URGENSI PENINGKATAN KOMPETENSI PENDIDIK SENI DAN PENGEMBANGAN KESENIAN SEKOLAH (Sebuah Opini) Oleh: Eko Santosa Kesenian merupakan aspek kebudayaan yang paling banyak dibicarakan dibanding aspek yang lain. Pada tataran tertentu penyebutan kebudayaan mengindikasikan kesenian di dalamya sebagai sesuatu yang pokok atau sebagai jantung dari kebudayaan itu sendiri. Bahkan secara salah kaprah istilah “kebudayaan” disejajarkan dengan “kesenian”. Hal ini terjadi karena poin dan visi utama dari kebudayaan seolah tercermin dalam keseniannya. Secara mendasar kesenian dipandang sebagai produk yang membawa jiwa satu bangsa karena di dalamnya terkandung banyak nilai. Dengan posisi yang penting ini kesenian menjadi salah satu aspek budaya yang perlu diturunkan pada generasi berikut dalam keberlangsungan hidup berbangsa. Seolah, tanpa kesenian sebuah bangsa kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu pengaliran pengetahuan dan praktik kesenian pada anak bangsa menjadi keniscayaan. Bentuk pengaliran pengetahuan dan praktik kesenian yang paling modern adalah sekolah, karena memang hanya sekolah yang mampu menjangkau generasi dalam jumlah yang massive dan juga mendapat dukungan penuh baik dari negara maupun masyarakat. Pembelajaran seni di sekolah mempertemukan pengetahuan dan praktik seni secara didaktik dan metodik sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Dalam konteks pendidikan yang menyasar ranah afektif, psikomotor, dan kognitif kesenian dianggap mampu memberikan keberimbangan. Dalam peta hemispheric brain, kesenian dianggap mampu lebih memberdayakan otak kanan dan membangkitkan kecerdasan dalam hal desain, cerita, simponi, permainan, empati, dan makna (periksa Pink, 2007). Kecerdasan ini memberikan dorongan daya cipta sehingga kualitas hidup manusia tidak terjebak hanya dalam hitung-hitungan kuantitatif. Kesenian memberikan ruang pada intuisi dan rasa untuk bertumbuh secara organik dalam makna pribadi dan sosial, internal dan eksternal. Titik capai pada hal-hal semacam ini adalah sikap dan sifat kerjasama, tenggang rasa, saling memahami, mau menerima, tepa sarira, introspeksi serta terbuka terhadap kritik dan perubahan yang semuanya terangkum dalam konsep norma kehalusan budi pekerti. Dengan demikian, kesenian dalam pendidikan memberikan andil yang besar untuk mencapai tujuan mulia pendidikan yaitu, memanusiakan manusia. Pendidikan Seni di Sekolah Proses pembelajaran kesenian atau seni di sekolah dipagari oleh kurikulum yang berlaku. Sejak konsepsi Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 dan Kurikulum 2013 pendidikan kesenian yang dimasukkan sebagai pelajaran seni budaya ini semakian eksis karena ia wajib diajarkan dalam kelas intrakurikuler. Kondisi ini sangat menggembirakan dan memberikan harapan yang cerah bagi pengembangan kesenian di sekolah. Pelajaran Seni Budaya yang mencakup 4 aspek yaitu seni teater, rupa, tari, dan musik semakin memiliki ruang gerak dan dapat dijadikan media sebagai pengalir nilai-nilai budaya bangsa. Bahkan dalam bentuk pengembangan kurikulum telah diterbitkan Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014 sebagai payung untuk pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang salah satunya adalah kesenian. Pendidikan seni di sekolah dengan demikian diselenggarakan dalam kelas intrakurikuler dan ektrakurikuler. Dalam kelas intrakurikuler, proses pembelajaran seni mengikuti arahan kurikulum yang digunakan. Semua materi pembelajaran diturunkan dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (KTSP) yang fokus pada pembelajaran apresiasi dan ekspresi atau dari Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (K13) dengan