BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring dengan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus pidana pembicaraan mengenai
hukum pidana pun semakin menjadi sorotan. Salah satu kasus pidana yang
jumlahnya mengalami peningkatan adalah tindak pidana narkotika. Pelaku tindak
pidana narkotika tidak terbatas pada umur, jenis kelamin maupun tingkat strata
sosial. Peningkatan tindak pidana narkotika ini ternyata disertai dengan
penggunaan modus operandi yang semakin canggih sehingga, membuat para
pembentuk undang-undang merasa perlu membentuk undang-undang baru yang
mengatur tentang narkotika.
Pada tahun 2009 telah dibentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika karena, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
dan kondisi yang berkembang untuk memberantas dan menanggulangi tindak
pidana narkotika yang semakin marak. Sejak Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika berlaku maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
1
tentang Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 153 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II
sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut
undang-undang ini,
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.1
Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di atas
tidak hanya menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku tetapi, Pasal 153 huruf b tersebut
telah menyatakan pula jenis psikotropika golongan I dan golongan II dipindahkan
menjadi narkotika golongan I sehingga lampiran psikotropika golongan I dan
golongan II dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tindak pidana narkotika termasuk dalam tindak pidana khusus oleh karena
itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga merupakan
undang-undang pidana khusus yang dalam penerapannya berlaku berdasarkan asas
lex specialis derogate legi generalis yang artinya, undang-undang yang khusus
mengesampingkan undang-undang yang umum. dasar hukum asas ini adalah Pasal
1
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XVII, Pasal 153.
2
103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya kita sebut dengan
KUHP, Pasal 103 KUHP tersebut menyatakan, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh undang-undang ditentukan lain”.2
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika diatur pada Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Jenis-jenis pidana yang
diancamkan pada pasal-pasal tersebut meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan dan pidana denda. Jenis-jenis pidana tersebut dirumuskan dalam
beberapa bentuk akan tetapi yang paling banyak adalah bentuk kumulatif antara
pidana penjara dan pidana denda.
Di Pengadilan Negeri Purwokerto terdapat suatu putusan tentang kasus tindak
pidana narkotika dengan Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. pada amar putusan
tersebut hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama lima tahun dan
pidana denda sebesar Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan,
apabila terpidana tidak mampu membayar maka pidana denda diganti dengan
pidana penjara selama empat bulan. Pidana penjara sebagai pengganti pidana
denda dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur
pada Pasal 148 yang menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
2
Moeljatno, KUHP, Bab IX, Pasal 103.
3
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar”.3
Hakim dalam memutus harus memperhatikan nilai kepastian, keadilan, dan
kemafaatan karena peranan hakim adalah sebagai penegak hukum dan keadilan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”. Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti
pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut telah
membuat
penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian
yang
berjudul,
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PIDANA PENJARA SEBAGAI
PENGGANTI
PIDANA
DENDA
(Studi
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.).
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
4
1.
Apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan
lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dalam Putusan
Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
2.
Bagaimana efektivitas ancaman pidana denda yang dialternatifkan dengan
pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menentukan lamanya pidana penjara pengganti pidana denda pada Putusan
Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
2.
Untuk mengetahui bagaimana efektivitas ancaman pidana denda yang
dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1.
Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan hukum pada bidang pidana berkenaan dengan tindak pidana
narkotika,
khususnya
mengenai
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
5
menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda; dan
mengenai efektivitas ancaman pidana denda yang dialternatifkan dengan
pidana penjara pada suatu putusan hakim.
2.
Kegunaan Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan pengetahuan bagi penegak hukum mengenai ilmu hukum
pidana yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam
praktik; dan memberikan masukan bagi para penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yakni strafbaar feit. Ada
pun sebagian ahli hukum yang menerjemahkan strafbaar feit ini dengan istilah
lain selain tindak pidana seperti Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan
pidana”, E. Utrecht dalam bukunya “Sari Kuliah Hukum Pidana I”
menggunakan istilah “peristiwa pidana”, dan Sudarto menggunakan istilah
“delik”.
Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit banyak dikemukakan oleh para
ahli hukum, yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua pandangan,
yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis
cenderung tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility
sedangkan, pandangan dualistis cenderung memisahkan secara tegas antara
criminal act dan criminal responsibility. Criminal act adalah perbuatan yang
dilarang dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya terdiri dari: perbuatan
manusia, memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum.
7
Criminal responsibility adalah dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat
atas perbuatannya, unsurnya terdiri dari: kemampuan bertanggung jawab dan
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Para ahli hukum yang memiliki pandangan monistis diantaranya adalah
J.E. Jonkers, menurut Beliau, “Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan
hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.4
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia” mengemukakan, “Tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang
pelakunya
dapat
dikenakan
hukuman
pidana”.5
Menurut
H.J.
Schravendijk, “Perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang
begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehinggga kelakuan itu diancam
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat
dipersalahkan”.6 Simons secara lebih lanjut mengemukakan, “Strafbaar feit
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggungjawab”.7
4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan
& Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 75.
5
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1981, hlm. 50.
6
Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 75.
7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982, hlm. 38.
8
Para ahli hukum yang memiliki pandangan dualistis diantaranya adalah
Moeljatno, Beliau mengemukakan, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 8
Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengemukakan, “Perbuatan
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang”. 9 Menurut Pompe, “Strafbaarfeit itu sebenarnya
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 10 Hampir senada
dengan pendapat Pompe, menurut H.B. Vos, “Starfbaar feit adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran teoritis dibagi menjadi dua
pandangan yaitu, pandangan monistis dan pandangan dualistis. Dua pandangan
tersebut sesuai dengan dua pandangan mengenai pengertian tindak pidana oleh
karena itu, penjabaran unsur-unsur tindak pidana dalam hal ini tidak terlepas
dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukakan. Misalnya, tokoh aliran
pandangan monistis diantaranya adalah Jonkers, Schravendijk, dan Simons, sesuai
8
9
10
11
Ibid., hlm. 37.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dalam Mahrus Ali, DasarDasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 72.
Ibid.
9
dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukakan oleh mereka maka
unsur-unsur tindak pidana terdiri dari:
Jonkers
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang);
d. Dipertanggungjawabkan. 12
Schravendijk
a.
b.
c.
d.
e.
Kelakuan (orang yang);
Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
Diancam dengan hukuman;
Dilakukan oleh orang (yang dapat);
Dipersalahkan/ kesalahan. 13
Simons
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan),
2. Diancam dengan pidana (straafbaar gesteld),
3. Melawan hukum (onrechtmatig),
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand),
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar
person).14
12
13
14
Ibid., hlm. 81.
Ibid.
Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegaoro,
Semarang. 1990, hlm. 41.
10
Tokoh aliran dualistis diantaranya adalah Moeljatno dan H.B. Vos, sesuai juga
dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukan oleh mereka maka unsurunsur tindak pidana terdiri dari:
Moeljatno
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan undang-undang (ini merupakan syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). 15
H.B. Vos
a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana;
c. Dalam peraturan perundang-undangan.16
Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran undang-undang yakni dalam KUHP
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.
15
16
Ibid., hlm. 43.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 80.
11
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b. Maksud atau voornomen pada suatu percobaan atau poeging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP;
e. Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtetlijkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai
negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.17
B. TINDAK PIDANA NARKOTIKA
1. Istilah dan Pengertian Narkotika
Istilah narkotika biasanya disamakan dengan drug, hal ini sejalan dengan
pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan bahwa:
Istilah narkotika disini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi),
melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada
tubuh si pemakai, yaitu:
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku
manusia;
17
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.
193-194.
12
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa;
1) Penenang;
2) Perangsang (bukan rangsangan seks);
3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan
antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan
tempat).18
Sudarto mengemukakan, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan
Yunani ‘narke’, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.19
Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul “Segi Hukum tentang
Narkotika Di Indonesia” mengemukakan:
Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu
bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukkannya ke dalam
tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.
Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis
bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia,
seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit, dan lain-lain. 20
Smith Kline dan Frech Clinical Staff sebagaimana dikutip oleh Djoko
Prakoso mengemukakan:
Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their
depresant offer on the central nervous system, included in this definition
are ophium-ophium derivativis (morphine, codein, methadone).
Artinya lebih kurang ialah:
Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja
18
19
20
Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum tentang Narkotika Di Indonesia, PT. Karya Nusantara,
Bandung, 1976, hlm. 14, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana
Narkotika, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hlm. 17.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 36.
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.
3.
13
mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah
termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein,
methadone).21
Merriam Webster sendiri sebagaimana dikutip oleh A.R. Sujono dan Bony
Daniel menyatakan:
1) A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dull the senses,
relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes
stupor, coma, or convulsions;
Sebuah obat (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat
menumpulkan indera, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur,
tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang;
2) A drug (as marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of
addictive narcotics whether physiological addictive and narcotic or not;
3) Something that shootes, relieves, or lulls (untuk menenangkan).22
Pembentuk undang-undang secara lebih lanjut merumuskan pengertian
narkotika dalam undang-undang yang mengatur tentang narkotika, sebagaimana
pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang menyatakan:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini. 23
21
22
23
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan
Membahayakan Negara, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 18.
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Narkotika Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.1.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab 1, Pasal 1 Ayat (1).
14
Rumusan pengertian narkotika dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika di atas, membagi narkotika berdasarkan proses
pembuatannya menjadi narkotika sintetis dan narkotika semisintetis. Narkotika
sintetis atau buatan adalah narkotika yang dihasilkan melalui proses kimia secara
farmakologi yang sering disebut dengan istilah NAPZA, yaitu kependekan dari
Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.24 Narkotika sintetik
diantaranya pethidine (demerol), methadone, LAM (methadyl acetace), dan lainlain. 25 Narkotika semisintetis adalah narkotika yang diproses sedemikian rupa
melalui proses fermentasi, diantaranya heroin, dicodid, metopon, dan lain-lain. 26
2. Penyalahgunaan Narkotika
Di Indonesia narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang tersebut maka dikategorikan sebagai penyalahgunaan
narkotika. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang
mengemukakan bahwa, “Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian
dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan
kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara”. 27
24
25
26
27
Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 25.
M. Wresniwiro dkk, Masalah Narkotika & Obat Berbahaya, Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta,
2000, hlm. 44.
Ibid.
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 3.
15
Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam pendapat Soedjono
Dirdjosisworo di atas tidak lain adalah hukum narkotika yang sarat dengan
perkembangan zaman, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Penyalahgunaan narkotika dilakukan oleh orang yang
menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebut orang yang
menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum ini sebagai penyalah guna.
Dadang Hawari mengemukakan bahwa penyalah guna narkotika dapat dibagi menjadi
tiga golongan yaitu :
a. Mereka yang sudah mengidap ketergantungan primer, yaitu ditandai dengan
adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang
dengan kepribadian yang tidak stabil;
b. Mereka yang sudah ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan
narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya,
pada umumnya terjadi pada orang yang dengan kepribadian psikopatik (anti
sosial), kriminal dan pemakaian narkotika untuk kesenangan semata;
c. Mereka yang sudah ketergantungan reaktif, yaitu terutama terdapat pada
remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan serta tekanan teman
kelompok sebaya (peer group pressure).28
Penyalahgunaan
narkotika
oleh
penyalah
guna
menurut
Sudarsono
dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain:
a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan
mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan
wanita dan lain-lain;
b. Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum maupun
instansi tertentu;
28
Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bakti Primayasa,
Yogyakarta, 1997, hlm. 102.
16
c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks;
d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman
emosional;
e. Berusaha agar menemukan arti daripada hidup;
f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada
kegiatan;
g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
h. Mengikuti kemauan teman dan pergaulan tata lingkungan;
i. Hanya sekedar ingin tahu atau iseng. 29
Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang disebut dengan tindak
pidana narkotika. Tindak pidana narkotika merupakan istilah teknis yuridis yang
digunakan oleh pembentuk undang-undang sebagai bentuk penegasan sikapnya dalam
menggunakan istilah. Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky mengemukakan
bahwa bentuk umum tindak pidana narkotika ada tiga, yaitu:
a. Penyalahgunaan/ melebihi dosis;
Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas.
b. Pengedaran narkotika;
Karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik
nasional maupun internasional.
c. Jual beli narkotika.
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan
materiil, namun ada juga untuk motivasi mencari kepuasan. 30
Tiga bentuk umum tindak pidana narkotika sebagaimana dikemukakan oleh
Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky di atas bisa menjadi salah satu sebab
terjadinya tindak pidana lain seperti pembunuhan, pencurian, penodongan,
pejambretan, pemerasan, pemerkosaan, penipuan, pelanggaran rambu lalu lintas,
29
30
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 67.
Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 45.
17
pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.31 Hal ini sebagaimana kesimpulan
hasil Seminar Kriminologi Ke-II yang diadakan pada tanggal 27-30 September tahun
1972 yang menyatakan:
Penyalagunaan narkotika dapat berakibat kepada:
a. Individu
b. Masyarakat
a. Akibat terhadap individu antara lain:
a) Toleransi
b) Dependesi (psikis dan phisik)
c) Abstinensi
d) Eksalasi
e) Flash back phenomena
f) Demenfia
g) Psikosis
h) Kematian
b. Akibat terhadap masyarakat antara lain:
1) Kemerosotan moral
2) Meningkatnya kecelakaan
3) Meningkatnya kriminalitas. 32
Masalah mendasar dalam tindak pidana narkotika adalah Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menetapkan tindak pidana
narkotika sebagai pelanggaran atau kejahatan. Barda Nawawi Arief dalam hal ini
mengemukakan,
“Tidak
adanya
kualifikasi
yuridis
dikhawatirkan
akan
menimbulkan masalah/kosekuensi yuridis dalam praktik, baik konsekuensi yuridis
materiil maupun kosekuensi yuridis formal. 33
31
32
33
Ibid.
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 25-26.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 196.
18
C. PIDANA
1. Istilah dan Pengertian Pidana
Istilah pidana berasal dari bahasa Belanda yakni straf. Sering kali istilah ini
diidentikan dengan istilah “hukuman”
yang
merupakan istilah
yang
konvensional, mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas seperti bidang pendidikan, moral,
agama, dan sebagainya. Istilah pidana sendiri merupakan istilah yang
inkonvensional, mempunyai arti yang lebih khusus sehingga harus ada
pembatasan pengertian. Pembatasan pengertian tersebut telah dikemukakan
oleh beberapa ahli hukum baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Beberapa ahli hukum yang berasal dari dalam negeri yang mengemukakan
pembatasan
pengertian
pidana
diantaranya
adalah
Sudarto,
Beliau
mengemukakan, “Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
(Hukum Pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa”.34 Senada dengan
pendapat Sudarto yang menganggap pidana sebagai nestapa Roeslan Saleh
mengemukakan, “Pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik”.35 Wirjono
Projodikoro dilain kesempatan mengemukakan, “Kata ‘pidana’ berarti hal yang
34
35
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hlm.7.
Ibid., hlm. 12.
19
dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan”. 36 Adami Chazawi secara lebih lanjut mengemukakan,
“Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/ diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar
larangan hukum pidana”. 37
Beberapa ahli hukum yang berasal dari luar negeri yang mengemukakan
pembatasan pengertian pidana diantaranya adalah Van Hamel, menurut Beliau
arti pidana atau straf adalah:
Een bijonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading,
van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met
de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.
Yang artinya kira-kira adalah:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.38
Menurut Simons pengertian pidana atau straf adalah:
Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm
verboden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
36
37
38
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 1.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 24.
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico Bandung, Bandung, 1984, hlm. 48.
20
Yang artinya adalah:
Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi sesorang yang bersalah.39
Algra Janssen telah mengemukakan pengertian pidana atau straf sebagai:
Het middle waarme de overheid, (rechter) die een ontoelaabare handeling
pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overheid of zijn
handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescherming die hij, als hij
geen delict gepleegd zou hebben, geniet t.a.v. zijn leave, zijn vrijheid, zijn
vermogen.
yang artinya adalah:
Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka
yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi
dari penguasa tersebut telah sebagian dari perlindungan yang seharusnya
dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu
seandainya Ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana. 40
Pada pembatasan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli
hukum di atas, meskipun terlihat berbeda akan tetapi pada intinya semuanya itu
memiliki kesimpulan yang sama bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciriciri sebagai berikut:
 Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
 Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
 Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.41
39
40
41
Ibid.
Ibid.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 4.
