Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 267 MEMASYARAKATKAN EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN Kemas Mas’ud Ali Abstraction: Spelling is a principle that must be follower by user of language to form orderlinese exspecially in writing. Form orderlinese will give implication to appropriate meaning. Many people do not use that principles which have been stable in EYD. It is happened since they don’t obey the regulation, or they only see the guidance that they are usually used without paying attention to EYD form. It is not good attitude to the development of Indonesian. It is suggested for writers always to follow EYD form. Kata Kunci: Ejaan, EYD, Kaidah-kaidah, Bahasa, Tulis, Tanda Baca, Program, Sikap A. PENDAHULUAN Pada dasarnya bahasa yang digunakan manusia itu adalah rangkaian bunyi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahasa lisan. Bagaimana menuliskan bahasa lisan, apa aturannya, dan tanda apa yang digunakan, itulah yang berhubungan dengan ejaan. Ejaan adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk tulisan.1 Ejaan adalah seperangkat aturan tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, kata, dan tanda baca sebagai sarananya. Batasan tersebut menunjukkan pengertian kata ejaan berbeda dengan kata mengeja. Mengeja adalah kegiatan melafalkan huruf, suku kata, atau kata; sedangkan ejaan adalah suatu sistem aturan yang jauh lebih luas dari sekedar masalah pelafalan. Ejaan mengatur keseluruhan cara menuliskan bahasa. Ejaan merupakan kaidah yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi keteraturan dan keseragaman bentuk, terutama dalam bahasa tulis. Keteraturan bentuk akan berimplikasi pada ketepatan dan kejelasan makna. Ibarat sedang mengemudi kendaraan, ejaan adalah rambu lalu lintas yang harus dipatuhi oleh setiap pengemudi. Jika para pengemudi mematuhi rambu-rambu yang ada, 267 Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 268 terciptalah lalu lintas yang tertib dan teratur. Seperti itulah kira-kira bentuk hubungan antara pemakai bahasa dengan ejaan. Dalam sejarah perjalanan bahasa Indonesia, hingga saat ini telah beberapa kali ejaan bahasa Indonesia mengalami perubahan mulai dari Ejaan van Ophuysen sampai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EyD). EyD diresmikan pemberlakuannya oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1972. Jika dilihat dari pemberlakuannya sampai pada tahun 2011 ini, EyD telah berusia tiga puluh sembilan tahun. Jangka waktu tiga puluh sembilan tahun bukan waktu yang singkat untuk memasyarakatkan penerapan suatu kaidah. Dengan kata lain, selayaknya masyarakat Indonesia, khususnya kaum terpelajar, sudah sangat memahami kaidah-kaidah yang dimuat dalam EyD dan menerapkannya dalam kegiatan berbahasa tulis. Namun, pada kenyataannya masih banyak pemakai bahasa Indonesia yang belum menerapkan kaidah EyD itu sepenuhnya. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kesalahan penggunaan EyD dalam tulisan-tulisan siswa dan mahasiswa, dalam surat-surat dinas, maupun dalam media cetak. Selama ini belum semua orang mematuhi kaidah yang tercantum dalam EyD, baik karena belum tahu, enggan mematuhi atau karena ada pedoman yang mereka pegang selama ini yang mereka anggap pedoman itu sudah tepat. Tindakan seperti ini jelas dapat mengacaukan perkembangan bahasa Indonesia. Padahal dengan diberlakukannya EyD, seharusnya setiap warga negara Indonesia wajib mengikuti dan mematuhinya. Menurut Murad dkk. masih banyak pemakai bahasa Indonesia yang belum menerapkan kaidah ejaan itu sepenuhnya. Masih banyak kesalahan yang kita jumpai dalam pemakaian sehari-hari, baik dalam surat kabar, majalah, maupun buku-buku.2 Selanjutnya Meirani mengemukakan bahwa masih terdapat kesalahan pemakaian ejaan dalam surat dinas … dengan persentase kesalahan rata-rata 39,26%.3 Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 269 Badudu (dikutip Nurhayati) menyatakan pula bahwa lulusan SMTA apabila berbahasa Indonesia, bahasanya tidak teratur. Penggunaan tanda baca dan huruf kapital tidak cermat.4 Hasil analisis kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya pada bulan Juli 2003 yang lalu terhadap tulisan-tulisan siswa dan mahasiswa tampak bahwa kesalahan pemakaian EyD menempati peringkat pertama dengan persentase kesalahan rata-rata 68,21%. