Prawacana - Akbid Ar

advertisement
LITERAT No. 31 Tahun 2010
ISSN: 1411–2566
Prawacana
Bismillahirrohmanirrohiim,
Assalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh,
Pada bulan Maret tahun ini, Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas (JIKK) Akademi
Kebidanan Ar Rahmah hadir dengan sejumlah hasil kajian dan penelitian para dosen, baik
dosen AKBID Ar Rahmah maupun dosen perguruan tinggi lainnya, yang dengan senang
hati berbagi wawasan dan pengetahuan mereka demi meningkatkan kualitas keilmuan di
bidang kebidanan di bumi pertiwi ini.
Mengawali JIKK edisi ke-1 ini, Irma Rosliani Dewi memaparkan Gambaran Status
Gizi Balita Di Puskesmas. Tulisan selanjutnya, Diah Nurmayawati memaparkan Hubungan
Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Terhadap Keaktifan Lansia Ke Posyandu Lansia
Karakteristik Penderita Hepatitis Gambaran Kejadian Kista Ovarium. Tak kalah menarik,
Sundari mendeskripsikan tentang Gambaran Faktor Risiko Terjadinya Kehamilan Ektopik.
Selanjutnya, Yuliati memaparkan tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Di Lingkungan Rumah Tangga. Tulisan selanjutnya, Esti
Hitatami mengkaji tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Trimester III Tentang
Hypnobirthing. Tulisan Selanjutnya, Widyastuti mengkaji tentang Hubungan Tingkat
Pengetahuan, Umur Dan Tingkat Ekonomi Akseptor KB Suntik Baru Terhadap Penggunaan
Kontrasepsi Suntik. Tulisan Terakhir, Winarni memaparkan tentang Hubungan Dukungan
Keluarga Terhadap Ibu Hamil Trimester III Dengan Kepatuhan Ibu Hamil Trimester III
Dalam Melakukan Kunjungan ANC.
Tak hentinya kami mengajak pembaca dari semua kalangan untuk senantiasa
menggunakan JIKK sebagai media publikasi hasil kajian dan penelitian. Kami yakin, setiap
kegiatan ilmiah yang telah dilakukan akan terasa lebih bermanfaat tatkala dipublikasikan
dan menjadi konsumsi masyarakat ilmiah. Oleh karena itu, kami tunggu karya Anda untuk
edisi JIKK selanjutnya.
Akhir kata, sajian JIKK edisi kali ini diharapkan bermanfaat dan senantiasa
membuka cakrawala informasi bagi Anda. Selamat membaca!
Billahittaufiq walhidayah,
Wassalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Penyunting.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 1
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
jikk
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas
Nomor 01 Tahun 2011, ISSN: 2356-5454
Diterbitkan oleh,
Ar Rahmah Press
Akademi Kebidanan
Ar Rahmah – Bandung
Penanggung Jawab
Hj. Diah Nurmayawati
Ketua Penyunting
Yuliati
Wakil Ketua Penyunting
Andi Laksana B
Anggota
Esti Hitatami
Sundari
Desra Amelia
Irma Rosliani Dewi
Iis Wahyuni
Widyastuti
Nunung Kanianingsih
Winarni
Ajeng Windyastuti
JM Weking
Yuliustina
Mitra Bestari (Penyunting Ahli)
Elvi Era Liesmayani (AKBID Panca Bhakti)
Widyah Setyowati (STIKES Ngudi Waluyo U)
Titiek Soelistyowatie (Unika Atma Jaya)
Ari Murdiati (Univ. Muhammadiyah Semarang)
Lingga Kurniawati (POLTEKKES Semarang)
Frida Cahyaningrum (STIKES Karya Husada)
Crismis Novalina Ginting (Univ. Gadjah Mada)
Santy Deasy Siregar (Univ. Sumatera Utara)
Deby Novita Siregar (STIKes Helvetia)
Jupri Kartono (AKBID Panca Bhakti)
Aries Cholifah (Univ. Negeri Surakarta)
Setting Layout & Sirkulasi
M. Andriana Gaffar
Yadi Firmansyah
Hamdan Hidayat
Hamdani
Fitriasukma Ekaputra
Hal | 2
Daftar Isi
GAMBARAN STATUS
PUSKESMAS
oleh
Irma Rosliani Dewi … 3
GIZI
BALITA
DI
HUBUNGAN
PENGETAHUAN
DAN
DUKUNGAN
KELUARGA
TERHADAP
KEAKTIFAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA
KARAKTERISTIK
PENDERITA
HEPATITIS
GAMBARAN KEJADIAN KISTA OVARIUM
oleh
Diah Nurmayawati … 8
GAMBARAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA
KEHAMILAN EKTOPIK
oleh
Sundari … 14
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG
PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS)
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
oleh
Yuliati … 22
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL
TRIMESTER III TENTANG HYPNOBIRTHING
oleh
Esti Hitatami … 27
HUBUNGAN
TINGKAT
PENGETAHUAN,
UMUR DAN TINGKAT EKONOMI AKSEPTOR
KB SUNTIK BARU TERHADAP PENGGUNAAN
KONTRASEPSI SUNTIK
oleh
Widyastuti … 34
HUBUNGAN
DUKUNGAN
KELUARGA
TERHADAP IBU HAMIL TRIMESTER III
DENGAN
KEPATUHAN
IBU
HAMIL
TRIMESTER
III
DALAM
MELAKUKAN
KUNJUNGAN ANC
Oleh
Winarni … 41
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
GAMBARAN STATUS GIZI BALITA DI PUSKESMAS
oleh
Irma Rosliani Dewi
ABSTRAK
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, dan lebih yang diukur dengan menggunakan salah
satu indeks antopometri yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U). Tujuan:Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi anak balita di PPA ID-127 (Pusat
Pengembangan Anak) dan CSP CS-07 (Child Survival Programme) di Kelurahan Cikalong Bandung
Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan mengadakan survey.
Populasi penelitian adalah balita 0-59 bulan dengan sampel sebanyak 80 anak balita, responden
dalam penelitian ini adalah ibu dari anak balita yang menjadi sampel penelitian. Hasil:
Berdasarkan pengukuran antopometri dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U)
didapatkan anak balita dengan status gizi kurang sebanyak 11 orang (13,5%), gizi baik sebanyak 69
orang (86,5%) sedangkan gizi buruk tidak ada.
Kata Kunci : Status gizi, anak balita.
PENDAHULUAN
Lebih dari 90% anak di Dunia lahir hidup
di negara berkembang setiap tahun. 35.000
dari mereka mati setiap hari, sebagian besar
karena masalah yang umum dan mudah di
cegah. Kesehatan dan sakit anak ini adalah
akibat dari dinamika kompleks faktor-faktor
lingkungan, sosial, politik dan ekonomi. Tidak
ada intervensi tunggal yang secara sukses
memotong siklus morbiditas dan mortalitas
yang membayangi mereka (Nelson, 2002:28).
Kekurangan
gizi
merupakan
masalah
kesehatan
masyarakat
yang
serius
dikebanyakan negara berkembang. Di India,
kekurangan zat besi, kekurangan vitamin A,
dan kelainan kekurangan yodium terbesar
adalah
makna
kesehatan
masyarakat
(www.google.co.id, 2002).
Meskipun prevalensi gizi buruk di
Indonesia menunjukkan penurunan, Depkes
tetap mewaspadai 19 provinsi yang memiliki
angka gizi buruk di atas kasus nasional.
Karena
itu,
Depkes
meningkatkan
penambahan desa siaga diseluruh provinsi
Indonesia.
Menurut
Hernawati
(2009)
mengatakan, berdasarkan riset kesehatan
dasar yang dilakukan Depkes, prevalensi gizi
buruk secara nasional pada balita sebesar 5,4
%. Sedangkan, gizi kurang adalah 13 %.
Artinya, tiap 100 ribu balita, 5,4 % di
antaranya mengalami gizi buruk. Pencapaian
itu dinilai memenuhi target rencana jangka
panjang dan menengah untuk perbaikan gizi.
Termasuk sudah memenuhi millennium
development gold pada tahun 2015, dimana
angka gizi buruk harus sudah turun menjadi
18,5 %.
Pada tahun 1989, prevalensi balita bergizi
kurang (Skor Z Berat Badan menurut Umur)
mencapai 37,5%. Pada tahun-tahun berikutnya
prevalensi kurang gizi pada balita terus
mengalami penurunan, sehingga pada tahun
2000 prevalensi kurang gizi pada balita
menjadi 24,7%. Akan tetapi mulai tahun 2000
setelah
Indonesia
mengalami
krisis
multidimensi,
prevalensi
gizi
kurang
mengalami kenaikan lagi berturut-turut
menjadi
26,1%(2001),
27,3%(2002)
dan
27,5%(2003) (www.depkes.go.id2004).
Di beberapa provinsi masih ada kasus
gizi buruknya di atas prevalensi nasional.
Misalnya, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dengan angka 10,7 %, Nusa Tenggara Timur
(NTT) 9,4 %, Nusa Tenggara Barat (NTB) 8,1
%, Sumatera Utara (8,4 %), Sulawesi Barat (10
%), Sulawesi Tengah (8,9 %), dan Maluku (9,3
%). Ada juga provinsi-provinsi yang kasus
gizi buruk maupun kurang gizinya cukup
tinggi. Yakni, NTT, NTB, Sulteng, dan
Maluku. Karena itu, berbagai penanganan
diupayakan untuk menangani kasus gizi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 3
jikk
ISSN: 2356-5454
buruk, terutama untuk daerah dengan tingkat
kejadian cukup tinggi.
Gizi buruk terjadi lantaran ketidakseimbangan antara berat badan terhadap usia.
Masalah gizi kedua adalah kurang gizi akut.
Masalah
tersebut
terjadi
karena
ketidakseimbangan berat badan terhadap
tinggi badan. Ada dua jenis kurang gizi akut.
Yakni, kurus dan kurus sekali. Sedangkan,
persoalan ketiga adalah kekurangan gizi
kronis. Kasus itu terjadi karena ketidakseimbangan tinggi badan terhadap usia.
Ironisnya, kasus tersebut di Indonesia juga
cukup tinggi.
Kasus balita dengan tinggi badan sangat
pendek di Indonesia 18,8 %. Sedangkan, kasus
balita pendek 18 %. ‘‘Artinya, balita dengan
tinggi badan normal hanya 63,20 %, ujarnya.
Karena itu, problem gizi tersebut juga harus
ditangani serius. Salah satunya juga dengan
memutus mata rantai kemiskinan. Termasuk,
memperbaiki pola asuh orang tua yang masih
sering keliru. Orang tua harus mengusahakan
konsumsi karbohidrat, protein, vitamin,
mineral secara imbang untuk anaknya
(www.manduamas.com 2009).
Menurut WHO, terjadinya kekurangan
gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni
terjangkit penyakit, infeksi, dan asupan
makanan yang secara langsung berpengaruh
terhadap kekurangan gizi. Sementara pola
asuh dan pengetahuan sang ibu juga salah
satu faktor penentu secara tidak langsung
(www.gizi.net 2004).
Menurut
Soetjiningsih
(1995:10)
menyatakan, pertama dengan sosial ekonomi
yang cukup dan jumlah anak yang banyak
akan mengakibatkan berkurangnya perhatian
dan kasih sayang yang di terima anak, apalagi
kalau jarak anak terlalu dekat, berarti sosial
ekonomi yang cukup tidak menjamin status
gizi anak balita itu baik. Kedua masalah
pendidikan, pendidikan orang tua merupakan
salah satu faktor yang penting dalam tumbuh
kembang anak dan ini sangat erat dengan
masalah yang ketiga yaitu pola pengasuahan
anak, karena dengan pendidikan yang baik,
Hal | 4
Nomor 01 Tahun 2011
maka orang tua dapat menerima segala
informasi dari luar, terutama tentang
pengasuhan anak yang baik
Pembangunan kesehatan merupakan
bagian dari pembangunan yang bertujuan
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang
setinggi-tingginya.
Pembangunan
kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh
potensi bangsa Indonesia baik masyarakat,
swasta, maupun pemerintah. (Depkes RI,
2007)
Pembangunan
kesehatan
diarahkan
untuk mempertinggi derajat kesehatan. Upaya
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
adalah
untuk
meningkatkan
keadaan
kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Derajat kesehatan yang optimal adalah tingkat
kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat
dicapai suatu saat sesuai dengan kondisi dan
situasi serta kemampuan yang nyata dari
setiap orang atau masyarakat dan harus
diusahakan peningkatannya secara terusmenerus. (UU Kes. No. 23, 1992)
Program kesehatan ibu dan anak yang
telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk
meningkatkan status derajat kesehatan ibu
dan anak serta menurunkan AKI dan AKB.
Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan
program kesehatan ibu dan anak yang
bertujuan
untuk
memanfaatkan
dan
meningkatkan
jangkauan
serta
mutu
pelayanan kesehatan ibu dan anak secara
efektif dan efisien. (Depkes RI, 2008)
Badan Pusat Statistik mengestimasikan
Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007 di
Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran
hidup. Angka ini sedikit menurun jika
dibandingkan dengan AKB tahun 2002-2003
sebesar 35per 1.000 kelahiran hidup. (Depkes
RI, 2008)
Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008
Angka Kematian Bayi sedikitnya mencapai 38
per 1.000 kelahiran hidup dari 1.000 kelahiran
di Jawa Barat, sementara itu, di Negara-negara
Asia lainnya, dari 1.000 kelahiran yang
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
meningggal di bawah 20 bayi. Ini
membuktikan bahwa angka kematian bayi
saat dilahirkan di wilayah Jawa Barat
tergolong tinggi. (Dinkes Jabar, 2009)
PEMBAHASAN
Pencapaian
pembangunan
MDGs
(Millen-nium Development Goals)
terkait
upaya peningkatan kelangsungan hidup anak
di masa mendatang, pada tahun 2015 setiap
negara harus berupaya terus untuk menurunkan separuh jumlah penduduk miskin
dan kelaparan.
Tujuan MDGs menempatkan manusia
sebagai fokus utama pembangunan yang
mencakup semua
kom-ponen kegiatan,
termasuk kesehatan, yang tujuan akhirnya
ialah kesejahteraan masya-rakat. Di Indonesia
pencapaian
MDGs
dengan indikatorindikator
paling
menentu-kan
untuk
memberantas kemiskinan dan
kelaparan
adalah prevalensi gizi kurang dan gizi buruk.
Prevalensi gizi kurang menurun
secara
signifikan dari 31% (1989) menjadi 17,9%
(2010). Demikian pula prevalensi gizi buruk
menurun dari 12,8 % (1995) menjadi 4,9%
(2010). Kecenderungan ini menunjukan target
penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk menjadi 15% dan 3,5% pada 2015,
diharapkan dapat tercapai.
Kurang gizi menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecer-dasan,
kreativitas, dan produktifitas pendu-duk.
Indonesia menghadapi masalah gizi yang
cukup memprihatinkan, ini dapat dili-hat
berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Na-sional
(Susenas) tahun 2007, terdapat 13% balita
dengan status gizi kurang dan 5,4% balita
berstatus gizi buruk dari 18 juta balita.
Menurut Depkes 2008, jumlah balita
penderita malnutrisi pada tahun 2007 yaitu
4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa
berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk
kategori resiko gizi buruk.
1. Pola Makan
ISSN: 2356-5454
Pola makan adalah cara yang ditempuh
seseorang/sekelompok orang untuk memilih
makanan dan mengkonsumsinya sebagai
reaksi
terhadap
pengaruh
fisiologis,
psikologis, budaya dan sosial (Suhardjo, 1986:
35).
Pengertian pola makan menurut Lie goan
Hong dalam Sri Kerjati (1985) adalah berbagai
informasi yang memberikan gambaran
mengenai macam dan jumlah bahan makanan
yang di makan tiap hari oleh satu orang dan
merupakan ciri khas untuk suatu kelompok
masyarakat tertentu (Santoso, 2004:89).
Makanan
merupakan
kebutuhan
mendasar bagi hidup manusia. Makanan yang
dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai
cara pengolahannya. Di masyarakat dikenal
pola makan atau kebiasaan makan yang ada
pada masyarakat dimana seorang anak hidup.
Pola makan kelompok masyarakat tertentu
juga menjadi pola makan anak. Pola makan
mempengaruhi penyusunan menu.
Seorang anak dapat memiliki kebiasaan
makan dan selera makan, yang terbentuk dari
kebiasaan dalam masyarakat. Jika menyusun
hidangan untuk anak, hal ini perlu
diperhatikan disamping kebutuhan zat gizi
untuk hidup sehat dan bertumbuh kembang.
Kecukupan zat gizi ini berpengaruh pada
kesehatan dan kecerdasan anak, maka
pengetahuan dan kemampuan mengelola
makanan sehat untuk anak adalah suatu hal
yang amat penting (Santoso,2004:41).
2.
Macam-Macam Zat Gizi
Pangan dan gizi sangat berkaitan erat
karena gizi seseorang sangat tergantung pada
kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah
pangan antara lain menyangkut ketersediaan
pangan dan kerawanan konsumsi pangan
yang
dipengaruhi
oleh
kemiskinan,
rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan
yang
terkait
dengan tabu
makanan.
Sementara, permasalahan gizi tidak hanya
terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja,
melainkan tercakup pula kondisi kelebihan
gizi (Yayuk Farida, 2004 : 19).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 5
jikk
ISSN: 2356-5454
Menurut Sunita Almatsier (2004 : 1), zat
gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan
tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu
menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan serta mengatur prosesproses kehidupan.
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh
dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu :
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral.
a.
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga
utama kegiatan sehari-hari Terdiri dari unsur
C, H, dan O. Berdasarkan gugus penyusun
gulanya
dapat
dibedakan
menjadi
monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti :
nasi, kentang, mie, ubi, singkong dll, gula
seperti : gula pasir, gula merah dll. Dampak
yang
ditimbulkan
apabila
kekurangan
karbohidrat sebagai sumber energi dan
kekurangan protein adalah KEP (Kurang
Energi Protein).
b. Protein
Terdiri dari unsur C, H, O dan N, dan
kadang – kadang S dan P, diperoleh melalui
tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan
melalui hewan (protein hewani) berfungsi :
Membangun sel – sel yang telah rusak,
membentuk zat-zat pengatur seperti enzim
dan hormon, membentuk zat anti energi,
dalam hal ini tiap gram protein menghasilkan
sekitar 4,1 kalori Perlu diperhatikan bahwa
apabila tubuh menderita kekurangan protein,
maka serangan penyakit busung lapar
(hongeroedeem) akan selalu terjadi. Protein
banyak terdapat pada ikan, daging, telur, susu
tahu, tempe dll.
c.
Lemak
Lemak juga merupakan sumber tenaga.
Lemak merupakan senyawa organik yang
majemuk, terdiri dari unsur-unsur C, H, O
yang membentuk senyawa asam lemak dan
gliserol (gliserin) apabila bergabung dengan
zat lain akan membentuk lipoid --- fosfolipid
Hal | 6
Nomor 01 Tahun 2011
dan sterol. Berfungsi : penghasil kalori
terbesar yang dalam hal ini tiap gram lemak
menghasilkan sekitar 9,3 kalori ; sebagai
pelarut vitamin tertentu, seperti A, D, E, K ;
sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai
pelindung tubuh dari temperatur rendah.
d. Vitamin
Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin
yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan
C
dan
vitamin
yang
larut
dalam
lemak/minyakmeliputi A, D, E, dan K. Di
Indonesia saat ini anak kelompok balita
menunjukkan
prevalensi
tinggi
untuk
defisiensi vitamin A. Vitamin A(Aseroftol)
berfungsi : penting bagi pertumbuhan sel-sel
epitel dan penting dalam proses oksidasi
dalam tubuh serta sebagai pengatur kepekaan
rangsang sinar pada saraf mata.
e.
Mineral
Mineral merupakan zat gizi yang
diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat
sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat
fosfor (P),zat kapur (Ca), zat fluor (F), natrium
(Na), chlor (Cl), dan kalium (K).Umumnya
mineral terdapat cukup di dalam makanan
sehari-hari. Mineral mempunyai fungsi :
sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh,
tulang, hormon, dan enzim ; sebagai zat
pengatur berbagai proses metabolisme,
keseimbangan
cairan
tubuh,
proses
pembekuan darah. Zat besi atau Fe berfungsi
sebagai komponen sitokrom yang penting
dalam pernafasan dan sebagai komponen
dalam hemoglobin yang penting dalam
mengikat oksigen dalam sel darah merah.
3.