21
2. Jenis-Jenis Pidana
Jenis-jenis pidana di Indonesia telah diatur dan ditetapkan pada Pasal 10
KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana dan yang
terberat disebut lebih depan.42
Pasal 10 KUHP menyatakan:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda;
5) Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan:
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim.43
Jenis-jenis pidana sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 10 KUHP tersebut
di atas dapat di uraikan sebagai berikut:
a. Pidana pokok
1) Pidana mati
Andi Hamzah mengemukakan, “Pidana mati adalah pidana yang
dijatuhkan terhadap orang yang berupa pencabutan nyawa berdasarkan
42
43
Ibid., hlm. 48.
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 10.
22
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.44 Pidana ini merupakan
jenis pidana yang terberat oleh karena itu, menimbulkan pendapat pro dan
kontra tergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu
sendiri. Kelemahan dan keberatan pidana mati ialah apabila telah dijalankan
maka tidak dapat memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atau
jenis pidananya, maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian
ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap
orang atau pembuatnya/ petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana
yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga
kekeliruan atas kesalahan terpidana. 45 Terkait pidana mati ini Adami
Chazawi mengemukakan:
Disamping itu, sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah
memberikan suatu isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah
dijatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus dengan sangat hatihati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan
yang diancam dengan pidana mati selalu juga diancamkan pidana
alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara waktu setinggi-tingginya 20 tahun.46
Nampaknya alasan pembentuk undang-undang menetapkan adanya
pidana alternatif tersebut karena kejahatan yang diancam dengan pidana mati
bisa saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu, atau faktor-faktor tertentu
yang bersifat meringankan. Hakim dalam hal ini dituntut rasa keadilannya,
44
45
46
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 120.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 29.
Ibid., hlm. 31.
23
jika menurut rasa keadilannya pidana mati tidak pas untuk dijatuhkan maka
dapat dijatuhkan pidana lain yang merupakan alternatifnya.
Pelaksanaan pidana mati diatur pada Pasal 11 KUHP yang menyatakan,
“Pidana mati dijalankan algojo pada tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.47 Pada Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU Nomor 5 Tahun
1969 menetapkan pelaksanaan pidana mati dijalankan dengan menembak
mati terpidana. Pada pelaksanaan pidana mati tersebut harus diperhatikan
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
yang menyatakan, “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan
pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”.48
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati ada yang
terdapat di dalam KUHP dan ada pula yang terdapat di luar KUHP.
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati yang terdapat di
dalam KUHP diantaranya dirumuskan pada Pasal 140 ayat (3), Pasal 340,
Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, Pasal 368 jo Pasal 365 ayat (4), dan
sebagainya. Adapun kejahatan-kejahatan lain yang diancam dengan pidana
47
48
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 11.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Bab II, Pasal 2.
24
mati yang terdapat di luar KUHP misalnya, dalam UU Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dirumuskan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat
(2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat
(2) dan Pasal 133 ayat (1).
2) Pidana penjara
Pidana penjara merupakan pidana yang bersifat menghilangkan dan/
atau membatasi kemerdekaan bergerak. Lamintang dalam bukunya yang
berjudul “Hukum Penintensier Indonesia” mengemukakan:
Yang dimaksud dengan pidana penjara itu adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan,
yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang
telah melanggar peraturan tersebut.49
Saat ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang disertai
dengan meningkatnya jumlah tindak pidana mengakibatkan jumlah pelaku
tindak pidana meningkat pula oleh karena itu, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No.M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan
Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara,
terpidana yang dikenai pidana penjara tidak hanya ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan saja tapi juga di Rumah Tahanan Negara.
49
Lamintang, Op.Cit., hlm. 69.
25
Pidana penjara dapat dijatuhkan seumur hidup atau selama waktu tertentu.
Pidana penjara selama waktu tertentu batas minimumnya adalah satu hari
sedangkan batas maksimumnya adalah lima belas tahun berturut-turut. Pasal 12
ayat (2) KUHP menyatakan, “Pidana penjara selama waktu tertentu paling
pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut”.50
Batas maksimum pidana penjara selama waktu tertentu dalam Pasal 12 ayat (2)
KUHP tersebut ternyata bisa bertambah menjadi 20 (dua puluh) tahun berturutturut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (3) KUHP yang
menyatakan:
Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk waktu dua
puluh tahun beturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim
boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana
penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu
tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui
karena perbarengan (concurus), pengulangan (residive) atau karena yang
ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127).51
Pasal 12 ayat (4) KUHP secara lebih lanjut menyatakan, “Pidana penjara
selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”.52 Ini
artinya, dua puluh tahun merupakan batas paling maksimum dari pidana penjara
selama waktu tertentu yang ditentukan dalam KUHP.
Pidana penjara dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak kritik, secara
garis besar kritik tersebut dapat dibedakan menjadi kritik moderat dan kritik
50
51
52
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (2).
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (3).
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (4).
26
ekstrem. Kritik moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara
tetapi penggunaannya dibatasi, sedangkan kritik ekstrem menghendaki
penghapusan sama sekali pidana penjara.53 Kritik moderat terhadap pidana
penjara dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) kritik dengan sudut yang berbeda,
yaitu:
a) Kritik dari sudut “strafmodus”, melihat dari sudut pelaksanaan pidana
penjara. Jadi melihat dari sudut pembinaan/ “treatment” dan
kelembagaan atau institusinya.
b) Kritik dari sudut “strafmaat”, melihat dari sudut lamanya pidana
penjara, khususnya ingin membatasi penggunaan pidana penjara pendek.
c) Kritik dari sudut “strafsroot”, ditujukan terhadap penggunaan atau
penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana yaitu adanya
kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana
penjara secara limitatif dan selektif. 54
Gerakan penghapusan pidana penjara (prison abolition) sebagai wujud
kritik ekstrem terlihat dengan adanya InternationalConference of Prison
Abolition (ICOPA) yang pertama pada bulan Mei tahun 1983 di Toronto
(Kanada), kemudian yang kedua diadakan pada tanggal 24-27 Juni tahun 1985
di Amsterdam (Belanda), dan yang ketiga pada tahun 1987 di Montreal
(Kanada) dimana istilah prison abolition diganti menjadi penal abolition. Salah
satu tokoh gerakan penghapusan pidana penjara ini adalah Herman Bianchi
yang mengemukakan:
53
54
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
37.
Ibid.,hlm. 38.
27
The institution of prison and imprisonment are to be abolished, entirely and
totally. No frace shoul be lift this darkside in human history.
(Lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selamalamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikit pun (bekas) yang patut diambil
dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini). 55
Di Indonesia sebelum tahun 1983 gagasan penghapusan pidana penjara juga
telah terlihat dengan adanya buku “Tujuh Serangkai tentang Hukum” yang ditulis
oleh Hazairin yang berjudul “Negara Tanpa Penjara”.
3) Pidana kurungan
Pidana kurungan merupakan pidana yang bersifat menghilangkan dan/ atau
membatasi kemerdekaan bergerak disamping pidana penjara namun demikian,
pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Niniek Suparni
mengemukakan:
Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan
kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan
hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan
hukuman penjara yaitu perampasan kemerdekaan seseorang. 56
Pidana kurungan diancamkan terhadap tindak pidana pelanggaran dan tindak
pidana kejahatan yang dilakukan dengan tanpa kesengajaan (culpa). Jan Remelink
dalam hal ini mengatakan:
Pada awal mulanya pidana kurungan dimaksudkan sebagai custodia honesta,
yaitu yang diancamkan terhadap delik-delik yang di dalamnya tidak terkait
55
56
Ibid.
Niniek Suparni, Op.Cit., hlm. 23.
28
ihwal kesalahan moril, yakni berkenaan dengan banyak bentuk pelanggaran,
kejahatan-kejahatan yang tidak menghilangkan martabat pelaku sebagai orang
bermoral. 57
Pidana kurungan yang diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan yang
dimaksud dalam hal ini biasanya dirumuskan secara alternatif dengan pidana
penjara atau pidana denda misalnya, dalam KUHP dirumuskan pada Pasal 188,
Pasal 193, Pasal 197, Pasal 199, Pasal 201 dan lain-lain.
Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan akan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan atau di Rumah Tahanan Negara sebagaimana berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang
Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara
yang mana, dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terpisah dari pelaku
tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara. Ada pun ketentuan batas minimum dan
maksimum dari pidana kurungan ini KUHP telah menetapkannya pada Pasal 18
ayat (1) yang menyatakan, “Kurungan paling sedikit adalah satu hari dan paling
lama satu tahun”.58 Ketentuan batas maksimum pidana kurungan tersebut dapat
ditambah menjadi satu tahunempat bulan dalam hal ada pemberatan karena
perbarengan (concurus) atau pengulangan (residive) atau karena ketentuan Pasal
52 dan 52a. Hal ini karena secara lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) KUHP
menyatakan, “Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena perbarengan,
57
58
Jan Remelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 477.
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 18 ayat (1).
29
atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 dan Pasal 52a, kurungan
dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan”.59
Pada pidana kurungan yang ditujukan sebagai pengganti pidana denda
ketentuan batas maksimum berbeda lagi karena berdasarkan Pasal 30 ayat (3)
KUHP ditentukan bahwa, batas maksimum pidana kurungan pengganti pidana
denda adalah enam bulan dan apabila ada pemberatan denda baik itu karena
perbarengan (concurus) atau pengulangan (residive) atau karena ketentuan Pasal
52 dan 52a maka, berdasarkan Pasal 30 ayat (5) KUHP batas maksimum pidana
kurungan dapat menjadi delapanbulan.
Menurut Adami Chazawidalam beberapa hal pidana kurungan memiliki
persamaan dengan pidana penjara sebagai berikut:
a) Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.
b) Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum, dan
tidak mengenal minimum khusus. Maksimum umum pidana penjara 15
tahun yang karena alasan-alasan tertentu diperpanjang menjadi maksimum
20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang
maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum pidana penjara maupun pidana
kurungan sama 1 hari. Sementara itu, maksimum khusus disebutkan pada
setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi
setiap tindak pidana, bergantung dari berat ringannya tindak pidana yang
bersangkutan.
c) Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk
menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan
lebih ringan daripada narapidana penjara.
d) Tempat menjalani penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan
walaupun ada sedikit perbedaan, yaitu harus dipisah (Pasal 28).
e) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak
ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan
59
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 18 ayat (2).
30
hukum tetap) dijalankan/ dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan
mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukan
terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. 60
4) Pidana denda
Andy Hamzah mengemukakan, “Pidana denda adalah pidana yang berupa
pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum yang tetap.61 Pasal 80 ayat (1)Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidanayang selanjutnya disebut dengan RUU
KUHP menyatakan, “Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang
wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan”.62
Pidana denda adalah jenis pidana yang paling banyak diancamkan terhadap
tindak pidana berupa pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan
maupun berdiri sendiri. Pidana denda yang diancamkan terhadap tindak pidana
berupa kejahatan lebih sering diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan ringan
baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri, dan ada pun
terhadap kejahatan selebihnya jarang sekali diancamkan dengan pidana denda baik
sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.
Hal yang membedakan antara pidana denda dengan pidana penjara dan pidana
kurungan salah satunya adalah ketiadaan ketentuan batas maksimum karena
60
61
62
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 38-39.
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit., hlm. 120.
RUU KUHP Tahun 2010, Bab II, Bagian II, Pasal 80 ayat (1).
31
KUHP hanya menentukan batas minimumnya saja. Ketentuan batas minimum
pidana denda dalam KUHP dirumuskan pada Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan,
“Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen”.63 Ketentuan batas minimum
pada Pasal 30 ayat (1) tersebut menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 18 tahun 1960 diubah menjadi tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
Ketiadaan mengenai batas maksimum pidana denda dalam KUHP telah
mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang karena, dalam RUU KUHP
pembentuk undang-undang telah menentukan batas maksimum pidana denda pada
Pasal 80 ayat (3) yang menyatakan:
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu:
a. Kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b. Kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c. Kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
d. Kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
e. Kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
f. Kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).64
Pidana denda merupakan jenis pidana yang memiliki karateristik ekonomis
oleh karena itu, hakim ketika mempertimbangkan pidana denda yang akan
dijatuhkan wajib memperhitungkan kemampuan finansial dari terdakwa yakni,
sepanjang dianggapnya perlu dengan memperhatikan hukuman yang layak
dijatuhkan pada terdakwa tanpa harus secara tidak adil mengurangi tingkat
63
64
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 30 ayat (1).
RUU KUHP Tahun 2010, Bab II, Bagian II, Pasal 80 ayat (3).
32
penghasilan atau memberatkan harta kekayaannya. 65 Konsekuensi logis dari
karakteristik ekonomis tersebut menjadi penyebab berbedanya strategi kebijakan
operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan pidana denda dengan jenis pidana
yang lainnya. Barda Nawawi Ariefmengemukakan:
Dalam menetapkan kebijakan legislatif yang berhubungan dengan
pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda perlu
dipertimbangkan antara lain mengenai:
a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda;
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya
pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas
waktu yang telah ditetapkan;
d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap
seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam
tanggungan orang tua);
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. 66
Barda Nawawi Arief dalam hal ini tampaknya ingin menegaskan bahwa,
kebijakan legislatif yang harus diperhatikan oleh para legislator terkait
pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda harus
mencangkup keseluruhan sistem pelaksanaan pidana denda itu sendiri.
Pidana denda jika dibandingkan dengan jenis-jenis pidana lain yang termasuk
pula ke dalam pidana pokok, ternyata disamping memiliki karateristik tersendiri
juga memiliki beberapa keistimewaan sebagai berikut:
65
66
Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 488-489.
Barda Nawawi Arief, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, 1992, hlm. 181.
33
a) Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan
dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan
lainnya kemungkinan seperti ini tidak mungkin terjadi. Jadi dalam hal
ini pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar pemidanaan
sebagai akibat yang harus dipikul/ diderita oleh pelaku sebagai orang
yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang
dilakukannya.
b) Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana
kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat 2), dalam putusan
hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana
kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam arti
jika denda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan
pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ini minimal umum satu hari
dan maksimal umum enam bulan.
c) Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada
hanyalah minimum umum yang menurut Pasal 30 ayat 1 adalah tiga
rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu, maksimum khususnya
ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang
bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok
pidana pokok.67
Terpidana yang dijatuhi pidana denda apabila tidak mampu atau tidak mau
membayar denda maka dapat langsung menjalani pidana kurungan pengganti
denda dengan tanpa harus menunggu sampai waktu untuk membayar denda
habis, dan apabila kemudian denda itu dibayar maka saat itu terpidana tersebut
harus dikeluarkan dari pidana kurungannya. Jangka waktu pembayaran pidana
denda diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya kita sebut dengan KUHAP, yakni pada Pasal 273 ayat (1) dan ayat
(2) yang menyatakan:
67
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 41.
34
1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana
diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut
kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi.
2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.68
Uang denda yang dibayarkan oleh terpidana disetorkan ke kas negara untuk
kemudian menjadi milik negara. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 42 KUHP
yang menyatakan, “Segala biaya untuk menjalankan pidana penjara dan
kurungan, dipikul oleh negara dan segala pendapatan dari denda dan
perampasan menjadi milik negara”.69
b. Pidana tambahan
1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu
Pidana pencabutan hak-hak tertentu diatur pada Pasal 35 ayat (1) KUHP
yang menyatakan:
Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam halhal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan
umum lainnya ialah:
a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
b) Hak menjalankan jabatan memasuki angkatan bersenjata;
c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
d) Hak menjadi Penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum
(gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak
sendiri;
68
69
KUHAP, Bab XIX, Pasal 273 ayat (1) (2).
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 42.
35
e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;
f) Hak menjalankan mata pencaharian (beroep) yang tertentu.70
Sifat pidana pencabutan hak-hak tertentu adalah fakultatif. Pelaksanaan
pencabutan hak-hak tertentu dapat dimulai pada hari putusan hakim dapat
dijalankan dan hanya bersifat sementara bukan untuk selamanya, kecuali jika
terpidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Jangka waktu
pencabutan hak-hak tertentu ini diatur pada Pasal 38 (1) KUHP yang
menyatakan:
1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan
sebagai berikut:
Ke-1 dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya
pencabutan seumur hidup;
Ke-2 dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau
kurungan.Lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
paling banyak lima tahun dari pidana pokoknya;
Ke-3 dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun
dan paling banyak lima tahun.71
Hal yang perlu diperhatikan dalam pidana pencabutan hak-hak tertentu ini
adalah, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana tersebut apabila secara
tegas diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan
tidak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana
ini dirumuskan dalam KUHP pada Pasal 317, Pasal 318, Pasal 334, Pasal 347,
70
71
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 35 ayat (1).
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 38 ayat (1).
