Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Masyarakat Jepang Modern Menurut Amane Nishi dalam Kawamura (1994:4), sosiologi berasal dari istilah ”masyarakat”, yang berarti jalan kerjasama antara sesama manusia dalam kehidupannya, dan ia menambahkan bahwa ”burung dan binatang dapat hidup sendiri tetapi tidak bagi manusia. Oleh sebab itu, jalan kehidupan manusia adalah suatu kebersamaan, dimana manusia tidak terikat dengan yang manusia lainnya”. Menurut Fukutake (1989:12), masyarakat modern ditandai dengan perubahan dari masyarakat sebelumnya. Pada masyarakat modern lebih sedikit individual yang tinggal dan meninggal di desa-desa dan kota-kota dimana mereka lahir, mereka mulai berpindah-pindah dan tidak hanya berdiam di satu tempat saja. Pria sebagai penduduk kota, bebas dari paham isolasi setempat dan status diskriminasi akan masyarakat tradisional dan menciptakan sebuah masyarakat yang bebas dan sederajat. Masyarakat modern adalah masyarakat penduduk kota. Masyarakat Jepang modern ditandai dengan adanya perkembangan ekonomi yang pesat, industrialisasi dan urbanisasi telah mempengaruhi seluruh komunitas dan semua kelas dalam masyarakat. Kerangka sosial tradisional dalam komunitas lokal dan keluarga-keluarga kecil telah menjadi semakin lemah, disertai dengan runtuhnya sanksi-sanksi keluarga dan berhamburnya penduduk meninggalkan tempatnya. Perkembangan ini adalah ciri keadaan dalam masyarakat besar yang sedang berkembang. Suatu masyarakat kapitalis yang didasarkan pada produksi massa dengan menggunakan mesin-mesin yang membawa setiap manusia ke dalam proses pembagian kerja yang semakin khusus serta membuat hubungan sosial 7 yang impersonal dalam masyarakat yang mekanis itu membuatnya terasa asing dan kesepian. Masyarakat Jepang modern ini cenderung mengejar kemajuan dalam bidang teknologi dan ekonomi, akan tetapi kemajuan tersebut belum seimbang dengan pembangunan di bidang spiritual yang mencakup moral (etika), nilai-nilai kultural (tradisional dan modern), sehingga terjadinya kasus anak membunuh orang tua, orang tua membunuh anak, kasus kekerasan atau kasus bunuh diri setidaknya bisa dipahami karena anak muda Jepang di zaman modern sekarang ini tidak mempunyai pegangan moral yang jelas, mereka hanya terpacu untuk mengejar masa depan (Tipton, 2002:192). 2.2 Teori Sosial Psikoanalitik Horney Teori sosial psikoanalitik Karen Horney (Horn-eye) dibangun di atas asumsi bahwa kondisi-kondisi sosial dan budaya, khususnya pengalaman masa kanak-kanak, sebagian besar bertanggung jawab bagi pembentukan kepribadian. Manusia yang tidak terpuaskan kebutuhannya atas cinta dan kasih sayang selama masa kanak-kanak akan mengembangkan permusuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tua mereka dan mereka akan menderita kecemasan dasar (basic anxiety) seperti yang dikemukakan Horney dalam Feist (2008:146). 2.2.1 Pengaruh Budaya Horney (Feist, 2008:146) menekankan berulang kali pengaruh budaya sebagai basis utama perkembangan kepribadian yang neurotik dan normal. Budaya modern, menurut Horney, didasarkan pada kompetisi di antara individu sehingga menurutnya setiap orang adalah pesaing riil sekaligus potensial bagi setiap orang. Persaingan dan 8 permusuhan dasar yang dirasakan menghasilkan perasaan-perasaan isolasi. Perasaan-perasaan menjadi sendirian dalam sebuah dunia yang penuh potensi permusuhan ini mengarah pada kebutuhan kasih sayang yang semakin luas yang menyebabkan manusia menilai cinta secara berlebih-lebihan. Padahal cinta yang sejati adalah pengalaman yang menghasilkan pertumbuhan yang sehat namun kebutuhan yang putus asa akan cinta menjadi alasan yang tinggi bagi perkembangan neurosis. Lebih daripada mendapatkan manfaat dari kebutuhan atas cinta, penderita neurotik berjuang dengan cara-cara patologis. Upaya-upaya mereka yang meremehkan diri sendiri itu menghasilkan rasa percaya diri yang rendah, kebencian yang meningkat, kecemasan dasar, hasrat persaingan lebih besar, dan kebutuhan berlebihan yang terus menerus terhadap cinta dan kasuh sayang. 