Kebutuhan Gizi Balita
Gizi kurang banyak menimpa anak-anak
balita sehingga golongan anak ini disebut
golongan rawan gizi. Masa peralihan antara
saat disapihdan mulai mengikuti pola
makanan orang dewasa atau bukan anak
merupakan masa gawat karena ibu atau
pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang
keliru (Sajogyo et al, 1994 : 31).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat–zat gizi. Dibedakan antara status gizi
buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier,
2004:3). Status gizi (nutrian status)adalah
ekpresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa, 2002:18).
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa status gizi
balita menurut indeks Berat badan menurut
umur (BB/U)
berdasarkan baku rujukan
WHO-NHCS: Status gizi buruk tidak ada,
Responden dalam penelitian yaitu Iibu-ibu
dengan tingkat pendidikan SMA dan sebagian besar ibu-ibu bekerja sebagai ibu ru-mah
tangga. Hal ini berpengaruh pada sta-tus gizi
balita karena tingkat pendidikan dan status
ekonomi yang rendah. Semakin tinggi
pendidikan orang tua maka penge-tahuannya
tentang gizi akan lebih baik dibandingkan
dengan yang berpendidikan
kurang.
Kurangnya perhatian pemberian makanan
bergizi pada anak juga merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya gizi kurang pada
balita.
REFERENSI
Kemiskinan Kelaparan dan Kekurangan
GiziAdalahMasalahKompleks[homepage
on the Internet]. 2010[cited 2011 Nov 11].
Available
from:
http://www.depkes.go.id/index.php/be
ISSN: 2356-5454
rita/press-release/1108-kemis
kinankelaparan-dan-kekurangan-gizi-ada lahmasalah-kompleks.html.
Aswar A. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat
bagi
Balita.
Jakarta:
Departemen
Kesehatan Dan Kesejahteraan RI, 2002;
hal.124-6.
Badan
Litbangkes,
Depkes simnas
IV
[homepage on the Internet]. 2009.
Available
from:
URL:
http:/www.scribd.com/doc/1360077/res
ume-hasil-kesehatan-dasar-indonesia
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Indonesia. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Infomedika, 200; hal.314-6.
Windy R, Sari F, Ikeu N.15 April 2009.
Hubungan Status Gizi, Imunisasi Pada
Anak Di Wilayah Puskesmas Ciawi
Tasikmalaya[homepage on the Internet].
2009 [updated 2009 Apr 15]. Available
from
URL:
http//www.tasikmalayakab.go.id/comp
onent/option.com
Sulistyoningsih H.Gizi Untuk Kesehatan
Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011;
hal.184-6.
Siswanto H. Pendidikan Kesehatan Anak Usia
Dini. Yogyakarta: Purtaka Rihama, 2010;
hal.126-8.
Widjaja
MC. Gizi
Tepat
untuk
Perkembangan Otak dan Kesehatan
Balita. Jakarta: Kawan Pustaka, 2002;
hal.87-89.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 7
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEAKTIFAN
LANSIA KE POSYANDU LANSIA KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS GAMBARAN
KEJADIAN KISTA OVARIUM
oleh
Diah Nurmayawati
ABSTRAK
Lansia memerlukan pemeliharaan kesehatan yang terjangkau untuk mengatasi masalah
kesehatannya. Posyandu lansia merupakan alternatif sarana untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan lansia. Penelitian ini bertujuan menganalisis pemanfaatan posyandu lansia di wilayah
kerja Puskesmas Arjasari tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Informan penelitian adalah lansia yang aktif di posyandu lansia.
Data diperoleh melalui wawancara mendalam (indepht interview). Analisa data dilakukan
melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data (emik), interprestasi (etik) dan penarikan
kesimpulan berdasarkan intisari wawancara. Hasil penelitian menunjukkan: pengetahuan
tentang posyandu lansia dimulai dari sumber informasi, sasaran, pengertian, pelayanan, status
lansia, manfaat posyandu lansia, orang yang bertugas di posyandu, dan peranan lansia
sehingga mempengaruhi keaktifan lansia dalam pemanfaatan posyandu. Sikap lansia terhadap
posyandu sangat positif, lansia tidak terbebani terkait kegiatan posyandu yang rutin, lansia
bersikap negatif terkait rencana perubahan fungsi posyandu yang melayani masyarakat umum.
Keluarga terutama anak-anak lansia berperan sebagai support system. Kemampuan lansia
dalam mengakses pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh jarak rumah dengan posyandu lansia
yang intinya semakin dekat jarak rumah semakin aktif lansia dalam memanfaatkan posyandu lansia.
Kata Kunci : Posyandu, Lansia, Kualitatif.
PENDAHULUAN
Salah satu hasil pembangunan kesehatan
di Indonesia adalah meningkatnya angka
harapan hidup (life expectancy). Usia Harapan
Hidup (UHH) penduduk Indonesia pada 1983
hanya 58 tahun dan 1988 menjadi 63 tahun.
Proporsi penduduk Indonesia umur 55 tahun
ke atas pada tahun 1980 sebesar 7,7% dari
seluruh populasi, sedangkan pada tahun 2000
meningkat menjadi 9,37%. Diperkirakan tahun
2010 proporsi itu akan meningkat menjadi
12% dan UHH meningkat menjadi 65 - 70
tahun (Hartanto, 2009).
Pembangunan kesehatan di Indonesia
sudah cukup berhasil, karena dilihat dari sisi
angka harapan hidup telah meningkat secara
bermakna. Namun, disisi lain dengan
meningkatnya angka harapan hidup ini
membawa beban bagi masyarakat, karena
populasi penduduk usia lanjut (lansia)
meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko
dalam masyarakat menjadi lebih tinggi lagi.
Meningkatnya populasi lansia ini bukan
hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga
Hal | 8
secara global. Pada tahun 2000 penduduk usia
lanjut di seluruh dunia diperkirakan sebanyak
426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini akan
meningkat hampir dua kali lipat pada tahun
2025, yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau
sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Di
negara-negara maju, jumlah lansia juga teryata
mengalami peningkatan, antara lain: Jepang
(17,2%), Singapura (8,7%), Hongkong (12,9%),
dan Korea Selatan (7,5%). Sementara negaranegara seperti Belanda, Jerman, dan Perancis
sudah lebih dulu menghadapi masalah yang
serupa (Notoatmodjo, 2007).
Gejala menuanya struktur penduduk
juga terjadi di Indonesia. Biro Pusat Statistik
(2004) menyimpulkan bahwa abad 21 bagi
bangsa Indonesia merupakan abad lansia (era
of population aging), karena pertumbuhan
penduduk lansia di Indonesia diperkirakan
lebih cepat dibandingkan dengan negaranegara lain. Proyeksi penduduk oleh Biro
Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara
2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut sekitar
19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah
penduduk.
WHO
pun
telah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
memperhitungkan bahwa di tahun 2025,
Indonesia akan mengalami peningkatan
tertinggi di dunia. Bahkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di
tahun 2050 jumlah warga lansia di Indonesia
akan mencapai ± 60 juta jiwa. Hal ini yang
menyebabkan
Indonesia
berada
pada
peringkat ke-4 untuk jumlah penduduk lansia
terbanyak setelah China, India, dan Amerika
Serikat (Notoatmodjo, 2007).
Kecenderungan peningkatan populasi
lansia perlu mendapatkan perhatian khusus
terutama peningkatan kualitas hidup mereka
agar dapat mempertahankan kesehatannya.
Pemerintah telah merumuskan berbagai
peraturan dan perundang-undangan, yang
diantaranya seperti tercantum dalam UndangUndang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
dimana pada pasal 19 disebutkan bahwa
kesehatan manusia usia lanjut diarahkan
untuk
memelihara
dan
meningkatkan
kesehatan dan kemampuannya agar tetap
produktif, serta pemerintah membantu
penyelenggaraan upaya kesehatan usia lanjut
untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara
optimal. Oleh karena ini berbagai upaya
dilaksanakan untuk mewujudkan masa tua
yang sehat, bahagia, berdaya guna dan
produktif untuk usia lanjut (Grahacendikia,
2009).
Posyandu atau pos pelayanan terpadu
merupakan program Puskesmas melalui
kegiatan peran serta masyarakat yang
ditujukan
pada
masyarakat
setempat,
khususnya balita, wanita usia subur, maupun
lansia. Pelayanan kesehatan di posyandu
lanjut usia meliputi pemeriksaan kesehatan
fisik dan mental emosional yang dicatat dan
dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS)
untuk mengetahui lebih awal penyakit yang
diderita atau ancaman masalah kesehatan
yang dihadapi. Jenis pelayanan kesehatan
yang diberikan di posyandu lansia antara lain
pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan
status gizi, pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan hemoglobin, kadar gula dan
protein dalam urin, pelayanan rujukan ke
ISSN: 2356-5454
puskesmas dan penyuluhan kesehatan.
Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai
kebutuhan dan kondisi setempat seperti
Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
dengan memperhatikan aspek kesehatan dan
gizi lanjut usia dan olah raga seperti senam
lanjut usia, gerak jalan santai untuk
meningkatkan kebugaran (Grahacendikia,
2009).
Kegiatan posyandu lansia yang berjalan
dengan baik akan memberi kemudahan bagi
lansia
dalam
mendapatkan
pelayanan
kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup
masyarakat di usia lanjut tetap terjaga dengan
baik dan optimal. Berbagai kegiatan dan
program posyandu lansia tersebut sangat baik
dan banyak memberikan manfaat bagi para
orang tua di wilayahnya. Seharusnya para
lansia berupaya memanfaatkan adanya
posyandu tersebut sebaik mungkin, agar
kesehatan para lansia dapat terpelihara dan
terpantau secara optimal (Grahacendikia,
2009).
Fenomena di lapangan menunjukkan
fakta yang berbeda. Posyandu lansia ternyata
hanya ramai pada awal pendirian saja,
selanjutnya lansia yang memanfaatkan
posyandu semakin berkurang. Seperti yang
terjadi di Desa Klapasawit Kecamatan
Purwojati Kabupaten Banyumas, dengan
jumlah lansia 172 orang dan hanya ada 1
posyandu lansia. Dari data di posyandu
lansia, untuk jumlah lansia yang mengikuti
posyandu dalam 1 tahun terakhir ini, rata-rata
hanya 10 orang per bulan. Hal ini menunjukan
motivasi atau dorongan lansia untuk
mengikuti posyandu lansia rendah.
Motivasi mempunyai arti dorongan,
berasal dari bahasa latin Movere yang berarti
mendorong atau menggerakkan. Motivasi
inilah yang mendorong seseorang untuk
berperilaku beraktifitas dalam pencapaian
tujuan (Widayatun, 1999). Menurut Efandi
(2008)
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
motivasi
lansia
untuk
mengikuti posyandu lansia yaitu pengetahuan
lansia tentang posyandu lansia, jarak rumah
dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 9
jikk
ISSN: 2356-5454
dijangkau,
dukungan
keluarga
untuk
mengantar maupun mengingatkan lansia
untuk
datang ke posyandu, sikap kurang
baik terhadap petugas, fasilitas kesehatan, dan
kesiapan petugas.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti kepada 10 orang lansia,
dimana didapatkan hasil 7 orang lansia
mengatakan tidak mengetahui tentang
posyandu lansia, 1 orang mengatakan malas
karena kegiatannya membosankan dan 2
orang
mengatakan
sibuk
dengan
pekerjaannya.
Dari
hasil
tersebut
kemungkinan faktor yang mempengaruhi
motivasi lansia mengikuti posyandu lansia
adalah tingkat pengetahuan lansia.
Pengetahuan
pada
hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu termasuk ilmu,
jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia (Suriasumantri,
1998). Pengetahuan itu sendiri banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat
erat hubungannya dengan pendidikan,
dimana
diharapkan
bahwa
dengan
pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya.
Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak
berpengetahuan rendah pula. Hal ini
mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan
tidak mutlak diperoleh dari pendidikan
formal (Wipayani, 2008).
PEMBAHASAN
Penelitian
tentang
pemanfaatan
posyandu lansia ini menemukan bahwa
pengetahuan informan tentang posyandu
lansia berbeda-beda sesuai dengan manfaat
yang dirasakan dan penafsiran informan.
Pengetahuan informan ini diperoleh dari
petugas kesehatan, pengurus posyandu lansia,
orang tua maupun teman. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Notoatmodjo (2007) yaitu
bahwa pengalaman yang dihasilkan melalui
panca indera mempengaruhi penafsiran yang
Hal | 10
Nomor 01 Tahun 2011
berbeda terhadap suatu objek. Pengetahuan
lansia
tentang
posyandu
lansia
mempengaruhi
keakifan
lansia
dalam
memanfaatkan posyandu lansia. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Maria (2008) yang
menyatakan
bahwa
dukungan
kader
mempengaruhi keaktifan kunjungan lansia ke
posyandu. Sasaran posyandu lansia yang
dipahami lansia adalah hanya untuk para
lansia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
DepKes RI (2002) yang menyatakan bahwa
sasaran posyandu lansia ditujukan secara
langsung pada para lansia.
Manfaat yang dirasakan lansia ditinjau
dari aspek fisik yaitu kondisi kesehatan
senantiasa terjaga atau sehat. Manfaat ditinjau
dari aspek psikis yang dirasakan yaitu
perasaan senang dapat siraman rohani dan
adanya rekreasi untuk menghilangkan
kejenuhan. Perasaan senang dapat bertemu
sesama lansia merupakan manfaat yang
didapatkan lansia secara sosial dari adanya
posyandu lansia. Pengalaman lansia terkait
manfaat
posyandu
lansia
tersebut
mempengaruhi motivasi lansia mengikuti
posyandu lansia, sebagaimana hasil penelitian
Fuad (2008) tentang study fenomenologi
motivasi
lansia
dalam
memanfaatkan
posyandu lansia yaitu bahwa dengan lansia
mengetahui
manfaat
posyandu,
lansia
termotivasi untuk mengikuti posyandu lansia.
Lansia menyatakan bahwa orang yang
bertugas di posyandu lansia tidak hanya
petugas puskesmas dan pengurus lansia,
tetapi juga ustad, guru senam, maupun
petugas pemerintahan. Pengetahuan lansia
tentang
petugas
puskesmas
maupun
pengurus lansia yang seharusnya bertugas
sesuai dengan aturan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2005) tentang pelaksana
sistem lima tahapan kegiatan di posyandu.
Sikap lansia terkait penelitian meliputi
pandangan
lansia
terhadap
pendirian
posyandu lansia, waktu atau jadwal kegiatan
posyandu lansia serta respon terhadap
rencana perubahan fungsi posyandu. Berdasar
hasil wawancara dan observasi diketahui
bahwa
pandangan
informan
terhadap
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
pendirian posyandu lansia yaitu informan
merasakan banyak memperoleh manfaat baik
secara jasmani, rohani, maupun sosial. Sikap
terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman
selama proses aktif di posyandu lansia
sehingga informan mampu menyatakan dan
memutuskan bahwa posyandu lansia sangat
bermanfaat bagi informan, sehingga perlu
didirikan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Thursdayani (2006), yaitu bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara
karakteristik, pengetahuan serta persepsi
lansia terhadap kegiatan posyandu lansia.
Hasil
wawancara
dan
observasi
diketahui, frekuensi waktu yang digunakan
dalam pemanfaatan posyandu lansia antara
satu sampai dua kali dalam sebulan. Alasan
lansia memilih mengikuti posyandu lansia
sebulan sekali karena mengikuti kegiatan lain
di kampung maupun di mesjid, sehingga jika
terlalu banyak kegiatan maka dapat
mempengaruhi kesehatan akibat kelelahan.
Depkes RI (2005), menerangkan bahwa
penurunan kesehatan secara fisik tersebut
dapat mempengaruhi kondisi lansia pada
aspek lain serta sebaliknya.
Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi ditemukan Informan tidak setuju
terhadap perubahan fungsi posyandu yang
akan melayani masyarakat umum selain
lansia.
Hal
ini
dikarenakan
petugas
puskesmas terbatas sehingga dikhawatirkan
tidak mampu memberikan pelayanan yang
baik bagi lansia, alasan lainnya adalah lansia
tidak kuat antri lama, mudah tersinggung,
pusing, dan capek. Kondisi ini berhubungan
dengan perubahan lansia dari berbagai aspek
yaitu secara fisik, psikis, dan sosial. Jika
kondisi ini tidak diperhatikan dan dibiarkan
dalam waktu lama maka akan menyebabkan
ketidakstabilan emosi yaitu lansia mudah
tersinggung (Meiner, 2006).
Perilaku informan dalam pemanfaatan
posyandu, dibuktikan dengan tanggapan
yang positif tentang pendirian posyandu dan
keaktifan lansia dalam mengikuti semua
kegiatan yang ada di posyandu. Teori Green
dalam Notoadmodjo (2007), menyatakan
ISSN: 2356-5454
Faktor predisposisi (predisposing factor),
yaitu faktor pencetus yang mempermudah
dan mendasari dalam perubahan perilaku
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
persepsi yang membangkitkan motivasi
seseorang untuk bertindak.
Keluarga memiliki peran yang penting
dalam kehidupan lansia terutama terkait
dengan pemanfaatan posyandu lansia.
Berdasarkan wawancara dan observasi
didapatkan
dukungan
keluarga
yang
diberikan pada informan dalam pemanfaatan
posyandu lansia meliputi antar jemput
informan yang datang ke posyandu dan
mengingatkan jadwal kegiatan posyandu.
Sejalan dengan Stanley (2005), didalam
bukunya dijelaskan bahwa segala bentuk
perhatian yang diberikan keluarga khususnya
maupun masyarakat termasuk petugas
kesehatan pada umumnya, menumbuhkan
motivasi lansia untuk tetap berkarya dan eksis
di kehidupannya. Hal ini sesuai dengan
penelitian Fuad (2008) yang menyatakan
bahwa dukungan keluarga menjadi motivasi
bagi lansia dalam memanfaatkan posyandu
lansia.
Demikian pula pernyataan Gallo (1998)
dalam
Hardywinoto
(2007),
yaitu
jaringan¬jaringan informal, dalam pembinaan
lansia meliputi jaringan pendukung yaitu
keluarga dan kawan-kawan. Dukungan yang
diterima lansia oleh petugas kesehatan berupa
pembinaan lansia yang meliputi fisik, psikis,
dan sosial guna peningkatan kesehatan lansia.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Camacho, dkk (2009) tentang perbedaan status
sosial ekonomi dan karakteristik institusional
dalam pelayanan umum tindakan preventif
bagi lansia di Costa Rica yang menyatakan
bahwa kebijakan kesehatan berpengaruh
terhadap peningkatan status kesehatan lansia
melalui upaya perawatan kesehatan primer
secara professional.
Hasil penelusuran di lapangan diketahui
bahwa aksesibilitas yang dilakukan informan
terkait dengan cara informan untuk mencapai
pelayanan posyandu, lebih menyukai berjalan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 11
jikk
ISSN: 2356-5454
kaki dengan alasan sambil olahraga. Jika
lansia kurang mampu untuk berjalan kaki,
maka lansia menggunakan taksi ataupun
diantar oleh anggota keluarga. Kondisi
kesehatan informan terkait akses ke posyandu
dengan berjalan kaki tidak menunjukkan
masalah gangguan kesehatan yang signifikan,
hanya terkadang sakit pinggang. Kondisi ini
menurut Potter, dkk (1997) adalah wajar
akibat penurunan fisiologis lansia yang
mempengaruhi aktifitas fisik.
Kendala yang dialami oleh lansia dalam
mengakses posyandu lansia disebabkan lansia
memiliki peran tambahan dalam keluarga
untuk membantu menjaga cucu, maupun
peran dalam bekerja sebagai petugas
perawatan jenazah. Selain itu situasi saat
kumpul bersama keluarga (anak) yang jauh,
dan kondisi cuaca ketika hujan juga menjadi
kendala lansia dalam mengakses pelayanan
posyandu lansia. Kondisi yang dialami lansia
tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian
Federman, dkk (2010), tentang pengembangan
dan pemulihan kesulitan aktifitas sehari-hari
berdasarkan analisis data nasional yang
menyatakan bahwa kondisi kesehatan kronik
pada lansia merupakan penyebab penurunan
aktifitas sehari-hari.
Kendala aksesibilitas posyandu lansia
tidak hanya dialami lansia tetapi juga petugas
kesehatan. Hal ini disebabkan oleh minimnya
cakupan kunjungan posyandu lansia karena
hanya ada dua buah posyandu lansia untuk
seluruh wilayah puskesmas yang membawahi
dua kelurahan meliputi 78 RT sehingga terjadi
ketidakseimbangan jumlah posyandu dengan
luas wilayah. Hal ini sejalan dengan teori
McKillip dalam Nyorong (1989), bahwa
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
dipengaruhi oleh ketersediaan, kesadaran,
keterterimaan secara budaya, aksesibilitas.
