disertasi eksistensi tradisi bajapuik dalam

advertisement
DISERTASI
EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN
MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU
SUMATERA BARAT
MAIHASNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Pernyataan Mengenai Disertasi
dan Sumber Informasi
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Eksistensi Tradisi
Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat
adalah karya saya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan
Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, 28 Juni 2010
Maihasni
NRP A162050031
ABSTRACT
MAIHASNI. The Existence of Bajapuik, a Minangkabau Marriage Tradition
practiced in Pariaman , West Sumatra
Supervised by TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan
SEDIONO MP. TJONDRONEGORO.
One model of marriage tradition that often gets the spotlight is bajapuik,
an action of giving a sum of money or uang japuik to the prospective
bridegroom by the prospective brides’ family. The tradition, which is only
practiced by Minangkabau people from Pariaman, contradicts to the rules of
marriage in Islam of which the bridegroom has to give something as a present
or mahar to the bride. Today, the amount of uang japuik has continuously
increase as the socioeconomic status of prospective bridegroom improves. This
has resulted in financial burden to the prospective brides’ family. Therefore, this
study is aimed to find out what values, basic forms of exchange in bajapuik
tradition marriage and factors affecting the changes. It is also aimed to identify
who are involved and what are their roles in the bajapuik tradition. Finally it is
intended to analyse what are the reasons why bajapuik tradition is still exist in a
changing society.
Post-positivism paradigm was used to answer these problems and both
quantitative and qualitative methods were employed. Data was collected through a
survey, in-depth, participant observation, documentation and literature study.
Respondents and informants of the research were the people living in surrounding
areas of Pariaman. They are chosen on the basis of purposive and snowballing
sampling method, The respondent were young, middle and old generation, while
the informants were people of KAN (Kerapatan Adat Nagari); and ex-KAN;
LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) and tiga tungku
sajarangan.
This study shows that bajapuik tradition with the uang japuik still exists
in the society because it is continuously experiencing adjustments, until present
time. This is manifested is the exchange of the basic changes from the title of
nobility (ascribed status) to the socio-economic status (achievement status),
although the bases of the exchange value is still the same, that is cultural values.
Exchange in bajapuik tradition involves actors from the families, which consists
of parents, mamak and ninik mamak. The amount tradition of bajapuik money
depent on the socioeconomic status of prospective bridegroom. The existence of
bajapuik tradition in the social context until the present time is supported by
families both parties who share the same values and internal solidarity among the
family members.
Keywords: Existence of bajapuik marriage tradition, exchange, extended family,
nuclear family, economic value and cultural value orientations
RINGKASAN
Maihasni. Eksistensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman
Minangkabau Sumatera Barat.
Dibimbing oleh TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan
SEDIONO MP. TJONDRONEGORO.
Salah satu model perkawinan yang sering mendapat perhatian adalah
tradisi bajapuik. Perhatian itu tertuju pada ” uang japuik” sebagai persyaratan
yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga perempuan untuk terlaksananya suatu
perkawinan. Padahal dalam pelaksanaan perkawinan yang berlaku umum di
Minangkabau tidak demikian, bahkan pengantin laki-laki yang menyerahkan
sesuatu kepada pengantin perempuan sebagai sesuatu yang diwajibkan oleh agama
Islam. Kondisi inilah yang membedakan dengan pelaksanaan perkawinan yang
ada di Pariaman. Sebelum kewajiban itu dilaksanakan oleh calon mempelai lakilaki, pihak keluarga perempuan yang harus memenuhi kewajibannya dahulu
terhadap pihak keluarga laki-laki yaitu dengan memberikan uang japuik. Uang
japuik yang menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan itu, kian hari terus
menunjukkan peningkatan seiring semakin tingginya status sosial ekonomi
(achievement status) dari seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau
suami bagi anak perempuan. Namun dalam kenyataannya kewajiban untuk
memberi uang japuik dalam setiap pelaksanaan perkawinan terus dilakukan oleh
pihak keluarga perempuan. Padahal di satu sisi, sepintas terlihat uang japuik
cukup memberat pihak keluarga perempuan. Untuk itu, penelitian ini mengkaji
apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik
dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya? Siapa saja aktor yang
terlibat dan bagaimana perilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi
bajapuik? Mengapa tradisi bajapuik dapat bertahan dalam perubahan masyarakat?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menerapkan
paradigma postpositivis, yang berimplikasi metodologis pada penggunaan metode
kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, untuk pengumpulan data digunakan
kuesioner, wawancara mendalam, observasi partisipasi, studi dokomentasi dan
studi pustaka, yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang
subjek kajian. Sebagai upaya untuk memperoleh validitas data yang kebenarannya
dapat diyakini keabsahannya maka data diuji melalui teknik triangulasi sumber
dan metode. Responden penelitian adalah para pelaku yang terlibat dalam tradisi
bajapuik, sedangkan informan penelitian adalah KAN dan mantan KAN
(Kerapatan Adat Nagari); LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat
Minangkabau) dan tiga tungku sajarangan yang terdiri dari: Alim Ulama, ninik
mamak dan cerdik pandai.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi bajapuik dengan uang japuik
tetap eksis dalam masyarakat. Kondisi ini terjadi karena tradisi bajapuik terus
mengalami penyesuaian-penyesuaian dari dahulu hingga saat ini. Penyesuaianpenyesuaian itu menyangkut dasar dan bentuk pertukaran, meskipun nilai tetap
yakni pertimbangan nilai budaya. Hal ini termanifestasi dengan perubahan dasar
pertukaran yakni dari gelar keturunan (kebangsawanan) seperti sidi, bagindo dan
sutan kepada status sosial ekonomi (achievement status) seperti pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan. Selanjutnya, kecenderungan terfokus pada pekerjaan
dan pendapatan. Sementara itu seiring perubahan pada dasar pertukaran itu, maka
bentuk pertukaran juga mengalami perubahan. Jika pada awalnya hanya berupa
uang jemputan dan sejumlah benda tungkatan berubah menjadi uang jemputan,
uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Kondisi ini terjadi karena
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Pertukaran dalam tradisi bajapuik melibatkan dua pihak yakni pihak
keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dan masing-masing sebagai
pemberi dan yang lain sebagai penerima. Bagi kedua belah pertimbangan untuk
memberi dan menerima didasarkan atas status sosial ekonomi (achievement
status), khususnya pekerjaan dari calon mempelai laki-laki. Sementara itu dalam
pelaksanaan tradisi bajapuik berasal dari keluarga inti (nuclear family) seperti;
ibu, ayah, dan anak, keluarga besar (extended family) seperti; mamak, etek, apak,
mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat, seperti ninik mamak dan kepalo
mudo. Keterlibatan masing-masing aktor terdistribusi ke dalam proses dan
pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik.
Terjadinya pertukaran dalam tradisi bajapuik didasarkan atas nilai-nilai
yang sama tertanam di antara keluarga kedua belah—di pihak keluarga
perempuan dan di pihak keluarga laki-laki. Pertukaran yang terjadi dapat
diidentifikasi dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan tidak nyata (non
materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan oleh keluarga pihak
perempuan dengan memberikan sejumlah uang japuik berupa uang atau benda
kepada pihak keluarga laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang
mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dan secara non
materil adalah untuk mendapatkan suami dan keturunan dari perkawinan yang
dilaksanakan. Di pihak keluarga laki-laki pertukaran secara nyata (materil), uang
japuik digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki pada awalnya dan
kemudian berkembang menjadi membeli kebutuhan pelaksanaan pesta, meskipun
bentuk yang pertama tidak hilang sama sekali. Secara non materi adalah sebagai
prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai asal-usul yang jelas dan status
sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian pertukaran yang terjadi di
antara keluarga kedua belah pihak di dasarkan pada nilai-nilai ekonomi dan nilai
sosial budaya. Disamping dipihak keluarga perempuan tercipta pula solidaritas
internal, sehingga dalam formasi sosial eksisnya tradisi bajapuik disebabkan oleh
adanya kerjasama antara keluarga luas (extended family) dengan keluarga inti
(nuclear family). Persoalan yang menyangkut uang japuik sebagai persyaratan
yang menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan dapat dieleminir dengan
didasarkan nilai budaya. Hal ini semakin mempertegas bahwa orientasi nilai-nilai
budaya dan ekonomi yang secara faktual menjadi pertimbangan prilaku bagi
keluarga kedua belah pihak dan sebagai konstributor bagi eksisnya tradisi
bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan pertimbangan melakukan
pertukaran bagi keduanya akan saling melengkapi dan menyesuaikan sekaligus
akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi bajapuik. Kondisi inilah, akhirnya
memberi kontribusi tetap eksisnya tradisi bajapuik.
Kata Kunci: Eksistensi tradisi bajapuik, pertukaran, keikutsertaan keluarga luas,
prestise, nilai ekonomi dan nilai budaya
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Disertasi: Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat
Pariaman Minangkabau Sumatera Barat
Nama
: Maihasni
NRP
: A162050031
Program Studi : Sosiologi Pedesaan
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Titik Sumarti, MS
Ketua
Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS
Anggota
Prof. Dr. Sediono MP.Tjondronegoro
Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc
Tanggal Ujian: 28 Juni 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof . Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Nurmala K Pandjaitan, MS, DEA
Dr. Ir Saharudin, MS
Penguji padaUjian Terbuka
: Prof. Dr. Damsar, MA
Dr. Rohadi Haryanto, M.Sc
EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN
MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU
SUMATERA BARAT
MAIHASNI
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas
Rahmat, Karunia dan kehendakNya, naskah disertasi ini dapat penulis selesaikan.
Penelitian dengan judul “Existensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan
Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat” dapat diselesaikan.
Sangat disadari disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa doa, bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang
tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya, pertama penulis sampaikan
kepada komisi pembimbing; Ibu Dr.Titik Sumarti, MS sebagai ketua dan masingmasing sebagai anggota, yaitu, Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS dan Bapak Prof.
Dr. Sediono MP Tjondronegoro atas bimbingannya sejak penyusunan proposal
hingga selesainya penyusunan naskah disertasi ini. Pada akhirnya penulis hanya
dapat bersyukur dengan komisi pembimbing yang luar biasa dan lebih dari
sekedar pembimbing, beliau-beliau adalah pribadi-pribadi yang sangat peduli
nasib mahasiswa dan selalu terbuka untuk berdiskusi, sehingga memberikan
semangat dan kenyamanan suasana akademis bagi penulis, semoga amal kebaikan
beliau-beliau menjadi sedekah jariyah dan mendapat pahala yang berlimpah dari
Allah SWT, Amin. Kepada Ibu Dr. Nurmala K.Panjaitan, MS. DEA, selaku
penguji luar komisi, terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan.
Tidak hanya pada kesempatan ini, beliau memberikan dorongan dan semangat
pada saat beliau masih menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi
Pedesaan. Kepada Bapak Dr. Saharudin, MS, selaku penguji luar komisi,
terimakasih juga penulis haturkan atas masukan dan saran-saran kritisnya demi
kesempurnaan disertasi ini.
Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, MSc. Agr, dan Dr Rilus Kinseng, selaku Ketua dan sektretaris
Program studi Sosiologi Pedesaan yang selalu memberikan semangat pada penulis
untuk menyelesaikan studi ini. Demikian juga kepada bapak-bapak staf pengajar
di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang lain, Bapak Dr. Ir. Felix Sitorus,
MS, Bapak Prof. Dr. Endriatmo Sutarto, Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS
dan Bapak Dr Ir Juara Lubis, MS, terimakasih dan penghargaan penulis
sampaikan atas tambahan bekal ilmu dan pengembangan tradisi berfikir kritis
yang diberikan, sehingga penulis menjadi tertantang dan bersemangat dalam
menyelesaikan studi ini. Selanjutnya pada kesempatan ini penghargaan dan
ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana dengan
segenap staf dan karyawan yang telah memberikan layanan terbaik selama penulis
menjalani proses pendidikan di sekolah Pascasarjana IPB.
Semangat untuk menyelesaikan disertasi ini juga tidak terlepas dari
dukungan dari tempat asal instansi penulis. Penghargaan dan ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada Bapak Rektor dan Bapak Dekan FISIP Universitas
Andalas yang telah memberi izin tugas belajar kepada penulis. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Sumatera Barat,
Bapak Bupati Padang Pariaman dan Walikota Pariaman, yang telah membantu
dalam memberi izin untuk melakukan penelitian ini. Begitu juga, ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi, Bapak pimpinan Proyek Hibah Program Doktor, Bapak Ketua Yayasan
Damandiri, dan Bapak Rektor Universitas Andalas yang telah mensponsori dana
penelitian disertasi ini. Tidak lupa pula ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada responden dan informan penelitian di Kecamatan Sungai Limau dan
Kecamatan Pariaman Tengah yang telah memberi data dan informasi untuk
penulisan disertasi ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan
kepada keluarga besar atas doa dan dukungan yang tidak terhingga, untuk itu
ditujukan kepada ayahanda Mustamar, Ibunda Arnisyah serta Ibu mertua Hj
Martini, kakak dan adik-adik yang penulis cintai. Teristimewa rasa syukur,
terimakasih, penghargaan, kebanggaan penulis sampaikan kepada suami tercinta
Dr. Aprizal Zainal, SP, M.Si yang telah menyelesaikan pendidikan S3 di program
studi Agronomi IPB pada tanggal 3 Mei 2010 dan ananda tersayang: Muthia
Septaprima, Maudia Azhara Raisya dan Achmad Faridzi, atas segala
pengorbanan, kesabaran dan dukungannya yang setiap saat mengalir. Tanpa
dukungan mereka, rasanya disertasi ini tidak akan terwujud.
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan rekanrekan dan teman-teman seperjuangan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB
dari beberapa angkatan, antara lain; Dr. Zusmelia, M.Si, Dr. Ir. August
Pattiselano, M.Si, Dr. Yeti Rochwulaningsih, Drs Hidayat, M.Si, Iman K
Nawireja, SP, M.Si, Dr. Tyas Retno Wulan, M.Si, Pulanggono Setia Lenggono,
S.Sos, M.Si, Dr. Abdul Malik, S.Ag, M. Si, Dr. Hartoyo, M.Si dan Bob Alfiandi
S. Sos, M. Si dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu
persatu. Mereka telah banyak memberikan suasana akademik yang kritis penuh
persahabatan dan sangat menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3
ini. Semoga jalinan persahabatan yang begitu tulus itu akan langgeng, meskipun
kembali ke instansi masing-masing. Sungguh budi baik dan jasa mereka tidak
pernah akan terlupakan, hanya Allah SWT yang akan membalasnya sebagai
pahala dari amal kebaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan
keterbatasan kemampuan akademik yang dimiliki, sehingga penulis merasa
disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat
terbuka
dan
mengharapkan
saran,
kritik
dan
masukan
yang
dapat
menyempurnakan tulisan disertasi ini. Atas kebaikan dan perhatian semua pihak,
penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setingginya. Semoga Allah
S.W.T membalas semua kebaikan bapak, ibu dan saudara semuanya.
Bogor, 28 Juni 2010
Maihasni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 20 Januari
1968 sebagai anak kedua dari ayah Mustamar dan ibu Arnisyah. Pendidikan
Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Sosiologi Fakultas Sastra Universitas Andalas
(UNAND) lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program
Studi Sosiologi-Antropologi Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan
menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke
program doktor (S3) diperoleh pada tahun 2005 pada Program Studi Sosiologi
Pedesaan (SPD) Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) selama tiga tahun.
Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UNAND sejak tahun 1994. Mata kuliah yang diampu ialah
Pengantar Statistik, Statistik Ilmu Sosial, Kemiskinan, dan Sosiologi Pendidikan.
Selama mengikuti pendidikan Program S3, karya ilmiah yang telah ditulis
adalah; Kembali Ke Nagari: Apakah sebuah jalan menuju Reforma Agraria di
Sumatera Barat dalam buku yang berjudul, “Menggugat Kebijakan Agraria,
Kumpulan Tulisan Sejarah Agraria Pedesaan Mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan
2005. Editor Dr Endriatmo Sutarto, dengan ISBN: 979-3099-38-0. Kemudian,
tulisan lainnya adalah, ”Paradigma Penelitian Positivisme, dalam buku yang
berjudul “Metodologi Penelitian Sosiologi (Sep 710). Kumpulan tulisan oleh
Angkatan 2005-2006, Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Sekolah
Pascasarjana, 2006.
Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Aprizal Zainal, SP dan dikarunia
tiga orang anak yaitu Muthia Septaprima (12 tahun), Maudia Azhara Raisya
(9 tahun) dan Achmad Faridzi (6 tahun).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBARi
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Penelitian................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian................. 4
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian........................................ 5
1.4 Kegunaan Penelitian........................................................ 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Konsepsi Perkawinan..................................................... 7
2.2 Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin...... 9
2.3 Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau .............. 17
2.4 Perubahan Sosial Budaya............................................... 23
2.5 Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan............................ 28
2.6 Pilihan Yang Dipertimbangkan dan Lingkungan Sosial
dalam Perkawinan .......................................................... 33
2.7 Beberapa kajian dan Studi Tentang Perkawinan............. 35
2.8 Kerangka Pemikiran ....................................................... 40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Jadwal Penelitian .......................................... 42
3.2 Unit Analisis .................................................................. 43
3.3. Responden dan Informan Penelitian ............................. 43
3.4. Assumsi Dasar Penelitian.............................................. 45
3.5.Metode Penelitian............................................................ 48
3.5.1 Pengumpulan Data ............................................... 50
3.5.2 Analisis Data........................................................ 52
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA
DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian.............................. 54
4.1.1 Kecamatan Sungai Limau ..................................... 54
4.1.2 Kecamatan Pariaman Tengah ............................... 59
4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau........................... 64
4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir...................................... 68
4.3.1 Pariaman Sebagai Awal Masuknya Agama Islam
di Minangkabau ................................................... 68
4.3.2 Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas
Perdagangan........................................................... 71
4.4. Struktur Masyarakat Pariaman dalam Tradisi Bajapuik. 73
4.5. Adat Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik..................... 76
4.5.1 Memilih Calon Menantu (Meresek)........................ 76
4.5.2 Pertunangan............................................................ 79
4.5.3 Akad Nikah ............................................... ........... 81
4.5.4 Pesta Perkawinan.................................................. 82
4.5.5 Manjalang.............................................................. 85
4.5.6 Baretong................................................................. 86
BAB V
NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK
PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK
5.1 Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik........................ 88
5.2 Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan
dalam Tradisi Bajapuik.................................................. 90
5.2.1 Gelar Kebangsawan sebagai Dasar Pertukaran
dalam Tradisi Bajapuik...........................................91
5.2.2 Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran
Perkawinan Saat Ini dalam Tradisi Bajapuik........ 93
5.3 Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan dalam
Tradisi Bajapuik............................................................. 95
5.3.1 Uang Jemputan.................................................... 95
5.3.2 Uang Hilang........................................................ 101
5.3.3 Uang Tungkatan.................................................. 108
5.3.4 Uang Selo.............................................................. 110
5.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentukbentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik..................... 114
5.5 Ringkasan Bab................................................................ 116
BAB VI
PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM
TRADISI BAJAPUIK
6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik................................ 118
6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi
Bajapuik ....................................................................... 119
6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi
Bajapuik......................................................................... 129
6.3.1. Perkawinan Dengan Sesama Kerabat.................... 131
6.3.2. Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon
Sebelum Pernikahan................................................135
6.3.3 Perkawinan Dengan kedudukan Setara...................139
6.4. Ringkasan Bab............................................................... 144
BAB VII
EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM
PERUBAHAN MASYARAKAT
7.1. Nilai Pertukaran Yang tetap Terjaga dalam Tradisi
Bajapuik........................................................................... 145
7.2. Distribusi Keadilan (Distributive Justice) dalam
Tradisi Bajapuik............................................................. 149
7.3. Keterlibatan Keluarga Besar (Extended Family)
Memberi Ruang Bagi Eksistensinya Tradisi Bajapuik.... 153
7.4. Keterlibatan Keluarga Batih (Nuclear Family) Memberi
Ruang Bagi Eksistensinya Tradisi Bajapuik.................... 163
7.5. Tradisi Bajapuik dalam Teori Pertukaran....................... 167
7.6. Ringkasan Bab............................................................. 171
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan di Tataran Empirik....................................... 175
8.2 Kesimpulan di Tataran Teoritik...................................... 177
8.3. Saran dan Kebijakan....................................................... 178
8.4. Peluang untuk Penelitian ke Depan ............................... 179
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 180
LAMPIRAN..................................................................................................187
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial.........................................................
24
2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi..................................
27
3. Jumlah Responden dan Informan Penelitian..........................................
45
4. Paradigma Postpositivisme Sebagai Pilihan Paradigma Penelitian.......
46
5. Metode Yang Digunakan Dalam Penelitian............................................
48
6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan
Luas Wilayah Kecamatan Sungai Limau tahun 2008..............................
55
7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau menurut Kelompok
Umur dan Jenis Kelamin tahun 2008.......................................................
56
8. Jumlah Penduduk di Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok
Umur Tahun 2008....................................................................................
57
9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008................
57
10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan
Tertinggi di Kecamatan Sungai Limau tahun 2008................................
58
11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan
Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007..............
60
12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007.........
61
13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan
Tertinggi di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007..........................
62
14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan
Pariaman Tengah tahun 2007.................................................................
63
15. Laki-laki Yang dijemput Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik
di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008..........
89
16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik
di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008..........
96
17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik
di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008............ 100
18. Waktu Uang Jemputan Diberikan Menurut Responden dalam Tradisi
Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah
Tahun 2008................................................................................................ 100
19. Wujud Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan
Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008.................................. 101
20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan
Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 .................................. 104
21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan
Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008................................... 104
22. Perkiraan Muncul Uang Selo di Kecamatan Sungai Limau
dan Pariaman Tengah Tahun 2008......................................................... 113
23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik
di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008........... 117
24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi
di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 ........... 119
25. Karakteristik Keluarga dalam Tradisi Bajapuik.................................... 123
26. Keikutsertaan Anggota Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik Menurut
Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah
Tahun 2008............................................................................................. 157
27. Tipologi Keberadaan Tradisi Bajapuik dalam Keluarga Kedua
Belah Pihak.............................................................................................. 172
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang.......................................... 18
2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal)............ 35
3. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 41
4. Proses Kombinasi Metode Kualitatif dan Kuantitatif............................... 49
5. Interactive Model of Analysis.................................................................. 53
6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau................................................ 54
7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah .......................................... 59
8. Uang Japuik Dan Orientasi Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik...129
9. Anggota Keluarga Dari Pihak Ibu............................................................154
10. Anggota Keluarga Dari Pihak Ayah...................................................... 155
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kajian Tentang Perkawinan Di Dunia...........................................187
Lampiran 2. Kajian Tentang Perkawinan di Indonesia......................................188
Lampiran 3. Pedoman Wawancara.....................................................................189
Lampiran 4. Peta Sumatera Barat.......................................................................193
Lampiran 5.Foto-foto Penelitian........................................................................194
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia
untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk
hidup sendiri. Tidak seperti binatang, umat manusia memang tidak dibekali oleh
alat yang membuatnya hidup dalam kemandirian, karena itu manusia perlu hidup
bersekutu. Perkawinan adalah suatu pola yang disetujui dengan cara mana dua
orang atau lebih membentuk keluarga (Horton, 1987). Dengan demikian
perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak,
tetapi juga persekutuan yang secara budaya mempunyai sanksi, memperjelas hak–
hak dasar seks laki-laki dan perempuan dalam memenuhi fungsi sosial.
Perkawinan juga merupakan masa seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan
kelompok keluarga dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang
secara rohaniah tidak terlepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula.
Di Indonesia perkawinan selain diatur oleh negara 1 dan agama, juga diatur
menurut ketentuan daerah setempat atau yang disebut dengan adat. Dalam
prakteknya tidak jarang pula ditemukan aturan adat ini mempunyai peran yang
sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu perkawinan. Tepatnya, kehidupan
sosial akan mengalami hambatan dan tidak berlangsung seperti yang dikehendaki
apabila tidak mentaati aturan setempat (Moore dalam Warsani, 1989). Adanya
aturan adat itu maka dikenal berbagai macam bentuk perkawinan yang di
antaranya; perkawinan Minangkabau, Jawa, Batak dan sekaligus menjadi identitas
daerah setempat.
Khusus di daerah Minangkabau, identitas yang melekat pada bentuk
perkawinannya adalah mendatangkan sumando, artinya laki-laki yang diterima
sebagai menantu datangnya karena dipinang oleh pihak keluarga perempuan,
dengan sejumlah pesyaratan adat yang harus di bawa. Menurut Koentjaraningrat,
(1990), dalam tata aturan umum adat disebutkan perkawinan di Minangkabau
1
Yakni Undang-undang no 1 tahun 1974
2
tidak mengenal adanya mas kawin 2 (bridewelth) yang menjadi kewajiban bagi
pengantin laki-laki menyerahkan pemberian kepada pengantin perempuan sebagai
suatu hal yang diwajibkan oleh agama Islam. Tetapi yang penting dalam
perkawinan itu adalah pertukaran benda yang berupa cincin atau keris sebagai
lambang antara kedua keluarga yang bersangkutan telah terikat dan mempunyai
kewajiban satu sama lainnya.
Kondisi ini berbeda dengan daerah Pariaman, selain aturan di atas terdapat
pula syarat lain yang harus dipenuhi oleh keluarga pihak perempuan kepada
keluarga pihak laki-laki sebelum terjadi pernikahan. Persyaratan itu adalah
keluarga pihak perempuan memberikan sejumlah uang atau barang kepada
keluarga pihak laki-laki sebagai alat untuk menjemput supaya dapat mengawini
seorang perempuan. Inilah yang disebut dengan uang japuik dalam tradisi
bajapuik.
Pada dekade terakhir ini, permintaan uang japuik 3 dari pihak keluarga
laki-laki dalam tradisi bajapuik menunjukan peningkatan seiring dengan status
sosial yang dimiliki oleh calon mempelai laki-laki. Dengan demikian status sosial
yang tinggi mengindikasikan uang japuik yang semakin tinggi pula. Azwar
(2001), laki-laki yang mempunyai pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan
uang hilangnya puluhan juta rupiah. Selain itu uang japuik
(uang hilang)
menjadi penentu dalam keberlanjutan suatu perkawinan (Utama, 2002).
Implikasi dari uang japuik yang cenderung mengalami peningkatan
menimbulkan kegelisahan pada sebagian masyarakat. Seperti yang dilaporkan
oleh (Azwar, 2001), terdapat pihak keluarga perempuan menggadaikan dan
menjual sawah ladang mereka. Kemudian ada kecenderungan perempuan di
daerah ini untuk mencari pasangan dari luar 4 Kabupaten Padang Pariaman.
Dengan pendidikan yang semakin meningkat maka, kemungkinan berinteraksi
dengan orang luar juga semakin luas dan sekaligus menimbulkan peluang untuk
memperoleh pasangan dari luar tanpa adanya keterikatan dengan sistem
perkawinan yang ada
2
(Utama, 2002). Selain itu semakin meningkat jumlah
Mas kawin diartikan sebagai pemberian dan tidak sama halnya dengan mas kawin yang
disyaratkan dalam agama Islam atau yang disebut dengan mahar.
3
Sebutan uang japuik dalam sebagian masyarakat disebut juga uang jemputan atau uang hilang.
4
Berasal dari daerah lain yang tidak mempunyai adat tradisi bajapuik
3
perempuan di daerah ini yang tidak mendapat pasangan (Chatra, 2005)5.
Walaupun banyak faktor yang menentukan, namun dalam hal ini dapat
diasumsikan uang japuik (uang hilang) sebagai salah satu penyebabnya.
Mencermati fenomena yang terjadi di atas, jauh hari telah dirasakan oleh
masyarakat. Implikasi dari kegelisahan itu, pada tahun 1981 6 diadakan Raperda
(Rencana Peraturan Daerah) mengenai uang hilang yang dipelopori oleh
IMAPAR (Ikatan Mahasiswa Pariaman) dengan mengikut sertakan Tigo Tungku
Sajarangan ( cerdik pandai, ninik-mamak, dan alim ulama), Bundo Kandung, dan
Generasi Muda. Pada akhirnya Raperda itu membuahkan hasil pro dan kontra
dikalangan masyarakat. Meskipun demikian dalam kenyataan, tradisi bajapuik
dengan uang japuik tetap ada (eksis) dan menjadi salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan di Pariaman hingga saat ini. Ini
merupakan suatu persoalan yang dilematis. Di satu sisi ada segolongan
masyarakat yang tidak/kurang menginginkan tradisi bajapuik, namun disisi lain
masyarakat masih melaksanakan tradisi bajapuik. Mengapa ini terjadi dan nilai
apa yang terkandung dalam tradisi bajapuik, nampaknya inilah yang perlu
ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini.
Dalam perspektif pertukaran sosial, diyakini interaksi sosial mirip dengan
transaksi ekonomi. Akan tetapi diakui pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur
dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial pertukaran juga
mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi) (Turner, 1998; Poloma,
2000; Ritzer & Goodman, 2004).
Dalam teori pertukaran modern Homans lebih tegas mengatakan, dimana
semua perilaku sosial tidak hanya perilaku ekonomis hasil dari suatu pertukaran.
Artinya perilaku sosial tidak hanya menyediakan ganjaran ekstrinsik, tetapi juga
menyediakan ganjaran intrinsik, seperti persahabatan, kepuasan dan mempertinggi
harga diri. Dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya
(hukuman) dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Poloma, 2000).
Selanjutnya Homans juga menjelaskan pertukaran sosial yang terjadi juga
terkait dengan status dan peranan, dan sekaligus menyediakan mata rantai antara
5
6
Lihat Chatra, 2005 hal:187
Masa Bapak Anas Malik memangku jabatan sebagai Bupati kabupaten Padang Pariaman.
4
individu dengan struktur sosial, karena disadari struktur atau lembaga-lembaga
demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlihat dalam proses pertukaran
barang berwujud materi maupun non materi (Anderson, 1995; Malinowski dalam
Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000). Konkritnya, pertukaran yang terjadi
dalam perkawinan berkaitan dengan ekonomi, kedudukan sosial atau kekuasaan
(Goode, 2007), kecantikan, kepribadian, keahlian, dukungan dan kooporatif
ekonomi, intelektual, keperawanan dan sebagainya (Lamanna dan Riedmann,
1991). Jadi pertukaran yang terjadi dalam perkawinan tidak hanya terdiri dari satu
unsur yakni pertukaran “uang dengan seorang laki-laki”, tetapi terdiri dari dua
unsur yaitu “pertukaran” uang yang berkombinasi dengan nilai/norma
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Tradisi bajapuik sebagai salah satu bentuk jaringan kerja (networking)
yang dapat dipertemukan dalam sebuah pasar perkawinan (marriage market).
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktor dalam melakukan pertukaran di
pasar perkawinan. Di sini posisi penelitian dimaksudkan. Analisis juga difokuskan
pada tindakan (action) yang dicirikan oleh hasil aktivitas dan pertimbangan aktor
(pertimbangan nilai) atau tindakan yang mempengaruhinya (Homans dalam
Poloma, 2000). Jadi tradisi bajapuik tidak hanya sebagai sebuah mekanisme pasar
perkawinan (marriage market mechanism), tetapi juga sebagai fenomena sosial
yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Lamanna dan Riedmann, 1991).
Selain itu, perlu pula kiranya untuk melihat saling hubungan antara ekonomi dan
masyarakat secara lebih luas, yakni meliputi interaksi saling hubungan antara
ekonomi dan budaya (nilai-nilai dan norma) yang lebih luas.
Bagaimana ekonomi dan masyarakat berinteraksi lebih luas, seberapa jauh
kekuatan ekonomi menentukan pilihan masyarakat dan seberapa jauh kekuatan di
luar ekonomi mempengaruhi persoalan tradisi bajapuik. Secara keseluruhan ini
dapat ditelusuri melalui analisis dalam institusi perkawinan, yang mencakup
kekayaaan yang dimiliki, kedudukan tinggi atau berkuasa (Goode, 2007; Lamanna
dan Riedmann, 1991).
Selain itu keluarga luas (extended family) merupakan salah satu unsur
yang ikut mempengaruhi tradisi bajapuik dan juga sebagai salah satu penerapan
5
bentuk solidaritas yang dilakukan aktor-aktor dalam perkawinan. Artinya
keterlibatan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya tradisi
bajapuik. Bila itu terjadi jelas akan menguntungkan terutama bagi pihak keluarga
perempuan dan sekaligus akan berpengaruh terhadap keberlangsungan tradisi
bajapuik.
Kemudian dipihak lain sepintas tradisi bajapuik menunjukkan laki-laki
seperti benda yang dapat dipertukarkan dalam pelaksanaan perkawinan. Sebagai
bentuk perwujudan itu di Pariaman memakai uang japuik. Uang japuik pada
awalnya dalam tradisi bajapuik--merupakan suatu bentuk penghargaan kepada
status gelar kebangsawanan yang diwariskan dari ayah kepada anak laki-laki dan
inilah yang disebut dengan uang jemputan. Akibat pengaruh ekonomi muncul
uang hilang dalam tradisi bajapuik, sekaligus merubah penghargaan status gelar
kebangsawanan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) yang dimiliki oleh calon
pengantin laki-laki.
Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan
ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai
faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu bagaimana
aturan, norma mengenai tradisi bajapuik? Mengapa individu tetap mendukung
eksisnya tradisi bajapuik? Untuk lebih terarahnya penelitian ini maka akan
diajukan sejumlah pertanyaan pendukung lainnya sebagai berikut:
1. Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi
bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya?
2. Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana prilaku aktor dalam
pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik?
3. Mengapa tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bermaksud untuk melihat mengapa dan
bagaimana tradisi bajapuik sebagai salah satu institusi dalam masyarakat
Pariaman bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi? Untuk lebih
jelasnya tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
6
1. Mengkaji nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam
tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.
2. Mengkaji aktor yang terlibat dan prilaku aktor dalam pertukaran
perkawinan dalam tradisi bajapuik.
3. Menganalisis tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan, secara umum dapat menambah dan
memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan informasi tentang berbagai dinamika
kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Pariaman. Selain itu
penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan disiplin ilmu sosiologi Pedesaan,
khususnya pada kajian sosial dan adat-istiadat suatu masyarakat.
Secara khusus, keseluruhan hasil studi ini nantinya dapat memberikan
kontribusi bagi pemerintah Nagari, KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM
(Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) atau pemangku adat dan pihak
terkait lainnya dalam rangka keberlanjutan (continuity) tradisi bajapuik sebagai
identitas masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau pada umumnya.
Selain itu, pada gilirannya dapat menciptakan pertukaran yang seimbang antara
kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Konsepsi Perkawinan
Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya
Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam
buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan
adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang
tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya
wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita
mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya
lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap lakilaki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak
teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya
istilah perkawinan.
Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia,
menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences
adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan
perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua
bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami.
Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang
laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry)
atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah
kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya
sebuah keluarga baru.
Pada
perkembangan
berikutnya,
konsepsi
perkawinan
mengikuti
konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah
(Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi
masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak
membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran
yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya,
perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal
8
bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan
seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough
(dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara
perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di
dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan
pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis
perempuan itu
menjadi “suaminya”. Tetapi isteri dari perempuan itu
diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu
tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial.
Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga
mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada
penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan
disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat
kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai
anggota yang bisa diterima masyarakat.
Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang
diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan
adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri
karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986),
perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai
akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.
Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut
oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak
yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan
hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram.
Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa
perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam
kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu.
9
Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang
universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak.
Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai
transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita,
korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terusmenerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil
transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan
pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi
perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan
(life cyle) manusia.
2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin
Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam
lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan
status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan
sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat.
Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih
ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh
suatu
masyarakat.
Sebagai
konsekuensinya
terlihat
pada
bentuk-bentuk
perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan perkawinan.
Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia
adalah kawin penculikan (kawin rampok) 1. Perkawinan ini dilakukan dengan
merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang
disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka
untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk
perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan.
Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai
bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan
konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980).
1
Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980.
Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.
10
Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk
mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di
dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis
Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin
dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anakanaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta
saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini,
perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan
kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi.
Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih
besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja.
Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri
dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila
keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka
kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat,
1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi
dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab
itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain
itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat
mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak
perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992).
Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional,
yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya.
Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar
suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang
keluar atau
meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok
kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian
dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem
matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah
istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga
kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu,
akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku
11
ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami
sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah
tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006).
Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk
bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai
istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah
laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah
sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang
menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando
lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung
dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah
sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena
menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat
menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat,
sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta
istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh
dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah
sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri
dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987).
Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau
menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain :
1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman
menjadi ramai dan berseri.
2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga.
3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung
halaman, dan penolong ninik mamak
4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang
kampung.
5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan
dalam kesempitan.
Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan
rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu
12
tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti,
seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping
kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah
berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan
serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan
baik.
Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan
tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada
bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain;
mas kawin
(bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula,
1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan
salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang
diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973;
Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran
banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura
maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah
mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau
suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu
dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang
dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna
simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam
masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda
atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71
persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan
hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat
keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak
banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh
pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok
kerabat mereka sendiri.
Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan
antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga
masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana
13
untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih
pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya
sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu
mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin
harus diberikan ada 3 (tiga) kemungkinan:
1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan
siapa yang akan menerima mas kawin tersebut.
2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri.
3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada
kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104).
Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah
dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan.
Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa
seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat
menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di
pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan
yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang
dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem
dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan
membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan
menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007).
Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam
perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari
kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita
begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam
pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah
terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi
di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai
pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992).
Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada
status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi
penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang
14
yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas 2
wanita
dalam
perkawinan
tersebut.
Kemudian
setelah
itu,
dalam
perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan,
umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981).
Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada
prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai
bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompokkelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992).
Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari
sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling
mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian
merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari
kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota
masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar,
pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan
suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu
sebagai prestasi
(prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari
barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang
menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan
dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu
secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan
masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok
tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal.
Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya
saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan
berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompokkelompok.
Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
2
Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat
15
1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian
hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan
kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada
waktu yang sama disebut dengan barter.
2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang
sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang
mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah
diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu.
3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam
nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu
dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh
Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion).
Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah
sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi
kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka
diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si
pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima
pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan
penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu
pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh
sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat
diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak
mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi.
Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah
kedudukan daripada si pemberi.
Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku
dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut
dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan
adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka
mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan.
Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya
pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai
16
penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi
bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan
uang dapua (uang dapur), tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai
penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu.
Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial
ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka
semakin tinggi uang jemputannya.
Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah
adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar
kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar
kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai
uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh
dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki
(tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga
perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan
(tingkatan). Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan
pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga
laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang
akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status
sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan
menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu.
Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi
perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik.
Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang
menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang
terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), “pada
saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk
mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak.
Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar
keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari
ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179),
17
disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi
kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat
Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi
nama, setelah besar
umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar.
Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaan/tradisi yang dianut
secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun
penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi.
2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau
Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal-garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan
melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan
bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya
mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”.
Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau
sako-indu (Amir, 2006).
Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil
perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip
matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas,
hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya.
Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan
mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota
dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di
dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan
keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979)
Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciricirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan
dari garis ibu (maternal line).
2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku.
3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal
dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut
garis ibu.
4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi,
berjalan secara paralel dan simultan.
18
5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili
dan residensinya cendrung dualokal.
6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah
istrinya.
7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya.
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari
saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan
mamak.
Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang
istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan
waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut
juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah
(rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem
matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya
penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat
menyimpan barang-barang berharga).
Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear
family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau
yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang
mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato
1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1
berikut ini
Generasi
Nenek
Generasi
Ibu
Generasi
Anak
Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)
19
Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati
satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama
lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik
bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama,
sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud
adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turuntemurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan
terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan
dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan
pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan
samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25),
kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan
aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang
mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut.
Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta
komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan
keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut:
1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah
mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai
ka mande kita sendiri”.
2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan
putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang
melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan
keturunannya.
3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang,
masih terikat pada tanah (agraris).
4. Sebagai lambang kedudukan sosial.
Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara:
Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak
berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki,
bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi
kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar
penghulu telah lama “balipek” (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk
upacara “puntiang penghulu” (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah
20
gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami
kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka
diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir,
1987; Backmann, 2000).
Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati
satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti
Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000)
telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian
kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya
sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini,
keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang
lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya
kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga
terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan
anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997).
Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi
hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat—
ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai
tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan
(Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi
dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan
finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan
Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi
penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan
(Litwak dan Szelenyi, 1969).
Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum
sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya
pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung
diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya
sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari
saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan
kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara
21
anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan
dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk
bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat,
walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas
menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga
ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan.
Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui”
ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan
antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup
besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat
perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang
tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak
melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung
terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam, data hasil penelitian
kurang memadai
untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap
keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang
menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini.
Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan
benda-benda kebutuhan rumah tangga.
Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang
dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan
masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak
tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih
cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila
kemenakannya
membutuhkan.
Bahkan
mamak
masih
terlibat
dalam
pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut
Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang
hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan
ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan,
membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala
22
akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang
hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru.
Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut
Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai
berikut:
1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan
seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang
negara.
2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan
anak-anak.
3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama
untuk memperoleh ketentraman batin.
4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari
kepunahan.
Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga
Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak
putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak
hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak
ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka
keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002).
Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah
antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan.
Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako.
Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu),
sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984).
Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang
sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989).
Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa
Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya,
padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya,
kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar
dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu
akan menjadi “anak hilang” dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai
merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki
23
luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku
bangsa Minangkabau.
Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka
perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat
perkawinan Minangkabau antara lain;
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang
sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang
tua dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan
untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap
perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan
seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang
tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga
perempuan.
2.4. Perubahan Sosial Budaya
Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami
perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia.
Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya
adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian
membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu.
Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terusmenerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami
perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih
cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981),
perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan,
baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam
24
masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, dan dalam masyarakat tradisional
sangat lambat.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks.
Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang
berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan
interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai
ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang
terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan
sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya
termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi
dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan
berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial
Tingkat
Analisis
Global
Peradaban
Kebudayaan
Masyarakat
Wakil Kawasan Studi
Wakil Unit-Unit Studi
Organisasi internasional; ketimpangan
internal
Lingkaran kehidupan, peradapan atau
pola-pola perubahan lain (misalnya;
evolusioner atau dialektika)
Kebudayaan materil dan kebudayaan
non materil
Sistem stratifikasi; struktur; demografi;
kejahatan
GNP; data perdagangan
Komunitas
Sistem stratifikasi; struktur; demografi;
kejahatan
Institusi
Ekonomi; pemerintahan; agama;
perkawinan dan keluarga; pendidikan.
Organisasi
Interaksi
Struktur; pola interaksi; struktur
kekuasaan; produktivitas.
Tipe interaksi; komunikasi
Individu
Sikap
Sumber: Lauer, (1989 : 6)
Inovasi Ilmiah, kesenian dan inovasi
lain-lain; institusi sosial
Teknologi; idiologi; nilai-nilai
Pendapatan; kekuasaan dan gengsi,
peranan, tingkat migrasi; tingkat
pembunuhan
Pendapatan; kekuasaan dan gengsi;
peranan; pertumbuhan penduduk;
tingkat pembunuhan.
Pendapatan keluarga, pola pemilihan
umum; jemaah Gereja dan Mesjid;
tingkat perceraian; proporsi
penduduk di perguruan tinggi.
Peranan; klik persahabatan;
administrasi/ tingkat produksi
Jumlah konflik; kompetisi atau
kedekatan; identitas keseringan dan
kejarangan partisipasi interaksi
Keyakinan mengenai berbagai
persoalan; aspirasi
25
Penjelasan mengenai konsepsi perubahan sosial di atas menggambarkan
bahwa perubahan sosial itu menyangkut berbagai tingkat kehidupan sosial, mulai
dari yang lebih kecil sampai kepada yang lebih besar. Mengacu kepada tingkat
analisis perubahan sosial di atas maka terkait dengan research ini (tradisi
bajapuik) termasuk kepada kawasan kebudayaan materi dan non materi dengan
unit-unit studinya adalah nilai-nilai. Karena tradisi bajapuik yang terdiri dari uang
japuik yang dalam realitanya tetap ada, namun nilai-nilai yang terdapat di dalam
tradisi bajapuik telah mengalami perubahan. Ini terlihat dari nilai dasar dan
bentuk-bentuk pertukaran, dimana pada awalnya gelar kebangsawanan, kemudian
beralih kepada status sosial ekonomi (pekerjaan tetap) yang secara nyata
menghasilkan uang. Begitu juga dengan bentuk pertukaran yang terdapat dalam
tradisi bajapuik, pada awalnya sejumlah benda atau uang secukupnya (uang
jemputan) berkembang menjadi bentuk-bentuk uang lainnya seperti; uang hilang,
uang selo dan uang tungkatan. Atas dasar itu, maka perubahan yang terjadi dalam
tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang
sedang berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana terjadinya perubahan itu
dan faktor apa yang menyebabkan, disini pentingnya penelitian ini.
Oleh sebab itu penjelasan mengenai perubahan yang terjadi dalam tradisi
bajapuik lebih tepat kiranya dengan menggunakan pandangan perspektif
evelusionisme dari Comte. Perspektif ini melihat perkembangan masyarakat
dengan menganalogikan seperti halnya proses evolusi yakni suatu proses
perubahan yang berlangsung sangat lambat namun menuju suatu bentuk
“kesempurnaan” (Etzioni, 1973).
Kesempurnaan
menurut
Comte dalam
masyarakat dicirikan oleh adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi
semakin kompleks, terdeferensiasi dan terspesialisasi (Sztompka, 2004). Dengan
demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam bentuk perkembangan
yang linear menuju ke arah yang positif dan menuju suatu bentuk “kesempurnaan”
masyarakat.
Pemikiran Comte tentang perubahan sosial didasari atas konsep dinamika
sosial (social dynamics), yakni berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejalagejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda (Salim, 2002). Dalam hal ini
Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas, kita
26
perlu
menempatkan
dalam
konteks
historis
yang
lebih
luas,
yakni
memperlakukannya sebagai salah satu fase saja dari perjalanan panjang sejarah
umat manusia. Masyarakat kapitalis, industri tidak muncul secara kebetulan, tetapi
merupakan hasil wajar dari proses terdahulu (Lauer, 1985; Turner, 1998;
Sztompka, 2004). Jadi, mustahil untuk memberikan penjelasan, memprediksi dan
menentukan
perkembangan
fenomena
modern
secara
memadai
tanpa
merekonstruksi pola dan mekanisme seluruh sejarah terdahulu.
Lebih rinci Comte melihat perkembangan masyarakat melalui pola berfikir
tertentu yakni melalui tahapan-tahapan dalam alam berfikir manusia atau yang
disebutnya dengan evolusi intelektual. Untuk itu Comte bertolak dari “hukum tiga
tahap perkembangan manusia, yakni teologis, metafisik dan posistif. Setiap tahap
dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap sebelumnya dan selalu
menunjukkan perkembangan sesuai dengan tahap yang sedang mereka capai dan
mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya secara keseluruhan.
Selanjutnya setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan
antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Adapun tahap
perkembangan pemikiran manusia menurut Comte yaitu: 1) Tahap Teologis, pada
tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran manusia. Pada tahap
ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau kejadian di
dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran
manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda
yang ada di dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang
berada diluar jangkauan manusia (kekuatan gaib, misalkan dewa). 2) Tahap
metafisik, tahap ini sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari tahapan
yang pertama (tahap teologis)--suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu
yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan diluar jangkauan manusia seperti
kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian
dan penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat
abstraksi dan konsep metafisik (spekulatif). 3) Tahap positif, tahap ini yang
menjadi dasar pemikiran aliran positivistik-- pemikiran manusia mencoba untuk
menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap semua fenomena yang terjadi
di dunia ini berdasarkan hukum-hukum yang dapat diamati, diuji dan dibuktikan
27
secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan mulai
berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal.
Selanjutnya Comte mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi manusia
melangkah untuk mencapai tujuan akhir sebagai berikut; 1) rasa bosan; 2) umur
manusia dan 3) demografi.
Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu
masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau
semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas,
berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan,
memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan
kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat
pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua
aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson;
1986; Sztompka (2004).
Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial
masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi
Kategori
Landasan Pemikiran
Sifat Perubahan
Arah Perkembangan
Konsepsi
Bentuk Perubahan
Perkembangan Organisme
Kumulatif
Linear/positif
Optimis
Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah
bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat
tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan
perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa
perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada
dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama.
Mengikuti pemikiran Comte di atas, maka perubahan yang terjadi dalam
tradisi bajapuik terjadi sesuai dengan pekembangan masyarakat (evolusi) dengan
tidak menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Gelar
kebangsawanan tetap mempunyai nilai dalam tradisi bajapuik, namun nilainya
telah mulai berkurang jika dibandingkan dengan oleh status sosial ekonomi
sebagai pertimbangan dalam memilih menantu. Karena keuntungan yang lebih
28
besar terdapat pada status sosial ekonomi (pekerjaan) yang dimiliki oleh seorang
laki-laki. Jadi adanya peralihan pemikiran masyarakat itu merupakan suatu bentuk
perkembangan pola berfikir menuju kesempurnaan masyarakat.
Kalau ditelusuri lebih jauh proses perubahan sosial yang melanda berbagai
bidang kehidupan sosial masyarakat saat ini, pada dasarnya merupakan proses
yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya
akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat.
Bahkan perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan)
dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja mempengaruhi pola dan
perilaku masyarakatnya (Soekanto, 1990).
Selanjutnya,
faktor-faktor
yang
menyebabkan
perubahan
dalam
masyarakat antara lain: 1) ketidak puasan terhadap situasi yang ada; 2) adanya
tekanan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya (Margono dalam
Taneko, 1993). Kemudian Adiwikarta (1988), perubahan juga dapat diakibatkan
oleh pendidikan karena pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai dua
peranan penting yaitu; sebagai pelestarian kebudayaan dan sistem sosial (agent of
conservation) di samping sebagai pembawa atau pelaku perubahan (agent of
change). Sebagai pelestarian kebudayaan pendidikan telah mewariskan suatu
sistem nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma dan adat-istiadat serta berbagai
perilaku tradisional yang telah membudaya dari satu generasi ke generasi lainnya,
sedangkan sebagai pelaku perubahan pendidikan mengkonstruksi bentuk-bentuk
baru akibat bentuk lama yang sudah tidak cocok lagi.
Terkait dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di Minangkabau
dan Pariaman khususnya, menurut Abdullah (1992), disebabkan oleh jumlah dan
komposisi penduduk, perluasan dan spesialisasi dan diferensiasi kerja. Selain itu
juga disebabkan oleh pendidikan—pendidikan mengakibatkan terbukanya
kominikasi dan berkembangnya pengetahuan (Navis, 1983). Dengan demikian
faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan adalah faktor intern dan
ekstern. Kedua faktor ini merubah pilihan masyarakat dalam tradisi bajapuik.
2.5. Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan
Pada dasarnya perkawinan berlangsung seperti sistem pasar dalam
ekonomi (Goode, 2007). Ini berarti di dalam proses perkawinan terdapat sumber-
29
sumber yang ditawarkan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan.
Proses ini tentunya melibatkan pihak-pihak yang syarat dengan perilaku dan
interaksi sosial. Dalam sosiologi keluarga, proses pertukaran yang terjadi antara
pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya disebut dengan pasar
perkawinan (marriage market).