2.2.2 Pentingnya Pengalaman Kanak-kanak Horney (Feist, 2008:146) percaya bahwa konflik neurotik dapat muncul hampir di setiap tahap perkembangan namun masa kanak-kanak adalah usia yang paling berpotensi memunculkan banyak masalah. Beragam peristiwa seperti traumatis, pelecehan seksual, pemukulan, penolakan terang-terangan, atau pengabaian terus menerus, bisa meninggalkan kesan mendalam bagi perkembangan anak ke depan. Horney dalam Feist (2008:146) memperingatkan bahwa jumlah total pengalaman kanak-kanak itulah yang menghasilkan struktur karakter tertentu atau lebih tepatnya memicu perkembangannya. Sikap anak terhadap orang lain tersebut diturunkan dari kombinasi struktur karakternya yang dibentuk pada masa kanak-kanak. 9 2.2.3 Permusuhan Dasar dan Kecemasan Dasar Kecemasan dasar menurut Horney dalam Feist (2008:147) adalah perasaan menjadi kecil, tidak penting, tidak berdaya, putus asa, dan merasa terancam di sebuah dunis yang penuh dengan penganiayaan, kelicikan, penyerangan, penghinaan, kebencian dan kecemburuan. Semuanya terbentuk dari hubungan dengan orang tuanya. Horney (Feist, 2008:146) mengemukakan teori bahwa manusia memerangi kecemasan dasar dengan mengadopsi satu dari tiga jenis relasi fundamental dengan orang lain ini: (1) bergerak maju menuju orang lain, (2) bergerak menentang orang lain, atau (3) bergerak menjauh dari orang lain. Individu normal dapat dengan fleksibel menggunakan salah satu mode relasi ini dengan orang lain namun penderita neurotik memaksakan diri untuk mengandalkan satu jenis saja. Kecenderungan neurotik bila memilih bergerak menuju orang lain yaitu memiliki kepribadian menurut, dikarenakan perasaan tak berdaya, adanya keinginan ingin disayang dan disetujui, dan biasanya mereka adalah orang yang ramah dan penuh kasih. Kecenderungan neurotik bagi yang bergerak menentang orang lain biasanya memiliki kepribadian agresif untuk melindungi diri, memiliki hasrat akan kekuasaan, eksploitasi, menginginkan pengakuan, tidak ingin disaingi, dan pemujaan terhadap diri sendiri. Mereka memiliki kemampuan untuk bertahan dalam masyarakat yang penuh persaingan (kompetitif). Sedangkan kecenderungan neurotik yang bergerak menjauh dari orang lain memiliki kepribadian menyendiri, disebabkan perasaan-perasaan terisolasi, puas diri dan independensi, kesempurnaan dan prestise, serta memiliki otonomi dan ketenangan diri. Akan tetapi perilaku kompulsif mereka membangkitkan konflik intrapsikis dasar yang mengambil bentuk atau gambaran diri yang diidealkan, atau kebencian pada diri 10 sendiri yang berlebihan. Gambaran diri yang diidealkan dapat diekspresi sebagai (1) pencarian neurotik terhadap keagungan, sangat gigih dalam mencapai kesempurnaan, mengubah kepribadian dirinya, memiliki ambisi neurotik yaitu dorongan kompulsif menuju keunggulan. Selain itu, mereka juga menjadi kejam karena adanya keinginan membalas dendam penghinaan yang dialaminya dahulu. (2) tuntutan-tuntutan yang neurotik, adalah tuntutan-tuntutan yang sesuai dengan pandangan ideal tentang diri mereka namun tuntutan-tuntutan mereka normal dengan yang lain tapi di satu sisi mereka agak berbeda. Jika tidak dipenuhi mereka menjadi marah, liar dan tidak bisa mengerti mengapa orang lain tidak memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. (3) kebanggaan diri yang neurotik dan kebencian diri yang diekspresikan dengan merendahkan diri atau mengasingkan diri sendiri. Kebanggaan diri neurotik adalah sebuah kebanggaan