KESIMPULAN
Simpulan penelitian tentang pemanfaatan
posyandu lanjut usia di wilayah Puskesmas
Arjasari Kabupaten Bandung adalah sebagai
berikut:
Pengetahuan
posyandu
yang
Hal | 12
Nomor 01 Tahun 2011
diketahui masing-masing lansia berbeda-beda
berdasarkan dari manfaat yang dirasakan oleh
lansia. Pengetahuan lansia yang baik
mempengaruhi keaktifan lansia dalam
memanfaatkan posyandu. Sikap lansia
terhadap pendirian posyandu lansia sangat
positif. Kemampuan lansia dalam mengakses
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh jarak
rumah dengan posyandu lansia yaitu semakin
dekat jarak rumah dengan posyandu lansia
maka lansia semakin aktif memanfaatkan
posyandu lansia.
Saran penelitian tentang pemanfaatan
posyandu lanjut usia di wilayah Puskesmas
Arjasari Kabupaten Bandung ditujukan pada
pihak
sebagai
berikut:Kepada
Dinas
Kesehatan Kabupaten Bandung khususnya
Bidang Kesehatan Keluarga dan puskesmas
diharapkan adanya peningkatan pemberian
informasi-informasi
tambahan
tentang
kesehatan melalui subsidi bahan maupun
media kesehatan lansia sehingga dapat
digunakan
posyandu
lansia
untuk
meningkatkan pengetahuan lansia maupun
kader kesehatan posyandu lansia terkait
kesehatan lansia dan kepada keluarga lansia
dan
masyarakat
diharapkan
adanya
peningkatan dukungan positif terhadap lansia
dengan cara merawat kesehatan lansia baik
fisik maupun psikis.
REFERENSI
BPS, (2009). Human Development Index (HDI)
by
Province
and
National,
http://dds.bps.go.id/eng/tab_sub/view.
php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&n
otab =2
Camacho, G.B and Bixby, L.R, (2009).
Differentials by Socioeconomic Status and
Institutional Characteristics in Preventive
Service Utilization by Older Persons,
Journal Aging Health 21 ; 730
Depkes RI., (2002), Pedoman Pengelolaan
Kegiatan Kesehatan di Kelompok Usia
Lanjut, Jakarta
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Depkes RI., (2005), Pedoman Pembinaan
Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan I, Kebijaksanaan Program,
Departemen Kesehatan RI
Dinkes Kabupaten Bandung, (2011), Profil
Kesehatan Kabupaten Bandung, Bagian
KIA, Bandung.
ISSN: 2356-5454
Federman, A.D, Pendrod, J.D, Livot, E, Hebert
P, S, Doucette, J, and Siu, A.L, 2010.
Development of and Recovery From
Difficulty Wityh Activities of Daily
Living : An Analysis of National Data.
Journal Aging Health 22 ; 1081
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 13
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
GAMBARAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA KEHAMILAN EKTOPIK
oleh
Sundari
ABSTRAK
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tetap tinggi, bahkan jumlahnya meningkat. Hal ini
merupakan cerminan keterpurukan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, sekitar 25-50%
kematian perempuan usia subur disebabkan oleh masalah yang terkait dengan kehamilan, persalinan
dan nifas. Kehamilan dan persalinan merupakan proses yang alami tetapi bukannya tanpa resiko dan
merupakan beban bagi seorang wanita. Dalam kehamilan dan persalinan tiap ibu hamil akan
menghadapi resiko terjadinya penyakit atau komplikasi baik ringan maupun berat yang dapat
memberikan bahaya kematian, kesakitan, ketidaknyamanan ataupun ketidakpuasan bagi ibu dan
bayinya. Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu, pertama kehamilan. Resiko terjadinya
abortus meningkat dengan makin tingginya usia ibu serta makin banyaknya kehamilan (graviditas)
atau jumlah persalinan yang dialami ibu (paritas) selain itu kemungkinan terjadinya abortus
bertambah pada wanita yang hamil dalam waktu tiga bulan setelah melahirkan.
Kata Kunci : graviditas, kehamilan ektopik
PENDAHULUAN
Sejak awal 1990-an para pakar yang
aktif
dalam
usaha
safe
motherhood
menyatakan bahwa pendekatan risiko yang
mengelompokkan ibu hamil dalam kelompok
tidak berrisiko sebaiknya tidak digunakan
lagi. Hal ini berdasarkan kenyataan lebih dari
90 % kematian ibu disebabkan oleh
komplikasi obstetrik yang sering tidak dapat
diramalkan pada saat kehamilan, karena
kebanyakan komplikasi itu terjadi pada saat
atau sekitar persalinan. (Winkjosastro, 2002)
Kehamilan dan persalinan merupakan
proses yang alami tetapi bukannya tanpa
resiko dan merupakan beban bagi seorang
wanita. Dalam kehamilan dan persalinan tiap
ibu hamil akan menghadapi resiko terjadinya
penyakit atau komplikasi baik ringan maupun
berat yang dapat memberikan bahaya
kematian,
kesakitan,
ketidaknyamanan
ataupun ketidakpuasan bagi ibu dan bayinya
(Saifuddin. 2000).
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam
12 minggu, pertama kehamilan. Resiko
terjadinya abortus meningkat dengan makin
tingginya usia ibu serta makin banyaknya
kehamilan (graviditas) atau jumlah persalinan
yang dialami ibu (paritas) selain itu
kemungkinan terjadinya abortus bertambah
Hal | 14
pada wanita yang hamil dalam waktu tiga
bulan setelah melahirkan (Cuningham, 2002).
Angka kematian ibu (AKI) di
Indonesia masih tetap tinggi, bahkan
jumlahnya meningkat. Hal ini merupakan
cerminan keterpurukan hak-hak kesehatan
reproduksi perempuan, sekitar 25-50%
kematian perempuan usia subur disebabkan
oleh masalah yang terkait dengan kehamilan,
persalinan dan nifas. (Winkjosastro, 2002)
Berdasarkan
data
dari
Badan
Kesehatan Dunia (WHO), bahwa pada tahun
2003 terdapat 1 dari 250 (0,04%) kelahiran di
dunia menderita kehamilan ektopik, dengan
jenis kehamilan ektopik adalah kehamilan
tuba falopii, yang sebagian besar (80 %)
dialami oleh wanita pada usia 35 tahun ke atas
serta dilaporkan bahwa 60 % dialami oleh
wanita dengan paritas pertama dan kedua.
(Cunningham,
2001)
Beberapa sumber menyebutkan bahwa AKI di
Indonesia merupakan yang tertinggi di
Negara ASEAN. Pada tahun 2008 menunjukan
AKI 307/100.000 kelahiran hidup atau 20.000
per hari, berarti 50,5 perhari atau 2,1 % per
jam. Yang antara lain disebabkan oleh
perdarahan (53,23 %), infeksi (11,29 %),
eklamsia 27,42 % lain-lain (8,06 %) (Depkes RI,
2008).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Di Indonesia, berdasarkan laporan
dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui
bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus
setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan
ektopik atau 0,02%.s (BPS Kesehatan, 2007). Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan
ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1
diantara 26 persalinan. Salah satu tolak ukur
penting dalam menciptakan Indonesia sehat
2010 adalah menekan angka kematian ibu
(AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Di
Indonesia
menurut
Survei
Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2008
Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup
tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup.
Penyebab kematian ibu terbesar ( 58,1 %)
adalah karena perdarahan dan eklamsi. Kedua
sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan
pemeriksaan kehamilan yang memadai.
Walaupun proporsi perempuan usia 15-45
tahun melakukan ANC minimal 1 kali telah
mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut
survei hanya 43,2% yang persalinannya
ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan
oleh tenaga kesehatan masih sangat rendah,
sebesar 54% persalinan masih ditolong oleh
dukun (Winkjosastro, 2002).
Tingginya angka kematian maternal
yang
berhubungan
dengan
kehamilan
dipengaruhi faktor didalam dan faktor diluar
kesehatan. Beberapa faktor kesehatan antara
lain : tindakan aborsi yang tidak aman,
perdarahan ante, intra, dan postpartum
infeksi, persalinan macet, penyakit hipertensi,
anemia dan kehamilan ektopik. Dari segi
medis sebenarnya sudah diketahui usahausaha preventif dan pengobatan yang mampu
menolong wanita khususnya wanita hamil
sehingga dapat terhindar dari bahaya
kematian. Hanya saja sistem pelayanan
terhadap hal ini terasa masih kurang
memadai.
(Cunningham,
2002)
Sedangkan di Sulawesi Tenggara pada tahun
2007 angka kejadian kehamilan ektopik
sebanyak 10 per 1.000 kelahiran atau 0,01%.
Namun demikan data tersebut akan
mengalami peningkatan yang disebabkan oleh
banyaknya wanita hamil pada usia 35 tahun
ke
atas.
(Depkes
RI,
2007)
ISSN: 2356-5454
Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah
Propinsi Sulawesi Tenggara dilaporkan bahwa
pada tahun 2007 sampai tahun 2009 ibu hamil
dengan kehamilan ektopik sebanyak 46 kasus
dari 1972 persalinan atau 2,4%.
Keaslian Penelitian
Telah ada penelitian terdahulu yang
mengkaji
hal-hal
yang
menyangkut
pemanfaatan pelayanan kesehatan, namun
dalam
penelitian
ini
memfokuskan
pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ibu
bersalin, penelitian yang telah dilakukan :
1) Penelitian Elvi Ibrahim (2006), tentang
studi tentang Faktor-faktor yang
mempengaruhi kehamilan ektopik di
RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara.
Jenis penelitian Elvi Ibrahim yaitu
Penelitian
Deskriptif,
Lokasi
penelitian di RSUD Propinsi Sultra
Tahun 2006 dan subyek penelitian
yaitu semua ibu hamil yang
mengalami kehamilan ektopik.
2) Penelitian Abdullah (2006) tentang
gambaran kasus kehamilan ektopik
terganggu di RSUD Arifin Achmad
Pekan Baru Peride 1 Januari 2003
sampai 31 Desember 2005. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif
retrospektif.
Data
dikumpulkan
dengan melihat kembali semua
catatan medic kasus kehamilan
ektopik terganggu yang tercatat
dibagian rekam medic RSUD Arifin
Achmad
Pekan
Baru.
Data
dikumpulkan dan diolah secara
manual, kemudian disajikan dalam
bentuk diagram dan tabel distribusi
frekuensi.
PEMBAHASAN
Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah kehamilan
yang berkembang diluar uterus. Kehamilan
ektopik ini paling sering terjadi pada tuba
fallopi. Penyebab kehamilan tuba belum dapat
diketahui dengan pasti, tetapi factor
fredisposisinya adalah tuba yang mengalami
obstruksi (sumbatan). Juga dikatakan terdapat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 15
jikk
ISSN: 2356-5454
insidensi yang lebih tinggi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim.
Apabila embrio berkembang didalam
isthmus, yaitu bagian yang paling sempit,
maka embrio tadi akan segera mengerosi
(merusak) lapisan tipis jaringan pada proses
implantasi, sehingga memecahkan tuba dan
membuka vasa-vasa darah besar sehingga
menyebabkan perdarahan intraperitoneal.
Keadaan demikian disebut sebagai kehamilan
ektopik yang pecah dan menyebabkan gawat
abdomen akut. Transfuse darah kemudian
diikuti operasi segera, dengan melakukan
eksisi tuba, merupakan operasi penyelamat
jiwa. (Sylvia verralls : 2002)
Perjalanan hasil konsepsi dapat
terganggu
dalam
perjalanan
sehingga
tersangkut dalam lumen tuba. Tuba faloopi
tidak
mempunyai
kemampuan
untuk
berkembang dan menampung pertumbuhan
janin sehingga setiap saat kehamilan yang
terjadi terancam pecah. Kehamilan ektopik
merupakan kehamilan yang berbahaya karena
tempat implantasinya tidak memberikan
kesempatan
untuk
tumbuh
kembang
mencapai aterm. Perjalanan klinik kehamilan
ektopik bervariasi, sehingga bidan dapat
dimintai pertolongan pertama. Oleh karena itu
bidan didaerah pedesaan perlu mengetahui
kemungkinan
terganggunya
kehamilan
ektopik, sehingga dapat melakukan rujukan
medis. (Manuaba, 2002)
Terdapat dua pengertian yang perlu
mendapat perhatian, yaitu kehamilan ektopik
adalah kehamilan yang berimplantasi diluar
endometrium
normal
dan
kehamilan
ekstrauterin
adalah
kehamilan
yang
berimplantasi diluar uterus.
a. Berdasarkan tempat implantasinya
kehamilan ektopik
b. Pars interstisial tuba
c. Pars ismika tuba
d. Pars ampularis tuba
e. Kehamilan infundibulum
f. Kehamilan abdominal primer atau
sekunder
Kejadian kehamilan ektopik bervariasi
pada setiap pusat penelitian atau rumah sakit.
Hal | 16
Nomor 01 Tahun 2011
Frekuensi ini tergantung dari beberapa faktor
diantaranya :
a. Pemakaian antibiotika
1. Memyebabkan kesembuhan dari
infeksi
pada
tuba,
tetapi
lumennya menyempit sehingga
memperbesar kejadian hamil
ektopik.
2. Pemakaian
alat
kontrasepsi
meningkatkan kejadian hamil
ektopik,
karena
fungsinya
menghindari hamil tetapi tidak
sekaligus mengurangi kejadian
hamil ektopik.
b. Umur penderita hamil ektopik antara
20
sampai
40
tahun dengan
puncaknya pada usia sekitar 30 tahun.
2. Penyebab Kehamilan Ektopik
Sebagian besar kehamilan ektopik
terjadi pada tuba sehingga setiap gangguan
pada tuba yang disebabkan infeksi akan
menimbulkan gangguan dalam perjalanan
hasil konsepsi menuju rahim. Sebagai
gambaran penyebab kehamilan ektopik dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Gangguan pada lumen tuba
1. Infeksi
menimbulkan
perlekatan
endosalping
sehingga
penyempitan
lumen.
2. Hipoplasia tuba sehingga
lumenya menyempit
3. Operasi plastik pada tuba
(rekonstruksi)
atau
melepaskan perlekatan dan
tetap menyempitkan tuba.
b. Gangguan diluar tuba
1. terdapat endometriosis tuba
sehingga
memperbesar
kemungkinan implantasi
2. terdapat
divertikel
pada
lumen tuba
3. terdapat perlekatan sekitar
tuba sehingga memperkecil
lumen tuba
4. kemungkinan
migrasi
eksternal,
sehingga
hasil
konsepsi
mencapai
tuba
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
dalam
keadaan
ISSN: 2356-5454
blastula.
Berikut ini berbagai faktor yang
menyebabkan kehamilan ektopik yaitu :
1. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau
menghambat perjalanan ovum yang telah
dibuahi kedalam kavum uteri.
a. Salpingitis,
khususnya
endosalpingitis, yang menyebabkan
mukosa tuba mengalami penyempitan
tuba sehingga terjadi pembentukan
kantong-kantong buntu.
b. Kehamilan
ektopik
sebelumnya,
insidensi
kehamilan
ektopik
berikutnya akan menjadi 7 hingga 15
%.
Meningkatnya
risiko
ini
kemungkinan besar disebabkan oleh
salpingitis yang terjadi sebelumnya.
c. Pembedahan
sebelumnya,
biasa
dilakukan untuk memperbaiki patensi
tuba atau kadang-kadang dilakukan
pada kegagalan sterilisasi.
d. Abortus induksi yang dilakukan lebih
dari satu kali akan memperbesar
resiko terjadinya kehamilan ektopik.
Risiko ini akan terjadi dua kali lipat
setelah menjalani abortus induksi
e. Tumor yang mengubah bentuk tuba,
seperti mioma uteri dan adanya
benjolan
pada
adneksa.
2.
Faktor-faktor
fungsional
yang
memperlambat perjalanan ovum yang telah
dibuahi kedalam kavum uteri.
3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba
terhadap ovum yang telah dibuahi.
Dengan terjadinya implantasi didalam
lumen
tuba
dapat
terjadi
beberapa
kemungkinan
A. Hasil konsepsi mati dini
1) Tempatnya
tidak
mungkin
memberikan kesempatan tumbuh
kembang hasil konsepsi mati secara
dini
2) Karena
kecilnya
kemungkinan
diresorbsi.
B. Terjadi abortus
1) Kesempatan berkembang yang sangat
kecil menyebabkan hasil mati dan
lepas dalam lumen.
2) Lepasnya
hasil
konsepsi
menimbulkan perdarahan dalam
lumen tuba atau keluar lumen serta
membentuk timbunan darah
3) Tuba tampak berwarna hijau pada
saat dilakukan operasi
C. Tuba fallopi pecah
1) Karena tidak dapat berkembang dengan
baik maka tuba dapat pecah
2) Jonjot villi menembus tuba, sehingga
terjadi rupture yang menimbulkan
timbunan darah ke dalam abdomen
3) Ruptura tuba menyebabkan hasil
konsepsi
terlempar
keluar
dan
kemungkinan
untuk
melakukan
implantasi
menjadi
kehamilan
abdominal sekunder
4) Kehamilan abdominal dapat mencapai
cukup besar. (Cunningham, 1995)
3. Gejala Klinik Kehamilan Ektopik
Gambaran klinik kehamilan ektopik
bervariasi dari bentuk abortus tuba atau
terjadi rupture tuba. Mungkin dijumpai rasa
nyeri dan gejala hamil muda. Pada
pemeriksaan dalam terdapat pembesaran
uterus yang tidak sesuai dengan tua
kehamilan dan belum dapat diraba kehamilan
pada tuba, karena tuba dalam keadaan
lembek. Bila terjadi gangguan kehamilan tuba,
gejalanya tergantung pada tua kehamilan
tuba, lamanya kedalam rongga abdomen,
jumlah darah yang terdapat dalam rongga
abdomen, dan keadaan umum ibu sebelum
kehamilan terjadi. Dengan demikian trias
gejala klinik hamil ektopik terganggu sebagai
berikut :
1. Amenorea
a. Lamanya amenorea bervariasi dari
beberapa hari sampai beberapa bulan.
b. Dengan amenore dapat dijumpai tanda
hamil muda, yaitu morning sickness,
mual muntah, terjadi perasaan ngidam.
2. Terjadi nyeri abdomen
a. Nyeri
abdomen
disebabkan
kehamilan tuba yang pecah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 17
jikk
ISSN: 2356-5454
b. Rasa nyeri dapat menjalar ke seluruh
abdomen tergantung dari perdarahan
didalamnya.
c. Bila
rangsangan
darah
dalam
abdomen mencapai diafragma, dapat
terjadi nyeri didaerah bahu.
d. Bila darahnya membentuk hematokel
yaitu timbunan didaerah kavum
Douglas akan terjadi rasa nyeri
dibagian bawah dan saat buang air
besar.
3. Perdarahan
a. Terjadinya
abortus atau rupture
kehamilan tuba terdapat perdarahan ke
dalam kavum abdomen dalam jumlah
yang bervariasi.
b. Darah yang tertimbun dalam kavum
abdomen tidak berfungsi sehingga
terjadi gangguan dalam sirkulasi umum
yang menyebabkan nadi meningkat,
tekanan darah menurun sampai jatuh
dalam keadaan syok.
c. Hilangnya darah dari peredaraan darah
umum yang mengakibatkan penderita
tampak
anemis,
daerah
ujung
ekstremitas dingin, berkeringat dingin,
kesadaran menurun dan pada abdomen
terdapat timbunan darah
d. Setelah kehamilannya mati, desidua
dalam kavum uteri dikeluarkan dalam
bentuk desidua spuria, seluruhnya
dikeluarkan bersama dan dalam bentuk
perdarahan hitam seperti menstruasi.
(Manuaba, 2002)
4. Diagnosis Hamil ektopik terganggu
Menegakkan diagnosis Hamil ektopik
terganggu tidaklah terlalu sukar dengan
melakukan :
a. Anamnese tentang trias kehamilan ektopik
terganggu
1) Terdapat amenorea (terlambat datang
bulan)
2) Terdapat rasa nyeri mendadak disertai
rasa nyeri di daerah bahu dan seluruh
abdomen
3) Terdapat perdarahan melalui vaginal
b. Pemeriksaan fisik
Hal | 18
Nomor 01 Tahun 2011
1) Fisik umum
a. Penderita tampak anemis dan sakit
b. Kesadaran bervariasi dari baik sampai
koma
c. Daerah ujung dingin
d. Pemeriksaan nadi meningkat, tekanan
darah turun sampai syok
e. Pemeriksaan
abdomen
:
perut
kembung, terdapat cairan bebasdarah, nyeri saat perabaan.
