DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Pernyataan Mengenai Disertasi dan Sumber Informasi Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Eksistensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat adalah karya saya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini. Bogor, 28 Juni 2010 Maihasni NRP A162050031 ABSTRACT MAIHASNI. The Existence of Bajapuik, a Minangkabau Marriage Tradition practiced in Pariaman , West Sumatra Supervised by TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan SEDIONO MP. TJONDRONEGORO. One model of marriage tradition that often gets the spotlight is bajapuik, an action of giving a sum of money or uang japuik to the prospective bridegroom by the prospective brides’ family. The tradition, which is only practiced by Minangkabau people from Pariaman, contradicts to the rules of marriage in Islam of which the bridegroom has to give something as a present or mahar to the bride. Today, the amount of uang japuik has continuously increase as the socioeconomic status of prospective bridegroom improves. This has resulted in financial burden to the prospective brides’ family. Therefore, this study is aimed to find out what values, basic forms of exchange in bajapuik tradition marriage and factors affecting the changes. It is also aimed to identify who are involved and what are their roles in the bajapuik tradition. Finally it is intended to analyse what are the reasons why bajapuik tradition is still exist in a changing society. Post-positivism paradigm was used to answer these problems and both quantitative and qualitative methods were employed. Data was collected through a survey, in-depth, participant observation, documentation and literature study. Respondents and informants of the research were the people living in surrounding areas of Pariaman. They are chosen on the basis of purposive and snowballing sampling method, The respondent were young, middle and old generation, while the informants were people of KAN (Kerapatan Adat Nagari); and ex-KAN; LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) and tiga tungku sajarangan. This study shows that bajapuik tradition with the uang japuik still exists in the society because it is continuously experiencing adjustments, until present time. This is manifested is the exchange of the basic changes from the title of nobility (ascribed status) to the socio-economic status (achievement status), although the bases of the exchange value is still the same, that is cultural values. Exchange in bajapuik tradition involves actors from the families, which consists of parents, mamak and ninik mamak. The amount tradition of bajapuik money depent on the socioeconomic status of prospective bridegroom. The existence of bajapuik tradition in the social context until the present time is supported by families both parties who share the same values and internal solidarity among the family members. Keywords: Existence of bajapuik marriage tradition, exchange, extended family, nuclear family, economic value and cultural value orientations RINGKASAN Maihasni. Eksistensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan SEDIONO MP. TJONDRONEGORO. Salah satu model perkawinan yang sering mendapat perhatian adalah tradisi bajapuik. Perhatian itu tertuju pada ” uang japuik” sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga perempuan untuk terlaksananya suatu perkawinan. Padahal dalam pelaksanaan perkawinan yang berlaku umum di Minangkabau tidak demikian, bahkan pengantin laki-laki yang menyerahkan sesuatu kepada pengantin perempuan sebagai sesuatu yang diwajibkan oleh agama Islam. Kondisi inilah yang membedakan dengan pelaksanaan perkawinan yang ada di Pariaman. Sebelum kewajiban itu dilaksanakan oleh calon mempelai lakilaki, pihak keluarga perempuan yang harus memenuhi kewajibannya dahulu terhadap pihak keluarga laki-laki yaitu dengan memberikan uang japuik. Uang japuik yang menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan itu, kian hari terus menunjukkan peningkatan seiring semakin tingginya status sosial ekonomi (achievement status) dari seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau suami bagi anak perempuan. Namun dalam kenyataannya kewajiban untuk memberi uang japuik dalam setiap pelaksanaan perkawinan terus dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Padahal di satu sisi, sepintas terlihat uang japuik cukup memberat pihak keluarga perempuan. Untuk itu, penelitian ini mengkaji apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya? Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana perilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik? Mengapa tradisi bajapuik dapat bertahan dalam perubahan masyarakat? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menerapkan paradigma postpositivis, yang berimplikasi metodologis pada penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, untuk pengumpulan data digunakan kuesioner, wawancara mendalam, observasi partisipasi, studi dokomentasi dan studi pustaka, yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajian. Sebagai upaya untuk memperoleh validitas data yang kebenarannya dapat diyakini keabsahannya maka data diuji melalui teknik triangulasi sumber dan metode. Responden penelitian adalah para pelaku yang terlibat dalam tradisi bajapuik, sedangkan informan penelitian adalah KAN dan mantan KAN (Kerapatan Adat Nagari); LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) dan tiga tungku sajarangan yang terdiri dari: Alim Ulama, ninik mamak dan cerdik pandai. Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap eksis dalam masyarakat. Kondisi ini terjadi karena tradisi bajapuik terus mengalami penyesuaian-penyesuaian dari dahulu hingga saat ini. Penyesuaianpenyesuaian itu menyangkut dasar dan bentuk pertukaran, meskipun nilai tetap yakni pertimbangan nilai budaya. Hal ini termanifestasi dengan perubahan dasar pertukaran yakni dari gelar keturunan (kebangsawanan) seperti sidi, bagindo dan sutan kepada status sosial ekonomi (achievement status) seperti pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Selanjutnya, kecenderungan terfokus pada pekerjaan dan pendapatan. Sementara itu seiring perubahan pada dasar pertukaran itu, maka bentuk pertukaran juga mengalami perubahan. Jika pada awalnya hanya berupa uang jemputan dan sejumlah benda tungkatan berubah menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Kondisi ini terjadi karena perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Pertukaran dalam tradisi bajapuik melibatkan dua pihak yakni pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dan masing-masing sebagai pemberi dan yang lain sebagai penerima. Bagi kedua belah pertimbangan untuk memberi dan menerima didasarkan atas status sosial ekonomi (achievement status), khususnya pekerjaan dari calon mempelai laki-laki. Sementara itu dalam pelaksanaan tradisi bajapuik berasal dari keluarga inti (nuclear family) seperti; ibu, ayah, dan anak, keluarga besar (extended family) seperti; mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat, seperti ninik mamak dan kepalo mudo. Keterlibatan masing-masing aktor terdistribusi ke dalam proses dan pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik. Terjadinya pertukaran dalam tradisi bajapuik didasarkan atas nilai-nilai yang sama tertanam di antara keluarga kedua belah—di pihak keluarga perempuan dan di pihak keluarga laki-laki. Pertukaran yang terjadi dapat diidentifikasi dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang japuik berupa uang atau benda kepada pihak keluarga laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dan secara non materil adalah untuk mendapatkan suami dan keturunan dari perkawinan yang dilaksanakan. Di pihak keluarga laki-laki pertukaran secara nyata (materil), uang japuik digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki pada awalnya dan kemudian berkembang menjadi membeli kebutuhan pelaksanaan pesta, meskipun bentuk yang pertama tidak hilang sama sekali. Secara non materi adalah sebagai prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai asal-usul yang jelas dan status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian pertukaran yang terjadi di antara keluarga kedua belah pihak di dasarkan pada nilai-nilai ekonomi dan nilai sosial budaya. Disamping dipihak keluarga perempuan tercipta pula solidaritas internal, sehingga dalam formasi sosial eksisnya tradisi bajapuik disebabkan oleh adanya kerjasama antara keluarga luas (extended family) dengan keluarga inti (nuclear family). Persoalan yang menyangkut uang japuik sebagai persyaratan yang menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan dapat dieleminir dengan didasarkan nilai budaya. Hal ini semakin mempertegas bahwa orientasi nilai-nilai budaya dan ekonomi yang secara faktual menjadi pertimbangan prilaku bagi keluarga kedua belah pihak dan sebagai konstributor bagi eksisnya tradisi bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan pertimbangan melakukan pertukaran bagi keduanya akan saling melengkapi dan menyesuaikan sekaligus akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi bajapuik. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya tradisi bajapuik. Kata Kunci: Eksistensi tradisi bajapuik, pertukaran, keikutsertaan keluarga luas, prestise, nilai ekonomi dan nilai budaya @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB Judul Disertasi: Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat Nama : Maihasni NRP : A162050031 Program Studi : Sosiologi Pedesaan Disetujui: Komisi Pembimbing Dr. Titik Sumarti, MS Ketua Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS Anggota Prof. Dr. Sediono MP.Tjondronegoro Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc Tanggal Ujian: 28 Juni 2010 Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof . Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus: Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Nurmala K Pandjaitan, MS, DEA Dr. Ir Saharudin, MS Penguji padaUjian Terbuka : Prof. Dr. Damsar, MA Dr. Rohadi Haryanto, M.Sc EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas Rahmat, Karunia dan kehendakNya, naskah disertasi ini dapat penulis selesaikan. Penelitian dengan judul “Existensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat” dapat diselesaikan. Sangat disadari disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa doa, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya, pertama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing; Ibu Dr.Titik Sumarti, MS sebagai ketua dan masingmasing sebagai anggota, yaitu, Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS dan Bapak Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro atas bimbingannya sejak penyusunan proposal hingga selesainya penyusunan naskah disertasi ini. Pada akhirnya penulis hanya dapat bersyukur dengan komisi pembimbing yang luar biasa dan lebih dari sekedar pembimbing, beliau-beliau adalah pribadi-pribadi yang sangat peduli nasib mahasiswa dan selalu terbuka untuk berdiskusi, sehingga memberikan semangat dan kenyamanan suasana akademis bagi penulis, semoga amal kebaikan beliau-beliau menjadi sedekah jariyah dan mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT, Amin. Kepada Ibu Dr. Nurmala K.Panjaitan, MS. DEA, selaku penguji luar komisi, terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan. Tidak hanya pada kesempatan ini, beliau memberikan dorongan dan semangat pada saat beliau masih menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan. Kepada Bapak Dr. Saharudin, MS, selaku penguji luar komisi, terimakasih juga penulis haturkan atas masukan dan saran-saran kritisnya demi kesempurnaan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr, dan Dr Rilus Kinseng, selaku Ketua dan sektretaris Program studi Sosiologi Pedesaan yang selalu memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Demikian juga kepada bapak-bapak staf pengajar di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang lain, Bapak Dr. Ir. Felix Sitorus, MS, Bapak Prof. Dr. Endriatmo Sutarto, Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS dan Bapak Dr Ir Juara Lubis, MS, terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan atas tambahan bekal ilmu dan pengembangan tradisi berfikir kritis yang diberikan, sehingga penulis menjadi tertantang dan bersemangat dalam menyelesaikan studi ini. Selanjutnya pada kesempatan ini penghargaan dan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana dengan segenap staf dan karyawan yang telah memberikan layanan terbaik selama penulis menjalani proses pendidikan di sekolah Pascasarjana IPB. Semangat untuk menyelesaikan disertasi ini juga tidak terlepas dari dukungan dari tempat asal instansi penulis. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Rektor dan Bapak Dekan FISIP Universitas Andalas yang telah memberi izin tugas belajar kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Sumatera Barat, Bapak Bupati Padang Pariaman dan Walikota Pariaman, yang telah membantu dalam memberi izin untuk melakukan penelitian ini. Begitu juga, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Bapak pimpinan Proyek Hibah Program Doktor, Bapak Ketua Yayasan Damandiri, dan Bapak Rektor Universitas Andalas yang telah mensponsori dana penelitian disertasi ini. Tidak lupa pula ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada responden dan informan penelitian di Kecamatan Sungai Limau dan Kecamatan Pariaman Tengah yang telah memberi data dan informasi untuk penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga besar atas doa dan dukungan yang tidak terhingga, untuk itu ditujukan kepada ayahanda Mustamar, Ibunda Arnisyah serta Ibu mertua Hj Martini, kakak dan adik-adik yang penulis cintai. Teristimewa rasa syukur, terimakasih, penghargaan, kebanggaan penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr. Aprizal Zainal, SP, M.Si yang telah menyelesaikan pendidikan S3 di program studi Agronomi IPB pada tanggal 3 Mei 2010 dan ananda tersayang: Muthia Septaprima, Maudia Azhara Raisya dan Achmad Faridzi, atas segala pengorbanan, kesabaran dan dukungannya yang setiap saat mengalir. Tanpa dukungan mereka, rasanya disertasi ini tidak akan terwujud. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan rekanrekan dan teman-teman seperjuangan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB dari beberapa angkatan, antara lain; Dr. Zusmelia, M.Si, Dr. Ir. August Pattiselano, M.Si, Dr. Yeti Rochwulaningsih, Drs Hidayat, M.Si, Iman K Nawireja, SP, M.Si, Dr. Tyas Retno Wulan, M.Si, Pulanggono Setia Lenggono, S.Sos, M.Si, Dr. Abdul Malik, S.Ag, M. Si, Dr. Hartoyo, M.Si dan Bob Alfiandi S. Sos, M. Si dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Mereka telah banyak memberikan suasana akademik yang kritis penuh persahabatan dan sangat menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3 ini. Semoga jalinan persahabatan yang begitu tulus itu akan langgeng, meskipun kembali ke instansi masing-masing. Sungguh budi baik dan jasa mereka tidak pernah akan terlupakan, hanya Allah SWT yang akan membalasnya sebagai pahala dari amal kebaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan akademik yang dimiliki, sehingga penulis merasa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan mengharapkan saran, kritik dan masukan yang dapat menyempurnakan tulisan disertasi ini. Atas kebaikan dan perhatian semua pihak, penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setingginya. Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan bapak, ibu dan saudara semuanya. Bogor, 28 Juni 2010 Maihasni RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 20 Januari 1968 sebagai anak kedua dari ayah Mustamar dan ibu Arnisyah. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Sosiologi Fakultas Sastra Universitas Andalas (UNAND) lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Sosiologi-Antropologi Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor (S3) diperoleh pada tahun 2005 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) selama tiga tahun. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNAND sejak tahun 1994. Mata kuliah yang diampu ialah Pengantar Statistik, Statistik Ilmu Sosial, Kemiskinan, dan Sosiologi Pendidikan. Selama mengikuti pendidikan Program S3, karya ilmiah yang telah ditulis adalah; Kembali Ke Nagari: Apakah sebuah jalan menuju Reforma Agraria di Sumatera Barat dalam buku yang berjudul, “Menggugat Kebijakan Agraria, Kumpulan Tulisan Sejarah Agraria Pedesaan Mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan 2005. Editor Dr Endriatmo Sutarto, dengan ISBN: 979-3099-38-0. Kemudian, tulisan lainnya adalah, ”Paradigma Penelitian Positivisme, dalam buku yang berjudul “Metodologi Penelitian Sosiologi (Sep 710). Kumpulan tulisan oleh Angkatan 2005-2006, Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Sekolah Pascasarjana, 2006. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Aprizal Zainal, SP dan dikarunia tiga orang anak yaitu Muthia Septaprima (12 tahun), Maudia Azhara Raisya (9 tahun) dan Achmad Faridzi (6 tahun). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBARi DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1 1.1 Latar Belakang Penelitian................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian................. 4 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian........................................ 5 1.4 Kegunaan Penelitian........................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Konsepsi Perkawinan..................................................... 7 2.2 Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin...... 9 2.3 Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau .............. 17 2.4 Perubahan Sosial Budaya............................................... 23 2.5 Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan............................ 28 2.6 Pilihan Yang Dipertimbangkan dan Lingkungan Sosial dalam Perkawinan .......................................................... 33 2.7 Beberapa kajian dan Studi Tentang Perkawinan............. 35 2.8 Kerangka Pemikiran ....................................................... 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Jadwal Penelitian .......................................... 42 3.2 Unit Analisis .................................................................. 43 3.3. Responden dan Informan Penelitian ............................. 43 3.4. Assumsi Dasar Penelitian.............................................. 45 3.5.Metode Penelitian............................................................ 48 3.5.1 Pengumpulan Data ............................................... 50 3.5.2 Analisis Data........................................................ 52 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian.............................. 54 4.1.1 Kecamatan Sungai Limau ..................................... 54 4.1.2 Kecamatan Pariaman Tengah ............................... 59 4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau........................... 64 4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir...................................... 68 4.3.1 Pariaman Sebagai Awal Masuknya Agama Islam di Minangkabau ................................................... 68 4.3.2 Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan........................................................... 71 4.4. Struktur Masyarakat Pariaman dalam Tradisi Bajapuik. 73 4.5. Adat Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik..................... 76 4.5.1 Memilih Calon Menantu (Meresek)........................ 76 4.5.2 Pertunangan............................................................ 79 4.5.3 Akad Nikah ............................................... ........... 81 4.5.4 Pesta Perkawinan.................................................. 82 4.5.5 Manjalang.............................................................. 85 4.5.6 Baretong................................................................. 86 BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK 5.1 Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik........................ 88 5.2 Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik.................................................. 90 5.2.1 Gelar Kebangsawan sebagai Dasar Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik...........................................91 5.2.2 Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Saat Ini dalam Tradisi Bajapuik........ 93 5.3 Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik............................................................. 95 5.3.1 Uang Jemputan.................................................... 95 5.3.2 Uang Hilang........................................................ 101 5.3.3 Uang Tungkatan.................................................. 108 5.3.4 Uang Selo.............................................................. 110 5.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentukbentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik..................... 114 5.5 Ringkasan Bab................................................................ 116 BAB VI PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI BAJAPUIK 6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik................................ 118 6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi Bajapuik ....................................................................... 119 6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik......................................................................... 129 6.3.1. Perkawinan Dengan Sesama Kerabat.................... 131 6.3.2. Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum Pernikahan................................................135 6.3.3 Perkawinan Dengan kedudukan Setara...................139 6.4. Ringkasan Bab............................................................... 144 BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT 7.1. Nilai Pertukaran Yang tetap Terjaga dalam Tradisi Bajapuik........................................................................... 145 7.2. Distribusi Keadilan (Distributive Justice) dalam Tradisi Bajapuik............................................................. 149 7.3. Keterlibatan Keluarga Besar (Extended Family) Memberi Ruang Bagi Eksistensinya Tradisi Bajapuik.... 153 7.4. Keterlibatan Keluarga Batih (Nuclear Family) Memberi Ruang Bagi Eksistensinya Tradisi Bajapuik.................... 163 7.5. Tradisi Bajapuik dalam Teori Pertukaran....................... 167 7.6. Ringkasan Bab............................................................. 171 BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan di Tataran Empirik....................................... 175 8.2 Kesimpulan di Tataran Teoritik...................................... 177 8.3. Saran dan Kebijakan....................................................... 178 8.4. Peluang untuk Penelitian ke Depan ............................... 179 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 180 LAMPIRAN..................................................................................................187 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial......................................................... 24 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi.................................. 27 3. Jumlah Responden dan Informan Penelitian.......................................... 45 4. Paradigma Postpositivisme Sebagai Pilihan Paradigma Penelitian....... 46 5. Metode Yang Digunakan Dalam Penelitian............................................ 48 6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan Luas Wilayah Kecamatan Sungai Limau tahun 2008.............................. 55 7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin tahun 2008....................................................... 56 8. Jumlah Penduduk di Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Tahun 2008.................................................................................... 57 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008................ 57 10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Sungai Limau tahun 2008................................ 58 11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007.............. 60 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007......... 61 13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007.......................... 62 14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan Pariaman Tengah tahun 2007................................................................. 63 15. Laki-laki Yang dijemput Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008.......... 89 16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008.......... 96 17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008............ 100 18. Waktu Uang Jemputan Diberikan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008................................................................................................ 100 19. Wujud Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008.................................. 101 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 .................................. 104 21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008................................... 104 22. Perkiraan Muncul Uang Selo di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008......................................................... 113 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008........... 117 24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 ........... 119 25. Karakteristik Keluarga dalam Tradisi Bajapuik.................................... 123 26. Keikutsertaan Anggota Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik Menurut Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008............................................................................................. 157 27. Tipologi Keberadaan Tradisi Bajapuik dalam Keluarga Kedua Belah Pihak.............................................................................................. 172 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang.......................................... 18 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal)............ 35 3. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 41 4. Proses Kombinasi Metode Kualitatif dan Kuantitatif............................... 49 5. Interactive Model of Analysis.................................................................. 53 6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau................................................ 54 7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah .......................................... 59 8. Uang Japuik Dan Orientasi Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik...129 9. Anggota Keluarga Dari Pihak Ibu............................................................154 10. Anggota Keluarga Dari Pihak Ayah...................................................... 155 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kajian Tentang Perkawinan Di Dunia...........................................187 Lampiran 2. Kajian Tentang Perkawinan di Indonesia......................................188 Lampiran 3. Pedoman Wawancara.....................................................................189 Lampiran 4. Peta Sumatera Barat.......................................................................193 Lampiran 5.Foto-foto Penelitian........................................................................194 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk hidup sendiri. Tidak seperti binatang, umat manusia memang tidak dibekali oleh alat yang membuatnya hidup dalam kemandirian, karena itu manusia perlu hidup bersekutu. Perkawinan adalah suatu pola yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga (Horton, 1987). Dengan demikian perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga persekutuan yang secara budaya mempunyai sanksi, memperjelas hak– hak dasar seks laki-laki dan perempuan dalam memenuhi fungsi sosial. Perkawinan juga merupakan masa seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarga dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang secara rohaniah tidak terlepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Di Indonesia perkawinan selain diatur oleh negara 1 dan agama, juga diatur menurut ketentuan daerah setempat atau yang disebut dengan adat. Dalam prakteknya tidak jarang pula ditemukan aturan adat ini mempunyai peran yang sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu perkawinan. Tepatnya, kehidupan sosial akan mengalami hambatan dan tidak berlangsung seperti yang dikehendaki apabila tidak mentaati aturan setempat (Moore dalam Warsani, 1989). Adanya aturan adat itu maka dikenal berbagai macam bentuk perkawinan yang di antaranya; perkawinan Minangkabau, Jawa, Batak dan sekaligus menjadi identitas daerah setempat. Khusus di daerah Minangkabau, identitas yang melekat pada bentuk perkawinannya adalah mendatangkan sumando, artinya laki-laki yang diterima sebagai menantu datangnya karena dipinang oleh pihak keluarga perempuan, dengan sejumlah pesyaratan adat yang harus di bawa. Menurut Koentjaraningrat, (1990), dalam tata aturan umum adat disebutkan perkawinan di Minangkabau 1 Yakni Undang-undang no 1 tahun 1974 2 tidak mengenal adanya mas kawin 2 (bridewelth) yang menjadi kewajiban bagi pengantin laki-laki menyerahkan pemberian kepada pengantin perempuan sebagai suatu hal yang diwajibkan oleh agama Islam. Tetapi yang penting dalam perkawinan itu adalah pertukaran benda yang berupa cincin atau keris sebagai lambang antara kedua keluarga yang bersangkutan telah terikat dan mempunyai kewajiban satu sama lainnya. Kondisi ini berbeda dengan daerah Pariaman, selain aturan di atas terdapat pula syarat lain yang harus dipenuhi oleh keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki sebelum terjadi pernikahan. Persyaratan itu adalah keluarga pihak perempuan memberikan sejumlah uang atau barang kepada keluarga pihak laki-laki sebagai alat untuk menjemput supaya dapat mengawini seorang perempuan. Inilah yang disebut dengan uang japuik dalam tradisi bajapuik. Pada dekade terakhir ini, permintaan uang japuik 3 dari pihak keluarga laki-laki dalam tradisi bajapuik menunjukan peningkatan seiring dengan status sosial yang dimiliki oleh calon mempelai laki-laki. Dengan demikian status sosial yang tinggi mengindikasikan uang japuik yang semakin tinggi pula. Azwar (2001), laki-laki yang mempunyai pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan uang hilangnya puluhan juta rupiah. Selain itu uang japuik (uang hilang) menjadi penentu dalam keberlanjutan suatu perkawinan (Utama, 2002). Implikasi dari uang japuik yang cenderung mengalami peningkatan menimbulkan kegelisahan pada sebagian masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh (Azwar, 2001), terdapat pihak keluarga perempuan menggadaikan dan menjual sawah ladang mereka. Kemudian ada kecenderungan perempuan di daerah ini untuk mencari pasangan dari luar 4 Kabupaten Padang Pariaman. Dengan pendidikan yang semakin meningkat maka, kemungkinan berinteraksi dengan orang luar juga semakin luas dan sekaligus menimbulkan peluang untuk memperoleh pasangan dari luar tanpa adanya keterikatan dengan sistem perkawinan yang ada 2 (Utama, 2002). Selain itu semakin meningkat jumlah Mas kawin diartikan sebagai pemberian dan tidak sama halnya dengan mas kawin yang disyaratkan dalam agama Islam atau yang disebut dengan mahar. 3 Sebutan uang japuik dalam sebagian masyarakat disebut juga uang jemputan atau uang hilang. 4 Berasal dari daerah lain yang tidak mempunyai adat tradisi bajapuik 3 perempuan di daerah ini yang tidak mendapat pasangan (Chatra, 2005)5. Walaupun banyak faktor yang menentukan, namun dalam hal ini dapat diasumsikan uang japuik (uang hilang) sebagai salah satu penyebabnya. Mencermati fenomena yang terjadi di atas, jauh hari telah dirasakan oleh masyarakat. Implikasi dari kegelisahan itu, pada tahun 1981 6 diadakan Raperda (Rencana Peraturan Daerah) mengenai uang hilang yang dipelopori oleh IMAPAR (Ikatan Mahasiswa Pariaman) dengan mengikut sertakan Tigo Tungku Sajarangan ( cerdik pandai, ninik-mamak, dan alim ulama), Bundo Kandung, dan Generasi Muda. Pada akhirnya Raperda itu membuahkan hasil pro dan kontra dikalangan masyarakat. Meskipun demikian dalam kenyataan, tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap ada (eksis) dan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan di Pariaman hingga saat ini. Ini merupakan suatu persoalan yang dilematis. Di satu sisi ada segolongan masyarakat yang tidak/kurang menginginkan tradisi bajapuik, namun disisi lain masyarakat masih melaksanakan tradisi bajapuik. Mengapa ini terjadi dan nilai apa yang terkandung dalam tradisi bajapuik, nampaknya inilah yang perlu ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini. Dalam perspektif pertukaran sosial, diyakini interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi diakui pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial pertukaran juga mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi) (Turner, 1998; Poloma, 2000; Ritzer & Goodman, 2004). Dalam teori pertukaran modern Homans lebih tegas mengatakan, dimana semua perilaku sosial tidak hanya perilaku ekonomis hasil dari suatu pertukaran. Artinya perilaku sosial tidak hanya menyediakan ganjaran ekstrinsik, tetapi juga menyediakan ganjaran intrinsik, seperti persahabatan, kepuasan dan mempertinggi harga diri. Dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya (hukuman) dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Poloma, 2000). Selanjutnya Homans juga menjelaskan pertukaran sosial yang terjadi juga terkait dengan status dan peranan, dan sekaligus menyediakan mata rantai antara 5 6 Lihat Chatra, 2005 hal:187 Masa Bapak Anas Malik memangku jabatan sebagai Bupati kabupaten Padang Pariaman. 4 individu dengan struktur sosial, karena disadari struktur atau lembaga-lembaga demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlihat dalam proses pertukaran barang berwujud materi maupun non materi (Anderson, 1995; Malinowski dalam Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000). Konkritnya, pertukaran yang terjadi dalam perkawinan berkaitan dengan ekonomi, kedudukan sosial atau kekuasaan (Goode, 2007), kecantikan, kepribadian, keahlian, dukungan dan kooporatif ekonomi, intelektual, keperawanan dan sebagainya (Lamanna dan Riedmann, 1991). Jadi pertukaran yang terjadi dalam perkawinan tidak hanya terdiri dari satu unsur yakni pertukaran “uang dengan seorang laki-laki”, tetapi terdiri dari dua unsur yaitu “pertukaran” uang yang berkombinasi dengan nilai/norma 1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Tradisi bajapuik sebagai salah satu bentuk jaringan kerja (networking) yang dapat dipertemukan dalam sebuah pasar perkawinan (marriage market). Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktor dalam melakukan pertukaran di pasar perkawinan. Di sini posisi penelitian dimaksudkan. Analisis juga difokuskan pada tindakan (action) yang dicirikan oleh hasil aktivitas dan pertimbangan aktor (pertimbangan nilai) atau tindakan yang mempengaruhinya (Homans dalam Poloma, 2000). Jadi tradisi bajapuik tidak hanya sebagai sebuah mekanisme pasar perkawinan (marriage market mechanism), tetapi juga sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Lamanna dan Riedmann, 1991). Selain itu, perlu pula kiranya untuk melihat saling hubungan antara ekonomi dan masyarakat secara lebih luas, yakni meliputi interaksi saling hubungan antara ekonomi dan budaya (nilai-nilai dan norma) yang lebih luas. Bagaimana ekonomi dan masyarakat berinteraksi lebih luas, seberapa jauh kekuatan ekonomi menentukan pilihan masyarakat dan seberapa jauh kekuatan di luar ekonomi mempengaruhi persoalan tradisi bajapuik. Secara keseluruhan ini dapat ditelusuri melalui analisis dalam institusi perkawinan, yang mencakup kekayaaan yang dimiliki, kedudukan tinggi atau berkuasa (Goode, 2007; Lamanna dan Riedmann, 1991). Selain itu keluarga luas (extended family) merupakan salah satu unsur yang ikut mempengaruhi tradisi bajapuik dan juga sebagai salah satu penerapan 5 bentuk solidaritas yang dilakukan aktor-aktor dalam perkawinan. Artinya keterlibatan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya tradisi bajapuik. Bila itu terjadi jelas akan menguntungkan terutama bagi pihak keluarga perempuan dan sekaligus akan berpengaruh terhadap keberlangsungan tradisi bajapuik. Kemudian dipihak lain sepintas tradisi bajapuik menunjukkan laki-laki seperti benda yang dapat dipertukarkan dalam pelaksanaan perkawinan. Sebagai bentuk perwujudan itu di Pariaman memakai uang japuik. Uang japuik pada awalnya dalam tradisi bajapuik--merupakan suatu bentuk penghargaan kepada status gelar kebangsawanan yang diwariskan dari ayah kepada anak laki-laki dan inilah yang disebut dengan uang jemputan. Akibat pengaruh ekonomi muncul uang hilang dalam tradisi bajapuik, sekaligus merubah penghargaan status gelar kebangsawanan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) yang dimiliki oleh calon pengantin laki-laki. Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu bagaimana aturan, norma mengenai tradisi bajapuik? Mengapa individu tetap mendukung eksisnya tradisi bajapuik? Untuk lebih terarahnya penelitian ini maka akan diajukan sejumlah pertanyaan pendukung lainnya sebagai berikut: 1. Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya? 2. Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana prilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik? 3. Mengapa tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bermaksud untuk melihat mengapa dan bagaimana tradisi bajapuik sebagai salah satu institusi dalam masyarakat Pariaman bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi? Untuk lebih jelasnya tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 6 1. Mengkaji nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya. 2. Mengkaji aktor yang terlibat dan prilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik. 3. Menganalisis tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan, secara umum dapat menambah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan informasi tentang berbagai dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Pariaman. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan disiplin ilmu sosiologi Pedesaan, khususnya pada kajian sosial dan adat-istiadat suatu masyarakat. Secara khusus, keseluruhan hasil studi ini nantinya dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah Nagari, KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) atau pemangku adat dan pihak terkait lainnya dalam rangka keberlanjutan (continuity) tradisi bajapuik sebagai identitas masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Selain itu, pada gilirannya dapat menciptakan pertukaran yang seimbang antara kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Konsepsi Perkawinan Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap lakilaki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya istilah perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami. Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry) atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya sebuah keluarga baru. Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah (Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal 8 bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough (dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis perempuan itu menjadi “suaminya”. Tetapi isteri dari perempuan itu diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986), perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram. Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu. 9 Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak. Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita, korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terusmenerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan (life cyle) manusia. 2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat. Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan. Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan (kawin rampok) 1. Perkawinan ini dilakukan dengan merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan. Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980). 1 Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia. 10 Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anakanaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja. Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992). Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional, yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya. Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku 11 ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006). Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat, sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987). Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain : 1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman menjadi ramai dan berseri. 2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga. 3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung halaman, dan penolong ninik mamak 4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung. 5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan. Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu 12 tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti, seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan baik. Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin (bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula, 1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok kerabat mereka sendiri. Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana 13 untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin harus diberikan ada 3 (tiga) kemungkinan: 1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan siapa yang akan menerima mas kawin tersebut. 2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri. 3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104). Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan. Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007). Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992). Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang 14 yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas 2 wanita dalam perkawinan tersebut. Kemudian setelah itu, dalam perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981). Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompokkelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992). Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar, pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompokkelompok. Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 2 Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat 15 1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter. 2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu. 3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion). Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah kedudukan daripada si pemberi. Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan. Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai 16 penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan uang dapua (uang dapur), tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang jemputannya. Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki (tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan (tingkatan). Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik. Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), “pada saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak. Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179), 17 disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar. Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaan/tradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi. 2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal-garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”. Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau sako-indu (Amir, 2006). Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979) Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciricirinya sebagai berikut; 1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan dari garis ibu (maternal line). 2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku. 3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu. 4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi, berjalan secara paralel dan simultan. 18 5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal. 6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya. 7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya. 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. 9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan mamak. Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga). Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato 1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini Generasi Nenek Generasi Ibu Generasi Anak Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982) 19 Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama, sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turuntemurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25), kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut. Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut: 1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai ka mande kita sendiri”. 2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya. 3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah (agraris). 4. Sebagai lambang kedudukan sosial. Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara: Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki, bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar penghulu telah lama “balipek” (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk upacara “puntiang penghulu” (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah 20 gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir, 1987; Backmann, 2000). Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000) telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini, keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997). Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat— ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan (Litwak dan Szelenyi, 1969). Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara 21 anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui” ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam, data hasil penelitian kurang memadai untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini. Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan benda-benda kebutuhan rumah tangga. Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala 22 akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru. Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai berikut: 1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara. 2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan anak-anak. 3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama untuk memperoleh ketentraman batin. 4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari kepunahan. Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002). Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan. Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu), sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984). Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989). Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya, kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu akan menjadi “anak hilang” dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki 23 luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku bangsa Minangkabau. Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat perkawinan Minangkabau antara lain; 1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain. 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak. 4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga perempuan. 2.4. Perubahan Sosial Budaya Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia. Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terusmenerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981), perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam 24 masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, dan dalam masyarakat tradisional sangat lambat. Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks. Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial Tingkat Analisis Global Peradaban Kebudayaan Masyarakat Wakil Kawasan Studi Wakil Unit-Unit Studi Organisasi internasional; ketimpangan internal Lingkaran kehidupan, peradapan atau pola-pola perubahan lain (misalnya; evolusioner atau dialektika) Kebudayaan materil dan kebudayaan non materil Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan GNP; data perdagangan Komunitas Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan Institusi Ekonomi; pemerintahan; agama; perkawinan dan keluarga; pendidikan. Organisasi Interaksi Struktur; pola interaksi; struktur kekuasaan; produktivitas. Tipe interaksi; komunikasi Individu Sikap Sumber: Lauer, (1989 : 6) Inovasi Ilmiah, kesenian dan inovasi lain-lain; institusi sosial Teknologi; idiologi; nilai-nilai Pendapatan; kekuasaan dan gengsi, peranan, tingkat migrasi; tingkat pembunuhan Pendapatan; kekuasaan dan gengsi; peranan; pertumbuhan penduduk; tingkat pembunuhan. Pendapatan keluarga, pola pemilihan umum; jemaah Gereja dan Mesjid; tingkat perceraian; proporsi penduduk di perguruan tinggi. Peranan; klik persahabatan; administrasi/ tingkat produksi Jumlah konflik; kompetisi atau kedekatan; identitas keseringan dan kejarangan partisipasi interaksi Keyakinan mengenai berbagai persoalan; aspirasi 25 Penjelasan mengenai konsepsi perubahan sosial di atas menggambarkan bahwa perubahan sosial itu menyangkut berbagai tingkat kehidupan sosial, mulai dari yang lebih kecil sampai kepada yang lebih besar. Mengacu kepada tingkat analisis perubahan sosial di atas maka terkait dengan research ini (tradisi bajapuik) termasuk kepada kawasan kebudayaan materi dan non materi dengan unit-unit studinya adalah nilai-nilai. Karena tradisi bajapuik yang terdiri dari uang japuik yang dalam realitanya tetap ada, namun nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi bajapuik telah mengalami perubahan. Ini terlihat dari nilai dasar dan bentuk-bentuk pertukaran, dimana pada awalnya gelar kebangsawanan, kemudian beralih kepada status sosial ekonomi (pekerjaan tetap) yang secara nyata menghasilkan uang. Begitu juga dengan bentuk pertukaran yang terdapat dalam tradisi bajapuik, pada awalnya sejumlah benda atau uang secukupnya (uang jemputan) berkembang menjadi bentuk-bentuk uang lainnya seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Atas dasar itu, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana terjadinya perubahan itu dan faktor apa yang menyebabkan, disini pentingnya penelitian ini. Oleh sebab itu penjelasan mengenai perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik lebih tepat kiranya dengan menggunakan pandangan perspektif evelusionisme dari Comte. Perspektif ini melihat perkembangan masyarakat dengan menganalogikan seperti halnya proses evolusi yakni suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” (Etzioni, 1973). Kesempurnaan menurut Comte dalam masyarakat dicirikan oleh adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferensiasi dan terspesialisasi (Sztompka, 2004). Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif dan menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat. Pemikiran Comte tentang perubahan sosial didasari atas konsep dinamika sosial (social dynamics), yakni berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejalagejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda (Salim, 2002). Dalam hal ini Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas, kita 26 perlu menempatkan dalam konteks historis yang lebih luas, yakni memperlakukannya sebagai salah satu fase saja dari perjalanan panjang sejarah umat manusia. Masyarakat kapitalis, industri tidak muncul secara kebetulan, tetapi merupakan hasil wajar dari proses terdahulu (Lauer, 1985; Turner, 1998; Sztompka, 2004). Jadi, mustahil untuk memberikan penjelasan, memprediksi dan menentukan perkembangan fenomena modern secara memadai tanpa merekonstruksi pola dan mekanisme seluruh sejarah terdahulu. Lebih rinci Comte melihat perkembangan masyarakat melalui pola berfikir tertentu yakni melalui tahapan-tahapan dalam alam berfikir manusia atau yang disebutnya dengan evolusi intelektual. Untuk itu Comte bertolak dari “hukum tiga tahap perkembangan manusia, yakni teologis, metafisik dan posistif. Setiap tahap dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap sebelumnya dan selalu menunjukkan perkembangan sesuai dengan tahap yang sedang mereka capai dan mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya secara keseluruhan. Selanjutnya setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Adapun tahap perkembangan pemikiran manusia menurut Comte yaitu: 1) Tahap Teologis, pada tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran manusia. Pada tahap ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau kejadian di dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda yang ada di dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang berada diluar jangkauan manusia (kekuatan gaib, misalkan dewa). 2) Tahap metafisik, tahap ini sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari tahapan yang pertama (tahap teologis)--suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan diluar jangkauan manusia seperti kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian dan penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat abstraksi dan konsep metafisik (spekulatif). 3) Tahap positif, tahap ini yang menjadi dasar pemikiran aliran positivistik-- pemikiran manusia mencoba untuk menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap semua fenomena yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum-hukum yang dapat diamati, diuji dan dibuktikan 27 secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan mulai berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal. Selanjutnya Comte mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi manusia melangkah untuk mencapai tujuan akhir sebagai berikut; 1) rasa bosan; 2) umur manusia dan 3) demografi. Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas, berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan, memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson; 1986; Sztompka (2004). Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi Kategori Landasan Pemikiran Sifat Perubahan Arah Perkembangan Konsepsi Bentuk Perubahan Perkembangan Organisme Kumulatif Linear/positif Optimis Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama. Mengikuti pemikiran Comte di atas, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik terjadi sesuai dengan pekembangan masyarakat (evolusi) dengan tidak menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Gelar kebangsawanan tetap mempunyai nilai dalam tradisi bajapuik, namun nilainya telah mulai berkurang jika dibandingkan dengan oleh status sosial ekonomi sebagai pertimbangan dalam memilih menantu. Karena keuntungan yang lebih 28 besar terdapat pada status sosial ekonomi (pekerjaan) yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Jadi adanya peralihan pemikiran masyarakat itu merupakan suatu bentuk perkembangan pola berfikir menuju kesempurnaan masyarakat. Kalau ditelusuri lebih jauh proses perubahan sosial yang melanda berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat saat ini, pada dasarnya merupakan proses yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Bahkan perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja mempengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya (Soekanto, 1990). Selanjutnya, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat antara lain: 1) ketidak puasan terhadap situasi yang ada; 2) adanya tekanan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya (Margono dalam Taneko, 1993). Kemudian Adiwikarta (1988), perubahan juga dapat diakibatkan oleh pendidikan karena pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai dua peranan penting yaitu; sebagai pelestarian kebudayaan dan sistem sosial (agent of conservation) di samping sebagai pembawa atau pelaku perubahan (agent of change). Sebagai pelestarian kebudayaan pendidikan telah mewariskan suatu sistem nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma dan adat-istiadat serta berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya dari satu generasi ke generasi lainnya, sedangkan sebagai pelaku perubahan pendidikan mengkonstruksi bentuk-bentuk baru akibat bentuk lama yang sudah tidak cocok lagi. Terkait dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di Minangkabau dan Pariaman khususnya, menurut Abdullah (1992), disebabkan oleh jumlah dan komposisi penduduk, perluasan dan spesialisasi dan diferensiasi kerja. Selain itu juga disebabkan oleh pendidikan—pendidikan mengakibatkan terbukanya kominikasi dan berkembangnya pengetahuan (Navis, 1983). Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan adalah faktor intern dan ekstern. Kedua faktor ini merubah pilihan masyarakat dalam tradisi bajapuik. 2.5. Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan Pada dasarnya perkawinan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi (Goode, 2007). Ini berarti di dalam proses perkawinan terdapat sumber- 29 sumber yang ditawarkan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Proses ini tentunya melibatkan pihak-pihak yang syarat dengan perilaku dan interaksi sosial. Dalam sosiologi keluarga, proses pertukaran yang terjadi antara pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya disebut dengan pasar perkawinan (marriage market). Untuk memahami perkawinan sebagai sebuah proses pertukaran yang terjadi dalam pasar perkawinan (marriage market) dapat didekati dengan perspektif teori pertukaran (exchange theory) dari Homans, meskipun dalam ilmu sosiologi Blau juga termasuk dalam pengembangan teori ini. Secara umum teori pertukaran mempunyai asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi para ahli teori pertukaran mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 2000). Ini sejalan dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran (exchange) tidak selalu dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi pertukaran juga meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti harga diri atau penghargaan, saling keterkaitan, bantuan dan dalam bentuk persetujuan. Pertukaran juga dimaksudkan untuk menghindari sesuatu seperti penderitaan, biaya keadaan yang memalukan lainnya dan pertukaran juga meliputi kesempatan, keuntungan dan aspek-aspek komparatif dari hubungan kemanusiaan (human relation). 3 Dari pernyataan Skidmore tersebut, maka jelaslah bahwa gagasan pertukaran (exchange) mempunyai pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas pada pemberi dan penerima yang bersifat konkrit. Pandangan yang sama, juga dikemukakan Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya dalam bentuk materil tetapi juga dalam bentuk non materil (Turner, 1998; Anderson, 1995). Secara spesifik teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans, melihat semua perilaku sosial—tidak hanya perilaku ekonomis, tetapi menyediakan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Lebih jauh Homans menjelaskan, di mana aktor dalam berperilaku mempertimbangkan keuntungan dan memperkecil biaya yang 3 Lebih jauh lihat William Skidmore. 1979. “Theoritical Thinking in Sociology”. Cambrige University Press. London. J.H. Anderson. 1995: 80-98. “Retorical Objectivity in Malinowsky’s Argonnaouts”, University of Illinois Press. Urbana and Chicago. 30 dikeluarkan (cost benefit) dan individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran barang berwujud materi dan non materi (Turner (1998; Poloma, 2000). Teori pertukaran Homans terletak pada sekumpulan proposisi yang erat kaitannya dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishman). Semua proposisi itu saling berhubungan. Adapun proposisi Homans itu menurut Turner, 1998; Ritzer & Goodman, 2004 sebagai berikut: 1. Proposisi sukses (Success Proposition), di mana dalam setiap tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering ia akan melakukan tindakan itu. 2. Proposisi stimulus (Stimulus Proposition), jika dimasa lalu terjadi stimulus yang khusus atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin memungkinkan seseorang melakukan tindak serupa. 3. Proposisi nilai (Value Proposition), di mana semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin sering seseorang melakukan tindakan itu. 4. Proposisi kejenuhan (Saturation Proposition), di mana semakin sering dimasa lalu seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu. 5. Proposisi persetujuan (Approval Proposition), bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi cenderung menunjukan prilaku agresif dan hasil prilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya. 6. Proposisi rasionalitas (Rationality Proposition), dalam memilih antara tindakan alternatif, seseorang akan memilih sesuatu itu seperti dirasakannya ketika nilai dari hasil dikalikan dengan kemungkinan hasil tersebut adalah lebih besar. Dari keenam proposisi yang diajukankan, Homans menekankan pada proposisi ketiga dari exchange theory-nya. Lebih jauh dikatakan bahwa makin bernilai bagi seseorang tingkahlaku orang lain yang ditujukan kepadanya, makin besar kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya dan akhirnya pertukaran kembali akan terjadi. Namun reward yang diberikan kepada 31 orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai nilai lebih bagi orang yang diberi. Pertukaran (exchange) tidak akan terjadi kalau nilai sesuatu yang ditukarkan itu sama, karena itu exchange hanya terjadi bila cost yang diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar dan kedua belah pihak sama-sama mendapat untung, dan keuntungan itu mengandung unsur psikilogis (Turner, 1998; Ritzer, 1985). Artinya pertukaran di sini termasuk pada pertukaran yang melebihi pertimbangan ekonomi. Mengacu pada persoalan perkawinan maka yang dipertukarkan menurut Lamanna dan Riedmann (1991), meliputi latar belakang dan keahlian individu yang dimiliki, seperti; posisi ekonomi (status sosial), pendidikan, umur, kecantikan dan sebagainya. Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menjelaskan, pertukaran itu akan berbeda antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Pada masyarakat tradisional pertukaran berkaitan dengan peranan seks. Artinya wanita menukar dengan kemampuannya untuk melahirkan dan membesarkan anak sebagai bentuk tugas domestik. Pada masyarakat modern, lebih di dasarkan pada sumber-sumber ekonomi, expresiv, efektif, seksual dan pengenalan kedua pasangan. Seorang wanita mempunyai ekonomi dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, maka pertukarannya menjadi simetris (seruang/sepadan) dan perkawinan yang didasarkan pada kedua pasangan mempunyai status sosial yang sama dan menjadikan lebih sederajat dan ditambah dengan perubahan peranan gender menjadi pertukaran saling melengkapi. Meskipun demikian, walaupun wanita sudah maju dan sama dengan pria, tetapi wanita masih tidak diuntung dalam pasar perkawinan (Lamanna dan Riedmann (1991). Sementara itu proses pertukaran itu berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya. Dalam masyarakat tradisional, pengaturan transaksi sepenuhnya dilakukan oleh keluarga dan juga keluarga besar. Berbeda halnya dengan masyarakat modern, pengaturan transaksi masih didominasi oleh keluarga inti (nuclear family), walaupun secara 32 berangsur-angsur induvidu yang bersangkutan sudah mulai ikut campur dalam kegiatan itu 4 (Lihat Goode, 2007; Lamanna dan Riedmann, 1991). Kemudian, untuk nilai tukar yang dipertukarkan menurut Goode (2007), tergantung kepada; 1) kearah mana nilai yang lebih tinggi itu dicurahkan menunjukan evaluatif yang diberikan masyarakat terhadap kedua mempelai baru itu; 2) tidak menjadi soal kearah mana kekayaan yang terbesar itu dicurahkan, semua macam nilai tukar itu tetap akan merata di antara keluarga-keluarga atau garis-garis keluarga. Karena kebanyakan perkawinan terjadi antar strata ekonomi yang sama, sehingga strata itu sebagai suatu kesatuan tidak untung maupun rugi. Artinya adanya keseimbangan kedua belah pihak 5; 3) keluarga yang menerima lebih banyak kekayaan selalu membalasnya dengan pemberian-pemberian lain, dan biasanya menjadi suatu kebanggaan untuk membuat pemberian kembali hampir senilai dengan apa yang diterimanya. Pertukaran semacam itu biasanya diketahui umum dan menggambarkan baik kedudukan sosial keluarga dan kegembiraan mereka dalam peristiwa itu; 4) meskipun ada sistem mas kawin, namun tetap ada kesempatan kompromi dalam peraturan perkawinan. Kesemua bentuk kriteria pilihan sebagaimana yang disebut di atas merupakan refleksi dari pertukaran dalam perkawinan yang pada hakikatnya menekankan pada perkawinan yang homogami. Menurut Lamanna dan Riedmann, (1991), ada sejumlah alasan orang melakukan perkawinan yang homogami antara lain: 1. Kedekatan (propinquity) Orang-orang yang berasal dari tingkat ekonomi yang sama mempunyai kedekatan hubungan dalam dalam berbagai hal. 2. Tekanan sosial (social pressure) Nilai-nilai budaya yang menganjurkan warga masyarakatnya untuk kawin dengan adanya persamaan sosial di antara mereka dan sebaliknya, tidak menganjurkan untuk kawin dengan orang yang mempunyai perbedaan di antara mereka. 3. Kebetahan di rumah (feeling at home) 4 Lihat juga Lamanna, 1981. Marriage and Families, hal 10. Karena perkawinan yang terjadi cendrung homogami yakni mencari pasangan berdasarkan adanya kesamaan dan karakteristik kelompok, Lihat Goode, 2007; Lamanna, 1991. 5 33 Orang-orang akan merasa lebih betah dengan adanya persamaan latar belakang di antara keduanya, sehingga komunikasi menjadi lancar dan nyaman. 4. Pertukaran yang seimbang (fair exchange) Dalam teori pertukaran (theory exchange), mendorong orang untuk kawin dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri seperti: kelas sosial, pendidikan, kecantikan fisik. Dengan adanya kesamaan tersebut maka dapat diassumsikan kehidupan perkawinan akan menjadi lebih kokoh dan stabil. 2.6. Pilihan yang Dipertimbangkan Perkawinan dan Lingkungan Sosial dalam Pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably) dimaknai sebagai pilihan yang dibuat melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu. Orang-orang secara pribadi menyadari tindakan yang dilakukan sebelum mengambil suatu pilihan. Bila pilihan itu diteruskan, akan berdampak positif baginya dan dapat bertahanan lebih lama Lamanna dan Riedmann (1991). Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menambahkan di mana dalam pilihan yang dipertimbangkan ada komponen-komponen penting antaralain: 1) mempunyai banyak option-option atau alternatif-alternatif sebagai suatu kemungkinan; 2) mengenal tekanan sosial mempengaruhi pilihan personal, yang disebutnya dengan faktor-faktor sosial. Apa faktor-faktor sosial yang dimaksud, Lamanna dan Riedmann menjelaskan sebagai berikut: 1. Event/kejadian yang berkaitan dengan sejarah seperti: perang, depresi, inflansi, dan perubahan sosial, mempengaruhi option-option/pilihanpilihan induvidu sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga. 2. Klas sosial atau status—merupakan faktor sosial yang penting sebagai arena/sarana dalam mempengaruhi pilihan individu. 3. Agama--dalam hal ini agama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan dan agama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di perkotaan mempunyai perbedaan, terutama dalam pengamalannya dan agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Bagi masyarakat pedesaan, pada umumnya pengamalan agamannya relatif kuat dan itu cenderung terlihat pada kelompok-kelompok agama dan cenderung diwarisi melalui keturunannya. Kemudian, aktivitas keagamaan secara signifikan di denominasi dalam kehidupan keluarga. 34 4. Pengharapan pada Umur--individu menyadari bahwa kehidupan mereka sendiri mempunyai ”timing” yang berkaitan dengan pengharapanpengharapan sosial. Lingkungan keluarga mempengaruhi pilihan-pilihan individu, misalnya kapan waktu untuk pendidikan dan mendapatkan pekerjaan, menikah dan punya anak. Dengan demikian ada empat poin pokok yang mempengaruhi individu dalam menentukan pilihannya. Faktor-faktor sosial tersebut berada diluar individu dan selalu mengelilinginya. Mengikuti terminologi Homans dalam Poloma (2000), inilah yang disebut dengan sistem internal. Selanjutnya bagaimana faktor sosial mempengaruhi pilihan individu, menurut Lamanna dan Riedmann (1991) yakni melalui: pertama, melalui normanorma sosial yang dapat diterima masyarakat. Menurut Soekanto (1990), norma sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilakuperilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Kepatuhan terhadap norma-norma kelompok akan memperoleh ganjaran sedang pengingkaran akan memperoleh hukuman (Poloma, 2000). Kedua, membatasi pilihan-pilihan individu. Dengan demikian tindakan yang berlangsung dalam kehidupan dapat secara sadar dan tidak sadar. Tindakan secara tidak sadar dilakukan ketika sesuatu itu bagi individu telah menjadi kebiasaan dan mengikuti garis edar yang telah ditentukan, sehingga tidak ada kekuatan untuk menentangnya. Agar suatu pilihan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan (pilihan rasional), menurut Lamanna dan Riedmann (1991) dilakukan dengan mencek atau mengkoreksi kembali pilihan yang diambil sebelum membuat suatu keputusan (decision maker). mempertimbangkan Dengan pilihan demikian sabjektif dapat (individu), memperhatikan dan atau mempertimbangkan 35 lingkungan disekitarnya (nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku). Gambar 2 menunjukan bagaimana lingkungan sosial berpengaruh terhadap pilihan individu (personal). Environment Input Varied option Social presures Rechecking with selft Output (effect a decision has on orthers) Awareness of alternatives Behavior (“I do” or “I act “) Decision maker Awareness of social pressures Decision (“I will” or “I won’t “) Willingness to accept consequences of a decision Awareness of personal values (‘I feel’) Considering consequences of Considering consequences of each alternative Considering consequences of each alternative Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal). Sumber: O’Neill and O’Neill (1974) dalam Lamanna dan Riedmann (1991) 2.7. Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan Studi tentang perkawinan belum begitu banyak mendapat perhatian di dalam kajian sosiologi. Dalam perjalanan waktu, hingga saat ini kajian tentang perkawinan masih didominasi oleh ilmu Antropologi dengan menggunakan metode etnografi seperti terlihat pada lampiran 1 dan 2. Tradisi“bajapuik” yang menjadi fokus penelitian ini merupakan sebagai bentuk kekhasan dari reseach ini. Meskipun di aras lokal dan global terdapat model perkawinan yang hampir sama dengan tradisi bajapuik seperti: sistem dowry di Cina dan India dan sinamot (perkawinan jujur atau tuhor) di daerah 36 Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau barang sebagai mahar (bridewealth) dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan kapan dilakukan pemberian itu. Sistem dowry di Cina, menurut Croll (1984) diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan istri/menantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik (pekerjaan kolektif) dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu pertukaran perempuan melalui lembaga perkawinan merupakan sebuah kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap (residance pattern), perempuan yang menjadi isteri/menantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istri/menantu tidak hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka keluarga pihak perempuan meminta “ganti rugi” dalam bentuk hadiah perkawinan yang dengan sistem dowry. Sistem dowry di India, menurut Shanna (1980) adalah harta bawaan yang dibawa oleh pengantin perempuan dalam perkawinannya yang secara sosial berfungsi memberi jaminan ekonomi, status, dan kemandirian yang lebih besar pada perempuan terutama setelah menikah. Namun dalam kenyataannya harta bawaan yang berbentuk uang dari wanita itu menjadi berpindah kepada orang tua laki-laki dan wanita tidak bisa menguasai dan mengontrol hak miliknya sendiri yang diberikan pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh dowry yang diterima oleh wanita pada saat pernikahan dipindah tangankan kepada orang tua laki-laki (suami) dan kemudian didistribusi lagi kepada kerabat lainnya. 37 Terakhir perkawinan jujur (tuhor atau sinamot). Menurut Pardosi (2008), bentuk perkawinan ini adalah memberikan sejumlah uang kepada wanita dari pihak laki-laki. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami (patrilokal), baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tersebut. Pembayaran uang mahar (sinamot) dengan mahal dapat diartikan sebagai makna simbolik “harga diri” dari kedua belah pihak di mata sosial masyarakat, di mana kedua belah pihak berasal dari keluarga ”Raja” yang masing-masing memiliki wibawa atau harga diri. Pemberian uang mahar (sinamot) dinyatakan dan disaksikan di depan masyarakat umum sehingga masyarakat yang menyaksikan dapat menjadi kontrol sosial di tengah keluarga yang baru dibentuk. Apabila terjadi kesalahpahaman di antara mereka, mereka tidak akan gampang untuk berbuat kearah perceraian karena masyarakat akan terus mengamati perjalanan keluarga tersebut. Pada prinsipnya mengawinkan anak bagi masyarakat Batak Toba adalah tugas orang tua yang paling mendasar. Status orang tua sangat ditentukan oleh keadaan para anak-anaknya yang telah menikah. Apabila ada anak yang belum menikah pada usia yang sudah wajar akan menjadi beban bagi orang tua, walaupun anak itu berhasil atau berprestasi. Orang tua akan mengusahakan agar anak itu menikah agar hutang adatnya terbayar semasa hidupnya. Walaupun tugas orang tua menikahkan anaknya, hal itu hanya merupakan tanggung jawab, segala hal yang dibutuhkan dalam proses perkawinan akan melibatkan keluarga, terutama dongan sabutuha dan boru. Dongan sabutuha dan boru akan berkumpul menyumbang saran/buah pikiran, tenaga, fasilitas, dan biaya. Khusus dengan tradisi bajapuik yang berlaku di Kabupaten Padang Pariaman, pihak keluarga perempuan yang memberikan sesuatu kepada pihak keluarga laki-laki, untuk menjemput laki-laki yang hendak dijadikan menantu. Selain itu tradisi bajapuik tidak membuat pengantin perempuan berkuasa, paling tidak sejajar dengan laki-laki dalam hubungan keluarga. Sebagai orang yang memiliki akses ekonomi (pihak keluarga perempuan) pengantin perempuan sebagai aktor yang terlibat (subjek) tetap saja berada pada posisi sebagai isteri seperti yang digariskan agama (Islam). Keputusan apapun yang akan diambil 38 dalam rumah tangga tetap berdasarkan suara bersama antara suami dan isteri. Dengan demikian memberi uang japuik kepada pihak keluarga laki-laki (sebagai syarat untuk mendapatkan calon suami), tidak berpengaruh terhadap kuatnya posisi perempuan di rumahtangganya. Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar (2001), yang temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik. Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga. Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat laki-laki semakin berkuasa, maka perempuan semakin terpinggirkan, tersubordinasi dalam kehidupan sosial karena sangat tergantung pada laki-laki. Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya pola keluarga monogami yang matriarkhat menjadi patriarkhat dimana kerja rumahtangga perempuan menjadi pelayan pribadi. Perempuan menjadi pelayan laki-laki dalam rumah tangga, yang disingkirkan dari semua partisipasi dibidang produksi dan sosial. Fokus kajian lain pada faktor-faktor yang melatar belakangi dipertahankannya tradisi bajapuik di Pariaman, disebabkan oleh uang jemputan menjadi ukuran prestise bagi kedua belah pihak. Pihak perempuan mempunyai kepuasan tersendiri jika mampu memberikan uang jemputan yang tinggi terhadap laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya. Dari pihak laki-laki menjadi aib baginya jika anak laki-laki mereka kawin tanpa uang jemputan dari pihak perempuan. Kaum mereka menjadi objek gunjingan, bahkan mamak-mamak 39 pihaknya dituding sebagai mamak yang tidak punya otoritas terhadap kemenakan, karena otoritas jemputan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan kebijakan mamak kaum. Jadi wajar, mamak kaum mereka mendapat tudingan yang miring dari masyarakat, jika kemenakan laki-lakinya tidak dijemput dalam pernikahan. Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama (2002), dengan temanya pada “Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya, mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar tanda pertunangan, bakampuang-kampuangan, mengundang malam membungkuih. Untuk tahap kedua, termasuk di dalamnya adalah menjemput mempelai, aqad nikah, hari perkawinan (baralek), hari manjalang dan malam baretong. Sementara itu untuk fokus kajian lainnya pada uang hilang dan fungsi sosial budayanya. Dalam hal uang hilang berfungsi sebagai pengesahan status sosial dan sebagai sarana untuk mobilitas sosial. Sementara itu, Maihasni (2003), mengkaji tradisi bajapuik dengan tema “Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang dilakukan orangtua terhadap munculnya uang hilang. Hasil penelitian menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga itu, maka ia berhasil mendapatkan menantu dengan cara memberi sejumlah uang kepada laki-laki yang bersangkutan. Di Lain pihak disebabkan oleh anak gadis yang tidak perawan lagi, sehingga sulit untuk 40 mendapatkan suami. Untuk itu orang tua yang perempuan mencarikan orang yang bersedia mengawini anaknya, dengan memberikan imbalan sejumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Uang yang diberikan dapat digunakan sepenuhnya oleh pihak laki-laki. Konsekuensi yang muncul akibat adanya uang hilang dalam tradisi bajapuik, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak perempuan agar perkawinan terhadap anaknya tetap terwujud. Perkawinan yang dilakukan dengan orang luar dari Pariaman menempuh jalur yang disesuaikan dan perkawinan dengan menggunakan uang hilang ini menimbulkan persepsi negatif terhadap laki-laki Pariaman. 2.8. Kerangka Pemikiran Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya tidak hanya sebagai penglegitimasian hubungan seksual, pengesahan anak yang dilahirkan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi juga memberi makna pada status dan martabat yang lebih tinggi pada seseorang (Radjab, 1969), dan menyambung keturunan (Amir, 2006). Adanya perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat menandakan bahwa institusi ini penting. Namun Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadinya suatu perkawinan banyak faktor yang menentu, baik dari individu yang terlibat maupun sejumlah faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung, di antaranya: kepercayaan, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pertumbuhan penduduk, merantau, dan modernisasi. Semua faktor tersebut jelas akan mempengaruhi perkembangan dan eksistensi tradisi bajapuik. Seiring dengan perjalanan waktu perkawinan bajapuik yang pada awalnya mengutamakan nilainilai sosial berubah menjadi nilai ekonomi, sehingga menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Meskipun demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik masih eksis dalam masyarakat. Dengan demikian berarti semakin besar kekuatan ekonomi (faktor ekonomi) memasuki kehidupan masyarakat dan semakin jauh moneteisme mempengaruhi individu, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas “individu” dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik. Mengacu pada proposisi Homans, khususnya “nilai”, pertukaran sosial yang dilakukan oleh aktor (individu) dalam pelaksanaan tradisi bajapuik akan 41 dapat ditelusuri. Dalam kaitannya dengan bagaimana tradisi bajapuik dapat terlaksana dan bagaimana interelasi di antara aktor yang terlibat, maka konsep Sussman dan Burchinal (1979) tentang “kekerabatan sebagai sebuah jaringan bantuan ekonomi” digunakan. Selanjutnya, bagaimana aktor mengambil suatu keputusan dan sejauhmana kekuatan nilai budaya (norma-norma) bermain tradisi bajapuik, konsep pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowledgeably) dari Lamanna dan Riedmann (1991) akan menjelaskan. Sehubungan dengan persoalan di atas untuk lebih jelasnya bagaimana konsep yang dimaksudkan mampu mengarahkan penelitian di lapangan dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini. Dasar Pertukaran -Ekonomi -Pertumbuhan Penduduk -Pendidikan - Merantau - Modernisasi Bentuk-bentuk Pertukaran Perubahan Kinship Pilihan Dipertimbangkan Lingkungan Sosial Gambar 3. Kerangka Pemikiran Eksistensi Tradisi Bajapuik BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Jadwal Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman pada awal merupakan satu wilayah administratif yaitu kabupaten Padang Pariaman. Setelah lahir UU no 12 tahun 2002, maka lokasi ini menjadi terpisah menjadi kecamatan Sungai Limau masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pariaman, sedangkan kecamatan Pariaman Tengah masuk ke dalam wilayah Kota Pariaman. Semenjak itu, kedua daerah ini mempunyai dua pemerintahan yaitu Kabupaten Padang Pariaman yang dipimpin oleh seorang Bupati dan Kota Pariaman dipimpin oleh seorang Walikota. Walaupun kedua daerah ini telah terpisah antara satu dengan yang lain, namun secara budaya, khususnya dalam pelaksanaan perkawinan tetap sama yakni memakai tradisi bajapuik. Tradisi bajapuik yang menjadi fokus penelitian ini dilaksanakan mulai dari Februari sampai Desember 2008. Dalam proses penelitian terbagi kedalam 4 tahap, dengan perinciannya sebagai berikut: • Tahap pertama; Februari 2008 melakukan studi penjajakan dan membina hubungan baik dengan masyarakat di daerah penelitian. Mengumpulkan data sekunder ditingkat kabupaten, kecamatan dan kenegarian dalam rangka pelaksanaan tradisi bajapuik dalam perkawinan. • Tahap kedua; Maret-April 2008 pembuatan kuesioner penelitian dan pedoman wawancara dan dilanjutkan dengan melakukan try out di daerah penelitian dengan menyebarkan daftar pertanyaan. Hal itu dilakukan untuk melihat sejauhmana daftar pertanyaaan dan pedoman wawancara dapat dipahami oleh responden dan informan penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan diskusi dengan perangkat kecamatan mengenai penetapan lokasi yang dijadikan sasaran penelitian. • Tahap ketiga; Mei-Agustus 2008, melakukan penyebaran kuestioner pada lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Kemudian pada tahap ini dilakukan studi kasus (analisis peristiwa); dengan melakukan pengamatan dan wawancara dengan informan penelitian mengenai tradisi bajapuik yang 43 dilaksanakan dalam perkawinan di daerah ini. Studi kasus (riwayat hidup), berkaitan dengan identitas informan, jumlah anak, jumlah saudara yang dimiliki serta seperti: pendidikan, pekerjaan, dan keberlanjutan tradisi ini. • Tahap keempat; September-Desember 2008 melakukan wawancara mendalam dengan informan dan responden yang terpilih tujuannya untuk memperdalam data yang diperoleh. 3.2. Unit Analisis Unit analisis dalam suatu penelitian dapat meliputi individu, rumahtangga, kelompok, organisasi, lembaga sosial dan sebagainya. Unit analisis apa yang akan diambil dalam suatu penelitian tergantung kepada permasalahan yang diteliti (Nugroho, 2001). Berkaitan dengan penelitian unit analisis yang diambil tentang eksisnya tradisi bajapuik adalah individu sebagai anggota masyarakat. Terdapat sejumlah pertimbangan mengapa individu dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini. Pertama, sebagai konsekuensi atas pilihan teori yang digunakan karena menerangkan fenomena individu dalam masyarakat lebih mengenai perilaku manusia individual daripada kelompok atau masyarakat. Individu-individu merupakan realitas konkrit dan obyektif dan kelompok (keluarga atau masyarakat) hanya merupakan nama yang menunjukkan asosiasi di antara mereka. Jadi, tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam rangka memahami fenomena sosial. Kedua, para pelaku tradisi bajapuik merupakan individu yang secara langsung mengalami tradisi bajapuik, sehingga menjadi sangat penting untuk mendapatkan informasi langsung dari mereka dan tidak hanya dari persepsi masyarakat. Meskipun para pelaku tradisi bajapuik merupakan sumber informasi utama, tetapi juga penting untuk menggali dari sumber informasi lain dari warga masyarakat lain untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang topik penelitian. 3.3. Responden dan Informan Penelitian Penelitian ini adalah menggunakan analisis kualitatif. Meskipun terdapat responden sebagai suatu karakteristik penelitian kuantitatif, namun penelitian ini tidak bertujuan untuk menguji suatu hipotesa, apalagi menggunakan suatu tes 44 statistik tertentu. Responden diperlukan dalam penelitian ini untuk memperoleh data awal, khusus melihat ke arah mana tradisi bajapuik dilaksanakan dalam masyarakat. Responden penelitian adalah individu yang mewakili tiga kelompok masyarakat. Tujuan agar setiap lapisan masyarakat dapat terwakili untuk melihat pandangannya terhadap tradisi bajapuik. Adapun lapisan masyarakat tersebut adalah; generasi muda, generasi menengah dan generasi tua. Masing-masing kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan, sehingga pada akhirnya menjadi enam sub kelompok. Adapun keenam sub kelompok responden tersebut adalah; Generasi Muda Laki-laki (GML); Generasi Muda Perempuan (GMP); Pelaku Laki-laki; (PL); Pelaku Perempuan (PP); Orang Tua Laki-laki (OTL) dan Orang tua Perempuan (OTP). Selain itu, untuk memperdalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam kepada informan penelitian. Informan yang dimaksud terdiri dari; KAN, LKAAM; dan tiga tungku sajarangan, yang terdiri dari Alim Ulama, ninik mamak 1 dan cerdik pandai 2. Semua responden dan informan penelitian adalah penduduk setempat yang berada dalam lingkup budaya tradisi bajapuik, dengan pertimbangan merekalah yang banyak mengetahui tradisi bajapuik dan berada di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari mereka. Adapun teknik pengambilan responden dan informan penelitian dilakukan dengan purposif dan teknik bola salju (snowball sampling) 3. Dengan teknik purposif sampling, dimaksudkan agar semua responden dan informan penelitian diyakini benar-benar penduduk setempat, sehingga validitas data dapat tercapai. Dari responden dan informan pertama, selanjutnya didapat pula responden dan informan berikutnya (snowball sampling) dan begitulah seterusnya. Berdasarkan ketentuan di atas, responden yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah (totality sample) 360 orang, terdiri dari 180 orang untuk Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman dan 180 untuk Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman, dengan masing-masing sub kelompok 30 orang. 1 Ninik mamak adalah orang yang mengetahui adat istiadat Cerdik Pandai adalah orang yang mempunyai pendidikan 3 Dengan teknik ini, pertama peneliti datang pada seseorang yang menurut pengetahuannya dapat menjadi key informan. Setelah berbicara secara cukup, informan tersebut menunjuk subyek lain yang dipandang mengetahui lebih banyak masalah penelitian sehingga peneliti memilihnya sebagai informan baru, dan demonian seterusnya, sehingga data yang diperoleh semakin banyak lengkap dan mendalam. Proses yang demonian ini, ibarat bola salju yang mengelinding, semakin lama semakin besar (Bogdan & Biklen, 1982; Patton , M.Q., 1990; Babbie, 2004). 2 45 Sementara itu, informan penelitian ini berjumlah 20 orang, dengan masing- masing 10 orang untuk Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman dan 10 orang untuk Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman. Jumlah responden dan informan yang terlibat dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel : 3. Jumlah Responden dan Informan Penelitian Kabupaten/Ke camatan Kategori Kelompok Generasi Muda 1. Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman Responden Generasi Menengah Generasi Tua Informan 2. Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman - Generasi Muda Responden Generasi Menengah Generasi Tua Informan - Sub Kelompok Jumlah -Generasi Muda lakilaki (GML) - Generasi Muda Perempuan (GMP) 30 -Pelaku laki-laki (PL) -Pelaku Perempuan (PP -Orang tua laki-laki (OTL) -Orang Tua Perempuan (OTP) KAN/Mantan KAN Alim Ulama Ninik Mamak Cerdik Pandai -Generasi Muda lakilaki (GML) - Generasi Muda Perempuan (GMP) -Pelaku laki-laki (PL) -Pelaku Perempuan (PP -Orang tua laki-laki (OTL) -Orang Tua Perempuan (OTP) KAN/Mantan KAN Alim Ulama Ninik Mamak Cerdik Pandai 30 Total Sumber: Data Primer penelitian, 2008 30 30 30 30 2 2 3 3 30 30 30 30 30 30 2 2 3 3 380 3.4. Asumsi Dasar Penelitian Menurut Guba dan Lincoln (2000), mengemukakan empat paradigma penelitian yakni; positivisme, postpositivisme, teori kritis (critical theory), dan konstruktivisme. menggunakan Dari empat paradigma paradigma, postpositivisme. untuk kepentingan Pada hakikatnya studi ini penggunaan 46 paradigma dalam suatu penelitian bersifat menuntun dan tidak bersifat mutlak (Sitorus, 1999; Lubis 2004). Paradigma postpositivisme oleh para pengikutnya dianggap memiliki kemampuan untuk memecahkan sebagian persoalan yang belum sempurna dengan cara melakukan penelitian dalam setting yang lebih alami, mengumpulkan informasi yang lebih situasional. Kaidah ontologinya realisme kritis memposisikan realitas yang ada, namun tidak bisa dipahami secara sempurna karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kekurangan, sedangkan fenomena itu sendiri secara fundamental memiliki sifat yang tak mudah diatur. Dengan demikian realitas sosial tidak lagi dipahami dalam perspektif tunggal-monolitik, tapi mereka percaya bahwa realitas sosial adalah ganda: subyektif dan obyektif. Oleh karena itu secara metodologi pendekatan experimen melalui observasi tidak cukup tetapi harus dibantu dengan metode lain (trianggulasi) yakni melalui wawancara mendalam (indept interview), dan observasi. Secara Epistimologis : Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Kemudian secara metodologi paradigma ini bersifat modified experimental dan manipulatif. Paradigma ini selain menggunakan model pendekatan kualitatif secara dominan namun terkadang masih juga model pendekatan kuantitatif secara terbatas. (Denzin dan Lincoln, 2000; 2009; Salim, 2006: 55-56). Paradigma postpositivisme sebagai pilihan paradigma penelitian dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Paradigma Postpositivisme sebagai Pilihan Paradigma Penelitian Aspek Filosofis Ontologis Paradigma Postpositivisme Realisme kritis—realitas “nyata” namun hanya bisa dipahami secara tidak sempurna dan secara probabilitik Epistomologis Dualis/objektif yang dimodifikasi; tradisi komunikasi tradisi/ komunitas kritis, temuan-temuan yang mungkin benar. Metodologis Modified Experiment/ Manipulative. Pengamatan secara natural, metode kualitatif dan tergantung pada teori yang dipergunakan. Kriteria kualitas penelitian : masih menggunakan Objectivity, Reliability dan validity (internal dan external validity). Aksiologis Nilai, etika merupakan pertimbangan penting yang harus diperhatikan dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian: untuk menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan fenomena alam. Sumber: Guba dan Lincoln, 2009 47 Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, penulis menggunakan paradigma postpositivisme, yang bercirikan ontologi realisme kritis, epistomologi modifikasi dualisme/objetivisme dan metodologi falsifikasi hipotesa dan dukungan metode kualitatif. Hal ini berarti realitas perilaku kolektif eksis (keberadaan) tradisi bajapuik dalam masyarakat Pariaman merupakan konstruksi “nyata” tetapi pemahaman atas realitas tersebut bersifat probabilistik dan tidak sempurna. Untuk itu strategi yang digunakan selain menggunakan survey, juga menggunakan wawancara mendalam (indept interview) dengan wawancara langsung, dan pengamatan berpatisipasi. Untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama, penulis menggunakan metode survey dan wawancara dan pengamatan berpartisipasi. Metode survey digunakan untuk melihat kecenderungan ke arahmana keberadaan (eksistensi) tradisi bajapuik, khususnya siapa yang dijemput dan apa yang menjadi penilaian untuk penjemputan seorang laki-laki yang diterima sebagai menantu dalam masyarakat. Sementara itu wawancara mendalam dan partisipasi dilakukan untuk mendalami kasus-kasus dari pengalaman aktor yang melakukan tradisi bajapuik yang tidak terungkap melalui survey. Dalam menjawab pertanyaan penelitian kedua, penulis menggunakan pendekatan makna lokal (emic), berdasarkan kasus dalam penelitian. Untuk itu strategi yang digunakan adalah studi kasus dengan teknik pengumpulan data penulis riwayat dan wawancara mendalam. Caranya dengan pengamatan berpartisipasi, mendengarkan penuturan kisah hidup berdasarkan peristiwa penting dari pelaksanaan tradisi bajapuik, pengecekan kepada orang lain dan contoh-contoh relitas sekarang. Studi kasus penulisan riwayat hidup untuk dapat menjelaskan proses pelaksanaan tradisi bajapuik dalam masyarakat dari sisi pandang pelaku sendiri. Aktor yang diambil sebagai kasus berdasarkan keunikan atau spesifik tertentu para aktor dalam melakukan tradisi bajapuik. Dengan demikian, pemahaman mengenai tradisi bajapuik, berdasarkan sudut pandang individu yang melaksanakan dan berinteraksi (pengalaman subyektif) dengan tradisi itu. Dalam menjawab pertanyaan penelitian ketiga, masih mengunakan pendekatan makna lokal (emic), dengan menggunakan teknik pengumpulan data 48 wawancara mendalam (indept interview), dan pengamatan berpartisipasi. Strategi yang digunakan dengan mendengarkan penuturan informan, dengan mengecek kepada orang lain dan contoh-contoh relitas sekarang. Paradigma postpositivisme dan metode yang digunakan dalam penelitian ini secara rinci dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Metode yang Digunakan Dalam Penelitian Pertanyaan Penelitian Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya? Paradigma Postpositivisme Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana prilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik? Postpositivisme Metode Pengumpulan Data o survey o wawancara mendalam (indept interview) o pengamatan berpartisipasi o o o Bagaimana tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat? Postpositivisme o o wawancara mendalam (indept interview) pengamatan berpartisipasi riwayat hidup wawancara mendalam (indept intrview) pengamatan berpartisipasi 3.5. Metode Penelitian Berdasarkan permasalah, tujuan dan asumsi penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya maka penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Perpaduan metodologi tersebut (Guba dan Lincoln (2000; Howe, 2004); Branen, (1987), dapat berupa penekanan yang lebih kuat pada aspek kuantitatif maupun pada aspek kualitatif, hal ini menurut Creswell (1994) disebut dengan dominant-less atau dominant design. Perpaduan kedua metodologi ini bertujuan untuk mengakumulasi pengetahuan tentang apa saja intervensi yang telah bekerja dalam masyarakat yang diteliti. Secara implisit, yang dicari dari suatu intervensi input ialah ditemukannya hasil (outcome). Metode kuantitatif digunakan dalam mengungkap siapa aktor yang dijemput dalam tradisi bajapuik dan apa indikatornya. Untuk itu aktor yang dilibatkan adalah individu yang termasuk dalam struktur keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Kemudian setelah itu baru digunakan 49 metode kualitatif, yang digunakan untuk melihat proses dan pemaknaan yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Baik metode kuantitatif, maupun metode kualitatif dimaksudkan untuk tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensistas maupun frekuensi. Penekanan diberikan pada sifat konstruksi sosial dan realitas sosial yang sedang terjadi dilapangan. Proses penelitian mengikuti yang dilakukan dapat dilihat dalam gambar 4 dibawah ini. Informasi Langsung Metode Kualitatif metode Kuantitatif Survey Wawancara Mendalam Observasi Partisipan Peneliliti dan Enumerator Peneliti Catatan Lapangan Informan Kuesioner Dokumen Anggota Masyarakat Pengolahan Data Kategorisasi Penafsiran/Interpretasi Data Uji Statistik (Persentase) Gambar 4. Proses Kombinasi Metode Kualitatif dan Kuantitatif (Diadopsi dari Saefullah, 1993:9, dengan modifikasi) Adanya perpaduan kedua pendekatan di atas yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih mendalam. 