kedua buku ini adalah cara menulis sejarah yang tidak benar. Masalah sumber Masalah dasar untuk menulis tentang Gerakan 30 September adalah bahwa begitu banyak sumber primernya tidak dapat diandalkan. Dalam beberapa hari setelah kejadian, Soeharto dan para perwira Angkatan Darat sekutunya menguasai media massa. Surat kabar-surat kabar yang mereka anggap akan menentang mereka pun ditutup, seperti Warta Bhakti, salah satu surat kabar terpenting yang sangat proSoekarno. Mereka juga memberlakukan sensor ketat terhadap surat kabar yang tetap terbit. Pasukan Soeharto juga menguasai RRI. Sejak hari-hari pertama Oktober 1965, Angkatan Darat menggunakan kontrol terhadap media ini untuk membuat cerita-cerita yang sekarang kita ketahui tidak benar adanya. Para ahli perang psikologis Angkatan Darat melancarkan propaganda guna mendapat dukungan publik untuk menghancurkan PKI. Sebagai contoh, Angkatan Darat menyiarkan cerita bahwa tujuh korban Gerakan 30 September di Lubang Buaya tubuhnya dimutilasi. Menurut surat kabar, keenam jenderal dan seorang letnan disayat tubuhnya oleh ratusan silet, kelaminnya dipotong, dan matanya dicungkil. Sekarang kita tahu bahwa cerita yang meragukan ini ternyata memang tidak benar karena laporan forensik dokter yang memeriksa jenazah para jenderal itu tidak menemukan tanda-tanda adanya mutilasi; mereka hanya menemukan luka tembak dan beberapa tusukan bayonet. Untuk menyalahkan PKI sebagai dalang Gerakan 30 September, para ahli propaganda Angkatan Darat memalsu sejumlah dokumen pada akhir 1965. Contohnya adalah ”pengakuan” DN Aidit, ketua PKI; dan Njono, anggota Politbiro PKI; sepenuhnya adalah palsu. Tak seorang pun sarjana yang serius menggunakan bahan-bahan ini sebagai sumber primer. Bahkan, Fic dan Dake, yang standar penggunaan sumbernya begitu rendah, tidak menggunakan pengakuan Aidit dan Njono ini. AM Soeharto dan perwira-perwira sekutunya memang bermaksud menghancurkan PKI, bukan mengungkap kebenaran mengenai Gerakan 30 September. Seandainya mereka ingin menegakkan kebenaran, maka mereka tentu tidak akan diam-diam menghabisi empat dari lima pemimpin tertinggi partai yang mereka tuding sebagai dalang gerakan tersebut. Aidit, Lukman, Njoto, dan Sakirman hilang setelah diciduk oleh militer akhir 1965. gE LS Penjelasan setengah resmi dari rezim Soeharto mengenai peristiwa ini, yakni buku The Coup Attempt of the September 30th Movement (1968), karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, sebagian didasarkan pada laporan interogasi terhadap para pemimpin gerakan (seperti Untung, Latief, dan Supardjo). Tentu saja dokumen seperti ini tidak dapat diandalkan, terutama karena para interogator Indonesia saat itu tidak dilarang menggunakan kekerasan fisik atau mengancam untuk menggunakannya dalam mengorek keterangan. Laporan interogasi itu sama tidak bergunanya seperti catatan Inkuisisi Katolik di Abad Pertengahan. Saat para terdakwa dihadapkan ke pengadilan, mereka umumnya menolak keabsahan laporan interogasi terhadap mereka dan memberikan versi yang berbeda di ruang sidang. kli pin Buku Notosusanto dan Saleh juga menggunakan kesaksian para terdakwa dan saksi di Mahmilub sebagai bukti. Siapa pun yang pernah membaca rekaman Mahmilub ini tahu bahwa kesaksian-kesaksian itu tidak ada gunanya karena sangat tidak konsisten dan penuh dengan pernyataan tanpa dasar. Lihat saja pengadilan Untung. Di pengadilan, Untung mengatakan bahwa ia adalah pemimpin gerakan tersebut. Tapi pengacaranya mengklaim bahwa Brigjen Supardjo-lah pemimpinnya dan bahwa Untung hanya mengikuti perintah seorang perwira yang lebih tinggi. Saksi pertama, Gathut Soekrisno, mengaku bahwa ia menerima perintah dari Mayor Suyono untuk membunuh keenam jenderal, dan tidak menyebut soal Untung. Mayor Suyono, yang tampil sebagai saksi pada hari yang sama dan juga hari berikutnya, memberi kesaksian yang berputar-putar dan membingungkan, tapi pada dasarnya mengarah pada pernyataan bahwa Untung dan Latief adalah pemimpin gerakan. Rezim Soeharto, tentu saja, mengklaim bahwa PKI-lah pemimpinnya. Lalu, siapa yang harus kita percaya? Para pemimpin PKI yang tersisa tidak meninggalkan keterangan yang rinci dan dapat diandalkan mengenai gerakan itu. Satu-satunya orang inti dari Politbiro PKI, Sudisman, ditangkap Desember 1966, setelah 14 bulan hidup ”di bawah tanah” di Jakarta, dan diadili di hadapan Mahmilub pada 1967. Dalam pengadilannya ia menyangkal bahwa PKI adalah dalang Gerakan 30 September. Mungkin saja ia memang jujur. Tapi pernyataan itu tidak dapat diandalkan karena kita tahu bahwa ia jelas bermaksud melindungi reputasi partai. Di bawah serangan dan tuduhan melancarkan kudeta, semua pemimpin dan anggota PKI, bahkan sejumlah kecil di antaranya yang memang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (seperti Njono), cuci tangan. Garis standar partai adalah bahwa aksi itu dilancarkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang tidak puas dengan mengundang beberapa pemimpin PKI, sebagai individu, untuk mendukung mereka. Pernyataan Angkatan Darat mengenai gerakan itu, laporan interogasi, kesaksian di Mahmilub, dan pernyataan PKI mengenai gerakan itu, semua sumber ini tidak dapat dipercaya. Semuanya dibuat saat sedang berlangsungnya perburuan massal. Gerakan itu tetap menjadi misteri bagi banyak sejarawan selama 41 tahun terakhir, justru karena sumber-sumber primernya sangat tidak bisa diandalkan. Sejarawan yang menulis tentang peristiwa ini memang harus hati-hati menangani sumber yang ada. Ia harus mulai dengan moto dari serial TV The X-Files: ”jangan percaya pada siapa pun”. Fic yang penuh trik LS AM Mari kita mulai dengan bukunya Fic. Ia mengatakan bahwa inspirasi awal bagi Gerakan 30 September berasal dari pemimpin China, Mao Tse-tung. Fic mengklaim bahwa saat Aidit bertemu Mao di Beijing pada 5 Agustus 1965, Mao menyuruhnya merebut kekuasaan negara di Indonesia dengan menyingkirkan para jenderal reaksioner lalu membuat Soekarno menjadi presiden boneka. Fic menyertakan kutipan dari sebuah transkrip dialog itu. Para pembaca bagian ini, ”Mao Mendesak Aidit Memukul Lebih Dulu” (hal 76-82), harus bertanya: bagaimana Fic tahu apa yang dibicarakan oleh Mao dan Aidit? Keterangannya mengenai pertemuan itu didasarkan pada satu dokumen saja: artikel surat kabar di The Straits Times yang terbit di Singapura pada 1966. Artikel ini sendiri berasal dari sebuah artikel tanpa penulis yang terbit di surat kabar Angkatan Bersenjata. Lalu dari mana Angkatan Darat memperoleh transkripsi pembicaraan antara Aidit dan Mao? Dan bagaimana Fic tahu bahwa artikel di Angkatan Bersenjata itu memang benar dan bukan hanya propaganda belaka? Tampaknya Fic tidak tahu apakah artikel itu memang dapat diandalkan. Ia menerima sumber itu semata-mata karena ia percaya akan ketepatan laporan TNI AD pada 1966 (catatan kaki 36, hal 308). Jadi, cerita Fic mengenai Mao yang memberi instruksi pada Aidit sama sekali tidak meyakinkan. gE Fic lebih lanjut mengklaim bahwa Aidit kembali ke Jakarta lalu berbicara dengan Soekarno di Istana Bogor pada 8 Agustus, lalu mendapat persetujuan Soekarno untuk menjalankan rencana Mao. Soekarno setuju bahwa PKI harus mengambil alih kekuasaan negara dan bahwa ia akan secara sukarela pergi ke China, di mana ia akan mendapat pensiun yang nyaman dan sebuah vila besar. Bagaimana Fic tahu apa yang dikatakan Aidit kepada Soekarno? Ternyata ia sama sekali tidak punya bukti, bahkan dokumen palsu sekalipun tidak. Ia mengarang sendiri cerita itu. Ia membela cerita yang spekulatif mengenai pertemuan Aidit dan Soekarno dengan mengatakan bahwa cerita itu dapat menjelaskan tiga fakta dengan dasar kuat. kli pin Akan tetapi, ketiga ”fakta” yang ia sebutkan bukanlah fakta. Pertama, ia mengatakan bahwa Soekarno pada 8 Agustus memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung dari pasukan Cakrabirawa untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal pembangkang. Dasar dari klaim ini adalah berita acara pemeriksaan (BAP) yang sangat tidak dapat diandalkan dari Kolonel Bambang Widjanarko, yang akan saya