ANATOMI DAN HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUNCAK JANTAN Abstrak Informasi dasar mengenai aspek anatomi dan histologi organ reproduksi muncak (Muntiacus muntjak muntjak) hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Data morfologi, morfometri, struktur histologi, dan histomorfometri organ reproduksi muncak yang diperoleh pada penelitian ini dapat menjelaskan fungsi setiap organ pada saat berlangsungnya aktivitas reproduksi selama periode pertumbuhan ranggah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai karakteristik anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan pada periode ranggah keras. Seekor muncak jantan dewasa yang diberi kode ♂#1, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 19 kg terlebih dahulu diexanguinasi untuk memperoleh organ reproduksi yang meliputi testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis yang diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa organ reproduksi muncak jantan memiliki sepasang testis yang relatif kecil dengan lingkar testis berikut skrotum 15.98 cm, dan bobot 18.82 g. Karakteristik lainnya adalah kelenjar prostat tidak teramati secara makroskopis, kelenjar bulbouretralis berukuran besar, serta penis berukuran relatif panjang membentuk fleksura sigmoidea dan glans penis berukuran kecil dengan bagian dorsal yang cembung. Panjang penis tanpa preputium adalah 23.37 cm, sedangkan panjang prosesus uretralisnya hanya 0.22 cm. Secara histologi, struktur pars diseminata prostat ditemukan disekeliling uretra pars pelvina. Tebal lapis epitel kaput, korpus dan kauda epididimidis berturut-turut adalah 62.21 ± 4.21 µm, 49.53 ± 3.01 µm, dan 16.30 ± 2.27 µm. Perbedaan ketebalan lapis epitel tersebut berhubungan dengan fungsi penyerapan, pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Tipe kelenjar tubuloalveolar ditemukan pada ampula, kelenjar vesikularis dan pars diseminata prostat, sedangkan tipe kelenjar tubular ditemukan pada kelenjar bulbouretralis. Dapat disimpulkan bahwa secara umum morfologi organ reproduksi muncak jantan mirip dengan ruminansia kecil lainnya seperti kambing dan domba, serta rusa timor dan pampas deer pada periode ranggah keras, namun morfometrinya berbeda. Kata kunci: anatomi dan histologi, organ reproduksi jantan, muncak Abstract Information concerning the aspect of anatomy and histology of reproductive organ in adult male muntjak (Muntiacus muntjak muntjak) are important to be understood where those information are not reported yet. Data of morphology, morphometry, histology, and histomorfometri of each organ subsequently can explain their function in relationship to the reproductive activities during of antler growth period. Therefore, the objective of this study was to investigate the characteristic of anatomy and histology of reproductive organs in male muntjak during hard antler period. An adult male muntjak (♂#1), aged 4-5 years old and 19 kg of bodyweight was used in this study. After exanguination procedure, all of reproductive organs that consist of testis, ductus epididymidis, ductus deferen, accessory sex glands, and penis were observed macroscopically 30 and microscopically. The result showed that muntjak had small testis with scrotal circumference and it weight were 15.98 cm and 18.82 g Other characteristics were unappeared of prostate gland macroscopically, conspicuous of bulbourethral gland, and long penis with sigmoid flexure and small gland penis with convex shape in it dorsal region. The length of penis included of urethral processus were 23.37 cm and 0.22 cm. Histologicaly, pars disseminate prostate gland was observed around of urethra pelvina. Aditionally, the thickness of epithelial lining of caput, corpus, and cauda epididymidis were 62.21 ± 4.21 µm, 49.53 ± 3.01 µm, and 16.30 ± 2.27 µm respectivelly. The differentiation of epithelial thickness correlated to their function in fluid absorption, maturation and sperm storage. In addition tubuloalveolar glands were found in the ampullae, vesicular gland, and also in pars disseminate prostate gland, whereas tubular glands were found in bulbourthral gland. In conclusion, the morphology of reproductive organs of adult male muntjak in hard antler period are somewhat similar to the other small ruminants, e.g. goat and ram, and also other cervids, e.g. timor deer and pampas deer during hard antler period but it differed in morphometry. Keywords: anatomy and histology, male reproductive organs, muntjak Pendahuluan Organ reproduksi jantan mamalia terdiri atas testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin: ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbouretralis, serta penis. Testis memiliki fungsi gametogenesis dan steroidogenesis. Fungsi gametogenesis dikenal dengan spermatogenesis, bertujuan untuk menghasilkan spermatozoa, sedangkan fungsi steroidogenesis bertujuan untuk mensintesis hormon steroid jantan yaitu testosteron (Weinbauer et al. 2010). Spermatozoa yang berada di lumen tubuli seminiferi testis ditransfer oleh rete testis ke duktus eferen, dan selanjutnya memasuki kaput, korpus dan kauda epididimidis. Ketiga bagian duktus epididimidis memiliki fungsi spesifik dalam proses pematangan dan penyimpanan spermatozoa sebelum disalurkan melalui duktus deferens menuju ampula dan uretra (Wrobel dan Bregmann 2006). Sebelum diejakulasikan melewati uretra, spermatozoa terlebih dahulu bergabung dengan plasma semen yang dihasilkan oleh kelenjar asesoris. Sebagai organ kopulasi, penis berfungsi sebagai organ untuk menyalurkan semen ke saluran reproduksi betina (Senger 2005). Kelenjar asesoris meliputi ampula, kelenjar vesikularis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbouretralis (Colville dan Bassert 2002). Keberadaan kelenjar asesoris tersebut adalah spesies spesifik. Tidak semua spesies memiliki keempat kelenjar tersebut, demikian pula dengan morfologi kelenjar yang juga berbeda. Perbedaan morfologi dan morfometri juga diperlihatkan oleh penis. Pada 31 umumnya, penis ruminansia termasuk Cervidae bertipe fibroelastik dengan fleksura sigmoidea di bagian korpus penis. Namun pada mamalia lainnya seperti kuda, memiliki penis bertipe muskulo-kavernosus. Variasi morfologi organ reproduksi jantan secara makroskopis tersebut tentu saja diikuti dengan adanya variasi secara mikroskopis. Cervidae jantan dengan pola reproduksi musiman (seasonal), memperlihatkan perubahan morfologi dan morfometri pada organ reproduksinya, baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas pencahayaan (photoperiod) dan ketersediaan pakan di alam. Akibatnya pada periode tertentu, aktivitas reproduksi Cervidae berhenti secara temporer bersamaan dengan turunnya konsentrasi testosteron di sirkulasi darah. Kondisi tersebut berkorelasi erat dengan morfometri dan morfofungsi organ reproduksinya, seperti yang dilaporkan pada red deer, Cervus elaphus (Lincoln 1985); fallow deer, Dama dama (Asher and Peterson 1991); roe deer, Capreolus capreolus (Sempere 1990), korean water deer, Hydropotes inermis argyropus (Shon dan Kimura 2012). Namun demikian, seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap perubahan morfometri dan morfofungsi organ reproduksi pada muncak jantan belum dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan mulai dari testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis. Adapun kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi: 1) pengamatan morfologi dan morfometri organ reproduksi muncak jantan secara makroskopis, dan 2) pengamatan histologi dan histomorfometri organ reproduksi muncak jantan secara mikroskopis. Data anatomi dan histologi organ reproduksi muncak yang diperoleh pada penelitian ini selanjutnya dikomparasikan dengan data organ reproduksi ruminansia kecil lainnya seperti domba, serta beberapa spesies Cervidae seperti rusa timor, kancil, pampas deer, dan reeves muntjak. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar mengenai anatomi dan struktur histologi organ reproduksi muncak jantan yang dapat digunakan sebagai data pendukung pada penelitian berikutnya. 32 Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai Desember 2009. Hewan Penelitian Pada penelitian ini digunakan seekor muncak jantan dewasa normal dengan kode ♂#1 dan telah memiliki ranggah keras, berumur antara 4-5 tahun dengan berat badan 19 kg. Muncak tersebut secara klinis dinyatakan sehat dan telah memperlihatkan aktivitas reproduksi. Muncak diperoleh dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan ijin tangkap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 23/Menhut-II/2011. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi: anastetikum xylazin HCl 2% (Seton®) dan ketamin HCl 10% (Ketamil®), NaCl fisiologis, paraformaldehid 4%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, 95% dan absolut), silol, parafin, akuades, pewarna hematoksilin-eosin (HE) dan bahan perekat Entelan®. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah: spuit ukuran 5 ml, scalpel, kateter, arteri klem, pinset, gunting, wadah penyimpan jaringan, tissue cassette, micro calliper digital (mm), pita ukur (cm), cawan petri, gelas objek dan penutup, inkubator 37OC, inkubator parafin, blok kayu, bunsen, mikrotom, penangas air, hot plate, termometer, mikroskop (Olympus CH30, Japan) dan kamera digital (Sony Cyber-shot DSC-W30 dan Canon Power Shot A540). Metode Penelitian Orientasi eksternal testis dan epididimis yang masih terbungkus skrotum diamati sebelum muncak di-exanguinasi. Pengamatan dilakukan saat muncak berada pada posisi berdiri sehingga testis dan skrotum terlihat jelas dan selanjutnya didokumentasikan. Hasil pemotretan dibandingkan dengan orientasi testis dan epididimis pada beberapa ruminansia dan mamalia lainnya. Data anatomi dan morfometri organ reproduksi muncak jantan secara makroskopis dan mikroskopis diperoleh setelah muncak di-exanguinasi. Muncak terlebih dahulu dianastesi dengan kombinasi anastetikum xylazin HCl dan 33 ketamin HCl dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Prosedur exanguinasi dilakukan dengan cara mengeluarkan darah dari arteri Carotis communis dan diperfusi dengan mengalirkan larutan paraformaldehid 4% melalui arteri yang sama. Pengambilan organ reproduksi jantan dilakukan secara laparotomi medianus di daerah inguinal. Morfologi dan morfometri organ reproduksi muncak Organ reproduksi muncak jantan yang digunakan pada tahap ini merupakan organ yang telah difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4%. Parameter