fokus pada sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam seni. Sementara itu pembelajaran di kelas ekstrakurikuler lebih mengedepankan skill dengan konsep kelas berdasar minat dan bakat. Artinya ada perbedaan tujuan proses belajar mengajar antara kelas intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Pengajaran skill bukanlah tujuan utama dari pendidikan seni di kelas intrakurikuler. Apresiasi terhadap karya seni dan bagaimana menciptakan karya seni secara sederhana sesuai pemahaman dan daya cipta sesuai level peserta didik menjadi ruh dari KTSP. Kristalisasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan berseni yang terjabar dalam sebaran kompetensi dasar yang dicapai melalui pendekatan saintifik menjadi ruh dari K-13. Intinya, bukan soal skill dalam seni tertentu yang ingin dimunculkan di kelas intrakurikuler, namun pengalaman berseni, pengalaman berolah seni, dan pengalaman mencipta seni secara sederhana sesuai dengan kemampuan dan level peserta didik itu yang utama. Jadi skala nilainya bukan baik dan buruk atau benar dan salah. Hal ini berbeda dengan pengajaran seni di kelas ekstrakurikuler yang justru mengedepankan skill dengan skala penilaian berdasar patokan keahlian tertentu karena latar rekruitmen peserta didik adalah berdasar minat dan bakat. Problem yang Dihadapi Dari penjabaran di atas, tenaga pengajar pendidikan seni di sekolah terbagi menjadi dua yaitu tenaga pengajar kelas intrakurikuler dan tenaga pengajar ekstrakurikuler. Tenaga pengajar intrakurikuler adalah guru seni budaya pada tingkat satuan pendidikan dimaksud, sementara pengajar ekstrakurikuler bisa dari guru dalam tingkat satuan pendidikan dimaksud ataupun praktisi dan ahli yang didatangkan untuk mengajar skill khusus terkait seni. Dari komposisi guru untuk kelas intrakurikuler yang ada di tingkat satuan pendidikan sering muncul masalah di mana ada sekolah yang memiliki guru seni dan ada yang tidak. Karena kurikulum mensyaratkan bahwa pelajaran seni budaya wajib diselenggarakan maka keberadaan guru seni budaya ini menjadi wajib pula adanya. Bagi sekolah yang sudah memiliki guru seni budaya dengan latar pendidikan seni tidaklah terlalu menjadi masalah. Namun di beberapa sekolah tertentu untuk memenuhi kebutuhan ini, terjadi alih fungsi atau tugas tambahan bagi guru mata pelajaran lain untuk mengajar seni budaya di sekolah. Latar pendidikan dan pengalaman yang berbeda dari guru pengajar seni budaya ini menimbulkan persoalan tersendiri. Persoalan metode penciptaan karya seni muncul dari guru seni budaya yang berlatar pendidikan seni. Hal ini terjadi karena hampir semua metode pembelajaran di sekolah menggunakan metode yang diambil dari ilmu pedagogi secara umum. Sementara itu setiap cabang seni memiliki metodenya sendiri dalam proses pembelajarannya. Mengajarkan praktik seni tidak bisa hanya dengan metode unjuk kerja dengan pola mimetik. Metode-metode pembelajaran yang menyeruak di seminar- seminar atau kampus-kampus lebih mengedepankan capaian kognitif sehingga semua mata pelajaran bisa didekati dengan metode-metode tersebut. Padahal seni memiliki metodenya sendiri. Banyak guru seni yang memahami pembelajaran behavioristik dari Gagne dan Bandura atau konstruktivisme dari Vygostky tapi belum tentu mereka memahami metode penciptaan tari Alma Hawkins, Mary Wigman atau Bagong Kussudiharjo, metode seni peran Stanislavsky, Viola Spolin atau WS Rendra. Akibatnya, metode pembelajaran umum itulah yang diterapkan di dalam proses pembelajaran seni. Tentu saja akan lebih bermakna ketika pembelajaran seni – terutama pada proses penciptaan - diajarkan dengan metode pendidikan seni secara