Untuk memahami perkawinan sebagai sebuah proses pertukaran yang
terjadi dalam pasar perkawinan (marriage market) dapat didekati dengan
perspektif teori pertukaran (exchange theory) dari Homans, meskipun dalam ilmu
sosiologi Blau juga termasuk dalam pengembangan teori ini. Secara umum teori
pertukaran mempunyai asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi
ekonomi. Akan tetapi para ahli teori pertukaran mengakui bahwa pertukaran sosial
tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial
dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 2000). Ini sejalan
dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran (exchange) tidak selalu
dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi pertukaran juga
meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti harga diri atau penghargaan, saling
keterkaitan, bantuan dan dalam bentuk persetujuan. Pertukaran juga dimaksudkan
untuk menghindari sesuatu seperti penderitaan, biaya keadaan yang memalukan
lainnya dan pertukaran juga meliputi kesempatan, keuntungan dan aspek-aspek
komparatif dari hubungan kemanusiaan (human relation). 3 Dari pernyataan
Skidmore tersebut, maka jelaslah bahwa gagasan pertukaran (exchange)
mempunyai pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas pada pemberi dan
penerima yang bersifat konkrit. Pandangan yang sama, juga dikemukakan
Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya dalam bentuk materil tetapi juga dalam
bentuk non materil (Turner, 1998; Anderson, 1995).
Secara spesifik teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans, melihat
semua perilaku sosial—tidak hanya perilaku ekonomis, tetapi menyediakan
ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Lebih jauh Homans menjelaskan, di mana aktor
dalam berperilaku mempertimbangkan keuntungan dan memperkecil biaya yang
3
Lebih jauh lihat William Skidmore. 1979. “Theoritical Thinking in Sociology”. Cambrige
University Press. London. J.H. Anderson. 1995: 80-98. “Retorical Objectivity in Malinowsky’s
Argonnaouts”, University of Illinois Press. Urbana and Chicago.
30
dikeluarkan (cost benefit) dan individu-individu yang terlibat dalam proses
pertukaran barang berwujud materi dan non materi (Turner (1998; Poloma, 2000).
Teori pertukaran Homans terletak pada sekumpulan proposisi yang erat
kaitannya dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishman). Semua proposisi
itu saling berhubungan. Adapun proposisi Homans itu menurut Turner, 1998;
Ritzer & Goodman, 2004 sebagai berikut:
1. Proposisi sukses (Success Proposition), di mana dalam setiap tindakan
tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering ia akan melakukan
tindakan itu.
2. Proposisi stimulus (Stimulus Proposition), jika dimasa lalu terjadi stimulus
yang khusus atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana
tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin memungkinkan
seseorang melakukan tindak serupa.
3. Proposisi nilai (Value Proposition), di mana semakin tinggi nilai suatu
tindakan, maka semakin sering seseorang melakukan tindakan itu.
4. Proposisi kejenuhan (Saturation Proposition), di mana semakin sering
dimasa lalu seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang
bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu.
5. Proposisi persetujuan (Approval Proposition), bila tindakan seseorang
tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman
yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi cenderung
menunjukan prilaku agresif dan hasil prilaku demikian menjadi lebih
bernilai baginya.
6. Proposisi rasionalitas (Rationality Proposition), dalam memilih antara
tindakan alternatif,
seseorang
akan
memilih
sesuatu
itu
seperti
dirasakannya ketika nilai dari hasil dikalikan dengan kemungkinan hasil
tersebut adalah lebih besar.
Dari keenam proposisi yang diajukankan, Homans menekankan pada
proposisi ketiga dari exchange theory-nya. Lebih jauh dikatakan bahwa makin
bernilai bagi seseorang tingkahlaku orang lain yang ditujukan kepadanya, makin
besar kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya dan
akhirnya pertukaran kembali akan terjadi. Namun reward yang diberikan kepada
31
orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian
aktor, tetapi mempunyai nilai lebih bagi orang yang diberi.
Pertukaran (exchange) tidak akan terjadi kalau nilai sesuatu yang
ditukarkan itu sama, karena itu exchange hanya terjadi bila cost yang diberikan
akan menghasilkan benefit yang lebih besar dan kedua belah pihak sama-sama
mendapat untung, dan keuntungan itu mengandung unsur psikilogis (Turner,
1998; Ritzer, 1985). Artinya pertukaran di sini termasuk pada pertukaran yang
melebihi pertimbangan ekonomi.
Mengacu pada persoalan perkawinan maka yang dipertukarkan menurut
Lamanna dan Riedmann (1991), meliputi latar belakang dan keahlian individu
yang dimiliki, seperti; posisi ekonomi (status sosial), pendidikan, umur,
kecantikan dan sebagainya. Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menjelaskan,
pertukaran itu akan berbeda antara masyarakat tradisional dengan masyarakat
modern. Pada masyarakat tradisional pertukaran berkaitan dengan peranan seks.
Artinya wanita menukar dengan kemampuannya untuk melahirkan dan
membesarkan anak sebagai bentuk tugas domestik. Pada masyarakat modern,
lebih di dasarkan pada sumber-sumber ekonomi, expresiv, efektif, seksual dan
pengenalan kedua pasangan. Seorang wanita mempunyai ekonomi dan pekerjaan
yang
sama
dengan
laki-laki,
maka
pertukarannya
menjadi
simetris
(seruang/sepadan) dan perkawinan yang didasarkan pada kedua pasangan
mempunyai status sosial yang sama dan menjadikan lebih sederajat dan ditambah
dengan perubahan peranan gender menjadi pertukaran saling melengkapi.
Meskipun demikian, walaupun wanita sudah maju dan sama dengan pria, tetapi
wanita masih tidak diuntung dalam pasar perkawinan (Lamanna dan Riedmann
(1991).
Sementara itu proses pertukaran itu berbeda dari suatu masyarakat ke
masyarakat lainnya dan tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya. Dalam
masyarakat tradisional, pengaturan transaksi sepenuhnya dilakukan oleh keluarga
dan juga keluarga besar. Berbeda halnya dengan masyarakat modern, pengaturan
transaksi masih didominasi oleh keluarga inti (nuclear family), walaupun secara
32
berangsur-angsur induvidu yang bersangkutan sudah mulai ikut campur dalam
kegiatan itu 4 (Lihat Goode, 2007; Lamanna dan Riedmann, 1991).
Kemudian, untuk nilai tukar yang dipertukarkan menurut Goode (2007),
tergantung kepada; 1) kearah mana nilai yang lebih tinggi itu dicurahkan
menunjukan evaluatif yang diberikan masyarakat terhadap kedua mempelai baru
itu; 2) tidak menjadi soal kearah mana kekayaan yang terbesar itu dicurahkan,
semua macam nilai tukar itu tetap akan merata di antara keluarga-keluarga atau
garis-garis keluarga. Karena kebanyakan perkawinan terjadi antar strata ekonomi
yang sama, sehingga strata itu sebagai suatu kesatuan tidak untung maupun rugi.
Artinya adanya keseimbangan kedua belah pihak 5; 3) keluarga yang menerima
lebih banyak kekayaan selalu membalasnya dengan pemberian-pemberian lain,
dan biasanya menjadi suatu kebanggaan untuk membuat pemberian kembali
hampir senilai dengan apa yang diterimanya. Pertukaran semacam itu biasanya
diketahui umum dan menggambarkan baik kedudukan sosial keluarga dan
kegembiraan mereka dalam peristiwa itu; 4) meskipun ada sistem mas kawin,
namun tetap ada kesempatan kompromi dalam peraturan perkawinan.
Kesemua bentuk kriteria pilihan sebagaimana yang disebut di atas
merupakan refleksi dari pertukaran dalam perkawinan yang pada hakikatnya
menekankan pada perkawinan yang homogami. Menurut Lamanna dan Riedmann,
(1991), ada sejumlah alasan orang melakukan perkawinan yang homogami antara
lain:
1. Kedekatan (propinquity)
Orang-orang yang berasal dari tingkat ekonomi yang sama mempunyai
kedekatan hubungan dalam dalam berbagai hal.
2. Tekanan sosial (social pressure)
Nilai-nilai budaya yang menganjurkan warga masyarakatnya untuk kawin
dengan adanya persamaan sosial di antara mereka dan sebaliknya, tidak
menganjurkan untuk kawin dengan orang yang mempunyai perbedaan di
antara mereka.
3. Kebetahan di rumah (feeling at home)
4
Lihat juga Lamanna, 1981. Marriage and Families, hal 10.
Karena perkawinan yang terjadi cendrung homogami yakni mencari pasangan berdasarkan
adanya kesamaan dan karakteristik kelompok, Lihat Goode, 2007; Lamanna, 1991.
5
33
Orang-orang akan merasa lebih betah dengan adanya persamaan latar
belakang di antara keduanya, sehingga komunikasi menjadi lancar dan
nyaman.
4. Pertukaran yang seimbang (fair exchange)
Dalam teori pertukaran (theory exchange), mendorong orang untuk kawin
dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri seperti:
kelas sosial, pendidikan, kecantikan fisik.
Dengan adanya kesamaan tersebut maka dapat diassumsikan kehidupan
perkawinan akan menjadi lebih kokoh dan stabil.
2.6.
Pilihan yang Dipertimbangkan
Perkawinan
dan Lingkungan Sosial dalam
Pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably) dimaknai sebagai
pilihan yang dibuat melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu. Orang-orang
secara pribadi menyadari tindakan yang dilakukan sebelum mengambil suatu
pilihan. Bila pilihan itu diteruskan, akan berdampak positif baginya dan dapat
bertahanan lebih lama Lamanna dan Riedmann (1991).
Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menambahkan di mana dalam pilihan
yang
dipertimbangkan
ada
komponen-komponen
penting
antaralain:
1)
mempunyai banyak option-option atau alternatif-alternatif sebagai suatu
kemungkinan; 2) mengenal tekanan sosial mempengaruhi pilihan personal, yang
disebutnya dengan faktor-faktor sosial. Apa faktor-faktor sosial yang dimaksud,
Lamanna dan Riedmann menjelaskan sebagai berikut:
1. Event/kejadian yang berkaitan dengan sejarah seperti: perang, depresi,
inflansi, dan perubahan sosial, mempengaruhi option-option/pilihanpilihan induvidu sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga.
2. Klas sosial atau status—merupakan faktor sosial yang penting sebagai
arena/sarana dalam mempengaruhi pilihan individu.
3. Agama--dalam hal ini agama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di
pedesaan dan agama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di
perkotaan mempunyai perbedaan, terutama dalam pengamalannya dan
agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Bagi masyarakat
pedesaan, pada umumnya pengamalan agamannya relatif kuat dan itu
cenderung terlihat pada kelompok-kelompok agama dan cenderung
diwarisi melalui keturunannya. Kemudian, aktivitas keagamaan secara
signifikan di denominasi dalam kehidupan keluarga.
34
4. Pengharapan pada Umur--individu menyadari bahwa kehidupan mereka
sendiri mempunyai ”timing” yang berkaitan dengan pengharapanpengharapan sosial. Lingkungan keluarga mempengaruhi pilihan-pilihan
individu, misalnya kapan waktu untuk pendidikan dan mendapatkan
pekerjaan, menikah dan punya anak.
Dengan demikian ada empat poin pokok yang mempengaruhi individu
dalam menentukan pilihannya. Faktor-faktor sosial tersebut berada diluar individu
dan selalu mengelilinginya. Mengikuti terminologi Homans dalam Poloma
(2000), inilah yang disebut dengan sistem internal.
Selanjutnya bagaimana faktor sosial mempengaruhi pilihan individu,
menurut Lamanna dan Riedmann (1991) yakni melalui: pertama, melalui normanorma sosial yang dapat diterima masyarakat. Menurut Soekanto (1990), norma
sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma
sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilakuperilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan
norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar
bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma
disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung
tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun
yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Kepatuhan terhadap
norma-norma kelompok akan memperoleh ganjaran sedang pengingkaran akan
memperoleh hukuman (Poloma, 2000).
Kedua, membatasi pilihan-pilihan individu. Dengan demikian tindakan
yang berlangsung dalam kehidupan dapat secara sadar dan tidak sadar. Tindakan
secara tidak sadar dilakukan ketika sesuatu itu bagi individu telah menjadi
kebiasaan dan mengikuti garis edar yang telah ditentukan, sehingga tidak ada
kekuatan untuk menentangnya.
Agar suatu pilihan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan (pilihan
rasional), menurut Lamanna dan Riedmann (1991) dilakukan dengan mencek atau
mengkoreksi kembali pilihan yang diambil sebelum membuat suatu keputusan
(decision
maker).
mempertimbangkan
Dengan
pilihan
demikian
sabjektif
dapat
(individu),
memperhatikan
dan
atau
mempertimbangkan
35
lingkungan disekitarnya (nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku). Gambar 2
menunjukan bagaimana lingkungan sosial berpengaruh terhadap pilihan individu
(personal).
Environment
Input Varied option
Social presures
Rechecking with selft
Output (effect a decision has on orthers)
Awareness of
alternatives
Behavior (“I do”
or “I act “)
Decision
maker
Awareness of
social pressures
Decision (“I will”
or “I won’t “)
Willingness to accept
consequences of a
decision
Awareness of personal values
(‘I feel’)
Considering
consequences of
Considering consequences of
each alternative
Considering consequences of
each alternative
Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal). Sumber:
O’Neill and O’Neill (1974) dalam Lamanna dan Riedmann (1991)
2.7. Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan
Studi tentang perkawinan belum begitu banyak mendapat perhatian di
dalam kajian sosiologi. Dalam perjalanan waktu, hingga saat ini kajian tentang
perkawinan masih didominasi oleh ilmu Antropologi dengan menggunakan
metode etnografi seperti terlihat pada lampiran 1 dan 2.
Tradisi“bajapuik” yang menjadi fokus penelitian ini merupakan sebagai
bentuk kekhasan dari reseach ini. Meskipun di aras lokal dan global terdapat
model perkawinan yang hampir sama dengan tradisi bajapuik seperti: sistem
dowry di Cina dan India dan sinamot (perkawinan jujur atau tuhor) di daerah
36
Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan
dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau
barang sebagai mahar (bridewealth) dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan
perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang
bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan
kapan dilakukan pemberian itu.
Sistem dowry di Cina, menurut Croll (1984) diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan
istri/menantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini
menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita
disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik (pekerjaan
kolektif) dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu
pertukaran
perempuan
melalui
lembaga
perkawinan
merupakan
sebuah
kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga
menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem
patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap (residance pattern), perempuan yang
menjadi isteri/menantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam
lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istri/menantu tidak
hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset
tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga
kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka
keluarga pihak perempuan meminta “ganti rugi” dalam bentuk hadiah perkawinan
yang dengan sistem dowry.
Sistem dowry di India, menurut Shanna (1980) adalah harta bawaan yang
dibawa oleh pengantin perempuan dalam perkawinannya yang secara sosial
berfungsi memberi jaminan ekonomi, status, dan kemandirian yang lebih besar
pada perempuan terutama setelah menikah. Namun dalam kenyataannya harta
bawaan yang berbentuk uang dari wanita itu menjadi berpindah kepada orang tua
laki-laki dan wanita tidak bisa menguasai dan mengontrol hak miliknya sendiri
yang diberikan pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh dowry yang
diterima oleh wanita pada saat pernikahan dipindah tangankan kepada orang tua
laki-laki (suami) dan kemudian didistribusi lagi kepada kerabat lainnya.
37
Terakhir perkawinan jujur (tuhor atau sinamot). Menurut Pardosi (2008),
bentuk perkawinan ini adalah memberikan sejumlah uang kepada wanita dari
pihak laki-laki. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita
mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami (patrilokal), baik
pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami,
kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tersebut.
Pembayaran uang mahar (sinamot) dengan mahal dapat diartikan sebagai makna
simbolik “harga diri” dari kedua belah pihak di mata sosial masyarakat, di mana
kedua belah pihak berasal dari keluarga ”Raja” yang masing-masing memiliki
wibawa atau harga diri. Pemberian uang mahar (sinamot) dinyatakan dan
disaksikan di depan masyarakat umum sehingga masyarakat yang menyaksikan
dapat menjadi kontrol sosial di tengah keluarga yang baru dibentuk. Apabila
terjadi kesalahpahaman di antara mereka, mereka tidak akan gampang untuk
berbuat kearah perceraian karena masyarakat akan terus mengamati perjalanan
keluarga tersebut. Pada prinsipnya mengawinkan anak bagi masyarakat Batak
Toba adalah tugas orang tua yang paling mendasar. Status orang tua sangat
ditentukan oleh keadaan para anak-anaknya yang telah menikah. Apabila ada anak
yang belum menikah pada usia yang sudah wajar akan menjadi beban bagi orang
tua, walaupun anak itu berhasil atau berprestasi. Orang tua akan mengusahakan
agar anak itu menikah agar hutang adatnya terbayar semasa hidupnya. Walaupun
tugas orang tua menikahkan anaknya, hal itu hanya merupakan tanggung jawab,
segala hal yang dibutuhkan dalam proses perkawinan akan melibatkan keluarga,
terutama dongan sabutuha dan boru. Dongan sabutuha dan boru akan berkumpul
menyumbang saran/buah pikiran, tenaga, fasilitas, dan biaya.
Khusus dengan tradisi bajapuik yang berlaku di Kabupaten Padang
Pariaman, pihak keluarga perempuan yang memberikan sesuatu kepada pihak
keluarga laki-laki, untuk menjemput laki-laki yang hendak dijadikan menantu.
Selain itu tradisi bajapuik tidak membuat pengantin perempuan berkuasa, paling
tidak sejajar dengan laki-laki dalam hubungan keluarga. Sebagai orang yang
memiliki akses ekonomi (pihak keluarga perempuan) pengantin perempuan
sebagai aktor yang terlibat (subjek) tetap saja berada pada posisi sebagai isteri
seperti yang digariskan agama (Islam). Keputusan apapun yang akan diambil
38
dalam rumah tangga tetap berdasarkan suara bersama antara suami dan isteri.
Dengan demikian memberi uang japuik kepada pihak keluarga laki-laki (sebagai
syarat untuk mendapatkan calon suami), tidak berpengaruh terhadap kuatnya
posisi perempuan di rumahtangganya.
Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar (2001), yang
temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik.
Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi
bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil
studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan
makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki
dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab
terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan
distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih
lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis
dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga
ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara
perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga.
Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat
laki-laki
semakin
berkuasa,
maka
perempuan
semakin
terpinggirkan,
tersubordinasi dalam kehidupan sosial karena sangat tergantung pada laki-laki.
Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya pola keluarga monogami yang
matriarkhat menjadi patriarkhat dimana kerja rumahtangga perempuan menjadi
pelayan pribadi. Perempuan menjadi pelayan laki-laki dalam rumah tangga, yang
disingkirkan dari semua partisipasi dibidang produksi dan sosial.
Fokus
kajian
lain
pada
faktor-faktor
yang
melatar
belakangi
dipertahankannya tradisi bajapuik di Pariaman, disebabkan oleh uang jemputan
menjadi ukuran prestise bagi kedua belah pihak. Pihak perempuan mempunyai
kepuasan tersendiri jika mampu memberikan uang jemputan yang tinggi terhadap
laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya. Dari pihak laki-laki menjadi
aib baginya jika anak laki-laki mereka kawin tanpa uang jemputan dari pihak
perempuan. Kaum mereka menjadi objek gunjingan, bahkan mamak-mamak
39
pihaknya dituding sebagai mamak yang tidak punya otoritas terhadap kemenakan,
karena otoritas jemputan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan
kebijakan mamak kaum. Jadi wajar, mamak kaum mereka mendapat tudingan
yang miring dari masyarakat, jika kemenakan laki-lakinya tidak dijemput dalam
pernikahan.
Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama (2002), dengan
temanya pada “Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman
Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam
tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh
pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya,
mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik
ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan
perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar
tanda
pertunangan,
bakampuang-kampuangan,
mengundang
malam
membungkuih. Untuk tahap kedua, termasuk di dalamnya adalah menjemput
mempelai, aqad nikah, hari perkawinan (baralek), hari manjalang dan malam
baretong. Sementara itu untuk fokus kajian lainnya pada uang hilang dan fungsi
sosial budayanya. Dalam hal uang hilang berfungsi sebagai pengesahan status
sosial dan sebagai sarana untuk mobilitas sosial.
Sementara itu, Maihasni (2003), mengkaji tradisi bajapuik dengan tema
“Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman
Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal
munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang
dilakukan orangtua terhadap
munculnya uang hilang. Hasil penelitian
menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang
hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup
umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan
anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan
mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang
dimiliki oleh keluarga itu, maka ia berhasil mendapatkan menantu dengan cara
memberi sejumlah uang kepada laki-laki yang bersangkutan. Di Lain pihak
disebabkan oleh anak gadis yang tidak perawan lagi, sehingga sulit untuk
40
mendapatkan suami. Untuk itu orang tua yang perempuan mencarikan orang yang
bersedia mengawini anaknya, dengan memberikan imbalan sejumlah uang yang
diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Uang yang diberikan dapat digunakan
sepenuhnya oleh pihak laki-laki. Konsekuensi yang muncul akibat adanya uang
hilang dalam tradisi bajapuik, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak
perempuan agar perkawinan terhadap anaknya tetap terwujud. Perkawinan yang
dilakukan dengan orang luar dari Pariaman menempuh jalur yang disesuaikan dan
perkawinan dengan menggunakan uang hilang ini menimbulkan persepsi negatif
terhadap laki-laki Pariaman.
2.8. Kerangka Pemikiran
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya
tidak hanya sebagai penglegitimasian hubungan seksual, pengesahan anak yang
dilahirkan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi juga memberi
makna pada status dan martabat yang lebih tinggi pada seseorang (Radjab, 1969),
dan menyambung keturunan (Amir, 2006).
Adanya perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat menandakan bahwa
institusi ini penting. Namun Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadinya
suatu perkawinan banyak faktor yang menentu, baik dari individu yang terlibat
maupun sejumlah faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung,
di antaranya: kepercayaan, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pertumbuhan
penduduk, merantau, dan modernisasi. Semua faktor tersebut jelas akan
mempengaruhi perkembangan dan eksistensi tradisi bajapuik. Seiring dengan
perjalanan waktu perkawinan bajapuik yang pada awalnya mengutamakan nilainilai sosial berubah menjadi nilai ekonomi, sehingga menimbulkan pro dan kontra
di dalam masyarakat. Meskipun demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik
masih eksis dalam masyarakat. Dengan demikian berarti semakin besar kekuatan
ekonomi (faktor ekonomi) memasuki kehidupan masyarakat dan semakin jauh
moneteisme mempengaruhi individu, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas
“individu” dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik.
Mengacu pada proposisi Homans, khususnya “nilai”, pertukaran sosial
yang dilakukan oleh aktor (individu) dalam pelaksanaan tradisi bajapuik akan
41
dapat ditelusuri. Dalam kaitannya dengan bagaimana tradisi bajapuik dapat
terlaksana dan bagaimana interelasi di antara aktor yang terlibat, maka konsep
Sussman dan Burchinal (1979) tentang “kekerabatan sebagai sebuah jaringan
bantuan ekonomi” digunakan. Selanjutnya, bagaimana aktor mengambil suatu
keputusan dan sejauhmana kekuatan nilai budaya (norma-norma) bermain tradisi
bajapuik, konsep pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowledgeably) dari
Lamanna dan Riedmann (1991) akan menjelaskan.
Sehubungan dengan persoalan di atas untuk lebih jelasnya bagaimana
konsep yang dimaksudkan mampu mengarahkan penelitian di lapangan dapat
dilihat pada gambar 3 dibawah ini.
Dasar
Pertukaran
-Ekonomi
-Pertumbuhan
Penduduk
-Pendidikan
- Merantau
- Modernisasi
Bentuk-bentuk
Pertukaran
Perubahan
Kinship
Pilihan
Dipertimbangkan
Lingkungan
Sosial
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Eksistensi
Tradisi
Bajapuik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman
pada awal merupakan satu wilayah administratif yaitu kabupaten Padang
Pariaman. Setelah lahir UU no 12 tahun 2002, maka lokasi ini menjadi terpisah
menjadi kecamatan Sungai Limau masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pariaman,
sedangkan kecamatan Pariaman Tengah masuk ke dalam wilayah Kota Pariaman.
Semenjak itu, kedua daerah ini mempunyai dua pemerintahan yaitu Kabupaten
Padang Pariaman yang dipimpin oleh seorang Bupati dan Kota Pariaman dipimpin
oleh seorang Walikota. Walaupun kedua daerah ini telah terpisah antara satu
dengan yang lain, namun secara budaya, khususnya dalam pelaksanaan
perkawinan tetap sama yakni memakai tradisi bajapuik.
Tradisi bajapuik yang menjadi fokus penelitian ini dilaksanakan mulai dari
Februari sampai Desember 2008. Dalam proses penelitian terbagi kedalam 4
tahap, dengan perinciannya sebagai berikut:
•
Tahap pertama; Februari 2008 melakukan studi penjajakan dan membina
hubungan baik dengan masyarakat di daerah penelitian. Mengumpulkan
data sekunder ditingkat kabupaten, kecamatan dan kenegarian dalam
rangka pelaksanaan tradisi bajapuik dalam perkawinan.
•
Tahap kedua; Maret-April 2008 pembuatan kuesioner penelitian dan
pedoman wawancara dan dilanjutkan dengan melakukan try out di daerah
penelitian dengan menyebarkan daftar pertanyaan. Hal itu dilakukan untuk
melihat sejauhmana daftar pertanyaaan dan pedoman wawancara dapat
dipahami oleh responden dan informan penelitian. Pada tahap ini juga
dilakukan diskusi dengan perangkat kecamatan mengenai penetapan lokasi
yang dijadikan sasaran penelitian.
•
Tahap ketiga; Mei-Agustus 2008, melakukan penyebaran kuestioner pada
lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Kemudian pada tahap ini dilakukan
studi kasus (analisis peristiwa); dengan melakukan pengamatan dan
wawancara dengan informan penelitian mengenai tradisi bajapuik yang
43
dilaksanakan dalam perkawinan di daerah ini. Studi kasus (riwayat hidup),
berkaitan dengan identitas informan, jumlah anak, jumlah saudara yang
dimiliki serta seperti: pendidikan, pekerjaan, dan keberlanjutan tradisi ini.
•
Tahap keempat; September-Desember 2008 melakukan wawancara
mendalam dengan informan dan responden yang terpilih tujuannya untuk
memperdalam data yang diperoleh.
3.2. Unit Analisis
Unit analisis dalam suatu penelitian dapat meliputi individu, rumahtangga,
kelompok, organisasi, lembaga sosial dan sebagainya. Unit analisis apa yang akan
diambil dalam suatu penelitian tergantung kepada permasalahan yang diteliti
(Nugroho, 2001). Berkaitan dengan penelitian unit analisis yang diambil tentang
eksisnya tradisi bajapuik adalah individu sebagai anggota masyarakat.
Terdapat sejumlah pertimbangan mengapa individu dijadikan sebagai unit
analisis dalam penelitian ini. Pertama, sebagai konsekuensi atas pilihan teori yang
digunakan karena menerangkan fenomena individu dalam masyarakat lebih
mengenai perilaku manusia individual daripada kelompok atau masyarakat.
Individu-individu merupakan realitas konkrit dan obyektif dan kelompok
(keluarga atau masyarakat) hanya merupakan nama yang menunjukkan asosiasi di
antara mereka. Jadi, tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam
rangka memahami fenomena sosial.
Kedua, para pelaku tradisi bajapuik
merupakan individu yang secara
langsung mengalami tradisi bajapuik, sehingga menjadi sangat penting untuk
mendapatkan informasi langsung dari mereka dan tidak hanya dari persepsi
masyarakat. Meskipun para pelaku tradisi bajapuik merupakan sumber informasi
utama, tetapi juga penting untuk menggali dari sumber informasi lain dari warga
masyarakat lain untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang topik
penelitian.
3.3. Responden dan Informan Penelitian
Penelitian ini adalah menggunakan analisis kualitatif. Meskipun terdapat
responden sebagai suatu karakteristik penelitian kuantitatif, namun penelitian ini
tidak bertujuan untuk menguji suatu hipotesa, apalagi menggunakan suatu tes
44
statistik tertentu. Responden diperlukan dalam penelitian ini untuk memperoleh
data awal, khusus melihat ke arah mana tradisi bajapuik dilaksanakan dalam
masyarakat. Responden penelitian adalah individu yang mewakili tiga kelompok
masyarakat. Tujuan agar setiap lapisan masyarakat dapat terwakili untuk melihat
pandangannya terhadap tradisi bajapuik. Adapun lapisan masyarakat tersebut
adalah; generasi muda, generasi menengah dan generasi tua. Masing-masing
kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan, sehingga pada akhirnya menjadi
enam sub kelompok. Adapun keenam sub kelompok responden tersebut adalah;
Generasi Muda Laki-laki (GML); Generasi Muda Perempuan (GMP); Pelaku
Laki-laki; (PL); Pelaku Perempuan (PP); Orang Tua Laki-laki (OTL) dan Orang
tua Perempuan (OTP). Selain itu, untuk memperdalam penelitian ini dilakukan
wawancara mendalam kepada informan penelitian. Informan yang dimaksud
terdiri dari; KAN, LKAAM; dan tiga tungku sajarangan, yang terdiri dari Alim
Ulama, ninik mamak 1 dan cerdik pandai 2. Semua responden dan informan
penelitian adalah penduduk setempat yang berada dalam lingkup budaya tradisi
bajapuik, dengan pertimbangan merekalah yang banyak mengetahui tradisi
bajapuik dan berada di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari mereka. Adapun
teknik pengambilan responden dan informan penelitian dilakukan dengan purposif
dan teknik bola salju (snowball sampling) 3. Dengan teknik purposif sampling,
dimaksudkan agar semua responden dan informan penelitian diyakini benar-benar
penduduk setempat, sehingga validitas data dapat tercapai. Dari responden dan
informan pertama, selanjutnya didapat pula responden dan informan berikutnya
(snowball sampling) dan begitulah seterusnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, responden yang terlibat dalam penelitian ini
berjumlah (totality sample) 360 orang, terdiri dari 180 orang untuk Kecamatan
Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman dan 180 untuk Kecamatan Pariaman
Tengah Kota Pariaman, dengan masing-masing sub kelompok 30 orang.
1
Ninik mamak adalah orang yang mengetahui adat istiadat
Cerdik Pandai adalah orang yang mempunyai pendidikan
3
Dengan teknik ini, pertama peneliti datang pada seseorang yang menurut pengetahuannya dapat
menjadi key informan. Setelah berbicara secara cukup, informan tersebut menunjuk subyek lain
yang dipandang mengetahui lebih banyak masalah penelitian sehingga peneliti memilihnya
sebagai informan baru, dan demonian seterusnya, sehingga data yang diperoleh semakin banyak
lengkap dan mendalam. Proses yang demonian ini, ibarat bola salju yang mengelinding, semakin
lama semakin besar (Bogdan & Biklen, 1982; Patton , M.Q., 1990; Babbie, 2004).
2
45
Sementara itu, informan penelitian ini berjumlah
20 orang, dengan masing-
masing 10 orang untuk Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman
dan 10 orang untuk Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman. Jumlah
responden dan informan yang terlibat dalam penelitian ini dapat dilihat dalam
tabel 3.
Tabel : 3. Jumlah Responden dan Informan Penelitian
Kabupaten/Ke
camatan
Kategori
Kelompok
Generasi Muda
1.
Kecamatan
Sungai Limau
Kabupaten
Padang
Pariaman
Responden
Generasi
Menengah
Generasi Tua
Informan
2.
Kecamatan
Pariaman
Tengah
Kota
Pariaman
-
Generasi Muda
Responden
Generasi
Menengah
Generasi Tua
Informan
-
Sub Kelompok
Jumlah
-Generasi Muda lakilaki (GML)
- Generasi Muda
Perempuan (GMP)
30
-Pelaku laki-laki
(PL)
-Pelaku Perempuan
(PP
-Orang tua laki-laki
(OTL)
-Orang Tua Perempuan
(OTP)
KAN/Mantan KAN
Alim Ulama
Ninik Mamak
Cerdik Pandai
-Generasi Muda lakilaki (GML)
- Generasi Muda
Perempuan (GMP)
-Pelaku laki-laki
(PL)
-Pelaku Perempuan
(PP
-Orang tua laki-laki
(OTL)
-Orang Tua Perempuan
(OTP)
KAN/Mantan KAN
Alim Ulama
Ninik Mamak
Cerdik Pandai
30
Total
Sumber: Data Primer penelitian, 2008
30
30
30
30
2
2
3
3
30
30
30
30
30
30
2
2
3
3
380
3.4. Asumsi Dasar Penelitian
Menurut Guba dan Lincoln (2000), mengemukakan empat paradigma
penelitian yakni; positivisme, postpositivisme, teori kritis (critical theory), dan
konstruktivisme.
menggunakan
Dari
empat
paradigma
paradigma,
postpositivisme.
untuk
kepentingan
Pada
hakikatnya
studi
ini
penggunaan
46
paradigma dalam suatu penelitian bersifat menuntun dan tidak bersifat mutlak
(Sitorus, 1999; Lubis 2004).
Paradigma postpositivisme oleh para pengikutnya dianggap memiliki
kemampuan untuk memecahkan sebagian persoalan yang belum sempurna dengan
cara melakukan penelitian dalam setting yang lebih alami, mengumpulkan
informasi
yang
lebih
situasional.
Kaidah
ontologinya
realisme
kritis
memposisikan realitas yang ada, namun tidak bisa dipahami secara sempurna
karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kekurangan,
sedangkan fenomena itu sendiri secara fundamental memiliki sifat yang tak
mudah diatur. Dengan demikian realitas sosial tidak lagi dipahami dalam
perspektif tunggal-monolitik, tapi mereka percaya bahwa realitas sosial adalah
ganda: subyektif dan obyektif. Oleh karena itu secara metodologi pendekatan
experimen melalui observasi tidak cukup tetapi harus dibantu dengan metode lain
(trianggulasi) yakni melalui wawancara mendalam (indept interview), dan
observasi. Secara Epistimologis : Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti
dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan
subjektivitas seminimal mungkin. Kemudian secara metodologi paradigma ini
bersifat
modified
experimental
dan
manipulatif.
Paradigma
ini
selain
menggunakan model pendekatan kualitatif secara dominan namun terkadang
masih juga model pendekatan kuantitatif secara terbatas. (Denzin dan Lincoln,
2000; 2009; Salim, 2006: 55-56). Paradigma postpositivisme sebagai pilihan
paradigma penelitian dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Paradigma Postpositivisme sebagai Pilihan Paradigma Penelitian
Aspek Filosofis
Ontologis
Paradigma Postpositivisme
Realisme kritis—realitas “nyata” namun hanya bisa dipahami secara
tidak sempurna dan secara probabilitik
Epistomologis
Dualis/objektif yang dimodifikasi; tradisi komunikasi tradisi/
komunitas kritis, temuan-temuan yang mungkin benar.
Metodologis
Modified Experiment/ Manipulative. Pengamatan secara natural,
metode kualitatif dan tergantung pada teori yang dipergunakan.
Kriteria kualitas penelitian : masih menggunakan Objectivity,
Reliability dan validity (internal dan external validity).
Aksiologis
Nilai, etika merupakan pertimbangan penting yang harus
diperhatikan dalam suatu penelitian.
Tujuan penelitian: untuk menjelaskan, memprediksi dan
mengendalikan fenomena alam.
Sumber: Guba dan Lincoln, 2009
47
Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, penulis
menggunakan paradigma postpositivisme, yang bercirikan ontologi realisme
kritis, epistomologi modifikasi dualisme/objetivisme dan metodologi falsifikasi
hipotesa dan dukungan metode kualitatif. Hal ini berarti realitas perilaku kolektif
eksis (keberadaan) tradisi bajapuik dalam masyarakat Pariaman merupakan
konstruksi “nyata” tetapi pemahaman atas realitas tersebut bersifat probabilistik
dan tidak sempurna. Untuk itu strategi yang digunakan selain menggunakan
survey, juga menggunakan wawancara mendalam (indept interview) dengan
wawancara langsung, dan pengamatan berpatisipasi.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama, penulis menggunakan
metode survey dan wawancara dan pengamatan berpartisipasi. Metode survey
digunakan untuk melihat kecenderungan ke arahmana keberadaan (eksistensi)
tradisi bajapuik, khususnya siapa yang dijemput dan apa yang menjadi penilaian
untuk penjemputan seorang laki-laki yang diterima sebagai menantu dalam
masyarakat. Sementara itu wawancara mendalam dan partisipasi dilakukan untuk
mendalami kasus-kasus dari pengalaman aktor yang melakukan tradisi bajapuik
yang tidak terungkap melalui survey.
Dalam menjawab pertanyaan penelitian kedua, penulis menggunakan
pendekatan makna lokal (emic), berdasarkan kasus dalam penelitian. Untuk itu
strategi yang digunakan adalah studi kasus dengan teknik pengumpulan data
penulis riwayat dan wawancara mendalam. Caranya dengan pengamatan
berpartisipasi, mendengarkan penuturan kisah hidup berdasarkan peristiwa
penting dari pelaksanaan tradisi bajapuik, pengecekan kepada orang lain dan
contoh-contoh relitas sekarang. Studi kasus penulisan riwayat hidup untuk dapat
menjelaskan proses pelaksanaan tradisi bajapuik dalam masyarakat dari sisi
pandang pelaku sendiri. Aktor yang diambil sebagai kasus berdasarkan keunikan
atau spesifik tertentu para aktor dalam melakukan tradisi bajapuik. Dengan
demikian, pemahaman mengenai tradisi bajapuik, berdasarkan sudut pandang
individu yang melaksanakan dan berinteraksi (pengalaman subyektif) dengan
tradisi itu.
Dalam menjawab pertanyaan penelitian ketiga, masih mengunakan
pendekatan makna lokal (emic), dengan menggunakan teknik pengumpulan data
48
wawancara mendalam (indept interview), dan pengamatan berpartisipasi. Strategi
yang digunakan dengan mendengarkan penuturan informan, dengan mengecek
kepada orang lain dan contoh-contoh relitas sekarang.
Paradigma postpositivisme dan metode yang digunakan dalam penelitian
ini secara rinci dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Metode yang Digunakan Dalam Penelitian
Pertanyaan Penelitian
Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk
pertukaran perkawinan dalam
tradisi bajapuik dan faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perubahannya?
Paradigma
Postpositivisme
Siapa saja aktor yang terlibat dan
bagaimana prilaku aktor dalam
pertukaran perkawinan dalam
tradisi bajapuik?
Postpositivisme
Metode Pengumpulan Data
o survey
o wawancara
mendalam
(indept
interview)
o pengamatan
berpartisipasi
o
o
o
Bagaimana tradisi bajapuik
dapat eksis dalam perubahan
masyarakat?
Postpositivisme
o
o
wawancara
mendalam
(indept
interview)
pengamatan
berpartisipasi
riwayat hidup
wawancara
mendalam
(indept
intrview)
pengamatan
berpartisipasi
3.5. Metode Penelitian
Berdasarkan permasalah, tujuan dan asumsi penelitian yang telah
dirumuskan sebelumnya maka penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan
kualitatif. Perpaduan metodologi tersebut (Guba dan Lincoln (2000; Howe, 2004);
Branen, (1987), dapat berupa penekanan yang lebih kuat pada aspek kuantitatif
maupun pada aspek kualitatif, hal ini menurut Creswell (1994) disebut dengan
dominant-less atau dominant design. Perpaduan kedua metodologi ini bertujuan
untuk mengakumulasi pengetahuan tentang apa saja intervensi yang telah bekerja
dalam masyarakat yang diteliti. Secara implisit, yang dicari dari suatu intervensi
input ialah ditemukannya hasil (outcome).
Metode kuantitatif digunakan dalam mengungkap siapa aktor yang
dijemput dalam tradisi bajapuik dan apa indikatornya. Untuk itu aktor yang
dilibatkan adalah individu yang termasuk dalam struktur keluarga inti (nuclear
family) dan keluarga luas (extended family). Kemudian setelah itu baru digunakan
49
metode kualitatif, yang digunakan untuk melihat proses dan pemaknaan yang
terdapat dalam tradisi bajapuik. Baik metode kuantitatif, maupun metode
kualitatif dimaksudkan untuk tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi
kuantitas, jumlah, intensistas maupun frekuensi. Penekanan diberikan pada sifat
konstruksi sosial dan realitas sosial yang sedang terjadi dilapangan. Proses
penelitian mengikuti yang dilakukan dapat dilihat dalam gambar 4 dibawah ini.
Informasi Langsung
Metode Kualitatif
metode Kuantitatif
Survey
Wawancara
Mendalam
Observasi
Partisipan
Peneliliti dan
Enumerator
Peneliti
Catatan
Lapangan
Informan
Kuesioner
Dokumen
Anggota
Masyarakat
Pengolahan
Data
Kategorisasi
Penafsiran/Interpretasi
Data
Uji Statistik
(Persentase)
Gambar 4. Proses Kombinasi Metode Kualitatif dan Kuantitatif
(Diadopsi dari Saefullah, 1993:9, dengan modifikasi)
Adanya perpaduan kedua pendekatan di atas yang digunakan dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih mendalam.
50
3.5.1. Pengumpulan Data
Secara keseluruhan proses pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan melalui beberapa cara yaitu studi literatur, observasi dan wawancara.
Pertama, studi literatur dimaksud disini adalah studi dokumentasi dan studi
pustaka. Studi ini dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah metode
sejarah dengan cara melakukan penelusuran bahan dokumentasi dan pustaka yang
berupa arsip, dokumentasi, hasil-hasil penelitian, buku-buku berbagai penerbitan
pemerintah dan jurnal yang memiliki relevansi dengan objek kajian. Studi ini
dilakukan diberbagai lembaga seperti di Perpustakaan Nasional di Jakarta,
Perpustakaan IPB di Bogor, Perpustakaan UNAND di Padang, Perpustakaan
Wilayah Sumatera Barat dan Pusat Kajian Adat Minangkabau di Padang Panjang
dan sebagainya. Studi literatur ini dilakukan bertujuan untuk melihat dinamika
perkembangan tradisi bajapuik. Oleh sebab itu diperlukan literatur-literatur yang
membahas tentang tradisi bajapuik dari awal muncul sehingga dapat dibandingkan
dengan yang berlaku saat ini.
Kedua, observasi yang dimaksud disini adalah partisipant observation.
Partisipant observation dalam konteks penelitian ini, tidak harus dimaknai bahwa
peneliti harus menjadi pelaku tradisi bajapuik dalam arti yang sebenarnya. Sikap
untuk merasa bagian dari mereka (being a part of) dan perasaan empati,
kesanggupan merasa apa yang dirasakan oleh informan menurut peneliti sudah
dapat dipahami sebagai partisipant observation. Untuk itu partisipant observation
dalam penelitian ini adalah merupakan suatu cara di mana peneliti tidak bersifat
pasif sebagai pengamat, tetapi memainkan berbagai peran yang mungkin dalam
berbagai situasi atau bahkan dapat berperan mengarahkan peristiwa-peristiwa
yang sedang diteliti (Spradley, 1980). Partisipant observation digunakan dengan
maksud untuk mengamati secara langsung pengalaman dan kenyataan yang ada
sehubungan dengan tradisi bajapuik yang berlaku hingga saat ini. Sekaligus
sebagai triangulasi terhadap data yang dikumpulkan melalui cara lain khususnya
melalui wawancara. Dalam observasi partisipan ini peneliti turut serta terlibat
dalam kehidupan sehari-hari tineliti. Peneliti mengamati secara cermat segala
tindakan tineliti dalam segala keadaan dan situasi yang terkait dengan pelaksanaan
tradisi bajapuik. Selama berlangsungnya observasi partisipan, peneliti juga
51
melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang dipandang penting dan melakukan
pengambilan foto yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Ketiga, wawancara dimaksud adalah wawancara berstruktur dan tidak
berstruktur. Secara umum wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
tentang eksistensi tradisi bajapuik sehubungan dengan terjadi berbagai perubahan
dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya. Untuk itu akan
diungkap bagaimana tradisi bajapuik tetap eksis dan dimaknai serta terintegrasi
dalam masyarakat Pariaman, sehingga menjadi ciri khas daerah ini. Wawancara
berstruktur dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
data4. Kemudian wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang
menggunakan pedoman wawancara sebagai alat untuk melakukan wawancara
mendalam (indept-interview) kepada informan perorangan dan telah dipersiapkan
sebelumnya 5 dalam rangka menggali informasi yang sesuai dengan tujuan
penelitian.
Dari data yang dikumpulkan itu, dapat dikelompokan menjadi dua jenis
data, yaitu:
1. Data primer, merupakan data yang diperoleh oleh sipeneliti dari lapangan
dengan metode pengumpulan data seperti kuesioner, wawancara dan
partisipant observation. Melalui metode pengumpulan data itu maka
diperoleh data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif merupakan
data yang berupa kata-kata yang dituangkan dari hasil wawancara dan
partisipan obeservasi, sedangkan data kuantitatif data yang berupa
kategori-kategori yang dituangkan dari kuesioner.
2. Data sekunder, merupakan data yang dikumpulkan oleh sipeneliti dari
lapangan yang bersumber dari literatur-literatur dari instansi seperti; dari
Kantor Kecamatan dan BPS, yang terkait dengan ciri khas dan identitas
daerah penelitian.
4
Isi lengkap tertuang dalam bentuk kuesioner. Kusioner ditujukan untuk tiga lapisan dalam
masyarakat antara lain; untuk generasi muda, generasi sedang dan generasi tua dan dapat dilihat
pada Lampiran 3.
5
Isi lengkap tertuang dalam pedoman wawancara dan dapat dilihat pada Lampiran 4
52
3.5.2 Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis kuantitatif dan
kualitatif. Data survey dianalisis dengan perhitungan statistik sederhana
menggunakan tabel frekuensi dan persentase. Sementara itu data kualitatif
dianalisis dengan mengikuti pendapat Patton (dalam Marvasti 2004), di mana data
diorganisasikan ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Artinya
pengkategorian data disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian ini dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan interpretasi,
seleksi dan penjelasan dalam bentuk-bentuk deskripsi analisis.
Selanjutnya analisis kualitatif terhadap data dan informasi tentang proses
kejadian/peristiwa tentang motivasi yang melandasi tindakan sosial dari aktoraktor yang terlibat dalam tradisi bajapuik yang berkaitan dengan tindakan sosial.
Dengan mengikuti pendapat Lewis (1988), analisis kualitatif dapat digunakan
dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial yang berdimensi struktur
(posisi dan peranan aktor), berdimensi pengaturan (prosedur) serta sistem-sistem
makna yang melandasi dan memberi pedoman terhadap pola-pola hubungan di
antara aktor.
Dalam tahap analisis ini menurut Miles & Hubermas (1984) terdapat tiga
komponen pokok yang harus disadari oleh peneliti yaitu data reduction, data
display dan conclusion drawing. Ketiga komponen tersebut menurut Miles &
Hubermas disebutnya dengan model analisis interaktif; yaitu ketiga komponen
tersebut aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data
dilapangan sebagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di
antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan data selama proses
pengumpulan data berlangsung. Demikian juga setelah pengumpulan data
dilakukan, kemudian bergerak di antara
data reduction, data display dan
conclusion drawing untuk membangun pemahaman subtantif berdasarkan temuan
empirik. Berikut mekanisme kerja model analisis interaktif dapat dilihat pada
gambar 5.
53
Collecting Data
Reduction Data
DisplayData
Conclusion Drawing
Gambar 5. Interactive Model of Analysis
(Miles & Hubermas, 1984)
Dalam upaya memperoleh data yang kebenarannya dapat diyakini,
keabsahan data diuji melalui teknik triangulasi sumber dan metode. Ini dilakukan
dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi. Menurut Stake
(2000) triangulasi merupakan proses penggunaan banyak persepsi (multi
perception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam memverifikasi
pengulangan pelaksanaan observasi interpretasi. Dalam penelitian ini triangulasi
dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan informasi yang
berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda.
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA
DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Lokasi daerah penelitian difokuskan pada dua kecamatan yaitu kecamatan
Sungai Limau dan kecamatan Pariaman Tengah. Untuk memperoleh gambaran
tentang kondisi sosial ekonomi kedua daerah tersebut, berikut akan dideskripsikan
kondisi geografis, dan demografis dari kedua kecamatan tersebut.
4.1. 1. Kecamatan Sungai Limau
Kecamatan Sungai Limau terletak di dalam Kabupaten Padang Pariaman.
Secara geografis kecamatan ini berada 100”07’00 Bujur Timur dan 0”33’00
Lintang Selatan dengan ketinggian 2 meter dari permukaan laut, dengan jarak dari
ibu kota kabupaten sekitar 17 km² dan 73 km² dari kota Padang ibukota Propinsi
Sumatera Barat.
Secara administratif kecamatan Sungai Limau mempunyai batas-batas
dengan :
Sebelah Utara dengan Kecamatan Batang Gasan
Sebelah Selatan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam
Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia
Sebelah Timur dengan kecamatan Sungai Geringging.
Batas Wilayah
Kecamatan Sungai Limau
Samudera
Indonesia
Jumlah Kenegarian
Jumlah Korong
: 2 Kenagarian
: 18 Korong
Gambar 6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau
55
Kecamatan Sungai Limau memiliki luas wilayah 70,38 km² atau sekitar 5,30
persen dari luas Kabupaten Padang Pariaman, terdiri dari 2 kenagarian yakni
Kenagarian Pilubang dan Kuranji Hilir, dengan masing-masing mempunyai luas
27,20 ha (38,64 persen) dan 43,18 ha (61,36 persen). Kenagarian Pilubang
mempunyai 8 korong dan Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai 10 korong. Luas
rata-rata masing-masing korong 3,91 ha, dengan korong terkecil Kampung Jua
dengan luas 0,41 ha (0,58 persen) dan korong terbesar Kamumuan dengan luasnya
9,01 (12,80 persen). Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas masingmasing korong pada masing-masing kenagarian sebagaimana terlihat pada tabel 6
berikut.
Tabel 6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan Luas Wilayah
Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008
Kenagarian
Korong
Luas (Km)
Pasir Baru
1,87
Lembak Pasang
1,12
Kampung Jua
0,41
Sungai Sirah
3,00
Pilubang
Sibarueh
3,43
Durian Daun
4,70
Duku
2,79
Paninjauan
9,87
Lohong
4,72
Koto Pauh
3,43
Padang Karambia
3,43
Sungai Limau
1,07
Kuranji Hilir
Padang Bintungan
2,57
Lampanjang
4,29
Padang Olo
5,15
Sungai Paku
1,07
Kamumuan
9,01
Paingan
8,43
Jumlah
70,38
Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Berdasarkan data dari Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 pada
tahun 2007, penduduk Kecamatan Sungai Limau telah mencapai 28.863 jiwa
yang terdiri atas 13.463 jiwa laki-laki (46, 64 persen) dan 15.398 jiwa perempuan
(53, 36 persen), dengan rasio jenis (RJK) 87,73. Artinya bahwa setiap 100 jiwa
penduduk perempuan terdapat 87, 73 laki-laki. Pada kelompok umur anak-anak
(0-14 tahun), hampir tidak ditemukan perbedaan antara jumlah penduduk laki-laki
56
dan perempuan, namun pada kelompok umur antara 65 keatas (usia tua) terdapat
perbedaan rasio umur yang sangat signifikan antara penduduk laki-laki dengan
perempuan, yakni antara 53,58 sampai 69,72. Artinya dari 100 jumlah penduduk
wanita yang hidup terdapat antara 53,58 sampai 69,72 laki-laki yang hidup. Ini
sekaligus menunjukkan tingkat harapan hidup jenis kelamin perempuan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Uraian mengenai jumlah
penduduk Kecamatan Sungai Limau dapat di lihat pada tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok
Umur Dan Jenis Kelamin Tahun 2008
Kel
Lk
%
Pr
%
Lk + Pr
Rasio JK
Umur
0–4
1671
12,19
1670
10,84
3341
100,06
5–9
1765
13,11
1753
11,38
3518
100,68
10 - 14
1818
13,50
1856
12,06
3674
97,95
15 - 19
1439
10,69
1617
10,50
3056
88,99
20 - 24
818
6,08
1010
6,55
1828
80,99
25 - 29
758
5,63
963
6,25
1721
78,71
30 - 34
747
5,55
894
5,80
1641
83,56
35 - 39
794
5,89
984
6,39
1778
80,69
40 - 44
757
6,62
922
5,98
1679
82,10
45 - 49
695
5,16
809
5,25
1504
85,90
50 - 54
561
4,17
639
4,14
1200
87,79
55 - 59
409
3,04
519
3,37
928
78,81
60 - 64
452
3,35
571
3,70
1023
79,16
65 - 69
304
2,25
436
2,83
740
69,72
70 - 74
273
2,07
378
2,45
651
72,22
75+
202
1,50
377
2,44
579
53,58
Jumlah
13463
100,00
15398
100,00
28861
87,43
Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Kemudian, bila dibandingkan antara kelompok umur penduduk dewasa
(15-64 tahun) dan anak-anak (0-14 tahun) , jumlah penduduk dewasa cukup besar
jumlahnya, yakni masing-masingnya 16.358 jiwa (60,83 persen) dan 10.533 jiwa
(39,17 persen). Bila dirinci lebih jauh di antara dua kenagarian yang terdapat di
kecamatan Sungai Limau, Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai kelompok umur
dewasa yang lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan Kenagarian
Pilubang yakni masing-masingnya 8.830 dan 7.528 jiwa. Begitu juga dengan
kelompok umur anak-anak, yakni masing-masingnya 5.685 dan 4.848 jiwa.