pengamatan terhadap morfologi dan morfometri secara makroskopis, meliputi ukuran panjang, lebar, dan berat setiap bagian organ reproduksi, yaitu testis berikut duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis. Organ reproduksi dipreparir untuk memisahkan testis dan duktus epididimidis dari skrotum, hingga seluruh bagian duktus deferens, ampula, kelenjar asesoris kelamin (kelenjar vesikularis, kelenjar bulbouretralis), dan penis dipisahkan dari tubuh. Selanjutnya dilakukan pengukuran organ reproduksi muncak jantan yang meliputi panjang, lebar dan ketebalan. Penimbangan organ reproduksi dilakukan setelah masing-masing bagian organ reproduksi dipisahkan, sehingga diperoleh testis berikut duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin (ampula, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis) dan penis. Prosedur pengukuran organ reproduksi diuraikan sebagai berikut: Skrotum Lingkar skrotum berikut testis diukur dengan cara melingkarkan pita ukur pada lingkaran terbesar dari skrotum. Testis Pengukuran dilakukan setelah testis dipisahkan dari skrotum. Panjang testis diukur dengan cara menempatkan pita ukur dari ekstremitas kapitata ke ekstremitas kaudata. Diameter testis diukur pada bagian terbesar dari testis, yaitu dari margo epididimalis ke margo liber testis. Bobot testis beserta epididimidis ditimbang dengan meletakkan testis dexter et sinister beserta epididimis dalam cawan petri yang telah diletakkan di atas timbangan digital bersatuan gram (g). Duktus epididimidis Pengukuran dilakukan terhadap kaput, korpus, dan kauda epididimidis yang masih melekat pada testis. Panjang kaput diukur menggunakan benang 34 pada bagian proksimal ekstremitas kapitata (awal kaput) hingga bagian menyempit yang berbatasan dengan korpus epididimidis; panjang korpus diukur dari bagian distal kaput epididimidis hingga bagian distal ekstremitas kaudata, sedangkan panjang kauda diukur dari distal ekstremitas kaudata sampai ujung distal kauda epididimidis. Lebar kaput, korpus, dan kauda epididimidis juga diukur pada masing-masing bagian terlebar menggunakan mikrokaliper. Kelenjar asesoris kelamin Panjang ampula dexter et sinister diukur mulai dari pembesaran duktus deferens hingga bagian kaudal yang berbatasan dengan kelenjar vesikularis. Panjang kelenjar vesikularis dexter et sinister diukur dari bagian kauda ampula sampai ujung kranial kelenjar vesikularis. Kelenjar bulbouretralis diukur dari kranial ke kaudal kelenjar tersebut yang berada di proksimal muskulus bulbospongiosus. Pengukuran bobot sepasang ampula, kelenjar vesikularis, dan kelenjar bulbouretralis ditimbang dengan menempatkan masing-masing kelenjar di atas cawan petri yang diletakkan di atas timbangan digital. Penis Pengukuran panjang total penis dimulai dari radiks penis hingga ke ujung bebas penis. Pengukuran panjang juga dilakukan pada bagian-bagian penis seperti glans penis dan prosesus uretralis. Diameter penis diukur pada bagian yang terbesar dari penis. Pengukuran diameter juga dilakukan pada glans penis dan prosesus uretralis. Histologi organ reproduksi muncak Pengamatan struktur histologi organ reproduksi muncak dilakukan secara mikroskopis terhadap jaringan testis, kelenjar asesoris kelamin dan penis. Jaringan testis dan duktus epididimidis yang masih menempel dengan testis dipotong menjadi beberapa bagian kecil berukuran 0.5 cm2. Untuk kelenjar asesoris, sampel yang diambil mengikuti besar kecilnya organ tersebut yang disayat secara transversal. Sampel penis diambil pada bagian korpus penis. Untuk mengetahui posisi kelenjar prostat diambil jaringan pada bagian uretra pars pelvina antara ujung kaudal testis dan kranial kelenjar bulbouretralis. Proses pembuatan preparat histologi (Kiernan 1990) meliputi tahapan sebagai berikut: • fiksasi jaringan dengan larutan paraformaldehid 4% • perendaman dalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point 35 • dehidrasi jaringan dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan absolut) dan clearing atau penjernihan dalam larutan silol dengan tiga kali ulangan • infiltrasi di dalam parafin cair dengan tiga kali ulangan, dilanjutkan dengan penanaman jaringan (embedding) dalam parafin • pembuatan blok parafin, sectioning dan pewarnaan dengan pewarna HE. Pengamatan mikroskopis meliputi struktur histologi umum jaringan testis dan duktus epididimidis bagian kaput, korpus dan kauda epididimidis; duktus deferens; kelenjar asesoris kelamin: ampula, kelenjar vesikularis; bagian uretra pars pelvina untuk mengetahui posisi pars diseminata prostat, dan kelenjar bulbouretralis; serta organ kopulatoris (penis). Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan data histomorfometri testis dan duktus epididimidis. Parameter histomorfometri testis meliputi: lebar tubuli seminiferi dan lumen, serta ketebalan lapisan sel epitel germinal (diukur dari membran basal sampai adluminal tubuli seminiferi testis). Parameter pengukuran duktus epididimis meliputi: lebar duktus dan lumen, serta ketebalan lapisan epitel tanpa stereosilia pada kaput, korpus dan kauda epididimidis (Arrighi et al. 2010). Pengamatan dan pengukuran histomorfometri tubuli seminiferi dan ketiga bagian duktus epididimis dilakukan terhadap potongan transversal dari 30 tubuli seminiferi testis, dan dari 10 duktus epididimidis pada masing-masing bagian (kaput, korpus dan kauda). Pengamatan dan pengukuran menggunakan mikroskop cahaya serta skala mikrometer dengan perbesaran lensa objektif 10 kali. Seluruh parameter diukur menggunakan program Image J (Mc Master Biophotonic Facility). Analisis Data Analisis data anatomi makroskopis dan mikroskopis organ reproduksi muncak jantan dilakukan secara deskriptif, sedangkan data morfometri dan histomorfometri organ simpangan baku (SB). reproduksi ditabulasikan dalam bentuk rataan ± 36 Muncak Jantan ♂#1 Exanguinasi Organ Reproduksi Jantan Testis dan skrotum, saluran reproduksi, kelenjar asesoris kelamin dan penis Anatomi Makroskopis Pengukuran: panjang, lebar / diameter, lingkar, dan bobot Pengamatan dan pemotretan Data Pengamatan orientasi eksternal testis dan duktus epididimidis Pengamatan dan Pemotretan Data Anatomi Mikroskopis Preparat histologi (3-4 µm) Struktur histologi Pewarnaan HE Pengamatan dan pemotretan Data Gambar 10 Bagan alir disain penelitian I: anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan. 37 Hasil dan Pembahasan Orientasi O Eksternal Te estis dan Sk krotum opis, testis dan skrotum m muncak tterletak di daerah d pre Secarra makrosko pubis dan berada b di an ntara paha bagian med dial dengan bentuk bulat lonjong. Pada posissi berdiri, orrientasi ekssternal orga an tersebut menggantu ung secara dorso-ventra d ad (Gambarr 11), teram mati pada ba agian ventra al testis dan n skrotum. Kauda epididimidis dextter et siniste er yang berb bentuk bulat, sedangkan n kaput dan ak dapat dia amati. Posisi testis dextter et siniste er di dalam korpus epididimidis tida skrotum s ada alah simetris dengan konsistensi k y yang bervarriasi bergan ntung pada periode perttumbuhan ra anggahnya. Pada period de ranggah keras (RK) konsistensi k testis t kenya al, dan sediikit lunak pa ada periode e casting (C C) dan ranggah velvet (RV). Perb bedaan kon nsistensi te ersebut juga a dilaporka an pada rusa r timor (Handarini 2006). 2 Orien ntasi ekstern nal testis da an skrotum m muncak ters sebut mirip pada ruminansia lainn nya, seperti sapi, domb ba dan kam mbing, namu un berbeda dengan d kuda, babi, anjin ng, dan kuciing. Pada ke eempat spessies terakhir, testis dan skrotum s terrletak di ka audal paha dan kaud do-ventral d dari arcus ischiadicus i (Toelihere 1981). Gambar G 11 Orientasi ekssternal testis muncak. Tesstis mengganttung secara vertikal v atau dorso-ventrad. Sketsa me emperlihatkan n posisi testiss sinister (1), testis t dexter (2), kauda ep pididimidis de exter (3). Skala: 1 cm. Morfologi dan d Morfom metri Organ Reproduksi Muncak Ja antan Organ n reproduksii muncak ja antan terdiri atas 1) se epasang gonad, yaitu: testis t dexterr et sinister; 2) saluran rreproduksi meliputi m duktu us epididimidis, duktus deferens, d da an uretra, 3)) kelenjar-ke elenjar aseso oris kelamin yaitu ampula, kelenjar vesikularis, v dan kelenja ar bulbourettralis, serta 4) organ kopulatoris k a atau penis 2). Testis terrbungkus kulit skrotum dan d berada d di luar ruang g abdomen (Gambar 12 38 serta menggantung secara vertikal de engan posissi dorso-ven ntrad. Pada a sisi duktus epidid dimidis dan sebagian du uktus medial testis dexter et sinister, berjalan d defere ens. Pada bagian b prokksimal testiss, duktus deferens berrgabung dengan buluh darah (arterri dan vena), serta syara af di bagian proksimal te estis membe entuk njar asesoriss kelamin muncak m yang dapat dia amati funikulus spermattikus. Kelen a makroskop pis, terdiri attas ampula, kelenjar vesikularis, da an bulbourettralis, secara sedangkan kelenjjar prostat tidak t teramati. Penis muncak be ertipe fibroellastik an fleksura sigmoidea s ya ang jelas dia amati pada bagian korp pus penis. Selain S denga itu, ditemukan muskulus retraktor penis dan muskuluss bulbospon ngiosus di ka audoal dari kelenjar bulbourettralis. ventra S Secara umu um, morfolo ogi organ re eproduksi muncak m janta an mirip dengan organ reproduksi ruminansia a jantan lain nnya sepertti rusa timor (Nalley 20 006), pampa as deer (Ungerfeld d et al. 2008), sapi, mbing, kam do omba (Frand dson et al. 2009). Morrfometri orga an reprodukksi muncak berukuran lebih kecil dibandingkan d n domba dan rusa timorr, tetapi lebih h besar diba andingkan ka ancil. Morfom metri organ reproduksi muncak dita ampilkan pa ada Tabel 2,, dan morfometri kompa aratif organ reproduksi r ja antan antara a muncak, domba, rusa timor dan ka ancil. disajikkan Tabel 3. Gamba ar 12 Anatom mi organ repro oduksi munca ak jantan. Ka auda epididim midis (1), testiis (2), korpus epididimidis (3), kaput epididimidis e ( (4), funikuluss spermatikus s (5), etraktor penis (7), radiks p penis (8), fleksura duktus deferens (6), muskulus re dea (9), korpus penis (10), preputium (11), prose esus uretralis (12), sigmoid glans penis p (13), uretra u pars pelvina (14), kelenjar bulbouretralis (15), kelenjarr vesikularis (16), ( ampula ((17), vesika urinaria u (18). S Skala: 1 cm. 39 Tabel 2 Morfometri organ reproduksi muncak jantan pada periode ranggah keras setelah difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4% Organ reproduksi