36
Pasal 348, Pasal 350, Pasal 362, Pasal 363, Pasal 365, Pasal 372, Pasal 374,
Pasal 375. 72
2) Pidana perampasan barang-barang tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan pidana yang
menyangkut harta kekayaan (vermogenstraf). Jan Remelink mengemukakan:
Sanksi penyitaan atau perampasan sebagai pidana harta benda disamping
denda, mendasarkan kenyataan bahwa penjatuhan pidana denda saja
dianggap tidak memadai, padahal perasaan keadilan akan lebih terpuaskan
jika pelaku tindak pidana juga dihukum berkenaan dengan barang-barang
yang Ia peroleh dari tidak pidana atau yang membantunya dalam
melakukan delik tersebut.73
Ketentuan mengenai barang-barang tertentu yang dapat dilakukan
perampasan diatur pada Pasal 39 KUHP. Ada dua jenis barang yang dapat
dilakukan perampasan berdasarkan Pasal 39 KUHP tersebut, yaitu:
a) Barang-barang yang berasal/ diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari
pelanggaran), yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang
palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat, cek palsu dari kejahatan
pemalsuan surat; dan
b) Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang
disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan
dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang
digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya.74
Bambang Waluyo dalam bukunya “Pidana dan Pemidanaan” menyebutkan
barang-barang yang dapat dirampas yang terdiri dari:
72
73
74
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 45.
Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 499.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 50.
37
a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian
besar diperoleh dari tindak pidana;
b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
c) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak
pidana;
d) Barang yang digunakan untuk mengahalang-halangi penyidikan tindak
pidana; atau
e) Barang yang dibuat atau diperuntukan bagi terwujudnya tidak pidana. 75
Pidana perampasan barang-barang tertentu bersifat fakultatif bukan
imperatif sehingga tidak ada keharusan untuk dijatuhkan akan tetapi, ada
beberapa jenis kejahatan yang penjatuhan pidana tambahan perampasan barang
terhadap pelakunya menjadi bersifat imperatif misalnya, pada Pasal 250 bis,
261, 275 KUHP.76 Pidana perampasan barang-barang tertentu terhadap barangbarang yang sebelumnya tidak diletakkan sita dengan barang-barang yang
sebelumnya telah diletakan sita berbeda dalam pelaksaanaannya. Pidana
perampasan terhadap barang-barang yang sebelumnya tidak diletakkan sita
dalam pelaksanaannya menurut Pasal 41 ayat (1) KUHP dapat dilakukan
dengan menetapkan nilai/ harga atas barang tersebut menurut penafsiran hakim,
sedangkan pidana perampasan terhadap barang-barang yang sebelumnya telah
diletakkan sita dalam pelaksanaannya menurut Pasal 42 KUHP dapat dilakukan
dengan pelelangan dimuka umum menurut peraturan yang berlaku yang
kemudian hasilnya disetorkan ke kas negara. KUHAP secara lebih lanjut
75
76
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 22.
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 52.
38
mengatur tentang pelaksanaan pidana ini pada Pasal 273 ayat (3) dan ayat (4)
yang menyatakan:
3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti
dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor
lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang
hasilnya dimaksukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang
untuk paling lama satu bulan.77
Pasal 273 KUHAP apabila kita cermati memang lebih terfokus pada pidana
perampasan barang-barang tertentu terhadap barang-barang yang sebelumnya
telah diletakkan sita, begitu pula dengan Pasal 46 yang disebutkan pada pasal
tersebut. Pasal 46 yang dimaksud dalam KUHAP ini mengatur mengenai
pengembalian benda yang dikenakan penyitaan, yang perlu dipehatikan pada
pasal ini adalah apabila menurut putusan hakim benda yang dikenakan
penyitaan harus dirampas baik untuk negara, untuk dimusnahkan, atau untuk
dirusak sampai tidak dapat digunakan lagi maka terhadap benda yang
dikenakan penyitaan itu tidak dilakukan pengembalian.
3) Pengumuman putusan hakim
Semua putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum karena, sesuai dengan ketentuan Pasal 195 KUHAP
putusan hakim yang tidak diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk
77
KUHAP, Bab XIX, Pasal 273 ayat (3) (4).
39
umum tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengumuman putusan
hakim sebagai suatu pidana dalam hal ini maksudnya bukan seperti ituakan
tetapi, merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan
seseorang dari pengadilan pidana. 78 Jan Remelink mengemukakan, “Dari sudut
pandang terpidana dengan dibacakannya putusan hakim dihadapan umum
merupakan penderitaan yang serius, terutama karena secara langsung
menyentuh nama baik atau martabatnya, dalam hal ini pidana tambahan
tersebut betul-betul merupakan sanksi pidana”. 79
Pidana pengumuman putusan hakim ini bersifat fakultatif dan hanya dapat
dijatuhkan pada tindak pidana tertentu saja misalnya, tindak pidana yang dalam
KUHP dirumuskan pada Pasal 128, Pasal 206, Pasal 361, Pasal 377, Pasal 395,
Pasal 405 dan lain-lain. Pelaksanaan pidana pengumuman putusan hakim
sendiri telah diatur pada Pasal 43 KUHP yang menyatakan, “Apabila hakim
memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana
cara melaksanakan perintah itu, atas biaya terpidana”.80 Pasal 43 KUHP
tersebutmemberikan kewenangan dan kebebasan bagi hakim untuk menetapkan
mengenai cara pelaksanaan dari jenis pidana tambahan ini misalnya, melalui
surat kabar, radio, televisi, plakat yang ditempelkan pada papan pengumuman,
78
79
80
Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 54.
Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 505.
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 42.
40
dan sebagainya, yang mana pembiayaan dibebankan pada terpidana. Adami
Chazawi dalam hal ini mengemukakan:
Maksud putusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif,
mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana
yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan
kepada masyarakat umum agar berhati hati dalam bergaul dan berhubungan
dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak
menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana). 81
Pada apa yang telah dikemukakan oleh Adami Chazawi di atas tersirat
bahwa, pidana pengumuman putusan hakim itu ditujukan sebagai usaha
preventif dengan cara publikasi.
D. PEMIDANAAN
1. Istilah dan Pengertian Pemidanaan
Istilah pemidanaan merupakan istilah yang digunakan dalam pemberian
pidanaakan tetapi ada istilah lain yang digunakan yang memiliki maksud yang
sama dengan istilah ini yaitu, punisment, treatment, sanction, dan lain-lain.
Jerome Hall sebagaimana dikutip oleh Gerber dan McAnanny memberi batasan
konseptual mengenai istilah ini dengan membuat deskripsi yang terperinci
sebagai berikut:
Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam
hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas
nama negara “diotorisasikan”. Keempat, pemidanaan mensyaratkan adanya
81
Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 54.
41
peraturan-peraturan, pelanggaran dan penentuannya yang diekspresikan
dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah
melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai
yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan
dalam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan
perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat
personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya. 82
Pemidanaan bisa diartikan sebagai penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat
Sudarto bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan
pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya
mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. 83 Andy Hamzah
mengemukakan, “Pemidanaan merupakan hal yang berkenaan dengan pidana
misalnya, tujuan atau maksud dijatuhkannya pidana”.84
2. Teori Pemidanaan
a.
Teori Absolut/ Teori Retributif
Teori ini berpendapat bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan kejahatan (quia peccatum est) oleh karena itu, pidana
merupakan suatu akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan.
82
83
84
Rudolph J. Gerber dan Patrick D. McAnanny dalam M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum
Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 70.
Ibid., hlm. 114.
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 122.
42
Herbet L. Packer mengemukakan, “Pendekatan teori absolut meletakkan
gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan
karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya Ia
menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya”. 85
Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya
kejahatan itu sendiri. Tujuan utama dari teori absolut menurut Johanes
Andenaes adalah “Untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims
of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah
sekunder.86 Andy Hamzah mengemukakan:
Teori pembalasan menyatakan bahwapidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.Kejahatan itu sendiri yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana.Pidana secara mutlak
ada, karena dilakukan suatu kejahatan, tidak perlu memikirkan manfaat
penjatuhan pidana. 87
Salah satu tokoh yang menganut teori absolut adalah Immanuel Kant,
Beliau dalam tulisannya mengemukakan:
Kan niemals verhangt warden bloss als Mittels ein anderes Gut zu
befordern fur die burgeliche Gesselschaft sodern muss jederzeit nur
darum wider ihn verhangt warden, weil er verbochen hat.
85
86
87
Herbert L. Packer, The Limit of Criminal Sanction, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 187.
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 11.
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 2,
dalam Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, 2012, hlm.
68, http://online-journal.unja.ac.id., diakses 30/09/2012.
43
(Di dalam hukum, pidana tidak dapat hanya dijatuhkan sebagai sarana untuk
memajukan kesejateraan umum, hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan
pada seseorang karena Ia bersalah melakukan kesalahan).88
Pada apa yang telah dikemukakan di atas menunjukan bahwa Beliau
memandang pidana sebagai tuntutan etis. Menurut Beliau pidana sebagai
Kategorische Implementatief yakni, seseorang harus dipidana oleh hakim karena
Ia telah melakukan kejahatan. 89 Tokoh lain yang menganut teori absolut adalah
Hegel, Beliau memandang pidana sebagai konsekuensi logis dari adanya
kejahatan. Hal ini karena menurut Beliau kejahatan adalah pengingkaran terhadap
ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita susila maka,
pidana merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran
terhadap pengingkaran).90
Teori absolut menurut Vos sebagaimana dikutip oleh Andy Hamzah terbagi
atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif adalah
pembalasan terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan objektif adalah
pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar”.91 Neger
Walker memberikan 3 (tiga) pengertian mengenai pembalasan, yaitu:
1) Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu
penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu
menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukan;
88
89
90
91
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 602.
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Loc.Cit., hlm. 11.
Ibid.,hlm. 12.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 31.
44
2) Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana
yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan
kejahatan;
3) Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-betuk pidana
yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk
pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas
untuk kejahatan yang dilakukan. 92
Karl O. Christiansen akhirnya menjelaskan lebih lanjut mengenai teori absolut
ini dengan mengemukakan lima ciri pokok dari teori tersebut untuk membedakan
dengan teori pemidanaan yang lainnya, yaitu:
1) Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan;
2) Pembalasan adalah tujuan utama, dan di dalamnya mengandung saranasarana untuk tujuan lain, seperti kesejahteraan rakyat;
3) Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku;
5) Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan
tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau meresosialisasikan si pelaku. 93
b. Teori Relatif/ Teori Utilitarian
Teori relatif berpendapat bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan dalam teori ini tidak mempunyai nilai
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi masyarakat oleh karena itu, Johanes
Andenaes menyebut teori ini sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of
social defence). M. Abdul Holiq dalam jurnalnya yang berjudul “Reformasi Sistem
92
93
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan
Berencana, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hlm.199.
M. Sholehuddin, Op.Cit., hlm. 54.
45
Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi Pencapaian Tujuan Pemidanaan”
sebagaimana dikutip oleh Mahrus ali mengemukakan:
Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai
suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime) khususnya
bagi terpidana.Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik pelaksanaan
pidana sering kali terjadi kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan
oleh aparat dalam rangka menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak
melakukan kejahatan lagi. 94
Uraian di atas menjelaskan bahwa, memidana harus ada tujuan lebih jauh
daripada hanya menjatuhkan pidana saja atau bukan hanya sekedar pembalasan
saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh karena itu
disebut juga teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini terletak pada tujuannya, yaitu pidana dijatuhkan bukan “quia
peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur”
(supaya orang jangan melakukan kejahatan).95 Tujuan pidana supaya orang jangan
melakukan kejahatan ini terdiri dari:
1) Teori menakuti yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti
seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku
itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).
2) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik
dalam masyarakat (preventif khusus).96
E. Utrecht dalam hal yang sama mengemukakan:
94
95
96
M. Abdul Kholiq, “Reformasi Sistem Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi Pencapaian
Tujuan Pemidanaan”, dalam Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 191.
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 16.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.Cit., hlm. 26.
46
Sifat prevensi dari hukuman itu ada dua macam:
1) Prevensi umum (generale preventive).
2) Prevensi khusus (special preventive).
Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya
tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat
(dader) tidak melanggar.97
Pada kedua pendapat di atas terlihat bahwa inti dari tujuan prevensi umum dan
prevensi khusus memang berbeda. Pengaruh pidana terhadap masyarakat pada
umumnya merupakan inti dari tujuan prevensi umum. Ini berarti, pencegahan
kejahatan ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota
masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.98 Sebaliknya,
pengaruh pidana terhadap terpidana merupakan inti dari tujuan prevensi khusus.
Ini berarti, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan
mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana
lagi. 99
Karl O. Christiansen secara lebih lanjut menjelaskan teori relatif atau teori
utilitarian ini dengan mengemukakan karateristik atau ciri-ciri pokok dari teori
tersebut yaitu:
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);
2) Pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
97
98
99
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 157.
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 18.
Ibid.
47
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana;
4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan.
5) Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan,
tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima
apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat.100
c. Teori Gabungan/ Teori Integratif
Teori gabungan secara teoritis berusaha menggabungkan pemikiran yang
terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Teori ini pada dasarnya muncul
sebagai respon dari kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun
teori relatif, karena kedua teori tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu:
1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena
pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan
masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan
mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.101
Teori gabungan berpendapat bahwa penjatuhan pidana kepada seseorang tidak
hanya bertujuan untuk upaya balas dendam terhadap orang yang melakukan
kejahatan tetapi juga, untuk upaya mendidik atau memperbaiki orang itu agar tidak
100
101
Ibid.,hlm. 17.
Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana,
Cetakan I, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hlm. 11-12.
48
melakukan kejahatan lagi sehingga tercipta kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini
dapat dicapai apabila pidana mempunyai tiga sifat sebagai berikut:
1) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking).
2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering).
3) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).102
Pellegrino Rossi (1787-1848) adalah penulis pertama yang mengemukakan
teori gabungan di dalam bukunya Traite de droit penal. Beliau tetap menganggap
pidana sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui
pembalasan yang adil namun,Beliau berpendirian bahwa pidana mempunyai
berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan
prevensi general. 103 Teori gabungan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankan tata tertib dalam masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata-tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tersebut tidak boleh lebih berat
daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 104
Penggolongan teori gabungan tersebut memberikan indikasi bahwa pada
hakikatnya pidana merupakan asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
102
Dr. Woro Winandi, SH. MHum dan Indra Rukmana Lukito, “Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak
Pidana Narkotika”, Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19,2010, hlm. 57, ejournal.narotama.ac.id.,
diakses 30/09/2012.
103
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 19.
104
Schravedijk, dalam Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 166.
49
masyarakat karena, disamping pidana sebagai pembalasan terhadap perbuatan
melanggar hukum juga merupakan perlindungan tata tertib hukum masyarakat.
3. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan
berperan
sebagai pedoman
bagi
hakim dalam
menjatuhkan pidana.Sudarto mengemukakan bahwa pada umumnya tujuan
pemidanaan dapat dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Pembalasan, pengimbalan, atau retribusi,
2) Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat.105
Menurut Roeslan Saleh ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana, yaitu:
Yang pertama adalah apa yang disebut orang dengan koreksi. Terhadap orang
yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu
peringatan bahwa hal itu tidak boleh berulang lagi. Seperti demikianlah yang
disebut koreksi.
Kedua adalah resoasialisasi. Yang dimaksud dengan ini adalah usaha dengan
tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya
tahan, dalam arti bahwa Dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan
lagi kejahatan-kejahatan.
Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi
bilamana masalahnya adalah untuk manusia yang telah melakukan kejahatan
berat dan harus dikhawatirkan, bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan
datang masih besar sekali kemungkinannya Dia akan melakukan delik-delik
berat, walaupun terhadapnya telah diadakan resosialisasi.
105
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 81.
50
Di Indonesia perumusan mengenai tujuan pemidanaan belum ada dalam
hukum positif, selama ini tujuan pemidanaan hanya ada pada tataran yang bersifat
teoritis seperti yang telah disebutkan di atas, namun sebagai bahan kajian RUU
KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 54
yang menyatakan bahwa:
1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.106
Tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP tersebut menunjukan bahwa antara
penetapan sanksi dan perumusan tujuan pemidanaan ada hubungan yang erat
dengan teori pemidanaan, karena di dalam teori pemidanaan terkandung tujuan
penjatuhan pidana. Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa perumusan tujuan
pemidanaan dalam RUU KUHP bertolak pada pokok-pokok pemikiran sebagai
berikut:
1) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan
(purposive system) sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan
dalam undang-undang, pada hakikat hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan.