bahas lebih lanjut di bawah. Kedua, menurut Fic, Menteri Luar Negeri China Chen Yi mengatakan kepada Soebandrio pada 1965, saat keduanya berada dalam mobil, bahwa China telah menyiapkan tempat tinggal bagi Soekarno. ”Fakta” ini diperoleh dari pernyataan yang ditulis setelah 1989 oleh seseorang yang mengaku berada dalam mobil bersama kedua menteri luar negeri itu. Orang ini, Marsma Tranggono, adalah oditur Mahmilub dalam kasus Omar Dhani. Ia membuat pernyataan tertulis itu kepada Bakorstanas. Lalu kenapa kita harus memercayai orang ini? Bahkan, jika kita percaya Tranggono dalam urusan ini, keterangan mengenai rumah untuk Soekarno di China ini bisa membuktikan apa? Mungkin saja Chen Yi berbicara tentang tempat di mana Soekarno bisa beristirahat dan mendapat perawatan medis untuk sementara waktu. Fic di sini terlalu dalam membaca pernyataan yang singkat dan meragukan ini. Ketiga, Aidit kemudian disebut berbicara dalam pertemuan Politbiro PKI akhir Agustus 1965, bahwa Soekarno setuju mengganti sejumlah menteri kanan dalam kabinetnya dengan orang yang lebih progresif. Sumber Fic di sini adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh sekelompok anggota PKI di pengasingan pada 1967. Lalu kenapa kita harus memercayai mereka? Apakah mereka hadir dalam pertemuan tersebut? Tapi lagi-lagi, seandainya saja kita menganggap bahwa orang PKI di pengasingan ini memang benar, klaim itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa Soekarno dan Aidit bekerja sama melancarkan Gerakan 30 September. Argumen utama Fic adalah bahwa Mao, Aidit, dan Soekarno membuat kesepakatan pada Agustus 1965. Argumen ini didasarkan pada dua dokumen Angkatan Darat yang tidak dapat dipercaya (artikel dalam Angkatan Bersenjata dan kesaksian Widjanarko), spekulasi tanpa dasar dari cerita tangan kedua dan ketiga, serta khayalan liar Pak Fic sendiri. Argumen yang begitu tidak meyakinkan semestinya didukung bukti-bukti lebih kuat jika ingin dipercaya. Coba bayangkan: Soekarno, dengan ego begitu besar dan kecintaan mendalam terhadap nasionalisme Indonesia, mau menyerahkan kekuasaan dan diam-diam pindah ke China! Sungguh tidak masuk akal. AM Sisa buku Fic terus mengikuti cara-cara serampangan yang sama. Fic begitu saja memilih dan memungut keterangan dari laporan interogasi dan kesaksian Mahmilub yang mendukung argumennya. Ia mengunyah kembali versi yang sama seperti buku Notosusanto dan Saleh. Satu-satunya dokumen baru yang dipunyainya adalah analisis post-mortem dari Supardjo mengenai gerakan itu. Tapi ia menggunakan dokumen ini tanpa menilai klaim-klaim Supardjo secara kritis dan tanpa memikirkan kesulitan membaca dokumen itu. gE Tipuan Dake LS Para pembaca perlu tahu bahwa buku Fic ini sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah penerbit kecil dan non-akademik di India. Ini adalah jilid ketiga dari satu set bukunya mengenai sejarah Indonesia, yang semuanya diterbitkan oleh penerbit yang sama. Jilid pertama adalah buku mengenai sejarah tantra di Asia. Pikiran Fic (dan juga standar penerbit di India) yang aneh terlihat dari caranya merangkai buku mengenai praktik paranormal di zaman kuno dengan buku tentang kejadian politik di zaman modern, dalam satu set. Boleh jadi Fic percaya bahwa ia punya kekuatan supranatural untuk melihat ke masa lalu dan karena itu tidak perlu mengikuti prosedur yang lazim digunakan untuk membuktikan sebuah argumen. kli pin Seperti Fic, Dake tidak pernah menyelidiki sumber-sumber primer yang digunakannya lebih jauh. Ia sebaliknya penuh keyakinan melangkah maju, seolah-olah semua sumbernya itu transparan, konsisten, dan dapat dipercaya. Ia memulai rangkaian ceritanya di bab pertama, lalu secara kronologis menceritakan rangkaian kejadian antara 1 Januari 1965 sampai 12 Maret 1967, tanpa beristirahat apalagi merenung sejenak mengenai sumber-sumber yang digunakannya. Ia secara serampangan memungut keterangan dari laporan interogasi dan transkripsi Mahmilub untuk mendukung alur cerita yang sudah ditetapkannya lebih dulu. Dake mengklaim bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Apa buktinya? Sumber keterangan utamanya adalah BAP dari Bambang Widjanarko, mantan ajudan Soekarno, yang dibuat oleh Kopkamtib. Tanpa dokumen ini, seluruh tuduhannya terhadap Soekarno akan runtuh karena bukti-bukti yang lain tidak langsung menunjukkan keterlibatan Soekarno. Ia terus-menerus mengutip BAP itu dan memperlakukannya seperti bukti tak terbantahkan, seolah setiap baris pernyataan di dalam BAP itu memang benar adanya. Ia menyebutnya ”laporan inteligen yang paling dapat diandalkan”, (hal 53), dan menggambarkan Widjanarko sebagai ”saksi yang paling konsisten… paling dapat dipercaya”, (hal 53). Dalam BAP itu Widjanarko mengatakan bahwa pada 4 Agustus 1965 Soekarno memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung sebagai komandan Cakrabirawa untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal pembangkang. Kenapa kita harus percaya bahwa BAP itu memang secara tepat mencerminkan pikiran Widjanarko dan bukan pikiran para interogatornya? Tapi sekalipun BAP itu memang mencerminkan pikirannya, dari mana kita tahu bahwa ia memang menyaksikan pertemuan pada 4 Agustus itu? Dake tidak memberi keterangan apa pun bahwa BAP itu dapat diandalkan. Ia hanya menyatakan demikian dan merujuk pada ”pendapat seorang ahli mengenai keaslian laporan Widjanarko”, (hal 64). Sang ”ahli” ini ternyata adalah Rahadi Karni, yang menerjemahkan BAP itu ke dalam bahasa Inggris pada 1974 dan menerbitkannya untuk Dake dalam bentuk buku dengan judul The Devious Dalang. Karni adalah seorang pustakawan yang andal di KITLV, tetapi bukan ”ahli” tentang politik Indonesia, dan tidak dapat membuktikan bahwa BAP dari Widjanarko itu memang dapat diandalkan. Dan sekarang pun Dake tidak dapat melakukannya. AM Sebaliknya Dake sudah berulang kali diberi tahu bahwa BAP itu tidak dapat diandalkan. Setiap sarjana yang menulis tinjauan terhadap The Devious Dalang mengatakan bahwa BAP itu tidak dapat digunakan sebagai sumber informasi yang valid. Ben Anderson menunjukkan bahwa teks itu mungkin dikarang oleh para interogator untuk keperluan intrik di tubuh militer pada 1970 (American Political Science Review, 1977). Harold Crouch menunjukkan dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia (1979), bahwa BAP itu tidak didukung oleh sumber lain dan tidak sama dengan kesaksian publik yang dibuat Widjanarko sebelumnya (hal 121). Bahkan penulis kanan, Justus van der Kroef, yang pikirannya sejalan dengan versi Dake, mengkritik Dake karena bersandar pada sumber yang begitu ”mencurigakan” (Pacific Affairs, 1975). Ernst Utrecht memberi judul tinjauannya ”Usaha Mengkorupsi Sejarah Indonesia” (Journal of Contemporary Asia, 1975). Kini, 30 tahun kemudian, Dake kembali memungut BAP dari Widjanarko yang sudah lama didiskreditkan dan bahkan tidak berusaha menyangkal kritik-kritik yang ada. LS Dake tidak pernah merujuk pada keterangan Widjanarko yang diterbitkan mengenai hari-harinya sebagai pengawal presiden (Sewindu Dekat Bung Karno, 1988). Dalam buku ini Widjanarko tidak mengatakan bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Dake tidak pernah menyebut kenyataan bahwa para perwira Kopkamtib antara 1969 dan 1970 sibuk membuat tuduhan terhadap Soekarno. Para perwira yang setia kepada Soekarno, seperti Jenderal Mursid dan Kolonel Maulwi Saelan, ditahan dan diinterogasi pada saat yang sama. Saelan mengaku dihukum lebih dari empat tahun penjara karena ia tidak mau memenuhi keinginan para interogator untuk menjebloskan Soekarno (Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, hal 190). gE Untuk menyembunyikan kelemahan sumber-sumbernya, Dake menggunakan metode mengutip yang rumit. Ia memaksa pembacanya berputar-putar dalam naskahnya. Misalnya, pada halaman 61 ia mengatakan bahwa Mayjen Pranoto adalah penghubung kunci antara Soekarno dan Aidit. Catatan kaki untuk mendukung klaim ini merujuk pada keterangan di halaman 67, di mana klaim itu kembali diulang. Catatan kaki di halaman tersebut merujuk halaman 63, di mana lagi-lagi