Panjang (cm) Parameter pengukuran Diameter Lingkar Tebal (cm) (cm) (cm) Testis1 4.99 2.60 Dexter 5.02 2.31 Sinister Rataan 5.01 2.45 Skrotum dan testis 15.98 Kaput epididimidis 1.92 1.36 Dexter 1.60 1.25 Sinister Rataan 1.76 1.31 Korpus epididimidis 4.22 0.41 Dexter 3.85 0.33 Sinister Rataan 4.03 0.37 Kauda epididimidis 1.44 0.81 Dexter 1.32 0.60 Sinister Rataan 1.38 0.7 Duktus deferens 9.99 Dexter 10.05 Sinister Rataan 10.02 Ampula Dexter 3.64 3.56 Sinister Rataan 3.6 Kelenjar vesikularis 2.35 Dexter 2.15 Sinister Rataan 2.25 Kelenjar bulbouretralis 1.66 Dexter 1.56 Sinister Rataan 1.61 Penis (total) 30.50 Penis tanpa preputium 23.38 Glans penis 0.91 0.34 Prosesus uretralis 0.23 0.11 1 Bobot testis dan duktus epididimidis tanpa skrotum - Bobot (g) 18.82 - - - - - - - - - 0.44 0.39 0.41 1.45 0.67 0.61 0.64 2.06 0.74 0.68 0.71 - 2.39 - 40 Tabel 3 Perbandingan morfometri organ reproduksi jantan antara muncak, domba, rusa timor, dan kancil. Organ Reproduksi Jantan Muncak1 Domba2 Rusa timor3 Kancil4 Testis Panjang (cm) 5.01 7.5-11.5 7.85-8.55 0.94-1.52 Diameter (cm) 2.45 3.5-6.8 3.24-4.06 0.62-1.01 Bobot (g) 18.82 250-300 102.16-114.06 0.64-0.98 Lingkar skrotum (cm) 15.98 19.3-21.12 Duktus epididimidis Panjang (cm) 7.17 15.48 - 16.31 Duktus deferens Panjang (cm) 10.02 24.0 45.15-45.24 Ampula Panjang (cm) 3.60 7.0 7.01-7.49 1.44-2.02 Tebal (cm) 0.41 0.2 Bobot (g) 1.45 0.06-0.08 Kelenjar vesikularis Panjang (cm) 2.25 4.0 4.39-4.67 1.45-2.14 Tebal (cm) 0.64 1.5 0.46-0.68 Bobot (g) 2.06 5 0.2-0.38 Bulbouretralis Lebar (cm) 1.61 0.72-0.92 Tebal (cm) 0.71 1.0 0.46-0.63 Bobot (g) 2.39 3 0.82-0.9 Penis Panjang total (cm) 30.50 35 40.28-46.22 12.75-15.707 Panjang tanpa preputium (cm) 23.37 26.2-43.8 4.792-6.874 Glans penis Panjang (cm) 0.91 5.0-7.5 0.42-0.46 Diameter (cm) 0.34 Prosesus uretralis Panjang (cm) 0.22 3.0-4.0 Diameter (cm) 0.11 1 2 3 4 Sumber Muncak penelitian, Toelihere (1981), Nalley (2006), Najamudin (2010). 41 Testis Morfologi dan morfometri Testis muncak berbentuk oval yang dilindungi oleh skrotum pada bagian luarnya (Gambar 11). Skrotum terdiri atas dua kantong (lobus) yang membungkus testis dexter et sinister. Lapisan skrotum dari superfisial ke profundal terdiri atas: 1) kulit, 2) tunika dartos, 3) fasia skrotalis, dan 4) tunika vaginalis lamina parietalis yang juga membungkus duktus epididimidis dan duktus deferens. Di profundal tunika vaginalis lamina perietalis terdapat kapsula pembungkus testis, yaitu tunika vaginalis lamina viseralis yang berhubungan erat dengan tunika albuginea. Tunika albuginea tersusun atas jaringan ikat dan serabut otot polos yang berhubungan langsung dengan jaringan parenkim testis. Penjuluran tunika albuginea ke jaringan parenkim testis membentuk mediastinum testis (Wrobel dan Bergmann 2006). Rataan ukuran testis dexter et sinister muncak yang meliputi panjang, dan lebar, serta lingkar skrotum setelah difiksasi berturut-turut adalah: 5.01 cm, 2.45 cm dan 15.98 cm dengan bobot 18.82 g. Rataan lebar testis muncak (2.45 cm) lebih kecil dibandingkan lebar testis rusa timor 3.24 - 4.07 cm (Nalley 2006), tetapi lebih besar dari pada testis kancil 0.63-1.01 cm (Najamudin 2010). Menurut Toelihere (1981), perbedaan ukuran organ reproduksi, terutama testis, berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Bobot testis muncak (18.82 g) jauh lebih ringan dibandingkan bobot testis domba (250 - 300 g). Ukuran testis muncak tersebut hanya sekitar 0.1 % dari bobot badannya. Akan tetapi bobot testis muncak lebih berat dibandingkan reeves muntjak (Muntiacus reevesi), yaitu 8.87 - 9.51 g yang diukur pada tahap ranggah keras (Chapman dan Harris 1991). Menurut Chapman dan Harris (1991), rataan bobot testis muncak dewasa saat ranggah keras berkorelasi dengan bobot badan, sedangkan umur tidak berpengaruh secara signifikan pada bobot testis saat ranggah keras. Ukuran panjang testis berkorelasi dengan lebar, lingkar skrotum, dan bobot testis. Lingkar skrotum muncak (15.98 cm) pada tahap ranggah keras lebih kecil dari pada lingkar skrotum domba garut (30.68 - 34.04 cm) (Rizal 2004) dan rusa timor (19.3 - 21.12 cm) (Nalley 2006). 42 Gambarr 13 Morfolo ogi testis dan n duktus epididimidis mu uncak. Kauda a epididimidiss (1), testis (2), korpus epididimidiss (3), kaput epididimid dis (4), funiikulus sperma atikus (5), dukktus deferens (6). Skala: 1 cm. Histollogi dan his stomorfome etri Struktur histologi testiis muncak secara domin nan ditempa ati oleh kump pulan tubuli seminiferi yang y dipisah hkan oleh ja aringan interrstisial. Ada a tiga komponen s bila diamati pa ada sayatan n melintang, yaitu: mem mbran penyusun tubuli seminiferi an sel-sel spermatoge enik (Gamb bar 14). Testis T basal tubuli, sell Sertoli da pakan kump pulan kelen njar tubularr yang memiliki fungssi eksokrin dan merup endokkrin (Augheyy dan Frye 2001). 2 Fung gsi eksokrin testis berhu ubungan dengan pembe entukan spe ermatozoa (spermatog genesis) yan ng berlangssung di lap pisan epitel germinal. Proses P diferrensiasi dan n maturasi sel-sel s epite el germinal akan hasilkan sp permatid ya ang dilepaskan ke lum men tubuli melalui prroses mengh sperm miasis dalam bentuk spe ermatozoa (R Rosenfeld 2007). Fungssi endokrin testis t terkaitt dengan produksi p horrmon andro ogen yang berlangsung g di sel Le eydig jaringa an interstisia al testis (Aug ghey dan Fryye 2001). Keberadaa an sel-sel spermatogen nik pada tub buli seminife eri testis mu uncak dapat diamati de engan jelass, yaitu: 1) spermatog gonia, 2) sspermatosit, dan ermatid (Gambar 15). Spermatogon S nia terletak di membran n basal tubuli di 3) spe antara a sel Sertoli, memiliki inti sel bergra anul kromatin dengan ukkuran berva ariasi. Sperm matogonia membelah se ecara mitosiss menghasilk kan spermattogonia A da an B. Hasil pembelahan spermato ogonia B ad dalah sperm matosit taha ap preleptotene. Menurrut Wrobel dan Bergm mann (2006 6), spermattogonia A merupakan tipe sperm matogonia be erukuran terb besar denga an bagian me embran sel menempel pada memb bran basal tubuli seminiferi. Inti sel s spermatogonia A berwarna pucat p denga an anak inti (nukleoli) yang y menon njol. Sperma atogonia B berukuran lebih kecil dengan d inti bulat b yang be erisi partikel kromatin. 43 Gambar 14 Struktur histologi testis muncak jantan pada periode ranggah keras. A. Beberapa tubuli seminiferi (TS) testis muncak yang dipisahkan oleh jaringan interstisial (JI); jaringan parenkim testis dibungkus oleh tunika albugenia (TA). B. Inset A: Sel epitel germinal tubuli seminiferi testis (SG) memperlihatkan perkembangan mulai dari membran basal (Mb) sampai lumen (L). Buluh darah (Bd), buluh kapiler (Kp), dan jaringan ikat longgar (JIL) ditemukan di sekitar TS. Pewarnaan HE. Skala: 100 µm (A); 50 µm (B). Pada lapisan berikutnya terdapat spermatosit dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran sel yang lebih besar dibandingkan spermatogonia. Spermatosit primer selanjutnya berdiferensiasi menjadi spermatosit sekunder. Namun pada saat pengamatan, keberadaan spermatosit sekunder jarang ditemukan. Hal ini disebabkan proses diferensiasi spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder berlangsung dalam waktu singkat (Dreef et al. 2007). Spermatosit primer ditemukan dalam jumlah besar dengan berbagai tahap pembelahan yang diidentifikasi berdasarkan karakteristik perubahan susunan kromatin (Tabel 4 dan Gambar 15). Tahap tersebut adalah preleptotene, leptotene, zygotene, pachytene, dan diplotene. Kromosom yang berbentuk rantai tipis merupakan ciri khas tahap preleptotene dan leptotene (Gambar 15A, 15E, 15F). Tahap zygotene ditandai dengan bergabungnya kromosom dan membentuk setengah lingkaran pada inti sel spermatosit primer (Gambar 15B, 15D). Lanjutan dari tahap zygotene adalah pachytene (Gambar 15A, 15D). Tahap ini paling banyak ditemukan pada tubuli seminiferi testis muncak dan mudah diidentifikasi. Inti sel berukuran besar dan didominasi dengan kromosom yang merata pada seluruh inti, sehingga sitoplasmanya tidak teramati dengan jelas. Tahap berikutnya adalah diplotene (Gambar 15D) yang jarang ditemukan. Karakteristik tahap ini adalah posisi inti sel yang menepi di pinggir membran sitoplasma. Posisi tersebut memperlihatkan sitoplasma yang bersifat eosinofilik. Tahap diplotene merupakan tahap akhir perubuhan kromatin 44 inti sel spermatosit primer yang selanjutnya akan memasuki pembelahan meiosis untuk menghasilkan spermatosit sekunder dan spermatid. Sel berikutnya adalah spermatid berbentuk bulat (round spermatid) dan berbentuk lonjong (elongated spermatid) dengan struktur kromatin padat yang terwarnai lebih gelap dibandingkan inti sel lainnya. Pada lumen tubuli terdapat spermatozoa non motil dan infertil, bercampur dengan substansi yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Substansi tersebut seperti: glikoprotein, gliserofosforil kolin, androgen binding protein (ABP) dan inhibin (Wrobel dan Bregmann 2006). Proses diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa dapat diamati dengan jelas melalui pewarnaan periodic-acid Schiff (PAS) yang bermanfaat untuk menentukan jumlah tahapan diferensiasi yang terjadi mulai dari round spermatid hingga menjadi elongated spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa (Nakai et al. 2004; Dreef et al. 2007). Sitoplasma sel Sertoli atau sustentacular cells dapat diamati diantara selsel epitel germinal, mulai dari membran basal sampai mendekati lumen tubuli dengan jumlah lebih sedikit. Sitoplasma sel Sertoli yang eosinofilik jarang ditemukan pada pengamatan, kecuali pada tahap tertentu dari tahapan epitel tubuli seminiferi. Bentuk sitoplasma sel ini tidak beraturan, dan secara mikroskopis terlihat memanjang di antara sel-sel germinal. Namun keberadaan inti sel lebih mudah diamati dengan bentuk oval dan berwarna lebih pucat dibandingkan inti sel spermatogonia, spermatosit dan spermatid. Ciri khas inti sel ini adalah keberadaan nukleolus yang menonjol dan dapat dibedakan dengan inti spermatogonia A yang juga berinti pucat dan berdekatan dengan inti sel Sertoli. Fungsi utama sel Sertoli adalah sebagai sel pendukung berlangsungnya spermatogenesis dibawah kontrol testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig. Fungsi fagositosis terhadap sel germinal yang mengalami apoptosis juga terjadi pada sel Sertoli (Johnson 1991). Berbagai substansi penting dihasilkan oleh sel Sertoli, yaitu: inhibin, estrogen, estradiol-17β, gonadokrinin, ABP, asam amino dan enzim, serta insulin-like growth factor 1, 2 (IGF 1, IGF 2) (Pineda 2003). 