keliru yang didasarkan pada gambaran keliru tentang diri yang diidealkan. Mereka mencari perlindungan dan dukungan bagi pandangannya mengenai keagungan dirinya, bila orang lain tidak memperlakukan mereka sesuai keinginannya mereka akan terluka dan untuk mencegah luka ini, mereka menghindari orang-orang yang menolak klaim-klaim mereka, dan berusaha masuk ke dalam lembaga besar hingga akhirnya diakui secara sosial. Sedangkan kebencian pada diri sendiri disebabkan keagungan yang tidak dapat dicapai dan menyadari bahwa ternyata dirinya tidak cocok dengan gambaran diri yang diidealkan, mereka akan mulai membenci dan menolak diri sendiri. Horney (Feist, 2008:146) melihat ada enam bentuk mengekspresikan kebencian pada diri sendiri. Pertama, kebencian pada diri sendiri yang menghasilkan tuntutan tanpa akhir atas dirinya sendiri, mereka tidak berhenti dan percaya bahwa mereka dapat mencapai gambaran diri yang diidealkan. Kedua, mengekspresikan dengan penuduhan diri yang tidak kenal balas kasihan. 11 Mereka secara konstan menghakimi dirinya sendiri. Ketiga, mengekspresikan dengan merendahkan diri sendiri, dengan cara meremehkan, mengejek, meragukan, dan menertawakan diri sendiri. Cara seperti ini menjauhkan penderita neurotik dari kesembuhan. Keempat, adalah membuat frustasi diri sendiri. Hal ini berbeda dengan mendisiplinkan diri sendiri. Mereka mengisi pikiran mereka dengan argumen-argumen negatif. Kelima, diekspresikan dengan menyakiti diri sendiri, dan bahkan menyiksa diri sendiri. Niat utama dalam hal ini adalah menyebabkan rasa sakit atau penderitaan pada diri sendiri. Biasanya mereka mencapainya dengan memprotes sebuah keputusan, membesar-besarkan rasa sakit kepala, memotong urat nadi dengan pisau, memulai perkelahian yang jelas akan kalah atau mengundang siksaan fisik lainnya. Bentuk keenam adalah dengan tindakan-tindakan menghancurkan diri sendiri yang bersifat fisik atau psikologis, sadar atau tidak sadar, akut atau kronis, dan dilakukan lewat tindakan atau hanya dalam imajinasi. Pengekspresian secara fisik yaitu dengan makan berlebihan, meminum alkohol dan obat-obat terlarang, bekerja terlalu keras, mengemudi ugal-ugalan dan bunuh diri. Secara psikologis dilakukan dengan berhenti dari karir yang sedang menanjak, memutuskan sebuah hubungan yang sehat demi mengejar hubungan yang neurotik atau terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual yang cabul (Fiest,2008:148-157). 12 2.3 Konsep Bunuh Diri Bunuh diri atau jisatsu menurut Asami (2002:97) adalah : 自殺という勇気を必要とする行為へ彼を走らせた、その苦しみがどん に大きなものであったか。。。一人で悩み、一人で苦しみ、一人で泣い て、そして一人で死んで行かねばならなかったのだ。 Terjemahan : Bunuh diri membutuhkan keberanian dalam tindakannya, tidak peduli seberapa besar penderitaannya... seorang diri merasa cemas, seorang diri menderita, seorang diri menangis, lalu seorang diri harus pergi dan mati. Berikut juga terdapat pengertian bunuh diri menurut Runeson, et al (2008:38) : 自殺とは、意識的で、計画的で、自らの手による生命を脅かすような 行為であり、死に至るものです。自殺の多くは突発的なもので混沌と した状況のもとで起こっており、衝動的な反応のあらわれの一つなの で、それを考慮して計画てきな行為ととらえがちな「殺人」という表 現は避けます。 Terjemahan : Bunuh diri adalah dilakukan dengan sadar, disengaja, karena dalam keadaan yang mengancam nyawa sehingga mati. Kebanyakan bunuh diri terjadi dalam keadaan kalut dalam situasi yang kacau, salah satu dari munculnya reaksi terkejut, cenderung untuk mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan kata「membunuh orang」. Benedict (1998:151-166) juga mengemukakan pendapatnya tentang bunuh diri di Jepang, menurutnya aksi agresif paling ekstrem yang diambil oleh orang Jepang modern adalah melakukan bunuh diri. Bunuh diri, kalau dilakukan dengan pantas, menurut adat mereka akan membersihkan nama dan menegakkan kembali citranya. Kutukan orang Amerika terhadap bunuh diri dianggap sebagai