Adapun perbandingan kedua kelompok umur tersebut terlihat dalam tabel 8
berikut:
57
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut
Kelompok Umur Tahun 2008
Kenagarian
Korong
Dewasa
Anak-anak
Jumlah
(15-64
0-14 tahun
tahun)
Pilubang
Pasir Baru
113
716
1829
Lembak Pasang
700
451
1151
Kampung Jua
465
300
765
Sungai Sirah
1180
760
1940
Sibarueh
1153
743
1896
Durian Daun
699
450
1149
Duku
1237
796
2033
Paninjauan
981
632
1613
Kuranji Hilir
Lohong
1101
709
1810
Koto Pauh
694
447
1141
Padang Karambia
559
360
919
Sungai Limau
1132
729
1861
Padang Bintungan
452
291
743
Lampanjang
860
554
1414
Padang Olo
746
480
1226
Sungai Paku
471
303
774
Kamumuan
1467
945
2412
Paingan
1348
867
2215
Jumlah
16358
10533
26891
Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas
wilayah Kecamatan Sungai Limau, tingkat kepadatan penduduknya 1871,51
jiwa/km². Ini berarti tanah cukup luas dan belum mengkuatirkan untuk
penambahan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Berikut penggunaan
lahan itu dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008
Alokasi lahan
I. Pertanian
Tanah sawah
Tanah ladang
Kolam
Irigasi : - PU
697 ha
- Desa
340 ha
- Tadah Hujan 141 ha
II. Pemukiman
III. Lahan Kosong
Jumlah
Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Luas
masingmasing Sub
1.158 ha
180 ha
43 ha
1.178 ha
-
Luas
Total
2.559 ha
234 ha
460 ha
3.253 ha
58
Tabel 9 menunjukkan penggunaan lahan untuk daerah pertanian dan irigasi cukup
besar yakni sekitar 78,7 persen (2.559 ha). Hanya 7,2 persen (234 ha) yang
didiami oleh penduduk sebagai tempat pemukiman dan 14,1 persen (460 ha) lahan
kosong. Dengan kondisi yang demikian mengindikasi kecamatan ini merupakan
daerah pertanian.
Mata pencarian penduduk Kecamatan Sungai Limau berdasarkan
informasi dari Kantor Kecamatan Sungai Limau terdiri dari PNS, TNI/Polri,
pedagang, buruh/swasta, peternakan, petani dan nelayan. Namun dari pengamatan
dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di pemerintah, dapat
ditarik kesimpulan, pada umumnya mata pencarian penduduknya bergerak di
bidang pertanian. Sebagai data perbandingan dapat dilihat dari jumlah Pegawai
Negeri Sipil yang terdapat di semua Dinas Jawatan yang ada di Kecamatan
Sungai Limau.
Tabel 10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di
Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008
No Pendidikan Tertinggi
Laki-laki
Perempuan Jumlah
1. Sekolah Dasar
5
5
2
Sekolah lanjutan Tingkat Pertama
7
1
8
3
Sekolah lanjutan Tingkat Atas
33
17
50
4
Akademi
77
223
300
5
Sarjana (S1)
68
119
187
6
Pasca Sarjana (S2/S3
3
3
Jumlah
193
360
553
Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Selain itu, mata pencarian umum lainnya penduduk kecamatan Sungai
Limau bergerak dibidang nelayan. Ini ditunjukan oleh jumlah penduduk yang
menekuni pekerjaan ini cukup besar yakni 2.118 jiwa (11,54 persen) dari jumlah
penduduk dewasa, yang terdiri dari 350 jiwa nelayan penuh dan 1.768 jiwa
nelayan sambilan. Sarana pendukung yang dimiliki masyarakat untuk mata
pencarian ini meliputi: RTP 287 buah, perahu tanpa motor yang berukuran sedang
1 buah, motor tempel 30 buah, dan alat penangkapan ikan seperti pukat tepi 23
buah, payang 93 buah, lore 46 buah, dan jaring 128 buah.
Sarana dan prasarana pendukung lainnya yang ada di Kecamatan Sungai
Limau meliputi pendidikan, kesehatan, fasilitas ibadah dan pasar. Sarana
pendidikan yang dimiliki masih sangat terbatas hanya ada sampai tingkat SLTA
dengan rinciannya; SD Negeri 41 buah, SLTP Negeri 3 buah dan SLTA Negeri 2
59
buah dan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (perguruan
Tinggi), penduduk kecamatan ini pergi ke Kota Pariaman, Kota Padang dan kotakota lain yang ada di wilayah Indonesia. Sementara itu fasilitas kesehatan terdapat
9 buah puskesmas pembantu dan 44 posyandu yang didukung oleh: 4 orang
tenaga dokter, 12 orang perawat dan 3 orang dukun. Fasilitas Ibadah di daerah ini
terdapat 29 mesjid dan 169 Mushalla. Terakhir fasilitas pasar ada 3 buah yang
terletak di kenagarian Pilubang 1 buah dan dikenagarian Kuranji Hilir 2 buah dan
1 pasar ternak.
4.1. 2. Kecamatan Pariaman Tengah
Letak geografis kecamatan Pariaman Tengah 100º 08 00º Bujur Timur dan
0º 33 30º Lintang Selatan, dengan ketinggian ±2 m dari permukaan laut. Batasbatas wilayah:
Sebelah Utara dengan Kecamatan Pariaman Utara
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Pariaman Selatan
Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia
Sebelah Timur dengan Kecamatan VII Koto.
Batas Wilayah
Kecamatan Pariaman Tengah
Jumlah Kenagarian
: 3 Kenagarian
Jumlah Desa/Kelurahan : 29 desa/kelurahan
Gambar 7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah
60
Kecamatan Pariaman Tengah memiliki luas wilayah 23,77 km² atau sekitar 32,40
persen dari luas Kota Pariaman, terdiri dari 29 desa/kelurahan yang termasuk
kedalam tiga kenagarian. Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas
masing-masing desa/kelurahan sebagaimana terlihat dalam tabel 11 berikut.
Tabel 11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan
Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007
Kenagarian
Desa/Kelurahan
Luas
Penggunaannya
Daerah Pertani Perumah lainnya
(Km²)
-an
-an
Pasar Pariaman
Pasir
0,85
0,00
0,24
0,61
Kampung Perak
0,53
0,00
0,13
0,40
Lohong
0,82
0,00
0,23
0,59
V Koto Air
Pondok II
0,49
0,00
0,12
0,37
Pampan
Jawi-Jawi I
0,29
0,00
0,08
0,21
Jawi-Jawi II
0,24
0,00
0,05
0,19
Kampung Jawa I
0,27
0,00
0,08
0,19
Kampung Jawa II
0,31
0,00
0,07
0,24
Kampung Pondok
0,45
0,00
0,08
0,37
Alai Gelombang
0,58
0,37
0,12
0,09
Taratak
0,49
0,00
0,16
0,33
Jalan Kereta Api
0,42
0,00
0,13
0,29
Ujung Batung
0,49
0,18
0,11
0,20
Jalan Baru
0,31
0,00
0,13
0,18
Karan Aur
0,98
0,00
0,08
0,90
Jati Hilir
0,71
0,22
0,26
0,23
Kampung Baru
0,76
0,00
0,19
0,57
Rawang
0,68
0,46
0,21
0,01
Pauh Timur
1,96
0,93
0,54
0,49
Pauh Barat
0,99
0,00
0,61
0,38
Cimparuah
1,92
1,63
0,27
0,02
IV Angkat
Jati Mudik
0,62
0,39
0,18
0,05
Padusunan
Bato
1,15
0,97
0,17
0,01
Batang Kabung
1,11
0,79
0,31
0,01
Koto Marapak
1,91
1,04
0,28
0,59
Sungai Sirah
0,56
0,32
0,23
0,01
Sungai Pasak
1,47
1,23
0,15
0,09
Air Santok
1,16
0,61
0,47
0,08
Cub Mentawai
1,25
0,87
0,35
0,03
Jumlah
23,77
10,01 6,03
7,73
Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2007, jumlah penduduk
Pariaman Tengah adalah 35.269 jiwa yang terdiri atas 17.111 jiwa laki-laki (48,
52 persen) dan 18.158 jiwa perempuan (51, 48 persen) dengan rasio jenis kelamin
61
9.423. Bila dilihat per kelompok umur yakni anak-anak dan dewasa jumlah
kelompok umur dewasa menempati jumlah terbesar. Kelompok umur dewasa (1564 tahun) terdapat 21.458 jiwa dan kelompok umur anak-anak (0-14 tahun)
11.538 jiwa.
Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas
wilayah Kecamatan Pariaman Tengah, tingkat kepadatan penduduknya 1.483,76
jiwa/km². Ini berarti tanah semakin diperebutkan banyak orang dan membawa
implikasi sosial yang perlu dipikirkan. Berikut penggunaan lahan itu dapat dilihat
dalam tabel 12.
Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007
Penggunaan lahan
I.
Pertanian
1. Sawah
2. Ladang
3. Perkebunan
Luas Masingmasing sub
Luas Total
10,01 km
7,96 km
1,03 km
1,02 km
II.
Perumahan
III.
Jalan
IV.
Lainnya
Jumlah
-
7,06 km
5,23 km
1,47 km
23,77 km
Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Tabel 12 menunjukan penggunaan lahan untuk pertanian cukup besar
yakni sekitar 42, 1 persen (10,01 km). Kemudian diikuti oleh pemukiman
penduduk sekitar 29,7 persen (7,06 km), jalan 22,0 persen (5,23 km) dan lainnya
sekitar 6,2 persen (1,47 km). Lahan pertanian yang cukup luas terdapat di bagian
Timur, Selatan dan Utara, atau di 14 desa seperti desa Alai Gelombang, Ujung
Batung, Jati Hilir, Rawang, Jati Mudik, Bato, Batang Kabung, Koto Marapak, Sei
Sirah, Sei Pasak, Air Santok, Cubadak Mentawai, Pauh Timur dan Cimparuh,
sedangkan 15 desa dan kelurahan yang lainnya tidak mempunyai lahan pertanian.
Desa dan kelurahan itu terletak dibagian Barat (pusat kota) yang berbatasan
langsung dengan Samudera Indonesia seperti; Pasir, Kp Perak, Pondok II,
Lohong, Jawi-jawi I, Jawi-jawi II, Kp Jawa I, Kp Jawa II, Kp Pondok, Taratak,
Jalan Kereta Api, Jalan Baru, Karan Aur, Kp Baru dan Pauh Barat. Dengan
demikian dapat dikatakan, sebagian dari kecamatan ini merupakan daerah
pertanian dan sebagian yang lain daerah non pertanian (lihat tabel 8).
62
Selain dirinci ke dalam jenis kelamin dan kelompok umur, jumlah
penduduk Kecamatan Pariaman Tengah juga dapat dirinci berdasarkan tingkat
pendidikan dari Jumlah Pegawai Negeri Sipil dari Dinas Jawatan se Kecamatan
Pariaman Tengah.
Tabel 13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di
Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007
No Pendidikan Tertinggi
Laki-laki
Perempuan Jumlah
1. Sekolah Dasar
15
5
20
2
Sekolah lanjutan Tingkat Pertama
67
21
88
3
Sekolah lanjutan Tingkat Atas
309
185
494
4
Akademi Sarjana (S1)
146
62
208
Jumlah
537
273
810
Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Meskipun tingkat pendidikan seperti terlihat pada tabel 13 tidak terlihat
secara keseluruhan dari jumlah penduduk Kecamatan Pariaman Tengah, namun
paling tidak telah menggambar sebagian tingkat pendidikan di daerah itu.
Selanjutnya dari tabel 10 juga terlihat mata pencarian yang diguluti penduduk.
Terdapat 810 (3,70 persen) dari usia produktif 21458 jiwa jumlah penduduk yang
berusia 15-64
penduduk Kecamatan Pariaman Tengah
yang mempunyai
pekerjaan sebagai PNS dan 20.648 (96,30 persen) yang bekerja bukan sebagi
PNS. Berdasarkan informasi dari Kantor Kecamatan Pariaman Tengah, mata
pencarian penduduk lain seperti; TNI/Polri, swasta, pedagang, buruh, pengrajin,
penjahit, tukang batu/kayu, montir, sopir, tukang becak, peternakan, petani dan
nelayan.
Sarana dan prasarana pendukung yang ada di Kecamatan Pariaman Tengah
memiliki fasilitas lebih lengkap dibanding dengan kecamatan Sungai Limau.
Selain terdapat kantor-kantor pemerintahan dan swasta, daerah ini didukung pula
oleh fasilitas umum lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, pasar dan terminal,
rumah makan, hotel dan penginapan. Fasilitas pendidikan, yang dimiliki mulai
dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Berikut gambaran fasilitas pendidikan
yang terdapat di kecamatan Pariaman Tengah.
63
Tabel 14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan
Pariaman Tengah Tahun 2007
No Tingkat Pendidikan
Status
Jumlah
Negeri
Swasta
1. Sekolah Dasar
29
29
2. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama
4
2
6
3. Sekolah Lanjut Tingkat Atas
5
5
10
4. Akademi
4
4
5. Universitas
3
3
Jumlah
38
24
52
Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Dibidang kesehatan, kecamatan ini mempunyai 1 buah rumah sakit
Umum, 3 buah puskesmas dan 46 posyandu. Rumah sakit umum itu terletak di
kelurahan Kampung Baru dan merupakan satu-satunya rumah sakit yang terdapat
di wilayah kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Kemudian untuk
puskesmas terletak di desa Koto Marapak, Cubadak Mentawai dan Pauh Barat,
sedangkan untuk posyandu tersebar di seluruh kelurahan dan desa yang ada di
kecamatan ini. Jumlah posyandu terbanyak (4 buah) terdapat di kelurahan Kp
Baru dan di desa dan kelurahan lainnya hanya terdapat 1-2 posyandu dengan
persentase masing-masing 50%. Untuk tenaga medis secara keseluruhan
dikecamatan ini berjumlah 35 orang yang terdiri dari; 9 orang dokter, 20 orang
perawat dan 6 orang dukun.
Fasilitas ekonomi yang terdapat di daerah ini antara lain; pasar, koperasi,
rumah makan, hotel dan penginapan. Untuk pasar-- ada pasar tradisional dan
modern yang letaknya berdampingan. Pasar modern disebut juga dengan pusmol
dan merupakan satu-satunya mol (mall) yang terdapat di wilayah ini. Kedua pasar
itu merupakan aktiviatas ekonomi terbesar yang terdapat diwilayah ini. Selain itu
terdapat pula 48 buah koperasi primer dan sekunder serta 1 koperasi yang belum
mandiri. Untuk aktivitas ekonomi lainnya terdapat 39 buah rumah makan, 2 buah
hotel dan 2 buah penginapan, yang semuanya terletak di kelurahan Kp Pondok.
Selanjutnya daerah ini dilengkapi pula dengan objek wisata pantai yang
terdapat di kelurahan Pasir dan Pasir Pauh. Sebutan untuk objek wisata pantai itu
antara lain; Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, Pantai Kata dan Pantai Sunur. Dari
keempat objek wisata pantai ini, Pantai Gandoriah yang berada di pusat kota
dengan fasilitas yang lengkap seperti terdapat restoran dengan aneka masakan
64
khas Pariaman. Kemudian Pantai Gandariah, Pantai Sunur, meski tidak terdapat di
pusat kota, tetapi memiliki ciri khas tersendiri--di sekitar pantai ini terdapat
penjualan nasi sek (santai, enak, kenyang) dengan spesifik sala lauak dari
berbagai jenis ikan, udang dan gulai kepala ikan laut yang segar menambah
keunikan dan daya tarik pantai ini.
Sekali dalam setahun, di salah satu pantai itu tepatnya di pantai Gondariah.
diadakan pesta budaya tabuik. Pesta budaya itu diadakan setiap tanggal 1 sampai
10 Muharram. Selama prosesi pembuatan tabuik dilaksanakan berbagai festival
kesenian anak nagari seperti pencak silat, lomba gandang tasa, layang-layang
tradisional, musik Islami, indang, pemilihan Cik Uniang dan Ajo Kota Pariaman,
dan lain-lain. Pesta Budaya Tabuik ini sudah terkenal dan sudah merupakan core
event yang ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan sudah menjadi agenda rutin
PEMDA Kota Pariaman untuk menarik wisatawan ke daerah ini.
4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau
Menurut Mansoer (1970), secara geografis, politik ekonomis dan kultur
historis, wilayah Minangkabau dibagi atas pesisir, darek dan rantau. Daerah
pesisir meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau Sumatera yang
memanjang dari barat laut ke tenggara. Dalam tambo disebutkan bahwa daerah
pasisia yaitu: daerah nan nagari-nagarinya talatak, sabalah matohari ka
tabanam, nan mamanjang dari utara ke selatan (daerah yang nagari-nagarinya
terletak sebelah matahari terbenam, yang memanjang dari Utara ke Selatan). Jadi,
daerah ini mulai dari perbatasan daerah Minangkabau dengan daerah Bengkulu
sekarang, yaitu Muko-Muko, sampai ke perbatasan Minangkabau dengan daerah
Tapanuli bagian Selatan. Daerah pesisir disebut juga dengan kota dagang yang
dalam sejarah pernah memainkan peranan ekonomis dan politik yang penting,
seperti Tiku-Pariaman disebelah Utara, Padang di tengah-tengah, Bandar X dan
Indrapura disebelah selatan. Dalam sejarah dikatakan daerah pesisir, dengan
kondisi alam yang tidak subur maka berdagang merupakan mata pencaharian yang
dominan. Dobin (1983), menyebutkan orang-orang pesisir terkenal dengan gaya
berdagang keliling, yaitu menjadi pialang diberbagai wilayah baik dalam kawasan
pasar Sumatera Barat maupun di luar wilayah ini.
65
Lebih jauh dijelaskan, berdagang keliling telah dimulai oleh masyarakat
pesisir semenjak terjadinya kontak dengan negeri luar terutama dengan saudagar
Gujarat dan Timur Tengah. Kontak dengan orang-orang luar ini tidak hanya
sebatas perdagangan tetapi juga terjadi kontak agama, sehingga wilayah ini
menjadi kawasan peradaban agama Islam pertama dalam sejarah perkembangan
Islam di Minangkabau. Sehubungan dengan kontak agama ini, para sejarawan
menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke Minangkabau sejak abad ke-7 yang
dibawa melalui kepentingan para pedagang.
Penduduk rantau pesisir selain berasal dari Luhak nan Tigo, juga banyak
yang berasal dari India Selatan dan Persia. Di mana migrasi masyarakat tersebut
terjadi ketika pantai Barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan
selain Malaka. Berbeda dengan daerah darek, penduduknya adalah orang asli
Minangkabau, dan merupakan daerah yang terletak ditengah daerah pegunungan
Bukit Barisan yang subur. Dari daerah darek dihasilkan sayuran dan hasil
perkebunan, seperti kayu manis dan kopi. Dalam peta perdagangan kolonial,
daerah ini dijadikan sebagai basis perdagangan hasil perkebunan dan pertanian
lainnya. Secara historis daerah darek merupakan daerah pusat adat Minangkabau,
yang kemudian disebut dengan Alam Minangkabau. Daerah ini memegang
peranan penting dalam perkembangan adat budaya Minangkabau, karena kerajaan
pagaruyung sebagai pusat budaya Minangkabau, karena Kerajaan Pagaruyung
sebagai pusat budaya Minangkabaupat terdapat diwilayah ini.
Wilayah darek meliputi: 3 daerah yang disebut juga dengan Luhak nan
Tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Yang
dikatakan Luhak Tanah Datar adalah daerah Kabupaten Tanah datar sekarang,
sebagian Sawahlunto Sijunjung, dan Solok. Yang disebut Luhak Agam terdiri atas
Ampek-Ampek Angkek, Lawang nan Tigo Balai, dan Nagari sekeliling Danau
Maninjau, sedangkan Luhak Lima Puluh Kota adalah daerah yang terletak di
sepanjang Batang Sinamar, daerah sekitar gunung Sago bagian utara dan barat,
seiliran Batang Lampasi dan Batang Agam, bahkan sampai ke Sipisak pisau
Anyuik (Pekanbaru sekarang). Luhak merupakan kelompok nagari yang dinaungi
oleh satu unit teritorial politik yang mandiri dibawah Dewan Penghulu Nagari dan
tidak mewakili kekuasan raja.
66
Masing-masing Luhak mempunyai peraturan dan adat kebiasaan
tersendiri. Keberagaman lokal yang muncul, menunjukkan pluralitas masyarakat
Minangkabau yang dilegalisasikan dalam satu bentuk kepemimpinan raja.
Keberagaman itu muncul, pada intinya tidak terlepas dari dua bentuk
kepemimpinan lareh yang mewarnainya. Lareh merupakan induk hukum adat
Minangkabau yang dibangun berdasarkan geologis, sosiologis dan kulturalis alam
Minangkabau itu sendiri. Dua lareh, itu adalah lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi
Caniago (Anwar, 1967).
Lareh
Koto
Piliang
merupakan
bentuk
kepemimpinan
dibawah
Datuk Katumanggungan. Dalam kultur masyarakat Minangkabau seorang lareh
dapat dipahami melalui ciri-ciri dan simbol-simbol yang dipakainya, di antaranya
melalui susunan penghulu dengan bajenjang naik batanggo turun (berjenjang naik
dan bertangga turun), yaitu bertingkat menurut martabat dan tugas. Susunan ini
lebih dekat kepada sistem aristokratis, konservatif dan cenderung pada agama,
sedangkan rumah adatnya mempunyai anjungan pada setiap bagian ujung pangkal
bangunannya.
Lareh Bodi Caniago, merupakan lareh yang berafiliasi kepada pimpinan
Datuk Parpatih Nan Sabatang. Ciri khas yang melekat dalam kelarasan ini adalah
balai adat tempat bermusyawarahnya berlantai sama tinggi dan tidak mengenal
hirarkis, sedangkan penghulunya duduk sama rendah tegak sama tinggi. Dari
simbolik ini dapat ditangkap bahwa kelarasan Bodi Caniago lebih mirip dengan
sistem demokrasi dan toleransi. Dalam prakteknya, pemerintahan diselenggarakan
bersama-sama penghulu-penghulu andiko atau kepala paruik (tuo kampung /
penghulu kampung) dalam satu wadah yang dinamakan Kerapatan Nagari. Di
dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derjat yang sama dan
bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari.
Lareh Koto Piliang dalam aplikasi pemerintahannya, mengikuti sistem
kerajaan dengan birokrasi pemerintahan hirarki dan kepemimpinan yang
berstruktur. Hal ini tercermin melalui bajenjang naik batanggo turun dengan
lapisan-lapisan birokrasi. Oleh sebab itu penghulu-penghulu suku dikenal dengan
datuak nan kaampek suku, artinya empat orang pengulu suku. Dari keempat
penghulu dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pemimpin. Di dalam
67
memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu
yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan,
dubalang sebagai polisi dan seorang malin untuk keperluan urusan agama Islam.
Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malin) disebut dengan istilah
urang ampek jiniah. Dua kelarasan ini sama-sama mempunyai pengaruh dalam
membentuk watak masyarakat Minangkabau. Bakan pada bagian lain Anwar
(1967)
mengemukakan
bahwa
meskipun
terdapat
perbedaan
susunan
pemerintahan tersebut, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama yaitu
musyawarah—suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya
sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto
Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari. Dengan
demikian, kalau istilah luhak mengandung pengertian geografis, politik
administratif, sosial-ekonomis dan kulturil, kata laras mempunyai makna
"hukum", yaitu tata cara adat turun temurun. Hukum itu dirumuskan oleh dan
disebut menurut nama tokoh-tokoh mitologi, yang oleh orang Minangkabau
dianggap sebagai cakal-bakal mereka.
Terakhir daerah rantau, merupakan tempat merantau bagi orang-orang
dahulu. Dari Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat negeri
baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang mereka
tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di Luhak
Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara
ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan Sembilan (Negeri
Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga
dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar, Kuantan, XII
Koto, Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Daerah
Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie.
Pembagian wilayah atas teritorial Minangkabau ini menunjukan adanya
keterbatasan wilyah kekuasaan raja. Dobbin (1983) menyebutkan raja lebih
menunjukkan simbolisasi dari manifestasi sesungguhnya dari kekuasaan
kerajaan alam Minangkabau. Hubungan-hubungan sosial yang melandasi
kekuasaan tidak dapat diklaim secara penuh oleh pusat kekuasaan Pagaruyung.
Oleh sebab itu pepatah mengatakan rantau barajo darek bapanghulu (munculnya
68
raja-raja kecil pada wilayah rantau dan daerah alam Minangkabau dikuasai oleh
penghulu).
4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir
Pariaman yang merupakan salah satu daerah rantau pesisir di
Minangkabau atau sering pula disebut dengan rantau Piaman. Sepintas kelihatan
tidak ada yang menarik dari daerah ini. Apalagi untuk untuk dijadikan kenangan
yang perlu diingat atau dijadikan tonggak sejarah. Tetapi justru sebaliknya bila
ditelusuri lebih jauh sejarah perjalanan daerah ini. Ternyata daerah ini dahulunya
mempunyai cerita yang panjang tentang agama dan perdagangan. Menurut Dobin,
1983; Khan, J. 1974), keduanya dapat dikatakan sebagai saudara kembar. Proses
Islamisasi dari wilayah pantai ke pedalaman Minangkabau terjadi seiring
pembukaan jaringan dan aktivitas perdagangan.
Dalam sejarah disebutkan, daerah rantau pesisir merupakan daerah
pertama yang disinggahi dan masuknya agama Islam dan bahkan sebagai pusat
perkembangan agama Islam di Nusantara dan Minangkabau khususnya. Dari
kajian sejarah tentang keunikan daerah ini dapat dilacak melalui tradisi
keagamaan yang dilakukan oleh seorang ulama di pantai Ulakan Pariaman, yang
bernama Syeh Burhanuddin. Ini berawal dari daerah ini mempunyai pelabuhan
(bandar) yang disinggahi oleh pedagang-pedang gujarat, yang akhirnya
dan
pedagang dari Aceh atau yang disebut dengan “kota republik dagang”. Di sini
terjadi proses interaksi ekonomi antara pedagang luar dengan pedagang pribumi
dan tempat awalnya penyebaran agama Islam ke Minangkabau pada umumnya.
Mengingat daerah pesisir sebagai wilayah perlintasan transportasi yang sering
dijadikan sebagai persinggahan para pedagang lokal dan asing maka wilayah
pesisir ini lebih metropolis dari pada wilayah pegunungan.
4.3.1. Pariaman Sebagai Tempat Masuknya Agama Islam ke Minangkabau
Pada Awalnya
Meski pada abad 7 agama Islam telah masuk ke Minangkabau melalui
rantau timur, namun pada waktu itu dilakukan secara tidak disengaja oleh
pedagang-pedagang Islam dari India dan Arab. Artinya penyebaran agama Islam
hanya terkait dengan aktivitas perdagangan, sehingga kota-kota yang disentuh
69
oleh agama Islam hanya daerah penghasil dan penyalur barang-barang
perdagangan saja seperti lada dan emas. Akibatnya daerah-daerah lain yang tidak
termasuk sebagai daerah/kota perdagangan, tidak tersentuh oleh penyebaran
agama Islam.
Masuknya agama Islam secara intensif dan teratur ke Minangkabau berasal
dari Aceh pada abad ke 13. Daerah yang dimasukinya pertamakali antara lain
Pariaman, Tiku dan Air Bangis dan selanjutnya baru menyebar ke daerah
pedalaman Minangkabau lainnya. Melalui suku bangsa Aceh ini pula peng-Islaman besar-besaran terjadi di Minangkabau dan bahkan lebih luas dari itu daerah
pesisir jatuh dibawah dominasi politik ekonomi Aceh.
Masuknya Aceh dengan mudah ke daerah pesisir karena dalam
kenyataannya daerah yang terbentang luas sepanjang Samudera Indonesia itu
terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil, dan nagari-nagari (republik-republik kecil)
yang otonom mempunyai politik yang logar sekali antara sesamanya dan dengan
Yang Dipertuan di Minangkabau. Tidak jarang pula diantara republik-republik
kecil itu bersaing sesamanya dan bahkan saling berebut pengaruh dan kekuasaan,
sehingga peperangan yang sengit sering pula terjadi diantara nagari-nagari dan
golongan yang terdapat dalam nagari tersebut. Barus misalnya merupakan daerah
takluk Minangkabau paling Utara di Pesisir terdiri dari dua kerajaan kecil yakni;
Barus Hilir dan Barus Hulu. Kedua kerajaan ini berasal dari satu keturunan,
namun karena salah satu diantaranya ingin menguasai perniagaan hasil buminya 1
maka terjadilah peperangan diantara mereka, sehingga memudahkan Aceh
memasuki dan menguasai daerah Pesisir (LKAAM, 1987).
Dilain pihak, Aceh membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengusir
Bangsa Postugis dari bandar pelabuhannya (benteng). Atas dasar itu Aceh
melakukan ekspansi ke daerah Pesisir untuk mendapatkan dukungan ekonomi.
Karena daerah pesisir khususnya Minangkabau pada waktu itu adalah penghasil
dan penyalur hasil bumi terpenting seperti emas, lada, kamfer, benzoin
(kemenyan), cengkeh, buah dan kulit pala, dan kulit manis. Dengan misinya itu
kekayaan bumi Minangkabau, istimewa daerah Pesisir jatuh dibawah dominasi
politik-ekonomi Aceh.
1
Karena kapur barus dan kemenyan hasil bumi daerah Barus sangat digemari oleh saudagar dari
India karena mutunya yang tinggi, sehingga menjadi ajang perebutan diantara kedua wilayah itu
70
Agama Islam berkembang pesat di Minangkabau terjadi setelah Aceh
diperintah Sultan Alaudin Riayat Al Kahar (1537- 1568), karena sultan tersebut
berhasil meluaskan wilayahnya hampir keseluruh pantai barat Sumatera. Untuk
menunjang kegiatannya itu, sultan mengirim seorang puteranya sebagai panglimasyahbandar ke Pariaman.
Selanjutnya pengembangan Islam di Minangkabau diteruskan oleh Syeh
Burhanuddin. Salah seorang putra asli Pariaman yang belajar agama Islam dari
Aceh. Beliau merupakan salah seorang murid Syeh Abdurauf dari tarikat
Syatariah. Tuanku Ulakan ini dihormati di Minangkabau sebagai tokoh
pengembang agama Islam dan disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di
Minangkabau. Berkat usaha Syeh Burhanuddin, agama Islam berkembang dan
tersebar luas di Alam Minangkabau.
Dalam rangka pengembangan agama Islam, Syeh Burhanudidin membuka
sekolah-sekolah agama (pesantren), diantaranya di Ulakan Pariaman dan di
Kapeh-kapeh Pandai Sikek, Padang Panjang. Ia juga mulai melakukan gerakan
pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Buddha, dan menghapuskan
kebiasaan-kebiasaan buruk anak nagari. Seperti minum tuak, menyabung ayam,
dan berkunjung ke tempat keramat.
Sebagai orang yang faham dengan agama Islam, Istana Pagaruyung juga
tidak luput dari sasaran dakwahnya. Bahkan beliau juga meng-Islam-kan Yang
Dipertuan di Minangkabau yakni Sultan Alif menjelang Akhir abad ke 16. Dalam
pengembangan Agama Islam itu, Syeh Burhanuddin dibantu oleh murid-muridnya
yang tidak hanya berasal dari Pariaman tetapi juga berasal dari kawasan darek
(kawasan daratan) atau dari Luhak nan Tigo (Agam, Tanah Datar, dan Limapuluh
Kota). Bahkan di Luhak Agam, tepatnya di Pamansiang didirikan pula pusat
penganjian. Dari pusat pengajian ini lahir pula ulama-ulama besar yang akan
membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau.
Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini berdatangan ke Pariaman
(Ulakan) untuk memperdalam ilmunya, karena tempat ini dianggap sebagai pusat
penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Sebagai tokoh yang
menghapuskan zaman jahiliyah dan ulama Islam (syiah) tertua dan terbesar di
71
Minangkabau, makam beliau hingga dewasa ini, terutama setiap bulan Syafar
ramai diziarahi oleh penduduk untuk basapa (mengadakan upacara bulan syafar).
4.3.2. Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan
Pariaman terletak pada tempat yang strategis yakni di tepi Barat Pantai
Sumatera. Dengan posisi itu secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dari alam
Minangkabau lainnya. Pariaman lebih terbuka bagi lalu lintas air khususnya laut
dan dengan sendirinya hubungan dagang dengan daerah-daerah luar alam
Minangkabau jauh lebih mudah dilakukan. Apalagi Pariaman dilengkapi pula oleh
sebuah bandar pelabuhan yang sudah ada semenjak abad ke 14 dan menjadi
bandar pelabuhan terbesar hingga akhir abad 17.
Dengan fasilitas yang dimiliki itu, Pariaman mempunyai kegiatan dagang
yang besar pula dan menjadi pos dagang terpenting di daerah Pesisir Barat
Sumatera dengan jenis komoditi berupa lada dan emas. Saudagar yang datang ke
pelabuhan ini tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar Minangkabau yakni
Aceh dan bangsa Asing.
Pada awalnya Aceh masuk
melalui daerah Natal dan Pasaman yang
merupakan daerah penghasil emas dan hasil bumi penting lainnya. Selain itu
Gunung Ophir, puncak Pasaman menurut mythologis diperkirakan banyak
mengandung emas yang membuat silau mata sehingga daerah ini jatuh dibawah
pengawasan politik ekonomi suku Aceh sejak pertengahan abad ke 16. Setelah itu
Aceh masuk melalui bandar pelabuhan Tiku dan Pariaman, karena kedua sebagai
tempat penyalur penting dari lada dan emas yang dihasilkan oleh alam
Minangkabau. Namun pada akhirnya hanya melalui Pariaman, karena mempunyai
bandar pelabuhan dan kegiatan dagang terbesar saat itu. Untuk itu Aceh
menempatkan gubernur militer/syabandarnya 2 di bandar sebelah Utara Pariaman
sebagai simbol kedudukannya di daerah Pariaman. Selain itu, suku Aceh juga
melakukan transaksi dengan petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek.
Dalam rentang waktu yang hampir sama, daerah Pariaman juga dikunjungi
oleh pedagang-pedagang asing lainnya. Orang asing pertama yang masuk ke
wilayah Pariaman di awali oleh bangsa Potugis pada tahun 1446-1524. Kemudian
2
Sebutan bagi pejabat tinggi Aceh, kemudian pada akhirnya digunakan sebagai nama tempat
keduduknya.
72
disusul oleh pedagang dari Perancis pada tahun 1527 dan pada saat itu sempat
pula singgah ke daerah Tiku, Indrapura dan Barus. Berikutnya menyusul pula
pedagang-pedagang gujarat dari Arab, Parsi, dan Turki.
Sementara itu di pihak lain, pedagang Eropa mulai pula secara rutin
memijakkan kakinya di daerah ini. Diakhir abad 16 bangsa Belanda singgah di
Tiku dan Pariaman untuk pertama kali. Dua buah kapal dagang Belanda di bawah
pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan
kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai
di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman. Pada tahun 1686,
orang Pariaman mulai berhubungan dengan Inggris. Inilah puncak kejayaan
daerah Pariaman sebagai kota dagang dan pelabuhan.
Perdagangan yang dilakukan tidak hanya sebatas pelabuhan, tetapi juga
meliputi daerah pedalaman dan ke luar Pariaman. Di daerah pedalaman barangbarang yang diperdagangkan seperti emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu.
Selanjutnya melalui pelabuhan Pariaman, perdagangan tidak hanya sebatas hasil
bumi. Seperti yang dikatakan oleh Tomec Pires, perdagangan ke luar Pariaman
memperdagangkan kuda yang dibawa ke daerah Batak dan Sunda.
Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai bandar perdagangan yang
sibuk dan menjadi tujuan perdagangan dan sekaligus menjadi rebutan bangsa
asing. Dalam jaringan perdagangan Minangkabau pada saat itu, model hubungan
antara penjual di pedalaman dan pemasok asing untuk barang-barang impor
adalah sistem pialang pantai. Pada model ini antara penjual dan pembeli bertemu
atau berlabuh ditempat yang telah berkembang dan sebagai jalur perdagangan
yang aman, sehingga saat itu daerah pantai Pariaman yang memungkinkan sebagai
tempat keluar masuknya barang-barang utama seperti emas diawal masa
perdagangan. Posisi dan kedudukan daerah Pariaman yang demikian bertahan
hingga sampai pertengahan abad ke tujuh belas.
Kemudian setelah itu, kejayaan Pariaman mulai
meredup seiring
dibagunnya pelabuhan Muaro yang lebih besar di Kota Padang oleh Belanda.
Tujuan Belanda pada saat itu, agar dapat menampung kapal-kapal besar yang
sebelumnya tidak dapat tertampung di Pariaman. Adanya pelabuhan baru dan
besar ini, sudah barang tentu para pedagang lebih memilih melabuhkan di
73
Pelabuhan Muaro di Kota Padang dan meninggalkan pelabuhan Pariaman.
Keadaan itu terus di perburuk dengan dibangunnya jalan kereta api dari Padang ke
Pariaman pada tahun 1908. Akibatnya para pedagang dari daerah Minangkabau
lain dapat langsung menuju pelabuhan muaro Padang dan mengabaikan pelabuhan
di Pariaman hingga saat ini.
Dengan posisi Pariaman di tepi pantai itu, ada dua peranan yang
dimainkannya yakni sebagai tempat perkembangan agama Islam pada awalnya
dan sebagai tempat perdagangan baik ditingkat regional maupun ditingkat global.
Dari kedua peranan inilah kira munculnya dasar kebangsawanan yakni dari
penyebaran agama Islam dan perdagangan yang menyinggahi daerah Pariaman.
4.4. Struktur Sosial Masyarakat Pariaman.
Struktur sosial masyarakat Pariaman pada hakekatnya tidak berbeda
dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau pada umumnya. Dalam adat
Minangkabau, masyarakat disusun dan ditata menurut ciri sistem matrilineal.
Orang hidup dalam suatu sistem kekerabatan yang dihitung menurut garis ibu atau
yang disebut dengan saparuik. Saparuik merupakan susunan masyarakat
Minangkabau yang terkecil 3. Jika di-Indonesiakan secara harfiah artinya “Perut”.
Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili, yang semua
anggota keluarganya berasal dari satu perut dan para suami dalam suatu keluarga
tidak termasuk di dalamnya. Menurut istilah adat Minangkabau para suami
disebut “sumando”. Sumando biasa juga disebut “orang datang”, karena
keberadaannya sebagai pendatang di rumah Istrinya. Memang begitulah
perkawinan yang bersifat Matrilinial, bukan istri yang tinggal di rumah suami,
tetapi sebaliknya.
Orang sumando adalah sosok yang paling dihormati di dalam keluarga
istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung oleh sikap keluarga. Ini adalah
imbangan sebagai cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah
mengatakan”rancak rumah dek rang sumando, elok hukum dek ninik mamak”.
Artinya semarak rumah karena ada sumando dan tegaknya hukum karena ada
ninik mamak. Maksudnya keharmonisan suatu keluarga tergantung kesanggupan
3
Setelah itu diikuti oleh jurai, kampung, suku dan nagari. Semuanya itu secara berturut-turut
menunjukan perkembangan jumlah warga yang semakin besar.
74
si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan
kemenakannya.Tiap tiap paruik dipimpin oleh seorang mamak yang dijabat oleh
laki-laki dari saudara ibu, atau yang disebut dengan mamak rumah. Mamak rumah
menjadi wakil-pembina-pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang
terdekat. Tugasnya ialah "mengampungkan", artinya memelihara, membina,
memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah maupun rohaniah kemenakankemenakannya, yaitu anak-anak dan anggota-anggota dari seluruh keluarganya.
Namun demikian dalam tata tertib dan aturan-aturan dalam suatu rumah gadang,
sebagai ungkapan adat berikut ini:
Kemenakan beraja kepada mamak
Mamak beraja penghulu
Penghulu beraja musyawarah
Musyawarah beraja kepada patut dan benar.
Artinya,
kemenakan tunduk dibawah perintah mamak
Mamak tunduk dibawah perintah penghulu
Penghulu tunduk dibawah perintah musyawarah
Musyawarah tunduk dibawah perintah patut dan benar.
Pepatah di atas memperlihat susunan
masyarakat dalam adat Minangkabau
menempatkan mamak berada pada posisi yang lebih tinggi di dalam lingkungan
keluarga, sehingga hubungan mamak dengan kemenakan, berjenjang naik dan
bertangga turun”, sehingga dalam masyarakat melahirkan
konsep pimpinan
dengan anak buah. Seorang pimpinan berada di tangan mamak dan anak buah
berada ditangan kemenakan.
Berkaitan dengan pembagian daerah Minangkabau atas darek dan rantau,
sebutan untuk pimpinan dalam masyarakat menunjukan perbedaan. Di daerah
darek, seorang mamak menempati posisi di atas disebut juga dengan tunganai,
dipanggil datuk dan memakai gelar pusaka kaumnya dan tugasnya sebagai
pembimbing dan pembina kaum. Ia disebut penghulu, dipanggil datuk dengan
gelar pusaka kaumnya. Susunan masyarakat yang demikian tidak terlepas dari
ikatan keluarga dengan suku sebagai kesatuan geneologisnya.
Seorang penghulu, kedudukan dan fungsinya di dalam masyarakat
berdasarkan pilihan seluruh anggota keluarga (perut, kaum dan suku). Oleh karena
itu seorang penghulu (mamak) tidak mempunyai harta pusaka dari anak maupun
dari kemenakannya. Seorang penghulu adalah ningrat-jabatan dengan hak-hak
75
istimewa (prerogatif) yang melekat pada pusaka yang dipakainya sebagai
penghulu dan inhaerent pada jabatan itu.
Berbeda dengan daerah Rantau dan Pesisir, seorang penghulu disebut
“tuanku”. Seorang penghulu sering bergelar raja. Menurut Mansoer (1970),
dizaman pemerintahan Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala
daerah, seperti kepala nagari, kecamatan (asisten Demang, “onderafdeling atau
kewedanan (Demang). Di daerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut raja
turun-temurun dari Bapak kepada anak. Demikian pula dengan daerah Pesisir,
seperti Indrapura dan daeran Pariaman. Gelar sidi, bangindo dan sutan adalah
untuk golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi mendekati
golongan ningrat di daerah Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan
rakyat biasa mereka lazim disebut “orang berbangsa”. Seorang orang berbangso,
apabila mempunyai kedudukan dan fungsi, maka panggilan kepadanya adalah
“tuanku”, namun sebalik, jika tidak memangku jabatan dipanggil titel gelarnya
saja (sidi, bagindo dan sutan). Golongan inilah yang menempati posisi di atas
dalam masyarakat Pariaman. Karena dianggap mempunyai asal-usul yang jelas
dan kepadanya diberi uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, terutama akibat pengaruh
ekonomi telah menggeser posisi laki-laki yang mempunyai gelar sidi, bagindo dan
sutan kepada pekerjaaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Terutama yang
mempunyai penghasilan ”besar”, seperti pekerjaan kantor (punya SK). Bagi
masyarakat Pariaman, posisi dan status laki-laki yang demikian adalah posisi yang
mempunyai nilai guna (ekonomi) karena tidak ada harta agar dapat menghidupi
keluarga inti dan keluarga besar yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh
karena itu tradisi bajapuik pada saat ini sebagai upaya mencari laki-laki yang
mempunyai status sosial ekonomi (punya pekerjaan) yang dapat menghasilkan
uang.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dalam tradisi bajapuik ada
kecenderungan, pilihan masyarakat jatuh kepada pekerjaan yang di miliki oleh
seorang laki-laki. Kehidupan ekonomi yang semakin sulitnya dan banyaknya
pengangguran karena krisis ekonomi telah mendorong pilihan masyarakat kepada
pekerjaan yang ”banyak menghasilkan uang”, meskipun tidak menempuh
76
pendidikan tinggi (PT), karena pendidikan tinggi belum tentu dapat menghasilkan
uang, sehingga pekerjaan sebagai pedagang merupakan alternatif untuk
mendapatkan laki-laki yang mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi
kebutuhan keluarga. Isi toko yang padat dan jenis barangan yang diperjual belikan
mempunyai nilai tinggi (yang laku dipasaran) merupakan
pilihan yang
memberikan keuntungan bagi posisi/status sosial laki-laki di Pariaman. Berdagang
merupakan merupakan suatu bentuk pertimbangan lain untuk mencari seorang
laki-laki yang menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus kesempatan untuk
mensejajarkan diri dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap (SK).
Kondisi ini dalam teori pertukaran Homans disebut dengan tindakan yang bernilai,
makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar
kemungkinan ia melakukan tindakan itu.
4.5. Adat Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik
Seperti yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau berlaku ungkapan,
““lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya”,. Jadi dalam
pelaksanaan perkawinan mengikuti adat atau tradisi tertentu. Itulah yang terjadi
dalam pelaksanaan perkawinan di daerah Pariaman. Perkawinan yang melibat dua
pihak keluarga (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan), ternyata
mempunyai nilai bagi aktor-aktor yang terlibat. Adanya nilai itu bagi aktor telah
mendorong terjadinya tradisi bajapuik atau menurut teori pertukaran dari Homans
khususnya proposisi pendorong (stimulus proposition), di mana bila suatu
kejadian di masa lalu telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka
semakin mendorong tindakan itu dilakukan dimasa sekarang, makin besar
kemungkinan orang melakukan tindakan serupa. Adapun adat perkawinan dalam
tradisi bajapuik antara lain sebagai berikut:
4. 5.1. Memilih Calon Menantu (Meresek)
Pandang dekat ditukikan pandangan jauh dilayangkan, demikian kata
pepatah. Falsafah ini sampai saat ini masih tetap dilakukan khususnya dalam hal
pencarian jodoh. Pencarian dan pemilihan jodoh terhadap seseorang dapat
dilakukan oleh individu yang bersangkutan dan orang lain, terutama keluarga
besar/kerabat. Menurut Navis (1984), pada masyarakat Minangkabau perkawinan
77
tidak hanya melibatkan dua pasang insan yang akan melangsungkan perkawinan,
tetapi juga melibatkan kaum kerabatnya mulai dari mencarikan jodoh hingga pada
masalah pasca perkawinan. Sebuah keluarga berkewajiban mencarikan jodoh dan
mengawinkan anak kemenakannya jika sianak telah patut untuk berumah tangga.
Besarnya kewajiban keluarga mencarikan jodoh dan mengawinkan anak
kemanakannya menyebabkan seorang anak harus menjalankan kewajiban
pribadinya menerima pilihan keluarga. Menolak seseorang yang telah dipilihkan
keluarga bukanlah tidak boleh dilakukan, tetapi hal itu sangat sulit terlaksana
karena bisa menyebabkan mamak dan anggota kaum lain merasa tersinggung
(Catra. 2000). Lebih jauh Catra menegaskan, besarnya kewajiban dan hak
keluarga memaksakan kehendak anaknya hanya berlaku satu kali. Hak keluarga
untuk memaksa kehendaknya habis ketika status sang anak telah berubah menjadi
janda atau duda. Seseorang yang telah pernah melakukan perkawinan atau telah
dewasa mempunyai kebebasan untuk menentukan dengan siapa dia akan kawin
untuk yang keduanya atau yang ketiga kalinya. Bahkan untuk zaman sekarang ini,
besarnya kewajiban dan hak keluarga untuk menjodohkan anaknya telah
menimbulkan interpretasi yang negatif oleh sebagian orang. Mereka melihat hal
ini sebagai salah satu pemaksaan kehendak. Penolakan itu sejalan dengan
menyebarnya paham feminisme yang mencerca adat dan budaya sebagai
penyebab keterbelakangan dan ketertindasan kaum perempuan.
Walaupun banyak pendapat yang pro dan kontra tentang pencarian jodoh,
namun hal ini tetap dilakukan oleh keluarga yang mempunyai anak gadis, dengan
memandang bahwa si gadis sudah cukup umur (dewasa) untuk berumah tangga.
Atas dasar tersebut mulailah orang tua atau kerabat lainnya untuk melihat-lihat
siapa calon yang pantas untuk menjadi suaminya. Pencarian ini dilakukan, jika
sigadis belum/ tidak punya pilihan sendiri. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi,
maka pihak keluarga tinggal hanya untuk menelusuri keluarga dari calon yang
disodorkan. Proses ini menurut Nock (1987), membutuhkan waktu yang panjang
bahkan adakalanya dimulai semenjak masa kanak-kanak dan menuntut orang yang
bersangkutan untuk bermain dan berinteraksi dengan orang tertentu saja. Lebih
jauh, proses ini menurut Nock terdapat dalam dua aspek. Pertama, hanya orang
tertentu saja yang mungkin menjadi pasangan hidupnya dan membatasinya
78
terhadap pilihan lain di kemudian hari. Kedua, setelah kriteria ditetapkan, maka
pilihan dilakukan berdasarkan kriteria tersebut.
Untuk pencarian jodoh pada umumnya diawali dengan penjajakan
terhadap calon yang terpilih. Meskipun penjajakan dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak; tetapi yang berlaku umum pihak perempuan yang terlebih dahulu
memulainya. Istilah itu dalam masyarakat Minangkabau disebut dengan ma-anta
asok atau meresek, yaitu proses mencari jalan kesepakatan dua keluarga untuk
mengawini anak mereka. Penjajakan ini bertujuan untuk; 1) meminta kesediaan
pihak keluarga laki-laki (terutama orang tuanya), agar mau melepas anaknya
untuk dijadikan menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran
bertujuan menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan,
kepribadian, agama sampai kepada pendidikan dan pekerjaannya. 3) Menentukan
jumlah uang jemputan dan uang hilang serta syarat-syarat lain yang harus
dipenuhi oleh pihak perempuan.
Penjajakan atau meresek pada tahap awal dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak. Namun, untuk penjajakan berikutnya harus dilakukan dari pihak
perempuan. Aktor yang turut berperan untuk penjajakan ini, biasa orang terdekat
dari calon perempuan, terutama anggota keluarga dari pihak ibu seperti orang tua,
mamak, kakak atau etek atau utusan dari pihak perempuan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan hasil penjajakan tersebut, maka diutuslah seseorang kerumah orang
tua laki-laki yang dituju. Proses penjajakan ini dapat berlangsung antara 1-3 kali
pertemuan.
Penjajakan pertama dari pihak perempuan, utusan datang kerumah calon
mempelai laki-laki membawa buah tangan sebagai pembuka jalan dan sekaligus
untuk memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Ini terkait
dengan basa-basi orang yang datang yang membawa buah tangan. Setelah ada
peluang dan aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua pihak
perempuan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa
berupa, pisang, kue bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Semua macam kue
ini tidak selalu ada secara bersamaan dan tergantung pada selera orang yang
datang. Pada pertemuan ini keluarga dari pihak perempuan langsung menanyakan
kepada orang tua yang laki-laki, apakah bersedia untuk melepas anaknya untuk
79
dijadikan menantu bagi pihak yang datang. Bila jawaban dari orang tua maupun
yang punya diri (laki-laki yang akan dijadikan calon menantu) menyatakan
bersedia, maka dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut serta ninik
mamak, karena pembicaraan mengenai adat perkawinan selanjutnya harus
mengikut sertakan ninik mamak kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap
berikutnya.