45 Gambar 15 Tipe sel epitel germinal tubuli seminiferi testis muncak (A-F). Spermatogonia A (SgA); dan spermatogonia B (SgB); spermatosit primer : preleptotene (Pl); pachytene (P); zygotene (Z); leptotene (L); dan diplotene (D); pembelahan meiosis (Me); spermatosit sekunder (Sk) spermatid : round (R) dan elongated (E); fase golgi (G); fase akrosom (A); dan fase maturasi (M); spermatozoa (Sz); sel Sertoli (Ss); sel Leydig (Lg); sel peritubular (Pt). Pewarnaan HE. Skala A- F: 30 µm. 46 Tabel 4 Karakteristik sel epitel germinal tubuli seminiferi muncak Tipe sel germinal Diskripsi Karakteristik Spermatogonia A (SgA) Terletak di membran basal, berinti pucat dengan sebagian besar sitoplasma tertutup inti Spermatogonia B (SgB) Terletak di membran basal dalam jumlah lebih banyak dibandingkan spermatogonia A, dan berinti gelap Spermatosit primer preleptotene (Pl) Merupakan hasil pembelahan spermatogonia B, terletak di lapis kedua setelah spermatogonia A dan B Spermatosit primer leptotene (L) Inti sel kecil dengan struktur kromatin membentuk untaian tipis yang mulai menyebar Spermatosit primer zygotene (Z) Inti sel mengumpul dan berbentuk setengah lingkaran (bulan sabit) Spermatosit primer pachytene (P) Inti sel berukuran besar dengan sebaran kromatin merata. Tahap spermatosit ini berada di antara spermatogonia dan spermatid Spermatosit primer diplotene (D) Berinti besar dan sitoplasma yang menonjol, terletak di antara pachytene dan spermatid Spermatosit sekunder (Sk) Hasil pembelahan meiosis, berukuran kecil dan sangat jarang ditemukan (berdiferensiasi cepat) Spermatid fase Golgi (G) Merupakan hasil diferensiasi spermatosit sekunder, sering dijumpai dalam jumlah besar Spermatid fase akrosom (A) awal Spermatid fase golgi yang mulai memanjang, memasuki fase akrosom, dan tersebar di atas lapisan spermatosit Spermatid fase akrosom (A) Spermatid dengan akrosom di proksimal, banyak ditemukan dan tersebar di antara spermatosit Spermatid fase maturasi (M) Spermatid mengalami maturasi, dan terletak di ujung adluminal yang berhadapan dengan lumen tubuli seminiferi Spermatozoa (Sz) Dilepaskan dari adluminal ke lumen tubuli (spermiasis) seminiferi testis,dan banyak ditemukan di lumen tubuli 47 Sel lainnya yang dapat diamati adalah sel myoid peritubular yang terletak di lamina basalis tubuli seminiferi. Inti sel peritubular berbentuk lonjong dan pipih seperti inti sel otot polos. Jarak antar inti sel teratur di sepanjang lamina basalis tubuli seminiferi. Kontraksi sel tersebut mengakibatkan spermatozoa berpindah dari tubuli seminiferi menuju duktus epididimidis (Egger dan Witter 2009). Jaringan interstisial (inter tubuli seminiferi) merupakan jaringan ikat longgar dengan sel fibroblas dan sel fibrosit. Pada jaringan interstisial tersebut juga terdapat sel Leydig dan sel-sel endotel dinding buluh darah. Sel Leydig merupakan sel polimorf yang berkelompok di sekitar buluh darah, dengan inti sel berbentuk polihedral. Inti sel fibroblas dan fibrosit berbentuk lebih lonjong. Jaringan ikat longgar inter tubuli seminiferi testis muncak diduga tersusun atas serabut retikular yang sulit dibedakan dengan serabut kolagen pada pewarnaan histologi standar (HE). Tipe serabut retikular merupakan serabut kolagen individual (kolagen tipe III) yang dilapisi oleh proteoglikan dan glikoprotein, yang dapat diidentifikasi dengan pewarnaan PAS, silver impregnations tertentu (Wrobel dan Bregmann 2006) dan pewarnaan histokimia lektin. Struktur histologi jaringan testis muncak pada periode ranggah keras secara umum mirip dengan struktur jaringan testis pada ruminansia lainnya, seperti kerbau (Arrighi et al. 2010); kambing (França et al. 1999); eld’s deer, Cervus eldi thamin (Monfort et al. 1993); dan rusa timor, Cervus timorensis (Handarini 2006; Moonjit dan Suwanpugdee 2007). Rataan diameter tubuli seminiferi testis dan lumennya yang diukur pada saat muncak berada pada periode ranggah keras, secara berurutan adalah adalah 176.60 ± 7.06 µm dan 84.53 ± 6.91 µm. Diameter tubuli seminiferi muncak pada periode ranggah keras lebih kecil dibandingkan diameter tubuli seminiferi beberapa spesies Cervidae pada periode ranggah yang sama. Diameter tubuli seminiferi rusa timor adalah: 271.12 ± 9.7 µm (Handarini 2006), red deer (Cervus elaphus): 180.0 ± 8.5 µm (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978), tetapi lebih besar dibandingkan diameter tubuli seminiferi fallow deer (Dama dama), yaitu 143.1 µm (Massanyi et al. 1999). Perbedaan diameter tubuli seminiferi antara muncak, rusa timor, dan red deer diduga berkaitan dengan perbedaan lingkar skrotum, volume testis, postur tubuh, dan bobot badan. Bobot rusa timor jantan berada pada kisaran 48.0-86.9 kg, dengan lingkar skrotum dan volume testis pada periode ranggah keras berturut-turut adalah: 20.21 ± 0.91 cm dan 187.85 ± 13.61 g (Handarini et al. 2004), sedangkan 48 bobot badan red deer adalah 91.5-104.6 kg (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978), namun ukuran lingkar skrotum dan volume testis tidak dilaporkan. Data tersebut memperlihatkan bobot kedua spesies rusa tersebut jauh di atas bobot muncak jantan dewasa (17.0-19.5 kg). Peningkatan diameter tubuli seminiferi dari periode ranggah velvet ke periode ranggah keras adalah 36.49% pada rusa timor (Handarini 2006), dan 31.39% pada red deer (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978). Data tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan diameter tubuli pada Cervidae tersebut tidak hanya terjadi pada spesies yang hidup di wilayah beriklim sedang, tetapi dilaporkan pula pada rusa timor yang hidup di wilayah beriklim tropis. Perbedaan konsentrasi testosteron pada setiap periode ranggah merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas spermatogenesis di tubuli seminiferi testis. Akibatnya, terjadi perbedaan komponen sel germinal tubuli dan histomorfometri jaringan testis pada kedua periode ranggah tersebut (Loudon dan Curlewis 1988). Berbeda dengan Cervidae, diameter tubuli seminiferi testis ruminansia dengan pola reproduksi tidak bermusim seperti kambing kacang (153.33 ± 10.07 µm) dan domba lokal (155.93 ± 14.17 µm), tidak mengalami perubahan dengan produksi spermatozoa yang stabil sepanjang tahun (Noviana et al. 2000). Duktus Epididimidis Morfologi dan morfometri Duktus epididimidis merupakan saluran tunggal memanjang dan sangat berliku yang melekat erat dengan sisi medial testis dexter et sinister (Gambar 12). Duktus epididimidis muncak terbagi atas kaput di anterior testis, korpus di dorsal testis, dan kauda di posterior testis. Pembagian lain menyebutkan istilah intial segment yang merupakan perbatasan antara duktus eferen dan kaput epididimidis (Serre dan Robaire 1999). Namun pada penelitian ini bagian tersebut tidak digunakan, baik pada pengamatan morfologi maupun struktur histologi. Morfometri duktus epididimidis (kaput, korpus dan kauda) diperlihatkan pada Tabel 2. Rataan panjang kaput, korpus, dan kauda epididimidis dexter et sinister secara berurutan adalah: 1.76 cm, 4.03 cm, dan 1.38 cm dengan panjang keseluruhan adalah 7.17 cm. Ukuran tersebut lebih pendek dibandingkan dengan ukuran panjang duktus epididimidis rusa timor yaitu 15.48-16.31 cm (Nalley 2006). Menurut Johnson (1991), ukuran duktus epididimidis pada jantan dewasa yang masih terbungkus skrotum adalah sekitar 7-8 cm, namun bila direntangkan, panjangnya dapat mencapai 6 m. Kaput 49 epididimidis memiliki lipatan duktus terbanyak, diikuti korpus dan kauda epididimidis. Histologi dan histomorfometri Pada sayatan melintang, duktus epididimidis muncak dilapisi oleh epitel tipe silindris banyak baris (psedostratified columnar epithelium) yang dikelilingi oleh jaringan ikat longgar dan lapisan otot polos sirkular (Gambar 16). Lumen kaput epididimidis berisi spermatozoa yang berasal dari tubuli seminiferi dan duktus eferen. Beberapa tipe sel ditemukan dengan jelas pada lapisan epitelnya, yaitu: principle cells (PC) dengan stereosilia, sel basal di bagian membran basal dengan ukuran inti sel yang bervariasi, dan sel-sel limfosit diantara PC. Menurut Primiani et al. (2007), PC berstereosilia merupakan sel dengan populasi terbanyak dibandingkan tipe sel lainnya, hal ini juga diamati pada lapisan epitel duktus epididimidis muncak. Selain sel-sel tersebut masih ada beberapa tipe sel lainnya, yaitu: sel halo, sel clear, sel apikal, monosit, dan makrofag (Ahmed et al. 2009). Sel halo merupakan sel imun yang tergolong limfosit atau monosit (Serre dan Robaire, 1999). Namun pada pewarnaan HE yang digunakan pada penelitian ini, beberapa tipe sel tersebut sulit diidentifikasi, kecuali dengan metode pewarnaan menggunakan marker spesifik untuk tipe sel-sel imun, seperti marker untuk limfosit T helper dan cytotoxic, dan limfosit B, selain itu dapat pula digunakan metode pewarnaan toluidine blue dan preparasi jaringan duktus epididimidis untuk diamati dengan transmission electron microscope (TEM) (Yeung et al. 1994; Ahmed et al. 2009). Posisi inti PC pada kaput epididimidis muncak lebih mendekati sel basal yang terdapat di membran basal kaput. Beberapa ciri khas lainnya yang ditemukan pada kaput epididimidis, adalah: 1) ukuran stereosilia yang lebih panjang dibandingkan stereosilia pada korpus dan kauda epididimidis, 2) adanya sel-sel limfosit di intra epitel yang bermigrasi dari membran basal ke lumen, 3) spermatozoa masih bercampur dengan substansi yang berasal dari testis yang belum diserap oleh sel epitel duktus eferen dan kaput epididimidis (Gambar 15A, 15B). Korpus epididimidis juga dilapisi oleh tipe sel epitel yang sama dengan kaput epididimidis, namun posisi inti PC lebih mengarah ke bagian sentral sitoplasma sel dengan ukuran silia yang lebih pendek (Gambar 16C, 16D). Kemiripan lainnya dengan kaput epididimidis adalah masih ditemukannya limfosit, dengan jumlah yang lebih banyak, baik yang sedang bermigrasi, maupun yang bercampur dengan spermatozoa di lumen epididimidis. Di 50 sekeliling duktus ditemukan lapisan otot polos sirkular yang lebih tebal dibandingkan lapisan otot pada kaput epididimidis. Pada lumen korpus epididimidis, cairan yang berasal dari tubuli seminiferi testis dan duktus eferen yang ditransfer bersama spermatozoa menuju duktus epididimidis semakin berkurang. Hal ini menunjukkan, bahwa proses absorbsi cairan tersebut sebagian besar berlangsung di kaput epididimidis. Karakteristik yang ditemukan pada kauda