kita temukan klaim yang sama. Baru pada halaman inilah ia memberi tahu pembaca bahwa sumber keterangannya adalah pernyataan Sjam di sidang Mahmilub pada 1972. Setelah tiga catatan kaki baru pembaca bisa melihat bahwa Dake sebenarnya menggunakan sumber yang sama sekali tidak dapat diandalkan. kli pin Tanpa bukti yang meyakinkan, klaim Dake bahwa Soekarno-lah yang memerintahkan G30S sama absurdnya seperti klaim dari Fic. Dan kedua klaim ini sama sekali tidak patut dianggap serius. Para penerbit kedua buku ini seharusnya menyadari kerusakan yang mereka timbulkan terhadap studi sejarah Indonesia dengan menerbitkan analisis yang begitu tidak bertanggung jawab dan penuh kebohongan mengenai peristiwa 1965. Jika para penerbit memang peduli pada reputasi mereka sendiri, mereka seharusnya meninjau setiap naskah yang masuk secara teliti sebelum diterbitkan. John Roosa Assistant Professor Bidang Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada. Bukunya Berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État (University of Wisconsin Press) akan Terbit September 2006 Suara Merdeka, Sabtu, 20 Mei 2006 : 20.59 WIB Pertemuan Bahas Korban '65 Dilabrak Ormas Karya Kepemudaan Bandung, CyberNews. Sedikitnya 150 orang dari organisasi massa karya kepemudaan melabrak sebuah pertemuan yang membahas nasib korban-korban Peristiwa 1965, Sabtu (20/5) di Bandung. Pertemuan pun akhirnya bubar setelah massa menghentikan kegiatan tersebut. Pertemuan itu sendiri bertajuk "Pasamoan Perempuan-perempuan Tangguh: Menggugah Memori Menggapai Rekonsiliasi Memperkuat NKRI" yang diselenggarakan Institut for Culture Religion Studies (INCReS). Isi ruangan sendiri, tertama letak meja dan kursi terlihat agak berantakan. Police line tampak dipasang di pintu masuk. AM Acara itu sedianya diisi presentasi hasil penelitian atas nasib korban-korban Peristiwa 1965 terutama eks tapol PKI. Selain itu, juga bakal dihadirkan pembicara dari Komnas Perempuan, anggota DPR RI dari PDIP, Ribka Tjiptaning, dan anggota DPRD Jabar, Syaiful Huda. Namun baru saja, Syaiful Huda yang memberikan pandangannya, massa yang berpakaian yang cenderung loreng-loreng langsung masuk ke dalam ruang gedung yang tak begitu luas itu. LS Menurut Koordinator Program INCReS, Lelly Suhenti, mereka menyerbu masuk sambil membawa pengeras suara sambil membawa isu mereka yang terlibat dalam pertemuan sebagai PKI. gE Yang membuat Lelly agak terpukul, hal itu dilakukan kepada para peserta yang kebanyakan sudah berusia sepuh. Peserta sendiri yang berasal dari kota-kota Jabar dan Jakarta itu, jelasnya, ada yang pernah terlibat maupun yang tidak menahu peristiwa itu. "Mereka masuk dengan cara tidak sopan. Kami tak mau mereka jadi korban lagi makanya mereka kami langsung pulangkan begitu kejadian ini," tandas Lelly. kli pin Atas peristiwa itu, dua orang pimpinan INCReS yakni Hasyim Adnan dan Khusnul Hidayati dimintai keterangan oleh aparat Polresta Bandung Tengah. Peristiwa ini dianggap tidak berizin. "Karena itu, kepolisian membubarkannya," kata Kapolresta Bandung Tengah, AKBP Mashudi. Keterangan ini secara tidak langsung membantah bahwa pembubaran itu dilakukan oleh Ormas KP. Meski demikian, polisi juga memintai keterangan dari pihak OKP tersebut. Asril Agus, perwakilan dari Ormas KP tersebut menyatakan bahwa tindakan itu dilakukan karena kegiatan itu berpotensi menumbuhkan bahaya laten komunis. Polisi sendiri masih menyelidiki kebenarannya. ( setiady dwie/cn09 ) Republika, Jumat, 02 Juni 2006 Bangkitnya Komunis Berjubah Islam Oleh : Irfan S Awwas Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Kini penganut paham komunis di Indonesia, semakin berani tampil vulgar. Namun, tentu saja, mereka tidak punya nyali tampil telanjang sambil mengusung ideologi komunis, karena mereka tahu, akan segera dilibas oleh kekuatan Islam. Mereka menggunakan siasat lain, yaitu melakukan pola mimikri (menyamar) dengan mengenakan jubah Islam. AM Kader-kader neo-PKI banyak yang masuk ke perguruan tinggi Islam semacam IAIN atau UIN. Dari dalam, mereka mengacak-acak Islam, melakukan pembusukan ideologi dengan dalih liberalisasi dan pembaharuan pemikiran Islam. Padahal, sesungguhnya mereka membawa misi de-Islamisasi (pendangkalan aqidah) dan pemurtadan. Yang terjebak ke dalam barisan ini, tidak saja mereka yang berstatus mahasiswa, tetapi juga dosen bahkan pimpinan PT tersebut. Oleh karena itu, wajar saja bila dari perguruan tinggi Islam seperti itu lahir seruan untuk "bertakbir" dengan lafaz anjinghu akbar dan berbagai kesesatan lainnya seperti pernyataan 'kawasan bebas tuhan' dan 'tuhan telah mati'. Bahkan, ada dosen yang karena berpendirian bahwa Alquran (secara fisik) adalah makhluk, maka tidak apa-apa bila diinjak-injak. Lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas, kemudian diinjak-injak adalah bukan apa-apa. gE LS Jika pelecehan demikian dilakukan terhadap kalam Allah, apakah dosen itu juga berani menginjak-injak bendera merah putih, yang juga makhluk ciptaan makhluk, namun diposisikan sebagai lambang negara? Pasti si dosen akan dicokok aparat berwenang. Apakah dosen itu juga berani menuliskan nama presiden RI di atas secarik kertas, kemudian menginjak-injaknya di depan umum? Pasti ia tidak berani, karena selain dipecat ia juga akan dibekuk aparat dengan tuduhan subversi atau teroris. kli pin Neo-PKI tidak saja masuk ke dalam Perguruan Tinggi Islam, bahkan sudah sejak lama mereka menyusup ke dalam ormas Islam, dengan tampil sebagai generasi muda Islam yang melawan kejumudan (kebekuan) berpikir, mengusung liberalisme, dan inklusifisme. Mereka tidak akan berani tampil dengan wajah aslinya, sehingga umat Islam sering terkecoh, dan tidak secara langsung melibasnya. Bisa karena alasan aqidah, sesama Muslim dilarang saling memusuhi. Atau, alasan politis, tidaklah etis bertengkar sesama ormas Islam. Selain berpenampilan sebagai pemikir, mereka juga masuk ke laskar-laskar ormas Islam. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian dari ormas Islam seperti itu, mencuat seruan dan tuntutan untuk membubarkan lembaga Islam lainnya. Ini, mengingatkan kita pada gaya PKI di zaman Soekarno dulu. Ketika itu, PKI sangat gencar mendesak Bung Karno untuk membubarkan Masyumi dan HMI yang dianggapnya tidak sejalan dengan jiwa revolusioner Bung Karno. Aliansi dan konspirasi Selain melakukan mimikri dengan mengenakan jubah Islam, mereka juga membangun aliansi dan konspirasi dengan tokoh atau elemen yang mengaku Islam, seperti Islam liberal, Islam moderat, maupun Islam warna-warni. Tema kebencian terhadap Islam dan umat Islam, disebarkan melalui cara penertrasi gerakan, termasuk melakukan hasutan dan adu domba di antara umat Islam. Terhadap gerakan yang secara ideologis memiliki identitas Islam mereka beri label fundamentalis, Islam garis keras, dan yang paling baru preman berjubah. Sekalipun mereka berusaha menutupi identitas aslinya, dengan bersembunyi di balik jubah Islam, namun ciri-cirinya mudah dikenali, karena mereka tampil dengan gaya dan format lama, persis gaya PKI di masa orde lama. Istilah preman berjubah pertamakali dipopulerkan Ahmad Syafii Maarif, dalam salah satu stasiun TV dalam rangka memperingati sewindu reformasi. Hadir dalam dialog tersebut antara lain Akbar Tanjung, Wiranto, Buyung Nasution. Ketika itu Syafii mengatakan --kalimat ini tidak terlalu persis: "Pada 2030 nanti Pancasila sebagai karya brilian Bung Karno harus sukses diamalkan, karena sekarang penentang Pancasila sudah tidak ada lagi setelah para preman berjubah kehilangan energi". Bila istilah ini dilabelkan pada gerakan Islam yang bertujuan mengamalkan syariat Islam, tegas memberantas kemungkaran, jelas bukan ucapan manusia beradab. Sebab, para tokoh pejuang mengusir penjajah Belanda seperti Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Pangeran Hasanuddin, tampil mengenakan sorban dan jubah. Begitu pula Imam Bonjol, Syeikh Ahmad Syurkati, Teuku Umar, KH Syeikh Hasyim Asyari, mereka semua berpakaian jubah. Jangan lupa, Panglima Besar Soedirman selama masa gerilya mengenakan overcoat yang oleh pengikutnya