50 3.5.1. Pengumpulan Data Secara keseluruhan proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara yaitu studi literatur, observasi dan wawancara. Pertama, studi literatur dimaksud disini adalah studi dokumentasi dan studi pustaka. Studi ini dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah metode sejarah dengan cara melakukan penelusuran bahan dokumentasi dan pustaka yang berupa arsip, dokumentasi, hasil-hasil penelitian, buku-buku berbagai penerbitan pemerintah dan jurnal yang memiliki relevansi dengan objek kajian. Studi ini dilakukan diberbagai lembaga seperti di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan IPB di Bogor, Perpustakaan UNAND di Padang, Perpustakaan Wilayah Sumatera Barat dan Pusat Kajian Adat Minangkabau di Padang Panjang dan sebagainya. Studi literatur ini dilakukan bertujuan untuk melihat dinamika perkembangan tradisi bajapuik. Oleh sebab itu diperlukan literatur-literatur yang membahas tentang tradisi bajapuik dari awal muncul sehingga dapat dibandingkan dengan yang berlaku saat ini. Kedua, observasi yang dimaksud disini adalah partisipant observation. Partisipant observation dalam konteks penelitian ini, tidak harus dimaknai bahwa peneliti harus menjadi pelaku tradisi bajapuik dalam arti yang sebenarnya. Sikap untuk merasa bagian dari mereka (being a part of) dan perasaan empati, kesanggupan merasa apa yang dirasakan oleh informan menurut peneliti sudah dapat dipahami sebagai partisipant observation. Untuk itu partisipant observation dalam penelitian ini adalah merupakan suatu cara di mana peneliti tidak bersifat pasif sebagai pengamat, tetapi memainkan berbagai peran yang mungkin dalam berbagai situasi atau bahkan dapat berperan mengarahkan peristiwa-peristiwa yang sedang diteliti (Spradley, 1980). Partisipant observation digunakan dengan maksud untuk mengamati secara langsung pengalaman dan kenyataan yang ada sehubungan dengan tradisi bajapuik yang berlaku hingga saat ini. Sekaligus sebagai triangulasi terhadap data yang dikumpulkan melalui cara lain khususnya melalui wawancara. Dalam observasi partisipan ini peneliti turut serta terlibat dalam kehidupan sehari-hari tineliti. Peneliti mengamati secara cermat segala tindakan tineliti dalam segala keadaan dan situasi yang terkait dengan pelaksanaan tradisi bajapuik. Selama berlangsungnya observasi partisipan, peneliti juga 51 melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang dipandang penting dan melakukan pengambilan foto yang relevan dengan permasalahan penelitian. Ketiga, wawancara dimaksud adalah wawancara berstruktur dan tidak berstruktur. Secara umum wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang eksistensi tradisi bajapuik sehubungan dengan terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya. Untuk itu akan diungkap bagaimana tradisi bajapuik tetap eksis dan dimaknai serta terintegrasi dalam masyarakat Pariaman, sehingga menjadi ciri khas daerah ini. Wawancara berstruktur dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data4. Kemudian wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang menggunakan pedoman wawancara sebagai alat untuk melakukan wawancara mendalam (indept-interview) kepada informan perorangan dan telah dipersiapkan sebelumnya 5 dalam rangka menggali informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dari data yang dikumpulkan itu, dapat dikelompokan menjadi dua jenis data, yaitu: 1. Data primer, merupakan data yang diperoleh oleh sipeneliti dari lapangan dengan metode pengumpulan data seperti kuesioner, wawancara dan partisipant observation. Melalui metode pengumpulan data itu maka diperoleh data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif merupakan data yang berupa kata-kata yang dituangkan dari hasil wawancara dan partisipan obeservasi, sedangkan data kuantitatif data yang berupa kategori-kategori yang dituangkan dari kuesioner. 2. Data sekunder, merupakan data yang dikumpulkan oleh sipeneliti dari lapangan yang bersumber dari literatur-literatur dari instansi seperti; dari Kantor Kecamatan dan BPS, yang terkait dengan ciri khas dan identitas daerah penelitian. 4 Isi lengkap tertuang dalam bentuk kuesioner. Kusioner ditujukan untuk tiga lapisan dalam masyarakat antara lain; untuk generasi muda, generasi sedang dan generasi tua dan dapat dilihat pada Lampiran 3. 5 Isi lengkap tertuang dalam pedoman wawancara dan dapat dilihat pada Lampiran 4 52 3.5.2 Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Data survey dianalisis dengan perhitungan statistik sederhana menggunakan tabel frekuensi dan persentase. Sementara itu data kualitatif dianalisis dengan mengikuti pendapat Patton (dalam Marvasti 2004), di mana data diorganisasikan ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Artinya pengkategorian data disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk-bentuk deskripsi analisis. Selanjutnya analisis kualitatif terhadap data dan informasi tentang proses kejadian/peristiwa tentang motivasi yang melandasi tindakan sosial dari aktoraktor yang terlibat dalam tradisi bajapuik yang berkaitan dengan tindakan sosial. Dengan mengikuti pendapat Lewis (1988), analisis kualitatif dapat digunakan dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial yang berdimensi struktur (posisi dan peranan aktor), berdimensi pengaturan (prosedur) serta sistem-sistem makna yang melandasi dan memberi pedoman terhadap pola-pola hubungan di antara aktor. Dalam tahap analisis ini menurut Miles & Hubermas (1984) terdapat tiga komponen pokok yang harus disadari oleh peneliti yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing. Ketiga komponen tersebut menurut Miles & Hubermas disebutnya dengan model analisis interaktif; yaitu ketiga komponen tersebut aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data dilapangan sebagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan data selama proses pengumpulan data berlangsung. Demikian juga setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian bergerak di antara data reduction, data display dan conclusion drawing untuk membangun pemahaman subtantif berdasarkan temuan empirik. Berikut mekanisme kerja model analisis interaktif dapat dilihat pada gambar 5. 53 Collecting Data Reduction Data DisplayData Conclusion Drawing Gambar 5. Interactive Model of Analysis (Miles & Hubermas, 1984) Dalam upaya memperoleh data yang kebenarannya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulasi sumber dan metode. Ini dilakukan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi. Menurut Stake (2000) triangulasi merupakan proses penggunaan banyak persepsi (multi perception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi interpretasi. Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda. BAB IV GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitian difokuskan pada dua kecamatan yaitu kecamatan Sungai Limau dan kecamatan Pariaman Tengah. Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi sosial ekonomi kedua daerah tersebut, berikut akan dideskripsikan kondisi geografis, dan demografis dari kedua kecamatan tersebut. 4.1. 1. Kecamatan Sungai Limau Kecamatan Sungai Limau terletak di dalam Kabupaten Padang Pariaman. Secara geografis kecamatan ini berada 100”07’00 Bujur Timur dan 0”33’00 Lintang Selatan dengan ketinggian 2 meter dari permukaan laut, dengan jarak dari ibu kota kabupaten sekitar 17 km² dan 73 km² dari kota Padang ibukota Propinsi Sumatera Barat. Secara administratif kecamatan Sungai Limau mempunyai batas-batas dengan : Sebelah Utara dengan Kecamatan Batang Gasan Sebelah Selatan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia Sebelah Timur dengan kecamatan Sungai Geringging. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau Samudera Indonesia Jumlah Kenegarian Jumlah Korong : 2 Kenagarian : 18 Korong Gambar 6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau 55 Kecamatan Sungai Limau memiliki luas wilayah 70,38 km² atau sekitar 5,30 persen dari luas Kabupaten Padang Pariaman, terdiri dari 2 kenagarian yakni Kenagarian Pilubang dan Kuranji Hilir, dengan masing-masing mempunyai luas 27,20 ha (38,64 persen) dan 43,18 ha (61,36 persen). Kenagarian Pilubang mempunyai 8 korong dan Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai 10 korong. Luas rata-rata masing-masing korong 3,91 ha, dengan korong terkecil Kampung Jua dengan luas 0,41 ha (0,58 persen) dan korong terbesar Kamumuan dengan luasnya 9,01 (12,80 persen). Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas masingmasing korong pada masing-masing kenagarian sebagaimana terlihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan Luas Wilayah Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 Kenagarian Korong Luas (Km) Pasir Baru 1,87 Lembak Pasang 1,12 Kampung Jua 0,41 Sungai Sirah 3,00 Pilubang Sibarueh 3,43 Durian Daun 4,70 Duku 2,79 Paninjauan 9,87 Lohong 4,72 Koto Pauh 3,43 Padang Karambia 3,43 Sungai Limau 1,07 Kuranji Hilir Padang Bintungan 2,57 Lampanjang 4,29 Padang Olo 5,15 Sungai Paku 1,07 Kamumuan 9,01 Paingan 8,43 Jumlah 70,38 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 Berdasarkan data dari Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 pada tahun 2007, penduduk Kecamatan Sungai Limau telah mencapai 28.863 jiwa yang terdiri atas 13.463 jiwa laki-laki (46, 64 persen) dan 15.398 jiwa perempuan (53, 36 persen), dengan rasio jenis (RJK) 87,73. Artinya bahwa setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 87, 73 laki-laki. Pada kelompok umur anak-anak (0-14 tahun), hampir tidak ditemukan perbedaan antara jumlah penduduk laki-laki 56 dan perempuan, namun pada kelompok umur antara 65 keatas (usia tua) terdapat perbedaan rasio umur yang sangat signifikan antara penduduk laki-laki dengan perempuan, yakni antara 53,58 sampai 69,72. Artinya dari 100 jumlah penduduk wanita yang hidup terdapat antara 53,58 sampai 69,72 laki-laki yang hidup. Ini sekaligus menunjukkan tingkat harapan hidup jenis kelamin perempuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Uraian mengenai jumlah penduduk Kecamatan Sungai Limau dapat di lihat pada tabel 7. Tabel 7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Tahun 2008 Kel Lk % Pr % Lk + Pr Rasio JK Umur 0–4 1671 12,19 1670 10,84 3341 100,06 5–9 1765 13,11 1753 11,38 3518 100,68 10 - 14 1818 13,50 1856 12,06 3674 97,95 15 - 19 1439 10,69 1617 10,50 3056 88,99 20 - 24 818 6,08 1010 6,55 1828 80,99 25 - 29 758 5,63 963 6,25 1721 78,71 30 - 34 747 5,55 894 5,80 1641 83,56 35 - 39 794 5,89 984 6,39 1778 80,69 40 - 44 757 6,62 922 5,98 1679 82,10 45 - 49 695 5,16 809 5,25 1504 85,90 50 - 54 561 4,17 639 4,14 1200 87,79 55 - 59 409 3,04 519 3,37 928 78,81 60 - 64 452 3,35 571 3,70 1023 79,16 65 - 69 304 2,25 436 2,83 740 69,72 70 - 74 273 2,07 378 2,45 651 72,22 75+ 202 1,50 377 2,44 579 53,58 Jumlah 13463 100,00 15398 100,00 28861 87,43 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 Kemudian, bila dibandingkan antara kelompok umur penduduk dewasa (15-64 tahun) dan anak-anak (0-14 tahun) , jumlah penduduk dewasa cukup besar jumlahnya, yakni masing-masingnya 16.358 jiwa (60,83 persen) dan 10.533 jiwa (39,17 persen). Bila dirinci lebih jauh di antara dua kenagarian yang terdapat di kecamatan Sungai Limau, Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai kelompok umur dewasa yang lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan Kenagarian Pilubang yakni masing-masingnya 8.830 dan 7.528 jiwa. Begitu juga dengan kelompok umur anak-anak, yakni masing-masingnya 5.685 dan 4.848 jiwa. Adapun perbandingan kedua kelompok umur tersebut terlihat dalam tabel 8 berikut: 57 Tabel 8. Jumlah Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 Kenagarian Korong Dewasa Anak-anak Jumlah (15-64 0-14 tahun tahun) Pilubang Pasir Baru 113 716 1829 Lembak Pasang 700 451 1151 Kampung Jua 465 300 765 Sungai Sirah 1180 760 1940 Sibarueh 1153 743 1896 Durian Daun 699 450 1149 Duku 1237 796 2033 Paninjauan 981 632 1613 Kuranji Hilir Lohong 1101 709 1810 Koto Pauh 694 447 1141 Padang Karambia 559 360 919 Sungai Limau 1132 729 1861 Padang Bintungan 452 291 743 Lampanjang 860 554 1414 Padang Olo 746 480 1226 Sungai Paku 471 303 774 Kamumuan 1467 945 2412 Paingan 1348 867 2215 Jumlah 16358 10533 26891 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah Kecamatan Sungai Limau, tingkat kepadatan penduduknya 1871,51 jiwa/km². Ini berarti tanah cukup luas dan belum mengkuatirkan untuk penambahan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Berikut penggunaan lahan itu dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 Alokasi lahan I. Pertanian Tanah sawah Tanah ladang Kolam Irigasi : - PU 697 ha - Desa 340 ha - Tadah Hujan 141 ha II. Pemukiman III. Lahan Kosong Jumlah Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 Luas masingmasing Sub 1.158 ha 180 ha 43 ha 1.178 ha - Luas Total 2.559 ha 234 ha 460 ha 3.253 ha 58 Tabel 9 menunjukkan penggunaan lahan untuk daerah pertanian dan irigasi cukup besar yakni sekitar 78,7 persen (2.559 ha). Hanya 7,2 persen (234 ha) yang didiami oleh penduduk sebagai tempat pemukiman dan 14,1 persen (460 ha) lahan kosong. Dengan kondisi yang demikian mengindikasi kecamatan ini merupakan daerah pertanian. Mata pencarian penduduk Kecamatan Sungai Limau berdasarkan informasi dari Kantor Kecamatan Sungai Limau terdiri dari PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh/swasta, peternakan, petani dan nelayan. Namun dari pengamatan dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di pemerintah, dapat ditarik kesimpulan, pada umumnya mata pencarian penduduknya bergerak di bidang pertanian. Sebagai data perbandingan dapat dilihat dari jumlah Pegawai Negeri Sipil yang terdapat di semua Dinas Jawatan yang ada di Kecamatan Sungai Limau. Tabel 10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 No Pendidikan Tertinggi Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Sekolah Dasar 5 5 2 Sekolah lanjutan Tingkat Pertama 7 1 8 3 Sekolah lanjutan Tingkat Atas 33 17 50 4 Akademi 77 223 300 5 Sarjana (S1) 68 119 187 6 Pasca Sarjana (S2/S3 3 3 Jumlah 193 360 553 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 Selain itu, mata pencarian umum lainnya penduduk kecamatan Sungai Limau bergerak dibidang nelayan. Ini ditunjukan oleh jumlah penduduk yang menekuni pekerjaan ini cukup besar yakni 2.118 jiwa (11,54 persen) dari jumlah penduduk dewasa, yang terdiri dari 350 jiwa nelayan penuh dan 1.768 jiwa nelayan sambilan. Sarana pendukung yang dimiliki masyarakat untuk mata pencarian ini meliputi: RTP 287 buah, perahu tanpa motor yang berukuran sedang 1 buah, motor tempel 30 buah, dan alat penangkapan ikan seperti pukat tepi 23 buah, payang 93 buah, lore 46 buah, dan jaring 128 buah. Sarana dan prasarana pendukung lainnya yang ada di Kecamatan Sungai Limau meliputi pendidikan, kesehatan, fasilitas ibadah dan pasar. Sarana pendidikan yang dimiliki masih sangat terbatas hanya ada sampai tingkat SLTA dengan rinciannya; SD Negeri 41 buah, SLTP Negeri 3 buah dan SLTA Negeri 2 59 buah dan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (perguruan Tinggi), penduduk kecamatan ini pergi ke Kota Pariaman, Kota Padang dan kotakota lain yang ada di wilayah Indonesia. Sementara itu fasilitas kesehatan terdapat 9 buah puskesmas pembantu dan 44 posyandu yang didukung oleh: 4 orang tenaga dokter, 12 orang perawat dan 3 orang dukun. Fasilitas Ibadah di daerah ini terdapat 29 mesjid dan 169 Mushalla. Terakhir fasilitas pasar ada 3 buah yang terletak di kenagarian Pilubang 1 buah dan dikenagarian Kuranji Hilir 2 buah dan 1 pasar ternak. 4.1. 2. Kecamatan Pariaman Tengah Letak geografis kecamatan Pariaman Tengah 100º 08 00º Bujur Timur dan 0º 33 30º Lintang Selatan, dengan ketinggian ±2 m dari permukaan laut. Batasbatas wilayah: Sebelah Utara dengan Kecamatan Pariaman Utara Sebelah Selatan dengan Kecamatan Pariaman Selatan Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia Sebelah Timur dengan Kecamatan VII Koto. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah Jumlah Kenagarian : 3 Kenagarian Jumlah Desa/Kelurahan : 29 desa/kelurahan Gambar 7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah 60 Kecamatan Pariaman Tengah memiliki luas wilayah 23,77 km² atau sekitar 32,40 persen dari luas Kota Pariaman, terdiri dari 29 desa/kelurahan yang termasuk kedalam tiga kenagarian. Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas masing-masing desa/kelurahan sebagaimana terlihat dalam tabel 11 berikut. Tabel 11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 Kenagarian Desa/Kelurahan Luas Penggunaannya Daerah Pertani Perumah lainnya (Km²) -an -an Pasar Pariaman Pasir 0,85 0,00 0,24 0,61 Kampung Perak 0,53 0,00 0,13 0,40 Lohong 0,82 0,00 0,23 0,59 V Koto Air Pondok II 0,49 0,00 0,12 0,37 Pampan Jawi-Jawi I 0,29 0,00 0,08 0,21 Jawi-Jawi II 0,24 0,00 0,05 0,19 Kampung Jawa I 0,27 0,00 0,08 0,19 Kampung Jawa II 0,31 0,00 0,07 0,24 Kampung Pondok 0,45 0,00 0,08 0,37 Alai Gelombang 0,58 0,37 0,12 0,09 Taratak 0,49 0,00 0,16 0,33 Jalan Kereta Api 0,42 0,00 0,13 0,29 Ujung Batung 0,49 0,18 0,11 0,20 Jalan Baru 0,31 0,00 0,13 0,18 Karan Aur 0,98 0,00 0,08 0,90 Jati Hilir 0,71 0,22 0,26 0,23 Kampung Baru 0,76 0,00 0,19 0,57 Rawang 0,68 0,46 0,21 0,01 Pauh Timur 1,96 0,93 0,54 0,49 Pauh Barat 0,99 0,00 0,61 0,38 Cimparuah 1,92 1,63 0,27 0,02 IV Angkat Jati Mudik 0,62 0,39 0,18 0,05 Padusunan Bato 1,15 0,97 0,17 0,01 Batang Kabung 1,11 0,79 0,31 0,01 Koto Marapak 1,91 1,04 0,28 0,59 Sungai Sirah 0,56 0,32 0,23 0,01 Sungai Pasak 1,47 1,23 0,15 0,09 Air Santok 1,16 0,61 0,47 0,08 Cub Mentawai 1,25 0,87 0,35 0,03 Jumlah 23,77 10,01 6,03 7,73 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007 Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2007, jumlah penduduk Pariaman Tengah adalah 35.269 jiwa yang terdiri atas 17.111 jiwa laki-laki (48, 52 persen) dan 18.158 jiwa perempuan (51, 48 persen) dengan rasio jenis kelamin 61 9.423. Bila dilihat per kelompok umur yakni anak-anak dan dewasa jumlah kelompok umur dewasa menempati jumlah terbesar. Kelompok umur dewasa (1564 tahun) terdapat 21.458 jiwa dan kelompok umur anak-anak (0-14 tahun) 11.538 jiwa. Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah Kecamatan Pariaman Tengah, tingkat kepadatan penduduknya 1.483,76 jiwa/km². Ini berarti tanah semakin diperebutkan banyak orang dan membawa implikasi sosial yang perlu dipikirkan. Berikut penggunaan lahan itu dapat dilihat dalam tabel 12. Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 Penggunaan lahan I. Pertanian 1. Sawah 2. Ladang 3. Perkebunan Luas Masingmasing sub Luas Total 10,01 km 7,96 km 1,03 km 1,02 km II. Perumahan III. Jalan IV. Lainnya Jumlah - 7,06 km 5,23 km 1,47 km 23,77 km Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007 Tabel 12 menunjukan penggunaan lahan untuk pertanian cukup besar yakni sekitar 42, 1 persen (10,01 km). Kemudian diikuti oleh pemukiman penduduk sekitar 29,7 persen (7,06 km), jalan 22,0 persen (5,23 km) dan lainnya sekitar 6,2 persen (1,47 km). Lahan pertanian yang cukup luas terdapat di bagian Timur, Selatan dan Utara, atau di 14 desa seperti desa Alai Gelombang, Ujung Batung, Jati Hilir, Rawang, Jati Mudik, Bato, Batang Kabung, Koto Marapak, Sei Sirah, Sei Pasak, Air Santok, Cubadak Mentawai, Pauh Timur dan Cimparuh, sedangkan 15 desa dan kelurahan yang lainnya tidak mempunyai lahan pertanian. Desa dan kelurahan itu terletak dibagian Barat (pusat kota) yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia seperti; Pasir, Kp Perak, Pondok II, Lohong, Jawi-jawi I, Jawi-jawi II, Kp Jawa I, Kp Jawa II, Kp Pondok, Taratak, Jalan Kereta Api, Jalan Baru, Karan Aur, Kp Baru dan Pauh Barat. Dengan demikian dapat dikatakan, sebagian dari kecamatan ini merupakan daerah pertanian dan sebagian yang lain daerah non pertanian (lihat tabel 8). 62 Selain dirinci ke dalam jenis kelamin dan kelompok umur, jumlah penduduk Kecamatan Pariaman Tengah juga dapat dirinci berdasarkan tingkat pendidikan dari Jumlah Pegawai Negeri Sipil dari Dinas Jawatan se Kecamatan Pariaman Tengah. Tabel 13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 No Pendidikan Tertinggi Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Sekolah Dasar 15 5 20 2 Sekolah lanjutan Tingkat Pertama 67 21 88 3 Sekolah lanjutan Tingkat Atas 309 185 494 4 Akademi Sarjana (S1) 146 62 208 Jumlah 537 273 810 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007 Meskipun tingkat pendidikan seperti terlihat pada tabel 13 tidak terlihat secara keseluruhan dari jumlah penduduk Kecamatan Pariaman Tengah, namun paling tidak telah menggambar sebagian tingkat pendidikan di daerah itu. Selanjutnya dari tabel 10 juga terlihat mata pencarian yang diguluti penduduk. Terdapat 810 (3,70 persen) dari usia produktif 21458 jiwa jumlah penduduk yang berusia 15-64 penduduk Kecamatan Pariaman Tengah yang mempunyai pekerjaan sebagai PNS dan 20.648 (96,30 persen) yang bekerja bukan sebagi PNS. Berdasarkan informasi dari Kantor Kecamatan Pariaman Tengah, mata pencarian penduduk lain seperti; TNI/Polri, swasta, pedagang, buruh, pengrajin, penjahit, tukang batu/kayu, montir, sopir, tukang becak, peternakan, petani dan nelayan. Sarana dan prasarana pendukung yang ada di Kecamatan Pariaman Tengah memiliki fasilitas lebih lengkap dibanding dengan kecamatan Sungai Limau. Selain terdapat kantor-kantor pemerintahan dan swasta, daerah ini didukung pula oleh fasilitas umum lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, pasar dan terminal, rumah makan, hotel dan penginapan. Fasilitas pendidikan, yang dimiliki mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Berikut gambaran fasilitas pendidikan yang terdapat di kecamatan Pariaman Tengah. 63 Tabel 14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 No Tingkat Pendidikan Status Jumlah Negeri Swasta 1. Sekolah Dasar 29 29 2. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama 4 2 6 3. Sekolah Lanjut Tingkat Atas 5 5 10 4. Akademi 4 4 5. Universitas 3 3 Jumlah 38 24 52 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007 Dibidang kesehatan, kecamatan ini mempunyai 1 buah rumah sakit Umum, 3 buah puskesmas dan 46 posyandu. Rumah sakit umum itu terletak di kelurahan Kampung Baru dan merupakan satu-satunya rumah sakit yang terdapat di wilayah kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Kemudian untuk puskesmas terletak di desa Koto Marapak, Cubadak Mentawai dan Pauh Barat, sedangkan untuk posyandu tersebar di seluruh kelurahan dan desa yang ada di kecamatan ini. Jumlah posyandu terbanyak (4 buah) terdapat di kelurahan Kp Baru dan di desa dan kelurahan lainnya hanya terdapat 1-2 posyandu dengan persentase masing-masing 50%. Untuk tenaga medis secara keseluruhan dikecamatan ini berjumlah 35 orang yang terdiri dari; 9 orang dokter, 20 orang perawat dan 6 orang dukun. Fasilitas ekonomi yang terdapat di daerah ini antara lain; pasar, koperasi, rumah makan, hotel dan penginapan. Untuk pasar-- ada pasar tradisional dan modern yang letaknya berdampingan. Pasar modern disebut juga dengan pusmol dan merupakan satu-satunya mol (mall) yang terdapat di wilayah ini. Kedua pasar itu merupakan aktiviatas ekonomi terbesar yang terdapat diwilayah ini. Selain itu terdapat pula 48 buah koperasi primer dan sekunder serta 1 koperasi yang belum mandiri. Untuk aktivitas ekonomi lainnya terdapat 39 buah rumah makan, 2 buah hotel dan 2 buah penginapan, yang semuanya terletak di kelurahan Kp Pondok. Selanjutnya daerah ini dilengkapi pula dengan objek wisata pantai yang terdapat di kelurahan Pasir dan Pasir Pauh. Sebutan untuk objek wisata pantai itu antara lain; Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, Pantai Kata dan Pantai Sunur. Dari keempat objek wisata pantai ini, Pantai Gandoriah yang berada di pusat kota dengan fasilitas yang lengkap seperti terdapat restoran dengan aneka masakan 64 khas Pariaman. Kemudian Pantai Gandariah, Pantai Sunur, meski tidak terdapat di pusat kota, tetapi memiliki ciri khas tersendiri--di sekitar pantai ini terdapat penjualan nasi sek (santai, enak, kenyang) dengan spesifik sala lauak dari berbagai jenis ikan, udang dan gulai kepala ikan laut yang segar menambah keunikan dan daya tarik pantai ini. Sekali dalam setahun, di salah satu pantai itu tepatnya di pantai Gondariah. diadakan pesta budaya tabuik. Pesta budaya itu diadakan setiap tanggal 1 sampai 10 Muharram. Selama prosesi pembuatan tabuik dilaksanakan berbagai festival kesenian anak nagari seperti pencak silat, lomba gandang tasa, layang-layang tradisional, musik Islami, indang, pemilihan Cik Uniang dan Ajo Kota Pariaman, dan lain-lain. Pesta Budaya Tabuik ini sudah terkenal dan sudah merupakan core event yang ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan sudah menjadi agenda rutin PEMDA Kota Pariaman untuk menarik wisatawan ke daerah ini. 4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau Menurut Mansoer (1970), secara geografis, politik ekonomis dan kultur historis, wilayah Minangkabau dibagi atas pesisir, darek dan rantau. Daerah pesisir meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau Sumatera yang memanjang dari barat laut ke tenggara. Dalam tambo disebutkan bahwa daerah pasisia yaitu: daerah nan nagari-nagarinya talatak, sabalah matohari ka tabanam, nan mamanjang dari utara ke selatan (daerah yang nagari-nagarinya terletak sebelah matahari terbenam, yang memanjang dari Utara ke Selatan). Jadi, daerah ini mulai dari perbatasan daerah Minangkabau dengan daerah Bengkulu sekarang, yaitu Muko-Muko, sampai ke perbatasan Minangkabau dengan daerah Tapanuli bagian Selatan. Daerah pesisir disebut juga dengan kota dagang yang dalam sejarah pernah memainkan peranan ekonomis dan politik yang penting, seperti Tiku-Pariaman disebelah Utara, Padang di tengah-tengah, Bandar X dan Indrapura disebelah selatan. Dalam sejarah dikatakan daerah pesisir, dengan kondisi alam yang tidak subur maka berdagang merupakan mata pencaharian yang dominan. Dobin (1983), menyebutkan orang-orang pesisir terkenal dengan gaya berdagang keliling, yaitu menjadi pialang diberbagai wilayah baik dalam kawasan pasar Sumatera Barat maupun di luar wilayah ini. 65 Lebih jauh dijelaskan, berdagang keliling telah dimulai oleh masyarakat pesisir semenjak terjadinya kontak dengan negeri luar terutama dengan saudagar Gujarat dan Timur Tengah. Kontak dengan orang-orang luar ini tidak hanya sebatas perdagangan tetapi juga terjadi kontak agama, sehingga wilayah ini menjadi kawasan peradaban agama Islam pertama dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau. Sehubungan dengan kontak agama ini, para sejarawan menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke Minangkabau sejak abad ke-7 yang dibawa melalui kepentingan para pedagang. Penduduk rantau pesisir selain berasal dari Luhak nan Tigo, juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Di mana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai Barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka. Berbeda dengan daerah darek, penduduknya adalah orang asli Minangkabau, dan merupakan daerah yang terletak ditengah daerah pegunungan Bukit Barisan yang subur. Dari daerah darek dihasilkan sayuran dan hasil perkebunan, seperti kayu manis dan kopi. Dalam peta perdagangan kolonial, daerah ini dijadikan sebagai basis perdagangan hasil perkebunan dan pertanian lainnya. Secara historis daerah darek merupakan daerah pusat adat Minangkabau, yang kemudian disebut dengan Alam Minangkabau. Daerah ini memegang peranan penting dalam perkembangan adat budaya Minangkabau, karena kerajaan pagaruyung sebagai pusat budaya Minangkabau, karena Kerajaan Pagaruyung sebagai pusat budaya Minangkabaupat terdapat diwilayah ini. Wilayah darek meliputi: 3 daerah yang disebut juga dengan Luhak nan Tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Yang dikatakan Luhak Tanah Datar adalah daerah Kabupaten Tanah datar sekarang, sebagian Sawahlunto Sijunjung, dan Solok. Yang disebut Luhak Agam terdiri atas Ampek-Ampek Angkek, Lawang nan Tigo Balai, dan Nagari sekeliling Danau Maninjau, sedangkan Luhak Lima Puluh Kota adalah daerah yang terletak di sepanjang Batang Sinamar, daerah sekitar gunung Sago bagian utara dan barat, seiliran Batang Lampasi dan Batang Agam, bahkan sampai ke Sipisak pisau Anyuik (Pekanbaru sekarang). Luhak merupakan kelompok nagari yang dinaungi oleh satu unit teritorial politik yang mandiri dibawah Dewan Penghulu Nagari dan tidak mewakili kekuasan raja. 66 Masing-masing Luhak mempunyai peraturan dan adat kebiasaan tersendiri. Keberagaman lokal yang muncul, menunjukkan pluralitas masyarakat Minangkabau yang dilegalisasikan dalam satu bentuk kepemimpinan raja. Keberagaman itu muncul, pada intinya tidak terlepas dari dua bentuk kepemimpinan lareh yang mewarnainya. Lareh merupakan induk hukum adat Minangkabau yang dibangun berdasarkan geologis, sosiologis dan kulturalis alam Minangkabau itu sendiri. Dua lareh, itu adalah lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago (Anwar, 1967). Lareh Koto Piliang merupakan bentuk kepemimpinan dibawah Datuk Katumanggungan. Dalam kultur masyarakat Minangkabau seorang lareh dapat dipahami melalui ciri-ciri dan simbol-simbol yang dipakainya, di antaranya melalui susunan penghulu dengan bajenjang naik batanggo turun (berjenjang naik dan bertangga turun), yaitu bertingkat menurut martabat dan tugas. Susunan ini lebih dekat kepada sistem aristokratis, konservatif dan cenderung pada agama, sedangkan rumah adatnya mempunyai anjungan pada setiap bagian ujung pangkal bangunannya. Lareh Bodi Caniago, merupakan lareh yang berafiliasi kepada pimpinan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Ciri khas yang melekat dalam kelarasan ini adalah balai adat tempat bermusyawarahnya berlantai sama tinggi dan tidak mengenal hirarkis, sedangkan penghulunya duduk sama rendah tegak sama tinggi. Dari simbolik ini dapat ditangkap bahwa kelarasan Bodi Caniago lebih mirip dengan sistem demokrasi dan toleransi. Dalam prakteknya, pemerintahan diselenggarakan bersama-sama penghulu-penghulu andiko atau kepala paruik (tuo kampung / penghulu kampung) dalam satu wadah yang dinamakan Kerapatan Nagari. Di dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derjat yang sama dan bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari. Lareh Koto Piliang dalam aplikasi pemerintahannya, mengikuti sistem kerajaan dengan birokrasi pemerintahan hirarki dan kepemimpinan yang berstruktur. Hal ini tercermin melalui bajenjang naik batanggo turun dengan lapisan-lapisan birokrasi. Oleh sebab itu penghulu-penghulu suku dikenal dengan datuak nan kaampek suku, artinya empat orang pengulu suku. Dari keempat penghulu dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pemimpin. Di dalam 67 memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan, dubalang sebagai polisi dan seorang malin untuk keperluan urusan agama Islam. Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malin) disebut dengan istilah urang ampek jiniah. Dua kelarasan ini sama-sama mempunyai pengaruh dalam membentuk watak masyarakat Minangkabau. Bakan pada bagian lain Anwar (1967) mengemukakan bahwa meskipun terdapat perbedaan susunan pemerintahan tersebut, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama yaitu musyawarah—suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari. Dengan demikian, kalau istilah luhak mengandung pengertian geografis, politik administratif, sosial-ekonomis dan kulturil, kata laras mempunyai makna "hukum", yaitu tata cara adat turun temurun. Hukum itu dirumuskan oleh dan disebut menurut nama tokoh-tokoh mitologi, yang oleh orang Minangkabau dianggap sebagai cakal-bakal mereka. Terakhir daerah rantau, merupakan tempat merantau bagi orang-orang dahulu. Dari Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar, Kuantan, XII Koto, Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie. Pembagian wilayah atas teritorial Minangkabau ini menunjukan adanya keterbatasan wilyah kekuasaan raja. Dobbin (1983) menyebutkan raja lebih menunjukkan simbolisasi dari manifestasi sesungguhnya dari kekuasaan kerajaan alam Minangkabau. Hubungan-hubungan sosial yang melandasi kekuasaan tidak dapat diklaim secara penuh oleh pusat kekuasaan Pagaruyung. Oleh sebab itu pepatah mengatakan rantau barajo darek bapanghulu (munculnya 68 raja-raja kecil pada wilayah rantau dan daerah alam Minangkabau dikuasai oleh penghulu). 4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir Pariaman yang merupakan salah satu daerah rantau pesisir di Minangkabau atau sering pula disebut dengan rantau Piaman. Sepintas kelihatan tidak ada yang menarik dari daerah ini. Apalagi untuk untuk dijadikan kenangan yang perlu diingat atau dijadikan tonggak sejarah. Tetapi justru sebaliknya bila ditelusuri lebih jauh sejarah perjalanan daerah ini. Ternyata daerah ini dahulunya mempunyai cerita yang panjang tentang agama dan perdagangan. Menurut Dobin, 1983; Khan, J. 1974), keduanya dapat dikatakan sebagai saudara kembar. Proses Islamisasi dari wilayah pantai ke pedalaman Minangkabau terjadi seiring pembukaan jaringan dan aktivitas perdagangan. Dalam sejarah disebutkan, daerah rantau pesisir merupakan daerah pertama yang disinggahi dan masuknya agama Islam dan bahkan sebagai pusat perkembangan agama Islam di Nusantara dan Minangkabau khususnya. Dari kajian sejarah tentang keunikan daerah ini dapat dilacak melalui tradisi keagamaan yang dilakukan oleh seorang ulama di pantai Ulakan Pariaman, yang bernama Syeh Burhanuddin. Ini berawal dari daerah ini mempunyai pelabuhan (bandar) yang disinggahi oleh pedagang-pedang gujarat, yang akhirnya dan pedagang dari Aceh atau yang disebut dengan “kota republik dagang”. Di sini terjadi proses interaksi ekonomi antara pedagang luar dengan pedagang pribumi dan tempat awalnya penyebaran agama Islam ke Minangkabau pada umumnya. Mengingat daerah pesisir sebagai wilayah perlintasan transportasi yang sering dijadikan sebagai persinggahan para pedagang lokal dan asing maka wilayah pesisir ini lebih metropolis dari pada wilayah pegunungan. 4.3.1. Pariaman Sebagai Tempat Masuknya Agama Islam ke Minangkabau Pada Awalnya Meski pada abad 7 agama Islam telah masuk ke Minangkabau melalui rantau timur, namun pada waktu itu dilakukan secara tidak disengaja oleh pedagang-pedagang Islam dari India dan Arab. Artinya penyebaran agama Islam hanya terkait dengan aktivitas perdagangan, sehingga kota-kota yang disentuh 69 oleh agama Islam hanya daerah penghasil dan penyalur barang-barang perdagangan saja seperti lada dan emas. Akibatnya daerah-daerah lain yang tidak termasuk sebagai daerah/kota perdagangan, tidak tersentuh oleh penyebaran agama Islam. Masuknya agama Islam secara intensif dan teratur ke Minangkabau berasal dari Aceh pada abad ke 13. Daerah yang dimasukinya pertamakali antara lain Pariaman, Tiku dan Air Bangis dan selanjutnya baru menyebar ke daerah pedalaman Minangkabau lainnya. Melalui suku bangsa Aceh ini pula peng-Islaman besar-besaran terjadi di Minangkabau dan bahkan lebih luas dari itu daerah pesisir jatuh dibawah dominasi politik ekonomi Aceh. Masuknya Aceh dengan mudah ke daerah pesisir karena dalam kenyataannya daerah yang terbentang luas sepanjang Samudera Indonesia itu terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil, dan nagari-nagari (republik-republik kecil) yang otonom mempunyai politik yang logar sekali antara sesamanya dan dengan Yang Dipertuan di Minangkabau. Tidak jarang pula diantara republik-republik kecil itu bersaing sesamanya dan bahkan saling berebut pengaruh dan kekuasaan, sehingga peperangan yang sengit sering pula terjadi diantara nagari-nagari dan golongan yang terdapat dalam nagari tersebut. Barus misalnya merupakan daerah takluk Minangkabau paling Utara di Pesisir terdiri dari dua kerajaan kecil yakni; Barus Hilir dan Barus Hulu. Kedua kerajaan ini berasal dari satu keturunan, namun karena salah satu diantaranya ingin menguasai perniagaan hasil buminya 1 maka terjadilah peperangan diantara mereka, sehingga memudahkan Aceh memasuki dan menguasai daerah Pesisir (LKAAM, 1987). Dilain pihak, Aceh membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengusir Bangsa Postugis dari bandar pelabuhannya (benteng). Atas dasar itu Aceh melakukan ekspansi ke daerah Pesisir untuk mendapatkan dukungan ekonomi. Karena daerah pesisir khususnya Minangkabau pada waktu itu adalah penghasil dan penyalur hasil bumi terpenting seperti emas, lada, kamfer, benzoin (kemenyan), cengkeh, buah dan kulit pala, dan kulit manis. Dengan misinya itu kekayaan bumi Minangkabau, istimewa daerah Pesisir jatuh dibawah dominasi politik-ekonomi Aceh. 1 Karena kapur barus dan kemenyan hasil bumi daerah Barus sangat digemari oleh saudagar dari India karena mutunya yang tinggi, sehingga menjadi ajang perebutan diantara kedua wilayah itu 70 Agama Islam berkembang pesat di Minangkabau terjadi setelah Aceh diperintah Sultan Alaudin Riayat Al Kahar (1537- 1568), karena sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir keseluruh pantai barat Sumatera. Untuk menunjang kegiatannya itu, sultan mengirim seorang puteranya sebagai panglimasyahbandar ke Pariaman. Selanjutnya pengembangan Islam di Minangkabau diteruskan oleh Syeh Burhanuddin. Salah seorang putra asli Pariaman yang belajar agama Islam dari Aceh. Beliau merupakan salah seorang murid Syeh Abdurauf dari tarikat Syatariah. Tuanku Ulakan ini dihormati di Minangkabau sebagai tokoh pengembang agama Islam dan disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau. Berkat usaha Syeh Burhanuddin, agama Islam berkembang dan tersebar luas di Alam Minangkabau. Dalam rangka pengembangan agama Islam, Syeh Burhanudidin membuka sekolah-sekolah agama (pesantren), diantaranya di Ulakan Pariaman dan di Kapeh-kapeh Pandai Sikek, Padang Panjang. Ia juga mulai melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Buddha, dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan buruk anak nagari. Seperti minum tuak, menyabung ayam, dan berkunjung ke tempat keramat. Sebagai orang yang faham dengan agama Islam, Istana Pagaruyung juga tidak luput dari sasaran dakwahnya. Bahkan beliau juga meng-Islam-kan Yang Dipertuan di Minangkabau yakni Sultan Alif menjelang Akhir abad ke 16. Dalam pengembangan Agama Islam itu, Syeh Burhanuddin dibantu oleh murid-muridnya yang tidak hanya berasal dari Pariaman tetapi juga berasal dari kawasan darek (kawasan daratan) atau dari Luhak nan Tigo (Agam, Tanah Datar, dan Limapuluh Kota). Bahkan di Luhak Agam, tepatnya di Pamansiang didirikan pula pusat penganjian. Dari pusat pengajian ini lahir pula ulama-ulama besar yang akan membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini berdatangan ke Pariaman (Ulakan) untuk memperdalam ilmunya, karena tempat ini dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Sebagai tokoh yang menghapuskan zaman jahiliyah dan ulama Islam (syiah) tertua dan terbesar di 71 Minangkabau, makam beliau hingga dewasa ini, terutama setiap bulan Syafar ramai diziarahi oleh penduduk untuk basapa (mengadakan upacara bulan syafar). 4.3.2. Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan Pariaman terletak pada tempat yang strategis yakni di tepi Barat Pantai Sumatera. Dengan posisi itu secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dari alam Minangkabau lainnya. Pariaman lebih terbuka bagi lalu lintas air khususnya laut dan dengan sendirinya hubungan dagang dengan daerah-daerah luar alam Minangkabau jauh lebih mudah dilakukan. Apalagi Pariaman dilengkapi pula oleh sebuah bandar pelabuhan yang sudah ada semenjak abad ke 14 dan menjadi bandar pelabuhan terbesar hingga akhir abad 17. Dengan fasilitas yang dimiliki itu, Pariaman mempunyai kegiatan dagang yang besar pula dan menjadi pos dagang terpenting di daerah Pesisir Barat Sumatera dengan jenis komoditi berupa lada dan emas. Saudagar yang datang ke pelabuhan ini tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar Minangkabau yakni Aceh dan bangsa Asing. Pada awalnya Aceh masuk melalui daerah Natal dan Pasaman yang merupakan daerah penghasil emas dan hasil bumi penting lainnya. Selain itu Gunung Ophir, puncak Pasaman menurut mythologis diperkirakan banyak mengandung emas yang membuat silau mata sehingga daerah ini jatuh dibawah pengawasan politik ekonomi suku Aceh sejak pertengahan abad ke 16. Setelah itu Aceh masuk melalui bandar pelabuhan Tiku dan Pariaman, karena kedua sebagai tempat penyalur penting dari lada dan emas yang dihasilkan oleh alam Minangkabau. Namun pada akhirnya hanya melalui Pariaman, karena mempunyai bandar pelabuhan dan kegiatan dagang terbesar saat itu. Untuk itu Aceh menempatkan gubernur militer/syabandarnya 2 di bandar sebelah Utara Pariaman sebagai simbol kedudukannya di daerah Pariaman. Selain itu, suku Aceh juga melakukan transaksi dengan petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek. Dalam rentang waktu yang hampir sama, daerah Pariaman juga dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing lainnya. Orang asing pertama yang masuk ke wilayah Pariaman di awali oleh bangsa Potugis pada tahun 1446-1524. Kemudian 2 Sebutan bagi pejabat tinggi Aceh, kemudian pada akhirnya digunakan sebagai nama tempat keduduknya. 72 disusul oleh pedagang dari Perancis pada tahun 1527 dan pada saat itu sempat pula singgah ke daerah Tiku, Indrapura dan Barus. Berikutnya menyusul pula pedagang-pedagang gujarat dari Arab, Parsi, dan Turki. Sementara itu di pihak lain, pedagang Eropa mulai pula secara rutin memijakkan kakinya di daerah ini. Diakhir abad 16 bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman untuk pertama kali. Dua buah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman. Pada tahun 1686, orang Pariaman mulai berhubungan dengan Inggris. Inilah puncak kejayaan daerah Pariaman sebagai kota dagang dan pelabuhan. Perdagangan yang dilakukan tidak hanya sebatas pelabuhan, tetapi juga meliputi daerah pedalaman dan ke luar Pariaman. Di daerah pedalaman barangbarang yang diperdagangkan seperti emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Selanjutnya melalui pelabuhan Pariaman, perdagangan tidak hanya sebatas hasil bumi. Seperti yang dikatakan oleh Tomec Pires, perdagangan ke luar Pariaman memperdagangkan kuda yang dibawa ke daerah Batak dan Sunda. Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai bandar perdagangan yang sibuk dan menjadi tujuan perdagangan dan sekaligus menjadi rebutan bangsa asing. Dalam jaringan perdagangan Minangkabau pada saat itu, model hubungan antara penjual di pedalaman dan pemasok asing untuk barang-barang impor adalah sistem pialang pantai. Pada model ini antara penjual dan pembeli bertemu atau berlabuh ditempat yang telah berkembang dan sebagai jalur perdagangan yang aman, sehingga saat itu daerah pantai Pariaman yang memungkinkan sebagai tempat keluar masuknya barang-barang utama seperti emas diawal masa perdagangan. Posisi dan kedudukan daerah Pariaman yang demikian bertahan hingga sampai pertengahan abad ke tujuh belas. Kemudian setelah itu, kejayaan Pariaman mulai meredup seiring dibagunnya pelabuhan Muaro yang lebih besar di Kota Padang oleh Belanda. Tujuan Belanda pada saat itu, agar dapat menampung kapal-kapal besar yang sebelumnya tidak dapat tertampung di Pariaman. Adanya pelabuhan baru dan besar ini, sudah barang tentu para pedagang lebih memilih melabuhkan di 73 Pelabuhan Muaro di Kota Padang dan meninggalkan pelabuhan Pariaman. Keadaan itu terus di perburuk dengan dibangunnya jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada tahun 1908. Akibatnya para pedagang dari daerah Minangkabau lain dapat langsung menuju pelabuhan muaro Padang dan mengabaikan pelabuhan di Pariaman hingga saat ini. Dengan posisi Pariaman di tepi pantai itu, ada dua peranan yang dimainkannya yakni sebagai tempat perkembangan agama Islam pada awalnya dan sebagai tempat perdagangan baik ditingkat regional maupun ditingkat global. Dari kedua peranan inilah kira munculnya dasar kebangsawanan yakni dari penyebaran agama Islam dan perdagangan yang menyinggahi daerah Pariaman. 4.4. Struktur Sosial Masyarakat Pariaman. Struktur sosial masyarakat Pariaman pada hakekatnya tidak berbeda dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau pada umumnya. Dalam adat Minangkabau, masyarakat disusun dan ditata menurut ciri sistem matrilineal. Orang hidup dalam suatu sistem kekerabatan yang dihitung menurut garis ibu atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik merupakan susunan masyarakat Minangkabau yang terkecil 3. Jika di-Indonesiakan secara harfiah artinya “Perut”. Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili, yang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut dan para suami dalam suatu keluarga tidak termasuk di dalamnya. Menurut istilah adat Minangkabau para suami disebut “sumando”. Sumando biasa juga disebut “orang datang”, karena keberadaannya sebagai pendatang di rumah Istrinya. Memang begitulah perkawinan yang bersifat Matrilinial, bukan istri yang tinggal di rumah suami, tetapi sebaliknya. Orang sumando adalah sosok yang paling dihormati di dalam keluarga istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung oleh sikap keluarga. Ini adalah imbangan sebagai cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah mengatakan”rancak rumah dek rang sumando, elok hukum dek ninik mamak”. Artinya semarak rumah karena ada sumando dan tegaknya hukum karena ada ninik mamak. Maksudnya keharmonisan suatu keluarga tergantung kesanggupan 3 Setelah itu diikuti oleh jurai, kampung, suku dan nagari. Semuanya itu secara berturut-turut menunjukan perkembangan jumlah warga yang semakin besar. 74 si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan kemenakannya.Tiap tiap paruik dipimpin oleh seorang mamak yang dijabat oleh laki-laki dari saudara ibu, atau yang disebut dengan mamak rumah. Mamak rumah menjadi wakil-pembina-pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat. Tugasnya ialah "mengampungkan", artinya memelihara, membina, memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah maupun rohaniah kemenakankemenakannya, yaitu anak-anak dan anggota-anggota dari seluruh keluarganya. Namun demikian dalam tata tertib dan aturan-aturan dalam suatu rumah gadang, sebagai ungkapan adat berikut ini: Kemenakan beraja kepada mamak Mamak beraja penghulu Penghulu beraja musyawarah Musyawarah beraja kepada patut dan benar. Artinya, kemenakan tunduk dibawah perintah mamak Mamak tunduk dibawah perintah penghulu Penghulu tunduk dibawah perintah musyawarah Musyawarah tunduk dibawah perintah patut dan benar. Pepatah di atas memperlihat susunan masyarakat dalam adat Minangkabau menempatkan mamak berada pada posisi yang lebih tinggi di dalam lingkungan keluarga, sehingga hubungan mamak dengan kemenakan, berjenjang naik dan bertangga turun”, sehingga dalam masyarakat melahirkan konsep pimpinan dengan anak buah. Seorang pimpinan berada di tangan mamak dan anak buah berada ditangan kemenakan. Berkaitan dengan pembagian daerah Minangkabau atas darek dan rantau, sebutan untuk pimpinan dalam masyarakat menunjukan perbedaan. Di daerah darek, seorang mamak menempati posisi di atas disebut juga dengan tunganai, dipanggil datuk dan memakai gelar pusaka kaumnya dan tugasnya sebagai pembimbing dan pembina kaum. Ia disebut penghulu, dipanggil datuk dengan gelar pusaka kaumnya. Susunan masyarakat yang demikian tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan suku sebagai kesatuan geneologisnya. Seorang penghulu, kedudukan dan fungsinya di dalam masyarakat berdasarkan pilihan seluruh anggota keluarga (perut, kaum dan suku). Oleh karena itu seorang penghulu (mamak) tidak mempunyai harta pusaka dari anak maupun dari kemenakannya. Seorang penghulu adalah ningrat-jabatan dengan hak-hak 75 istimewa (prerogatif) yang melekat pada pusaka yang dipakainya sebagai penghulu dan inhaerent pada jabatan itu. Berbeda dengan daerah Rantau dan Pesisir, seorang penghulu disebut “tuanku”. Seorang penghulu sering bergelar raja. Menurut Mansoer (1970), dizaman pemerintahan Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala daerah, seperti kepala nagari, kecamatan (asisten Demang, “onderafdeling atau kewedanan (Demang). Di daerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut raja turun-temurun dari Bapak kepada anak. Demikian pula dengan daerah Pesisir, seperti Indrapura dan daeran Pariaman. Gelar sidi, bangindo dan sutan adalah untuk golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi mendekati golongan ningrat di daerah Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan rakyat biasa mereka lazim disebut “orang berbangsa”. Seorang orang berbangso, apabila mempunyai kedudukan dan fungsi, maka panggilan kepadanya adalah “tuanku”, namun sebalik, jika tidak memangku jabatan dipanggil titel gelarnya saja (sidi, bagindo dan sutan). Golongan inilah yang menempati posisi di atas dalam masyarakat Pariaman. Karena dianggap mempunyai asal-usul yang jelas dan kepadanya diberi uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, terutama akibat pengaruh ekonomi telah menggeser posisi laki-laki yang mempunyai gelar sidi, bagindo dan sutan kepada pekerjaaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Terutama yang mempunyai penghasilan ”besar”, seperti pekerjaan kantor (punya SK). Bagi masyarakat Pariaman, posisi dan status laki-laki yang demikian adalah posisi yang mempunyai nilai guna (ekonomi) karena tidak ada harta agar dapat menghidupi keluarga inti dan keluarga besar yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu tradisi bajapuik pada saat ini sebagai upaya mencari laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (punya pekerjaan) yang dapat menghasilkan uang. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dalam tradisi bajapuik ada kecenderungan, pilihan masyarakat jatuh kepada pekerjaan yang di miliki oleh seorang laki-laki. Kehidupan ekonomi yang semakin sulitnya dan banyaknya pengangguran karena krisis ekonomi telah mendorong pilihan masyarakat kepada pekerjaan yang ”banyak menghasilkan uang”, meskipun tidak menempuh 76 pendidikan tinggi (PT), karena pendidikan tinggi belum tentu dapat menghasilkan uang, sehingga pekerjaan sebagai pedagang merupakan alternatif untuk mendapatkan laki-laki yang mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Isi toko yang padat dan jenis barangan yang diperjual belikan mempunyai nilai tinggi (yang laku dipasaran) merupakan pilihan yang memberikan keuntungan bagi posisi/status sosial laki-laki di Pariaman. Berdagang merupakan merupakan suatu bentuk pertimbangan lain untuk mencari seorang laki-laki yang menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus kesempatan untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap (SK). Kondisi ini dalam teori pertukaran Homans disebut dengan tindakan yang bernilai, makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu. 4.5. Adat Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik Seperti yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau berlaku ungkapan, ““lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya”,. Jadi dalam pelaksanaan perkawinan mengikuti adat atau tradisi tertentu. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan di daerah Pariaman. Perkawinan yang melibat dua pihak keluarga (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan), ternyata mempunyai nilai bagi aktor-aktor yang terlibat. Adanya nilai itu bagi aktor telah mendorong terjadinya tradisi bajapuik atau menurut teori pertukaran dari Homans khususnya proposisi pendorong (stimulus proposition), di mana bila suatu kejadian di masa lalu telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin mendorong tindakan itu dilakukan dimasa sekarang, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa. Adapun adat perkawinan dalam tradisi bajapuik antara lain sebagai berikut: 4. 5.1. Memilih Calon Menantu (Meresek) Pandang dekat ditukikan pandangan jauh dilayangkan, demikian kata pepatah. Falsafah ini sampai saat ini masih tetap dilakukan khususnya dalam hal pencarian jodoh. Pencarian dan pemilihan jodoh terhadap seseorang dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan dan orang lain, terutama keluarga besar/kerabat. Menurut Navis (1984), pada masyarakat Minangkabau perkawinan 77 tidak hanya melibatkan dua pasang insan yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan kaum kerabatnya mulai dari mencarikan jodoh hingga pada masalah pasca perkawinan. Sebuah keluarga berkewajiban mencarikan jodoh dan mengawinkan anak kemenakannya jika sianak telah patut untuk berumah tangga. Besarnya kewajiban keluarga mencarikan jodoh dan mengawinkan anak kemanakannya menyebabkan seorang anak harus menjalankan kewajiban pribadinya menerima pilihan keluarga. Menolak seseorang yang telah dipilihkan keluarga bukanlah tidak boleh dilakukan, tetapi hal itu sangat sulit terlaksana karena bisa menyebabkan mamak dan anggota kaum lain merasa tersinggung (Catra. 2000). Lebih jauh Catra menegaskan, besarnya kewajiban dan hak keluarga memaksakan kehendak anaknya hanya berlaku satu kali. Hak keluarga untuk memaksa kehendaknya habis ketika status sang anak telah berubah menjadi janda atau duda. Seseorang yang telah pernah melakukan perkawinan atau telah dewasa mempunyai kebebasan untuk menentukan dengan siapa dia akan kawin untuk yang keduanya atau yang ketiga kalinya. Bahkan untuk zaman sekarang ini, besarnya kewajiban dan hak keluarga untuk menjodohkan anaknya telah menimbulkan interpretasi yang negatif oleh sebagian orang. Mereka melihat hal ini sebagai salah satu pemaksaan kehendak. Penolakan itu sejalan dengan menyebarnya paham feminisme yang mencerca adat dan budaya sebagai penyebab keterbelakangan dan ketertindasan kaum perempuan. Walaupun banyak pendapat yang pro dan kontra tentang pencarian jodoh, namun hal ini tetap dilakukan oleh keluarga yang mempunyai anak gadis, dengan memandang bahwa si gadis sudah cukup umur (dewasa) untuk berumah tangga. Atas dasar tersebut mulailah orang tua atau kerabat lainnya untuk melihat-lihat siapa calon yang pantas untuk menjadi suaminya. Pencarian ini dilakukan, jika sigadis belum/ tidak punya pilihan sendiri. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka pihak keluarga tinggal hanya untuk menelusuri keluarga dari calon yang disodorkan. Proses ini menurut Nock (1987), membutuhkan waktu yang panjang bahkan adakalanya dimulai semenjak masa kanak-kanak dan menuntut orang yang bersangkutan untuk bermain dan berinteraksi dengan orang tertentu saja. Lebih jauh, proses ini menurut Nock terdapat dalam dua aspek. Pertama, hanya orang tertentu saja yang mungkin menjadi pasangan hidupnya dan membatasinya 78 terhadap pilihan lain di kemudian hari. Kedua, setelah kriteria ditetapkan, maka pilihan dilakukan berdasarkan kriteria tersebut. Untuk pencarian jodoh pada umumnya diawali dengan penjajakan terhadap calon yang terpilih. Meskipun penjajakan dapat dilakukan oleh kedua belah pihak; tetapi yang berlaku umum pihak perempuan yang terlebih dahulu memulainya. Istilah itu dalam masyarakat Minangkabau disebut dengan ma-anta asok atau meresek, yaitu proses mencari jalan kesepakatan dua keluarga untuk mengawini anak mereka. Penjajakan ini bertujuan untuk; 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki (terutama orang tuanya), agar mau melepas anaknya untuk dijadikan menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan, kepribadian, agama sampai kepada pendidikan dan pekerjaannya. 3) Menentukan jumlah uang jemputan dan uang hilang serta syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan. Penjajakan atau meresek pada tahap awal dapat dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun, untuk penjajakan berikutnya harus dilakukan dari pihak perempuan. Aktor yang turut berperan untuk penjajakan ini, biasa orang terdekat dari calon perempuan, terutama anggota keluarga dari pihak ibu seperti orang tua, mamak, kakak atau etek atau utusan dari pihak perempuan yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil penjajakan tersebut, maka diutuslah seseorang kerumah orang tua laki-laki yang dituju. Proses penjajakan ini dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penjajakan pertama dari pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki membawa buah tangan sebagai pembuka jalan dan sekaligus untuk memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Ini terkait dengan basa-basi orang yang datang yang membawa buah tangan. Setelah ada peluang dan aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua pihak perempuan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa, pisang, kue bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Semua macam kue ini tidak selalu ada secara bersamaan dan tergantung pada selera orang yang datang. Pada pertemuan ini keluarga dari pihak perempuan langsung menanyakan kepada orang tua yang laki-laki, apakah bersedia untuk melepas anaknya untuk 79 dijadikan menantu bagi pihak yang datang. Bila jawaban dari orang tua maupun yang punya diri (laki-laki yang akan dijadikan calon menantu) menyatakan bersedia, maka dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut serta ninik mamak, karena pembicaraan mengenai adat perkawinan selanjutnya harus mengikut sertakan ninik mamak kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya. 4.5.2. Pertunangan Pada dasarnya bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan yang didahului dengan peminangan, terutama untuk bujang dan gadis. Di Minangkabau pada umumnya, peminangan dilakukan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak laki-laki begitu juga di daerah Pariaman. Peminangan adalah pencarian seorang calon laki-laki yang akan dijodohkan dengan seorang anak gadis atau yang lazim disebut dengan meresek/merasok. Setelah semuanya cocok, maka dilanjutkan dengan pertunangan. Pertunangan adalah kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk mengikat suatu hubungan, yang ditandai dengan bertukar tanda (tukar cincin). Tanda yang dipertukarkan biasanya dalam bentuk benda seperti emas (cincin) dan ada pula dalam bentuk benda lain, yang berupa kain sarung. Apapun jenis dan bentuk benda yang dipertukarkan pada saat pertunangan tergantung kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Termasuk pula siapa yang menyiapkan benda-benda itu, karena pada dekade terakhir ini ada kecendrungan calon pengantin sendiri yang menyiapkan cincin tersebut, apakah dari pengantin laki-laki keduanya atau 1 buah cincin untuk masing-masing pihak, tergantung kepada kesepakatan di antara kedua calon pengantin. Intinya, mengenai cincin pertunangan ini ada kecendrungan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua. Kondisi ini terutama disebabkan oleh kedua calon pengantin mempunyai pekerjaan dan pendapatan masing, sehingga menjadi kurang tepat jika masih dibebankan kepada kedua orang tua. Meskipun demikian, bukan berarti acara pertunangan dapat dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap saja melibatkan keluarga besar (extended family) dan ninik mamak atau yang disebut dengan acara duduk ninik mamak. 80 Acara duduk ninik mamak ini dilakukan di rumah calon pengantin lakilaki, karena adat yang berlaku umum di Minangkabau dan Pariaman khususnya, yang datang meminang adalah dari pihak calon pengantin perempuan. Jadi acara pertunangan itu dilakukan di rumah orang tua calon pengantin laki-laki. Pada tahap peminangan, pihak keluarga perempuan datang dengan kerabat serta orang sumando, ninik-mamak dan tetangga terdekat ke rumah pihak laki-laki dengan membawa buah tangan. Pada acara ini sekaligus merefleksikan hubungan baik yang dibina oleh orang tua dari pihak perempuan dengan lingkungannya. Mereka pergi bersama ke rumah calon pengantin laki-laki untuk melakukan peminangan bersama keluarga yang mempunyai hajat dengan membawa bingkisan masingmasingnya. Sesampai di rumah keluarga laki-laki telah menunggu pula orang tua, kerabat dan tetangga terdekatnya. Pada acara itu, pihak perempuan membawa bingkisan yang berisi lauk-pauk yang terdiri dari goreng dan gulai ikan, ayam, daging dan sebagainya. Selain itu, pembawaan ini juga dilengkapi dengan kue-kue dan berbagai jenis makanan lainnya. Pembawaan ini dibawa oleh kaum ibu, yang ikut serta dalam acara itu, baik dari keluarga sendiri dan juga dari tetangga terdekat. Di rumah pihak laki-laki telah tersedia pula berbagai macam hidangan pula, mulai dari makanan ringan sampai pada makanan berat seperti nasi. Meskipun demikian, makanan yang dibawa itu dapat pula disajikan kembali oleh pihak keluarga laki-laki untuk menyambut orang yang datang. Setelah beristirahat sebentar, tamu yang datang dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan. Selesai mencicipi hidangan dan mengisap rokok bagi yang laki-laki, maka pembicaraan (perundingan) di mulai. Untuk kata pembuka, diberikan kepada pihak keluarga perempuan. Biasanya orang yang ditunjuk adalah seseorang yang pandai berbicara secara adat atau yang disebut dengan ninik-mamak. Dengan menyampaikan kata-kata persembahan, ninik mamak juga memberikan sirih sebagai buah tangan kepada tuan rumah (pihak keluarga laki-laki). Setelah itu, ninik mamak mengemukakan maksud kedatangannya yakni untuk mempertunangkan anak-kemenakan dari kedua belah pihak. Keterlibatan anggota keluarga dan ninik mamak sangat di perlukan untuk mengukuhan pertunangan ini. Bahkan dalam acara ini, peran ninik mamak lebih 81 menonjol, sehingga bagi penduduk setempat pengukuhan pertunangan ini dikenal dengan acara duduk ninik mamak. Artinya disinilah ninik mamak kedua belah pihak bertemu. Pertemuan itu tidak hanya untuk pengukuhan pertunangan, tetapi sekaligus membicarakan dan menetapkan persyaratan adat khususnya mengenai uang jemputan, uang hilang, uang tungkatan dan tungkatan yang akan dibawa pada saat penjemputan marapulai. Selain itu, tanggal pernikahan dan pesta ditetapkan pula pada saat itu. Apapun keputusan yang diambil mengenai adat, merupakan kesepakatan antara ninik mamak kedua belah pihak. Individu yang akan melangsungkan perkawinan ataupun orang tua kedua belah pihak tidak dapat melanggar keputusan itu. Apabila terjadi suatu pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuat, maka pihak yang melanggar atau mengingkari akan mendapatkan sanksi. Biasanya sanksi bagi pihak yang melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua kali lipat. Jika tanda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka yang harus dikembalikan sebanyak 8 emas. Begitu juga dengan biaya yang dikeluarkan harus dikembali sebanyak 2 kali lipat dari biaya semulanya. Di sinilah peran ninik mamak lebih terlihat, dalam perkawinan ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak harus menjaga nama baik masing-masing dan memenuhi ketentuan dalam masa pertunangan. Adanya pertunangan menunjukan suatu perkawinan sudah pasti akan dilaksanakan, kecuali jika ada keadaan yang tidak diduga sebelumnya seperti sakit atau meninggal. Selesai acara pertukaran tanda ini dikuti oleh masa menunggu untuk mempersiapkan pelaksanaan pernikahan nantinya. Lamanya masa pertunangan ini tidak sama bagi setiap calon pengantin dan biasanya berkisar dari satu sampai enam bulan. Hal ini tergantung pada kesepakatan dan persiapan dari kedua belah pihak. 4.5.3. Akad Nikah Pernikahan adalah pengucapan ijab kabul. Pada saat itu secara resmi sepasang manusia telah melepaskan masa lajangnya dan menyandang status baru sebagai suami dan isteri. Adanya pernikahan itu berarti keduanya telah memenuhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, untuk hidup bersama dalam satu rumah 82 tangga. Pengesahan hubungan itu disebut dengan akad nikah. Akad nikah merupakan akad wajib pernikahan bagi orang Islam yang disertai dengan kewajiban mempelai laki-laki memberikan mahar kepada mempelai perempuan. Dalam tradisi bajapuik, sebelum terjadi penikahan keluarga pihak perempuan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi agar pernikahan dapat berlangsung. Kewajiban itu adalah berupa uang jemputan dan uang hilang, dilain pihak marapulai juga mempunyai kewajiban pula untuk memberi mahar. Dengan demikian pada saat pernikahan, kewajiban tidak hanya di pikul oleh marapulai (calon mempelai laki-laki) tetapi juga oleh keluarga pihak perempuan, karena dalam pelaksanaan perkawinan itu sendiri tidak hanya bertitik tolak pada agama yang diyakini, tetapi juga mengikut sertakan adat-istiadat. Kewajiban memberi mahar merupakan kewajiban harus dilakukan menurut ketentuan agama Islam yang dianut oleh orang Minangkabau pada umumnya, sedangkan uang jemputan, uang hilang dan uang tungkatan merupakan kewajiban adat khususnya adat perkawinan Pariaman. Keduanya berjalan secara berdampingan dan tidak saling meniadakan satu sama lainnya. Dengan demikian antara kedua belah pihak mempunyai kewajiban masing-masing dalam pelaksanaan perkawinan. Perbedaan di antara keduanya terletak pada waktu penyerahannya—uang jemputan dan uang hilang diberikan sebelum pernikahan, sedangkan mahar diberikan pada saat pernikahan dilangsungkan. Kewajiban yang dilaksanakan oleh masing-masing pihak pada saat pernikahan sekaligus memberikan gambaran bahwa kedua belah pihak pro aktif ditahap ini. Disatu sisi calon mempelai laki-laki memberi mahar kepada calon mempelai perempuan dan di satu sisi pihak perempuan memberi uang jemputan, uang hilang sebelum pernikahan. 4.5.4. Pesta Perkawinan Pesta perkawinan merupakan hari luapan kegembiraan dari kedua keluarga mempelai. Dengan mengadakan baralek gadang atau pesta sehari penuh berguna untuk memberi tahu kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi perkawinan antara dua jenis anak manusia. Pada hari itu kedua mempelai (anak daro dan marapulai) 83 (penganten wanita) di dandani seindah mungkin secara adat. Upacara perkawinan itulah yang disebut dengan baralek atau pesta Pelaksanaan pesta dapat dilakukan di rumah kedua belah pihak. Tetapi di antara keduanya mempunyai perbedaan; pertama, pelaksanaan pesta di rumah mempelai perempuan disebut dengan pesta ninik mamak, karena pesta yang diadakan adalah atas nama pesta ninik-mamak. Pesta ninik-mamak dimulai dengan persiapan duduk ninik-mamak. Sebaliknya di rumah keluarga mempelai laki-laki tidak disebut dengan pesta atau baralek, karena upacara yang diadakan di rumah laki-laki tidak didahului dengan persiapan duduk ninik-mamak, meskipun orang yang datang pada pesta melebihi dari rumah mempelai perempuan. Kedua, tujuan pesta perkawinan itu sendiri bagi pihak perempuan adalah untuk penggalangan dana, baik dari undangan maupun dari sumbangan dari anggota keluarga sendiri pada malam baretong. Sementara bagi laki-laki, diadakan pesta pernikahan bertujuan untuk pemberitahuan kepada masyarakat dan ingin untuk merasakan keramaian terutama bagi keluarga yang tidak punya anak perempuan. Namun saat ini pesta yang diadakan oleh keluarga kedua belah pihak, baik di rumah keluarga perempuan dan keluarga laki-laki hampir tidak ada perbedaan dan bertujuan sebagai sarana tempat bertemunya anggota keluarga selain hari lebaran. Kemudian waktu penyelenggaraan pesta, biasa pihak perempuan lebih dahulu dari pihak laki-laki. Tetapi adakalanya kedua belah pihak keluarga menyelenggarakan pada hari yang sama—setengah hari di rumah mempelai perempuan dan setengah hari di rumah mempelai laki-laki. Sebelum pesta dilaksanakan di awali dengan batagak pondok. Pendirian pondok ini dilakukan 3-4 hari sebelum pesta berlangsung. Pondok yang akan didirikan ada 2 macam yaitu pondok untuk tempat memasak bagi ibu-ibu dan pondok untuk tempat duduk para undangan. Untuk pendirian pondok dilakukan secara gotong royong, oleh anggota keluarga dan masyarakat setempat, seperti mamak, saudara kandung, atau kerabat yang terdekat dan ditambah dengan pemuda-pemuda yang ada disekitarnya. Semuannya berpartisipasi dan mengambil bagiannya masing-masing baik laki-laki maupun perempuan. Intinya, pada pelaksanaan pesta perkawinan ini keterlibatan anggota keluarga sangat diperlukan, baik moril dan materil, mulai dari persiapan sampai 84 pelaksanaan pesta dan setelah pesta (malam baretong). Bahkan keterlibatan anggota keluarga/kerabat itu berlangsung pula dalam proses perkawinan itu sendiri agar perkawinan itu dapat berjalan dengan baik seperti dalam proses manjapuik marapulai dan acara bako-ba bakian. Pada proses manjapuik marapulai diawali dengan utusan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Salah seorang dari utusan itu adalah orang yang pandai berbicara dengan pepatah-petitihnya, karena marapulai tidak dapat dilepas begitu saja dan sebelumnya terjadi “perdebatan” diantara kedua palo mudo atau ketua marapulai. Oleh karena itu kepiawaian seseorang dalam menggunakan pepatahpetitih diperlukan pada kesempatan ini. Jika utusan mempelai perempuan kalah piawai maka penjemputan marapulai menjadi lama. Untuk penjemputan marapulai, tiap-tiap nagari mempunyai kebiasaan masing-masing. Ada yang melakukan dan ada yang tidak seperti dikenagarian Pilubang, marapulai pulang dengan sendirinya, dengan catatan didampingi oleh dua orang pemuda sebagai teman dijalan dan tidak ada persyaratan adat lainnya. Tetapi adapula nagari yang melaksanakan manjapuik marapulai seperti di daerah Lubuk Alung. Marapulai (mempelai laki-laki) dapat pulang ke rumah isterinya apabila dijemput oleh pihak perempuan dengan mengutus 2 orang perempuan yang umurnya relatif muda dan telah menikah (sumandan), dan ditambah dengan seorang atau lebih laki-laki yang pandai berbicara dengan berpatah-petitih. Jika tidak penjemputan marapulai akan memakan waktu yang lama dan adakalanya marapulai tidak bisa dibawa. Setelah perdebatan selesai, rombongan itu menyerakan persyaratan penjemputan marapulai. Persyaratan itu berupa carano yang berisi sirih yang jumlahnya 9 lembar, gambia, dan pinang. Selain itu, juga membawa makanan berupa songgeng ayam 2 ekor dan nasi kunyit 2 piring. Kedua macam makanan itu diserahkan kepada ketua pemuda atau palo mudo orang yang menanti. Lalu, kedua makanan tersebut dicicipinya. Begitu juga dengan sirih yang dibawa tersebut dibuka dan dihitung jumlahnya atau dengan istilahnya dimasak. Pada waktu pelepasan marapulai, terlebih dahulu sumandan mengemukakan tentang maksud kedatangannya. Bila tidak dilakukan marapulai tidak akan dilepas oleh 85 pihak laki-laki. Kemudian pada waktu keluar dari rumah orang tua, marapulai dilepas pula dengan bunyi gong, dentuman pistol sebanyak tiga kali. Kemudian dalam proses bako-ba-bakian-- pihak ayah (bako) datang secara resmi. Mereka datang berombongan sekaligus memberikan ucapan selamat kepada anak pisangnya dan membawa berbagai macam bingkisan. Oleh sebab itu mereka disambut secara resmi pula. Mereka dihidangkan dengan makanan yang lengkap dan dihidangkan secara bajamba—semua makanan dihidangkan diatas seprah makan dan para bako duduk diatas tikar yang telah disediakan. Acara ba bako- ba bakian ini pelaksanaannnya mengikuti kebiasaan pada nagari setempat. 4.5.5. Manjalang Manjalang adalah mempelai perempuan pergi secara resmi ke rumah mertua untuk pertama kali setelah pesta perkawinan dilakukan. Acara ini bisa dilaksanakan pada hari yang sama, atau satu sampai tiga hari setelah pesta diselenggarakan dan tergantung pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Pada saat ini mempelai perempuan, pergi bersama rombongan yang terdiri dari ; sumandan, kerabat dan tetangga terdekat. Rombongan ini pergi ke rumah orang tua mempelai laki-laki dapat dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan, tergantung pada jauh dekatnya jarak yang ditempuh. Jika jarak yang ditempuh relatif dekat, rombongan pergi dengan berjalan kaki sambil diiringi musik gambus sampai ketempat yang dituju. Sebaliknya, jika jarak tempuh cukup jauh digunakan kendaraan atau bus sekaligus, bila yang menyertai mempelai cukup banyak. Untuk pergi manjalang rombongan dilengkapi dengan buah tangan seperti; kue, juadah4 dan sambal. Setelah sampai di rumah mempelai laki-laki, anak daro didudukan di pelaminan. Kerabat, tetangga dari pihak laki-laki berdatangan dan membawa bingkisan pula. Kerabat yang terdekat dari pihak laki-laki, pemberiannya kepada anak daro dalam bentuk emas dan yang lainnya berupa benda-benda kebutuhan rumah tangga seperti piring, panci, gelas, kain sarung dan sebagainya. Pemberian dalam bentuk emas berkisar antara ½ - 5 emas dan 4 Semacam kue yang terbuatdari tepung beras dan juadah ini juga dilengkapi dengan bentuk makan ringan lainnya. Bahan-bahannya juga berasal dari ketan, tepung ketan, gula merah, kelapa dan sebagainya. 86 tegantung pada jumlah uang japuik (uang hilang). Jumlah yang paling besar datang dari orang tua mempelai laki-laki, karena orang tua dari mempelai laki-laki selain mengembalikan uang uang jemputan yang diterimanya pada saat menjemput mempelai laki-laki pada saat akan menikah, juga mempunyai kewajiban pula untuk menambah uang jemputan itu, sehingga pengembalian uang jemputan menjadi besar. Semua pemberian yang berasal dari orang tua, dan kerabat dari pihak lakilaki untuk anak daro (mempelai perempuan), disebut dengan paragiah jalang. Jadi paragiah jalang adalah pemberian dari keluarga pihak laki-laki untuk mempelai perempuan pada saat menjalang dan dapat digunakan sebagai modal untuk menjalan rumah tangga baru nantinya. 4.5.6. Baretong Malam baretong adalah malam pada saat menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan dan jumlah uang yang diterima dalam pelaksanaan perkawinan. Malam baretong disebut juga dengan malam penutupan pesta dan pencarian dana. Pada itu dihadiri oleh sanak-famili, ninik mamak dan pemuka masyarakat yang datang dan berkumpul di rumah mempelai perempuan. Selain itu juga diikuti oleh para undangan laki-laki yang bermukim dekat dengan lokasi pesta yang belum sempat datang pada siang hari. Mereka datang memberikan amplop (panggilan) dan duduk bersama pada saat itu. Mereka pada umumnya laki-laki duduk bersela diatas tikar yang telah disediakan. Pada saat itu seluruh biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan perkawinan dihitung, mulai dari biaya duduk ninik mamak, uang japuik dan biaya kebutuhan dapur. Proses malam baretong di mulai dengan mengumpulkan seluruh amplop dan bingkisan yang diberikan oleh para undangan. Untuk bingkisan biasanya diperkirakan nilai barangnya, agar penghitungan lebih mudah dilakukan. Ninik mamak yang memimpin malam baretong akan menyebutkan secara resmi jumlah uang yang diperoleh dan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan perkawinan itu. Berawal dari sini, mulai anggota keluarga dan kerabat lain serta undangan berpartisipasi memberikan bantuannya. Setiap aktor yang memberi bantuan akan disebutkan nama/kedudukan dalam keluarga itu dan jumlah bantuan yang diberikan oleh ninik mamak yang memimpin malam baretong. Setelah 87 selesai dan tidak ada lagi bantuan yang diterima, maka ninik mamak akan menjumlahkan uang-uang itu dan mengumumkan secara resmi jumlah yang didapat dari pelaksanaan perkawinan. Biasanya dengan adanya malam baretong itu, semua pokok alek akan tertutupi dan bahkan uang yang diperoleh melebihi dari jumlah modal awalnya. Berakhirnya proses malam baretong, maka proses pelaksanaan tradisi bajapuik juga selesai samapai disini. BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK 5.1.Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik Tradisi bajapuik merupakan sub sistem dari sistem perkawinan masyarakat sejak dulu sampai sekarang diwilayah Pariaman dan sekitarnya. Ciri spesifik yang melekat dalam tradisi bajapuik adalah laki-laki dijemput dengan sejumlah uang atau benda dalam pelaksanaan perkawinan dengan melibatkan dua pihak keluarga. Artinya pihak keluarga perempuan memberi dan pihak keluarga laki-laki menerima uang japuik. Nilai pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah nilai yang mendasari terjadinya tradisi bajapuik. Dalam pandangan orang Pariaman dorongan memberi uang japuik dalam tradisi bajapuik dilakukan untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuannya, seperti dijelaskan oleh informan TM (66 tahun) berikut ini: Dalam masyarakat Pariaman laki-laki yang dipinang, sedangkan di daerah lain laki-laki yang meminang. Pariaman ini kuat adatnya dan yang dilakukan itu memang ada hikmahnya, makanya perempuan meminang laki-laki, agar supaya nampak baiknya. Baiknya tradisi bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan, sehingga yang buta, lumpuh dan tuli ada jodohnya. Fakta tersebut menjelaskan bahwa yang mendorong pihak keluarga perempuan untuk melaksanakan tradisi bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan. Hal ini mendukung proposisi bahwa semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu. Selain itu dorongan pihak keluarga perempuan melakukan tradisi bajapuik lebih didasarkan atas nilai-nilai budaya (orientasi nilai budaya) adat Minangkabau. Dalam konteks adat Minangkabau, dorongan pihak keluarga perempuan melakukan tradisi bajapuik karena adanya nilai adat yang mengatakan, gadih gadang alun balaki merupakan malu keluarga dan kaum”. Artinya gadis dewasa yang telah cukup umur yang belum bersuami dapat mengakibatkan malu keluarga dan kaum. Begitu juga dengan penggunaan harta pusaka di perbolehkan untuk itu, asalkan jodoh untuk anak perempuan didapatkan. Berdasarkan nilai adat itu, maka 89 orang Pariaman menerjemahkan dengan pemberian uang japuik untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak perempuan. Lebih jauh dalam adat dikatakan, sebuah keluarga akan punah, bila tidak mempunyai keturunan terutama anak perempuan, sedangkan keturunan adalah untuk mewarisi harta pusaka. Oleh sebab itu, adanya tradisi bajapuik terkait dengan sistem matrilineal, seperti yang dijelaskan oleh informan Bgd L (80 tahun) Munculnya tradisi bajapuik disebabkan oleh orang Minangkabau berguru ke alam—seluruh yang beranak apapun /siapapun, baik hewan ataupun manusia dekat kepada ibunya dan tidak kepada ayahnya, Mengapa demikian? Di Minangkabau ada yang dinamakan dengan pusaka. Pusaka ini adalah milik kolektif dan tidak dapat dijual. Pusaka tinggi ini tidak satupun orang yang punya—itu adalah milik paruik, kaum, suku dan nagari atau disebut dengan tanah ulayat yang kepemilikannya jatuh ketangan kaum perempuan, sedangkan laki-laki tidak berhak atas tanah pusaka, meskipun sawah, ladang itu dibawah kekuasaan/pengawasannya. Fakta tersebut menjelaskan bahwa kaum perempuan yang mempunyai harta pusaka. Maka dari itu pada awal tradisi bajapuik tidak mempertimbangkan pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki. Yang penting berasal dari keturunan yang jelas. Bagi pihak keluarga perempuan pertimbangan menerima seorang menantu adalah laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) karena dianggap mempunyai bibit, bebet dan bobot. Sementara itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari diperoleh melalui harta pusaka yang dimiliki oleh pihak keluarga perempuan. Kemudian seiring dengan pertumbuhan penduduk, dan menyempitnya lahan yang dimiliki, maka pertimbangan itu beralih kepada status sosial ekonomi, seperti yang terlihat dalam tabel 15 berikut ini: Tabel 15. Laki-laki yang di Jemput Menurut Responden Dalam Tradisi Bajapuik Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Laki-laki Bergelar Keturunan Ya Tidak Total 0 (0,0) 360 (100) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Laki-laki Punya Pendidikan 309 (85,8) 51 (14,2) 360 (100) Status Sosial Ekonomi Laki-laki Punya Pekerjaan 353 (98,1) 7 (1,9) 360 (100) Laki-laki Punya Pendapatan 356 (98,1) 4 (1,1) 360 (100) 90 Tabel 15 di atas menunjukan laki-laki yang dijemput dalam tradisi bajapuik adalah mereka yang mempunyai pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Status sosial ekonomi (prestasi) menempati posisi dominan dalam pemilihan menantu saat ini. Laki-laki yang mempunyai gelar keturunan/kebangsawanan tidak lagi mendapat perhatian masyarakat. Meskipun dasar pertukaran telah berubah dari gelar kebangsawanan (keturunan) menjadi status sosial ekonomi (achievement status), namun perilaku bagi pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami untuk anak perempuannya tidak mengalami perubahan. Kasus keluarga Z (54 tahun) menggambarkan hal itu: Bapak Z, mempunyai dua orang anak terdiri 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Anak yang pertama perempuan dan yang kedua lakilaki. Ketika anak perempuan akan menikah bapak Z mau memberi uang sebesar 15 juta kepada pihak keluarga laki-laki. Pertimbangannya dari pada anak tidak mendapat suami biarlah merugi sedikit dan beban kita sebagai orang tua sudah lepas. Hal ini menjelaskan bahwa pertukaran yang berlangsung mengarah kepada nilai adat dan sesuai dengan kepentingan individu dari pihak keluarga perempuan. Karena dalam pencarian jodoh menjadi tanggungjawab orang tua dan mamak, seperti yang dijelaskan oleh informan TM (66 tahun): Anak perempuan, sewaktu kecil merintang ibu dan ayah, dan ketika sudah besar merintang mamak. Walaupun kini lebih banyak orang tua yang terlibat mencarikan jodoh untuk anaknya, tetapi dalam kasus-kasus tertentu mamak juga turut serta. Dengan demikian alasan nilai budaya, lebih mendominasi munculnya tradisi bajapuik. Mengacu kepada Homans, adanya reward dan punishment yang diterima mendorong aktor melakukan tradisi bajapuik. 5.2. Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat (Soekanto, 1982). Status sosial menempatkan seseorang pada posisi tertentu— 91 apakah di atas atau dibawah, karena status sosial mengandung berbagai macam penilaian-penilaian terhadap seorang individu dalam masyarakat. Dalam tradisi bajapuik, status sosial menjadi pertimbangan mencari atau menerima seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu. Selanjutnya melalui status sosial pula, pertimbangan tinggi-rendahnya uang japuik yang harus diberikan oleh keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Sub bab berikut ini akan menjelaskan status sosial yang menjadi pertimbangan dalam perjalanan tradisi bajapuik dalam masyarakat dari dulu hingga sampai saat ini. 5.2.1. Gelar Kebangsawan Sebagai Dasar Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik Pada Awalnya Bangsawan menurut Poerwadarminta (1976), berarti keturunan orang mulia, berasal dari keturunan raja dan kerabatnya yang memiliki hak istimewa dalam kehidupan dan diwarisi secara turun-temurun. Bagi masyarakat Pariaman, khususnya dalam tradisi bajapuik, gelar kebangsawanan adalah gelar keturunan yang diwarisi dari ayah kepada anak laki-laki. Gelar keturunan ini mengandung makna laki-laki yang akan diterima sebagai menantu mempunyai keturunan yang jelas—anak siapa dan bagaimana latar belakang keturunannya. Gelar keturunan yang dimaksudkan adalah sidi, bagindo dan sutan. Ketiga gelar ini mempunyai asal-usul kata yang berbeda. Gelar sidi berasal dari Syaidina: yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin. Munculnya gelar sutan sebagai salah satu gelar keturunan dalam tradisi bajapuik juga tidak terlepas dari pengaruh Islam. Bahkan dalam sejarah disebutkan gelar sutan itu berasal dari sebutan seorang raja dari Aceh 1 yang besar pengaruhnya dalam mengembangkan agama Islam di Pariaman. Meskipun mempunyai asal-usul kata yang berbeda, namun ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu pemimpin. Berdasarkan makna yang terkandung dalam ketiga gelar keturunan itu, ternyata pengaruh Islam tertanam kuat di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan 1 Raja itu bernama Sultan Zulkarnaen, yakni seorang raja yang sangat berambisi sekali dalam mengembangkan agama Islam. Sehingga pada zamannya itu, Islam berkembang di sepanjang pesisir Sumatera. Untuk wilayah Sumatera Barat Islam masuk mulai dari Pariaman dan setelah itu baru menyebar ke wilayah Minangkabau lainnya. 92 pada saat itu, laki-laki yang bergelar sidi, diyakini sebagai orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang agama Islam dan menjadi perioritas utama diterima sebagai menantu. Kondisi ini menurut Weber dalam Giddens (2002) terdapat dalam masyarakat tradisional di mana status sosial sering ditentukan oleh oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan itu dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu. Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang diterima sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat perioritas utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga perempuan mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik (Hamka, 1982). Oleh sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul yang jelas. Sementara itu untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh keluarganya (dari harta pusaka). Dengan demikian pertimbangan menerima lakilaki--laki yang bergelar adalah agar mendapatkan keturunan yang baik. Kemudian sesuai dengan perkembangan masyarakat gelar keturunan (bangsawan) tidak memungkinkan diterapkan lagi, seperti dijelaskan oleh informan B (73 tahun): Itu merupakan sesuatu yang logis saja terjadi dalam masyarakat. Masyarakat tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya mengandalkan gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan yang akan digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang semuanya itu berubah, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Fakta di atas menjelaskan, bahwa gelar keturunan tidak mungkin lagi menjadi pertimbangan bagi pihak keluarga perempuan menerima seorang laki-laki menjadi menantu. Sekarang yang berbekas bagi gelar keturunan hanya sebagai sebutan penghargaan kepada seorang menatu (sumando), yang diwariskan setelah pernikahan berlangsung. Perilaku yang demikian sesuai pula dengan nilai adat yang mengatakan “ketek banamo, gadang bagala”. Artinya waktu kecil diberi nama dan setelah besar diberi gelar dan diwarisi ke pada anak laki-laki setelah menikah. Sebutan gelar keturunan sebagai penghormatan hanya diberlakukan 93 kepada pihak keluarga perempuan dan yang usianya lebih besar dari isterinya 2, seperti; ibu, ayah, mamak, apak, mintuo, etek, kakak (perempuan dan laki-laki), kakek, dan nenek. Bahkan dalam prakteknya, ada kecenderungan gelar keturunan tidak lagi menjadi sebutan kepada seorang menantu atau sumando. Kondisi ini terutama terjadi apabila: 1) Kedua calon telah saling mengenal sebelum pernikahan berlangsung (berpacaran), sehingga di antara keduanya telah dikenalkan kepada keluarga masing-masing. Frekuensi kedatangan calon mempelai laki-laki yang relatif sering ke rumah calon mempelai perempuan, sehingga anggota keluarga dari pihak keluarga perempuan menjadi terbiasa dengan sebutan nama aslinya 3. Bagi pihak keluarga perempuan menjadi sulit untuk merubahnya dengan sebutan gelar keturunan. 2) Kedekatan kedua calon pengantin dengan keluarga pihak keluarga perempuan membawa implikasi kepada calon pengantin laki-laki. Calon pengantin laki-laki menjadi risih dipanggil dengan sebutan gelar keturunannya dan lebih menyukai dengan sebutan nama aslinya. 3) Kedua keluarga calon pengantin berdomisili di luar daerah Pariaman, meskipun keduanya berasal dari daerah yang sama. 4) Salah satu, terutama pihak keluarga perempuan berasal dari luar Pariaman dan berdomisili di luar Pariaman. Sebutan dengan nama kecil tidak mengurangi rasa penghargaan kepadanya, itu yang menjadi alasannya. Namun sebaliknya bagi masyarakat yang menetap di daerah asal yang melingkupi budaya bajapuik, orang luar dari Pariamanpun akan tetap disebut dengan gelar kebangsawanan tersebut. 5.2.2. Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Saat Ini Dalam Tradisi Bajapuik Prestasi adalah sesuatu yang diraih melalui usaha individu, termasuk pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh oleh seseorang atau yang disebut dengan status sosial ekonomi. Secara umum prestasi yang diraih oleh seseorang akan berimplementasi kepada kehidupan seseorang yang akan dijalankannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu prestasi dipandang sebagai sesuatu yang berharga dan menempati posisi yang lebih tinggi dalam suatu masyarakat, terutama dalam tradisi bajapuik. 2 3 Artinya dari seorang laki-laki yang melakukan pernikahan. Artinya nama pemberian orang tua semenjak lahir. 94 Sebagaimana telah disinggung juga sebelumnya, ternyata masyarakat telah mempunyai beberapa pilihan dan akan menetapkan salah satu di antaranya yang dianggap memiliki nilai yang menguntungkan baginya. Pilihan itu lebih mengarah kepada prestasi yang dimiliki oleh seorang laki-laki yakni berupa pekerjaan yang tetap dari pada gelar keturunan. Adapun pekerjaan yang menempati posisi tertinggi dalam masyarakat adalah yang mempunyai SK seperti; Pegawai Negeri Sipil (PNS), BUMN, TNI/Polri. Kemudian diikuti oleh pekerjaan lain, seperti swasta dan sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan inilah dipandang masyarakat dapat menghasilkan uang dan dapat menggerakan kehidupan rumah tangga yang akan di bangun. Kondisi yang demikian pada hakekatnya sesuai dengan persyaratan perkawinan dalam adat Minangkabau yang dijelaskan oleh Sukmasari (1983), di mana calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya. Bagi pihak keluarga laki-laki, pekerjaan yang dimiliki oleh anak lakilakinya mempunyai nilai tawar yang tinggi dalam masyarakat begitu juga sebaliknya. Pekerjaan dengan status/posisi yang tinggi, uang japuiknya akan tinggi pula. Semakin tinggi status sosial ekonomi laki-laki maka semakin tinggi pula uang hilang-nya 4 (lihat tabel 24). Dengan demikian tinggi rendahnya uang japuik merefleksikan tinggi-rendahnya status sosial seorang laki-laki, sekaligus berimplikasi kepada tinggi-rendahnya jumlah uang japuik. Dengan mengikuti terminologi Marx sebagaimana yang dikutip Smelser (1973); Giddens, 2002), faktor ekonomi menempati seseorang pada lapisan tertentu dalam masyarakat. Adanya perubahan dasar pertukaran dalam tradisi bajapuik dari gelar keturunan kepada prestasi (status sosial ekonomi) yang diwujudkan dalam bentuk pekerjaan dan pendapatan merupakan suatu yang logis yang dapat diterima dalam kehidupan masyarakat saat ini. Kondisi ini mendukung proposisi rasionalitas dari Homans di mana seseorang akan memilih satu di antaranya yang dia anggap saat ini memiliki nilai (v) untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. 4 Sebutan untuk uang hilang sering pula disamakan dengan uang jemputan. Kedua bentuk pertukaran ini pada hakikatnya mempunyai makna dan tujuan yang berbeda. Penyamaan kedua bentuk uang itu kecenderungan terdapat di daerah perkotaan. Sementara untuk daerah yang berada pada kawasan pedesaan kedua konsep tersebut berbeda dan mempunyai makna dan tujuan masingmasing. 95 5.3. Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik Bentuk-bentuk pertukaran diartinya sama dengan macam-macam uang yang terdapat dalam tradisi bajapuik dan menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Adanya macam-macam uang itu merupakan sebagai implikasi dari perubahan yang terjadi pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada prestasi (achievement status). Adapun macam-macam uang itu antara lain; uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. 5.3.1. Uang Jemputan Secara konseptual uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam pelaksanaan perkawinan dan dikembalikan lagi kepada pihak perempuan melalui mempelai perempuan (anak daro) pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kalinya (manjalang). Uang jemputan merupakan bentuk uang yang pertama kali muncul dalam tradisi bajapuik, seperti penuturan informan B (73 tahun), TM (66 tahun), IM (80 tahun), pada awalnya uang yang ada dalam perkawinan di Pariaman adalah uang jemputan dan tidak ada uang-uang lainnya. Setelah itu diikuti dengan bentuk-bentuk lain seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Uang jemputan pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis. Dalam perjalanan tradisi bajapuik, uang jemputan terus mengalami perubahan mulai dari model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud uang jemputan yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya berupa rupiah dan ringgit emas 5. Karena model itu sudah ketinggal zaman, sehingga tidak diminati masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas. Jumlah uang jemputan dalam wujud emas ini berkisar antara 2 hingga 20 emas tergantung kepada kesepakatan dan kemampuan dari pihak perempuan. Kemudian pada dekade terakhir ini wujud uang jemputan tidak hanya berbentuk emas, tetapi juga dalam bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda 5 1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas. 96 dua ataupun roda empat, hingga dibuatkan sebuah rumah. Meskipun telah terjadi perubahan wujud uang jemputan menjadi bentuk lain, namun wujud yang pertama tetap ada dan masih diminati oleh masyarakat. Kondisi ini dalam perspektif evolusionisme Comte merupakan sebagai bentuk kesempurnaan masyarakat (Etzioni, 1973). Berikut gambaran mengenai wujud uang jemputan yang terdapat di dalam masyarakat. Tabel 16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori Uang Emas Benda Lain Total Generasi Muda Laki-laki Perempuan 22 (36,7) 26 (43,3) 12 (20,0) 60 (100) 18 (30,0) 29 (48,3) 13 (21,7) 60 (100) Generasi Menengah Laki-laki Perempuan 15 25,0 38 (63,3) 7 (11,7) 60 (100) 17 (28,3) 40 (66,7) 3 (5,0) 60 (100) Generasi Tua Laki-laki Perempuan 8 (13,3) 43 (71,7) 9 (15,0) 60 (100) 6 (10,0) 44 (73,3) 10 (16,7) 60 (100) Total 86 (23,9) 220 (61,1) 54 (15,0) 360 (100) Sumber: Data Primer 2008 Tabel 16 menunjukkan adanya variasi mengenai konsepsi uang jemputan, yakni berwujud uang, emas dan benda lain. Ada sebanyak 76,1 persen yang mengatakan wujud uang jemputan berupa benda ekonomis, yang masing-masing terdiri dari 61,1 persen yang berwujud emas, dan benda lainnya 15,0 persen. Kemudian 23,9 persen yang mengatakan wujud uang jemputan berupa uang. Pada umumnya mereka berasal generasi muda dan generasi sedang (pelaku) yang jumlahnya mencapai 20,0 persen dan bermukim di daerah perkotaan. Sacara spesifik antara jenis kelamin tidak terdapat perbedaan yang signifikan yakni 10,3 dan 9,7 persen mengenai wujud uang pada uang jemputan. Terdapatnya bermacam-macam wujud uang jemputan dalam tradisi bajapuik, ternyata memberikan makna yang berbeda terhadap uang jemputan. Uang jemputan yang berwujud uang mempunyai makna yang sama dengan uang hilang dan kecenderungannya terdapat di daerah Pariaman Tengah. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan daerah setempat yang kurang memakai konsep uang jemputan dalam arti yang sesungguhnya. Di Pariaman Tengah konsep uang jemputan lebih diartikan sebagai uang hilang. Pendapat mengenai uang jemputan sama dengan uang hilang seperti di tuturkan oleh informan SM (72 tahun) dan AG (51 tahun), di mana di kota di Pariaman uang hilang disebut juga dengan 97 uang jemputan. Artinya istilah uang jemputan tetap ada, tetapi maknanya berbeda sehingga uang jemputan dengan wujud emas relatif tidak ada. Berbeda dengan uang jemputan dalam bentuk benda lain di kedua daerah relatif ada. Bagi responden yang menerima uang jemputan dalam wujud benda lain, maka uang hilang dalam pelaksanan perkawinannya disebut dengan bantuan uang dapur atau uang juluk. Sementara itu di Kecamatan Sungai Limau, antara uang jemputan dan uang hilang mempunyai makna yang berbeda. Jadi kedua bentuk pertukaran itu tetap ada dalam pelaksanaan perkawinan. Bagi pihak laki-laki, uang jemputan berwujud emas, akan dikembali lagi kepada pihak keluarga perempuan melalui mempelai perempuan (anak daro). Tepatnya ketika anak daro pergi berkunjung (manjalang) ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Pengembalian uang jemputan ditujukan kepada anak daro dan wujudnya tidak hanya berwujud emas 6, tetapi ditambah dengan benda-benda lain seperti; kain sarung, alas kasur, dan perabotan rumah tangga. Ada kecenderungan pengembalian uang japuik yang relatif besar dilakukan oleh pihak keluarga lakilaki yang mempunyai kemampuan ekonomi relatif mampu dengan uang hilang mempelai laki-laki relatif besar pula. Karena dibalik pengembalian uang jemputan relatif besar merefleksikan; status sosial ekonomi mempelai laki-laki dan keluarganya. Menurut Mauss (1992), pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima dan di dalamnya akan terlihat tukar-menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya karena yang dipertukarkan sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiah dari pemberian itu. Uang jemputan dalam bentuk benda lain tidak dikembalikan kepada pihak perempuan melalui anak daro. Tetapi menjadi hak milik mempelai laki-laki (marapulai) atau orang tuanya, tergantung jenis benda dan kepada siapa uang jemputan itu di tujukan oleh pihak keluarga perempuan. Akan tetapi uang jemputan berwujud kendaraan, baik roda dua atau roda empat biasanya di tujukan kepada calon mempelai laki-laki dan dipergunakan secara bersama dengan mempelai perempuan (dalam rumah tangga barunya). Uang jemputan dalam 6 Emas yang dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki tidak hanya sejumlah uang japuik semula, tetapi ditambah lagi oleh orang tua, kakak dan mamak. Kisaran penambahan uang japuik antara 2 sampai 5 emas. 98 bentuk kendaraan ini, biasa calon mempelai laki-laki belum/tidak memiliki kendaraan, sehingga kendaraan yang diberikan sebagai uang jemputan menjadi hak miliki mempelai laki-laki. Begitu juga dengan uang jemputan berwujud rumah, tergantung kepada siapa rumah itu di tujukan. Uang jemputan berwujud rumah ini ada pula dua tujuan; yakni kepada mempelai laki-laki atau kepada orang tuanya. Jika uang jemputan ditujukan kepada mempelai laki-laki, maka rumah itu menjadi hak miliknya dan digunakan secara bersama dengan mempelai perempuan dalam menjalankan rumah tangga barunya. Bila uang jemputan berwujud rumah ditujukan kepada orang tua mempelai laki-laki, maka hak milik dan penggunaannya diberikan kepada orang tuanya. Uang jemputan yang ditujukan kepada orang tua mempelai laki-laki, biasa berasal kalangan ekonomi lemah, tetapi mempelai laki-laki mempunyai status sosial ekonomi/posisi pekerjaan yang tinggi dalam masyarakat. Jika uang jemputan berwujud benda lain maka uang hilang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan jumlahnya relatif sedikit dan fungsinya hanya sebagai bantuan saja kepada pihak keluarga laki-laki. Berbeda dengan wujud uang jemputan berbentuk emas, uang hilang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan ditentukan berdasarkan status pekerjaan dan jumlahnya relatif lebih besar dari uang jemputan. Dengan demikian pemberian uang jemputan yang berwujud benda lain dapat merupakan simbolisasi status sosial ekonomi calon mempelai laki-laki. Semakin besar jumlah uang jemputan, mengindikasikan lakilaki yang dijemput mempunyai kedudukan dan prestise yang tinggi pula. Meskipun demikian, apapun wujud uang jemputan merupakan suatu bentuk pemberian yang mengandung makna dan tujuan tertentu. Makna yang terkandung dalam uang jemputan meliput i makna ekstrinsik dan instrinsik. Secara ektrinsik merupakan simbolisasi dari status sosial ekonomi dari calon pengantin laki-laki dan status sosial ekonomi dari pihak keluarga perempuan. Secara intrinsik uang jemputan sebagai bentuk penghormatan kepada calon mempelai laki-laki yang terkait dengan orang asa. Orang asa yang dimaksudkan disini adalah orang yang pertama menempati (manaruko) suatu daerah di Minangkabau. Di dalam falsafah adat Minangkabau disebutkan, “darek berpenghulu, rantau ba 99 rajo” (Mansoer, 1970). Secara eksplisit falsafah ini menggambarkan, bahwa orang Minangkabau mendiami dua kawasan yang berbeda yakni darek dan rantau. Sebagai sebutan untuk orang yang mendiami daerah darek adalah penghulu yang berarti pemimpin 7. Untuk daerah rantau, sebutan untuk pemimpinnya adalah rajo (raja). Kedua sebutan yang akan diwarisi kepada keturunannya dan mengisyaratkan orang asa di Minangkabau. Orang asa di dalam struktur orang Minangkabau menempati posisi di atas, jika dibandingkan dengan orang datang. Berkaitan dengan perkawinan di Minangkabau, orang asa inilah yang diutamakan diterima sebagai menantu, karena dipahami oleh masyarakat sebagai orang yang mempunyai asal-usul yang jelas. Sebagai penghargaan kepada orang asa ini, di dalam perkawinan di Minangkabau diberi uang jemputan. Sementara itu uang jemputan bertujuan sebagai modal bagi kedua mempelai dalam menjalankan rumahtangga dan dapat digunakan secara bersamasama. Dengan memakai terminologi dari Homans dalam Turner (1998:266); Ritzer dan Goodmann (2004:364), tindakan seperti ini, dikenal dengan tindakan yang bernilai (value behavior). Gejala ini menciptakan melanggengkan uang jemputan dalam tradisi bajapuik. Uang jemputan dalam tradisi bajapuik ditentukan oleh pihak keluarga laki-laki, yang dalam hal ini adalah orang tua dan mamak. Pada awalnya uang japuik lebih dominan ditentukan oleh mamak, kemudian bergeser kepada kedua orang tua. Tempat tinggal yang berjauhan dengan kemenakan karena mata pencarian yang diguluti, memaksa mamak tidak banyak ambil bagian dalam penentuan uang jemputan. Kalaupun ada mamak yang ikut serta dalam penentuan jumlah uang jemputan berarti mamak bertempat tinggal atau domisili berdekatan dengan saudara perempuan dan kemenakannya. Adakalanya mamak hanya menerima keputusan akhir saja dari saudara perempuannya seperti dituturkan oleh informan M (60 tahun), di mana sewaktu anaknya dipinang, jumlah uang jemputan ditentukan sendiri. Begitu juga dengan informan A (70 tahun), AM (65 tahun), dan TM (66 tahun), dimana mamak sekarang tidak banyak mengambil bagian dalam penentuan jumlah uang jemputan untuk kemenakannya dan lebih 7 Seseorang diangkat sebagai pemimpin, berarti orang yang menempati atau menguasai daerah itu pertama kalinya. 