penyerahan yang kalap terhadap keputusasaan, tetapi kehormatan yang diberikan bangsa Jepang untuk hal itu memungkinkannya menjadi suatu tindakan yang terhormat dan penuh makna. Bunuh diri pada zaman modern merupakan salah satu masalah sosial yang timbul akibat tingkah laku menyimpang. Perasaan tidak aman dan ketegangan yang umumnya 13 dirasakan oleh kaum muda dianggap sebagai masalah sosial apabila mereka menimbulkan tingkah laku menyimpang atau anti sosial. Pada umumnya bunuh diri dianggap fenomena khas Jepang. Disebut khas karena bunuh diri ini dilakukan untuk menghapus rasa bersalah, rasa malu atas segala sesuatu yang dianggap buruk atau dipandang buruk oleh masyarakat Jepang. Bunuh diri paling banyak dilakukan dengan cara menabrakkan diri pada kereta api, lompat dari gedung tinggi, menggantung diri dan mengiris pergelangan tangannya sendiri. Bila menjelang tahun baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang, orang yang tidak membayar utangnya itu, mungkin melakukan bunuh diri untuk ”membersihkan namanya”. Malam tahun baru masih tetap diramaikan oleh kasus-kasus bunuh diri oleh mereka yang mengambil jalan ini intuk menegakkan kembali reputasinya. Sesuai teori bunuh diri yang diungkapkan oleh Durkheim dalam Morrison (2006:200-201), menurutnya bunuh diri bukan hanya disebabkan oleh faktor individual saja, baginya faktor sosial dalam kehidupan juga menyebabkan seseorang membunuh dirinya sendiri. Kebanyakan orang berpikir bahwa bunuh diri disebabkan oleh sakit mental, depresi, tragedi, takdir dan bangkrut, faktor psikologi individual saja. Akan tetapi, Durkheim melalui penelitiannya, meneliti bahwa adanya faktor sosial yang menyebabkan seseorang menjadi depresi. Ia memfokuskan penelitiannya pada lingkungan sosialnya, dimana korban tersebut berkomunikasi, termasuk dalam keluarga, religi, dan nasionalitas. Ia merasa bahwa korban bunuh diri menjadi korban dari kekuatan masyarakat luas dimana mengurangi kekuatan korban dalam masyarakat luas sehingga menjadikan korban sebagai yang terisolasi, yang terpisah dari yang lain. Banyak proses pemisahan mengambil tempat dalam masyarakat industri dimana kekuatan sosial suatu individu jatuh oleh ego, promosi kenaikan jabatan dan lain 14 sebagainya. Durkheim dalam (Henslin, 2007:8) mengambil kesimpulan bahwa individu yang kurang terintegrasi sosial mempunyai angka bunuh diri lebih tinggi. Integrasi sosial adalah derajat kerikatan manusia pada kelompok sosialnya. Pria dan wanita yang tidak menikah cenderung melakukan bunuh diri karena mereka tidak memiliki keterikatan dan tanggung jawab seperti orang yang menikah. Selain itu, Durkheim melalui penelitiannya (Morrison, 2006:207-222) membagi bunuh diri menjadi empat tipe: Four types of suicide, based on the degres of imbalance of two social forces: social integration and moral regulation. Egoistic suicide resulted from too little social integration, altruistic suicide, was a result of too much integration, anomic suicide involved an imbalance of means and needs – where means were unable to fulfill needs, and fatalistic suicide. Terjemahan : Empat tipe bunuh diri, berdasarkan tingkatan ketidakseimbangan antara dua kekuatan sosial: integrasi sosial dan aturan moral. Bunuh diri egoistis merupakan hasil dari integrasi sosial yang terlalu sedikit, bunuh diri alturistis merupakan hasil dari integrasi sosial yang terlalu besar, bunuh diri anomis diliputi ketidakseimbangan antara kemampuan dan kebutuhan – dimana kemampuan tidak cukup memenuhi kebutuhan, dan bunuh diri fatalistis. Tipe pertama adalah bunuh diri egoistis. Ini adalah bunuh diri yang dilakukan dikarenakan terlalu sedikitnya integrasi sosial yang dilakukan oleh individu, sehingga tidak terjadinya ikatan yang kuat antar