4.5.2. Pertunangan
Pada dasarnya bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu
perkawinan yang didahului dengan peminangan, terutama untuk bujang dan gadis.
Di Minangkabau pada umumnya, peminangan dilakukan oleh pihak keluarga
perempuan kepada pihak laki-laki begitu juga di daerah Pariaman. Peminangan
adalah pencarian seorang calon laki-laki yang akan dijodohkan dengan seorang
anak gadis atau yang lazim disebut dengan meresek/merasok.
Setelah semuanya cocok, maka dilanjutkan dengan pertunangan.
Pertunangan adalah kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan
untuk mengikat suatu hubungan, yang ditandai dengan bertukar tanda (tukar
cincin). Tanda yang dipertukarkan biasanya dalam bentuk benda seperti emas
(cincin) dan ada pula dalam bentuk benda lain, yang berupa kain sarung. Apapun
jenis dan bentuk benda yang dipertukarkan pada saat pertunangan tergantung
kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Termasuk pula siapa yang
menyiapkan benda-benda itu, karena pada dekade terakhir ini ada kecendrungan
calon pengantin sendiri yang menyiapkan cincin tersebut, apakah dari pengantin
laki-laki keduanya atau 1 buah cincin untuk masing-masing pihak, tergantung
kepada kesepakatan di antara kedua calon pengantin. Intinya, mengenai cincin
pertunangan ini ada kecendrungan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua.
Kondisi ini terutama disebabkan oleh kedua calon pengantin mempunyai
pekerjaan dan pendapatan masing, sehingga menjadi kurang tepat jika masih
dibebankan kepada kedua orang tua. Meskipun demikian, bukan berarti acara
pertunangan dapat dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap saja
melibatkan keluarga besar (extended family) dan ninik mamak atau yang disebut
dengan acara duduk ninik mamak.
80
Acara duduk ninik mamak ini dilakukan di rumah calon pengantin lakilaki, karena adat yang berlaku umum di Minangkabau dan Pariaman khususnya,
yang datang meminang adalah dari pihak calon pengantin perempuan. Jadi acara
pertunangan itu dilakukan di rumah orang tua calon pengantin laki-laki. Pada
tahap peminangan, pihak keluarga perempuan datang dengan kerabat serta orang
sumando, ninik-mamak dan tetangga terdekat ke rumah pihak laki-laki dengan
membawa buah tangan. Pada acara ini sekaligus merefleksikan hubungan baik
yang dibina oleh orang tua dari pihak perempuan dengan lingkungannya. Mereka
pergi bersama ke rumah calon pengantin laki-laki untuk melakukan peminangan
bersama keluarga yang mempunyai hajat dengan membawa bingkisan masingmasingnya. Sesampai di rumah keluarga laki-laki telah menunggu pula orang tua,
kerabat dan tetangga terdekatnya. Pada acara itu, pihak perempuan membawa
bingkisan yang berisi lauk-pauk yang terdiri dari goreng dan gulai ikan, ayam,
daging dan sebagainya. Selain itu, pembawaan ini juga dilengkapi dengan kue-kue
dan berbagai jenis makanan lainnya. Pembawaan ini dibawa oleh kaum ibu, yang
ikut serta dalam acara itu, baik dari keluarga sendiri dan juga dari tetangga
terdekat. Di rumah pihak laki-laki telah tersedia pula berbagai macam hidangan
pula, mulai dari makanan ringan sampai pada makanan berat seperti nasi.
Meskipun demikian, makanan yang dibawa itu dapat pula disajikan kembali oleh
pihak keluarga laki-laki untuk menyambut orang yang datang. Setelah beristirahat
sebentar, tamu yang datang dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah
disediakan. Selesai mencicipi hidangan dan mengisap rokok bagi yang laki-laki,
maka pembicaraan (perundingan) di mulai.
Untuk kata pembuka, diberikan kepada pihak keluarga perempuan.
Biasanya orang yang ditunjuk adalah seseorang yang pandai berbicara secara adat
atau yang disebut dengan ninik-mamak. Dengan menyampaikan kata-kata
persembahan, ninik mamak juga memberikan sirih sebagai buah tangan kepada
tuan rumah (pihak keluarga laki-laki). Setelah itu, ninik mamak mengemukakan
maksud kedatangannya yakni untuk mempertunangkan anak-kemenakan dari
kedua belah pihak.
Keterlibatan anggota keluarga dan ninik mamak sangat di perlukan untuk
mengukuhan pertunangan ini. Bahkan dalam acara ini, peran ninik mamak lebih
81
menonjol, sehingga bagi penduduk setempat pengukuhan pertunangan ini dikenal
dengan acara duduk ninik mamak. Artinya disinilah ninik mamak kedua belah
pihak bertemu. Pertemuan itu tidak hanya untuk pengukuhan pertunangan, tetapi
sekaligus membicarakan dan menetapkan persyaratan adat khususnya mengenai
uang jemputan, uang hilang, uang tungkatan dan tungkatan yang akan dibawa
pada saat penjemputan marapulai. Selain itu, tanggal pernikahan dan pesta
ditetapkan pula pada saat itu. Apapun keputusan yang diambil mengenai adat,
merupakan kesepakatan antara ninik mamak kedua belah pihak. Individu yang
akan melangsungkan perkawinan ataupun orang tua kedua belah pihak tidak dapat
melanggar keputusan itu. Apabila terjadi suatu pelanggaran perjanjian terhadap
kesepakatan yang telah dibuat, maka pihak yang melanggar atau mengingkari
akan mendapatkan sanksi. Biasanya sanksi bagi pihak yang melanggar harus
mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua kali lipat. Jika
tanda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka yang harus dikembalikan sebanyak
8 emas. Begitu juga dengan biaya yang dikeluarkan harus dikembali sebanyak 2
kali lipat dari biaya semulanya. Di sinilah peran ninik mamak lebih terlihat, dalam
perkawinan ini.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak
harus menjaga nama baik masing-masing dan memenuhi ketentuan dalam masa
pertunangan. Adanya pertunangan menunjukan suatu perkawinan sudah pasti akan
dilaksanakan, kecuali jika ada keadaan yang tidak diduga sebelumnya seperti sakit
atau meninggal. Selesai acara pertukaran tanda ini dikuti oleh masa menunggu
untuk mempersiapkan pelaksanaan pernikahan nantinya. Lamanya masa
pertunangan ini tidak sama bagi setiap calon pengantin dan biasanya berkisar dari
satu sampai enam bulan. Hal ini tergantung pada kesepakatan dan persiapan dari
kedua belah pihak.
4.5.3. Akad Nikah
Pernikahan adalah pengucapan ijab kabul. Pada saat itu secara resmi
sepasang manusia telah melepaskan masa lajangnya dan menyandang status baru
sebagai suami dan isteri. Adanya pernikahan itu berarti keduanya telah memenuhi
nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, untuk hidup bersama dalam satu rumah
82
tangga. Pengesahan hubungan itu disebut dengan akad nikah. Akad nikah
merupakan akad wajib pernikahan bagi orang Islam yang disertai dengan
kewajiban mempelai laki-laki memberikan mahar kepada mempelai perempuan.
Dalam tradisi bajapuik, sebelum terjadi penikahan keluarga pihak
perempuan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi agar pernikahan dapat
berlangsung. Kewajiban itu adalah berupa uang jemputan dan uang hilang, dilain
pihak marapulai juga mempunyai kewajiban pula untuk memberi mahar. Dengan
demikian pada saat pernikahan, kewajiban tidak hanya di pikul oleh marapulai
(calon mempelai laki-laki) tetapi juga oleh keluarga pihak perempuan, karena
dalam pelaksanaan perkawinan itu sendiri tidak hanya bertitik tolak pada agama
yang diyakini, tetapi juga mengikut sertakan adat-istiadat. Kewajiban memberi
mahar merupakan kewajiban harus dilakukan menurut ketentuan agama Islam
yang dianut oleh orang Minangkabau pada umumnya, sedangkan uang jemputan,
uang hilang dan uang tungkatan merupakan kewajiban adat khususnya adat
perkawinan Pariaman. Keduanya berjalan secara berdampingan dan tidak saling
meniadakan satu sama lainnya. Dengan demikian antara kedua belah pihak
mempunyai kewajiban masing-masing dalam pelaksanaan perkawinan. Perbedaan
di antara keduanya terletak pada waktu penyerahannya—uang jemputan dan uang
hilang diberikan sebelum pernikahan, sedangkan mahar diberikan pada saat
pernikahan dilangsungkan.
Kewajiban yang dilaksanakan oleh masing-masing pihak pada saat
pernikahan sekaligus memberikan gambaran bahwa kedua belah pihak pro aktif
ditahap ini. Disatu sisi calon mempelai laki-laki memberi mahar kepada calon
mempelai perempuan dan di satu sisi pihak perempuan memberi uang jemputan,
uang hilang sebelum pernikahan.
4.5.4. Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan merupakan hari luapan kegembiraan dari kedua keluarga
mempelai. Dengan mengadakan baralek gadang atau pesta sehari penuh berguna
untuk memberi tahu kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi perkawinan antara
dua jenis anak manusia. Pada hari itu kedua mempelai (anak daro dan marapulai)
83
(penganten wanita) di dandani seindah mungkin secara adat. Upacara perkawinan
itulah yang disebut dengan baralek atau pesta
Pelaksanaan pesta dapat dilakukan di rumah kedua belah pihak. Tetapi di
antara keduanya mempunyai perbedaan; pertama, pelaksanaan pesta di rumah
mempelai perempuan disebut dengan pesta ninik mamak, karena pesta yang
diadakan adalah atas nama pesta ninik-mamak. Pesta ninik-mamak dimulai dengan
persiapan duduk ninik-mamak. Sebaliknya di rumah keluarga mempelai laki-laki
tidak disebut dengan pesta atau baralek, karena upacara yang diadakan di rumah
laki-laki tidak didahului dengan persiapan duduk ninik-mamak, meskipun orang
yang datang pada pesta melebihi dari rumah mempelai perempuan. Kedua, tujuan
pesta perkawinan itu sendiri bagi pihak perempuan adalah untuk penggalangan
dana, baik dari undangan maupun dari sumbangan dari anggota keluarga sendiri
pada malam baretong. Sementara bagi laki-laki, diadakan pesta pernikahan
bertujuan untuk pemberitahuan kepada masyarakat dan ingin untuk merasakan
keramaian terutama bagi keluarga yang tidak punya anak perempuan. Namun saat
ini pesta yang diadakan oleh keluarga kedua belah pihak, baik di rumah keluarga
perempuan dan keluarga laki-laki hampir tidak ada perbedaan dan bertujuan
sebagai sarana tempat bertemunya anggota keluarga selain hari lebaran.
Kemudian waktu penyelenggaraan pesta, biasa pihak perempuan lebih dahulu dari
pihak laki-laki. Tetapi adakalanya kedua belah pihak keluarga menyelenggarakan
pada hari yang sama—setengah hari di rumah mempelai perempuan dan setengah
hari di rumah mempelai laki-laki.
Sebelum pesta dilaksanakan di awali dengan batagak pondok. Pendirian
pondok ini dilakukan 3-4 hari sebelum pesta berlangsung. Pondok yang akan
didirikan ada 2 macam yaitu pondok untuk tempat memasak bagi ibu-ibu dan
pondok untuk tempat duduk para undangan. Untuk pendirian pondok dilakukan
secara gotong royong, oleh anggota keluarga dan masyarakat setempat, seperti
mamak, saudara kandung, atau kerabat yang terdekat dan ditambah dengan
pemuda-pemuda yang ada disekitarnya. Semuannya berpartisipasi dan mengambil
bagiannya masing-masing baik laki-laki maupun perempuan.
Intinya, pada pelaksanaan pesta perkawinan ini keterlibatan anggota
keluarga sangat diperlukan, baik moril dan materil, mulai dari persiapan sampai
84
pelaksanaan pesta dan setelah pesta (malam baretong). Bahkan keterlibatan
anggota keluarga/kerabat itu berlangsung pula dalam proses perkawinan itu
sendiri agar perkawinan itu dapat berjalan dengan baik seperti dalam proses
manjapuik marapulai dan acara bako-ba bakian.
Pada proses manjapuik marapulai diawali dengan utusan yang datang ke
rumah pihak laki-laki. Salah seorang dari utusan itu adalah orang yang pandai
berbicara dengan pepatah-petitihnya, karena marapulai tidak dapat dilepas begitu
saja dan sebelumnya terjadi “perdebatan” diantara kedua palo mudo atau ketua
marapulai. Oleh karena itu kepiawaian seseorang dalam menggunakan pepatahpetitih diperlukan pada kesempatan ini. Jika utusan mempelai perempuan kalah
piawai maka penjemputan marapulai menjadi lama.
Untuk penjemputan marapulai, tiap-tiap nagari mempunyai kebiasaan
masing-masing. Ada yang melakukan dan ada yang tidak seperti dikenagarian
Pilubang, marapulai pulang dengan sendirinya, dengan catatan didampingi oleh
dua orang pemuda sebagai teman dijalan dan tidak ada persyaratan adat lainnya.
Tetapi adapula nagari yang melaksanakan manjapuik marapulai seperti di daerah
Lubuk Alung. Marapulai (mempelai laki-laki) dapat pulang ke rumah isterinya
apabila dijemput oleh pihak perempuan dengan mengutus 2 orang perempuan
yang umurnya relatif muda dan telah menikah (sumandan), dan ditambah dengan
seorang atau lebih laki-laki yang pandai berbicara dengan berpatah-petitih. Jika
tidak penjemputan marapulai akan memakan waktu yang lama dan adakalanya
marapulai tidak bisa dibawa.
Setelah perdebatan selesai, rombongan itu menyerakan persyaratan
penjemputan marapulai. Persyaratan itu berupa carano yang berisi sirih yang
jumlahnya 9 lembar, gambia, dan pinang. Selain itu, juga membawa makanan
berupa songgeng ayam 2 ekor dan nasi kunyit 2 piring. Kedua macam makanan
itu diserahkan kepada ketua pemuda atau palo mudo orang yang menanti. Lalu,
kedua makanan tersebut dicicipinya. Begitu juga dengan sirih yang dibawa
tersebut dibuka dan dihitung jumlahnya atau dengan istilahnya dimasak. Pada
waktu pelepasan marapulai, terlebih dahulu sumandan mengemukakan tentang
maksud kedatangannya. Bila tidak dilakukan marapulai tidak akan dilepas oleh
85
pihak laki-laki. Kemudian pada waktu keluar dari rumah orang tua, marapulai
dilepas pula dengan bunyi gong, dentuman pistol sebanyak tiga kali.
Kemudian dalam proses bako-ba-bakian-- pihak ayah (bako) datang secara
resmi. Mereka datang berombongan sekaligus memberikan ucapan selamat
kepada anak pisangnya dan membawa berbagai macam bingkisan. Oleh sebab itu
mereka disambut secara resmi pula. Mereka dihidangkan dengan makanan yang
lengkap dan dihidangkan secara bajamba—semua makanan dihidangkan diatas
seprah makan dan para bako duduk diatas tikar yang telah disediakan. Acara ba
bako- ba bakian ini pelaksanaannnya mengikuti kebiasaan pada nagari setempat.
4.5.5. Manjalang
Manjalang adalah mempelai perempuan pergi secara resmi ke rumah
mertua untuk pertama kali setelah pesta perkawinan dilakukan. Acara ini bisa
dilaksanakan pada hari yang sama, atau satu sampai tiga hari setelah pesta
diselenggarakan dan tergantung pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Pada
saat ini mempelai perempuan, pergi bersama rombongan yang terdiri dari ;
sumandan, kerabat dan tetangga terdekat.
Rombongan ini pergi ke rumah orang tua mempelai laki-laki dapat dengan
berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan, tergantung pada jauh
dekatnya jarak yang ditempuh. Jika jarak yang ditempuh relatif dekat, rombongan
pergi dengan berjalan kaki sambil diiringi musik gambus sampai ketempat yang
dituju. Sebaliknya, jika jarak tempuh cukup jauh digunakan kendaraan atau bus
sekaligus, bila yang menyertai mempelai cukup banyak.
Untuk pergi manjalang rombongan dilengkapi dengan buah tangan seperti;
kue, juadah4 dan sambal. Setelah sampai di rumah mempelai laki-laki, anak daro
didudukan di pelaminan. Kerabat, tetangga dari pihak laki-laki berdatangan dan
membawa bingkisan pula. Kerabat yang terdekat dari pihak laki-laki,
pemberiannya kepada anak daro dalam bentuk emas dan yang lainnya berupa
benda-benda kebutuhan rumah tangga seperti piring, panci, gelas, kain sarung dan
sebagainya. Pemberian dalam bentuk emas berkisar antara ½ - 5 emas dan
4
Semacam kue yang terbuatdari tepung beras dan juadah ini juga dilengkapi dengan bentuk makan
ringan lainnya. Bahan-bahannya juga berasal dari ketan, tepung ketan, gula merah, kelapa dan
sebagainya.
86
tegantung pada jumlah uang japuik (uang hilang). Jumlah yang paling besar
datang dari orang tua mempelai laki-laki, karena orang tua dari mempelai laki-laki
selain mengembalikan uang uang jemputan yang diterimanya pada saat
menjemput mempelai laki-laki pada saat akan menikah, juga mempunyai
kewajiban pula untuk menambah uang jemputan itu, sehingga pengembalian uang
jemputan menjadi besar.
Semua pemberian yang berasal dari orang tua, dan kerabat dari pihak lakilaki untuk anak daro (mempelai perempuan), disebut dengan paragiah jalang.
Jadi paragiah jalang adalah pemberian dari keluarga pihak laki-laki untuk
mempelai perempuan pada saat menjalang dan dapat digunakan sebagai modal
untuk menjalan rumah tangga baru nantinya.
4.5.6. Baretong
Malam baretong adalah malam pada saat menghitung jumlah biaya yang
dikeluarkan dan jumlah uang yang diterima dalam pelaksanaan perkawinan.
Malam baretong disebut juga dengan malam penutupan pesta dan pencarian dana.
Pada itu dihadiri oleh sanak-famili, ninik mamak dan pemuka masyarakat yang
datang dan berkumpul di rumah mempelai perempuan. Selain itu juga diikuti oleh
para undangan laki-laki yang bermukim dekat dengan lokasi pesta yang belum
sempat datang pada siang hari. Mereka datang memberikan amplop (panggilan)
dan duduk bersama pada saat itu. Mereka pada umumnya laki-laki duduk bersela
diatas tikar yang telah disediakan. Pada saat itu seluruh biaya yang dikeluarkan
dalam pelaksanaan perkawinan dihitung, mulai dari biaya duduk ninik mamak,
uang japuik dan biaya kebutuhan dapur.
Proses malam baretong di mulai dengan mengumpulkan seluruh amplop
dan bingkisan yang diberikan oleh para undangan. Untuk bingkisan biasanya
diperkirakan nilai barangnya, agar penghitungan lebih mudah dilakukan. Ninik
mamak yang memimpin malam baretong akan menyebutkan secara resmi jumlah
uang yang diperoleh dan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan
perkawinan itu. Berawal dari sini, mulai anggota keluarga dan kerabat lain serta
undangan berpartisipasi memberikan bantuannya. Setiap aktor yang memberi
bantuan akan disebutkan nama/kedudukan dalam keluarga itu dan jumlah bantuan
yang diberikan oleh ninik mamak yang memimpin malam baretong. Setelah
87
selesai dan tidak ada lagi bantuan yang diterima, maka ninik mamak akan
menjumlahkan uang-uang itu dan mengumumkan secara resmi jumlah yang
didapat dari pelaksanaan perkawinan. Biasanya dengan adanya malam baretong
itu, semua pokok alek akan tertutupi dan bahkan uang yang diperoleh melebihi
dari jumlah modal awalnya. Berakhirnya proses malam baretong, maka proses
pelaksanaan tradisi bajapuik juga selesai samapai disini.
BAB V
NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK
PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK
5.1.Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik
Tradisi bajapuik merupakan sub sistem dari sistem perkawinan masyarakat
sejak dulu sampai sekarang diwilayah Pariaman dan sekitarnya. Ciri spesifik yang
melekat dalam tradisi bajapuik adalah laki-laki dijemput dengan sejumlah uang
atau benda dalam pelaksanaan perkawinan dengan melibatkan dua pihak keluarga.
Artinya pihak keluarga perempuan memberi dan pihak keluarga laki-laki
menerima uang japuik.
Nilai pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah nilai yang mendasari
terjadinya tradisi bajapuik. Dalam pandangan orang Pariaman dorongan memberi
uang japuik dalam tradisi bajapuik dilakukan untuk mendapatkan jodoh bagi
anak perempuannya, seperti dijelaskan oleh informan TM (66 tahun) berikut ini:
Dalam masyarakat Pariaman laki-laki yang dipinang, sedangkan di
daerah lain laki-laki yang meminang. Pariaman ini kuat adatnya dan
yang dilakukan itu memang ada hikmahnya, makanya perempuan
meminang laki-laki, agar supaya nampak baiknya. Baiknya tradisi
bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan,
sehingga yang buta, lumpuh dan tuli ada jodohnya.
Fakta tersebut menjelaskan bahwa yang mendorong pihak keluarga perempuan
untuk melaksanakan tradisi bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak
perempuan. Hal ini mendukung proposisi bahwa semakin tinggi nilai suatu
tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu. Selain itu
dorongan pihak keluarga perempuan melakukan tradisi bajapuik lebih didasarkan
atas nilai-nilai budaya (orientasi nilai budaya) adat Minangkabau.
Dalam konteks adat Minangkabau, dorongan pihak keluarga perempuan
melakukan tradisi bajapuik karena adanya nilai adat yang mengatakan, gadih
gadang alun balaki merupakan malu keluarga dan kaum”. Artinya gadis dewasa
yang telah cukup umur yang belum bersuami dapat mengakibatkan malu keluarga
dan kaum. Begitu juga dengan penggunaan harta pusaka di perbolehkan untuk itu,
asalkan jodoh untuk anak perempuan didapatkan. Berdasarkan nilai adat itu, maka
89
orang Pariaman menerjemahkan dengan pemberian uang japuik untuk
mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak perempuan.
Lebih jauh dalam adat dikatakan, sebuah keluarga akan punah, bila tidak
mempunyai keturunan terutama anak perempuan, sedangkan keturunan adalah
untuk mewarisi harta pusaka. Oleh sebab itu, adanya tradisi bajapuik terkait
dengan sistem matrilineal, seperti yang dijelaskan oleh informan Bgd L (80 tahun)
Munculnya tradisi bajapuik disebabkan oleh orang Minangkabau berguru
ke alam—seluruh yang beranak apapun /siapapun, baik hewan ataupun
manusia dekat kepada ibunya dan tidak kepada ayahnya, Mengapa
demikian? Di Minangkabau ada yang dinamakan dengan pusaka. Pusaka
ini adalah milik kolektif dan tidak dapat dijual. Pusaka tinggi ini tidak
satupun orang yang punya—itu adalah milik paruik, kaum, suku dan
nagari atau disebut dengan tanah ulayat yang kepemilikannya jatuh
ketangan kaum perempuan, sedangkan laki-laki tidak berhak atas tanah
pusaka, meskipun sawah, ladang itu dibawah kekuasaan/pengawasannya.
Fakta tersebut menjelaskan bahwa kaum perempuan yang mempunyai harta
pusaka. Maka dari itu pada awal tradisi bajapuik tidak mempertimbangkan
pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki. Yang penting berasal
dari keturunan yang jelas. Bagi pihak keluarga perempuan pertimbangan
menerima seorang menantu adalah laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan)
karena dianggap mempunyai bibit, bebet dan bobot. Sementara itu untuk
kebutuhan hidup sehari-hari diperoleh melalui harta pusaka yang dimiliki oleh
pihak keluarga perempuan.
Kemudian seiring dengan pertumbuhan penduduk, dan menyempitnya
lahan yang dimiliki, maka pertimbangan itu beralih kepada status sosial ekonomi,
seperti yang terlihat dalam tabel 15 berikut ini:
Tabel 15. Laki-laki yang di Jemput Menurut Responden Dalam Tradisi Bajapuik
Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Laki-laki Bergelar
Keturunan
Ya
Tidak
Total
0
(0,0)
360
(100)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Laki-laki Punya
Pendidikan
309
(85,8)
51
(14,2)
360
(100)
Status Sosial Ekonomi
Laki-laki Punya
Pekerjaan
353
(98,1)
7
(1,9)
360
(100)
Laki-laki Punya
Pendapatan
356
(98,1)
4
(1,1)
360
(100)
90
Tabel 15 di atas menunjukan laki-laki yang dijemput dalam tradisi bajapuik
adalah mereka yang mempunyai pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Status
sosial ekonomi (prestasi) menempati posisi dominan dalam pemilihan menantu
saat ini. Laki-laki yang mempunyai gelar keturunan/kebangsawanan tidak lagi
mendapat perhatian masyarakat.
Meskipun dasar pertukaran telah berubah dari gelar kebangsawanan
(keturunan) menjadi status sosial ekonomi (achievement status), namun perilaku
bagi pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami
untuk anak perempuannya tidak mengalami perubahan. Kasus keluarga Z (54
tahun) menggambarkan hal itu:
Bapak Z, mempunyai dua orang anak terdiri 1 orang laki-laki dan 1
orang perempuan. Anak yang pertama perempuan dan yang kedua lakilaki. Ketika anak perempuan akan menikah bapak Z mau memberi uang
sebesar 15 juta kepada pihak keluarga laki-laki. Pertimbangannya dari
pada anak tidak mendapat suami biarlah merugi sedikit dan beban kita
sebagai orang tua sudah lepas.
Hal ini menjelaskan bahwa pertukaran yang berlangsung mengarah kepada nilai
adat dan sesuai dengan kepentingan individu dari pihak keluarga perempuan.
Karena dalam pencarian jodoh menjadi tanggungjawab orang tua dan mamak,
seperti yang dijelaskan oleh informan TM (66 tahun):
Anak perempuan, sewaktu kecil merintang ibu dan ayah, dan ketika
sudah besar merintang mamak. Walaupun kini lebih banyak orang tua
yang terlibat mencarikan jodoh untuk anaknya, tetapi dalam kasus-kasus
tertentu mamak juga turut serta.
Dengan demikian alasan nilai budaya, lebih mendominasi munculnya tradisi
bajapuik. Mengacu kepada Homans, adanya reward dan punishment yang
diterima mendorong aktor melakukan tradisi bajapuik.
5.2. Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi
Bajapuik
Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat
(Soekanto, 1982). Status sosial menempatkan seseorang pada posisi tertentu—
91
apakah di atas atau dibawah, karena status sosial mengandung berbagai macam
penilaian-penilaian terhadap seorang individu dalam masyarakat.
Dalam tradisi bajapuik, status sosial menjadi pertimbangan mencari atau
menerima seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu. Selanjutnya melalui
status sosial pula, pertimbangan tinggi-rendahnya uang japuik yang harus
diberikan oleh keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Sub
bab berikut ini akan menjelaskan status sosial yang menjadi pertimbangan dalam
perjalanan tradisi bajapuik dalam masyarakat dari dulu hingga sampai saat ini.
5.2.1. Gelar Kebangsawan Sebagai Dasar Pertukaran Dalam Tradisi
Bajapuik Pada Awalnya
Bangsawan menurut Poerwadarminta (1976), berarti keturunan orang
mulia, berasal dari keturunan raja dan kerabatnya yang memiliki hak istimewa
dalam kehidupan dan diwarisi secara turun-temurun. Bagi masyarakat Pariaman,
khususnya dalam tradisi bajapuik, gelar kebangsawanan adalah gelar keturunan
yang diwarisi dari ayah kepada anak laki-laki. Gelar keturunan ini mengandung
makna laki-laki yang akan diterima sebagai menantu mempunyai keturunan yang
jelas—anak siapa dan bagaimana latar belakang keturunannya.
Gelar keturunan yang dimaksudkan adalah sidi, bagindo dan sutan. Ketiga
gelar ini mempunyai asal-usul kata yang berbeda. Gelar sidi berasal dari Syaidina:
yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo
berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan
gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin. Munculnya
gelar sutan sebagai salah satu gelar keturunan dalam tradisi bajapuik juga tidak
terlepas dari pengaruh Islam. Bahkan dalam sejarah disebutkan gelar sutan itu
berasal dari sebutan seorang raja dari Aceh 1 yang besar pengaruhnya dalam
mengembangkan agama Islam di Pariaman. Meskipun mempunyai asal-usul kata
yang berbeda, namun ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu pemimpin.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam ketiga gelar keturunan itu,
ternyata pengaruh Islam tertanam kuat di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan
1
Raja itu bernama Sultan Zulkarnaen, yakni seorang raja yang sangat berambisi sekali dalam
mengembangkan agama Islam. Sehingga pada zamannya itu, Islam berkembang di sepanjang
pesisir Sumatera. Untuk wilayah Sumatera Barat Islam masuk mulai dari Pariaman dan setelah itu
baru menyebar ke wilayah Minangkabau lainnya.
92
pada saat itu, laki-laki yang bergelar sidi, diyakini sebagai orang yang mempunyai
pengetahuan lebih tentang agama Islam dan menjadi perioritas utama diterima
sebagai menantu. Kondisi ini menurut Weber dalam Giddens (2002) terdapat
dalam masyarakat tradisional di mana status sosial sering ditentukan oleh oleh
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan itu dapat berubah sesuai dengan
perkembangan waktu.
Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang
diterima sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu
tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat
perioritas utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga
perempuan mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang
baik (Hamka, 1982). Oleh sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul
yang jelas. Sementara itu untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh
keluarganya (dari harta pusaka). Dengan demikian pertimbangan menerima lakilaki--laki yang bergelar adalah agar mendapatkan keturunan yang baik.
Kemudian sesuai dengan perkembangan masyarakat gelar keturunan
(bangsawan) tidak memungkinkan diterapkan lagi, seperti dijelaskan oleh
informan B (73 tahun):
Itu merupakan sesuatu yang logis saja terjadi dalam masyarakat.
Masyarakat tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya
mengandalkan gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan
yang akan digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan.
Tetapi sekarang semuanya itu berubah, seiring dengan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat.
Fakta di atas menjelaskan, bahwa gelar keturunan tidak mungkin lagi menjadi
pertimbangan bagi pihak keluarga perempuan menerima seorang laki-laki menjadi
menantu. Sekarang yang berbekas bagi gelar keturunan hanya sebagai sebutan
penghargaan kepada seorang menatu (sumando), yang diwariskan setelah
pernikahan berlangsung. Perilaku yang demikian sesuai pula dengan nilai adat
yang mengatakan “ketek banamo, gadang bagala”. Artinya waktu kecil diberi
nama dan setelah besar diberi gelar dan diwarisi ke pada anak laki-laki setelah
menikah. Sebutan gelar keturunan sebagai penghormatan hanya diberlakukan
93
kepada pihak keluarga perempuan dan yang usianya lebih besar dari isterinya 2,
seperti; ibu, ayah, mamak, apak, mintuo, etek, kakak (perempuan dan laki-laki),
kakek, dan nenek. Bahkan dalam prakteknya, ada kecenderungan gelar keturunan
tidak lagi menjadi sebutan kepada seorang menantu atau sumando. Kondisi ini
terutama terjadi apabila: 1) Kedua calon telah saling mengenal sebelum
pernikahan berlangsung (berpacaran), sehingga di antara keduanya telah
dikenalkan kepada keluarga masing-masing. Frekuensi kedatangan calon
mempelai laki-laki yang relatif sering ke rumah calon mempelai perempuan,
sehingga anggota keluarga dari pihak keluarga perempuan menjadi terbiasa
dengan sebutan nama aslinya 3. Bagi pihak keluarga perempuan menjadi sulit
untuk merubahnya dengan sebutan gelar keturunan. 2) Kedekatan kedua calon
pengantin dengan keluarga pihak keluarga perempuan membawa implikasi kepada
calon pengantin laki-laki. Calon pengantin laki-laki menjadi risih dipanggil
dengan sebutan gelar keturunannya dan lebih menyukai dengan sebutan nama
aslinya. 3) Kedua keluarga calon pengantin berdomisili di luar daerah Pariaman,
meskipun keduanya berasal dari daerah yang sama. 4) Salah satu, terutama pihak
keluarga perempuan berasal dari luar Pariaman dan berdomisili di luar Pariaman.
Sebutan dengan nama kecil tidak mengurangi rasa penghargaan kepadanya, itu
yang menjadi alasannya. Namun sebaliknya bagi masyarakat yang menetap di
daerah asal yang melingkupi budaya bajapuik, orang luar dari Pariamanpun akan
tetap disebut dengan gelar kebangsawanan tersebut.
5.2.2. Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Saat
Ini Dalam Tradisi Bajapuik
Prestasi adalah sesuatu yang diraih melalui usaha individu, termasuk
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh oleh seseorang atau yang
disebut dengan status sosial ekonomi. Secara umum prestasi yang diraih oleh
seseorang akan berimplementasi kepada kehidupan seseorang yang akan
dijalankannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu prestasi dipandang sebagai
sesuatu yang berharga dan menempati posisi yang lebih tinggi dalam suatu
masyarakat, terutama dalam tradisi bajapuik.
2
3
Artinya dari seorang laki-laki yang melakukan pernikahan.
Artinya nama pemberian orang tua semenjak lahir.
94
Sebagaimana telah disinggung juga sebelumnya, ternyata masyarakat telah
mempunyai beberapa pilihan dan akan menetapkan salah satu di antaranya yang
dianggap memiliki nilai yang menguntungkan baginya. Pilihan itu lebih mengarah
kepada prestasi yang dimiliki oleh seorang laki-laki yakni berupa pekerjaan yang
tetap dari pada gelar keturunan. Adapun pekerjaan yang menempati posisi
tertinggi dalam masyarakat adalah yang mempunyai SK seperti; Pegawai Negeri
Sipil (PNS), BUMN, TNI/Polri. Kemudian diikuti oleh pekerjaan lain, seperti
swasta dan sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan inilah dipandang masyarakat
dapat menghasilkan uang dan dapat menggerakan kehidupan rumah tangga yang
akan di bangun. Kondisi yang demikian pada hakekatnya sesuai dengan
persyaratan perkawinan dalam adat Minangkabau yang dijelaskan oleh Sukmasari
(1983), di mana calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Bagi pihak keluarga laki-laki, pekerjaan yang dimiliki oleh anak lakilakinya mempunyai nilai tawar yang tinggi dalam masyarakat begitu juga
sebaliknya. Pekerjaan dengan status/posisi yang tinggi, uang japuiknya akan
tinggi pula. Semakin tinggi status sosial ekonomi laki-laki maka semakin tinggi
pula uang hilang-nya 4 (lihat tabel 24). Dengan demikian tinggi rendahnya uang
japuik merefleksikan tinggi-rendahnya status sosial seorang laki-laki, sekaligus
berimplikasi kepada tinggi-rendahnya jumlah uang japuik. Dengan mengikuti
terminologi Marx sebagaimana yang dikutip Smelser (1973); Giddens, 2002),
faktor ekonomi menempati seseorang pada lapisan tertentu dalam masyarakat.
Adanya perubahan dasar pertukaran dalam tradisi bajapuik dari gelar
keturunan kepada prestasi (status sosial ekonomi) yang diwujudkan dalam bentuk
pekerjaan dan pendapatan merupakan suatu yang logis yang dapat diterima dalam
kehidupan masyarakat saat ini. Kondisi ini mendukung proposisi rasionalitas dari
Homans di mana seseorang akan memilih satu di antaranya yang dia anggap saat
ini memiliki nilai (v) untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.
4
Sebutan untuk uang hilang sering pula disamakan dengan uang jemputan. Kedua bentuk
pertukaran ini pada hakikatnya mempunyai makna dan tujuan yang berbeda. Penyamaan kedua
bentuk uang itu kecenderungan terdapat di daerah perkotaan. Sementara untuk daerah yang berada
pada kawasan pedesaan kedua konsep tersebut berbeda dan mempunyai makna dan tujuan masingmasing.
95
5.3. Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik
Bentuk-bentuk pertukaran diartinya sama dengan macam-macam uang
yang terdapat dalam tradisi bajapuik dan menjadi kewajiban bagi pihak keluarga
perempuan. Adanya macam-macam uang itu merupakan sebagai implikasi dari
perubahan yang terjadi pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada prestasi
(achievement status). Adapun macam-macam uang itu antara lain; uang jemputan,
uang hilang, uang selo dan uang tungkatan.
5.3.1. Uang Jemputan
Secara konseptual uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak
perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam pelaksanaan
perkawinan dan dikembalikan lagi kepada pihak perempuan melalui mempelai
perempuan (anak daro) pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kalinya
(manjalang). Uang jemputan merupakan bentuk uang yang pertama kali muncul
dalam tradisi bajapuik, seperti penuturan informan B (73 tahun), TM (66 tahun),
IM (80 tahun), pada awalnya uang yang ada dalam perkawinan di Pariaman
adalah uang jemputan dan tidak ada uang-uang lainnya. Setelah itu diikuti dengan
bentuk-bentuk lain seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan.
Uang jemputan pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis.
Dalam perjalanan tradisi bajapuik, uang jemputan terus mengalami perubahan
mulai dari model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud
uang jemputan yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya
berupa rupiah dan ringgit emas 5. Karena model itu sudah ketinggal zaman,
sehingga tidak diminati masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan
kalung emas. Jumlah uang jemputan dalam wujud emas ini berkisar antara 2
hingga 20 emas tergantung kepada kesepakatan dan kemampuan dari pihak
perempuan.
Kemudian pada dekade terakhir ini wujud uang jemputan tidak hanya
berbentuk emas, tetapi juga dalam bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda
5
1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas
berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas.
96
dua ataupun roda empat, hingga dibuatkan sebuah rumah. Meskipun telah terjadi
perubahan wujud uang jemputan menjadi bentuk lain,
namun wujud yang
pertama tetap ada dan masih diminati oleh masyarakat. Kondisi ini dalam
perspektif evolusionisme Comte merupakan sebagai bentuk kesempurnaan
masyarakat (Etzioni, 1973). Berikut gambaran mengenai wujud uang jemputan
yang terdapat di dalam masyarakat.
Tabel 16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai
Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
Uang
Emas
Benda
Lain
Total
Generasi Muda
Laki-laki Perempuan
22
(36,7)
26
(43,3)
12
(20,0)
60
(100)
18
(30,0)
29
(48,3)
13
(21,7)
60
(100)
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
15
25,0
38
(63,3)
7
(11,7)
60
(100)
17
(28,3)
40
(66,7)
3
(5,0)
60
(100)
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
8
(13,3)
43
(71,7)
9
(15,0)
60
(100)
6
(10,0)
44
(73,3)
10
(16,7)
60
(100)
Total
86
(23,9)
220
(61,1)
54
(15,0)
360
(100)
Sumber: Data Primer 2008
Tabel 16 menunjukkan adanya variasi mengenai konsepsi uang jemputan, yakni
berwujud uang, emas dan benda lain. Ada sebanyak 76,1 persen yang mengatakan
wujud uang jemputan berupa benda ekonomis, yang masing-masing terdiri dari
61,1 persen yang berwujud emas, dan benda lainnya 15,0 persen. Kemudian 23,9
persen yang mengatakan wujud uang jemputan berupa uang. Pada umumnya
mereka berasal generasi muda dan generasi sedang (pelaku) yang jumlahnya
mencapai 20,0 persen dan bermukim di daerah perkotaan. Sacara spesifik antara
jenis kelamin tidak terdapat perbedaan yang signifikan yakni 10,3 dan 9,7 persen
mengenai wujud uang pada uang jemputan.
Terdapatnya bermacam-macam wujud uang jemputan dalam tradisi
bajapuik, ternyata memberikan makna yang berbeda terhadap uang jemputan.
Uang jemputan yang berwujud uang mempunyai makna yang sama dengan uang
hilang dan kecenderungannya terdapat di daerah Pariaman Tengah. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan daerah setempat yang kurang memakai konsep uang
jemputan dalam arti yang sesungguhnya. Di Pariaman Tengah konsep uang
jemputan lebih diartikan sebagai uang hilang. Pendapat mengenai uang jemputan
sama dengan uang hilang seperti di tuturkan oleh informan SM (72 tahun) dan
AG (51 tahun), di mana di kota di Pariaman uang hilang disebut juga dengan
97
uang jemputan. Artinya istilah uang jemputan tetap ada, tetapi maknanya berbeda
sehingga uang jemputan dengan wujud emas relatif tidak ada. Berbeda dengan
uang jemputan dalam bentuk benda lain di kedua daerah relatif ada. Bagi
responden yang menerima uang jemputan dalam wujud benda lain, maka uang
hilang dalam pelaksanan perkawinannya disebut dengan bantuan uang dapur atau
uang juluk. Sementara itu di Kecamatan Sungai Limau, antara uang jemputan dan
uang hilang mempunyai makna yang berbeda. Jadi kedua bentuk pertukaran itu
tetap ada dalam pelaksanaan perkawinan.
Bagi pihak laki-laki, uang jemputan berwujud emas, akan dikembali lagi
kepada pihak keluarga perempuan melalui mempelai perempuan (anak daro).
Tepatnya ketika anak daro pergi berkunjung (manjalang) ke rumah orang tua
mempelai laki-laki. Pengembalian uang jemputan ditujukan kepada anak daro dan
wujudnya tidak hanya berwujud emas 6, tetapi ditambah dengan benda-benda lain
seperti; kain sarung, alas kasur, dan perabotan rumah tangga. Ada kecenderungan
pengembalian uang japuik yang relatif besar dilakukan oleh pihak keluarga lakilaki yang mempunyai kemampuan ekonomi relatif mampu dengan uang hilang
mempelai laki-laki relatif besar pula. Karena dibalik pengembalian uang jemputan
relatif besar merefleksikan; status sosial ekonomi mempelai laki-laki dan
keluarganya. Menurut Mauss (1992), pemberian mengandung kehormatan dari
sipemberi dan penerima dan di dalamnya akan terlihat tukar-menukar yang saling
mengimbangi di antara keduanya karena yang dipertukarkan sebagai prestasi
(prestation) yaitu nilai menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan dan bukan nilai harfiah dari pemberian itu.
Uang jemputan dalam bentuk benda lain tidak dikembalikan kepada pihak
perempuan melalui anak daro. Tetapi menjadi hak milik mempelai laki-laki
(marapulai) atau orang tuanya, tergantung jenis benda dan kepada siapa uang
jemputan itu di tujukan oleh pihak keluarga perempuan. Akan tetapi uang
jemputan berwujud kendaraan, baik roda dua atau roda empat biasanya di tujukan
kepada calon mempelai laki-laki dan dipergunakan secara bersama dengan
mempelai perempuan (dalam rumah tangga barunya). Uang jemputan dalam
6
Emas yang dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki tidak hanya sejumlah uang japuik semula,
tetapi ditambah lagi oleh orang tua, kakak dan mamak. Kisaran penambahan uang japuik antara 2
sampai 5 emas.
98
bentuk kendaraan ini, biasa calon mempelai laki-laki belum/tidak memiliki
kendaraan, sehingga kendaraan yang diberikan sebagai uang jemputan menjadi
hak miliki mempelai laki-laki.
Begitu juga dengan uang jemputan berwujud rumah, tergantung kepada
siapa rumah itu di tujukan. Uang jemputan berwujud rumah ini ada pula dua
tujuan; yakni kepada mempelai laki-laki atau kepada orang tuanya. Jika uang
jemputan ditujukan kepada mempelai laki-laki, maka rumah itu menjadi hak
miliknya dan digunakan secara bersama dengan mempelai perempuan dalam
menjalankan rumah tangga barunya. Bila uang jemputan berwujud rumah
ditujukan kepada orang tua mempelai laki-laki, maka hak milik dan
penggunaannya diberikan kepada orang tuanya. Uang jemputan yang ditujukan
kepada orang tua mempelai laki-laki, biasa berasal kalangan ekonomi lemah,
tetapi mempelai laki-laki mempunyai status sosial ekonomi/posisi pekerjaan yang
tinggi dalam masyarakat.
Jika uang jemputan berwujud benda lain maka uang hilang yang diberikan
oleh pihak keluarga perempuan jumlahnya relatif sedikit dan fungsinya hanya
sebagai bantuan saja kepada pihak keluarga laki-laki. Berbeda dengan wujud uang
jemputan berbentuk emas, uang hilang yang diberikan oleh pihak keluarga
perempuan ditentukan berdasarkan status pekerjaan dan jumlahnya relatif lebih
besar dari uang jemputan. Dengan demikian pemberian uang jemputan yang
berwujud benda lain dapat merupakan simbolisasi status sosial ekonomi calon
mempelai laki-laki. Semakin besar jumlah uang jemputan, mengindikasikan lakilaki yang dijemput mempunyai kedudukan dan prestise yang tinggi pula.
Meskipun demikian, apapun wujud uang jemputan merupakan suatu
bentuk pemberian yang mengandung makna dan tujuan tertentu. Makna yang
terkandung dalam uang jemputan meliput i makna ekstrinsik dan instrinsik. Secara
ektrinsik merupakan simbolisasi dari status sosial ekonomi dari calon pengantin
laki-laki dan status sosial ekonomi dari pihak keluarga perempuan. Secara
intrinsik uang jemputan sebagai bentuk penghormatan kepada calon mempelai
laki-laki yang terkait dengan orang asa. Orang asa yang dimaksudkan disini
adalah orang yang pertama menempati (manaruko) suatu daerah di Minangkabau.
Di dalam falsafah adat Minangkabau disebutkan, “darek berpenghulu, rantau ba
99
rajo” (Mansoer, 1970). Secara eksplisit falsafah ini menggambarkan, bahwa
orang Minangkabau mendiami dua kawasan yang berbeda yakni darek dan
rantau. Sebagai sebutan untuk orang yang mendiami daerah darek adalah
penghulu yang berarti pemimpin 7. Untuk daerah rantau, sebutan untuk
pemimpinnya adalah rajo (raja). Kedua sebutan yang akan diwarisi kepada
keturunannya dan mengisyaratkan orang asa di Minangkabau. Orang asa di
dalam struktur orang Minangkabau menempati posisi di atas, jika dibandingkan
dengan orang datang. Berkaitan dengan perkawinan di Minangkabau, orang asa
inilah yang diutamakan diterima sebagai menantu, karena dipahami oleh
masyarakat sebagai orang yang mempunyai asal-usul yang jelas. Sebagai
penghargaan kepada orang asa ini, di dalam perkawinan di Minangkabau diberi
uang jemputan.
Sementara itu uang jemputan bertujuan sebagai modal bagi kedua
mempelai dalam menjalankan rumahtangga dan dapat digunakan secara bersamasama. Dengan memakai terminologi dari Homans dalam Turner (1998:266);
Ritzer dan Goodmann (2004:364), tindakan seperti ini, dikenal dengan tindakan
yang bernilai (value behavior). Gejala ini menciptakan melanggengkan uang
jemputan dalam tradisi bajapuik.
Uang jemputan dalam tradisi bajapuik ditentukan oleh pihak keluarga
laki-laki, yang dalam hal ini adalah orang tua dan mamak. Pada awalnya uang
japuik lebih dominan ditentukan oleh mamak, kemudian bergeser kepada kedua
orang tua. Tempat tinggal yang berjauhan dengan kemenakan karena mata
pencarian yang diguluti, memaksa mamak tidak banyak ambil bagian dalam
penentuan uang jemputan. Kalaupun ada mamak yang ikut serta dalam penentuan
jumlah uang jemputan berarti mamak bertempat tinggal atau domisili berdekatan
dengan saudara perempuan dan kemenakannya. Adakalanya mamak hanya
menerima keputusan akhir saja dari saudara perempuannya seperti dituturkan oleh
informan M (60 tahun), di mana sewaktu anaknya dipinang, jumlah uang
jemputan ditentukan sendiri. Begitu juga dengan informan A (70 tahun), AM (65
tahun), dan TM (66 tahun), dimana mamak sekarang tidak banyak mengambil
bagian dalam penentuan jumlah uang jemputan untuk kemenakannya dan lebih
7
Seseorang diangkat sebagai pemimpin, berarti orang yang menempati atau menguasai daerah itu
pertama kalinya.
100
banyak diserahkan kepada orang tuanya masing-masing. Sebagai gambaran dapat
dilihat dalam tabel 17.
Tabel 17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai
Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
Orang Tua
Calon
Mempelai
Mamak
Total
Generasi Muda
Laki-laki Pempuan
54
(90,0)
1
(1,7)
5
(8,3)
60
(100)
52
(86,7)
2
(3,3)
6
(10,0)
60
(100)
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
45
(75,0)
3
(5,0)
12
(20,0)
60
(100)
41
(68,3)
0
(0)
19
(31,7
60
(100)
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
48
80,0
1
(1,7)
11
(18,3)
60
(100)
42
(70,0)
0
(0)
18
(30,0)
60
(100)
Total
282
(78,4)
7
(1,9)
71
(19,7)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Tabel 17 menunjukkan pada umumnya (78,4 persen), uang jemputan ditentukan
oleh orang tua. Kemudian diikuti oleh mamak 19,7 persen dan calon mempelai 1,9
persen. Dominannya orang tua dalam penentuan uang jemputan karena mamak
domisili jauh dari saudara perempuannya. Jadi keterbatasan jarak dan waktu
membatasi keterlibatan mamak dalam penentuan uang jemputan.
Setelah semua disepakati oleh kedua belah pihak, uang jemputan
diserahkan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki.
Penyerahan itu pada umumnya dilakukan ketika mempelai laki-laki dijemput
untuk melangsung pernikahan seperti terlihat dalam tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Waktu Uang Jemputan diberikan Menurut Responden Di Kecamatan
Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
1-6 bulan
Sebelum
Akad Nikah
Saat Akad
Nikah
Total
Generasi Muda
Laki-laki Pempuan
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
Total
2
(3,3)
6
(10,0)
2
(3,3)
7
(11,7)
0
(0,0)
2
(3,3)
19
(5,3)
58
(96,7)
60
(100)
54
(90,0)
60
(100)
58
(96,7)
60
(100)
53
(88,3)
60
(100)
60
(100)
60
(100)
58
(96,7)
60
(100)
341
(94,7)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Tabel 18 menunjukkan, bahwa pada umumnya uang jemputan diberikan pada saat
akad nikah yang jumlahnya 94,7 persen. Pemberian uang jemputan sebelum akad
nikah jumlahnya relatif kecil yakni 5,3 persen. Adanya pemberian uang jemputan
sebelum akad nikah, disebabkan oleh pemaknaan yang sama terhadap konsep
uang jemputan dan uang hilang. Ini terjadi oleh kebiasaan dari masyarakat
setempat (kota) yang tidak lagi memakai uang jemputan dalam arti yang
101
sebenarnya. Konsep uang jemputan yang diidentikkan dengan uang hilang
menyebabkan pemaknaan responden untuk pemberian uang jemputan pada
pelaksanaan tradisi bajapuik seperti yang terlihat pada tabel di atas. Secara lebih
spesifik 1,1 persen pandangan yang sama itu berasal dari laki-laki dan 3,6 persen
dari perempuan. Dari perbandingan itu, dapat dikatakan laki-laki lebih memahami
tentang tradisi bajapuik jika dibandingkan perempuan.
Selanjutnya pemberian uang jemputan dilakukan di rumah pihak keluarga
laki-laki. Adapun aktor yang melakukan pemberian dan penerimaan adalah ninik
mamak dari keluarga kedua belah pihak yang hadiri oleh keluarga masing-masing
seperti; mamak, kakak, mande 8, isteri dari mamak (orang sumando) dan ninik
mamak. Bersamaan dengan pemberian uang jemputan diserahkan pula persyaratan
adat lainnya seperti uang hilang dan kampia sirih.
5.3.2. Uang Hilang
Uang hilang adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada
pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan tidak kembali lagi.
Uang hilang yang diberikan itu dapat dipergunakan sepenuhnya di rumah pihak
keluarga laki-laki. Dalam praktek tradisi bajapuik, uang hilang berwujud uang.
Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 19.