epididimidis muncak adalah lapisan otot polos sirkular yang paling tebal dibandingkan lapisan otot pada bagian epididimis sebelumnya (Gambar 16E, 16F). Selain itu, ukuran sel utama dan stereosilianya lebih pendek serta masih ditemukannya sel makrofag, namun jumlahnya semakin berkurang. Lumen kauda epididimidis paling besar dibandingkan lumen kaput dan korpus epididimidis dan berisi spermatozoa motil dan fertil dalam jumlah besar yang disimpan sebelum disalurkan ke duktus deferens. Perbedaan struktur histologi yang diamati pada penelitian ini berkorelasi erat dengan fungsi dari masing-masing bagian duktus epididimidis sebagai organ penyalur, pematangan, dan penyimpanan spermatozoa. Saat melewati kaput dan korpus epididimidis, spermatozoa mengalami serangkaian perubahan morfologi dan fungsi serta mengalami proses maturasi, sehingga saat mencapai kauda epididimidis, spermatozoa telah motil dan fertil (Wrobel dan Bregmann 2006). Keberadaan PC dengan jumlah terbesar di sepanjang duktus epididimidis, khususnya pada bagian kaput dan korpus, berperan pada proses absorpsi cairan yang berasal dari tubuli seminiferi testis, serta sintesis dan sekresi substansi yang diperlukan untuk maturasi spermatozoa (Cooper 1986). Proses absorpsi dan sekresi oleh PC berlangsung di bagian sel yang berhadapan dengan lumen, bagian lateral dan basal sel di antara ruang interselular. Ruang interselular tersebut berbatasan dengan ruang perivaskular dari kapiler subepitel (Kumar et al. 1982). Setelah melalui proses maturasi di bagian kaput dan korpus, spermatozoa disimpan di lumen kauda epididimidis dengan diameter terbesar dan lapisan epitel paling tipis. Struktur demikian sangat sesuai bagi kauda epididimidis sebagai saluran berbentuk kantong untuk menampung dan menyimpan spermatozoa dalam jumlah besar sebelum disalurkan ke duktus deferens menuju ampula. 51 Gambar 16 Struktur histologi duktus epididimidis muncak (Muntiacus muntjak muntjak). A. Kaput epididimidis, C. korpus epididimidis, dan E. kauda epididimidis. B, D, dan F adalah inset dari A, C, dan E. Ketiga bagian duktus epididimidis tersusun atas epitel silindris banyak baris (Ep) dengan stereosilia (Ss) dan dikelilingi oleh serabut otot polos (Sm) dengan fibroblas (Fb) dan fibrosit (Fs), serta dipisahkan oleh jaringan ikat longgar (Jil). Pada lumen (L) duktus terdapat spermatozoa (Sz). Sel-sel epitel duktus: principle cells (Pc); sel apikal (Sa); sel basal (Bc) pada membrane basal (Mb); limfosit (Lm); dan sel clear (Sc). Pewarnaan HE. Skala A, C, E: 100 µm; B, D, F: 50 µm. 52 Perbedaan histomorfometri ketiga bagian duktus epididimidis muncak yang meliputi diameter duktus dan ketebalan lapisan epitel disajikan pada Tabel 5. Diameter terbesar duktus epididimis muncak yang diamati pada periode ranggah keras ditemukan pada kauda epididimidis, yaitu: 324.26 ± 25.79 µm. Ukuran ini lebih kecil dibandingkan diameter duktus epididimidis rusa timor (386.52 ± 21.06 µm) pada periode ranggah yang sama (Handarini 2006). Tabel 5 Morfometri duktus epididimidis muncak pada periode ranggah keras. Diameter duktus (µm) Kaput 269.56 ± 1.88 Duktus epididimidis Korpus 202.09 ± 8.36 Kauda 324.26 ± 25.79 Tebal lapis epitel (µm) 62.21 ± 4.21 49.53 ± 3.01 16.30 ± 2.27 Parameter Ketebalan epitel yang melapisi duktus epididimidis pada bagian kaput adalah 62.21 ± 4.21 µm. Ketebalan tersebut semakin berkurang pada korpus epididimidis, yaitu 49.53 ± 3.01 µm dan semakin menipis pada kauda epididimidis, yaitu 16.30 ± 2.27 µm. Perbedaan diameter duktus dan lumen epididimidis serta ketebalan lapis epitelnya juga dilaporkan pada kucing (Axner et al. 1999), cane rat (Olukole dan Obayemi 2010), dan neotropical bats (Beguelini et al. 2010). Secara kualitatif, kepadatan spermatozoa yang terdapat di lumen ketiga bagian epididimis juga bervariasi. Kepadatan spermatozoa tertinggi ditemukan pada kauda epididimidis, sedangkan terendah ditemukan di lumen kaput epididimidis. Namun parameter histomorfometri duktus epididimidis pada rusa timor yang dilaporkan Handarini (2006) hanya terbatas pada kauda epididimidis, sedangkan kedua bagian kaput dan korpus belum dilaporkan. Histomorfometri epididimis rusa timor menunjukkan perbedaan signifikan antara periode ranggah keras dan velvet. Diameter duktus kauda epididimidis rusa timor pada periode ranggah keras, adalah: 386.52 ± 21.06 µm, sedangkan periode ranggah velvet adalah 297.63 ± 9.52 µm, dengan peningkatan diameter sebesar 29.87% (Handarini, 2006). Diameter tersebut lebih besar 19.2% dibandingkan diameter kauda epididimidis muncak (324.26 ± 25.79 µm) pada periode ranggah yang sama. Perbedaan signifikan dari parameter histomorfometri epididimis juga dilaporkan pada mediteranian buffalo saat musim kawin dan sebaliknya (Arrighi et al. 2010). Pada Cervidae dan mamalia lain dengan pola reproduksi musiman, histomorfometri komponen duktus epididimidis memperlihatkan perubahan sesuai periode aktif reproduksinya. Perubahan yang 53 terjadi pada kedua periode ranggah tersebut disebabkan oleh perbedaan konsentrasi androgen (testosteron) dalam sirkulasi darah. Tingginya konsentrasi testosteron yang telah dikonversi oleh 5α-reduktase menjadi DHT pada periode ranggah keras, mempengaruhi aktivitas duktus epididimidis yang ditandai dengan meningkatnya ukuran diameter kaput, korpus dan kauda epididimidis. Kondisi yang sama juga terjadi pada tubuli seminiferi testis tikus (Kolasa et al. 2004). Periode aktif reproduksi rusa timor juga ditandai dengan konsentrasi testosteron plasma yang tinggi, dan menurun drastis pada saat lepas ranggah dan ranggah velvet (Handarini dan Nalley 2008). Sejauh mana perbedaan histomorfometri komponen epididimis muncak pada periode ranggah keras dan ranggah velvet dapat diketahui dengan melakukan kajian yang sama pada saat muncak berada pada periode ranggah velvet. Duktus deferens Morfologi dan morfomteri Duktus deferens menghubungkan kauda epididimidis dengan bagian uretra pelvina. Secara makroskopis, duktus deferens muncak terdiri atas duktus deferens dexter et sinister, berjalan di sisi medial testis dan bergabung dengan buluh darah, dan syaraf membentuk funikulus spermatikus. Di anterior, duktus deferens dexter et sinister bermuara pada kolikulus seminalis, yaitu di bagian proksimal dari uretra pars pelvina. Bagian yang berbatasan dengan kolikulus seminalis melebar membentuk ampula dexter et sinister. Menurut Colville dan Bassert (2002), pada sebagian besar hewan, duktus deferens akan melebar sebelum bergabung dengan uretra yang disebut dengan ampula. Frandson et al. (2009) menyatakan bahwa, duktus deferens meninggalkan kauda epididimidis melalui kanalis inguinalis yang merupakan bagian dari funikulus spermatikus dan pada cincin inguinal internal memutar ke kaudal, memisah dari buluh darah dan syaraf dari funikulus spermatikus. Selanjutnya duktus deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian berjalan ke arah dorso-kaudal vesika urinaria, serta dalam lipatan peritoneum yang disebut lipatan urogenital (genital fold). Rataan panjang duktus deferens muncak adalah 10.02 cm (Tabel 2). Ukuran tersebut lebih pendek dibandingkan dengan ruminansia seperti domba (24.00 cm) (Toelihere 1981) dan Cervidae seperti rusa timor (45.16 - 45.24 cm) 54 (Nalley 2006). Duktus deferens berfungsi untuk menyalurkan spermatozoa dari kauda epididimidis pada proses emisi dan ejakulasi (Constantinescu 2007). Struktur histologi Pada sayatan melintang, struktur histologi duktus deferens muncak dari superfisial ke profundal terdiri atas: tunika serosa, tunika muskularis, lamina propria dan tunika mukosa yang mengelilingi lumen duktus (Gambar 17A, 17B). Tunika mukosa duktus deferens muncak membentuk lipatan-lipatan yang lebih pendek dibandingkan tunika mukosa pada uretra pars pelvina. Menurut Johnson (1991), lipatan-lipatan tersebut ditemukan di sepanjang duktus deferens dan dilapisi oleh epitel tipe silindris banyak baris, sama dengan jenis lapis epitel yang melapisi mukosa duktus epididimidis. Namun demikian, ukuran epitelnya lebih pendek dibandingkan epitel duktus epididimidis. Di bagian basal tunika mukosa (lamina propria) ditemukan jaringan ikat longgar yang kaya dengan fibroblas. Lapisan selanjutnya adalah tunika muskularis yang merupakan lapisan paling tebal. Tunika muskularis mengandung serabut otot polos sirkular di bagian dalam dan longitudinal di bagian luar. Lapisan terluar duktus deferens adalah tunika serosa. Pada lapisan ini banyak ditemukan buluh darah. Gambar 17 Duktus deferens muncak. A struktur umum dengan bagian tunika serosa (Ts) dengan buluh darah (Bd), tunika muskularis (Tm), lamina propria (Lp), lapisan epitel (Ep). B inset A memperlihatkan epitel silindris banyak baris dengan stereosilia (Ss), sel pricipal (Pc), sel basal (Bc), lumen (L), membran basal (Mb), fibroblas (Fb), fibrosit (Fs), serabut otot polos (Sm), dan sekreta (Sk). Pewarnaan HE. Skala: 200 µm (A), 50 µm (B). Sel-sel utama atau principle cells (PC) merupakan sel dominan yang ditemukan pada lapisan epitel mukosa duktus deferens, dilengkapi dengan stereosilia bercabang dan lebih pendek dibandingkan stereosilia pada kauda epididimidis. Fungsi dari PC adalah sebagai aparatus endositosis, absorbsi 55 cairan c yang g melewati duktus defe erens, dan sekresi cairan (apokrin). Fungsi tersebut t juga dimiliki ole eh PC duktu us epididimidis. Pada m membran bassal duktus, masih ditem mukan sel ba asal. Fungssi sel basal diduga d seba agai penghubung antar PC di bagian membran basal duktus (Orsi et all. 2009). Jum mlah sel basal semakin banyak dite emukan di bagian b yang g mendekatii ampula (W Wrobel dan Bergmann 2006). 