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya penerapan EyD itu masih menjadi masalah yang perlu kita pikirkan bersama. B. EJAAN MERUPAKAN SARANA KELENGKAPAN BERBAHASA Halim mengemukakan bahwa masalah ejaan tampaknya merupakan masalah yang sangat sederhana. Setiap orang yang sudah bebas dari buta huruf sedikit banyaknya menguasai sistem ejaan bahasanya. Tidak jarang masalah ejaan dirasakan sebagai masalah kecil dan dianggap remeh. Padahal, kalau kita perhatikan benar-benar, kelihatanlah oleh kita bahwa masalah ejaan tidaklah sederhana.5 Ejaan merupakan sarana kelengkapan berbahasa. Tanpa ejaan yang tepat bahasa tulis akan sulit dipahami atau dapat menimbulkan kesalahan komunikasi. Kata atau rangkaian kata-kata tidak akan menjadi kalimat bermakna, jika tidak dilengkapi dengan ejaan. Kalau pun kita dapat memberi makna, bisa jadi apa yang kita pahami berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis. Selain berhubungan dengan dampak komunikasi, penggunaan EyD juga berhubungan dengan ketertiban berbahasa. Pada bahasa tulis, khususnya dalam penulisan karya ilmiah, sangat dibutuhkan ketertiban berbahasa. Dalam Bahasa Indonesia Ragam Iptek dan Tata Tulis Karya Ilmiah (Seksi Bahasa Indonesia) dikemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku dan penulisannya sesuai dengan kaidah yang berlaku.6 Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 270 Media cetak dalam hal ini tabloid memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri, yaitu informasi yang disajikan kepada pembaca selalu aktual, menarik, dapat dibawa kemana-mana, terdokumentasi, mudah diperoleh dan dapat dibaca berulang-ulang dalam kondisi apapun. Pesan/informasi yang dimuat dalam tabloid tentunya harus menggunakan bahasa jurnalistik yang efektif dan memenuhi kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan (EyD). Penggunaan bahasa jurnalistik yang baik dalam penyampaian informasi di tabloid, dilakukan mulai dari wartawan yang bertugas mencari dan membuat berita hingga redaktur yang bertanggung jawab menyeleksi materi informasi, mengedit kalimat dan bahasa, serta menentukan layak tidaknya berita disebarluaskan melalui tabloid. Pesan/informasi yang disebarluaskan dalam bentuk berita di tabloid, harus memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, diantaranya aktual, akurat, obyektif, faktual, jujur, efektif, jelas, terus terang, dan santun. Bahasa yang digunakan wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik yang memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa yang dapat dilihat dalam surat kabar harian, terbitan berkala (tabloid, bulletin, majalah). Oleh sebab itu bahasa yang digunakan haruslah jelas dan mudah dibaca oleh masyarakat dengan ukuran intelek yang minimal, karena pembaca tabloid memiliki latar belakang pengetahuan, pendidikan dan status sosial yang berbedabeda. Bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yaitu susunan kalimat yang benar dan pilihan kata yang cocok serta tidak mengandung makna ganda. Penggunaan ejaan yang benar pada bahasa jurnalistik tidaklah mudah. Pada prakteknya, akan banyak menemukan kesulitan-kesulitan. Menurut Badudu (dalam Anwar), kesalahan-kesalahan yang paling menonjol dalam bahasa surat kabar / media cetak sekarang ini adalah kesalahan ejaan, pemenggalan suku kata, penulisan kata yang serangkai atau dipisah dan pemakaian titik pada kata singkatan.7 Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 271 C. FAKTOR PENGHAMBAT DAN ALTERNATIF PEMASYARAKATAN EYD Rentang waktu antara peresmian berlakunya EyD sampai sekarang merupakan kurun waktu yang cukup panjang. Selama masa itu Pusat Bahasa telah banyak melakukan kegiatan pemasyarakatan bahasa Indonesia, termasuk EyD. Namun demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tampaknya harus diakui bahwa upaya itu belum sepenuhnya berhasil.8 Kekurangberhasilan itu harus kita temukan faktor penyebabnya agar dapat diupayakan langkah-langkah penanggulangannya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi upaya penerapan EyD itu, antara lain sikap bahasa, program pemasyarakatan EyD, dan kaidah EyD itu sendiri. 