2) Pemeriksaan khusus melalui vaginal
a. Nyeri goyang pada pemeriksaan
serviks
b. Kavum douglas menonjol dan nyeri
c. Mungkin terasa tumor disamping
uterus
d. Pada hematokel tumor dan uterus
sulit dibedakan (Saifuddin, 2001)
Kehamilan Abdominal
Kehamilan abdominal dapat berlanjut
sampai mencapai besar tertentu. Dalam
perkembangannya kadang-kadang mencapai
aterm, atau mati karena kekurangan nutrisi
yang disebabkan plasenta tidak mencapai
tempat yang baik. Karena trimplantasi di luar
rahim, setiap gerakan menimbulkan rasa sakit,
gerakan janin tampak dengan jelas dibawah
dinding abdomen. (Manuaba, 2002)
Gambaran Karakteristik Ibu
1. Umur Ibu
Ibu yang berusia tua dipertimbangkan
dapat beresiko tinggi untuk mengalami
komplikasi selama kehamilan khususnya
kehamilan ektopik. Semakin banyak wanita
yang berusia 35 tahun ke atas memiliki
kecenderungan
kehamilan
ektopik.
(Winkjosastro, 2002)
Umur beresiko pada ibu pada saat
kehamilan dan persalinan. Umur < 20 tahun
dan 25 – 35 tahun dalam kurun waktu
reproduksi yang sehat dikenal bahwa umur
yang aman untuk kehamilan. Sedangkan pada
umur > 35 tahun sudah beresiko karena alat
reproduksi tidak berfungsi secara sempurna
(Manuaba, 2003). Pada umur kehamilan muda
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
dalam 12 minggu pertama kehamilan,
semakin muda umur kehamilan maka
semakin berpotensi untuk terjadinya abortus.
Disebabkan villi korialis belum menembus
desidua secara mendalam dan plasenta belum
terbentuk secara sempurna (Cunningham,
dkk. 2001).
2. Paritas Ibu
Paritas adalah jumlah kelahiran yang
diakhiri dengan kelahiran janin yang
memenuhi syarat untuk melangsungkan
kehidupan (28 minggu). Paritas menunjukan
jumlah kehamilan terdahulu yang telah
mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan.
Paritas 2 – 3 merupakan paritas yang
paling aman, ditinjau dari sudut kematian
maternal, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih
dari 3) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi
kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstertik yang
lebih baik, sedangkan risiko pada paritas
tinggi dapat di kurangi atau dicegah dengan
keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada
paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
(Manuaba, 2002). Jumlah anak yang telah
dilahirkan dan hidup oleh ibu, menurut
Royston, persalinan yang berulang akan
menimbulkan banyak resiko. Dibuktikan
bahwa persalinan pertama, kedua dan ketiga
adalah persalinan yang aman. Ibu dengan
paritas lebih dari tiga mempunyai resiko
terjadinya kehamilan ektopik hal ini
dikarenakaan sudah seringnya plasenta
berimplantasi segmen bawah rahim menjadi
rapuh dan banyak serabut kecil pembuluh
darah yang mengalami kerusakan akibat
riwayat persalinan (Wiknjosastro, 2002).
3. Riwayat Abortus
Abortus
adalah
berakhirnya
kehamilan sebelum umur kehamilan 20
minggu atau berat janin < 500 gram.
Meningkatnya insidensi aborsi yang induksi
menyebabkan kerusakan histologik dan
structural terhadap tuba tanpa penanganan
yang baik. Akibat kerusakan tersebut secara
langsung akan menyebabkan terjadinya
insidensi kehamilan ektopik pada ibu.
ISSN: 2356-5454
Frekuensi aborsi lebih dari satu kali sangat
beresiko tinggi menyebabkan kehamilan
ektopik. (Manuaba, 2002)
PEMBAHASAN
Setelah mengadakan penelitian di
RSUD Propinsi Jawa Barat dan dilanjutkan
pengolahan data pada beberapa faktor yang
diteliti yakni Umur, Paritas, dan riwayat
Abortus maka penulis akan membahas faktor
tersebut sehubungan dengan pemeriksaan
kehamilan pada kunjungan trimester pertama.
1. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan
Ektopik ditinjau dari segi umur Berdasarkan
tabel 1 diatas bahwa dari hasil perhitungan
persentase kejadian kehamilan ektopik
kelompok umur 20 – 35 tahun relative lebih
tinggi yakni 40 orang (86,9 %), sedangkan
yang terendah kelompok umur < 20 yakni 2
orang (4,34 %). Berdasarkan hasil penelitian
diatas jumlah persentase kehamilan ektopik
tertinggi pada umur 20 – 35 tahun, hal ini
disebabkan karena pada usia ini sudah terjadi
kematangan reproduksi baik secara biologis
maupun psikologi. Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 –
35 tahun. Menurut Manuaba (2002) Usia < 20
tahun dan > 35 tahun merupakan salah satu
faktor resiko, sehingga pada usia ini akan
mengalami komplikasi karena usia < 20 tahun
fungsi alat reproduksi belum matang serta
tubuhnya belum siap sepenuhnya untuk
menghadapi kehamilan, sedangkan usia > 35
tahun fungsi hormone dalam tubuh
mengalami
kemunduran
sehingga
kemungkinan besar ibu hamil pada usia itu
akan mengalami komplikasi. Umur ibu pada
saat hamil merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kelangsungan kehamilan. Ini
dapat dilihat dari faktor-faktor risiko tinggi
suatu kehamilan dan penyebab penyulit
persalinan yang antara lain adalah ibu
berumur dibawah 20 tahun dan lebih dari 35
tahun. Oleh karena itu, ibu hamil tersebut
sebaiknya rajin melakukan pemeriksaan ANC.
(Manuaba, 1998) Hal ini menunjukan bahwa
terdapat ketidaksesuain antara teori dan hasil
penelitian
dimana
berdasarkan
teori
mengatakan bahwa salah satu faktor
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 19
jikk
ISSN: 2356-5454
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik
adalah < 20 tahun dan > 35 tahun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mardianingsih, 2005 di Rumah Sakit Pringadi,
Medan yang mengatakan bahwa umur 20 – 35
tahun merupakan salah satu indikasi
terjadinya kehamilan ektopik, dengan angka
kejadian 24, 2%.
2. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan
Ektopik ditinjau dari Paritas Ibu
Berdasarkan tabel 2 diatas bahwa dari
hasil
perhitungan
persentase
kejadian
kehamilan ektopik yakni pada paritas 0-1
sebanyak 25 orang (54,3 %), sedangkan yang
terendah yakni pada paritas 2–3 sebanyak 10
orang (23,9%)
Berdasarkan hasil penelitian diatas,
jumlah kehamilan ektopik tertinggi pada
paritas 0 – 1, hal ini disebabkan adanya
kehamilan atau persalinan sebelumnya tidak
ditangani secara medis dengan pelayanan
obstetric yang aman atau pada persalinan
ditolong tenaga non medis.
Paritas 2 – 3 merupakan paritas yang
paling aman, ditinjau dari sudut kematian
maternal, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih
dari 3) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi
kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang
lebih baik, sedangkan risiko pada paritas
tinggi dapat di kurangi atau dicegah dengan
KB. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi
adalah tidak direncanakan. (Manuaba, 2002)
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hestiayuningsih, 2005 di Rumah Sakit Umum
Cibabat-Cimahi yang mengatakan bahwa
paritas 1 dan > 3 merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik,
dengan angka kejadian 20, 8 %.
3. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan
Ektopik ditinjau dari Riwayat Abortus
Berdasarkan tabel 3 diatas bahwa dari
hasil perhitungan persentase riwayat abortus
ibu yang mengalami kehamilan ektopik
relative lebih tinggi pada ibu yang mengalami
Hal | 20
Nomor 01 Tahun 2011
abortus (abortus 1-2) yakni 3 orang (6,52%),
sedangkan yang terendah yakni abortus ≥ 3
sebanyak 1 orang (2,16%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Abdullah, 2006 dengan jumlah
kehamilan ektopik dengan riwayat abortus 1-2
hal ini disebabkan adanya kegagalan
kehamilan yang tidak ditangani secara medis
dengan pelayanan obstetric yang tidak aman
dan berlebihan.
Hal ini didukung oleh teori Adam et
al, yang menyebutkan bahwa apabila abortus
terjadi lebih dari satu kali akan memperbesar
terjadinya kehamilan ektopik. Karena risiko
ini akan berubah menjadi dua kali lipat setelah
menjalani abortus dengan induksi, kenaikan
risiko ini kemungkinan terjadi akibat
peningkatan yang kecil tetapi bermakna pada
insidensi salpingitis. (Cuningham, 2002)
Kejadian kehamilan Ektopik dengan
riwayat abortus perlu menjadi perhatian
semua pihak, mengingat akibat yang akan
ditimbulkan karena kasus tersebut merupakan
masalah penting yang berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas ibu.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang
Karakteristik Ibu dengan Kasus Kehamilan
Ektopik (KET) pada Ibu Di RSUD Propinsi
Jawa
Barat
Tahun
2007-2009
maka
disimpulkan :
1) Berdasarkan
Umur
ibu,
hasil
perhitungan
persentase
kejadian
kehamilan ektopik kelompok umur 20
– 35 tahun relative lebih tinggi yakni
40 orang (86,9 %), sedangkan yang
terendah kelompok umur > 35 yakni 4
orang (8,6%).
2) Berdasarkan
Paritas,
hasil
perhitungan
persentase
kejadian
kehamilan ektopik yakni pada paritas
0-1 sebanyak 25 orang (54,3 %),
sedangkan yang terendah yakni pada
paritas 2–3 sebanyak 10 orang (23,9%)
3) Berdasarkan Riwayat abortus, hasil
perhitungan
persentase
riwayat
abortus
ibu
yang
mengalami
kehamilan ektopik relative lebih tinggi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
pada ibu yang mengalami abortus
(abortus 1-2) yakni 3 orang (6,52%),
sedangkan yang terendah yakni
abortus ≥ 3 sebanyak 1 orang (2,16%).
Saran
1) Adanya penyuluhan dan pendekatan
oleh tenaga kesehatan khususnya
bidan tentang faktor risiko tinggi
suatu kehamilan dan penyebab
penyulit persalinan yang antara lain
adalah ibu berumur dibawah 20 tahun
dan lebih dari 35 tahun. Oleh karena
itu, ibu hamil tersebut sebaiknya rajin
melakukan pemeriksaan ANC.
2) Perlu adanya penyuluhan yang efektif
dari petugas kesehatan khususnya
bidan
atau
dokter
dalam
meningkatkan
pentingnya
pemeriksaan
kehamilan
(ANC),
khususnya pada ibu dengan riwayat
abortus dalam upaya mencegah
terjadinya hal-hal yang beresiko
kemungkinan dapat terjadi pada ibu
hamil.
3) Perlu adanya kebijakan tenaga
kesehatan khususnya bidan kepada
masyarakat untuk mengatur jarak
kehamilan dengan cara mengikuti
program keluarga berencana (KB)
REFERENSI
Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF.
2002. William Obstetri. 18th edition
Jakarta : EGC.
ISSN: 2356-5454
Depkes RI, 2008. Laporan BPS Kesehatan.
Jakarta.
Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka
Kematian Ibu. Jakarta.
Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Muchtar R, 2002. Sinopsis Obstetri Jilid I edisi
2. Jakarta ; EGC
Manuaba IBG. 2002. Ilmu Kebidanan Penyakit
Kandungan dan Keluarga Berencana
untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : EGC.
Natsir, M. 1998. Metode Penelitian, Ghalia
Indonesia : Jakarta.
Notoatmodjo S. 2002 Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Mintarsi, 2001. Kematian Maternal dan
Berbagai Faktor terkait di Indonesia
dalam Majalah Kesehatan Masyarakat
Indonesia,
Silvia Verrals, 200. Anatomi Fisiologi Terapan
Dalam Kebidanan, Jakarta : EGC
Saifuddin, AB. 2002. Pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak. Jakarta. EGC.
Saifuddin, AB. 2001. Maternal dan Nenatal
Kealth. Jakarta. EGC.
Sriyono, 2003. Perawatan Ibu dan Antenatal
Anak di Puskesmas. Biro Hukum dan
Humas
Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia.
Winkjosastro H, 2002 : Ilmu Kebidanan,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Winkjosastro H, 2001. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 21
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS)
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
oleh
Yuliati
ABSTRAK
PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga
menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan kesehatan di
masyarakat. Namun saat ini masih banyak pula yang terserang penyakit, akibat tidak
menerapkannya perilaku hidup bersih dan sehat strata rumah tangga. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku hidup bersih dan sehat
strata rumah tangga. Hasil dari penelitian didapatkan sebagian kecil (19,24%) responden memiliki
tingkat pengetahuan baik, hampir setengahnya (36,53%) responden memiliki tingkat pengetahuan
cukup, dan hampir setengah (44,23%) responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan keluarga hampir setengahnya
berpengetahuan kurang. Untuk itu memerlukan saran yang baik antara lain perlunya menambah
pengetahuan bagi masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat strata rumah tangga melalui
tabloid, majalah, media elektronik, serta masyarakat lebih proaktif menambah pengetahuan.
Kata Kunci : Pengetahuan, Kepala Keluarga, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PENDAHULUAN
Sehat adalah karunia Tuhan yang perlu
disyukuri, karena sehat merupakan hak asasi
manusia yang harus dihargai. Sehat juga
investasi untuk meningkatkan produktivitas
kerja guna meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Orang bijak mengatakan bahwa
―Sehat memang bukan segalanya tetapi tanpa
kesehatan segalanya menjadi tidak berarti ‖.
Oleh karena itu kesehatan perlu dijaga,
dipelihara dan ditingkatkan oleh setiap
anggota rumah tangga serta diperjuangkan
oleh semua pihak.
Kebijakan
Indonesia
Sehat
2010
menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan
sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan
bermutu adil dan merata. Untuk mendukung
pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 telah
ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
131/Menkes/SK/II/2004 dan salah satu
Subsistem dari SKN adalah Subsistem
Pemberdayaan
Masyarakat.
Kebijakan
Nasional
Promosi
Kesehatan
untuk
mendukung upaya peningkatan perilaku
sehat ditetapkan Visi Nasional Promosi
Kesehatan
sesuai
Keputusan
Menteri
Hal | 22
Kesehatan
RI.
No.
1193/MENKES
/SK/X/2004 yaitu ―Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat 2010‖ (PHBS 2010). Visi PHBS 2010
adalah keadaan dimana individu-individu
dalam rumah tangga (keluarga) masyarakat
Indonesia telah melaksanakan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) dalam rangka
mencegah
timbulnya
penyakit,
menanggulangi penyakit dan masalahmasalah kesehatan lain, dalam rangka
meningkatkan
derajat
kesehatan,
memanfaatkan pelayanan kesehatan, serta
mengembangkan dan menyelenggarakan
upaya kesehatan bersumber masyarakat
(www.promosikesehatan.com).
Survei
Sosial
Ekonomi
Nasional
(Susenas) tahun 2004 mencatat 35% penduduk
usia 15 ke atas adalah perokok dan sebanyak
99% dari kategori usia itu kurang
mengkonsumsi sayur dan buah. Idealnya,
porsi buah dan sayuran adalah 2-4 atau 3-5,
maksudnya anggota rumah tangga umur 10
ke atas mengonsumsi 2 porsi buah dan 4 porsi
sayur atau 3 porsi buah dan 5 porsi sayur.
Tampaknya porsi ideal ini belum terpenuhi.
Hasil survei pun menunjukkan bahwa 85%
penduduk usia 15 ke atas kurang beraktivitas
fisik. Dari tiga perilaku diatas yaitu merokok,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
gizi dan aktivitas fisik menunjukkan bahwa
indeks skala kesehatan masyarakat Indonesia
sangat
rendah.
(http://www.tabloidnakita.com).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2006, menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada anak balita mencapai
337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 1.000
anak perempuan. Pada usia 5-14 tahun
mencakup 428 per 1.000 anak lelaki dan 492
per
1.000
anak
perempuan
(http://www.suaramerdeka.com).
Secara keseluruhan, perilaku tidak sehat
tentunya berisiko mengundang datangnya
berbagai penyakit. Tidak mustahil bila kasuskasus penyakit akibat perilaku tidak sehat
seperti penyakit jantung koroner, diebetes tipe
II, hipertensi, dan obesitas masih banyak
ditemukan. Penyakit infeksi ini lebih banyak
dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan
yang buruk seperti akses air bersih yang
masih belum dinikmati semua lapisan dan
jamban sehat yang juga belum dipunyai setiap
rumah tangga, hingga akhirnya memperburuk
keadaan kesehatan pada rumah tangga
(Rahmat, 2004). Selain dipengaruhi oleh
perilaku dan sanitasi lingkungan, kesehatan
masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat
ekonomi sosial dan pendidikan. Semakin
rendah
tingkat
ekonomi,
sosial
dan
pendidikan seseorang maka semakin rendah
status kesehatannya (Balitbang Depkes RI,
2004).
Kegiatan promosi kesehatan tingkat
Provinsi dalam upaya pencapaian visi PHBS
2010 yaitu berfokus dalam pengembangan
pemetaan PHBS dan intervensinya dalam
upaya pencapaian 37 % rumah tangga sehat (
pemetaan PHBS rumah tangga sehat,
pengembangan dan pengadaan media PHBS
rumah tangga, pelatihan pemetaan rumah
tangga sehat, serta pelatihan Metode dan
tehnik), pengembangan dan pengadaan media
penanggulangan masalah kesehatan, advokasi
pada penentu kebijakan di tingkat provinsi
tentang
program
Promkes,
advokasi
percepatan pencapaian rumah tangga sehat
dengan
Bupati,
pengembangan
media
ISSN: 2356-5454
tradisional, penyusunan profile promosi
kesehatan, pengembangan model Promkes,
pelatihan pengembangan masyarakat dalam
PKMD,
sosialisasi
Kepmenkes tentang
Promosi Kesehatan Daerah dan orientasi
promkes, konferensi promkes 2006, forum
koordinasi, dan dukungan administrasi dan
operasional
program
(www.promosikesehatan.com).
Presentase data rumah tangga sehat di
Kab. Bandung pada tahun 2005 hanya 4,2 %
padahal target Depkes 2005 adalah 30 % dan
2007 adalah 44 %, walaupun pengkajian PHBS
sudah dilakukan secara serentak pada awal
tahun 2005 di wilayah Kab. Bandung. Dari
survei cepat PHBS yang dilakukan Suku Dinas
Kesehatan Masyarakat tahun 2005, didapat
data bahwa rumah tangga di Kab. Bandung
yang mencuci tangan dengan sabun sebesar
84,4%, mengkonsumsi air yang sudah
dimasak sebesar 84,4%, menggunakan jamban
sendiri 96,1%, menggunakan sarana air bersih
98,7%, mempunyai tempat sampah 88%, SPAL
90,3%, ventilasi 90,9% dan kepadatan hunian
layak 81,3%. Kondisi PHBS terburuk terdapat
di wilayah Kelurahan Bukit duri. Dari survei
tersebut terlihat hanya 6,7% yang mencuci
tangan dengan sabun, 77,8% memiliki jamban
sendiri, yang mengkonsumsi air yang sudah
dimasak 86%, memiliki tempat sampah hanya
28,2%, sarana air bersih 82,6%, memiliki SPAL
90,3%, ventilasi 90,9% dan kepadatan hunian
yang layak hanya 31,5% (Sudin Kesmas Jaksel,
2005).
Berdasarkan laporan SP2TP Tahun 2007
Sudin Kesmas Kab. Bandung, penyakit infeksi
berbasis lingkungan (ISPA, penyakit kulit
alergi, dan diare) serta hipertensi termasuk
dalam sepuluh penyakit terbanyak di daerah
kab. Bandung. Dari sepuluh penyakit tersebut,
ISPA berada pada urutan pertama, penyakit
kulit infeksi pada urutan kelima, hipertensi
urutan ke enam, penyakit kulit alergi pada
urutan ke tujuh, dan diare pada urutan ke
delapan (Sudin Kesmas Jaksel, 2008).
Pelaksanaan program Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat dikelompokkan menjadi 5
tatanan yaitu tatanan rumah tangga, intitusi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 23
jikk
ISSN: 2356-5454
pendidikan, instansi kesehatan, tempat kerja
dan tempat umum. Dari beberapa tatanan
PHBS tersebut, rumah tangga merupakan
tatanan awal dari pelaksanaan PHBS karena
rumah
tangga
merupakan
kelompok
masyarakat terkecil yang paling dekat dengan
individu. Oleh karena itu hendaknya
pelaksanaan PHBS di tatanan rumah tangga
mendapat perhatian besar agar dapat berjalan
maksimal. PHBS pada tatanan rumah tangga
memiliki 7 indikator perilaku dan 3 indikator
lingkungan. Indikator perilaku terdiri dari
tidak merokok di dalam rumah, makan buah
serta sayur setiap hari, pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan, penimbangan bayi dan
balita, mencuci tangan pakai sabun,
memberikan ASI Eksklusif dan melakukan
aktifitas fisik minimal 30 menit secara rutin.