Tabel 19. Wujud Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau
dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
Uang
Emas
Benda Lain
Total
Generasi Muda
Laki-laki Pempuan
55
(91,7)
1
(1,7)
4
(6.6)
60
(100)
48
(80,0)
6
(10,0)
6
(10,0)
60
(100)
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
57
(95,0)
0
(0)
3
(5,0)
60
(100)
53
(88,3)
2
(3.4)
5
(8,3)
60
(100)
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
59
(98,3)
1
(1,7)
0
(0)
60
(100)
58
(96,7)
2
(3,3)
0
(0)
60
(100)
Total
330
(91,7)
12
(3,3)
18
(5,0)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Dari tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (91,7 persen) wujud uang
hilang berupa uang. Kemudian ada sekitar 8,3 persen, wujud uang hilang berupa
emas dan benda lainnya. Adanya anggapan mengenai wujud uang hilang berupa
emas atau benda lain disebabkan oleh pemahaman yang sama antara uang hilang
dengan uang jemputan. Anggapan itu pada umumnya berasal dari generasi muda
8
Saudara perempuan dari ibu, yang dilihat dari sisi mempelai perempuan (anak daro).
102
dan generasi menengah (pelaku), yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian
secara spesifik 2,2 persen dari laki-laki dan 5,5 persen dari perempuan. Dengan
demikian tingkat pemahaman nilai adat tradisi bajapuik pada jenis kelamin lakilaki lebih tinggi di bandingkan dengan jenis kelamin perempuan.
Nama lain dari uang hilang adalah uang dapur. Uang dapur diartikan
adalah untuk membeli kebutuhan dapur. Pada awalnya pembelian kebutuhan
dapur yang dimaksud adalah mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan
ketika mempelai perempuan datang ke rumah mempelai laki-laki untuk bertamu
secara adat atau disebut dengan menjalang. Sekarang penggunaan uang hilang
menjadi bertambah, seperti yang jelaskan oleh informan K (46 tahun) berikut ini:
Saat ini uang hilang digunakan untuk pelaksanaan pesta dan sekaligus
menyambut anak daro ketika datang menjalang. Selain itu uang hilang
diambil sebagian untuk menambah paragiahjalang. Bahkan kadang uang
hilang juga digunakan untuk membeli kebutuhan marapulai seperti
membeli sepatu, pakaian atau sebagian diberikan kepada marapulai
untuk bekal/modal awal berumah tangga.
Dari penuturan informan diatas terlihat, bahwa uang hilang digunakan
sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga
laki-laki. Adanya macam-macam kegunaan uang hilang diatas menunjukan,
konsep uang hilang dalam tradisi bajapuik, tidak benar-benar hilang. Tetapi
terdapat pendistribusian uang tersebut kepada pos-pos lain, seperti disebutkan di
atas dalam tradisi bajapuik. Meskipun demikian, pada kasus-kasus tertentu,
kemungkinan uang hilang benar-benar hilang tetap ada, seperti dikatakan oleh
informan SM, 72 tahun.
Uang hilang atau disebut uang japuik disini (Kota Pariaman) tidak
dibunyikan dan sudah ada kesepakatan dibelakang saja, karena takut
dicemoohkan bahwa anaknya dijual. Jika orang punya malu tentu ada basabasinya kepada keluarga pihak perempuan, terutama untuk anak daro.
Sebodoh-bodohny a orang, dua emas barang akan dibelikan dan diberikan
kepada anak daro. Tetapi di sini (kota Pariaman) kecenderunganya lain,
tidak mau mengembalikan agak sedikitpun. Di satu sisi dia malu disebutsebut oleh orang banyak, tetapi meminta uang japuik dilakukannya juga.
Akhirnya di muka umum tidak terlihat kewajibannya keluarga pihak laki-laki
untuk memberikan sesuatu kepada anak daro dalam pelaksanaan perkawinan
103
itu. Disinilah banyak orang tua yang tidak mengerti dan tidak memahami
tradisi ini.
Penuturan informan di atas menggambarkan uang hilang yang benar-benar hilang,
kecenderungannya ada di daerah kota. Meskipun itu ada, fenomena itu merupakan
kasuistik saja dan tidak dapat digeneralisasi sebagai karakteristik dari tradisi
bajapuik. Kasus ini terutama terjadi pada keluarga-keluarga yang tidak memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik. Padahal di dalam uang hilang
mengandung makna esktrinsik dan instrinsik seperti yang dijelaskan oleh IM (80
tahun) berikut ini;
Untuk jaman kini penghargaan kepada seorang laki-laki yang diterima
sebagai menantu terletak pada uang hilang. Karena dengan uang hilang,
berarti laki-laki itu mempunyai harga diri dan tidak sebagai orang yang
kurang. Dari situ juga menggambarkan keturunan yang jelas dari lakilaki. Dan yang lebih nyata sekali adalah menunjukan status sosial dari
seorang laki-laki, apakah dia orang berpangkat atau tidak. Karena itu
akan menentukan besar-kecilnya jumlah uang hilang.
Fakta tersebut mendukung proposisi nilai di mana makin tinggi nilai hasil
tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan
itu (Homans dalam Ritzer dan Goodman, 2004).
Kapan dan siapa yang menentukan uang hilang? Kemudian untuk
penentuan jumlah uang hilang secara resmi, ditetapkan pada saat pertunangan
(tukar cincin) oleh ninik mamak keluarga kedua belah pihak. Penentuan ini
bersamaan dengan penetapan uang jemputan. Pada kesempatan yang sama, juga
dibicarakan persyaratan lain seperti kampia sirih yang harus dibawa oleh keluarga
pihak perempuan untuk penjemputan marapulai pada saat akan melangsungkan
pernikahan. Penentuan uang hilang (uang hilang) oleh ninik mamak ini adalah
sebagai formalitas saja, karena jauh sebelum penetapan ini, kedua belah pihak
terutama orang tua bertemu dan membicarakan mengenai jumlah uang hilang
(uang japuik). Tepatnya pada saat merasek atau merasok. Pada saat ini aktor yang
terlibat dalam penentuan uang hilang antara lain; orang tua dan mamak.
Pembicaraan mengenai penentuan uang hilang dapat terjadi 2 sampai 3 kali
pertemuan. Ini terjadi apabila keluarga kedua belah pihak belum sepakat
104
mengenai jumlah uang hilang. Mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam
penentuan uang hilang ini dapat dilihat pada tabel 20 berikut ini:
Tabel 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai
Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
Orang Tua
Calon
Mempelai
Mamak
Total
Generasi Muda
Laki-laki Pempuan
52
(86,7)
1
(1,7)
7
(11,6)
60
(100)
48
(80,0)
3
(5,0)
9
(15,0)
60
(100)
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
54
(90,0)
2
(3,3)
4
(6,7)
60
(100)
55
(91,7
0
(0)
5
(8,3)
60
(100)
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
56
(93,3)
0
(0)
4
(6,7)
60
(100)
58
(96,7)
0
(0)
2
(3,3)
60
(100)
Total
323
(89,7)
6
(1,7)
31
(8,6)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Meskipun ada tiga macam golongan orang yang ikut menentukan jumlah
uang hilang, namun keputusan akhir tetap berada di tangan orang tua. Orang tua
dalam hal lebih mempunyai wewenang dalam penentuan uang hilang. Dari ketiga
golongan tersebut orang tua menduduki peringkat teratas yakni sebesar 89,7
persen. Kemudian baru diikuti oleh mamak dan calon pengantin yang masingmasingnya 8,6 persen dan 1,7 persen, seperti yang tergambar dalam tabel di atas.
Sementara itu untuk pemberian uang hilang, ada tiga pilihan waktu yang
dapat dilakukan oleh pihak perempuan, seperti terlihat pada tabel 21 berikut ini.
Tabel 21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan
Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
1-6 bulan
Sebelum
Akad Nikah
Saat Akad
Nikah
Sesudah Pesta
Total
Generasi Muda
Laki-laki Pempuan
Generasi Menengah
Laki-laki Perempuan
Generasi Tua
Laki-laki Perempuan
Total
3
(5,0)
2
(3,4)
0
(0)
3
(5,0)
2
(3,4)
1
(1,7)
11
(3,1)
56
(93,3)
1
(1,7)
60
(100)
56
(93,3)
2
(3,3)
60
(100)
55
(91,7)
5
(8,3)
60
(100)
55
(91,7)
2
(3,3)
60
(100)
58
(96,7)
0
(0)
60
(100)
59
(98,3)
0
(0)
60
(100)
339
(94,2)
10
(2,7)
360
(100)
Sumber Data Primer 2008
Secara umum, pemberian uang hilang dilakukan pada saat akad nikah
yakni 94,2 persen. Pemberian uang hilang pada waktu yang lain seperti; sebelum
dan sesudah pesta dipandang masyarakat mempunyai sisi positif dan negatif
Pemberian uang hilang lebih awal dapat membantu pihak keluarga laki-laki
terdapat 3,1 persen. Pemberian uang hilang pada awal adalah atas dasar
permintaan keluarga pihak laki-laki dengan tujuan untuk mempersiapkan segala
105
sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan seperti memperbaiki
rumah. Namun dilain pihak, kemungkinan terjadinya kemungkiran dipihak lakilaki besar pula terjadi. Begitu juga dengan pemberian uang hilang setelah akad
nikah terdapat 2,7 persen. Waktu pemberian uang hilang ini jarang terjadi dan
biasanya atas permintaan keluarga pihak perempuan. Kondisi ini terpaksa
dilakukan karena kondisi yang sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain bagi
keluarga pihak perempuan untuk memenuhi uang hilang sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Kemampuan ekonomi yang kurang, baik dari keluarga
batih (nuclear family) maupun keluarga besar (extended family) serta kurangnya
sarana menyentuh kehidupan masyarakat dan ketakutan berhubungan dengan
lembaga ekonomi menyebabkan keluarga pihak perempuan mengambil tindakan
itu. Sisi negatif dari pemberian uang hilang setelah pesta dilaksanakan, ada
kemungkinan pihak perempuan menghindari pemberian uang hilang dengan dalih
bermacam-macam. Dengan pernikahan yang telah dilaksanakan, berarti calon
mempelai laki-laki sudah syah menjadi suami anak perempuannya. Untuk
menghindari kemungkinan tersebut, sebelum akad nikah dibuat kesepakatan yang
dihadiri oleh orang tua dan ninik mamak kedua belah pihak. Apabila terjadi
kemungkiran salah satu di antara mereka akan mendapat sanksi adat. Sanksi yang
biasa dikenakan kepada yang melangggar adalah mengganti satu kali sampai dua
kali lipat kerugian yang yang dialami oleh masing-masing pihak yang dirugikan
dan penetapan sanksi itu diutarakan pada saat tukar cincin (pertunangan).
Untuk pemberian uang hilang ini, aktor yang terlibat adalah keluarga luas
(extended family), dari pihak ibu dan tetangga terdekat dibawah satu komando
yakni ninik mamak. Pada saat itu, ninik mamak kedua belah pihak berperan dalam
rangka memberi dan menerima uang hilang, disamping yang lain turut
menyaksikan dan sekaligus mensyahkan persyaratan yang telah ditetapkan.
Meskipun terdapat tiga macam waktu pemberian uang hilang dalam tradisi
bajapuik, namun saat ini kecenderungan uang hilang hanya diberikan pada saat
pernikahan akan dilangsungkan. Kemudahan yang diperoleh masyarakat untuk
mendapat peminjaman di bank dan pengetahuan luas mengenai sarana ekonomi,
memperkecil peluang keluarga pihak perempuan untuk mengulur waktu
pemberian uang hilang. Kondisi ini jarang sekali terjadi, karena jauh hari sebelum
106
pernikahan dilaksanakan pihak keluarga perempuan, telah mempersiapkan dana
untuk pelaksanaan perkawinan nanti, selain bantuan (partisipasi) dari keluarga
luas (extended family) tetap ada dalam tradisi bajapuik.
Menelusuri sejarah uang hilang sampai saat ini, merupakan suatu
rangkaian cerita dari mulut ke mulut. Walaupun lukisan cerita itu sangat terang
dan mudah dipahami, namun sangat susah dijadikan sebagai tonggak sejarah dan
masih diragukan kebenarannya mengenai munculnya uang hilang. Makin jauh,
menyelami pendapat masyarakat, maka semakin banyak diperoleh informasi
tentang penyebab munculnya uang hilang. Adapun penyebab munculnya uang
hilang dalam tradisi bajapuik antara lain:
Pertama, uang hilang muncul sebagai kompensasi atau imbalan sesuatu
masalah. Dimana adanya suatu keluarga yang mempunyai anak gadis yang telah
“rusak” (tidak gadis lagi). Masalah ini sudah menjadi rahasia umum, di mana
untuk mencarikan jodoh bagi anak gadis tersebut tentu saja akan mengalami
kesulitan. Kondisi anak gadis seperti ini dianggap hina dan tidak ada laki-laki
yang mau untuk mempersuntingnya. Jalan keluar yang ditempuh oleh orang
tuanya adalah mencarikan seorang laki-laki yang mau mempersunting anaknya
tersebut. Sebagai imbalan dari kesedian dari laki-laki itu diberilah uang oleh pihak
keluarga yang perempuan. Uang inilah yang semula disebut dengan uang hilang.
Kedua, sebagai balas jasa langsung. Bagi orang tua, tentu mempunyai
harapan kepada anaknya nanti setelah dewasa. Untuk itu anaknya disekolahkan
mulai dari SD sampai ke Perguruan Tinggi, dengan maksud setelah menamatkan
pendidikan itu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apakah akan
menjadi pegawai negeri, pegawai swasta ataupun berwiraswasta. Orang tua
mengharapkan penghasilan sianak itu nanti dapat membantu kehidupannya kelak
dan juga dapat membantu menyekolahkan adik-adiknya. Untuk mendukung
keberhasilan si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mengorbankan apa saja
untuk biaya sekolahnya. Tapi baru saja anak mulai berkerja atau diujung
pendidikannya, sudah ada saja keluarga yang mempunyai anak gadis untuk
meminangnya atau meminta sianak untuk dijadikan menantu. Pada kondisi ini,
orang tua dihadapkan kepada dua pilihan. Di satu sisi orang tua menyadari,
bahwa sudah menjadi kodratnya manusia di mana seorang gadis apabila telah
107
menginjak dewasa tentu akan bersuami dan jejaka akan beristeri. Namun di sisi
yang lain, jika anak sudah mempunyai isteri sudah pasti akan mempunyai
tanggungjawab kepada keluarganya (anak dan isteri). Bantuan kepada orang tua
dan adik-adiknya sudah barang tentu akan berkurang bahkan tidak ada sama
sekali. Sering terjadi, apabila anak sudah beristeri, sianak lupa akan kewajibanya
kepada orang tua dan adik-adiknya. Inilah yang mencemaskan bagi sebagian
orang tua di Pariaman. Dari sini muncul hasrat orang tua untuk meminta uang
hilang sebagai balas jasa selama membesarkan sianak mulai dari kecil hingga
menjadi orang. Apalagi jika si anak itu baik sikapnya dan mempunyai kedudukan
yang baik pula, banyak orang tua yang mempunyai anak gadis untuk
meminangnya dan dijadikan menantu. Maka disinilah berlaku prinsip ekonomi,
kalau permintaan banyak, maka harga akan tinggi dan bila permintaan sedikit,
maka harga menjadi rendah. Atas dasar inilah uang hilang menjadi berjuta-juta.
Ketiga, karena kekayaan yang dimiliki oleh pihak perempuan, atau dengan
istilah “dek ameh kameh, dek padi menjadi”, artinya dengan uang bisa didapatkan
apa saja, termasuk untuk mendapatkan menantu. Suatu keluarga yang mempunyai
anak gadis dan mampu secara ekonomi, sudah barang tentu berkeinginan untuk
mendapatkan menantu yang terpandang seperti kedudukan, pendidikan yang
tinggi dan pekerjaan yang tetap atau pedagang besar, walaupun anak gadisnya
tidak cantik dan berpendidikan tinggi. Dengan uang atau kemampuan ekonomi
yang dimilikinya dapat menawarkan uang yang cukup banyak kepada pria yang
dituju asalkan mau diterima menjadi menantu. Uang inilah yang disebut dengan
uang hilang.
Keempat, sebagai kebanggaan kedua keluarga, baik dari pihak laki-laki
maupun dari pihak perempuan sama-sama mempunyai kemampuan dalam bidang
ekonomi. Untuk menunjuk kepada masyarakat banyak, maka keluarga itu
memberi uang hilang.
Kelima, latah atau Ikut-ikutan. Oleh karena banyak masyarakat yang
melaksanakan uang hilang, baik oleh karena mengharapkan balas jasa, pamer
moral dan lain-lain maka hampir semua masyarakat dalam daerah Kabupaten
Padang Pariaman dan Kota Pariaman melaksanakan uang hilang dalam rangkain
acara perkawinan.
108
Dari kelima penyebab di atas tidak satupun yang menyertai dengan tahun
munculnya uang hilang, sehingga itu berimplikasi pada sulitnya menentukan
tongggak sejarah munculnya uang hilang itu sendiri. Namun demikian, dari
sejarah tentang Pariaman tempo dulu yang di tulis oleh Zakaria (1932) 9, diperoleh
informasi setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1929 tradisi bajapuik
mengalami perubahan. Pada masa itu, orang yang yang bergelar seperti Sidi,
Bagindo dan Sutan di jemput dengan sesukanya oleh orang yang datang. Bagi
laki-laki yang mempunyai usaha sendiri seperti berniaga atau guru agama
besarnya uang hilangnya sekurang-kurangnya f 30 sampai f 300. Kemudian uang
hilang ini akan semakin bertambah jumlahnya, apabila seorang laki-laki tersebut
mempunyai pangkat yang tinggi dan mempunyai gaji yang besar. Dengan kondisi
itu, maka dapat dikatakan uang hilang sudah ada semejak tahun 1929.
5.3.3. Uang Tungkatan
Selain uang-uang di atas, uang yang lain yang terdapat dalam tradisi
bajapuik adalah uang tungkatan. Uang tungkatan adalah uang diberikan kepada
kepalo mudo atau capiang marapulai. Bagi pihak keluarga laki-laki, uang ini
sebagai tembusan dari benda-benda tungkatan yang dibawa oleh pihak keluarga
perempuan sebagai persyaratan untuk menjemput mempelai laki-laki untuk
melakukan pernikahan dan diminta kembali untuk dibawa pulang ke rumah pihak
keluarga perempuan. Ringkasnya uang tungkatan adalah uang tebusan dari bendabenda tungkatan.
Jumlah uang tungkatan ditentukan oleh kepalo mudo dan diberikan pada
saat itu juga oleh pihak keluarga perempuan 10. Jumlah uang tungkatan itu berkisar
antara Rp 150.000 - 200.000. Uang tungkatan yang diberikan itu dapat dipahami
sebagai uang lelah atau belaian kepada kapalo mudo/tuo marapulai atas luangan
waktunya untuk mendampingi mempelai laki-laki pada saat melangsungkan
9
Di tulis ulang oleh Anas Navis (1992) dalam salin naskah tentang Riwayat Kota Pariaman.
Namun sebutan untuk uang hilang, disebut dengan uang jemputan. Jika kembali kepada konsep
awal dari uang jemputan dan uang hilang mempunyai perbedaan. Uang jemputan berupa bendabenda ekonomis; seperti emas, kendaraan atau rumah dan uang hilang berupa uang. Atas dasar itu
penyebutan untuk uang jemputan di atas dianggap keliru dan yang benarnya adalah uang hilang.
Sehingga dapatlahlah dikatakan yang dimaksudnya oleh pengarang adalah uang hilang.
10
Pemberian uang tungkatan dari pihak keluarga perempuan diwakili oleh mamak.
109
pernikahan dan berguna untuk membeli rokok atau minuman bagi ketua
marapulai.
Pada awalnya pihak keluarga perempuan hanya menyediakan benda-benda
tungkatan. Jumlah benda-benda tungkatan yang dibawa oleh keluarga pihak
perempuan tergantung pada tinggi rendahnya martabat kaum tersebut—apakah
berasal dari golongan bangsawan (keturunan raja), penghulu dan biasa. Jika lakilaki berasal dari keturunan raja, maka jumlah benda tungkatannya tujuh, terdiri
dari tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah, payung, pedang dan tongkat.
Laki-laki yang berasal dari keturunan penghulu, jumlah tungkatan lima, tediri dari
tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah dan payung. Terakhir, laki-laki yang
berasal dari golongan biasa, maka jumlah benda tungkatan tiga terdiri dari emas,
suaso dan perak, atau yang disebut dengan cincin tigo bantuak (tiga bentuk).
Dengan demikian banyak-sedikitnya jumlah benda tungkatan menunjukan status
sosial seorang laki-laki. Tetapi yang terjadi saat ini, jumlah tungkatan yang lazim
dibawa oleh keluarga pihak perempuan adalah tungkatan tiga yang terdiri dari tiga
macam bentuk cincin yang diikat kain kuning dan tungkatan lima dan tujuh nyaris
tidak/jarang dilakukan dalam pelaksanaan perkawinan.
Bagi pihak keluarga laki-laki, semua benda-benda tungkatan itu pada
awalnya berfungsi sebagai pelindung atau menjaga diri calon mempelai laki-laki
(marapulai) dari bahaya yang akan mengancam ditengah jalan. Karena dahulu
pernikahan dilakukan pada malam hari. Sekarang semua benda-benda tungkatan
itu hanya sebagai simbol yang mencirikan seseorang laki-laki berasal dari
keturunan yang jelas (Pariaman), apalagi pernikahan pada dekade terakhir ini pada
umumnya di laksanakan pada siang hari (Wawancara, tanggal 8 Agustus 2008).
Selain benda-benda tungkatan itu, pihak keluarga perempuan juga
diharuskan membawa kampia sirih, yang terdiri daun sirih, gambir, pinang,
tembakau dan sadah (kapur) atau yang disebut dengan salapah. Salapah ini
merupakan ketentuan adat
yang harus dipenuhi dalam setiap perkawinan di
Minangkabau dan berlaku dari dulu hingga saat ini. Bagi pihak keluarga laki-laki
salapah pada awalnya digunakan untuk mengetahui perawan atau tidaknya
penganten perempuan. Oleh sebab itu yang menerima kampia sirih dan salapah
adalah kapalo mudo/tuo marapulai. Kapalo mudo/tuo marapulai inilah yang akan
110
menerima dan menilai salapah itu. Biasanya dalam penerimaan salapah, kapalo
mudo memeriksa satu persatu dan disaksikan keluarga kedua belah pihak. Jika
terjadi suatu keganjilan, maka wewenang kapalo mudo untuk menyampaikan
kepada ninik mamak dari calon pengantin laki-laki dan untuk diteruskan kepada
ninik mamak dari calon pengantin perempuan. Untuk selanjutnya ninik mamak
inilah yang akan membuat perhitungan atau konsensus baru. Dari benda-benda
salapah ini, perkawinan dapat menjadi batal atau dibuat perhitungan baru lagi
mengenai uang hilang. Jika dibuat perhitungan baru, biasa jumlah uang hilang
yang diminta kepada pihak keluarga perempuan dinaikan 50 persen sampai 100
persen. Meskipun saat ini fungsinya hanya sebagai syarat adat saja dalam
pelaksanaan perkawinan.
5.3.4. Uang Selo
Uang selo merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam uang yang
yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Uang selo adalah uang berasal dari keluarga
pihak perempuan dan diberikan kepada ninik mamak dari pihak laki-laki yang
hadir pada saat pertunangan (tukar cincin). Oleh sebab itu uang selo ini disebut
juga dengan uang ninik mamak.
Seperti dengan uang lain dalam tradisi bajapuik, jumlah uang selo tidak
mempunyai standar yang tetap. Ada kecenderungan jumlah bervariasi sesuai
permintaan ninik mamak dari pihak laki-laki. Permintaan besar kecilnya uang
selo, selain didasarkan kepada banyaknya jumlah ninik mamak yang datang
menghadiri, juga dengan melihat kondisi ekonomi orang yang datang (pihak
perempuan). Jumlah uang selo yang berlaku sekarang berkisar antara Rp 200.000
sampai Rp 700.000 (1 emas). Pada kasus-kasus tertentu terdapat pula jumlah uang
selo hingga 1 juta. Ini merupakan jumlah yang relatif besar untuk ukuran uang
selo. Tetapi untuk sebagian masyarakat tidak menjadi persoalan, karena uang itu
akan dibagi-bagi pula untuk sejumlah orang dan ninik mamak yang hadir pada
acara tersebut, sehingga masing-masing bisa mendapat bagian antara Rp 25.000
sampai Rp 75.000. Besar-kecilnya pembagian uang tungkatan didasarkan pula
pada peran serta dan kedudukannya dalam masyarakat.
Dengan berpedoman kepada jumlah uang selo yang bervariasi itu, salah
satu nagari di Kabupaten Padang Pariaman membuat Perna (Peraturan Nagari)
111
tentang uang selo. Tujuannya agar jumlah uang selo lebih tertip dan tidak
berlebihan. Peraturan tentang uang selo pertama kali dibuat oleh Kenagarian
Pilubang Kecamatan Sungai Limau. Karena dipandang gagasan itu baik oleh
nagari lain, maka hampir 50 persen dari jumlah kenagarian yang ada di
lingkungan Kabupaten Padang Pariaman menerapkan Perna tersebut dalam
pelaksanaan perkawinan (Wawancara, AM 65 tahun). Sementara itu nagari-nagari
yang tidak mempunyai Perna
mengenai uang selo, maka jumlah uang selo
ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak.
Pada dasarnya, adanya uang selo ini dalam tradisi bajapuik, tidak menjadi
beban, seperti uang hilang yang dirasakan oleh sebagian masyarakat saat ini.
Ketika uang selo di minta oleh pihak keluarga laki-laki sebagai sebuah
persyaratan yang harus dipenuhi, biasanya pihak keluarga perempuan menerima
dan memenuhi permintaan uang selo ini. Jarang sekali terjadi penawaran dalam
penetapan jumlah uang selo dari pihak perempuan, karena jumlah yang relatif
kecil dan masih terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.
Tujuan uang selo sebagai wujud perhatian kepada ninik mamak yang telah
meluangkan
waktunya
dalam
pelaksanaan
pertunangan.
Mereka
telah
meninggalkan pekerjaan untuk beberapa saat dan bahkan kadang-kadang sampai
satu hari, sehingga pada hari itu mereka tidak mempunyai penghasilan yang akan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai pengganti waktunya untuk berusaha itu,
maka diberilah uang selo. Uang itu bagi ninik mamak digunakan untuk membeli
rokok dan minuman atau memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Alasan ini
secara rasional dapat diterima, karena seharian waktunya dihabiskan untuk
menghadiri salah satu bagian dari prosesi perkawinan. Apalagi kehidupan di desa
pada umumnya di bidang pertanian. Artinya dalam hal ini, jika tidak berusaha
maka mereka tidak akan mendapat uang. Sementara mereka harus menghidupi
anak dan keluarganya. Jadi wajar ninik mamak diberi sedikit uang jasa untuk
membeli kebutuhan hidupanya pada hari itu.
Uang selo hanya diberikan kepada ninik mamak pihak laki-laki dan tidak
kepada ninik mamak dari pihak perempuan. Pertimbangan karena sesuai dengan
adat Minangkabau yang berlaku umum dan tidak terkecuali di Pariaman, bahwa
dalam adat perkawinan, pihak perempuan adalah orang yang datang. Sebagai
112
orang datang dipahami, sebagai orang yang mempunyai kepentingan 11 dalam hal
ini. Oleh sebab itu sebagai orang yang mempunyai kepentingan tidak salah untuk
sedikit berkorban untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Atas dasar itu
sewajarnyalah pihak perempuan memberi uang selo kepada ninik mamak untuk
pihak laki-laki. Tanpa kehadiran ninik mamak pada acara tersebut, pertunangan
tidak akan berjalan sebagaimana mesti. Maka dari itu peran ninik mamak sangat
diperlukan pada saat pertunangan ini, sebagai orang yang mengetahui tentang
adat-istiadat.
Untuk Penentuan uang selo, jauh hari sebelum tukar cincin, telah di
bicarakan oleh keluarga kedua belah pihak. Tepatnya pada tata cara meresek telah
dibuat kerangkanya mengenai bentuk bentuk uang yang harus disediakan oleh
pihak perempuan. Ketika waktu tiba, keluarga pihak perempuan hanya
menjalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Penentuan
uang selo dilakukan di rumah pihak laki-laki, karena dalam adat perkawinan yang
berlaku umum pihak perempuan yang datang ke rumah calon pengantin laki-laki,
maka pada itu uang selo juga ditentukan disana.
Pada saat penentuan uang selo, dipihak keluarga perempuan selain dihadiri
oleh orang tua, dan saudara yang terdekat, juga didampingi pula oleh salah
seorang mamak. Begitu juga sebaliknya dari pihak laki-laki telah menunggu pula
orang yang sama. Pada pertemuan antar keluarga inilah uang selo dibicarakan.
Dalam pertemuan itu juga dibicarakan hal-hal lain yang menyangkut persyaratan
yang harus di penuhi oleh pihak perempuan seperti uang jemputan dan uang
hilang dan uang tungkatan.
Untuk pemberian uang selo dilakukan pada saat tukar cincin atau
pertunangan. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak perempuan
kepada ninik mamak pihak penganten laki-laki. Penyerahan berlangsung di rumah
calon pengantin laki-laki yang dihadiri oleh oleh ninik mamak, orang tua serta
kerabat dari calon pengantin laki-laki.
11
Untuk menikahkan anak perempuannya, karena dalam adat Minangkabau perempuan yang telah
cukup umur menjadi beban keluarga dan kaum. Oleh sebab itu tidak salahnya juga pihak
perempuan berkorban materi, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar yakni
menantu.
113
Munculnya uang selo dalam tradisi bajapuik
tidak banyak diketahui,
karena tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat menjelaskannya. Meskipun
demikian dari pengalaman (life histori) dari informan penelitian dan sekaligus
sebagai pelaku perkawinan yang tergolong berusia lanjut, yakni antara 69 sampai
80 tahun, tidak semuanya memakai uang selo dalam pelaksanaan perkawinannya.
Hanya 4 orang di antaranya yang melaksana uang selo dalam perkawinannya.
Rata-rata usia perkawinannya antara 30-45 tahun. Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa uang selo muncul setelah adanya uang jemputan. Sebagai
gambaran dapat dilihat dalam tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Perkiraan Muncul Uang Selo Di Kecamatan Sungai Limau dan
Pariaman Tengah Tahun 2008
No Kode Informan
1
AG
2
F
3
SM
4
IM
5
S
6
ML
7
AZ
8
B
9
B
10
TM
11
UA
12
MR
13
M
14
A
Sumber : Data Primer 2008
Umur
70
69
72
80
74
80
65
73
73
66
80
75
70
78
Tahun Menikah
1964
1962
1962
1954
1965
1960
1970
1958
1960
1968
1953
1960
1963
1955
Pakai Uang selo
−
−
−
−
√
−
√
−
−
√
−
−
√
−
Kemudian prakteknya uang selo lebih marak dilakukan sekitar tahun 1970-an.
Penyebab munculnya uang selo lebih dikarenakan oleh semakin berkurangnya
kadar sosial masyarakat, seperti yang diungkap oleh informan A (78 tahun)
berikut ini.
Ninik mamak yang duduk pada acara tukar cincin itu, meninggalkan
usahanya. Semestinya dia mendapat uang dari usahanya itu, tetapi
dengan mengikuti acara tersebut mereka tidak memperolehnya. Jadi
sebagai penggantinya diberilah uang dari uang selo ini. Selain itu sosial
orang kini sudah mulai kurang, yang disebabkan oleh ekonomi yang
semakin sulit. Orang semakin banyak, namun pekerjaan tidak kunjung
didapat. Untuk itu, tentu orang akan lebih utama memikirkan diri dan
keluarganya terlebih dahulu dari pada orang lain. Maka suatu yang wajar,
114
jika mereka diberi uang penganti dari mata pencaharian yang tinggalnya
pada saat itu.
Dengan demikian faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya pada
kehidupan masyarakat, dan tidak terkecuali dalam pelaksanaan perkawinan.
Begitu kuatnya pengaruh ekonomi ini telah terbukt ikan jauh hari sebelum itu.
Dengan mengacu pada kajian sejarah mengenai adat perkawinan Pariaman tempo
dulu yang dikarang oleh Said Zakaria (1932) dan ditulis ulang oleh Anas Navis
(1992), baik secara intrinsik dan ekstrinsik tidak ada membahas tentang uang selo.
Atas dasar itu, semakin menguatkan informasi sebelumnya.
5.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentuk-bentuk
Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa
pertukaran awal dalam tradisi bajapuik adalah gelar kebangsawanan, ketika itu
penduduk belum banyak, hasil harta pusaka seperti sawah dan ladang masih
memadai untuk menghidupi anggota keluarga. Bahkan dapat dikatakan kehidupan
masyarakat relatif tradisional, dimana mata pencaharian masih homogen yakni di
bidang pertanian, dan tanah relatif luas untuk digarap. LKAAM (1987) dalam
buku menyebutkan bahwa seorang laki-laki diterima sebagai menantu adalah
untuk menyambung keturunan dan suami bagi anak perempuan, sementara itu soal
ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan. Ini bukan berarti pihak
suami tidak bertanggung jawab melainkan hasil harta pusaka seperti sawah dan
ladang memadai karena penduduk belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga
untuk
menerima
seorang
laki-laki
tidak
perlu
mempertimbangkan
pekerjaan/pendapatan yang di miliki.
Gambaran tentang kriteria laki-laki yang demikian dalam perkembangan
selanjutnya tradisi bajapuik tidak mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Azwar (2001), gelar kebangsawanan ini
tidak mendatangkan kesejahteraan bagi keluarga yang akan dibina. Begitu juga
ketika wawancara di lapangan dengan sejumlah informan serta tokoh masyarakat,
terungkap; saat ini yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah status sosial
ekonomi (prestasi) atau kedudukan seorang laki-laki pada instansi atau lembaga
115
tertentu. Oleh sebab itu pekerjaan dan pendapatan menjadi perioritas utama untuk
menerima seseorang sebagai menantu.
Pilihan masyarakat pada status sosial ekonomi seperti uraian di atas dapat
merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari perkembangan
masyarakat, khusus faktor ekonomi seperti yang diungkapkan oleh informan B
(73) berikut ini.
Itu merupakan suatu yang logis terjadi dalam masyarakat. Masyarakat
tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya mengandalkan
gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan yang akan
digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan. Tetapi
sekarang semuanya itu sudah berubah. Jadi perubahan yang terjadi pada
tradisi bajapuik khususnya dari gelar kebangsawanan kepada gelar status
sosial karena seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat.
Selanjutnya AZ (65 tahun) mengatakan:
Pergeseran itu terjadi karena kebutuhan ekonomi yang sulit dan orang
tidak mungkin lagi berfikir kestatus sosial yang tidak menghasilkan
uang. Apalagi jika ditinjau dari adat Minangkabau, uang japuik itu
termasuk kedalam adat nan diadatkan.
Dengan demikian ada faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi
dasar dan bentuk-bentuk pertukaran dalam tradisi bajapuik. Namun kedua tetap
bermuara pada faktor ekonomi. Faktor internal berupa desakan dari dalam
masyarakat sendiri berupa pertambahan penduduk, keterbatasan lahan yang
dimiliki oleh masyarakat dan keterlibatan mamak dalam kehidupan keluarga
besarnya. Begitu juga dengan faktor ekternal, ditunjukan oleh kajian sejarah
dalam perkawinan adat Pariaman tempo dulu yang dikarang oleh Said Zakaria
tahun 1932 dan ditulis ulang oleh Anas Navis (1992), dimana pengaruh ekonomi
global secara tidak langsung ikut pula berpengaruh pada kehidupan masyarakat,
yang pada akhirnya berimplementasi kepada mata pencarian penduduk yang
semakin terbatas.
Kondisi seperti itu memungkinkan seseorang untuk lebih berfikir secara
rasional dan memutuskan sesuatu tentang hidupnya yang sesuai dengan
kebutuhannya saat itu. Dijadikan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan sebagai
116
pertimbangan umum dari status sosial dan pekerjaan secara lebih spesifik yang
menjadi pertimbangan saat ini sebagai pertukaran dalam tradisi bajapuik
merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh terhadap kehidupan
calon pengantin nantinya dalam mengarungi kehidupan rumahtangga.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan
peralihan dari status gelar kebangsawanan kepada gelar status sosial adalah akibat
dari pengaruh faktor ekonomi. Kemudian secara tidak langsung juga dipengaruhi
oleh perkembangan masyarakat terutama pendidikan, dan pertumbuhan penduduk.
5.5. Ringkasan Bab
Bab lima terbagi atas tiga sub bab. Sub bab pertama menjelaskan nilai
yang mendasari tradisi bajapuik; kedua dasar pertukaran dan ketiga bentuk-bentuk
pertukaran. Adapun nilai yang mendorong individu untuk melakukan pertukaran
dalam tradisi bajapuik disebabkan oleh faktor nilai budaya (orientasi nilai
budaya), yang terkait dengan sistem materilineal. Adapun nilai budaya itu adalah
“anak perempuan yang telah cukup umur menjadi malu keluarga dan kaum,
meskipun saat ini telah dipersempit skopnya menjadi malu keluarga besar
(extended family)”. Nilai inilah yang masih tertanam kuat dalam masyarakat
Pariaman khususnya pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan menantu atau
suami bagi anak perempuan. Meskipun dasar pertukaran dan bentuk pertukaran
telah berubah, namun tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap dilaksanakan.
Kedua, dasar pertukaran. Dalam sejarah perjalanan tradisi bajapuik
terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan
dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika pada awalnya
diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) saat ini berubah
menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu disebabkan oleh faktor
ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan menyempitnya
lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan modernisasi secara tidak
langsung turut pula dalam perubahan itu.
Ketiga, bentuk-bentuk pertukaran. Terdapat berbagai macam bentuk
pertukaran yang merupakan sebagai implikasi dari dasar pertukaran yang berubah.
Perubahan pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada status sosial
ekonomi khusus pekerjaan yang jelas yang di miliki oleh seorang laki-laki
117
berimplikasi kepada bentuk pertukaran yang pada awalnya hanya berupa uang
jemputan, kemudia berkembang menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo
dan uang tungkatan. Sebagai gambaran perubahan pertukaran itu dapat dilihat
pada tabel 23 berikut ini.
Tabel 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik
Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
No
1
MacamMacam
Uang
Uang
Jemputan
Definisi
Konsep
Tujuan
Makna
Waktu
Penentuan
Pemberian
Kembali
Orang tua
laki-laki
Pemberian orang
tua kepada anak
perempuan atau
menantu
nya
Tukar
Cincin
Saat Akad
Nikah
2
Uang
Hilang
Tidak
kembali
Orang tua
Laki-laki
Bantuan kepada
orang tua lakilaki
Tukar
Cincin
Saat Akad
Nikah
3
Uang Selo
Tidak
kembali
Ninik
Mamak
Perhatian kepada
ninik mamak
laki-laki
Meresek
Tukar
Cincin
4
Uang
Tungkatan
Tidak
kembali
Kepalo
Mudo
Perhatian pada Kepalo
Mudo
Setelah
pernikah-an
Saat
marapulai pulang ke
rumah orang
tua setelah
pernikah-an
dilakukan
Sumber : Data Primer 2008
Tabel di atas menunjukan, ada empat macam bentuk-bentuk pertukaran yang
terdapat pada tradisi bajapuik. Munculnya bentuk-bentuk pertukaran itu seiring
dengan
perubahan
pada
dasar
pertukaran;
dari
status
gelar
kebangsawanan/keturunan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) tidak sama
seiringan dengan perubahan nilai pertukaran menjadi prestasi (achievement),
akibat faktor ekonomi.
BAB VI
PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM
TRADISI BAJAPUIK
Pada hakekatnya pertukaran sosial sebagai suatu transaksi ekonomi karena
orang berhubungan didasarkan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu
itu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain pertukaran yang terjadi
dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan. Imbalan merupakan segala
hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan. Jadi perilaku sosial berdasarkan
perhitungan untung-rugi. Menurut terminologi Homans, orang terlibat dalam
perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman.
Terkait dengan tradisi bajapuik, pertukaran akan berlangsung bila kedua
belah pihak merasa teruntungkan. Jadi perilaku aktor-aktor dimunculkan karena
berdasarkan perhitungan, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula
sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Untuk itu bagaimana pertukaran, lingkungan sosial dan pilihan rasional
muncul dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari saling hubungan antara
nilai-nilai tradisi bajapuik dengan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Terutama
antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dalam
pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik.
6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik
Menurut Lamanna & Riedmann (1991) dan Goode (2007) ada bermacammacam yang dipertukarkan dalam perkawinan yakni; kelas sosial (kekayaan,
berkedudukan tinggi atau berkuasa), umur, kecantikan, dan pendidikan.
Untuk kasus tradisi bajapuik pertukaran didasarkan atas status sosial
ekonomi yang terdiri dari pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki
(marapulai). Pekerjaan dan pendapatan inilah yang menentukan tinggi rendahnya
jumlah uang japuik. Semakin tinggi (prestise) pekerjaan dan pendapatan calon
pengantin laki-laki, maka semakin tinggi jumlah uang japuik dan begitu
sebaliknya. Adapun kisaran jumlah uang japuik dalam tradisi bajapuik dapat
dilihat dalam tabel 24 dibawah ini.
119
Tabel 24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Di
Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
No
1.
2.
3.
Uraian
Seorang sarjana yang bekerjaan sebagai PNS
Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap
Seorang sarjana yang berprofesi sebagai dokter
Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia
4.
Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS
Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI
5.
Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai swasta
6.
Seseorang yang tamatan SMA, SMP, dengan pekerjaannya sebagai
pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, peternakan, pengrajn montir,
penjahit dan tukang
Sumber: Data Primer 2008
Jumlah
10-15 juta
5-10 juta
25-50 juta
75-100 juta
5-10 juta
20-30 juta
5-7 juta
3-5 juta
Tabel di atas menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik
antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi
uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu
terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak
keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan
calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula,
maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik
yang lebih tinggi. Seorang mantan LKAAM (SM, 72 tahun), menuturkan:
Kejadian itu terjadi 15 tahun yang lalu, di mana ada seorang dokter oleh
orang tuanya diminta uang japuik sebanyak 8 juta. Tetapi karena orang
tua dari perempuan seorang pengusaha mobil, maka uang japuik itu
ditambahnya menjadi Rp 14 juta.
Penjelasan informan di atas menunjukan pekerjaan yang tinggi dari seorang calon
mempelai laki-laki (marapulai), maka uang japuik-nya akan tinggi pula. Dengan
demikian tinggi-rendahnya uang japuik menunjukan status sosial ekonomi dari
seorang calon mempelai laki-laki. Fakta itu mendukung proposisi stimulus, di
mana bila kejadian masa lalu menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka
makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa (Homans dalam
Ritzert dan Goodman, 2004).
6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi Bajapuik
Secara ekstrinsik pertukaran dalam tradisi bajapuik meliputi antara status
sosial (gelar keturunan dan status sosial ekonomi) dengan sejumlah benda atau
uang--yang disebut dengan uang japuik (uang jemputan atau uang hilang) (lihat
120
bab V). Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni keluarga pihak
perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dan tidak antara dua aktor atau
individu yang akan menikah. Kedua belah pihak inilah yang akan melakukan
pertukaran dalam tradisi bajapuik.
Pertukaran dalam tradisi bajapuik terpusat pada uang japuik--khususnya
bagaimana uang japuik diberikan dari keluarga pihak perempuan kepada keluarga
pihak laki-laki. Sebelum uang japuik diberikan secara resmi oleh pihak keluarga
perempuan, telah terjadi proses yang panjang di antara pihak keluarga laki-laki
mengenai penentuan jumlah uang japuik. Karena uang japuik tidak mutlak
ditentukan oleh orang tua saja. Masukan dan pertimbangan dari pihak lain seperti
dari calon marapulai (CM) dan mamak harus pula diperhatikan dalam proses
penentuan itu. Ada atau tidak pertimbangan dari kedua pihak itu mengenai
penentuan jumlah uang japuik yang jelas ruang untuk mereka ada di sana. Oleh
sebab itu dalam proses penentuan uang japuik ada tiga pihak yang turut serta di
dalamnya seperti yang terlihat pada tabel 21. Kecenderungan yang sama juga
diungkapkan oleh informan SM (72 tahun) dimana uang japuik dari pihak lakilaki ditentukan oleh ayah dan ibu. Apalagi, saat ini mamak jarang yang
berdomisili di daerah asal, sehingga keikut sertaannya sangat terbatas. Tempat
tinggal yang jauh, serta pekerjaaan yang tidak dapat ditinggalkan menjadi alasan
utama ketidak ikut sertaannya dalam penentuan jumlah uang japuik. Untuk itu
adakalanya mamak menyerahkan sepenuhnya atau memberi usul mengenai jumlah
uang japuik kepada orang tua saja. Tujuannya agar peran mamak tetap terlihat
meskipun hanya sekedar saran atau usulan dan sekaligus untuk menunjukan
kepeduliannya kepada kemenakan. Kondisi itu sudah lazim berlaku dalam tradisi
bajapuik saat ini, kalaupun ada mamak ikut menentukan uang japuik, berarti
mamak tersebut berdomisili berdekatan atau di daerah yang sama.
Seperti disinggung sebelumnya, penentuan uang japuik bagi pihak
keluarga laki-laki melalui proses yang panjang, artinya adanya tahap-tahap yang
harus dilalui dalam penentuan uang japuik. Secara umum ada tiga tahap yang
dilalui yakni; tahap pertama, penentuan uang japuik pada tingkat keluarga batih
(nuclear family) atau yang disebut dengan kamar kecil. Pada tahap ini jumlah
uang japuik mulai dibicarakan, setelah keluarga kedua belah pihak (pihak
121
keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) bertemu dalam proses
meresek/merasok dan setuju hubungan antar keluarga dilanjutkan. Pada tahap ini
oleh pihak keluarga laki-laki yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung (jika
ada) telah merancang jumlah uang japuik yang akan dimintakan kepada keluarga
pihak perempuan. Setelah itu dilanjutkan ke tahap kedua yakni pada keluarga
besar (extended family) atau disebut dengan kamar besar. Pada kamar besar,
proses penentuan uang japuik melibatkan mamak. Meskipun pada kamar kecil
telah ada kesepakatan mengenai jumlah uang japuik, mamak atau yang dianggap
mamak tetap diminta masukan dan pertimbangan. Masukan dan pertimbangan itu
terutama mengenai pantas dan tidak pantasnya jumlah uang japuik yang akan
dimintakan kepada pihak keluarga perempuan. Mamak dalam kamar besar
adakalanya ikutserta dalam menentukan jumlah uang japuik dan adakalanya tidak.
Artinya setiba di kamar besar ada kemungkinan jumlah uang japuik akan berubah,
tergantung ada atau tidaknya masukan dari mamak, seperti diungkapkan oleh
informan TM (66 tahun) berikut ini:
Saat ini penentuan uang japuik lebih banyak ditentukan oleh kedua orang
tua, sedangkan mamak hanya menunggu laporan saja. Ini disebabkan
oleh mamak sudah banyak yang pergi merantau karena tuntutan
pekerjaan untuk mencari penghidupannya. Mamak yang berdomisilinya
berdekatan, tetap dikut sertakan
dalam penentuan uang japuik.
Pertimbangan atau masukan-masukannya tetap dimintakan—apakah itu
diberikan atau tidak. Perasaan mamak sekarang lebih sensitif—perasaan
takut dilecehkan menghantui perasaan mamak. Oleh sebab itu mamak
kadang-kadang untuk penentuan uang japuik mengambil sikap untuk
menerima saja, karena mamak menyadari bahwa keterlibatannya untuk
kemenakan yang sangat terbatas.
Setelah keduanya sepakat, maka disampaikanlah jumlah uang japuik
kepada pihak keluarga perempuan, dengan meminta kehadirannya di rumah pihak
keluarga laki-laki. Pada waktu yang sama hadir orang tua dan didampingi oleh
mamak atau dianggap mamak dari keluarga kedua belah pihak. Dalam tahap ini,
sering terjadi penawaran mengenai uang japuik—terutama jika uang japuik yang
diminta tidak sesuai dengan harapan atau kemampuan dari pihak keluarga
122
perempuan. Penawaran itu dapat terjadi 2-3 kali pertemuan, hingga jumlah yang
disepakati dapat tercapai.
Penetapan jumlah uang japuik yang diminta kepada pihak keluarga lakilaki, umumnya didasarkan pada status sosial calon pengantin laki-laki yang akan
diterima sebagai menantu. Bahkan adakalanya penetapan mengenai jumlah uang
japuik yang akan diminta berdasarkan biaya yang akan dikeluarkan untuk
penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. Sementara itu respon
pihak keluarga perempuan terhadap jumlah uang japuik yang di minta oleh pihak
keluarga laki-laki adalah;
1. Menerima berapapun jumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga lakilaki.
2. Melakukan penawaran terhadap jumlah uang yang diminta, karena
dipandang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya.
Respon pertama artinya keluarga dari pihak perempuan menerima dan
bersedia memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki.
Kemudian pada respon kedua, pihak keluarga perempuan tidak atau kurang
menerima sejumlah uang yang dimintakan kepadanya, sehingga pihak keluarga
perempuan melakukan penawaran. Penawaran yang dilakukan oleh pihak keluarga
perempuan dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penawaran langsung
dilakukan oleh orang tua, mamak dari pihak perempuan, dengan mengutarakan
keberatan-keberatannya. Biasanya keluarga yang melakukan penawaran berasal
kalangan ekonomi yang kurang mampu, baik dari kelurga inti (nuclear family)
dan keluarga besar (extended family) dan kasus seperti ini jarang terjadi.
Penawaran ini dilakukan pada saat kedua belah membicarakan mengenai uang
jemputan atau uang hilang. Pada saat itu orang tua atau mamak dari pihak
perempuan menyampai pengurangan uang japuik melalui orang tua atau mamak
dari pihak keluarga laki-laki. Sementara itu, penawaran tidak langsung dilakukan
melalui calon pengantin laki-laki dengan cara; menyampaikan keberatankeberatan pihak keluarga perempuan itu kepada calon pengantin laki-laki dan
untuk selanjutnya disampaikan kepada orang tuanya. Cara seperti ini biasanya
calon pengantin perempuan yang lebih pro aktif untuk mendesak calon pengantin
laki-laki menyampaikan pengharapan itu.
123
Pihak keluarga perempuan yang melakukan penawaran atau menerima
uang japuik mempunyai karakteristik seperti yang terdapat dalam tabel 25 berikut.
Tabel 25. Karakteristik Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik
Menerima Berapapun Jumlah Uang
Yang Diminta Dalam Perkawinan
Bajapuik
1. Pada umumnya berasal dari
Keluarga Mampu.
Melakukan Penawaran Mengenai
Jumlah Uang Yang Diminta
1. Pada umumnya berasal dari
Keluarga yang tidak / kurang
mampu.
2. Sigadis belum cukup umur dan
masih ada kemungkinan untuk
mencari alternatif pilihan lain,
sehingga
3. kurang berharap pada calon lakilaki itu untuk dijadikan menantu.
2. Sigadis sudah cukup umur untuk
melaksanakan pernikahan.
3. Mempunyai harapan yang penuh
pada calon laki-laki untuk dijadikan
menantu.
4. Memahami uang japuik sudah
menjadi tradisi
4. Tidak memahami tentang uang
japuik
Sumber : Data Primer 2008
Unsur-unsur di atas sebagai sebuah karakteristik keluarga tidak menjadi
sebuah paket yang utuh mengkategorikan sebuah keluarga yang mempunyai anak
perempuan untuk menerima atau melakukan suatu penawaran mengenai jumlah
uang japuik yang diminta oleh keluarga dari pihak laki-laki. Artinya ada pula
keluarga yang cukup mampu dibidang ekonomi melakukan penawaran pada
perkawinan bajapuik dan ini dapat dikatakan sebagai dinamika dari pelaksanaan
perkawinan bajapuik. Artinya tidak ada yang statis dalam kehidupan manusia.