100 banyak diserahkan kepada orang tuanya masing-masing. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 17. Tabel 17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori Orang Tua Calon Mempelai Mamak Total Generasi Muda Laki-laki Pempuan 54 (90,0) 1 (1,7) 5 (8,3) 60 (100) 52 (86,7) 2 (3,3) 6 (10,0) 60 (100) Generasi Menengah Laki-laki Perempuan 45 (75,0) 3 (5,0) 12 (20,0) 60 (100) 41 (68,3) 0 (0) 19 (31,7 60 (100) Generasi Tua Laki-laki Perempuan 48 80,0 1 (1,7) 11 (18,3) 60 (100) 42 (70,0) 0 (0) 18 (30,0) 60 (100) Total 282 (78,4) 7 (1,9) 71 (19,7) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Tabel 17 menunjukkan pada umumnya (78,4 persen), uang jemputan ditentukan oleh orang tua. Kemudian diikuti oleh mamak 19,7 persen dan calon mempelai 1,9 persen. Dominannya orang tua dalam penentuan uang jemputan karena mamak domisili jauh dari saudara perempuannya. Jadi keterbatasan jarak dan waktu membatasi keterlibatan mamak dalam penentuan uang jemputan. Setelah semua disepakati oleh kedua belah pihak, uang jemputan diserahkan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki. Penyerahan itu pada umumnya dilakukan ketika mempelai laki-laki dijemput untuk melangsung pernikahan seperti terlihat dalam tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Waktu Uang Jemputan diberikan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori 1-6 bulan Sebelum Akad Nikah Saat Akad Nikah Total Generasi Muda Laki-laki Pempuan Generasi Menengah Laki-laki Perempuan Generasi Tua Laki-laki Perempuan Total 2 (3,3) 6 (10,0) 2 (3,3) 7 (11,7) 0 (0,0) 2 (3,3) 19 (5,3) 58 (96,7) 60 (100) 54 (90,0) 60 (100) 58 (96,7) 60 (100) 53 (88,3) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 58 (96,7) 60 (100) 341 (94,7) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Tabel 18 menunjukkan, bahwa pada umumnya uang jemputan diberikan pada saat akad nikah yang jumlahnya 94,7 persen. Pemberian uang jemputan sebelum akad nikah jumlahnya relatif kecil yakni 5,3 persen. Adanya pemberian uang jemputan sebelum akad nikah, disebabkan oleh pemaknaan yang sama terhadap konsep uang jemputan dan uang hilang. Ini terjadi oleh kebiasaan dari masyarakat setempat (kota) yang tidak lagi memakai uang jemputan dalam arti yang 101 sebenarnya. Konsep uang jemputan yang diidentikkan dengan uang hilang menyebabkan pemaknaan responden untuk pemberian uang jemputan pada pelaksanaan tradisi bajapuik seperti yang terlihat pada tabel di atas. Secara lebih spesifik 1,1 persen pandangan yang sama itu berasal dari laki-laki dan 3,6 persen dari perempuan. Dari perbandingan itu, dapat dikatakan laki-laki lebih memahami tentang tradisi bajapuik jika dibandingkan perempuan. Selanjutnya pemberian uang jemputan dilakukan di rumah pihak keluarga laki-laki. Adapun aktor yang melakukan pemberian dan penerimaan adalah ninik mamak dari keluarga kedua belah pihak yang hadiri oleh keluarga masing-masing seperti; mamak, kakak, mande 8, isteri dari mamak (orang sumando) dan ninik mamak. Bersamaan dengan pemberian uang jemputan diserahkan pula persyaratan adat lainnya seperti uang hilang dan kampia sirih. 5.3.2. Uang Hilang Uang hilang adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan tidak kembali lagi. Uang hilang yang diberikan itu dapat dipergunakan sepenuhnya di rumah pihak keluarga laki-laki. Dalam praktek tradisi bajapuik, uang hilang berwujud uang. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 19. Tabel 19. Wujud Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori Uang Emas Benda Lain Total Generasi Muda Laki-laki Pempuan 55 (91,7) 1 (1,7) 4 (6.6) 60 (100) 48 (80,0) 6 (10,0) 6 (10,0) 60 (100) Generasi Menengah Laki-laki Perempuan 57 (95,0) 0 (0) 3 (5,0) 60 (100) 53 (88,3) 2 (3.4) 5 (8,3) 60 (100) Generasi Tua Laki-laki Perempuan 59 (98,3) 1 (1,7) 0 (0) 60 (100) 58 (96,7) 2 (3,3) 0 (0) 60 (100) Total 330 (91,7) 12 (3,3) 18 (5,0) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Dari tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (91,7 persen) wujud uang hilang berupa uang. Kemudian ada sekitar 8,3 persen, wujud uang hilang berupa emas dan benda lainnya. Adanya anggapan mengenai wujud uang hilang berupa emas atau benda lain disebabkan oleh pemahaman yang sama antara uang hilang dengan uang jemputan. Anggapan itu pada umumnya berasal dari generasi muda 8 Saudara perempuan dari ibu, yang dilihat dari sisi mempelai perempuan (anak daro). 102 dan generasi menengah (pelaku), yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian secara spesifik 2,2 persen dari laki-laki dan 5,5 persen dari perempuan. Dengan demikian tingkat pemahaman nilai adat tradisi bajapuik pada jenis kelamin lakilaki lebih tinggi di bandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Nama lain dari uang hilang adalah uang dapur. Uang dapur diartikan adalah untuk membeli kebutuhan dapur. Pada awalnya pembelian kebutuhan dapur yang dimaksud adalah mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan ketika mempelai perempuan datang ke rumah mempelai laki-laki untuk bertamu secara adat atau disebut dengan menjalang. Sekarang penggunaan uang hilang menjadi bertambah, seperti yang jelaskan oleh informan K (46 tahun) berikut ini: Saat ini uang hilang digunakan untuk pelaksanaan pesta dan sekaligus menyambut anak daro ketika datang menjalang. Selain itu uang hilang diambil sebagian untuk menambah paragiahjalang. Bahkan kadang uang hilang juga digunakan untuk membeli kebutuhan marapulai seperti membeli sepatu, pakaian atau sebagian diberikan kepada marapulai untuk bekal/modal awal berumah tangga. Dari penuturan informan diatas terlihat, bahwa uang hilang digunakan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. Adanya macam-macam kegunaan uang hilang diatas menunjukan, konsep uang hilang dalam tradisi bajapuik, tidak benar-benar hilang. Tetapi terdapat pendistribusian uang tersebut kepada pos-pos lain, seperti disebutkan di atas dalam tradisi bajapuik. Meskipun demikian, pada kasus-kasus tertentu, kemungkinan uang hilang benar-benar hilang tetap ada, seperti dikatakan oleh informan SM, 72 tahun. Uang hilang atau disebut uang japuik disini (Kota Pariaman) tidak dibunyikan dan sudah ada kesepakatan dibelakang saja, karena takut dicemoohkan bahwa anaknya dijual. Jika orang punya malu tentu ada basabasinya kepada keluarga pihak perempuan, terutama untuk anak daro. Sebodoh-bodohny a orang, dua emas barang akan dibelikan dan diberikan kepada anak daro. Tetapi di sini (kota Pariaman) kecenderunganya lain, tidak mau mengembalikan agak sedikitpun. Di satu sisi dia malu disebutsebut oleh orang banyak, tetapi meminta uang japuik dilakukannya juga. Akhirnya di muka umum tidak terlihat kewajibannya keluarga pihak laki-laki untuk memberikan sesuatu kepada anak daro dalam pelaksanaan perkawinan 103 itu. Disinilah banyak orang tua yang tidak mengerti dan tidak memahami tradisi ini. Penuturan informan di atas menggambarkan uang hilang yang benar-benar hilang, kecenderungannya ada di daerah kota. Meskipun itu ada, fenomena itu merupakan kasuistik saja dan tidak dapat digeneralisasi sebagai karakteristik dari tradisi bajapuik. Kasus ini terutama terjadi pada keluarga-keluarga yang tidak memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik. Padahal di dalam uang hilang mengandung makna esktrinsik dan instrinsik seperti yang dijelaskan oleh IM (80 tahun) berikut ini; Untuk jaman kini penghargaan kepada seorang laki-laki yang diterima sebagai menantu terletak pada uang hilang. Karena dengan uang hilang, berarti laki-laki itu mempunyai harga diri dan tidak sebagai orang yang kurang. Dari situ juga menggambarkan keturunan yang jelas dari lakilaki. Dan yang lebih nyata sekali adalah menunjukan status sosial dari seorang laki-laki, apakah dia orang berpangkat atau tidak. Karena itu akan menentukan besar-kecilnya jumlah uang hilang. Fakta tersebut mendukung proposisi nilai di mana makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu (Homans dalam Ritzer dan Goodman, 2004). Kapan dan siapa yang menentukan uang hilang? Kemudian untuk penentuan jumlah uang hilang secara resmi, ditetapkan pada saat pertunangan (tukar cincin) oleh ninik mamak keluarga kedua belah pihak. Penentuan ini bersamaan dengan penetapan uang jemputan. Pada kesempatan yang sama, juga dibicarakan persyaratan lain seperti kampia sirih yang harus dibawa oleh keluarga pihak perempuan untuk penjemputan marapulai pada saat akan melangsungkan pernikahan. Penentuan uang hilang (uang hilang) oleh ninik mamak ini adalah sebagai formalitas saja, karena jauh sebelum penetapan ini, kedua belah pihak terutama orang tua bertemu dan membicarakan mengenai jumlah uang hilang (uang japuik). Tepatnya pada saat merasek atau merasok. Pada saat ini aktor yang terlibat dalam penentuan uang hilang antara lain; orang tua dan mamak. Pembicaraan mengenai penentuan uang hilang dapat terjadi 2 sampai 3 kali pertemuan. Ini terjadi apabila keluarga kedua belah pihak belum sepakat 104 mengenai jumlah uang hilang. Mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam penentuan uang hilang ini dapat dilihat pada tabel 20 berikut ini: Tabel 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori Orang Tua Calon Mempelai Mamak Total Generasi Muda Laki-laki Pempuan 52 (86,7) 1 (1,7) 7 (11,6) 60 (100) 48 (80,0) 3 (5,0) 9 (15,0) 60 (100) Generasi Menengah Laki-laki Perempuan 54 (90,0) 2 (3,3) 4 (6,7) 60 (100) 55 (91,7 0 (0) 5 (8,3) 60 (100) Generasi Tua Laki-laki Perempuan 56 (93,3) 0 (0) 4 (6,7) 60 (100) 58 (96,7) 0 (0) 2 (3,3) 60 (100) Total 323 (89,7) 6 (1,7) 31 (8,6) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Meskipun ada tiga macam golongan orang yang ikut menentukan jumlah uang hilang, namun keputusan akhir tetap berada di tangan orang tua. Orang tua dalam hal lebih mempunyai wewenang dalam penentuan uang hilang. Dari ketiga golongan tersebut orang tua menduduki peringkat teratas yakni sebesar 89,7 persen. Kemudian baru diikuti oleh mamak dan calon pengantin yang masingmasingnya 8,6 persen dan 1,7 persen, seperti yang tergambar dalam tabel di atas. Sementara itu untuk pemberian uang hilang, ada tiga pilihan waktu yang dapat dilakukan oleh pihak perempuan, seperti terlihat pada tabel 21 berikut ini. Tabel 21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori 1-6 bulan Sebelum Akad Nikah Saat Akad Nikah Sesudah Pesta Total Generasi Muda Laki-laki Pempuan Generasi Menengah Laki-laki Perempuan Generasi Tua Laki-laki Perempuan Total 3 (5,0) 2 (3,4) 0 (0) 3 (5,0) 2 (3,4) 1 (1,7) 11 (3,1) 56 (93,3) 1 (1,7) 60 (100) 56 (93,3) 2 (3,3) 60 (100) 55 (91,7) 5 (8,3) 60 (100) 55 (91,7) 2 (3,3) 60 (100) 58 (96,7) 0 (0) 60 (100) 59 (98,3) 0 (0) 60 (100) 339 (94,2) 10 (2,7) 360 (100) Sumber Data Primer 2008 Secara umum, pemberian uang hilang dilakukan pada saat akad nikah yakni 94,2 persen. Pemberian uang hilang pada waktu yang lain seperti; sebelum dan sesudah pesta dipandang masyarakat mempunyai sisi positif dan negatif Pemberian uang hilang lebih awal dapat membantu pihak keluarga laki-laki terdapat 3,1 persen. Pemberian uang hilang pada awal adalah atas dasar permintaan keluarga pihak laki-laki dengan tujuan untuk mempersiapkan segala 105 sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan seperti memperbaiki rumah. Namun dilain pihak, kemungkinan terjadinya kemungkiran dipihak lakilaki besar pula terjadi. Begitu juga dengan pemberian uang hilang setelah akad nikah terdapat 2,7 persen. Waktu pemberian uang hilang ini jarang terjadi dan biasanya atas permintaan keluarga pihak perempuan. Kondisi ini terpaksa dilakukan karena kondisi yang sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain bagi keluarga pihak perempuan untuk memenuhi uang hilang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kemampuan ekonomi yang kurang, baik dari keluarga batih (nuclear family) maupun keluarga besar (extended family) serta kurangnya sarana menyentuh kehidupan masyarakat dan ketakutan berhubungan dengan lembaga ekonomi menyebabkan keluarga pihak perempuan mengambil tindakan itu. Sisi negatif dari pemberian uang hilang setelah pesta dilaksanakan, ada kemungkinan pihak perempuan menghindari pemberian uang hilang dengan dalih bermacam-macam. Dengan pernikahan yang telah dilaksanakan, berarti calon mempelai laki-laki sudah syah menjadi suami anak perempuannya. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum akad nikah dibuat kesepakatan yang dihadiri oleh orang tua dan ninik mamak kedua belah pihak. Apabila terjadi kemungkiran salah satu di antara mereka akan mendapat sanksi adat. Sanksi yang biasa dikenakan kepada yang melangggar adalah mengganti satu kali sampai dua kali lipat kerugian yang yang dialami oleh masing-masing pihak yang dirugikan dan penetapan sanksi itu diutarakan pada saat tukar cincin (pertunangan). Untuk pemberian uang hilang ini, aktor yang terlibat adalah keluarga luas (extended family), dari pihak ibu dan tetangga terdekat dibawah satu komando yakni ninik mamak. Pada saat itu, ninik mamak kedua belah pihak berperan dalam rangka memberi dan menerima uang hilang, disamping yang lain turut menyaksikan dan sekaligus mensyahkan persyaratan yang telah ditetapkan. Meskipun terdapat tiga macam waktu pemberian uang hilang dalam tradisi bajapuik, namun saat ini kecenderungan uang hilang hanya diberikan pada saat pernikahan akan dilangsungkan. Kemudahan yang diperoleh masyarakat untuk mendapat peminjaman di bank dan pengetahuan luas mengenai sarana ekonomi, memperkecil peluang keluarga pihak perempuan untuk mengulur waktu pemberian uang hilang. Kondisi ini jarang sekali terjadi, karena jauh hari sebelum 106 pernikahan dilaksanakan pihak keluarga perempuan, telah mempersiapkan dana untuk pelaksanaan perkawinan nanti, selain bantuan (partisipasi) dari keluarga luas (extended family) tetap ada dalam tradisi bajapuik. Menelusuri sejarah uang hilang sampai saat ini, merupakan suatu rangkaian cerita dari mulut ke mulut. Walaupun lukisan cerita itu sangat terang dan mudah dipahami, namun sangat susah dijadikan sebagai tonggak sejarah dan masih diragukan kebenarannya mengenai munculnya uang hilang. Makin jauh, menyelami pendapat masyarakat, maka semakin banyak diperoleh informasi tentang penyebab munculnya uang hilang. Adapun penyebab munculnya uang hilang dalam tradisi bajapuik antara lain: Pertama, uang hilang muncul sebagai kompensasi atau imbalan sesuatu masalah. Dimana adanya suatu keluarga yang mempunyai anak gadis yang telah “rusak” (tidak gadis lagi). Masalah ini sudah menjadi rahasia umum, di mana untuk mencarikan jodoh bagi anak gadis tersebut tentu saja akan mengalami kesulitan. Kondisi anak gadis seperti ini dianggap hina dan tidak ada laki-laki yang mau untuk mempersuntingnya. Jalan keluar yang ditempuh oleh orang tuanya adalah mencarikan seorang laki-laki yang mau mempersunting anaknya tersebut. Sebagai imbalan dari kesedian dari laki-laki itu diberilah uang oleh pihak keluarga yang perempuan. Uang inilah yang semula disebut dengan uang hilang. Kedua, sebagai balas jasa langsung. Bagi orang tua, tentu mempunyai harapan kepada anaknya nanti setelah dewasa. Untuk itu anaknya disekolahkan mulai dari SD sampai ke Perguruan Tinggi, dengan maksud setelah menamatkan pendidikan itu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apakah akan menjadi pegawai negeri, pegawai swasta ataupun berwiraswasta. Orang tua mengharapkan penghasilan sianak itu nanti dapat membantu kehidupannya kelak dan juga dapat membantu menyekolahkan adik-adiknya. Untuk mendukung keberhasilan si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mengorbankan apa saja untuk biaya sekolahnya. Tapi baru saja anak mulai berkerja atau diujung pendidikannya, sudah ada saja keluarga yang mempunyai anak gadis untuk meminangnya atau meminta sianak untuk dijadikan menantu. Pada kondisi ini, orang tua dihadapkan kepada dua pilihan. Di satu sisi orang tua menyadari, bahwa sudah menjadi kodratnya manusia di mana seorang gadis apabila telah 107 menginjak dewasa tentu akan bersuami dan jejaka akan beristeri. Namun di sisi yang lain, jika anak sudah mempunyai isteri sudah pasti akan mempunyai tanggungjawab kepada keluarganya (anak dan isteri). Bantuan kepada orang tua dan adik-adiknya sudah barang tentu akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Sering terjadi, apabila anak sudah beristeri, sianak lupa akan kewajibanya kepada orang tua dan adik-adiknya. Inilah yang mencemaskan bagi sebagian orang tua di Pariaman. Dari sini muncul hasrat orang tua untuk meminta uang hilang sebagai balas jasa selama membesarkan sianak mulai dari kecil hingga menjadi orang. Apalagi jika si anak itu baik sikapnya dan mempunyai kedudukan yang baik pula, banyak orang tua yang mempunyai anak gadis untuk meminangnya dan dijadikan menantu. Maka disinilah berlaku prinsip ekonomi, kalau permintaan banyak, maka harga akan tinggi dan bila permintaan sedikit, maka harga menjadi rendah. Atas dasar inilah uang hilang menjadi berjuta-juta. Ketiga, karena kekayaan yang dimiliki oleh pihak perempuan, atau dengan istilah “dek ameh kameh, dek padi menjadi”, artinya dengan uang bisa didapatkan apa saja, termasuk untuk mendapatkan menantu. Suatu keluarga yang mempunyai anak gadis dan mampu secara ekonomi, sudah barang tentu berkeinginan untuk mendapatkan menantu yang terpandang seperti kedudukan, pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang tetap atau pedagang besar, walaupun anak gadisnya tidak cantik dan berpendidikan tinggi. Dengan uang atau kemampuan ekonomi yang dimilikinya dapat menawarkan uang yang cukup banyak kepada pria yang dituju asalkan mau diterima menjadi menantu. Uang inilah yang disebut dengan uang hilang. Keempat, sebagai kebanggaan kedua keluarga, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan sama-sama mempunyai kemampuan dalam bidang ekonomi. Untuk menunjuk kepada masyarakat banyak, maka keluarga itu memberi uang hilang. Kelima, latah atau Ikut-ikutan. Oleh karena banyak masyarakat yang melaksanakan uang hilang, baik oleh karena mengharapkan balas jasa, pamer moral dan lain-lain maka hampir semua masyarakat dalam daerah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman melaksanakan uang hilang dalam rangkain acara perkawinan. 108 Dari kelima penyebab di atas tidak satupun yang menyertai dengan tahun munculnya uang hilang, sehingga itu berimplikasi pada sulitnya menentukan tongggak sejarah munculnya uang hilang itu sendiri. Namun demikian, dari sejarah tentang Pariaman tempo dulu yang di tulis oleh Zakaria (1932) 9, diperoleh informasi setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1929 tradisi bajapuik mengalami perubahan. Pada masa itu, orang yang yang bergelar seperti Sidi, Bagindo dan Sutan di jemput dengan sesukanya oleh orang yang datang. Bagi laki-laki yang mempunyai usaha sendiri seperti berniaga atau guru agama besarnya uang hilangnya sekurang-kurangnya f 30 sampai f 300. Kemudian uang hilang ini akan semakin bertambah jumlahnya, apabila seorang laki-laki tersebut mempunyai pangkat yang tinggi dan mempunyai gaji yang besar. Dengan kondisi itu, maka dapat dikatakan uang hilang sudah ada semejak tahun 1929. 5.3.3. Uang Tungkatan Selain uang-uang di atas, uang yang lain yang terdapat dalam tradisi bajapuik adalah uang tungkatan. Uang tungkatan adalah uang diberikan kepada kepalo mudo atau capiang marapulai. Bagi pihak keluarga laki-laki, uang ini sebagai tembusan dari benda-benda tungkatan yang dibawa oleh pihak keluarga perempuan sebagai persyaratan untuk menjemput mempelai laki-laki untuk melakukan pernikahan dan diminta kembali untuk dibawa pulang ke rumah pihak keluarga perempuan. Ringkasnya uang tungkatan adalah uang tebusan dari bendabenda tungkatan. Jumlah uang tungkatan ditentukan oleh kepalo mudo dan diberikan pada saat itu juga oleh pihak keluarga perempuan 10. Jumlah uang tungkatan itu berkisar antara Rp 150.000 - 200.000. Uang tungkatan yang diberikan itu dapat dipahami sebagai uang lelah atau belaian kepada kapalo mudo/tuo marapulai atas luangan waktunya untuk mendampingi mempelai laki-laki pada saat melangsungkan 9 Di tulis ulang oleh Anas Navis (1992) dalam salin naskah tentang Riwayat Kota Pariaman. Namun sebutan untuk uang hilang, disebut dengan uang jemputan. Jika kembali kepada konsep awal dari uang jemputan dan uang hilang mempunyai perbedaan. Uang jemputan berupa bendabenda ekonomis; seperti emas, kendaraan atau rumah dan uang hilang berupa uang. Atas dasar itu penyebutan untuk uang jemputan di atas dianggap keliru dan yang benarnya adalah uang hilang. Sehingga dapatlahlah dikatakan yang dimaksudnya oleh pengarang adalah uang hilang. 10 Pemberian uang tungkatan dari pihak keluarga perempuan diwakili oleh mamak. 109 pernikahan dan berguna untuk membeli rokok atau minuman bagi ketua marapulai. Pada awalnya pihak keluarga perempuan hanya menyediakan benda-benda tungkatan. Jumlah benda-benda tungkatan yang dibawa oleh keluarga pihak perempuan tergantung pada tinggi rendahnya martabat kaum tersebut—apakah berasal dari golongan bangsawan (keturunan raja), penghulu dan biasa. Jika lakilaki berasal dari keturunan raja, maka jumlah benda tungkatannya tujuh, terdiri dari tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah, payung, pedang dan tongkat. Laki-laki yang berasal dari keturunan penghulu, jumlah tungkatan lima, tediri dari tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah dan payung. Terakhir, laki-laki yang berasal dari golongan biasa, maka jumlah benda tungkatan tiga terdiri dari emas, suaso dan perak, atau yang disebut dengan cincin tigo bantuak (tiga bentuk). Dengan demikian banyak-sedikitnya jumlah benda tungkatan menunjukan status sosial seorang laki-laki. Tetapi yang terjadi saat ini, jumlah tungkatan yang lazim dibawa oleh keluarga pihak perempuan adalah tungkatan tiga yang terdiri dari tiga macam bentuk cincin yang diikat kain kuning dan tungkatan lima dan tujuh nyaris tidak/jarang dilakukan dalam pelaksanaan perkawinan. Bagi pihak keluarga laki-laki, semua benda-benda tungkatan itu pada awalnya berfungsi sebagai pelindung atau menjaga diri calon mempelai laki-laki (marapulai) dari bahaya yang akan mengancam ditengah jalan. Karena dahulu pernikahan dilakukan pada malam hari. Sekarang semua benda-benda tungkatan itu hanya sebagai simbol yang mencirikan seseorang laki-laki berasal dari keturunan yang jelas (Pariaman), apalagi pernikahan pada dekade terakhir ini pada umumnya di laksanakan pada siang hari (Wawancara, tanggal 8 Agustus 2008). Selain benda-benda tungkatan itu, pihak keluarga perempuan juga diharuskan membawa kampia sirih, yang terdiri daun sirih, gambir, pinang, tembakau dan sadah (kapur) atau yang disebut dengan salapah. Salapah ini merupakan ketentuan adat yang harus dipenuhi dalam setiap perkawinan di Minangkabau dan berlaku dari dulu hingga saat ini. Bagi pihak keluarga laki-laki salapah pada awalnya digunakan untuk mengetahui perawan atau tidaknya penganten perempuan. Oleh sebab itu yang menerima kampia sirih dan salapah adalah kapalo mudo/tuo marapulai. Kapalo mudo/tuo marapulai inilah yang akan 110 menerima dan menilai salapah itu. Biasanya dalam penerimaan salapah, kapalo mudo memeriksa satu persatu dan disaksikan keluarga kedua belah pihak. Jika terjadi suatu keganjilan, maka wewenang kapalo mudo untuk menyampaikan kepada ninik mamak dari calon pengantin laki-laki dan untuk diteruskan kepada ninik mamak dari calon pengantin perempuan. Untuk selanjutnya ninik mamak inilah yang akan membuat perhitungan atau konsensus baru. Dari benda-benda salapah ini, perkawinan dapat menjadi batal atau dibuat perhitungan baru lagi mengenai uang hilang. Jika dibuat perhitungan baru, biasa jumlah uang hilang yang diminta kepada pihak keluarga perempuan dinaikan 50 persen sampai 100 persen. Meskipun saat ini fungsinya hanya sebagai syarat adat saja dalam pelaksanaan perkawinan. 5.3.4. Uang Selo Uang selo merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam uang yang yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Uang selo adalah uang berasal dari keluarga pihak perempuan dan diberikan kepada ninik mamak dari pihak laki-laki yang hadir pada saat pertunangan (tukar cincin). Oleh sebab itu uang selo ini disebut juga dengan uang ninik mamak. Seperti dengan uang lain dalam tradisi bajapuik, jumlah uang selo tidak mempunyai standar yang tetap. Ada kecenderungan jumlah bervariasi sesuai permintaan ninik mamak dari pihak laki-laki. Permintaan besar kecilnya uang selo, selain didasarkan kepada banyaknya jumlah ninik mamak yang datang menghadiri, juga dengan melihat kondisi ekonomi orang yang datang (pihak perempuan). Jumlah uang selo yang berlaku sekarang berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 700.000 (1 emas). Pada kasus-kasus tertentu terdapat pula jumlah uang selo hingga 1 juta. Ini merupakan jumlah yang relatif besar untuk ukuran uang selo. Tetapi untuk sebagian masyarakat tidak menjadi persoalan, karena uang itu akan dibagi-bagi pula untuk sejumlah orang dan ninik mamak yang hadir pada acara tersebut, sehingga masing-masing bisa mendapat bagian antara Rp 25.000 sampai Rp 75.000. Besar-kecilnya pembagian uang tungkatan didasarkan pula pada peran serta dan kedudukannya dalam masyarakat. Dengan berpedoman kepada jumlah uang selo yang bervariasi itu, salah satu nagari di Kabupaten Padang Pariaman membuat Perna (Peraturan Nagari) 111 tentang uang selo. Tujuannya agar jumlah uang selo lebih tertip dan tidak berlebihan. Peraturan tentang uang selo pertama kali dibuat oleh Kenagarian Pilubang Kecamatan Sungai Limau. Karena dipandang gagasan itu baik oleh nagari lain, maka hampir 50 persen dari jumlah kenagarian yang ada di lingkungan Kabupaten Padang Pariaman menerapkan Perna tersebut dalam pelaksanaan perkawinan (Wawancara, AM 65 tahun). Sementara itu nagari-nagari yang tidak mempunyai Perna mengenai uang selo, maka jumlah uang selo ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak. Pada dasarnya, adanya uang selo ini dalam tradisi bajapuik, tidak menjadi beban, seperti uang hilang yang dirasakan oleh sebagian masyarakat saat ini. Ketika uang selo di minta oleh pihak keluarga laki-laki sebagai sebuah persyaratan yang harus dipenuhi, biasanya pihak keluarga perempuan menerima dan memenuhi permintaan uang selo ini. Jarang sekali terjadi penawaran dalam penetapan jumlah uang selo dari pihak perempuan, karena jumlah yang relatif kecil dan masih terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Tujuan uang selo sebagai wujud perhatian kepada ninik mamak yang telah meluangkan waktunya dalam pelaksanaan pertunangan. Mereka telah meninggalkan pekerjaan untuk beberapa saat dan bahkan kadang-kadang sampai satu hari, sehingga pada hari itu mereka tidak mempunyai penghasilan yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai pengganti waktunya untuk berusaha itu, maka diberilah uang selo. Uang itu bagi ninik mamak digunakan untuk membeli rokok dan minuman atau memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Alasan ini secara rasional dapat diterima, karena seharian waktunya dihabiskan untuk menghadiri salah satu bagian dari prosesi perkawinan. Apalagi kehidupan di desa pada umumnya di bidang pertanian. Artinya dalam hal ini, jika tidak berusaha maka mereka tidak akan mendapat uang. Sementara mereka harus menghidupi anak dan keluarganya. Jadi wajar ninik mamak diberi sedikit uang jasa untuk membeli kebutuhan hidupanya pada hari itu. Uang selo hanya diberikan kepada ninik mamak pihak laki-laki dan tidak kepada ninik mamak dari pihak perempuan. Pertimbangan karena sesuai dengan adat Minangkabau yang berlaku umum dan tidak terkecuali di Pariaman, bahwa dalam adat perkawinan, pihak perempuan adalah orang yang datang. Sebagai 112 orang datang dipahami, sebagai orang yang mempunyai kepentingan 11 dalam hal ini. Oleh sebab itu sebagai orang yang mempunyai kepentingan tidak salah untuk sedikit berkorban untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Atas dasar itu sewajarnyalah pihak perempuan memberi uang selo kepada ninik mamak untuk pihak laki-laki. Tanpa kehadiran ninik mamak pada acara tersebut, pertunangan tidak akan berjalan sebagaimana mesti. Maka dari itu peran ninik mamak sangat diperlukan pada saat pertunangan ini, sebagai orang yang mengetahui tentang adat-istiadat. Untuk Penentuan uang selo, jauh hari sebelum tukar cincin, telah di bicarakan oleh keluarga kedua belah pihak. Tepatnya pada tata cara meresek telah dibuat kerangkanya mengenai bentuk bentuk uang yang harus disediakan oleh pihak perempuan. Ketika waktu tiba, keluarga pihak perempuan hanya menjalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Penentuan uang selo dilakukan di rumah pihak laki-laki, karena dalam adat perkawinan yang berlaku umum pihak perempuan yang datang ke rumah calon pengantin laki-laki, maka pada itu uang selo juga ditentukan disana. Pada saat penentuan uang selo, dipihak keluarga perempuan selain dihadiri oleh orang tua, dan saudara yang terdekat, juga didampingi pula oleh salah seorang mamak. Begitu juga sebaliknya dari pihak laki-laki telah menunggu pula orang yang sama. Pada pertemuan antar keluarga inilah uang selo dibicarakan. Dalam pertemuan itu juga dibicarakan hal-hal lain yang menyangkut persyaratan yang harus di penuhi oleh pihak perempuan seperti uang jemputan dan uang hilang dan uang tungkatan. Untuk pemberian uang selo dilakukan pada saat tukar cincin atau pertunangan. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak perempuan kepada ninik mamak pihak penganten laki-laki. Penyerahan berlangsung di rumah calon pengantin laki-laki yang dihadiri oleh oleh ninik mamak, orang tua serta kerabat dari calon pengantin laki-laki. 11 Untuk menikahkan anak perempuannya, karena dalam adat Minangkabau perempuan yang telah cukup umur menjadi beban keluarga dan kaum. Oleh sebab itu tidak salahnya juga pihak perempuan berkorban materi, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar yakni menantu. 113 Munculnya uang selo dalam tradisi bajapuik tidak banyak diketahui, karena tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat menjelaskannya. Meskipun demikian dari pengalaman (life histori) dari informan penelitian dan sekaligus sebagai pelaku perkawinan yang tergolong berusia lanjut, yakni antara 69 sampai 80 tahun, tidak semuanya memakai uang selo dalam pelaksanaan perkawinannya. Hanya 4 orang di antaranya yang melaksana uang selo dalam perkawinannya. Rata-rata usia perkawinannya antara 30-45 tahun. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa uang selo muncul setelah adanya uang jemputan. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Perkiraan Muncul Uang Selo Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 No Kode Informan 1 AG 2 F 3 SM 4 IM 5 S 6 ML 7 AZ 8 B 9 B 10 TM 11 UA 12 MR 13 M 14 A Sumber : Data Primer 2008 Umur 70 69 72 80 74 80 65 73 73 66 80 75 70 78 Tahun Menikah 1964 1962 1962 1954 1965 1960 1970 1958 1960 1968 1953 1960 1963 1955 Pakai Uang selo − − − − √ − √ − − √ − − √ − Kemudian prakteknya uang selo lebih marak dilakukan sekitar tahun 1970-an. Penyebab munculnya uang selo lebih dikarenakan oleh semakin berkurangnya kadar sosial masyarakat, seperti yang diungkap oleh informan A (78 tahun) berikut ini. Ninik mamak yang duduk pada acara tukar cincin itu, meninggalkan usahanya. Semestinya dia mendapat uang dari usahanya itu, tetapi dengan mengikuti acara tersebut mereka tidak memperolehnya. Jadi sebagai penggantinya diberilah uang dari uang selo ini. Selain itu sosial orang kini sudah mulai kurang, yang disebabkan oleh ekonomi yang semakin sulit. Orang semakin banyak, namun pekerjaan tidak kunjung didapat. Untuk itu, tentu orang akan lebih utama memikirkan diri dan keluarganya terlebih dahulu dari pada orang lain. Maka suatu yang wajar, 114 jika mereka diberi uang penganti dari mata pencaharian yang tinggalnya pada saat itu. Dengan demikian faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya pada kehidupan masyarakat, dan tidak terkecuali dalam pelaksanaan perkawinan. Begitu kuatnya pengaruh ekonomi ini telah terbukt ikan jauh hari sebelum itu. Dengan mengacu pada kajian sejarah mengenai adat perkawinan Pariaman tempo dulu yang dikarang oleh Said Zakaria (1932) dan ditulis ulang oleh Anas Navis (1992), baik secara intrinsik dan ekstrinsik tidak ada membahas tentang uang selo. Atas dasar itu, semakin menguatkan informasi sebelumnya. 5.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa pertukaran awal dalam tradisi bajapuik adalah gelar kebangsawanan, ketika itu penduduk belum banyak, hasil harta pusaka seperti sawah dan ladang masih memadai untuk menghidupi anggota keluarga. Bahkan dapat dikatakan kehidupan masyarakat relatif tradisional, dimana mata pencaharian masih homogen yakni di bidang pertanian, dan tanah relatif luas untuk digarap. LKAAM (1987) dalam buku menyebutkan bahwa seorang laki-laki diterima sebagai menantu adalah untuk menyambung keturunan dan suami bagi anak perempuan, sementara itu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan. Ini bukan berarti pihak suami tidak bertanggung jawab melainkan hasil harta pusaka seperti sawah dan ladang memadai karena penduduk belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga untuk menerima seorang laki-laki tidak perlu mempertimbangkan pekerjaan/pendapatan yang di miliki. Gambaran tentang kriteria laki-laki yang demikian dalam perkembangan selanjutnya tradisi bajapuik tidak mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Azwar (2001), gelar kebangsawanan ini tidak mendatangkan kesejahteraan bagi keluarga yang akan dibina. Begitu juga ketika wawancara di lapangan dengan sejumlah informan serta tokoh masyarakat, terungkap; saat ini yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah status sosial ekonomi (prestasi) atau kedudukan seorang laki-laki pada instansi atau lembaga 115 tertentu. Oleh sebab itu pekerjaan dan pendapatan menjadi perioritas utama untuk menerima seseorang sebagai menantu. Pilihan masyarakat pada status sosial ekonomi seperti uraian di atas dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari perkembangan masyarakat, khusus faktor ekonomi seperti yang diungkapkan oleh informan B (73) berikut ini. Itu merupakan suatu yang logis terjadi dalam masyarakat. Masyarakat tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya mengandalkan gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan yang akan digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang semuanya itu sudah berubah. Jadi perubahan yang terjadi pada tradisi bajapuik khususnya dari gelar kebangsawanan kepada gelar status sosial karena seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Selanjutnya AZ (65 tahun) mengatakan: Pergeseran itu terjadi karena kebutuhan ekonomi yang sulit dan orang tidak mungkin lagi berfikir kestatus sosial yang tidak menghasilkan uang. Apalagi jika ditinjau dari adat Minangkabau, uang japuik itu termasuk kedalam adat nan diadatkan. Dengan demikian ada faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi dasar dan bentuk-bentuk pertukaran dalam tradisi bajapuik. Namun kedua tetap bermuara pada faktor ekonomi. Faktor internal berupa desakan dari dalam masyarakat sendiri berupa pertambahan penduduk, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat dan keterlibatan mamak dalam kehidupan keluarga besarnya. Begitu juga dengan faktor ekternal, ditunjukan oleh kajian sejarah dalam perkawinan adat Pariaman tempo dulu yang dikarang oleh Said Zakaria tahun 1932 dan ditulis ulang oleh Anas Navis (1992), dimana pengaruh ekonomi global secara tidak langsung ikut pula berpengaruh pada kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya berimplementasi kepada mata pencarian penduduk yang semakin terbatas. Kondisi seperti itu memungkinkan seseorang untuk lebih berfikir secara rasional dan memutuskan sesuatu tentang hidupnya yang sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Dijadikan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan sebagai 116 pertimbangan umum dari status sosial dan pekerjaan secara lebih spesifik yang menjadi pertimbangan saat ini sebagai pertukaran dalam tradisi bajapuik merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh terhadap kehidupan calon pengantin nantinya dalam mengarungi kehidupan rumahtangga. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan peralihan dari status gelar kebangsawanan kepada gelar status sosial adalah akibat dari pengaruh faktor ekonomi. Kemudian secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat terutama pendidikan, dan pertumbuhan penduduk. 5.5. Ringkasan Bab Bab lima terbagi atas tiga sub bab. Sub bab pertama menjelaskan nilai yang mendasari tradisi bajapuik; kedua dasar pertukaran dan ketiga bentuk-bentuk pertukaran. Adapun nilai yang mendorong individu untuk melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik disebabkan oleh faktor nilai budaya (orientasi nilai budaya), yang terkait dengan sistem materilineal. Adapun nilai budaya itu adalah “anak perempuan yang telah cukup umur menjadi malu keluarga dan kaum, meskipun saat ini telah dipersempit skopnya menjadi malu keluarga besar (extended family)”. Nilai inilah yang masih tertanam kuat dalam masyarakat Pariaman khususnya pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan menantu atau suami bagi anak perempuan. Meskipun dasar pertukaran dan bentuk pertukaran telah berubah, namun tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap dilaksanakan. Kedua, dasar pertukaran. Dalam sejarah perjalanan tradisi bajapuik terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika pada awalnya diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) saat ini berubah menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu disebabkan oleh faktor ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan menyempitnya lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan modernisasi secara tidak langsung turut pula dalam perubahan itu. Ketiga, bentuk-bentuk pertukaran. Terdapat berbagai macam bentuk pertukaran yang merupakan sebagai implikasi dari dasar pertukaran yang berubah. Perubahan pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada status sosial ekonomi khusus pekerjaan yang jelas yang di miliki oleh seorang laki-laki 117 berimplikasi kepada bentuk pertukaran yang pada awalnya hanya berupa uang jemputan, kemudia berkembang menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Sebagai gambaran perubahan pertukaran itu dapat dilihat pada tabel 23 berikut ini. Tabel 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 No 1 MacamMacam Uang Uang Jemputan Definisi Konsep Tujuan Makna Waktu Penentuan Pemberian Kembali Orang tua laki-laki Pemberian orang tua kepada anak perempuan atau menantu nya Tukar Cincin Saat Akad Nikah 2 Uang Hilang Tidak kembali Orang tua Laki-laki Bantuan kepada orang tua lakilaki Tukar Cincin Saat Akad Nikah 3 Uang Selo Tidak kembali Ninik Mamak Perhatian kepada ninik mamak laki-laki Meresek Tukar Cincin 4 Uang Tungkatan Tidak kembali Kepalo Mudo Perhatian pada Kepalo Mudo Setelah pernikah-an Saat marapulai pulang ke rumah orang tua setelah pernikah-an dilakukan Sumber : Data Primer 2008 Tabel di atas menunjukan, ada empat macam bentuk-bentuk pertukaran yang terdapat pada tradisi bajapuik. Munculnya bentuk-bentuk pertukaran itu seiring dengan perubahan pada dasar pertukaran; dari status gelar kebangsawanan/keturunan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) tidak sama seiringan dengan perubahan nilai pertukaran menjadi prestasi (achievement), akibat faktor ekonomi. BAB VI PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI BAJAPUIK Pada hakekatnya pertukaran sosial sebagai suatu transaksi ekonomi karena orang berhubungan didasarkan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu itu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain pertukaran yang terjadi dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan. Imbalan merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan. Jadi perilaku sosial berdasarkan perhitungan untung-rugi. Menurut terminologi Homans, orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Terkait dengan tradisi bajapuik, pertukaran akan berlangsung bila kedua belah pihak merasa teruntungkan. Jadi perilaku aktor-aktor dimunculkan karena berdasarkan perhitungan, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Untuk itu bagaimana pertukaran, lingkungan sosial dan pilihan rasional muncul dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari saling hubungan antara nilai-nilai tradisi bajapuik dengan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Terutama antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dalam pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik. 6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik Menurut Lamanna & Riedmann (1991) dan Goode (2007) ada bermacammacam yang dipertukarkan dalam perkawinan yakni; kelas sosial (kekayaan, berkedudukan tinggi atau berkuasa), umur, kecantikan, dan pendidikan. Untuk kasus tradisi bajapuik pertukaran didasarkan atas status sosial ekonomi yang terdiri dari pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki (marapulai). Pekerjaan dan pendapatan inilah yang menentukan tinggi rendahnya jumlah uang japuik. Semakin tinggi (prestise) pekerjaan dan pendapatan calon pengantin laki-laki, maka semakin tinggi jumlah uang japuik dan begitu sebaliknya. Adapun kisaran jumlah uang japuik dalam tradisi bajapuik dapat dilihat dalam tabel 24 dibawah ini. 119 Tabel 24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 No 1. 2. 3. Uraian Seorang sarjana yang bekerjaan sebagai PNS Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap Seorang sarjana yang berprofesi sebagai dokter Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 4. Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI 5. Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai swasta 6. Seseorang yang tamatan SMA, SMP, dengan pekerjaannya sebagai pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, peternakan, pengrajn montir, penjahit dan tukang Sumber: Data Primer 2008 Jumlah 10-15 juta 5-10 juta 25-50 juta 75-100 juta 5-10 juta 20-30 juta 5-7 juta 3-5 juta Tabel di atas menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula, maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik yang lebih tinggi. Seorang mantan LKAAM (SM, 72 tahun), menuturkan: Kejadian itu terjadi 15 tahun yang lalu, di mana ada seorang dokter oleh orang tuanya diminta uang japuik sebanyak 8 juta. Tetapi karena orang tua dari perempuan seorang pengusaha mobil, maka uang japuik itu ditambahnya menjadi Rp 14 juta. Penjelasan informan di atas menunjukan pekerjaan yang tinggi dari seorang calon mempelai laki-laki (marapulai), maka uang japuik-nya akan tinggi pula. Dengan demikian tinggi-rendahnya uang japuik menunjukan status sosial ekonomi dari seorang calon mempelai laki-laki. Fakta itu mendukung proposisi stimulus, di mana bila kejadian masa lalu menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa (Homans dalam Ritzert dan Goodman, 2004). 6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi Bajapuik Secara ekstrinsik pertukaran dalam tradisi bajapuik meliputi antara status sosial (gelar keturunan dan status sosial ekonomi) dengan sejumlah benda atau uang--yang disebut dengan uang japuik (uang jemputan atau uang hilang) (lihat 120 bab V). Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dan tidak antara dua aktor atau individu yang akan menikah. Kedua belah pihak inilah yang akan melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik. Pertukaran dalam tradisi bajapuik terpusat pada uang japuik--khususnya bagaimana uang japuik diberikan dari keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Sebelum uang japuik diberikan secara resmi oleh pihak keluarga perempuan, telah terjadi proses yang panjang di antara pihak keluarga laki-laki mengenai penentuan jumlah uang japuik. Karena uang japuik tidak mutlak ditentukan oleh orang tua saja. Masukan dan pertimbangan dari pihak lain seperti dari calon marapulai (CM) dan mamak harus pula diperhatikan dalam proses penentuan itu. Ada atau tidak pertimbangan dari kedua pihak itu mengenai penentuan jumlah uang japuik yang jelas ruang untuk mereka ada di sana. Oleh sebab itu dalam proses penentuan uang japuik ada tiga pihak yang turut serta di dalamnya seperti yang terlihat pada tabel 21. Kecenderungan yang sama juga diungkapkan oleh informan SM (72 tahun) dimana uang japuik dari pihak lakilaki ditentukan oleh ayah dan ibu. Apalagi, saat ini mamak jarang yang berdomisili di daerah asal, sehingga keikut sertaannya sangat terbatas. Tempat tinggal yang jauh, serta pekerjaaan yang tidak dapat ditinggalkan menjadi alasan utama ketidak ikut sertaannya dalam penentuan jumlah uang japuik. Untuk itu adakalanya mamak menyerahkan sepenuhnya atau memberi usul mengenai jumlah uang japuik kepada orang tua saja. Tujuannya agar peran mamak tetap terlihat meskipun hanya sekedar saran atau usulan dan sekaligus untuk menunjukan kepeduliannya kepada kemenakan. Kondisi itu sudah lazim berlaku dalam tradisi bajapuik saat ini, kalaupun ada mamak ikut menentukan uang japuik, berarti mamak tersebut berdomisili berdekatan atau di daerah yang sama. Seperti disinggung sebelumnya, penentuan uang japuik bagi pihak keluarga laki-laki melalui proses yang panjang, artinya adanya tahap-tahap yang harus dilalui dalam penentuan uang japuik. Secara umum ada tiga tahap yang dilalui yakni; tahap pertama, penentuan uang japuik pada tingkat keluarga batih (nuclear family) atau yang disebut dengan kamar kecil. Pada tahap ini jumlah uang japuik mulai dibicarakan, setelah keluarga kedua belah pihak (pihak 121 keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) bertemu dalam proses meresek/merasok dan setuju hubungan antar keluarga dilanjutkan. Pada tahap ini oleh pihak keluarga laki-laki yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung (jika ada) telah merancang jumlah uang japuik yang akan dimintakan kepada keluarga pihak perempuan. Setelah itu dilanjutkan ke tahap kedua yakni pada keluarga besar (extended family) atau disebut dengan kamar besar. Pada kamar besar, proses penentuan uang japuik melibatkan mamak. Meskipun pada kamar kecil telah ada kesepakatan mengenai jumlah uang japuik, mamak atau yang dianggap mamak tetap diminta masukan dan pertimbangan. Masukan dan pertimbangan itu terutama mengenai pantas dan tidak pantasnya jumlah uang japuik yang akan dimintakan kepada pihak keluarga perempuan. Mamak dalam kamar besar adakalanya ikutserta dalam menentukan jumlah uang japuik dan adakalanya tidak. Artinya setiba di kamar besar ada kemungkinan jumlah uang japuik akan berubah, tergantung ada atau tidaknya masukan dari mamak, seperti diungkapkan oleh informan TM (66 tahun) berikut ini: Saat ini penentuan uang japuik lebih banyak ditentukan oleh kedua orang tua, sedangkan mamak hanya menunggu laporan saja. Ini disebabkan oleh mamak sudah banyak yang pergi merantau karena tuntutan pekerjaan untuk mencari penghidupannya. Mamak yang berdomisilinya berdekatan, tetap dikut sertakan dalam penentuan uang japuik. Pertimbangan atau masukan-masukannya tetap dimintakan—apakah itu diberikan atau tidak. Perasaan mamak sekarang lebih sensitif—perasaan takut dilecehkan menghantui perasaan mamak. Oleh sebab itu mamak kadang-kadang untuk penentuan uang japuik mengambil sikap untuk menerima saja, karena mamak menyadari bahwa keterlibatannya untuk kemenakan yang sangat terbatas. Setelah keduanya sepakat, maka disampaikanlah jumlah uang japuik kepada pihak keluarga perempuan, dengan meminta kehadirannya di rumah pihak keluarga laki-laki. Pada waktu yang sama hadir orang tua dan didampingi oleh mamak atau dianggap mamak dari keluarga kedua belah pihak. Dalam tahap ini, sering terjadi penawaran mengenai uang japuik—terutama jika uang japuik yang diminta tidak sesuai dengan harapan atau kemampuan dari pihak keluarga 122 perempuan. Penawaran itu dapat terjadi 2-3 kali pertemuan, hingga jumlah yang disepakati dapat tercapai. Penetapan jumlah uang japuik yang diminta kepada pihak keluarga lakilaki, umumnya didasarkan pada status sosial calon pengantin laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Bahkan adakalanya penetapan mengenai jumlah uang japuik yang akan diminta berdasarkan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. Sementara itu respon pihak keluarga perempuan terhadap jumlah uang japuik yang di minta oleh pihak keluarga laki-laki adalah; 1. Menerima berapapun jumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga lakilaki. 