Indikator lingkungan meliputi penggunaan
jamban keluarga, air bersih, dan memberantas
jentik nyamuk (Depkes RI, 2007).
Dalam rumah tangga ibu mempunyai
peran yang sangat besar dalam memberi
contoh, teladan, pendidikan di suatu keluarga
daripada ayah (Singgih, 1991). Ibu juga lebih
mendominasi dalam hal pengaturan menu
makanan dan menjaga kebersihan rumah,
termasuk didalam memberikan pendidikan
kesehatan di keluarga, seperti menanamkan
PHBS karena pendidikan kesehatan dapat
berlangsung di keluarga (Notoatmodjo, 2003).
Sebagian besar masyarakat Kelurahan
Bukit Duri yang memiliki tingkat PHBS
terburuk di kab. Bandung tinggal di bantaran
kali, rumah berpetak-petak dan tingkat sosial,
ekonomi dan pendidikan yang rendah.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dapat juga
ditemukan di RW04 Kelurahan Patrolsari kab.
Bandun. Berdasarkan laporan kunjungan pada
Puskesmas Patrolsari Tahun 2007, ISPA
menempati urutan pertama dari sepuluh jenis
penyakit terbanyak dengan jumlah 7.128
kasus (25,55%), penyakit kulit infeksi urutan
ke empat (4,72%), dan diare urutan ke delapan
(1,75%) (Puskesmas Patrolsari : 2008). Hal
yang sama juga dijumpai di klinik Mer-C yang
membuka pelayanan kesehatan untuk warga
miskin di RW04 Kelurahan Patrolsari.
Berdasarkan laporan kunjungan pasien di
Hal | 24
Nomor 01 Tahun 2011
klinik Mer-C, bahwa selama Bulan Juni –
Agustus 2007 keluhan terbesar pasien adalah
infeksi saluran pernapasan atas. Ditambah lagi
dengan banyaknya anak balita yang berstatus
gizi buruk di RW04 sebanyak 47 anak (PKPU ,
2008).
Atas realita tersebut, maka dalam rangka
membina dan meningkatkan kesehatan
masyarakat, intervensi atau upaya yang
ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat
strategis
untuk
meningkatkan
status
kesehatan masyarakat Kelurahan Patrolsari.
Penulis
tertarik
melakukan
penelitian
terhadap ibu rumah tangga RW04 Kelurahan
Patrolsari mengenai Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat dengan berfokus pada indikator
ASI eksklusif, cuci tangan memakai sabun,
merokok, aktifitas fisik. Indikator lingkungan
yang akan diteliti yaitu penggunaan air bersih,
jamban dan jentik nyamuk.
PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan salah satu usaha
pengorganisasian
masyarakat
untuk
meningkatkan kesehatan karena tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi perilaku
sehat keluarga dengan tingkat pendidikan
yang kurang mendukung akan menyebabkan
rendahnya kesadaran lingkungan, semakin
baik tingkat pendidikan formal sehingga akan
mematangkan
pemahaman
tentang
pengetahuan kesehatan lingkungan dan
kesadaran menjaga kesehatan lingkungan
termasuk penerapan prinsip - prinsip PHBS.
Mubarak (2007) juga menjelaskan bahwa
pendidikan sebagai suatu proses dalam
rangkaian mempengaruhi dan dengan
demikian akan menimbulkan perubahan
perilaku pada diri nya, karena tidak dapat
dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula mereka
menerima informasi kesehatan. Sebaliknya
jika seseorang yang tingkat pendidikannya
rendah, akan menghambat perkembangan
seseorang terhadap penerimaan, informasi
kesehatan dan nilai – nilai baru yang
diperkenalkan.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Kusumawati, et. al (2008) menjelaskan bahwa
ada hubungan antara pendidikan dengan
perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini juga
sesuai dengan hasil penelitian Zaahara dalam
Kusumawati, et. al (2008) yang juga
mengemukakan bahwa status sosial ekonomi
yang didalamnya termasuk pendidikan
mempunyai hubungan dengan perilaku hidup
bersih dan sehat. Adanya keterkaitan antara
pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan
sehat mempunyai hubungan yang signifikan
dengan tingkat kesehatan. Makin tinggi
tingkat pendidikan semakin mudah menerima
konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif
dan berkesinambungan. Hasil penelitian
Amalia
(2009)
menyebutkan
adanya
hubungan yang sangat signifikan antara
tingkat pendidikan dengan PHBS.
Pengetahuan
dapat
membentuk
keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut
dengan pengetahuan kesehatan lingkungan
yang baik diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya
menciptakan kondisi lingkungan yang sehat,
sehingga dapat memutuskan rantai penularan
penyakit melalui lingkungan serta perilaku
hidup bersih dan sehat agar tidak mudah
tertular penyakit. Mubarak (2007) menjelaskan
bahwa sebuah perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langeng dari pada
perilaku
yang
tidak
didasari
oleh
pengetahuan, sebab perilaku ini terjadi akibat
adanya
paksaan
atau
aturan
yang
mengharuskan untuk berbuat. Salah satu
wujud dari perilaku adalah pengetahuan.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Kusumawati, et. al (2008) menjelaskan bahwa
ada hubungan pengetahuan kesehatan
lingkungan dengan perilaku hidup bersih dan
sehat dan juga hasil penelitian Resminawati
(2010) yang menjelaskan adanya hubungan
pengetahun kepala keluarga dengan PHBS
kepala keluarga tetapi hal ini tidak sesuai
dengan hasil dari penelitian Effendi, et. al
(2004) yang menjelaskan bahwa tidak ada
hubungan
yang
bermakna
antara
ISSN: 2356-5454
pengetahuan dengan perilaku hidup bersih
dan sehat.
Di dalam lingkungan pekerjaan dapat
menjadikan seseorang memperoleh informasi
kesehatan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Perilaku Hidup Bersih dan sehat
keluarga tidak hanya diukur dari aspek fisik
dan mental saja, tetapi juga diukur dari
produktivitasnya dalam arti mempunyai
pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi
sehingga diharapkan dapat lebih mendorong
atau memfasilitasi keluarga untuk PHBS.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Zaahara dalam Kusumawati, et. al (2008) yang
menjelaskan jenis pekerjaan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan perilaku
hidup bersih dan sehat dalam keluarga. Makin
tinggi status sosial ekonomi yang meliputi
jenis pekerjaan, maka makin tinggi pula
semakin baik perilaku hidup bersih dan sehat
dalam keluarga, dan sebaliknya semakin
rendah makin buruk perilaku hidup sehatnya.
Bertambahnya umur seseorang akan
terjadi perubahan perilaku dan dengan
bertambahnya umur seseorang akan sulit
menerima informasi, mereka kurang aktif,
mudah terserang penyakit dan cederung
mengabaikan PHBS. Menurut Suryanto dalam
Wantiyah (2004) mengatakan bahwa usia
muda lebih mudah menerima informasi dan
lebih bersifat dinamis dibandingkan usia tua
sehingga lebih mudah menerima perubahan
perilaku. Disamping itu pada usia dewasa
muda apabila dilihat dari perkembangan
kongnifnya maka kebiasaan berfikir rasional
mereka meningkat, juga biasannya mereka
cukup aktif dan jarang menerima penyakit
yang berat.
PENUTUP
Kesimpulan
dalam
adalah sebagai berikut :
penelitian
ini
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Hubungan Penerapan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah
Tangga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan Kejadian Diare pada
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 25
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
Balita Hal ini terlihat dari hasil uji statistik
Chi Square didapatkan nilai p value > α
(0,05) yaitu p = 0,677 yang berarti bahwa
Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara Penerapan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga
dengan Kejadian Diare
Depkes RI. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Depkes
RI
Saran yang peneliti ajukan
dapat dipertimbangkan adalah :
Dinkes
Sragen.
2010.
Laporan Hasil
Pelaksanaan Kegiatan PHBS Kabupaten
Sragen th 2010. Sragen: Dinkes Sragen
untuk
Diharapkan kepada masyarakat agar
lebih aktif mencari informasi kesehatan
yang berhubungan dengan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah
Tangga agar mereka memiliki pengetahuan
yang baik tentang Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga
dan akan termotivasi untuk melakukan atau
menerapkannya
di
dalam Rumah
Tangganya sehingga Kejadian Diare pada
Balitanya dapat dicegah.
Instansi
Puskesmas
agar
dapat
memberikan informasi tentang Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan
Rumah Tangga pada masyarakat melalui
penyuluhan maupun penempelan poster
atau penyebaran leaflet agar masyarakat
dapat mengetahui dan melaksanakan atau
menerapkannya dalam Rumah Tangga
mereka sehingga timbulnya Kejadian Diare
pada Balita dapat dicegah.
REFERENSI
Amalia,
I.
2009.
Hubungan
Antara
Pendidikan, Pendapatan, dan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Pada
Pedagang HIK Di Pasar Kliwon dan
Jebres Kota Surakarta. Skr ipsi
Dinkes Jateng. 2010. Pedoman Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah
Tangga. Semarang: Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah
Effendi, L., Umami, R. 2004. Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Pada SD Negeri
Cikeusal Kidul 01 Ketanggungan Jawa
Tengah tahun 2004. Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan. Vol.1,No.2, Juli 2005
Harwinta. 2008. Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Perilaku Hidup
Bersih Dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah
Tangga Dilokasi Proyek Kesehatan
Keluarga Dan Gizi (KKG) Kebupaten
Tapanuli Selatan 2004. Tesis Program
Studi
Magister
Administrasi
dan
Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatra
Utara
Kusumawati, Y., Astuti, D., Ambarwati. 2008.
Hubungan antara Pendidikan dan
Pengetahuan Kepala Keluarga tentang
Kesehatan Lingkungan dengan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jurnal
Kesehatan
Masyarakat.
Vol.
1,
No.1.Juni.2008
Mubarak, W. I. 2007. Promosi Kesehatan
Sebuah Pengantar Proses Belajar —
Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Program
Studi
Kesehatan
Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Surakarta
Budioro, B. 2007. Pendidikan (Penyuluhan)
Kesehatan Masyarakat. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Hal | 26
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TRIMESTER III TENTANG HYPNOBIRTHING
oleh
Esti Hitatami
ABSTRAK
Kecemasan yang dialami calon ibu antara lain kecemasan akan mengalami kesakitan pada saat akan
melahirkan anaknya. Ketidaktauan tentang apa yang dialami dalam persalinan menimbulkan banyak
kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran yang akan mengakibatkan ibu hamil mengalami nyeri yang
berlebih saat persalinan. Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan atau nyeri selama
persalinan yaitu intervensi farmakologis dan non farmakologis. Penanggulangan nyeri non
farmakologis yaitu melalui cara-cara ilmiah atau disebut juga terapi alternative, salah satunya dengan
menggunakan hypnobirthing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan
tentang tehnik hypnobirthing pada ibu hamil d Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan metode
survey. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan untuk mengukur
pengetahuan ibu hamil tentang hypnobirthing. Data di analisa secara statistic dengan menggunakan
tehnik deskriptif dengan uji analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan
responden tentang hypnobirthing sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang
kurang sebanyak dengan demikian maka diharapkan ibu hamil mau melaksanakan tehnik
hypnobirthing sebagai salah satu tehnik dalam mengurangi sakit dan nyeri saat persalinan.
Kata Kunci : Kehamilan, hypnobirthing .
PENDAHULUAN
Menurut data statistik yang dikeluarkan
World Health Organization (WHO) sebagai
badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
menangani
masalah bidang kesehatan,
tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) dalam
kehamilan dan persalinan di dunia mencapai
586.000 jiwa setiap tahun (Ayude, 2009).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2008 AKI Indonesia sebesar
307/100.000 kelahiran hidup, mengalami
penurunan
pada
tahun 2009 menjadi
228/100.000 kelahiran hidup. AKI di Provinsi
Jawa
Tengah untuk tahun 2008 sebesar
114,42/100.000 kelahiran hidup, pada tahun
2009
mengalami
peningkatan
sebesar
117,02/100.000 kelahiran hidup dan pada
tahun 2010 mengalami penurunan sebesar
104,97/100.000 kelahiran hidup. AKI tertinggi
di Pemalang sebanyak 48/100.000 kelahiran
hidup dan di Grobogan menempati urutan
kesepuluh dari 35 Provinsi di Jawa Tengah
tahun 2009 sebanyak 18/100.000 kelahiran
hidup. Target
Millenium Development
Goal‘s (MDG‘s) pada tahun 2015 yaitu 102 per
100.000 kelahiran hidup, tetapi sampai tahun
2010 hal tersebut belum terpenuhi karena AKI
di Indonesia masih tinggi (Dinkes RI, 2010).
Kematian ibu diwarnai oleh hal-hal nonteknis
yang masuk kategori penyebab mendasar,
seperti taraf pengetahuan, sikap, dan perilaku
ibu hamil yang masih rendah (Prawirohardjo,
2002). Kehamilan merupakan peristiwa dan
pengalaman penting dalam kehidupan
seorang wanita. Namun, sebagaimana tahap
transisi lain dalam fase kehidupan, peristiwa
itu dapat pula menimbulkan stres, sehingga
respon yang terjadi dapat berupa kebahagiaan
maupun sebaliknya, seperti kecemasan dan
juga kekecewaan (Pusdiknakes, 2003).
Metode hipnosis yang dapat dilakukan
mulai masa kehamilan dapat
membantu
menurunkan tingkat kecemasan
dan
ketakutan. Dasar dari metode ini sebenarnya
sudah dikenal dalam salah satu management
nyeri nonfarmakologi yang dikenal sebagai
imajinasi terbimbing yang dikembangkan
dengan berbagai teknik salah satunya adalah
hipnosis. Teknik hipnosis dapat membantu
merilekkan otot-otot sehingga ibu terhindar
dari kecemasan dan dapat membantu ibu
lebih tenang dalam menghadapi persalinan.
Teknik hipnosis merupakan salah satu cara
yang dapat di aplikasikan oleh ibu hamil
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 27
jikk
ISSN: 2356-5454
untuk
memperoleh
ketenangan
saat
menghadapi
kehamilan dan persalinan
(Bramantyo, 2003).
Persalinan dengan metode hipnosis
dalam kehamilan dan persalinan disebut
hypnobirthing. Hypnobirthing merupakan
kombinasi antara proses kelahiran alami
dengan hipnosis untuk membangun persepsi
positif dan rasa
percaya diri serta
menurunkan ketakutan, kecemasan, tegang
dan panik sebelum, selama dan setelah
persalinan.
Hypnobirthing merupakan
sebuah paradigma baru dalam pengajaran
melahirkan secara alami. Teknik ini mudah
dipelajari,
melibatkan
relaksasi
yang
mendalam, pola pernapasan lambat dan
petunjuk cara melepaskan endorfin dari
dalam tubuh (relaksan alami tubuh) yang
memungkinkan calon ibu menikmati proses
kelahiran yang aman, lembut, cepat dan
tanpa proses pembedahan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi
bahwa rendahnya pengetahuan ibu tentang
metode hipnosis pada ibu hamil dan bersalin
berdampak pada sikap ibu yang kemudian
akan berpengaruh terhadap perilaku ibu
dalam melakukan metode hipnosis pada
kehamilan. Status kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah sikap
seseorang itu merespon suatu penyakit. Sikap
dapat digunakan untuk memprediksikan
tingkah laku apa yang mungkin terjadi.
Dengan demikian sikap dapat diposisikan
sebagai suatu predisposisi tingkah laku yang
akan tampak aktual apabila kesempatan
untuk menyatakan terbuka luas (Azwar,
2005).
PEMBAHASAN
Hypno-birthing adalah teknik yang
menyenangkan, santai dan bebas stres. Ini
merupakan metode dari melahirkan yang
didasarkan pada keyakinan bahwa ketika
seorang ibu benar siap untuk melahirkan
secara fisik, mental dan spiritual, ibu dapat
mengalami sukacita dan mampu melahirkan
bayinya dengan lebih mudah, lebih nyaman.
Selanjutnya, kelahiran sering bebas rasa sakit.
Hypno-birthing mengajarkan seni melahirkan
dengan cara yang memungkinkan untuk
Hal | 28
Nomor 01 Tahun 2011
memanfaatkan
naluri
alamiah
untuk
melahirkan.
Hypno-birthing
menekankan
menggunakan pikiran untuk mencapai
keadaan relaksasi dan menghilangkan rasa
takut, ketegangan dan nyeri selama persalinan
dan kelahiran. Konsep Hypno-birthing
bukanlah hal yang baru, tetapi adalah
―kelahiran kembali‖ dari filsafat melahirkan
sebagaimana yang ada ribuan tahun yang lalu.
Dr Grantly Dick-Read adalah seorang
dokter
Inggris
yang
percaya bahwa
perempuan mengalami rasa sakit melahirkan
adalah psikologis dan karena kekhawatiran
tentang proses persalinan. Hal ini disebabkan
apa yang disebut sindrom ketakutanketegangan-sakit. Dia percaya bahwa jika
takut dapat dikurangi, akan mengurangi
ketegangan dan rasa sakit bisa diperkecil. Dia
adalah salah satu dokter pertama yang
membawa suami ke ruang persalinan dan
dokter
pertama
yang
menganjurkan
―melahirkan normal‖ pada 1020 itu. Dalam
bukunya Melahirkan tanpa Rasa takut yang
diterbitkan pada 1944, ia menjelaskan Hypnobirthing sebagai relaksasi nyata — keadaan
ini, biasanya dialami sebelum jatuh tertidur.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa
hampir
tidak
mungkin
untuk
mengkhawatirkan sesuatu. jika ibu benarbenar santai, maka termasuk otot rahim pun
juga akan santai. Dr Dick-Read setuju dengan
Dr Odent bahwa tanpa rasa takut dan
ketegangan, sakit parah tidak harus terjadi
dan mengiringi dalam prose melahirkan.
Pikiran / Tubuh aspek metode Hypnobirthing berasal dari Mind / Body program
untuk penyembuhan penyakit dikembangkan
oleh Carl O. MD Simonton Dr Leclaire O‘Neill
PhD, RN bekerja dengan Dr Simonton selama
10 tahun. kemudian dikembangkan oleh
Marie F. Mongan pada tahun 1989 juga
dikenal
sebagai
Hypno-birthing,
yang
menggabungkan karya Dr Dick-Read dengan
metode Leclaire. Dan di Indonesia pertama
kali di kembangkan oleh seorang bidan
bernama Lanny Kuswandi.
Kelas Hypno-birthing adalah biasanya
dikemas dalam seri 3-5 kelas dan mengikuti
pola dasar melahirkan kelas-kelas lain, dengan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
bagian dari program yang ditujukan untuk
pendidikan dan bagian lain yang ditujukan
untuk demonstrasi dan praktek latihan.
Meskipun belum tersedia di beberapa daerah,
kelas menjadi semakin populer di seluruh
negara. Sebagaimana dengan semua metode,
pendidikan tentang melahirkan disertakan.
Penekanan dari kelas-kelas adalah pada teknik
self-hypnosis untuk mencapai relaksasi yang
mendalam, fokus pada pernapasan perut, dan
latihan dengan kondisi tubuh untuk
melahirkan. kelas ini ditawarkan dalam
berbagai format (mis. akhir pekan, kelas
mingguan, dll) Saat anak Anda lahir dengan
Hypno-birthing, Anda akan terjaga dan
waspada dalam keadaan pikiran relaks. Anda
tidak akan tertidur, tapi Anda akan benarbenar santai, tetapi dalam kontrol penuh.
Anda akan mengalami persalinan dalam
suasana relaksasi tenang, bebas dari rasa takut
dan ketegangan yang dinyatakan akan
menghalangi Anda dari otot berfungsi secara
bebas dan alami. Dalam keadaan tenang,
anestesi alami tubuh Anda, endorfin,
menggantikan hormon terkait stres yang
menyebabkan penyempitan dan nyeri. Anda
akan menyadari sensasi tubuh Anda dan
lonjakan, namun akan dapat menentukan
sejauh mana Anda merasa gelora.
Bagian lain dari kelas mengajar teknik
hypnosis diri dan rasa takut teknik rilis, untuk
mengatasi ketakutan atau kekhawatiran
bahwa orang tua baik dapat memegang, dan
membantu mereka untuk melepaskan rasa
takut yang tidak didasarkan pada realitas.
Hypno-birthing membantu untuk melepaskan
semua ketakutan akan melahirkan. Ibu hamil
akan belajar bagaimana untuk mempercayai
tubuh dan bekerja dengannya.