individu dan lemahnya pengikatan diri dengan kelompok sosial. Akibatnya, sedikit sekali nilai-nilai, norma-norma dan tujuan sosial yang dapat dijadikan panduan hidup. Tipe kedua adalah bunuh diri alturistis. Bunuh diri ini dilakukan sebagai pengorbanan diri yang dianggap sebagai definisi dari sikap dan perilaku individu dengan makna penyatuan diri dengan kelompok sosialnya. Akibatnya, hilangnya keberadaan indivudualitas diri dan merasa bahwa hidup tidak akan ada artinya tanpa keberadaan dan 15 pengakuan dari kelompoknya yang pada akhirnya mendorong diri sendiri untuk melakukan bunuh diri demi kepentingan kelompok. Tipe ketiga adalah bunuh diri anomis. Bunuh diri ini dilakukan karena kemampuan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud dapat berupa kebutuhan psikologis, kebutuhan ekonomi, kebutuhan rohani dan lain sebagainya. Akibatnya, individu tidak dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya dan memilih untuk mengakhiri penderitaan dengan cara membunuh dirinya sendiri. Tipe keempat adalah bunuh diri fatalistis. Fatalistis itu merupakan anggapan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib. Menurut Durkheim (Morrison, 2006:207-222), apapun alasannya, bunuh diri adalah perbuatan yang sebenarnya tidak diperlukan, dan tipe keempat ini merupakan bunuh diri yang paling tidak berarti karena memasrahkan segala sesuatunya pada nasib sehingga individu cenderung untuk tidak menilai diri sendiri dengan baik. Sebagai contoh adalah seseorang yang merasa bahwa hidup terlalu penuh dengan aturan dan mereka tidak melakukan suatu tindakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya karena mereka merasa bahwa itu semua sudah menjadi nasibnya. Akibatnya, karena tidak tahan dengan situasi hidupnya, maka bunuh diri adalah satu-satunya jalan yang dipercaya sudah menjadi nasibnya untuk menghentikan penderitaannya. Jika digambarkan secara tabel, dapat dilihat pada halaman berikutnya ; ¥ 16 A. Berdasarkan : Sasaran Upaya Tabel 2.1 Komponen Tipe Bunuh Diri Durkheim (Sebuah Interpretasi) Egoistis Alturistis Individualistis dengan beberapa prinsip Bersama-sama filosofi Tanpa penyesuaian ; bebas Menyesuaikan ; ketergantungan B. Interaksi Kohesi Kuat 1. Hubungan diri dengan sosial ; Lemah ; dampak dari penolakan perasaan malu Tinggi atau rendah; berperilaku demi 2. Tingkat tuntutan-tuntutan dan Tinggi tujuan kelompoknya ekspresi diri High 3. Tingkat komunikasi dengan objek Rendah sosial Kelompok 4. Kriteria dalam berkomunikasi Individualistik Peka; menyamakan personaliti dengan C. Indikasi-indikasi Psikologi Keinginan akan arti kehidupan; yang kelompoknya; malu dan bersalah. didapat hanya dengan hubungan sosial; nilai penyesuaian vs tidak sadar adanya keinginan akan simpati dari orang lain; kehilangan semangat hidup; depresi dan melankolis. 17 Kuat Kepentingan kelompok lebih penting dari kepentingan pribadi Penyesuaian ; ketergantungan Fatalistis Tabel 2.1 Komponen Tipe Bunuh Diri Durkheim (Sebuah Interpretasi) Anomis Individualistis ; mementingan keuntungan pribadi Ketidaksesuaian antara nilai-nilai penyesuaian dan nilai-nilai pelanggaran Menolak atau lemah Tinggi atau rendah ; perilaku demi Rendah kepentingan pribadi Menolak Rendah teraniaya; masa depan dan semangat terhambat; dendam, takut, patuh. Ketidaksesuaian antara nilai-nilai Kelompok individualistis dan nilai-nilai kelompok Fisik tampak luar biasa namun moral Mengetahui tujuan dengan baik; menantang; mengembangkan ego dan ketergantungan; perasaan tidak aman; serakah; berimajinasi; kekecewaan; kecemburuan. 