disebut jubah. Nah, bagaimana Ahmad Syafi Maarif menilai dan memposisikan orang besar seperti itu? AM Contoh kasus Sikap biadab yang sama, ternyata diwarisi juga oleh seseorang yang mengklaim diri kelompok Aliansi Anti Kekerasan, Taufiq, dan artis Rieke Dyah Pitaloka. Dalam dialog di Metro TV dengan Fauzan Al Anshari, Taufiq secara kasar menyebut Majelis Mujahidin, Hizbuttahrir, dan Front Pembela Islam, sebagai kelompok preman berjubah. Hal ini dikemukakan terkait dengan dengan kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Purwakarta, akhir Mei 2006 lalu. LS Kasus Purwakarta, yang oleh Aliansi Anti Kekerasan dikatakan akibat pengusiran Gus Dur --tapi Gus Dur sendiri membantah diusir-- seharusnya dilihat secara proporsional. Bila Gus Dur bebas mengemukakan pendapat, bahwa Alquran merupakan Kitab Suci paling porno, maka aktivis Majelis Mujahidin, HTI, dan FPI yang mendebat Gus Dur dalam suatu forum debat publik, juga harus diterima sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Terlepas, apakah cara yang dilakukan aktivis Mujahidin, HTI, dan FPI tadi tidak menyenangkan sejumlah orang, itu lain perkara. gE Pelecehan terhadap Alquran yang bersumber dari pernyataan Gus Dur disitus JIL, dan dipublikasikan melalui koran Duta Masyarakat, Jawa Timur, 6 April 2006, dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu yuridis dan syariat Islam. Secara yuridis, pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa menempuh jalur hukum yang berlaku. Sedangkan menurut syariat Islam, kepada Gus Dur diminta untuk bertobat, bila menolak, maka dia berhak dikenakan hukuman pidana Islam. kli pin Dalam peristiwa di Purwakarta, beserta rentetan demonstrasi berikutnya, termasuk demonstrasi menentang RUU APP, justru harus diwaspadai, adanya ancaman gerakan komunis. Dahulu, PKI selalu melontarkan penghinaan dan pernyataan yang bernada memusushi Islam dan umat Islam. Misalnya, 'shalat itu celaka' kata mereka dengan memenggal ayat Alquran. Mereka menganggap pornografi sebagai seni, bahkan mendudukkan Alquran (kitab suci yang paling dimuliakan umat Islam) sebagai kitab suci paling porno. Ada lagi, agama dipandang tidak pantas mengatur negara, tapi negara yang mengatur agama. Orang yang menuduh umat Islam sebagai pereman berjubah adalah jelas-jelas manusia berperangai komunis. Pola kerja PKI di zaman orde lama, memiliki ciri tertentu, antara lain menganggap orang-orang di luar kemunitasnya sebagai picik, berkepala batu, bahkan sesat. Mereka senang membuat kekacauan yang tidak jelas sasarannya, seperti menggulingkan gerbong kereta api, membakar gedung pemerintah, menyebar isu SARA, atau menculik lawan politiknya. Tujuannya, untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan horizontal. Selain itu, bila di antara anggotanya tertangkap atau dipenjara, mereka jarang memberi pembelaan secara terus terang, bahkan membiarkannya menanggung risiko sendirian. Mereka tidak memiliki solidaritas perjuangan. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa waspada, dan membersihkan elemen-elemen neoPKI yang sudah sejak lama ngendon di negeri ini. KOMUNIS Alfian: Bangga Menjadi Antikomunis Senin, 12 Juni 2006 JAKARTA (Suara Karya): Dosen Universitas HAMKA Jakarta Alfian Tanjung menegaskan dirinya bangga menjadi orang antikomunis. Itu dia kemukakan menanggapi anggota DPR Ribka Tjiptaning Proletariyati yang lantang menyatakan bahwa dirinya bangga menjadi anak aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI). Penegasan Alfian Tanjung itu dikemukakan saat mendampingi Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo pada jumpa pers, seusai acara serah terima jabatan Kepala Staf Kodam Jaya dari Brigjen Pruyanto kepada Brigjen Darpito P, di Aula Sudiman, Makodam Jaya, Jakarta, Sabtu siang. AM Alfian Tanjung yang mengaku sebagai kader gerakan Islam, yang secara ideologis tidak akan pernah bertemu dengan komunis, kembali menguraikan upayanya untuk mengumpulkan data-data mengenai kegiatan kader-kader komunis di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur. LS Ketika ditanya mengenai data-data yang dia peroleh, menurut Alfian, yang paling nyata dan menjadi ikon adalah Ribka Tjitaning Proletariyati yang telah meluncurkan bukunya pada awal Oktober 2002 dengan judul "Aku Bangga Jadi Anak PKI" dan pada pertengahan tahun lalu dia meluncurkan buku kedua dengan judul "Anak PKI Menjadi Anggota Parlemen". gE Menurut Alfian, gerakan kader komunis Indonesia pada saat ini sudah mencapai "stadium empat". "Saya melihat bahwa hal ini merupakan kelicikan dan kelicinan cara bermain kader-kader komunis - PKI - sejak dulu. Mereka menunggu sampai orang tidak berdaya dan kemudian baru memukul mati lawan-lawannya," ujarnya, tegas. Alfian menyadari bahwa apa yang dia kemukakan itu akan mendapat reaksi negatif. "Saya katakan, siapapun yang ingin kembali membangkitkan paham komunis di Indonesia, anda boleh menganggap sudah cukup di atas angin. Tetapi, Anda akan berhadapan dengan orang-orang yang siap mati untuk menghadapi kebangkitan anda," kata Alfian. kli pin Ditegaskan pula bahwa kebangkitan komunis (di Indonesia) sedang menunggu hari. Ini sangat kentara dengan munculnya buku-buku, demonstrasi yang menggunakan lambang-lambang Palu Arit dan kaos-kaos Palu Arit yang banyak dipakai mahasiswa di beberapa kampus. "Saya pikir bukan persoalan simbul, tetapi persoalan akar kemengapaan orang-orang itu muncul," katanya. Alfian juga bersedia menyebutkan nama-nama kader komunis yang sekarang duduk di DPR, antara lain HM Rusli yang dulu menjadi Ketua PRD kini menjadi petinggi di PAN. Kemudian Yusuf Lakaseng, yang dahulu petinggi PKI muda yang sekarang berada di PBR. Dalam masalah ini, Alfian menyatakan, siap untuk menyebutkan orang-orang itu satu persatu, asalkan mereka berkata jujur dalam permasalahan ini. "Apabila Ribka Tjiptoning yang mewakili PDIP secara terang-terangan menyatakan, bangga menjadi anak PKI. Maka saya menyatakan, bangga menjadi antikomunis atau anti-PKI," kata Alfian. Dia mengatakan, kalau memang harus ada pertarungan lagi, maka hal itu akan dilanjutkan. "Masalahnya persoalan itu bukan urusan hari ini, karena negara kita sedang menghadapi berbagai persoalan yang cukup banyak, multi krisis yang harus ditangani. Intinya ingin saya katakan, hari ini adalah lahan subur kebangkitan PKI," katanya lagi. Alfian mengingatkan, pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 bukan persoalan sepele. Itu merupakan kerangkeng keras yang dibangun dengan tiga implikasi. Karena bila TAP di cabut, berarti PKI tidak salah. Kalau PKI tidak salah, maka yang salah adalah TNI dan umat Islam. "Jika TAP itu dicabut maka mereka (PKI - Red) punya hak untuk rehabilitasi dan konpensasi. Artinya, pemerintah harus keluarkan uang Rp 2,5 miliar kali 20 juta klaim anggota mereka. Dengan demikian PKI juga boleh ikut pemilu 2009. Ini bukan bercanda," kata Alfian. kli pin gE LS AM Dia mengingatkan, apabila tahun 1948 (tragedi Madiun) sudah berdarah-darah, tahun 1965 (G30S) kembali berdarah-darah, apakah itu harus terulang lagi. "Ancaman kebangkitan kembali PKI cukup serius," ujar Alfian. (M Senoatmodjo) Detik, 20 Mei 2006 200 Orang Bubarkan Diskusi Soal PKI di Bandung Ahmad Yunus - detikcom Bandung - Sekitar 200 orang yang berasal dari berbagai ormas membubarkan paksa sebuah acara diskusi presentasi hasil penelitian korban kekerasan perempuan pada tahun 1965 terutama eks tapol dan napol PKI. Usai penggerebekan, dua orang panitia dimintai keterangan polisi. Acara yang berlangsung di sebuah wisma di Jalan Berantas II, Cihapit, Bandung, Jawa Barat ini diikuti oleh sekitar 80 orang. Sebagian besar mereka berusia lanjut, karena mereka adalah para korban kekerasan yang terjadi pada tahun 1965. AM Acara baru berlangsung sekitar 2 jam, pada pukul 11.45 WIB, Sabtu (20/5/2006) sekitar 200 orang dari ormas Patriot Pancamarga, Persatuan Aksi Gangguan Regional (Pagar), Forum Komunikasi Pemuda Pemudi Veteran, Gibas, datang dan langsung membubarkan paksa. Massa tiba di lokasi langsung berteriak-teriak "Basmi...Bantai..". Melihat situasi yang