106
RUU KUHP Tahun 2010, Bab III, Bagian 1, Pasal 54.
51
2) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses dan kebijakan yang konkritisasinya sengaja
direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan
antara ketiga tahap itu sebagai suatu kesatuan sistem pemidanaan, maka
diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.
3) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagi fungsi pengendali/
kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan
motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.107
Jauh sebelum tujuan pemidanaan dirumuskan dalam RUU KUHP,
Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 dalam salah satu
laporannya telah menyatakan:
a. Sesuai dengan tujuan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan
harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/ negara, korban,
dan pelaku.
b. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsurunsur yang bersifat:
1) Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang.
2) Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang
sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia
mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruksi bagi usaha
penanggulangan kejahatan.
3) Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik
oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.108
Pada apa yang telah dinyatakan dalam Simposium Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional tahun 1980 dalam salah satu laporannya tersebut jelas bahwa
tujuan utama pemidanaan adalah perlindungan masyarakat.
107
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 152-153.
108
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Genta publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 83.
52
E. TEORI EFEKTIFITAS
Efektivitas menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukan taraf tercapainya
suatu tujuan.Efektifitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian
keefektifan, dimana keefektifanadalah:
1. keadaan berpengaruh; hal berkesan;
2. kemanjuran; kemujaraban (tentang obat);
3. keberhasilan (tentang usaha, tindakan); kemangkusan;
4. hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan).
Richard M. Steers mengemukakan, “Efektivitas adalah sejauh mana organisasi
melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai semua sasaran”.109 Sejalan
dengan pendapat Richard M. Steers yang pada intinya berpendapat efektivitas
berkaitan dengan pencapaian sasaran, Gibson mengemukakan, “Efektivitas adalah
pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama”.110 Menurut
Hidayat, “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai”. 111
Barda Nawawi Arief dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Efektivitas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 dalam Upaya Penanggulangan Narkoba” mengemukakan, “Efektivitas
109
Pyzam,“Definisi atau Pengertian Efektivitas”,http://pyjam.com., diakses 23/11/2012.
Ibid.
111
Ibid.
110
53
mengandung arti “keefektifan” (effectiveness), pengaruh/ efek keberhasilan, atau
kemanjuran/ kemujaraban”. 112 Beliau secara lebih lanjut mengemukakan bahwa
berbicara mengenai efektifitas hukum untuk menanggulangi kejahatan tentu tidak
terlepas dari penganalisaan terhadap karateristik dan variable yang terkait, yaitu:
1. Karateristik objek/ sasaran yang dituju,
2. Karateristik dari alat/ sarana yang digunakan. 113
Teori efektivitas hukum menyatakan bahwa efektif tidaknya hukum akan
sangat tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. Subtansi (peraturan hukum itu sendiri),
2. Struktur (aparat penegak hukum), dan
3. Kultuur (masyarakat).114
Faktor-faktor di atas menurut Friedman dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama adalah struktur (aparat penegak hukum) yaitu, yang bergerak di
dalam mekanisme, misalnya di dalam lembaga peradilan strukturnya
membedakan lembaga pengadilan umum, pengadilan administrasi, pengadilan
agama, pengadilan militer, dengan pembagian kompetensi masing-masing.
Komponen struktur ini diharapkan untuk melihat bagaimana hukum
memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara
teratur. Kedua berupa subtansi, yang termasuk dalam komponen ini adalah
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum yang tertulis dan tidak tertulis.
Setiap keputusan yang mengandung doktrin, keputusan pengadilan, keputusan
pembuat undang-undang dan keputusan yang dikeluarkan oleh badan-badan
pemerintahan. Ketiga berkaitan dengan kultuur terdiri dari nilai-nilai, sikap112
113
114
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 89.
Ibid.
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhamadiyah Malang, Malang,
2005, hlm. 10.
54
sikap yang melekat dalam budaya bangsa. Nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat itu yang kemudian dapat dipakai untuk menjelaskan apakah atau
mengapa orang menggunakan atau tidak menggunakan proses-proses hukum
untuk menyelesaikan sengketanya.115
Pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa, faktor subtansi hukum
(peraturan hukum itu sendiri) menunjuk pada aturan-aturan atau ketentuanketentuan hukum baik yang tertulis dan tidak tertulis maka, salah satu yang terkait
dengan faktor tersebut dalam hal ini adalah kebijakan formulasi hukum pidana.
Barda Nawawi Arief mengemukakan, “Kesalahan/ kelemahan kebijakan formulasi
dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat
menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektivitas penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana”.116
115
116
Ibid., hlm. 14.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 126.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. TIPE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Johny Ibrahim mengemukakan, “Penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif”. 117 Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif
karena penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan pasal dalam undang-undang
yakni, mengkaji penerapan Pasal 148 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009
tentang
Narkotika
terhadap
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
B. PENDEKATAN PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan dalam
penelitian ini karena tipe penelitian ini adalah penelitian normatif. Johnny
117
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing,
Malang, 2006, hlm. 295.
56
Ibrahim mengemukakan, “Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan, karena yang dikaji adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian”. 118
2. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)
Pendekatan analitis (analyticalapproach) digunakan dalam penelitian ini
karena penelitian ini bermaksud mengetahui penerapan aturan perundangundangan dalam sebuah putusan hakim yakni, penerapan Pasal 148 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Putusan Perkara
Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
C. SPESIFIKASI PENELITIAN
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian Inventarisasi Hukum
Penelitian inventarisasi hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan materi penelitian iniyaitu:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
118
Ibid., hlm. 302.
57
2. Penelitian Asas-Asas Hukum
Penelitian asas-asas hukum dalam penelitian ini dilakukan terhadap asasasas hukum bahan hukum primer dan asas-asas hukum bahan hukum sekunder.
Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer
meliputi asas-asas hukum yang terdapat pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Penelitian asas-asas hukum
terhadap asas-asas hukum bahan hukum sekunder meliputi asas-asas hukum
yang terdapat pada buku-buku teks dan literatur-literatur lainnya sebagai bahan
hukum sekunder.
3. Penelitian Konsistensi Hukum
Penelitian konsistensi hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengkaji kesesuaian penerapan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009
tentang
Narkotika
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
D. LOKASI PENELITIAN
Lokasi dalam penelitian ini adalah:
58
1. Pengadilan Negeri Purwokerto sebagai tempat mengambil Putusan Perkara
Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dan tempat melakukan wawancara untuk
memperoleh data pendukung,
2. Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman sebagai
tempat mencari bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan materi yang
diteliti, dan
3. Situs di internet sebagai tempat mencari literatur-literatur lainnya.
E. JENIS DAN SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
pendukung.
1. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
a) Bahan hukum primer
Peter Mahmud dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum"
mengemukakan, “Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
59
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim”.119
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP),
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana(KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli
hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah di bidang
hukum, dan lain sebagainya. Menurut Peter Mahmud, “Bahan hukum
sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para
sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi”.120
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah di bidang hukum dan
119
120
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.
141.
Ibid., hlm. 142.
60
literatur lain di bidang hukum yang diperoleh melalui internet yang berkaitan
dengan penelitian yang dilakukan.
2. Data Pendukung
Data pendukung dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto dimana
Bapak Abdul Latif sebagai narasumbernya. Data pendukung ini digunakan
untuk melengkapi dan memperkuat data yang telah diperoleh dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
F. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN
Teknik pengumpulan bahan dalam penelitian ini adalah:
1. Teknik Kepustakaan
Teknik kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan
melakukan penulusuran terhadap bahan pustaka, seperti: literatur, hasil
penelitian, majalah ilmiah, buletin, jurnal ilmiah dan sebagainya.121 Teknik
kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penulusuran
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum,
doktrin, literatur dari internet baik berupa artikel maupun ensiklopedia.
121
Tedi Sudrajat, “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan Hukum”, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hlm. 6.
61
2. Teknik Dokumenter
Teknik dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan
menelaah dokumen-dokumen pemerintah dan non pemerintah (putusan
pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian,
risalah rapa laporan-laporan, media massa, internet, pengumuman, instruksi,
aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dan sebagainya. 122 Teknik
dokumenter dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah suatu putusan
pengadilan
yakni,
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
G. TEKNIK PENGOLAHAN BAHAN
Teknik pengolahan bahan dalam penelitian ini dilakukan secara deduktif.
Johny Ibrahim mengemukakan, “Pengolahan bahan hukum secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi”. 123
Permasalahan umum dalam penelitian ini adalah pertimbangan hukum hakim
dalam menentukan lamanya pidana penjara bagi pelaku tindak pidana narkotika
yang tidak mampu membayar pidana denda, dan efektifitas pidana penjara sebagai
pengganti pidana denda tersebut dalam suatu putusan hakim.
122
123
Tedi Sudrajat, Loc.Cit., hlm. 6.
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hlm. 393.
62
Permasalahan konkrit dalam penelitian ini adalah pertimbangan hukum hakim
dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dan
efektifitas pidana yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan
Perkara Nomor:52/Pid.Sus/PN.Pwt.
H. TEKNIK PENYAJIAN DATA
Teknik penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teks naratif, yakni suatu penyajian data dalam bentuk uraian yang mendasarkan
pada teori yang disusun secara logis dan sistematis sehingga akan mudah
dipahami.
I. TEKNIK ANALISIS DATA
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teknik analisis normatif kualitatif yaitu, data yang diperoleh akan dianalisis dengan
pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada
norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan objek yang diteliti.
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya
pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar dan
efektifitas pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara tersebut pada
Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN. Pwt yang dilakukan di Pengadilan Negeri
Purwokerto dalam perkara pidana khusus mengenai tindak pidana narkotika, telah
menghasilkan sejumlah data yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Identitas
Identitas terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor:
52/Pid.Sus/PN.Pwt. adalah sebagai berikut:
Nama Lengkap
:
YAP OEN SING Bin YAP IT SWIE
Tempat Lahir
:
Purwokerto
Umur/ tanggal Lahir
:
43 Tahun/ 09 Oktober 1967
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kebangsaan
:
Indonesia
64
Alamat/ Tempat Tinggal :
Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 /
RW. 04 Kelurahan Purwokerto,
Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas.
Agama
:
Khatolik
Pekerjaan
:
Belum Bekerja (Pengangguran)
Pendidikan
:
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
2. Duduk Perkara
Pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan
Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas Kepolisian dari Satnarkoba Polres Banyumas menangkap
terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie atas informasi dari masyarakat bahwa
terdakwa membawa narkotika jenis shabu-shabu. Pada saat petugas kepolisian
bertanya tentang barang yang dibawa oleh terdakwa, terdakwa mengatakan
kalau Ia membawa narkotika jenis shabu-shabu dalam satu bungkus rokok LA
merah yang disimpan di saku celana kanan depan yang dipakainya, sambil Ia
menunjukannya dengan cara membuka bungkus rokok tersebut yang ternyata
didalamnya memang terdapat narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu
bungkus plastik kecil transparan, kemudian terdakwa langsung diamankan oleh
petugas kepolisian. Pada saat dilakukan pemeriksaan terdakwa mengakui masih
menyimpan narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus plastik kecil
65
dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan dirumahnya di Jalan
Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan
Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur
kamar terdakwa yang kemudian langsung diamankan oleh pihak kepolisian.
Narkotika jenis shabu-shabu tersebut diakui oleh terdakwa diperoleh dari
saudara Sri yang kini merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) yang
beralamat di Jalan Kol. Sugiri Purwokerto, dengan cara memesan melalui
telepon dengan menggunakan handphone terdakwa. Terdakwa mengakui sudah
tiga kali melakukan pembelian narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Sri,
yang pertama pada awal bulan Mei 2011 sebanyak satu gram, yang kedua satu
minggu setelah pembelian pertama dan yang ketiga hari Senin pada tanggal 30
Mei 2011. Pada pembelian yang ketiga yakni pada tanggal 30 Mei 2011
terdakwa memesan sebanyak tiga gram seharga Rp 4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah). Penerimaan barang dilakukan dengan cara saudara Sri
mengirim alamat melalui SMS kemudian terdakwa mengambil barang dekat
kuburan sebelah selatan Kebon Dalem Purwokerto, selanjutnya pembayaran
dilakukan pada malam harinya sekitar pukul 21.00 WIB di Jalan Kol. Sugiri
Purwokerto. Dua gram dari tiga gram narkotika jenis shabu-shabu tersebut
sudah dijual kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri dengan
harga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) setiap setengah gramnya,
karena tujuan Ia melakukan pembelian ini memang untuk dipakai dan dijual
66
lagi kepada orang lain. Sisanya yang satu gram adalah yang Ia bawa pada saat
dilakukan penangkapan. Terdakwa dalam hal ini tidak memiliki izin untuk
membeli atau menjual narkotika jenis shabu-shabu tersebut, karena kapasitas
terdakwa melakukan hal tersebut bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan unntuk mencari
keuntungan.
Berdasarkan
Berita
Acara
Pemeriksaan
Laboratoris
Kriminalistik,
Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011, tanggal
08 Juni 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan
Ibnu Sutarto, ST. selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang
Semarang serta diketahui oleh Drs. Siswanto selaku Kepala Laboratorium
Forensik Cabang Semarang dinyatakan bahwa, dua bungkus plastik yang berisi
serbuk kristal dengan berat keseluruhan 0,472 gram dan sisa hasil pemeriksaan
seberat
0,470
yang
disita
dari
terdakwa
adalah
mengandung
METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61
Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Dakwaan
Berdasarkan uraian dalam duduk perkara di atas, maka terdakwa didakwa
melakukan tindak pidana narkotika dengan dakwaan yang disusun secara
alternatif, yaitu:
67
 Pertama : Melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ATAU
 Kedua : Melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Hakim dalam membuktikan dakwaan tersebut akan memilih dakwaan yang
paling tepat dan sesuai dengan fakta hukum yang terungkap yaitu, dakwaan
pertama melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
4. Pembuktian
Pembuktian dalam persidangan dilakukan dengan memeriksa beberapa alat
bukti yang terdiri dari:
a. Keterangan Saksi
1) Saksi-1 (Hadiyanto)
Di dalam persidangan Hadiyanto memberikan keterangan sebagai
berikut:
 Ia pernah diperiksa oleh penyidik dan tetap pada keterangannya dalam
Berita Acara Penyidikan.
 Ia melakukan penangkapan terhadap terdakwa bersama dengan Briptu
Pramuaji, Bripka Damar Iskandar, SH dan team Iptu R. Soenardjo
68
pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di
Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan
Purwokerto
Timur,
Kabupaten
Banyumas
karena
menemukan
narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil transparan
yang di masukkan dalam satu bungkus rokok LA merah yang disimpan
di saku celana kanan depan yang terdakwa pakai. Kemudian Ia dan
petugas kepolisian lainnya membawa terdakwa ke Polres Banyumas
dan setelah diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika
jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus kecil dalam bungkus permen
merk Gofress yang disimpan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I.
No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan
Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah
tempat tidur kamar terdakwa.
 Disamping
menemukan
narkotika
jenis
shabu-shabu
Ia
juga
menemukan satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan
nomor kartu 081391300088 yang merupakan milik terdakwa.
 Sebelumnya terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama pada
tahun 2007.
 Terdakwa memperoleh narkotika jenis shabu-shabu dengan cara
memesan melalui telepon menggunakan handphone terdakwa dari
saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto.
69
 Tujuan terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut adalah
untuk dipakai dan dijual lagi kepada orang lain.
 Barang bukti dipersidangan adalah benar milik terdakwa.
 Terdakwa pada saat ditangkap mengakui membawa satu gram
Narkotika jenis shabu-shabu dan sudah menjual 2 gram narkotika jenis
shabu-shabu kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri
dan setelah ditimbang di laboratorium forensik ternyata beratnya 0,472
gram.
 Terdakwa tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang dan
terdakwa
bukan
merupakan
apoteker
atau tenaga
kesehatan/
paramedis.
Atas keterangan saksi Hadiyanto ini terdakwa membenarkannya.
2) Saksi-2 (Pramuaji. W, S.H.)
Di dalam persidangan Pramuaji. W, S.H memberikan keterangan
sebagai berikut:
 Ia pernah diperiksa oleh penyidik dan tetap pada keterangannya dalam
Berita acara Penyidikan
 Ia melakukan penangkapan terhadap terdakwa bersama dengan
Brigadir Hadiyanto, Bripka Damar Iskandar, SH dan team Iptu R.