Seperti yang terjadi pada salah seorang informan penelitian M (70 tahun), di mana
salah seorang dari anak laki-lakinya diterima oleh sebuah keluarga yang cukup
mampu diakhir tahun 2000. Kemudian di antara kedua keluarga itu masih ada
hubungan keluarga dan berdomisili di Jakarta. Melalui komunikasi lewat telpon,
maka ditetapkan jumlah uang jemputan atau uang hilang oleh orang tua dari pihak
laki-laki sebanyak Rp 10 juta. Setelah mendengar jumlah yang disebutkan oleh
orang tua dari pihak laki-laki itu, maka orang tua dari pihak perempuan meminta
pengurangan dan akhirnya ditetapkan jumlahnya menjadi Rp 7,5 juta. Jadi, kiat
untuk
mengurangi
jumlah
uang
japuik
adalah
secara
langsung
mengkomunikasikasi kepada orang tua pihak laki-laki, sehingga jumlahnya dapat
dikurangi. Tetapi adakalanya juga orang tua dari pihak laki-laki bertahan dan
tidak mau mengurangi jumlah uang japuik yang telah ditetapkan itu. Bagi pihak
keluarga laki-laki pertimbangan itu didasarkan untuk; biaya transportasi pulang-
124
pergi ke Jakarta, membeli kebutuhan dapur untuk menanti pihak keluarga
perempuan menjemput marapulai dan membeli seperangkat pakaian untuk
paragiah jalang. Tidak termasuk biaya pesta karena pesta dilaksanakan sepihak
ditempat mempelai perempuan. Dengan demikian uang yang diterima oleh pihak
keluarga laki-laki sebagai uang jemputan atau uang hilang dipergunakan untuk
pelaksanaan perkawinan bajapuik.
Dari kasus di atas, sepintas kelihatannya orang tua dari calon pengantin
laki-laki terasa sedikit agak memaksa mengenai jumlah uang japuik, namun
demikian, mereka (orang tua dari pihak laki-laki) telah mempunyai pertimbanganpertimbangan
tertentu
dalam
penetapan
jumlah
uang
japuik.
Selain
mempertimbangkan status calon mempelai laki-laki, orang yang datang atau pihak
perempuan dipandang cukup mampu, juga disebabkan oleh kebutuhan ekonomi
yang cenderung meningkat dan barang-barang yang akan dibeli untuk kebutuhan
pesta harganya serba mahal, maka pertimbangan ekonomi dalam proses penentuan
jumlah uang japuik akan terjadi. Sistem perekonomian yang tidak menentu dan
terjadinya fluktuasi harga barang kebutuhan di pasar, akan menjadi pertimbangan
oleh orang tua dari pihak laki-laki dalam menentukan jumlah uang japuik.
Penetapan jumlah uang japuik akan berlangsung alot, ketika orang tua dari
pihak laki-laki bersikukuh dengan pendiriannya, misalnya orang tua menetapkan
jumlah uang japuik sebanyak Rp 10 juta, sementara dari pihak perempuan
sanggupnya Rp 6 juta. Dalam hal ini, pihak perempuan berusaha mendekati calon
mempelai laki-laki atau yang disebut dengan penawaran tidak langsung. Langkah
pertama yang dilakukan oleh orang tua adalah dengan menanyakan kepada anak
perempuannya, sejauhmana hubungannya di antara kedua. Jika jawaban dari si
anak didapat gambaran bahwa calon mempelai laki-laki mempunyai keinginan
yang kuat untuk mempersunting calon mempelai perempuan, maka orang tua
melalui anak perempuannya dapat menekan secara psikologis calon pengantin
laki-laki dengan mengatakan, “kalau tidak mau kurang, lebih baik kita bubar atau
tidak jadi saja”. Ungkapan kata-kata seperti itu akan menjadi pertimbangan bagi
calon pengantin laki-laki dan berusaha untuk mencari solusinya. Untuk itu sikap
yang diambil oleh calon pengantin laki-laki adalah mendesak orang tuanya agar
uang japuik dapat dikurangi. Cara lain yang diambil oleh calon pengantin laki-laki
125
menanggulangi sendiri kekurang uang itu, sehingga keluarga perempuan dapat
mencukupi menjadi Rp 10 juta. Setelah uang cukup akan diberikan kepada orang
tua pihak laki-laki sebagai uang japuik. Dengan demikian di dalam pemenuhan
uang japuik dari pihak perempuan mempunyai aturan main (role of the game)
tersendiri pula, sehingga uang japuik yang diminta keluarga dapat terpenuhi.
Calon mempelai laki-laki yang mampu melakukan sikap demikian dalam
perkawinan bajapuik di wilayah penelitian adalah calon mempelai laki-laki yang
mempunyai kemampuan ekonomi. Artinya calon pengantin laki-laki telah
mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan yang relatif besar,
sehingga calon mempelai laki-laki dapat ikut campur untuk menentukan jumlah
uang japuik yang ditetapkan dalam perkawinannya.
Kemudian calon pengantin perempuan yang dapat melakukan penawaran
atau pengurangan jumlah uang japuik melalui calon pengantin laki-laki ada
kecenderungan calon mempelai perempuan memiliki kelebihan, sehingga
usulannya
dapat
dipertimbangkan
di
antaranya;
karena
kecantikannya,
keelokannya, dan status sosialnya. Dengan kelebihan itu berimbas pada
penyeimbangan dalam pemenuhan uang yang harus dikeluarkan dalam
perkawinannya. Uang bantuan dari calon pengantin laki-laki untuk menutupi uang
japuik adalah sebagai tembusan yang ada pada diri calon perempuan, agar
perkawinan dapat berlangsung. Jika mengacu pada teori pemilihan jodoh, pada
hakikatnya orang mencari pasangan mengarah pada ditemukannya pasanganpasang yang setaraf dengannya dan perkawinan dapat berlangsung sesuai dengan
yang diharapkan (Lamanna dan Riedman, 1981; Goode, 2007).
Tahap akhir, penyampaian secara resmi jumlah uang japuik dari pihak
keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan atau yang disebut dengan
kamar umum. Pada tahap ini, selain dihadiri oleh keluarga batih (nuclear family)
dan keluarga besar (extended family) dari masing-masing pihak, juga dihadiri oleh
ninik mamak. Bahkan di antara ketiganya itu, ninik mamak yang lebih berperan
pada tahap ini. Urgennya ninik mamak dalam tahap itu, maka tahap itu disebut
juga dengan duduk ninik mamak—saat pengukuhan secara adat hubungan antar
dua keluarga, atau yang disebut dengan tukar cincin/tando. Pada saat itu ninik
mamak mengumumkan uang japuik secara resmi dan sekaligus menentukan
126
tanggal dan hari pernikahan yang akan dilangsungkan. Acara itu dihadiri oleh
keluarga kedua belah pihak seperti; orang tua, mamak, kakak atau kerabat lainnya
serta tetangga terdekat.
Proses pertukaran seperti dijelaskan di atas dalam setiap pelaksanaan
tradisi bajapuik pada umumnya selalu dan penting dilakukan. Meskipun di sisisisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan, terutama mengenai
keikut sertaan anggota keluarga dan jumlah uang japuik. Khusus, untuk uang
japuik, jumlahnya ditentukan berdasarkan status sosial marapulai (calon
pengantin laki-laki). Artinya tinggi rendahnya uang japuik ditentukan oleh status
sosial marapulai (calon pengantin laki-laki). Semangkin tinggi status sosialnya,
semangkin tinggi pula uang japuiknya. Dengan demikian tinggi-rendahnya uang
japuik seorang marapulai (calon pengantin laki-laki) menunjukkan status sosial
ekonomi atau posisi seseorang dalam suatu masyarakat.
Sementara itu, uang japuik diberikan pada saat akad nikah akan
berlangsung. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak keluarga
perempuan kepada ninik mamak pihak keluarga laki-laki, karena dalam aturan
perkawinan bajapuik pihak keluarga perempuan yang memberikan dan pihak
keluarga laki-laki sebagai penerima, sekaligus dihadiri oleh keluarga kedua belah
pihak, seperti orang tua, kakak, mamak dan kerabat lainnya serta tetangga
terdekat. Walaupun dalam proses pengumpulannya terdapat ikut campur dari
calon pengantin laki-laki agar uang japuik itu cukup jumlahnya sesuai yang di
minta oleh pihak keluarga laki-laki (lihat bab VII). Ini biasanya terjadi pada
pekawinan yang dilakukan dengan orang di luar Pariaman atau antar budaya yang
berbeda, meskipun tidak tertutup pula kemungkinan terjadi antar sesama orang
Pariaman sendiri. Karena disatu pihak tidak mungkin membatasi jodoh seseorang
dan mengharuskannya untuk mencari pasangan dengan orang yang berasal satu
daerah. Terbukanya transportasi dan peluang melanjutkan pendidikan merupakan
jalan yang memungkinkan untuk mendapatkan jodoh dari luar Pariaman.
Walaupun di sisi lain adat Minangkabau menganjurkan “perkawinan ideal” tetapi
dalam prakteknya tidak harus demikian.
Pertukaran yang dilakukan antara sesama orang Pariaman dengan orang di
luar Pariaman seringkali mengalami perbedaan. Perbedaan itu terlihat dalam
127
proses penentuan uang japuik sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik.
Penentuan uang japuik lebih banyak memunculkan pertimbangan-pertimbangan,
yang disebabkan oleh adat kebiasaan yang berbeda. Disinilah akan terlihat
keterlibatan calon pengantin laki-laki dalam penentuan uang japuik. Sementara itu
pertukaran dengan sesama orang Pariaman relatif lebih mudah dilakukan, karena
disebabkan oleh adanya kesesuai dari nilai-nilai dan norma-norma (latar belakang
budaya yang sama), terutama dalam proses penentuan uang japuik.
Dalam praktek perkawinan yang berlaku umum, pihak laki-laki yang
memberikan sesuatu kepada pihak perempuan, sehingga keluarga dari pihak
perempuan tidak diberatkan dalam hal ini. Ternyata dalam perkawinan bajapuik
tidak tercipta model seperti ini, namun adanya kerjasama sesama anggota keluarga
besar (extended family). Meskipun di pihak keluarga laki-laki mempunyai
pertimbangan tertentu dalam menentukan jumlah uang japuik--tinggi rendahnya
uang japuik ditentukan oleh status sosial seorang laki-laki. Apabila seorang lakilaki mempunyai pendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang
cukup besar, maka uang japuik (uang hilang atau uang dapur) akan tinggi pula.
Tetapi pada dekade terakhir ini ada kecenderungan pendidikan kurang berkorelasi
dengan pekerjaan dan pendapatan, sehingga pekerjaan dan pendapatan menjadi
pertimbangan bagi keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan dalam
tradisi bajapuik. Oleh sebab itu jumlah uang japuik, tidak hanya atas
pertimbangan pendidikan saja tetapi lebih diutamakan atas pertimbangan
pekerjaan dan pendapatan. Dengan demikian semakin tinggi posisi dan pekerjaan
seorang laki-laki di dalam masyarakat, maka uang japuiknya akan semakin tinggi
dalam tradisi bajapuik. Adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam
perkawinan bajapuik untuk menerima seorang laki-laki untuk dijadikan menantu.
Adanya prioritas utama dalam menjemput seorang laki-laki dalam
perkawinan bajapuik, mengakibatkan uang japuiknya semangkin kompetitif.
Seorang laki-laki yang mempunyai posisi pekerjaan dan pendapatan yang tinggi
maka uang japuik akan tinggi, dan begitu sebaliknya. Bagi pihak keluarga lakilaki yang mempunyai seorang anak laki-laki yang mempunyai posisi yang tinggi,
maka ada kecenderungan orang tuanya mempunyai bargaining potition yang kuat
kepada orang tua dari pihak perempuan dan akan terjadi pertimbangan-
128
pertimbangan ekonomi dalam penentuan jumlah uang japuik. Meskipun di lain
pihak calon mempelai perempuan mempunyai keduduk yang sama dengan calon
mempelai laki-laki (setara). Artinya tidak ada salah satu di antaranya menempati
posisi di atas dan di bawah. Tetapi ada kecenderungan selain posisi yang sama
sesama kedua calon mempelai, juga mempunyai status sosial ekonomi yang sama
pula dengan keluarga pihak perempuan. Dengan adanya kemampuan atau
kesanggupan ekonomi dari pihak keluarga perempuan, maka pelaksanaan
perkawinan dengan tradisi bajapuik dapat dilaksanakan.
Model perkawinan seperti tidak hanya berlaku antara sesama orang
Pariaman, tetapi juga dengan orang di luar Pariaman. Hanya saja, perkawinan
dengan orang
luar
lebih
mengutamakan pertimbangan-pertimbang
yang
kadangkala melibatkan calon pengantin laki-laki untuk menengahi persoalan uang
japuik. Tetapi jika dikaji lebih jauh, sebenarnya pertukaran yang terjadi dalam
perkawinan bajapuik mempunyai model pertukaran dengan maksud dan tujuan
tertentu dari masing-masing aktor yang terlibat dalam perkawinan bajapuik, baik
dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan. Dengan
demikian keberadaan perkawinan bajapuik sebenarnya terletak pada kedua belah
pihak keluarga atau pada pertukaran itu sendiri.
Uang japuik
yang menjadi ciri khas dari perkawinan bajapuik pada
hakekatnya memiliki dua bentuk yang dipertukarkan yakni materil dan non
materil. Bagi pihak keluarga perempuan, pertukaran dalam bentuk materil adalah
untuk mendapatkan menantu, sedangkan pertukaran dalam bentuk non materil
adalah untuk menutup malu keluarga dan kaum (orientasi nilai budaya). Menurut
adat Minangkabau yang menjadi acuan bagi keluarga pihak perempuan, mendapat
suami bagi anak perempuan dapat menutupi malu keluarga dan kaum. Kedua
motif tindakan itu di dasarkan pada pilihan yang dipertimbangkan (choosing
knowlegeably), sehingga tindakan yang diambil oleh aktor-aktor yang terlibat,
baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan menjadi
seimbang (homogamy). Masing-masing mempunyai tujuan dan makna tersendiri
dan pada akhirnya perkawinan dapat terlaksana. Untuk itu dapat dilihat gambar 8
berikut ini.
129
Uang Japuik
Orientasi Nilai
Bentuk Pertukaran
(Choosing
Knowleageably)
Materil
Orientasi
ekonomi
Non Materil
Orientasi Nilai
Budaya
Eksistensi
Perkawinan
Bajapuik
Gambar 8. Uang Japuik dan Orientasi Nilai Pertukaran dalam
Tradisi Bajapuik
Dengan demikian perkawinan bajapuik dapat terlaksana, pada hakekatnya
terlihat pada besar-kecilnya uang japuik yang diterima oleh pihak laki-laki pada
saat penjemputan, karena jumlah yang telah disepakati itu mempunyai simbolisai
ganda. Disatu sisi besar-kecilnya uang japuik itu menunjukan status sosial calon
pengantin laki-laki. Kemudian sisi yang lain merupakan simbolisasi status
keluarga kedua belah pihak. Artinya calon laki-laki akan diberi uang japuik yang
tinggi, apabila mempunyai status sosial yang baik dalam masyarakat dan begitu
juga sebaliknya bagi pihak perempuan. Keluarga yang mampu memberi uang
japui yang cukup tinggi, tentu berasal dari keluarga yang mampu pula.
6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik
Dari bahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kuatnya nilai-nilai dan
norma-norma (terinternalisasi) dalam kehidupan masyarakat telah mendorong
terlaksananya tradisi bajapuik, antara pihak keluarga perempuan dengan pihak
keluarga laki-laki, baik yang terdapat di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam
130
hal ini juga diakui yang menjadi pendorong dalam proses terlaksananya
pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah kemampuan dari pihak keluarga
perempuan dalam mengantisipasi jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak
keluarga laki-laki. Namun demikian pada dasarnya pertukaran dalam tradisi
bajapuik antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, selain
dorongan dalam bentuk pertukaran sosial ekonomi, juga terkait dengan faktor
lingkungan. Oleh karena masyarakat (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga
perempuan baik yang berada di perkotaan dan pedesaan merasakan keuntungan
dari tradisi bajapuik, sehingga mendorong masyarakat untuk melaksanakan tradisi
bajapuik di dalam setiap pelaksanaan perkawinan, yang pada akhirnya juga dapat
mendorong eksisnya tradisi bajapuik. Berkaitan dengan lingkaran sosial Lamanna,
(1991), menyatakan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku aktor
(individu). Lebih jauh Lamanna menambahkan individu ditekan melalui normanorma sosial yang disebutnya dengan lingkungan sosial.
Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana lingkungan sosial mendorong
aktor untuk melakukan tradisi bajapuik di Di Kecamatan Sungai Limau dan
Pariaman Tengah dengan menampilkan riwayat hidup tiga pelaku sebagai contoh
kasus. Ketiganya terdorong melakukan tradisi bajapuik, akibat tekanan nilai-nilai
dan norma-norma yang terdapat
dalam masyarakat. Seorang pelaku tradisi
bajapuik DA (38 tahun) adalah sosok seorang laki-laki yang meninggalkan
kampung halamannya semenjak tamat Perguruan Tinggi, mengadu nasib disebuah
kota besar, bertemu jodoh dengan seorang perempuan bernisial Y dan selanjutnya
pernikahan dilaksanakan di rantau (luar Pariaman). Dua lainnya yaitu H. Zlm (54
tahun) menikah dengan H.Zln (51 tahun) yang sebelumnya telah saling mengenal
satu sama lainnya, dan terakhir AZ (38 tahun) menikah dengan TM (38 tahun),
berasal dari status sosial yang sama, seperti pendidikan dan pekerjaan. Ketiga
pasangan itu dalam pernikahannya melaksanakan tradisi bajapuik, setelah adanya
pertimbangan-pertimbangan dari aktor yang akan menikah dan keluarga yang
terlibat dalam tradisi bajapuik.
131
6.3.1. Kasus Perkawinan Dengan Sesama Kerabat
Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
DA (38 tahun) dan Y
(32 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang
menikah di kota Jakarta. Di antara keduanya mempunyai latar belakang yang
berbeda meskipun kedua sama-sama berasal dari satu daerah (Pariaman). Bahkan
di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan yang dekat, di mana bapak DA
adalah kakak sepupu dari bapak Y. Hanya saja di antara anak masing-masing
tidak saling mengenal karena jarak yang memisahkan, salah satu di antaranya
menetap di Padang dan yang lainnya menetap di kota Jakarta.
DA adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, terdiri dari dua orang
perempuan dan lima orang laki-laki dari pasangan suami-isteri Bapak M dan ibu
A. Di kota Jakarta DA baru bermukim selama 3 tahun, sedangkan sebelumnya di
Kota Padang bersama kedua orang tua dan enam saudaranya yang lain. Sebelum
menetap di kota Padang, ibu dan saudara DA menetap di daerah Pariaman.
Perpindahan ke kota Padang, adalah mengikuti ayah yang bekerja sebagai PNS
pada salah satu instansi pemerintah di kota Padang. Semenjak perpindahan itu,
DA bersama orang tua dan saudara-saudaranya berkumpul dan berdomisili di kota
Padang. Sementara itu Y adalah anak pertama dari empat bersaudara dari
pasangan suami-isteri S dan M. Di kota Jakarta, Y bersama kedua orang tua dan
tiga saudara-saudara yang lain. Di Jakarta Y dan keluarganya baru menetap
selama 15 tahun, yang sebelumnya mempunyai domisili yang berpindah-pindah.
Sebelum menetap di Jakarta, Y dan keluarga berdomisili di Kalimantan. Kondisi
ini disebabkan oleh karena ayah dari Y karyawan salah satu perusahaan BUMN
yang selalu mengadakan mutasi dalam jangka waktu lima tahun sekali terhadap
karyawannya. Akibatnya Y dengan saudara-saudaranya yang lain mempunyai
tempat lahir yang berbeda-beda seperti; Kalimantan, Jakarta, dan Yogyakarta.
DA hingga berumur 24 tahun berdomisili di kota P bersama dengan orang
tua dan enam saudaranya yang lain. Pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi di
tempuhnya di kota yang sama. Berbeda dengan Y, menempuh jenjang pendidikan
ditempat yang berbeda-beda, karena harus mengikuti kedua orang tua yang selalu
berpindah-pindah tugas. Pendidikan SD hingga SMP ditempuh di daerah
132
Kalimantan, pendidikan SMA ditempuh di kota Padang dan Perguruan tinggi di
tempuh di kota Jakarta pada Universitas Tri Sakti di kota Jakarta.
Perjalanan DA sampai ke kota Jakarta, disebabkan karena tidak kunjung
mendapat pekerjaan di daerah asalnya, setelah dua tahun menamat pendidikan di
Perguruan Tinggi di jurusan Manajemen. Melalui dorongan salah seorang mamak
yang berdomisili di kota Jakarta, maka DA diajak bersamanya, dengan tujuan
mencari pekerjaan. Sesampai di kota Jakarta, DA tidak langsung mendapat
pekerjaan. Dari pada menganggur dan berdiam diri di rumah, DA diajak oleh
mamak untuk magang di kantornya. Tawaran itu langsung diambil DA, hitunghitung untuk mencari pengalaman sambil menunggu panggilan kerja yang sesuai.
Selama tiga bulan magang, akhirnya DA mendapat panggilan kerja disalah satu
perusahaan swasta yang bergerak di bidang Garmen dan pekerjaan itu hingga saat
ini masih dijalani.
Berbeda dengan Y, yang telah duluan menetap di kota J bersama dengan
kedua orang tua dan saudaranya yang lain, untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah
sesulit yang ditempuh DA. Dengan dukungan fasilitas lingkungan yang memadai
seperti; sarana dan prasana yang lengkap hidup di kota besar seperti Jakarta serta
dorongan orang tua yang cukup secara finansial, memungkin Y untuk mempunyai
nilai lebih, sehingga pada saat menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi, Y
langsung mendapat pekerjaan pada salah satu perusahaan swasta terkemuka.
Namun pekerjaan ini hanya dijalani hingga awal perkawinan dan setelah itu
membuka usaha sendiri (warung) di rumah sambil menjaga anak dan mencari
tambahan pendapatan keluarga.
Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Pertemuan antara DA dengan A, yang berujung kejenjang pernikahan
tidak diperkirakan sebelumnya. Karena pada saat menempuh pendidikan sarjana
(S1) di Kota Padang, DA telah mempunyai teman dekat. Hubungan DA dengan
teman wanitanya itu telah berlangsung selama 4 tahun, tetapi akhirnya putus
karena adanya perbedaan pandangan. Begitu pula dengan teman wanita
berikutnya, hanya berlangsung selama dua tahun, juga berakhir dengan kata putus,
karena adanya persamaan suku di antara keduanya menyebabkan hubungan tidak
berlanjut.
133
Perjumpaan antara DA dengan Y di awali dari ajakan perkenalan dari
salah seorang kerabat yang telah lama menetap di kota Jakarta. Tepatnya suami
dari adik perempuan dari bapak DA dan saudara sepupu pula dari ibu Y. Jadi di
antara keduanya terikat hubungan kekerabatan. Pada waktu itu DA diajak ke
rumah Y yang berlokasi di daerah Tanggerang, sedangkan DA sendiri berdomisili
di rumah mamak di daerah Jakarta Timur.
Pertemuan pertama antara DA dan Y berbuah hasil yakni sampai kepada
jenjang perkawinan. Dimata DA, Y adalah seorang wanita yang cantik, baik dan
telah mandiri (mempunyai pekerjaan). Begitu juga sebaliknya, DA dipandang Y
sebagai orang yang cukup dewasa yang mampu menjadi sandaran hidupnya di
masa depan. Dengan pekerjaan yang ditekuni merupakan salah satu ketertarikan Y
pada DA, selain keduanya telah mengenal latar belakang keluarga dari orang tua
masing-masing. Begitu juga dengan orang tua Y, DA adalah seorang laki-laki
yang pantas dengan anaknya, disamping mempunyai latar belakang pendidikan
yang sama juga telah mempunyai pekerjaan yang tetap dan latar belakang
keluarga yang jelas. Selain itu Y, sendiri di mata orang tua telah cukup umur
untuk dicarikan jodoh.
Dengan tidak membuang waktu, orang tua Y langsung mengambil sikap
untuk meresmikan hubungan di antara keduanya, setelah keduanya dipandang
cocok. Tempat tinggal yang berbeda dan mempunyai jarak yang cukup jauh yakni
Jakarta dan Padang, tidak menjadi penghalang bagi orang tua Y untuk
mengemukakan maksud dan tujuannya kepada orang tua DA. Namun karena di
antara kedua belah pihak terikat hubungan kekerabatan, maka pembicaraan
mengenai proses pelaksanaan perkawinan dibicarakan lewat telpon mulai dari
peminangkan hingga penentuan hari pernikahan. Bagi orang tua DA tidak menjadi
masalah, yang penting rencana baik itu dapat terselenggara sesuai dengan yang
direncanakan.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik
Pernikahan DA dengan Y berlangsung pada akhir tahun, tepatnya pada
bulan Oktober tahun 2000 di Jakarta. Setelah melalui masa perkenalan kurang
lebih selama lima bulan. Saat itu usia DA telah memasuki 30 tahun dan Y 24
tahun.
134
Perkawinan antara DA dengan Y dilaksanakan dengan tradisi bajapuik
yakni memakai uang japuik (uang hilang). Meskipun di antara keduanya
mempunyai hubungan kekerabatan dan pesta diselenggarakan di Jakarta yang jauh
dari lingkungan sosial budayanya. Bagi DA sendiri, uang japuik dalam
pelaksanaan perkawinan merupakan suatu persyaratan yang harus di penuhi oleh
orang tua Y, karena sama-sama berasal dari daerah Pariaman. Keharusan untuk
memberi uang japuik telah menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan. Begitu
juga dengan orang tua DA, uang japuik adalah telah menjadi tradisi dalam setiap
pelaksanaan perkawinan. Mau tidak mau harus dilaksanakan oleh pihak
perempuan. Sementara itu di pihak keluarga Y sendiri uang japuik adalah
kewajiban yang harus dipenuhinya, bila bermenantukan orang Pariaman dan
menjadi persyaratan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak
perempuannya.
Jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA pada waktu itu
sebanyak Rp 7,5 juta. Setelah kedua belah pihak antara orang tua DA dengan
orang tua Y terlibat negosiasi, dimana pada awalnya berjumlah Rp 10 juta. Jumlah
yang disepakati itu merupakan hasil musyawarah antara orang tua DA dengan
Pak tuo (seorang ninik mamak) yang berdomisili di daerah Pariaman, karena
dipandang sebagai orang yang mengetahui banyak tentang tradisi bajapuik. Bagi
orang tua DA, uang japuik adalah untuk bekal biaya menghadiri pesta pernikahan
yang akan dilangsungkan di Jakarta. Jadi uang japuik itu akan di gunakannya
untuk transportasi, dan biaya-biaya lain untuk menurunkan marapulai. Selain itu
memberikan bingkisan kepada mempelai perempuan (anak daro) sebagai
paragiah jalang.
Di pihak Y, uang japuik telah dipersiapkan oleh orang tua Y. Meskipun
pada saat pesta bantuan dari keluarga luas tetap berdatangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung yakni dengan berkirim melalui keluarga yang datang,
karena keluarga besar Y, pada umumnya berdomisili di daerah Pariaman.
Bantuan itu datang dari pihak ibu (nan saparuik) dan pihak bapak Y (bako).
Dengan situasi dan ciri-ciri lingkungan budaya yang berbeda antara
keluarga DA dengan keluarga Y, tradisi bajapuik tetap dilaksanakan karena
membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak keluarga DA,
135
keuntungan
yang
didapat
berupa
materil,
di mana
dapat
menghadiri
menyelenggaraan pesta anak/adik/kemenakan di daerah rantau. Jauhnya lokasi
pesta yang akan dihadiri oleh keluarga DA menjadi alasan untuk meminta uang
japuik. Selain sebagai penghargaan (prestise) kepada DA sendiri yang diangkat
sebagai menantu dan sekaligus mencirikan identitas, asal-usul dan status sosial
ekonomi. Bagi pihak keluarga Y, keuntungan yang diperoleh adalah berwujud non
materil, khususnya mendapat menantu yang diinginkan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik memberi dorongan
untuk terlaksananya tradisi bajapuik adalah bahwa dengan uang japuik dapat
menguntung keluarga kedua belah pihak. Oleh karena adanya pemahaman
terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam tradisi bajapuik oleh
masing-masing aktor yang terlibat, maka perkawinan dapat berlanjut (terlaksana).
Orang tua Y yang telah lama meninggalkan kampung halaman dan menetap di
kota besar, tetap mau melaksanakan tradisi bajapuik. Karena bila tidak dipenuhi,
maka calon menantu yang diinginkan tidak akan didapat. Begitu juga dengan DA
sendiri, tidak merasa malu dengan adanya uang japuik dalam pelaksanaan
perkawinannya, karena berdomisili orang tua yang jauh tentu membutuhkan
biaya. Dengan demikian masing-masing pihak mendapat keuntung dari
pelaksanaan tradisi bajapuik. Meskipun orang tua dari Y, sempat melakukan
negosiasi untuk pengurangan jumlah uang japuik, namun pada akhir dapat
memenuhi jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA.
6.3.2. Kasus Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum
Pernikahan
Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
Zym (54 tahun) Zln
(51 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang
menikah di daerah Pariaman, karena kedua orang tua terutama dari ibu Zln
bermukim di sana. Zym (54 tahun) adalah seorang karyawan pada salah satu anak
perusahaan BUMN di kota Padang. Semenjak di bangku Sekolah Menengah
Pertama (SMP), kedua orang tua bapak Zym telah meninggal dunia dan jadilah ia
tinggal bersama lima orang saudaranya yang terdiri satu orang perempuan dan
empat orang laki-laki. Semenjak itu kehidupannya dibawah pengawasan seorang
mamak yang domisilinya berdekatan.
Berbeda dengan
Zln
adalah seorang
136
perawat pada salah satu perusahaan BUMN terkenal di kota Padang. Kedua orang
tua ibu Zln, masih hidup. Bapak ibu ibu Zln adalah seorang pensiunan PNS pada
salah satu SD Negeri di daerah Pariaman. Mempunyai saudara kandung 6 orang
yang terdiri 4 laki-laki dan 2 orang perempuan. Semua saudara-saudara, baik di
pihak bapak Zym dan ibu Zln sudah berumah tangga dan berdomisili ditempat
yang berbeda.
Dari kecil hingga pendidikan Sekolah Menengah Pertama bapak Zym,
menempuh pendidikan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke Sekolah Teknik
Menengah (STM) di Padang dan tinggal bersama salah seorang kakak di sana.
Sambil sekolah bapak Zym bekerja membantu usaha kakak yang bergerak di
bidang usaha bangunan. Hitung-hitung dapat menanggulangi biaya hidup dan
dapat melanjutkan pendidikan, maka sebagian waktu dicurahkan pada usaha
keluarga itu, hingga akhirnya tamat pada tahun 1973. Kondisi yang hampir sama
juga dialami oleh ibu Zln, pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP)
ditamatkan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke tingkat Sekolah
Lanjut
Tingkat Atas (SLTA) pada salah satu sekolah keperawatan di Bukittinggi. Selama
menempuh pendidikan di sana ibu Zln menyewa kamar (kost) pada salah seorang
rumah penduduk yang berdekatan dengan sekolahnya dan tamat tahun 1976.
Setelah menamatkan pendidikan, baik bapak Zym dan ibu Zln sama-sama
mencari pekerjaan di kota Padang. Pekerjaan pertama yang didapatkan oleh ibu H.
Zln adalah sebagai pegawai honor pada salah satu BKIA yang berada di
kecamatan Nanggalo. Sementara itu bapak Zym, masih pada usaha keluarga,
sambil menunggu dan mendapatkan pekerjaan yang tetap. Empat tahun kemudian,
barulah mendapat perkerjaan yang tetap dan hingga menjelang pensiun masih
tercatat sebagai salah seorang karyawan pada perusahaan itu, sedangkan ibu Zln,
setelah dari satu tahun di BKIA, lalu pindah honor di salah satu puskesmas yang
berada di Lubuk Buaya. Pekerjaan ini di jalani oleh ibu Zln selama dua tahun.
Sambil menjalankan pekerjaan yang sudah ada, ibu Zln tetap memasukan lamaran
pekerjaan d tempat lain, hingga akhir diterima sebagai salah tenaga kesehatan di
rumah sakit perusahaan PT Semen Padang. Pekerjaan ini berlanjut hingga saat ini.
137
Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Perjumpaan antara bapak Zym dengan ibu Zln berawal dari ajakan salah
seorang teman pergi ke pesta perkawinan saudaranya. Sebagai tamu juga pada
pesta itu, pada umumnya hadirin yang datang tidak banyak dikenalnya. Meskipun
demikian, itu tidak menjadi penghalang bagi ibu Zln untuk mengenal sosok teman
yang lain. Dengan duduk yang berdekatan dan saling menyapa antara ibu Zln
dengan bapak Zym, dari sinilah hubungan persahabatn pada awalnya terjalin.
Perjumpaan demi perjumpaan yang dilakukan secara rutin, telah
menguatkan hubungan di antara ibu Zln dengan bapak Zym dan berkembang
menjadi hubungan tali kasih di antara keduanya. Tepatnya 2 tahun sebelum
pengangkatan keduanya sebagai pegawai tetap—pada saat itu ibu Zln masih
honor pada salah satu puskesmas dan bapak Zym bekerja pada CV Tani Subur
milik bersama saudaranya.
Dari perkenalan itu diketahui bahwa di antara keduanya berasal dari
daerah yang sama, tetapi lain desa dan kenagarin. Bapak Zym berasal dari di desa
Gasan kenagarian Kuranji Hilir dan ibu Zln dari desa Pilubang kenagarian
Pilubang. Dengan latar belakang yang sama di antara bapak Zym dengan ibu Zln,
maka komunikasi berjalan lancar dan pembicaraan berkembang kepada masalah
keluarga, seperti jumlah saudara, pekerjaan orang tua dan serta tempat tinggal
masing-masing.
Di Kota Padang, domisili di antara keduanya berdekatan pada awalnya dan
itu berlangsung lebih kurang 2 tahun. Kemudian masuk tahun ketiga
hubungannya, domisili di antara keduanya mulai berjauhan; ibu Zln di Padang
Selatan dan bapak Zym di Padang Utara. Meskipun demikian, jarak tidak
menghalangi pertemuan di antara keduanya. Setiap hari sabtu atau libur menjadi
pertemuan di antara keduanya. Sampai ke jenjang pernikahan hubungan antara
bapak Zym dengan ibu Zln berlangsung hingga 4 tahun lamanya.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik
Pada tahun 1980 antara bapak Zym dengan ibu Zln menikah, setelah
masing-masing bekerja selama dua tahun di tempat pekerjaannya saat ini. Pada
saat itu bapak Zym berumur 26 tahun dan ibu Zln 23 tahun. Dipihak keluarga ibu
Zln, dengan usianya itu sudah pantas untuk berumah tangga, begitu juga di pihak
138
keluarga bapak Zym. Usia yang cukup dewasa dan telah pula mempunyai
pekerjaan telah mendorong keduanya untuk segera menikah.
Pada saat berhubungan dekat (berpacaran), antara bapak Zym dengan ibu
Zln telah sepakat untuk tidak melaksanakan tradisi bajapuik dengan uang japuik
dan jikapun ada, tetapi jumlahnya tidak terlalu besar. Dukungan itu didapat pula
dari saudara laki-laki bapak Zym yang berdomisi di kota Padang. Tetapi ketika
waktu pertunangan tiba dan dilaksanakan di kampung (Pariaman), mamak dari
bapak Zym meminta uang japuik kepada pihak keluarga ibu Zln sebanyak Rp 3,5
juta. Jumlah itu cukup besar, sehingga mengagetkan orang tua dari ibu H.Zln
pada awalnya. Meskipun demikian, orang tua dari ibu Zln tetap bersikap tenang
dan menyanggupi permintaan itu karena baginya uang japuik telah menjadi tradisi
dan diwariskan turun-temurun. Kewajiban memberikan uang japuik merupakan
kewajiban bagi pihak perempuan. Dengan pertimbangan itu orang tua dan
keluarga besarnya ibu Zln menyanggupi jumlah uang japuik yang diminta oleh
pihak keluarga bapak Zym.
Bagi pihak keluarga bapak Hzn, jumlah yang cukup besar itu diminta
kepada pihak keluarga ibu Zln dengan pertimbangan; 1) telah mempunyai
pekerjaan yang tetap; 2) prestise atau kehormatan mamak—masyarakat akan
memandang tinggi kepada mamak di mana kemenakannya mempunyai status yang
tinggi mamak dan akan merasa malu bila kemenakannya tidak dijemput; 3)
adanya keingginan mamak mengambil kemenakan (bapak Zym) untuk dijadikan
menantu.
Untuk pemenuhan uang japuik, di pihak keluarga ibu Zln tidak menjadi
tanggungan orang tua. Keluarga besar (extended family), terutama mamak turun
tangan (berpartisipasi) menanggulangi jumlah uang japuik. Selain itu, ternyata
bapak Zym turut pula membantu memenuhi uang japuik. Bantuan dari bapak Zym
diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap beban yang dipikul oleh pihak
keluarga dari ibu Zln, untuk meringan biaya uang japuik. Kedekatan hubungan
antara bapak Zym dan ibu Zln, sebelum pernikahan, telah mengetuk perasaannya
untuk membantu orang tua dari ibu Zln dengan tanpa diminta. Dimata bapak Zym,
ibu Zln merupakan wanita pantas dan cocok dijadikan pendamping hidup. Selain
sekampung, punya pekerjaan dan juga mempunyai wajah yang cukup menarik.
139
Takut akan kehilangan gadis pujaannya, telah mendorong bapak Zym untuk
memberikan sejumlah uang kepada ibu Zln untuk diserahkan kepada orang
tuanya.
Ternyata pengenalan yang cukup lama tidak dapat meluluhkan atau
menghilang tradisi bajapuik. Oleh sebab itu, oleh aktor yang terlibat seperti bapak
Zym melakukan penyesuaian dalam tradisi bajapuik dalam bentuk memberikan
bantuan kepada orang tua dari ibu Zln. Pada saat itu pelaksanaan perkawinan
antara bapak Zym dengan ibu Zln tetap memakai uang jemputan atau uang hilang.
Jumlah uang jemputan atau uang hilang yang diminta oleh pihak laki-laki,
terutama mamak dari bapak Zym relatif tinggi, merupakan suatu bentuk
peranannya yang dimainkan dalam tradisi bajapuik.
6.3.3. Kasus Perkawinan Dengan Kedudukan Setara
Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
Umumnya antara TM (39 tahun) dan AZ (39 tahun) mempunyai banyak
kesamaan mulai dari umur, pendidikan dan profesi yang ditekuni. Pada saat
menikah sama berumur 27 tahun dan mempunyai profesi yang sama yakni sebagai
staf pengajar pada salah satu Universitas Negeri terkenal di kota Padang. Saat ini
usia keduanya sama-sama 39 tahun, dengan pendidikan terakhir pascasarjana (S2).
dan telah mempunyai 3 orang anak terdiri; 2 orang perempuan dan 1 orang lakilaki.
Meskipun demikian perbedaan di antara keduanya terletak pada latar
belakang dan perjalanan hidup keduanya. Semenjak pendidikan Sekolah Dasar
(SD) hingga pergurunan Tinggi, TM berdomisili di kota Padang bersama kedua
orang tua. dan saudara-saudaranya. Hampir semua kehidupannya dilalui di kota
Padang dan hanya 6 tahun saja usianya dihabis di daerah kelahirannya di
Pariaman. Pekerjaan orang tua TM yang bekerja sebagai salah seorang pegawai
pada instansi pemerintah telah membawa TM bersama ibu dan 4 orang saudaranya
pada waktu itu pindah ke kota Padang. Tepatnya pada tahun 1975, bahkan 2
orang adik TM lahir di kota Padang. Jadilah semua keluarga TM semuanya
berdomisili di kota Padang. Pulang ke kampung hanya ketika waktu tertentu saja
seperti lebaran dan melihat bila ada anggota kerabat yang sakit atau melaksanakan
pesta.
140
Berbeda dengan AZ, dengan orang tua yang berdomisili di kampung
Lubuk Alung mewarnai perjalanan pendidikannya. Pendidikan Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilalui kampung halamannya. Ambisi
dari orang tua dan mamak untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah tamat dari
sekolah Menengah atas memaksa AZ untuk meninggalkan kampung dan masuk
ke Sekolah Analisis Kimia Menengah Atas (SAKMA) di Padang. Setelah tamat
dari SAKMA, AZ mempunyai gagasan baru tentang masa depannya dan
mengambil inisiatif mengambil ujian persamaan pada salah satu SMA di kota
Padang agar dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Jadi setingkat
tamat sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA), AZ mempunyai dua buah ijazah
yakni ijazah SAKMA dan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui ijazah
SMA itulah, AZ hingga saat ini dapat melanjut pendidikan ketingkat yang lebih
tinggi (pascasarjana).
TM mempunyai saudara berjumlah 7 orang terdiri dari; 2 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki. Semua saudara TM telah berhasil menamat
pendidikan hingga sampai Perguruan Tinggi dan enam orang di antaranya telah
bekerja pada instansi pemerintah dan swasta. Hanya 1 orang yang belum bekerja
dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana (S2) di Institut Teknologi
Bandung (ITB). Sementara itu di pihak AZ mempunyai saudara 4 orang terdiri
dari; 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dua di antaranya bekerja sebagai
PNS dan 2 orang lagi masing-masingnya berprofesi sebagai pedagang dan ibu
rumah tangga.
Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Pertemuan TM dengan AZ berlangsung pada bulan Februari 1998. Setelah
keduanya diperkenalkan oleh salah seorang anak tetangga dari TM. Secara tidak
sengaja, AZ bertemu anak tentangga yang bernama R di salah satu Warung
Telkom (Warnet) yang kebetulan sama-sama mempunyai tujuan yang sama untuk
menelpon.
Sambil menunggu antrian, antara AZ dan R terlibat pembicaran mengenai
pengalaman masing-masing. Tidak hanya sampai disitu, pembicaraan juga
merembes ke persoalan lain terutama R menanyakan beberapa orang yang
dikenalnya, yang sama bekerja dengan AZ. Karena baru saja menjadi staf
141
pengajar di Universitas itu, AZ tidak mengenal orang yang dimaksud oleh R.
Namun AZ sendiri menjadi penasaran dengan salah satu yang disebutkan R,
sehingga mendorong AZ untuk mengenal lebih jauh. Akhirnya disepakati untuk
bertemu dengan orang yang dimaksud R.
Karena hari sudah sore menjelang magrib, maka AZ diajak R untuk sholat
magrib di rumah pak eteknya. Keduanya sholat magrib di sana. Menjelang sampai
ke rumah TM, AZ diajak mampir ke rumah R yang jaraknya ± 50 meter dari
rumah TM. Bagi R tujuan hanya untuk sekedar menukar pakaian dan AZ dengan
sabar menunggu aba-aba berikutnya. Setelah semuanya siap, maka berangkatlah
AZ dengan R ke rumah TM.
Sampai di tempat yang dituju, ternyata orang yang dimaksud tidak berada
di rumah dan sedang berada di luar kota. AZ sebagai orang yang mempunyai
maksud hanya terlibat pembicaraan dengan orang tua, dan adik-adik TM.
Sementara R sendiri hanya sekedar menimpali pembicaraan-pembicara yang
sekali-kali mengarah kepadanya. Sambil mencairkan suasana AZ mengambil dan
melihat-lihat album yang ada dietelase meja tamu. R yang duduk berdekatan turut
mengarahkan AZ kepada orang yang dimaksudnya. Hampir 2 jam lama
mengobrol dengan tuan rumah, akhirnya AZ dan R mohon pamit untuk pulang,
sambil menitipkan sebuah kertas kecil yang berisi identitas dirinya kepada tuan
rumah agar disampaikan kepada TM.
Sehari setelah kedatangan keduanya, TM pulang ke rumah. Sesampai di
rumah TM disambut dengan sebuah guyonan dari salah seorang adik laki-lakinya
di mana ada seorang laki-laki yang ingin mengajak berkenalan. Belum sempat
menjawabnya, adik laki-laki itu menimpali lagi, terima sajalah karena orang itu
satu profesi dan “ganteng” lagi. Ucapan yang dilontarkan dari adik laki-lakinya
membuat TM penasaran, meski pada saat itu tidak dilihatkan secara nyata.
Bak seperti pepatah, “pucuk dicinta, ulam tiba”, ternyata yang diharapkan
kehadiran menampakan titik terang. Kira-kira jam 5 sore, setelah 2 jam setelah
TM sampai di rumah datang telpon dari AZ yang menyampaikan keinginan untuk
datang dan bertemu dengan TM setelah sholat magrib. Sesuai dengan waktu yang
telah dijanjikan, tidak lama kemudian AZ muncul dan disambut langsung oleh
TM dan dipersilahkan masuk dan duduk. Perbicaraan pada pertemuan pertama
142
berkisar masalah pekerjaan. Karena keduanya berasal dari bidang sama, maka
pembicaran menjadi hangat dan berkembang.
Setelah pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan
berikutnya. Berbagai alasan yang dapat dijadikan AZ untuk bisa bertemu dengan,
termasuk ingin mengetahui tempat pekerjaan TM. Satu bulan berikutnya, barulah
AZ menyampaikan maksud dan tujuannya kepada TM bahwa ia ingin
berhubungan serius. Sebagai tindak lanjut dari sikapnya itu, besok harinya AZ
langsung membawa TM ke rumah orang tua dan saudaranya untuk diperkenalkan.
Ternyata respon dari pihak keluarga AZ cukup baik dan menerima TM untuk
calon isteri anak atau adiknya. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya orang tua
AZ melalui anaknya mempersilahkan orang tua TM untuk datang ke rumahnya
dalam rangka melakukan proses perkawinan yang akan dilalui. Kemudian 6 bulan
setelah itu, barulah dilakukan pernikahan yakni tepatnya pada bulan November
tahun 1997.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik
Proses perkawinan yang dilalui cukup unik, dan itu merupakan suatu
perjalanan hidup yang harus dilalui oleh seseorang. Perjalanan hidup seseorang
tidak ada yang persis sama dan inilah yang menjadi karakteristik TM dengan AZ.
Perkenalan melalui anak tetangga yang akhirnya berlanjut keperkawinan
merupakan suatu perjalanan dan garis hidup yang harus dilaluinya.
Dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki, keduanya
mempunyai banyak kesamaan. Di antara keduanya tidak ada yang lebih satu sama
lain, atau dapat dikatakan menempati strata dan level yang sama. Namun pada
saat melangsungkan perkawinannya memakai uang japuik sebagai kharakteristik
dari tradisi bajapuik tetap dibebankan kepada pihak perempuan. Status yang sama
dari TM (calon mempelai perempuan) tidak menjadi pertimbangan bagi keluarga
AZ. Dengan aturan yang berlaku (role of the game) dari tradisi bajapuik yang
biasa berlaku bahwa pihak perempuan yang akan memberi uang japuik, itu saja
yang menjadi pegangan bagi keluarga AZ untuk meminta uang japuik. Artinya
bagi keluarga di pihak AZ, permintaan uang japuik kepada keluarga pihak TM
dengan pertimbangan uang japuik sudah menjadi tradisi dan harus dilaksanakan
oleh pihak perempuan yang dalam hal ini orang tua TM.
143
Jumlah uang japuik yang diminta dari pihak AZ berjumlah Rp 5 juta.
Jumlah itu merupakan hasil kesepakatan dari orang tua, saudara kandung dan
mamak dari AZ sendiri tidak di minta pertimbangannya. Karena masalah
penentuan jumlah uang japuik bukan menjadi urusan AZ. Bagi orang tua AZ
jumlah itu didasarkan atas status yang dimiliki oleh AZ sebagai seorang staf
pengajar pada salah satu Perguruan Tinggi negeri di kota Padang, disamping pada
waktu yang sama orang tua AZ juga membutuhkan dana pula untuk menikahkan
adik perempuannya.
Sementara itu bagi di pihak keluarga TM, jumlah uang japauik itu dapat
diterima, dengan alasan sudah menjadi adat kita. Untuk itu tidak mungkin untuk
menolaknya dan telah diwarisi semenjak dahulunya. Oleh sebab itu agar dapat
suami/menantu, maka uang japuik harus dipenuhi. Apalagi kita berasal dari
daerah yang sama dan telah paham dengan sistem perkawinan yang ada.
Dari ketiga kasus di atas baik perkawinan yang dilakukan dengan sesama
kerabat, perkawinan melalui perkenalan (pacaran) dan perkawinan sesama
kedudukan yang setara, semua memakai tradisi bajapuik dengan uang japuik.
Pertimbangan yang diambil oleh pihak keluarga perempuan adalah nilai budaya
yakni bagaimana cara untuk mendapatkan seseorang laki-laki yang akan dijadikan
menantu atau suami untuk anak perempuan. Untuk itu cara-cara yang diambil
adalah dengan memenuhi persyaratan yang
menjadi tradisi di dalam
masyarakatnya. Sikap pihak keluarga perempuan yang demikian pada hakekat
dibenarkan pula oleh nilai adat yang berlaku khususnya adat Minangkabau. Jika
dalam adat Minangkabau membolehkan menjual harta pusaka untuk mendapatkan
seorang laki-laki yang akan menjadi suami bagi anak perempuan, maka di dalam
masyarakat Pariaman memakai uang japuik. Dengan demikian adanya nilai
budaya inilah menjadi eksisnya tradisi bajapuik hingga saat ini. Dengan merujuk
kepada proposisi Homans tentang nilai, maka semakin tinggi nilai tindakan
seseorang bagi dirinya, maka makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu
(Homans dalam Ritzert & Goodmann, 2004).
144
6.4. Ringkasan Bab
Pertukaran yang
terjadi dalam tradisi bajapuik didasarkan atas
pertimbangan status sosial ekonomi, khususnya pekerjaan yang dimiliki oleh
calon pengantin laki-laki. Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni
antara pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki
sebagai penerima. Aktor-aktor yang terlibat digolongkan atas keluarga inti
(nuclear family) seperti; ayah Ibu dan anak dan keluarga besar (extended family)
seperti mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat
seperti; kepalo mudo dan ninik mamak. Keterlibatan masing aktor terdistribusi ke
dalam proses dan pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik.
Pertukaran yang terjadi sehubungan dengan tradisi bajapuik yakni antara
keluarga kedua belah pihak adalah dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan
norma-norma di dalam masyarakat. Antara keluarga kedua belah pihak terdapat
nilai-nilai dan norma yang berbeda dalam melaksanakan tradisi bajapuik. Pihak
keluarga laki-laki sebagai penerima dan pihak keluarga perempuan sebagai
pemberi. Bagi pihak keluarga laki-laki, pertimbangan pemberian uang japuik
kepada seorang laki-laki didasar atas status sosial ekonomi (status pekerjaan) dari
seorang calon pengantin laki-laki, sedangkan di pihak keluarga perempuan di
dasarkan atas kemampuan keluarga dalam mempersiapkan uang japuik
diutamakan, selain calon mempelai perempuan mempunyai status sosial yang
sama dengan calon mempelai laki-laki.
BAB VII
EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM
PERUBAHAN MASYARAKAT
Pada bab ini diuraikan kontinuitas keberadaan perkawinan bajapuik yang
tetap eksis dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Eksis atau adanya
perkawinan bajapuik tentu tidak terlepas dari bagaimana masing-masing aktor
yang terlibat dalam sistem pertukaran yakni pihak keluarga perempuan yang
memiliki kewajiban sosial budaya untuk melaksanakan dan memberi uang japuik
dengan didasari oleh pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowledgeably),
sehingga mampu memberi ruang kepada pihak keluarga perempuan untuk
mendapatkan menantu/suami bagi anak perempuannya, berhadapan dengan pihak
keluarga laki-laki yang akhir-akhir ini lebih cenderung berperilaku ekonomi dan
berorientasi keuntungan dengan didasari status sosial ekonomi dari calon
marapulai. Yang akhirnya menciptakan perilaku yang disesuaikan di antara
keduanya, sehingga tingginya uang japuik dapat di atasi. Namun dengan perilaku
sosial dengan pilihan yang dipertimbangkan yang dimainkan oleh pihak keluarga
perempuan dengan ikut berpartisipasi (terlibat) telah memungkinkan eksisnya
tradisi bajapuik. Dalam artinya menciptakan keseimbangan antara perilaku
ekonomi dengan perilaku sosial khususnya pada pilihan yang dipertimbangkan
sebagai kekuatan yang tidak terelakan.