khusus. Persoalan dari sisi substansi seni juga seringkali menyeruak. Wujud karya seni sebagai bagian dari budaya itu selalu tumbuh dan berkembang. Setiap zaman memiliki kekhasan tersendiri dalam produksi seninya. Bahkan dalam masa globalisasi seperti sekarang ini model dan gaya produk seni menjadi demikian beragam sebagai akibat dari murah dan mudahnya arus informasi didapatkan. Hal ini membawa akibat bahwa pertumbuhan karya seni semakin cepat dan mewujud dalam bentuk tampilan yang variatif. Sementara itu yang terjadi di sekolah utamanya dalam kelas intrakurikuler, daya cipta kreasi seni ini seperti mandheg dan ajeg. Kreasi seni menjadi stagnan karena tujuan pembelajaran seolah hanya mencapai target memampukan peserta didik dalam mempresentasikan karya seni tertentu dan bukan pada penciptaan karya seni baru berdasar karya seni yang ada. Dalam kasus ini bentuk karya seni menjadi pagar pembatas, sementara esensi pembelajaran seni itu ada pada nilai. Seorang yang bisa menggambar dengan sangat baik tetapi hasil meniru dipandang kurang bernilai secara artistik dibandingkan dengan seorang yang menggambar dengan kualitas tidak terlalu baik namun orisinal. Dari dua persoalan di atas, guru seni budaya yang tidak memiliki latar pendidikan seni akan dihadapkan pada metode dan substansi dalam waktu yang bersamaan. Jalan yang biasa diambil untuk mengatasi kendala ini adalah, guru mengajar berdasar buku ajar yang ada. Dengan demikian, pelajaran seni yang sejatinya ada dalam kegiatan praktik terjebak dalam pembelajaran teori yang mengutamakan pengetahuan dan hapalan semata. Akibatnya, proses penilaian praktik seni sering diubah ke dalam bentuk tes tertulis. Dampak yang paling signifikan dari kasus ini adalah, tidak ada bedanya kemudian antara pelajaran seni budaya dengan pelajaran lainnya. Sementara itu, kelas seni budaya yang diajarkan secara praktik dengan pendekatan seni yang sesuai akan mampu merefresh kondisi fisik dan mental peserta didik sehingga menjadi siap menampung informasi melalui proses knowledge transfer ketika memasuki kelas pelajaran yang lain. Dari sisi kegiatan ekstrakurikuler, problem yang sering dihadapi adalah tidak adanya dana pembinaan sehingga tidak bisa menyelenggarakan kegiatan ekstrkurikuler seni di sekolah. Jika dana tersebut ada, belum tentu tersedia pengajarnya. Jika pengajarnya ada, belum tentu sesuai dengan kriteria pengembangan seni di sekolah. Pengajar ekstrakurikuler seni seringnya adalah seniman atau praktisi seni yang dalam banyak kasus kurang memahami konsep pendidikan seni di sekolah. Ia mengajarkan seni dalam nala kesenimanan yang terkadang tidak bisa membedakan level kemampuan dan usia peserta didik. Proses pendikan yang sejatinya terpagari oleh rumusan waktu dan standar pencapaian ini sering dilanggar begitu saja demi mencapai hasil tertentu sesuai takaran sang seniman. Hal ini mengakibatkan tingkat keletihan yang cukup tinggi bagi peserta didik sehingga kemampuannya menyerap informasi lain menjadi tidak maksimal. Akibat terburuk dari kondisi ini adalah, tidak diselenggarakannya lagi kegiatan ekstrakurikuler. Semua ini terjadi sebenarnya karena kekeliruan manajemen dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler dan kurangnya pemahaman pengajar dalam konteks pendidikan seni di sekolah. Perlunya Wadah Peningkatan Kompetensi Pendidik Seni dan Pengembangan Kesenian Sekolah Dari beberapa kondisi yang terjadi dalam proses pembelajaran seni di sekolah seperti tersebut di atas mensyaratkan perlunya peningkatan kompetensi pendidik seni dan pengembangan kesenian di sekolah. Fokus utama dalam agenda ini tentu saja adalah guru yang bersangkutan dan pelatih atau pengampu