Soenardjo pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00
70
WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan,
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas karena telah
menemukan narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil
transparan yang di masukkan dalam satu bungkus rokok LA merah
yang disimpan di saku celana kanan depan yang terdakwa pakai.
Kemudian Ia dan petugas kepolisian lainnya membawa terdakwa ke
Polres Banyumas dan setelah diperiksa terdakwa mengakui masih
menyimpan narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus kecil
dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di rumah
terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan
Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas,
yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa.
 Disamping
menemukan
narkotika
jenis
shabu-shabu
Ia
juga
menemukan satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan
nomor kartu 081391300088 yang merupakan milik terdakwa.
 Sebelumya terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama pada
tahun 2007.
 Terdakwa memperoleh narkotika jenis shabu-shabu dengan cara
memesan melalui telepon menggunakan handphone terdakwa dari
saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto.
71
 Tujuan terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut adalah
untuk dipakai dan dijual lagi kepada orang lain.
 Barang bukti dipersidangan adalah benar milik terdakwa.
 Terdakwa pada saat ditangkap mengakui membawa satu gram
narkotika jenis shabu-shabu dan sudah menjual 2 gram narkotika jenis
shabu-shabu kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri
dan setelah ditimbang di labaratorium forensik
ternyata beratnya
0,472 gram.
 Terdakwa tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang dan
terdakwa
bukan
merupakan
apoteker
atau tenaga
kesehatan/
paramedis.
Atas keterangan saksi Pramuaji.W, S.H. ini terdakwa membenarkannya.
b. Surat
Alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistik,
Laboratorium Forensik Cabang Semarang No.
Lab:
662/KNP/VI/2011, tanggal 08 Juni 2011 yang dibuat dan ditandatangani
oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan Ibnu Sutarto, ST selaku pemeriksa pada
Laboratorium Forensik Cabang Semarang serta diketahui oleh Drs. Siswanto
selaku Kepala laboratorium Forensik Cabang Semarang menyatakan bahwa,
dua bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat keseluruhan
72
0,472 gram dan sisa hasil pemeriksaan seberat 0,470 yang disita dari
terdakwa adalah mengandung METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar
dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Keterangan Terdakwa
Di dalam persidangan terdakwa memberikan keterangan sebagai
berikut:
 Ia pernah diperiksa oleh penyidik, keterangan para saksi sudah betul dan
tidak ada paksaan serta bertanda tangan dalam Berita Acara Penyidikan.
 Ia pernah dihukum sebelumnya pada tahun 2007 selama satu tahun dalam
perkara narkoba.
 Pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan
Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas, Ia ditangkap oleh petugas kepolisian dari
Satnarkoba Polres Banyumas karena padanya ditemukan satu bungkus
rokok LA merah yang berisi narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus
plastik kecil transparan yang disimpan dalam saku celana kanan depan
yang dipakai olehnya.
 Setelah diperiksa Ia mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabushabu satu bungkus kecil dalam bungkus permen merk Gofress yang
73
disimpan di rumahnya di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04
Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten
Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamarnya.
 Ia mendapatkan shabu dari saudara Sri yang beralamat di jalan kol.
Sugiri, Purwokerto.
 Pada hari Senin tanggal 30 Mei 2011 Ia membeli narkotika jenis shabushabu kepada saudara Sri dengan cara memesan melalui telepon
menggunakan handphone miliknya merk Nokia tipe 2323 dengan nomor
kartu 081391300088 sebanyak tiga gram seharga Rp. 4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah). Ia menerima barang dengan cara
saudara Sri mengirim alamat melalui SMS kemudian Ia mengambil
barang dekat kuburan sebelah selatan Kebon Dalem Purwokerto,
selanjutnya permbayaran dilakukan pada malam harinya sekitar pukul
21.00 WIB di Jalan Kol. Sugiri Purwokerto.
 Ia menjual narkotika jenis shabu-shabu tersebut kepada saudara Heri
dengan harga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) sebanyak
setengah gram, saudara Iwong dengan harga Rp 1.600.000,00 (satu juta
enam ratus ribu rupiah) sebanyak satu gram, dan saudara Iwan dengan
harga Rp 800.000.00 (delapan ratus ribu rupiah) sebanyak setengah gram,
sedangkan sisanya disimpan dan kemudian disita oleh petugas.
74
 Tujuan Ia memilliki narkotika jenis shabu-shabu adalah sebagai perantara
jual beli temannya yang membutuhkan narkotika jenis shabu-shabu dan
mendapatkan keuntungan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap satu
gramnya.
 Barang bukti dipersidangan adalah benar miliknya.
 Uang pembelian sudah dibayarkan kepada saudara Sri sebesar Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan masih kurang Rp 1.500.000,00 (satu
juta lima ratus ribu rupiah). Ia telah mendapat keuntungan Rp 200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) yang dipakai untuk keperluan makan sehari-hari.
 Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Sri sudah tiga
kali, yang pertama pada awal bulan Mei 2011 membeli sebanyak satu
gram, yang kedua seminggu setelah pembelian pertama dan yang ketiga
pada hari Senin tanggal 30 Mei 2011.
 Handphone yang disita oleh petugas kepolisian adalah handphone yang
digunakan olehnya untuk berkomunikasi dengan saudara Sri dan
temannya yang akan menjadi pembeli.
 Ia tidak memiliki izin untuk memiliki, menyimpan dan menguasai
narkotika jenis shabu-shabu dari pihak yang berwenang.
 Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu selain untuk dijual juga untuk
dipakai olehnya.
 Ia merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
75
Pembuktian dalam persidangan selain dilakukan dengan memeriksa
beberapa alat bukti, juga dilakukan dengan memeriksa beberapa barang bukti
yang terdiri dari:
a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan
dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu.
b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu
081391300088 warna hitam.
Alat-alat bukti dan barang-barang bukti yang digunakan dalam pembuktian
di persidangan tersebut diajukan oleh penuntut umum dimana sebelumnya
terhadap barang-barang bukti telah dilakukan penyitaan menurut hukum.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut umum dalam Surat Tuntutan Pidana Penuntut Umum tertanggal
28 September 2011 Nomor: PDM.-093/PKRTO/Euh.2/07/2011 pada pokoknya
menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika
golongan I”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat
76
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam surat
dakwaan kesatu;
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun, dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan penjara;
4) Menyatakan barang bukti berupa:
a. Satu
buah
handphone
merk
Nokia
tipe
2323
dengan
nomor
081391300088 warna hitam.
Dirampas untuk negara; sedangkan
b. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress, dan
dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu.
Dirampas untuk dimusnahkan;
5) Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
6. Pertimbangan Hukum Hakim
Berdasarkan pembuktian dalam persidangan yang dilakukan dengan
memeriksa beberapa alat bukti dan beberapa barang bukti yang diajukan oleh
penuntut
umum,
maka
majelis
hakim
dalam
musyawarahnya
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
77
Menimbang bahwa sehubungan dengan dakwaan yang diajukan oleh
penuntut umum adalah dakwaan alternatif, maka majelis hakim akan
membuktikan dakwaan yang paling tepat dan sesuai dengan fakta hukum yang
terungkap yaitu, dakwaan pertama melanggar Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang unsur-unsurnya terdiri
atas:
a. Setiap orang.
b. Tanpa hak atau melawan hukum.
c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika
golongan I.
Majelis Hakim menjelaskan unsur-unsur tersebut dalam pertimbangannya
sebagai berikut:
a. Setiap orang
 Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai pendukung
hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, yang diajukan ke persidangan
karena didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya.
 Bahwa penuntut umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama
Yap Oen Sing Bin Yap It Swie yang membenarkan identitasnya dalam
78
surat dakwaan penuntut umum dan setelah mendengar keterangan saksisaksi serta keterangan terdakwa di persidangan didapat fakta bahwa, tidak
ada kekeliruan terhadap orang (error in persona) yang disangka
melakukan tindak pidana tersebut.
 Bahwa selain itu, selama persidangan tidak ditemukan halangan secara
fisik atau psikis yang dapat menjadi alasan pemaaf ataupun alasan
pembenar dari perbuatan terdakwa, sehingga terdakwa dapat dimintai
pertanggungjwabannya secara hukum.
 Bahwa berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka
unsur barang siapa telah terpenuhi.
b. Tanpa hak atau melawan hukum
 Bahwa menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
 Bahwa menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, dalam jumlah terbatas narkotika golongan I dapat
digunakan
untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
teknologi, dan reagensia diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
79
 Bahwa berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa dikaitkan
dengan barang bukti dan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium
Forensik Cabang Semarang dapat diketahui bahwa, pada hari Kamis
tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan
Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten
Banyumas, telah dilakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap
terdakwa dan pada terdakwa ditemukan satu bungkus rokok LA merah
yang berisi satu bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis
shabu-shabu yang disimpan di dalam saku celana kanan depan yang
dipakainya.
 Bahwa pada saat diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan
narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil yang
dimasukkan dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di
rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04
Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten
Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Ketika
ditindak lanjuti oleh petugas Kepolisian ternyata memang benar apa yang
telah dikatakan terdakwa. Terdakwa mengakui mendapatkan narkotika
jenis shabu-shabu tersebut dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol.
Sugiri, Purwokerto.
80
 Bahwa berdasarkan pengakuan terdakwa, terdakwa membeli Narkotika
jenis Shabu-Shabu tersebut untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual
kepada orang lain yang membutuhkannya.
 Bahwa dalam pemeriksaan di persidangan terdakwa mengatakan tidak
mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai pengalaman dalam
bidang farmasi, terdakwa mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu
tersebut tanpa izin dari pihak yang berwenang dan kapasitasnya tidak
terkait dengan kepentingan ilmu pengetahuan, sehingga tindakan
terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu dengan maksud untuk
dijual lagi adalah tindakan tanpa hak atau melawan hukum, dengan
demikian unsur tanpa hak atau melawan hukum telah terpenuhi.
c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar atau, menyerahkan Narkotika Golongan I.
 Bahwa pengertian dari narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
dapat digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi mengakibatkan
ketergantungan yang sangat tinggi.
 Bahwa berdasarkan keterangan saksi Hadiyanto dan Pramuaji. W, S.H.
dan keterangan terdakwa dikaitkan dengan barang bukti dan Berita Berita
Acara Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Semarang dapat
diketahui bahwa, pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul
81
20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan,
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, telah dilakukan
penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa dan pada terdakwa
ditemukan satu bungkus rokok LA merah yang berisi satu bungkus plastik
kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu yang disimpan di
dalam saku celana kanan depan yang dipakainya.
 Bahwa pada saat diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan
narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil yang
dimasukkan dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di
rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04
Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten
Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Ketika
ditindak lanjuti oleh petugas kepolisian ternyata memang benar apa yang
telah dikatakan terdakwa. Terdakwa mengakui mendapatkan narkotika
jenis shabu-shabu tersebut dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol.
Sugiri, Purwokerto.
 Bahwa terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut selain
untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dijual kepada orang lain yang
membutuhkannya, yang menurut keterangan terdakwa Ia telah telah
menjual narkotika jenis shabu-shabu yang didapatkannya dari saudara Sri
kepada saudara Heri seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah),
82
saudara Iwong seharga Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah)
dan saudara Iwan seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah).
 Bahwa barang bukti berupa Narkotika jenis shabu-shabu berdasarkan
hasil laboratories dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang adalah
mengandung METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar dalam
Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik, Laboratorium Forensik Cabang Semarang No.
Lab: 662/KNP/VI/2011, tanggal 08 Juni 2011 yang dibuat dan
ditandatangani oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan Ibnu Sutarto, ST selaku
pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang serta diketahui
oleh Drs. Siswanto selaku Kepala laboratorium Forensik Cabang
Semarang.
 Bahwa sesuai dengan alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat berupa
Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Laboratorium
Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011 tertanggal 08
Juni 2011 dan alat bukti keterangan terdakwa didapatkan petunjuk
bahwa, narkotika jenis shabu-shabu yang ditemukan pada saat
penggeledahan pada diri terdakwa yang disimpan dalam satu bungkus
rokok LA merah dan yang ditemukan pada saat penggeledahan di rumah
terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan
83
Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas yang
disimpan dalam bungkus permen merk Gofress adalah dari hasil
pembelian dan direncanakan akan dijual kembali kepada orang yang
membutuhkan.
 Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dapat diketahui bahwa barang
bukti dalam perkara aquo berupa narkotika jenis shabu-shabu adalah
terbukti mengandung METAMFETAMINA POSITIF sehinggga barang
bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu tersebut termasuk dalam
kualifikasi narkotika golongan I dan didapatkan terdakwa dari hasil
pembelian.
 Bahwa berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka
unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan
I telah terpenuhi.
Menimbang bahwa oleh karena semua unsur pada Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terpenuhi, maka majelis
hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam
dakwaan Pertama.
Menimbang bahwa oleh karena tidak ada alasan pemaaf yang meniadakan
sifat melawan hukum serta alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam
84
diri terdakwa, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa
harus dijatuhi pidana.
Menimbang bahwa oleh karena selama pemeriksaan terdakwa telah ditahan
maka lamanya terdakwa dalam tahanan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan (Pasal 33 KUHP jo Pasal 22 ayat (4) KUHAP) dan karena tidak
ada alasan hukum untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu ke jenis
penahanan yang lain, maka penahanan terdakwa tetap dipertahankan.
Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah maka
terhadapnya dibebani membayar biaya perkara (Pasal 222 ayat (1) KUHP).
Menimbang bahwa barang bukti yang berupa:
a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan
dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu
oleh karena merupakan barang yang terlarang untuk dimiliki maka
berdasarkan hukum harus dimusnahkan.
b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu
081391300088 warna hitam oleh karena merupakan alat yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana maka berdasarkan hukum harus
dimusnahkan.
85
Menimbang bahwa oleh karena pidana yang dijatuhkan pada terdakwa bersifat
kumulatif maka disamping dijatuhi pidana penjara terdakwa juga dijatuhi pidana
denda yang besarnya ditentukan dalam amar putusan.
Menimbang bahwa majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan:
Hal-hal yang memberatkan:
a. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat;
b. Terdakwa pernah dihukum;
Hal-hal yang meringankan:
a. Terdakwa mengaku bersalah,
menyesal dan berjanji tidak akan
mengulanginya perbuatannya.
Pertimbangan-pertimbangan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan di
atasadalah pertimbangan-pertimbangan hukum yang nantinya dalam musyawarah
majelis hakim akan digunakan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa
dengan mengingat ketentuan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkenaan
dengan perkara ini.
86
7. Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah diuraikan, maka
dalam amar putusannya majelis hakim memutuskan:
1) Menyatakan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Membeli
dan Menjual Narkotika Golongan I”;
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 5
(lima) tahun, dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) dengan ketentuan apabila tidak mampu membayar denda tersebut
maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;
3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa tersebut akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4) Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan;
5) Menyatakan barang bukti berupa:
a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan
dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu.
b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu
081391300088 warna hitam.
Dirampas untuk dimusnahkan;
6) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
87
B. PEMBAHASAN
1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menentukan Lamanya Pidana
Penjara sebagai Pengganti Pidana Denda pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/PN.Pwt.
Terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/PN.Pwt. karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana, “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika
Golongan I” telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda
sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan, apabila
terdakwa tidak mampu membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana
penjara selama empat bulan.
Hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti
pidana denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. ini akan
mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum tertentu akan tetapi,
sebelum kita membahas apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda
tersebut terdapat beberapa hal yang perlu kita cermati yaitu:
a. Kewenangan mengadili,
b. Dasar memutus
88
Add a. Kewenangan mengadili
Kewenangan mengadili dalam hal ini adalah kewenangan mengadili
bagi pengadilan negeri. Dasar hukum menentukan kewenangan mengadili
bagi pengadilan negeri diatur pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 86
KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan pada pasal-pasal
tersebut, menurut M. Yahya Harahap terdapat beberapa kriteria atau asas
yang dapat digunakan oleh pengadilan negeri untuk menguji kewenangannya
mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, yaitu:
1) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Menurut asas ini pengadilan negeri berwenang mengadili setiap
perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. 124 Adapun dasar
hukumnya yaitu Pasal 84 (1) KUHAP yang menyatakan, “Pengadilan
negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana
yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. 125 Berdasarkan pasal tersebut
maka jelas bahwa “tempat tindak pidana dilakukan” atau “locus delicti”
menentukan kewenangan relatif pengadilan negeri untuk mengadili
perkara pidana yang bersangkutan.
124
125
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 96.
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (1).
89
2) Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil.