2.3.1 Penyebab Bunuh Diri di Jepang Bunuh diri di Jepang terjadi karena bermacam-macam alasan, seperti ; keadaan mental yang tidak sehat, terlibat hutang, keadaan ekonomi, dihina oleh teman-teman sekolah, dapat nilai jelek, tidak naik kelas, faktor kesehatan, ditinggal kekasih, faktor keluarga dan lain sebagainya yang menyebabkan depresi dan memilih jalan kematian sebagai jalan keluarnya. Seperti yang diungkapkan Shimoyama (2001:66) ; 18 次に自殺者一般について見ると、自殺の原因にはまず外部的社会的要 因があげられる。それは一つは真に愛する者の死とか、経済的な急激 な転落とか、革命その他による社会的地位の激変とか等の運命的な打 撃によるものと、他は職場や家庭内の人間関係に於ける緊張、恋愛関 係に於ける葛藤、その他生活難等の経済問題、等に於て生ずる持続的 なフラストレーションが、その耐忍度を超えて自殺傾向を形成するの であり、他方では安定しない自我構造に於ける著しい劣等感や生活に 対する厭世的な消極性、と同時に存在する強い顕耀要求等の人格の歪 みや退行が Biotonus を著しく低下せしめ、些細な動機によっても自殺 へと移行し得るのである。 Terjemahan : Berikutnya bila melihat bunuh diri secara umum, penyebab bunuh diri disebabkan oleh faktor eksternal sosial. Seperti ditinggal mati oleh orang yang dikasihi, krisis ekonomi, revolusi, perubahan mendadak kedudukan dalam masyarakat, pukulan nasib yang sejenis, memiliki hubungan yang menegangkan di tempat kerja dan rumah tangga, memiliki kehidupan yang sulit karena faktor ekonomi, yang menyebabkan frustasi berkelanjutan dan membentuk kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, selain itu menjadi pasif dan pesimis tentang kehidupan yang ditandai dengan rendah diri dan struktur ego yang tidak stabil, dan regresi dari kepribadian yang kuat, mencapai penurunan biotonus, berdasarkan motivasi yang kecil pun dapat berpindah menjadi keinginan bunuh diri. 2.3.2 Bentuk Bunuh Diri di Jepang Di Jepang modern ini ada beberapa macam bentuk dalam tindakan bunuh diri, seperti : 2.3.2.1 Shinju (心中) Shinju adalah bentuk jisatsu yang dilakukan oleh sepasang kekasih sebagai bentuk kesetiaan cinta. Shinju melibatkan seorang lelaki dan perempuan yang berkomitmen untuk melakukan bunuh diri bersama demi cinta. Shinju merupakan warisan dari sistem feodal dimana pernikahan berdasarkan keinginan dan pilihan sendiri tidak diperkenankan. Sehingga pertentangan tersebut 19 menyebabkan hilangnya harapan untuk dapat menikah dan hidup bersama karena itu mereka melakukan shinju sebagai bentuk kesetiaan terhadap pasangannya dan berharap dapat bersama di surga (Jansen, 2002:183). Dewasa ini, shinju mengalami perluasan makna dan bentuk. Shinju zaman modern ini dilakukan oleh sepasang kekasih ataupun oleh orang tua terhadap anak, ayah terhadap anak, ibu terhadap anak, anak terhadap orang tua yang kemudian dilanjutkan dengan membunuh diri. Hal ini sebagai bentuk perwujudan cinta, ikatan dan keinginan untuk bersama. Dan berikut penjelasannya : 1) Jyoushi (情死) Jyoushi memiliki arti dan bentuk yang sama dengan shinju hanya saja jyoushi bukan berdasarkan alasan pertentangan pernikahan dan tidak menyatunya cinta. Asalkan pelaku adalah sepasang kekasih maka disebut sebagai jyoushi. Tetapi bentuk bunuh diri semacam ini tidak sebanyak dengan yang lainnya (Goodman, 2002:137). 2) Oyako-Shinju (親子心中), Boshi-Shinju (母子心中), Fushi-Shinju (夫子心中), dan Ikka-Shinju (一家心中) Oyako-shinju, Boshi-shinju, Fushi-shinju, dan Ikka-shinju merupakan bentuk lain dari shinju di masa modern ini. Bentuk ini disebut sebagai pembunuhan-bunuh diri karena tidak semua anggota menginginkan kematian. Oyako-shinju dilakukan oleh orang tua dan anak-anaknya tetapi belum tentu semua anggota keluarga sedangkan ikka-shinju dilakukan oleh semua anggota keluarga. Sang anak biasanya akan dibunuh dahulu oleh orang tuanya, setelah dipastikan telah meninggal baru orang tua akan membunuh diri. 20 Biasanya boshi-shinju dilakukan oleh ibu yang memiliki gangguan kejiwaan atau ketidaksanggupan menghadapi konflik keluarga. Fushi-shinju dilakukan oleh ayah karena memiliki masalah keuangan atau gangguan kesehatan. Kasus-kasus semacam ini tidak mengalami penurunan seperti jyoushi bahkan semakin meningkat (Goodman, 2002:137). 