tidak kondusif, panitia membubarkan acara tersebut. LS "Kita berbicara pelurusan sejarah 65. Kita tidak melawan mereka denga kekerasan . Kita mengalah saja," kata Koordinator Institut for Culture and Religion Studies (Incres) Lolly Suhengky saat ditemui wartawan di Wisma Berantas II, Bandung. gE Lebih lanjut, Lolly menjelaskan penelitian yang mereka diskusikan merupakan penelitian tahun 2001 di sejumlah tempat di Jawa Barat. Sedangkan peserta diskusi sebagian besar berusia di atas 70 tahun, berasal dari Subang, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Bandung, Garut, dan Jakarta. Dua orang panitia, yakni Ketua Pelaksana diskusi Hasyim Adnan dan Chusnul Hidayat dari Syarekat Yogyakarta dibawa ke kantor Polres Bandung untuk dimintai keterangnnya. Menuruty Lolly, acara diskusi ini sudah diberitahukan ke kepolisian. Tetapi pihak kepolisian tidak memberi izin terus. kli pin Spanduk acara dan buku tamu diambil aparat kepolisian Bandung Tengah. Selain itu, aparat juga memasang police line dengan ukuran 10X7 meter di lokasi kejadian. Diskusi dijadwalkan siang ini mendengarkan dua pembicara, yakni dari Komnas HAM dan Dr Ribka Tjiptaning Proletariyati, penulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" yang kini menjadi Ketua Komisi IX DPR. Acara tersebut bertema "Pasamuan perempuan-perempuan tangguh, menggugah memori, menggapai rekonsiliasi, memperkuat NKRI". (jon/) Republika, Kamis, 15 Juni 2006 Komunisme Sungguh Tengah Bangkit Muncul dalam bentuk 'KGB' dan aksi antinilai agama. JAKARTA -- Ideologi komunisme dinilai masih sangat berbahaya dan harus tetap diwaspadai. Budayawan Taufik Ismail, mengingatkan, paham yang telah mencetak lembaran hitam pada sejarah bangsa ini, kini tampil dalam bentuk komunisme gaya baru (KGB) dan masyarakat harus mengenali tanda-tandanya. AM Indikasi bangkitnya komunisme sudah sangat terasa. Salah satunya hadir lewat kekuatan opini, berupa buku-buku tentang pengalaman komunisme di masa lalu. Terlebih setelah era reformasi bergulir, ideologi komunisme sangat leluasa untuk bergerak dan berkembang. ''Dengan taktik kunonya, mereka melakukan penyusupan (infiltrasi) ke semua tingkat masyarakat,'' ujar penyair kondang itu kepada Republika, Rabu (14/6). Menurut dia, kader-kader komunis yang sudah menyusup itu secara ideologi sangat tangguh. Mereka juga sangat pandai untuk menutup identitas aslinya. Taufik memaparkan, dengan berbagai cara para kader KGB menyusup untuk menunggu sebuah komando. ''Tujuannya adalah merebut kekuasaan,'' tegasnya. LS Bangkitnya bangkit komunisme di Indonesia karena memanfaatkan situasi. Kata Taufik, ada empat situasi yang bisa membuat ideologi komunisme bisa tumbuh subur di dunia. Pertama, tidak adanya supremasi hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan berkepanjangan di seluruh sektor. gE Kedua, korupsi merajalela. Ketiga, situasi mudah sekali kacau (chaos). Keempat, jarak kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin melebar. ''Keempat hal ini sekarang terjadi di Indonesia. Para kader komunisme tertawa terbahak-bahak melihat hal ini,'' ungkapnya. kli pin Semua situasi tersebut, papar Taufik, akan dieksploitasi oleh kader komunis untuk merebut kekuasaan. Halangan utama yang membuat mereka tak bisa tampil adalah Tap MPR No XXV/1966. Saat ini mereka dengan segala cara, menginginkan itu dicabut. Taufik sangat yakin, KGB selalu terlibat dan menyusup di setiap gerakan anarkis yang akhir-akhir ini terjadi yang tak jauh beda dengan digjayanya gerakan PKI sekitar pertengahan 1965. ''Sulit memang untuk membuktikan, tapi berdasarkan pengalaman, KGB pasti terlibat,'' cetusnya. Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), KH Hussein Umar, juga melihat, saat ini kembali muncul pola gerakan komunis seperti yang pernah terjadi di era 1948 dan 1965. Kader militannya menyusup dengan sebuah doktrin yang kuat, yakni 'bertempur di front musuh'. Dengan begitu, mereka mampu menyatu dengan arus bawah. ''Pola gerakan itu berupa provokasi, adu-domba dan pertentangan yang memecah belah masyarakat,'' tuturnya. DDII mengingatkan, Muktamar Alim Ulama pada 1957 di Palembang, Sumatera Selatan, menfatwakan bahwa komunisme hukumnya haram. Maka umat islam diimbau tak terjebak dan terpancing dengan pola gerakan mereka. Juga sangat mungkin, menurut Husein, terjadinya penyusupan kader komunis ke parpol, ormas maupun DPR. ''Tapi saya tak tahu soal jumlahnya.'' Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Kholil Ridwan, menilai komunis, identik dengan virus yang tak bisa mati dalam segala cuaca. ''Di Jawa Timur sempat akan terjadi pertemuan aktivis PKI,'' ungkapnya. Ia percaya adanya penyusupan kader komunis di berbagai ormas, parpol, hingga DPR. ''Soal jumlah, bisa 100, juga bisa lebih.'' Kholil mengingatkan pemerintah, jangan sampai kecolongan seperti pada masa Orde Lama. Apalagi saat ini, ideologi komunisme berkembang di balik gencarnya tuntutan demokrasi dan HAM dambil membawa semangat antiajaran agama. kli pin gE LS AM (n hri ) Kompas, Sabtu, 16 September 2006 Kontroversi Kejagung Periksa Pejabat Depdiknas Jakarta, Kompas - Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional Diah Hariyanti, Jumat (15/9), menolak memberikan penjelasan tentang pemeriksaan dirinya oleh satu tim intelijen Kejaksaan Agung terkait dengan penulisan buku sejarah sekolah dasar hingga sekolah menengah atas/madrasah aliyah tentang peristiwa politik tahun 1965 di Indonesia. AM Namun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Mansyur Ramly— atasan langsung Diah Hariyanti— menegaskan, sebetulnya tidak ada yang keliru dalam penulisan buku sejarah untuk SD hingga SMA yang tidak mencantumkan kata "Partai Komunis Indonesia (PKI)" itu. Menurut Mansyur, Depdiknas merekomendasikan penulisan naskah sejarah itu berdasarkan pertimbangan akademik yang diberikan oleh para ahli sejarah (sejarawan). LS Sementara itu, Diah sendiri hanya mengatakan, masalah yang dihadapinya sekarang merupakan hal yang sangat sensitif. "Sebaiknya tanyakan hal ini ke Kejaksaan Agung," katanya. Kurikulum 2004 gE Menurut Mansyur, selain Diah, sebenarnya mantan Kepala Pusat Kurikulum Siskandar—kini menjabat Sekretaris Balitbang Depdiknas—pun pernah dimintai keterangan seputar kontroversi penulisan sejarah pemberontakan PKI. Namun, tidak disebutkan kapan kedua pejabat itu dimintai keterangan. Mansyur menjelaskan, kontroversi ini berawal dari terbitnya buku pelajaran Sejarah untuk SD-SMA berdasarkan Kurikulum Tahun 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam buku itu, uraian tentang terbunuhnya tujuh jenderal tanggal 30 September 1965 tidak mencantumkan nama "PKI". Istilah yang digunakan untuk menyebut peristiwa tersebut adalah "Gerakan 30 September". kli pin Tidak tercantumnya kata "PKI" di belakang "Gerakan 30 September", katanya, lebih karena pertimbangan untuk memberikan kesempatan bagi pelajar mencari kebenaran hakiki. Sehari sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang dimintai pendapatnya seputar hal ini menyatakan tidak tahu-menahu. Secara terpisah, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, berpandangan, jika benar ada pemeriksaan atas pejabat Depdiknas, itu merupakan langkah mundur bagi bangsa ini untuk menemukan kebenaran sejati. "Ini mirip pola Orde Baru, di mana teror menjadi hal yang biasa," ujarnya. Penjelasan Kejagung Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin membenarkan adanya penelitian terhadap buku- buku sejarah tersebut. "Itu kan barang cetakan, jadi akan dilihat apakah layak diedarkan untuk masyarakat atau tidak, termasuk buku-buku sejarah. Itu untuk pendidikan, supaya jangan keliru," katanya. Menurut Muchtar, penelitian dilakukan oleh tim interdep, yang antara lain terdiri atas kejaksaan, kepolisian, Depdiknas, dan Badan Intelijen Negara. Penelitian atas buku-buku itu merupakan prosedur biasa untuk memastikan apakah suatu barang cetakan memiliki potensi mengganggu ketertiban umum atau tidak. Kemarin Kejagung juga memeriksa enam penerbit buku sejarah tersebut. Pemeriksaan dilakukan atas buku pelajaran