Hal-hal yang perlu di pelajari:
a. Relaksasi dan teknik self-hypnosis untuk
menghilangkan rasa takut dan
ketegangan yang menyebabkan proses
persalinan yang panjang dan rasa sakit,
menggantikannya dengan kepercayaan
diri, tenang dan nyaman.
b. teknik lain untuk menghasilkan proses
persalinan yang lebih pendek, lebih
nyaman.
c. Penciptaan anestesi alami tubuh.
ISSN: 2356-5454
d. Bagaimana tubuh ibu dirancang untuk
bekerja secara harmonis dengan alam
neuromuskuler seluruh proses
persalinan.
e. Praktek di relaksasi yang mendalam
f. Diajarkannya caranya bonding pralahir,
ikatan perinatal dan postnatal.
g. Bagaimana pikiran menentukan apa dan
ketika tubuh merasa sesuatu.
h. relaksasi dan visualisasi
i. Relaksasi dan ideomotor respon
j. Mempersiapkan tubuh untuk melahirkan
k. Menghindari untuk berurusan dengan
keadaan khusus
l. Bagaimana mempersiapkan rencana
melahirkan
m. Peran pendamping selama persalinan
n. Seluruh tahapan proses kelahiran.
o. Beberapa audio / visual alat yang
digunakan serta rekaman self-hypnosis.
Instruktur Hypno-birthing menggunakan
bahasa yang menggambarkan pengalaman
melahirkan adalah dengan cara yang lembut,
sehingga menciptakan citra positif yang lebih
dalam pikiran. Kelahiran menggunakan
hipnoterapi tidaklah sebuaah proses Kelahiran
yang bebas dari sensasi. Mungkin ada
perasaan
tekanan,
pengetatan
atau
pembakaran – namun akan melakukan
sesuatu. Dengan membiarkan tubuh untuk
mengikuti jalan yang ditetapkan dari awal
waktu, bayi lahir lebih waspada; ibu lebih
dienergik, dan memulihkan lebih cepat.
1.
Manfaat Hypnosis selama kehamilan,
persalinan dan seterusnya
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
pada tahun 1990 dalam Journal of Konseling
dan Klinis Psikologi, peneliti mengamati dua
kelompok ibu hamil. Satu kelompok dilatih di
napas teratur dan teknik relaksasi sementara
kelompok kedua adalah dilatih dalam teknik
Hypno-birthing.
Temuan
menunjukkan
perbedaan statistik yang signifikan antara
kelompok perempuan. Para wanita Hypnobirthing memiliki persalinan yang lebih
pendek, lebih sedikit permintaan untuk obatobatan, laporan lebih sedikit rasa sakit, dan
bayi mereka menunjukkan skala yang lebih
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 29
jikk
ISSN: 2356-5454
tinggi pada pembacaan Apgar setelah lahir.
Selain itu, ibu Hypno-birthing melaporkan
insiden lebih sedikit depresi dan periode
pemulihan lebih cepat setelah melahirkan ―.
Menghilangkan sindrom Fear-TensionPain sebelum, selama, dan setelah melahirkan.
Takut merangsang produksi hormon stres
dalam tubuh (katekolamin), hormon ini
menyebabkan rahim untuk menegangkan dan
darah mengalir ke kaki meninggalkan uterus
dan organ lain dengan oksigen tidak cukup,
ini pada gilirannya menyebabkan rahim
menjadi kekurangan oksigen menyebabkan
untuk bekerja tidak efektif dan menyebabkan
rasa sakit. Ketika kita berada dalam ketakutan,
kita bereaksi dan rasa sakit akan yang lebih
kita rasakan. Pada dasarnya, rahim anda tidak
hanya mempunyai satu otot besar saja, namun
rahim terbuat dari dua lapisan otot dengan
dua arah yang berbeda.
Satu lapisan dari atas ke bawah dan satu
lapisan lagi dari sisi samping. Selama proses
persalinan otot yang mengarah ke atas dan
bawah bertugas untuk mendorong bayi
kebawah dan menarik leher rahim keatas. Dan
setelah bayi Anda lahir ma otot di masingmasing sisi menarik otot di leher rahim.
dengan adanya hormone adrenalin akibatnya
satu sisi otot mencoba membuka leher rahim,
sementara satu lapisan otot mencoba untuk
menutup leher rahim. Hal ini membuat proses
persalinan
menjadi
sangat
panjang,
menyakitkan
dan
tidak
produktif.
pengalaman rasa sakit seorang wanita saat
bersalin akan menambah semakin stress
wanita tersebut, dan akhirnya dia merasa
lebih takut dan lebih sakit lagi. Ini adalah
lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan,
padahal sebenarnya tubuh seorang wnita
dirancang sempurna untuk proses melahirkan
bayi dengan mudah, lembut dan nyaman.
Hipnosis
memberdayakan
kita
untuk
menghilangkan rasa takut, ketegangan, nyeri
dan siklus kecemasan, yang pada gilirannya
melemaskan otot-otot rahim,
sehingga
mengurangi rasa sakit. Akhirnya, hypnosis
memungkinkan
seorang
wanita
untuk
melahirkan lebih nyaman dan memungkinkan
ikatan yang lebih baik dengan bayi menjadi
lebih santai, menyenangkan dan berenergi.
Hal | 30
Nomor 01 Tahun 2011
2.
Melahirkan dengan Hipnosis
a. Memperpendek Kala I
Abramson dan Heron melakukan
penelitian terhadap 100 ibu hamil yang dilatih
hypno-birthing dan ternyata temuan yang
diperoleh mereka mengalami pemendekan
durasi kala I persalinan (3,23 jam)
dibandingkan dengan kelompok control
sebanyak 88 ibu hqamil. 45 ibu yang pertama
kali menggunakan hypno-birthing saat
bersalin memiliki rata-rata 4,5 jam untuk kala I
fase Aktif. Abramson, M., & Heron, Sebuah
evaluasi obyektif WT ‗hipnosis dalam
kebidanan: Laporan Pendahuluan.
Jenkins dan Pritchard, Journal Obstetri
dan Ginekologi American, 1950. Melakukan
penelitian juga tentang Hypnosis untuk
Melahirkan: pendidikan prenatal dan output
proses persalinannya. diterbitkan, Juni 2001.
Dalam studinya dari 262 subyek dengan 600
kontrol yang dilakukan oleh, ditemukan
bahwa lama kala I berkurang hingga 3 jam
untuk ibu yang pertama kalinya melahirkan
(primigravida) dan 1 jam untuk wanita yang
sudah berpengalaman dalam melahirkan
(Multigravida). Studi lain di Inggris
olehMellegren, A. menemukan pengurangan
yang signifikan secara statistik kali durasi/
panjangnya lama kala I untuk ibu primi dan
secundi gravida:
1) 70 pasien dengan hipnosis: 6 jam 21 menit
2) 70 pasien dengan relaksasi: 9 jam 28
menit
3) 70 kelompok kontrol: 9 jam 45 menit
Menghilangkan atau sangat mengurangi
kebutuhan akan anestesi dan obat kimia untuk
menghilangkan rasa nyeri. Dalam sebuah
penelitian di Inggris, 55% dari 90 pasien (ibu
primi & secundi) tidak membutuhkan obat
untuk menghilangkan rasa sakit. Sedangkan
pada kelompok-kelompok non-hipnosis lain,
hanya 22% dari 90 pasien tidak diperlukan
pengobatan.Dua
buah
penelitian yang
dilaporkan pada 1.000 kelahiran berturutturut: dari 850 wanita yang dilakukan
hypnoanesthesia didapatkan hasil bahwa 58 %
tidak
memerlukan
obat.
Sedangkan
dipenelitian lain pada pasien yang dilakukan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
hypnoanesthesia didapatkan hasil bahwa 79%
persalinan tanpa obat anesthesia.
Review bukti dari Hypnosis untuk
menghilangkan
nyeri
persalinan
dan
melahirkan: Sebuah review sistematik dari
British Journal of Anaesthesia, dirilis pada
bulan Juli / Agustus 2005. Review ini dinilai
merupakan penelitian terbaik yang tersedia
tentang efek hipnosis untuk nyeri persalinan.
dari 4 percobaan acak terkontrol dan 2
perbandingan
non-acak
dengan
1102
perempuan untuk menilai hipnosis. kelompok
Hipnosis mengalami penurunan penggunaan
obat nyeri dan co-intervensi, lebih baik, jika
dibandingkan dengan perawatan biasa. Studi
tersebut juga melaporkan bahwa tidak ada
efek yang merugikan/ negative dari
penggunaan hypnosis saat melahirkan.
b. Posisi bayi sungsang dapat diubah
dengan menggunakan hipnosis.
Seorang peneliti di University of
Vermont, Burlington, Amerika Serikat,
digunakan hipnosis pada 100 wanita hamil
yang bayinya berada dalam posisi sungsang
antara 37 dan 40 minggu kehamilan. Para
wanita menerima hipnosis dengan saran-saran
untuk relaksasi umum dan pelepasan
ketakutan dan kecemasan. 81% dari bayi di
kelompok hypnosis ternyata bayinya berubah
ke posisi verteks, sedangkan pada kelompok
control hanya 48%. Hypnosis paling efektif
untuk perempuan yang termotivasi untuk
menggunakan teknik ini. Selain melibatkan
teknik visualisasi , relaksasi hipnosis dapat
membantu Anda untuk merilekskan otot-otot
di rahim dan sekitar perut sehingga cukup
atau memungkinkan bayi untuk mengubah
posisinya. Lewis E. Mehl, MD, PhD (1994)
Archives Kedokteran Keluarga, Vol. 3,
Oktober 1994. Para ahli juga mengatakan
hipnosis
ibu
membantu
meringankan
kecemasan dan ketakutan saat bersalin dan
Sebuah studi oleh Mehl (1994) menunjukkan
hypnosis memiliki tingkat keberhasilan 86%
dalam mengubah presentasi sungsang: 69%
lebih tinggi daripada menjalani perawatan
kebidanan standar
ISSN: 2356-5454
Kebutuhan prosedur invasif seperti
induksi, episiotomy, epidural dan operasi
berkurang drastis.
Menurut penelitian penggunaan hipnosis
untuk membantu dalam persiapan pasien
obstetrik untuk persalinan. Pengurangan
komplikasi, operasi, dan lama rawat di rumah
sakit selain itu hypnosis menunjukkan
manfaat kesehatan langsung kepada ibu dan
anak.
Harmon, Hynan dan Tirus melaporkan
persalinan lebih spontan, Apgar skor yang
lebih tinggi dan menggunakan obat-obatan
minimal dalam penelitian mereka dari 60
perempuan.
c.
Hypno-birthing mencegah morning
sickness.
Waxman (1989) menyatakan bahwa
hipnosis dapat ―sangat berguna‖ dalam
mengurangi mual pagi hari, Sebuah studi oleh
Fuchs et al (1980) dilakukan pada 138 wanita
yang menderita dari ―muntah sangat parah‖
diobati dengan hipnosis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 87 perempuan dari
138 diobati dengan hipnosis:
1) 61 ibu bebas dari muntah-muntah dan
mual
2) 24 ibu bebas dari mual muntah
meskipun beberapa tahap.
3) 1. Ibu gagal.Simon & Schwartz (1999)
merekomendasikan
penggunaan
hipnosis dalam morning sickness
menyebabkan
kehamilan
lebih
nyaman dan janin sehat serta
mencegah hiperemesis gravidarum.
d. Hypnosis dapat digunakan untuk
mengurangi resiko SC.
1) Hypnosis dalam persalinan/ hypnobirthing
membantu
menurunkan
hipertensi hingga 50%
2) Membuat kala I lebih pendek 2-4 jam
3) Menurunkan resiko SC
e. Hypnosis membantu mencegah dan
menyembuhkan Depresi Post partum
Banyak ibu yang tenyata tidak siap untuk
perubahan, beberapa penelitian menunjukkan
hasil yang signifikan bahwa dengan hypnosis
dapat mencegah dan mengobati depresi post
partum.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 31
jikk
ISSN: 2356-5454
f.
Hypnosis membantu meningkatkan
Fertilitas
Hasil penelitian dari Poehl et al (1999)
menyatakan 56,4% wanita yang menerima
terapi psikologis (hipnoterapi, psikoterapi,
dan relaksasi) merekomendasikan bahwa
terapi psikologis harus menjadi aspek
―penting
dari
IVF.‖
Gravitz
(1995)
menemukan tingkat keberhasilan 100% pada
sebuah studi terbatas menggunakan hipnosis
pada ‗infertilitas fungsional‘.
Beberapa cara untuk mengurangi rasa
sakit saat persalinan :
a. Belajarlah untuk mengendurkan otot saat
melahirkan.
Tenang adalah hal yang paling bijak yang
harus Anda lakukan saat bersalin. Tapi apa
yang harus Anda lakukan untuk membantu
kemajuan persalinan Anda adalahsantai
/rileks. Saat Anda Bersantai maka semua otototot lain tetap rileks, sementara hanya otot
rahim anda saja yang berkontyraksi. Ini akan
memudahkan Anda untuk tetap santai dan
mempercepat kemajuan persalinan. Jika ada
ketegangan di mana saja di tubuh anda,
terutama di wajah dan leher, ketegangan ini
akan menyebar ke otot-otot panggul yang
sebenarnya perlu tetap longgar selama
kontraksi. perubahan kimia dalam sebuah
otot, kelelahan akibat ketegangan sebenarnya
menurunkan ambang nyeri otot, dan Anda
lebih menyakitkan. Ketika otot-otot ketat
melawan, kontraksi tanpa henti akan
memaksa rahim Anda, hasilnya adalah rasa
sakit. Lelah otot segera menyebabkan pikiran
yang kelelahan, meningkatkan kesadaran
Anda tentang rasa sakit dan mengurangi
kemampuan Anda untuk mengatasinya.
Nomor 01 Tahun 2011
dalam situasi-situasi yang memerlukan upaya
yang luar biasa, seperti mengejan juga prose
persalinan. Hormon ini sering disebut sebagai
―fight or flight‖ hormon, dan apakah ada
perlindungan tubuh. Selama persalinan tubuh
Anda membutuhkan cukup hormon stres
untuk membantu Anda mengejan, tapi jika
hormon ini di prosuksi terlalu banyak yang
tubuh justru akan membuat Anda menjadi
gelisah dan tertekan, menyebabkan pikiran
dan otot untuk bekerja tidak efisien. hormon
Stres bahkan mungkin mengalihkan darah
dari rahim untuk organ-organ vital dari otak,
jantung, dan ginjal.
3.
b. Belajarlah untuk bersantai untuk
menyeimbangkan hormon Anda untuk
lahir.
Ada hormon membantu persalinan Anda
berlangsung secara efisien. hormon adrenal
(juga disebut hormon stres) memberikan
tubuh Anda kekuatan ekstra yang dibutuhkan
Hal | 32
c.
Tenang untuk meningkatkan endorfin.
Satu jenis hormon juga bekerja untuk
Anda selama persalinan – dan secara alami
menghilangkan rasa sakit-hormon, dikenal
sebagai endorfin. (Kata ini berasal dari
endogen, yang berarti diproduksi di dalam
tubuh, dan morfin, kimia yang menghalangi
rasa sakit). Ini adalah narkotika alami tubuh
Anda, membantu untuk bersantai Anda ketika
Anda sedang stres dan menghilangkan rasa
sakit ketika Anda sakit. asisten fisiologis
tenaga kerja ini diproduksi dalam sel saraf.
Mereka melekat pada situs reseptor rasa sakit
pada sel saraf, di mana mereka menumpulkan
sensasi rasa sakit. latihan berat meningkatkan
kadar endorfin, dan endorfin memasuki
sistem anda secara otomatis selama latihan
berat tenaga kerja, selama Anda tidak
melakukan apapun untuk memblokir mereka.
dengan Bersantai akan memungkinkan
hormon pereda sakit alami inibekerja untuk
Anda. Ketakutan dan kecemasan Anda dapat
meningkatkan tingkat hormon stres dan
melawan efek santai endorfin. Endorfin
merangsang sekresi prolaktin, yang santai dan
―ibu‖ hormon yang mengatur produksi susu
dan
memberikan
dorongan
psikologis
terhadap kenikmatan ibu. Penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat endorphin dapat
dipicu dengan tertawa.
d. Bernapas dengan rileks
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Cobalah untuk rileks, tarik nafas panjang
dan hembuskan sambil melepaskan semua
beban/pikiran,
bisa
dibantu
dengan
mengitung 1-3 saat mengambil nafas,
demikian halnya saat menghembuskan nafas.
Lemaskan otot mulut dan rahang anda,
semakin lemas maka otot vagina pun akan
melemas,
sehingga
mempermudah
pembukaan. tetap tanamkan afirmasi positif
bahwa persalinan ini berjalan cepat, lancar,
tenang, dan nyaman. Ibu yg merasa tenang
saat persalinan dan bernafas secara rileks akan
membantu memasukkan oksigen ke dalam
tubuh yg berpengaruh pada kondisi janin agar
tidak kekurangan oksigen. Dan jangan lupa
berdoa selama proses kehamilan. Karena
seberapa besarpun usaha anda, yang
menentukan adalah Allah.
PENUTUP
Inti dari Hypnobirthing, yaitu agar ibu
hamil menjalani kehamilan dengan tenang,
ikhlas dan nyaman sampai melahirkan. Jadi
Hypnobirthing bagus jika dilatih sejak awal
kehamilan (trimester 1) agar ibu tetap tenang
dan rileks, demi kesehatan ESQ janin. Tetapi
tidak ada kata terlambat jika ibu baru
memulai saat kehamilan di trimester akhir, yg
ISSN: 2356-5454
penting cukup waktu untuk berlatih dan
belum lahir
karena tidak gampang
menyisihkan buat relaksasi, pada intinya
harus ada komitmen antara ibu hamil dengan
bidan pelatih.
REFERENSI
http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/share
d/biblio_view.php?resource_id=2153&ta
b=opac
http://sweetlikestrawberry.wordpress.com/t
ag/hypnobirthing/
http://www.bidankita.com
Azwar, 2005. Penyusunan Skala Pesikologi.
Pustaka Pelajar. Offset cetakan ke V:
Yogyakarta
Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan.
Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.
World Health Organization, Complication of
Abortion, technical and Managerial for
Prevention and Treatment. Geneva:
1995.
Pusdiknakes, 2003
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 33
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, UMUR DAN TINGKAT EKONOMI AKSEPTOR KB
SUNTIK BARU TERHADAP PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK
oleh
Widyastuti
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai jenis masalah yang dihadapi di
Indonesia salah satunya adalah dibidang kependudukan yaitu masih tingginya pertumbuhan
penduduk. Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi
proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per
tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi
pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010 jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di
tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar 241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak ditekan maka
jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 20
penduduk dunia adalah orang Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan
akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat
pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga kesehatan
dan dukungan suami. Peran suami dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain sebagai peserta
Keluarga Berencana (KB) dan mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan
hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb
Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012 dengan metode wawancara dari 10 orang akseptor
lama Keluarga Berencana (KB) suntik, didapatkan hasil 6 orang (60%) tidak mendapat dukungan
suami untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik.
Kata Kunci : Keluarga berencana, akseptor, KB Suntik
PENDAHULUAN
Program Keluarga Berencana Nasional
telah diawali dan dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 1974. Tujuan dari
pemerintah adalah untuk mengurangi jumlah
penduduk dan juga untuk mengurangi
tingkat kematian pada ibu hamil dan bayi
yang dilahirkan. Keluarga Berencana adalah
merupakan suatu perencanaan kehamilan
yang diinginkan untuk menjadikan norma
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dan pada
hakikatnya keluarga berencana adalah upaya
untuk
menjarangkan
kelahiran
dan
menghentikan kehamilan, bila ibu sudah
melahirkan anak yang banyak. Secara tidak
langsung
Keluarga
Berencana
dapat
menyehatkan fisik dan kondisi, sehat ekonomi
keluarga dan meningkatkan kesejahteraan ibu
dan anak (DEPKES RI 2010).
Paradigma baru Program Keluarga
Berencana Nasional telah diubah visinya dan
mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk
Hal | 34
mewujudkan ―Keluarga Berkualitas Tahun
2015‖. Keluarga yang berkualitas adalah
keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,
memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan
kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam paradigma baru Program Keluarga
Berencana ini, misinya sangat menekan
pentingnya upaya menghormati hak-hak
reproduksi, sebagai upaya integral dalam
meningkatkan kualitas keluarga.
Keluarga Berencana (KB) merupakan
salah satu pelayanan kesehatan preventif yang
paling dasar dan utama bagi wanita,
meskipun tidak selalu diakui demikian. Untuk
optimalisasi manfaat kesehatan KB, pelayanan
tersebut harus disediakan bagi wanita dengan
cara
menggabungkan
dan
memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi
utama dan yang lain. Juga responsif terhadap
berbagai tahap kehidupan reproduksi wanita.