2. Melakukan penawaran terhadap jumlah uang yang diminta, karena dipandang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya. Respon pertama artinya keluarga dari pihak perempuan menerima dan bersedia memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Kemudian pada respon kedua, pihak keluarga perempuan tidak atau kurang menerima sejumlah uang yang dimintakan kepadanya, sehingga pihak keluarga perempuan melakukan penawaran. Penawaran yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penawaran langsung dilakukan oleh orang tua, mamak dari pihak perempuan, dengan mengutarakan keberatan-keberatannya. Biasanya keluarga yang melakukan penawaran berasal kalangan ekonomi yang kurang mampu, baik dari kelurga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family) dan kasus seperti ini jarang terjadi. Penawaran ini dilakukan pada saat kedua belah membicarakan mengenai uang jemputan atau uang hilang. Pada saat itu orang tua atau mamak dari pihak perempuan menyampai pengurangan uang japuik melalui orang tua atau mamak dari pihak keluarga laki-laki. Sementara itu, penawaran tidak langsung dilakukan melalui calon pengantin laki-laki dengan cara; menyampaikan keberatankeberatan pihak keluarga perempuan itu kepada calon pengantin laki-laki dan untuk selanjutnya disampaikan kepada orang tuanya. Cara seperti ini biasanya calon pengantin perempuan yang lebih pro aktif untuk mendesak calon pengantin laki-laki menyampaikan pengharapan itu. 123 Pihak keluarga perempuan yang melakukan penawaran atau menerima uang japuik mempunyai karakteristik seperti yang terdapat dalam tabel 25 berikut. Tabel 25. Karakteristik Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik Menerima Berapapun Jumlah Uang Yang Diminta Dalam Perkawinan Bajapuik 1. Pada umumnya berasal dari Keluarga Mampu. Melakukan Penawaran Mengenai Jumlah Uang Yang Diminta 1. Pada umumnya berasal dari Keluarga yang tidak / kurang mampu. 2. Sigadis belum cukup umur dan masih ada kemungkinan untuk mencari alternatif pilihan lain, sehingga 3. kurang berharap pada calon lakilaki itu untuk dijadikan menantu. 2. Sigadis sudah cukup umur untuk melaksanakan pernikahan. 3. Mempunyai harapan yang penuh pada calon laki-laki untuk dijadikan menantu. 4. Memahami uang japuik sudah menjadi tradisi 4. Tidak memahami tentang uang japuik Sumber : Data Primer 2008 Unsur-unsur di atas sebagai sebuah karakteristik keluarga tidak menjadi sebuah paket yang utuh mengkategorikan sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan untuk menerima atau melakukan suatu penawaran mengenai jumlah uang japuik yang diminta oleh keluarga dari pihak laki-laki. Artinya ada pula keluarga yang cukup mampu dibidang ekonomi melakukan penawaran pada perkawinan bajapuik dan ini dapat dikatakan sebagai dinamika dari pelaksanaan perkawinan bajapuik. Artinya tidak ada yang statis dalam kehidupan manusia. Seperti yang terjadi pada salah seorang informan penelitian M (70 tahun), di mana salah seorang dari anak laki-lakinya diterima oleh sebuah keluarga yang cukup mampu diakhir tahun 2000. Kemudian di antara kedua keluarga itu masih ada hubungan keluarga dan berdomisili di Jakarta. Melalui komunikasi lewat telpon, maka ditetapkan jumlah uang jemputan atau uang hilang oleh orang tua dari pihak laki-laki sebanyak Rp 10 juta. Setelah mendengar jumlah yang disebutkan oleh orang tua dari pihak laki-laki itu, maka orang tua dari pihak perempuan meminta pengurangan dan akhirnya ditetapkan jumlahnya menjadi Rp 7,5 juta. Jadi, kiat untuk mengurangi jumlah uang japuik adalah secara langsung mengkomunikasikasi kepada orang tua pihak laki-laki, sehingga jumlahnya dapat dikurangi. Tetapi adakalanya juga orang tua dari pihak laki-laki bertahan dan tidak mau mengurangi jumlah uang japuik yang telah ditetapkan itu. Bagi pihak keluarga laki-laki pertimbangan itu didasarkan untuk; biaya transportasi pulang- 124 pergi ke Jakarta, membeli kebutuhan dapur untuk menanti pihak keluarga perempuan menjemput marapulai dan membeli seperangkat pakaian untuk paragiah jalang. Tidak termasuk biaya pesta karena pesta dilaksanakan sepihak ditempat mempelai perempuan. Dengan demikian uang yang diterima oleh pihak keluarga laki-laki sebagai uang jemputan atau uang hilang dipergunakan untuk pelaksanaan perkawinan bajapuik. Dari kasus di atas, sepintas kelihatannya orang tua dari calon pengantin laki-laki terasa sedikit agak memaksa mengenai jumlah uang japuik, namun demikian, mereka (orang tua dari pihak laki-laki) telah mempunyai pertimbanganpertimbangan tertentu dalam penetapan jumlah uang japuik. Selain mempertimbangkan status calon mempelai laki-laki, orang yang datang atau pihak perempuan dipandang cukup mampu, juga disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan barang-barang yang akan dibeli untuk kebutuhan pesta harganya serba mahal, maka pertimbangan ekonomi dalam proses penentuan jumlah uang japuik akan terjadi. Sistem perekonomian yang tidak menentu dan terjadinya fluktuasi harga barang kebutuhan di pasar, akan menjadi pertimbangan oleh orang tua dari pihak laki-laki dalam menentukan jumlah uang japuik. Penetapan jumlah uang japuik akan berlangsung alot, ketika orang tua dari pihak laki-laki bersikukuh dengan pendiriannya, misalnya orang tua menetapkan jumlah uang japuik sebanyak Rp 10 juta, sementara dari pihak perempuan sanggupnya Rp 6 juta. Dalam hal ini, pihak perempuan berusaha mendekati calon mempelai laki-laki atau yang disebut dengan penawaran tidak langsung. Langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua adalah dengan menanyakan kepada anak perempuannya, sejauhmana hubungannya di antara kedua. Jika jawaban dari si anak didapat gambaran bahwa calon mempelai laki-laki mempunyai keinginan yang kuat untuk mempersunting calon mempelai perempuan, maka orang tua melalui anak perempuannya dapat menekan secara psikologis calon pengantin laki-laki dengan mengatakan, “kalau tidak mau kurang, lebih baik kita bubar atau tidak jadi saja”. Ungkapan kata-kata seperti itu akan menjadi pertimbangan bagi calon pengantin laki-laki dan berusaha untuk mencari solusinya. Untuk itu sikap yang diambil oleh calon pengantin laki-laki adalah mendesak orang tuanya agar uang japuik dapat dikurangi. Cara lain yang diambil oleh calon pengantin laki-laki 125 menanggulangi sendiri kekurang uang itu, sehingga keluarga perempuan dapat mencukupi menjadi Rp 10 juta. Setelah uang cukup akan diberikan kepada orang tua pihak laki-laki sebagai uang japuik. Dengan demikian di dalam pemenuhan uang japuik dari pihak perempuan mempunyai aturan main (role of the game) tersendiri pula, sehingga uang japuik yang diminta keluarga dapat terpenuhi. Calon mempelai laki-laki yang mampu melakukan sikap demikian dalam perkawinan bajapuik di wilayah penelitian adalah calon mempelai laki-laki yang mempunyai kemampuan ekonomi. Artinya calon pengantin laki-laki telah mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan yang relatif besar, sehingga calon mempelai laki-laki dapat ikut campur untuk menentukan jumlah uang japuik yang ditetapkan dalam perkawinannya. Kemudian calon pengantin perempuan yang dapat melakukan penawaran atau pengurangan jumlah uang japuik melalui calon pengantin laki-laki ada kecenderungan calon mempelai perempuan memiliki kelebihan, sehingga usulannya dapat dipertimbangkan di antaranya; karena kecantikannya, keelokannya, dan status sosialnya. Dengan kelebihan itu berimbas pada penyeimbangan dalam pemenuhan uang yang harus dikeluarkan dalam perkawinannya. Uang bantuan dari calon pengantin laki-laki untuk menutupi uang japuik adalah sebagai tembusan yang ada pada diri calon perempuan, agar perkawinan dapat berlangsung. Jika mengacu pada teori pemilihan jodoh, pada hakikatnya orang mencari pasangan mengarah pada ditemukannya pasanganpasang yang setaraf dengannya dan perkawinan dapat berlangsung sesuai dengan yang diharapkan (Lamanna dan Riedman, 1981; Goode, 2007). Tahap akhir, penyampaian secara resmi jumlah uang japuik dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan atau yang disebut dengan kamar umum. Pada tahap ini, selain dihadiri oleh keluarga batih (nuclear family) dan keluarga besar (extended family) dari masing-masing pihak, juga dihadiri oleh ninik mamak. Bahkan di antara ketiganya itu, ninik mamak yang lebih berperan pada tahap ini. Urgennya ninik mamak dalam tahap itu, maka tahap itu disebut juga dengan duduk ninik mamak—saat pengukuhan secara adat hubungan antar dua keluarga, atau yang disebut dengan tukar cincin/tando. Pada saat itu ninik mamak mengumumkan uang japuik secara resmi dan sekaligus menentukan 126 tanggal dan hari pernikahan yang akan dilangsungkan. Acara itu dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak seperti; orang tua, mamak, kakak atau kerabat lainnya serta tetangga terdekat. Proses pertukaran seperti dijelaskan di atas dalam setiap pelaksanaan tradisi bajapuik pada umumnya selalu dan penting dilakukan. Meskipun di sisisisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan, terutama mengenai keikut sertaan anggota keluarga dan jumlah uang japuik. Khusus, untuk uang japuik, jumlahnya ditentukan berdasarkan status sosial marapulai (calon pengantin laki-laki). Artinya tinggi rendahnya uang japuik ditentukan oleh status sosial marapulai (calon pengantin laki-laki). Semangkin tinggi status sosialnya, semangkin tinggi pula uang japuiknya. Dengan demikian tinggi-rendahnya uang japuik seorang marapulai (calon pengantin laki-laki) menunjukkan status sosial ekonomi atau posisi seseorang dalam suatu masyarakat. Sementara itu, uang japuik diberikan pada saat akad nikah akan berlangsung. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak keluarga perempuan kepada ninik mamak pihak keluarga laki-laki, karena dalam aturan perkawinan bajapuik pihak keluarga perempuan yang memberikan dan pihak keluarga laki-laki sebagai penerima, sekaligus dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak, seperti orang tua, kakak, mamak dan kerabat lainnya serta tetangga terdekat. Walaupun dalam proses pengumpulannya terdapat ikut campur dari calon pengantin laki-laki agar uang japuik itu cukup jumlahnya sesuai yang di minta oleh pihak keluarga laki-laki (lihat bab VII). Ini biasanya terjadi pada pekawinan yang dilakukan dengan orang di luar Pariaman atau antar budaya yang berbeda, meskipun tidak tertutup pula kemungkinan terjadi antar sesama orang Pariaman sendiri. Karena disatu pihak tidak mungkin membatasi jodoh seseorang dan mengharuskannya untuk mencari pasangan dengan orang yang berasal satu daerah. Terbukanya transportasi dan peluang melanjutkan pendidikan merupakan jalan yang memungkinkan untuk mendapatkan jodoh dari luar Pariaman. Walaupun di sisi lain adat Minangkabau menganjurkan “perkawinan ideal” tetapi dalam prakteknya tidak harus demikian. Pertukaran yang dilakukan antara sesama orang Pariaman dengan orang di luar Pariaman seringkali mengalami perbedaan. Perbedaan itu terlihat dalam 127 proses penentuan uang japuik sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik. Penentuan uang japuik lebih banyak memunculkan pertimbangan-pertimbangan, yang disebabkan oleh adat kebiasaan yang berbeda. Disinilah akan terlihat keterlibatan calon pengantin laki-laki dalam penentuan uang japuik. Sementara itu pertukaran dengan sesama orang Pariaman relatif lebih mudah dilakukan, karena disebabkan oleh adanya kesesuai dari nilai-nilai dan norma-norma (latar belakang budaya yang sama), terutama dalam proses penentuan uang japuik. Dalam praktek perkawinan yang berlaku umum, pihak laki-laki yang memberikan sesuatu kepada pihak perempuan, sehingga keluarga dari pihak perempuan tidak diberatkan dalam hal ini. Ternyata dalam perkawinan bajapuik tidak tercipta model seperti ini, namun adanya kerjasama sesama anggota keluarga besar (extended family). Meskipun di pihak keluarga laki-laki mempunyai pertimbangan tertentu dalam menentukan jumlah uang japuik--tinggi rendahnya uang japuik ditentukan oleh status sosial seorang laki-laki. Apabila seorang lakilaki mempunyai pendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang cukup besar, maka uang japuik (uang hilang atau uang dapur) akan tinggi pula. Tetapi pada dekade terakhir ini ada kecenderungan pendidikan kurang berkorelasi dengan pekerjaan dan pendapatan, sehingga pekerjaan dan pendapatan menjadi pertimbangan bagi keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan dalam tradisi bajapuik. Oleh sebab itu jumlah uang japuik, tidak hanya atas pertimbangan pendidikan saja tetapi lebih diutamakan atas pertimbangan pekerjaan dan pendapatan. Dengan demikian semakin tinggi posisi dan pekerjaan seorang laki-laki di dalam masyarakat, maka uang japuiknya akan semakin tinggi dalam tradisi bajapuik. Adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perkawinan bajapuik untuk menerima seorang laki-laki untuk dijadikan menantu. Adanya prioritas utama dalam menjemput seorang laki-laki dalam perkawinan bajapuik, mengakibatkan uang japuiknya semangkin kompetitif. Seorang laki-laki yang mempunyai posisi pekerjaan dan pendapatan yang tinggi maka uang japuik akan tinggi, dan begitu sebaliknya. Bagi pihak keluarga lakilaki yang mempunyai seorang anak laki-laki yang mempunyai posisi yang tinggi, maka ada kecenderungan orang tuanya mempunyai bargaining potition yang kuat kepada orang tua dari pihak perempuan dan akan terjadi pertimbangan- 128 pertimbangan ekonomi dalam penentuan jumlah uang japuik. Meskipun di lain pihak calon mempelai perempuan mempunyai keduduk yang sama dengan calon mempelai laki-laki (setara). Artinya tidak ada salah satu di antaranya menempati posisi di atas dan di bawah. Tetapi ada kecenderungan selain posisi yang sama sesama kedua calon mempelai, juga mempunyai status sosial ekonomi yang sama pula dengan keluarga pihak perempuan. Dengan adanya kemampuan atau kesanggupan ekonomi dari pihak keluarga perempuan, maka pelaksanaan perkawinan dengan tradisi bajapuik dapat dilaksanakan. Model perkawinan seperti tidak hanya berlaku antara sesama orang Pariaman, tetapi juga dengan orang di luar Pariaman. Hanya saja, perkawinan dengan orang luar lebih mengutamakan pertimbangan-pertimbang yang kadangkala melibatkan calon pengantin laki-laki untuk menengahi persoalan uang japuik. Tetapi jika dikaji lebih jauh, sebenarnya pertukaran yang terjadi dalam perkawinan bajapuik mempunyai model pertukaran dengan maksud dan tujuan tertentu dari masing-masing aktor yang terlibat dalam perkawinan bajapuik, baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan. Dengan demikian keberadaan perkawinan bajapuik sebenarnya terletak pada kedua belah pihak keluarga atau pada pertukaran itu sendiri. Uang japuik yang menjadi ciri khas dari perkawinan bajapuik pada hakekatnya memiliki dua bentuk yang dipertukarkan yakni materil dan non materil. Bagi pihak keluarga perempuan, pertukaran dalam bentuk materil adalah untuk mendapatkan menantu, sedangkan pertukaran dalam bentuk non materil adalah untuk menutup malu keluarga dan kaum (orientasi nilai budaya). Menurut adat Minangkabau yang menjadi acuan bagi keluarga pihak perempuan, mendapat suami bagi anak perempuan dapat menutupi malu keluarga dan kaum. Kedua motif tindakan itu di dasarkan pada pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably), sehingga tindakan yang diambil oleh aktor-aktor yang terlibat, baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan menjadi seimbang (homogamy). Masing-masing mempunyai tujuan dan makna tersendiri dan pada akhirnya perkawinan dapat terlaksana. Untuk itu dapat dilihat gambar 8 berikut ini. 129 Uang Japuik Orientasi Nilai Bentuk Pertukaran (Choosing Knowleageably) Materil Orientasi ekonomi Non Materil Orientasi Nilai Budaya Eksistensi Perkawinan Bajapuik Gambar 8. Uang Japuik dan Orientasi Nilai Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik Dengan demikian perkawinan bajapuik dapat terlaksana, pada hakekatnya terlihat pada besar-kecilnya uang japuik yang diterima oleh pihak laki-laki pada saat penjemputan, karena jumlah yang telah disepakati itu mempunyai simbolisai ganda. Disatu sisi besar-kecilnya uang japuik itu menunjukan status sosial calon pengantin laki-laki. Kemudian sisi yang lain merupakan simbolisasi status keluarga kedua belah pihak. Artinya calon laki-laki akan diberi uang japuik yang tinggi, apabila mempunyai status sosial yang baik dalam masyarakat dan begitu juga sebaliknya bagi pihak perempuan. Keluarga yang mampu memberi uang japui yang cukup tinggi, tentu berasal dari keluarga yang mampu pula. 6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik Dari bahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kuatnya nilai-nilai dan norma-norma (terinternalisasi) dalam kehidupan masyarakat telah mendorong terlaksananya tradisi bajapuik, antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki, baik yang terdapat di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam 130 hal ini juga diakui yang menjadi pendorong dalam proses terlaksananya pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah kemampuan dari pihak keluarga perempuan dalam mengantisipasi jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Namun demikian pada dasarnya pertukaran dalam tradisi bajapuik antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, selain dorongan dalam bentuk pertukaran sosial ekonomi, juga terkait dengan faktor lingkungan. Oleh karena masyarakat (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan baik yang berada di perkotaan dan pedesaan merasakan keuntungan dari tradisi bajapuik, sehingga mendorong masyarakat untuk melaksanakan tradisi bajapuik di dalam setiap pelaksanaan perkawinan, yang pada akhirnya juga dapat mendorong eksisnya tradisi bajapuik. Berkaitan dengan lingkaran sosial Lamanna, (1991), menyatakan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku aktor (individu). Lebih jauh Lamanna menambahkan individu ditekan melalui normanorma sosial yang disebutnya dengan lingkungan sosial. Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana lingkungan sosial mendorong aktor untuk melakukan tradisi bajapuik di Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah dengan menampilkan riwayat hidup tiga pelaku sebagai contoh kasus. Ketiganya terdorong melakukan tradisi bajapuik, akibat tekanan nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Seorang pelaku tradisi bajapuik DA (38 tahun) adalah sosok seorang laki-laki yang meninggalkan kampung halamannya semenjak tamat Perguruan Tinggi, mengadu nasib disebuah kota besar, bertemu jodoh dengan seorang perempuan bernisial Y dan selanjutnya pernikahan dilaksanakan di rantau (luar Pariaman). Dua lainnya yaitu H. Zlm (54 tahun) menikah dengan H.Zln (51 tahun) yang sebelumnya telah saling mengenal satu sama lainnya, dan terakhir AZ (38 tahun) menikah dengan TM (38 tahun), berasal dari status sosial yang sama, seperti pendidikan dan pekerjaan. Ketiga pasangan itu dalam pernikahannya melaksanakan tradisi bajapuik, setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dari aktor yang akan menikah dan keluarga yang terlibat dalam tradisi bajapuik. 131 6.3.1. Kasus Perkawinan Dengan Sesama Kerabat Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga DA (38 tahun) dan Y (32 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang menikah di kota Jakarta. Di antara keduanya mempunyai latar belakang yang berbeda meskipun kedua sama-sama berasal dari satu daerah (Pariaman). Bahkan di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan yang dekat, di mana bapak DA adalah kakak sepupu dari bapak Y. Hanya saja di antara anak masing-masing tidak saling mengenal karena jarak yang memisahkan, salah satu di antaranya menetap di Padang dan yang lainnya menetap di kota Jakarta. DA adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, terdiri dari dua orang perempuan dan lima orang laki-laki dari pasangan suami-isteri Bapak M dan ibu A. Di kota Jakarta DA baru bermukim selama 3 tahun, sedangkan sebelumnya di Kota Padang bersama kedua orang tua dan enam saudaranya yang lain. Sebelum menetap di kota Padang, ibu dan saudara DA menetap di daerah Pariaman. Perpindahan ke kota Padang, adalah mengikuti ayah yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah di kota Padang. Semenjak perpindahan itu, DA bersama orang tua dan saudara-saudaranya berkumpul dan berdomisili di kota Padang. Sementara itu Y adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri S dan M. Di kota Jakarta, Y bersama kedua orang tua dan tiga saudara-saudara yang lain. Di Jakarta Y dan keluarganya baru menetap selama 15 tahun, yang sebelumnya mempunyai domisili yang berpindah-pindah. Sebelum menetap di Jakarta, Y dan keluarga berdomisili di Kalimantan. Kondisi ini disebabkan oleh karena ayah dari Y karyawan salah satu perusahaan BUMN yang selalu mengadakan mutasi dalam jangka waktu lima tahun sekali terhadap karyawannya. Akibatnya Y dengan saudara-saudaranya yang lain mempunyai tempat lahir yang berbeda-beda seperti; Kalimantan, Jakarta, dan Yogyakarta. DA hingga berumur 24 tahun berdomisili di kota P bersama dengan orang tua dan enam saudaranya yang lain. Pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi di tempuhnya di kota yang sama. Berbeda dengan Y, menempuh jenjang pendidikan ditempat yang berbeda-beda, karena harus mengikuti kedua orang tua yang selalu berpindah-pindah tugas. Pendidikan SD hingga SMP ditempuh di daerah 132 Kalimantan, pendidikan SMA ditempuh di kota Padang dan Perguruan tinggi di tempuh di kota Jakarta pada Universitas Tri Sakti di kota Jakarta. Perjalanan DA sampai ke kota Jakarta, disebabkan karena tidak kunjung mendapat pekerjaan di daerah asalnya, setelah dua tahun menamat pendidikan di Perguruan Tinggi di jurusan Manajemen. Melalui dorongan salah seorang mamak yang berdomisili di kota Jakarta, maka DA diajak bersamanya, dengan tujuan mencari pekerjaan. Sesampai di kota Jakarta, DA tidak langsung mendapat pekerjaan. Dari pada menganggur dan berdiam diri di rumah, DA diajak oleh mamak untuk magang di kantornya. Tawaran itu langsung diambil DA, hitunghitung untuk mencari pengalaman sambil menunggu panggilan kerja yang sesuai. Selama tiga bulan magang, akhirnya DA mendapat panggilan kerja disalah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang Garmen dan pekerjaan itu hingga saat ini masih dijalani. Berbeda dengan Y, yang telah duluan menetap di kota J bersama dengan kedua orang tua dan saudaranya yang lain, untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah sesulit yang ditempuh DA. Dengan dukungan fasilitas lingkungan yang memadai seperti; sarana dan prasana yang lengkap hidup di kota besar seperti Jakarta serta dorongan orang tua yang cukup secara finansial, memungkin Y untuk mempunyai nilai lebih, sehingga pada saat menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi, Y langsung mendapat pekerjaan pada salah satu perusahaan swasta terkemuka. Namun pekerjaan ini hanya dijalani hingga awal perkawinan dan setelah itu membuka usaha sendiri (warung) di rumah sambil menjaga anak dan mencari tambahan pendapatan keluarga. Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan Pertemuan antara DA dengan A, yang berujung kejenjang pernikahan tidak diperkirakan sebelumnya. Karena pada saat menempuh pendidikan sarjana (S1) di Kota Padang, DA telah mempunyai teman dekat. Hubungan DA dengan teman wanitanya itu telah berlangsung selama 4 tahun, tetapi akhirnya putus karena adanya perbedaan pandangan. Begitu pula dengan teman wanita berikutnya, hanya berlangsung selama dua tahun, juga berakhir dengan kata putus, karena adanya persamaan suku di antara keduanya menyebabkan hubungan tidak berlanjut. 133 Perjumpaan antara DA dengan Y di awali dari ajakan perkenalan dari salah seorang kerabat yang telah lama menetap di kota Jakarta. Tepatnya suami dari adik perempuan dari bapak DA dan saudara sepupu pula dari ibu Y. Jadi di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan. Pada waktu itu DA diajak ke rumah Y yang berlokasi di daerah Tanggerang, sedangkan DA sendiri berdomisili di rumah mamak di daerah Jakarta Timur. Pertemuan pertama antara DA dan Y berbuah hasil yakni sampai kepada jenjang perkawinan. Dimata DA, Y adalah seorang wanita yang cantik, baik dan telah mandiri (mempunyai pekerjaan). Begitu juga sebaliknya, DA dipandang Y sebagai orang yang cukup dewasa yang mampu menjadi sandaran hidupnya di masa depan. Dengan pekerjaan yang ditekuni merupakan salah satu ketertarikan Y pada DA, selain keduanya telah mengenal latar belakang keluarga dari orang tua masing-masing. Begitu juga dengan orang tua Y, DA adalah seorang laki-laki yang pantas dengan anaknya, disamping mempunyai latar belakang pendidikan yang sama juga telah mempunyai pekerjaan yang tetap dan latar belakang keluarga yang jelas. Selain itu Y, sendiri di mata orang tua telah cukup umur untuk dicarikan jodoh. Dengan tidak membuang waktu, orang tua Y langsung mengambil sikap untuk meresmikan hubungan di antara keduanya, setelah keduanya dipandang cocok. Tempat tinggal yang berbeda dan mempunyai jarak yang cukup jauh yakni Jakarta dan Padang, tidak menjadi penghalang bagi orang tua Y untuk mengemukakan maksud dan tujuannya kepada orang tua DA. Namun karena di antara kedua belah pihak terikat hubungan kekerabatan, maka pembicaraan mengenai proses pelaksanaan perkawinan dibicarakan lewat telpon mulai dari peminangkan hingga penentuan hari pernikahan. Bagi orang tua DA tidak menjadi masalah, yang penting rencana baik itu dapat terselenggara sesuai dengan yang direncanakan. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik Pernikahan DA dengan Y berlangsung pada akhir tahun, tepatnya pada bulan Oktober tahun 2000 di Jakarta. Setelah melalui masa perkenalan kurang lebih selama lima bulan. Saat itu usia DA telah memasuki 30 tahun dan Y 24 tahun. 134 Perkawinan antara DA dengan Y dilaksanakan dengan tradisi bajapuik yakni memakai uang japuik (uang hilang). Meskipun di antara keduanya mempunyai hubungan kekerabatan dan pesta diselenggarakan di Jakarta yang jauh dari lingkungan sosial budayanya. Bagi DA sendiri, uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan merupakan suatu persyaratan yang harus di penuhi oleh orang tua Y, karena sama-sama berasal dari daerah Pariaman. Keharusan untuk memberi uang japuik telah menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan. Begitu juga dengan orang tua DA, uang japuik adalah telah menjadi tradisi dalam setiap pelaksanaan perkawinan. Mau tidak mau harus dilaksanakan oleh pihak perempuan. Sementara itu di pihak keluarga Y sendiri uang japuik adalah kewajiban yang harus dipenuhinya, bila bermenantukan orang Pariaman dan menjadi persyaratan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak perempuannya. Jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA pada waktu itu sebanyak Rp 7,5 juta. Setelah kedua belah pihak antara orang tua DA dengan orang tua Y terlibat negosiasi, dimana pada awalnya berjumlah Rp 10 juta. Jumlah yang disepakati itu merupakan hasil musyawarah antara orang tua DA dengan Pak tuo (seorang ninik mamak) yang berdomisili di daerah Pariaman, karena dipandang sebagai orang yang mengetahui banyak tentang tradisi bajapuik. Bagi orang tua DA, uang japuik adalah untuk bekal biaya menghadiri pesta pernikahan yang akan dilangsungkan di Jakarta. Jadi uang japuik itu akan di gunakannya untuk transportasi, dan biaya-biaya lain untuk menurunkan marapulai. Selain itu memberikan bingkisan kepada mempelai perempuan (anak daro) sebagai paragiah jalang. Di pihak Y, uang japuik telah dipersiapkan oleh orang tua Y. Meskipun pada saat pesta bantuan dari keluarga luas tetap berdatangan, baik secara langsung maupun tidak langsung yakni dengan berkirim melalui keluarga yang datang, karena keluarga besar Y, pada umumnya berdomisili di daerah Pariaman. Bantuan itu datang dari pihak ibu (nan saparuik) dan pihak bapak Y (bako). Dengan situasi dan ciri-ciri lingkungan budaya yang berbeda antara keluarga DA dengan keluarga Y, tradisi bajapuik tetap dilaksanakan karena membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak keluarga DA, 135 keuntungan yang didapat berupa materil, di mana dapat menghadiri menyelenggaraan pesta anak/adik/kemenakan di daerah rantau. Jauhnya lokasi pesta yang akan dihadiri oleh keluarga DA menjadi alasan untuk meminta uang japuik. Selain sebagai penghargaan (prestise) kepada DA sendiri yang diangkat sebagai menantu dan sekaligus mencirikan identitas, asal-usul dan status sosial ekonomi. Bagi pihak keluarga Y, keuntungan yang diperoleh adalah berwujud non materil, khususnya mendapat menantu yang diinginkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik memberi dorongan untuk terlaksananya tradisi bajapuik adalah bahwa dengan uang japuik dapat menguntung keluarga kedua belah pihak. Oleh karena adanya pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam tradisi bajapuik oleh masing-masing aktor yang terlibat, maka perkawinan dapat berlanjut (terlaksana). Orang tua Y yang telah lama meninggalkan kampung halaman dan menetap di kota besar, tetap mau melaksanakan tradisi bajapuik. Karena bila tidak dipenuhi, maka calon menantu yang diinginkan tidak akan didapat. Begitu juga dengan DA sendiri, tidak merasa malu dengan adanya uang japuik dalam pelaksanaan perkawinannya, karena berdomisili orang tua yang jauh tentu membutuhkan biaya. Dengan demikian masing-masing pihak mendapat keuntung dari pelaksanaan tradisi bajapuik. Meskipun orang tua dari Y, sempat melakukan negosiasi untuk pengurangan jumlah uang japuik, namun pada akhir dapat memenuhi jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA. 6.3.2. Kasus Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum Pernikahan Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Zym (54 tahun) Zln (51 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang menikah di daerah Pariaman, karena kedua orang tua terutama dari ibu Zln bermukim di sana. Zym (54 tahun) adalah seorang karyawan pada salah satu anak perusahaan BUMN di kota Padang. Semenjak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kedua orang tua bapak Zym telah meninggal dunia dan jadilah ia tinggal bersama lima orang saudaranya yang terdiri satu orang perempuan dan empat orang laki-laki. Semenjak itu kehidupannya dibawah pengawasan seorang mamak yang domisilinya berdekatan. Berbeda dengan Zln adalah seorang 136 perawat pada salah satu perusahaan BUMN terkenal di kota Padang. Kedua orang tua ibu Zln, masih hidup. Bapak ibu ibu Zln adalah seorang pensiunan PNS pada salah satu SD Negeri di daerah Pariaman. Mempunyai saudara kandung 6 orang yang terdiri 4 laki-laki dan 2 orang perempuan. Semua saudara-saudara, baik di pihak bapak Zym dan ibu Zln sudah berumah tangga dan berdomisili ditempat yang berbeda. Dari kecil hingga pendidikan Sekolah Menengah Pertama bapak Zym, menempuh pendidikan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) di Padang dan tinggal bersama salah seorang kakak di sana. Sambil sekolah bapak Zym bekerja membantu usaha kakak yang bergerak di bidang usaha bangunan. Hitung-hitung dapat menanggulangi biaya hidup dan dapat melanjutkan pendidikan, maka sebagian waktu dicurahkan pada usaha keluarga itu, hingga akhirnya tamat pada tahun 1973. Kondisi yang hampir sama juga dialami oleh ibu Zln, pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditamatkan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke tingkat Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) pada salah satu sekolah keperawatan di Bukittinggi. Selama menempuh pendidikan di sana ibu Zln menyewa kamar (kost) pada salah seorang rumah penduduk yang berdekatan dengan sekolahnya dan tamat tahun 1976. Setelah menamatkan pendidikan, baik bapak Zym dan ibu Zln sama-sama mencari pekerjaan di kota Padang. Pekerjaan pertama yang didapatkan oleh ibu H. Zln adalah sebagai pegawai honor pada salah satu BKIA yang berada di kecamatan Nanggalo. Sementara itu bapak Zym, masih pada usaha keluarga, sambil menunggu dan mendapatkan pekerjaan yang tetap. Empat tahun kemudian, barulah mendapat perkerjaan yang tetap dan hingga menjelang pensiun masih tercatat sebagai salah seorang karyawan pada perusahaan itu, sedangkan ibu Zln, setelah dari satu tahun di BKIA, lalu pindah honor di salah satu puskesmas yang berada di Lubuk Buaya. Pekerjaan ini di jalani oleh ibu Zln selama dua tahun. Sambil menjalankan pekerjaan yang sudah ada, ibu Zln tetap memasukan lamaran pekerjaan d tempat lain, hingga akhir diterima sebagai salah tenaga kesehatan di rumah sakit perusahaan PT Semen Padang. Pekerjaan ini berlanjut hingga saat ini. 137 Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan Perjumpaan antara bapak Zym dengan ibu Zln berawal dari ajakan salah seorang teman pergi ke pesta perkawinan saudaranya. Sebagai tamu juga pada pesta itu, pada umumnya hadirin yang datang tidak banyak dikenalnya. Meskipun demikian, itu tidak menjadi penghalang bagi ibu Zln untuk mengenal sosok teman yang lain. Dengan duduk yang berdekatan dan saling menyapa antara ibu Zln dengan bapak Zym, dari sinilah hubungan persahabatn pada awalnya terjalin. Perjumpaan demi perjumpaan yang dilakukan secara rutin, telah menguatkan hubungan di antara ibu Zln dengan bapak Zym dan berkembang menjadi hubungan tali kasih di antara keduanya. Tepatnya 2 tahun sebelum pengangkatan keduanya sebagai pegawai tetap—pada saat itu ibu Zln masih honor pada salah satu puskesmas dan bapak Zym bekerja pada CV Tani Subur milik bersama saudaranya. Dari perkenalan itu diketahui bahwa di antara keduanya berasal dari daerah yang sama, tetapi lain desa dan kenagarin. Bapak Zym berasal dari di desa Gasan kenagarian Kuranji Hilir dan ibu Zln dari desa Pilubang kenagarian Pilubang. Dengan latar belakang yang sama di antara bapak Zym dengan ibu Zln, maka komunikasi berjalan lancar dan pembicaraan berkembang kepada masalah keluarga, seperti jumlah saudara, pekerjaan orang tua dan serta tempat tinggal masing-masing. Di Kota Padang, domisili di antara keduanya berdekatan pada awalnya dan itu berlangsung lebih kurang 2 tahun. Kemudian masuk tahun ketiga hubungannya, domisili di antara keduanya mulai berjauhan; ibu Zln di Padang Selatan dan bapak Zym di Padang Utara. Meskipun demikian, jarak tidak menghalangi pertemuan di antara keduanya. Setiap hari sabtu atau libur menjadi pertemuan di antara keduanya. Sampai ke jenjang pernikahan hubungan antara bapak Zym dengan ibu Zln berlangsung hingga 4 tahun lamanya. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik Pada tahun 1980 antara bapak Zym dengan ibu Zln menikah, setelah masing-masing bekerja selama dua tahun di tempat pekerjaannya saat ini. Pada saat itu bapak Zym berumur 26 tahun dan ibu Zln 23 tahun. Dipihak keluarga ibu Zln, dengan usianya itu sudah pantas untuk berumah tangga, begitu juga di pihak 138 keluarga bapak Zym. Usia yang cukup dewasa dan telah pula mempunyai pekerjaan telah mendorong keduanya untuk segera menikah. Pada saat berhubungan dekat (berpacaran), antara bapak Zym dengan ibu Zln telah sepakat untuk tidak melaksanakan tradisi bajapuik dengan uang japuik dan jikapun ada, tetapi jumlahnya tidak terlalu besar. Dukungan itu didapat pula dari saudara laki-laki bapak Zym yang berdomisi di kota Padang. Tetapi ketika waktu pertunangan tiba dan dilaksanakan di kampung (Pariaman), mamak dari bapak Zym meminta uang japuik kepada pihak keluarga ibu Zln sebanyak Rp 3,5 juta. Jumlah itu cukup besar, sehingga mengagetkan orang tua dari ibu H.Zln pada awalnya. Meskipun demikian, orang tua dari ibu Zln tetap bersikap tenang dan menyanggupi permintaan itu karena baginya uang japuik telah menjadi tradisi dan diwariskan turun-temurun. Kewajiban memberikan uang japuik merupakan kewajiban bagi pihak perempuan. Dengan pertimbangan itu orang tua dan keluarga besarnya ibu Zln menyanggupi jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak keluarga bapak Zym. Bagi pihak keluarga bapak Hzn, jumlah yang cukup besar itu diminta kepada pihak keluarga ibu Zln dengan pertimbangan; 1) telah mempunyai pekerjaan yang tetap; 2) prestise atau kehormatan mamak—masyarakat akan memandang tinggi kepada mamak di mana kemenakannya mempunyai status yang tinggi mamak dan akan merasa malu bila kemenakannya tidak dijemput; 3) adanya keingginan mamak mengambil kemenakan (bapak Zym) untuk dijadikan menantu. Untuk pemenuhan uang japuik, di pihak keluarga ibu Zln tidak menjadi tanggungan orang tua. Keluarga besar (extended family), terutama mamak turun tangan (berpartisipasi) menanggulangi jumlah uang japuik. Selain itu, ternyata bapak Zym turut pula membantu memenuhi uang japuik. Bantuan dari bapak Zym diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap beban yang dipikul oleh pihak keluarga dari ibu Zln, untuk meringan biaya uang japuik. Kedekatan hubungan antara bapak Zym dan ibu Zln, sebelum pernikahan, telah mengetuk perasaannya untuk membantu orang tua dari ibu Zln dengan tanpa diminta. Dimata bapak Zym, ibu Zln merupakan wanita pantas dan cocok dijadikan pendamping hidup. Selain sekampung, punya pekerjaan dan juga mempunyai wajah yang cukup menarik. 139 Takut akan kehilangan gadis pujaannya, telah mendorong bapak Zym untuk memberikan sejumlah uang kepada ibu Zln untuk diserahkan kepada orang tuanya. Ternyata pengenalan yang cukup lama tidak dapat meluluhkan atau menghilang tradisi bajapuik. Oleh sebab itu, oleh aktor yang terlibat seperti bapak Zym melakukan penyesuaian dalam tradisi bajapuik dalam bentuk memberikan bantuan kepada orang tua dari ibu Zln. Pada saat itu pelaksanaan perkawinan antara bapak Zym dengan ibu Zln tetap memakai uang jemputan atau uang hilang. Jumlah uang jemputan atau uang hilang yang diminta oleh pihak laki-laki, terutama mamak dari bapak Zym relatif tinggi, merupakan suatu bentuk peranannya yang dimainkan dalam tradisi bajapuik. 6.3.3. Kasus Perkawinan Dengan Kedudukan Setara Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Umumnya antara TM (39 tahun) dan AZ (39 tahun) mempunyai banyak kesamaan mulai dari umur, pendidikan dan profesi yang ditekuni. Pada saat menikah sama berumur 27 tahun dan mempunyai profesi yang sama yakni sebagai staf pengajar pada salah satu Universitas Negeri terkenal di kota Padang. Saat ini usia keduanya sama-sama 39 tahun, dengan pendidikan terakhir pascasarjana (S2). dan telah mempunyai 3 orang anak terdiri; 2 orang perempuan dan 1 orang lakilaki. Meskipun demikian perbedaan di antara keduanya terletak pada latar belakang dan perjalanan hidup keduanya. Semenjak pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga pergurunan Tinggi, TM berdomisili di kota Padang bersama kedua orang tua. dan saudara-saudaranya. Hampir semua kehidupannya dilalui di kota Padang dan hanya 6 tahun saja usianya dihabis di daerah kelahirannya di Pariaman. Pekerjaan orang tua TM yang bekerja sebagai salah seorang pegawai pada instansi pemerintah telah membawa TM bersama ibu dan 4 orang saudaranya pada waktu itu pindah ke kota Padang. Tepatnya pada tahun 1975, bahkan 2 orang adik TM lahir di kota Padang. Jadilah semua keluarga TM semuanya berdomisili di kota Padang. Pulang ke kampung hanya ketika waktu tertentu saja seperti lebaran dan melihat bila ada anggota kerabat yang sakit atau melaksanakan pesta. 140 Berbeda dengan AZ, dengan orang tua yang berdomisili di kampung Lubuk Alung mewarnai perjalanan pendidikannya. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilalui kampung halamannya. Ambisi dari orang tua dan mamak untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah tamat dari sekolah Menengah atas memaksa AZ untuk meninggalkan kampung dan masuk ke Sekolah Analisis Kimia Menengah Atas (SAKMA) di Padang. Setelah tamat dari SAKMA, AZ mempunyai gagasan baru tentang masa depannya dan mengambil inisiatif mengambil ujian persamaan pada salah satu SMA di kota Padang agar dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Jadi setingkat tamat sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA), AZ mempunyai dua buah ijazah yakni ijazah SAKMA dan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui ijazah SMA itulah, AZ hingga saat ini dapat melanjut pendidikan ketingkat yang lebih tinggi (pascasarjana). TM mempunyai saudara berjumlah 7 orang terdiri dari; 2 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Semua saudara TM telah berhasil menamat pendidikan hingga sampai Perguruan Tinggi dan enam orang di antaranya telah bekerja pada instansi pemerintah dan swasta. Hanya 1 orang yang belum bekerja dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara itu di pihak AZ mempunyai saudara 4 orang terdiri dari; 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dua di antaranya bekerja sebagai PNS dan 2 orang lagi masing-masingnya berprofesi sebagai pedagang dan ibu rumah tangga. Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan Pertemuan TM dengan AZ berlangsung pada bulan Februari 1998. Setelah keduanya diperkenalkan oleh salah seorang anak tetangga dari TM. Secara tidak sengaja, AZ bertemu anak tentangga yang bernama R di salah satu Warung Telkom (Warnet) yang kebetulan sama-sama mempunyai tujuan yang sama untuk menelpon. Sambil menunggu antrian, antara AZ dan R terlibat pembicaran mengenai pengalaman masing-masing. Tidak hanya sampai disitu, pembicaraan juga merembes ke persoalan lain terutama R menanyakan beberapa orang yang dikenalnya, yang sama bekerja dengan AZ. Karena baru saja menjadi staf 141 pengajar di Universitas itu, AZ tidak mengenal orang yang dimaksud oleh R. Namun AZ sendiri menjadi penasaran dengan salah satu yang disebutkan R, sehingga mendorong AZ untuk mengenal lebih jauh. Akhirnya disepakati untuk bertemu dengan orang yang dimaksud R. Karena hari sudah sore menjelang magrib, maka AZ diajak R untuk sholat magrib di rumah pak eteknya. Keduanya sholat magrib di sana. Menjelang sampai ke rumah TM, AZ diajak mampir ke rumah R yang jaraknya ± 50 meter dari rumah TM. Bagi R tujuan hanya untuk sekedar menukar pakaian dan AZ dengan sabar menunggu aba-aba berikutnya. Setelah semuanya siap, maka berangkatlah AZ dengan R ke rumah TM. Sampai di tempat yang dituju, ternyata orang yang dimaksud tidak berada di rumah dan sedang berada di luar kota. AZ sebagai orang yang mempunyai maksud hanya terlibat pembicaraan dengan orang tua, dan adik-adik TM. Sementara R sendiri hanya sekedar menimpali pembicaraan-pembicara yang sekali-kali mengarah kepadanya. Sambil mencairkan suasana AZ mengambil dan melihat-lihat album yang ada dietelase meja tamu. R yang duduk berdekatan turut mengarahkan AZ kepada orang yang dimaksudnya. Hampir 2 jam lama mengobrol dengan tuan rumah, akhirnya AZ dan R mohon pamit untuk pulang, sambil menitipkan sebuah kertas kecil yang berisi identitas dirinya kepada tuan rumah agar disampaikan kepada TM. Sehari setelah kedatangan keduanya, TM pulang ke rumah. Sesampai di rumah TM disambut dengan sebuah guyonan dari salah seorang adik laki-lakinya di mana ada seorang laki-laki yang ingin mengajak berkenalan. Belum sempat menjawabnya, adik laki-laki itu menimpali lagi, terima sajalah karena orang itu satu profesi dan “ganteng” lagi. Ucapan yang dilontarkan dari adik laki-lakinya membuat TM penasaran, meski pada saat itu tidak dilihatkan secara nyata. Bak seperti pepatah, “pucuk dicinta, ulam tiba”, ternyata yang diharapkan kehadiran menampakan titik terang. Kira-kira jam 5 sore, setelah 2 jam setelah TM sampai di rumah datang telpon dari AZ yang menyampaikan keinginan untuk datang dan bertemu dengan TM setelah sholat magrib. Sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, tidak lama kemudian AZ muncul dan disambut langsung oleh TM dan dipersilahkan masuk dan duduk. Perbicaraan pada pertemuan pertama 142 berkisar masalah pekerjaan. Karena keduanya berasal dari bidang sama, maka pembicaran menjadi hangat dan berkembang. Setelah pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Berbagai alasan yang dapat dijadikan AZ untuk bisa bertemu dengan, termasuk ingin mengetahui tempat pekerjaan TM. Satu bulan berikutnya, barulah AZ menyampaikan maksud dan tujuannya kepada TM bahwa ia ingin berhubungan serius. Sebagai tindak lanjut dari sikapnya itu, besok harinya AZ langsung membawa TM ke rumah orang tua dan saudaranya untuk diperkenalkan. Ternyata respon dari pihak keluarga AZ cukup baik dan menerima TM untuk calon isteri anak atau adiknya. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya orang tua AZ melalui anaknya mempersilahkan orang tua TM untuk datang ke rumahnya dalam rangka melakukan proses perkawinan yang akan dilalui. Kemudian 6 bulan setelah itu, barulah dilakukan pernikahan yakni tepatnya pada bulan November tahun 1997. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik Proses perkawinan yang dilalui cukup unik, dan itu merupakan suatu perjalanan hidup yang harus dilalui oleh seseorang. Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang persis sama dan inilah yang menjadi karakteristik TM dengan AZ. Perkenalan melalui anak tetangga yang akhirnya berlanjut keperkawinan merupakan suatu perjalanan dan garis hidup yang harus dilaluinya. Dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki, keduanya mempunyai banyak kesamaan. Di antara keduanya tidak ada yang lebih satu sama lain, atau dapat dikatakan menempati strata dan level yang sama. Namun pada saat melangsungkan perkawinannya memakai uang japuik sebagai kharakteristik dari tradisi bajapuik tetap dibebankan kepada pihak perempuan. Status yang sama dari TM (calon mempelai perempuan) tidak menjadi pertimbangan bagi keluarga AZ. Dengan aturan yang berlaku (role of the game) dari tradisi bajapuik yang biasa berlaku bahwa pihak perempuan yang akan memberi uang japuik, itu saja yang menjadi pegangan bagi keluarga AZ untuk meminta uang japuik. Artinya bagi keluarga di pihak AZ, permintaan uang japuik kepada keluarga pihak TM dengan pertimbangan uang japuik sudah menjadi tradisi dan harus dilaksanakan oleh pihak perempuan yang dalam hal ini orang tua TM. 143 Jumlah uang japuik yang diminta dari pihak AZ berjumlah Rp 5 juta. Jumlah itu merupakan hasil kesepakatan dari orang tua, saudara kandung dan mamak dari AZ sendiri tidak di minta pertimbangannya. Karena masalah penentuan jumlah uang japuik bukan menjadi urusan AZ. Bagi orang tua AZ jumlah itu didasarkan atas status yang dimiliki oleh AZ sebagai seorang staf pengajar pada salah satu Perguruan Tinggi negeri di kota Padang, disamping pada waktu yang sama orang tua AZ juga membutuhkan dana pula untuk menikahkan adik perempuannya. Sementara itu bagi di pihak keluarga TM, jumlah uang japauik itu dapat diterima, dengan alasan sudah menjadi adat kita. Untuk itu tidak mungkin untuk menolaknya dan telah diwarisi semenjak dahulunya. Oleh sebab itu agar dapat suami/menantu, maka uang japuik harus dipenuhi. Apalagi kita berasal dari daerah yang sama dan telah paham dengan sistem perkawinan yang ada. Dari ketiga kasus di atas baik perkawinan yang dilakukan dengan sesama kerabat, perkawinan melalui perkenalan (pacaran) dan perkawinan sesama kedudukan yang setara, semua memakai tradisi bajapuik dengan uang japuik. Pertimbangan yang diambil oleh pihak keluarga perempuan adalah nilai budaya yakni bagaimana cara untuk mendapatkan seseorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau suami untuk anak perempuan. Untuk itu cara-cara yang diambil adalah dengan memenuhi persyaratan yang menjadi tradisi di dalam masyarakatnya. Sikap pihak keluarga perempuan yang demikian pada hakekat dibenarkan pula oleh nilai adat yang berlaku khususnya adat Minangkabau. Jika dalam adat Minangkabau membolehkan menjual harta pusaka untuk mendapatkan seorang laki-laki yang akan menjadi suami bagi anak perempuan, maka di dalam masyarakat Pariaman memakai uang japuik. Dengan demikian adanya nilai budaya inilah menjadi eksisnya tradisi bajapuik hingga saat ini. Dengan merujuk kepada proposisi Homans tentang nilai, maka semakin tinggi nilai tindakan seseorang bagi dirinya, maka makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu (Homans dalam Ritzert & Goodmann, 2004). 