3.1 Sikap Bahasa Jika kita perhatikan dengan cermat pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat Indonesia, dapat kita lihat kenyataan bahwa tingkat kesadaran berbahasa mereka masih jauh dari yang diharapkan. Ada warga masyarakat Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi meskipun pada situasi yang formal, ada yang hampir selalu menggunakan ragam tak baku, dan ada pula yang cenderung mengutamakan katakata bahasa asing karena gengsi. Sikap bahasa yang negatif ini akan sangat berpengaruh pada keberhasilan penerapan EyD. Kesadaran berbahasa yang rendah pada gilirannya akan membuat pemakai bahasa Indonesia enggan untuk mempelajari, memahami, dan memakai dengan baik kaidah-kaidah bahasa Indonesia termasuk kaidah EyD. Oleh karena itu, upaya peningkatan sikap positif terhadap bahasa Indonesia perlu terus dilakukan. Menurut Suhardi, masalah sikap bahasa ini semakin penting artinya bagi tokoh masyarakat.9 3.1.1 Peran Tokoh Masyarakat Tokoh pemerintahan, masyarakat, sering seperti berperan cendikiawan, besar dalam budayawan, mempengaruhi pemimpin perilaku masyarakatnya. Secara tidak langsung sebenarnya mereka melaksanakan Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 272 pendidikan yang bersifat massal karena gagasan-gagasan yang mereka lontarkan dan perilaku berbahasa mereka dijadikan teladan oleh orang banyak. Oleh karena itu, tokoh masyarakat dituntut untuk selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulis. Dengan cara ini masyarakat juga akan tergugah untuk selalu memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar tanpa merasa rendah diri. 3.1.2 Peran Guru Bahasa Indonesia Di kalangan yang terbatas, guru bahasa disiapkan untuk meningkatkan kemampuan siswanya. Sebenarnya, di samping itu, mereka juga dituntut untuk ikut menanamkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, tidak saja di kalangan siswa, melainkan juga di kalangan sesama guru. Upaya yang dapat dilakukan, antara lain, dengan menciptakan pembelajaran bahasa Indonesia yang menarik bagi siswa sehingga tumbuh kecintaan mereka terhadap bahasa Indonesia. Dari kecintaan mereka terhadap pelajaran bahasa Indonesia inilah akan tumbuh sikap positif terhadap bahasa Indonesia. dengan demikian, para siswa akan senantiasa menerapkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. 3.1.3 Peran Pers Peran media massa dalam pembinaan bahasa Indonesia sampai saat ini sangat penting karena dalam era global sekarang media massa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif dalam mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, baik yang positif maupun yang negatif, termasuk dalam mempengaruhi sikap bahasa. Akhir-akhir ini peran media massa dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia lebih mengarah kepada hal yang negatif, terutama berkaitan dengan penalaran sikap yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Melihat kenyataan itu, hendaknya insan pers lebih cermat dalam menggunakan bahasa Indonesia. Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 273 3.2 Program Pemasyarakatan EyD Program pemasyarakatan EyD selama ini lebih ditekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan tanpa dibarengi dengan penanaman sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia.10 Seharusnya, aspek sikap bahasa tetap menjadi perhatian dalam pelaksanaan program pemasyarakatan EyD ini. Program ini pada umumnya bersifat baku yang dikenal dengan nama paket penyuluhan sekian jam. Paket penyuluhan tersebut sebenarnya sangat baik jika saja aspek motivasi, latar belakang pendidikan, dan jumlah peserta tidak menjadi kendala. Kenyataannya, keadaan di lapangan sering berbeda dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, program pemasyarakatan EyD ini hendaknya dilaksanakan dengan lebih terencana, dengan memperhatikan berbagai aspek tersebut, dan harus ditindaklanjuti. Artinya, jika suatu program pemasyarakatan EyD telah dilakukan terhadap sasaran tertentu, hasilnya perlu diteliti dan programnya perlu evaluasi. Selain melalui penyuluhan, program pemasyarakatan EyD ini dapat dilakukan melalui pembelajaran di sekolah-sekolah, media massa, dan buku-buku bacaan. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah haruslah terkait dengan kebutuhan siswa dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam hal ini EyD tidak saja harus dibahas secara khusus melainkan harus diintegrasikan dalam segala kegiatan berbahasa tulis yang disertai dengan penanaman sikap positif. Tentu saja keberhasilan program ini perlu didukung oleh guru-guru bidang studi lain. Media massa, sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, merupakan sarana ampuh dalam upaya pemasyarakatan EyD yang dapat menjangkau masyarakat banyak. Penggunaan ejaan yang tepat dalam media cetak secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di samping media massa, penerbitan buku-buku bacaan pun dapat membantu keberhasilan pemasyarakatan EyD. Buku-buku bacaan umum maupun buku-buku bacaan untuk sekolah hendaknya secara cermat menggunakan EyD. Jika tidak, selain akan berdampak terhadap kekomunikatifan bacaan itu, hal ini dapat juga membingungkan pemakai bahasa dalam memahami kaidah EyD itu sendiri. Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 274 3.3 Ejaan Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya. Bahasa ragam tulis adalah bahasa yang digunakan untuk membuat sebuah tulisan yang benar sesuia dengan aturan EYD dan ejaan . Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam bhasa ragam tulis, kita diharuskan adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti ejaan kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan tulisan. Oleh sebab itu, hubungan antara ejaan dan bahasa ragam tulis sangatlah berkaitan karena ejaan adalah cara penulisan huruf dan kalimat secara benar perhuruf dan juga pada pemakaian huruf kapital, singkatan, tanda baca, dan lain lain yang sangat diperlukan oleh bahasa ragam tulis. Jadi jika bahasa ragam tulis tanpa adanya ejaaan ibarat seseorang yang bisu karna apa? karna kita sebagai lawan bicara si bisu tidak mengerti apa yang ingin dia sampaikan kepada kita, begitu juga dengan bahasa ragam tulis tanpa adanya ejaan kita tidak mengerti apa tujuan tulisan yang ingin penulis sampaikan ke pembaca. Contoh : Seorang penulis membuat sebuah cerita novel tentang perjalan seseorang yang mencari keridoan ALLAH SWT. dalam kota metropolis, tapi penulis itu tidak Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 275 memperhatikan ejaan dalam pembuatan novelnya. Kita sebagai pembaca ingin sekali memahami isi cerita novel tersebut tapi apakah kita bisa memahaminya? Tentu tidak, sebab kita pembaca tidak mengetahui tanda titik untuk mengakhiri suatu pembahasan dan juga tanda koma dan tanda-tanda lainnya. Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme dalam pengucapan. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menulis seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan. 3.4 Kaidah Ejaan Kaidah-kaidah EyD dimuat dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang terdiri dari 5 bab, 174 butir kaidah, 15 perian, dan 49 buah keterangan. Jika perian dan catatan itu dihitung sebagai kaidah, jumlah seluruh kaidah dalam buku itu adalah 238 butir. Secara umum dapat dikatakan bahwa kaidah yang tercantum dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan cukup baik, tetapi masih ada beberapa butir kaidah yang perlu diperjelas lagi. Kaidah-kaidah yang dimaksud, antara lain, sebagai beikut. Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 276 1) Bab II, Bagian A, Kaidah 9 “Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi” “Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis” Benarkah penulisan “Dia lahir di pulau Lombok”? Yang benar “tari jawa” atau “tari Jawa”? 2) Bab II, Bagian A, Kaidah 13 “Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.” Bagaimanakah kedudukan “dr” sebagai singkatan gelar dokter? 