Pada saat sekarang ini telah banyak beredar
berbagai macam alat kontrasepsi, khususnya
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
alat kontrasepsi metode efektif yaitu: pil,
suntik, IUD implant. Alat kontrasepsi
hendaknya memenuhi syarat yaitu aman
pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek
samping yang merugikan tidak ada, lama
kerjanya dapat diatur menurut keinginan,
tidak
mengganggu hubungan seksual,
harganya murah dan dapat diterima oleh
pasangan suami istri.
Setiap metode mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Namun demikian, meskipun
telah mempertimbangkan untung rugi semua
kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat
kesulitan untuk mengontrol fertilitas secara
aman, efektif, dengan metode yang dapat
diterima, baik secara perseorangan maupun
budaya pada berbagai tingkat reproduksi.
Tidaklah mengejutkan apabila banyak wanita
merasa bahwa penggunaan kontrasepsi
terkadang problematis dan mungkin terpaksa
memilih metode yang tidak cocok dengan
konsekuensi yang merugikan atau tidak
menggunakan metode KB sama sekali.
Berdasarkan visi dan misi tersebut,
program Keluarga Berencana Nasional
mempunyai kontribusi penting dalam upaya
meningkatkan kualitas penduduk. Kontribusi
Program Keluarga Berencana Nasional
tersebut dapat dilihat pada pelaksanaan
program Making Pregnancy Saver. Salah satu
pesan kunci dalam rencana strategi program
Making Pregnancy Saver (MPS) di Indonesia
2001- 2010 adalah bahwa setiap kehamilan
merupakan kehamilan yang diinginkan.
Indonesia menghadapi masalah dengan
jumlah dan kualitas sumber daya manusia
dengan kelahiran 5.000.000 per tahun. Untuk
dapat mengangkat kehidupan bangsa telah
dilaksanakan
bersamaan
pembangunan
ekonomi dan keluarga berencana yang
merupakan sisi masing-masing mata uang.
Bila gerakan KB tidak dilakukan bersamaan
dengan
pembangunan
ekonomi,
dikhawatirkan hasil pembangunan tidak akan
berarti. Pencegahan kehamilan dan kesakitan
ibu
merupakan
alasan
utama
diberlakukannya Keluarga Berencana. Masih
banyak alasan lain, misalnya membebaskan
ISSN: 2356-5454
wanita dari rasa khawatir terhadap terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan, terjadinya
gangguan fisik atau psikologik akibat abortus
yang
tidak
aman,
serta
tuntunan
perkembangan sosial terhadap peningkatan
status perempuan di masyarakat. Banyak
perempuan yang mengalami kesulitan dalam
menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini
tidak hanya karena terbatasnya metode yang
tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan
mereka tentang persyaratan dan keamanan
metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktorfaktor yang harus dipertimbangkan, termasuk
status kesehatan, efek samping potensial,
konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang
tidak
diinginkan,
keluarga
yang
direncanakan, persetujuan suami bahkan
norma budaya lingkungan orang tua. Untuk
ini semua konseling merupakan bagian
integral yang sangat penting dalam pelayanan
Keluarga Berencana. Tidak ada satupun
metode kontrasepsi yang aman dan efektif
bagi semua klien, karena masing-masing
mempunyai kesesuaian dan kecocokan
individual bagi setiap klien (Saifuddin, 2003).
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang
menjadi pilihan kaum ibu adalah KB suntik,
ini disebabkan karena aman, efektif,
sederhana dan murah. Cara ini mulai disukai
masyarakat kita dan diperkirakan setengah
juta pasangan memakai kontrasepsi suntikan
untuk mencegah kehamilan (Muchtar, 2002).
Berdasarkan data dari Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
yang dibuat pada bulan April 2011 di
temukan data bahwa peserta KB baru yang
dihitung mulai bulan Januari – April 2011
secara nasional sebanyak 2.770.796 peserta
dengan perincian 172.517 (6,23%) peserta IUD,
33.722 (1,220%) peserta MOW, 8.811 (0,32%)
peserta MOP, 168.835 (6,09%) peserta
kondom, 181.136 (6,54%) peserta implan,
1.424.172 (51,40%) peserta suntikan dan
781.603 (28,21%) peserta pil.
Keuntungan yang di dapat pengguna
dari pemakaian alat kontrasepsi suntik adalah
: sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka
panjang, tidak berpengaruh pada hubungan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 35
jikk
ISSN: 2356-5454
suami istri, tidak mengandung estrogen
sehingga tidak berdampak serius terhadap
penyakit jantung, dan gangguan pembekuan
darah, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI,
sedikit efek samping, klien tidak perlu
menyimpan obat suntik, dapat digunakan
oleh perempuan usia > 35 tahun sampai
perimenopause, membantu mencegah kanker
endometrium
dan
kehamilan
ektopik,
menurunkan
kejadian
penyakit
jinak
payudara, mencegah beberapa penyebab
penyakit radang panggul dan menurunkan
krisis anemia bulan sabit (sickle cell)
(Sarwono, 2003).
Hartanto (2004) menyatakan bahwa
pemilihan alat kontrasepsi KB suntik dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya, yaitu : Umur, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, dukungan suami dan
pengetahuan. Umur adalah usia ibu yang
secara garis besar menjadi indikator dalam
kedewasaan dalam setiap pengambilan
keputusan yang mengacu pada setiap
pengalamannya. Tingkat pendidikan turut
menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan
tentang manfaat, kelebihan dan kelemahan
dalam penentuan alat kontrasepsi KB suntik.
Faktor bekerja saja nampak belum berperan
sebagai timbulnya suatu masalah pada
pemilihan alat kontrasepsi yang cocok bagi
mereka. Pada ibu-ibu yang bekerja di luar
rumah cenderung untuk memilih alat
kontrasepsi yang relatif aman, praktis, cepat
dan dapat dilayani di tempat-tempat
pelayanan kesehatan yang terdekat dari
rumah. Pendapatan mempengaruhi kesiapan
keluarga dalam mempersiapakan semua
kebutuhan
keluarga,
pendapatan
juga
berpengaruh pada daya beli seseorang untuk
membeli sesuatu termasuk menentukan jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
Faktor lain yang ikut menentukan
pemilihan alat kontrasepsi adalah faktor
dukungan suami, dimana dukungan tersebut
sangat mempengaruhi ibu dalam pemilihan
alat kontrasepsi yang cocok. dukungan suami
biasanya berupa perhatian dan memberikan
Hal | 36
Nomor 01 Tahun 2011
rasa nyaman serta percaya diri dalam
mengambil
keputusan
tersebut
dalam
pemilihan alat kontrasepsi. Pengetahuan
merupakan faktor yang cukup dominan
dalam pemilihan alat kontrasepsi, informasi
yang di dapat dari ibu baik dari media
maupun kegiatan penyuluhan dan seminar
akan memberikan kemantapan hati dalam
pemilihan alat kontrasepsi (Hartanto, 2004).
Berdasarkan
data
Puskesmas
Kedungmundu
Semarang, pada bulan
Nopember 2010 sampai dengan Januari 2011
terdapat 95 orang akseptor KB Pasangan Usia
Subur (PUS) dengan perincian : KB suntik
sebanyak 45 akseptor (47,57%), KB pil 32
akseptor (34%), implant 6 akseptor (6%), IUD
8 akseptor (9%), MOW 2 akseptor (2%), MOP
1 akseptor (1%), kondom 1 akseptor (1%). Dari
beberapa jenis KB yang ada, KB suntik
merupakan
alat
kontrasepsi
dengan
persentase paling tinggi diantara kontrasepsi
lainnya.
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang dengan berbagai j enis masalah
yang dihadapi di Indonesia salah satunya
adalah dibidang kependudukan yaitu masih
tingginya
pertumbuhan
penduduk.
Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui
bahwa pertumbuhan penduduk melebihi
proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP)
1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan
penduduk 1,49 % per tahun maka setiap
tahunnya
akan
terjadi
pertumbuhan
penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010
jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di
tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar
241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak
ditekan maka jumlah penduduk di Indonesia
pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa.
Ini berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah
orang Indonesia (BKKBN,2011).
Data yang diperoleh dari Bidan Praktek
Swasta
(BPS)
Siti
Aisyah
Amd.Keb
Kendangsari
Surabaya
tahun
2010
menunjukkan hasil pencapaian peserta
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Keluarga Berencana (KB) menurut jenis
kontrasepsi yang paling banyak digunakan
pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah jenis
kontrasepsi suntik. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di Bidan
Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb
Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012
dengan metode wawancara dari 10 orang
akseptor lama Keluarga Berencana (KB)
suntik, didapatkan hasil 4 orang (40%)
terlambat dalam melakukan suntik ulang.
Ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
kepatuhan
akseptor
melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik
antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat
pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas
kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga
kesehatan dan dukungan suami. Peran suami
dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain
sebagai peserta Keluarga Berencana (KB) dan
mendukung pasangan menggunakan alat
kontrasepsi.
Berdasarkan
hasil
studi
pendahuluan yang dilakukan di Bidan
Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb
Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012
dengan metode wawancara dari 10 orang
akseptor lama Keluarga Berencana (KB)
suntik, didapatkan hasil 6 orang (60%) tidak
mendapat dukungan suami untuk melakukan
kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB)
suntik.
Maka dipandang penting diadakan suatu
penelitian tentang pengaruh dukungan suami
terhadap kepatuhan akseptor melakukan
Keluarga Berencana (KB) suntik di Bidan
Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb
Kendangsari Surabaya tahun 2012.
Desain penelitian yang digunakan adalah
analitik dengan pendekatan cross sectional.
Teknik sampling menggunakan simple
random sampling. Jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 63 responden, data
yang dikumpulkan menggunakan kuesioner.
Penelitian ini dilakukan di BPS Siti Aisyah
Amd.Keb Kendangsari Surabaya. Analisis
data menggunakan analisis regresi logistik.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
dukungan suami sedangkan variable terikat
ISSN: 2356-5454
dalam penelitian ini adalah kepatuhan
akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB)
suntik.
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang dengan berbagai j enis masalah
yang dihadapi di Indonesia salah satunya
adalah dibidang kependudukan yaitu masih
tingginya
pertumbuhan
penduduk.
Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui
bahwa pertumbuhan penduduk melebihi
proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP)
1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan
penduduk 1,49 % per tahun maka setiap
tahunnya
akan
terjadi
pertumbuhan
penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010
jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di
tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar
241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak
ditekan maka jumlah penduduk di Indonesia
pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa.
Ini berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah
orang Indonesia (BKKBN,2011).
Data yang diperoleh dari Bidan Praktek
Swasta
(BPS)
Siti
Aisyah
Amd.Keb
Kendangsari
Surabaya
tahun
2010
menunjukkan hasil pencapaian peserta
Keluarga Berencana (KB) menurut jenis
kontrasepsi yang paling banyak digunakan
pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah jenis
kontrasepsi suntik. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di Bidan
Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb
Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012
dengan metode wawancara dari 10 orang
akseptor lama Keluarga Berencana (KB)
suntik, didapatkan hasil 4 orang (40%)
terlambat dalam melakukan suntik ulang.
Ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
kepatuhan
akseptor
melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik
antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat
pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas
kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga
kesehatan dan dukungan suami. Peran suami
dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain
sebagai peserta Keluarga Berencana (KB) dan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 37
jikk
ISSN: 2356-5454
mendukung pasangan menggunakan alat
kontrasepsi.
Dukungan dapat diartikan sebagai satu
diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial
segi fungsionalnya mencakup dukungan
emosional, mendorong adanya ungkapan
perasaan, memberi nasihat atau informasi,
pemberian bantuan material. Sebagai fakta
sosial yang sebenarnya sebagai kognisi
individual atau dukungan yang dirasakan
melawan dukungan yang diterima. Dukungan
sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal
dan atau non verbal, bantuan nyata atau
tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial
atau didapat karena kehadiran mereka dan
mempunyai manfaat emosional atau efek
perilaku bagi pihak penerima (Ninuk, 2007).
Sebagian besar suami menyarankan ibu untuk
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Namun
pada dukungan penghargaan, sebagian besar
suami tidak memberikan semangat untuk ibu
agar melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Pada
dukungan instrumental lebih banyak suami
mengantarkan ibu melakukan kunjungan
ulang Keluarga Berencana (KB) suntik hanya
menunggu diluar klinik dan hanya sebagian
kecil suami mendampingi ibu sampai
kedalam ruang praktek bidan. Pada
dukungan emosional sebagian besar suami
menanyakan bagaimana kondisi kesehatan
ibu setelah melakukan kunjungan ulang
Keluarga Berencana (KB) suntik. Namun
sebagian besar suami dalam dukungan
emosional tidak mendukung seperti suami
tidak pernah mendengarkan keluhan¬keluhan
yang ibu sampaikan selama menggunakan
Keluarga Berencana (KB) suntik. Hal tersebut
dapat menyebabkan ibu merasa kurang
diperhatikan secara emosional oleh suami
sehingga dapat menggurangi semangat ibu
untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
Dukungan suami pada masing-masing
akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik
sangat berbeda jika dilihat berdasarkan data
karakteristik responden. Berdasarkan tabulasi
Hal | 38
Nomor 01 Tahun 2011
silang antara usia ibu dengan dukungan
suami ternyata usia tidak mempengaruhi
dukungan suami sedangan berdasarkan
pekerjaan ibu rumah tangga paling banyak
medapat dukungan suami. Berdasarkan data
penghasilan, didapatkan paling banyak
penghasilan ibu Rp. 1.000.000-Rp.1.500.000
tidak mendapat dukungan dari suami.
Berdasarkan data pendidikan paling banyak
suami
mendukung
istrinya
yang
berpendidikan
SMU.
Responden yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih
mudah
memahami
informasi
tentang
Keluarga Berencana (KB) suntik sehingga
informasi yang telah diperoleh diberitahukan
kepada suaminya untuk mendukung dalam
penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini
sesuai dengan pendapat Koenjoroningrat
(1991) yang dikutip oleh Nursalam (2001)
yang menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan
seseorang
semakin
mudah dalam menerima informasi sehingga
semakin banyak pula pengetahuan yang
dimiliki. Berdasarkan data jumlah anak
didapatkan ibu yang mempunyai 1 anak
paling banyak mendapatkan dukungan dari
suaminya.
Lawrence green (1980) mengemukakan
bahwa salah satu factor yang mempengaruhi
perubahan perilaku yang berhubungan
dengan kesehatan adalah dukungan sosial
dari
masyarakat
sekitarnya,
terutama
dukungan sosial dari keluarga terdekat
terutama suami. Hal ini di dukung oleh
pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa keluarga
(suami) dan teman merupakan salah satu
unsur pendukung dalam perilaku kepatuhan.
Secara umum orang merasa bahwa menerima
penghiburan, perhatian dan pertolongan yang
mereka butuhkan dari seseorang biasanya
cenderung lebih mudah mengikuti atau
mematuhi nasehat daripada pengguna
Keluarga Berencana (KB) suntik yang kurang
mendapat dukungan suami.
Kepatuhan adalah suatu kondisi yang
tercipta dan berbentuk melalui proses dari
serangkaian perilaku yang menunjukkan
nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
keteraturan dan ketertiban. Sikap atau
perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau
sama sekali tidak dirasakan sebagai beban,
bahkan sebaliknya akan membebani dirinya
bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana
lazimnya (Prijodarminto,2003). Kepatuhan
akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB)
suntik sangat diperlukan untuk mencegah
kehamilan serta menyukseskan program
keluarga berencana nasional untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk indonesia.
Kepatuhan akseptor melakukan Keluarga
Berencana (KB) suntik diklasifikasikan
menjadi dua yaitu sesuai jadwal dan tidak
sesuai jadwal. Berdasarkan usia didapatkan
paling banyak ibu yang berusia 26- 30 tahun
lebih banyak melakukan kunjungan ulang
Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan
sampai saat berulang tahun. Semakin cukup
umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja (Azwar, 2009). Semakin cukup
umur akseptor Keluarga Berencana (KB)
suntik akan semakin matang dalam berpikir
bahwa kunjungan ulang Keluarga Berencana
(KB) suntik sesuai jadwal sangat penting
untuk dilakukan. Berdasarkan pekerjaan
ternyata tidak mempengaruhi kepatuhan
akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB)
suntik
sedangkan
berdasarkan
data
penghasilan didapatkan paling banyak
penghasilan ibu Rp. 1.000.000-Rp.1.500.000
lebih banyak melakukan kunjungan ulang
Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
Semakin tinggi penghasilan semakin tinggi
pula status ekonomi. Status sosial ekonomi
berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang
(Latipun,2006). Pengguna Keluarga Berencana
(KB) suntik yang berasal dari keluarga yang
status sosial ekonominya baik lebih memiliki
sikap positif memandang diri dan masa
depannya dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga dengan status sosial
ekonomi
rendah.
Berdasarkan
data
pendidikan di dapatkan bahwa pendidikan
terakhir tamat SLTP lebih banyak melakukan
kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB)
ISSN: 2356-5454
suntik tidak sesuai jadwal. Responden yang
memiliki tingkat pendidikan yang rendah
tidak mudah memahami informasi tentang
(KB) suntik sehingga masih banyak yang
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik tidak sesuai jadwal.
Hal
ini
sesuai
dengan
pendapat
Koenjoroningrat (1991) yang dikutip oleh
Nursalam (2001) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin mudah dalam menerima informasi
sehingga semakin banyak pula pengetahuan
yang dimiliki begitupun sebaliknya semakin
rendah tingkat pendidikan seseorang semakin
tidak mudah dalam menerima informasi .
Berdasarkan data jumlah anak didapatkan ibu
yang mempunyai 1 anak lebih banyak
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
Kepatuhan akseptor Keluarga Berencana
(KB) suntik dipengaruhi beberapa hal yaitu
1)Pendidikan, 2) Pekerjaan, 3) Tingkat
Pengetahuan, 4) Sikap, 5) Jumlah Anak dan 6)
Dukungan Suami. Berdasarkan teori faktor
dukungan suami merupakan dorongan
terhadap ibu secara moral maupun material,
dimana dukungan suami mempengaruhi ibu
untuk menjadi akseptor Keluarga Berencana
(KB) suntik. Berdasarkan hasil penelitian
dukungan suami mempunyai andil yang
besar bagi seorang istri untuk melakukan
kunjungan ulang sesuai jadwal.
Dukungan suami sangatlah penting
dalam memberikan semangat istrinya untuk
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Hal
tersebut terbukti pada hasil penelitian yang
membuktikan hipotesis bahwa terdapat
pengaruh
dukungan
suami
terhadap
kepatuhan akseptor Keluarga Berencana (KB)
suntik, namun yang perlu diperhatikan adalah
dukungan suami tersebut tidak dapat
diberikan secara setengah-setengah seperti
hanya memberikan dukungan instrumental
saja, informatif saja, emosional saja atau
penghargaan saja sebaiknya dukungan suami
diberikan secara sepenuhnya mencakup
semua aspek didalamnya.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 39
jikk
ISSN: 2356-5454
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan diatas dapa di
simpulkan
1. Sebagian besar suami mendukung
terhadap kepatuhan akseptor melakukan
Keluarga Berencana (KB) suntik yaitu
sebanyak 39 orang (61,9%)
2. Sebagian besar responden patuh dalam
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal
yaitu sebanyak 39 responden (61,9%).
3. Masyarakat
khususnya
ibu
yang
menggunakan alat kontrasepsi Keluarga
Berencana
(KB)
suntik
agar
meningkatkan
kepatuhan
akseptor
dengan melakukan kunjungan ulang
Keluarga
4. Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
Dukungan
suami
dalam
bentuk
dukungan
emosional,
dukungan
penghargaan, dukungan instrumental
dan
dukungan
informatif
seperti
menemani ibu melakukan kunjungan
ulang Keluarga Berencana (KB) suntik
sangat diperlukan agar ibu dapat
melakukan kunjungan ulang Keluarga
Berencana (KB) suntik sesuai jadwal.
REFERENSI
Arikunto, S.
2010. ‖Prosedur Penelitian
‖. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. 2009. ―Sikap Manusia Teori Dan
Pengukuranya‖. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional.2011.
―Per
kembangan
Pencapaian Peserta KB baru Menurut
Alat Kontrasepsi‖. Di akses pada tanggal
20 November 2011 jam 09.00 WIB melalui
http://bkkbn.go.id
Hal | 40
Nomor 01 Tahun 2011
Badan
Penelitian
Dan
Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
2010. ― Riset Kesehatan Dasar ‖. Jakarta.
