BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Disparitas pengaturan au pair yang tejadi di Belanda, Jerman, dan Denmark adalah perbedaan implementasi pengaturan tentang au pair. Uni Eropa dan Denmark berdasarkan pada The European Agreement on Au pair Placement 1969 menggolongkan au pair sebagai sebuah entitas khusus „au pair‟. Sedangkan Jerman yang hanya menandatangani dan tidak meratifikasi perjanjian tersebut mempunyai pengaturan sendiri dalam hukum nasionalnya yang cenderung menggolongkan au pair sebagai pekerja. Hampir sama dengan Jerman, Belanda yang tidak meratifikasi The European Agreement on Au pair Placement 1969, mengkategorikan au pair sebagai entitas khusus, tapi tidak menutup kemungkinan dalam situasi tertentu au pair dapat dimasukkan dalam kualifikasi pekerja. Dalam konteks ini, Jerman dan Belanda menjadi contoh dari terjadinya inkonsistensi terjadinya pengaturan au pair, di satu sisi, terdapat peraturan yang menyatakan bahwa au pair adalah entitas khusus au pair, di sisi lain, terdapat peraturan yang mengarahkan au pair sebagai entitas pekerja. 2. Faktor terjadinya disparitas pengaturan au pair di di Belanda, Jerman, dan Denmark, (a) sejarah migrasi Eropa yang menjadi tonggak lahirnya kebijakan free movement law yang mendorong meningkatnya jumlah migrasi au pair dari tahun ke tahun, serta kebijakan migrasi untuk mengurangi migrasi pekerja terampil rendah ke Eropa membuat au pair dipandang sebagai alternatif atau batu loncatan oleh para pekerja terampil rendah untuk memasuki Eropa, (b) kekosongan hukum regional tentang au pair dimana negara anggota Uni Eropa belum menemukan kesepakatan bersama tentang regulasi skema program au pair yang applicable di semua kondisi negara anggota, sehingga memberikan kesempatan kepada masing-masing negara anggota mempunyai peraturan sendiri tentang au pair. 3. Indonesia belum mempunyai instrumen hukum internasional dan nasional tentang au pair. Namun, ada alternatif instrumen hukum nasional yang ternyata dapat dipergunakan secara temporer tentang au pair. Adanya unsur kemiripan antara au pair dan pekerja migran memberikan pencerahan untuk mengarahkan au pair di bawah payung hukum pekerja migran Indonesia atau lebih dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Proses identifikasi dimulai dengan membandingkan definisi; kualifikasi; perjanjian tertulis; serta proses pra keberangkatan, penempatan, dan kepulangan. Kesimpulan sementara yang kemudian dihasilkan adalah entitas au pair ini dapat dikategorikan sebagai TKI dengan pekerjaan tertentu berdasarkan Pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 dan Pasal 52 Permenakertrans No. Per-14/Men/X/2010. B. Saran 1. Setiap negara mempunyai kedaulatan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi nasional negara yang bersangkutan. Perbedaan pengaturan au pair adalah hal yang wajar karena memang belum ada instrumen hukum regional yang disepakati secara bersama-sama. Namun, akan lebih baik apabila tercapai suatu kesepakatan yang sama tentang au pair yang kemudian dapat mengurangi terjadinya inkonsistensi pengaturan au pair yang mana menempatkan au pair dalam grey area yang rentan sebagai korban kejahatan transnasional. Dengan adanya kesepakatan bersama negara anggota Uni Eropa tentang au pair, serta merta juga mendorong perlindungan hukum yang lebih jelas dan rigid terhadap program au pair. 2. Kekosongan hukum di tingkat regional Eropa dan kebijakan pengurangan migrasi pekerja terampil rendah adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pengaturan au pair di negara anggota Uni Eropa. Sebagai rekomendasi terhadap fenomena tersebut, (a) Uni Eropa perlu melakukan kajian ulang terhadap The European Agreement on Au pair Placement 1969 dengan tujuan instrumen hukum tersebut dapat diterima sebagai dasar hukum tentang au pair di semua negara anggota Uni Eropa. Mengubahnya dalam bentuk regulation atau directive dapat juga dijadikan alternatif, sehingga perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat di negara anggota, (b) Uni Eropa perlu melakukan kajian lebih komprehensif mengenai kebijakan-kebijakan migrasi pekerja terampil rendah, yang mana bertujuan memproteksi program au pair dari penyalahgunaan alternatif migrasi sebagai akibat dari kesulitan untuk bermigrasi ke Eropa sebagai pekerja terampil rendah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 3. Untuk mencegah au pair Indonesia menjadi undocumented workers, imigran illegal, korban berbagai kejahatan transnasional, pemerintah Indonesia diharapkan memberikan perhatian terhadap isu au pair. Program pengenalan skema program au pair serta formulasi kebijakan nasional tentang au pair hendaknya mulai dimasukkan sebagai salah satu agenda rutin diskusi lembaga pemerintahan yang ruang lingkup kerjanya ada di sektor perlindungan WNI di luar negeri seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Luar Negeri. Kedua institusi tersebut dapat mendorong terciptanya suatu kerjasama internasional tentang perlindungan au pair Indonesia yang ada di luar negeri. Selain itu, sebagai bahan perbandingan untuk memformulasi kebijakan au pair dalam perspektif hukum nasional Indonesia, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan pemerintah Filipina yang telah membuat beberapa kebijakan yang mana dapat memberikan jaminan perlindungan hukum au pair Filipina di Eropa.