3) Bab III, Bagian J, Kaidah 8 “Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf ….” Manakah yang lebih baik jika ditinjau dari keterbacaan? “Ayah memesan ayam tiga ratus ekor.” atau “Ayah memesan ayam 300 ekor.” Apa manfaat yang diperoleh dengan mengharuskan penulisan seperti itu? Berangkat dari kenyataan itu perlu kiranya kaidah-kaidah itu dibahas secara mendalam karena kejelasan rumusan kaidah dan kecermatan contoh tentu akan sangat membantu pemakai untuk memahami sekaligus menerapkannya dalam penulisan. D. SIMPULAN Ejaan yang disempurnakan merupakan sarana kelengkapan berbahasa yang harus digunakan secara tepat dan cermat. Meskipun telah diberlakukan dalam jangka waktu cukup lama EyD belum sepenuhnya diterapkan dalam kegiatan berbahasa tulis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pemasyarakatan EyD yang terencana, terarah, dan terpadu. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan, antara lain, 1) penanaman sikap positif terhadap bahasa Indonesia pada masyarakat, 2) penyelenggaraan program pemasyarakatan EyD melalui penyuluhan, pembelajaran di sekolah, dan melalui media massa, dan 3) pembahasan kaidah-kaidah yang masih membingungkan pemakai bahasa. Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 277 Upaya-upaya pemasyarakatan itu tentunya bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat Bahasa melainkan juga tanggung jawab pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan pihak-pihak lain. Penulis; Drs. Kemas Mas’ud Ali, M.Pd, adalah Dosen Tetap pada jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu DAFTAR PUSTAKA Hakim, Lukman, Zainul Arifin, dan Yayah B, Lumintang. Ejaan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991 Murad, A. dkk. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia Melalui Media Televisi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985 Meirani, W. “Penggunaan EyD dalam Surat Dinas Pemerintah Kecamatan Seberang Ulu II Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang”. Skripsi, Palembang, FKIP Unsri Nurhayati. “ Integrasi Proses Membaca dan Menulis dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis”. dalam Lingua Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001 Halim, Amran. Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980 Seksi Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia Ragam Iptek dan tata Tulis Karya Ilmiah. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2000 Anwar, Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Yogyakarta: Media Abadi, 2004 Indonesia dan Komposisi. Latief, A. dalam Alwi Hasan, Dendy Sugono, dan Abdul Rozak Zaidan. “Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan: Masa Kini dan Masa Depan”. dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2000 Suhardi, Basuki. dalam “Pengembangan Sikap Positif dalam Berbahasa Indonesia”. dalam Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000 Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, 1998 Kemas Mas’ud Ali, Memasyarakatkan Ejaan Bahasa Indonesia 278 1 Hakim, Lukman, Zainul Arifin, dan Yayah B, Lumintang. Ejaan dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), h.1. 2 Murad, A. dkk. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia Melalui Media Televisi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), h. 63. 3 Meirani, W. “Penggunaan EyD dalam Surat Dinas Pemerintah Kecamatan Seberang Ulu II Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang”. (Skripsi, Palembang, FKIP Unsri), h. 1. 4 Nurhayati. “ Integrasi Proses Membaca dan Menulis dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis”. dalam Lingua (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), h. 64. 5 Halim, Amran. Pembinaan Bahasa Nasional. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980), h. 22. 6 Seksi Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia Ragam Iptek dan tata Tulis Karya Ilmiah. (Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2000), h. 7. 7 Anwar, Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi.(Yogyakarta: Media Abadi, 2004) 8 Latief, A. dalam Alwi Hasan, Dendy Sugono, dan Abdul Rozak Zaidan. “Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan: Masa Kini dan Masa Depan”. dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2000), h. 242. 9 Suhardi, Basuki. dalam “Pengembangan Sikap Positif dalam Berbahasa Indonesia”. dalam Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000 (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, 1998), h. 539. 10 Latief, A. Op Cit. h. 54.