kegiatan ekstrakurikuler seni di sekolah. Dengan demikian bentuk program peningkatan dan pengembangannya pun berbeda antara guru seni budaya kelas intrakurikuler dan pelatih seni kelas ektrakurikuler. Masing-masing tentu saja memiliki kakhususannya. Hal ini juga menjadi interest pemerintah sejak lama dan dibuktikan dengan berdirinya lembaga diklat untuk guru seni budaya di Indonesia. Namun sayangnya lembaga tersebut belum mampu menjaring seluruh guru seni budaya dan pelatih seni yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Oleh karena itu sangatlah diperlukan kepanjangan tangan dari tugas lembaga ini di tingkat propinsi yang diselenggarakan oleh pemerintah propinsi secara mandiri maupun bekerjasama dengan pemerintah pusat. Persoalan kekurangmampuan kuantitatif bukanlah semata-mata menjadi alasan perlunya lembaga ini, namun juga soal substansi seni yang memang spesifik sesuai budaya di mana seni itu sendiri tumbuh. Indonesia memiliki ragam budaya yang jumlahnya mengagumkan. Pendekatan, metode, dan strategi dalam pengajaran seni – utamanya seni tradisional – di setiap daerah pasti berbeda-beda. Dalam konteks pembelajaran seni di kelas intrakurikuler, ragam seni dan nilai-nilai seni tradisional menjadi salah satu dasar pijak kreatiftas. Sementara dalam kelas ekstrakurikuler, ragam seni tradisional ini justru menjadi pilihan utama untuk dilestarikan. Karena kekhususan bentuk dan ragam seni yang bersifat lokal inilah, lembaga diklat yang berskala nasional kurang bisa menjangkau di setiap daerah oleh karenanya membutuhkan kepanjangan tangan di tingkat propinsi seperti dimaksud. Dalam tataran program, peningkatan kompetensi pendidik seni digunakan untuk menjawab problem terkait dengan metode pembelajaran dan penciptaan karya seni yang langka keberadaanya di sekolah. Kebermaknaan pelajaran seni akan terasa ketika pendidik menyampaikannya dengan menggunakan metode pembelajaran yang dipandang dari sudut seni sesuai aspeknya. Demikian pula dengan proses penciptaan karya seni sederhana di sekolah. Sementara itu program peningkatan kompetensi bagi pelatih seni ekstrakurikuler diutamakan untuk menjawab perlunya metode pelatihan seni berkeahlian khusus sesuai talar budayanya dan selaras dengan konsep belajar mengajar di lingkungan pendidikan. Secara sederhana program tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Peningkatan Kompetensi Pendidik Seni a. Peserta: Guru Seni Budaya SD/SMP/SMA/SMK b. Materi Pokok: metode pendidikan seni dan metode penciptaan seni sesuai dengan kurikulum yang berlaku c. Bentuk kegiatan: workshop, diklat, seminar, semiloka 2. Peningkatan Kompetensi Pelatih Seni a. Peserta: Pelatih Ekstrakurikuler Seni di Sekolah b. Materi pokok: Pelatihan keterampilan seni dengan keahlian khusus sesuai dengan latar budaya dan metode pelatihan seni di sekolah c. Bentuk kegiatan: workshop dan diklat Pelaksanaan kedua program tersebut di atas akan berdampak pada pengembangan kesenian di sekolah. Pengembangan kesenian tradisional dan seni dengan keahlian tertentu sesuai latar budayanya akan menemukan maknanya yang tepat karena diajar oleh pelatih yang handal dan tidak lepas dari koridor pendidikan. Sedangkan kreasi seni di sekolah yang dimunculkan dari nilai-nilai budaya setempat juga akan semakin menggelora karena pengajarnya memiliki wawasan dalam menciptakan karya seni di sekolah dengan berpijak pada nilai budaya lokal dan menggunakan pendekatan dan metode seni sesuai aspeknya. Akhinya, pengembangan kesenian sekolah akan memunculkan dua ragam seni yaitu seni kreasi berbasis nilai budaya lokal dan seni tradisional yang semuanya sesuai dan berada dalam koridor pendidikan. (*+*)