Menurut asas ini jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar
bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu pengadilan negeri maka
pengadilan negeri tersebut yang paling berwenang memeriksa dan mengadili.126
Kriteria ini diatur pada Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:
“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan”.127
Berdasarkan pasal tersebut di atas, penentuan kewenangan relatif menurut
asas locus delicti dapat dikesamping dengan asas tempat tinggal, tempat
kediaman terakhir, tempat diketemukan atau tempat terdakwa ditahan akan
tetapi, syarat bahwa saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar
bertempat tinggal atau lebih dekat dengan pengadilan negeri tempat dimana
terdakwa bertempat tinggal, berkediaman terakhir, diketemukan atau ditahan
harus dipenuhi. 128
3) Kewenangan relatif sehubungan dengan beberapa tindak pidana dalam daerah
hukum berbagai pengadilan negeri.
126
127
128
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 99.
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (2).
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 101.
90
Asas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Masing-masing pengadilan negeri berwenang mengadili sesuai dengan asas
locus delicti apabila di dalam tindak-tindak pidana tersebut tidak terdapat
unsur “berlanjut” atau “perbarengan”.
Menurut asas ini setiap pengadilan negeri berwenang mengadili
berdasarkan asas locus delicti akan tetapi, tindak-tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku harus benar-benar murni terpisah dan berdiri sendiri
tidak ada unsur berlanjut atau unsur perbarengan. Adapun dasar hukumnya
yaitu Pasal 84 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Apabila seseorang
melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai
pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing
berwenang mengadili perkara pidana itu”.
b) Salah satu pengadilan negeri yang berwenang memeriksanya dengan jalan
menggabungkan semua perkara.
Asas ini diatur pada Pasal 84 ayat (4) KUHAP, dalam penerapannya
harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP. Tanpa
menghubungkan Pasal 84 ayat (4) KUHAP dengan Pasal 64 dan Pasal 65
91
KUHP tersebut, tidak dapat melaksanakan kemungkinan penggabungan
perkara.129 Pasal 84 ayat (4) KUHAP menyatakan:
Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut
pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai
pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri
dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara
tersebut. 130
Kalimat “terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada
sangkut pautnya” pada pasal di atas tersebut adalah yang dimaksud dalam
penerapannya Pasal 84 ayat (4) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 64
dan 65 KUHP. Pasal 64 KUHP mengatur tentang perbuatan berlanjut
sedangkan Pasal 65 KUHP mengatur tentang perbarengan perbuatan.
4) Wewenang mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri
Kehakiman.
Kewenangan mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri
Kehakiman secara tegas diatur pada Pasal 85 KUHAP, kewenangan ini berupa
“pengalihan” kewenangan mengadili dari pengadilan negeri kepada pengadilan
negeri yang lain. Pasal 85 KUHAP menyatakan:
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri
mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau
kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung
mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau
129
130
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (3).
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (4).
92
menunjukan pengadili negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84
untuk mengadili perkara yang dimaksud. 131
Berdasarkan Pasal 85 KUHAP di atas, pengalihan hanya terjadi apabila
keadaan daerah tidak mengizinkan untuk mengadili suatu perkara. Ini artinya,
suatu pengadilan negeri mengalami kesulitan tugas operasional peradilan,
berhubung karena keadaan daerah tidak mengizinkan. 132 Menurut penjelasan
Pasal 85 KUHAP yang dimaksud “keadaan daerah tidak mengizinkan” antara
lain karena ada gangguan keamanan atau karena bencana alam.
5) Wewenang mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undangundang.
Khusus bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat undang-undang memberi
wewenang kepadanya untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan di luar
negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia.133 Hal ini
sebagaimana diatur pada pasal 86 KUHAP yang menyatakan, “Apabila
seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut
hukum Republik Indonesia, maka pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang mengadilinya”.134
131
132
133
134
KUHAP, Bab X, Pasal 85.
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 107.
Ibid., hlm. 108.
KUHAP, Bab X, Pasal 86.
93
Penjelasan mengenai kewenangan mengadili di atas apabila dihubungkan
dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/PN.Pwt. diketahui bahwa, asas yang digunakan adalah asas locus
delicti karena pengadilan negeri yang berwenang mengadili tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie adalah
Pengadilan Negeri Purwokerto, sebagaimana kita ketahui dari data hasil penelitian
tempat terjadinya tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen
Sing Bin Yap It Swie adalah di Purwokerto sehingga termasuk dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
diatur pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP.
Add b. Dasar memutus
Dasar memutus yang dimaksud disini adalah dasar
hakim dalam
menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjatuhan putusan yang berupa
pemidanaan harus memenuhi syarat pemidanaan. Menurut Sudarto syarat
pemidanaan terdiri dari:
1) Perbuatan:
a) Memenuhi rumusan undang-undang
b) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
2) Orang:
a) Kesalahan:
1. Mampu bertangung jawab
2. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). 135
135
Sudarto, Hukum Pidana 1, Op.Cit., hlm. 50.
94
Syarat pemidanaan diatas apabila dihubungkan dengan data yang diperoleh
dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. maka dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Perbuatan
Perbuatan di sini meliputi berbuat dan tidak berbuat.136 Salah satu ahli
hukum yang mengemukakan pengertian perbuatan adalah Simons, Beliau
mengemukakan, “Dalam arti sesungguhnya ‘handelen’ (berbuat) mempunyai
sifat aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki, dan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan
suatu
akibat”.137
Menurut
Sudarto
perbuatan
yang
memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan
pembenar).138
a) Memenuhi rumusan undang-undang
Suatu perbuatan dikatakan memenuhi atau mencocoki rumusan delik
dalam undang-undang apabila perbuatan konkrit dari si pembuat memiliki
sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan
dalam undang-undang”. 139 Hal ini sesuai dengan asas nullum delictum nulla
poena sine praevia lege yang artinya, tiada delik tiada pidana tanpa
136
137
138
139
Ibid., hlm. 64.
Ibid.
Loc.Cit., hlm. 50.
Ibid., hlm. 52.
95
peraturan terlebih dahulu. Asas ini dikenal juga dengan asas legalitas yang
diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.140
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa,
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 114 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan demikian, perbuatan yang
telah dilakukannya tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
b) Memenuhi sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
Menurut Sudarto, sifat melawan hukum ada dua ajaran yaitu:
1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan
diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat
dihapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi
menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau
bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
2. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang
terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus
dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan
hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik
140
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 30 ayat (1).
96
itu dapat dihapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (urbergesetzlich).141
Tidak ada alasan pembenar artinya, tidak ada alasan yang menghapus
sifat melawan hukum perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
Secara teoritis yang dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar dalam
hukum pidana adalah pembelaan terpaksa (nooodwer), melaksanakan
ketentuan undang-undang, dan melaksanakan perintah atasan. 142 Secara
yuridis yang dapat dikategorikan alasan pembenar diatur secara tegas pada
Pasal 49 ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, dan itu menjadi indikasi bahwa perbuatan
yang dilakukannya adalah bersifat melawan hukum yang tepatnya bersifat
melawan hukum formil.
Terkait mengenai alasan pembenar, berdasarkan data yang diperoleh
dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya alasan yang dapat menghapus
sifat melawan hukum perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik pada
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
tersebut karena, perbuatan itu dilakukan bukan untuk pembelaan terpaksa,
bukan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, dan bukan untuk
141
142
Sudarto, Hukum Pidana I, Op.Cit., hlm. 78.
Mahrus Ali,Op.Cit., hlm. 151.
97
melaksanakan perintah atasan, melainkan untuk kepentingan pribadinya
yakni untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual dalam rangka mencari
keuntungan materiil.
2) Orang
Orang dalam hal ini adalah orang yang melakukan perbuatan atau
disebut dengan pembuat oleh karena itu, yang dimaksud orang di sini adalah
subjek tindak pidana. Pada dasarnya subjek tindak pidana adalah manusia
(natuurlijke personen). Sudarto dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa
disamping manusia badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat
menjadi subjek tindak pidana disamping manusia, apabila secara khusus
ditentukan dalam undang-undang untuk delik tertentu.143
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk adanya pemidanaan adalah
adanya kesalahan karena, orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum tidak
dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut tidak memiliki kesalahan. Hal
ini sesuai asas “tiada pidana tanpa kesalahan” artinya, untuk adanya
pemidanaan harus ada kesalahan pada orang yang melakukan perbuatan
tersebut.
143
Sudarto, Hukum Pidana I, Op.Cit., hlm. 63.
98
a) Kesalahan
Kesalahan dalam arti yang luas dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di dalamnya terkandung makna
dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. 144 Kesalahan
dalam pandangan normatif ditentukan berdasar penilaian normatif yaitu, penilaian
(dari luar) mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya.
Kesalahan terdiri dari beberapa unsur dimana penjatuhan pemidanaan baru
dimungkinkan apabila unsur-unsur tersebut telah dipenuhi. Unsur-unsur yang
dimaksud diantaranya adalah:
1. Mampu bertanggung jawab
Memorie van Tolichting (memori penjelasan) secara negatif menyebutkan
mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab sebagai berikut:
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:
1) Dalam hal Ia tidak ada kebebasan memilih antara berbuat dan tidak berbuat
mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
2) Dalam hal Ia ada dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak
dapat menentukan akibat perbuatannya. 145
Ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab secara a contrario
dapat dilihat pada rumusan Pasal 44 KUHP yang menyatakan:
144
145
Ibid., hlm. 89-90.
Ibid., hlm. 94.
99
(1) Barangsiapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya (gebrikkige ontwikeling) atau terganggu karena
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
(2) Jika
ternyata
bahwa
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit
jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. 146
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, kesalahan yang
dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie apabila dihubungkan
dengan pengertian kemampuan bertanggung jawab dan ketentuan Pasal 44
KUHP diatas maka, jelas bahwa Ia dapat dipertanggung jawabkan atas
kesalahannya tersebut. Hal ini karena Ia melakukan kesalahan itu dalam keadaan
jiwa yang sehat, tidak ada gangguan, dan tidak dalam keadaan sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sehingga dapat membedakan
mana perbuatan yang diperintahkan dan dilarang oleh undang-undang, serta
dapat menginsyafi akibat yang akan muncul apabila melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang tersebut.
2. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Dolus atau kesengajaan menurut Memorie van Toelichting adalah
menghendaki dan mengetahui (willen and wettens). Seseorang yang melakukan
146
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 44.
100
sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga corak sikap batin yang menunjukan
tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu:
a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu
tujuan (yang dekat); dolus directus,
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidbewustzijn atau
noodzakelijkeidbewustzijn),
c. Kengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau
voowaardelijke opzet).147
Culpa atau kealpaan menurut Memorie van Toelichting disatu pihak
berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yang
kebetulan (toevel/ casus).148 Kealpaan ada atau tidak pada suatu kesalahan bukan
ditetapkan secara psikologis oleh psikiater, tetapi ditetapkan secara normatif oleh
hakim. Tidak ada alasan pemaaf artinya, tidak ada alasan yang menghapuskan
kesalahan si pembuat sehingga terhadap si pembuat tetap ada pemidanaan.
Alasan pemaaf ini menyangkut pribadi si pembuat itu sendiri.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, kesalahan yang
dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie apabila dihubungkan
dengan pengertian dolus dan culpa di atas, kesalahannya termasuk ke dalam
dolus atau kesengajaan karena Ia menghendaki dan mengetahui mengenai
kesalahan yang Ia lakukan. Kesengajaan dari kesalahan yang Ia lakukan tersebut
apabila ditinjau dari corak sikap batin maka termasuk ke dalam kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) karena, kesengajaannya dimaksudkan untuk
147
148
Sudarto, Hukum Pidana I, Op. Cit., hlm. 103.
Ibid., hlm. 124.
101
menimbulkan akibat yang ditujunya. Pada kesalahan yang Ia lakukan tidak
ditemukan adanya alasan yang dapat menghapus kesalahannya sehingga tidak
ada alasan pemaaf baginya.
Uraian di atas telah menunjukan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
telah
memenuhi
syarat
pemidanaan sebagaimana yang dikemukan oleh Sudarto baik syarat mengenai
perbuatan maupun syarat mengenai orang (pembuat).
Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP hakim dalam menjatuhkan
pidana disamping harus memenuhi syarat pemidanaan juga harus mendasarkan pada
hasil pembuktian di persidangan. Pasal 183 KUHAP menyatakan, “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana
benar-benar
terjadi
dan
bahwa
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya”.149
Kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti” pada rumusan Pasal 183 KUHAP di
atas mengandung arti bahwa, hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa
apabila mendasarkan minimal pada dua alat bukti, dan dari pemeriksaan dua alat
bukti tersebut menimbulkan keyakinan bagi hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah.
Alat bukti yang dimaksud pada Pasal 183 KUHAP tersebut lebih lanjut diatur pada
Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
149
KUHAP, Bab XVI, Pasal 183.
102
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.150
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/PN.Pwt. telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP karena,
penjatuhan pidana oleh hakim dalam putusan tersebut dilakukan sebagai berikut:
1. Hakim mendasarkan pada lebih dari satu alat bukti yang sah sebagaimana
yang diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang terdiri dari:
a. Keterangan saksi, yang diperoleh dari:
 Saksi Hadiyanto
 Saksi Pramuaji W, S.H.
b. Surat, yang berupa:
 Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Laboratorium
Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011 tertanggal 08
Juni 2011.
c. Keterangan
terdakwa,
yang
diperoleh
dari
pernyataan
terdakwa
dipersidangan.
Alat bukti di atas disertai dengan barang bukti yang dibawa ke persidangan,
barang bukti tersebut berupa:
150
KUHAP, Bab XIX, Pasal 184 (1).
103
a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan
dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu.
b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu
081391300088 warna hitam.
2. Hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa terdakwa Yap
Oen Sing Bin Yap It Swie bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa Hak
Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I”.
Uraian di atas telah menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana di
dalam putusannya yakni, Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak
hanya telah memenuhi syarat pemidanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sudarto tetapi juga telah memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Pejatuhan
pidana
oleh
hakim
pada
Putusan
Perkara
Nomor
52/Pid.Sus.2011/PN.Pwt. menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang
Narkotika
merupakan
undang-undang
pidana
khusus.
Sudarto
mengemukakan, “Undang-undang pidana khusus itu adalah undang-undang pidana
selain KUHP, yang merupakan induk peraturan hukum pidana”.151 Undang-undang
pidana khusus berlaku berdasarkan asas lex specialis derogate legi generalis yang
artinya, undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum.
Berlakunya asas lex specialis derogate legi generalis ini berdasarkan Pasal 103
151
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 64.
104
KUHP yang menyatakan, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain”.152 Aturan hukum pidana yang diatur di luar KUHP
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 103 KUHP tersebut apabila dilihat dari aspek
penyimpangan maka penyimpangan itu tetap sah, demikian pula apabila dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat penyimpangan
maka penyimpangan itu juga tetap sah. Salah satu penyimpangan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pidana penjara
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar karena dalam KUHP sendiri
apabila denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan pidana kurungan.
Ketentuan mengenai pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dapat dibayar dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur
pada Pasal 148 yang menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar”.153 Ketentuan yang diatur pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika tersebut menyimpang dari ketentuan yang diatur pada Pasal
30 ayat (2) KUHP yang menyatakan, “Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan
152
153
Moeljatno, KUHP, Bab IX, Pasal 103.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
105
kurungan”. Secara lebih lanjut Pasal 30 ayat (3) KUHP menyatakan, “Lamanya
kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan”.154
Ini menunjukan bahwa KUHP menentukan secara jelas batas minimum pidana
kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Pasal 148 undang-undang tersebut tidak menentukan secara jelas batas minimum
pidana penjara yang harus dijalani sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar. Hal ini tentunya akan mempersulit dalam kenyataan praktik apabila pelaku
melakukan percobaan (poeging), pengulangan (residive), perbarengan (concurus),
atau penyertaan (deelneming) oleh karena itu harus dikembalikan lagi pada aturan
induk hukum pidana yakni KUHP.
Aturan dalam KUHP yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan
batas minimum pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar
sebagaimana dirumuskan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika adalah Pasal 30 ayat (3) karena pada pasal 30 ayat (3) diatur
tentang batas minimum pidana pengganti bagi pidana denda yang tidak dapat dibayar.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (3) KUHP tersebut maka menjadi jelas bahwa ketentuan
batas minimum pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 adalah satu hari. Adanya ketentuan batas minimum pidana penjara sebagai
154
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 30 ayat (2) (3).