Di akses pada tanggal 20 November 2011
jam
10.00
WIB
melalui
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.
id
Glasier, A. 2005. ―Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi ‖. Jakarta: EGC.
Hartanto, H. 2006. ― Keluarga Berencana dan
Kontrasepsi‖. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Hidayat A.Aziz.2007. ― Metode Penelitian
Kebidanan Teknik Analisi Data‖. Jakarta:
Salemba Medika.
Kuntoro, H. 2010. ―Metode Sampling dan
Penentuan Besar Sampel ‖. Surabaya:
Pustaka Melati
Kurniawati, Ninuk dian, 2007.‖Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi
HIVAID S‖. Jakarta. SalembaMedika
Notoadmodjo, S. 2003. ―Ilmu Perilaku
Kesehatan‖. Jakarta: Rineka Cipta
Notoadmodjo, S. 2003. ― Pendidikan dan Per
ilaku Kesehatan ‖. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam & Pariani. (2001). ― Pendekatan
Praktis Metodologi Riset Keperawatan‖.
Surabaya: FK UNAIR
Nursalam. 2008. ― Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skr ipsi,, Tesis
dan Instr umen Penelitian Keperawatan‖.
Jakarta: Salemba Medika.
Prijodarminto, S. 2003. ― Disiplin Kiat Menuju
Sukses‖. Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Sugiyono. 2007. ― Metode Penelitian
Kuantitatif
Kualitatif
dan
R&D‖.
Bandung: Alfabeta‖
Saifuddin, AB. 2006. ―Buku Pedoman Praktis
Pelayanan Kontrasepsi ‖. Jakarta:YBP–SP.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP IBU HAMIL TRIMESTER III DENGAN
KEPATUHAN IBU HAMIL TRIMESTER III DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN ANC
oleh
Winarni
ABSTRAK
Antenatal care sangat diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan bayi demi kualitas
hidup yang lebih baik. Penelitian ini adalah deskriptif korelasi bertujuan untuk mengidentifikasi
hubungan pengetahuan ibu hamil dan motivasi keluarga terhadap pelaksanaan antenatal care.
Penelitian ini dilakukan selama Februari 2011 menggunakan sampel 94 orang sesuai kriteria dengan
metode accidental sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner berisi data demografi,
pengetahuan, motivasi keluarga dan pelaksanaan ANC. Dari hasil penelitian diperoleh, mayoritas
responden berusia 21-35 (83%), sebagian besar responden multigravida (67%), primipara (36,2%),
mayoritas tidak pernah mengalami keguguran (89,4%), mayoritas responden berpendidikan rendah
(85,5%), mayoritas ibu tidak bekerja (80,9%). Berdasarkan kategori pengetahuan diperoleh tingkat
pengetahuan yang baik (72,3%). Berdasarkan motivasi keluarga, responden mendapat motivasi
keluarga pada kategori baik (94,7%). Berdasarkan pelaksanaan, mayoritas responden melaksanakan
antenatal care dengan baik (80,9 %). Dari uji korelasi Spearman untuk menganalisa hubungan
pengetahuan ibu hamil dan pelaksanaan antenatal care diperoleh nilai p = 0,036 > 0,05 maka dapat
disimpulkan terdapat korelasi bermakna antara pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care dan
untuk analisa hubungan motivasi keluarga dan pelaksanaan antenatal care diperoleh nilai p = 0,524 <
0,05 dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara motivasi keluarga dengan
pelaksanaan antenatal care. Sehingga dapat dianalisa bila ibu memiliki pengetahuan rendah maka
motivasi dari keluarga akan meningkatkan motivasi ibu untuk melaksanakan ANC lebih teratur dan
demikian juga sebaliknya. Jadi, penyampaian informasi oleh tenaga kesehatan sangat diperlukan
untuk memberikan pengetahuan dan pentingnya motivasi keluarga guna pelaksanaan ANC yang
lebih baik.
Kata Kunci : Pengetahuan, motivasi keluarga, antenatal care
PENDAHULUAN
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO, 2005), antenatal care (ANC) adalah
suatu program yang terencana berupa
observasi, edukasi, dan penanganan medik
pada ibu hamil, untuk memperoleh suatu
proses kehamilan serta persalinan yang aman
dan memuaskan. Tujuan antenatal care adalah
untuk menj aga agar ibu sehat selama masa
kehamilan, persalinan, dan nifas serta
mengusahakan bayi yang dilahirkan sehat,
memantau kemungkinan adanya risiko-risiko
kehamilan,
dan
merencanakan
penatalaksanaan yang optimal terhadap
kehamilan risiko tinggi serta menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal
(Prawirohardj o, 2006).
Dalam pelaksanaan antenatal care, ibu
akan semakin teratur jika mendapat
dukungan besar dari keluarga. Dalam hal ini
dukungan dari suami, keluarga dan
masyarakat
sangat
berpengaruh
besar
terhadap keberhasilan pelaksanaan ANC.
Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat
yang terdiri atas 2 orang atau l ebi h, adanya
ikatan persaudaraan atau pertalian darah,
hidup dalam satu rumah tangga beri nteraksi
satu sama lain, mempertahankan satu
kebudayaan (Effendy, 2006).
Hasil penelitian sebelumnya Tungkup
(2008) didapat bahwa faktor usia, pendidikan,
pengetahuan, pekerj aan, sosial ekonomi ,
sosial budaya, j arak layanan kesehatan adalah
faktor yang mempengaruhi ibu melakukan
kunj ungan ANC. Dari penelitian tersebut,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 41
jikk
ISSN: 2356-5454
faktor pengetahuan sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi ibu hamil melakukan
kunjungan ANC di dapat hasil bahwa
responden yang memiliki pengetahuan yang
baik j ustru bertolak belakang dengan j umlah
kunj ungannya. Bila dibandingkan dengan
peran suami sebagai faktor sosial ekonomi
dalam penelitian Demiaty (2009) didapat
bahwa peran suami dalam memotivasi istri
hamil
untuk
melakukan
pemeriksaan
kehamilan mayoritas berperan cukup yakni
sebanyak 33 orang (75%). Suami sebagai salah
satu anggota kel uarga j uga beperan dalam
kehamilan meningkatkan kesiapan ibu hamil
dalam menghadapi proses persalinan, dan j
uga memicu produksi ASI (Ary, 2009). Sehi
ngga hipotesis yang dapat diambil adalah ada
hubungan pengetahuan ibu hamil terhadap
pelaksanaan Antenatal care dan ada
hubungan motivasi keluarga terhadap
pelaksanaan
Antenatal
care
terhadap
pelaksanaan Antenatal care.
PEMBAHASAN
Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Antenatal
Care
Pengetahuan
akan
memberikan
penguatan terhadap individu dalam setiap
mengambil keputusan dalam berperilaku.
Pada penelitian ini, pengetahuan ibu hamil
tentang antenatal care meliputi tujuan ANC,
frekuensi
kunjungan
ANC,
tempat
pelaksanaan ANC, standar pelayanan ANC,
dan perilaku sehat selama kehamilan.
Berdasarkan j awaban responden, didapat
hasil bahwa mayoritas responden (72,3%)
memiliki tingkat pengetahuan yang baik
tentang antenatal care. Pada penelitian ini,
peneliti berasumsi bahwa pengalaman menj
adi salah satu faktor yang membentuk
pengetahuan ibu hamil karena mayoritas
responden (67%) pernah hamil lebih dari 1
kali. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
oleh Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan
dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan
sebelumnya.
Dari hasil penelitian juga diperoleh data
ternyata ada responden yang berpengetahuan
kurang yaitu dari 94 responden ada 16
Hal | 42
Nomor 01 Tahun 2011
responden
(17%)
yang
mempunyai
pengetahuan kurang. Keadaan ini disebabkan
masih ada tingkat pendidikan responden yang
masih rendah dan pengetahuan responden
tentang asuhan kehamilan yang masih
kurang.
Pengetahuan tentang asuhan kehamilan
berdasarkan umur responden dapat dilihat
bahwa pada umur responden 21-35 tahun ada
sebanyak 78 orang (83%) dan pengalaman
responden multigravida sebanyak 63 orang
(67%).
Hal
ini
menunjukkan
umur
mempengaruhi
pengetahuan
seseorang,
karena ilmu tidak hanya didapat dari
pendidikan formal tetapi didapat juga dari
pengalaman seseorang dan kemungkinan
informasi yang diterima dari tenaga kesehatan
sebelumnya menarik perhatian responden
sehingga reponden lebih cepat menyerap
informasi yang diberikan.
Motivasi Keluarga Dalam penelitian ini
motivasi keluarga merupakan motivasi
ekstrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari
luar individu. Adapun motivasi berfungsi
untuk mendorong manusia untuk berbuat,
menentukan arah perbuatan dan menyeleksi
perbuatan (Sardiman, 2007). Seseorang akan
melakukan suatu usaha karena adanya
motivasi.
Berdasarkan hasil jawaban responden
diperoleh bahwa mayoritas responden
mendapat motivasi yang baik dari keluarga.
Bila dikaji dari karakteristik, mayoritas
responden primipara dan nulipara. Menurut
peneliti, dari data diatas menunjukkan bahwa
riwayat paritas ibu hamil juga mempengaruhi
motivasi keluarga. Nulipara akan cenderung
melaksanakan
antenatal
care,
karena
merupakan kehamilan yang pertama dan
memiliki kecemasan dalam kehamilannya
dikarenakan tidak mempunyai pengalaman.
Dalam
hal
ini
untuk
meningkatkan
pemahaman ibu maka ibu
Pelaksanaan Antenatal Care
Pelaksanan antenatal care dikatakan baik
atau tidak bila ibu yang melakukan
kunjungan antenatal care sesuai dengan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Akademi Kebidanan Panca Bhakti
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
jumlah kunjungan antenatal yaitu pada
trimester I minimal melakukan 1 kali
kunjungan, pada trimester II minimal
melakukan 1 kali kunjungan dan pada
trimester III minimal melakukan 2 kali
kunjungan.
Responden
melaksanakan
antenatal care pada kategori lengkap sebesar
80,9 % dan melaksanakan antenatal care pada
kategori tidak lengkap sebesar 19,1%.
Banyak
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ibu melaksanakan antenatal
care, dalam penelitian Sinaga (2003) didapat
tingkat pendidikan ibu, jumlah anak dalam
keluarga, jarak kehamilan, riwayat kehamilan,
pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu,
dukungan suami dan jarak pelayanan
kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan
sehingga
faktor¬faktor
tersebut
juga
berpengaruh terhadap lengkap atau tidaknya
pelaksanaan ANC.
Hubungan
Pengetahuan
Ibu
Hamil
Terhadap Pelaksanaan Antenatal Care
Berdasarkan uji statistik hubungan antara
pengetahuan ibu hamil terhadap pelaksanaan
Antenal care diperoleh korelasi yang sangat
lemah antara pengetahuan dan pelaksanaan
antenatal care. Dari analisa ini juga di dapat
nilai P yang menyatakan korelasi yang
bermakna
antara
pengetahuan
dan
pelaksanaan
antenatal
care.
Kekuatan
korelasinya bernilai positif yang berarti
searah, semakin besar nilai satu variabel
semakin besar pula nilai variabel lainnya. Hal
itu berarti semakin banyak pengetahuan ibu
hamil maka semakin baik pula pelaksanaan
ANC-nya.
Berdasarkan hasil analisa data yang
diperoleh, memperlihatkan bahwa kelompok
responden
yang
mempunyai
tingkat
pengetahuan tentang asuhan kehamilan yang
baik mempunyai tingkat pelaksanaan yang
lengkap. Hal ini disebabkan karena tingkat
pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku
seseorang. Menurut Notoadmojo (2003)
pendidikan kesehatan bukanlah satu-satunya
faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
seseorang tetapi dipengaruhi oleh faktor
pendukung eksternal yang secara langsung
ISSN: 2356-5454
dapat mempengaruhi perubahan perilaku
seperti sarana yang dimiliki, fasilitas lain yang
tersedia atau alat-alat yang dibutuhkan serta
dukungan positif yang diberikan orang lain
untuk terjadi perubahan perilaku artinya
responden yang mempunyai pengetahuan
baik belum tentu memiliki perilaku yang baik
demikian juga sebaliknya.
Hasil penelitian ini juga didukung
dengan penelitian Demiaty (2009) mengenai
hubungan tingkat pengetahuan ibu hamil
tentang kepatuhan kunjungan antenatal care
di RSUD Pandan Arang Boyolali menyatakan
bahwa adanya hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan kunjungan antenatal
care.
Hubungan Motivasi Keluarga terhadap
Pelaksanaan Antenatal Care
Motivasi keluarga merupakan suatu
dukungan
psikososial
yang
mampu
memberikan kekuatan emosional kepada ibu.
Kasih sayang keluarga dan keinginan ingin
mendapatkan
keturunan
akan
sangat
membantu dalam upaya antenatal care,
sampai terjadi persalinan yang diakhiri
dengan kebahagiaan keluarga. Kehamilan
yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan
hal-hal berikut; keluhan hamil yang
berlebihan,
ketidakseimbangan
jiwa
menghadapi kehamilan dan persalinan, upaya
mengakhiri kehamilan dengan menggugurkan
kandungan, berpisah setelah persalinan
karena perkawinan yang dipaksakan. Itulah
sebabnya motivasi keluarga sangat penting
agar ibu tidak merasa takut menghadapi
kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2006).
Hasil penelitian antara motivasi keluarga
terhadap pelaksanaan Antenal care diperoleh
korelasi yang sangat lemah. Dari analisa ini
juga di dapat nilai P yang menyatakan tidak
terdapat korelasi yang bermakna antara
pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care.
Hasil
penelitian ini juga didukung oleh
penelitian Fithriani (2011) yang menyatakan
ada hubungan signifikan dukungan keluarga
dengan kepatuhan ibu hamil trimester III
dalam pemeriksaan kehamilan.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 43
jikk
ISSN: 2356-5454
PENUTUP
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan maka dapat disimpulkan mayoritas
responden memiliki pengetahuan yang baik
tentang antenatal care. Mayoritas responden
mendapat motivasi yang baik dari keluarga.
Mayoritas responden melaksanakan antenatal
care dengan lengkap. Petugas tenaga
kesehatan khususnya pihak Puskesmas Ujung
Batu
untuk
meningkatkan
pemberian
informasi kepada ibu hamil tentang
pentingnya
pelaksanaan
ANC
selama
kehamilan
REFERENSI
Arikunto, S. (2007). Manajemen Penelitian.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
------------(2006). Prosedur
Penelitian.Jakarta: PT. Rineka Cipta
Ari, S. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa
Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika,
Demiaty. (2009). Peran suami menurut isteri
yang sedang hamil dalam memotivasi untuk
melakukan pemeriksaan kehamilan di Klinik
Bersalin Mitra Indah di Kecamatan Dolok
Masihul Kabupaten Serdang Bedagai.
Diambil
dari
httprepository.usu.
ac.idhandle 12 345678922180 2011.
(Diakses tanggal 15 September 2011).
Effendy, N. (1998). Dasar-Dasar Keperawatan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Fithriani, N. 2011. Hubungan Antara Dukungan
Keluarga Dengan Kepatuhan Ibu Dalam
Hal | 44
Nomor 01 Tahun 2011
Pemeriksaan Kehamilan Trimester III di
Klinik Bersalin Sri Wahyuni Medan.
Available from:
http://
repository.usu.ac.id/bitstream/12
3456789/27310/1/.pdf (Diakses tanggal
18 Juli 2012 Manuaba. (2006). Buku ajar
patologi obstetri. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan
Masyarakat
(Prinsip-Prinsip
Dasar).
Jakarta: PT. Rineka Cipta
------------(2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirodihardjo
Sadirman. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar. Jakarta: PT. Raja Gravindo
Persada
Tungkup, Juliana. L. (2008). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ibu Hamil Melakukan
Kunjungan ANC di Rumah Sakir Kota
Medan.
Available
from:
http://repository.usu.ac.id/jspuix1
/handle/123456789/16572
(Diakses
tanggal 15 Juni 2012)
Sinaga, E. (2003). Faktor - Faktor Yang
Mempengaruhi Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan
Di Desa Jorlang Huluan Kecamatan Sidamanik
Kab. Simalungun Tahun 2003. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/
123456789/32355.pdf (Diakses tanggal 17 Juni
2012).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Akademi Kebidanan Panca Bhakti
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Standar Prosedur Operasional
Publikasi Karya Tulis dan Artikel Ilmiah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas
ISSN: 2356-5454


JIKK
Akademi Kebidanan Ar Rahman
Ketentuan Umum
1. Topik dan tema karya tulis atau artikel
(selanjutnya disebut naskah) memiliki
keterkaitan dengan dunia kesehatan,
khususnya bidang kebidanan;
2. Karya tulis ataupun artikel merupakan hasil
penelitian lapangan (work-field study),
penelitian pustaka (literature study) atau
asah gagasan (proposition);
3. Karya tulis ataupun artikel ditulis dengan
menggunakan Bahasa Indonesia maupun
English yang baik dan benar serta mengikuti
aturan tata bahasa yang baku;
4. Setiap naskah yang masuk akan ditinjau
ulang oleh Mitra Bestari yang memiliki
kepakaran di bidangnya, baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar institusi AKBID
Ar Rahmah;
5. Penyerahan naskah dikirim selambatlambatnya dua bulan sebelum penerbitan
reguler (bulan Februari dan Oktober) kepada
redaksi JIKK;
6. Kepastian pemuatan atau tidaknya sebuah
naskah akan diberitahukan secara tertulis,
baik melalui surat ataupun email;
7. Naskah
yang
tidak
dimuat
dapat
dikembalikan dengan sepengetahuan penulis
naskah.
Ketentuan Khusus
1. Naskah ditulis dengan menggunakan aplikasi
Microsoft Office Word (baik itu XP, 2003 atau
2007);
2. Naskah ditulis menggunakan font Times New
Roman atau Arial dengan ukuran font 12
(tanpa page number ataupun keterangan
header/footer);
3. Panjang naskah maksimal 10 halaman
dengan ukuran kertas A4 serta ukuran
margin (kiri: 4, kanan: 3, atas: 3 dan bawah:
3).
Sistematika Penulisan
 Judul (informatif, lugas, singkat dan jelas),
 Nama penulis (tanpa gelar),
 Abstrak/ Rangkuman eksekutif (ditulis dalam
bentuk narasi dan terdiri atas 100-150 kata),




Kata kunci (istilah teknis/ operasional yang
digunakan dalam artikel),
Pendahuluan (deskripsi sekilas mengenai
topik yang dibahas, status topik saat ini,
perubahan yang terjadi berkaitan dengan
topik, dan kontribusi naskah dalam topik yang
dibahas; akhir pendahuluan memuat tujuan,
metode, manfaat pembahasan topik, dan
harapan yang dapat diambil dari topik yang
dibahas),
Isi/ Pembahasan (uraian, pemaparan
ataupun penjabaran yang berkaitan dengan
hasil temuan penelitian atau asah gagasan
untuk
naskah
non-penelitian;
isi/
pembahasan dapat terdiri atas beberapa subbahasan, tergantung pada topik/masalah
yang dibahas serta penjelasan yang
mendalam dari topik/ tema yang dibahas),
Simpulan dan Saran,
Daftar pustaka atau Pustaka Rujukan, dan
Riwayat penulis (ditulis secara singkat).
Sistematika Penulisan Resensi Buku
 Buku yang diresensi harus aktual (up to date);
buku berbahasa Indonesia terbitan satu
tahun terakhir sedangkan buku berbahasa
asing terbitan tiga tahun terakhir,
 Isi
(content)
buku
yang
diresensi
berkontribusi signifikan bagi perkembangan
dan peningkatan kualitas pendidikan,
 Susunan resensi terdiri atas deskripsi formal
buku, ringkasan (summary), evaluasi/ kritik/
komentar, dan simpulan.
Penyerahan Naskah (karya tulis ataupun artikel
ilmiah)
Penyerahan naskah dapat dilakukan melalui,
 Email; naskah tidak ditulis dalam kotak pesan
(message
box)
melainkan
disisipkan
(attachment)
dan
dikirimkan
ke
[email protected]
atau
[email protected] ,
 Surat/ pos; naskah dimasukkan ke dalam
amplop ukuran A4 dan pojok kanan atas
ditulis JIKK AKBID Ar Rahmah, kemudian
dikirimkan ke alamat Jalan Pasteur No. 21 A,
Bandung– Jawa Barat.
Alamat Redaksi dan Tata Usaha
JIKK Press – AKBID Ar Rahmah
Jalan Pasteur no. 21, Bandung – Jawa Barat
Telepon/ Faximile (022) 4214127
Email [email protected]
Website www.arrahmah.ac.id
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 45
Download