144 6.4. Ringkasan Bab Pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik didasarkan atas pertimbangan status sosial ekonomi, khususnya pekerjaan yang dimiliki oleh calon pengantin laki-laki. Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni antara pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai penerima. Aktor-aktor yang terlibat digolongkan atas keluarga inti (nuclear family) seperti; ayah Ibu dan anak dan keluarga besar (extended family) seperti mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat seperti; kepalo mudo dan ninik mamak. Keterlibatan masing aktor terdistribusi ke dalam proses dan pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik. Pertukaran yang terjadi sehubungan dengan tradisi bajapuik yakni antara keluarga kedua belah pihak adalah dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat. Antara keluarga kedua belah pihak terdapat nilai-nilai dan norma yang berbeda dalam melaksanakan tradisi bajapuik. Pihak keluarga laki-laki sebagai penerima dan pihak keluarga perempuan sebagai pemberi. Bagi pihak keluarga laki-laki, pertimbangan pemberian uang japuik kepada seorang laki-laki didasar atas status sosial ekonomi (status pekerjaan) dari seorang calon pengantin laki-laki, sedangkan di pihak keluarga perempuan di dasarkan atas kemampuan keluarga dalam mempersiapkan uang japuik diutamakan, selain calon mempelai perempuan mempunyai status sosial yang sama dengan calon mempelai laki-laki. BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT Pada bab ini diuraikan kontinuitas keberadaan perkawinan bajapuik yang tetap eksis dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Eksis atau adanya perkawinan bajapuik tentu tidak terlepas dari bagaimana masing-masing aktor yang terlibat dalam sistem pertukaran yakni pihak keluarga perempuan yang memiliki kewajiban sosial budaya untuk melaksanakan dan memberi uang japuik dengan didasari oleh pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowledgeably), sehingga mampu memberi ruang kepada pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan menantu/suami bagi anak perempuannya, berhadapan dengan pihak keluarga laki-laki yang akhir-akhir ini lebih cenderung berperilaku ekonomi dan berorientasi keuntungan dengan didasari status sosial ekonomi dari calon marapulai. Yang akhirnya menciptakan perilaku yang disesuaikan di antara keduanya, sehingga tingginya uang japuik dapat di atasi. Namun dengan perilaku sosial dengan pilihan yang dipertimbangkan yang dimainkan oleh pihak keluarga perempuan dengan ikut berpartisipasi (terlibat) telah memungkinkan eksisnya tradisi bajapuik. Dalam artinya menciptakan keseimbangan antara perilaku ekonomi dengan perilaku sosial khususnya pada pilihan yang dipertimbangkan sebagai kekuatan yang tidak terelakan. 7.1. Nilai Pertukaran Yang Tetap Terjaga Dalam Tradisi Bajapuik Kehidupan sosial masyarakat Pariaman penuh dengan nilai-nilai budaya yang unik dan berkembang dalam hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Sudah menjadi hukum alam bahwa di manapun di dunia ini selalu hidup budayabudaya khas yang berbeda dengan yang lainnya. Salah satu budaya unik dan menjadi ciri khas dari Pariaman adalah tradisi bajapuik. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Koentjaraningrat (1987:25), mengemukakan bahwa “nilai budaya ialah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan penting dalam hidup”. Dengan demikian nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan memberikan arah kehidupan warga masyarakat. Lebih jauh Sprenger (dalam 146 Alisyahbana, 1991), nilai budaya meliputi : Nilai teori (T), nilai ekonomi (E), nilai solidaritas (Sd), Nilai agama dan nilai seni (S), dan nilai kuasa (K). Adanya bermacam-macam nilai budaya itu, ternyata memberi keuntungan (benefit) dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga yang dirasakan oleh masyarakat Pariaman terkait dengan tradisi bajapuik. Meskipun dalam prakteknya, dasar dan bentuk pertukaran dalam tradisi bajapuik mengalami perubahan (lihat bab V), namun nilai yang mendasari pertukaran tetap sama yakni nilai budaya. Nilai budaya ini sekaligus menjadi salah satu pertimbangan selain pertimbangan ekonomi, dari pertukaran yang terjadi antara keluarga kedua belah pihak untuk melakukan tradisi bajapuik. Bagi pihak keluarga laki-laki pemberian uang japuik dalam tradisi bajapuik pada awalnya seperti yang dituturkan oleh informan Bgd M L (80 tahun) sebagai modal bagi laki-laki yang akan berumah tangga. Namun dalam perjalanan waktu, pemberian uang japuik menjadi keterusan dalam tradisi bajapuik dan berfungsi sebagai modal untuk melaksanakan pesta perkawinan di rumah pihak keluarga laki-laki, seperti dijelaskan informan TM (66 tahun): Uang japuik dalam tradisi bajapuik digunakan untuk keperluan dapur di rumah pihak keluarga laki-laki. Anak daro yang datang ke rumah mertua akan dihidangkan sejumlah makanan, mulai dari makanan pembuka sampai penutup. Selain itu kini telah menjadi tren pula adanya pesta di rumah pihak keluarga laki-laki, yang diawali oleh pihak keluarga lakilaki yang tidak mempunyai anak perempuan. Uang japuik itu yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan akan digunakan sebagian untuk keperluan pesta dan sebagian yang lain diberikan kepada anak daro sebagai paragiah jalang. Penuturan informan di atas menunjukkan uang japuik terdistribusi kebeberapa pos pembiayaan di rumah pihak keluarga laki-laki. Tanpa menghilangkan fungsi yang pertama, kadangkala uang japuik diberi sebagian kepada calon pengantin laki-laki, setelah biaya pesta dikeluarkan. Dengan demikian tradisi bajapuik sebagai sumber ekonomi untuk melaksanakan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. 147 Lebih dari itu, pertukaran dalam tradisi bajapuik dipihak keluarga laki-laki sebagai bentuk pertukaran intrinsik yakni mengenai harga diri/kehormatan (prestise), seperti di jelaskan AZ (65 tahun) Uang japuik merupakan prestise bagi pihak laki-laki dan perempuan. Bagi pihak laki-laki prestise terdapat pada calon mempelai dan mamak. Prestise bagi calon mempelai laki-laki adalah simbol status sosial yang tinggi di dalam masyarakat-- Uang japuik bagi pihak laki-laki mempunyai makna bahwa calon mempelai laki-laki mempunyai status sosial yang tinggi yang ditunjukkan oleh pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Bagi mamak simbol keberadaan mamak—karena orang yang datang (pihak keluarga perempuan) tidak hanya dinanti oleh orang tua mempelai, tetapi juga dinanti oleh mamak. Begitu juga dengan pihak perempuan merupakan suatu kebanggaan bahwa mereka mempunyai menantu yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat dan sekaligus menunjukan bahwa mereka berasal dari status sosial yang tinggi pula karena mampu menjemput seorang laki-laki yang mempunyai status sosial tinggi. Penuturan informan di atas menunjukan bahwa secara intrinsik nilai yang tertanam dalam tradisi bajapuik penghormatan kepada berbagai pihak seperti calon mempelai laki-laki dan mamak. Artinya sebagai prestise bagi keluarga besar (extended family). Sementara itu di pihak keluarga perempuan, pertimbangan dalam melaksanakan tradisi bajapuik tidak berbeda dengan pihak keluarga laki-laki. Bagi pihak keluarga perempuan seperti diakui oleh TM (66 tahun), dengan adanya uang japuik dapat mencari seorang laki-laki yang sesuai dengan raso jo pareso, artinya mengetahui baik buruknya akhlak seseorang yang akan diterima sebagai menantu. Begitu juga dengan status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dari seorang laki-laki, agar dapat memberikan jaminan hidup setelah mereka berumah tangga nantinya. Lebih jauh dari itu, bagi pihak keluarga perempuan tradisi bajapuik sebagai harga diri, seperti yang dijelaskan oleh informan M (71tahun) berikut ini; Uang japuik dalam tradisi bajapuik mempunyai arti bahwa laki-laki mempunyai harga (nilai) yang dibutuhkan di pihak perempuan. Bagi orang Minangkabau dan juga berlaku di Pariaman, nilai yang paling 148 tinggi itu adalah merubah status anak gadisnya dan mempunyai keturunan dari pernikahan yang dilakukan. Malah sebaliknya bila seorang laki-laki tidak dijemput penilaian menjadi turun kepada seorang laki-laki dan akan dipertanyakan pribadi yang bersangkutan. Pendapat lain yang terkandung dalam uang japuik, khususnya uang jemputan dan uang hilang dapat dilihat dari penuturan informan Dt UA (80 tahun) berikut ini: Uang japuik (uang hilang) itu gunanya untuk kegairahan—hal itu karena ayah, ibu, mamak melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya. Jika seorang anak gadis telah bersuami kewajiban dan tanggung jawab keluarga pindah kepada suami. Sebagai bumbu meriah penyerahan kewajiban dan tanggung jawab itulah uang japuik diberikan. Selain itu uang japuik yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan merupakan gengsi dari pihak laki-laki—jika anaknya tidak diberi uang japuik (uang hilang) nama keluarga akan terangkat terutama mamak. Jika seorang laki-laki tidak memakai uang japuik, karena mamak tidak dikut sertakan, lalu diberitahukan keadaan yang sebenarnya, itu artinya sama membuka malu mamak, sebab mamak itu yang dibicarakannya adalah yang benar. Mamak dapat mengatakan, “jiko itu yang katuju dek awak bueklah dan aden indak sato doh” (Jika sesuai menurut selera kerjakanlah, namun saya tidak akan ikut). Dengan demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik penuh dengan nilainilai. Nilai-nilai itulah yang menjadi dasar bertindak aktor untuk melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik atau menurut terminologi Homans disebut dengan tindakan bernilai—semakin tinggi bernilai suatu tindakan, maka semakin sering seseorang melakukan tindakan itu. Selanjutnya, dapat dikatakan masyarakat melakukan perkawinan bajapuik secara nyata dan tidak nyata, dan tidak hanya mendapatkan nilai ekstrinsik tetapi juga mengandung nilai intrinsik. Secara umum dapat dikatakan bagi kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan pelaksanaan tradisi bajapuik merupakan sebagai implementasi dari pengamalan nilai adat Minangkabau. Di pihak keluarga lakilaki, nilai yang mendasari itu seperti dikatakan dalam adat Minangkabau “darek ba panghulu, rantau ba rajo. Di daerah darek panghulu yang dihormati dan di rantau ada raja/rajo yang dihormati. Kedua sebutan itu adalah sebagai bentuk penghargaan kepada orang asa dan sekaligus sebagai pemimpin di kedua daerah 149 itu. Kedua bentuk pemimpin mendapat posisi yang tinggi dalam masyarakat dan sebagai penghormatan kepada mereka diberikan uang japuik dalam perkawinannya. (Mansoer, 1970). Sementara itu di pihak keluarga perempuan berkaitan dengan anak perempuan sebagai pewaris keturunan (sistem matrilineal). Anak perempuan yang telah cukup umur yang belum menikah atau“gadih gadang alun balaki” harus dicarikan jodoh. Bila tidak dapat akan menjadi malu keluarga dan kaum (Amir1987). Untuk itu harta pusaka dapat digunakan agar perkawinan dapat terlaksana, termasuk Pemberian sejumlah uang itu adalah dalam rangka untuk mendapatkan suami bagi anak perempuan. Dengan demikian nilai-nilai dan norma-norma itulah yang mendasari pelaksanaan tradisi bajapuik bagi keluarga kedua belah pihak. 7.2. Distribusi Keadilan (Distributive Justice) dalam Tradisi Bajapuik Pertukaran antara aktor dari pihak keluarga dengan aktor dari pihak lakilaki dalam tradisi bajapuik terdapatnya tawar-menawar (bargaining) dalam sistem perkawinan. Menurut Lamanna & Riedmann (1991) dan Goode (2007) pada hakikatnya ada macam-macam yang dipertukarkan yakni; kelas sosial (kekayaan, berkedudukan tinggi atau berkuasa), umur, kecantikan, dan pendidikan. Dalam tradisi bajapuik pertukaran berdasarkan pertimbangan atas kelas sosial (kekayaan, berkedudukan tinggi atau berkuasa); antara calon pengantin laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, baik dari calon mempelai perempuan maupun pihak keluarganya. Karena status sosial ekonomi yang tinggi dari calon pengantin laki-laki selain terkait dengan jumlah uang japuik dan juga terkait dengan kemampuan ekonomi pihak keluarga perempuan. Dalam realitanya, posisi status sosial ekonomi tinggi dari seorang marapulai (mempelai laki-laki), pertukaran cenderung terjadi dengan status sosial yang tinggi pula, atau istilah setempat “cacak samo cacak, kapuyuak samo kapuyuak, yang rancak sama yang rancak, yang buruak samo nan buruk”. Kondisi itu sesuai dengan pendapat Lamanna dan Riedmann (1991); di mana perkawinan dilakukan dengan menekankan prinsip homogamy Goode, (2007) atau distribusi keadilan (distributive justice) (Homans dalam Poloma, 2000) . Status sosial ekonomi yang tinggi bagi calon pengantin laki-laki, akan dipandang oleh pihak keluarga perempuan bahwa calon menantu baik untuk anak 150 perempuannya. Artinya calon menantu dapat diandalkan untuk menghidupi keluarga yang akan terbentuk nantinya. Oleh sebab itu status sosial ekonomi yang tinggi akan menjadi pertimbangan pada tahap awal diterimanya seorang laki-laki untuk dijadikan menantu, selain calon pengantin perempuan menempati posisi yang sama pula, karena pada hakekatnya perkawinan bajapuik merupakan distribusi keadilan. Meskipun tak dapat disangkal bahwa terdapat pula perkawinan yang tidak seimbang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti; kepribadian dan kecantikan seseorang. Selanjutnya bagi pihak keluarga laki-laki dalam menentukan uang japuik didasarkan atas pertimbangan kelas sosial, sambil melihat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang dimiliki oleh anak laki-laki (calon marapulai). Dalam hal ini pihak keluarga laki-laki telah memahami bila anak laki-laki mempunyai status sosial tinggi seperti pendidikan, pekerjaan yang bergensi sampai pada pendapatan yang tinggi maka uang japuik akan tinggi. Kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik antara Rp 3 sampai tidak terhingga (lihat tabel 24). Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi tidak terbatas. Khusus pada bentuk yang kedua, kadangkala terdapat kerelaan dari pihak keluarga perempuan untuk memberikan uang japuik yang relatif tinggi. Bila calon marapulai dipandang mempunyai nilai lebih, maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik yang lebih tinggi. Meskipun demikian pertimbangan mengenai jumlah uang japuik tetap didasarkan atas status sosial ekonomi yang dalam hal ini pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang dimiliki calon mempelai laki-laki. Status sosial ekonomi yang tinggi bagi calon pengantin laki-laki, akan dipandang oleh pihak keluarga perempuan bahwa calon menantu baik untuk anak perempuannya. Artinya calon menantu dapat diandalkan untuk menghidupi anak dan keluarga yang akan terbentuk nantinya. Oleh sebab itu status sosial ekonomi yang tinggi akan menjadi pertimbangan pada tahap awal diterimanya seorang lakilaki untuk dijadikan menantu, selain calon pengantin perempuan menempati posisi yang sama pula, karena pada hakekatnya perkawinan bajapuik merupakan suatu bentuk distribusi keadilan (distributif justice). 151 Bagi pihak keluarga perempuan yang mempunyai kemampuan ekonomi, jumlah uang japuik yang relatif tinggi akan dapat ditanggulangi. Biasanya mereka ini, akan mencari calon menantu yang mempunyai status sosial yang tinggi pula. Sebaliknya dengan pihak keluarga perempuan yang berasal dari kalangan yang tidak berpunya baik dari orang tua (nuclear family) dan keluarga besar (extended family) ada kecenderungan mencari calon pengantin laki-laki (marapulai) dari kalangan yang sederajat pula dengan mereka. Meskipun demikian terdapat pula penyesuaian dalam bentuk yang lain yakni melalui pertimbangan kepribadian, kecantikan dari calon mempelai perempuan, sehingga uang japuik yang relatif tinggi dapat ditanggulangi oleh calon mempelai laki-laki. Untuk mencapai perkawinan yang keseimbangan (homogamy) dalam perkawinan bajapuik, dapat diawali dengan proses pencarian pasangan (merasok). Proses ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Dengan proses ini diharapkan mendapatkan pasangan dengan ciri-ciri/sifat-sifat yang relatif sama dalam status sosial, terutama untuk kedua calon pengantin. Proses ini dalam masyarakat dikenal juga dengan istilah, “cacak samo cacak, kapuyuak samo kakapuyuak”. Artinya perkawinan bajapuik dapat terlaksana, jika di antara keduanya menempati posisi yang sama. Dengan meresek atau merasok akan diperoleh gambaran mengenai identitas dan latar belakang calon pengantin laki-laki. Selain itu, dengan meresek sekaligus bertujuan untuk menelusuri sicalon yang akan dijadikan menantu, beserta keluarganya, apakah bersedia untuk menerima orang yang datang. Tindakan ini dilakukan, terutama bila seorang anak perempuan telah pantas untuk dikawinkan dan belum mempunyai pilihan sendiri. Bagi anak perempuan yang sudah mempunyai pilihan sendiri dan sudah ada komitmen dengan calon pasangannya, maka orang tua dari pihak perempuan hanya meneruskan langkah selanjutnya. Proses meresek dilakukan oleh orang tua dari pihak perempuan, terlebih dahulu telah mempertimbangkan bahwa laki-laki yang akan dipinang memang pantas dan cocok dengan anaknya. Setelah itu, barulah orang tua tersebut mengutus salah seorang dari anggota keluarganya untuk datang ke rumah calon yang di tuju. Kedatangan ini sekaligus minta izin kepada orang tua calon mempelai laki-laki untuk dapat melepas anaknya untuk dijadikan menantu. Dari 152 keterangan orang tua ini nantinya akan diperoleh informasi tentang kesediaannya dan juga sianak yang akan di pinang. Apabila sudah ada aba-aba kesediaan dari pihak keluarga laki-laki, maka dibuatlah perhitungan selanjutnya. Untuk mencapai perkawinan yang seimbang (adil/homogamy) dalam tradisi bajapuik dapat dilakukan pula melalui penyesuaian-penyesuain. Dalam hal ini penyesuaian dilakukan oleh kedua belah pihak—pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Penyesuaian perilaku dalam tradisi bajapuik di dasari dari nilai-nilai dan norma-norma (norma sosial) yang mengitari kehidupannya. Semakin besar keuntungan yang didapat oleh aktor, maka semakin besar kemungkinan aktor pertimbangkan norma sosial (choosing knowledgeably) sebagai dasar perilakunya. Secara teoritis dalam teori pertukaran sosial bahwa perilaku sosial sebagai aktivitas nyata dan tidak nyata dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah dan biaya. Ternyata pertukaran dalam tradisi bajapuik tidak hanya untuk mendapatkan seorang menantu/suami bagi anak perempuannya, tetapi juga untuk menutupi malu keluarga dan kaum (mempertinggi harga diri), sehingga mendorong pihak keluarga perempuan untuk melaksanakan tradisi bajapuik. Sejauh mana dorongan intrinsik berpengaruh dalam tradisi bajapuik bagi pihak keluarga perempuan? Ini tergantung pada; sejauh mana nilai-nilai dan norma-norma (dorongan intrinsik) tertanam (terinternalisasi) dalam masyarakat. Apabila nilai-nilai dan norma terinternalisasi, maka tradisi bajapuik dengan uang japuik akan dilaksanakan sepenuhnya. Sebaliknya apabila nilai-nilai dan norma-norma kurang terinternalisasi, maka tradisi bajapuik dengan uang japuik akan tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya. Artinya terdapatnya perilaku-perilaku yang disesuaikan yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan dan calon pengantin dalam tradisi bajapuik kepada pihak keluarga laki-laki untuk mendapatkan seorang menantu/isteri. Terdapat perbedaan pemahaman nilai-nilai dan norma-norma di antara masyarakat yang berada pedesaan dan perkotaan. Menurut Giddens (2002 ), gaya hidup mempunyai kekuatan yang sangat kuat untuk terjadi perubahan dalam masyarakat. Untuk kasus tradisi bajapuik dengan kehidupan daerah pedesaan yang bersifat mekanis tanpa disertai dengan kemauan dan kesadaran, membuat 153 aktor harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku dalam tradisi bajapuik. Artinya nilai-nilai dan norma-norma tertanam (terinternalisasi) kuat di pedesaan. Oleh sebab itu agar aktor tidak terlempar dari lingkungan sosial, aktor harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berbeda dengan pelaksanan tradisi bajapuik yang ada di perkotaan, dengan kehidupannya yang bersifat dinamis, dengan disertai dengan kemauan dan kesadaran sendiri, membuat aktor melakukan penyesuaian dalam tradisi bajapuik. Artinya nilai-nilai dan norma tidak terinternalisasi dengan kuat diperkotaan, sehingga tradisi bajapuik dilaksanakan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada, sehingga membawa perubahan-perubahan dalam tradisi bajapuik. Jika di pedesaan bentukbentuk pertukaran berupa uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan, maka di perkotaan berupa uang jemputan (baca uang hilang), dan uang selo. Berarti tradisi bajapuik yang dilakukan dengan sesama masyarakat Pariaman (pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) memiliki pemahaman nilai-nilai dan norma-norma yang kuat. Artinya dengan pemahaman nilai-nilai yang sama kuat, maka tradisi bajapuik akan terlaksana sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam pemahaman nilai-nilai dan norma-norma yang sama, berarti mereka telah terinternalisasi dalam perilaku personal. Masing-masing pihak yang terlibat dalam tradisi bajapuik berusaha melaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku (role of the game) yang ada, sebab apabila melakukan tradisi bajapuik tidak sesuai dengan role of the game, maka pihak yang terlibat akan mendapat ganjaran berupa cemoohan. Bagi pihak laki-laki yang berada dipedesaan dan diperkotaan melakukan tradisi lebih didasarkan atas perilaku ekonomi dengan tujuan mengutamakan efisiensi dan keuntungan ketimbang melakukan dengan role of the game, nilainilai dan norma-norma yang ada. Tujuan melakukan pertukaran lebih didasarkan atas pertimbangan ekonomi 7.3. Keterlibatan Keluarga Luas (extended family) dalam Tradisi Bajapuik Dalam konsepsi perkawinan di Minangkabau, keluarga luas (extended family) ikut dalam pelaksanaan perkawinan mulai dari pencarian jodoh sampai pada pasca perkawinan (pesta) (Navis, 1984). Keluarga luas yang dimaksud 154 adalah yang berasal dari pihak ibu dan dari pihak ayah, yang di dalam istilahnya disebut dengan nan saparuik dan induak bako. Keterlibatan keluarga luas dalam perkawinan pada umumnya dipandang dari dua kelompok ini mempunyai tujuan yang berbeda. Dari pihak nan saparuik, keterlibatannya ditujukan kepada anak, adik dan kemenakan, sedangkan dari pihak induak bako keterlibatan itu ditujukan kepada anak pisang. Dipandang dari adat Minangkabau, adanya pengelompokan ini berkaitan dengan kedudukan dalam adat, fungsi seseorang dalam masyarakat adat dan segala urusan yang berkaitan dengan harta pusaka. Urang nan saparuik yang dimaksud adalah satu perut dari pihak ibu yang terdiri dari; ayah, ibu, saudara kandung, saudara dari ibu (mamak, etek, mak tuo), kakek dan nenek atau seperti yang terlihat pada skema 9 berikut ini. N A I SLI SPI E S L/P Gambar 9. Anggota Keluarga dari pihak Ibu Keterangan : N A I SLI SPI S E LP = = = = = = = = Nenek Ayah Ibu Saudara Laki-laki dari Ibu Saudara Perempuan dari Ibu Sumando Ego (laki-laki / perempuan) Saudara ego (Laki-laki / Perempuan) Kemudian induak bako adalah saudara dari ayah. Adapun yang termasuk ke dalam induak bako antara lain; nenek, saudara perempuan dan laki-laki dari 155 pihak ayah. Timbulnya induak bako disebabkan oleh perkawinan dari kedua orang tua. Melalui perkawinan menimbulkan terjadinya sistem kekeluargaan sumando (semenda), yang sekaligus juga memperlihatkan pola hubungan antara kelompok keluarga dari pihak ayah (induak bako) dengan kelompok urang nan saparuik (samande) melalui anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan, dengan istilahnya anak pisang. Anak pisang adalah anak dari saudara laki-laki yang dipandang dari saudara pihak ayah. Adapun induak bako yang dimaksud seperti terlihat pada skema 10 berikut ini. N I A SPA SLA S E L/P Gambar 10. Anggota Keluarga dari pihak Ayah Keterangan N = Nenek A = Ayah I = Ibu SPA = Saudara Perempuan dari Ayah SLA = Saudara laki-laki dari Ayah S = Sumando ( Isteri dari Saudara laki-laki Ayah E = Ego /Anak Pisang (Perempuan) L/P = Saudara ego /Anak Pisang (Laki-laki/Perempuan) Kedua kelompok keluarga ini terlibat dalam pelaksanaan perkawinan pada umumnya dan khususnya dalam perkawinan bajapuik. Keterlibatan kelompok keluarga tersebut mempunyai tujuan dan sebutan yang berbeda. Di pandang dari pihak nan saparauik dan keterlibatan terdapat pada; anak, adik atau kemenakan yang akan melangsungkan suatu perkawinan. Dari pihak induak bako disebutnya dengan anak pisang. Begitu juga dengan porsi yang ditempati oleh kedua 156 kelompok keluarga dalam perkawinan bajapuik. Masing-masing telah mendapat bagian pada tempat mana keterlibatannya difokuskan. Pada kelompok urang nan saparuik, keterlibatannya dalam perkawinan bajapuik dapat dikategorikan pada umum dan khusus. Secara umum, keterlibatan urang nan saparuik hampir seluruh proses perkawinan. Artinya mulai dari pencarian jodoh sampai pada pasca pesta perkawinan seperti yang telah digariskan dalam adat Minangkabau pada umumnya. Secara khusus, keterlibatan urang nan saparuik dalam perkawinan bajapuik terlihat pada bantuan berupa uang untuk terlaksananya perkawinan, khususnya dalam menangani uang jemputan atau uang hilang yang menjadi ciri khas dari perkawinan bajapuik. Menurut Navis, (1984), perkawinan tidak menjadi urusan kedua individu yang akan menikah, tetapi menjadi urusan keluarga besar (extended family), mulai dari pencarian jodoh sampai kepada pasca perkawinan. Kemudian pada kelompok induak bako, lebih fokus kepada bantuan materi jika dibandingkan dengan bantuan non materi. Keterlibatan induak bako dalam proses pelaksanaan tradisi bajapuik jarang terjadi. Adanya keterbatasan yang disebabkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya, maka kedekatan hubungan itu lebih mengarah kepada nan saparuik dari pada induak bako. Jika ada induak bako yang ikut serta dalam proses pelaksanaan perkawinan anak pisangnya terutama disebabkan oleh tempat tinggal tinggal atau domisili yang berdekatan. Perasaan segan dan malu bila menjadi perhatian masyarakat sekitarnya, telah mendorongnya induak bako untuk turut serta dalam proses tersebut. Namun demikian, induak bako tetap konsen terhadap anak pisang memberikan dalam bentuk materi, ketika perkawinan dilaksanakan. Adanya keterlibatan di antara keduanya (nan saparuik dan induak bako) dapat dilihat dalam tabel tabel 26 berikut ini. 157 Tabel 26. Keikut sertaan Anggota Keluarga dalam Tradisi Bajapuik Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 Kategori Ya Tidak Orang Tua Total Ya Tidak Calon Mempeali Total Ya Tidak Saudara Kandung Total Ya Saudara Pihak Ibu Tidak Total Ya Saudara Pihak Ayah Tidak Kakek dan Nenek dari Pihak Ibu Ya Total Tidak Total Generasi Muda Laki-laki Perempuan 59 (98,3) 1 (1,7) 60 (100) 11 (18,3) 49 (81,7) 60 (100) 35 (58,3) 25 (41,7) 60 (100) 39 (65,0) 21 (35,0) 60 (100) 17 (28,3) 43 (71,7) 60 (100) 10 (16,7) 50 (83,3) 60 (100) 9 15,0 51 (85,0) 60 (100) Ya Kakek dan Tidak Nenek dari Total Pihak Ayah Sumber Data Primer 2008 60 (100) 0 (0) 60 (100) 9 (15,0) 51 (85,0) 60 (100) 43 (71,7) 17 (28,3) 60 (100) 53 (88,3) 7 (11,7) 60 (100) 12 (20,0) 48 (80,0) 60 (100) 6 (10,0) 54 (90,0) 60 (100) 6 (10,0) 54 (90,0) 60 (100) Lakilaki 58 (96,7 2 (3,3) 60 (100) 16 (26,7) 44 (73,3) 60 (100) 44 (73,3) 16 (26,7) 60 (100) 49 (81,7) 11 (18,3) 60 (100) 45 (75,0) 15 (25,0) 60 (100) 24 (40,0) 36 (60,0) 60 (100) 25 (41,7) 35 (58,3) 60 (100) PeLaku Perempuan 55 (91,7) 5 (8,3) 60 (100) 14 (23,3) 46 (76,7) 60 (100) 46 (76,7) 14 (23,3) 60 (100) 47 (78,3) 13 (21,7) 60 (100) 48 (80,0) 12 (20,0) 60 (100) 6 (10,0) 54 (90,0) 60 (100) 5 (8,3) 55 (91,7) 60 (100) Orang Tua LakiPerempuan laki 59 55 (98,3) (91,7) 1 5 (1,7) (8,3) 60 60 (100) (100) 2 8 (3,3) (13,3) 58 52 (96,7) (86,7) 60 60 (100) (100) 46 41 (76,7) (68,3) 14 19 (23,3) (31,7) 60 60 (100) (100) 45 46 (75,0) (76,7) 15 14 (25,0) (23,3) 60 60 (100) (100) 54 48 (90,0) (80,0) 6 12 (10,0) (20,0) 60 60 (100) (100) 7 18 (11,7) (30,0) 53 42 (88,3) (70,0) 60 60 (100) (100) 35 7 (58,3) (11,7) 25 53 (41,7) (88,3) 60 60 (100) (100) Dari tabel di atas terlihat bahwa kedua kelompok keluarga; urang nan saparuik dan kelompok keluarga induak bako turut serta dalam menangani perkawinan bajapuik. orang tua, calon pengantin, saudara dari pihak ibu, saudara dari pihak ayah, serta kakek dan nenek dari pihak ibu dan pihak ayah, yang terdapat dalam 158 struktur keluarga luas (extended familiy) ikut serta dalam perkawinan bajapuik. Selain kedua kelompok keluarga tersebut terdapat kecendrungan pula pada individu yang akan menikah untuk turut berpartisipasi dalam perkawinan. Keterlibatan kelompok keluarga nan saparuik dapat dibagi atas dua; bantuan moril dan materil. Bantuan moril berupa tenaga dan bantuan materil berupa benda seperti uang dan alat-alat kebutuhan rumahtangga. Pemberian bantuan dari pada hakekatnya diberikan oleh anggota keluarga nan saparuik dengan syarat mereka diberi tahu atau diundang pada penyelenggaraan perkawinan. Tanpa mengabaikan peranan bantuan dari aktor-aktor dari nan saparuik, orang tua selaku yang punya hajat pada umumnya mengambil bagian pada uang jemputan 1, meskipun pada awalnya menjadi tanggungjawab mamak. Meskipun ada banyak orang yang akan menangulangi biaya dalam perkawinan bajapuik. Namun orang tua dalam hal ini, merupakan sebagai fondasi harus pula mempersiapkannya lebih awal. Seperti pepatah mengatakan, “ingat sebelum kena, hemat sebelum habis”. Artinya orang tua yang mempunyai anak perempuan lebih awal sudah mulai berhemat untuk mengantisipasi kemungkinan biaya yang akan dikeluarkan pada saat pernikahan anak perempuan nantinya. Semua bentuk bantuan itu diberikan kepada anak perempuan. Sementara untuk anak laki-laki dalam perkawinan lebih hanya dititik beratkan pada bantuan moril. Adanya perbedaan bantuan yang diberikan kepada anak yang berlainan jenis, lebih di dasarkan pada pelaksanaan perkawinan bajapuik. Pada perkawinan bajapuik anak perempuan dalam pelaksanaan perkawinannya membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus mengeluarkan berbagai macam bentuk uang. Sebaliknya dengan perkawinan pada anak laki-laki, orang tua akan menerima uang jemputan atau uang hilang. Sehingga wajarlah untuk pemberian bantuan diberikan kepada anak perempuan dalam pelaksanaan perkawinannya. Sebagai gambaran dapat dilihat dari penuturan informan TM (67 tahun) berikut ini. 1 Uang jemputan dalam artian sebenarnya yang belaku pada masyarakat pedesaan, yakni sebagai uang yang berupa benda seperti emas atau kendaraan atau rumah adalah sebagai modal atau hadiah kepada anak perempuannya yang akan melangsungkan perkawinan. Uang jemputan seperti yang disebutkan di atas dipulangkan dan akan dinikmati oleh calon pengantis sebagai modal bagi mereka untuk berumahtangga. Oleh sebab itu mengenai uang jemputan ini, adalah tanggungjawab orang tua pada umumnya. 159 Yang terlibat dalam menangani uang jemputan dan uang hilang (perkawinan bajapuik) tentunya dari kaum perempuan. Jika ibarat kayu—yang berat itu dipangkalnya dan jiko rumah yang berat itu rusuknya. Maka dalan hal ini yang memikul yang berat itu adalah orang tua. Tetapi dalam hal ini, biasanya orang tua jauh hari sudah siap sedia dengan uang jemputan dan uang hilang meskipun pada pihak yang lain ada bantuan dari famili lainnya. Segala sesuatu sudah disediakan oleh orang tua. Itu yang dinamakan dengan ingat sebelum kena, hemat sebelum habis. Jika dahulu yang mengingatkan itu adalah mamak, “jangan sampai mau berak baru ingat lubang lantai”. Selain itu bantuan dari masyarakat juga diperoleh khususnya pada hari H—pelaksanaan pesta perkawinan. Sedikit banyak bantuan yang datang dari masyarakat ini tergantung pada siapa yang diundang dan pergaulan yang luas dalam masyarakat. Jika orang yang mempunyai jiwa sosialnya tinggi seperti mau lihat-melihat, tolong-menolong, Alhamdulillah uang yang dibutuhkan dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik dapat ditanggulangi. Kondisi ini, sedikit berbeda pada orang yang mempunyai ekonomi lemah, tidak pula mempunyai mamak dan kurang pula pergaulan dapat saja sampai menggadaikan sawah untuk penyelenggaran perkawinan itu. Karena uang yang diperoleh dari pesta perkawinan hanya sekedarnya saja. Tetapi dalam kenyataan yang ada saat ini, pada hakekatnya uang hilang itu tidak membebani pihak perempuan karena ini sesuai pula dengan zaman dimana perhubungan sudah lancar, manusia sekarang telah mempunyai akal yang panjang dan pergaulan yang luas, maka tidak ada yang sampai menjual dan menggadaikan. Oleh sebab itu ada banyak cara yang dilakukan untuk pelaksanaan pesta—di daerah si Cincin mamak mengumpulkan infak. Selain itu mamak juga mengingatkan kepada adik atau kakaknya yang perempuan bahwa jika mau melakukan pesta apakah sudah ada persiapan. Dari tuturan informan di atas, ada kecenderungan bantuan yang diberikan dalam perkawinan bajapuik, sebenarnya kembali kepada orang tua. Kondisi ekonomi di lingkungan keluarga luas turut pula menentukan, selain pergaulannya dalam masyarakat. Meskipun demikian pada realita yang ada, perkawinan bajapuik tidak mendatangkan kerugian kepada pihak perempuan dan namun justru 160 mendatangkan keuntungan. Sebagai gambaran yang diperoleh dari observasi partisipan diperoleh besarnya bantuan materil bervariasi, tergantung kepada kemampuan ekonomi masing-masing anggota keluarga. Tetapi patokan yang umum, untuk orang yang berasal dari pangka dahan, sebutan untuk mamak, biasa lebih besar jika dibandingkan dengan undangan umum lainnya. Mamak yang berprofesi sebagai sopir jumlah bantuannya Rp 500.000 ribu; mamak yang berprofesi sebagai PNS dan punya usaha tambahan lainnya, jumlah bantuan masing-masingnya Rp 3,5 juta dan 2 juta; dan mamak yang profesinya sebagai pegawai swasta (bangunan), jumlah bantuannnya 1 juta. Kemudian adik perempuan dari ibu (tante dan Uncu) juga memberi bantuan uang. Masingmasingnya berjumlah Rp1 juta dan Rp3 juta. Kemudian dari pihak nenek dan kakek kandung memberi bantuan yang jumlahnya 1 juta. Begitu juga dari adik nenek, yang tergabung dalam 1 keluarga, jumlahnya berkisar dari Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Bantuan dari keluarga nan saparuik akan terlihat jelas, ketika malam baretong diadakan. Pada saat itu anggota keluarga yang berasal dari nan saparuik berkumpul setelah pesta perkawinan dilaksanakan. Jika dahulu, malam baretong dilakukan 2 atau 3 hari setelah pesta perkawinan dilakukan, namun sekarang ada kecenderungan dilakukan pada hari sama tepatnya pada malam hari sholat magrib. Ini dilakukan dalam rangka efisiensi waktu--anggota keluarga nan saparuik banyak di antaranya yang tidak lagi tinggal bekerja diwilayah yang sama yang disebabkan oleh profesi yang ditekuninya berbeda. Pada malam malam baretong pada umumnya dihadiri oleh kaum laki-laki. Pada saat ini akan terlihat jelas peranan mamak dalam pelaksanaan perkawinan kemenakannya. Selain itu, masyarakat lingkungan sekitar turut hadir pula pada, terutama mereka yang cukup dekat hubungan emosionalnya pada keluarga yang mempunyai pesta. Biasanya undangan yang datang pada malam baretong ini, sumbangan lebih besar jika dibandingkan undangan yang datang siang hari. Pada malam itu akan dihitung seluruh hasil dan amplop serta kado yang dibawa oleh para undangan, baik yang diserahkan langsung ataupun melalui kiriman, sehingga pada malam itu disebut juga dengan malam baretong (malam menghitung). Pada malam baretong ini akan terkumpul sumbangan para sanak-famili dan kerabat 161 terdekat serta para undangan lainnya. Untuk menyebutkan dan menerima sumbangan, ditunjuk seorang ninik mamak yang sudah biasa dipakai dalam masyarakat setempat. Ninik mamak inilah yang menyebutkan satu-persatu siapa saja yang memberikan sumbangan. Pada akhir acara ini ninik mamak akan menyebutkan modal pesta dan jumlah uang yang di peroleh dari penyelenggaraan pesta mulai dari siang hingga malam hari. Semua benda yang dibawa oleh para undangan, baik yang berupa uang ataupun berupa kado semuanya masuk dalam penerimaan pesta. Dari hasil sumbangan ini semua biaya yang telah terpakai, baik untuk pesta, uang jemputan (uang hilang) di keluarkan. Biasanya keluarga yang mempunyai status yang tinggi dalam masyarakat akan memperoleh keuntungan dari pelaksanaan perkawinan bajapuik, karena mempunyai banyak kenalan, disegani, dan mempunyai sosial yang tinggi, maka uang yang diperoleh dari penyelenggaraan pesta juga cukup banyak. Selain itu, dalam pelaksanan malam baretong ini adanya upaya untuk harus mencukupi dana yang dikeluarkan dari penyelenggaraan pesta atau istilah setempat disebut ulang aie. Artinya perhitungan diulangi kembali untuk mencarikan kekurangan uang untuk menutupi biaya pesta, sampai biaya pesta dapat terpenuhi. Bahkan kadang-kadang uang yang diperoleh dari ulang aie melebihi dari modal pesta, sehingga penyelenggaraan perkawinan bajapuik menjadi beruntung pula pada akhirnya. Kemudian bantuan dari induak bako, pada umumnya berbentuk emas seperti; gelang atau satu set kalung. Selain itu induak bako juga membawa berbagai hadiah lainnya berupa pakaian dan alat-alat untuk makan yang berupa, cangkir, piring, gelas minum, tembala, kain baju, sandal dan sebagainya. Jumlahnya bervariasi tergantung pada kemampuan ekonomi dari bako. Selain itu kebiasaan masing-masing nagari turut pula mempengaruhi besar kecil dan jenis bawaannya yang diberikan bako kepada anak pisangnya. Seperti yang terjadi di kenagarian Kuranji Hilir khususnya di daerah Sungai Geringging, pemberian dari bako berupa seekor kerbau dan uang jutaan rupiah 2. Pemberian dari bako ini ditujukankan kepada anak daro (mempelai perempuan), sebagai modal baginya untuk menjalankan rumahtangga. Oleh sebab itu, untuk pemberian langsung diserahkan kepada mempelai perempuan dan menjadi hak miliknya. Inilah yang 2 Wawancara dengan salah seorang Informan penenlitian dari kalangan Alim Ulama pada tanggal 14 Juni 2008. 162 dinamakan ba induak bako. Berbeda bantuan dari kelompok nan saparuik, setelah uang terkumpul melalui malam baretong, uang langsung diserahkan kepada orang tua. Melalui orang tua, uang itu didistribusi untuk membayar kebutuhan pesta yang seharusnya dikeluarkan. Semua pemberian yang berasal dari keluarga luas itu diserahkan dalam dua kurun waktu yaitu pada pesta perkawinan dan pada malam baretong. Pemberian dari bako kepada anak pisangnya dilakukan pada siang hari, saat pesta diadakan dan langsung diserahkan kepada anak daro atau yang sebut juga dengan acara ba bko ba bakian. Pemberian dari bako ini, menjadi hak milik anak daro dan dapat digunakan sebagai modal baginya untuk berumahtangga, sedangkan pemberian dari pihak ibu (nan saparuik) diberikan pada malam hari, saat malam baretong 3. Pada saat itu semua anggota keluarga berkumpul, termasuk undangan lain yang belum sempat hadir. Pemberian dari pihak ibu diterima oleh ninik mamak, kemudian diserahkan kepada orang tua. Oleh orang tua pemberian itu dapat digunakan untuk kebutuhan perkawinan termasuk untuk uang jemputan atau uang hilang. Semua anggota keluarga yang tercakup dalam keluarga luas ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta perkawinan. Ini sekaligus mencerminkan nilai-nilai adat yang mengatakan, “ketek anak awak dan gadang anak urang”. Jadi seorang anak sewaktu kecil menjadi tanggungan orang tuannya, dan setelah dewasa atau mau berumahtangga menjadi tanggungan bersama yakni keluarga besar, sehingga perkawinan bajapuik yang memberatkan orang tua menurut pandangan orang yang tidak memahami atau orang dari luar Pariaman tidak bertemu dalam masyarakat ini. Dengan adanya kerjasama di antara anggota keluarga itu, maka perkawinan bajapuik menjadi eksis hinggga sampai saat ini. Adanya bantuan dan kerjasama di antara anggota keluarga keluarga besar (extended family dalam tradisi bajapuik, telah membuktikan bahwa ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada individu-individu sebagai tempat untuk 3 Adalah malam menghitung seluruh dana yang masuk dan dana keluar. Sehingga dari perhitungan tersebut akan terlihat apakah suatu pelaksanaan perkawinan tersebut beruntung atau merugi. Kebiasaan yang berlaku di Pariaman tidak ada pesta perkawinan yang merugi. Jika pada perhitungan pertama terlihat ada kekurangan dana yang masuk maka yang memimpin acara baretong akan melakukan dulang air, sampai terpenuhi dana yang akan keluar. Sehingga orang tua setelah usai pelaksanaan perkawinan tidak ada yang berutang . 163 mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Sussman dan Burchinal, 1979) . 7.4. Keterlibatan Keluarga Batih (Nuclear Family) Memberi Ruang Bagi Eksistensinya Perkawinan Bajapuik Tradisi bajapuik telah terpola sebagai sebuah kultur dalam masyarakat, sehingga kontaminasi modernisasi belum mampu mengendapkan budaya ini. Kondisi kultural yang fenomenologis ini membuktikan, bahwa budaya lokal yang telah terpola dan mapan dalam masyarakat. Untuk itu sulit dirubah dan ia tetap dianggap menjadi sebuah kearifan budaya oleh masyarakat setempat, sekalipun konsep budaya lokal itu dipandang miring oleh sekelompok orang terutama generasi muda yang tidak memahami makna dari tradisi bajapuik itu sendiri. Begitu juga dari orang yang berasal dari luar Pariaman, tidak jarang pula menjadi bahan olok-olokan bagi mereka. Meskipun demikian dalam prakteknya, tradisi bajapuik ini semakin trend dan sulit ditinggalkan oleh laki-laki Pariaman yang hendak melangsungkan pernikahan, sekalipun pernikahan mereka dibangun atas dasar saling suka-menyukai. Di satu sisi masyarakat sendiri juga belum mampu dengan tegas menggugatnya, sehingga imbalan material untuk laki-laki yang akan dijadikan menantu selalu dan terus ada dalam pelaksnaan tradisi bajapuik, sekalipun roda zaman telah berputar. Dengan demikian tidak semua lapisan masyarakat yang mendukung keberadaan tradisi bajapuik sebagai sebuah tradisi, meski secara umum tradisi itu hingga saat ini tetap eksis. Dalam teori budaya dikatakan, pendukung yang setia dari suatu tradisi berada pada golongan tua (Sutrisno dan Putranto, 2005). Assumsi ini tentu dapat dipahami bahwa golongan tua telah lama hidup dan mengetahui cukup banyak mengenai tradisi, sekaligus mengetahui kenapa suatu tradisi muncul dan makna-makna apa yang terkandung dalam suatu tradisi. Tetapi dalam hal ini tidak dapat digeneralisasi, bahwa setiap individu yang termasuk pada golongan tua paham dan mengerti mengenai tradisi. Golongan tua yang termasuk pada kategori ini adalah mereka yang tidak menetap cukup lama di dalam kawasan tradisi ini, sehingga pemahamannnya terhadap tradisi menjadi memudar, seperti yang terdapat pada sebagian generasi muda. Meskipun terdapat 164 tingkat-tingkat pemahaman dari suatu tradisi dari berbagai lapisan, tetapi tradisi bermanfaat bagi kehidupan masyarakat akan tetap dipertahankan keberadaannya, seperti yang terjadi dalam tradisi bajapuik. Sebagaimana kita ketahui, generasi muda adalah golongan yang secara psikologis belum matang dalam mengambil suatu tindakan, dan tindakan yang diambil cenderung didasarkan atas emosional dan tanpa pikir panjang. Untuk menyelesaikan sesuatu itu dengan jalan pintas. Padahal di dalam tradisi bajapuik mengandung nilai-nilai yang secara ekplisit dan implisit. Bagi keluarga pihak perempuan menyangkut usaha untuk mendapatkan jodoh dan keturunan tetapi lebih dari itu yakni menutupi malu keluarga dan kaum bagi keluarga pihak perempuan, sedangkan bagi keluarga pihak laki-laki adalah menyangkut status dan prestise dimata masyarakat. Jadi keterlibatan generasi muda khususnya calon pengantin laki-laki dalam tradisi bajapuik dalam rangka menembus tekanan struktural dan kultural dan agar tradisi bajapuik tetap berlangsung. Bila tindakan itu tidak dilakukan, implikasi yang akan diterimanya seperti; perkawinan tidak dapat terlaksana dan munculnya cemoohan di lingkungan keluarga luas (extended family) dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu berbagai cara yang dilakukan agar perkawinan tetap berlangsung. Sikap-sikap yang muncul dalam tradisi bajapuik, khususnya yang dilakukan oleh generasi muda antara lain: 1. Calon pengantin laki-laki menanggulangi uang japuik sepenuhnya 2. Calon pengantin laki-laki menanggulangi uang japuik sebagian 3. Calon pengantin laki-laki memberikan usulan kepada orang tua mengenai jumlah uang japuik. Pola pertama, calon pengantin laki-laki memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan. Tindakan ini dilakukan karena didukung oleh potensi diri dari calon penganting laki. Biasanya berasal dari kalangan terdidik dan mempunyai pekerjaan yang memadai. Ikut serta calon pengantin laki-laki menanggulangi uang hilang ini karena situasi yang tidak mendukung. Artinya dari pihak keluarganya bersekukuh meminta uang japuik sebagai syarat dari berlangsungnya suatu perkawinan. Sementara dari pihak perempuan tidak mempunyai kesanggupan untuk memenuhinya atau berasal dari luar Pariaman 165 sehingga tradisi itu tidak menjadi kelaziman dalam adat perkawinannya. Keikut sertaan calon pengantin laki-laki tersebut dapat dipahami dari penuturan informan Bapak M, umur 70 tahun berikut ini. Saya mempunyai anak laki-laki 5 orang. 4 orang diantaranya sudah menikah. Dari keempat anak laki-lakinya tersebut 2 orang diantaranya yang memakai tradisi bajapuik dan 2 orang yang tidak memakai tradisi bajapuik. 