2 Bagian akhir duktus deferens disebut ampula a dengan keberadaan yang bervariasi pa ada beberap pa spesies h hewan. Kelenjar As sesoris Kela amin Kelenjjar asesoris kelamin mu uncak terdirri atas sepassang kelenja ar ampula, sepasang s kelenjar v vesikularis, dan sep pasang ke elenjar bullbouretralis 8); dan kele enjar prosta ata. Secara makroskop pis, morfolog gi kelenjar (Gambar 18 asesoris a ke elamin pada a muncak m memiliki kem miripan den ngan rumina ansia kecil (domba dan n kambing) dan Cervid dae (rusa timor t dan kkancil), tetap pi memiliki morfometri yang berbeda. Kelenjar prostat tid dak teramatii pada muncak jantan secara s makroskopis, sa ama halnya d dengan kam mbing dan do omba (Gambar 19 dan Tabel T 6). Untuk U menge etahui kebe eradaan kele enjar prosta at pada muncak perlu dilakukan d p pengamatan secara mikkroskopis. Pengamatan P n dilakukan di bagian uretra pars pelvina yang terletak diantara ke elenjar vesikkularis dan ampula di k bulb bouretralis di d kaudal. kranial dan kelenjar Gambar G 18 M Morfologi kele ejar asesoris kelamin mun ncak. Ampula a (1), kelenjar vesikularis ( uretra pars pelvina (3), dan kelenjar bulbouretrallis (4). Skala: 1 cm. (2), m n plasma semen dengan volume Sekrresi kelenjarr asesoris menghasilka terbesar t (60 0-90%) dari volume tottal plasma. Sekreta kelenjar disekkresikan ke lumen uretrra sebagai medium ya ang sesuai untuk men ngalirkan sp permatozoa selama s ejakkulasi menu uju organ rreproduksi betina b (Aug ghey dan Frye 2001). Motilitas dan n aktivitas metabolik m sp permatozoa dapat berla angsung akib bat sekresi 56 kelenja ar asesoriss bersama sekresi ya ang berasa al dari tesstis dan du uktus epididimidis saat terjadi t ejakulasi (Pineda 2003). Morfologi dan d histologi kelenjar assesoris kelam min bervaria asi pada mam malia jantan (Chugtai et e al. 2005; Thomson dan Marker 2006). 2 Kebe eradaan kelenjar ak secara um mum sama dengan dom mba (Colville e dan asesoris kelamin pada munca ert 2002), da an pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). 2 Belum m dilaporkannya Basse kebera adaan pars diseminata kelenjar pro ostat pada pampas dee er diduga belum b dilakukannya pen ngamatan hiistologi bagian uretra pars p pelvina a antara kelenjar ularis dan bulbouretrali b ga memperllihatkan kom mposisi kelenjar vesiku s. Sapi jug asesoris yang mirip dengan muncak, namun n kelen njar prostattnya membe entuk an Bassert 2002). 2 korpuss (Colville da A B D C E ar 19 Posisi kelenjar asessoris kelamin muncak deng gan hewan la ainnya. A. Kud da, B. Gamba Sapi, C. C Babi, D. Anjing, A dan E. Muncak hasil h penelitia an. Ampula a (1), Kelenja ar vesikulariss (2), Kelenjjar prostat (3), kelenjar bulbouretralis (4) (Sumber: A,B,C,D Colville C dan B Bassert 2002)). Tabel 6 Keberad daan kelenjar asesoriss kelamin muncak m dan n hewan ja antan lainnya. Kelenjarr Prostat Pars Korpus diseminata a +* ? Ampula A Kelenjar sikularis Ves Munca ak1 Pampa as deer2 + + + + Rusa timor3 Domba a4 4 Babi Anjing4 Sapi5 + + + + + + + + + + + ? + + - Kuda5 + + + - He ewan 1 * Kelenjjar Bulboure etralis + + ? + + + + 2 Sumbe er: Muncak hasil h penelitia an, ditemukan n setelah pen ngamatan histtologi, Unge erfeld et al. (20 008), 3Nalley (2006),?tidak teramati atau a belum a ada data strruktur histologi, 4Colville dan Bassert (2002), 5Aughey dan d Frye (200 01). 57 Ampula Morfologi dan morfometri Secara makroskopis, ampula terbagi atas ampula dexter et sinister, berbentuk lonjong dan merupakan tempat bermuaranya duktus deferens di bagian anterior. Bagian kranial ampula yang berhubungan langsung dengan duktus deferens berukuran lebih kecil dan membesar ke arah kaudal. Setengah bagian lateral dari ampula dexter et sinister melekat dengan bagian medial kelenjar vesikularis. Ampula bagian kaudal berbatasan dengan bagian kranial uretra pars pelvina. Pada beberapa spesies mamalia, ampula sering disebut sebagai pelebaran duktus deferens (bagian terminal), seperti pada great cane rat (Adebayo et al. 2009), sehingga pembahasan anatomi dan histologi ampula dilakukan bersamaan dengan duktus deferens. Rataan morfometri ampula dexter et sinister muncak adalah: panjang 3.60 cm, tebal 0.41, dan bobot 1.45 g. Panjang ampula muncak lebih pendek dibandingkan dengan panjang ampula domba 7 cm (Toelihere 1981) dan rusa timor (7.01-7.49 cm) (Nalley 2006), namun lebih besar dibandingkan dengan kancil (Tabel 3). Ketebalan ampula muncak disebabkan banyaknya kelenjar sekretori dibandingkan dengan kelenjar sekretori ampula pada kancil (Toelihere 1981). Ampula berfungsi dalam mensekresikan cairan kelenjar dan merupakan komponen salah satu kelenjar pembentuk semen (Colville dan Bassert 2002). Struktur histologi Ampula merupakan pelebaran dan tempat bermuaranya sekresi duktus deferens. Gambar 20A dan 20B memperlihatkan struktur histologi ampula muncak yang dari superfisial ke profundal terbagi atas 1) tunika serosa, 2) tunika muskularis, 3) kelenjar sekretori, dan 4) lumen. Tunika serosa merupakan lapisan terluar, mengandung buluh darah. Tunika muskularis tersusun atas serabut otot polos sirkular yang membungkus kelenjar sekretori di bagian superfisial. Kelenjar sekretori ampula tergolong kelenjar simple tubuloalveolar bertipe apokrin. Masing-masing kelenjar tersebut dipisahkan oleh jaringan ikat longgar dengan beberapa buluh darah kecil. Kelenjar sekretori ampula dilapisi oleh simple columnar epithelium atau epitel silindris sederhana, dengan posisi inti sedikit di atas membran basal. Selain itu keberadaan sel-sel basal masih ditemukan di membran basal lapis epitel. Pada bagian apikal sel epitel kelenjar, terdapat stereosilia berukuran pendek dan tidak bercabang. 58 Gambar 20 Struktur histologi ampula muncak. A. kelenjar sekretori ampula bertipe tubuloalveolar (Ta), dilindungi oleh tunika muskularis (Tm), dan jaringan ikat longgar di antara kelenjar. B. inset A, memperlihatkan karakteristik lapis epitel. Sce: simple columnar epithelium (epitel silindris sederhana), Bc: sel basal, Ss: stereosilia, Fb: fibroblas, Bd: buluh darah, dan Sk: sekreta. Pewarnaan HE. Skala: 100 µm (A), 50 µm (B). Sekresi kelenjar ampula ditemukan di lumen kelenjar yang akan disekresikan ke lumen ampula. Menurut Hafez (2000), sekresi ampula mengandung fruktosa dan asam sitrat, namun demikian kelenjar vesikularis merupakan sumber utama penghasil fruktosa dan asam sitrat. Metode pewarnaan spesifik dapat diaplikasikan pada ampula muncak, seperti metode histokimia PAS dan alcian blue (AB) untuk melokalisasi sebaran karbohidrat netral maupun karbohidrat asam serta sebaran glikokonjugat dengan histokimia lektin. Perbedaan aktivitas kelenjar ampula maupun kelenjar asesoris lainnya selama periode pertumbuhan ranggah, dapat diketahui dari intensitas warna yang dihasilkan. Namun pewarnaan AB dan PAS tidak dilakukan pada penelitian ini, karena sampel kelenjar asesoris kelamin dikoleksi pada saat muncak berada pada periode ranggah keras. Kelenjar Vesikularis Morfologi dan morfometri Kelenjar vesikularis muncak secara makroskopis berjumlah sepasang yang berbentuk lonjong dan memiliki beberapa lobus yang dapat diamati dengan jelas dari superfisial. Kelenjar ini terletak di dorso-lateral pangkal vesika urinaria dan di lateral ampula dexter et sinister. Di kaudal, kelenjar vesikularis berbatasan dengan uretra pars pelvina yang posisinya sejajar dengan ampula. Fungsi kelenjar vesikularis adalah sebagai organ penghasil plasma semen dengan porsi terbesar dibandingkan kelenjar asesoris kelamin lainnya (Pineda 2003). 59 Komposisi sekresi kelenjar vesikularis mengandung heksosa, fruktosa, dan asam sitrat dengan konsentrasi tinggi yang selanjutnya akan disekresikan ke kolikulus seminalis (Hafez 2000). Kelenjar vesikularis memiliki rataan ukuran panjang 2.25 cm, tebal 0.64 cm, dan bobot 2.06 g. Rataan panjang kelenjar vesikularis hampir setengah dari panjang kelenjar vesikularis domba (4 cm) dan rusa timor (4.39-4.68 cm) (Naley 2006). Struktur histologi Histomorfologi kelenjar vesikularis muncak diperlihatkan pada Gambar 21. Secara umum struktur histologi kelenjar tersebut mirip dengan kelenjar vesikularis domba, yang terdiri atas kapsula otot polos yang membungkus kelenjar sekretori. Kelenjar sekretori membentuk lobus, dan masing-masing lobus kelenjar dipisahkan oleh septum interlobular yang kaya akan serabut otot polos dan buluh darah. Lobus kelenjar selanjutnya membentuk lobulus kelenjar dan masing-masing lobulus dipisahkan oleh trabekula yang merupakan penjuluran dari septum interlobularis. Struktur trabekula adalah jaringan ikat padat yang tersusun atas serabut otot polos dengan sel fibrosit. Gambar 21 Struktur histologi kelenjar vesikularis muncak. A. Struktur umum kelenjar memperlihatkan tipe kelenjar tubuloalveolar (Ta), kapsula otot polos (K) septum interlobular (Si), dan trabekuli (Tr) di antara kelenjar. B. inset A, memperlihatkan karakteristik lapis epitel. Pse: pseudostratified columnar epithelium (epitel silindris banyak baris), Bc/Ld: sel basal dengan lipid droplet, Ap: penjuluran apikal, Fs: fibrosit, Bd: buluh darah, dan Sk: sekreta. Pewarnaan HE. Skala: 200 µm (A), 50 µm (B). Kelenjar vesikularis tergolong tipe kelenjar tubuloalveolar dan dilapisi oleh epitel kolumnar dan beberapa sel epitel membentuk penjuluran di bagian apikal sel (apical projection) yang berhadapan dengan lumen kelenjar (Gambar 21B). 60 Sel-sel sekretori kelenjar vesikularis muncak mensekresikan sekreta secara apokrin, dimana bagian apikal dari sel-sel tersebut ikut luruh bersama sekreta yang dihasilkan. Sekreta kelenjar vesikularis ditemukan di lumen kelenjar yang selanjutnya disalurkan ke lumen uretra pars pelvina. Sekreta yang dihasilkan kelenjar vesikularis bersifat alkalis yang berfungsi untuk menetralisir saluran reproduksi betina yang bersifat asam dan memberikan bau yang spesifik pada cairan semen (Frandson et al. 2009). Ukuran sel epitel kelenjar vesikularis pada Cervidae jantan lebih tinggi pada periode musim kawin (Wrobel dan Bergmann 2006). Namun belum dapat diperlihatkan sejauh mana perbedaan ukuran sel epitel kelenjar vesikularis muncak pada periode ranggah keras dan ranggah velvet. Hal ini disebabkan keterbatasan sampel kelenjar asesoris pada periode ranggah keras. Diduga terdapat perbedaan ukuran sel terkait dengan aktivitas kelenjar yang dipengaruhi oleh fluktuasi konsentrasi testosteron selama periode ranggah. Testosteron dalam bentuk DHT beperan penting dalam proses sintesis dan sekresi plasma semen pada kelenjar asesoris kelamin seperti kelenjar vesikularis (Pineda 2003). Pada membran basal epitel kelenjar vesikularis muncak ditemukan beberapa sel basal dengan lipid droplet. Pada domba, lipid droplet tidak ditemukan, namun ditemukan pada kelenjar vesikularis rusa (Wrobel dan Bergmann 2006). Dari pengamatan, jumlah sel basal pada membran basal epitel kelenjar vesikularis muncak lebih sedikit dibandingkan dengan kelenjar pada ampula. Pars Diseminata Kelenjar Prostat Struktur histologi Kelenjar prostat pada muncak berbentuk pars diseminata (Gambar 22A, 22B). Dari superfisial ke profundal ditemukan kapsula, lamina propria dengan kelenjar sekretori, stratum spongiosum, tunika mukosa, dan lumen uretra di bagian sentral. Kapsula merupakan jaringan ikat padat yang tersusun atas serabut otot polos tebal mengelilingi lamina propria dengan kelenjar