106
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar tersebut akan memudahkan hakim
dalam menentukan lamanya pidana penjara yang hendak dijatuhkan sebagai penggati
pidana denda yang tidak dapat dibayar, meskipun dalam kenyataan praktik hakim
dihadapkan pada pelaku yang melakukan percobaan (poeging), pengulangan
(residive), perbarengan (concurus), atau penyertaan (deelneming).
Berangkat dari uraian-uraian tersebut di atas, kita akan memasuki hal yang
menjadi titik point dalam pembahasan tentang dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda pada
Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini, sebagaimana telah dijelaskan
diawal terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I” telah
dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan, apabila tidak dapat
membayar denda tersebut maka dapat diganti dengan pidana penjara selama empat
bulan. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara
selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tersebut
adalah:
107
a. Bobot perbuatan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa,
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah
melanggar Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pasal ini menjadi dasar untuk menentukan kualifikasi tindak pidana dari perbuatan
yang telah dilakukan oleh terdakwa Yap Oen sing Bin Yap It Swie. Pasal 114
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan:
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak
155
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Penerapan unsur-unsur pasal tersebut di atas pada Putusan Perkara Nomor
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Setiap orang
Setiap orang yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika adalah subjek tindak pidana sebagai orang yang
diajukan dipersidangan adalah benar sebagaimana disebutkan identitasnya
dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum. 156 Pada Putusan Perkara Nomor
155
156
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 114.
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit., hlm. 227.
108
52/Pid.Sus/2011/PN. Pwt. dijelaskan bahwa yang dimaksud setiap orang adalah
siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, yang
diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan
perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian terdakwa Yap Oen
Sing Bin Yap It Swie telah membenarkan identitasnya dalam surat dakwaan
penuntut umum, dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan
terdakwa di persidangan, didapat fakta tidak ada kekeliruan terhadap orang
(error in persona) sehingga jelas yang menjadi subjek tindak pidana pada
putusan tersebut adalah manusia.
2) Tanpa hak atau melawan hukum
Tanpa hak atau melawan hukum merupakan penilaian objektif terhadap
perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan
dengan undang-undang akan tetapi, perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang tidak senantiasa bersifat melawan hukum karena mungkin ada
hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa,
perbuatan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie membeli narkotika jenis
shabu-shabu untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual kepada orang lain yang
membutuhkan adalah bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang
109
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan, “Narkotika hanya dapat digunakan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi”.157 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika secara lebih lanjut menyatakan:
“Dalam jumlah terbatas Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan reagensia
diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan
Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan”.158
Pada saat memberikan keterangan terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie
mengatakan bahwa Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai
pengalaman dalam bidang farmasi, Ia mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu
tersebut tanpa izin dari pihak yang berwenang yang dalam hal ini Menteri
Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Keamanan, dan
kapasitasnya tidak terkait dengan kepentingan ilmu pengetahuan sehingga,
tindakannya membeli narkotika jenis shabu-shabu dengan maksud untuk dijual
lagi adalah tindakan tanpa hak atau melawan hukum.
3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I.
157
158
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab III, Pasal 7.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab III, Pasal 8 ayat (2).
110
Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I merupakan
bentuk penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika adalah setiap
perbuatan yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini sejalan dengan pendapatnya
Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan, “Pemakaian di luar pengawasan
dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat
membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan
negara”. 159 Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu bentuk tindak
pidana yang oleh pembentuk undang-undang disebut dengan tindak pidana
narkotika sebagai istilah teknis yuridisnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, pada saat diperiksa
terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie mengakui membeli narkotika jenis
shabu-shabu dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto
seharga Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu) seberat tiga gram. Tujuan
Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut selain untuk dikonsumsi
sendiri juga untuk dijual kepada orang lain yang membutuhkan, yang menurut
keterangannya telah dijual kepada saudara Heri seharga Rp 800.000,00
(delapan ratus ribu rupiah) seberat setengah gram, saudara Iwong seharga Rp
1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah) seberat satu gram, dan saudara
159
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 3.
111
Iwan seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) seberat setengah gram
dengan demikian, perbuatannya membeli dan menjual narkotika jenis shabushabu tersebut telah memenuhi unsur menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika golongan I.
Terpenuhinya unsur-unsur Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika di atas menunjukan bahwa, tindak pidana narkotika yang
dilakukan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie termasuk dalam bobot
perbuatan yang cukup berat karena narkotika yang digunakan sebagai objek jual
belinya adalah narkotika golongan I. Berdasarkan data pendukung yang diperoleh
dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim
di Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, kualifikasi tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh penyalah guna menjadi dasar pertimbangan hukum
hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan sebagai
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Hal ini rasional saja karena
setiap kualifikasi tindak pidana narkotika dengan jenis narkotika yang berbeda
besar ancaman pidana dendanya berbeda pula. Kita ketahui dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika besarnya ancaman pidana denda
bagi kualifikasi tindak pidana narkotika dengan jenis narkotika yang termasuk
dalam golongan I adalah berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) - Rp 10.0000.000.000 (sepuluh milyar rupiah). Ancaman pidana denda
112
dalam jumlah tersebut dirumuskan pada Pasal 111- Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Bobot kesalahan
Kesalahan dalam pandangan normatif tidak hanya ditentukan berdasarkan
hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya saja tapi berdasarkan
penilaian normatif juga. Penilaian normatif ini merupakan penilaian dari luar yang
tidak lain adalah penilaian dari hakim terhadap pembuat dan perbuatannya. Bobot
kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie termasuk
berat karena, menurut penilaian hakim terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
dalam melakukan tindak pidana narkotika ini dalam keadaan jiwa yang normal
sehingga Ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, hubungan batin
antara Ia dengan perbuatannya berupa kesengajaan, dan padanya tidak ditemukan
adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahannya. Bobot kesalahan yang
berat ini menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya
pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar, termasuk
dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang
tidak dapat dibayar pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
c. Teori straftoemeting
Menurut teori straftoemeting, pada dasarnya hakim mempunyai kebebasan
dalam pemberian dan penetapan pidana hanya saja, hakim tetap harus mengikuti
113
ukuran-ukuran tertentu. Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sudarto
sebagai berikut:
Apakah yang harus dipertimbangkan dalam penetapan pidana itu? Ini masalah
pemberian pidana (straftoemeting). Masalah ini merupakan masalah yang
tidak banyak disinggung dalam pelajaran hukum pidana, dan dapat diibaratkan
sebagai “anak tiri dari ilmu hukum pidana” (Maurach). Padahal pemberian
pidana itu bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang. Perkiraan
ini dapat dimengerti karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan
jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai
yang terakhir ini hakim dapat bergerak antara minimum yang berlaku untuk
semua delik dan maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik, namun
kebebasan ini tidak berarti hakim boleh menjatuhkan pidana “menurut
seleranya sendiri” tanpa ukuran tertentu.160
Pada apa yang telah dikemukakan oleh Sudarto di atas dikatakan bahwa,
hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan tinggi rendahnya pidana, dan
hakim dapat bergerak antara minimum yang berlaku untuk semua delik dan
maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik. Ini artinya, hakim bebas
dalam menetapkan tinggi rendahnya pidana (straafmaat) yang akan dijatuhkan
pada terdakwa akan tetapi harus memperhatikan batas minimum yang berlaku
untuk semua delik dan batas maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik
tersebut sebagai ukurannya.
Kita ketahui bahwa, ketentuan pidana penjara sebagai pengganti pidana denda
yang tidak dapat dibayar sebagaimana yang diatur pada Pasal 148 hanya
ditentukan batas maksimumnya yakni dua tahun oleh karena itu, untuk
menentukan batas minimumnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
160
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 78.
114
harus dikembalikan pada aturan induk hukum pidana yakni KUHP. Pasal 30 ayat
(3) KUHP menentukan bahwa batas minimum pidana kurungan pengganti pidana
denda yang tidak dapat dibayar adalah satu hari. Berdasarkan batas minimum yang
ditentukan pada Pasal 30 ayat (3) KUHP dan berdasarkan batas maksimum yang
ditentukan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika hakim dapat menjatuhkan pidana penjara sebagai pengganti pidana
denda berapa pun lamanya dengan ketentuan tidak boleh kurang dari satu hari dan
tidak boleh lebih dari dua tahun karena, satu hari adalah batas minimumnya dan
dua tahun adalah batas maksimumnya.
Menurut Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan
Negeri Purwokerto, dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti
pidana denda Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dijadikan sebagai ukuran dalam menentukan batas maksimum pidana penjara
sebagai pengganti pidana denda yang akan dijatuhkan. Ini artinya, teori
straftoemeting juga menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan
lamanya pidana penjara sebagai penggati pidana denda yang tidak dapat dibayar
yang akan dijatuhkan hakim terhadap terdakwa, termasuk pula dalam menentukan
lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar
pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
115
c. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan
Dasar pertimbangan hukum hakim selanjutnya dalam menentukan lamanya
pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar pada
Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tentu tidak terlepas dari hal-hal
yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Barda Nawawi Arief
sebagaimana dikutip oleh Greogorius Aryadi mengemukakan:
Menurut Oemar Seno Adjie, jika dalam suatu undang-undang terdapat
“ground” yang dimaksudkan untuk memberatkan atau meringankan hukuman,
maka akan mengurangi kebebasan hakim dalam penjatuhan ataupun pemilihan
hukuman. Tetapi sebenarnya dalam maksimal dan minimal yang ditentukan,
hakim pidana bebas mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa
secara tepat. Jadi bukan kebebasan mutlak secara tidak terbatas untuk
menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang-wenangan subjektif untuk
menentukan berat ringannya hukuman. Harus dipertimbangkan sifat dan
seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan yang
dihadapkan kepadanya, kepribadian pelaku, umur, tingkat pendidikan, jenis
kelamin, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan lain-lain. 161
Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagaimana
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas secara tegas diatur pada Pasal 197
ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan, “Pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan
yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa”.162 Berdasarkan data
161
162
Barda Nawawi Arief, Pidana Penjara Terbatas, dalam Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam
Perkara Pidana (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta),
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1995, hlm. 73.
KUHAP, Bab XVI, Pasal 184 (1).
116
pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang
merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan turut menjadi pertimbangan hukum
hakim dalam menetukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda
yang tidak dapat dibayar.
Terkait hal-hal yang memberatkan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN. Pwt. diketahui bahwa,
terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie melakukan tindak pidana narkotika
bukan untuk yang pertama kali karena sebelumnya pada tahun 2007 terdakwa juga
telah dijatuhi pidana dalam kasus yang sama. Ini artinya, Ia merupakan residivist
karena Ia melakukan pengulangan (residive). Hanya saja, menurut Bapak Abdul
Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto
perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika untuk kesekian
kalinya tidak diartikan sebagai residive akan tetapi cukup diartikan dengan pernah
dihukum yang konteks berbeda dengan residive. Tentu saja hal ini berbeda dengan
teori yang ada yang menjelaskan bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana
dan sebelumnya telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana juga disebut dengan
residive. Mahrus Ali mengemukakan, “Residive adalah kelakuan seesorang yang
mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana oleh putusan hakim yang
117
mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah
dilakukannya lebih dahulu”.163
Mengacu pada teori residive yang ada yang dikemukakan oleh para ahli
hukum seperti yang dikemukakan oleh Mahrus Ali di atas maka, tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
bagaimanapun juga harus diartikan sebagai residive dan residive yang dilakukan
oleh terdakwa tersebut dalam hal ini tidak menggunakan ketentuan Pasal 144
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini karena pertama
kali terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dihukum melakukan tindak pidana
narkotika adalah pada tahun 2007 dan pengulangan yang dilakukannya terjadi
pada tahun 2011 sehingga, renggang waktu dari tahun 2007 sampai tahun 2011
telah melewati batas waktu tiga tahun. Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan:
Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahunmelakukan pengulangan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat
(1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129, pidana maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).164
Ketentuan yang digunakan untuk pengulangan (residive) dalam hal ini adalah
ketentuan dalam KUHP Buku Kedua Bab XXXI karena, secara umum ketentuan
batas waktu maksimum pengulangan (residive) yang diatur dalam KUHP Buku
163
164
Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 139.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Bab XIV, Pasal 144.
118
Kedua Bab XXXI adalah lima tahun baik ketentuan yang dirumuskan pada Pasal
486, Pasal 487, maupun Pasal 488.
Pasal 486 KUHP menyatakan:
Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244248, 253-260 bis, 263, 264, 268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua, dan
ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditujunjuk kepada ayat
kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381, 383,
385, 388, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480,
dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan
menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua
sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat Pasal 365, dapat ditambah
dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum
lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya, atau sebagian dari
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan
yang diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan,
yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab
Undang-Undang Hukum Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama
sekali telah dihapuskan (kwijtgescholden) atau jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 165
Pasal 487 KUHP menyatakan:
Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140
ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana pidana penjara selama waktu
tertentu yang diajtuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ayat
ketiga, Pasal 140 ayat kedua dan ayat ketiga, 339, 340, dan 444, dapat
ditambah sepertiga. jika yang bersalah ketika melakukan belum lewat lima
tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, penjara yang
dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang
dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan
ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau
perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131
ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana
165
Moelyatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 486.
119
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum
daluwarsa. 166
Pasal 488 KUHP menyatakan:
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134 – 138, 142 – 144, 207, 208, 310 –
321, 483, dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika
melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
karena salah satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana itu
baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 167
Pasal-pasal tersebut di atas dalam penerapannya dihubungkan dengan Pasal 12
ayat (3) KUHP yang menyatakan:
Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk waktu dua
puluh tahun beturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh
memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama
waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga
dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan
(concurus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam Pasal
52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127).168
Terkait hal-hal yang meringankan sebagaimana dari data hasil penelitian
diketahui bahwa, terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie mengaku bersalah,
menyesal, dan berjanji tidak akan mengulanginya perbuatannya. Hal yang
meringankan ini apabila dicermati maka lebih kepada sikap dan tindakan pembuat
sesudah melakukan tindak pidana, yang mana sikap dan tindakan pembuat sesudah
166
167
168
Moeljatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 487.
Moeljatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 488.
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (3).
120
melakukan
tindak
pidana
wajib
dipertimbangkan
oleh
hakim
dalam
pemidanaan.169
J.E. Sahetapy mengemukakan:
Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana sangat erat
bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan
atau jenis kejahatan yang tertentu. In concreto lazimnya takaran atau berat
ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama Ia diadili. Selain
dari itu takaran tersebut juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti apakah Ia
mempersulit jalannya sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang
tampaknya dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang
hidupnya, sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga
bagaimana skala nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan. 170
Pada apa yang telah dikemukakan oleh J.E. Sahetapy di atas diketahui bahwa,
untuk menentukan berat ringan pidana yang hendak dijatuhkan oleh hakim
terhadap terdakwa berkaitan dengan sikap terdakwa itu selama menjalani proses
persidangan dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, terdakwa
Yap Oen Sing Bin Yap It Swie selama menjalani proses persidangan tidak
mempersulit jalannya proses persidangan tersebut. Hal ini tampak dari sikapnya
yang mengakui perbuatan yang telah dilakukannya dan memberikan keterangan
yang jelas dan tidak berbelit-belit. Ini artinya, sikap yang Ia tampakkan selama
menjalani proses persidangan tersebut berkaitan juga dengan penentuan lamanya
pidana penjara yang akan dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dapat dibayar. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
169
170
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 69.
J.E. Sahetapy,Op.Cit., hlm. 180.
121
Kekuasaan Kehakiman dalam hal yang sama menyatakan, “Dalam menentukan
berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan
jahat dari terdakwa”.171
Tidak terlepas dari dasar pertimbangan hukum hakim seperti yang telah
dijelaskan di atas, perlu diperhatikan bahwa pada Putusan Perkara Nomor
52/Pid.Sus/PN.Pwt. masih ada hal lain yang bersifat tersirat yang menjadi dasar
pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai
pengganti pidana denda tersebut yaitu tujuan pemidanaan. Hal ini karena hakim
dalam menjatuhkan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana
denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) telah memperhitungkan
tujuan pemidanaan. Terkait tujuan pemidanaan dalam penjatuhan pidana oleh hakim,
Roeslan Saleh mengemukakan:
Jelaslah bahwa dengan demikian hakim harus memperhitungkan semua tujuan
pemidanaan. Ia tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan
masyarakat saja, atau kepentingan-kepentingan pembuat saja, atau juga hanya
memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dia juga tidak perlu
memuaskan sekaligus semua tujuan pemidanaan itu. Dan memang juga tidak
mungkin Ia berbuat demikian. Dalam kejadian-kejadian konkrit hakim dapat
memberi tekanan-tekanan pada hal tertentu.172
Roeslan Saleh lebih lanjut mengemukakan:
Menurut hemat kami dalam garis besarnya ada beberapa hal yang dapat
ditekankan hakim dalam putusannya. Artinya ada beberapa tujuan yang harus
diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana.