3) Netto Jisatsu (ネット自殺) Netto jisatsu adalah bentuk bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa orang dimana perencanaan dilakukan melalui internet. Para pelaku adalah orang yang ingin mengakhiri hidup namun takut untuk melakukannya sendirian, karena itu mereka mencari orang-orang yang memiliki keinginan yang sama lalu kemudian membuat janji untuk melakukan pertemuan untuk membicarakannya, merencanakan, dan melakukan bunuh diri bersama-sama dengan internet sebagai medianya. Meskipun di antara pelaku netto jisatsu tidak ada hubungan sebelumnya, tetapi adanya ikatan emosi karena perasaan kebersamaan di antara pelaku maka dapat diklasifikasikan sebagai shinju pada masa modern ini dengan bentuk yang berbeda (Jewkes, 2007:2-11). 2.4 Teori Penokohan ’Tokoh’ seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165) lebih menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, watak, perwatakan dan karakter lebih menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. 21 Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengemukakan bahwa penggunaan istilah ’karakter’ atau character dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan emosi dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti ’pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ’perwatakan’. Penyebutan nama tokoh tertentu pun tak jarang secara langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Tokoh cerita atau character, menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dn kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam hal kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Dengan demikian istilah ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan ’perwatakan’, sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, perwatakannya dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca atau penonton. Nurgiyantoro (2007:177) juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam 22 sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Disebut dengan tokoh utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh-tokoh cerita sebagaimana diungkapkan di atas tidak serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan ’sarana’ yang memungkinkan kehadirannya. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta perilaku tokoh (Nurgiyantoro, 2007:198). Berbagai teknik dalam penggambaran teknik dramatik menurut Nurgiyantoro (2007:201-204): 1. Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya. 2. Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menunjuk pada tindakan yang bersifat non-verbal atau fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, yang dipandang sebagai menunjukkan rekasi, tanggapan, sifat dan sikap 23 yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. 3. Teknik Pikiran dan Perasaan Adalah bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan apa yang melintas dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. 2.5 Teknik Montase Menurut Humprey dalam Minderop (2005:150), teknik montase adalah metode paling mendasar dalam sinema. Istilah ini berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Teknik ini mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau yang saling tumpang-tindih satu dan lainnya. Teknik ini juga untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik ini digunakan dalam penyajian percakapan dalaman karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul di dalamnya kadang tidak selalu berada dalam urutan logis. Kebimbangan dan kemarahan yang mungkin timbul dalam diri pembaca dapat merasakan kekacauan dalam diri tokoh. Teknik montase juga menyajikan kesibukan latar (hiruk-pikuk kota besar) atau suatu kekalutan (kekalutan pikiran) atau aneka tugas seorang tokoh. Melalui teknik ini dapat merekam sikap kaotis yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya. 24