sekretori dan uretra pars pelvina. Kapsula selanjutnya membentuk penjuluran ke profundal dan memisahkan setiap lobus kelenjar. Kelenjar sekretori pars diseminata prostat muncak tergolong tipe tubuloalveolar dan mengelilingi uretra pars pelvina secara keseluruhan. Distribusi kelenjar sekretori lebih banyak ditemukan di bagian dorsal yang berada di ventral kapsula tunika muskularis, sedangkan di bagian profundal yang berdekatan dengan stratum spongiosum, kelenjar sekretori lebih sedikit (jarang). Posisi pars 61 diseminata d k kelenjar prosstat seperti yyang ditemu ukan pada muncak m juga ditemukan pada sapi dan d rusa, na amun pada domba, pa ars disemina ata hanya mengelilingi m bagian dorso-lateral ure etra pars pelvvina yang membentuk m h huruf ’u’ (Pineda 2003). Babi memiliki kedua bentuk kelenja ar prostat, ya aitu korpus prostat yang g pipih dan pars disemiinata kelenja ar prostat yyang menge elilingi seluru uh sisi uretra (Wrobel dan d Bergma ann 2006). Gambar G 22 Struktur S histolo ogi pars disem minata kelenjjar prostat mu uncak. A. Stru uktur umum. In nset A: lobuss pars disemiinata dan kelenjar sekreto ori (B dan C), penjuluran uretra u pars pe elvina (D), da an korpus sp pongiosum (E E). Pars disem minata (Pd), otot o polos (Sm m), lamina prropria (Lp), ko orpus spongiosum (Cs), septum s inter lo obuli (S), jaringan ikat lon nggar (Jil), du uktus (D), tipe e kelenjar tub buloalveolar (T Ta), epitel ku uboid (Sce); vena (V), urretra pars pe elvina (Up), epitel e uretra (Ep), dan sekkreta (Sk). Pe ewarnaan HE. Skala A: 1 mm; B, D, dan E: 200 µm; µ dan C: 50 0 µm. 62 Tipe epitel yang melapisi kelenjar sekretori tersebut adalah epitel kuboid sederhana. Di antara kelenjar terdapat duktus yang berfungsi untuk menyalurkan sekresi kelenjar yang bersifat mukus menuju duktus kelenjar dan berakhir di lumen uretra pars pelvina. Menurut Frappier (2006), kelenjar sekretori pars diseminata kelenjar prostat mensekresikan substansi secara merokrin atau ekrin, yaitu sekreta berikut granul sekretori dilepaskan oleh sel sekretori ke lumen kelenjar. Lapisan berikutnya adalah stratum spongiosum yang mengelilingi uretra pars pelvina (Gambar 22A, 22E). Pada bagian ini ditemukan buluh darah vena dengan ukuran bervariasi. Menurut Wrobel dan Bergmann (2006), pada saat terjadi ereksi, buluh darah tersebut dialiri darah sehingga ukuran penis sedikit membesar. Mukosa uretra pars pelvina pada muncak membentuk beberapa lipatan longitudinal yang menjulur ke arah lumen uretra. Di antara penjuluran tersebut ditemukan sekresi kelenjar yang berasal dari duktus kelenjar sekretori untuk dialirkan ke lumen uretra (Gambar 22D). Tipe epitel yang melapisi mukosa uretra pars pelvina adalah epitel transisi antara epitel kolumnar dan epitel kuboid. Lapis sub mukosa uretra terdiri atas jaringan ikat longgar dengan serabut elastis dan sel-sel otot polos. Cervidae seperti rusa timor, memiliki kelenjar prostat yang membentuk korpus seperti yang ditemukan pada sapi (Nalley 2006), namun struktur histologi korpus prostat pada rusa tersebut belum dilaporkan. Muncak tidak memiliki korpus prostat, dan kondisi tersebut juga dilaporkan pada pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang menghasilkan sekreta yang bersifat sedikit asam dan berfungsi untuk menetralisir plasma semen. Sifat sedikit asam tersebut disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme karbondioksida dan asam laktat yang berfungsi untuk merangsang pergerakan spermatozoa ejakulat (Wrobel dan Bergmann 2006). Selain itu sekreta juga berfungsi untuk memberikan aroma yang spesifik pada plasma semen (Frandson et al. 2009). Deteksi terhadap komponen sekresi kelenjar prostat pada sapi dapat diketahui dengan metode pewarnaan histokimia PAS. Reaksi positif menunjukkan keberadaan granul glikogen, mukopolisakarida netral, amiloid, dan granul lipid (Bhosle et al. 2007). Aplikasi pewarnaan PAS perlu dilakukan pada muncak untuk mengetahui perbedaan aktivitas kelenjar sekretori prostat pada periode ranggah keras maupun ranggah velvet. Kontribusi sekreta kelenjar prostat terhadap volume total semen bervariasi pada berbagai spesies. 63 Ruminansia (sapi, kambing, domba) sebanyak 4-6%, kuda sebanyak 25-30%, dan babi sebanyak 35-60% (Wrobel dan Bergmann 2006), serta 20–30% pada manusia (Martini 2006). Kelenjar Bulbouretralis Morfologi dan morfometri Muncak memiliki sepasang kelenjar bulbouretralis yang terletak di bagian kaudal uretra pars pelvina. Di bagian kaudo-ventral kelenjar bulbouretralis terdapat muskulus bulbospongiosus. Menurut Dyce et al. (2002), kelenjar bulbouretralis dilapisi oleh muskulus bulbospongiosus yang tebal dan kuat, dan membentuk saluran hingga ke bagian dorsal divertikulum. Sekresi kelenjar tersebut berfungsi untuk membersihkan dan menetralisir uretra dari bekas urin yang bersifat asam dan kotoran-kotoran lainnya sebelum ejakulasi berlangsung (Hafez 2000), serta untuk lubrikasi glans penis (Martini 2006). Secara makroskopis, kelenjar bulbouretralis muncak berukuran besar, dengan lebar 1.61 cm, tebal 0.71 cm, dan bobot 2.39 g. Selain itu, ukuran kelenjar bulbouretralis muncak lebih besar dari pada kancil yang memiliki diameter 0.72-0.93 cm, tinggi 0.46-0.63 cm, dan bobot 0.82-0.9 g. Bila diamati pada tahap ranggah keras, bobot kelenjar bulbouretralis reeves muntjak (1.19-1.27 g) (Chapman dan Harris 1991) lebih ringan dibandingkan dengan bobot kelenjar ini pada muncak (2.39 g). Hal ini berbeda dengan rusa timor yang diduga memiliki ukuran kelenjar bulbouretralis sangat kecil sehingga kelenjar ini tidak ditemukan (Nalley 2006). Struktur histologi Struktur histologi kelenjar bulbouretralis diperlihatkan pada Gambar 23A, 23B. Kelenjar bulbouretralis pada muncak terletak di bagian kaudal uretra pars pelvina memiliki kelenjar sekretori yang padat. Jaringan interstisial kaya akan serabut otot polos yang memisahkan masing-masing kelenjar sekretori. Tipe kelenjar sekretori bulbouretralis muncak adalah tipe tubular yang dilapisi oleh epitel kuboid. Frappier (2006) menyatakan, sekreta yang dihasilkan oleh kelenjar bulbouretralis bersifat mukus, yaitu cairan kental (mucin). Sekreta ini berfungsi untuk melindungi permukaan organ yang kopulatori saat kopulasi berlangsung. Sekreta dialirkan ke lumen kelenjar menuju duktuli dan selanjutnya bermuara ke duktus besar yang berada di bagian tengah kelenjar bulbouretralis (duktus sentralis). Mukosa duktus sentralis kelenjar juga dilapisi oleh epitel kuboid. 64 Gambar 23 Struktur histologi kelenjar bulbouretralis muncak. A. Struktur umum kelenjar dengan lumen (L) dan duktus sekretori (D). B. inset A. tipe kelenjar tubular (Tu), epitel kuboid (Sce) dengan sel sekretori (Sr), serabut otot polos (Sm) dan sekreta (Sk). Pewarnaan HE. Skala A : 200 µm, B: 50 µm. Penis Morfologi dan morfometri Penis muncak tergolong fibroelastik (Gambar 24), terdiri atas radiks penis, korpus penis, dan glans penis. Radiks penis bertaut di bagian lateral dari arcus ischiadicus yang dihubungkan oleh crura penis dexter et sinister. Pada penis juga ditemukan muskulus ischio cavernosus atau erektor penis yang merupakan sepasang otot pendek yang terlihat dari tuber ischii dan ligamentum sacroischiadicum dan bertaut pada crura dan korpus penis. Pada korpus penis muncak terdapat fleksura sigmoidea yang membentuk huruf ‘S’. Fleksura sigmoidea akan meregang saat terjadi ereksi akibat relaksasi muskulus retraktor penis, sehingga penis tertarik keluar dari preputium dan sedikit membesar (Pineda 2003). Muskulus retraktor penis bertaut pada penis di bagian ujung kranio-ventral dari fleksura sigmoidea. Fleksura sigmoidea tidak teramati atau tidak nyata secara makroskopis pada hewan bertipe penis fibroelastik lainnya seperti rusa timor (Nalley 2006) dan pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). Panjang penis muncak yang diukur bersama preputium adalah 30.50 cm. Panjang penis muncak hampir sama dengan panjang penis domba, yaitu 35 cm (Frandson et al. 2009), dan rusa timor, yaitu 40.28-46.22 cm (Nalley 2006). Ukuran penis muncak lebih pendek dibandingkan penis domba dan rusa timor. Ukuran panjang penis muncak yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga panjang saluran reproduksi muncak betina yang bermanfaat untuk aplikasi teknik inseminasi buatan menggunakan semen muncak segar atau hasil preservasi. 65 Gambar G 24 M Morfologi penis muncak. Radiks penis (1), muskkulus retrakto or penis (2) k korpus peniss (3), fleksura a sigmoidea (4), preputiu um (5), glanss penis (6), p prosesus urettralis (7), dan n duktus deferrens (8). Skala: 1 cm. a muncak be erukuran ke ecil, sedikit ccembung pa ada bagian Glans penis pada dorsal d dan memiliki m pro osesus uretrralis, seperti yang ditem mukan pada penis sapi dan d domba (Frandson et e al. 2009). Glans penis s diselubung gi oleh kulit preputium. ans penis dan prosessus uretraliss muncak adalah 0.91 1 cm dan Panjang gla 0.23 0 cm. Prosesus ure etralis munccak tidak me embentuk p putaran (spirral) seperti yang y dimilikki oleh bebe erapa rumina ansia lain. Prosesus P urretralis kanc cil berputar dua d setengah putaran searah jarrum jam da an bercaban ng (Najamudin 2010). alis pada ba abi adalah sa atu setengah h putaran de engan arah Putaran prosesus uretra m. Prosesuss uretralis berperan b da alam mend deposisikan berlawanan jarum jam semen s ke sa aluran repro oduksi betina a saat ejakulasi berlangssung (Toelihere 1981). Struktur his stologi Struk ktur histologi korpus penis dan uretra pa ars eksterna a muncak diperlihatkan d n pada Ga ambar 25. Struktur S penis dari superfisial ke profundal adalah: a 1) korpora ka avernosa pe enis, dan 2) 2 korpus spongiosum s penis. Di orpora kave ernosa, terda apat rongga a (kaverna) yang berjalan sirkular profundal ko mengelilingi uretra. Bentuk kavern na tidak berraturan deng gan ukuran bervariasi 5A, 25B). Menurut M Aug ghey dan Frye F (2001), secara um mum organ (Gambar 25 kopulatoris (penis) terrdiri atas kapsula k jarin ngan ikat fibroelastik f di bagian superfisial, s dan tunika a albuginea a yang menjulur ke p profundal membentuk m trabekula t se ebagai jaring gan pendukkung kaverna yang dilapisi sel end dotel. Pada saat s ereksi, kaverna berisi darah ya ang berasal dari buluh a arteri. Lapis berikutnya 66 adalah lamina propria (sub mukosa), terdiri atas kombinasi jaringan ikat longgar dan padat, tidak beraturan dengan serabut elastik dan otot polos. Lamina propria mengelilingi mukosa uretra dan memisahkan