Sejarah untuk kelas III SMA terbitan Erlangga. "Di buku itu disebutkan Gerakan 30 September 1965. Tidak ada penulisan PKI. Itu yang diperiksa," kata Sabas Sinaga, kuasa hukum PT Penerbit Erlangga Mahameru (Erlangga). kli pin gE LS AM Menurut Sinaga, pihak Erlangga menerbitkan buku berdasarkan kurikulum yang dikeluarkan Depdiknas. "Artinya, kalau dari segi izin sudah ada. Tidak mungkin kan menerbitkan buku kalau tak ada izin," ujarnya. (NAR/IDR) Kompas, Rabu 27 September 2006 Eks Mahasiswa 1960-an Ditawari Menjadi WNI Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia akan menawarkan kembali proses kewarganegaraan Indonesia terhadap 570 eks mahasiswa ikatan dinas di zaman Orde Lama, yang belajar ke sejumlah negara, tetapi tidak berani pulang kembali ke Indonesia pascaperistiwa G30S/PKI. Seusai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan, Selasa (26/9), Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan, Presiden memberikan waktu satu bulan bagi dirinya untuk menyelesaikan proses kewarganegaraan Indonesia tersebut. AM Hingga kini banyak eks mahasiswa ikatan dinas (mahid) yang memilih tinggal di luar negeri, bahkan sekarang ada yang tanpa kewarganegaraan. LS "Saya diperintahkan oleh Presiden untuk menyelesaikan masalah eks mahid tersebut, yang pada tahun 1960-an pergi belajar ke sejumlah negara dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Jumlahnya sekarang mencapai 570 orang eks Mahid. Di antara mereka, ada yang sudah 40 tahun mau pulang ke Indonesia, tetapi tidak bisa lagi," kata Hamid. gE Ia menambahkan, ke-570 eks mahid tersebut tidak berani pulang ke Indonesia karena kebijakan pemerintahan Orde Baru. "Sekarang dengan undang-undang baru, Presiden minta saya menyelesaikannya dengan menawarkan apakah mereka mau kembali lagi ke Indonesia menjadi WNI," kata Hamid, mengutip Presiden. kli pin Menanggapi hal ini, Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra Zen mengatakan, "Sebaiknya yang meminta mereka kembali ke Indonesia adalah Presiden." (HAR) Kompas, Sabtu 30 September 2006 Peristiwa 30 September Masih Terus Menjadi Kontroversi Jakarta, Kompas - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S masih menarik untuk selalu dikaji, terutama mengenai siapa yang menjadi dalang peristiwa berdarah itu. Berbagai buku yang ditulis oleh banyak kalangan pun menunjukkan beragam versi tentang peristiwa itu. Dalam seminar "Re-examining 30 September 1965 as an Historical Event" yang diselenggarakan CSIS dan Grasindo, Jumat (29/9), setidaknya membahas tiga buku mengenai peristiwa G30S. Tiga buku itu adalah Pembantaian yang Ditutup-tutupi yang ditulis Lambert J Giebels, Sukarno File (Antonie CA Dake), dan Di Balik Tragedi 1965 (Sulastomo). Dua penulis yang hadir dalam seminar itu adalah Giebels dan Sulastomo, sedangkan pembahasnya adalah sejarawan Asvi Warman Adam dan Taufik Abdullah. AM Sementara itu, di depan Gedung CSIS, sekelompok orang yang membawa bendera Barisan Oposisi Rakyat berunjuk rasa menentang seminar itu. Mereka meminta CSIS tidak menyelenggarakan seminar yang, menurut mereka, telah menyelewengkan sejarah Bung Karno. Salah satu spanduk yang mereka bawa bertuliskan "Stop Penyimpangan Sejarah Bangsa". LS Sulastomo mengungkapkan, ada beberapa teori mengenai peristiwa G30S. "Lima teori yang mungkin menjadi latar belakang peristiwa itu ialah konflik internal di tubuh Angkatan Darat, kudeta yang dilakukan Soeharto kepada Bung Karno, peran intelijen asing (dalam hal ini CIA), rekayasa yang dilakukan Bung Karno untuk menyingkirkan TNI, dan kudeta PKI terhadap Bung Karno," kata Sulastomo. gE Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda sekaligus sejarawan, dalam bukunya menguraikan alasan dan rincian kudeta itu, dampaknya bagi bangsa Indonesia, serta peran Soekarno dan Soeharto. Giebels menyebutkan, Soeharto versus Soekarno terus berlanjut lewat upaya pemusnahan komunisme maupun demonstrasi yang ditujukan kepada Soekarno secara pribadi hingga akhir masa jabatannya. kli pin Asvi mengatakan kontroversi tentang dalang peristiwa G30S tidak berhenti sampai hari ini saja dan mungkin akan terus bermunculan versi-versi yang lain. "Seharusnya semua pihak jangan hanya melihat pada saat peristiwa itu terjadi, tetapi juga melihat sebelum dan sesudah G30S itu, yang berdampak sangat besar terhadap bangsa ini," ujarnya. Sementara itu, kemarin para korban peristiwa G30S bersama Kontras mengadakan jumpa pers. Mereka meminta pemerintah membangun rekonsiliasi yang adil dan tulus. Selama ini, kata mereka, rekonsiliasi yang dibangun tidak mendatangkan keadilan bagi para korban peristiwa tersebut. (SIE/JOS) http://www.suarasurabaya.net 01 Oktober 2006, 13:10:55, Laporan Wiwin Kartikasari Sejarah Pemberontakan G30S/PKI Carut Marut ssnet| Sejarah Pemberontakan G30S/PKI Carut Marut. Pernyataan tersebut diutarakan HIDAYAT NUR WAHID Ketua MPR RI, ia melihat ada tendensi dari pihak tertentu, memutarbalikan fakta sejarah untuk menghidupkan kembali PKI dan ideologi komunis di Indonesia. Dengan memanfaatkan hakekat kebebasan dan demokrasi yang di terjemahkan menurut alam pikiran mereka sendiri. Karean itu kontroversi tentang sejarah pemberontakan G30S/PKI, jangan dijadikan pembenaran, seakan-akan PKI tidak terlibat dalam pemberontakan tanggal 30 September 1965. AM Dilaporkan JOSE ASMANU reporter Suara Surabaya, Minggu (01/10), di Jakarta, SUTARJO SURYOGURITNO Wakil Ketua DPR RI mengakui, sejarah pemberontakan G30S/PKI menjadi carut marut. Kalangan TNI mencari pembenaran sendiri, dan kalangan urban eks anggota PKI mencari pembenaran sendiri. Rakyat yang menjadi korban juga mencari pembenaran sendiri, karena mereka melihat adanya pelanggaran HAM dibalik G30S/PKI. Menurut tokoh PD itu, disinilah perlunya Komisi pembenaran dan rekonsiliasi atau KKR, seperti yang diamanatkan oleh UU. UU sebenarnya menurut SUTARJO, ia sudah mengamanatkan KKR satu tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang tidak ada realisasinya. LS Sementara YUSRIL IHZA MAHENDRA Menteri Sekretaris Negara, saat dikonfirmasi mengatakan, Presiden masih ingin mendalami nama-nama calon anggota komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang sudah di tangannya, sebelum menentukan nama yang dianggap layak menjadi anggota KKR. kli pin gE Pemberontakan G30S/PKI yang ditandai dengan pembantaian terhadap 6 Jenderal dan satu perwira di Jakarta antara lain, Jenderal A. YANI, MT. HARYONO, SUPRAPTO, SOETOYO, DI.PANJAITAN, PIERE TENDEAN. Sementara di Yogyakarta juga terjadi penculikan dan pembantaian terhadap 2 Jenderal terbaik Brigjen KATAMSO dan kolonel SUGIYONO. Kompas, Jumat 13 October 2006 Kontroversi Istilah G30S ASVI WARMAN ADAM Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang seheboh istilah G30S. Sampaisampai seorang menteri terlibat langsung dalam kontroversi istilah ini melalui peraturan dan surat yang dikeluarkannya tahun 2006. AM Akhir September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian enam jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando Gerakan 30 September. Empat puluh hari setelah peristiwa itu Departemen Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 hari Kegagalan "G-30-S". Belum dicantumkan kata PKI saat itu walaupun sejak hari pertama percobaan kudeta, para pembantu Mayor Jenderal Soeharto seperti Yoga Sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya. Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Sukarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu. LS Tahun 1966 rezim Orde Baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, buku-buku yang memuat versi lain dilarang. Di luar negeri misalnya terbit tulisan Ben Anderson dan Ruth McVey (1966) yang menganggap ini persoalan internal Angkatan Darat. kli pin gE Beragam penyebutan itu berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan perspektif orang/kelompok yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu Gerakan 30 September. Itu yang tertulis secara nyata dalam dokumendokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai "Pembentukan Dewan Revolusi" serta "Penurunan dan Penaikan Pangkat". Bahwasanya kemudian muncul penafsiran tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI, AD, CIA, Sukarno, Soeharto, "kudeta merangkak MPRS", dst). Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998 bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa Orde Baru. Terbit pula buku-buku sejarah dengan beragam versi mengenai Gerakan 30 September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G30S dan pada tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G30S. Kurikulum 2004 (dalam bentuk buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Jati Sidi dan Kepala Balitbang Boediono. Anehnya, dalam kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kemudian Kejaksaan Agung mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan menanyakan siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G30S? Jawab mereka, kurikulum itu disusun berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah. Selanjutnya Kejaksaan Agung juga memeriksa beberapa penerbit. Karena menteri Pendidikan Nasional meminta instansi ini untuk menarik buku-buku sejarah yang menghilangkan kata PKI di belakang singkatan G30S. Peraturan menteri pendidikan nasional itu dapat membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa. Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa". kli pin gE LS AM Asvi Warman Adam Pernah jadi Lektor Bahasa Indonesia pada Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Paris Suara Pembaruan, Rabu, 06 Desember 2006 Roda Kehidupan Agar Perempuan Tak Lagi Menjadi Korban Sekelompok massa menamakan diri Front Solidaritas Perempuan Peduli Keadilan (FSPPK) berdemo ke DPRD Kota Mataram, beberapa waktu lalu, terkait tindak kekerasan terhadap perempuan di NTB yang pada tahun 2005 sebanyak 249 kasus, terakhir kasus potong jari Ny Wahyuniaty di bawah tekanan suaminya Indah Restu Pianto, seorang anggota DPRD kota Mataram. [Antara/Str-Dina] AM Kerusuhan dan kekerasan di Indonesia pada 13 Mei 1998 menyebabkan kelompok etnis China menjadi sasaran kerusuhan dan kekerasan. Pada kerusuhan selama tiga hari itu, para perempuan etnis keturunan mengalami kekerasan seksual. Meskipun terdapat kontroversi tentang kepastian jumlah, yang pasti banyak perempuan yang menjadi korban tidak diragukan lagi. LS Demikian laporan Radhika Coomaraswamy, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, terutama mengenai sebab dan akibat, yang pernah disampaikan pada Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada tahun 2001. Laporan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan itu dipublikasikan kembali oleh Komnas Perempuan. gE Menurut laporan Radhika, perkosaan dan kekerasan juga terjadi di Timor Timur (kini Timor Leste). Bahkan bersamaan dengan konflik-konflik bersenjata, tindakan itu juga terjadi di wilayah lain di Indonesia termasuk Papua dan Aceh. Dalam buku berjudul Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa; Disangkal! yang diterbitkan Komnas Perempuan, sejumlah perempuan korban perkosaan Mei menuturkan kesaksian. Meskipun sempat mengalami traumatik yang mendalam, mereka mau menuturkan peristiwa tragis yang dialaminya kepada se- orang aktivis. kli pin "Kalau ingat peristiwa itu, rasanya seluruh tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Tiba-tiba aku benci. Saat awal, aku sering menjerit kalau lewat sini. Aku menangis keras sekali. Papa dan Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Selama dua tahun, aku nggak mau lewat situ. Keluargaku terpaksa mencari jalan memutar untuk menghindari jembatan Slipi," tutur Siska (bukan nama sebenarnya) seperti yang diceritakan pada kepada Radhika. "Sepanjang 1998-1999, gerakan perempuan dengan konfiden melangkah maju. Mereka mendesak pemerintah untuk tidak hanya menyelesaikan kasus perkosaan Mei. Disemangati oleh seruan umum untuk reformasi dan keterbukan, aktivis perempuan melakukan berbagai upaya untuk mengungkap kejahatankejahatan terhadap perempuan lainnya, yang dilakukan sepanjang pemerintahan Soeharto termasuk penghancuran Gerwani," kata IGA Agung Ayu Ratih, anggota Lingkar Tutur Perempuan (LTP) dalam Dialog Nasional "Perempuan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi: Tantangan Bersama untuk Membela Para Pem- bela" di Jakarta, baru-baru ini. Dikatakan, di banyak negara, termasuk Indonesia, perempuan masih sering mengalami kekerasan. Setelah pengungkapan Perkosaan Mei, muncullah kisah-kisah kekerasan yang dialami kaum perempuan di Aceh selama operasi militer di daerah tersebut. Dengan didampingi sejumlah aktivis HAM, para janda dan korban kekerasan seksual menyampaikan kesaksian mereka di hadapan Tim Pencari Fakta yang didirikan oleh DPR RI. "Seperti kebanyakan orang Indonesia, mereka telah terperangkap dalam mitos-mitos yang dipelajari lewat propaganda negara tentang peristiwa berdarah 1965-1966. Penggambaran Gerwani sebagai gerombolan yang ternyata cukup kuat untuk mencegah orang-orang tertentu bersimpati pada korban dan berpikir kritis terhadap kisah-kisah yang selama ini mereka terima," ujarnya. Trauma Mendalam Diakui, kata Ayu, kebanyakan orang menganggap perempuan korban Tragedi 1965 menderita trauma sangat dalam dan tidak bersedia bicara dengan orang asing. Namun tidak sedikit pula, mereka yang tidak ragu menyampaikan cerita kepada "orang asing" yang sudah mereka percaya. Dalam sejumlah kasus, banyak pula korban yang merasa tidak sanggup mengatasi rasa pedih dari pengungkapan kembali kekejaman dan penghinaan tak terhingga yang pernah dialami. AM Tetapi Ayu pun mengaku terkejut ketika mendengar pernyataan dari seorang mantan anggota DPR mewakili Gerwani bernama Kartinah Kurdi. "Kamu percaya bahwa se- orang perempuan seperti saya akan menari telanjang dan menyilet-nyilet kelamin para jenderal," kata Ayu mengutip pertanyaan balik Kartinah. LS Ayu mengatakan, ibu-ibu mantan Gerwani dan organisasi pendukungnya sesungguhnya adalah perempuan-perempuan yang sangat sederhana. Bahkan sejumlah korban sesungguhnya sama sekali tidak terkait apa-apa dengan peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Selain masih berusia antara 12-13 tahun saat kejadian, mereka malah belum pernah mengunjungi Lubang Buaya. gE "Dampak fitnah seperti itu luar biasa. Hubungan keluarga menjadi rusak. Banyak keluarga tercerai-berai karena bapak dan ibunya terpisah. Anak-anak dari ibu mantan Gerwani tumbuh menjadi anak yang selalu mencurigai ibunya. Bahkan seorang ibu di Lampung yang mengandung sejak dipenjara, ditolak suaminya sendiri," tutur Ayu. kli pin Lingkar Tutur Perempuan (LTP), kata Ayu, telah mewawancarai 100 orang perempuan korban kekerasan yang terkait Gerwani. LTP bahkan berharap ada satu komisi yang mengungkap kejahatan terhadap perempuan mulai dari orde lama hingga orde baru. Para perempuan yang menjadi korban diharapkan dapat menyampaikan kasus mereka ke publik agar keadilan dapat ditegakkan. Dalam kesempatan tersebut, Suciwati, aktivis dan pejuang HAM, istri almarhum Munir, juga mengaku prihatin penegakan HAM di Indonesia. Demikian pula dengan tindak kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan di Indonesia. Bahkan sampai kini, pelaku pembunuhan Munir juga belum dapat terungkap. "Saya tidak mau ada orang lain diperlakukan sama seperti suaminya, Munir. Saya tidak mau ketika ada orang yang mempertanyakan hak dan kewajibannya kemudian dihabisi dan dihilangkan. Tuntutan keadilan hukum ini harus kita nyatakan bersama-sama. Jika tidak aksi pembunuhan dan penghilangan secara sistematis itu akan terus terjadi. Ini hal penting yang membuat saya begitu keras kepala," ujar Suci. Para perempuan Indonesia mungkin masih harus berjuang keras menentang diskriminasi dan kekerasan. Mereka harus bersatu agar kekerasan terhadap perempuan dapat benar-benar dihapuskan. Kelak jangan lagi ada perempuan menjadi korban dan Indonesia dapat mewujudkan kehidupan bersama yang bebas dari kekerasan. [Pembaruan/Unggul Wirawan] Last modified: 5/12/06 Suara Pembaruan, Kamis, 14 Dec. 06 Tindakan Premanisme Makin Mengkhawatirkan [JAKARTA] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Polri