7.1. Nilai Pertukaran Yang Tetap Terjaga Dalam Tradisi Bajapuik
Kehidupan sosial masyarakat Pariaman penuh dengan nilai-nilai budaya
yang unik dan berkembang dalam hubungan antar kelompok dalam masyarakat.
Sudah menjadi hukum alam bahwa di manapun di dunia ini selalu hidup budayabudaya khas yang berbeda dengan yang lainnya. Salah satu budaya unik dan
menjadi ciri khas dari Pariaman adalah tradisi bajapuik.
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari
adat-istiadat. Koentjaraningrat (1987:25), mengemukakan bahwa “nilai budaya
ialah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar
dari warga masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan penting dalam
hidup”. Dengan demikian nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan
memberikan arah kehidupan warga masyarakat. Lebih jauh Sprenger (dalam
146
Alisyahbana, 1991), nilai budaya meliputi : Nilai teori (T), nilai ekonomi (E), nilai
solidaritas (Sd), Nilai agama dan nilai seni (S), dan nilai kuasa (K).
Adanya bermacam-macam nilai budaya itu, ternyata memberi keuntungan
(benefit) dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga yang dirasakan oleh
masyarakat Pariaman terkait dengan tradisi bajapuik. Meskipun dalam
prakteknya, dasar dan bentuk pertukaran dalam tradisi bajapuik mengalami
perubahan (lihat bab V), namun nilai yang mendasari pertukaran tetap sama yakni
nilai budaya. Nilai budaya ini sekaligus menjadi salah satu pertimbangan selain
pertimbangan ekonomi, dari pertukaran yang terjadi antara keluarga kedua belah
pihak untuk melakukan tradisi bajapuik.
Bagi pihak keluarga laki-laki pemberian uang japuik
dalam tradisi
bajapuik pada awalnya seperti yang dituturkan oleh informan Bgd M L (80 tahun)
sebagai modal bagi laki-laki yang akan berumah tangga. Namun dalam perjalanan
waktu, pemberian uang japuik menjadi keterusan dalam tradisi bajapuik dan
berfungsi sebagai modal untuk melaksanakan pesta perkawinan di rumah pihak
keluarga laki-laki, seperti dijelaskan informan TM (66 tahun):
Uang japuik dalam tradisi bajapuik digunakan untuk keperluan dapur di
rumah pihak keluarga laki-laki. Anak daro yang datang ke rumah mertua
akan dihidangkan sejumlah makanan, mulai dari makanan pembuka
sampai penutup. Selain itu kini telah menjadi tren pula adanya pesta di
rumah pihak keluarga laki-laki, yang diawali oleh pihak keluarga lakilaki yang tidak mempunyai anak perempuan. Uang japuik itu yang
diberikan oleh pihak keluarga perempuan akan digunakan sebagian
untuk keperluan pesta dan sebagian yang lain diberikan kepada anak
daro sebagai paragiah jalang.
Penuturan informan di atas menunjukkan uang japuik terdistribusi
kebeberapa pos pembiayaan di rumah pihak keluarga laki-laki. Tanpa
menghilangkan fungsi yang pertama, kadangkala uang japuik diberi sebagian
kepada calon pengantin laki-laki, setelah biaya pesta dikeluarkan. Dengan
demikian tradisi bajapuik sebagai sumber ekonomi untuk melaksanakan pesta di
rumah pihak keluarga laki-laki.
147
Lebih dari itu, pertukaran dalam tradisi bajapuik dipihak keluarga laki-laki
sebagai bentuk pertukaran intrinsik yakni mengenai harga diri/kehormatan
(prestise), seperti di jelaskan AZ (65 tahun)
Uang japuik merupakan prestise bagi pihak laki-laki dan perempuan.
Bagi pihak laki-laki prestise terdapat pada calon mempelai dan mamak.
Prestise bagi calon mempelai laki-laki adalah simbol status sosial yang
tinggi di dalam masyarakat-- Uang japuik bagi pihak laki-laki
mempunyai makna bahwa calon mempelai laki-laki mempunyai status
sosial yang tinggi yang ditunjukkan oleh pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan. Bagi mamak simbol keberadaan mamak—karena orang
yang datang (pihak keluarga perempuan) tidak hanya dinanti oleh orang
tua mempelai, tetapi juga dinanti oleh mamak. Begitu juga dengan pihak
perempuan merupakan suatu kebanggaan bahwa mereka mempunyai
menantu yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat dan sekaligus
menunjukan bahwa mereka berasal dari status sosial yang tinggi pula
karena mampu menjemput seorang laki-laki yang mempunyai status
sosial tinggi.
Penuturan informan di atas menunjukan bahwa secara intrinsik nilai yang
tertanam dalam tradisi bajapuik penghormatan kepada berbagai pihak seperti
calon mempelai laki-laki dan mamak. Artinya sebagai prestise bagi keluarga besar
(extended family).
Sementara itu di pihak keluarga perempuan, pertimbangan dalam
melaksanakan tradisi bajapuik tidak berbeda dengan pihak keluarga laki-laki.
Bagi pihak keluarga perempuan seperti diakui oleh TM (66 tahun), dengan adanya
uang japuik dapat mencari seorang laki-laki yang sesuai dengan raso jo pareso,
artinya mengetahui baik buruknya akhlak seseorang yang akan diterima sebagai
menantu. Begitu juga dengan status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan)
dari seorang laki-laki, agar dapat memberikan jaminan hidup setelah mereka
berumah tangga nantinya.
Lebih jauh dari itu, bagi pihak keluarga perempuan tradisi bajapuik
sebagai harga diri, seperti yang dijelaskan oleh informan M (71tahun) berikut ini;
Uang japuik dalam tradisi bajapuik mempunyai arti bahwa laki-laki
mempunyai harga (nilai) yang dibutuhkan di pihak perempuan. Bagi
orang Minangkabau dan juga berlaku di Pariaman, nilai yang paling
148
tinggi itu adalah merubah status anak gadisnya dan mempunyai
keturunan dari pernikahan yang dilakukan. Malah sebaliknya bila
seorang laki-laki tidak dijemput penilaian menjadi turun kepada seorang
laki-laki dan akan dipertanyakan pribadi yang bersangkutan.
Pendapat lain yang terkandung dalam uang japuik, khususnya uang jemputan dan
uang hilang dapat dilihat dari penuturan informan Dt UA (80 tahun) berikut ini:
Uang japuik (uang hilang) itu gunanya untuk kegairahan—hal itu karena
ayah, ibu, mamak melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya. Jika
seorang anak gadis telah bersuami kewajiban dan tanggung jawab
keluarga pindah kepada suami. Sebagai bumbu meriah penyerahan
kewajiban dan tanggung jawab itulah uang japuik diberikan. Selain itu
uang japuik yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan merupakan
gengsi dari pihak laki-laki—jika anaknya tidak diberi uang japuik (uang
hilang) nama keluarga akan terangkat terutama mamak. Jika seorang
laki-laki tidak memakai uang japuik, karena mamak tidak dikut sertakan,
lalu diberitahukan keadaan yang sebenarnya, itu artinya sama membuka
malu mamak, sebab mamak itu yang dibicarakannya adalah yang benar.
Mamak dapat mengatakan, “jiko itu yang katuju dek awak bueklah dan
aden indak sato doh” (Jika sesuai menurut selera kerjakanlah, namun
saya tidak akan ikut).
Dengan demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik penuh dengan nilainilai. Nilai-nilai itulah yang menjadi dasar bertindak aktor untuk melakukan
pertukaran dalam tradisi bajapuik atau menurut terminologi Homans disebut
dengan tindakan bernilai—semakin tinggi bernilai suatu tindakan, maka semakin
sering seseorang melakukan tindakan itu. Selanjutnya, dapat dikatakan
masyarakat melakukan perkawinan bajapuik secara nyata dan tidak nyata, dan
tidak hanya mendapatkan nilai ekstrinsik tetapi juga mengandung nilai intrinsik.
Secara umum dapat dikatakan bagi kedua belah pihak, baik pihak laki-laki
maupun pihak perempuan pelaksanaan tradisi bajapuik merupakan sebagai
implementasi dari pengamalan nilai adat Minangkabau. Di pihak keluarga lakilaki, nilai yang mendasari itu seperti dikatakan dalam adat Minangkabau “darek
ba panghulu, rantau ba rajo. Di daerah darek panghulu yang dihormati dan di
rantau ada raja/rajo yang dihormati. Kedua sebutan itu adalah sebagai bentuk
penghargaan kepada orang asa dan sekaligus sebagai pemimpin di kedua daerah
149
itu. Kedua bentuk pemimpin mendapat posisi yang tinggi dalam masyarakat dan
sebagai
penghormatan
kepada
mereka
diberikan
uang
japuik
dalam
perkawinannya. (Mansoer, 1970). Sementara itu di pihak keluarga perempuan
berkaitan dengan anak perempuan sebagai pewaris keturunan (sistem matrilineal).
Anak perempuan yang telah cukup umur yang belum menikah atau“gadih gadang
alun balaki” harus dicarikan jodoh. Bila tidak dapat akan menjadi malu keluarga
dan kaum (Amir1987). Untuk itu harta pusaka dapat digunakan agar perkawinan
dapat terlaksana, termasuk Pemberian sejumlah uang itu adalah dalam rangka
untuk mendapatkan suami bagi anak perempuan. Dengan demikian nilai-nilai dan
norma-norma itulah yang mendasari pelaksanaan tradisi bajapuik bagi keluarga
kedua belah pihak.
7.2. Distribusi Keadilan (Distributive Justice) dalam Tradisi Bajapuik
Pertukaran antara aktor dari pihak keluarga dengan aktor dari pihak lakilaki dalam tradisi bajapuik terdapatnya tawar-menawar (bargaining) dalam sistem
perkawinan. Menurut Lamanna & Riedmann (1991) dan Goode (2007) pada
hakikatnya ada macam-macam yang dipertukarkan yakni; kelas sosial (kekayaan,
berkedudukan tinggi atau berkuasa), umur, kecantikan, dan pendidikan.
Dalam tradisi bajapuik pertukaran berdasarkan pertimbangan atas kelas
sosial (kekayaan, berkedudukan tinggi atau berkuasa); antara calon pengantin
laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, baik dari calon mempelai perempuan
maupun pihak keluarganya. Karena status sosial ekonomi yang tinggi dari calon
pengantin laki-laki selain terkait dengan jumlah uang japuik dan juga terkait
dengan kemampuan ekonomi pihak keluarga perempuan.
Dalam realitanya, posisi status sosial ekonomi tinggi dari seorang
marapulai (mempelai laki-laki), pertukaran cenderung terjadi dengan status sosial
yang tinggi pula, atau istilah setempat “cacak samo cacak, kapuyuak samo
kapuyuak, yang rancak sama yang rancak, yang buruak samo nan buruk”.
Kondisi itu sesuai dengan pendapat Lamanna dan Riedmann (1991); di mana
perkawinan dilakukan dengan menekankan prinsip homogamy Goode, (2007) atau
distribusi keadilan (distributive justice) (Homans dalam Poloma, 2000) .
Status sosial ekonomi yang tinggi bagi calon pengantin laki-laki, akan
dipandang oleh pihak keluarga perempuan bahwa calon menantu baik untuk anak
150
perempuannya. Artinya calon menantu dapat diandalkan untuk menghidupi
keluarga yang akan terbentuk nantinya. Oleh sebab itu status sosial ekonomi yang
tinggi akan menjadi pertimbangan pada tahap awal diterimanya seorang laki-laki
untuk dijadikan menantu, selain calon pengantin perempuan menempati posisi
yang sama pula, karena pada hakekatnya perkawinan bajapuik merupakan
distribusi keadilan. Meskipun tak dapat disangkal bahwa terdapat pula perkawinan
yang tidak seimbang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti;
kepribadian dan kecantikan seseorang.
Selanjutnya bagi pihak keluarga laki-laki dalam menentukan uang japuik
didasarkan atas pertimbangan kelas sosial, sambil melihat pendidikan, pekerjaan
dan pendapatan yang dimiliki oleh anak laki-laki (calon marapulai). Dalam hal ini
pihak keluarga laki-laki telah memahami bila anak laki-laki mempunyai status
sosial tinggi seperti pendidikan, pekerjaan yang bergensi sampai pada pendapatan
yang tinggi maka uang japuik akan tinggi.
Kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik antara Rp 3 sampai tidak
terhingga (lihat tabel 24). Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi uang
japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi tidak terbatas. Khusus pada
bentuk yang kedua, kadangkala terdapat kerelaan dari pihak keluarga perempuan
untuk memberikan uang japuik yang relatif tinggi. Bila calon marapulai
dipandang mempunyai nilai lebih, maka tidak segan-segan pihak keluarga
perempuan akan memberikan uang japuik yang lebih tinggi. Meskipun demikian
pertimbangan mengenai jumlah uang japuik tetap didasarkan atas status sosial
ekonomi yang dalam hal ini pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang dimiliki
calon mempelai laki-laki.
Status sosial ekonomi yang tinggi bagi calon pengantin laki-laki, akan
dipandang oleh pihak keluarga perempuan bahwa calon menantu baik untuk anak
perempuannya. Artinya calon menantu dapat diandalkan untuk menghidupi anak
dan keluarga yang akan terbentuk nantinya. Oleh sebab itu status sosial ekonomi
yang tinggi akan menjadi pertimbangan pada tahap awal diterimanya seorang lakilaki untuk dijadikan menantu, selain calon pengantin perempuan menempati
posisi yang sama pula, karena pada hakekatnya perkawinan bajapuik merupakan
suatu bentuk distribusi keadilan (distributif justice).
151
Bagi pihak keluarga perempuan yang mempunyai kemampuan ekonomi,
jumlah uang japuik yang relatif tinggi akan dapat ditanggulangi. Biasanya mereka
ini, akan mencari calon menantu yang mempunyai status sosial yang tinggi pula.
Sebaliknya dengan pihak keluarga perempuan yang berasal dari kalangan yang
tidak berpunya baik dari orang tua (nuclear family) dan keluarga besar (extended
family) ada kecenderungan mencari calon pengantin laki-laki (marapulai) dari
kalangan yang sederajat pula dengan mereka. Meskipun demikian terdapat pula
penyesuaian dalam bentuk yang lain yakni melalui pertimbangan kepribadian,
kecantikan dari calon mempelai perempuan, sehingga uang japuik yang relatif
tinggi dapat ditanggulangi oleh calon mempelai laki-laki.
Untuk mencapai perkawinan yang keseimbangan (homogamy) dalam
perkawinan bajapuik, dapat diawali dengan proses pencarian pasangan (merasok).
Proses ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, baik dari pihak laki-laki
maupun dari pihak perempuan. Dengan proses ini diharapkan mendapatkan
pasangan dengan ciri-ciri/sifat-sifat yang relatif sama dalam status sosial, terutama
untuk kedua calon pengantin. Proses ini dalam masyarakat dikenal juga dengan
istilah, “cacak samo cacak, kapuyuak samo kakapuyuak”. Artinya perkawinan
bajapuik dapat terlaksana, jika di antara keduanya menempati posisi yang sama.
Dengan meresek atau merasok akan diperoleh gambaran mengenai identitas dan
latar belakang calon pengantin laki-laki. Selain itu, dengan meresek sekaligus
bertujuan untuk menelusuri sicalon yang akan dijadikan menantu, beserta
keluarganya, apakah bersedia untuk menerima orang yang datang. Tindakan ini
dilakukan, terutama bila seorang anak perempuan telah pantas untuk dikawinkan
dan belum mempunyai pilihan sendiri. Bagi anak perempuan yang sudah
mempunyai pilihan sendiri dan sudah ada komitmen dengan calon pasangannya,
maka orang tua dari pihak perempuan hanya meneruskan langkah selanjutnya.
Proses meresek dilakukan oleh orang tua dari pihak perempuan, terlebih
dahulu telah mempertimbangkan bahwa laki-laki yang akan dipinang memang
pantas dan cocok dengan anaknya. Setelah itu, barulah orang tua tersebut
mengutus salah seorang dari anggota keluarganya untuk datang ke rumah calon
yang di tuju. Kedatangan ini sekaligus minta izin kepada orang tua calon
mempelai laki-laki untuk dapat melepas anaknya untuk dijadikan menantu. Dari
152
keterangan orang tua ini nantinya akan diperoleh informasi tentang kesediaannya
dan juga sianak yang akan di pinang. Apabila sudah ada aba-aba kesediaan dari
pihak keluarga laki-laki, maka dibuatlah perhitungan selanjutnya.
Untuk mencapai perkawinan yang seimbang (adil/homogamy) dalam
tradisi bajapuik dapat dilakukan pula melalui penyesuaian-penyesuain. Dalam hal
ini penyesuaian dilakukan oleh kedua belah pihak—pihak keluarga laki-laki dan
pihak keluarga perempuan. Penyesuaian perilaku dalam tradisi bajapuik di dasari
dari nilai-nilai dan norma-norma (norma sosial) yang mengitari kehidupannya.
Semakin besar keuntungan yang didapat oleh aktor, maka semakin besar
kemungkinan aktor pertimbangkan norma sosial (choosing knowledgeably)
sebagai dasar perilakunya.
Secara teoritis dalam teori pertukaran sosial bahwa perilaku sosial sebagai
aktivitas nyata dan tidak nyata dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah dan
biaya. Ternyata pertukaran dalam tradisi bajapuik tidak hanya untuk mendapatkan
seorang menantu/suami bagi anak perempuannya, tetapi juga untuk menutupi
malu keluarga dan kaum (mempertinggi harga diri), sehingga mendorong pihak
keluarga perempuan untuk melaksanakan tradisi bajapuik. Sejauh mana dorongan
intrinsik berpengaruh dalam tradisi bajapuik bagi pihak keluarga perempuan? Ini
tergantung pada; sejauh mana nilai-nilai dan norma-norma (dorongan intrinsik)
tertanam (terinternalisasi) dalam masyarakat. Apabila nilai-nilai dan norma
terinternalisasi, maka tradisi bajapuik dengan uang japuik akan dilaksanakan
sepenuhnya.
Sebaliknya
apabila
nilai-nilai
dan
norma-norma
kurang
terinternalisasi, maka tradisi bajapuik dengan uang japuik akan tidak dilaksanakan
dengan sepenuhnya. Artinya terdapatnya perilaku-perilaku yang disesuaikan yang
dilakukan oleh pihak keluarga perempuan dan calon pengantin dalam tradisi
bajapuik kepada pihak
keluarga
laki-laki
untuk
mendapatkan seorang
menantu/isteri.
Terdapat perbedaan pemahaman nilai-nilai dan norma-norma di antara
masyarakat yang berada pedesaan dan perkotaan. Menurut Giddens (2002 ), gaya
hidup mempunyai kekuatan yang sangat kuat untuk terjadi perubahan dalam
masyarakat. Untuk kasus tradisi bajapuik dengan kehidupan daerah pedesaan
yang bersifat mekanis tanpa disertai dengan kemauan dan kesadaran, membuat
153
aktor harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku dalam tradisi bajapuik.
Artinya nilai-nilai dan norma-norma tertanam (terinternalisasi) kuat di pedesaan.
Oleh sebab itu agar aktor tidak terlempar dari lingkungan sosial, aktor harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berbeda dengan pelaksanan tradisi bajapuik
yang ada di perkotaan, dengan kehidupannya yang bersifat dinamis, dengan
disertai dengan kemauan dan kesadaran sendiri, membuat aktor melakukan
penyesuaian dalam tradisi bajapuik. Artinya nilai-nilai dan norma tidak
terinternalisasi dengan kuat diperkotaan, sehingga tradisi bajapuik dilaksanakan
tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada, sehingga
membawa perubahan-perubahan dalam tradisi bajapuik. Jika di pedesaan bentukbentuk pertukaran berupa uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang
tungkatan, maka di perkotaan berupa uang jemputan (baca uang hilang), dan
uang selo.
Berarti tradisi bajapuik yang dilakukan dengan sesama masyarakat
Pariaman (pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) memiliki
pemahaman nilai-nilai dan norma-norma yang kuat. Artinya dengan pemahaman
nilai-nilai yang sama kuat, maka tradisi bajapuik akan terlaksana sesuai dengan
aturan yang berlaku. Dalam pemahaman nilai-nilai dan norma-norma yang sama,
berarti mereka telah terinternalisasi dalam perilaku personal. Masing-masing
pihak yang terlibat dalam tradisi bajapuik berusaha melaksanakan sesuai dengan
aturan yang berlaku (role of the game) yang ada, sebab apabila melakukan tradisi
bajapuik tidak sesuai dengan role of the game, maka pihak yang terlibat akan
mendapat ganjaran berupa cemoohan.
Bagi pihak laki-laki yang berada dipedesaan dan diperkotaan melakukan
tradisi lebih didasarkan atas perilaku ekonomi dengan tujuan mengutamakan
efisiensi dan keuntungan ketimbang melakukan dengan role of the game, nilainilai dan norma-norma yang ada. Tujuan melakukan pertukaran lebih didasarkan
atas pertimbangan ekonomi
7.3. Keterlibatan Keluarga Luas (extended family) dalam Tradisi Bajapuik
Dalam konsepsi perkawinan di Minangkabau, keluarga luas (extended
family) ikut dalam pelaksanaan perkawinan mulai dari pencarian jodoh sampai
pada pasca perkawinan (pesta) (Navis, 1984). Keluarga luas yang dimaksud
154
adalah yang berasal dari pihak ibu dan dari pihak ayah, yang di dalam istilahnya
disebut dengan nan saparuik dan induak bako. Keterlibatan keluarga luas dalam
perkawinan pada umumnya dipandang dari dua kelompok ini mempunyai tujuan
yang berbeda. Dari pihak nan saparuik, keterlibatannya ditujukan kepada anak,
adik dan kemenakan, sedangkan dari pihak induak bako keterlibatan itu ditujukan
kepada anak pisang. Dipandang dari adat Minangkabau, adanya pengelompokan
ini berkaitan dengan kedudukan dalam adat, fungsi seseorang dalam masyarakat
adat dan segala urusan yang berkaitan dengan harta pusaka.
Urang nan saparuik yang dimaksud adalah satu perut dari pihak ibu yang
terdiri dari; ayah, ibu, saudara kandung, saudara dari ibu (mamak, etek, mak tuo),
kakek dan nenek atau seperti yang terlihat pada skema 9 berikut ini.
N
A
I
SLI
SPI
E
S
L/P
Gambar 9. Anggota Keluarga dari pihak Ibu
Keterangan :
N
A
I
SLI
SPI
S
E
LP
=
=
=
=
=
=
=
=
Nenek
Ayah
Ibu
Saudara Laki-laki dari Ibu
Saudara Perempuan dari Ibu
Sumando
Ego (laki-laki / perempuan)
Saudara ego (Laki-laki / Perempuan)
Kemudian induak bako adalah saudara dari ayah. Adapun yang termasuk
ke dalam induak bako antara lain; nenek, saudara perempuan dan laki-laki dari
155
pihak ayah. Timbulnya induak bako disebabkan oleh perkawinan dari kedua orang
tua. Melalui perkawinan menimbulkan terjadinya sistem kekeluargaan sumando
(semenda), yang sekaligus juga memperlihatkan pola hubungan antara kelompok
keluarga dari pihak ayah (induak bako) dengan kelompok urang nan saparuik
(samande) melalui anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan, dengan istilahnya
anak pisang. Anak pisang adalah anak dari saudara laki-laki yang dipandang dari
saudara pihak ayah. Adapun induak bako yang dimaksud seperti terlihat pada
skema 10 berikut ini.
N
I
A
SPA
SLA
S
E
L/P
Gambar 10. Anggota Keluarga dari pihak Ayah
Keterangan
N
= Nenek
A
= Ayah
I
= Ibu
SPA
= Saudara Perempuan dari Ayah
SLA
= Saudara laki-laki dari Ayah
S
= Sumando ( Isteri dari Saudara laki-laki Ayah
E
= Ego /Anak Pisang (Perempuan)
L/P
= Saudara ego /Anak Pisang (Laki-laki/Perempuan)
Kedua kelompok keluarga ini terlibat dalam pelaksanaan perkawinan pada
umumnya dan khususnya dalam perkawinan bajapuik. Keterlibatan kelompok
keluarga tersebut mempunyai tujuan dan sebutan yang berbeda. Di pandang dari
pihak nan saparauik dan keterlibatan terdapat pada; anak, adik atau kemenakan
yang akan melangsungkan suatu perkawinan. Dari pihak induak bako disebutnya
dengan anak pisang. Begitu juga dengan porsi yang ditempati oleh kedua
156
kelompok keluarga dalam perkawinan bajapuik. Masing-masing telah mendapat
bagian pada tempat mana keterlibatannya difokuskan.
Pada kelompok urang nan saparuik, keterlibatannya dalam perkawinan
bajapuik dapat dikategorikan pada umum dan khusus. Secara umum, keterlibatan
urang nan saparuik hampir seluruh proses perkawinan. Artinya mulai dari
pencarian jodoh sampai pada pasca pesta perkawinan seperti yang telah digariskan
dalam adat Minangkabau pada umumnya. Secara khusus, keterlibatan urang nan
saparuik dalam perkawinan bajapuik terlihat pada bantuan berupa uang untuk
terlaksananya perkawinan, khususnya dalam menangani uang jemputan atau uang
hilang yang menjadi ciri khas dari perkawinan bajapuik. Menurut Navis, (1984),
perkawinan tidak menjadi urusan kedua individu yang akan menikah, tetapi
menjadi urusan keluarga besar (extended family), mulai dari pencarian jodoh
sampai kepada pasca perkawinan.
Kemudian pada kelompok induak bako, lebih fokus kepada bantuan materi
jika dibandingkan dengan bantuan non materi. Keterlibatan induak bako dalam
proses pelaksanaan tradisi bajapuik jarang terjadi. Adanya keterbatasan yang
disebabkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Minangkabau pada
umumnya, maka kedekatan hubungan itu lebih mengarah kepada nan saparuik
dari pada induak bako. Jika ada induak bako yang ikut serta dalam proses
pelaksanaan perkawinan anak pisangnya terutama disebabkan oleh tempat tinggal
tinggal atau domisili yang berdekatan. Perasaan segan dan malu bila menjadi
perhatian masyarakat sekitarnya, telah mendorongnya induak bako untuk turut
serta dalam proses tersebut. Namun demikian, induak bako tetap konsen terhadap
anak pisang memberikan dalam bentuk materi, ketika perkawinan dilaksanakan.
Adanya keterlibatan di antara keduanya (nan saparuik dan induak bako) dapat
dilihat dalam tabel tabel 26 berikut ini.
157
Tabel 26. Keikut sertaan Anggota Keluarga dalam Tradisi Bajapuik Menurut
Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Kategori
Ya
Tidak
Orang
Tua
Total
Ya
Tidak
Calon
Mempeali
Total
Ya
Tidak
Saudara
Kandung
Total
Ya
Saudara
Pihak Ibu
Tidak
Total
Ya
Saudara
Pihak
Ayah
Tidak
Kakek
dan
Nenek
dari
Pihak Ibu
Ya
Total
Tidak
Total
Generasi Muda
Laki-laki Perempuan
59
(98,3)
1
(1,7)
60
(100)
11
(18,3)
49
(81,7)
60
(100)
35
(58,3)
25
(41,7)
60
(100)
39
(65,0)
21
(35,0)
60
(100)
17
(28,3)
43
(71,7)
60
(100)
10
(16,7)
50
(83,3)
60
(100)
9
15,0
51
(85,0)
60
(100)
Ya
Kakek
dan
Tidak
Nenek
dari
Total
Pihak
Ayah
Sumber Data Primer 2008
60
(100)
0
(0)
60
(100)
9
(15,0)
51
(85,0)
60
(100)
43
(71,7)
17
(28,3)
60
(100)
53
(88,3)
7
(11,7)
60
(100)
12
(20,0)
48
(80,0)
60
(100)
6
(10,0)
54
(90,0)
60
(100)
6
(10,0)
54
(90,0)
60
(100)
Lakilaki
58
(96,7
2
(3,3)
60
(100)
16
(26,7)
44
(73,3)
60
(100)
44
(73,3)
16
(26,7)
60
(100)
49
(81,7)
11
(18,3)
60
(100)
45
(75,0)
15
(25,0)
60
(100)
24
(40,0)
36
(60,0)
60
(100)
25
(41,7)
35
(58,3)
60
(100)
PeLaku
Perempuan
55
(91,7)
5
(8,3)
60
(100)
14
(23,3)
46
(76,7)
60
(100)
46
(76,7)
14
(23,3)
60
(100)
47
(78,3)
13
(21,7)
60
(100)
48
(80,0)
12
(20,0)
60
(100)
6
(10,0)
54
(90,0)
60
(100)
5
(8,3)
55
(91,7)
60
(100)
Orang Tua
LakiPerempuan
laki
59
55
(98,3)
(91,7)
1
5
(1,7)
(8,3)
60
60
(100)
(100)
2
8
(3,3)
(13,3)
58
52
(96,7)
(86,7)
60
60
(100)
(100)
46
41
(76,7)
(68,3)
14
19
(23,3)
(31,7)
60
60
(100)
(100)
45
46
(75,0)
(76,7)
15
14
(25,0)
(23,3)
60
60
(100)
(100)
54
48
(90,0)
(80,0)
6
12
(10,0)
(20,0)
60
60
(100)
(100)
7
18
(11,7)
(30,0)
53
42
(88,3)
(70,0)
60
60
(100)
(100)
35
7
(58,3)
(11,7)
25
53
(41,7)
(88,3)
60
60
(100)
(100)
Dari tabel di atas terlihat bahwa kedua kelompok keluarga; urang nan saparuik
dan kelompok keluarga induak bako turut serta dalam menangani perkawinan
bajapuik. orang tua, calon pengantin, saudara dari pihak ibu, saudara dari pihak
ayah, serta kakek dan nenek dari pihak ibu dan pihak ayah, yang terdapat dalam
158
struktur keluarga luas (extended familiy) ikut serta dalam perkawinan bajapuik.
Selain kedua kelompok keluarga tersebut terdapat kecendrungan pula pada
individu yang akan menikah untuk turut berpartisipasi dalam perkawinan.
Keterlibatan kelompok keluarga nan saparuik dapat dibagi atas dua;
bantuan moril dan materil. Bantuan moril berupa tenaga dan bantuan materil
berupa benda seperti uang dan alat-alat kebutuhan rumahtangga. Pemberian
bantuan dari pada hakekatnya diberikan oleh anggota keluarga nan saparuik
dengan syarat mereka diberi tahu atau diundang pada penyelenggaraan
perkawinan. Tanpa mengabaikan peranan bantuan dari aktor-aktor dari nan
saparuik, orang tua selaku yang punya hajat pada umumnya mengambil bagian
pada uang jemputan 1, meskipun pada awalnya menjadi tanggungjawab mamak.
Meskipun ada banyak orang yang akan menangulangi biaya dalam perkawinan
bajapuik. Namun orang tua dalam hal ini, merupakan sebagai fondasi harus pula
mempersiapkannya lebih awal. Seperti pepatah mengatakan, “ingat sebelum kena,
hemat sebelum habis”. Artinya orang tua yang mempunyai anak perempuan lebih
awal sudah mulai berhemat untuk mengantisipasi kemungkinan biaya yang akan
dikeluarkan pada saat pernikahan anak perempuan nantinya.
Semua bentuk bantuan itu diberikan kepada anak perempuan. Sementara
untuk anak laki-laki dalam perkawinan lebih hanya dititik beratkan pada bantuan
moril. Adanya perbedaan bantuan yang diberikan kepada anak yang berlainan
jenis, lebih di dasarkan pada pelaksanaan perkawinan bajapuik. Pada perkawinan
bajapuik anak perempuan dalam pelaksanaan perkawinannya membutuhkan biaya
yang cukup besar dan harus mengeluarkan berbagai macam bentuk uang.
Sebaliknya dengan perkawinan pada anak laki-laki, orang tua akan menerima
uang jemputan atau uang hilang. Sehingga wajarlah untuk pemberian bantuan
diberikan kepada anak perempuan dalam pelaksanaan perkawinannya. Sebagai
gambaran dapat dilihat dari penuturan informan TM (67 tahun) berikut ini.
1
Uang jemputan dalam artian sebenarnya yang belaku pada masyarakat pedesaan, yakni sebagai
uang yang berupa benda seperti emas atau kendaraan atau rumah adalah sebagai modal atau hadiah
kepada anak perempuannya yang akan melangsungkan perkawinan. Uang jemputan seperti yang
disebutkan di atas dipulangkan dan akan dinikmati oleh calon pengantis sebagai modal bagi
mereka untuk berumahtangga. Oleh sebab itu mengenai uang jemputan ini, adalah tanggungjawab
orang tua pada umumnya.
159
Yang terlibat dalam menangani uang jemputan dan uang hilang
(perkawinan bajapuik) tentunya dari kaum perempuan. Jika ibarat
kayu—yang berat itu dipangkalnya dan jiko rumah yang berat itu
rusuknya. Maka dalan hal ini yang memikul yang berat itu adalah orang
tua. Tetapi dalam hal ini, biasanya orang tua jauh hari sudah siap sedia
dengan uang jemputan dan uang hilang meskipun pada pihak yang lain
ada bantuan dari famili lainnya. Segala sesuatu sudah disediakan oleh
orang tua. Itu yang dinamakan dengan ingat sebelum kena, hemat
sebelum habis. Jika dahulu yang mengingatkan itu adalah mamak,
“jangan sampai mau berak baru ingat lubang lantai”. Selain itu bantuan
dari masyarakat juga diperoleh khususnya pada hari H—pelaksanaan
pesta perkawinan. Sedikit banyak bantuan yang datang dari masyarakat
ini tergantung pada siapa yang diundang dan pergaulan yang luas dalam
masyarakat. Jika orang yang mempunyai jiwa sosialnya tinggi seperti
mau
lihat-melihat,
tolong-menolong,
Alhamdulillah
uang
yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik dapat ditanggulangi.
Kondisi ini, sedikit berbeda pada orang yang mempunyai ekonomi
lemah, tidak pula mempunyai mamak dan kurang pula pergaulan dapat
saja sampai menggadaikan sawah untuk penyelenggaran perkawinan itu.
Karena uang yang diperoleh dari pesta perkawinan hanya sekedarnya
saja. Tetapi dalam kenyataan yang ada saat ini, pada hakekatnya uang
hilang itu tidak membebani pihak perempuan karena ini sesuai pula
dengan zaman dimana perhubungan sudah lancar, manusia sekarang
telah mempunyai akal yang panjang dan pergaulan yang luas, maka tidak
ada yang sampai menjual dan menggadaikan. Oleh sebab itu ada banyak
cara yang dilakukan untuk pelaksanaan pesta—di daerah si Cincin
mamak mengumpulkan infak. Selain itu mamak juga mengingatkan
kepada adik atau kakaknya yang perempuan bahwa jika mau melakukan
pesta apakah sudah ada persiapan.
Dari tuturan informan di atas, ada kecenderungan bantuan yang diberikan dalam
perkawinan bajapuik, sebenarnya kembali kepada orang tua. Kondisi ekonomi di
lingkungan keluarga luas turut pula menentukan, selain pergaulannya dalam
masyarakat. Meskipun demikian pada realita yang ada, perkawinan bajapuik tidak
mendatangkan
kerugian
kepada
pihak
perempuan
dan
namun
justru
160
mendatangkan keuntungan. Sebagai gambaran yang diperoleh dari observasi
partisipan diperoleh besarnya bantuan materil bervariasi, tergantung kepada
kemampuan
ekonomi masing-masing anggota keluarga. Tetapi patokan yang
umum, untuk orang yang berasal dari pangka dahan, sebutan untuk mamak, biasa
lebih besar jika dibandingkan dengan undangan umum lainnya. Mamak yang
berprofesi sebagai sopir jumlah bantuannya Rp 500.000 ribu; mamak yang
berprofesi sebagai PNS dan punya usaha tambahan lainnya, jumlah bantuan
masing-masingnya Rp 3,5 juta dan 2 juta; dan mamak yang profesinya sebagai
pegawai swasta (bangunan), jumlah bantuannnya 1 juta. Kemudian adik
perempuan dari ibu (tante dan Uncu) juga memberi bantuan uang. Masingmasingnya berjumlah Rp1 juta dan Rp3 juta. Kemudian dari pihak nenek dan
kakek kandung memberi bantuan yang jumlahnya 1 juta. Begitu juga dari adik
nenek, yang tergabung dalam 1 keluarga, jumlahnya berkisar dari Rp 1 juta
sampai Rp 2 juta.
Bantuan dari keluarga nan saparuik akan terlihat jelas, ketika malam
baretong diadakan. Pada saat itu anggota keluarga yang berasal dari nan saparuik
berkumpul setelah pesta perkawinan dilaksanakan. Jika dahulu, malam baretong
dilakukan 2 atau 3 hari setelah pesta perkawinan dilakukan, namun sekarang ada
kecenderungan dilakukan pada hari sama tepatnya pada malam hari sholat magrib.
Ini dilakukan dalam rangka efisiensi waktu--anggota keluarga nan saparuik
banyak di antaranya yang tidak lagi tinggal bekerja diwilayah yang sama yang
disebabkan oleh profesi yang ditekuninya berbeda.
Pada malam malam baretong pada umumnya dihadiri oleh kaum laki-laki.
Pada saat ini akan terlihat jelas peranan mamak dalam pelaksanaan perkawinan
kemenakannya. Selain itu, masyarakat lingkungan sekitar turut hadir pula pada,
terutama mereka yang cukup dekat hubungan emosionalnya pada keluarga yang
mempunyai pesta. Biasanya undangan yang datang pada malam baretong ini,
sumbangan lebih besar jika dibandingkan undangan yang datang siang hari. Pada
malam itu akan dihitung seluruh hasil dan amplop serta kado yang dibawa oleh
para undangan, baik yang diserahkan langsung ataupun melalui kiriman, sehingga
pada malam itu disebut juga dengan malam baretong (malam menghitung). Pada
malam baretong ini akan terkumpul sumbangan para sanak-famili dan kerabat
161
terdekat serta para undangan lainnya. Untuk menyebutkan dan menerima
sumbangan, ditunjuk seorang ninik mamak yang sudah biasa dipakai dalam
masyarakat setempat. Ninik mamak inilah yang menyebutkan satu-persatu siapa
saja yang memberikan sumbangan.
Pada akhir acara ini ninik mamak akan
menyebutkan modal pesta dan jumlah uang yang di peroleh dari penyelenggaraan
pesta mulai dari siang hingga malam hari. Semua benda yang dibawa oleh para
undangan, baik yang berupa uang ataupun berupa kado semuanya masuk dalam
penerimaan pesta. Dari hasil sumbangan ini semua biaya yang telah terpakai, baik
untuk pesta, uang jemputan (uang hilang) di keluarkan. Biasanya keluarga yang
mempunyai status yang tinggi dalam masyarakat akan memperoleh keuntungan
dari pelaksanaan perkawinan bajapuik, karena mempunyai banyak kenalan,
disegani, dan mempunyai sosial yang tinggi, maka uang yang diperoleh dari
penyelenggaraan pesta juga cukup banyak. Selain itu, dalam pelaksanan malam
baretong ini adanya upaya untuk harus mencukupi dana yang dikeluarkan dari
penyelenggaraan pesta atau istilah setempat disebut ulang aie. Artinya
perhitungan diulangi kembali untuk mencarikan kekurangan uang untuk menutupi
biaya pesta, sampai biaya pesta dapat terpenuhi. Bahkan kadang-kadang uang
yang
diperoleh dari ulang aie melebihi
dari modal pesta, sehingga
penyelenggaraan perkawinan bajapuik menjadi beruntung pula pada akhirnya.
Kemudian bantuan dari induak bako, pada umumnya berbentuk emas
seperti; gelang atau satu set kalung. Selain itu induak bako juga membawa
berbagai hadiah lainnya berupa pakaian dan alat-alat untuk makan yang berupa,
cangkir, piring, gelas minum, tembala, kain baju, sandal dan sebagainya.
Jumlahnya bervariasi tergantung pada kemampuan ekonomi dari bako. Selain itu
kebiasaan masing-masing nagari turut pula mempengaruhi besar kecil dan jenis
bawaannya yang diberikan bako kepada anak pisangnya. Seperti yang terjadi di
kenagarian Kuranji Hilir khususnya di daerah Sungai Geringging, pemberian dari
bako berupa seekor kerbau dan uang jutaan rupiah 2. Pemberian dari bako ini
ditujukankan kepada anak daro (mempelai perempuan), sebagai modal baginya
untuk menjalankan rumahtangga. Oleh sebab itu, untuk pemberian langsung
diserahkan kepada mempelai perempuan dan menjadi hak miliknya. Inilah yang
2
Wawancara dengan salah seorang Informan penenlitian dari kalangan Alim Ulama pada tanggal
14 Juni 2008.
162
dinamakan ba induak bako. Berbeda bantuan dari kelompok nan saparuik, setelah
uang terkumpul melalui malam baretong, uang langsung diserahkan kepada orang
tua. Melalui orang tua, uang itu didistribusi untuk membayar kebutuhan pesta
yang seharusnya dikeluarkan.
Semua pemberian yang berasal dari keluarga luas itu diserahkan dalam
dua kurun waktu yaitu pada pesta perkawinan dan pada malam baretong.
Pemberian dari bako kepada anak pisangnya dilakukan pada siang hari, saat pesta
diadakan dan langsung diserahkan kepada anak daro atau yang sebut juga dengan
acara ba bko ba bakian. Pemberian dari bako ini, menjadi hak milik anak daro dan
dapat digunakan sebagai modal baginya untuk berumahtangga, sedangkan
pemberian dari pihak ibu (nan saparuik) diberikan pada malam hari, saat malam
baretong 3. Pada saat itu semua anggota keluarga berkumpul, termasuk undangan
lain yang belum sempat hadir. Pemberian dari pihak ibu diterima oleh ninik
mamak, kemudian diserahkan kepada orang tua. Oleh orang tua pemberian itu
dapat digunakan untuk kebutuhan perkawinan termasuk untuk uang jemputan atau
uang hilang.
Semua anggota keluarga yang tercakup dalam keluarga luas ikut
berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta perkawinan. Ini sekaligus mencerminkan
nilai-nilai adat yang mengatakan, “ketek anak awak dan gadang anak urang”.
Jadi seorang anak sewaktu kecil menjadi tanggungan orang tuannya, dan setelah
dewasa atau mau berumahtangga menjadi tanggungan bersama yakni keluarga
besar, sehingga perkawinan bajapuik yang memberatkan orang tua menurut
pandangan orang yang tidak memahami atau orang dari luar Pariaman tidak
bertemu dalam masyarakat ini. Dengan adanya kerjasama di antara anggota
keluarga itu, maka perkawinan bajapuik menjadi eksis hinggga sampai saat ini.
Adanya bantuan dan kerjasama di antara anggota keluarga keluarga besar
(extended family dalam tradisi bajapuik, telah membuktikan bahwa ikatan
kekerabatan menyediakan jaringan kepada individu-individu sebagai tempat untuk
3
Adalah malam menghitung seluruh dana yang masuk dan dana keluar. Sehingga dari perhitungan
tersebut akan terlihat apakah suatu pelaksanaan perkawinan tersebut beruntung atau merugi.
Kebiasaan yang berlaku di Pariaman tidak ada pesta perkawinan yang merugi. Jika pada
perhitungan pertama terlihat ada kekurangan dana yang masuk maka yang memimpin acara
baretong akan melakukan dulang air, sampai terpenuhi dana yang akan keluar. Sehingga orang tua
setelah usai pelaksanaan perkawinan tidak ada yang berutang .
163
mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Sussman dan
Burchinal, 1979) .
7.4. Keterlibatan Keluarga Batih (Nuclear Family) Memberi Ruang
Bagi Eksistensinya Perkawinan Bajapuik
Tradisi bajapuik telah terpola sebagai sebuah kultur dalam masyarakat,
sehingga kontaminasi modernisasi belum mampu mengendapkan budaya ini.
Kondisi kultural yang fenomenologis ini membuktikan, bahwa budaya lokal yang
telah terpola dan mapan dalam masyarakat. Untuk itu sulit dirubah dan ia tetap
dianggap menjadi sebuah kearifan budaya oleh masyarakat setempat, sekalipun
konsep budaya lokal itu dipandang miring oleh sekelompok orang terutama
generasi muda yang tidak memahami makna dari tradisi bajapuik itu sendiri.
Begitu juga dari orang yang berasal dari luar Pariaman, tidak jarang pula menjadi
bahan olok-olokan bagi mereka. Meskipun demikian dalam prakteknya, tradisi
bajapuik ini semakin trend dan sulit ditinggalkan oleh laki-laki Pariaman yang
hendak melangsungkan pernikahan, sekalipun pernikahan mereka dibangun atas
dasar saling suka-menyukai. Di satu sisi masyarakat sendiri juga belum mampu
dengan tegas menggugatnya, sehingga imbalan material untuk laki-laki yang akan
dijadikan menantu selalu dan terus ada dalam pelaksnaan tradisi bajapuik,
sekalipun roda zaman telah berputar.
Dengan demikian tidak semua lapisan masyarakat yang mendukung
keberadaan tradisi bajapuik sebagai sebuah tradisi, meski secara umum tradisi itu
hingga saat ini tetap eksis. Dalam teori budaya dikatakan, pendukung yang setia
dari suatu tradisi berada pada golongan tua (Sutrisno dan Putranto, 2005).
Assumsi ini tentu dapat dipahami bahwa golongan tua telah lama hidup dan
mengetahui cukup banyak mengenai tradisi, sekaligus mengetahui kenapa suatu
tradisi muncul dan makna-makna apa yang terkandung dalam suatu tradisi. Tetapi
dalam hal ini tidak dapat digeneralisasi, bahwa setiap individu yang termasuk
pada golongan tua paham dan mengerti mengenai tradisi. Golongan tua yang
termasuk pada kategori ini adalah mereka yang tidak menetap cukup lama di
dalam kawasan tradisi ini, sehingga pemahamannnya terhadap tradisi menjadi
memudar, seperti yang terdapat pada sebagian generasi muda. Meskipun terdapat
164
tingkat-tingkat pemahaman dari suatu tradisi dari berbagai lapisan, tetapi tradisi
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat akan tetap dipertahankan keberadaannya,
seperti yang terjadi dalam tradisi bajapuik.
Sebagaimana kita ketahui, generasi muda adalah golongan yang secara
psikologis belum matang dalam mengambil suatu tindakan, dan tindakan yang
diambil cenderung didasarkan atas emosional dan tanpa pikir panjang. Untuk
menyelesaikan sesuatu itu dengan jalan pintas. Padahal di dalam tradisi bajapuik
mengandung nilai-nilai yang secara ekplisit dan implisit. Bagi keluarga pihak
perempuan menyangkut usaha untuk mendapatkan jodoh dan keturunan tetapi
lebih dari itu yakni menutupi malu keluarga dan kaum bagi keluarga pihak
perempuan, sedangkan bagi keluarga pihak laki-laki adalah menyangkut status
dan prestise dimata masyarakat. Jadi keterlibatan generasi muda khususnya calon
pengantin laki-laki dalam tradisi bajapuik dalam rangka menembus tekanan
struktural dan kultural dan agar tradisi bajapuik tetap berlangsung. Bila tindakan
itu tidak dilakukan, implikasi yang akan diterimanya seperti; perkawinan tidak
dapat terlaksana dan munculnya cemoohan di lingkungan keluarga luas (extended
family) dan masyarakat pada umumnya.
Untuk itu berbagai cara yang dilakukan agar perkawinan tetap
berlangsung. Sikap-sikap yang muncul dalam tradisi bajapuik, khususnya yang
dilakukan oleh generasi muda antara lain:
1. Calon pengantin laki-laki menanggulangi uang japuik sepenuhnya
2. Calon pengantin laki-laki menanggulangi uang japuik sebagian
3. Calon pengantin laki-laki memberikan usulan kepada orang tua mengenai
jumlah uang japuik.
Pola pertama, calon pengantin laki-laki memberikan sejumlah uang
kepada pihak perempuan. Tindakan ini dilakukan karena didukung oleh potensi
diri dari calon penganting laki. Biasanya berasal dari kalangan terdidik dan
mempunyai pekerjaan yang memadai. Ikut serta calon pengantin laki-laki
menanggulangi uang hilang ini karena situasi yang tidak mendukung. Artinya dari
pihak keluarganya bersekukuh meminta uang japuik sebagai syarat dari
berlangsungnya suatu perkawinan. Sementara dari pihak perempuan tidak
mempunyai kesanggupan untuk memenuhinya atau berasal dari luar Pariaman
165
sehingga tradisi itu tidak menjadi kelaziman dalam adat perkawinannya. Keikut
sertaan calon pengantin laki-laki tersebut dapat dipahami dari penuturan informan
Bapak M, umur 70 tahun berikut ini.
Saya mempunyai anak laki-laki 5 orang. 4 orang diantaranya sudah
menikah. Dari keempat anak laki-lakinya tersebut 2 orang diantaranya
yang memakai tradisi bajapuik dan 2 orang yang tidak memakai tradisi
bajapuik. 2 orang yang tidak memakai tradisi bajapuik itu sepertinya, dia
sangat menyukai calonnya. Selain itu, kedua anaknya tersebut telah
mempunyai
pekerjaan
yang
mapan.
Sehingga
pada
saat
memperhitungkan uang japuik antar keluarga, anaknya (calon mempelai)
memberikan pernyataan untuk jangan meminta uang japuik kepada pihak
perempuan. Untuk kebutuhan pesta, biarlah saya yang menanggung
seluruh biaya.
Pemberian uang dari calon pengantin laki-laki dalam rangka untuk
terlaksananya perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara; 1) diserahkan kepada
calon pengantin perempuan; 2) diserahkan kepada orang tua laki dari calon
pengantin laki-laki sendiri. Pada cara pertama, calon pengantin laki-laki
memberikan langsung kepada calon pengantin perempuan. Kemudian dari calon
pengantin perempuan diserahkan kepada orang tuanya, agar pada saat pernikahan
uang japuik itu dapat diserahkan kepada pihak laki-laki sebagai syarat untuk
untuk dapat membawa calon pengantin laki-laki untuk melakukan pernikahan.
Pemberian pada cara pertama ini, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi
tanpa diketahui oleh pihak keluarga dan calon pasangan sama-sama berasal
Pariaman. Kemudian pada cara kedua, biasanya perkawinan dilakukan dengan
orang dari luar Pariaman. Antara calon pengantin laki-laki dengan orang tuanya
telah membuat kesepakatan sebelumnya, agar jangan meminta uang japuik dalam
perkawinannya nanti. Jadi ketika pihak perempuan datang meminang, masalah
mengenai uang japuik tidak dibicarakan lagi. Kepada ninik mamak yang
memimpin acara tersebut dikatakan secara formal ada tetapi jumlahnya tidak
disebutkan, seperti perkawinan yang berlangsung pada salah seorang anak
informan berikut ini.
Pola kedua, laki-laki memberi uang sebagian kepada pihak pengantin
perempuan. Pola kedua ini tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Hanya saja
166
pengantin laki-laki memberi bantuan sebagian dari jumlah uang japuik yang
diminta oleh keluarga kepada calon pengantin perempuan. Pemberian ini
dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan dan diberikan secara sembunyi
tanpa diketahui oleh pihak keluarganya. Uang ini diberikan kepada calon
pengantin perempuan dan selanjutnya diserahkan kepada orang tuanya sebagai
penambah uang japuik yang telah disediakan. Sebagaimana yang terjadi pada
perkawinan salah satu anak dari informan ini. Di mana
perkawinan yang
berlangsung sesama orang Pariaman. Pertemuan antara keduanya dengan cara di
jodohkan. Perempuan berwiraswasta (usaha bordiran), dan laki-laki bekerja
sebagai sopir truk. Pada awalnya orang tua dari laki-laki menginginkan menantu
sesama orang Pariaman. Sementara di pihak perempuan juga sedang mencari
menantu pula. Seperti Ibarat,’’ pucuk dicinta, ulam tiba, atau seperti gayung
bersambut. Maka kedua calon tersebut di pertemukan dan ternyata cocok. Setelah
itu, atas aba-aba dari pihak laki-laki, untuk meminta pihak perempuan datang ke
rumah laki-laki untuk meninjau dan sekaligus bersilaturahmi dengan calon bisan.