2 orang yang tidak memakai tradisi bajapuik itu sepertinya, dia sangat menyukai calonnya. Selain itu, kedua anaknya tersebut telah mempunyai pekerjaan yang mapan. Sehingga pada saat memperhitungkan uang japuik antar keluarga, anaknya (calon mempelai) memberikan pernyataan untuk jangan meminta uang japuik kepada pihak perempuan. Untuk kebutuhan pesta, biarlah saya yang menanggung seluruh biaya. Pemberian uang dari calon pengantin laki-laki dalam rangka untuk terlaksananya perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara; 1) diserahkan kepada calon pengantin perempuan; 2) diserahkan kepada orang tua laki dari calon pengantin laki-laki sendiri. Pada cara pertama, calon pengantin laki-laki memberikan langsung kepada calon pengantin perempuan. Kemudian dari calon pengantin perempuan diserahkan kepada orang tuanya, agar pada saat pernikahan uang japuik itu dapat diserahkan kepada pihak laki-laki sebagai syarat untuk untuk dapat membawa calon pengantin laki-laki untuk melakukan pernikahan. Pemberian pada cara pertama ini, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh pihak keluarga dan calon pasangan sama-sama berasal Pariaman. Kemudian pada cara kedua, biasanya perkawinan dilakukan dengan orang dari luar Pariaman. Antara calon pengantin laki-laki dengan orang tuanya telah membuat kesepakatan sebelumnya, agar jangan meminta uang japuik dalam perkawinannya nanti. Jadi ketika pihak perempuan datang meminang, masalah mengenai uang japuik tidak dibicarakan lagi. Kepada ninik mamak yang memimpin acara tersebut dikatakan secara formal ada tetapi jumlahnya tidak disebutkan, seperti perkawinan yang berlangsung pada salah seorang anak informan berikut ini. Pola kedua, laki-laki memberi uang sebagian kepada pihak pengantin perempuan. Pola kedua ini tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Hanya saja 166 pengantin laki-laki memberi bantuan sebagian dari jumlah uang japuik yang diminta oleh keluarga kepada calon pengantin perempuan. Pemberian ini dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan dan diberikan secara sembunyi tanpa diketahui oleh pihak keluarganya. Uang ini diberikan kepada calon pengantin perempuan dan selanjutnya diserahkan kepada orang tuanya sebagai penambah uang japuik yang telah disediakan. Sebagaimana yang terjadi pada perkawinan salah satu anak dari informan ini. Di mana perkawinan yang berlangsung sesama orang Pariaman. Pertemuan antara keduanya dengan cara di jodohkan. Perempuan berwiraswasta (usaha bordiran), dan laki-laki bekerja sebagai sopir truk. Pada awalnya orang tua dari laki-laki menginginkan menantu sesama orang Pariaman. Sementara di pihak perempuan juga sedang mencari menantu pula. Seperti Ibarat,’’ pucuk dicinta, ulam tiba, atau seperti gayung bersambut. Maka kedua calon tersebut di pertemukan dan ternyata cocok. Setelah itu, atas aba-aba dari pihak laki-laki, untuk meminta pihak perempuan datang ke rumah laki-laki untuk meninjau dan sekaligus bersilaturahmi dengan calon bisan. Pada acara ini, pihak perempuan membawa, dua sisir pisang dan satu baki lapek bugis sebagai pembuka pintu. Pertemuan kedua, pihak perempuan datang lagi ke rumah laki-laki dan kedatangan ini untuk membicarakan tata cara dan syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya suatu perkawinan. Pada pertemuan keluarga yang kedua ini dihadiri oleh ninik mamak kedua belah pihak. Pada pertemuan inilah ditetapkan uang jemputan dan uang hilangnya dan uang Selo. Pada waktu persyaratan adat yang diminta, emas sebanyak 2 emas dan uang Rp 2,5 juta dan uang selo Rp 250.000. Uang jemputan dan uang Selo di bayar oleh orang tua dan uang jemputan sebagian (Rp 1,5 juta) ditanggulangi oleh mamak dari pihak perempuan karena calon mempelai laki-laki membatu uang hilang sebanyak Rp 1 Juta, tanpa sepengetahuan dari keluarganya. Bantuan ini sifat secara sembunyi dan pada waktu penyerahan kepada pihak laki-laki pada saat akad nikah dilangsung tetap dibunyikan sejumlah yang diminta pada kesepakatan awalnya (Wawancara 23 Desember 2008). Pola ketiga, calon pengantin laki-laki memberi usulan kepada orang tua mengenai jumlah uang hilang. Usulan ini hanya untuk pengurangan jumlah uang hilang yang harus dikeluarkan oleh pihak perempuan dan tidak untuk 167 menghapuskan sama sekali uang hilang tersebut. Pola ini dilakukan oleh pengantin laki-laki karena menyukai yang perempuan tetapi kurang berdaya dari segi ekonomi. Usulan mengenai pengurangan uang hilang dilakukan sebelum tukar cincin dan calon pengantin laki-laki dengan langsung menyampaikan kepada orang tuanya. Ketika ada pertemuan orang tua kedua belah pihak orang tua dari pihak laki-laki dapat mempertimbangkan usulan dari anaknya dan menyampaikan sesuai dengan kesepakatan orang tua dan anak dibelakang. Tindakan yang dilakukan oleh calon pengantin laki-laki memberi usulannya sebelum dilakukan tukar cincin kepada orang tuanya. Ketiga pola tindakan generasi muda di atas dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan calon isteri yang dinginkannya. Selanjutnya dengan tindakan generasi muda seperti itu justru dapat dipahami sebagai tindakan yang mendukung tradisi bajapuik. Karena begitu kuatnya nilai-nilai dan norma-norma menekan induvidu memaksanya mengambil pilihan lain. Meskipun tindakan itu dilakukan secara tersembunyi, tetapi tujuan akhir adalah untuk menyatakan kepada masyarakat umum bahwa mereka tetap melaksana tradisi bajapuik dalam pelaksanaan perkawinannya. Tindakan generasi muda itu tanpa keterlibatan keluarga batih (nuclear family) tidak akan terlaksana. Artinya keluarga batih (nuclear family) memberi ruang bagi eksisnya tradisi bajapuik. 7.5. Tradisi Bajapuik Dalam Teori Pertukaran Tradisi bajapuik yang dilaksanakan dalam masyarakat pada umumnya mempertimbangkan dua nilai yakni: nilai ekonomi dan nilai budaya. Kedua bentuk nilai itu terdapat pada keluarga kedua belah pihak; baik pihak keluarga perempuan maupun pihak keluarga laki-laki dan sekaligus menjadikan tradisi bajapuik dapat eksis dalam menghadapi perubahan masyarakat. Peran tradisi bajapuik semakin penting dalam pergulatan pencarian jodoh, terutama bagi pihak keluarga perempuan yang mempunyai anak gadis yang telah cukup umur untuk menikah, dengan mengambil pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowleadgeably). Sistem perkawinan masyarakat Pariaman yang terintegrasi dalam sistem adat Minangkabau merupakan proses pertukaran yang melibatkan dua pihak; antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga 168 laki-laki. Khusus untuk pihak keluarga laki-laki dalam melakukan pertukaran lebih berorientasi ekonomi ketimbang orientasi nilai budaya, meskipun keduanya tetap dimiliki sebagai dasar bertindak dalam melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik dan sekaligus sebagai strategi untuk mendapatkan modal untuk pelaksanaan perkawinan bagi anak laki-lakinya. Ketika pihak keluarga perempuan melaksanakan tradisi bajapuik, maka pilihan tindakan yang diambil lebih berorientasi nilai budaya awalnya ketimbang nilai ekonomi, meskipun pada akhirnya keduanya menjadi pertimbangan juga baik bagi masyarakat yang berada di perdesaan maupun di perkotaan. Artinya jauh dekatnya aktor dengan lingkungan budaya tidak berpengaruh terhadap pilihan yang akan diambil dan kedua nilai itu tetap menjadi pertimbangan dalam tradisi bajapuik. Berkaitan dengan teori pertukaran dan pengaruh lingkungan dalam pelaksanaan perkawinan, adanya tradisi bajapuik sebagai bentuk pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowleadgeably), agar mendatangkan keuntungan bagi aktor yang melakukan pertukaran. Semakin dominan tradisi bajapuik dilakukan dalam pelaksanaan perkawinan, maka semakin dominan pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowleadgeably) diambil sebagai dasar dalam melakukan pertukaran. Sebaliknya, apabila pelaksanaan perkawinan tidak lagi melakukan tradisi bajapuik sebagai sarana pencarian jodoh secara umum, maka pilihan yang tidak dipertimbangkan (choosing default) akan semakin dominan dalam pelaksanaan pertukaran antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki. Oleh karena itu pilihan untuk melaksanakan tradisi bajapuik terletak pada pilihan yang di pertimbangkan untuk mengeksiskan tradisi bajapuik yang akan mampu memberikan keuntungan terutama kepada pihak keluarga perempuan. Untuk mempertahankan (eksis) tradisi bajapuik, hanyalah dapat dilakukan dengan mewarisi (sosialisasi) dan menanamkan nilai-nilai (integrasi) yang ada dalam masyarakat. Eksistensi tradisi bajapuik justru terletak pada pemahaman nilai-nilai, terutama bagi pihak keluarga perempuan dalam pelaksanaan perkawinan. 169 Dalam kontek kontinuitas eksisnya tradisi bajapuik ke depannya di wilayah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, mempertahankan keterlibatan keluarga besar (extended family) sebagai sarana pelaksanaan perkawinan, akan memperkuat solidaritas di pihak keluarga perempuan dan sekaligus sebagai pijakan dasar dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Walaupun di pihak lain, intervensi keluarga inti (nuclear family) dari pihak keluarga laki-laki tidak pula dapat di abaikan. Intervensi keluarga besar (extended family) dengan memberi bantuan dalam bentuk materil dalam pelaksanaan tradisi bajapuik, justru sangat membantu dan meringan pihak keluarga perempuan terutama orang tua, sehingga dengan sendirinya tradisi bajapuik dapat dilaksanakan, karena biaya yang ditanggung menjadi ringan. Walaupun sesungguhnya dalam pelaksanaan perkawinan yang memakai tradisi bajapuik membutuhkan biaya yang relatif besar, tetapi dengan adanya keterlibatan keluarga besar (extended family), biayabiaya yang dikenakan kepada orang tua menjadi ringan. Begitu juga dengan keluarga inti (nuclear family) dari pihak keluarga laki-laki memberi ruang pula dalam meringan pihak keluarga dalam tradisi bajapuik yakni dengan menerima pemberian dari anak laki-laki-lakinya sebagai bentuk simbolisasi dari uang japuik yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan. Dengan demikian, adanya uang yang harus diberikan oleh pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu. Jumlah uang itu akan semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya status sosial ekonomi seorang laki-laki. Meskipun demikian pihak keluarga perempuan tetap melaksanakan tradisi bajapuik dalam pelaksanaan perkawinan. Fakta dilapangan menunjukan bahwa keterlibatan kedua keluarga inilah yang turut meringankan pelaksanaan tradisi bajapuik. Bentuk-bentuk uang yang muncul antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki yakni; uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Uang jemputan adalah uang yang diberikan kepada pihak keluarga laki-laki dan dikembalikan lagi kepada pihak keluarga perempuan melalui mempelai perempuan pada saat pergi menjalang. Munculnya uang jemputan sebagai bentuk penghargaan kepada calon mempelai laki-laki pada awal dan besar kecilnya jumlahnya merupakan simbolisasi dari status sosial yang 170 dimilikinya. Namun pada saat ini uang jemputan sebagai persyaratan umum yang harus ada dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Kemudian adanya berbagai macam jenis uang jemputan mempunyai tujuan yang berbeda dalam tradisi bajapuik. Uang jemputan dalam bentuk emas pengembaliannya di tujukan kepada calon mempelai perempuan; uang jemputan dalam bentuk kendaraan ditujukan kepada calon mempelai laki-laki-laki dan uang jemputan dalam bentuk rumah, tujuannya terbagi dua yakni kepada calon mempelai laki-laki atau kepada orang tua mempelai laki-laki. Kepada calon mempelai laki-laki, maka rumah sebagai uang jemputan itu akan digunakan secara bersama-sama dengan menjalan rumah tangga yang baru di bina, sedangkan kepada orang tua laki-laki, rumah sebagai uang jemputan itu akan digunakan oleh orang tua dari calon pengantin laki-laki. Untuk kasus terakhir sangat jarang terjadi, dan keluarga laki-laki-laki terutama orang tua di pandang mempunyai kemampuan ekonomi lemah, sementara anak laki-laki yang dijadikan menantu mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi. Uang hilang, adalah uang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki dan dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki. Uang hilang merupakan uang japuik dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini. Artinya ukuran besar-kecilnya uang hilang merupakan simbolisasi status sosial ekonomi seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Semakin tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang japuiknya dan sebaliknya. Uang hilang, muncul karena adanya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki yakni untuk mempestakan anak laki-lakilakinya dan setelah itu menjadi keterusan hingga saat ini, disamping menunjukan prestise keluarga. Uang selo, merupakan uang yang diberikan kepada ninik mamak pihak keluarga laki-laki. Oleh sebab itu uang selo disebut juga dengan uang ninik mamak. Munculnya uang selo sebagai jerih payah ninik mamak yang hadir pada saat pertunangan, khususnya atas luangan waktu dan tenaga yang diberikannya. Jumlah uang selo berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 700.000 (1 emas) dan jika didistribusikan kepada ninik mamak yang hadir, masing-masingnya menerima antara Rp 25.000 hingga Rp 75.000. Besar-kecilnya jumlah uang selo yang diterima tergantung partisipasi dan keterlibatannya dalam acara pertunangan. 171 Uang tungkatan dalam tradisi bajapuik adalah uang yang diberikan kepada kepalo mudo (pimpinan mempelai laki-laki). Uang tungkatan merupakan uang tembusan dari barang-barang tungkatan yang di minta oleh kepalo mudo. Munculnya uang tungkatan sebagai imbalan jasa kepalo mudo dalam mendampingi mempelai laki-laki (marapulai). Jumlah jumlahnya hanya berkisar antara Rp 150.000 – Rp 200.000. Adanya bermacam-macam bentuk uang dalam tradisi bajapuik adalah macam-macam uang yang menjadi beban pihak keluarga perempuan, apabila pihak tersebut terlibat dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Pihak keluarga perempuan akan berusaha memenuhi uang-uang tersebut sebagai persyaratan untuk terlaksananya suatu perkawinan, guna menghindari kerugian yang lebih besar (tidak mendapatkan jodoh untuk anak perempuan) apabila tidak memenuhinya. Di sini biasanya keterlibatan keluarga besar (extended family) seperti saparuik dan bako sangat besar perannya. Besarnya bantuan yang diberikan oleh keluarga besar agak sulit diteksi. Meskipun demikian patokan umum, pangka dahan sebutan untuk seorang mamak jumlah sumbangan lebih besar dari jumlah sumbangan dari undangan. Namun pada dekade terakhir ini ukuran tersebut telah mulai bergeser pula kepada saudara kandung. Artinya sumbangan yang lebih besar lebih dikenakan kepada saudara kandung dari mempelai perempuan baik laki-laki maupun perempuan. Dari sudut pandang analisis macam-macam uang yang terdapat dalam tradisi bajapuik, maka keberlanjutannya sebagai sarana pencarian jodoh bagi pihak keluarga perempuan baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan Minagkabau akan tetap bertahan sepanjang waktu. Artinya model perkawinan yang mampu bertahan dan masih dilaksanakan oleh masyarakat adalah model perkawinan yang terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dan adanya keterlibatan keluarga besar (extended family) dan keluarga inti (nuclear family). 7.6. Ringkasan Bab Pertukaran yang terjadi, sehubungan dengan tradisi bajapuik di antara keluarga kedua belah pihak dapat identifikasikan dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang 172 japuik kepada keluarga pihak laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dan secara non materil adalah untuk mendapatkan suami dan keturunan dari hasil perkawinan yang dilaksanakan. Secara nyata (materil) bagi pihak keluarga laki-laki, penerimaan sejumlah uang japuik digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki dan pelaksanaan pesta dan secara non materi adalah sebagai prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai asal-usul yang jelas dan status sosial ekonomi. Bentuk pertukaran antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, masing-masing memiliki tipologi pertukaran yang sama, baik dalam bentuk maupun dalam pertimbangan yang dipilih oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini representasi yang dimunculkan oleh kedua belah pihak keluarga yakni keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan, melalui model pertukaran materil dimana tradisi bajapuik dengan uang japuiknya adalah merupakan prestise/gengsi ekonomi. Berbeda dengan model pertukaran non materil oleh keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan, dimana tradisi bajapuik dengan uang japuiknya adalah untuk menutup malu keluarga dan kaum (orientasi nilai budaya) dan penghargaan/penghormatan terhadap calon mempelai dan keluarganya (orientasi nilai budaya). Bagaimana persamaan keberadaan tradisi bajapuik pada keluarga kedua belah, baik dari pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki ditunjukkan dalam tabel 27 berikut ini. Tabel 27. Tipologi Keberadaan Tradisi Bajapuik Dalam Keluarga Kedua Belah Pihak Bentuk Pertukaran Kategori Materil Non Materil Keluarga Pihak Laki-laki Nilai ekonomi Nilai budaya Keluarga Pihak Perempuan Nilai ekonomi Nilai budaya Sumber: Data Primer Penelitian 2008 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa keberadaan tradisi bajapuik di antara keluarga kedua belah pihak, tampaknya menunjukkan persamaan yang mendasar pada kedua komponen bentuk pertukaran, baik materil maupun non materil. Dengan demikian, pertukaran terjadi bagi keberadaan tradisi bajapuik dilakukan oleh keluarga kedua belah pihak yakni keluarga pihak perempuan dan 173 keluarga pihak perempuan, dengan tujuan dan maksud (pertimbangan) pertukaran yang cukup signifikan terhadap keberadaan tradisi bajapuik. Namun demikian ke depannya bentuk pertukaran dengan tujuan dan maksud pertukaran yang ditampilkan oleh keluarga kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik adalah adanya kesesuaian dari kedua tipologi itu. Misalnya dalam model pertukaran akan mengintegrasikan segenap anggota keluarga besar (extended family) dalam tradisi bajapuik dan terbangunan solidaritas internal, sehingga persoalan yang menyangkut uang japuik dapat dieleminir dan motif perilaku lebih fokus pada orientasi nilai-nilai budaya dan ekonomi yang secara faktual menjadi konstributor bagi eksisnya tradisi bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan motif pertukaran akan saling melengkapi dan menyesuaikan akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi bajapuik. Dari hasil indentifikasi pertukaran dalam tradisi bajapuik melibatkan dua keluarga yakni; pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki. Terjadinya pertukaran didasarkan atas orientasi nilai budaya, yakni “prestise”. Prestise bagi pihak keluarga laki-laki dan prestise bagi pihak perempuan. Bagi pihak laki-laki prestise meliputi; prestise calon mempelai laki-laki dan prestise mamak, yang berarti penghormatan kepada keduanya. Begitu juga dengan pihak keluarga perempuan, prestise meliputi; prestise calon pengantin perempuan dan prestise keluarga bahkan kaum. Prestise inilah yang menjadi tujuan kedua belah pihak melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik. Pada titik inilah tradisi bajapuik eksis hingga saat ini. Di tingkat aktor yang akan menikah yakni, antara calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki, eksisnya tradisi bajapuik dalam formasi sosial disebabkan oleh adanya keterlibatan keluarga dari masing-masing calon pengantin. Di pihak calon pengantin perempuan bantuan berasal dari keluarga besar (extended family), yakni dari nan saparuik dan bako. Nan saparuik adalah keluarga dari pihak ibu, yang terdiri dari ibu, saudara dari ibu (mamak, etek, maktuo) dan nenek. Kemudian bako adalah keluarga dari ayah yang terdiri dari nenek, dan saudara perempuan dari ayah. Bantuan keluarga besar berbentuk moril dan materil. Bantuan moril adalah bantuan dalam bentuk tenaga—mempersipkan segala sesuatunya demi kelancaran tradisi bajapuk, seperti mendirikan pondok, 174 mengatur sesuatu pada tempatnya dan sebagainya. Bantuan materil adalah bantuan dalam bentuk uang dan benda. Meskipun ada dua bentuk bantuan yang diberikan oleh keluarga besar, maka bantuan materil yang sangat penting dalam tradisi bajapuik. Tanpa ada bantuan materil kemungkinan tradisi bajapuik tidak akan terlaksana, dan bahkan bisa punah sama sekali dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Meskipun ada di antara masyarakat yang mempunyai cara lain untuk mengantisipasi jumlah uang japuik yang cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya status sosial ekonomi calon pengantin laki-laki dalam tradisi bajapuik. Tetapi tindakan itu tidak mewakili sepenuhnya dalam tradisi bajapuik. Bantuan dari keluarga besar diberikan pada acara malam baretong— dimana pada saat itu berkumpul sanak famili yang berasal dari pihak ibu untuk memberi sumbangan untuk terlaksananya tradisi bajapuik. Besar-kecilnya sumbangan yang diberikan tergantung kepada status sosial ekonomi. Aturan umum yang berlaku, “pangka dahan” sebutan untuk mamak sumbangan harus lebih besar dari anggota keluarga yang lain. Berkumpulnya sanak famili pada malam baretong itu sekaligus dapat memperkuat tali silaturahmi (solidaritas) di antara anggota besar (extended family). Selanjutnya dari calon mempelai laki-laki keterlibatan keluarga berasal dari keluarga batih (nuclear family), khususnya orang tua. Bantuan diberikan oleh keluarga batih (nuclear family) dalam bentuk perlindungan bagi calon pengantin laki-laki untuk melakukan “tindakan tersembunyi” dalam tradisi bajapuik, agar perkawinan tetap terlaksana. Calon pengantin laki-laki melakukan tindakan ini karena adanya cemoohan atau ejekan dari lingkungan sosial. Meskipun demikian, tindakan seperti itu hanya dilakukan oleh calon pengantin laki-laki yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; 1) mempunyai kemampuan ekonomi; 2) mempunyai kedekatan emosional (berpacaran) sebelum terjadinya pernikahan dan 3) cenderung menikah dengan calon pengantin perempuan yang berasal dari luar daerah Pariaman. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya tradisi bajapuik hingga saat ini. BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang dirumuskan sebelumnya, maka pada bab ini dapat dibuat kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Melihat keberadaan tradisi bajapuik yang tetap bertahan hingga saat ini pada masyarakat Pariaman Sumatera Barat dan mengacu kepada analisis yang telah dilakukan dapat dikemukakan sejumlah kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari perjalanan sejarah dan ajang sosial secara umum tradisi bajapuik selalu mengalami penyesuaian-penyesuaian, terutama menyangkut dasar dan bentuk pertukaran, meskipun nilai-nilai tetap sama yakni pertimbangan nilai budaya (untung-rugi). Hal ini termanifestasi kepada perubahan dasar pertukaran yakni dari gelar keturunan (kebangsawanan) seperti sidi, bagindo dan sutan kepada status sosial ekonomi (achievement status) seperti pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Selanjutnya, kecenderungan terfokus kepada pekerjaan dan pendapatan. Sementara itu seiring perubahan pada dasar pertukaran itu, maka bentuk pertukaran juga mengalami perubahan. Jika pada awalnya hanya berupa uang jemputan dan sejumlah benda tungkatan berubah menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. 2. Pertukaran dalam tradisi bajapuik secara umum melibatkan dua pihak yakni pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dan masingmasing sebagai pemberi dan yang lain sebagai penerima. Bagi keluarga kedua belah pertimbangan melakukan pertukaran didasarkan atas status sosial ekonomi, khususnya pekerjaan dari calon mempelai laki-laki. Dalam pelaksanaan tradisi bajapuik melibatkan keluarga inti (nuclear family) seperti; ibu, ayah, dan anak, keluarga besar (extended family) seperti; mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat, seperti ninik mamak dan kepalo mudo. Keterlibatan masing-masing aktor 176 terdistribusi ke dalam proses penentuan, pemberian dan penetapan pertukaran dalam tradisi bajapuik. 3. Terjadinya pertukaran dalam tradisi bajapuik didasarkan atas nilai-nilai yang sama tertanam di antara keluarga kedua belah. Pertukaran yang terjadi dapat diidentifikasi dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang japuik kepada keluarga pihak laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan). Secara non materil adalah untuk mendapatkan suami bagi anak perempuan. Di pihak keluarga laki-laki, pertukaran secara nyata (materil), dilakukan untuk mendapatkan sumber ekonomi yang akan digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki dan pelaksanaan pesta. Secara non materi adalah sebagai prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat yakni sebagai media mendapatkan keturunan. Dengan demikian bentuk pertukaran yang ditampilkan oleh keluarga kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik merupakan penyesuaian dari kedua kategori tersebut. Sementara itu di pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki terbangunnya solidaritas internal, sehingga dalam formasi sosial eksisnya tradisi bajapuik disebabkan oleh adanya kerjasama antara keluarga luas (extended family) dengan keluarga inti (nuclear family). Persoalan yang menyangkut uang japuik sebagai persyaratan yang menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan dapat dieleminir dengan didasarkan nilai budaya. Hal ini semakin mempertegas bahwa orientasi nilai budaya dan nilai ekonomi yang secara faktual menjadi pertimbangan prilaku bagi keluarga kedua belah pihak dan sebagai konstributor bagi eksisnya tradisi bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan motif pertukaran yang saling melengkapi dan menyesuaikan sekaligus akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi bajapuik. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya tradisi bajapuik. 177 8.2. Kesimpulan di Tataran Teoritik Pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik terus mengalami perubahan dan penyesuaian, mulai dari bentuk-bentuk pertukaran sampai kepada aktor yang yang terlibat. Pada bentuk-bentuk pertukaran pada awalnya hanya berupa uang jemputan dengan sejumlah benda-benda tungkatan berubah menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo, uang tungkatan dan sejumlah benda-benda tungkatan. Seiirng perubahan itu, aktor-aktor yang terlibat terus pula mengalami perubahan dan penambahan pula. Jika pada awalnya hanya melibatkan mamak ninik mamak dan kepalo mudo secara ekstrinsik, namun secara intrinsik juga melibatkan orang tua dan calon pengantin. Sejalan dengan pemikiran teoritik Homans bahwa orang yang terlibat dalam prilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Jadi semua perilaku sosial tak hanya prilaku ekonomis sebagai hasil dari pertukaran yang demikian. Dalam hal ini ganjaran itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik dan intrinsik atau dengan tegas dikatakan individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran berwujud materi maupun non materi. Dengan demikian aktor yang bertindak dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya (hukuman) dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000; Ritzer dan Goodmann, 2005). Dalam hal ini terciptanya pertukaran sosial yang menguntungkan bagi masyarakat sebagai produk dari adanya keuntungan itu dan menjadikan hal itu sebagai tumpuan untuk tercipta dan berlanjutnya pertukaran itu, secara empirik juga ditemukan pada masyarakat yang menggunakan tradisi bajapuik untuk melangsungkan suatu perkawinan. Selanjutnya Homans menjelaskan, suatu pertukaran itu akan terjadi dan berlanjut pada masyarakat bila pertukaran itu mempunyai nilai tertentu dan menguntungkan baginya. Artinya aktor dalam melakukan suatu tindakan mempunyai nilai untuk mencapai maksud dan tujuannya. Dalam hal ini aktorpun dipandang mempunyai pertimbangan-pertimbangan (nilai atau keperluan). Perbedaan temuan ini dengan Homans, adalah pertukaran yang terjadi pada tradisi bajapuik karena didasarkan pertimbangan nilai ekonomi dan nilai budaya. Kedua pertimbangan ini yang tidak disebutkannya dan sekaligus menjadi nilai yang 178 menguntungkan dalam tradisi bajapuik. Menurut terminologi Lamanna dan Riedmann (1991) sebagai pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably). Proposisi Homans tentang “nilai” yang tertanam (terintegrasi) memungkinkan keluarga kedua belah pihak yakni pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan, termasuk kedua mempelai yang akan melakukan pernikahan (mempelai laki-laki dan mempelai perempuan), dalam hal ini adalah aktor yang akan melaksanakan dan mempraktekkan tradisi bajapuik dalam kehidupan mereka. Proposisi Homans dapat digunakan menjadi alat pertimbangan bagi kolektivitas dan pluralitas kebudayaan. Homans dengan pemikiran filosofisnya merupakan daya dorong bagi keluarga kedua belah pihak untuk melaksanakan tradisi bajapuik, melalui usaha-usahanya memahami makna-makna dan mempertimbangkan baik-buruk secara personal maupun kolektif dengan berpijak kepada nilai-nilai yang dipahaminya, sehingga tradisi bajapuik dengan uang jemputan dapat eksis dalam masyarakat. 8.3. Saran dan Implikasi Kebijakan Dari temuan empirik tentang Existensi Tradisi Bajapuik Pada Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat, maka dapat dikemukakan beberapa saran dan kebijakan untuk membangun dan mengembangkan identitas lokal dengan mengacu pada perkawinan bajapuik. Adapun saran dan kebijakan dimaksud sebagai berikut. 1. Penelitian ini membuktikan bahwa tradisi bajapuik menjadi sarana bagi pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan agar mendapatkan suami dan keturunan dari perkawinan yang dilaksanakan, sehingga menjadi urgen untuk dilestarikan di dalam masyarakat. Meskipun sebelumnya telah berkembang isu mengenai uang jemputan dapat memberatkan atau memeras pihak perempuan harus segera dihilangkan. Untuk itu perlu adanya upaya-upaya penanaman (sosialisasi) nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik secara terus-menerus dilakukan. 2. Agar tradisi bajapuik dapat eksis dalam masyarakat, diperlukan adanya partisipasi (solidaritas) dari anggota keluarga besar (extended family), agar 179 dapat menanggulangi uang japuik yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya status sosial laki-laki yang akan dijadikan menantu. 3. Tradisi bajapuik dalam pelaksanaannya mempunyai makna bahwa tradisi bajapuik bukan hanya sesuatu yang berbentuk materi, namun bisa dikondisikan melalui makna non materil. Untuk itu ada dua hal yang mendasar yang bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, orang tua, dan pengambil kebijakan khususnya yaitu: pertama, terus-menerus berupaya menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik, baik melalui jalur formal maupun non formal. Kedua, Bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM (Kerapatan Alam Adat Minangkabau), dan BPAN (Badan Permusyawaratan Anak Nagari) sehingga memberikan daya dukung besar bagi keberadaan tradisi bajapuik. 8.4. Peluang untuk Penelitian ke Depan Pertama, dengan penelitian yang berjudul Eksistensi tradisi bajapuik pada masyarakat Pariaman Minangkabau ini dapat mengungkap kondisi yang sebenarnya tentang pelaksanaan tradisi bajapuik yang selama ini dipandang negatif oleh sebagian masyarakat. Selanjutnya, adanya penelitian memberikan laporan tertulis sacara formal yang dapat menjadi sumber referensi bagi yang membutuhkannya. Kedua, selain itu dapat memberi peluang untuk penelitian berikutnya yang belum tercakup pada penelitian ini yakni: belum terungkapnya keterkaitan posisi daerah Pariaman dengan pelaksanaan perkawinan di daerah pesisir rantau, sehingga diperoleh gambaran holistik terhadap pelaksanaan tradisi bajapuik yang sesungguhnya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1992. Minangkabau dalam Perspektif Perubahan. Padang: PSPPB Unand. Adiwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan: Issu Dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan Dengan Masyarakat. Jakarta. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi. Afrizal. 1997. Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi: Diskusi Tentang Isu-isu Perubahan Ikatan kekerabatan Matrilineal Minangkabau. Dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya No 3-4/1997. Padang. Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas. Amir, MS. 2006. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. --------. 1987. Tonggak Tuo budaya Minang. Payakumbuh. Karya Indah. Amran. Yusni.1991. Fungsi Perkawinan Bajapuik pada Masyarakat Naras I Anderson, J.H. 1995. Rhetorical Objectivity in Malinowsk’s Argonauts, dalam Brown (Editor), Postmodern Representations; Truth, Power and Mimesis in the Human Science and Public Culture. Chicago. University of Illinois Press. Anwar, Chairul. 1967. Hukum-Hukum Adat di Indonesia: Meninjau Alam Minangkabau. Jakarta. PT. Penerbit Segara. Arifin. Imran 1984. Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang. Kalimasahada Press. Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta. Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Ball, J Van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Jakarta. Gramedia. Benda-Beckmann, Frans Von. 2000. Properti dan Kesinambungan sosial: Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau. Alih bahasa Tim perwakilan KITLV, Jakarta bersama Dr.Indira Simbolon. Jakarta. Grasindo. BPS. 2007. Kecamatan Pariaman Tengah Dalam Angka. 2007. BPS Kota Pariaman. 181 BPS. 2008. Pariaman Dalam Angka 2008. Kerjasama Bappeda Kota Pariaman dengan BPS Kota Pariaman. BPS. 2008. Kecamatan Sungai Limau Dalam Angka. 2008. BPS Kabupaten Padang Pariaman. Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Chatra, Emeraldy. 2000. Adat Salingka Desa. Padang. Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Unand. -------. 2005. Orang Jemputan, Regulasi Seksualitas & Poligami di Minangkabau. Padang. Laboratorium Sosiologi FISIP Unand. Creswell, J.W. 1994. Reseach Design:Qualitative dan Quantitative Aproaches. Sage Publications. London. Croll, Elizabeth. 1984. Law, Custom, and Crimes against Women: The Problem of Dowry Death in India. Dobbin, C. 1983. Islamic Revitalism in A Changing Peasant Economy; Central Sumatera. 1784-1847. Curzon Press. London. Denzin, N K&Lincol, Yvonne S. 2000. Hanbook of Qualitative Reseach (secon edition), Thousand Oaks, Sage Publication, Inc. Etzioni, Amitai. 1973. Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Fairchild, Henry Pratt. 1966. Dictionary of Sociology and Related Sciences. Garna. Judistira K.1996. Ilmu-ilmu Sosial, Dasar-Konsep Proposisi. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Giddens, Anthony. 2002. Sociology. Fourth Edition. Cambridge. Polity Press. Goode, William J. 2007. Sosiologi Keluarga. Penerjermah: Lailahanoum Hasyim. Jakarta. PT Bina Aksara. Goody, J.R 1973. Briedwealth and Dowry in Africa and Eurasia. Dalam J.R Goody and S,N. Tambiah. Briedwealth and Dowry. Cambridge Studies in Social Antrhripology. Cambridge. University Press. Guba dan Lincoln. 2009. Paradigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging confluences. Dalam Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Secon Edition. Sage Publications. Inc 182 Hakimy, Idrus. 1984. “Rangkaian Mustika Adat Basandi Sarak di Minangkabau”. Bandung. Remadja Karya. Hamka.1982. Ayahku Riwayat Hidup Dr H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan aum Agama di Sumatera. Jakarta. Umminda. Hollinger, Farans dan Haller, Max. 1990. Kinship and Social Network in Modern Society ; A Cross-Culture Comparasion Among Seven Nations. European Sociological Review 6 (2). Howe, KR. 2004. A Critique of Experimentalism. In: Qualitative Inquiry Vol.10 No.1. Horton, Paul B dan Hunt, Chelter. 1987. Sosiologi, alih bahasa Aminuddin Ram dan Tita Sobari. edisi keenam; Jilid 1. Jakarta. Erlangga. Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik. Di Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta. Penerbit Gramedia. Joselin de Jong , P.E. 1951. Minangkabau and Negri Sembilan : Socio-Political Structure in Indonesia. The Hugue Martinus Nijhoff. Junus, Umar. 1990. Kebudayaan Minangkabau, dalam Koentjaraningrat (ed). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta. Djambatan. Kato, Tsuyoshi. 1982. Matriliny and Migration, Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia. Ithaca. Cornell University Press. Kato, Tsuyoshi. 1989. “Nasab Ibu dan Merantau”: Tradisi Minangkabau yang Berterusan. Keesing, M.Roger. 1992. Antropologi Budaya. Jakarta. Erlangga. Khan, J. 1974. Economic Integration and Peasant Economy; The Minangkabau (Indonesia) Black Smith, Dissertation University of London (London School of Economics). Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta. Universitas Indonesia (UI Press). Koentjaraningrat .1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru. ---------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. Dian Rakyat. Lamanna, Ann Mary and Agnes Riedmann. 1991. Marriages and Famillies: Making choices and Facing Change. Fourt Edition. California. Wadswortth Publishing Company Belmont. 183 Latief, H.Ch.N. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau; Permasalahan dan Masa Depannya. Bandung. Angkasa. Lauer, Robert. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta. Bina Aksara Leach. E. 1986. Social Antropology. Glasgow. Fortana Press. Lewis. Oscar.1988. Kisah Lima Keluarga; Telah-telah Kasus Orang Mexiko dalam Kebudayaan kemiskinan. Terj. Jakarta. Yayasan Obor. Litwak, E dan Szelenyi, I. 1969. Primary Group Structures and Their Functions: Kin, Neighbours and Friends. American Sociological Review 34. LKAAM, 1987. Pelajaran Adat Minangkabau: Sejarah dan Budaya. Padang. Tropic Offset Printing. Lubis, Akhiyar, 2004. Metode hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu SosialHumaniora dan Budaya, Makalah. Jakarta. PPS UI. Mansoer, MD., Amrin Imran,. Mardanas Safyan., Asmaniar Z. Idris dan Sidi I, Buchari 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta. Bharata. Maihasni. 2003. Pergeseran dari uang Jemputan ke Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat. Tesis, PPS UNPAD. Marvasti, A.B. 2004. Qualitative Researh in Sociology: In Introduction. London. Sage Publication. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukarab di Masyarakat Kuno. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Miles, M.B & Hubermas, A.M .1984. Qualitative Data Analysis: A Source of New Methods. Biverly Hills: Sage Publications. Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta. Penerbit Pasaman. Navis, AA. 1983. (Editor) Dialektika Minangkabau : Dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang. Genta Singgalang Press. -------------1984. Alam Terkembang Menjadi Guru. Jakarta: Grafiti. 184 Newman, David M, dan Gauerholz, liz. 2003. Sociology of Family. Secon Edition. Thousand Oaks. London. New Delhi. Pine Forge Press. Nock, L. 1987. Sociology of Family. New Jersey. Englewood Cliff. Nugroho, Heru. 2001. Uang: Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Oki, Akira. 1977. Social Change in the West Sumatra Village: 1908-1945.. Disertasi Doktor. Australian National University. Otterbein, K. 1972. Comparative Cultural Analysis: An Introduction to Antropology. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Pardosi, Jhonson. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos Pada Adat Perkawinan Batak Toba. Logat. 4: 101-108. Pesek, William. 2007. Where Have All The Women Gone? World News Today. Friday. November 2007, hal 28. Pintu, Dt A. Ahmad Hosen. 2000. “Sistem Kekerabatan Di Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau. Padang: LKAAM. Poloma, M. Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. Rajawali Press. Radjab, M. 1969. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang. Centre for Minangkbau Studies Press. Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. ---------dan Goodman, Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada Media. Saefullah, Asep Djadja. 1993. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam Penelitian Lapangan: Khusus dalam Studi Kependudukan. Bandung. FISIP Universitas Padjadjaran. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta. Penerbit PT Tiara Wacana. ------------. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta. PT Tiara Wacana. Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi; Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 185 Sastramiharja, Hatta 1987. Materi Pokok Sosiologi Pedesaan. Karunika. Jakarta. Universitas Terbuka. Shanna, Ursula. 1980. Women, Work and Property in North-West India. London. Toristock. Schrieke, B. 1955. The Cause and Effect of Communism on the West Coast of Sumatra’ dalam Indonesia Sociological Studies : Selected Writing of B. Schrieke Part One. The Hague and Bandung W. Van Hoeve. Simajuntak, B. 1981. Perubahan dan Perencanaan Sosial. Bandung. Penerbit Tarsito. Sitorus, M.T. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam masyarakat Batak Toba. Disertasi. PPS IPB. Skidmore, W. 1979. Theorotical Thinking in Sociology (second Edition). New York. Cambridge Universiy Press. Smelser, J. 1973. Toward a theory of Modernisastion dalam Eva Etzioni-halevi dan Amitai Etzioni (ed) Social Change: Sources, Pattern and Concequence, edisi kedua. New York. Basic Book, Inc. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta. CV Radjawali. Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Wiston. Stake, Rober E. 2000. “Case Studies” dalam Norman K. Denzin & Lincoln, eds. Handbook of Qualitatif Reseach. London United Kingdom: Sage Publication , Inc. Sukmasari, Fiony. 1983. “Perkawinan Adat Minangkabau”. Jakarta: Karya Indah. Suparlan. 1992. Perubahan Sosial, dalam AW Wijaya (ed). Manusia Indonesia Indonesia: Individu, Keluarga dan Msyarakat. Jakarta. Akademika Presindo. Sussman, B. M dan Burchinal, I. 1979. Kin Family Network : Unheralded Strukture in Curent Conceptualisastion of family fungtioning dalam Mildred. W. Weil, (ed) Sociological Perspective in Marriage and family.Conceps and Readings Illionois: The Interstate Printers & Publisher, Inc. Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Sztompka, Piotr. 2004. Sosilogi Perubahan Sosial. Jakarta. Prenada Media. 186 Taneko, Soleman b. 1984. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta. CV Radjawali. Turner, Jonathan H, 1998. The Structure of Sosiological Theory (Sixth Edition), Wadsworth Publishing Company, USA. Utama, Indra. 2002. Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman Sumatera Barat; Suatu Kajian terhadap Proses Kawin Bajapuik di Nagari Sicincin Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Tesis. PPS Universitas Indonesia. Warsani. 1989. Antropologi Hukum dan Masyarakat Perkotaan. Dalam majalah Antropologi Sosial Budaya Indonesia. Nomor 47. Tahun XIII, Juli. Diterbitkan oleh Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Young dan Wilmot. 1951. Family and Kinship in East London: Routledge & Kegan Paul 187 LAMPIRAN 1. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI DUNIA No Nama Peneliti Tahun 1. 2. J.P. Mclennan Bachoffen 1865 1880 3. W.Robert Smith 1885 4. E.B Tylor 1889 5. Edward Westermarch 1889 Bidang Judul Ilmu Antropologi Primitive Marriage Antropologi Over de Primitive Vormen van het Huwelijk en de Oorsprong van het Gezin Antropologi Kinship and Marriage in early Arabia Antropologi On Method of Investigating the development of Institution; Applied to the Laws of Marriage and Descent Antropologi History of Human marriage 6. L.H Morgan 1929 Antropolog 7. RadcliffeBrown 1950 8. Athur M Hocart 1951 9. Levi-strauss’s 1952 Teori tentang Evolusi bentuk Keluarga serta perkawinan Antropologi African Systems of Kinship and marriages Antropologi Kinship and marriage Among the Nuer Antropologi Theory on Kinship and Marriage Fokus Pada perkawinan rampas Mengenai bentuk-bentuk Prpmitif dari perkawinan dan asal mula keluarga inti. Membuktikan pada orang-orang Semit (Arab) pernah mengenal matrilneat totemisme. Pada penggunaan angka-angka statistik pada tingkat matriarchat yang berevolusi ketingkat patriarkhat. Mengkaitkan kehidupan seks pada binatang jenis rendah dan binatang jenis tinggi yang terdapat pemiliharaan pada keturunan Pembentukan keluarga Kekerabatan yang muncul dalam sistem matrilineal yang dihubungkan dengan masyarakat unileneal, yaitu keturunan patrilineal Membahas tentang Kekerabatan 188 LAMPIRAN 2. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA No. Nama Tahun Bidang Ilmu 1991 Antroplogi 1. Soleman 2. Djuriah M.Utja 3. Kadir Katjong 1997 4. Andry Harijanto 1997 5. Ratih Baiduri 2000 6. Sri Endah Kinasih 2002 1992 Judul Pengaruh Hukum Perkawinan terhadap masyarakat. Antropologi Bebesanan: Studi Tentang Perkawinan anak-anak Di Kersidenan Banten Antropologi Penyelesaian Sengketa secara Adat:Suatu studi kasus penyelesaian sengketa perkawinan di Desa Nafri Kabupaten Jaya pura, Irian Jaya Antropologi Perkawinan Adat dalam Perspektif Antropologi Hukum: Studi kasus perdamaian adat sebagai syarat perkawinan di Kecamatan Pulau Enggano. Fokus kajian Penerapan aturan-aturan pemerintah yang berlaku di tengah masyarakat Perkawinan yang dilakukan pada masa Hindia Belanda (1900-1942) terhadap anak-anak yang berusia 15 tahun ke atas. Penyelesaian sengketa perkawinan secara adat pada orang Nafri di Jayapura. Menghapuskan kesalahan yang pernah dilakuakn oleh seorang atau lebih dari kerabat suku calon mempelai laki-laki terhadap kerabat suku calon mempelai wanita sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu perkawinan. Sosiologi Perkawinan Antar Etnik Perkawinan antar suku di Minangkabau (Minangkabau dan Mandailing) khususnya pada suku Mandailing Antropologi Perkawinan Siri dalam Budaya Perkawinan pada hukum agama dan adat Hukum Masyarakat Kalisat berdampak pada perkawinan siri. 189 Lampiran 3. Pedoman Wawancara EKSISTENSI PERKAWINAN BAJAPUIK PADA MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT PEDOMAN WAWANCARA Nama Informan / Suku : ………………………………………………………………… Gelar Turunan : ........................................................ Pendidikan : ……………………………………………………………….. Pekerjaan : ……………………………………………………………….. Jumlah anak (Lk & Pr) : ……………………………………………………………….. Luas Lahan : ……………………………………………………………….. Korong : ………………………………………………………………… Kenagarian : ………………………………………………………………… Tanggal Wawancara : ………………………………………………………………… SEKOLAH PASCASARJANA INTITUT PERTAANIAN BOGOR 2008 190 PEDOMAN WAWANCARA Penelitian : Existensi Perkawinan Bajapuik Pada Masyarakat Pariaman Sumatera Barat Informan Penelitian : 1. 2. 3. 4. I. Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau Wali Nagari KAN (Kerapatan Adat Nagari) Masyarakat yang terlibat di lokasi penelitian (tokoh pemuda, wanita (bundo kanduang), agama (alim ulama), Pemuka masyarakat (ninik mamak), Orang terdidik (cadiak pandai dan keluarga-keluarga yang melakukanperkawinan bajapuik) Sejarah Perkawinan Bajapuik 1. Bagaimana latar belakang sejarah munculnya perkawinan bajapuik dalam istilah perkawinan adat Minangkabau? 2. Adakah pembagian waktu munculnya perkawinan bajapuik? 3. Darimana asal perkawinan bajapuik sebelum ada di Pariaman? Kapan dan bila perkawinan bajapuik dikenal dalam masyarakat Pariaman? 4. Kenapa perkawinan bajapuik ada di Pariaman? Konsepsi Perkawinan bajapuik 1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan bajapuik? 2. Apa saja unsur-unsur yang ada dalam perkawinan bajapuik? 3. Adakah variasi lain dalam perkawinan bajapuik di Pariaman? 5. Bagaimana cara penentuan uang Jemputan dan uang hilang dalam tradisi bajapuik? 6. Aktor-aktor yang dijemput dalam Perkawinan Bajapuik 1. Siapa saja yang dijemput dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? Kenapa (apa yang mendasarinya)? 2. Berapa jumlah uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? Apa indikator/dasarnya dari dulu hingga sekarang? II. Aktor-aktor yang terlibat dan Prilaku aktor dalam Perkawinan Bajapuik 1. Siapa aktor yang terlibat dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? 2. Apa saja bentuk prilaku aktor dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang ? 3. Sikap apa yang dilakukan aktor bila tidak berada ditempat? Bagaimana 191 bentuk interaksi yang terjadi di antara pihak yang terlibat dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? 4. Bagaimana prilaku aktor dalam perkawinan bajapuik, bila hanya salah satunya berasal dari Pariman? Dan sebaliknya, bagaimana penetapan uang jemputan dan uang hilangnya? Jaringan Sosial Personal dan Partisipasi Anggota Keluarga dalam Perkawinan bajapuik 1. Bagaimana aktor dalam menangani uang jemputan dan uang hilang dalam tradisi bajapuik? 2. Bagaimanapula dengan aktor yang terlibat tidak berada ditempat 3. Apa yang dilakukan oleh keluarga, jika anggota yang lain berada di dalam dan diluar Pariaman? Dengan cara apa? 4. Bagaimana keterlibatannya keluarga pada uang jemputan dan uang hilang dalam tradisi bajapuik? III. Perkawinan bajapuik Terintegrasi dalam Masyarakat 1. Apakah perkawinan bajapuik masih diperlukan oleh masyarakat Pariaman untuk saat ini? 2. Apa tujuan/motivasi utama untuk melakukan perkawinan bajapuik? 3. Apa makna uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik? 4. Apa untung ruginya adanya pelaksanaan perkawinan bajapuik bagi masyarakat Pariaman? 5. Adakah sanksi yang diperoleh masyarakat bila tidak melakukan perkawinan bajapuik? Bagaimana kontrol masyarakat dalam hal ini? 6. Kenapa perkawinan bajapuik sampai saat ini ada dalam masyarakat Pariaman? Kenapa? IV. Perubahan pada Perkawinan bajapuik 1. Apakah perkawinan bajapuik mengalami perubahan dari dulu hingga sekarang? Apanya yang berubah? Kapan terjadi perubahan itu? Berapakali perubahan itu terjadi? 2. Kenapa terjadi perubahan itu? Apa penyebab perubahan itu? (Agama, Hukum, pendidikan, ekonomi, sosbud, demografi, modernisasi). 3. Bagaimana pengaruh perubahan itu pada perkawinan bajapuik, keluarga dan masyarakat? V. Sejauhmana Peran Aktor dalam Perkawinan bajapuik 1. Siapa yang bertanggungjawab dalam menangani uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang ? Kenapa? Adakah sumber lain? 192 2. Siapa yang menentukankan uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? Kenapa demikian? Adakan campur tanggan pihak lain? 3. Siapa memberikan uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? 4. Siapa yang menyerahkan uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? 5. Siapa yang menerima uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? 6. Siapa yang mengatur penggunaan uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan Pariaman? 193 Lampiran 4. Peta Sumatera Barat SUMATERA BARAT 194 Lampiran 5. Foto-foto Penelitian PERSYARATAN ADAT Sirih dengan Carano Uang Jemputan Dan Uang Hilang Mahar 195 PELAKSANAAN PERNIKAHAN Penjemputan Marapulai Untuk Menikah Pemberian Mahar Pelaksanaan Akad Nikah 196 PESTA PERNIKAHAN BARETONG Ninik Mamak Memimpin Malam Baretong Pihak Ayah 197 Pihak Ibu Alat Penjemputan Marapulai Pulang Ke rumah Isteri