bagian tersebut dengan korpus kavernosum penis. p Gambar 25 Struktur histologi korpus penis muncak. A. uretra dikelilingi tunika albugenia dan rongga kaverna. inset A lapis epitel mengelilingi lumen uretra (B), dan jaringan erektil penis (C). D. uretra radiks penis. Tunika albuginea (Ta); kaverna (Ka); lumen uretra (Lu); Sekreta (Sk); epitel kolumnar berlapis (Ep); lamina propria (Lp); dan otot polos (Sm); korpus spongiosum (Cs); jaringan ikat longgar (Jil); vena (V). Pewarnaan HE. Skala A: 200 µm; B dan C: 100 µm; dan D: 50 µm. Mukosa uretra membentuk lipatan-lipatan longitudinal yang mengarah ke lumen uretra dan dilapisi oleh sel epitel. Lipatan longitudinal yang lebih panjang ditemukan di bagian uretra pars pelvina (Gambar 22C). Lipatan tersebut menurun di mukosa uretra bagian radiks penis (Gambar 25D), dan semakin memendek di bagian uretra pars eksterna Gambar 25B). Tipe epitel yang melapisi mukosa uretra bagian radiks penis adalah epitel silindris banyak baris. Lapis epitel memendek pada mukosa uretra pars eksterna bagian korpus penis (Gambar 25B). Korpus spongiosum penis tidak teramati pada sayatan histologi korpus penis, bagian ini dapat dilihat pada pars diseminata kelenjar prostat di 67 bagian uretra pars pelvina (Gambar 22C) dan uretra radiks penis (Gambar 25D). Struktur histologi tipe penis fibroelastik pada muncak mirip dengan stuktur histologi penis domba, rusa, dan sapi. Penjuluran trabekula di antara jaringan ikat korpus kavernosum seperti yang ditemukan pada penis sapi (Wrobel dan Bergmann 2006), juga ditemukan pada penis muncak. Simpulan 1. Organ reproduksi muncak jantan dicirikan dengan ukuran testis yang relatif kecil, kelenjar prostat tidak teramati secara makroskopis, ukuran kelenjar bulbouretralis yang besar, ukuran penis yang relatif panjang dan memiliki glans penis serta prosesus uretralis berukuran kecil. 2. Karakterisitik histologi kelenjar asesoris kelamin adalah posisi kelenjar sekretori pars diseminata kelenjar prostat yang tersebar mengililingi uretra pars pelvina. Daftar Pustaka Adebayo AO, Oke BO, Akinloye AK. 2009. The gross morphometri and histology of the male accessory sex gland in the greater cane rat (Thryonomys swinderianus, Temmick). J Vet Anat 2: 41-51. Ahmed MH, Sabry SM, Zaki SM, El-Sadik AO. 2009. Histological, immunohistochemical and ultrastructural study of the epididimis in the adult albino rat. Aus J Basc App Sci 3: 2278-2289. Arrhigi S, Bosi G, Groppetti D, Cremonesi F. 2010. Morpho- and histometric evaluations on the testis and epididymis in buffalo bulls during the different reproductive season. Open Anat J 2: 29-33. Asher GW, Peterson AJ. 1991. Pattern of LH and testosterone secretion in adult male fallow deer (Dama dama) during the transition into the breeding season. J Reprod Fert 91: 649-654. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology. London: Manson Publish. Axner E, Malmqvist M, Linde-Forsberg C, Rodriguez-Martinez H. 1999. Regional histology of ductus epididymidis in the domestic cat. J Reprod Dev 45: 151-160. Beguelini MR, Sergio BFS, Leme FLJ, Taboga SR, Morielle-Versute E. 2010. Morphological and morphometric characteristix of the epididymis in the neotropical bats Eumops glaucinus and Molossus molossus (Chiroptera: Molossidae). Chiroptera Neotropical 16: 769-779. 68 Bhosle NS, Shingatgire RK, Kapadnis PI. 2007. Histochemical study of prostate gland in uncastrated and castrated cattle. Ind J Anim Res 41: 141-143. Chapman NG, Harris S. 1991. Evidence that seasonal antler cycle of adult Reeves muntjak (Muntiacus reevesi) is not associated with reproductive quiescence. J Reprod Fert 92: 361-369. Chughtai B, Sawas A, O’malley RL, Naik RR, Khan AS, Pentyala S. 2005. A neglected gland: a review of Cowper’s gland. Int J Androl 28: 74-77. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. St. Louis: Mosby. Constantinescu GM. 2007. Anatomy of Reproductive Organ. Di dalam: Schatten H, Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. Iowa: Blackwell Publish. Cooper TG. 1986. Epididymis: Sperm Maturation and Fertilisation. Berlin: Springer-Verlag. Dreef. HC, van Esch E, de Rijk EPCT. 2007. Spermatogenesis in cynomolgus monkey (Macaca fascicularis): a practical guide for routine morphological staging. Toxicol Pathol 35: 395-404. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 2002. Text Book of Veterinary Anatomy. Ed ke-3. Philadelphia: WB. Saunders. Egger GF, Witter K. 2009. Peritubular contractile cells in testis and epididymis of the dog, Canis lupus familiaris. Act Vet Brno 78: 3-11. Franςa LR, Becker-Silva SC, Chiarini-Garcia H. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31: 274-280. Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed ke-7. Iowa: Wiley-Blackwell. Frappier BL. 2006. Epithelium. Di dalam: Eurell JA, Frappier B, editor. Dellman’s Textbook Veterinary Histology. Iowa: Blackwell. Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. Di dalam: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Handarini R, Nalley WMM, Semiasi G, Agungpriyono S, Subandriyo, Purwantara B. Toelihere MR. 2004. Penentuan masa aktif reproduksi rusa timor jantan (Cervus timorensis) berdasarkan kualitas semen dan tahap pertumbuhan ranggahnya. Di dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Optek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional; Bogor: 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan. 69 Handarini R. 2006. Dinamika aktivitas reproduksi berkaitan dengan tahap pertumbuhan ranggah rusa timor (Cervus timorensis) jantan dewasa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handarini R, Nalley WMM. 2008. Profil hormon testosteron rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Med Konserv 13: 1-7. Hochereau-de Reviers MT, Lincoln GA. 1978. Seasonal variation in the histology of the testis of the red deer, Cervus elaphus. J Reprod Fert 54: 209-213. Johnson KE. 1991. Histology and Cell Biology. Baltimore: William & Wilkins. Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory & Practice. Ed ke-2. England: Pergamon Pr. Kolasa A, Marchlewicz M, Wenda-Rozewicka L, Wiszniewska B. 2004. Morpology of the testis and the epididymis in rats with dihydrotestosterone (DHT) deficiency. Ann Ac Med Biol Proceed 49: 117-119. Kumar TCA, Prakash A, Prasad MRN. 1982. Ultrastructural features of the principal cell in the epididymis of the rhesus monkey. J Bio Sci 4: 469-479. Lincoln GA. 1985. Seasonal breeding in deer. Bull Roy Soc 22: 165-179. Loudon ASI, Curlewis JD. 1988. Cycles of antler and testicular growth in an aseasional tropical deer (Axis axis). J Reprod Fert 83:729-738. Martini FH. 2006. Fundamental of Anatomy and Physiology. Ed ke-7. San Franscisco:Pearson. Massanyi P, Lukac N, Hluchy S, Slamecka J, Jurcik R, Toman R, Kovacik J. 1999. Seasonal variation in the metric analysis of the testis and epididymis in fallow-deer (Dama dama). Fol Vet 43: 67-70. Monfort SL, Asher GW, Wildt DE, Wood TC, Schiewe MC, Williamson LR, Bush M, Rall WF. 1993. Circannual inter-relationship among reproductive hormones, gross morphometry, behavior, ejaculate characteristic and testicular histology in eld’s deer stags (Cervus eldi thamin). J Reprod Fert 98: 471-480. Moonjit P, Suwanpugdee A. 2007. Histological structure of testis and ductus epididymis of rusa deer (Cervus timorensis). Kasetsart J Nat Sci 41: 86-90. Najamudin. 2010. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue & Cell 36: 439-446. 70 Nalley WMM. 2006. Kajian Biologi Reproduksi dan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada Rusa Timor (Cervus timorensis) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Noviana C, Boediono A, Wresdiyati T. 2000. Morfologi dan histomorfometri testis dan epididimis kambing kacang (Capra sp) dan domba lokal (Ovis sp). Med Vet 7(2): 12-16. Olukole SG, Obayemi TS. 2010. Histomorphometry of the testis and epididymis in the domestic adult African great cane rat (Thryonomys swinderianus). Int J Morphol 28: 1251-1254. Orsi AM, Simoes K, Domeniconi RF, da Cruz C, Machado MRF, Filho JG. 2009. Vas deferen surface epithelium of agouti paca: fine structural features. Int J Morphol 27: 89-96. Pineda MH. 2003. Male Reproductive System. Di dalam: McDonald’s Veterinary Endocrinology and Reproduction. Pineda MH, Dooley MP. Iowa, editor. Iowa: Iowa State Pr. Primiani N, Gregory M, Dufresne J, Smith CE, Liu YL, Bartless JR, Cyr DG, Hermo L. 2007. Microvillar size and espin expression in principal cells of the rat epididymis are regulated by androgens. J Androl 28: 659-669. Rizal M. 2004. Fertilitas Spermatozoa Ejakulat dan Epididimis Domba Garut Hasil kriopreservasi Menggunakan Modifikasi Pengencer Tris dengan Berbagai Krioprotektan dan Antioksidan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosenfeld CS. 2007. Overview of Male Reproductive Organs. In Schatten H, Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. New York: Blackwell. Sempere AJ. 1990. The annual antler cycle of the European roe deer (Capreolus capreolus) in relationship to the reproductive cycle. J Reprod Fert 396-415. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed ke-2. Washington: Current Conception, Serre V, Robaire B. 1999. Distribution of immune cells in tehe epididymis of the ageing brown norway rat is segment-spesific and related to the luminal content. Biol Reprod 61: 705-714. Sohn JH, Kimura J. 2012. Observation of male reproductive organ in korean water deer (Hydropotes inermis argyropus). Asian J Anim Vet Adv 7: 30-37. Thomson AA, Marker PC. 2006. Branching morphogenesis in the prostate gland and seminal vesicles. Differentiation 74: 382-392. 71 Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa. Ungerfeld R, Gonzalez-Pensado S, Bielli A, Villagran M, Olazabal D, Perez W. 2008. Reproductive biology of the pampas deer (Ozotoceros bezoarticus): a review. Act Vet Scand 50:16. Weinbauer GF, Luetjens CM, Simoni M, Nieschlag E. 2010. Physiology of Testicular Function. Di dalam: Nieschlag E, Behre HM, Nieschlag M, editor. Andrology Male Reproductive Health and Dysfunction. Ed ke-3. Berlin: Springer-Verlag. Wrobel KH, Bergmann M. 2006. Male Reproductive System. Di dalam: Eurell JA, Frappier B, editor. Dellman’s Textbook Veterinary Histology. Iowa: Blackwell. Yeung CH, Nashan D, Sorg C, Oberpenning F, Schulze H, Nieschlag E, Cooper TG. 1994. Basal cells of the human epididymis-antigenic and ultrastructural similarities to tissue-fixed macrophages. Biol Reprod 50: 917-926.