171
172
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab II, pasal 8 ayat (2).
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.Cit.,hlm.5.
122
Yang pertama adalah apa yang disebut orang dengan koreksi. Terhadap orang
yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu
peringatan bahwa hal itu tidak boleh berulang lagi. Seperti demikianlah yang
disebut koreksi.
Kedua adalah resoasialisasi. Yang dimaksud dengan ini adalah usaha dengan
tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan,
dalam arti bahwa dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi
kejahatan-kejahatan.
Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi
bilamana masalahnya adalah untuk manusia yang telah melakukan kejahatan
berat dan harus dikhawatirkan, bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan datang
masih besar sekali kemungkinannya dia akan melakukan delik-delik berat,
walaupun terhadapnya telah diadakan resosialisasi. 173
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Roeslan Saleh di atas apabila
dihubungkan dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian maka, wujud hakim
telah memperhitungkan tujuan pemidanaan dalam menjatuhkan pidana penjara
selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. tampak dari
tekanan-tekanan tertentu yang diberikan oleh hakim terhadap kepentingan pelaku,
kepentingan masyarakat, dan kepentingan korban.
1) Kepentingan pelaku
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian tampak bahwa hakim
memperhatikan kehidupan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada masa
yang akan datang. Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai
pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah) dirasa sudah
173
Ibid., hlm. 5-6.
123
cukup untuk mencapai tujuan koreksi dan resosialisasi karena, terdakwa Yap Oen
Sing Bin Yap It Swie bukan merupakan pelaku kategori kelas berat, mengingat Ia
dalam kasus ini hanya sebagai pembeli dan penjual narkotika kategori kelas
rendah,
dan
mengingat
juga
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini Ia telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun
yang dirumuskan secara kumulatif dengan pidana penjara yang menjadi pengganti
pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut.
2) Kepentingan masyarakat
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian tampak bahwa hakim
memperhatikan kehidupan masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dan
terlindungi dari kegiatan penyalahgunaan narkotika yang dapat mengakibatkan
kemerosotan moral, meningkatnya kecelakaan, meningkatnya kriminalitas,
meningkatnya penyakit HIV/AIDS dan akibat negatif lainnya, yang semuanya itu
ditujukan dalam rangka mencapai tujuan pengayoman kehidupan masyarakat .
Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda Rp
1.000.000.000,00 dirasa sudah cukup untuk mencapai tujuan tersebut karena, pada
Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini terdakwaYap Oen Sing Bin
Yap It Swie juga telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun yang dirumuskan
secara kumulatif dengan pidana penjara yang menjadi pengganti pidana denda Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut.
124
3) Kepentingan korban
Kita ketahui bahwa korban tindak pidana narkotika biasanya adalah pelaku
tindak pidana narkotika itu sendiri yang disebut dengan penyalah guna sehingga
wujud korbannya tidak tampak seperti halnya korban pembunuhan, perampokan,
atau pencurian, disamping penyalah guna korban tindak pidana narkotika lainnya
adalah masyarakat. Penyalah guna yang menjadi korban adalah individu penyalah
guna yang membeli dan mengkonsumsi narkotika secara terus-menerus karena,
mengkonsumsi narkotika secara terus-menerus akan menimbulkan akibat negatif
diantaranya: toleransi, dependesi (psikis dan phisik), abstinensi, eksalasi, flash
back phenomena, demenfia, psikosis, bahkan kematian. 174 Masyarakat merupakan
korban tindak pidana narkotika karena tindak pidana narkotika dapat menimbulkan
akibat negatif terhadap masyarakat diantaranya: kemerosotan moral, meningkatnya
kecelakaan, dan meningkatnya kriminalitas. 175
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, hakim pada Putusan
Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN. Pwt. telah memperhatikan kepentingan
korban, baik korban itu adalah individu penyalah guna yang telah membeli dan
mengkonsumsi narkotika secara terus menerus maupun korban itu adalah
masyarakat karena, dengan dijatuhkannya pidana penjara selama lima tahun dan
pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan
174
175
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 25-26.
Ibid.
125
apabila denda tersebut tidak dapat dibayar maka diganti pidana penjara selama
empat bulan, individu penyalah guna yang berperan sebagai pembeli dan
pengkonsumsi akan lebih jera mengulangi perbuatannya dan masyarakat akan
lebih merasa aman dan terlindungi dari kemerosotan moral, meningkatnya
kecelakaan, dan meningkatnya kriminalitas.
Adanya
pemberian
tekanan-tekanan
tertentu
pada
kepentingan
pelaku,
kepentingan masyarakat, dan kepentingan korban sebagaimana yang diuraikan di atas
telah menunjukan bahwa, pemidanaan yang dilakukan oleh hakim pada Putusan
Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. senada dengan tujuan pemidanaan dalam
salah satu laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980
yang menyatakan:
a. Sesuai dengan tujuan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan
dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingankepentingan masyarakat/ negara, korban, dan pelaku.
b. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur
yang bersifat:
1) Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi
harkat dan martabat seseorang.
2) Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia
mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruksi bagi usaha
penanggulangan kejahatan.
3) Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh
terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.176
176
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Loc.Cit., hlm. 83.
126
2. Efektifitas Pidana Denda yang Dialternatifkan dengan Pidana Penjara pada
Putusan Perkara Nomor 52/Pid.sus/2011/PN.Pwt.
Pengertian efektivitas menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukan taraf
tercapainya suatu tujuan. Adapun pengertian efektifitas dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian keefektifan, dimana keefektifan
adalah:
1. keadaan berpengaruh; hal berkesan;
2. kemanjuran; kemujaraban (tentang obat);
3. keberhasilan (tentang usaha, tindakan); kemangkusan;
4. hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan).
Terkait pengertian pidana denda Andy Hamzah mengemukakan, “Pidana
denda adalah pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.177 Di
Indonesia pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang
dijatuhkan oleh para hakim dibandingkan dengan jenis pidana pokok lainnya oleh
karena itu, pelaksanaan pidana denda di Indonesia kurang efektif dan yang perlu
diperhatikan adalah kebijakan legislatifnya. Hal ini karena kebijakan legislatif
dalam usaha untuk mengefektifkan pelaksanaan pidana denda lebih terfokus pada
peningkatan besarnya ancaman pidana denda. Pada kenyataanya kebijakan
legislatif dalam usaha untuk mengefektifkan pidana denda tidak cukup hanya
177
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit.,hlm. 120.
127
dengan meningkatkan besarnya ancaman pidana denda. Barda Nawawi Arief
mengemukakan:
Dalam menetapkan kebijakan legislatif yang berhubungan dengan
pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda perlu
dipertimbangkan antara lain mengenai:
a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda;
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya
pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas
waktu yang telah ditetapkan;
d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap
seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam
tanggungan orang tua);
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. 178
Pada apa yang telah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas diketahui
bahwa, kebijakan legislatif yang harus diperhatikan oleh para legislator terkait
pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda harus
mencangkup keseluruhan sistem pelaksanaan pidana denda itu sendiri. Salah satu
contoh ketidakefektifan pidana denda yang dapat kita lihat meskipun kebijakan
legislatif telah meningkatkan ancaman pidana denda adalah pada ketentuan pidana
denda dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan jumlah ancaman
pidana denda secara besar-besaran yaitu mulai dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh
juta rupiah) hingga Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) akan tetapi,
pada kenyataannya kebanyakan pelaku tindak pidana narkotika lebih banyak
178
Ibid., hlm. 181.
128
dijatuhi pidana alternatifnya yakni pidana penjara yang batas maksimumnnya
hanya ditentukan dua tahun sebagaimana diatur pada Pasal 148 yang menyatakan,
“Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar”.179 Lebih banyaknya
pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi pidana alternatif ini secara garis besar
disebabkan oleh dua hal yaitu:
Pertama, meskipun secara formil pidana denda memang dirumuskan secara
kumulatif dengan pidana penjara akan tetapi, secara materiil pidana denda sifatnya
alternatif sehingga dimungkin hakim hanya menjatuhkan pidana penjara.
Kedua, adanya kecenderungan pelaku tindak pidana narkotika lebih memilih
pidana penjara dibandingkan dengan pidana denda karena dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu:
a. Faktor kondisi ekonomi
Pelaku tindak pidana narkotika bisa berasal dari kelas ekonomi bawah,
menengah dan atas. Berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di
Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, kebanyakan pelaku tindak
179
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
129
pidana narkotika yang diadili di Pengadilan Negeri Purwokerto berasal dari
kelas ekonomi menengah ke bawah sehingga kecenderungan mereka adalah
memilih pidana penjara yang merupakan pidana alternatifnya daripada pidana
denda yang telah dijatuhkan karena, keadaan ekonominya tidak memungkinkan
untuk membayar denda yang jumlahnya berjuta-juta sampai bermilyar-milyar
rupiah, dan sampai saat ini dari sekian banyak Beliau mengadili kasus tindak
pidana narkotika belum ada pelaku tindak pidana narkotika yang melaksanakan
pidana denda.
b. Faktor keuntungan dan kerugian materiil
Pelaku tindak pidana narkotika baik yang berasal dari kelas ekonomi
bawah, menengah, maupun atas, dalam memilih pidana yang hendak dijalani
pasti memikirkan keuntungan dan kerugian materiil. Hal ini dikarenakan
kuantitas pidana denda dengan kuantitas pidana penjara yang merupakan pidana
alternatif tidak seimbang. Pidana denda yang diancamkan dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berkisar antara Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah), sedangkan batas maksimum pidana penjara yang
merupakan pidana alternatifnya hanya ditentukan dua tahun. Ini artinya, betapa
pun besarnya pidana denda yang telah dijatuhkan oleh hakim apabila pelaku
tidak membayar denda tersebut maka pelaku hanya dikenakan pidana penjara
maksimum dua tahun sebagai pidana alternatifnya, dalam hal ini apabila pelaku
130
dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukannya telah memperoleh
keuntungan materiil maka kecenderungannya pelaku akan lebih memilih pidana
penjara daripada pidana denda karena dengan begitu pelaku ataupun
keluarganya tetap dapat menikmati keuntungan tersebut. Hal tersebut
dimungkinkan terjadi karena berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari
hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim
di Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, selama ini tindakan
penyitaan yang dilakukan pada pelaku tindak pidana narkotika yang berperan
sebagai pembeli dan penjual biasanya hanya meliputi barang-barang bukti saja,
seperti pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini yang disita
hanya narkotika jenis shabu-shabu yang menjadi objek jual beli, satu bungkus
rokok LA merah dan satu bungkus permen merk Gofress yang digunakan untuk
menyimpan narkotika jenis shabu-shabu tersebut, dua bungkus plastik kecil
transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu serta handphone yang menjadi
alat komunikasi untuk melakukan transaksi jual beli.
Secara logika meskipun dimungkinkan terjadi tindakan penyitaan terhadap
harta kekayaan pelaku yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika
tetap saja kecenderungan pelaku adalah menjalani pidana penjara daripada
pidana denda karena, dengan adanya tindakan penyitaan terhadap harta
kekayaannya maka pelaku telah dimiskinkan sehingga akan lebih meringankan
dan menguntungkan bagi pelaku apabila pelaku memilih pidana penjara
131
daripada memilih pidana denda yang besarnya mencapai berjuta-juta rupiah
hingga bermilyar-milyar rupiah.
Pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. hakim telah
menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang dirumuskan dalam bentuk
kumulatif terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dengan ketentuan,
apabila tidak dapat membayar denda maka diganti dengan pidana penjara
selama empat bulan. Penjatuhan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) yang dialternatifkan dengan pidana penjara selama empat
bulan tersebut dalam pelaksanaannya terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie
lebih memilih pidana penjara selama empat bulan. Penyebab Ia lebih memilih
pidana penjara daripada pidana denda adalah karena faktor kondisi ekonomi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa, Ia tidak
mempunyai pekerjaan atau dengan kata lain Ia seorang pengangguran sehingga
tidak memungkin baginya membayar denda dalam jumlah tersebut, diketahui
juga bahwa Ia dalam kasus ini bukan sebagai pembeli dan penjual narkotika
kelas atas melainkan hanya sebagai pembeli dan penjual narkotika kelas bawah,
dimana keuntungan dari jual beli narkotika itu Ia gunakan untuk kebutuhan
makan sehari-hari. Ini artinya, pidana denda pada Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak efektif karena pidana denda yang telah
dijatuhkan tidak dilaksanakan, dan dengan tidak dilaksanakannya pidana denda
132
tersebut maka tujuan dijatuhkan pidana denda oleh hakim pun tidak tercapai.
Tujuan yang dimaksud oleh hakim dalam penjatuhan pidana denda pada
putusan tersebut yaitu:
a. Penjeraan
Tujuan dijatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) adalah agar terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie merasa
jera untuk melakukan tindak pidana narkotika karena, disamping Ia telah
dijatuhi pidana penjara selama lima tahun Ia juga harus membayar denda
dalam yang jumlah besar.
b. Perbaikan diri
Tujuan dijatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) adalah agar terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie bisa
memperbaiki diri tanpa harus lebih lama menjalani pidana penjara,
sebagaimana kita ketahui pidana penjara membawa dampak yang negatif
pada aspek psikologis dan kesehatan disamping itu, dikhawatirkan apabila Ia
berada terlalu lama di penjara maka Ia dapat belajar modus yang lebih tinggi.
Hal ini karena mengingat terdakwa hanya merupakan pembeli dan penjual
narkotika kategori kelas bawah.
133
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka didapat
simpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara
sebagai
pengganti
pidana
denda
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. adalah dari bobot perbuatan terdakwa, bobot
kesalahan terdakwa, adanya teori straftoemeting dalam pemidanaan, adanya
hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan, serta tujuan
pemidanaan yang bersifat tersirat.
2. Pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara
Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak efektif karena, pidana denda yang telah
dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie tidak
dilaksanakan. Faktor kondisi ekonomi menjadi penyebab Ia tidak melaksanakan
pidana denda dan lebih memilih menjalani pidana penjara yang merupakan
pidana alternatifnya.
134
B. SARAN
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, saran yang dapat diberikan
sebagai berikut:
1. Sebaiknya kebijakan formulasi pidana pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika diperbaiki, dengan cara menetapkan batas
minimum pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar pada pasal tersebut.
2. Sebaiknya kebijakan legislatif mengenai pidana denda dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diperbaiki, salah satunya dengan cara
menetapkan kuantitas pidana denda yang seimbang dengan kuantitas pidana
penjara sebagai pidana alternatifnya agar pidana denda yang dijatuhkan pada
pelaku tindak pidana narkotika menjadi efektif.
135
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2009. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Hawari, Dadang. 1997. Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa.
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayu Media Publishing.
Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico Bandung.
. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Mahmud, Peter Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Makarso Taufik., Suhasril dan Moh. Zakky. 2005. Tindak Pidana Narkotika.
Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia.
Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Penerbit Alumni.
136
Nawawi, Barda Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Remelink, Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Projodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta: PT.
Eresco.
Puji, PrayitnoKuat. 2009. “Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum”. Purwokerto:
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
RoeslanSaleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Sahetapy, J.E. 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta: Rajawali Press.
Sholehuddin, M. 2003.Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya). Jakarta: Grafindo Persada.
Sudarto.1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
. 1990. Hukum Pidana. Jilid 1A-B. Purwokerto: Fakultas Hukum Jenderal
Soedirman.
137
Sujono, AR. dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan Undang-Undang
Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
Sunaryo, Sidik. 2005. Kapita Selekta Peradilan Pidana. Malang: Universitas
Muhamadiyah Malang.
Suparni, Niniek. 2007. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta:SinarGrafika.
Wresniwiro, M.dkk, 2000. Masalah Narkotika & Obat Berbahaya. Jakarta:
Yayasan Mitra Bintibmas.
Utrecht, E. 1958. Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas Jakarta.
B. Literatur lain:
Pyzam, “Definisi atau Pengertian Efektivitas”. http://pyjam.com. diakses
23/11/2012.
Sudrajat, Tedi. 2012. “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan
Hukum”. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Usman.2012. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum.
http://online-journal.unja.ac.id.diakses 30/09/2012.
C. PeraturanPerundang-Undangan
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Republik Indonesia.Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Semarang: Aneka Ilmu.
138
. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Grasi.
. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Tahun 2010.
139
Download