Pada acara ini, pihak perempuan membawa, dua sisir pisang dan satu baki lapek
bugis sebagai pembuka pintu. Pertemuan kedua, pihak perempuan datang lagi ke
rumah laki-laki dan kedatangan ini untuk membicarakan tata cara dan syarat –
syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya suatu perkawinan. Pada pertemuan
keluarga yang kedua ini dihadiri oleh ninik mamak kedua belah pihak. Pada
pertemuan inilah ditetapkan uang jemputan dan uang hilangnya dan uang Selo.
Pada waktu persyaratan adat yang diminta, emas sebanyak 2 emas dan uang Rp
2,5 juta dan uang selo Rp 250.000. Uang jemputan dan uang Selo di bayar oleh
orang tua dan uang jemputan sebagian (Rp 1,5 juta) ditanggulangi oleh mamak
dari pihak perempuan karena calon mempelai laki-laki membatu uang hilang
sebanyak Rp 1 Juta, tanpa sepengetahuan dari keluarganya. Bantuan ini sifat
secara sembunyi dan pada waktu penyerahan kepada pihak laki-laki pada saat
akad nikah dilangsung tetap dibunyikan sejumlah yang diminta pada kesepakatan
awalnya (Wawancara 23 Desember 2008).
Pola ketiga, calon pengantin laki-laki memberi usulan kepada orang tua
mengenai jumlah uang hilang. Usulan ini hanya untuk pengurangan jumlah uang
hilang yang harus dikeluarkan oleh pihak perempuan dan tidak untuk
167
menghapuskan sama sekali uang hilang tersebut. Pola ini dilakukan oleh
pengantin laki-laki karena menyukai yang perempuan tetapi kurang berdaya dari
segi ekonomi.
Usulan mengenai pengurangan uang hilang dilakukan sebelum tukar
cincin dan calon pengantin laki-laki dengan langsung menyampaikan kepada
orang tuanya. Ketika ada pertemuan orang tua kedua belah pihak orang tua dari
pihak laki-laki dapat mempertimbangkan usulan dari anaknya dan menyampaikan
sesuai dengan kesepakatan orang tua dan anak dibelakang. Tindakan yang
dilakukan oleh calon pengantin laki-laki memberi usulannya sebelum dilakukan
tukar cincin kepada orang tuanya.
Ketiga pola tindakan generasi muda di atas dilakukan dalam rangka untuk
mendapatkan calon isteri yang dinginkannya. Selanjutnya dengan tindakan
generasi muda seperti itu justru dapat dipahami sebagai tindakan yang mendukung
tradisi bajapuik. Karena begitu kuatnya nilai-nilai dan norma-norma menekan
induvidu memaksanya mengambil pilihan lain. Meskipun tindakan itu dilakukan
secara tersembunyi, tetapi tujuan akhir adalah untuk menyatakan kepada
masyarakat umum bahwa mereka tetap melaksana tradisi bajapuik dalam
pelaksanaan perkawinannya. Tindakan generasi muda itu tanpa keterlibatan
keluarga batih (nuclear family) tidak akan terlaksana. Artinya keluarga batih
(nuclear family) memberi ruang bagi eksisnya tradisi bajapuik.
7.5. Tradisi Bajapuik Dalam Teori Pertukaran
Tradisi bajapuik yang dilaksanakan dalam masyarakat pada umumnya
mempertimbangkan dua nilai yakni: nilai ekonomi dan nilai budaya. Kedua
bentuk nilai itu terdapat pada keluarga kedua belah pihak; baik pihak keluarga
perempuan maupun pihak keluarga laki-laki dan sekaligus menjadikan tradisi
bajapuik dapat eksis dalam menghadapi perubahan masyarakat.
Peran tradisi bajapuik semakin penting dalam pergulatan pencarian jodoh,
terutama bagi pihak keluarga perempuan yang mempunyai anak gadis yang telah
cukup umur untuk menikah, dengan mengambil pilihan yang dipertimbangkan
(choosing knowleadgeably). Sistem perkawinan masyarakat Pariaman yang
terintegrasi dalam sistem adat Minangkabau merupakan proses pertukaran yang
melibatkan dua pihak; antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga
168
laki-laki. Khusus untuk pihak keluarga laki-laki dalam melakukan pertukaran
lebih berorientasi ekonomi ketimbang orientasi nilai budaya, meskipun keduanya
tetap dimiliki sebagai dasar bertindak dalam melakukan pertukaran dalam tradisi
bajapuik dan sekaligus sebagai strategi untuk mendapatkan modal untuk
pelaksanaan perkawinan bagi anak laki-lakinya.
Ketika pihak keluarga perempuan melaksanakan tradisi bajapuik, maka
pilihan tindakan yang diambil lebih berorientasi nilai budaya awalnya ketimbang
nilai ekonomi, meskipun pada akhirnya keduanya menjadi pertimbangan juga baik
bagi masyarakat yang berada di perdesaan maupun di perkotaan. Artinya jauh
dekatnya aktor dengan lingkungan budaya tidak berpengaruh terhadap pilihan
yang akan diambil dan kedua nilai itu tetap menjadi pertimbangan dalam tradisi
bajapuik.
Berkaitan dengan teori pertukaran dan pengaruh lingkungan dalam
pelaksanaan perkawinan, adanya tradisi bajapuik sebagai bentuk pilihan yang
dipertimbangkan (choosing knowleadgeably), agar mendatangkan keuntungan
bagi aktor yang melakukan pertukaran. Semakin dominan tradisi bajapuik
dilakukan dalam pelaksanaan perkawinan, maka semakin dominan pilihan yang
dipertimbangkan (choosing knowleadgeably) diambil sebagai dasar dalam
melakukan pertukaran. Sebaliknya, apabila pelaksanaan perkawinan tidak lagi
melakukan tradisi bajapuik sebagai sarana pencarian jodoh secara umum, maka
pilihan yang tidak dipertimbangkan (choosing default) akan semakin dominan
dalam pelaksanaan pertukaran antara pihak keluarga perempuan dengan pihak
keluarga laki-laki. Oleh karena itu pilihan untuk melaksanakan tradisi bajapuik
terletak pada pilihan yang di pertimbangkan untuk mengeksiskan tradisi bajapuik
yang akan mampu memberikan keuntungan terutama kepada pihak keluarga
perempuan.
Untuk mempertahankan (eksis) tradisi bajapuik, hanyalah dapat dilakukan
dengan mewarisi (sosialisasi) dan menanamkan nilai-nilai (integrasi) yang ada
dalam masyarakat. Eksistensi tradisi bajapuik justru terletak pada pemahaman
nilai-nilai, terutama bagi pihak keluarga perempuan dalam pelaksanaan
perkawinan.
169
Dalam kontek kontinuitas eksisnya tradisi bajapuik ke depannya di
wilayah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, mempertahankan
keterlibatan keluarga besar (extended family) sebagai sarana pelaksanaan
perkawinan, akan memperkuat solidaritas di pihak keluarga perempuan dan
sekaligus sebagai pijakan dasar dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Walaupun di
pihak lain, intervensi keluarga inti (nuclear family) dari pihak keluarga laki-laki
tidak pula dapat di abaikan. Intervensi keluarga besar (extended family) dengan
memberi bantuan dalam bentuk materil dalam pelaksanaan tradisi bajapuik, justru
sangat membantu dan meringan pihak keluarga perempuan terutama orang tua,
sehingga dengan sendirinya tradisi bajapuik dapat dilaksanakan, karena biaya
yang ditanggung menjadi ringan. Walaupun sesungguhnya dalam pelaksanaan
perkawinan yang memakai tradisi bajapuik membutuhkan biaya yang relatif
besar, tetapi dengan adanya keterlibatan keluarga besar (extended family), biayabiaya yang dikenakan kepada orang tua menjadi ringan. Begitu juga dengan
keluarga inti (nuclear family) dari pihak keluarga laki-laki memberi ruang pula
dalam meringan pihak keluarga dalam tradisi bajapuik yakni dengan menerima
pemberian dari anak laki-laki-lakinya sebagai bentuk simbolisasi dari uang japuik
yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan.
Dengan demikian, adanya uang yang harus diberikan oleh pihak keluarga
perempuan untuk mendapatkan seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu.
Jumlah uang itu akan semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya status
sosial ekonomi seorang laki-laki. Meskipun demikian pihak keluarga perempuan
tetap melaksanakan tradisi bajapuik dalam pelaksanaan perkawinan. Fakta
dilapangan menunjukan bahwa keterlibatan kedua keluarga inilah yang turut
meringankan pelaksanaan tradisi bajapuik.
Bentuk-bentuk uang yang muncul antara pihak keluarga perempuan
dengan pihak keluarga laki-laki yakni; uang jemputan, uang hilang, uang selo dan
uang tungkatan. Uang jemputan adalah uang yang diberikan kepada pihak
keluarga laki-laki dan dikembalikan lagi kepada pihak keluarga perempuan
melalui mempelai perempuan pada saat pergi menjalang. Munculnya uang
jemputan sebagai bentuk penghargaan kepada calon mempelai laki-laki pada awal
dan besar kecilnya jumlahnya merupakan simbolisasi dari status sosial yang
170
dimilikinya. Namun pada saat ini uang jemputan sebagai persyaratan umum yang
harus ada dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Kemudian adanya berbagai macam
jenis uang jemputan mempunyai tujuan yang berbeda dalam tradisi bajapuik.
Uang jemputan dalam bentuk emas pengembaliannya di tujukan kepada calon
mempelai perempuan; uang jemputan dalam bentuk kendaraan ditujukan kepada
calon mempelai laki-laki-laki dan uang jemputan dalam bentuk rumah, tujuannya
terbagi dua yakni kepada calon mempelai laki-laki atau kepada orang tua
mempelai laki-laki. Kepada calon mempelai laki-laki, maka rumah sebagai uang
jemputan itu akan digunakan secara bersama-sama dengan menjalan rumah tangga
yang baru di bina, sedangkan kepada orang tua laki-laki, rumah sebagai uang
jemputan itu akan digunakan oleh orang tua dari calon pengantin laki-laki. Untuk
kasus terakhir sangat jarang terjadi, dan keluarga laki-laki-laki terutama orang tua
di pandang mempunyai kemampuan ekonomi lemah, sementara anak laki-laki
yang dijadikan menantu mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi.
Uang hilang, adalah uang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan
kepada pihak keluarga laki-laki dan dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga
laki-laki. Uang hilang merupakan uang japuik dalam pelaksanaan tradisi bajapuik
saat ini. Artinya ukuran besar-kecilnya uang hilang merupakan simbolisasi status
sosial ekonomi seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Semakin
tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang japuiknya dan
sebaliknya. Uang hilang, muncul karena adanya kebutuhan ekonomi yang harus
dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki yakni untuk mempestakan anak laki-lakilakinya dan setelah itu menjadi keterusan hingga saat ini, disamping menunjukan
prestise keluarga.
Uang selo, merupakan uang yang diberikan kepada ninik mamak pihak
keluarga laki-laki. Oleh sebab itu uang selo disebut juga dengan uang ninik
mamak. Munculnya uang selo sebagai jerih payah ninik mamak yang hadir pada
saat pertunangan, khususnya atas luangan waktu dan tenaga yang diberikannya.
Jumlah uang selo berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 700.000 (1 emas) dan
jika didistribusikan kepada ninik mamak yang hadir, masing-masingnya
menerima antara Rp 25.000 hingga Rp 75.000. Besar-kecilnya jumlah uang selo
yang diterima tergantung partisipasi dan keterlibatannya dalam acara pertunangan.
171
Uang tungkatan dalam tradisi bajapuik adalah uang yang diberikan kepada
kepalo mudo (pimpinan mempelai laki-laki). Uang tungkatan merupakan uang
tembusan dari barang-barang tungkatan yang di minta oleh kepalo mudo.
Munculnya uang tungkatan sebagai imbalan jasa kepalo mudo dalam
mendampingi mempelai laki-laki (marapulai). Jumlah jumlahnya hanya berkisar
antara Rp 150.000 – Rp 200.000.
Adanya bermacam-macam bentuk uang dalam tradisi bajapuik adalah
macam-macam uang yang menjadi beban pihak keluarga perempuan, apabila
pihak tersebut terlibat dalam pelaksanaan tradisi bajapuik. Pihak keluarga
perempuan akan berusaha memenuhi uang-uang tersebut sebagai persyaratan
untuk terlaksananya suatu perkawinan, guna menghindari kerugian yang lebih
besar (tidak mendapatkan jodoh untuk anak perempuan) apabila tidak
memenuhinya. Di sini biasanya keterlibatan keluarga besar (extended family)
seperti saparuik dan bako sangat besar perannya.
Besarnya bantuan yang diberikan oleh keluarga besar agak sulit diteksi.
Meskipun demikian patokan umum, pangka dahan sebutan untuk seorang mamak
jumlah sumbangan lebih besar dari jumlah sumbangan dari undangan. Namun
pada dekade terakhir ini ukuran tersebut telah mulai bergeser pula kepada saudara
kandung. Artinya sumbangan yang lebih besar lebih dikenakan kepada saudara
kandung dari mempelai perempuan baik laki-laki maupun perempuan.
Dari sudut pandang analisis macam-macam uang yang terdapat dalam
tradisi bajapuik, maka keberlanjutannya sebagai sarana pencarian jodoh bagi
pihak keluarga perempuan baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan
Minagkabau akan tetap bertahan sepanjang waktu. Artinya model perkawinan
yang mampu bertahan dan masih dilaksanakan oleh masyarakat adalah model
perkawinan yang terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dan adanya
keterlibatan keluarga besar (extended family) dan keluarga inti (nuclear family).
7.6. Ringkasan Bab
Pertukaran yang terjadi, sehubungan dengan tradisi bajapuik di antara
keluarga kedua belah pihak dapat identifikasikan dalam dua kategori yakni nyata
(materil) dan tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu
dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang
172
japuik kepada keluarga pihak laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang
mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dan secara non
materil adalah untuk mendapatkan suami dan keturunan dari hasil perkawinan
yang dilaksanakan. Secara nyata (materil) bagi pihak keluarga laki-laki,
penerimaan sejumlah uang japuik digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki
dan
pelaksanaan
pesta
dan
secara
non
materi
adalah
sebagai
prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai asal-usul yang jelas dan status
sosial ekonomi.
Bentuk pertukaran antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga
perempuan, masing-masing memiliki tipologi pertukaran yang sama, baik dalam
bentuk maupun dalam pertimbangan yang dipilih oleh kedua belah pihak. Dalam
hal ini representasi yang dimunculkan oleh kedua belah pihak keluarga yakni
keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan, melalui model pertukaran
materil dimana tradisi bajapuik dengan uang japuiknya adalah merupakan
prestise/gengsi ekonomi. Berbeda dengan model pertukaran non materil oleh
keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan, dimana tradisi bajapuik
dengan uang japuiknya adalah untuk menutup malu keluarga dan kaum (orientasi
nilai budaya) dan penghargaan/penghormatan terhadap calon mempelai dan
keluarganya (orientasi nilai budaya).
Bagaimana persamaan keberadaan tradisi bajapuik pada keluarga kedua
belah, baik dari pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki
ditunjukkan dalam tabel 27 berikut ini.
Tabel 27. Tipologi Keberadaan Tradisi Bajapuik Dalam Keluarga Kedua Belah
Pihak
Bentuk Pertukaran
Kategori
Materil
Non Materil
Keluarga Pihak Laki-laki
Nilai ekonomi
Nilai budaya
Keluarga Pihak Perempuan
Nilai ekonomi
Nilai budaya
Sumber: Data Primer Penelitian 2008
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa keberadaan tradisi bajapuik di
antara keluarga kedua belah pihak, tampaknya menunjukkan persamaan yang
mendasar pada kedua komponen bentuk pertukaran, baik materil maupun non
materil. Dengan demikian, pertukaran terjadi bagi keberadaan tradisi bajapuik
dilakukan oleh keluarga kedua belah pihak yakni keluarga pihak perempuan dan
173
keluarga pihak perempuan, dengan tujuan dan maksud (pertimbangan) pertukaran
yang cukup signifikan terhadap keberadaan tradisi bajapuik. Namun demikian ke
depannya bentuk pertukaran dengan tujuan dan maksud pertukaran yang
ditampilkan oleh keluarga kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik adalah
adanya kesesuaian dari kedua tipologi itu. Misalnya dalam model pertukaran akan
mengintegrasikan segenap anggota keluarga besar (extended family) dalam tradisi
bajapuik dan terbangunan solidaritas internal, sehingga persoalan yang
menyangkut uang japuik dapat dieleminir dan motif perilaku lebih fokus pada
orientasi nilai-nilai budaya dan ekonomi yang secara faktual menjadi konstributor
bagi eksisnya tradisi bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan
motif pertukaran akan saling melengkapi dan menyesuaikan akan bermuara
kepada keberlangsungan tradisi bajapuik.
Dari hasil indentifikasi pertukaran dalam tradisi bajapuik melibatkan dua
keluarga yakni; pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki.
Terjadinya pertukaran didasarkan atas orientasi nilai budaya, yakni “prestise”.
Prestise bagi pihak keluarga laki-laki dan prestise bagi pihak perempuan. Bagi
pihak laki-laki prestise meliputi; prestise calon mempelai laki-laki dan prestise
mamak, yang berarti penghormatan kepada keduanya. Begitu juga dengan pihak
keluarga perempuan, prestise meliputi; prestise calon pengantin perempuan dan
prestise keluarga bahkan kaum. Prestise inilah yang menjadi tujuan kedua belah
pihak melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik. Pada titik inilah tradisi
bajapuik eksis hingga saat ini.
Di tingkat aktor yang akan menikah yakni, antara calon pengantin
perempuan dan calon pengantin laki-laki, eksisnya tradisi bajapuik dalam formasi
sosial disebabkan oleh adanya keterlibatan keluarga dari masing-masing calon
pengantin. Di pihak calon pengantin perempuan bantuan berasal dari keluarga
besar (extended family), yakni dari nan saparuik dan bako. Nan saparuik adalah
keluarga dari pihak ibu, yang terdiri dari ibu, saudara dari ibu (mamak, etek,
maktuo) dan nenek. Kemudian bako adalah keluarga dari ayah yang terdiri dari
nenek, dan saudara perempuan dari ayah. Bantuan keluarga besar berbentuk moril
dan materil. Bantuan moril adalah bantuan dalam bentuk tenaga—mempersipkan
segala sesuatunya demi kelancaran tradisi bajapuk, seperti mendirikan pondok,
174
mengatur sesuatu pada tempatnya dan sebagainya. Bantuan materil adalah
bantuan dalam bentuk uang dan benda. Meskipun ada dua bentuk bantuan yang
diberikan oleh keluarga besar, maka bantuan materil yang sangat penting dalam
tradisi bajapuik. Tanpa ada bantuan materil kemungkinan tradisi bajapuik tidak
akan terlaksana, dan bahkan bisa punah sama sekali dalam kehidupan masyarakat
Pariaman. Meskipun ada di antara masyarakat yang mempunyai cara lain untuk
mengantisipasi jumlah uang japuik yang cenderung meningkat seiring dengan
semakin tingginya status sosial ekonomi calon pengantin laki-laki dalam tradisi
bajapuik. Tetapi tindakan itu tidak mewakili sepenuhnya dalam tradisi bajapuik.
Bantuan dari keluarga besar diberikan pada acara malam baretong—
dimana pada saat itu berkumpul sanak famili yang berasal dari pihak ibu untuk
memberi sumbangan untuk terlaksananya tradisi bajapuik. Besar-kecilnya
sumbangan yang diberikan tergantung kepada status sosial ekonomi. Aturan
umum yang berlaku, “pangka dahan” sebutan untuk mamak sumbangan harus
lebih besar dari anggota keluarga yang lain. Berkumpulnya sanak famili pada
malam baretong itu sekaligus dapat memperkuat tali silaturahmi (solidaritas) di
antara anggota besar (extended family).
Selanjutnya dari calon mempelai laki-laki keterlibatan keluarga berasal
dari keluarga batih (nuclear family), khususnya orang tua. Bantuan diberikan oleh
keluarga batih (nuclear family) dalam bentuk perlindungan bagi calon pengantin
laki-laki untuk melakukan “tindakan tersembunyi” dalam tradisi bajapuik, agar
perkawinan tetap terlaksana. Calon pengantin laki-laki melakukan tindakan ini
karena adanya cemoohan atau ejekan dari lingkungan sosial. Meskipun demikian,
tindakan seperti itu hanya dilakukan oleh calon pengantin laki-laki yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; 1) mempunyai kemampuan ekonomi; 2)
mempunyai kedekatan emosional (berpacaran) sebelum terjadinya pernikahan dan
3) cenderung menikah dengan calon pengantin perempuan yang berasal dari luar
daerah Pariaman. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya
tradisi bajapuik hingga saat ini.
BAB VIII
PENUTUP
8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang dirumuskan
sebelumnya, maka pada bab ini dapat dibuat kesimpulan sebagai jawaban
terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Melihat keberadaan
tradisi bajapuik yang tetap bertahan hingga saat ini pada masyarakat Pariaman
Sumatera Barat dan mengacu kepada analisis yang telah dilakukan dapat
dikemukakan sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari perjalanan sejarah dan ajang sosial secara umum tradisi bajapuik
selalu mengalami penyesuaian-penyesuaian, terutama menyangkut dasar
dan
bentuk
pertukaran,
meskipun
nilai-nilai
tetap
sama
yakni
pertimbangan nilai budaya (untung-rugi). Hal ini termanifestasi kepada
perubahan dasar pertukaran yakni dari gelar keturunan (kebangsawanan)
seperti sidi, bagindo dan
sutan
kepada status sosial ekonomi
(achievement status) seperti pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Selanjutnya, kecenderungan terfokus kepada pekerjaan dan pendapatan.
Sementara itu seiring perubahan pada dasar pertukaran itu, maka bentuk
pertukaran juga mengalami perubahan. Jika pada awalnya hanya berupa
uang jemputan dan sejumlah benda tungkatan berubah menjadi uang
jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan.
2. Pertukaran dalam tradisi bajapuik secara umum melibatkan dua pihak
yakni pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dan masingmasing sebagai pemberi dan yang lain sebagai penerima. Bagi keluarga
kedua belah pertimbangan melakukan pertukaran didasarkan atas status
sosial ekonomi, khususnya pekerjaan dari calon mempelai laki-laki. Dalam
pelaksanaan tradisi bajapuik melibatkan keluarga inti (nuclear family)
seperti; ibu, ayah, dan anak, keluarga besar (extended family) seperti;
mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat,
seperti ninik mamak dan kepalo mudo. Keterlibatan masing-masing aktor
176
terdistribusi ke dalam proses penentuan, pemberian dan penetapan
pertukaran dalam tradisi bajapuik.
3. Terjadinya pertukaran dalam tradisi bajapuik didasarkan atas nilai-nilai
yang sama tertanam di antara keluarga kedua belah. Pertukaran yang
terjadi dapat diidentifikasi dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan
tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan
oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang japuik
kepada keluarga pihak laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang
mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan). Secara non
materil adalah untuk mendapatkan suami bagi anak perempuan. Di pihak
keluarga laki-laki, pertukaran secara nyata (materil), dilakukan untuk
mendapatkan sumber ekonomi yang akan digunakan untuk kebutuhan
mempelai laki-laki dan pelaksanaan pesta. Secara non materi adalah
sebagai prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai status sosial
yang tinggi dalam masyarakat yakni sebagai media mendapatkan
keturunan. Dengan demikian bentuk pertukaran yang ditampilkan oleh
keluarga kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik merupakan penyesuaian
dari kedua kategori tersebut. Sementara itu di pihak keluarga perempuan
dan pihak keluarga laki-laki terbangunnya solidaritas internal, sehingga
dalam formasi sosial eksisnya tradisi bajapuik disebabkan oleh adanya
kerjasama antara keluarga luas (extended family) dengan keluarga inti
(nuclear family). Persoalan yang menyangkut uang japuik sebagai
persyaratan yang menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan dapat
dieleminir dengan didasarkan nilai budaya. Hal ini semakin mempertegas
bahwa orientasi nilai budaya dan nilai ekonomi yang secara faktual
menjadi pertimbangan prilaku bagi keluarga kedua belah pihak dan
sebagai konstributor bagi eksisnya tradisi bajapuik. Dengan demikian,
baik model pertukaran dan motif pertukaran yang saling melengkapi dan
menyesuaikan sekaligus akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi
bajapuik. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya
tradisi bajapuik.
177
8.2. Kesimpulan di Tataran Teoritik
Pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik terus mengalami perubahan
dan penyesuaian, mulai dari bentuk-bentuk pertukaran sampai kepada aktor yang
yang terlibat. Pada bentuk-bentuk pertukaran pada awalnya hanya berupa uang
jemputan dengan sejumlah benda-benda tungkatan berubah menjadi uang
jemputan, uang hilang, uang selo, uang tungkatan dan sejumlah benda-benda
tungkatan. Seiirng perubahan itu, aktor-aktor yang terlibat terus pula mengalami
perubahan dan penambahan pula. Jika pada awalnya hanya melibatkan mamak
ninik mamak dan kepalo mudo secara ekstrinsik, namun secara intrinsik juga
melibatkan orang tua dan calon pengantin.
Sejalan dengan pemikiran teoritik Homans bahwa orang yang terlibat
dalam prilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Jadi
semua perilaku sosial tak hanya prilaku ekonomis sebagai hasil dari pertukaran
yang demikian. Dalam hal ini ganjaran itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik dan
intrinsik atau dengan tegas dikatakan individu-individu yang terlibat dalam proses
pertukaran berwujud materi maupun non materi. Dengan demikian aktor yang
bertindak dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya (hukuman)
dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000;
Ritzer dan Goodmann, 2005). Dalam hal ini terciptanya pertukaran sosial yang
menguntungkan bagi masyarakat sebagai produk dari adanya keuntungan itu dan
menjadikan hal itu sebagai tumpuan untuk tercipta dan berlanjutnya pertukaran
itu, secara empirik juga ditemukan pada masyarakat yang menggunakan tradisi
bajapuik untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Selanjutnya Homans menjelaskan, suatu pertukaran itu akan terjadi dan
berlanjut pada masyarakat bila pertukaran itu mempunyai nilai tertentu dan
menguntungkan baginya. Artinya aktor dalam melakukan suatu tindakan
mempunyai nilai untuk mencapai maksud dan tujuannya. Dalam hal ini aktorpun
dipandang mempunyai pertimbangan-pertimbangan (nilai atau keperluan).
Perbedaan temuan ini dengan Homans, adalah pertukaran yang terjadi pada tradisi
bajapuik karena didasarkan pertimbangan nilai ekonomi dan nilai budaya. Kedua
pertimbangan ini yang tidak disebutkannya dan sekaligus menjadi nilai yang
178
menguntungkan dalam tradisi bajapuik. Menurut terminologi Lamanna dan
Riedmann (1991) sebagai pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably).
Proposisi
Homans
tentang
“nilai”
yang
tertanam
(terintegrasi)
memungkinkan keluarga kedua belah pihak yakni pihak keluarga laki-laki dan
pihak keluarga perempuan, termasuk kedua mempelai yang akan melakukan
pernikahan (mempelai laki-laki dan mempelai perempuan), dalam hal ini adalah
aktor yang akan melaksanakan dan mempraktekkan tradisi bajapuik dalam
kehidupan mereka. Proposisi Homans dapat digunakan menjadi alat pertimbangan
bagi kolektivitas dan pluralitas kebudayaan. Homans dengan pemikiran
filosofisnya merupakan daya dorong bagi keluarga kedua belah pihak untuk
melaksanakan tradisi bajapuik, melalui usaha-usahanya memahami makna-makna
dan mempertimbangkan baik-buruk secara personal maupun kolektif dengan
berpijak kepada nilai-nilai yang dipahaminya, sehingga tradisi bajapuik dengan
uang jemputan dapat eksis dalam masyarakat.
8.3. Saran dan Implikasi Kebijakan
Dari temuan empirik tentang Existensi Tradisi Bajapuik Pada Masyarakat
Pariaman Minangkabau Sumatera Barat dalam menghadapi perubahan sosial
masyarakat, maka dapat dikemukakan beberapa saran dan kebijakan untuk
membangun dan mengembangkan identitas lokal dengan mengacu pada
perkawinan bajapuik. Adapun saran dan kebijakan dimaksud sebagai berikut.
1. Penelitian ini membuktikan bahwa tradisi bajapuik menjadi sarana bagi pihak
keluarga perempuan untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan agar
mendapatkan suami dan keturunan dari perkawinan yang dilaksanakan,
sehingga menjadi urgen untuk dilestarikan di dalam masyarakat. Meskipun
sebelumnya telah
berkembang
isu
mengenai uang
jemputan
dapat
memberatkan atau memeras pihak perempuan harus segera dihilangkan. Untuk
itu perlu adanya upaya-upaya penanaman (sosialisasi) nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi bajapuik secara terus-menerus dilakukan.
2. Agar tradisi bajapuik dapat eksis dalam masyarakat, diperlukan adanya
partisipasi (solidaritas) dari anggota keluarga besar (extended family), agar
179
dapat menanggulangi uang japuik yang terus meningkat seiring dengan
meningkatnya status sosial laki-laki yang akan dijadikan menantu.
3. Tradisi bajapuik dalam pelaksanaannya mempunyai makna bahwa tradisi
bajapuik bukan hanya sesuatu yang berbentuk materi, namun bisa
dikondisikan melalui makna non materil. Untuk itu ada dua hal yang mendasar
yang bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, orang tua, dan
pengambil kebijakan khususnya yaitu: pertama, terus-menerus berupaya
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik, baik melalui
jalur formal maupun non formal. Kedua, Bekerjasama dengan pihak-pihak
terkait seperti KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM (Kerapatan Alam
Adat Minangkabau), dan BPAN (Badan Permusyawaratan Anak Nagari)
sehingga memberikan daya dukung besar bagi keberadaan tradisi bajapuik.
8.4. Peluang untuk Penelitian ke Depan
Pertama, dengan penelitian yang berjudul Eksistensi tradisi bajapuik pada
masyarakat Pariaman Minangkabau ini dapat mengungkap kondisi yang
sebenarnya tentang pelaksanaan tradisi bajapuik yang selama ini dipandang
negatif oleh sebagian masyarakat. Selanjutnya, adanya penelitian memberikan
laporan tertulis sacara formal yang dapat menjadi sumber referensi bagi yang
membutuhkannya.
Kedua, selain itu dapat memberi peluang untuk penelitian berikutnya yang
belum tercakup pada penelitian ini yakni: belum terungkapnya keterkaitan posisi
daerah Pariaman dengan pelaksanaan perkawinan di daerah pesisir rantau,
sehingga diperoleh gambaran holistik terhadap pelaksanaan tradisi bajapuik yang
sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1992. Minangkabau dalam Perspektif Perubahan. Padang:
PSPPB Unand.
Adiwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan: Issu Dan Hipotesis Tentang
Hubungan Pendidikan Dengan Masyarakat. Jakarta. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi.
Afrizal. 1997. Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi:
Diskusi Tentang Isu-isu Perubahan Ikatan kekerabatan Matrilineal
Minangkabau. Dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya
No 3-4/1997. Padang. Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial
Budaya Universitas Andalas.
Amir, MS. 2006. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
--------. 1987. Tonggak Tuo budaya Minang. Payakumbuh. Karya Indah.
Amran. Yusni.1991. Fungsi Perkawinan Bajapuik pada Masyarakat Naras I
Anderson, J.H. 1995. Rhetorical Objectivity in Malinowsk’s Argonauts, dalam
Brown (Editor), Postmodern Representations; Truth, Power and Mimesis
in the Human Science and Public Culture. Chicago. University of Illinois
Press.
Anwar, Chairul. 1967. Hukum-Hukum Adat di Indonesia: Meninjau Alam
Minangkabau. Jakarta. PT. Penerbit Segara.
Arifin. Imran 1984. Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu Sosial dan
Keagamaan. Malang. Kalimasahada Press.
Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi
Bajapuik. Yogyakarta. Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation.
Ball, J Van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
dekade 1970). Jakarta. Gramedia.
Benda-Beckmann, Frans Von. 2000. Properti dan Kesinambungan sosial:
Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-hubungan
Properti Sepanjang Masa di Minangkabau. Alih bahasa Tim perwakilan
KITLV, Jakarta bersama Dr.Indira Simbolon. Jakarta. Grasindo.
BPS. 2007. Kecamatan Pariaman Tengah Dalam Angka. 2007. BPS Kota
Pariaman.
181
BPS. 2008. Pariaman Dalam Angka 2008. Kerjasama Bappeda Kota Pariaman
dengan BPS Kota Pariaman.
BPS. 2008. Kecamatan Sungai Limau Dalam Angka. 2008. BPS Kabupaten
Padang Pariaman.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Chatra, Emeraldy. 2000. Adat Salingka Desa. Padang. Pusat Studi Pembangunan
dan Perubahan Sosial Budaya Unand.
-------. 2005. Orang Jemputan, Regulasi Seksualitas & Poligami di Minangkabau.
Padang. Laboratorium Sosiologi FISIP Unand.
Creswell, J.W. 1994. Reseach Design:Qualitative dan Quantitative Aproaches.
Sage Publications. London.
Croll, Elizabeth. 1984. Law, Custom, and Crimes against Women: The Problem
of Dowry Death in India.
Dobbin, C. 1983. Islamic Revitalism in A Changing Peasant Economy; Central
Sumatera. 1784-1847. Curzon Press. London.
Denzin, N K&Lincol, Yvonne S. 2000. Hanbook of Qualitative Reseach (secon
edition), Thousand Oaks, Sage Publication, Inc.
Etzioni, Amitai. 1973. Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung. PT
Remaja Rosdakarya.
Fairchild, Henry Pratt. 1966. Dictionary of Sociology and Related Sciences.
Garna. Judistira K.1996. Ilmu-ilmu Sosial, Dasar-Konsep Proposisi. Bandung.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Giddens, Anthony. 2002. Sociology. Fourth Edition. Cambridge. Polity Press.
Goode, William J. 2007. Sosiologi Keluarga. Penerjermah: Lailahanoum Hasyim.
Jakarta. PT Bina Aksara.
Goody, J.R 1973. Briedwealth and Dowry in Africa and Eurasia. Dalam J.R
Goody and S,N. Tambiah. Briedwealth and Dowry. Cambridge Studies in
Social Antrhripology. Cambridge. University Press.
Guba dan Lincoln. 2009. Paradigmatic Controversies, Contradiction, and
Emerging confluences. Dalam Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln.
Handbook of Qualitative Research. Secon Edition. Sage Publications. Inc
182
Hakimy, Idrus. 1984. “Rangkaian Mustika Adat Basandi Sarak di Minangkabau”.
Bandung. Remadja Karya.
Hamka.1982. Ayahku Riwayat Hidup Dr H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan aum Agama di Sumatera. Jakarta. Umminda.
Hollinger, Farans dan Haller, Max. 1990. Kinship and Social Network in Modern
Society ; A Cross-Culture Comparasion Among Seven Nations. European
Sociological Review 6 (2).
Howe, KR. 2004. A Critique of Experimentalism. In: Qualitative Inquiry Vol.10
No.1.
Horton, Paul B dan Hunt, Chelter. 1987. Sosiologi, alih bahasa Aminuddin Ram
dan Tita Sobari. edisi keenam; Jilid 1. Jakarta. Erlangga.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik. Di Indonesiakan oleh Robert
M.Z. Lawang. Jakarta. Penerbit Gramedia.
Joselin de Jong , P.E. 1951. Minangkabau and Negri Sembilan : Socio-Political
Structure in Indonesia. The Hugue Martinus Nijhoff.
Junus, Umar. 1990. Kebudayaan Minangkabau, dalam Koentjaraningrat (ed).
Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta. Djambatan.
Kato, Tsuyoshi. 1982. Matriliny and Migration, Evolving Minangkabau Tradition
in Indonesia. Ithaca. Cornell University Press.
Kato, Tsuyoshi. 1989. “Nasab Ibu dan Merantau”: Tradisi Minangkabau yang
Berterusan.
Keesing, M.Roger. 1992. Antropologi Budaya. Jakarta. Erlangga.
Khan, J. 1974. Economic Integration and Peasant Economy; The Minangkabau
(Indonesia) Black Smith, Dissertation University of London (London
School of Economics).
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta. Universitas
Indonesia (UI Press).
Koentjaraningrat .1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru.
---------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. Dian Rakyat.
Lamanna, Ann Mary and Agnes Riedmann. 1991. Marriages and Famillies:
Making choices and Facing Change. Fourt Edition. California.
Wadswortth Publishing Company Belmont.
183
Latief, H.Ch.N. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau; Permasalahan dan Masa
Depannya. Bandung. Angkasa.
Lauer, Robert. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta. Bina Aksara
Leach. E. 1986. Social Antropology. Glasgow. Fortana Press.
Lewis. Oscar.1988. Kisah Lima Keluarga; Telah-telah Kasus Orang Mexiko
dalam Kebudayaan kemiskinan. Terj. Jakarta. Yayasan Obor.
Litwak, E dan Szelenyi, I. 1969. Primary Group Structures and Their Functions:
Kin, Neighbours and Friends. American Sociological Review 34.
LKAAM, 1987. Pelajaran Adat Minangkabau: Sejarah dan Budaya. Padang.
Tropic Offset Printing.
Lubis, Akhiyar, 2004. Metode hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu SosialHumaniora dan Budaya, Makalah. Jakarta. PPS UI.
Mansoer, MD., Amrin Imran,. Mardanas Safyan., Asmaniar Z. Idris dan Sidi I,
Buchari 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta. Bharata.
Maihasni. 2003. Pergeseran dari uang Jemputan ke Uang Hilang dalam
Perkawinan Adat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat. Tesis, PPS
UNPAD.
Marvasti, A.B. 2004. Qualitative Researh in Sociology: In Introduction. London.
Sage Publication.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukarab di Masyarakat
Kuno. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Miles, M.B & Hubermas, A.M .1984. Qualitative Data Analysis: A Source of
New Methods. Biverly Hills: Sage Publications.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press.
Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta. Penerbit
Pasaman.
Navis, AA. 1983. (Editor) Dialektika Minangkabau : Dalam Kemelut Sosial dan
Politik. Padang. Genta Singgalang Press.
-------------1984. Alam Terkembang Menjadi Guru. Jakarta: Grafiti.
184
Newman, David M, dan Gauerholz, liz. 2003. Sociology of Family. Secon
Edition. Thousand Oaks. London. New Delhi. Pine Forge Press.
Nock, L. 1987. Sociology of Family. New Jersey. Englewood Cliff.
Nugroho, Heru. 2001. Uang: Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Oki, Akira. 1977. Social Change in the West Sumatra Village: 1908-1945..
Disertasi Doktor. Australian National University.
Otterbein, K. 1972. Comparative Cultural Analysis: An Introduction to
Antropology. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Pardosi, Jhonson. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos Pada Adat
Perkawinan Batak Toba. Logat. 4: 101-108.
Pesek, William. 2007. Where Have All The Women Gone? World News Today.
Friday. November 2007, hal 28.
Pintu, Dt A. Ahmad Hosen. 2000. “Sistem Kekerabatan Di Minangkabau:
Pengetahuan Adat Minangkabau. Padang: LKAAM.
Poloma, M. Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. Rajawali Press.
Radjab, M. 1969. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang. Centre for
Minangkbau Studies Press.
Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali
Press.
---------dan Goodman, Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada
Media.
Saefullah, Asep Djadja. 1993. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam
Penelitian Lapangan: Khusus dalam Studi Kependudukan. Bandung. FISIP
Universitas Padjadjaran.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta. Penerbit
PT Tiara Wacana.
------------. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus
Indonesia. Yogyakarta. PT Tiara Wacana.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi; Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
185
Sastramiharja, Hatta 1987. Materi Pokok Sosiologi Pedesaan. Karunika. Jakarta.
Universitas Terbuka.
Shanna, Ursula. 1980. Women, Work and Property in North-West India. London.
Toristock.
Schrieke, B. 1955. The Cause and Effect of Communism on the West Coast of
Sumatra’ dalam Indonesia Sociological Studies : Selected Writing of B.
Schrieke Part One. The Hague and Bandung W. Van Hoeve.
Simajuntak, B. 1981. Perubahan dan Perencanaan Sosial. Bandung. Penerbit
Tarsito.
Sitorus, M.T. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia:
Pengusaha Tenun dalam masyarakat Batak Toba. Disertasi. PPS IPB.
Skidmore, W. 1979. Theorotical Thinking in Sociology (second Edition). New
York. Cambridge Universiy Press.
Smelser, J. 1973. Toward a theory of Modernisastion dalam Eva Etzioni-halevi
dan Amitai Etzioni (ed) Social Change: Sources, Pattern and
Concequence, edisi kedua. New York. Basic Book, Inc.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta. CV Radjawali.
Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
Stake, Rober E. 2000. “Case Studies” dalam Norman K. Denzin & Lincoln, eds.
Handbook of Qualitatif Reseach. London United Kingdom: Sage
Publication , Inc.
Sukmasari, Fiony. 1983. “Perkawinan Adat Minangkabau”. Jakarta: Karya Indah.
Suparlan. 1992. Perubahan Sosial, dalam AW Wijaya (ed). Manusia Indonesia
Indonesia: Individu, Keluarga dan Msyarakat. Jakarta. Akademika
Presindo.
Sussman, B. M dan Burchinal, I. 1979. Kin Family Network : Unheralded
Strukture in Curent Conceptualisastion of family fungtioning dalam
Mildred. W. Weil, (ed) Sociological Perspective in Marriage and
family.Conceps and Readings Illionois: The Interstate Printers &
Publisher, Inc.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta.
Kanisius.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosilogi Perubahan Sosial. Jakarta. Prenada Media.
186
Taneko, Soleman b. 1984. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Jakarta. CV Radjawali.
Turner, Jonathan H, 1998. The Structure of Sosiological Theory (Sixth Edition),
Wadsworth Publishing Company, USA.
Utama, Indra. 2002. Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman
Sumatera Barat; Suatu Kajian terhadap Proses Kawin Bajapuik di Nagari
Sicincin Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman.
Tesis. PPS Universitas Indonesia.
Warsani. 1989. Antropologi Hukum dan Masyarakat Perkotaan. Dalam majalah
Antropologi Sosial Budaya Indonesia. Nomor 47. Tahun XIII, Juli.
Diterbitkan oleh Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia.
Young dan Wilmot. 1951. Family and Kinship in East London: Routledge &
Kegan Paul
187
LAMPIRAN 1. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI DUNIA
No
Nama Peneliti
Tahun
1.
2.
J.P. Mclennan
Bachoffen
1865
1880
3.
W.Robert Smith
1885
4.
E.B Tylor
1889
5.
Edward
Westermarch
1889
Bidang
Judul
Ilmu
Antropologi Primitive Marriage
Antropologi Over de Primitive Vormen
van het Huwelijk en de
Oorsprong van het Gezin
Antropologi Kinship and Marriage in
early Arabia
Antropologi On Method of
Investigating the
development of Institution;
Applied to the Laws of
Marriage and Descent
Antropologi History of Human marriage
6.
L.H Morgan
1929
Antropolog
7.
RadcliffeBrown
1950
8.
Athur M Hocart
1951
9.
Levi-strauss’s
1952
Teori tentang Evolusi
bentuk Keluarga serta
perkawinan
Antropologi African Systems of
Kinship and marriages
Antropologi Kinship and marriage
Among the Nuer
Antropologi Theory on Kinship and
Marriage
Fokus
Pada perkawinan rampas
Mengenai bentuk-bentuk Prpmitif dari
perkawinan dan asal mula keluarga inti.
Membuktikan pada orang-orang Semit (Arab)
pernah mengenal matrilneat totemisme.
Pada penggunaan angka-angka statistik pada
tingkat matriarchat yang berevolusi ketingkat
patriarkhat.
Mengkaitkan kehidupan seks pada binatang
jenis rendah dan binatang jenis tinggi yang
terdapat pemiliharaan pada keturunan
Pembentukan keluarga
Kekerabatan yang muncul dalam sistem
matrilineal yang dihubungkan dengan
masyarakat unileneal, yaitu keturunan
patrilineal
Membahas tentang Kekerabatan
188
LAMPIRAN 2. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA
No. Nama
Tahun Bidang
Ilmu
1991 Antroplogi
1.
Soleman
2.
Djuriah
M.Utja
3.
Kadir Katjong 1997
4.
Andry
Harijanto
1997
5.
Ratih Baiduri
2000
6.
Sri Endah
Kinasih
2002
1992
Judul
Pengaruh Hukum Perkawinan
terhadap masyarakat.
Antropologi Bebesanan:
Studi
Tentang
Perkawinan
anak-anak
Di
Kersidenan Banten
Antropologi Penyelesaian Sengketa secara
Adat:Suatu
studi
kasus
penyelesaian
sengketa
perkawinan di Desa Nafri
Kabupaten Jaya pura, Irian Jaya
Antropologi Perkawinan
Adat
dalam
Perspektif Antropologi Hukum:
Studi kasus perdamaian adat
sebagai syarat perkawinan di
Kecamatan Pulau Enggano.
Fokus kajian
Penerapan aturan-aturan pemerintah yang
berlaku di tengah masyarakat
Perkawinan yang dilakukan pada masa
Hindia Belanda (1900-1942) terhadap
anak-anak yang berusia 15 tahun ke atas.
Penyelesaian sengketa perkawinan secara
adat pada orang Nafri di Jayapura.
Menghapuskan kesalahan yang pernah
dilakuakn oleh seorang atau lebih dari
kerabat suku calon mempelai laki-laki
terhadap kerabat suku calon mempelai
wanita sebagai syarat yang harus dipenuhi
untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Sosiologi
Perkawinan
Antar
Etnik Perkawinan antar suku di Minangkabau
(Minangkabau dan Mandailing)
khususnya pada suku Mandailing
Antropologi Perkawinan Siri dalam Budaya Perkawinan pada hukum agama dan adat
Hukum Masyarakat Kalisat
berdampak pada perkawinan siri.
189
Lampiran 3. Pedoman Wawancara
EKSISTENSI PERKAWINAN BAJAPUIK
PADA MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU
SUMATERA BARAT
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Informan / Suku
: …………………………………………………………………
Gelar Turunan
: ........................................................
Pendidikan
: ………………………………………………………………..
Pekerjaan
: ………………………………………………………………..
Jumlah anak (Lk & Pr)
: ………………………………………………………………..
Luas Lahan
: ………………………………………………………………..
Korong
: …………………………………………………………………
Kenagarian
: …………………………………………………………………
Tanggal Wawancara
: …………………………………………………………………
SEKOLAH PASCASARJANA
INTITUT PERTAANIAN BOGOR
2008
190
PEDOMAN WAWANCARA
Penelitian : Existensi Perkawinan Bajapuik Pada Masyarakat Pariaman
Sumatera Barat
Informan Penelitian :
1.
2.
3.
4.
I.
Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau
Wali Nagari
KAN (Kerapatan Adat Nagari)
Masyarakat yang terlibat di lokasi penelitian (tokoh pemuda, wanita
(bundo kanduang), agama (alim ulama), Pemuka masyarakat (ninik
mamak), Orang terdidik (cadiak pandai dan keluarga-keluarga yang
melakukanperkawinan bajapuik)
Sejarah Perkawinan Bajapuik
1. Bagaimana latar belakang sejarah munculnya perkawinan bajapuik
dalam istilah perkawinan adat Minangkabau?
2. Adakah pembagian waktu munculnya perkawinan bajapuik?
3. Darimana asal perkawinan bajapuik sebelum ada di Pariaman? Kapan
dan bila perkawinan bajapuik dikenal dalam masyarakat Pariaman?
4. Kenapa perkawinan bajapuik ada di Pariaman?
Konsepsi Perkawinan bajapuik
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan bajapuik?
2. Apa saja unsur-unsur yang ada dalam perkawinan bajapuik?
3. Adakah variasi lain dalam perkawinan bajapuik di Pariaman?
5. Bagaimana cara penentuan uang Jemputan dan uang hilang dalam
tradisi bajapuik?
6.
Aktor-aktor yang dijemput dalam Perkawinan Bajapuik
1. Siapa saja yang dijemput dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga
sekarang? Kenapa (apa yang mendasarinya)?
2. Berapa jumlah uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan
bajapuik dari dulu hingga sekarang? Apa indikator/dasarnya dari dulu
hingga sekarang?
II. Aktor-aktor yang terlibat dan Prilaku aktor dalam Perkawinan
Bajapuik
1. Siapa aktor yang terlibat dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga
sekarang?
2. Apa saja bentuk prilaku aktor dalam perkawinan bajapuik dari dulu
hingga sekarang ?
3. Sikap apa yang dilakukan aktor bila tidak berada ditempat? Bagaimana
191
bentuk interaksi yang terjadi di antara pihak yang terlibat dalam
perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang?
4. Bagaimana prilaku aktor dalam perkawinan bajapuik, bila hanya salah
satunya berasal dari Pariman? Dan sebaliknya, bagaimana penetapan
uang jemputan dan uang hilangnya?
Jaringan Sosial Personal dan Partisipasi Anggota Keluarga dalam
Perkawinan bajapuik
1. Bagaimana aktor dalam menangani uang jemputan dan uang hilang
dalam tradisi bajapuik?
2. Bagaimanapula dengan aktor yang terlibat tidak berada ditempat
3. Apa yang dilakukan oleh keluarga, jika anggota yang lain berada di
dalam dan diluar Pariaman? Dengan cara apa?
4. Bagaimana keterlibatannya keluarga pada uang jemputan dan uang
hilang dalam tradisi bajapuik?
III. Perkawinan bajapuik Terintegrasi dalam Masyarakat
1. Apakah perkawinan bajapuik masih diperlukan oleh masyarakat
Pariaman untuk saat ini?
2. Apa tujuan/motivasi utama untuk melakukan perkawinan bajapuik?
3. Apa makna uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan
bajapuik?
4. Apa untung ruginya adanya pelaksanaan perkawinan bajapuik bagi
masyarakat Pariaman?
5. Adakah sanksi yang diperoleh masyarakat bila tidak melakukan
perkawinan bajapuik? Bagaimana kontrol masyarakat dalam hal ini?
6. Kenapa perkawinan bajapuik sampai saat ini ada dalam masyarakat
Pariaman? Kenapa?
IV. Perubahan pada Perkawinan bajapuik
1. Apakah perkawinan bajapuik mengalami perubahan dari dulu hingga
sekarang? Apanya yang berubah? Kapan terjadi perubahan itu?
Berapakali perubahan itu terjadi?
2. Kenapa terjadi perubahan itu? Apa penyebab perubahan itu?
(Agama,
Hukum,
pendidikan,
ekonomi,
sosbud,
demografi,
modernisasi).
3. Bagaimana pengaruh perubahan itu pada perkawinan bajapuik,
keluarga dan masyarakat?
V. Sejauhmana Peran Aktor dalam Perkawinan bajapuik
1. Siapa yang bertanggungjawab dalam menangani uang jemputan dan
uang hilang dalam perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang ?
Kenapa? Adakah sumber lain?
192
2. Siapa yang menentukankan uang jemputan dan uang hilang dalam
perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang? Kenapa demikian?
Adakan campur tanggan pihak lain?
3. Siapa memberikan uang jemputan dan uang hilang dalam perkawinan
bajapuik dari dulu hingga sekarang?
4. Siapa yang menyerahkan uang jemputan dan uang hilang dalam
perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang?
5. Siapa yang menerima uang jemputan dan uang hilang dalam
perkawinan bajapuik dari dulu hingga sekarang?
6. Siapa yang mengatur penggunaan uang jemputan dan uang hilang
dalam perkawinan Pariaman?
193
Lampiran 4. Peta Sumatera Barat
SUMATERA BARAT
194
Lampiran 5. Foto-foto Penelitian
PERSYARATAN ADAT
Sirih dengan Carano
Uang Jemputan Dan Uang Hilang
Mahar
195
PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Penjemputan Marapulai Untuk Menikah
Pemberian Mahar
Pelaksanaan Akad Nikah
196
PESTA PERNIKAHAN
BARETONG
Ninik Mamak Memimpin Malam Baretong
Pihak Ayah
197
Pihak Ibu
Alat Penjemputan Marapulai Pulang Ke rumah Isteri
Download