menindak perlakuan sewenang-wenang dari berbagai kelompok terorganisir yang melakukan tindakan premanisme terhadap masyarakat. Akhir-akhir ini, perilaku ini semakin mengkhawatirkan dengan dalih anti komunisme, sebuah alasan usang yang digunakan pemerintah Orde Baru dalam meredam dan membungkam kebebasan berekspresi masyarakat. AM Demikian seruan Koordinator Kontras, Usman Hamid di Jakarta, Rabu (13/12). Usman menyerukan seperti itu terkait aksi sekitar 100 orang dari kelompok yang menamakan diri Front Anti Komunis. LS Mereka berteriak-teriak dan membubarkan acara lomba majalah dinding dan poster, pemutaran film dokumenter HAM dan pentas seni dalam rangka memperingati Hari HAM sedunia, di Surabaya, Selasa (12/12). Selain itu, juga terkait dengan upaya dari orang- orang yang mengatasnamakan aparat negara menghentikan diskusi Filsafat Sosial dan Ekonomi Politik di Bandung, sejak Senin (11/12). gE Menurut Usman, aparat membiarkan beredarnya anjuran untuk berhati-hati terhadap ancaman komunisme, bahkan ikut terjebak dengan melarang kegiatan-kegiatan yang dianggap berbau komunis. Tindakan ini sungguh meresahkan, karena sa- ma sekali tidak berdasar serta mengancam rasa saling percaya antar masya- rakat. [E-8] kli pin Last modified: 14/12/06 TINDAKAN INTIMIDATIF INTEL POLWILTABES BANDUNG TERHADAP DISKUSI ILMIAH DI ULTIMUS BANDUNG Toko Buku Ultimus Bandung, Komunitas Rumah Kiri Bandung dan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pasundan Bandung berencana mengadakan Acara “DISKUSI FILSAFAT SOSIAL DAN EKONOMI POLITIK, Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada”, menghadirkan MARHAEN SOEPRAPTO (WNI Tinggal di Kanada) Pada hari Selasa, 14 Desember 2006, Pukul 19.00 WIB. AM Namun belum terlaksana acara tersebut, pihak Intel Polwiltabes Bandung pada hari Senin, 11 Desember 2006 (2 orang) mendatangi toko buku Ultimus dan menanyakan izin kegiatan tersebut, untuk mengantisipasi maka pihak panitia memasukkan surat pemberitahuan (bukan permoohonan) yang dialamatkan kepada KaPolwiltabes Bandung mengenai diadakannya acara tersebut. Pada hari Selasa 12 Desember 2006, kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus yang terletak di Jl. Lengkong No. 127 Bandung. Mereka mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi” (entah maksudnya gimana), mananyakan tentang status kewarganegaraan Marhaen Soeprapto (Pembicara). LS Pagi, Rabu, 13 Desember 2006, kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus dan meminta Sdr. SADIKIN (ketua panitia) untuk menemui Waka Intel Polwiltabes Bandung pada pukul 10.00 WIB untuk dimintai keterangan berkaitan dengan diskusi tersebut. Namun atas saran kawan-kawan lainnya, meminta agar SADIKIN tidak memenuhi panggilan tersebut karena bersifat lisan. gE Selain mendatangi Toko Buku Ultimus, Pihak Intel Polwiltabes juga melakukan kontak telepon ke Kantor ULTIMUS, ke hand phone Sdr. BILVEN (Dir. Ultimus) dank e hand Phone Sdr. SADIKIN (Ketua Panitia). Semenjak hari Minggu, 10 Desember 2006 Ultimus juga menerima banyak telepon gelap yang mananyakan tentang DISKUSI tersebut, padahal sosialisasi diskusi tersebut baru dilakukan Hari Selasa, 12 Desember 2006 secara terbuka, sebelumnya hanya melalui milist. kli pin Beberapa tindakan yang dicurigai merupakan bagian dari upaya tekanan, pada tanggal 12 Desember 2006, beberapa kali ULTIMUS didatangi oleh orang bertubuh tegap, dengan usia separuh baya, mendatangi ULTIMUS dengan menanyakan bagian buku-buku Berbau KIRI, dimana ULTIMUS memproduksi dan menjual buku-buku tersebut, sehingga hingga kini pihak ULTIMUS terspaksa mengambil tindakan antisipatif dengan mengamankan buku-buku tersebut. Hal yang dikahwatirkan kemudian adalah, ketika aparat keamanan kemudian menggunakan ORMAS untuk melakukan upaya membatalkan acara tersebut, sebab bukan sekali dua kali acara serupa dibubarkan atau di intimidasi dengan menggunakan ORMAS. Demikianlah kronologi ini, untuk informasi dan perkembangan lebih lanjut, hubungi : Iphoel (08124241200) : [email protected] Bilven (08122456452) : [email protected] Suara Pembaruan, Senin 18 December 2006 Terkait Penangkapan Peserta Diskusi Polri Diminta Tegas terhadap Pelaku Anarkis [JAKARTA] Polri harus melindungi hak asasi manusia (HAM) Indonesia. Salah satu HAM adalah kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. "Tindakan membubarkan diskusi merupakan tindakan yang melanggar HAM. Oleh karena itu, Polri harus tegas dalam hal seperti ini," kata anggota Komisi III DPR, Benny K Harman kepada Pembaruan, Senin (18/12). AM Benny mengatakan seperti itu berhubungan dengan sikap dan tindakan Kepolisian Wilayah (Polwil) Bandung yang menangkap panitia, pembicara dan peserta acara diskusi terbuka Filsafat Sosial dan Ekonomi Politik, yang diselenggarakan oleh Toko Buku Ultimus, Bandung, 14 Desember 2006. Menurut Benny, sampai sekarang Polri belum melaksanakan paradigma barunya sebagaimana dijanjikan Kapolri Sutanto sebelum menjadi Kapolri, yakni menindak tegas kepada semua orang melakukan pelanggaran HAM. "Saya menilai, Sutanto belum melaksanakan paradigma Polri yang baru. Polri kita seperti dalam Orde Baru," kata Benny. LS Terkait hal yang sama, pada Jumat (15/12), sejumlah aktivis prodemokrasi menyerukan, agar Kapolri Jenderal Polisi Sutanto memberitahu kepada seluruh anggota Polri bahwa Polri bukanlah alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan aspirasi dan berekspresi masyarakat. Polri merupakan lembaga negara yang bertugas memberikan perlindungan, pengayoman dan penegakkan hukum bagi masyarakat. gE Para aktivis itu adalah Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Taufik Basari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); George Junus Aditjondro, aktivis, dosen dan peneliti; dan Ari dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Diskusi tersebut bertema "Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada". kli pin Menurut Usman, sikap dan tindakan Polri di Bandung itu merupakan tindakan inkonstitusional. "Tindakan itu sungguh diskriminatif dan tidak memberikan perlindungan hukum terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat yang jelas-jelas dijamin oleh UUD 1945," kata Usman. Menurut Aditjondro, diskusi itu merupakan bentuk dari kebebasan berpikir dan berpendapat. Pihak Polri, kata dia, seharusnya menjamin kebebasan berpikir ini dengan memberikan perlindungan hukum kepada para pihak dari segala ancaman dan intimidasi. Namun yang terjadi justru pihak Polwil Bandung bertindak lalai dengan mengabaikan laporan masyarakat serta tidak melakukan antisipasi atas ancaman dan intimidasi yang diterima oleh aktivis Toko Buku Ultimus. Bahkan malah bertindak sebaliknya, yaitu menangkap pihak yang justru mendapat intimidasi. Para aktivis itu juga menyesalkan lambannya penanganan Polri kepada pihak Ultimus yang tengah menjadi korban dari intimidasi kelompok-kelompok terorganisir atas dalih penyebaran ajaran komunis. Apalagi, Polri saat ini telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka, dengan tuduhan berdasarkan UU Nomor 27 tahun 1999 tentang perubahan KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Sementara itu, tidak ada proses hukum atas Pemuda Panca Marga dan Forum Masyarakat Anti Komunis yang melakukan yang melakukan kekerasan pada aktivis Ultimus. Pembiaran dan tidak adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian semakin menguatkan fenomena kesewenang-wenangan kelompok terorganisir dalam melakukan aksi-aksi kekerasan. Pada tahun 2006 ini, fenomena kekerasan oleh kelompok-kelompok terorganisir atas nama agama maupun nasionalisme yang melakukan tindakan kekerasan di berbagai daerah semakin menguat. Hal itu tampak pada pembubaran pertemuan korban 65 di Bandung, penyegelan kantor Fahmina di Cirebon pembubaran peringatan hari HAM di Surabaya, beberapa waktu lalu, serta beredarnya spandukspanduk ancaman komunis dan marxisme di sudut-sudut kota. Hingga saat ini tidak ada penyelidikan terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi. [E-8] kli pin gE LS AM Last modified: 18/12/06